bab ii tinjauan pustaka 2.1 frailtyrepository.ub.ac.id/8376/3/5. bab 2.pdfpatofisiologi dari frailty...
TRANSCRIPT
6
BAB II
TINJAUAN PUSTAKA
2.1 Frailty
2.1.1 Definisi
Frailty syndrome (FS) adalah suatu sindroma geriatrik dengan karakteristik
berkurangnya kemampuan fungsional dan gangguan fungsi adaptasi yang
diakibatkan oleh merosotnya berbagai sistem tubuh, serta meningkatnya
kerentanan terhadap berbagai macam tekanan yang menurunkan performa
fungsional seseorang. Rockwood et al. menyatakan bahwa FS adalah suatu
sindroma multidimensi dari hilangnya cadangan (energi, kemampuan fisik,
kesehatan) yang menyebabkan terjadinya kerentanan. Keadaan ini secara umum
meningkat pada orang tua tetapi bukanlah merupakan hal yang tidak terhindarkan
dari proses penuaan (Gessal et al., 2013).
Frailty secara luas digunakan untuk mendeskripsikan sindroma
multidimensional yang menyebabkan kerentanan, kelemahan, instabilitas, serta
limitasi. Gagalnya fungsi homoestasis pada frailty menyebabkan masalah yang
tidak diinginkan terkait kesehatan, termasuk di dalamnya jatuh, fraktur, disabilitas,
institusionalisasi, dan kematian. Secara umum, frailty ditandai dengan
meningkatnya kerentanan terhadap stressor (Evans, 2010).
2.1.2 Epidemiologi
Frailty syndrome terjadi pada 30% populasi di atas usia 80 tahun dan 7%
pada populasi usia di atas 65 tahun. Insiden pada perempuan lebih tinggi oleh
karena perempuan memiliki massa tubuh yang lebih kecil daripada laki-laki
7
sehingga kehilangan massa otot lebih cepat terjadi pada proses aging (Gessal et
al., 2013).
2.1.3 Patogenesis
Frailty ditandai dengan disregulasi multisistem, yang menyebabkan
hilangnya homoestasis dinamis, menurunnya fungsi fisiologis, serta meningkatnya
kerentanan terhadap morbiditas dan mortalitas. Hal tersebut bermanifestasi
sebagai respon maladaptif terhadap stressor, yang mengarah pada penurunan
fungsi dan juga masalah kesehatan yang serius. Proses patofisiologis dalam
patogenesis frailty syndrome mencakup inflamasi kronis dan aktivasi sistem imun,
sistem muskuloskeleteal, serta sistem endokrin. Inflamasi kronis disini berperan
sebagai mekanisme mendasar pada proses patofisiologis. Faktor etiologis
potensial termasuk epigenetik/genetik dan faktor metabolik, lingkungan, stressor
dari gaya hidup, serta penyakit akut dan kronis.
Marker molekuler dari inflamasi kronis dan aktivasi sistem imun dapat
dilihat dari adanya peningkatan level dari interleukin (IL-6). Terdapat peningkatan
pula pada C-reactive protein dan tumor necrosis factor-α (TNF- α). Komponen
seluler dari sistem imun dapat dilihat dari adanya peningkatan sel CD8+/CD28-T
dan juga sel CCR5+ T.
Pada sistem muskuloskeletal, sarkopenia berkontribusi terhadap
patofisiologi dari frailty syndrome. Sarkopenia merupakan hilangnya masa dan
kekuatan otot, yang dapat terjadi secara cepat setelah berusai 50 tahun.
Sarkopenia sendiri disebabkan oleh perubahan pada α-motor neuron karena usia,
atrofi otot, asupan nutrisi yang buruk, produksi hormon pertumbuhan, level dari
androgen, dan juga aktivitas fisik.
