bab ii tinjauan pustaka 2.1 tanaman salam 2.1.1 ... ii.pdf · proses ekstraksi berhenti ketika...

12
5 BAB II TINJAUAN PUSTAKA 2.1 Tanaman Salam 2.1.1 Klasifikasi Tanaman Berdasarkan taksonomi, klasifikasi tanaman salam adalah sebagai berikut: Kingdom : Plantae Divisi : Spermatophyta Sub Divisi : Angiospermae Kelas : Dicotyledoneae Sub Kelas : Dialypetalae Bangsa : Myrtales Suku : Myrtaceae Marga : Syzygium Jenis : Syzygium polyanthum Wight (Tjitrosoepomo, 1988). 2.1.2 Deskripsi Tanaman Tinggi pohon mencapai 25 m, batang bulat, permukaan licin, bertajuk rimbun dan berakar tunggang. Daun salam berupa warna kecoklatan, bau aromatik lemah, rasa kelat. Daun tunggal bertangkai pendek, panjang tangkai daun 5-10 mm. helai daun berbentuk jorong memanjang, panjang 7-15 cm; ujung daun dan pangkal daun meruncing, tepi rata; permukaan atas berwarna cokelat kehijauan, licin, mengkilat; permukaan bawah berwarna coklat tua; tulang daun menyirip,

Upload: vuliem

Post on 03-Feb-2018

228 views

Category:

Documents


1 download

TRANSCRIPT

5

BAB II

TINJAUAN PUSTAKA

2.1 Tanaman Salam

2.1.1 Klasifikasi Tanaman

Berdasarkan taksonomi, klasifikasi tanaman salam adalah sebagai berikut:

Kingdom : Plantae

Divisi : Spermatophyta

Sub Divisi : Angiospermae

Kelas : Dicotyledoneae

Sub Kelas : Dialypetalae

Bangsa : Myrtales

Suku : Myrtaceae

Marga : Syzygium

Jenis : Syzygium polyanthum Wight

(Tjitrosoepomo, 1988).

2.1.2 Deskripsi Tanaman

Tinggi pohon mencapai 25 m, batang bulat, permukaan licin, bertajuk

rimbun dan berakar tunggang. Daun salam berupa warna kecoklatan, bau aromatik

lemah, rasa kelat. Daun tunggal bertangkai pendek, panjang tangkai daun 5-10

mm. helai daun berbentuk jorong memanjang, panjang 7-15 cm; ujung daun dan

pangkal daun meruncing, tepi rata; permukaan atas berwarna cokelat kehijauan,

licin, mengkilat; permukaan bawah berwarna coklat tua; tulang daun menyirip,

6

dan menonjol pada permukaan bawah dan tulang cabang halus. Bunga majemuk

tersusun dalam malai yang keluar dari ujung ranting, berwarna putih, baunya

harum, Biji bulat, diameter sekitar 1 cm berwarna cokelat. Buahnya buah buni,

bulat berdiameter 8-9 mm, buah muda berwarna hijau, setalah masak menjadi

merah gelap, rasa agak sepat (DepkesRI, 2008; Dalimartha, 2000). Tanaman,

simplisia kering, daun, bunga dan buah salam dapat dilihat pada gambar 2.1.

Gambar 2.1 Gambar tanaman salam (A), simplisia kering daun salam (B), daun

salam (C), bunga tanaman salam (D), dan buah tanaman salam (E)

(Arum, 2014).

2.1.3 Kandungan Kimia

Tanaman salam (Syzygium polyanthum Wight) mengandung banyak

senyawa. Bagian tanaman salam yang paling banyak dimanfaatkan adalah bagian

7

daunnya. Daun salam mengandung tanin, minyak atsiri (salamol dan eugenol),

flavonoid (kuersetin, kuersitrin, mirsetin dan mirsitrin), seskuiterpen, triterpenoid,

fenol, steroid, sitral, lakton, saponin dan karbohidrat (Fitri, 2007). Kandungan

tanaman salam lainnya adalah saponin, polifenol dan alkaloid (Adrianto, 2012).

