bab 2 tinjauan pustaka 2.1. fibrosis...
TRANSCRIPT
6
BAB 2
TINJAUAN PUSTAKA
2.1. Fibrosis Hepar
2.1.1. Definisi
Fibrosis merupakan respon intinstik tubuh terhadap jejas kronis, yang
menyebabkan deposisi matriks ekstraselular yang berlebihan dan menjadi jaringan
parut, yang secara langsung mempengaruhi fungsi dan bentuk hepar (Saab, Mallam,
Cox, et al, 2014). Pembentukan jaringan parut merupakan respon penyembuhan normal
tubuh terhadap jejas, namun dalam fibrosis hepar respon penyembuhan ini justru
semakin memperburuk keadaan hepar. Jejas yang menyebabkan fibrosis hepar
merupakan jejas kronis akibat berbagai macam faktor (Higleyman & Franciscus,
2014).
2.1.2. Etiologi dan Epidemiologi
Jejas yang menyebabkan rusaknya hepatosit dapat diakibatkan oleh infeksi
virus, alkohol, toksin, trauma, cholestasis, dan faktor lain (Castera, Chan & Arrese,
2015). Faktor-faktor di atas mempengaruhi satu sama lain dan membuat jejas pada
hepatosit yang akan menyebabkan akumulasi protein Extracellular Matrix (ECM) yang
dapat merusak arsitektur hepar. Protein ECM yang terakumulasi ini terdiri dari protein
kolagen yang akan mengalami crosslinking dan membentuk jaringan parut fibrosa yang
dalam perkembangannya dapat menjadi sirosis hepar (Gines & Schrier, 2009).
7
Tabel 2.1. Faktor –faktor dalam progesi fibrosis pada penyakit hepar kronis
Jenis penyakit Candidate genes Faktor nongenetik
Hepatitis C HFE
Angiotensinogen
TGF-β1
TNF-α
ApoE
MEH
MCP-1
MCP-2
Factor V
Konsumsi alkohol
Koinfeksi HIV & HBV
Usia
Transplantasi hepar
Diabetes mellitus
Tidak berespon terapi
Induksi alkohol IL-10
IL-1β
ADH
ALDH
CYP2E1
TNF-α
CTLA-4
TAP2
MnSOD
Konsumsi alkohol
Episode hepatitis alkoholik
NASH HFE
Angiotensin
TGF-β1
Usia
Beratnya obesitas
Diabetes mellitus
Hipertrigliserida
Sirosis Bilier primer IL-1β
TNF-α
ApoE
Hepatitis autoimun HLA-II Hepatitis autoimun tipe II
Tidak respon terapi
(Anom & Wibawa, 2010)
Fibrosis hepar yang kemudian berkembang menjadi sirosis dapat berakibat fatal
bagi pasien dan dapat menuju kematian. Di Eropa setiap tahunnya 170.000 kasus
meninggal dunia dan di Amerika Serikat mencapai 33.539 kasus meninggal dunia. Bila
sudah mencapai sirosis, satu-satunya terapi yang dapat mengembalikan kualitas hidup
pasien adalah transplantasi hepar (Blachier, Leleu, Radosavljevic, et al, 2013).
8
2.1.3. Patogenesis
Fibrosis hepar merupakan hasil dari proses yang dinamik sebagai akibat dari
tidak seimbangnya sintesis dan degradasi Extracellular Matrix (ECM). Fibrosis hepar
diawali dengan paparan jejas yang dapat menyebabkan rusak atau apoptosit dari
hepatosit. Kerusakan dari hepatosit menyebabkan pelepasan sitokin proinflamatori
Transforming Growth Factor β1 (TGF-β1), Tumor Necrotizing Factor α (TNF-α),
Reactive Oxygen Species (ROS), Platelet-Derived Growth Factor (PDGF) serta
aktivasi sel Kupffer melalui Toll-Like Receptor 4 (TLR4). Sitokin-sitokin tersebut
menyebabkan aktivasi Hepatic Stellate Cell (HSC) yang normalnya berfungsi sebagai
deposit vitamin A dalam hepar berdiferensiasi menjadi myofibroblas yang
memproduksi protein matriks (Xu, Zhang & Wang, 2012).
