bab ii pengaturan perjanjian bagihasil atas tanah...

39
16 BAB II PENGATURAN PERJANJIAN BAGIHASIL ATAS TANAH PERTANIAN A. Tinjauan Umum Tentang Perjanjian 1. Pengertian perjanjian Secara Umum Pengertian Perjanjian Secara Umum adapun yang dimaksud dengan perikatan adalah suatu perhubungan hukum antara dua orang atau dua pihak, berdasarkan mana pihak yang satu berhak menuntut sesuatu hal dari pihak yang lain, dan pihak yang lain berkewajiban untuk memenuhi tuntutan itu. Menurut R. Subekti mendefisikan perjanjian suatu peristiwa dimana seseorang berjanji untuk melaksanakan sesuatu hal. 13 Menurut Mariam darus perjanjian atau perikatan adalah suatu hubungan yang terjadi antara dua orang atau lebih, yang terletak dalam bidang harta kekayaan, dengan mana pihak yang satu berhak atas prestasi dan pihak lainnya wadib memenuhi prestasi itu. 14 Menurut wirjono prodjodikoro mengemukakan bahwa perjanjian adalah suatu perhubungan hukum mengenai harta benda antara dua pihak, dalam mana satu pihak berjanji atau dianggap berjanji untuk melakukan sesuatu hal sedang pihak lain berhak menuntut pelaksanaan janji itu. 15 13 R. Subekti.1994. Hukum Perjanjian. Jakarta. Intermasa. Hal 1 14 Mariam Darus Badrulzaman. 1994. Aneka Hukum Bisnis. Bandung. Alumni. Hal 3 15 Wirjono Prodjodikoro. 1982. Hukum Perdata Tentang Persetujuan-persetujuan tertentu. Bandung;sumur. Hal 7

Upload: dangliem

Post on 30-Jun-2019

217 views

Category:

Documents


0 download

TRANSCRIPT

16

BAB II

PENGATURAN PERJANJIAN BAGIHASIL ATAS TANAH PERTANIAN

A. Tinjauan Umum Tentang Perjanjian

1. Pengertian perjanjian Secara Umum

Pengertian Perjanjian Secara Umum adapun yang dimaksud

dengan perikatan adalah suatu perhubungan hukum antara dua orang atau

dua pihak, berdasarkan mana pihak yang satu berhak menuntut sesuatu

hal dari pihak yang lain, dan pihak yang lain berkewajiban untuk

memenuhi tuntutan itu.

Menurut R. Subekti mendefisikan perjanjian suatu peristiwa

dimana seseorang berjanji untuk melaksanakan sesuatu hal.13

Menurut Mariam darus perjanjian atau perikatan adalah suatu

hubungan yang terjadi antara dua orang atau lebih, yang terletak dalam

bidang harta kekayaan, dengan mana pihak yang satu berhak atas prestasi

dan pihak lainnya wadib memenuhi prestasi itu.14

Menurut wirjono prodjodikoro mengemukakan bahwa perjanjian

adalah suatu perhubungan hukum mengenai harta benda antara dua

pihak, dalam mana satu pihak berjanji atau dianggap berjanji untuk

melakukan sesuatu hal sedang pihak lain berhak menuntut pelaksanaan

janji itu.15

13 R. Subekti.1994. Hukum Perjanjian. Jakarta. Intermasa. Hal 1 14 Mariam Darus Badrulzaman. 1994. Aneka Hukum Bisnis. Bandung. Alumni. Hal 3 15 Wirjono Prodjodikoro. 1982. Hukum Perdata Tentang Persetujuan-persetujuan tertentu. Bandung;sumur. Hal 7

17

Menurut Abdulkadir Muhammad bahwa “perikata adalah hal-hal

yang mengikat orang yang satu terhadap orang lain”. Hal yang mengikat

itu menurut kenyataan dapat berupa perbuatan, misalnya jual beli barang,

dapat berupa peristiwa tertentu seperti lahirnya seorang bayi dan dapat

pula berupa persetujuan jasa tertentu. Karena hal yang mengikat itu

selalu ada dalam kehidupan bermasyarakat, maka oleh pembentuk

undang-undang dan masyarakat diakui dan diberi akibat hukum. Dengan

demikian perikatan yang terjadi antara orang yang satu dengan yang lain

disebut hubungan hukum.16

Dengan memperhatikan beberapa pengertian perjanjian diatas

terlihat bahwa perjanjian selalu melahirkan hak dan kewajiban. Karena

perjanjian merupakan perbuatan hukum yang dilakukan oleh subyek

hukum yang menimbulkan akibat hukum. Hal tersebut tidak timbul

dengan sendrinya, tetapi karena adanya tindakan hukum dari subyek

hukum sebagai pendukung hak dan kewajiban.

Setiap mengadakan hukum harus ada kesepakatan antara kedua

belah pihak. Jika kesepakatan itu tidak tercapai, maka dalam hal ini, R.

subekti mengemukakan bahwa, yang mengadakan perjanjian harus setuju

mengenai hal-hal yang pokok, apa yang dikehendaki oleh pihak yang

satu juga dikehendaki oleh yang lain secara timbal balik.

Pengertian Perjanjian Secara Umum adapun yang dimaksud

dengan perikatan adalah suatu perhubungan hukum antara dua orang atau

16 Abdulkadir Muhammad. 1982. Hukum perikatan. Bandung;alumni. Hal 5

18

dua pihak, berdasarkan mana pihak yang satu berhak menuntut sesuatu

hal dari pihak yang lain, dan pihak yang lain berkewajiban untuk

memenuhi tuntutan itu.

Perjanjian adalah sumber penting yang melahirkan perikatan.

Pengertian perjanjian diatur dalam pasal 1313 KUH Perdata yaitu

“perjanjian atau persetujuan adalah sumber perbuatan hukum dimana

seseorang atau lebih mengikatkan dirinya terhadap seseorang atau lebih.

Atau juga dapat diartikan suatu peristiwa dimana seseorang berjanji

kepada seseorang lain, atau dimana dua orang saling berjanji untuk

melaksanakan sesuatu.17

Perjanjian tersebut menerbitkan perikatan, oleh karena itu

perjanjian merupakan sumber terpenting yang melahirkan perikatan.

Dalam bentuknya perjanjian itu berupa rangkaian kata-kata yang

mengandung janji-jani atau kesanggupan yang diucapkan atau ditulis.

Definisi perjanjian telah diatur dalam Kitab Undang-Undang

Hukum Perdata (KUH Perdata) Pasal 1313, yaitu bahwa perjanjian atau

persetujuan adalah suatu perbuatan dengan mana satu orang atau lebih

mengikatkan dirinya terhadap satu orang lain atau lebih.

2. Syarat Sahnya Perjanjian Menurut Undang-Undang Hukum Perdata

Suatu perjanjian dapat dikatakan sah apabila telah memenuhi

syarat yang terdapat pada pasal 1320 KUHPerdata yang menyatakan

bahwa sahnya suatu perjanjian diperlukan 4(empat) syarat yaitu:

17 Komariah, SH, M.Si. 2010. Hukum Perdata. Malang. Penerbit UPT UMM. Hal 169

19

1. Sepakat mereka yang mengikatkan diri

2. Kecakapan untuk membuat suatu perjanjian

3. Suatu hal tertentu

4. Suatu sebab yang halal

Pernyataan sepakat mereka yang mengikat diri dan kecakapan

untuk membuat suatu perjanjian digolongkan ke dalam syarat subyektif

karena berkenaan dengan kapasitas orang yang mengadakan perjanjian,

sedangkan syarat tentang suatu hal tertentu dan sebab yang halal di

golongkan ke dalam syarat obyektif karena menyangkut objek perjanjian.

Keempat syarat diatas merupakan syarat liminatif dalam suatu

perjanjian, syarat tersebut harus terpenuhisehingga perjanjian yang dibuat

oleh para pihak dapat dikatakan sah dan mempunyai kekuatan mengikat,

jika salah satu syarat tersebut tidak terpenuhi, maka perjanjian tersebut

dapat berakibat batal (nietig) atau dapat dibatalkan .

