bab i pica fix

18
BAB I PENDAHULUAN 1. Latar Belakang Pica adalah gangguan makan yang didefinisikan sebagai konsumsi zat-zat yang tidak bergizi secara terus menerus selama kurang lebih satu bulan. Menurut Diagnostic and Statistical Manual of Mental Disorders edisi keempat (DSM-IV), ingesti zat tidak bergizi harus tidak sesuai untuk tingkat perkembangan anak. Pica mungkin saja jinak namun bisa juga mengancam nyawa (APA, 2000). Pica jauh lebih sering ditemukan pada anak kecil dibandingkan dengan dewasa. Individu yang terdiagnosis pica dilaporkan menelan berbagai macam zat non pangan termasuk tanah liat, kotoran, pasir, batu, kerikil, rambut, es, kuku, kertas, kapur, kayu, bahkan batu bara. Pada orang dewasa, bentuk pika tertentu, termasuk geofagia (makan tanah) dan amilofagia (makan kanji), telah dilaporkan terjadi pada wanita hamil. Walaupun pica diamati paling sering terjadi pada anak-anak, gangguan makan ini adalah suatu hal yang paling umum terjadi pada individu dengan retardasi mental. Dalam beberapa masyarakat, pica adalah suatu hal yang bersifat budaya dan tidak dianggap patologis (APA, 2000). Pica terjadi di seluruh dunia. Geofagia adalah bentuk paling umum dari pica pada orang yang hidup dalam kemiskinan serta orang yang hidup di daerah tropis dan bersuku-suku. Pica adalah hal yang lazim terjadi di bagian barat Kenya, Afrika Selatan, dan India. Pica juga dilaporkan di Australia, Kanada, Israel, Iran, Uganda, Wales, Turki, dan Jamaika. Di beberapa Negara, bahkan tanah dijual untuk tujuan konsumsi. Di Indonesia sendiri belum ada data dan informasi yang jelas mengenai gangguan makan jenis ini (Hagopian, 2011). 1

Upload: m-fitrah-hidayat

Post on 06-Dec-2015

17 views

Category:

Documents


1 download

DESCRIPTION

PICA Eating Disorder

TRANSCRIPT

Page 1: BAB I PICA FIX

BAB I

PENDAHULUAN

1. Latar Belakang

Pica adalah gangguan makan yang didefinisikan sebagai konsumsi zat-zat yang tidak bergizi secara terus menerus selama kurang lebih satu bulan. Menurut Diagnostic and Statistical Manual of Mental Disorders edisi keempat (DSM-IV), ingesti zat tidak bergizi harus tidak sesuai untuk tingkat perkembangan anak. Pica mungkin saja jinak namun bisa juga mengancam nyawa (APA, 2000).

Pica jauh lebih sering ditemukan pada anak kecil dibandingkan dengan dewasa. Individu yang terdiagnosis pica dilaporkan menelan berbagai macam zat non pangan termasuk tanah liat, kotoran, pasir, batu, kerikil, rambut, es, kuku, kertas, kapur, kayu, bahkan batu bara. Pada orang dewasa, bentuk pika tertentu, termasuk geofagia (makan tanah) dan amilofagia (makan kanji), telah dilaporkan terjadi pada wanita hamil. Walaupun pica diamati paling sering terjadi pada anak-anak, gangguan makan ini adalah suatu hal yang paling umum terjadi pada individu dengan retardasi mental. Dalam beberapa masyarakat, pica adalah suatu hal yang bersifat budaya dan tidak dianggap patologis (APA, 2000).

Pica terjadi di seluruh dunia. Geofagia adalah bentuk paling umum dari pica pada orang yang hidup dalam kemiskinan serta orang yang hidup di daerah tropis dan bersuku-suku. Pica adalah hal yang lazim terjadi di bagian barat Kenya, Afrika Selatan, dan India. Pica juga dilaporkan di Australia, Kanada, Israel, Iran, Uganda, Wales, Turki, dan Jamaika. Di beberapa Negara, bahkan tanah dijual untuk tujuan konsumsi. Di Indonesia sendiri belum ada data dan informasi yang jelas mengenai gangguan makan jenis ini (Hagopian, 2011).