HSC yang teraktivasi memproduksi glikoprotein, glikans, dan kolagen. Selama
perkembangan terjadinya fibrosis, Extracellular Matrix (ECM) dipenuhi oleh protein-
protein tersebut dengan kolagen tipe 1 sebagai volume terbanyak. Selain protein ECM,
HSC juga memproduksi Matrix Metalloproteinase (MMP) yang berfungsi untuk
mendegenerasi tumpukan kolagen di ECM sehingga pada posisi ini fibrosis hepar
memiliki potensi reversibel. Produksi MMP akan meningkat bila sumber jejas
dihilangkan sehingga stress oksidatif menurun. Namun apabila sumber jejas dibiarkan
terus-menerus dan semakin banyak hepatosit yang mati, HSC akan memproduksi
Tissue-Inhibitor Matrix Metalloproteinase (TIMP) yang bekerja dengan menghambat
MMP dan mempertahankan jaringan ikat kolagen di ECM (Lingwal, Bhatt & Kothiyal,
2015). Jaringan ikat kolagen di ECM berfungsi mempertahankan arsitektur hepar disaat
banyaknya sel hepar yang mati. Proses ini menyebabkan jaringan parenkim hepar akan
9
digantikan oleh jaringan ikat, dimana prosesnya akan berjalan perlahan, ireversibel dan
dapat menuju sirosis hepar (Lee & Friedman, 2011).
Gambar 2.1. Mekanisme aktivasi HSC dalam fibrogenesis
Aktivasi dari HSC merupakan awal dari fibrogenesis, dimana HSC berdiferensiasi
menjadi sel myofibroblas yang berkontraktil. Jejas hepatosit yang menginisiasi sel Kupffer
serta pelepasan mediator inflamasi adalah faktor yang mengaktivasi HSC. Aktivasi HSC
meningkatkan produksi protein matriks ekstrasel seperti kolagen, glikoprotein dan glikans.
(Lingwal, Bhatt & Kothiyal, 2015)
Mekanisme regresi dari fibrosis hepar dapat disebabkan oleh aktivitas dari sel
Natural Killer (NK) yang dapat menginisasi apoptosis dari HSC. Mekanisme sel NK
dalam inisiasi apoptosis HSC adalah melalui TNF-related apoptosis-induced ligand
(TRAIL). Pada keadaan akut keseimbangan jaringan dalam hepar masih stabil dimana
aktivasi sel Kupffer, HSC, produksi kolagen, dan jumlah kematian hepatosit masih bisa
ditopang serta dikendalikan sehingga aktivitas dari sel NK dalam menginisiasi
apoptosis HSC masih dapat terjadi. Namun dalam kondisi kronis jumlah hepatosit yang
mati semakin meningkat menyebabkan aktivasi sel Kupffer yang berlebihan dimana
sel Kupffer berfungsi mengaktivasi HSC melalui TLR4 dan melepaskan TGF-β1.
Pelepasan TGF- β1 menekan aktivitas sel NK sehingga fungsinya dalam
10
mengendalikan apoptosis HSC tidak dapat dilakukan dan hal ini dapat mennuju fibrosis
yang progresif (Seki & Schwabe, 2015).
Gambar 2.2. Konsep dari regresi fibrosis
Dalam proses terjadinya regresi fibrosis terdapat empat mekanisme yang dibutuhkan
yaitu inhibisi faktor jejas, perubahan suasana inflamasi, deaktivasi HSC, dan degradasi
extracellular matrix
(Biswas & Sharma, 2016)
2.1.4. Diagnosis
Standar emas untuk diagnosis fibrosis hepar adalah biopsi untuk dilakukan
pemeriksaan histopatologis. Pemeriksaan laboraturium lain bisa dilakukan seperti
kadar AST/ALT, hitung platelet atau albumin serum namun tidak selalu akurat.