Menurut R.Subekti mengatakan apabila tidak dipenuhinya syarat-

syarat pertama dan kedua, maka perjanjian tersebut dapat dimintakan

pembatalanya kepada hakim, sedangkan apabila tidak dipenuhnya syarat

ketiga dan keempat maka perjanjian tersebut batal demi hukum.18

Dengan demikian bila ada kepincangan kata sepakat dalam

perjanjian, maka dapat dimintakan pembatalan melalui hakim di

pengadilan. Selama pembatalan itu tidak diminta oleh pihak yang

bersangkutan, perjanjian tetap berlaku. Hal ini ditegaskan dalam pasal

18 R. Subekti.1994. Hukum Perjanjian. Jakarta. Intermasa. Hal 20

20

1449 KUHPerdata yang menyebutkan.”perjanjian-perjanjian yang dibuat

dengan paksaan, kehilafan atau penipuan, menerbitkan hak tuntutan

untuk membatalkanya.

3. Unsur-Unsur Perjanjian

Suatu perjanjian adalah suatu perbuatan dengan mana satu orang

atau lebih mengikatkan dirinya terhadap satu orang lain atau lebih (Pasal

1313 BW). Pengertian perjanjian ini mengandung unsur :

a. Perbuatan

Penggunaan kata “Perbuatan” pada perumusan tentang

Perjanjian ini lebih tepat jika diganti dengan kata perbuatan hukum

atau tindakan hukum, karena perbuatan tersebut membawa akibat

hukum bagi para pihak yang memperjanjikan;

b. Satu orang atau lebih terhadap satu orang lain atau lebih,

Untuk adanya suatu perjanjian, paling sedikit harus ada dua

pihak yang saling berhadap-hadapan dan saling memberikan

pernyataan yang cocok satu sama lain. Pihak tersebut adalah orang

atau badan hukum.

c. Mengikatkan dirinya,

Di dalam perjanjian terdapat unsur janji yang diberikan

oleh pihak yang satu kepada pihak yang lain. Dalam perjanjian ini

orang terikat kepada akibat hukum yang muncul karena

kehendaknya sendiri.

21

Salah satu sendi yang terpenting dari hukum perjanjian

adalah semua perjanjian harus dilaksanakan dengan itikad baik,

sebagaimana diatur dalam pasal 1339 KUHPerdata yang

menyebutka “persetujuan tidak hanya mengikat apa yang dengan

tegas ditentukan didalamnya, melainkan juga untuk segala sesuatu

yang menurut sifatnya bahwa dalam setiap persetujuan dituntut

berdasarkan keadilan, kebiasaan atau Undang-undang.

4. Asas-Asas Perjanjian

Selanjutnya dalam proses pembentukan dan pelaksanaan

perjanjian, secara prinsip harus berpedoman pada asas-asas tertentu yaitu:

(1) asas kebebasan mengadakan perjanjian (partij otonomi), (2) asas

konsensualisme (persesuaian kehendak), (3) asas kepercayaan, (4) asas

kekuatan mengikat, (5) asas persamaan hak, (6) asas keseimbangan, (7)

asas kepastian hukum, (8) asas moral, (9) asa kepatutan, (10) asas

kebiasaan.19

Asas kebebasan mengadakan perjanjian (partij otonomi) dimana

para pihak sepakat untuk mengikatkan dirinya dalam suatu perjanjian.

Dan asa ini merupakan hal yang sangat esensial dalam suatu perjanjian,

sehingga dapat disebut sebagai asas partij otonomi.20

Asas konsensualisme (persesuaian kehendak) yaitu asas kebebasan

mengadakan perjanjian. Asas ini dapat ditemukan dalam pasal 1338 ayat

(1) KUHPerdata disebutkan bahwa semuapersetujuan yang dibuat secara

19 Mariam darus badrulzaman.1960. asas-asas hukum perjanjian. Sumur. Bandung. Hal 42 20 Ibid

22

sah berlaku sebagai Undang-undang bagi mereka yang membuatnya.

Namun terhadap asas kebebasan berkontrak dibatasi oleh pasal 1337

KUHPerdata yang menyatakan bahwa “suatu sebab adalah terlarang, jika

sebab itu dilarang oleh undang-undang atau bila sebab itu bertentangan

dengan kesusilaan atau dengan ketertiban umum”.

Asas kepercayaan, dapat diartikan bahwa seseorang yang

mengadakan perjanjian dengan pihak lain harus mampu menumbuhkan

rasa kepercayaanya diantara kedua belah pihak, maka akan memenuhi

prestasi di kemudian hari.

Asas kekuatan mengikat , dimana para pihak tidak hanya semata-

mata terikat kepada apa yang diperjanjiakan saja, tetapi terkait terhadap

unsur lain, seperti moral, kepatuhan dan kebiasaan.

Asas persamaan hak, yakni kewajiban para pihak untuk saling

menghormati, dengan dasar persamaan drajat, tanpa membedakan ras,

suku bangsa, kekayaan, kekuasaan dan lain-lain.

Asas keseimbangan, mengandung arti bahwa kedua belah pihak

harus memenuhi dan melaksanakan perjanjian yang telah disepakati.21

Asas kepatutan, ditemukan dalam pasal 1339 KUHPerdata yang

menyatakan “persetujuan-persetujuan tidak hanya mengikat untuk hal-hal

yang secara tegas dinyatakan didalamnya, tetapi juga untuk segala

sesuatu yang menurut sifatn perjanjian itu diharuskanoleh kepatutan,

kebiasaan atau undang-undang.

21 Ibid

23

Asas kepastian hukum yaitu suatu perjanjian yang mengandung

unsur kepastian, karena apa yang diperjanjikan merupakan hukum bagi

mereka yang mengikatkan diri.

Asas moral, terlihat dalam perikatan wajar, yaitu suatu perbuatan

sukrela dari seseorang dengan tidak menimbulkan hak baginya untuk

menggugat kontrprestasi pihak lain. Dengan kata lain tidak ada paksaan

dalam mengikatkan diri.

Kemudian dalam pasal 1338 KUHPerdata disebutkan bahwa

semua persetujuan yang dibuat secara sah berlaku sebagai undang-

undang bagi mereka yang membuatnya. Suatu perjanjian dinyatakan

mengikat, apabila telah ada kata sepakat mengenai sesuatu hal tertentu.

Sejak saat itulah lahirnya hubungan hukum antara para pihak yang

membuatnya dan masing-masing pihak terkait satu sama lain, sekaligus

menimbulkan hak dan kewajiban. Dan perjanjian yang dibuat secara sah

tidak dapat ditarik kembali, apabila ingin ditarik, maka harus dengan

persetujuan kedua belah pihak.

24

B. Tinjauan Umum Perjanjian Bagi Hasil Menurut Undang-Undang Nomor

2 Tahun 1960 Tentang Perjanjian Bagi Hasil Pertanian

1. Pengertian Bagi Hasil

Bagi hasil (deelbouw) merupakan lembaga hukum adat yang

dikenal dalam sistem hukum adat kita dengan berbagai istilah, dimana

disetiap wilayah memiliki istilah tersendiri seperti: maro atau

jejuron(Jawa Barat, Priangan), nyakap (Lombok), mawaih (Aceh),

meperduai (Sumatera Barat), volah pinang (Toba), toyo (Minahasa),

tesang (Sulawesi Selatan), untuk palembang, Scheltema memberikan

istilah “separoan”22 Khusus di Kecamatan Karo, disebut dengan istilah

“pembelahken atau melahi”23

Kata paroan berasal dari kata paruhan, yang berarti pembagihan

hasilnya dari semua produksi atau pendapatan di bagi 50% untuk pemilik

tanah dan 50% untuk penggarap/buruh tani.