Pica diperkirakan terjadi pada usia 10 sampai 32 persen anak-anak antara usia 1 dan 6 tahun. Pada anak yang lebih dari 10 tahun, laporan pica menyatakan angka kira-kira 10 persen dari populasi. Terjadi penurunan linier seiring dengan bertambahnya usia. Pica kadang-kadang meluas ke golongan remaja namun jarang ditemukan pada orang dewasa yang tidak cacat mental. Pada individu dengan keterbelakangan mental, pica paling sering terjadi pada mereka yang berusia 10-20 tahun (Hagopian, 2011).

Bayi dan anak sering menelan cat, plester, tali, rambut, dan kani. Anak-anak lebih cenderung suka menelan kotoran hewan, pasir, serangga, daun, kerikil, dan punting rokok. Sedangkan remaja dan orang dewasa paling sering menelan tanah liat atau tanah. Pada wanita hamil muda, pica terjadi selama kehamilan pertama pada masa remaja akhir atau dewasa awal. Meskipun pica biasanya berhenti pada akhir kehamilan, namun bisa saja terus berlanjut hingga bertahun-tahun. Pica biasanya terjadi dengan frekuensi yang sama antara laki-laki dan perempuan, namun sangat jarang pada pria remaja dan dewasa (Young, 2010)

1

Page 2: BAB I PICA FIX

2. Tujuan

a. Tujuan Umum

Mengetahui tentang penyakit Pica atau gangguan makan.

b. Tujuan Khusus

1) Mengetahui definisi Penyakit Pica.

2) Mengetahui faktor penyebab Penyakit Pica.

3) Mengetahui faktor resiko Penyakit Pica.

4) Mengetahui penegakan diagnosis untuk Penyakit Pica.

5) Mengetahui manifestasi klinis Penyakit Pica.

6) Mengetahui komplikasi Penyakit Pica

7) Mengetahui penatalaksanaan Penyakit Pica.

8) Mengetahui pencegahan penyakit Pica

2

Page 3: BAB I PICA FIX

BAB II

PEMBAHASAN

1. Definisi

Pica ialah nafsu makan yang aneh, yaitu penderita menunjukkan nafsu makan terhadap berbagai atau salah satu obyek yang bukan tergolong makan, misalnya tanah, pasir, rumput, bulu, selimut wol, pecahan kaca, kotoran hewan, cat kering, dinding tembok, dan sebagainya (Hasan dan Alatas, 1985).

Pica adalah sebuah istilah yang menunjuk pada keinginan kuat untuk memakan benda-benda yang bukan merupakan makanan. Benda-benda yang dimakan oleh pasien penderita pica mencakup lumpur, batu es, tanah liat, lem, pasir, kapur, lilin tawon lebah, permen karet, kanji laundry, dan rambut, kodok dll.

Buku penuntun profesional kesehatan jiwa, the Diagnostic and Statistical Manual of Mental Disorders, edisi keempat, revisi naskah (2000), yang disingkat sebagai DSM-IV-TR, mengelompokkan pica dalam kategori “Gangguan Makan dan Pemberian Makan Bayi atau Anak Kecil.” Seorang pasien yang dapat didiagnosa dengan pica harus terus menerus memiliki keigninan kuat untuk memakan benda-benda bukan makanan selama sekurang-kurangnya satu bulan. Perilaku ini tidak pantas untuk tahap pertumbuhan anak. Lebih jauh, perilaku ini tidak boleh disetujui atau didorong oleh lingkungan sekitar anak.