Pemeriksaan biopsi hepar menjadi standar emas dikarenakan langsung melihat jaringan
hepar dan dapat ditentukan staging fibrosisnya (Lumongga, 2010). Dalam pemeriksaan
histopatologis hepar, staging ditentukan umumnya menggunakan metode Metavir dan
skor Ishak (Regev, 2002).
11
Selain pemeriksaan laboraturium dan biopsi dapat juga dilakukan pemeriksaan
pencitraan dengan MRI atau USG. Pemeriksaan dengan pencitraan tidak bersifat
invasif namun ketelitian dan interpretasi sangat bergantung pada operator terutama
untuk USG. MRI dapat mencitrakan kerusakan hepar sedang sampai berat lebih baik
daripada USG namun memiliki kekurangan dari segi biaya (Callewaert, 2004).
2.1.5. Penanganan dan Pencegahan
Fibrosis hepar merupakan penyakit kronis yang gejalanya sangat jarang
disadari oleh pasien kecuali sudah dalam kondisi yang berat. Fibrosis ringan sebagian
besar bersifat asimptomatik sehingga pasien tidak menyadari bahaya yang akan datang.
Pengaruh fibrosis pada arsitektur hepar serta distorsi vena porta merupakan penyebab
utama morbiditas dan mortalitas pasien. Eliminasi dan penanganan preventif dari
etiologi fibrosis hepar seperti antivirus untuk hepatitis B atau C dapat menurunkan
jumlah virus dalam tubuh, namun pada kasus seperti NASH yang berhubungan dengan
obesitas serta diabetes tipe 2 tidak dapat dilakukan penanganan preventif. Sebagian
besar pasien yang datang ke klinik dan rumah sakit diketahui berada pada tahap fibrosis
berat atau bahkan sirosis yang sudah tidak mungkin reversibel. Dewasa ini pencegahan
fibrosis untuk berkembang menjadi sirosis dengan menggunakan antifibrotik menjadi
fokus penelitian (Schuppan & Kim, 2016).
Terapi antifibrotik menjadi penting karena apabila fibrosis hepar telah
berkemang menjadi sirosis, dibutuhkan transplantasi hepar untuk dapat
mengembalikan kualitas hidup pasien. Namun transplantasi hepar memiliki kendala
yang cukup besar bagi sebagian pasien seperti biaya dan pendonor. Selain itu pada
12
pasien penderita HCV, setelah dilakukan transplantasi hepar dapat terjadi rekuren virus
(Anom & Wibawa, 2010).
Strategi dalam penanganan fibrosis hepar secara umum menuju pada
mekanisme regresi fibrosis. Banyak penelitian saat ini fokus kepada empat pendekatan
farmakologis untuk meningkatkan mekanisme regresi fibrosis. Fokus pertama adalah
meminimalisir kerusakan pada jejas jaringan sehingga pelepasan mediator inflamasi
dan produksi protein intersisial menurun. Fokus kedua adalah perubahan
keseimbangan suasana di hepar dari pro-fibrogenik menjadi anti-fibrogenik dengan
menurunkan makrofag pro-inflamatori. Fokus ketiga adalah deaktivasi atau apoptosis
dari Hepatic Stellate Cell (HSC) dimana HSC merupakan produsen utama dari kolagen
intersisial. Fokus keempat adalah degradasi penumpukan kolagen dan protein ECM
dengan menghambat crosslinking kolagen (Biswas & Sharma, 2016).
2.2. Hepar
2.2.1. Anatomi dan Histologi
Unit fungsional dasar hepar adalah lobulus hepar, yang berbentuk silindris
dengan diameter 0.8 - 2 milimeter. Normalnya hepar manusia terdiri dari 50.000
sampai 100.000 lobulus. Lobulus didalam hepar mengelilingi vena sentralis yang akan
bermuara pada vena hepatica. Didalam lobules terdapat lempeng sel hepar yang
memancar secara sentrifugal dari vena sentralis dan diantara sel terdapat kanalikuli
biliaris kecil yang bermuara di duktus biliaris yang berada di dalam septum fibrosa
(Guyton & Hall, 2006).