Berdasarkan tradisi bagi hasil apabila suatu perjanjian telah

mendapat persetujuan dari kedua belah pihak, berarti sudah mengikat dan

keadaan itu terus berlangsung hingga sekarang, hal ini dikarenakan faktor

ekonomi dan keuangan. Sehingga prinsip yang mengandung asas

pemerataan mulai bergeser kearah kepentingan ekonomi. Pergeseran itu

dapat dilihat pada sistem paroan bagi tiga, paroan bagi lima dan

sebagainya. 22 AMPA. 1985. Bagi Hasil Di Hindia Belanda. Jakarta. Penerbit yayasan obor Indonesia. Hal 56 23 Malem Ginting. Hasil Penelitian Lapang Tentang Perjanjian Bagi Hasil di Kecamatan Payung Kabupaten Karo. Juli 2006

25

Mengenai besarkecilnya jumlah yang diterima oleh kedua belah

pihak, sangat tergantung pada nilai produktivitas dari baiknya lahan.

Sebaliknya apabila produktivitas lahan semakin berkurang dan letaknya

jauh dari desa, maka keadaan ini membawa akibat dimana hasil yang

diterima penggarap akan semakin banyak pula.

Dalam penjelasan Undang-undang perjanjian bagi hasil, pada

bagian umum dikatakan bahwa biarpun tidak disebut dengan nama yang

sama, tetapi perjanjian pengusahaan tanah dengan bagi hasil secara

umum dijumpai diseluruh indonesia. Hukum yang dipakai masyarakat

dalam melakukan perjanjian bagi hasil adalah hukum adat yang tidak

tertulis. Jadi apabila seseorang memiliki sebidang tanah , karena suatu

sebab tidak dapat mengerjakanya sendiri, tetapi tetap berkeinginan untuk

mendapatkan hasil, maka yang bersangkutan akan memperkenankan

orang lain untuk menyelenggarakan usaha pertanian tersebut, dan

pembagian hasil sesuai atas kesepakatan sebelumnya.

Selanjutnya imbangan pembagian hasil untuk masing-masing

pihak, maka bahan perbandingannya dapat dilihat pada masyarakat Jawa

tenah dan Bali Selatan, dengan ketentuan:

a. Pemilik tanah dan penggarap memperoleh pembagian yang

sama (maro)

b. Pemilik tanah memperoleh 2/3 bagian(mertelu)

c. Pemilik tanah mendapat 1/5 bagian untuk tanaman kacang.

26

Khususnya untuk didaerah Bali Selatan sebagai berikut:

a. Pemilik tanah dan penggarap memperoleh bagian yang sama

(nandu)

b. Pemilik tanah mendapat 3/5 bagian dan penggarap 2/5 (nelon)

c. Pemilik tanah memperoleh 2/3, sedangkan penggarap 1/3

(ngapit)

d. Pemilik tanah mendapat ¾, sedangkan penggarap ¼ (merapat).24

Dengan dibuatnya peraturan seperti ini, maka lembaga bagi hasil

yang dijumpai didalam masyarakat pertanian kita pada kenyataannya

sekarang ini masih hidup dan memiliki segi-segi sosial maupun ekonomis

yang tidak dapat langsung diganti atau dihapus, karena sangat berperan

dalam kehidupan masyarakat.

Pernyataan tersebut sesuai dengan apa yang di kemukakan oleh

Moh. Koesnoe bahwa “ Hukum adat adalah hukum yang menjelmakan

perasaan hukum yang nyata dari rakyat dan sebagai hukum rakyat,

hukum adat terus menerus dalam keaadaan tumbuh dan berkembang

seperti hidup rakyat.25

Menurut Ensiklopedia hindia belanda bagi hasil merupakan

transaksi mengenai tanah yang biasa terjadi diseluruh Indonesia

dikalangan orang-orang pribumi, dimana pemilik tanah atau penerima

24 Soerjono Soekanto dan Soleman B. Taneko. 1981. Hukum Adat Indonesia. Jakarta. Rajawali Indonesia. Hal 232 25 Moh. Koesno. 1992. Hukumadat sebagai Model hukum. Bagian I. Bandung. Penerbit Bandar Maju. Hal 4

27

gadai tanah menyerahkan tanah pada pribumi lain dengan syarat harus

menyerahkan bagian panen yang seimbang.26

Didalam Undang-undang No.2Tahun 1960, mengatakan bahwa

perjanjian bagi hasil adalah perjanjian dengan nama apapun juga yang

diadakan antara pemilik pada satu pihak dan seseorang atau badan

hukum pada pihak lain, yang dalam Undang-undang ini disebut

penggarap berdasarkan perjanjian mana penggarap diperkenankan pleh

pemilik tersebut untuk menyelenggarakan usaha pertanian diatas tanah

pemilik dengan pembagian hasilnya antara kedua belah pihak (Pasal 1

huruf c).

Perjanjian bagi hasil juga diatus dalam ketentuan hukum adat,

yang biasanya disebut sebagai hak menggarap, yaitu hak seseorang untuk

mengusakan pertanian diatas tanah milik orang lain dengan persetujuan ,

dengan pertimbangan agar pembagian hasil tanahnya dilakukan atas

dasar adil serta terjamin pula kedudukan hukum yang layak bagi

penggarap.27

Hak usaha bagi hasil ini merupakan salah satu hak yang sifatnya

sementara seperti yang diatur dalam pasal 53 (1) Undang-undang No.5

Tahun 1960 Tentang Peraturan Pokok-pokok Agraria, berbunyi :”Hak-

hak yang sifatnya sementara sebagaimana yang dimaksud dalam pasal 16

(1) huruf h, ialah hak gadai, hak usaha bagi hasil, hak menumpang dan

sea tanah pertanian diatur untuk membatasi sifat-sifatnya yang

26 Ibid. Hal 7 27 K. Wantjik Saleh. 1987. Hak Anda Atas Tanah. Jakarta. Ghalia Indonesia. Hal 51

28

bertentangan dengan undang-undang ini dan hak-hak tersebut diusahakan

hapusnya dalam waktu yang singkat”.

2. Bentuk Perjanjian Bagi Hasil

Untuk mengetahui bentuk-bentuk perjanjian bagi hasil menurut

Undang-undang Nomor 2 Tahun 1960 tentang perjanjian bagi hasil

pertanian dijelaskan dalam pasal 3 ayat 1, yaitu

“Semua perjanjian bagi-hasil harus dibuat oleh pemilik dan penggarap sendiri secara tertulis dihadapkan Kepala dari Desa atau daerah yang setingkat dengan itu tempat letaknya tanah yang bersangkutan - selanjutnya dalam undang-undang ini disebut "Kepala Desa" dengan dipersaksikan oleh dua orang, masing-masing dari fihak pemilik dan penggarap”

Mengenai bentuk perjanjian bagi hasil ini disebutkan dalam pasal

3 Undang-Undang No. 2 Tahun 1960 Tentang Perjanjian Bagi Hasil

Pertanian , yang menyatakan bahwa :

Semua perjanjian bagi hasil harus dibuat oleh pemilik dan

penggarap sendiri secara tertulis dihadapan kepala desa atau yang

setingkat dengan itu, tempat letaknya tanah yang bersangkutan dengan

dipersaksikan oleh kedua orang, masing-masing dari pihak pemilik dan

pengarap.

Perjanjian secara tertulis ini dimaksudkan untuk menghindarkan

keragu-raguan, yang mungkin menimbulkan perselisihan mengenai hak-

hak dan kewajiban kedua belah pihak, lamanya jangka waktu perjanjian.