Pada sistem endokrin, androgen dan IGF-1 berkaitan dengan disregulasi
dari metabolik otot skeletal. Penurunan kadar estrogen pada perempuan pasca
8
menopause dan penurunan kadar testosteron pada laki-laki usia lanjut
menyebabkan berkurangnya masa otot dan juga kekuatan otot. Kadar hormon
seksual dehydroepiandrosterone sulfate dan IGF-1, sinyal target dari hormon
pertumbuhan, secara signifikan berkurang pada lanjut usia yang mengalami frailty
dari pada yang tidak mengalami frailty (Clegg, 2013).
Dalam penelitian yang dilakukan oleh Savige et al. Di tahun 2011
menyebutkan bahwa banyak penelitian yang membuktikan bahwa asupan energi
menurun dengan seiringnya pertambahan usia (McGandy et al., 1966; Baghurst et
al., 1987; Sjogren et al., 1994; Lowik et al., 1989) yang mana menyebabkan diet
yang seimbang sesuai kebutuhan gizi sulit untuk dicapai. Penurunan BMR (Basal
Metabolic Rate) menjadi salah satu penyebab dari penurunan ini, namun aktifitas
fisik merupakan penyebab utama. Penyakit maupun kurangnya asupan makanan
akan mengarah pada PEM (Protein Energy Malnutrition), sebuah kondisi yang
umum ditemukan pada pasien lansia khususnya pada mereka yang tinggal di
pelayanan kesehatan (Rudman & Feller, 1989; Abbasi & Rudman, 1994). Hal ini
diasosiasikan denggan respon imun yang terganggu (Chandra et al., 1982),
jeleknya penyembuhan luka (Breslow et al., 1993), osteoporosis (Bonjour at al.,
1992), dan menyebabkan risiko jatuh pada lansia (Vellas et al, 1992). Kondisi
ketidakmampuan pada orang lansia bisa disebabkan oleh defisit nutrisi. Kulit yang
menua, detoriorasi fungsi ginjal dan aktivitas fisik kemungkinan besaar disebabkan
oleh defisiensi vitamin D sehingga akan lebih rentan untuk mengalami
osteoporosis.
1.2 Frailty Index
Frailty Index (FI) dikembangkan berdasarkan hasil penelitian Canadian
Study of Health and Aging (CSHA). Sistem ini menggunakan 40 variabel defisit
kesehatan yang meliputi gejala klinis, penyakit, hendaya, dan kelainan
9
pemeriksaan penunjang. Penghitungan indeks FI didapatkan dengan cara
menjumlahkan defisit kesehatan yang semakin banyak defisit yang ditemukan,
maka individu tersebut dikatakan semakin rapuh. Jumlah defisit kesehatan yang
dijumpai dibagi dengan jumlah defisit yang diperhitungkan (indeks frailty = skor
total / 40). Hasil interpretasi dapat bersifat terus menerus (continual), tanpa cut-off
point, atau dapat dilakukan klasifikasi terhadap status sindrom frailty menjadi
fit/robust bila skor ≤0,08, pre-frail bila skor >0,08 - <0,25, dan frail bila skor ≥0,25.
Semua aspek frailty syndrome (fisik, psikologis, dan sosial) tercakup dalam
FI. Menurut de Vries, metode yang paling untuk mengevaluasi luaran frailty
syndrome berdasarkan telaah sistematik dengan pendekataan akumulasi defisit
adalah dengan menggunakan FI. Berbeda dengan Kriteria Fried yang menilai
frailty dari fenotip, frailty index lebih berfokus pada penurunan fungsional
psikososial dan fisik. Sehingga, frailty index menjadi pengukuran yang lebih
meyakinkan dalam menilai penuaan biologis. Keuntungan lain dari
penggunaannya adalah frailty index menggabungkan beberapa macam dari defisit
kesehatan yang mana pengaruhnya dalam kesehatan seseorang atau pun risiko
mortalitasnya terlalu kecil untuk terdeteksi, dan kombinasi dari defisit tersebut
dapat memperkuat penjelasannya. Selain itu, kaitannya dengan predictive powers,
sebagian besar dari komponen frailty index (kecuali penyakit kronis) secara
signifikan memprediksi mortalitas dalam seorang indivisu (Yang dan Gu, 2016).