Pada septum juga terdapat venula porta kecil, arteriol hepar, serta dua tipe sel
yaitu sel Kupffer dan sel endotel khusus. Diantara lapisan sel endotel dan sel hepar
13
terdapat ruangan yang disebut ruang Disse yang menjadi tempat terdapatnya HSC.
Terdapat jutaan ruang Disse yang saling menghubungkan pembuluh limfe di dalam
septum interlobularis. Pori-pori dari lapisan endotel cukup besar sehingga membuat
cairan plasma dapat bebas bergerak masuk kedalam ruang Disse. Apabila terdapat
banyak cairan dalam ruangan ini akan langsung dialirkan kedalam pembuluh limfatik
(Guyton & Hall, 2006).
Gambar 2.3. Penampang hepar
Diantara hepatosit dan endotel sinusoid terdapar ruang Disse dimana teradapat
hepatic stellate cell, sedangkan dalam cavum sinusoid terdapat sel Kupffer
(Bataller & Brenner, 2005)
2.2.2. Fisiologi Hepar
2.2.2.1. Fungsi metabolisme
Tiga metabolisme dasar yang diregulasi oleh hepar adalah metabolisme
karohidrat, protein, dan lemak. Fungsi metabolik lain yang terdapat dalam hepar adalah
penyimpanan vitamin, faktor koagulasi, penyimpanan besi, dan metabolisme obat,
hormon, serta zat lain. Dalam metabolisme karbohidrat, hepar berfungsi untuk
mempertahankan konsetrasi glukosa dalam darah. Metabolisme lemak bisa terjadi pada
semua sel tubuh namun pembentukan lipoprotein, fosfolipid, kolesterol dan
pengubahan karbohidrat serta protein menjadi lemak sebagian besar terjadi di hepar.
14
Sekitar 80% kolesterol yang disintesis dalam hepar diubah menjadi garam empedu
yang kemudian disekresikan ke dalam empedu. Fosfolipid yang juga disintesa dalam
hepar ikut dibawa oleh lipoprotein yang nantinya bersama dengan kolesterol berfungsi
membentuk membran, struktur intraselular, dan regulasi selular (Guyton & Hall, 2006).
Hepar juga melakukan metabolisme protein yang paling penting dalam tubuh.
Hampir 90% dari protein plasma dihasilkan oleh sel hepar. Selain itu deaminasi asam
amino merupakan metabolisme penting yang dilakukan hepar. Metabolism lain yang
penting dalam hepar adalah metabolisme obat, hormone, atau zat kimia. Medium kimia
yang aktif dari hepar dikenal kemampuannya dalam detoksikasi atau ekskresi dari
berbagai obat seperti sulfonamide, penisilin, ampisilin, dan eritromisin melalui
empedu. Beberapa hormon dan zat kimia yang masuk kedalam tubuh diekskresi atau
dihambat secara kimia oleh hepar (Guyton & Hall, 2006).
2.2.2.2. Fungsi ekskresi
Pembentukan zat empedu oleh hepar yang kemudian akan diekskresikan
melalui feses salah satunya adalah bilirubin. Bilirubin dibentuk dari pemecahan sel
darah merah (hemoglobin) yang mati atau rapuh. Hemoglobin normalnya berusia 120
hari yang kemudian akan menjadi rapuh dan akan difagositosis oleh jaringan makrofag
di seluruh tubuh. Awalnya bilirubin akan dipecah menjadi heme dan globin. Cincin
heme kemudian akan dipecah dengan tujuan membebaskan besi kedalam darah lalu
sisa pemecahan ini akan didegradasi menjadi bilirubin bebas (bilirubin tidak
terkonjugasi) yang akan berikatan dengan albumin plasma. Saat bilirubin bebas masuk
melalui membran sel hepar, ikatan bilirubin dan albumin akan dilepas. Selanjutnya
15
bilirubin akan dikonjugasikan dengan asam glukuronat yang akan disebut bilirubin
terkonjugasi (Guyton & Hall, 2006).