Perjanjian bagi hasil memerlukan pengesahan dari camat/ kepala

kecamatan yang bersangkutan atau pejabat lain yang setingkat dengan

itu. Hal ini dimaksudkan agar pengawasan secara preventif dapat

29

diselenggarakan dengan sebaik-baiknya. Perjanjian bagi hasil yang

dibuat secara tertulis dihadapan kepala desa tersebut perlu mendapat

perlu mendapat pengesahan dan diumumkan dalam kerapatan desa yang

bersangkutan dan pentingnya kepala desa mengumumkan tentang adanya

perjanjian bagi hasil pada kerapatan desa agar segala sesuatunya menjadi

jelas.28

3. Jangka Waktu Perjanjian Bagi Hasil

Jangka waktu perjanjian bagi hasil di atur dalampasal 4 ayat 1

Undang-Undang No. 2 Tahun 1960 Tentang Perjanjian Bagi Hasil Tanah

Pertanian ;

“Perjanjian bagi-hasil diadakan untuk waktu yang dinyatakan didalam surat perjanjian tersebut pada pasal 3, dengan ketentuan, bahwa bagi sawah waktu itu adalah sekurang-kurangnya 3 (tiga) tahun dan bagi tanah-kering sekurang-kurangnya 5 (lima) tahun”

Penjelasan mengenai jangka waktu perjanjian bagi hasil ini

dimana dalam perjanjian bagi hasil diadakan untuk jangka waktu 3 (tiga)

tahun bagi tanah persawahan dan lima (5) tahun untuk tanah kering.

Sesuai dengan memori penjelasan, maka yang dimaksud dengan tahun

pada ayat 1 adalah tahun tanaman jadi bukan tahun kalender.

Dalam hal khusus, camat dapat diizinkan diadakanya perjanjian

bagi hasil dengan waktu kurang dari yang ditetapkan. Jika pada waktu

berakhirnya perjanjian bagi hasil diatas tanah yang bersangkutan masih

terdapat tanaman yang belum dipanen, maka perjanjian tersebut berlaku

28 Prof. DR.A.P. Parlindungan,S.H. 1991. Undang-Undang Bagi Hasil Di Indonesia (Suatu Studi Komparatif). Bandung. Mandar maju. Hal 19

30

terus sampai waktu tanaman itu selesai dipanen, tetapi perpanjangan

waktu itu tidak boleh lebh dari satu tahun.29

Perjanjian bagi hasil tidak terputus karena pemindahan hak milik

atas tanah yang bersangkutan kepada orang lain. Semua hak dan

kewajiban pemilik berdasarkan perjanjian bagi hasil itu beralih kepada

pemilik baru. Dan jika penggarap meninggal dunia, maka perjanjian bagi

hasil itu beralih kepada ahli warisnya, dengan hak dan kewajiban yang

sama.30

Pemutusan perjanjian bagi hasil hasil sebelum berakhirnya jangka

waktu perjanjian hanya mungkin dalam hal sebagai berikut :

a. Atas persetujuan kedua belah pihak yang bersangkutan dan setelah

mereka laporkan ke kepala desa.

b. Dengan izin kepala desa atas tuntutan si pemilik, didalam hal

penggarap tidak mengusahakan tanah yang bersangkutan

sebagaimana mestinya atau tidak memenuhi kewajibanya untuk

menyerahkan sebagian dari hasil tanah yang telah ditentukan

kepada pemilikatau tidak memenuhi beban-beban yang menjadi

tanggungannya.

4. Syarat Sahnya Perjanjian Bagi Hasil

Perjanjian bagi hasil tanah pertanian sah menurut UU No. 2

Tahun 1960, adalah :

a. Dalam Pasal 3 ayat (1) dirumuskan, bahwa semua perjanjian bagi

29 Ibid. Hal 23 30 Ibid .

31

hasil harus dibuat oleh pemilik dan penggarap sendiri secara

tertulis dihadapan Kepala Desa tempat letaknya tanah yang

bersangkutan, dengan dipersaksikan oleh 2 orang, masing-masing

dari pihak pemilik dan penggarap. Maksud dari ketentuan ini ialah

1) Agar dapat dihindarkan terjadinya keragu-raguan di

kemudian hari, yang mungkin menimbulkan perselisihan

mengenai hal sesuatu yang bersangkutan dengan perjanjian

itu (jangka waktu perjanjian, hak-hak dan kewajiban-

kewajiban pemilik dan lain sebagainya).

2) Agar dapat diselenggarakan pula pengawasan, baik secara

preventif, supaya ketentuan-ketentuan dari UU No. 2

Tahun 1960 itu diindahkan sebagaimana mestinya. 31

b. Jika pemilik tanah belum dewasa ia diwakili oleh walinya, yang

bertindak untuk dan atas namanya, jika pemilik sudah sangat lanjut

usianya atau sakit sehingga tidak dapat datang sendiri kehadapan

Kepala Desa untuk menandatangani surat perjanjian itu, maka

dapatlah pemilik tersebut diperkenankan menunjuk kuasa untuk

menandatangani atas namanya. Didalam hal yang demikian, maka

didalam surat perjanjian yang bersangkutan supaya dicatat pula

alasan, mengapa pemilik tidak dapat menandatanganinya sendiri.

c. 1). Oleh Kepala Desa yang bersangkutan pada waktu diadakan

31 Malem Ginting. 2006. Pelaksanaan Undang-Undang No. 2 tahun 1960 Tentang Perjanjian Bagi Hasil Pertanian.”Studi Di Kabupaten Karo”. Universitas Sumatera Utara. Hal 74

32

perjanjian hendaknya dijelaskan kepada pemilik dan penggarap

ketentuan-ketentuan dari UU No. 2 Tahun 1960 serta ketentuan-

ketentuan yang disebutkan dalam surat perjanjian itu, khususnya

mengenai hak-hak dan kewajiban-kewajiban mereka masing-

masing. Jika pemilik dan penggarap mengadakan syarat- syarat

yang tidak diperbolehkan atau bertentangan dengan penetapan

kepala daerah mengenai imbangan pembagian hasil tanahnya,

maka hal itu hendaknya diberitahukan pula pada mereka untuk

ditiadakan atau diganti dengan syarat lain. 32

2). Oleh Kepala Desa hendaknya juga diperiksa, apakah pemilik

berwenang mengadakan perjanjian bagi hasil mengenai tanah yang

bersangkutan. Apakah penggarap memenuhi syarat sebagai yang

disebutkan dalam Pasal 2, yaitu bahwa ia harus seorang petani.

Sebagaimana diketahui, maka jika penggarap dengan perjanjian

yang diadakan itu akan mempunyai tanah garapan lebih dari 3

hektare maka diperlukan izin dari Camat yang bersangkutan (Surat

Keputusan No. SK. 322/Ka/1960). Demikian pula diperlukan izin

dari Camat kalau jangka waktu perjanjian kurang dari apa yang

ditentukan dalam Pasal 14 (yaitu untuk sawah 3 tahun dan tanah

kering 5 tahun). Untuk mempersingkat waktu, maka izin itu dapat

diminta bersamaan dengan diajukannya surat perjanjian yang

bersangkutan kepada Camat untuk disahkan.

32 Ibid.

33

d. Jika penggarap itu adalah suatu badan hukum, maka sebelum

perjanjian bagi hasil diadakan dengan pemilik daerah Swantantra

Tingkat II (sekarang daerah Kabupaten/Kota) dari daerah

tempatnya tanah yang akan dibagihasilkan itu, yaitu kalau badan

hukum tersebut berbentuk koperasi tani atau koperasi desa.

Mengenai badan-badan hukum lainnya izin itu harus diminta

kepada Menteri Agraria (Pasal 2 ayat (2) jo. Surat Keputusan No.

SK./322/Ka/1960).

Dalam penjelasan UU No. 2 Tahun 1960 dinyatakan,

bahwa pada asasnya badan-badan hukum apapun juga dilarang

untuk menjadi penggarap, karena dalam perjanjian bagi hasil ini

penggarap haruslah seorang petani, tetapi ada kalanya, bahwa

justru untuk kepentingan umum atau kepentingan desa, sesuatu

badan hukum perlu diberi izin untuk menjadi penggarap atas tanah-

tanah yang terlantar di desa-desa. Dalam hal ini hanyalah koperasi-

koperasi tani atau desa yang akan diizinkan dan buk33an badan-

badan hukum lain, seperti PT, CV dan lain sebagainya.