2. Faktor Penyebab

Penyakit gangguan makan adalah kondisi kompleks yang diakibatkan dari kombinasi antara perilaku lama, biologis, emosi, psikologis, interpersonal dan factor social. Para ilmuwan dan ahli riset masih sedang mempelajari penyebab dasar kondisi emosi dan fisik yang merusak ini. Tetapi, kami telah mengetahui isu umum yang dapat mengkontribusi terhadap pengembangan ketidakaturan makan. Sebenarnya ketidakaturan makan walaupun dimulai dengan pemikiran tentang makanan dan berat badan, namum ia lebih dari itu. Orang yang mengalami ketidakaturan makan sering menggunakan makanan dan penguasaan atas makanan sebagai upaya mengkompensasi atas perasaan dan emosi yang sepertinya terlalu tak terkendali. Bagi sebagian orang, berdiet tidak makan atau memuntahkan, mula-mula adalah cara untuk mengatasi emosi yang menyakitkan dan merasa mengendalikan hidupnya, tapi pada akhirnya perilaku tersebut akan merusak kesehatan fisik dan emosi seseorang, harga diri dan rasa kemampuan dan kendali.

3

Page 4: BAB I PICA FIX

Faktor Psikologis yang dapat mengakibatkan penyakit gangguan makan:

a. Harga diri yang rendahb. Rasa kekurangan atau kurang kendali hidupc. Depresi, kecemasan, kemarahan atau kesepian

Faktor Interpersonal yang dapat mengakibatkan penyakit gangguan makan:

a. Hubungan keluarga dan pribadi yang bermasalahb. Kesulitan mengekspresikan emosi dan perasaanc. Sejarah diledek mengenai ukuran atau berat badand. Sejarah pelecehan seksual atau fisikal

Faktor Sosial yang dapat mengakibatkan penyakit gangguan makanan:

a. Tekanan budaya yang membanggakan “kelangsingan” dan memberi nilai tinggi atas pencapaian tubuh yang sempurna

b. Definisi kecantikan yang sempit yang hanya mencantumkan wanita dan pria dengan ukuran dan bentuk tubuh tertentu

c. Kebiasaan budaya yang menghargai orang atas dasar penampilan fisik dan bukan kualitas dan kekuatan dalam

Faktor Biologis yang dapat mengakibatkan penyakit gangguan makan:

a. Para ilmuwan masih sedang meneliti segala biokimia dan biologis penyebab ketidak aturan makan. Di sebagian individu yang mengalami ketidak aturan makan, kimia tertentu diotak yang mengendalikan kelaparan, selera dan pencernaan terbukti tidak seimbang. Arti dan implikasi dari ketidakseimbangan tersebut masih dalam investigasi.

b. Ketidak aturan makan sering terbawa dalam keluarga. Riset terkini member indikasi adanya penyebab genetik terhadap ketidakaturan makan

c. Penyakit gangguan makan adalah konsisi komplexs yang dapat diakibatkan dari berbagai penyebab yang potensial. Tetapi sekali dimulai, akan menciptakan suatu siklus yang menghancurkan fisik dan emosi Bantuan dari ahli professional direkomendasikan untuk mengatasi penyakit gangguan makanan.

Gangguan makan pada anak tidak sekadar sulit makan, melainkan juga makan berlebihan dan pica (kebiasaan makan benda yang tidak bisa dimakan). Pica disebabkan oleh gangguan perilaku. Kebiasaan anak mengonsumsi berbagai jenis benda yang tidak lazim, dan tidak memiliki kandungan gizi, seperti; tanah, kapur, cat, kertas, dll. Hal ini terjadi karena kebiasaan anak mencoba-coba dan tidak disertai penjelasan, atau dibiarkan karena tidak diketahui oleh orang tua (orang dewasa yang mengasuh anak).

Pica biasa terjadi pada anak-anak, ibu hamil dan orang dewasa. Penderita Pica biasanya mengonsumsi makanan yang tidak masuk akal. Pica sering terjadi pada anak-anak dan juga

4

Page 5: BAB I PICA FIX

orang dewasa. Sebanyak 10 hingga 32 persen anak-anak usia 1-6 tahun punya kebiasaan makan yang aneh ini. Tak hanya anak-anak, Pica juga bisa terjadi pada ibu hamil, terutama yang mengalami gangguan psikologis. Pica juga terjadi pada orang dewasa yang sedang diet, ketagihan tekstur tertentu pada mulutnya atau yang punya masalah sosial atau ekonomi.