Bilirubin terkonjugasi dikeluarkan melalui proses transport aktif menuju
kanalikulo empedu yang nantinya akan masuk kedalam usus halus. Dalam usus halus,
bilirubin terkonjugasi akan terpapat dengan normal flora dan akan diubah menjadi
urobilinogen yang mudah larut. Sekitar 5% akan diekskresikan melalui ginjal menjadi
urin dan sisanya diekskresikan menjadi feses (Guyton & Hall, 2006).
2.2.3. Jejas dan Respon Inflamasi
Inflamasi merupakan respon dasar dari hepar dalam paparan paogen dan
merupakan karakteristik utama dari penyakit hepar kronis dari virus, alkohol,
perlemakan, dan autoimun. Kerusakan hepatosit akibat jejas, menyebabkan pelepasan
sitokin proinflamatori yang menginisiasi proses inflamasi didalam hepar. Tujuan
terbentuknya respon inflamasi sebagai mekanisme penyembuhan luka merupakan
sebagai stabilitas mekanis untuk arsitektur hepar, menghilangkan debris selular, dan
meningkatkan regenerasi sel hepar. Apoptosis dari hepatosis mengaktifkan makrofag
yang kemudian berfungsi memunculkan fibrogenesis yang dimodulasi HSC. Kematian
hepatosit yang memunculkan respon inflamasi merupakan faktor utama aktivasi fungsi
fibrogenesis dari hepatic stellate cell (HSC) melalui ekspresi tumor necrosis factor-α
(TNF-α), transforming growth factor-β1 (TGF-β1), dan reactive oxygen species (ROS)
(Kitano & Bloomston, 2016).
16
Gambar 2.4. Mekanisme respon inflamasi Jejas pada hepatosit menimbulkan respon inflamasi yang menghasilkan fibrosis
(Kitano & Bloomston, 2016)
Fibrogenesis merupakan respon multiselular dari mekanisme inflamasi yang
dimodulasi hepar untuk mempertahankan stabilitas sel. Bagaimanapun juga respon
penyembuhan luka ini menjadi maladaptif ketika penyebab yang mendasari tidak bisa
dihilangkan dan apoptosis dari hepatosit menjadi kronis. Hal ini menyebabkan
menyebabkan inflamasi kronis dan menginisiasi perkembangan fibrosis hepar
progresif (Seki & Schwabe, 2015).
2.3. Carbon Tetrachloride (CCl4)
2.3.1. Definisi
Carbon tetrachloride (CCl4) merupakan senyawa kimia yang direkayasa dalam
pabrik dan tidak didapatkan secara alami di lingkungan sekitar. Bentuk CCl4 yaitu
cairan bening dan mudah sekali untuk berevaporasi, karena itu seringnya CCl4
ditemukan dalam bentuk gas. CCl4 memiliki aroma yang manis dan kebanyakan orang
baru dapat menciumnya saat konsentrasi CCl4 mencapai 10 ppm. Karena CCl4 mudah
sekali menguap, sehingga lapisan ozon menjadi tempat bertumpuknya CCl4 di
17
atmosfer. Namun CCl4 akan berdegradasi menjadi bahan kimia lain dalam hitungan
tahun (Gerberding, 2005).
Produksi CCl4 dilakukan di pabrik dalam jumlah yang sangat besar sebagai
cairan kulkas dan propellan untuk tabung aerosol. Kedua produk tersebut menyebabkan
CCl4 mudah sekali menguap dan menambah endapan CCl4 pada lapisan ozon, sehingga
produksinya dihentikan. Selain sebagai cairan kulkas dan propellan, CCl4 juga pernah
digunakan sebagai pemadam api, cairan pembersih, dan insektisida (Gerberding,
2005).