Di samping itu adakalanya juga sesuatu badan hukum yang

berbentuk Perseroan Terbatas atau Yayasan perlu dipertimbangkan

untuk diberi izin menjadi penggarap. Misalnya dalam hubungannya

dengan usaha pembukaan tanah secara besar-besaran di daerah

Sumatera, Kalimantan dan lain-lainnya. Di daerah – daerah itu

33 Ibid.

34

masalah pembukaan tanah yang pertama, jadi dalam tahun- tahun

yang pertama, ialah pekerjaan berat yang umumnya perlu dibantu

dengan tenaga mesin, seperti traktor dan lain sebagainya, dalam hal

ini suatu perusahaan pembukaan tanah yang berbentuk bukan

koperasi, akan tetapi Yayasan atau Perseroan Terbatas kiranya

dapat dipertimbangkan juga untuk dapat diterima sebagai

penggarap dalam batas waktu yang ditentukan. Pengusahaan tanah

yang dimaksudkan itu akan sangat bermanfaat, bagi pemilik tanah

maupun bagi pembangunan dan pembukaan tanah yang masih

merupakan padang ilalang atau hutan semak belukar.

Dalam menentukan diizinkan atau tidaknya suatu badan

hukum menjadi penggarap, harus diadakan penilaian dari sudut

kepentingan desa atau kepentingan umum. 34

Didalam pemberian izin kepada koperasi desa dan koperasi

tani itu hendaknya diminta pertimbangan pada instansi-instansi

setempat yang bersangkutan, misalnya pejabat-pejabat dari jawatan

agraria, koperasi, pertanian dan lain-lain yang dianggap perlu.

e. Surat-surat perjanjian bagi hasil dibuat dalam rangkap tiga, yang

asli dibubuhi materai, disimpan pemilik atau penggarap sebagai

turunan. Lembar kedua dan ketiga tidak ditanda tangani oleh

pemilik, penggarap dan para saksi, tetapi merupakan turunan yang

diberikan oleh Kepala Desa. Dengan demikian tak perlu

34 Istiqomah. 1982. Hak Gadai Atas Tanah Sesudah Berlakunya Hukum Agraria Nasional. Surabaya. Usaha Nasional. Hal 102

35

bermaterai. Surat perjanjian itu dicatat oleh Kepala Desa di dalam

buku register.

f. Oleh karena keadaan daerah tidak selalu sama, maka kiranya

kuranglah bijaksana jika besarnya biaya administrasi yang boleh

dipungut oleh Kepala Desa berhubung dengan pekerjaannya

yang bersangkutan dengan pembuatan surat- surat perjanjian itu

ditetapkan secara sentral. Lebih tepatlah kiranya bilamana

penetapan itu diadakan untuk tiap-tiap Daerah Swatantra Tingkat II

dipersilahkan untuk menetapkan besarnya biaya yang dimaksudkan

itu, untuk daerahnya masing-masing. Untuk tidak menambah

beratnya beban pihak-pihak yang bersangkutan maka penetapan

biaya tersebut janganlah hendaknya melampaui Rp. 10,- (sepuluh

rupiah) untuk tiap perjanjian, yang harus dibayar oleh pemilik,

kecuali penggarap adalah suatu badan hukum, dalam hal mana

penggaraplah yang membayarnya.

g. Surat-surat perjanjian yang ditandatangani oleh pemilik, penggarap,

para saksi dan Kepala Desa secepat mungkin diajukan kepada

Camat untuk memperoleh pengesahan.35

h. Surat-surat perjanjian yang diterima oleh Camat itu dicatat dalam

buku register. Oleh Camat hendaknya diadakan pemeriksaan

apakah segala sesuatu yang sudah memenuhi atau tidak

35 Ibid.

36

bertentangan dengan ketentuan-ketentuan dari UU No. 2 tahun

1960 serta dengan penetapan Kepala Daerah mengenai imbangan

pembagian hasil tanahnya. Jika diperlukan izin bagi penggarap

karena tanah garapannya melebihi 3 hektare (Pasal 2 ayat (2) jo

surat keputusan No. SK. 322/Ka/1960) maka hendaknya

diperhatikan apa yang disebut dalam Penjelasan UU No. 2 tahun

1960, yang harus dipakai sebagai pedoman. Pada asasnya seorang

petani yang sudah mempunyai tanah 3 hektare tidak diperkenankan

untuk mendapat tanah garapan lagi, tetapi kalau luas tanah yang

melebihi 3 hektare itu tidak seberapa (sebagai pedoman ditetapkan

paling banyak 1⁄2 (seperdua) hektare maka tidaklah ada keberatan

untuk diberi izin). Di dalam hal-hal yang sama dapat diberikan

izin untuk mengadakan perjanjian dengan jangka waktu yang

kurang dari 3 tahun untuk sawah dan 5 tahun untuk tanah kering

telah diberikan contohnya dalam penjelasan Pasal 4 ayat (2) di atas.

Izin itu hanya dapat diberikan dalam hal-hal yang memaksa dan

terbatas terhadap tanah-tanah yang biasanya diusahakan sendiri

oleh pemilik. Misalnya jika pemilik perlu naik haji, sakit keras atau

hal lain sebagainya dan hanya menghendaki perjanjian untuk

jangka waktu satu tahun saja, karena tanah yang dikerjakan sendiri

pada tahun berikutnya akan diusahakan kembali. Demikian pula

kiranya diberikan izin kepada orang yang menyewa tanah selama

masa jangka waktu kurang dari yang ditentukan menurut Pasal 4,

37

serta dapat membagi hasilkan tanah tersebut kepada yang menyewa

sesuai jangka waktu lamanya persewaan tersebut. 36

Agar pihak-pihak yang berkepentingan dapat segera

memperoleh kepastian mengenai perjanjian yang dilakukan

tersebut, maka hendaknya para Camat memberi keputusan untuk

mengesahkan perjanjian yang diterima dalam waktu paling lama 1

(satu) minggu.

i. Perjanjian-perjanjian yang telah mendapat pengesahan Camat

diumumkan oleh Kepala Desa dalam kerapatan desa/adat yang

akan datang berikutnya .

5. Pembagian Hasil Atas Tanah Pertanian Dalam Perjanjian Bagi Hasil

Dalam perjanjian bagi hasil bentuk pembagian hasil tanah di atur

dalam pasal 7 ayat (1 dan 2) Undang –Undang No. 2 Tahun 1960

Tentang perjanjian Bagi Hasil Tanah Pertanian, yaitu;

“Besarnya bagian hasil-tanah yang menjadi hak penggarap dan pemilik untuk tiap-tiap Daerah Swatantara tingkat II ditetapkan oleh Bupati/Kepala Daerah Swatantra tingkat II yang bersangkutan, dengan memperhatikan jenis tanaman, keadaan tanah, kepadatan penduduk, zakat yang disisihkan sebelum dibagi dan faktor-faktor ekonomis serta ketentuan-ketentuan adat setempat”

Dalam penjelasan bentuk pembagian hasil tanah pertanian dapat

diketahui agar terdapat imbangan yang sebaik-baiknya antara

kepentingan pemilik dan penggarap , dan bukan untuk mendahulukan

kepentingan satu dengan yang lain sebagaimana sudah dijelaskan dalam

36 Kartasapoetra. 1995. Hukum Tanah dan Jaminan UUPA Bagi Keberhasilan Pendayagunaan Tanah. Jakarta. PT.Bina Angkasa. Hal 45