Uji fitokimia dari daun salam menunjukkan adanya beberapa senyawa metabolit

sekunder yaitu fenolik, dan kumarin (Hermansyah, 2008).

2.1.4 Khasiat dan Kegunaan

Daun salam efektif menurunkan kadar gula darah, menurunkan tekanan

darah, menurunkan kadar kolesterol darah, menurunkan kadar asam urat,

mengobati sakit maag (gastritis), gatal-gatal (pruritis), kudis (scabies), dan eksim

(Enda, 2009).

Minyak atsiri yang terkandung dalam daun salam yaitu sitral dan eugenol

berfungsi sebagai anestetik dan antiseptik (Adrianto, 2012). Flavonoid dalam

daun salam memiliki efek antimikroba, antiinflamasi, merangsang pembentukkan

kolagen, melindungi pembuluh darah, antioksidan dan antikarsinogenik (Sabir,

2003).

2.2 Kuersitrin

Kuersitrin adalah senyawa pembanding (marker) yang digunakan dalam

identifikasi komponen kimia daun salam (Depkes RI, 2008). Kuersitrin adalah

senyawa metabolit sekunder dan secara kimia termasuk golongan flavonoid

flavonol O-glikosida. Kuersitrin memiliki nama lain kuersetin 3-O-rhamnosida

dengan rumus molekul C21H20O11 dan berat molekul 448,38 (Harborne et al.,

8

1999). Memiliki nilai nilai Rf ± 0,65 dengan menggunakan sistem fase gerak etil

asetat P-asam format P-asam asetat P- air (10:0,5:0,5:1) dan fase diam silika gel

60 GF254 (Depkes RI, 2008). Kuersitrin biasanya tersebar luas pada kulit batang

Quercus tinctoria (Fagaceae) dan dalam Polygonum spp. (Polygonaceae)

(Harborne et al., 1999). Struktur kuersitrin dapat dilihat gambar 2.2 dan pola

kromatografi lapis tipis ekstrak etanol daun salam dapat dilihat pada gambar 2.3.

Gambar 2.2 Struktur kimia kuersitrin (Depkes RI, 2008)

Gambar 2.3 Pola Kromatografi Lapis Tipis larutan uji ekstrak etanol daun salam

(S), larutan pembanding kuersitrin (P), dan senyawa yang diduga

sebagai kuersitrin (K) dengan nilai Rf 0,65 dengan menggunakan

sistem fase gerak etil asetat P-asam format P-asam asetat P- air

(10:0,5:0,5:1) dan fase diam silika gel 60 GF254 (Depkes RI, 2008).

9

2.3 Metode Ekstraksi

Ekstraksi adalah suatu cara penarikan kandungan kimia yang dapat larut

sehingga terpisah dari bahan yang tidak dapat larut dengan pelarut cair. Prinsip

ekstraksi adalah melarutkan senyawa polar dalam pelarut polar dan senyawa non

polar dalam senyawa non polar (like dissolves likes). Pada ekstraksi diharapkan

terjadinya kesetimbangan antara linarut dan pelarut. Kecepatan untuk mencapai

kesetimbangan umumnya tergantung pada suhu, pH, ukuran partikel dan gerakan

partikel. Secara umum ekstraksi dapat dilakukan dengan metode maserasi,

perkolasi, refluks dan sokletasi. Masing-masing metode tersebut memiliki

keuntungan dan kerugian yang dapat disesuaikan menurut kebutuhan ekstraksi

yang akan dilakukan (Depkes RI, 2000).