Penyebabnya hingga kini masih belum diketahui dengan jelas. Tapi beberapa peneliti menduga kurangnya zat besi dan anemia memicu pola makan tersebut. Penderita Pica biasanya sering makan tanah, pasir, daun, batu, kapur, puntung rokok, lampu, pensil, besi, es, cat, tanah liat, bulu binatang, lumpur bahkan kotoran binatang.

Penyakit Pica tidak ada tanda maupun gejalanya. Satu-satunya cara untuk mengetahuinya adalah dengan melakukan tes darah guna mengetahui kandungan besi dan seng. Meskipun anak-anak memang sering memasukkan semua benda ke dalam mulutnya, tapi orang tua harus waspada dan curiga jika hal itu menjadi kebiasaan.

3. Faktor Resiko

Terdapat pada golongan anak di bawah umur 3 tahun, biasanya di atas 1 tahun, sebab bayi yang sedang belajar merangkak dan anak sapihan wajar bila suka memasukkan benda-benda yang dipegangnya ke dalam mulutnya.

a. Penderita defisiensi gizib. Penderita retardasi mental (Hasan dan Alatas, 1985).c. Ibu hamild. Orang yang dietnya rendah minerale. Orang yang memiliki gangguan kejiwaan seperti hysteriaf. Orang dengan cacat perkembangan atau gangguan serupag. Orang-orang yang keluarga atau etnisnya memakan zat non-makananh. Orang yang diet, menjadi lapar, dan mencoba untuk meringankan kelaparan dan ngidam

dengan zat rendah kalori (zat non-makanan) (HopeInterprises Inc)

4. Penegakan Diagnosis

Presentasi klinis pica sangat bervariasi dan berhubungan dengan sifat spesifik dari kondisi medis yang dihasilkan dan zat tertelan. Pada keracunan atau paparan agen infeksi, gejala dilaporkan sangat bervariasi dan berhubungan dengan jenis toksin atau agen infeksi tertelan. Gejala pada saluran Gastrointestinal (GI) seperti sembelit, sakit perut kronis atau akut yang mungkin menyebar atau terfokus, mual dan muntah, distensi perut, dan kehilangan nafsu makan.

5

Page 6: BAB I PICA FIX

Pasien mungkin menyembunyikan informasi mengenai perilaku pica dan menyangkal adanya pica ketika ditanya. Kerahasiaan ini sering mengganggu diagnosis yang akurat dan pengobatan yang efektif. Kisaran luas komplikasi yang timbul dari berbagai bentuk pica dan keterlambatan diagnosis yang akurat dapat menyebabkan gejala ringan sampai mengancam nyawa.

F98.3 Pica Masa Bayi dan Kanak

Pedoman diagnostic

Gejala pica adalah terus menerus makan zat yang tidak bergizi (tanah, serpihan cat, dsb). Pica dapat timbul sebagai salah satu gejala dari sejumlah gangguan psikiatrik yang luas

(seperti autisme), atau gangguan perilaku psikopatologisyang tunggal; hanya dalam keadaan yang disebut belakangan ini digunakan kode diagnosis ini. Fenomena ini paling sering terdapat pada anak retardasi mental, harus diberi kode diagnosis F70 – F79. Namun demikian, Pica juga dapat terjadi pada anak (biasanya pada usia dini) yang mempunyai intelegensia normal.

5. Pemeriksaan fisik

Temuan fisik yang terkait dengan pica sangat bervariasi dan berhubungan langsung dengan bahan yang tertelan dan konsekuensi medis selanjutnya. Temuan ini seperti berikut:

a. Tanda keracunanb. Tanda infeksi atau infestasi dari parasitc. Manifestasi pada Gastrointestinal (GI)d. Manifestasi pada gigie. Toksisitas iasna adalah keracunan yang paling umum yang terkait dengan pica. Tanda

fisiknya tidak spesifik dan iasna tak terlihat, dan kebanyakan anak dengan keracunan timah tidak menunjukkan gejala. Manifestasi fisik dari keracunan iasna dapat seperti gejala neurologis (misalnya, mudah tersinggung, lesu, ataksia, inkoordinasi, sakit kepala, kelumpuhan saraf iasna, papilledema , ensefalopati, kejang, koma, atau kematian) dan gejala pada saluran GI (misalnya, sembelit, sakit perut, kolik , muntah, anoreksia, atau diare).