38

Keputusan Menteri Dalam Negeri dan Menteri Pertanian No. 211/1980

dan No. 714/Kpts/Um/9/1980 telah mengadakan telah menjelaskan

mengenai bentuk imbangan bagi hasil tanah yang menjadi hak pemilik

dan penggarap. Dinyatakan bahwa jika hasil yang dicapai oleh penggarap

tidak melebihi hasil produksi rata-rata daerah tingkat II atau Kecamatan

yang titetapkan oleh Bupati kepada daerah yang bersangkutan, maka

hasil kotor, setelah dikurangi biaya untuk bibit, sarana produksi, tenaga

ternak, tenaga tanam dan panen yang dihitung menurut rumus berikut:

(Rumus I) X-2 X-1/4X Hak Penggarap = Hak Pemilik= = 2 2

Jika hasil produksi rata-rata di tingkat II/ Kecamatan sebagaimana

yang ditetapkan oleh bupati kepada daerah yang bersangkutan, maka

besarnya bagian yang menjadi hak penggarap dan pemilik sebagai

berikut:37

a. Hasil kotor sampai dengan hasil produksi rata-rata dibagi menurut

rumus satu (1).

b. Hasil selebihnya dari hasil produksi rata-rata dibagi antara

penggarap dan pemilik dengan imbangan 4 bagian bagi penggarap

dan satu (1) bagian bagi pemilik, atau dalam bentuk rumus berikut

:

Rumus (II)

Y-Z 4(X-Y) Y-1/4Y 4(X-Y)

37 Parlindungan AP. Undang-Undang Bagi Hasil Di Indonesia Studi Komparatif. Bandung. Mandar Maju

39

Hak penggarap = + = + 2 5 2 2 Hak Pemilik = Y-X 1(X-Y) Y-1/4Y X-Y + = + 2 5 2 5

Dimana Y = hasil produksi rata-rata daerah tingkat II atau

kecamatan yang bersangkutan.

Jika disuatu daerah yang menjadi bagian penggarap pada

kenyataannya lebih besardari apa yang ditentukan dalam rumus I

dan II diatas, maka tetap diperlakukan imbangan ini lebih

menguntungkan penggarap dan sesuai dengan penjelasan pasal 7

Undang-undang No. 2 Tahun 1960 bahwa zakat disisihkan dari

hasil kotor yang mencapai nisab untuk padi, ditetapkan 14 kwintal.

Dan pajak tanah juga dibebankan sepenuhnya kepada pemilik

tanah bukan kepada penggarap.38

6. Hak Dan Kewajiban Pemiik Dan Penggarap Dalam Perjanjian Bagi

Hasil.

a. Hak Kewajiban Pemilik dan Penggarap

Kewajiban penggarap seperti yang diatur pada Pasal 8, 9 dan 10

Undang-undang No. 2 tahun 1960, yakni : 39

a) Larangan pembayaran uang atau pemberian benda apapun juga

kepada pemilik yang bersangkutan dengan maksud untuk

38 Ibid. 39 Prof. DR.A.P. Parlindungan,S.H. 1991. Undang-Undang Bagi Hasil Di Indonesia (Suatu Studi Komparatif). Bandung. Mandar maju. Hal 32

40

memperoleh hak mengusahakan tanah pemilik dengan perjanjian

bagi hasil.

b) Pelanggaran terhadap larangan tersebut pada point di atas

berakibat, bahwa uang yang dibayarkan atau harga benda yang

diberikan itu dikurangkan pada bagian pemilik dari hasil tanah

termaksud dalam Pasal 7.

c) Larangan adanya pembayaran oleh siapapun, termasuk pemilik dan

penggarap, kepada penggarap atau pemilik dalam bentuk apapun

juga yang mempunyai unsur-unsur ijon.

d) Dengan tidak mengurangi ketentuan pidana Pasal 15, maka apa

yang dibayarkan tersebut pada point 3 di atas, tidak dapat dituntut

kembali dalam bentuk apapun juga.

e) Kewajiban membayar pajak mengenai tanah yang bersangkutan

dilarang untuk dibebankan kepada penggarap, kecuali kalau

penggarap itu adalah pemilik tanah yang bersangkutan.

f) Dengan berakhirnya perjanjian bagi hasil, baik karena berakhirnya

jangka waktu maupun karena salah satu sebab pada Pasal 6,

penggarap wajib menyerahkan kembali tanah yang bersangkutan

kepada pemilik dalam keadaan baik.

1. Hak Kewajiban Penggarap

Penggarap selama perjanjian bagi hasil berlangsung berhak

untuk mengusahakan tanah yang bersangkutan dan menerima

41

bagian dari hasil tanah itu sesuai dengan imbangan pembagian

yang ditetapkan bagi daerah tersebut.40

Kemudian yang menjadi kewajiban penggarap,

sebagaimana diuraikan di atas, juga merupakan kewajiban bersama

antara pemilik dan penggarap, untuk itu penggarap berkewajiban

pula untuk :

a) Mengusahakan tanah tersebut dengan baik.

b) Menyerahkan bagian hasil yang menjadi hak dari pemilik.

c) Memenuhi beban-beban yang menjadi tanggungan selaku

penggarap

d) Meminta izin kepada pemilik apabila penggarap ingin

menyerahkan pengusahaan tanah yang bersangkutan

kepada pihak ketiga

40 Ibid.

42

C. Teori Tentang Efektivitas Hukum

1. Pengertian Efektivitas Hukum

a. Menurut Achmad Ali

Menurut Achmad ali tentang teori efektivitas hukum

berpendapat bahwa ketika kita ingin mengetahui sejauh mana

efektivitas dari hukum, maka pertama-tama harus mengukur “sejauh

mana aturan hukum itu ditaati”.41

b. Menurut Hans Kelsen

Menurut Hans Kelsen, Jika Berbicara tentang efektifitas

hukum, dibicarakan pula tentang Validitas hukum. Validitas hukum

berarti bahwa norma-norma hukum itu mengikat, bahwa orang harus

berbuat sesuai dengan yang diharuskan oleh norma-norma hukum.,

bahwa orang harus mematuhi dan menerapkan norma-norma hukum.

Efektifitas hukum berarti bahwa orang benar-benar berbuat sesuai

dengan norma-norma hukum sebagaimana mereka harus berbuat,

bahwa norma-norma itu benar-benar diterapkan dan dipatuhi.42

c. Menurut Soerjono Soekanto

Menurut Soerjono Soekanto, Hukum sebagai kaidah

merupakan patokan mengenai sikap tindak atau perilaku yang pantas.

Metode berpikir yang dipergunakan adalah metode deduktif-rasional,

41 Pratamaiin. 2012.” Efektivitas Hukum “ Http://Pratamaiin.Blogspot.Com. Diakses Tanggal 1 Desember 2015. Pukul 23.31 42 ibid.

43

sehingga menimbulkan jalan pikiran yang dogmatis. Di lain pihak ada

yang memandang hukum sebagai sikap tindak atau perilaku yang

teratur (ajeg). Metode berpikir yang digunakan adalah induktif-

empiris, sehingga hukum itu dilihatnya sebagai tindak yang diulang-

ulang dalam bentuk yang sama, yang mempunyai tujuan tertentu.43

Efektivitas hukum dalam tindakan atau realita hukum dapat

diketahui apabila seseorang menyatakan bahwa suatu kaidah hukum

berhasil atau gagal mencapai tujuanya, maka hal itu biasanya

diketahui apakah pengaruhnya berhasil mengatur sikap tindak atau

perilaku tertentu sehingga sesuai dengan tujuannya atau tidak. )

Efektivitas hukum artinya efektivitas hukum akan disoroti dari tujuan

yang ingin dicapai, yakni efektivitas hukum. Salah satu upaya yang

biasanya dilakukan agar supaya masyarakat mematuhi kaidah hukum

adalah dengan mencantumkan sanksi-sanksinya. Sanksi-sanksi

tersebut bisa berupa sanksi negatif atau sanksi positif, yang

maksudnya adalah menimbulkan rangsangan agar manusia tidak

melakukan tindakan tercela atau melakukan tindakan yang terpuji.

