bab ii tinjauan pustaka a. perkembangan moral 1. pengertian perkembangan...
TRANSCRIPT
1
BAB II
TINJAUAN PUSTAKA
A. Perkembangan Moral
1. Pengertian Perkembangan Moral
Istilah moral menurut Kohlberg (1995) merujuk pada pertimbangan
moral atau keputusan berdasarkan atas pertimbangan moral; istilah moral
adalah penilaian, bukannya berperilaku atau efek seperti rasa diri bersalah;
istilah moral tidak juga bersifat sosiologis, misalnya suatu peraturan, untuk
orang tertentu larangan memarkir merupakan suatu norma moral,
sedangkan untuk orang lainnya larangan itu mungkin hanya merupakan
peraturan administratif, sehingga apa yang membuat seseorang bersifat
moral bukanlah dari undang-undang peraturan, melainkan sikap pribadi itu
sendiri terhadap suatu peraturan.
Kohlberg (1995), mengatakan bahwa pertimbangan moral adalah
penilaian tentang benar dan baiknya sebuah tindakan, penilaian moral
yang bersifat universal, inklusif, konsisten dan didasarkan pada alasan-
alasan yang objektif, atau ideal.
Perkembangan moral (Kohlberg, 1995) merupakan suatu hasil
kemampuan yang semakin berkembang untuk memahami kenyataan sosial
atau untuk menyusun dan mengintegrasikan pengalaman sosial.
2
Berdasarkan pendapat Kohlberg mengenai perkembangan moral,
maka peneliti akan menggunakan teori Kohlberg (1995) sebagai dasar
pembuatan alat ukur perkembangan moral.
2. Tahap-tahap Perkembangan Moral.
Menurut Kohlberg (1995) menyusun tiga tingkatan perkembangan
moral, di setiap tingkatannya terdiri dari dua tahap. Berikut penjelasannya:
a. Tingkat 1 Kohlberg : Penalaran Prakonvensional.
Penalaran prakonvesional ialah tingkatan terendah dalam teori
perkembangan moral Kohlberg. Pada tingkatan ini anak tanggap
terhadap aturan-aturan budaya dan terhadap ungkapan-ungkapan
budaya mengenai baik dan buruk, benar dan salah. Akan tetapi hal ini
ditafsirkan dari segi akibat fisik atau kenikmatan perbuatan (hukuman,
keuntungan, pertukaran kebaikan). Atau dari segi kekuatan fisik mereka
yang memaklumkan peraturan dan semua label benar dan salah.
Terdapat dua pada tahap pada tingkat ini.
Tahap 1. Orientasi hukuman dan kepatuhan adalah tahap pertama
dalam teori perkembangan moral Kolberg, yakni akibat-akibat fisik
suatu perbuatan menentukan baik-buruknya, tanpa menghiraukan arti
dan nilai manusiawi dari akibat tersebut. Anak hanya semata-mata
menghindari hukuman dan tunduk pada kekuasaan tanpa
mempersoalkannya, dinilai sebagai hal yang bernilai dalam dirinya
sendiri dan bukan karena rasa hormat terhadap tatanan moral yang
3
mendasari dan yang didukung oleh hukuman dan otoritas. Contohnya,
anak-anak dan remaja mematuhi orang dewasa karena orang dewiasa
menyuruh mereka untuk patuh.
Tahap 2. Orientasi relativis-instrumental adalah tahap kedua dari teori
Kohlberg, yakni perbuatan yang benar adalah perbuatan yang
merupakan cara atau alat untuk memuaskan kebutuhannya sendiri dan
kadang-kadang juga kebutuhan orang lain. Hubungan antar manusia
dipandang seperti hubungan pada umumnya. Terdapat elemen
kewajaran tindakan yang bersifat resiprositas dan pembagian sama rata,
tetapi ditafsirkan secara fisik dan pragmatis. Resiprositas ini merupakan
hal “Jika engkau menggaruk punggungku, nanti aku juga akan
menggaruk punggungmu”, dan bukan karena loyalitas, rasa terima kasih
atau keadilan. Contoh, anak-anak dan remaja bersikap patuh. Bila
mereka mau mematuhinya dan jika apa yang harus mereka patuhi
menguntungkan mereka. Apa yang benar adalah apa yang dirasakan
baik, dan apa yang menghasilkan hadiah.
b. Tingkat 2 Kohlberg : Penalaran Konvesional.