Namun, FI tidak mudah untuk diterapkan dalam praktik sehari-hari karena
banyaknya item yang harus ditanyakan (Laksmi, 2015). Item yang perlu
ditanyakan pada FI dapat dilihat pada Tabel 2. 1.
Tabel 2.1 Frailty Index 40 Item NO DEFISIT SKOR
0 0,25 0,5 0,75 1
1 Gangguan penglihatan Tidak ada
Ringan Sedang Berat Sangat berat
10
2 Gangguan pendengaran Tidak ada
Ringan Sedang Berat Sangat berat
3 Bantuan untuk makan Mandiri Bantuan minimal
Tergantung total
4 Bantuan untuk berpakaian dan melepas pakaian
Mandiri Bantuan minimal
Tergantung total
5 Kemampuan untuk merawat diri
Mandiri Bantuan minimal
Tergantung total
6 Bantuan untuk berjalan Mandiri Bantuan minimal
Tergantung total
7 Bantuan untuk tidur dan bangun dari tidur
Mandiri Bantuan minimal
Tergantung total
8 Bantuan untuk mandi Mandiri Bantuan minimal
Tergantung total
9 Bantuan untuk pergi ke kamar mandi
Mandiri Bantuan minimal
Tergantung total
10 Bantuan untuk menelepon
Mandiri Bantuan minimal
Tergantung total
11 Bantuan untuk mencapapai tempat-tempat kegiatan
Mandiri Bantuan minimal
Tergantung total
12 Bantuan untuk berbelanja
Mandiri Bantuan minimal
Tergantung total
13 Bantuan untuk mempersiapkan makanan sendiri
Mandiri Bantuan minimal
Tergantung total
14 Bantuan untuk pekerjaan rumah tangga
Mandiri Bantuan minimal
Tergantung total
15 Kemampuan untuk minum obat
Mandiri Bantuan minimal
Tergantung total
16 Kemampuan untuk mengurus keuangan sendiri
Mandiri Bantuan minimal
Tergantung total
17 Anggapan mengenai tingkat kesehatan sendiri
Sangat baik
Baik Sedang Buruk Sangat buruk
18 Kesulitan untuk melakukan aktivitas sehari-hari
Tidak ada
Kesulitan ringan
Kesulitan berat
19 Hidup sendiri Tidak Ya
20 Batuk Tidak Ya
21 Merasa lelah Tidak Ya
22 Hidung tersumbat atau bersin
Tidak Ya
23 Tekanan darah tinggi Tidak Ya
24 Masalah jantung dan peredaran darah
Tidak Ya
25 Stroke atau akibat stroke Tidak Ya
26 Artritis atau rematik Tidak Ya
11
27 Penyakit Parkinson Tidak Ya
28 Masalah mata Tidak Ya
29 Masalah telinga Tidak Ya
30 Masalah gigi Tidak Ya
31 Masalah paru Tidak Ya
32 Masalah lambung Tidak Ya
33 Masalah ginjal Tidak Ya
34 Tidak dapat mengontrol kemih
Tidak Ya
35 Tidak dapat mengontrol BAB
Tidak Ya
36 Diabetes Tidak Ya
37 Masalah dengan kaki atau pergelangan kaki
Tidak Ya
38 Masalah dengan saraf Tidak Ya
39 Maslah kulit Tidak Ya
40 Fraktur Tidak Ya
Sumber: Prosiding Naskah Lengkap Simposium Kopapdi, 2015.
2.3 Pola Makan
Menurut ahli antropologi Margaret Mead, pola makan merupakan cara
seorang individu atau beberapa yang menggunakan pangan yang ada sebagai
cara bertahan dari berbagai tekanan ekonomi dan sosio budaya yang dialaminya.