Teori efektivitas hukum menurut soerjono soekamto adalah

bahwa efektif atau tidaknya suatu hukum ditentukan oleh 5 (lima)

faktor, yaitu:

a) Faktor hukumnya sendiri (Undang-Undang).

b) Faktor penegak hukum, yakni pihak-pihak yang membentuk

43 Soerjono Soekanto, 1988. Efektivitas Hukum Dan Penerapan Sanksi. Bandung. Cv. Ramadja Karya. Hal 88

44

maupun menerapkan hukum.

c) Faktor sarana atau fasilitas yang mendukung penegakan hukum.

d) Faktor masyarakat, yang lingkungan dimana hukum tersebut

berlaku atau diterapkan.

e) Faktor kebudayaan, yakni sebagai hasil kerya, cipta dan rasa yang

didasarkan pada karsa manusia didalam pergaulan hidup.

Kelima faktor diatas saling berkaitan dengan eratnya karena

merupakan esensi dari penegakan hukum, juga merupakan tolak ukur

daripada efektivitas penegakan hukum.

Menurut Soerjono Soekanto bahwa masalah yang berpengaruh

terhadap efektivitas hukum tertulis ditinjau dari segi aparat akan

tergantung pada hal berikut:44

Sampai sejauh mana petugas terkait oleh peraturan-peraturan yang

ada.

1. Sampai batas mana petugas diperkenankan memberikan

kebijaksanaan.

2. Teladan macam apa yang sebaiknya diberikan oleh petugas

kepada masyarakat.

3. Sampai sejauh mana derajat sinkronisasi penugasan-penugasan

yang diberikan kepada petugas sehingga memberikan batasan-

batasan yang tegas pada wewenangnya.

Sehubungan dengan persoalan efektivitas hukum,

44 Ibid.

45

pengidentikan hukum tidak hanya dengan unsur paksaan eksternal

namun juga dengan proses pengadilan. Ancaman paksaan pun

merupakan unsur yang mutlak ada agar suatu kaidah dapat

dikatagorikan sebagai hikum.

Hal berlakunya hukum dalam masyarakat demi terciptanya

tujuan hukum yang benar secara filosofis, yuridis dan sosiolagis.

a. Secara filosofis

Berlakunya hukum secara filosofis berarti bahwa

hukum tersebut sesuai dengan cita-cita hukum, sebagai nilai

positif yang tertinggi.

b. Secara yuridis

Berlakunya hukum secara secara yuridis, dijumpai

anggapan-anggapan sebagai berikut:

Hans kelsen, yang menyatakan bahwa kaidah

hukum mempunyai kelakuan yuridis, apabila penetuannya

berdasarkan kaidah yang lebih tinggi tingkatannya. Ini

berhubungan dengan teori “stufenbau” dari kelsen W.

Zevenbergen, menyatakan bahwa suatu kaidah hukum

mempunyai kelakuan yuridis, jikalau kaidah tersebut “op de

verischte ize is tot sand gekomen”

c. Secara sosiologis

Kaedah hukum berlaku secara sosiologis, apabila

kaedah tersebut efektif, artinya, kaedah tersebut dapat

46

dipaksakan berlakunya oleh penguasa walaupun tidak

diterima oleh warga masyarakt (Teori kekuasaan), atau

kaedah tadi berlaku karena diterima dan diakui oleh

masyarakat (teori pengakuan).

Berlakunya kaidah hukum secara sosiologis menurut

teori pengakuan adalah apabila kaidah hukum tersebut

diterima dan diakui masyrakat. Sedangkan menurut teori

paksaan berlakunya kaidah hukum apabila kaidah hukum

tersebut dipaksakan oleh penguasa.

2. Faktor-Faktor Yang Mempengaruhi Efektivitas Hukum

Menurut Prof. Dr. Soerjono Soekamto, SH.,MA antara lain :45

a. Faktor Hukumnya Sendiri

Hukum berfungsi untuk keadilan, kepastian dan

kemanfaatan. Dalam praktik penyelenggaraan hukum di lapangan

ada kalanya terjadi pertentangan antara kepastian hukum dan

keadilan.

Kepastian Hukum sifatnya konkret berwujud nyata,

sedangkan keadilan bersifat abstrak sehingga ketika seseorang

hakim memutuskan suatu perkara secara penerapan undang-undang

saja maka ada kalanya nilai keadilan itu tidak tercapai. Maka

ketika melihat suatu permasalahan mengenai hukum setidaknya

keadilan menjadi prioritas utama. Karena hukum tidaklah semata-

45 Op Cit. Hal 89

47

mata dilihat dari sudut hukum tertulis saja, Masih banyak aturan-

aturan yang hidup dalam masyarakat yang mampu mengatur

kehidupan masyarakat. Jika hukum tujuannya hanya sekedar

keadilan, maka kesulitannya karena keadilan itu bersifat subjektif,

sangat tergantung pada nilai-nilai intrinsik subjektif dari masing-

masing orang. Menurut Prof. Dr. Achmad Ali apa yang adil bagi si

Baco belum tentu di rasakan adil bagi si Sangkala.

b. Faktor Penegak Hukum

Faktor ini meliputi pihak-pihak yang membentuk maupun

menerapkan hukum atau law enforcement. Bagian-bagian itu law

enforcement adalah aparatur penegak hukum yang mampu

memberikan kepastian, keadilan, dan kemanfaat hukum secara

proporsional. Aparatur penegak hukum menyangkup pengertian

mengenai institusi penegak hukum dan aparat (orangnya) penegak

hukum, sedangkan aparat penegak hukum dalam arti sempit

dimulai dari kepolisian, kejaksaan, kehakiman, penasehat hukum

dan petugas sipir lembaga pemasyarakatan. Setiap aparat dan

aparatur diberikan kewenangan dalam melaksanakan tugasnya

masing-masing, yang meliputi kegiatan penerimaan laporan,

penyelidikan, penyidikan, penuntutan, penbuktian, penjatuhan

vonis dan pemberian sanksi, serta upaya pembinaan kembali

terpidana.

48

Sistem peradilan pidana harus merupakan kesatuan terpadu

dari usaha-usaha untuk menangulangi kejahatan yang

sesungguhnya terjadi dalam masyarakat. Apabila kita hanya

memakai sebagian ukuran statistik kriminalitas, maka keberhasilan

sistem peradilan pidana akan dinilai berdasarkan jumlah kejahatan

yang sampai alat penegak hukum. Beberapa banyak yang dapat

diselesakan kepolisian, kemudian diajukan oleh kejaksaan ke

pengadilan dan dalam pemeriksaan di pengadilan dinyatakan

bersalah dan dihukum. Sebenarnya apa yang diketahui dan

diselesakan melalui sistem peradilan pidana hanya puncaknya saja

dari suatu gunung es. Masih banyak yang tidak terlihat, tidak

dilaporkan (mungkin pula tidak diketahui, misalnya dalam hal

“kejahatan dimana korbanya tidak dapat ditentukan”atau “crimes

without victims”) dan karena itu tidak dapat di selesaikan. Keadaan

seperti ini tidak dapat dipersalahkan sepenuhnya kepada sistem

peradilan pidana. Karena tugas sistem ini adalah terutama

menyelesekan kasus-kasus yang sampai padanya.46

Secara sosiologis, setiap aparat penegak hukum tersebut

mempunyai kedudukan (status) dan peranan (role). Kedudukan

(sosial) merupakan posisi tertentu di daloam struktur

kemasyarakatan. Kedudukan tersebut merupakan peranan atau role,

oleh karena itu seseorang yang mempunyai kedudukan tertentu,

46 Achmad Ali, 2010. Menguak Teori Hukum Dan Teori Peradilan.. Jakarta. Kencana . Vol 1 No. 375

49

lazimnya mempunyai peranan. Suatu hak merupakan wewenang

untuk berbuat dan tidak berbuat, sedangkan kewajiban adalah

beban atau tugas. Suatu peranan tertentu dapat di jabarkan dalam

unsur- unsur sebagai berikut : (1) peranan yang ideal / ideal role ;

(2) peranan yang seharusnya / expected role; (3) peranan yang

dianggap oleh diri sendiri / perceived role; dan (4) perana yang

sebenarnya dilakukan / actual role.