2.3.1 Maserasi

Metode maserasi dilakukan dengan merendam serbuk simplisia dengan

pelarut yang sesuai dan ditempatkan dalam wadah tertutup serta dibiarkan pada

suhu kamar (Handa, 2008). Proses ekstraksi berhenti ketika terjadi kesetimbangan

antara konsentrasi metabolit dalam pelarut dan serbuk simplisia. Keuntungan dari

metode ini adalah penggunaan peralatan yang sederhana dan mudah diperoleh

serta pengerjaannya yang mudah (Seidel, 2006).

2.3.2 Metode Ekstraksi dengan Sonikasi

Metode ekstraksi sonikasi memanfaatkan gelombang ultrasonik yang dapat

mempercepat waktu kontak antara sampel dan pelarut meskipun pada suhu ruang.

Hal ini menyebabkan proses perpindahan massa senyawa dari dalam sel tanaman

ke pelarut menjadi lebih cepat. Sonikasi mengandalkan energi gelombang yang

10

menyebabkan proses kavitasi, yaitu proses pembentukan gelembung-gelembung

kecil akibat adanya transmisi gelombang ultrasonik untuk membantu difusi

pelarut ke dalam dinding sel tanaman (Ashley et al. 2001).

2.4 Kromatografi Fingerprint

Kromatogram fingerprint dari suatu produk herbal adalah suatu bentuk

kromatografi dari senyawa aktif dan juga zat kimia lain yang terkandung dalam

produk herbal tersebut. Profil kromatografi tersebut harus mengandung beberapa

informasi penting tentang produk herbal tersebut seperti kejelasan, kesamaan, atau

perbedaan dengan senyawa pembanding dari produk herbal yang diteliti

(MacLennan et al., 2002).

Kromatografi fingerprint adalah metode yang digunakan untuk identifikasi

dan kuantifikasi komponen aktif dalam bahan tanaman herbal. Namun, banyaknya

komponen kimia yang terdapat pada tanaman obat memungkinkan sulitnya untuk

menjamin keamanan, kendali mutu, dan konsistensi produknya dibandingkan

dengan obat sintetis (Palanisamy and Natesan, 2012).

Kromatografi fingerprint mencirikan pola kimia yang terdiri dari puncak-

puncak yang menyajikan komposisi yang unik dari suatu sampel dalam

kromatogram, dengan memanfaatkan semua komponen kimia yang terdeteksi oleh

instrumen untuk dianalisis. Hal ini juga ditetapkan bahwa sampel dengan pola

kimia yang sama mungkin memiliki sifat yang mirip (Luo et al., 2003). Syarat-

syarat suatu fingerprint adalah kompak, reprodusible, serta repeatable. Beberapa

metode kromatografi seperti kromatografi cair kinerja tinggi (KCKT),

11

kromatografi gas, elektroforesis kapiler, dan kromatografi lapis tipis (KLT) dapat

digunakan untuk analisis fingerprint (Liang et al., 2004).

2.4.1 Fingerprint Kromatografi Lapis Tipis Spektrofotodensitometri

Kromatografi fingerprint dapat diperoleh dengan metode KLT-

Spektrofotodensitometri. Prinsip KLT yaitu pemisahan campuran karena adanya

pergerakan fase gerak melewati permukaan datar, komponen-komponen tersebut

akan bermigrasi dengan kecepatan yang berbeda-beda tergantung dari

kelarutannya, adsorpsi, ukuran molekul, muatan dan elusi (Fifield and Kealey,

2000). Identifikasi dari senyawa-senyawa yang terpisah pada lapis tipis diperoleh

dari Rf, yaitu dengan membandingkan jarak yang ditempuh oleh senyawa terlarut

dengan jarak tempuh pelarut (Palleros, 2000).