Penalaran konvensional adalah tingkatan kedua, atau menengah,
dari teori perkembangan moral Kohlberg. Pada tingkatan ini anak hanya
menuruti harapan keluarga, kelompok atau bangsa, dan dipandang
sebagai hal yang bernilai dalam dirinya sendiri, tanpa megindahkan
akibat yang segera dan nyata. Sikapnya bukan saja konformitas
terhadap harapan pribadi dan tata tertib sosial, melainkan juga loyal
4
terhadapnya dan secara aktif mempertahankan, mendukung dan
membenarkan seluruh tata tertib itu serta mengidentifikasikan diri
dengan orang atau kelompok yang terlibat. Tingkat ini mempunyai dua
tahap.
Tahap 3. Orientasi kesepakatan antara pribadi atau orientasi “Anak
Manis” adalah tahap ketiga dari teori perkembangan moral Kohlberg.
Pada tahap ini perilaku baik adalah yang menyenangkan dan membantu
orang lain serta yang disetujui oleh mereka. Terdapat banyak
konformitas terhadap gambaran stereotip mengenai apa itu perilaku
mayoritas atau “alamiah”. Perilaku sering dinilai menurut niatnya,
ungkapan “dia bermaksud baik”, untuk pertama kalinya menjadi
penting. Orang yang mendapatkan persetujuan dengan menjadi “baik”.
Contoh, anak-anak dan remaja pada tahap ini seringkali mengambil
standar moral orang tua mereka, hal ini dilakukan karena mereka ingin
orang tua mereka menganggap mereka sebagai “anak yang baik”.
Tahap 4. Orientasi hukum dan ketertiban adalah tahap keempat dari
teori perkembangan Kohlberg. Pada tahap ini terdapat orientasi
terhadap otoritas, aturan yang tetap dan penjagaan tata tertib sosial.
Perilaku yang baik adalah semata-mata melakukan kewajiban sendiri,
menghormati otoritas dan menjaga tata tertib sosial yang ada, sebagai
yang bernilai dalam dirinya sendiri. Contoh, remaja dapat mengatakan
bahwa supaya suatu komunitas dapat bekerja secara efektif, maka
5
komunitas tersebut perlu dilindungi oleh hukum yang ditaati oleh
seluruh anggota komunitas.
c. Tingkat 3 Kohlberg : Penalaran Pasca-Konvensional, Otonom atau
yang Berlandaskan Prinsip.
Penalaran pasca-konvensional adalah tingkatan tertinggi dalam
teori perkembangan moral Kohlberg. Pada tingkatan ini terdapat usaha
yang jelas untuk merumuskan nilai-nilai dan prinsip moral yang
memiliki keabsahan dan dapat diterapkan terlepas dari otoritas
kelompok atau orang yang berpegang pada prinsip-prinsip itu dan
terlepas pula dari identifikasi individu sendiri dengan kelompok
tersebut. Ada dua tahap pada tingkat ini.
Tahap 5. Orientasi kontrak sosial legalistis adalah tahap kelima dari
teori perkembangan Kohlberg. Pada tahap ini perbuatan baik cenderung
dirumuskan dalam kerangka hak dan ukuran individual umum yang
telah diuji secara kritis dan telah disepakati oleh seluruh masyarakat.
Terdapat kesadaran yang jelas mengenai relativisme nilai dan pendapat
pribadi bersesuaian dengannya, terdapat suatu penekanan atas aturan
prosedural untuk mencapai kesepakatan. Terlepas dari apa yang telah
disepakati secara konstitusional dan demokratis, hak adalah soal “nilai”
dan “pendapat” pribadi. Misalnya, seseorang menyadari bahwa hukum
memang penting bagi suatu masyarakat, namun hukum sendiri dapat
diubah, serta percaya bahwa beberapa nilai seperti kebebasan lebih
penting daripada hukum.