Kebiasaan makan (food habit) terkait dengan pola makan ini. Faktor seperti
pendidikan, kebiasaan, adat, mau pun agama merupakan faktor yang
memengaruhi aspek sosial budaya pangan. Karbohidrat, protein, lemak, vitamin,
dan mineral merupakan zat gizi utama. Sedangkan serat, glukosa, asam lemak,
asam amino, vitamin larut lemak, dan mineral makro merupakan zat esential
(Yuniastuti, 2008). Kandungan karbohidrat, lemak, dan protein suatu bahan makan
menentukan nilai energi.
2.3.1 Protein
Istilah protein berasal dari kata Yunani proteos, yang berarti utama atau
yang didahulukan. Kata ini diperkenalkan oleh seorang ahli Kimia Belanda,
Gerardus Mulder (1802-1880), karena ia berpendapat bahwa protein adalah zat
yang paling penting dalam setiap organisme. Protein adalah bagian dari semua
12
sel hidup dan merupakan bagian terbesar tubuh sesudah air. Seperlima bagian
tubuh adalah protein, separuhnya ada di dalam otot, seperlima ada di dalam tulang
dan tulang rawan, sepersepuluh dalam kulit, dan selebihnya ada di dalam jaringan
lain dan cairan tubuh. Semua enzim, berbagai hormone, pengangkut zat-zat gizi
dan darah, matriks intraseluler, dan sebagainya adalah protein. Di samping itu
asam amino yang membentuk protein bertindak sebagai precursor sebagian besar
koenzim, hormone, asam nukleat, dan molekul-molekul esensial dalam kehidupan
(Almatsier, 2009).
Berdasarkan sumbernya, protein dapat terbagi menjadi dua, yaitu nabati
dan hewani. Olahan daging, ayam, susu, mau pun telur merupakan sumber protein
hewani. Protein hewani yang didapatkan dari jenis ikan, kerang, dan udang
mengandung sedikit lemak . Terkecuali udang yang memiliki kandungan kolesterol
yang tinggi sehingga tidak baik untuk digunakan dalam diet rendah kolesterol.
Kacang-kacangan dan biji-bijian merupakan sumber protein nabati, akan tetapi
asam amino yang terkandung di dalamnya tidak sebanyak yang terkandung dalam
protein hewani. Untuk melengkapi kandungan protein, penambahan bahan
makanan lain dengan mencampurkan sumber protein lain yang memiliki asam
amino pembatas yang berbeda. Asam amino dari satu protein dapat melengkapi
asam amino dari dari sumber yang lain sehingga gizi yang dihasilkan menjadi lebih
tinggi dari pada protein itu ketika dikonsumsi sendiri (Primasoni, 2010).
Protein memiliki beberapa fungsi, di antaranya sebagai petumbuhan dan
pemeliharaan, pembentukan ikatan-ikatan esensial tubuh, mengatur
keseimbangan air, memelihara netralitas tubuh, pembentukan antibodi,
mengangkat zat-zat gizi, dan sumber energi.
Sebagai pertumbuhan dan pemeliharan, sebelum sel-sel dapat
mensintesis protein baru, harus tersedia semua asam amino esensial yang
diperlukan dan cuku nitrogen atau ikatan amino (NH3) guna pembentukan asam
13
amino nonesensial yang diperlukan. Pertumbuhan atau penambahan otot hanya
mungkin terjadi apabila tersedia cukup campuran asam amino yang sesuai
termasuk untuk pemeliharaan dan perbaikan. Sebagai pembentuk ikatan esensial
tubuh contohnya hormone tiroid, insulin, dan epinefrin. Demikian pula dengan
berbagai enzim. Sebagai pengatur keseimbangan air, protein berperan dalam
menjaga keseimbangan caian di kompartemen intraseluler, interseluler, dan
intravascular dengan melibatkan elektrolit. Sebagai pemelihara netralitas tubuh,
protein bertindak sebagai buffer, yaitu bereaksi dengan asam basa untuk menjaga
pH. Protein memegang peranan esensial dalam mengangkau zat-zat gizi dari
saluran cerna melalui dinding saluran cerna ke dalam darah, dari darah ke
jaringan, dan melalui membrane sel ke dalam sel. Sebagai sumber energi, protein
ekuivalen dengan karbohidrat karena menghasilkan 4 kkal/g protein (Almatsier,
2009)
2.3.2 Karbohidrat
Karbohdrat memegan peranan penting salam alam karena merupakan
sumber energi utama bagi manusia dan hewan yang harganya relative murah.