f. Toxocariasis (termasuk larva migrans visceral dan ocular larva migrans) dan ascariasis merupakan infeksi parasit paling sering yang terkait dengan pica. Gejala Toxocariasis beragam dan tampaknya terkait dengan jumlah larva yang tertelan dan organ mana tempat larva bermigrasi. Temuan fisik yang terkait dengan migrans larva visceral adalah demam, hepatomegali, malaise, batuk, miokarditis , dan encephalitis. Ocular larva migrans dapat menyebabkan lesi retina dan kehilangan penglihatan.

g. Manifestasi pada saluran cerna berupa kelainan mekanik usus, sembelit, ulserasi, perforasi, dan pengahalang usus yang disebabkan oleh pembentukan bezoar dan konsumsi bahan yang dicerna ke dalam saluran pencernaan. Kelainan gigi dapat terlihat

6

Page 7: BAB I PICA FIX

pada pemeriksaan fisik, termasuk abrasi gigi yang parah, abfraksi, dan kehilangan permukaan gigi.

6. Manifestasi Klinis

Gejala-gejala pica berbeda-beda menurut benda yang dimakan:

a. Pasir atau tanah terkait dengan nyeri lambung dan perdarahan sesekali.b. Mengunyah es batu bisa menyebabkan kenampakan yang abnormal pada gigi.c. Memakan tanah liat bisa menyebabkan sembelit (konstipasi)d. Menelan benda-benda logam bisa menyebabkan perforasi ususe. Memakan benda kotoran sering mengarah pada penyakit infeksi seperti toksocariasis,

toksoplasmosis, dan trichuriasis.f. Memakan timah bisa menyebabkan kerusakan ginjal dan keterbelakangan mental.

Pica lebih umum pada anak-anak dibanding dewasa. Anak-anak antara usia 2 sampai 6 tahun telah diketahui mengalami Pica. Bayi dan anak-anak sampai usia 18 bulan tidak dianggap mengalami Pica utamanya karena bayi selama usia ini akan sering memasukkan apa saja ke dalam mulutnya, dan kebiasaan ini adalah kebiasaan normal bagi bayi. Beberapa anak-anak yang mengalami Pica dikatakan karena meniru hewan piaraan keluarga (seperti anjing dan kucing) yang mereka lihat memakan benda tertentu. Anak-anak perlu diawasi dan setiap benda berbahaya harus dijauhkan dari jangkauan mereka.

7. Komplikasi

Komplikasi pica (Ravinder, 2005) :

a. Infeksib. Obstruksi ususc. Menyebabkan keracunand. Malnutrisie. Diaref. Anemiag. Konstipasih. Kecacingan

8. Penatalaksanaan

a. Terapi lama

Menurut ADAManual Clinical Dietetics tahun 2000, Pica didefinisikan sebagai kelainan psikobehavioral yang melibatkan keinginan-keinginan (ngidam) yang abnormal untuk memakan sesuatu yang sebenarnya bukan merupakan makanan yang lazim dikonsumsi seperti tanah, kapur, dan sebagainya. Pica menjadi sebuah perhatian karena

7

Page 8: BAB I PICA FIX

substansi-substansi yang bukan merupakan makanan itu dikhawatirkan dapat menggantikan nutrisi-nutrisi dari makanan yang sesungguhnya dan hal ini bisa menjadi berbahaya. Menurut Andrews, 1998 sebenarnya tidak ada suatu panduan yang spesifik mengenai rencana terapi pada pica, tetapi pendekatan personal dan pemberian edukasi serta saran-saran yang baik mengenai nutrisi yang seimbang pada pasien pica menjadi suatu hal penting untuk upaya mengurangi keinginan-keinginan mengkonsumsi benda-benda yang aneh sehingga dapat tercipta keseimbangan nutrisi dalam tubuh. Rose, 2000 menyatakan bahwa penatalaksanaan pasien pica dengan cara yang sama belum tentu mendapatkan hasil yang sama, kesadaran dari praktisi kesehatan adalah hal yang paling penting dalam manajemen pasien pica (Cunningham dan Marcason, 2001).