6
Tahap 6. Orientasi prinsip etika universal adalah tahap keenam dan
tertinggi dari teori perkembangan moral Kohlberg. Pada tahap ini hak
ditentukan oleh keputusan suara batin, sesuai dengan prinsip-prinsip
etis yang dipilih sendiri dan yang mengacu pada komprehensivitas
logis, universalitas, konsistensi logis. Prinsip-prinsip ini bersifat abstrak
dan etis. Pada hakikatnya prinsip-prinsip universal keadilan, resiprositas
dan persamaan hak asasi manusia serta rasa hormat terhadap manusia
sebagai pribadi individual. Contoh, ketika dihadapkan pada suatu
konflik antara hukum dan kata hati, seseorang akan mengikuti kata
hatinya, walaupun keputusan tersebut dapat memunculkan risiko pada
dirinya.
Kohlberg (Santrock, 2003) percaya bahwa seluruh tingkatan dan
tahap-tahapnya terjadi secara berurutan sesuai dengan usia. Kohlberg
(1995), menganggap tahap-tahap lebih tinggi lebih bermoral daripada
tahap-tahap yang lebih rendah, dan Kohlberg (1995) menegaskan bahwa
hanya pikiran atau bahasa tahap ke-enam lah yang sepenuhnya bersifat
moral, yakni setiap tahap yang lebih tinggi semakin mendekati
karakteristik.
3. Faktor-faktor yang Mempengaruhi Perkembangan Moral
Kohlberg (1995), faktor-faktor penentu utama perkembangan
moral, yaitu :
7
a. Daya kemampuan kelompok sebaya dan sekolah
Untuk merangsang perkembangan moral tanpa adanya pengaruh
keluarga. Hal tersebut diperkuat dalam penelitian yang diadakan di
Israel oleh Kohlberg, (Kolberg 1995), yakni dalam penelitian tersebut
memperlihatkan bahwa penempatan para pemuda yang kurang
beruntung dalam “kibbutz” (perkebunan milik bersama Israel)
menyebabkan terjadinya perkembangan moral yang cepat. Padahal
selama masa tinggal di “kibbutz” mereka hanya memiliki sedikit
hubungan langsung dengan orang tua.
b. Kesempatan untuk mengambil peran moral
Dalam kesempatan untuk mengambil peran moral merupakan suatu hal
yang paling penting dalam sumbangan oleh keluarga bagi
perkembangan moral anak. Penelitian yang dilakukan Holstein
(Kohlberg, 1995) memperlihatkan bahwa anak-anak yang telah maju
dalam pertimbangan moral memiliki orang tua yang maju dalam hal
pertimbangan moral. Namun, disamping itu kecenderungan orang tua
untuk merangsang proses pengambilan peran timbal-balik juga
berhubungan dengan kematangan anak.
Sehingga dapat disimpulkan faktor-faktor yang mempengaruhi
penalaran moral pada individu, ialah interaksi dengan kelompok teman
sebaya, lingkungan sekolah, serta kesempatan untuk mengambil peran.
8
B. Perilaku Prososial
1. Pengertian Perilaku Prososial
Perilaku prososial menurut Eisenberg & Mussen (1989)
didefinisikan sebagai tindakan yang ditujukan untuk memberikan
konsekuensi positif atau keuntungan bagi orang lain yang menerima
pertolongan, seperti membantu pada individu lain atau kelompok,
dilakukan secara sukarela, dan bukan dibawah paksaan.
Perilaku prososial menurut Eisenberg & Mussen (1989), mengacu
pada tindakan sukarela, seperti membantu atau memberikan manfaat pada
individu lain atau kelompok individu. Contohnya, seseorang individu
mungkin termotivasi untuk membantu orang lain untuk alasan dirinya
sendiri (mendapatkan hadiah), untuk memperoleh pengakuan dari orang
lain, atau karena seseorang memang benar-benar simpati, maupun benar-
benar peduli dengan orang lain.
Berdasarkan pengertian perilaku prososial, menurut Eisenberg dan
Mussen, maka peneliti akan menggunakan teori Eisenberg & Mussen
(1989) sebagai dasar pembuatan alat ukur perilaku prososial.
2. Aspek-aspek Perilaku Prososial
Eisenberg & Mussen (1989), perilaku prososial mencakup :
a. Sharing (berbagi)
Berbagi adalah kesediaan berbagi perasaan dengan orang lain
dalam suasana suka maupun duka (Eisenberg & Mussen, 1989).