Semua karbohidrat berasal dari tumbuh-tumbuhan. Di negara sedang berkembang
kurang lebih 80% energi berasal dari karbohidrat. Menurut Neraca Bahan
Makanan 1990 yang dikeluarkan oleh Biro Pusat Statistik, di Indonesia energi
berasal dari karboidrat merupakan 72% jumlah energy rata-rata sehari yang
dikonsumsi oleh penduduk Indonesia. Di negara-negara maju seperti Amerika
Serikat dan Eropa Barat, angka ini lebih rendah, yaitu rata-rata 50% (Almatsier,
2009)
Dalam karbohidrat, terdapat senyawa organik karbon, hidrogen, dan
oksigen. Tubuh manusia dapat membuat karbohidrat sendiri dengan
menggunakan asam amino dan sebagian gliserol lemak. Sumber utama
karbohidrat berasal dari luar, yaitu makanan yang biasa dikonsumsi utamanya
14
yang berasal dari tumbuhan, walau pun tubuh manusia bisa menghasilkan
karbohidrat sendiri yang berasal dari beberapa asam amino dan gliserol lemak.
Namun demikian, sumber karbohidrat yang berbentuk glikogen hanya dapat
ditemukan pada otot dan karbohidrat berbentuk laktosa hanya dapat ditemukan
pada susu.
Karbohidrat memiliki beberapa fungsi dalam tubuh manusia. Satu gram
karbohidrat yang setara dengan 4 kalori merupakan sumber energi utama bagi
jaringan tubuh. Sebagian dapat langsung digunakan sebagai enersi untuk aktifitas,
sebagian lagi dapat disimpan dalam bentuk glikogen pada hati dan otot. Bersama
lemak, mereka merupakan prioritas utama penyedia enersi tubuh dan jika jumlah
mereka tidak mencukupi, maka tubuh akan menggunakan protein, yang
seharusnya merupakan zat pembangun tubuh, sebagai sumber enersi. Kondisi
demikian akan menyebabkan tubuh mengalami kekurangan enersi dan protein
(KEP) jika dibiarkan dalam keadaan yang lama. Karbohidrat berperan dalam
metabolisme lemak dan protein sehingga mencegah terjadinya ketosis dan
pemecahan protein yang berlebihan. Selain itu, dalam hepar karbohidrat berperan
berfungsi untuk detoksifikasi zat-zat tertentu (Hutagalung, 2004).
2.3.3 Lipida
Istilah lipida meliputi senyawa-senyawa heterogen, termasuk lemak dan
minyak yang dikenal dalam makanan, malam, fosfolipida, sterol, dan ikatan lain
yang sejenis yang terdapat di dalam tubuh manusia. Lipida mempunyai sifat yang
sama, yaitu larut dalam pelarut nonpolar, seperti etanol, eter, kloroform, dan
benzene (Almatsier, 2009).
Klasifikasi lipida yang penting dalam ilmu gizi menurut komposisi kimia
dapat dilakukan sebagai berikut.
a. Lipida sederhana
1. Lemak netral
15
Monogliserida, digliserida, dan trigliserida (ester asam lemak
dengan gliserol)
2. Ester asam lemak dengan alcohol berberat molekul tinggi
a. Malam
b. Ester sterol
c. Ester nonsterol
d. Ester vitamin A dan ester vitamin D
b. Lipida Majemuk (compound lipids)
1. Fosfolipida
2. Lipoprotei
c. Lipida Turunan (derived lipids)
1. Asam lemak
2. Sterol
3. Kolesterol an ergosterol
4. Hormon steroida
5. Vitamin D
6. Garam Empedu
d. Lain-lain.
a. Karetenoid dan vitamin A
b. Vitamin E
c. Vitamin K
Tubuh manusia dan hewan menggunakan lemak sebagai simpanan enersi.