Penegak hukum dalam menjalankan perannya tidak dapat

berbuat sesuka hati mereka juga harus memperhatikan etika yang

berlaku dalam lingkup profesinya, etika memperhatikan atau

mempertimbangkan tingkah laku manusia dalam pengambilan

keputusan moral. Dalam profesi penegak hukum sendiri mereka

telah memiliki kode etik yang diatur tersendiri, tapi dalam

prakteknya kode etik yang telah ditetapkan dan di sepakati itu

masih banyak di langgar oleh para penegak hukum. Akibat

perbuatan-perbuatan para penegak hukum yang tidak memiliki

integritas bahkan dapat dikatakan tidak beretika dalam

menjalankan profesinya, sehingga mengakibatkan lambatnya

pembangunan hukum yang diharapkan oleh bangsa ini, bahkan

menimbulkan pikiran-pikiran negative dan mengurangi

kepercayaan masyarakat terhadap kinerja penegak hukum.

Aturan para aparat dan aparatur penegak hukum dijabarkan

sebagai berikut :

50

a. Kepolisian, kekuasaan polisi/polri adalah merupakan

sebagai perwujudan istilah yang mengambarkan

penjelmaan tugas, status, organisasi,wewenang dan

tanggung jawab polisi. Secara umum kedudukan,

fungsi dan tugas kepolisian diatur dalam Undang-

Undang Nomor 2 Tahun 2002 tentang Kepolisian RI.

b. Kejaksaan, secara umum kedudukan, fungsi dan tugas

kepolisian diatur dalam undang-undang nomor 16

tahun 2004 tentang kejaksaan RI.

c. Kehakiman, secara umum kedudukan, fungsi dan tugas

kepolisian diatur dalam undang-undang nomor 4 tahun

2004 tentang kekuasan hakim.

d. Lembaga pemasyarakatan, secara umum kedudukan,

fungsi dan tugas kepolisian diatur dalam undang-

undang nomor 19 tahun 2005 tentang pemasyarakatan.

Menurut Soerjono Soekanto hambatan maupun halangan

penegak hukum dalam melakukan penegakan hukum tersebut dapat

diatasi dengan cara mendidik, membiasakan diri untuk mempunyai

sikap-sikap antara lain : sikap terbuka, senantiasa siap menerima

perubahan, peka terhadap masalah yang terjadi, senantiasa

mempunyai informasi yang lengkap, oreentasi ke masa kini dan

masa depa, menyadari potensi yang dapat di kembangkan,

berpegang pada suatu perencanaan, percaya pada kemampuan

51

iptek, menyadari dan menghormati hak dan kewajiban, berpegang

teguh pada keputusan yang diambil atas dasar penalaran dan

perhitungan yang mantap.47

c. Faktor Sarana Atau Fasilitas Yang Mendukung Penegakan Hukum

Fasilitas pendukung secara sederhana dapat dirumuskan

sebagai sarana untuk mencapai tujuan. Ruang lingkupnya terutama

adalah sarana fisik yang berfungsi sebagai faktor pendukung.

Fasilitas pendukung mencangkup tenaga manusia yang

berpendidikan dan terampil, organisasi yang baik, peralatan yang

memadai, keuangan yang cukup dan sebagainya.

Jika fasilitas pendukung tidak terpenuhi maka mustahil

penegakan hukum akan nencapai tujuannya. Kepastian dan

kecepatan penyelesaian perkara tergantung pada fasilitas

pendukung yang ada dalam bidang-bidang pencegahan dan

pemberantasan kejahatan.

Peningkatan tehnologi deteksi kriminalitas, mempunyai

peranan yang sangat penting bagi kepastian dan penanganan

perkara-perkara pidana, sehingga tanpa adanya sarana atau fasilitas

tersebut tidak akan mungkin penegak hukum menyerasikan

peranan yang seharusnya dengan peranan yang aktual.

d. Faktor Masyarakat

47 Soerjono Soekanto. 1983. Penegakan Hukum. Bandung. Bina Cipta.Hal 80

52

Penegakan hukum berasal dari masyarakat dan bertujuan

untuk mencapai kedamaian didalam masyarakat. Masyarakat

mempunyai pendapat-pendapat tertentu mengenai

hukum. Masyarakat Indonesia mempunyai pendapat mengenai

hukum sangat berfareasi antara lain :

a) Hukum diartikan sebagai ilmu pengetahuan;

b) hukum diartikan sebagai disiplin, yakni sistem ajaran

tentang kenyataan;

c) hukum diartikan sebagai norma atau kaidah, yakni patokan

perilaku pantas yang diharapkan.

d) hukum diartikan sebagai tata hukum (yakni hukum positif

tertulis) ;

e) hukum diartikan sebagai petugas atau pejabat

f) hukum diartikan sebagai keputusan pejabat atau penguasa;

g) hukum diartikan sebagai proses pemerintahan;

h) hukum diartikan sebagai perilaku teratur dan unik;

i) hukum diartikan sebagai jalinan nilai;

j) hukum diartikan sebagai seni.48

Salah satu akibatnya adalah bahwa baik buruknya hukum

senantiasa dikaitkan dengan pola perilaku penegak hukum itu

sendiri yang merupakan pendapatnya sebagai cermina dari hukum

sebagai struktur dan proses. Keadaan tersebut juga dapat

48 Ibid.

53

memberikan pengaruh baik, yakni bahwapenegak hukum akan

merasa bahwa perilakunya senantiasa mendapat perhatian dari

masyarakat.

e. Faktor Kebudayaan

Faktor kebudayaan sebernarnya bersatu padu dengan faktor

masyarakat sengaja dibedakan, karena didalam pembahasannya

diketengahkan masalah sistem nilai-nilai yang menjadi inti dari

kebudayaan spiritual atau non material. Hal ini dibedakan sebab

menurut Lawrence M. Friedman yang dikutip Soerdjono Soekamto

,bahwa sebagai suatu sistem (atau subsistem dari sistem

kemasyarakatan), maka hukum menyangkup, struktur, subtansi dan

kebudayaan. Struktur menyangkup wadah atau bentuk dari sistem

tersebut yang, umpamanya, menyangkup tatanan lembaga-lembaga

hukum formal, hukum antara lembaga-lembaga tersebut, hak-hak

dan kewajiban-kewajibanya, dan seterusnya.49 Kebudayaan

(sistem) hukum pada dasarnya mencangkup nilai-nilai yang

mendasari hukum yang berlaku, nilai-nilai yangmerupakan

konsepsi-konsepsi abstrak mengenai apa yang dianggap baik

(hingga dianuti) dan apa yang diangap buruk (sehingga dihindari).

Nilai-nilai tersebut, lazimnya merupakan pasangan nilai-nilai yang

mencerminkan dua keadaan exstrim yang harus diserasikan.

49 Romli Atmasasmita. 2001. Reformasi Hukum Dan Penegakan Hukum. Bandung. Mandar Maju. Hal 55

54

Dengan adanya keserasian nilai dengan kebudayaan

masyarakat setempat diharapkan terjalin hubungan timbal balik

antara hukum adap dan hukum positif di Indonesia, dengan

demikian ketentuan dalam pasal-pasal hukum tertulis dapat

mencerminkan nilai-nilai yang menjadi dasar dari hukum adat

supaya hukum perundang-undangan tersebut dapat berlaku secara

efektif. Kemudian diharapkan juga adanya keserasian antar kedua

nilai tersebut akan menempatkan hukum pada tempatnya.50

50 Monalisawati. 2012. Perubahan Dan Efektivitas Hukum. Http//Monalisawati.Blogspot.Com. Diakses Pada Tanggal 27 November 2015 Pukul 22.43