2.3.2. Mekanisme Toksisitas
Bila CCl4 terpapar pada tubuh manusia atau hewan, organ yang paling sensitif
adalah hepar. Diketahui hepar memiliki fungsi metabolisme dan ekskresi zat kimia.
Didalam hepar akan mengalami metabolisme oleh enzim CYP2E1, CYP2B1,
CYP2B2, atau CYP3A untuk menghasilkan CCl3 yang merupakan radikal bebas.
Radikal bebas ini akan berikatan pada molekul sel seerti asam nukleat, protein, atau
lemak. Salah satu yang paling merusak adalah CCl3 bereaksi dengan oksigen
membentuk triklorometil peroksi (OOCCl3) yang merupakan penyebab stress oksidatif
dapat merusak sitokrom P-450 (World Health Organization, 2004).
Triklorometil peroksid kemudian akan berikatan secara kovalen dengan lemak
mikrosomal dan protein serta bereaksi langsung dengan membran fosfolipid dan
kolesterol. Reaksi ini menginisiasi terbentuknya lipid hiroperoksidase (LOOH) dan
lipid alkoksil (LO) melalui proses fragmentasi yang akan menjadi malonaldehid.
Senyawa aldehid ini akan menyebabkan rusaknya permeabilitas mitkondrial, reticulum
endoplasma, dan membrana plasma. Kerusakan ini akan menyebabkan hilangnya
18
kalsium dan homeostasis dari sel yang dapat membuat sel rusak secara keseluruhan
(Weber, Boll & Stampfl, 2003).
2.4. Jinten Hitam
Tanaman jinten hitam (Nigella sativa) sering ditemukan di daerah timur tengah
seperti Suriah, Lebanon, Israel, India, dan sampai Eropa selatan. Rata-rata tinggi
tanaman jinten hitam mencapa 45 cm dengan panjang daun 2.5 cm-5 cm dan memiliki
bunga berwarna biru pucat dan terkadang putih. Pada tangkai bunga terdapat kapsul
berisi biji berbentuk tabung yang sedikit pipih. Biji jinten hitam ini sering digunakan
untuk pengobatan tradisional (Paarakh, 2010).
Dalam Islam, biji jinten hitam dipercaya memiliki khasiat yang besar. Dalam
Ash- Shohihain diriwayatkan hadits dari Ummu Salamah, dari Abu Hurairah R.A,
Rasulullah SAW bersabda “Sesungguhnya pada jintan hitam itu terdapat obat untuk
segala macam penyakit kecuali kematian”. Ibnu Sina juga menyatakan dalam bukunya
The Canon of Medicine bahwa biji jinten hitam dapat meningkatkan energi dan
menyembuhkan fatigue serta kelemahan (Paarakh, 2010).
2.4.1. Taksonomi
Kerajaan (Kingdom) : Plantae
Divisi (Division) : Magnoliophyta
Kelas (Class) : Magnoliopsida
Bangsa (Order) : Ranunculales
Suku (Family) : Ranunculaceae
Marga (Genus) : Nigella
Jenis (Species) : N. sativa (Sultana, Asif, Akhtar, et al, 2015)
19
Gambar 2.2. Biji Jinten Hitam
(Paarakh, 2010)
Gambar 2.3. Bunga Jinten Hitam
(Sultana, Asif, Akhtar, et al, 2015)
2.4.2. Kandungan
Biji jinten hitam mengandung dua jenis alkaloid yaitu alkaloid isoquinolin
misalnya nigellicimin dan alkaloid pyrazol misalnya nigellidin. Selain alkaloid, biji
jinten hitam mengandung protein (26.7%), lemak (28.5%), karbohidrat (24.9%), serat
(8.4%), dan karbon (4.8%). Vitamin dan mineral juga didapatkan dalam biji jinten
hitam seperti tembaga (Cu), fosfor (P), seng (Zn), dan besi (Fe). Dari kandungan
tersebut didapatkan senyawa aktif paling banyak yang memiliki efek pada tubuh yaitu
thymoquinone (30%-48%), p-cymene (7%-15%), carvacrol (6%-12%), 4-terpineol
20
(2%-7%), tanethol (1%-4%), dan sesquiterpene longifolene (1%-8%) (Sultana, Asif,
Akhtar, et al, 2015).