b. Terapi Baru

1) Selective Serotonin Reuptake Inhibitors (Farmakologis)

Terapi baru yang kemungkinan bisa digunakan dan telah direkomendasikan karena hasil yang memuaskan saat diuji coba pada pasien pica adalah terapi farmakologis dengan selective serotonin re-uptake inhibitors (SSRi) dan neuroleptic atipikal lain. Terapi baru ini bekerja dengan memblok reuptake atau reabsorpsi serotonin oleh sel-sel saraf di otak. Beberapa jenis SSRi ini antara lain adalah fluvoxamin, zimelidin, paroxetin, fluoxetin, dan citalopram (Morrow, 2010).

2) Bupropion (Farmakologis)

Bupropion merupakan golongan obat dari amino ketone norepinephrine and dopamine reuptake inhibitor yang terbukti bisa digunakan sebagai terapi pada gangguan pica yang persisten, kronik, dan mengalami ketergantungan nikotin yang parah (Ginsberg, 2006).

Intervensi perilaku pada pasien pica dengan tujuan untuk mengalihkan perhatian, seperti menyusun ulang llingkungannya, konseling, dan terapi-terapi perilaku yang lain tidak berhasil, maka terapi farmakologis merupakan opsi selanjutnya seperti bupropion (Ginsberg, 2006).

Pada juli 2003, bupropion dikeluarkan dengan regimen 100 mg dua kali sehari ditambah dengan lamotrigin 200 mg tiga kali sehari, gabapentin 600 mg tiga kali sehari, topiramat 200 mg tiga kali sehari, zonisamide 300 mg, loratadin 10 mg/hari, naltrexon 50 mg/hari, propanolol 60 mg dua kali sehari, paroxetin 40 mg/hari, risperidone 3 mg dua kali sehari, multivitamin setiap hari, dan vitamin E 800 IU dua kali sehari. Pada penelitian yang telah dikakukan, pemberian bupropion selama 12 bulan, pasien mengalami penurunan episode pica menjadi 6.25 kali setiap bulan, dan penurunan iasn 0.9 kali episode per bulan dalam 11 bulan pemakaian obat (Ginsberg, 2006).

8

Page 9: BAB I PICA FIX

3) Response Effort (Pendekatan perilaku)

Response effort merupakan salah satu terapi pada pica dengan pendekatan metode perilaku. Pada terapi ini, yang dinilai adalah usaha pasien untuk berusaha memakan sesuatu yang menjadi objek pica dan iasnative lain yang bukan objek pica. Pada penelitian yang dilakukan oleh Piazza et al (2002), penelitian ini menggunakan tiga orang yang mengalami gangguan kejiwaan dan iasn ke klinik Neurobehavioral di Kennedy Krieger Institute. Pasien pertama memiliki riwayat memakan kunci mobil, batu, tongkat penunjuk, kotoran, sarung tangan, dan baterai. Pasien kedua memiliki riwayat memakan batu, tongkat penunjuk, plastic, dan kotoran. Pasien ketiga memiliki riwayat memakan batu, tongkat penunjuk, kotoran, pakaian, sabun, dan feces (Piazza, 2002).

Penelitian dilakukan di ruang tertutup yang terbuat dari bahan yang aman jika dimakan, lalu disimpan benda objek yang biasa dimakan (seperti kunci mobil, kotoran, dll) dan benda lain yang menjadi iasnative), dari kedua benda tersebut akan diletakkan sedemikian caranya sehingga pasien akan menggunakan low effort atau high effort untuk menjangkau benda-benda tersebut. Penelitian dilakukan dengan mengamati response effort pada pica dan benda iasnative. Hasil dari penelitian ini menunjukkan bahwa pada usaha untuk mendapatkan benda iasnative itu tinggi (high effort) sedangkan usaha untuk mendapatkan objek pica mudah (low effort) maka pasien akan menjangkau objek pica dan memakannya. Sehingga, jika kita menurunkan usaha untuk menjangkau benda iasnative akan menurunkan frekuensi kejadian pica. Pada keadaan objek pica mudah dijangkau (low effort) misalnya benda-benda yang didapat bebas ketika sedang bermain; dan benda iasnative disimpan susah untuk dijangkau (misalnya di saku seseorang di sekitar anak) maka akan menurunkan kejadian pica. Sehingga kesimpulannya, para orang tua atau yang merawat pasien pica harus bisa menyimpan benda-benda yang berbahaya untuk dimakan di tempat-tempat yang aman, dan meletakkan benda-benda pengalih perhatian (benda iasnative) di tempat-tempat yang menarik untuk pasien sehingga bisa mengurangi frekuensi pica pada pasien (Piazza, 2002).