Spektrofotodensitometri merupakan metode yang umum digunakan untuk

mendapatkan infomasi pada setiap spot pada KLT. Evaluasi plat KLT didasarkan

atas perbedaan pengukuran oleh refleksi sinar dari plat dan senyawa pada spot plat

(Deinstrop, 2007). Detektor akan memberikan respon terhadap konsentrasi analit

dalam spot-spot dari plat setelah pemisahan. Sinyal yang didapat kemudian

diplotkan sebagai sebuah fungsi dari jarak yang ditempuh analit dan konsentrasi

analit dalam spot, sehingga didapatkan suatu rangkaian puncak-puncak yang

disebut kromatogram (Skoog and West, 1980).

2.4.2 Kromatogram dan Spektrum pada KLT Fingerprint

Data fingerprint pada KLT adalah pola puncak kromatogram yang

diperoleh. Pola kromatogram tersebut dapat menentukan tingkat kesamaan sampel

herbal yang dianalisis. Pola kromatogram tersebut merupakan data yang jauh

12

lebih objektif dibandingkan dengan estimasi visual pada KLT. Setiap puncak pada

kromatogram memiliki rasio luas puncak yang berperan penting dalam

fingerprint. Banyak faktor yang mempengaruhi pola kromatogram dan rasio

puncak kromatogram, seperti kondisi analisis dan faktor geografis. Perbedaan

kondisi analisis seperti suhu dan kelembaban akan menghasilkan perbedaan data

fingerprint, meskipun berasal dari sampel yang sama (Feng and Runyi, 2006).

Gambar 2.4 Kromatogram simplisia bunga (Bu), biji (Bj), daun (Dn), dan batang

(Bt) Cannabis Sp. pada variasi metode ekstraksi maserasi (M),

sokletasi (S) dan cairan penyari (Paramita dan Wirasuta, 2013).

Paramita dan Wirasuta (2013) telah melakukan melakukan penelitian

tentang pengaruh metode ekstraksi terhadap fingerprint Cannabis sp. Hasil

penelitian tersebut menunjukkan metode ekstraksi dan jenis pelarut yang

digunakan akan berpengaruh terhadap pola kromatogram yang dihasilkan.

Gambar pola Kromatogram Canabis sp. dapat dilihat pada gambar 2.4.

Setiap senyawa memiliki spektrum yang spesifik. Spektrum merupakan

hubungan yang menunjukkan penyerapan energi pada panjang gelombang UV-

13

visibel untuk menghasilkan transisi elektronik. Senyawa yang mampu menyerap

energi tersebut adalah senyawa yang memiliki ikatan rangkap terkonjugasi.

Spektrum dapat memberikan informasi mengenai identitas suatu senyawa.

Karakteristik spektrum suatu senyawa meliputi panjang gelombang maksimum,

rasio absorbansi dan jumlah puncak yang muncul (Feng and Runyi, 2006).

2.4.3 Parameter Kromatogram

Dalam suatu sistem kromatografi akan diperoleh data berupa kromatogram.

Parameter baik atau tidaknya suatu kromatogram umumnya didasarkan pada

beberapa faktor diantaranya adalah daya pisah atau resolusi (Rs) dan faktor

asimetri atau tailling factor (Tf).

A. Resolusi (Rs)

Tingkat pemisahan komponen dalam suatu campuran dengan metode

kromatografi direfleksikan dalam kromatogram yang dihasilkan. Untuk hasil

pemisahan yang baik, puncak-puncak dalam kromatogram harus terpisah secara

sempurna dari puncak lainnya dengan sedikit tumpang tindih (overlapping) atau

tidak ada tumpang tindih sama sekali. Tingkat pemisahan antara puncak-puncak

kromatografi yang bersebelahan merupakan fungsi jarak antara puncak maksima

dan lebar puncak yang berhubungan. Untuk puncak Gaussian, hal ini cukup

digambarkan dengan resolusi atau daya pisah puncak (Gandjar dan Rohman,

2008).

Rumus untuk menghitung resolusi (Rs) :

Rs=2∆𝑡𝑅

(𝑊1+𝑊2)............................................................................................... (1)

14

Sebagaimana ditunjukkan oleh persamaan (1), resolusi komponen-

komponen dalam kromatografi tergantung pada waktu retensi relatif (tR) atau

jarak tambat (Rf) pada sistem kromatografi dan tergantung pada lebar puncak

(Wb).