2.4.3. Kegunaan dan Manfaat
2.4.3.1. Pengobatan Tradisional
Biji jinten hitam diketahui telah digunakan dan menjadi bahan penting sejak
zaman dahulu. Hal ini dibuktikan dengan ditemukannya biji jinten hitam di makam
Fir’aun, Tutankhamun, dimana dikisahkan pada ukiran sekitarnya biji jinten hitam
dipilih secara teliti oleh selirnya untuk membantu Fir’aun menjalani kehidupan
selanjutnya. Pada zaman dahulu biji jinten hitam sudah menyebar di seluruh timur
tengah dan asia selatan oleh para pedagang. Biji jinten hitam terkenal akan manfaatnya
dalam pengobatan penyakit ringan seperti asma, bronkitis, rematik, penyakit radang,
infeksi parasite, serta meningkatkan produksi ASI. Biji jinten hitam seringnya dibuat
menjadi minyak dan dioleskan di permukaan kulit untuk mengobati eksema serta dapat
digunakan untuk mengompres saat demam. Oleh karena banyaknya manfaat dari biji
jinten hitam ini, masyarakat timur tengah memberi nama Habbatul Barakah yang
berarti biji yang diberkati (Ansari & Satish, 2013).
Di daerah Arab dan India biji jinten hitam dan minyaknya sering digunakan
dalam masakan karena akan terasa hangat dalam tubuh saat musim dingin. Minyak biji
jinten hitam juga sering ditambahkan dalam roti serta acar agar lebih awet. Selain
dalam makanan biji jinten hitam sering disimpan bersama lipatan kain agar mencegah
rayap. Manfaat yang banyak dari biji jinten hitam ini membuatnya mudah menyebar
sampai asia utara dan eropa selatan (Ahmad, Hussain, Mujeeb, et al, 2013).
2.4.3.2. Efek Biji Jinten Hitam yang Terbukti
21
Berdasarkan sejarah dan penggunaan tradisionalnya, biji jinten hitam saat ini
sering diteliti efek farmakologisnya. Biji jinten hitam memiliki kandungan
thymoquinone yang tinggi dalam minyak esensialnya. Penelitian yang paling sering
adalah mengenai efek antioksidan serta pengaruhnya dalam perbaikan hepato-renal
terhadap toksisitas. Selain itu efek antiinflamasi juga sering diteliti dengan
penginduksian karagenan dan melihat efeknya pada telapak kaki tikus (Samani,
Farkhad, Azimi, et al, 2015).
a. Efek Antioksidan
Dalam penelitian Sogut (2008) dengan memberi ekstrak jinten hitam selama 6
minggu pada ayam Broiler, didapatkan jinten hitam dapat mencegah stress oksidatif
pada hepar dengan meningkatkan aktivitas enzim myeloperoksidase, glutathione-S-
transferase, adenosine deaminase, dan menurunkan lipid peroksidase. Kandungan
thymoquinon dalam biji jinten hitam juga dapooat mengembalikan level
malondialdehid, glutathion peroksidase dan conjugated diene dalam tikus model
karsinogenesis kolon. Pemberian ekstrak jinten hitam peroral juga dapat menurunkan
IL-1β, IL-6, TNF-α, IFN-γ dan PGE (Ahmad, Hussain, Mujeeb, et al, 2013).
b. Efek Antiinflamasi
Mekanisme antiinflamasi dari ekstrak biji jinten hitam adalah dengan
menghambat sitokin proinflamatori seperti interleukin-1 dan 6 serta faktor transkripsi
yaitu nuclear factor kappa B (NF-κB). Penelitian antiinflamasi dari ekstrak biji jinten
hitam telah diterapkan pada pasien rhinitis oleh Nikakhlagh (2011) dengan hasil pasien
tidak merasakan gatal, hidung berair, hipertrofi konka, serta kongesti mukosa. Hasil ini
22
menunjukkan ekstrak jinten hitam dapat menurunkan sitokin proinflamatori yang
dikeluarkan dari mekanisme alergi (Ahmad, Hussain, Mujeeb, et al, 2013).