9
Berbagi dapat dilakukan apabila penerima menunjukkan kesukaan
sebelum ada tindakan melalui dukungan verbal dan fisik.
b. Cooperative (kerjasama)
Kerjasama adalah kesediaan bekerjasama dengan orang lain demi
tercapainya suatu tujuan. Kerjasama biasanya saling menguntungkan,
saling memberi, saling menolong, dan menenangkan.
c. Helping (menolong)
Menolong adalah kesediaan untuk menolong orang lain yang
sedang dalam kesusahan. Menolong meliputi membantu orang lain,
menawarkan bantuan kepada orang lain, atau melakukan sesuatu yang
menunjang berlangsungnya kegiatan orang lain.
d. Honesty (kejujuran)
Kejujuran adalah bentuk perilaku yang ditunjukkan dengan
perkataan yang sesuai dengan keadaan dan tidak menambahkan atau
mengurangi kenyataan yang ada.
e. Generosity (berderma)
Berderma adalah individu yang memiliki sifat altruis, memiliki
sikap suka beramal, suka memberi atau murah hati kepada orang lain
yang membutuhkan pertolongannya tanpa mengharapkan imbalan
apapun dari orang yang ditolongnya.
Aspek-aspek perilaku prososial yang dipakai dalam penelitian ini
adalah sharing, cooperative, donating, helping, genoristy.
10
C. Perkembangan Moral Dewasa Awal
Piaget (Santrock, 2012) mengatakan bahwa pemikiran pada
individu dewasa awal memasuki tahap operasional formal, yakni tahap
terakhir dalam perkembangan kognitif dan tahap ini menjadi ciri dari
individu dewasa awal hingga akhir maupun remaja, selain itu pemikiran
pada individu dewasa awal berbeda dengan pemikiran pada individu
remaja; artinya individu dewasa awal memiliki pengetahuan lebih banyak
dibandingkan dengan remaja, dan walaupun individu remaja mulai mampu
menyusun rencana maupun hipotesis, namun pada individu dewasa muda
menjadi lebih sistematis dan terampil, Keating (Santrock, 2012).
Kohlberg (1995) mengatakan bahwa pemikiran formal menjadi
suatu prasyarat yang perlu bagi pertimbangan moral yang berlandaskan
prinsip, kegiatan pemikiran formal juga memungkinkan untuk upaya
mempertanyakan moralitas itu sendiri dalam suatu cara yang sebelumnya
tidak dapat dibayangkan. Pertimbangan moral (Kohlberg, 1995) adalah
penilaian tentang baik dan benarnya sebuah tindakan.
Kohlberg dan Colby (Kolberg, 1995) menemukan tingkat
pemikiran formal bersesuaian dengan tahap-tahap moral tiga, empat, dan
lima. Pertimbangan moral tahap tiga menuntut adanya proses-proses
kognitif yang bersifat peralihan antara kegiatan pemikiran konkret dan
kegiatan pemikiran formal. Pertimbangan moral tahap empat menuntut
tingkat kegiatan pemikiran formal yang rendah, sedangkan pertimbangan
11
moral tahap lima dan enam menuntut tingkat kegiatan pemikiran formal
yang tinggi.
Adapun istilah perkembangan moral (Kohlberg, 1995) merupakan
suatu hasil kemampuan yang semakin berkembang untuk memahami
kenyataan sosial atau untuk menyusun dan mengintegrasikan pengalaman
sosial. Pada perkembangan moral, Kohlberg (1995) menyajikan suatu
rangkaian tetap dengan tahap yang lebih tinggi, secara struktural lebih
memadai dari tahap-tahap sebelumnya. Kohlberg (1995) menganggap
tahap-tahap lebih tinggi sebagai lebih bermoral daripada tahap-tahap lebih
rendah.
Sehingga dapat disimpulkan bahwa walaupun tahap perkembangan
kognitif pada usia dewasa dengan usia remaja sama, yakni tahap
operasional formal, namun pada usia dewasa awal sekalipun yang
memiliki perkembangan kognitif operasional formal akan lebih sistematis
dan terampil dibandingkan perkembangan kognitif pada individu yang
berusia remaja. Ketika individu memiliki tahap kognitif yang lebih baik,
yakni tahap operasional formal memungkinkan individu memiliki
pertimbangan moral yang lebih baik, dimana semakin tinggi pertimbangan
moral dalam tahap perkembangan moral, maka individu semakin bermoral.