Lemak digolongkan menjadi:
1. Lemak dalam tubuh, yaitu lipoprotein (mengandung trigliserida, fosfolipid, dan
kolesterol)
16
2. Lemak yang terdapat dalam bahan pangan dan dapat digunakan oleh tubuh
manusia, yaitu trigliserida, asam lemak jenuh, asam lemak tak jenuh, asam
lemak jenuh, fosfolipid, dan kolesterol.
Lemak mempunyai beberapa fungsi, dalam bahan pangan tiap satu gram
lemak yang setara dengan 9 – 9,3 kkal berfungsi sebagai sumber enersi tubuh.
Lemak memiliki waktu pencernaan yang lebih lama sehingga menimbulkan rasa
kenyang yang lebih lama. Dalam tubuh, lemak berfungsi sebagai bahan
pembentuk atau pembangun susunan tubuh, sebagai pelindung tubuh dari
kehilangan panas yang berlebihan, sebagai penghasil atau sumber lemak
esensial, sebagai pelarut beberapa vitamin yaitu A, D, E, dan K, dalam persendian
berfungsi sebagai pelicin serta pengemulsi sehingga transpor substansi lemak
akan mudah, dan juga lemak berperan sebagai prekursor prostaglandin yang
bertugas untuk mengatur denyut jantung, tekanan darah, dan lipolisis (Yuniastuti,
2008).
2.3.4 Vitamin
Vitamin merupakan zat organik kompleks yang tidak dapat tubuh sintesis
sendiri namun dibutuhkan tubuh walau dalam jumlah yang kecil untuk fungsi
metabolik tubuh. Maka dari itu, makanan merupakan satu-satunya sumber
vitamin. Dalam tubuh, tiap jenis vitamin mempunyai tugas spesifik sendiri
(Yuniastuti, 2008). Vitamin termasuk dalam kelompok zat pengatur pertumbuhan
dan pemeliharaan kehidupan. Tiap vitamin mempunyai tugas spesifik di dalam
tubuh. Vitamin merupakan zat organik maka vitamin dapat rusak karena
penyimpanan dan pengolahan.
Vitamin berperan dalam beberapa tahap reaksi metabolisme energi,
pertumbuhan, dan pemeliharaan tubuh. Pada umumnya, sebagai koenzim stsu
sebagai bagian dari enzim. Sebagian besa koenzim terdapat dalam bentuk
apoenzim, yaitu vitamin yang terikat dengan protein (Almatsier, 2009)
17
2.3.5 Mineral
Mineral merupakan bahan organik yang didapatkan dari pangan nabati
mau pun hewani. Sumber paling baik mineral adalah makanan hewani, kcuali
magnesium yang lebih banyak terdapat di jaringan tubuhnya. Di samping itu,
mineral berasal dari makanan hewani mempunyai ketersediaan biologis lebih
tinggi daripada yang berasal dari makanan nabati. Makanan hewani mengandung
lebih sedikit bahan-pengikat-mineral daripada makanan nabati. Mineral
digolongkan menjadi ke dalam mineral makro dan mineral mikro. Mineral makro
adalah mineral yang dibutuhkan tubuh dalam jumlah lebih dari seratus mg sehari,
sedangkan mineral mikro dibutuhkan kurang dari 15 mg sehari.
Mineral mempunya beberapa fungsi, antara lain menjaga keseimbangan
kadar asam dan basa dalam tubuh, sebagai katalisator reaksi yang berkaitan
dengan katabolisme karbohidrat, lemak, dan protein, sekaligus metabolisme lemak
dan protein tubuh. Mineral membantu menjaga keseimbangan tubuh sebagai
hormon, membantu dalam pengiriman isyarat ke seluruh tubuh, sebagai bagian
dari dairan usus, dan juga membantu dalam pertumbuhan dan pemeliharaan
tulang, gigi, dan jaringan lain (Yuniastuti, 2008).