4) Response Blocking

Response Blocking merupakan usaha yang dilakukan oleh individu yang merawat atau menjaga pasien pica agar tidak mengambil benda (bukan makanan) untuk dimakan. McCord dan Grosser (2005) melakukan penelitian tentang response blocking pada pasien pica yang dilakukan selama 10 menit selama 3 sampai dengan 5 hari setiap minggu. Pada penelitian ini, pasien ditempatkan di ruangan tertutup yang di dalamnya terdapat kertas segi empat yang dilekatkan ke lantai dan di atas kertas tersebut disimpan benda-benda (bukan makanan) yang bisa dimakan oleh pasien pica. Lalu ada seorang terapis yang ada di ujung ruangan berjarak 3.1 m dari benda yang ada di atas lantai. Pada percobaan pertama, terapis tidak bereaksi apa-apa (tidak mencegah/mem-block) pasien saat akan mengambil benda di atas kertas. Percobaan kedua, terapis mencegah ketika benda sudah

9

Page 10: BAB I PICA FIX

berjarak 0.3 m dari mulut pasien, pada percobaan ketiga, terapis mencegah pasien mengambil benda di atas kertas (McCord dan Grosser, 2005).

Pada penelitian ini menunjukan bahwa jika pasien tidak dicegah maka pasien akan dengan leluasa memakan benda-benda bukan makanan tersebut, walaupun dicegah, tetapi jika dicegah saat makanan sudah diambil maka efeknya tidak efektif, pasien tetap tidak mau menjatuhkan makanan tersebut. Hasil dari pencegahan ini akan efektif jika perawat atau seseorang yang menjaga pasien mencegah pasien mengambil benda-benda berbahaya untuk dimakan. Sehingga, kesimpulannya adalah pencegahan tidak efektif jika dilakukan setelah pasien mengambil benda untuk dimakan, tetapi harus dilakukan usaha untuk mencegah pasien menjangkau benda-benda berbahaya untuk dimakan tersebut (McCord dan Grosser, 2005).

9. Pencegahan

Cara efektif untuk mencegah agar anak tidak memiliki perilaku pica tidak lain adalah peran orang tua. Orang tua harus aktif menjaga anaknya yang masih dalam tahap pengenalan dari benda-benda yang berbahaya, dan mengenalkannya dengan benda-benda yang aman untuk anak seusia tersebut. Hal seperti itu sangat perlu sebagai upaya pencegahan agar pica tidak terjadi pada anak. Orang tua juga sebaiknya rutin memeriksakan anak untuk mengecek apakah tidak ada bahan berbahaya yang pernah ditelan oleh anak. Namun jika anak sudah memiliki kebiasaan itu, maka orang tua harus bisa tegas dan intensif untuk menyembuhkan kebiasaan anak. Kenyataannya sekarang banyak orang tua yang kasian melihat anaknya menangis karena ingin makan serbuk bata atau bedak sehingga mereka membiarkannya makan sekehendak anak. Cara tersebut jelas salah dan merupakan pengejewantahan dari wujud ketidak tahuan orang tua dalam mendidik anaknya. Karena bentuk rasa kasihan seperti itu bukanlah wujud kasih sayang orang tua kepada anak, melainkan justru malah membahayakan kesehatan anaknya.