12
D. Hubungan antara Perkembangan Moral dengan Perilaku Prososial
pada Dewasa Awal
Perkembangan moral (Kohlberg, 1995) merupakan suatu hasil
kemampuan yang semakin berkembang untuk memahami kenyataan sosial
atau untuk menyusun dan mengintegrasikan pengalaman sosial.
Perkembangan moral menurut Kohlberg (1995) memiliki tiga
tingkat yang mana masing-masing tingkat terdapat dua tahap, sehingga
ada enam tahap perkembangan moral. Tahap-tahap perkembangan moral
menurut Kohlberg (1995) yang akan dijadikan sebagai dasar pembuatan
alat ukur, pada tingkat pertama yaitu tingkat prakonvensional, dibagi
menjadi dua tahap, yakni satu orientasi pada hukuman dan kepatuhan,
tahap dua orientasi relativis-instrumental; tingkat ke-dua yakni
konvensional, dibagi menjadi dua tahap, yakni tahap tiga orinetasi
kesepakatan antara pribadi atau orientasi “anak manis”, tahap empat
orientasi pada hukum dan ketertiban; tingkat ke-tiga yakni pasca-
konvensional yang dibagi menjadi dua tahap, yakni pada tahap lima
orientasi pada kontrak sosial legalistis, serta tahap enam orientasi prinsip
etika universal.
Kohlberg, Piaget, Eisenberg (Eisenberg dan Mussen, 1989)
mengatakan bahwa cara berpikir tentang isu-isu moral, konsep yang
mendasari keputusan moral, dan perubahan usia kematangan kognitif
mendasari perilaku prososial seseorang. Salah satu penelitian mengenai
hubungan antara penalaran moral dengan perilaku prososial pada remaja
13
oleh Lestari (2015), didapatkan hasil yang signifikan bahwa ada hubungan
antara penalaran moral dengan perilaku prososial pada remaja, dengan
artian semakin tinggi penalaran moral, semakin tinggi juga perilaku
prososial pada remaja.
Berdasarkan Eisenberg dan Mussen (1989), perkembangan moral
mempengaruhi kecenderungan hati seseorang untuk bertindak secara
prososial, dan rendahnya tingkat perkembangan moral akan menimbulkan
kenakalan, ketidak jujuran. Eisenberg dan Mussen (1989) mengatakan
bahwa rendahnya tingkat perkembangan moral mungkin berkorelasi positif
dengan tindakan prososial yang dimotivasi oleh kekhawatiran dari diri
sendiri, misalnya seseorang membantu karena mengharapkan hadiah,
cenderung ingin dipandang, adanya kondisi situasional yang
mengakibatkan seseorang tidak sadar melakukan tindakan prososial,
seperti membantu mengambil benda yang jatuh.
Perilaku prososial menurut Eisenberg & Mussen (1989) bahwa
perilaku prososial didefinisikan sebagai adanya konsekuensi bagi
penolong untuk orang lain, dilakukan secara sukarela, dan bukan dibawah
paksaan; tindakan prososial ditujukan untuk memberikan konsekuensi
positif bagi orang lain yang menerima pertolongan, dan ada beberapa
alasan seseorang untuk melakukan perilaku prososial.
14
E. Kerangka Berpikir
Kerangka berpikir menjelaskan mengenai alur penelitian yang akan
digunakan oleh peneliti dalam judul “Hubungan Perkembangan Moral
dengan Perilaku Prososial pada Dewasa Awal”.
Berikut ini merupakan kerangka berpikir yang dapat dirangkum
sebagai berikut :
Gambar 2.1.
Berdasarkan Gambar 2.1, perkembangan moral merupakan variabel
bebas, perilaku prososial merupakan variabel terikat. Tujuan dari
penelitian ini adalah peneliti ingin mengetahui apakah ada hubungan atau
tidak ada hubungan antara perkembangan moral dengan perilaku prososial.
F. Hipotesis Penelitian
1. Hipotesis Alternatif (Ha)
“Ada hubungan antara perkembangan moral dengan perilaku prososial
pada dewasa awal”.
2. Hipotesis Nihil (Ho)
“Tidak ada hubungan antara perkembangan moral dengan perilaku
prososial pada dewasa awal”.
Perkembangan
Moral
Perilaku Prososial
15