B. Faktor Asimetri (Tailling Factor)

Suatu situasi yang menunjukkan kinerja kromatografi yang kurang baik

adalah ketika ditemukan suatu puncak yang mengalami pengekoran (tailing)

sehingga menyebabkan puncak tidak simetris. Jika puncak yang akan

dikuantifikasi tidak simetris (asimetri), maka suatu perhitungan asimetrisitas

merupakan cara yang berguna untuk mengontrol atau mengkarakterisasi sistem

kromatografi. Puncak asimetri muncul karena berbagai faktor. Peningkatan nilai

tailling factor (Tf) akan menyebabkan penurunan resolusi, batas deteksi, dan

presisi. Perhitungan Tailling Factor (Tf) dapat dilihat pada gambar 2.5.

Gambar 2.5 Perhitungan tailling factor (Tf) (Ahuja and Dong, 2005).

15

Dalam kondisi ideal, puncak kromatografi akan memiliki bentuk puncak

Gaussian yaitu puncak simetri sempurna. Pada kenyataannya, sebagian besar

puncak dapat mengalami tailing. Seperti ditunjukkan dalam gambar 2.5, Tailling

factor (Tf) adalah ukuran dari puncak asimetri. Dalam perhitungan ini digunakan

lebar puncak pada ketinggian puncak 5% (W0,05). Tailling factor dengan nilai 1,0

mengindikasikan puncak simetris sempurna. Puncak tailing biasanya disebabkan

oleh adsorpsi atau interaksi kuat lain dari analit dengan fase diamnya (Ahuja and

Dong, 2005).

2.5 Analisis Data

2.5.1 Fungsi Cosinus

Fungsi cosinus ditentukan untuk menyatakan hubungan kedekatan antara

dua vektor dalam hal ini adalah hubungan kedekatan antara dua buah sampel.

Fungsi cosinus ini diterapkan dalam kromatografi fingerprint untuk menentukan

hubungan kedekatan sampel yang satu dengan sampel yang lainnya. Nilai korelasi

antara dua kromatogram dapat dihitung dengan persamaan (2).

𝐶 = 100 𝑥 (𝑎1𝑏1+ 𝑎2𝑏2+ …+ 𝑎𝑛𝑏𝑛 )2

𝑎12+ 𝑎2

2+ … 𝑎𝑛2 𝑥 𝑏1

2+ 𝑏22+ …+ 𝑏𝑛

2 ………………..................……… (2)

Dimana a1, a2, a3, …, an menyatakan besaran/ nilai dari variabel 1 – n untuk

kromatogram a, dan b1, b2, …, bn menyatakan besaran variabel 1 – n untuk

kromatogram b. Fungsi kosinus memiliki keuntungan yaitu mudah memproses

hasil dari perhitungan dan memberikan nilai data tunggal dibandingkan nilai hasil

grafik. Hasil perhitungan fungsi kosinus ini secara langsung akan menunjukkan

hubungan antara suatu sampel dengan sampel yang lainnya (Esseiva et al., 2003).

16

2.5.2 Analisis Data dengan Cross Correlation Function

Dalam membandingkan bentuk spektrum dari tiga daerah asal digunakan

analisis fungsi korelasi silang “cross correlation function”.

Koefisien korelasi r dihitung dengan persamaan (3)

𝑟 = 𝑥𝑖𝑦𝑖

𝑥𝑖2 𝑦𝑖

2……………………………………………………….................. (3)

Dimana xi dan yi adalah harga Absorban Unit dari dua spektrum yang

dibandingkan pada suatu panjang gelombang, penjumlahan dilakukan pada

rentang panjang gelombang yang sesuai dengan analit (Harmita, 2004).

.