Sekali lagi orang tua harus tegas! Orang tua tidak boleh menuruti keinginan anaknya jika meminta benda-benda asing untuk dimakan, orang tua juga harus mengawasi anak ketika bermain. Ketika anak lapar dan ingin makan, orang tua bisa memanfaatkan hal tersebut untuk mengenalkannya jenis-jenis makanan yang sehat dan bergizi dengan tujuan untuk mengalihkan perhatian anak pada benda yang ingin dimakan ke makanan yang betul-betul layak untuk dimakan. Rangsang otak anak dengan makanan-makanan yang bergizi ketika dirinya lapar, ketika otak terbiasa dengan rangsangan dari makanan maka lama kelamaan perhatian anak akan teralihkan dari benda-benda asing yang ingin dia makan.

Jadi intinya adalah fokus perhatian orang tua terhadap perilaku anak, kebiasaan anak, dan tumbuh kembang anak karena kewajiban orang tua memang mengasuh anaknya. Untuk mencegah dan mengobati pica, orang tua perlu meluangkan waktunya untuk menemani anak bermain, mengajarkannya makanan yang baik, menjauhkannya dari benda-benda keras dan

10

Page 11: BAB I PICA FIX

berbahaya, serta menjaga kebiasaan tidur anak sehingga anak dapat tumbuh dengan sehat dan jauh dari pica yang merupakan eating disorder.

11

Page 12: BAB I PICA FIX

BAB III

KESIMPULAN

Kesimpulan

Pica ialah nafsu makan yang aneh, yaitu penderita menunjukkan nafsu makan terhadap berbagai atau salah satu obyek yang bukan tergolong makan, misalnya tanah, pasir, rumput, bulu, selimut wol, pecahan kaca, kotoran hewan, cat kering, dinding tembok, dan sebagainya. Gejala pada saluran Gastrointestinal (GI) seperti sembelit, sakit perut kronis atau akut yang mungkin menyebar atau terfokus, mual dan muntah, distensi perut, dan kehilangan nafsu makan. Terapi yang dapat diberikan diantaranya dengan farmakologis yaitu Selective Serotonin Reuptake Inhibitors dan Bupropion, serta non farmakologis dengan respons effort dan respons blocking.

12

Page 13: BAB I PICA FIX

DAFTAR PUSATAKA

1. McCord, B.E;Grosser, J.W.;Iwata, B.A.; Powers, L.A.(2005).” An Analysis of Responese-blocking parameters in the Prevention of Pica”. J Appl Behav Anal; 38(3):391-394.

2. Maslim, Rusdi. 2013. Diagnosis Gangguan Jiwa, Rujukan Ringkas PPDGJ – III dan DSM – 5. Jakarta: Bagian Ilmu Kedokteran Jiwa FK – Unika Atmajaya.

3. Patel. MR, Piazza CC, Martinez CJ, et al. (2002) “An evaluation of two differential reinforcement procedures with escape extinction to treat food refusal”. J App Behav Anal; 35: 363-74

4. American Psychiartric Association.(2000). Diagnostic and Statistical Manual of Mental Diorder:DSM-IV-TR. Washington,DC: American Psychiatric Assosiation

5. Cunningham E and Marcason W.(2001).”Entomophagy: what is it and why are people doing it?”. J Am Diet Assoc;101(1) : 785

6. Hasan R dan Alatas M.1985.Buku Ajar Ilmu Kesehatan Anak. Jakarta: Bagian Ilmu Kesehatan Anak FK – UI.

7. Ravinder K. Gupta and Ritu Gupta. 2005. Clinical Profik of Pica in Childhood.Vol.7 No.2 dari Adval Pediatrik Clinic. Nal Basti Jammu and The Departement of Psykology. Government Medical Collage Jammu.

8. Morrow, Alina. 2010. Condition and Desease: Eating & Weight Disorder. Online. Diunduh dari http://www.omnimedicalsearch.com/conditions-disease/pica-disorder-treatment-options.hyml pada tanggal 10 september 2015

9. Hangopian, L. P:Rooker. G.W: Rolider. N. U. Identifvino Empirically Supported Treatment for Pica in Individuals with Intellectual Disabilities. Res Dev Disabil. Nov-Dec 2011:32(6):2114-20.

10. Young. S.L Pica in Pregnancy: New Ideas and Old Condition.Annu Rev Nutr. Aug 21 2010:30;403-22

13