c. Efek Hepatoprotektif
Efek hepatprotektif diketahui dengan pemberian induksi tramadol dilakukan
setelah sebelumnya diberi ekstrak jinten hitam. Hasil pengaruh hepatoprotektif dilihat
dari kadar ALT, AST, dan bilirubin. Terdapat perbedaan yang signifikan antara
kelompok induksi tramadol saja dengan kelompok yang sudah diberi ekstrak jinten
hitam dahulu lalu diberi tramadol. Kelompok tramadol saja memiliki kadar ALT, AST,
dan bilirubin yang lebih tinggi daripada kelompok yang sudah diberi ekstrak jinten
hitam (Elkhateeb, El Khisin, Megahed, et al, 2015).
d. Efek Antifibrotik
Mekanisme efek antifibrotik dari ekstrak jinten hitam adalah dengan
menurunkan ekspresi toll-like receptor (TLR4) pada sel Kupffer, menghambat lipid
peroxidase, serta menignkatkan ekspresi TNF-related apoptosis-induced ligand
(TRAIL) dalam aktivasi sel natural killer (NK). Seluruh mekanisme tersebut bertujuan
untuk membuat hepatic stellate cell (HSC) apoptosis, sehingga menurunkan TIMP
serta meningkatkan MMP. Dengan demikian fibrosis yang sudah terbentuk dapat
menjadi terdegradasi (Bai, Yang, Wu, et al, 2014).
2.5. Tikus Putih Wistar Jantan
Tikus Rattus norvegicus pertama kali ditemukan oleh Berkenhaut pada tahun
1769. Saat itu pertama diketahui hanya berada di daerah Caucasia atau Eropa utara dan
setelah itu menyebar ke Timur tengah serta Asia timur (Yigit, 1998). Pengembangan
tikus Rattus norvegicus menjadi objek eksperimen pertama kali dilakukan di Jerman
23
pada tahun 1880. Rattus norvegicus memiliki dua strain dari hasil budidaya yaitu strain
Wistar dan strain Sprague-Dawley. Perbedaannya adalah strain Wistar memiliki kepala
yang lebih lebar dan ekor yang lebih pendek daripada strain Sprague-Dawley. Usia
rata-rata dari strain Sprague-Dwaley juga lebih pendek yaitu 24 bulan dibandingkan
dengan strain Wistar yang rata-rata mencapai 31 bulan (Alexandru, 2011).
2.5.1. Anatomi Hepar
Gambar 2.4. Organ dalam tikus
(International Food Biotechnology Comittee, 2013)
Berat badan rata-rata tikus putih Wistar adalah 450-520g untuk jantan dan 250
untuk betina. Hepar tikus berada tepat dibawah diafragma dan tidak memiliki kantung
empedu. Posisi gaster juga tidak berada di sebelah kanan melaikan dibawah hepar,
karena biasanya hepar melintang dari dextra sampai sinistra abdomen. Spleen memiliki
warna yang serupa dengan gaster dengan posisi di bagian inferolateral dextra gaster.
24
Posisi ginjal tidak terlihat bila tikus dibedah dari abdomen sehingga organ abdomen
harus disingkirkan dahulu dengan ginjal dextra lebih tinggi daripada sinistra (Sowash,
2009).
Hepar tikus memiliki 4 lobus yaitu dextra, sinistra, median, dan caudal. Posisi
hepar melintang pada kranial abdomen, berbatas langsung dengan diafragma. Secara
histologis bentuk lobulus hepar tikus sama seperti manusia berbentuk heksagonal
dengan darah mengalir dari triad portal menuju ke vena sentralis. Selain hepar tikus
tersusun dari hepatosit, saluran bilier, pembuluh vena, sinusoid, sistem limfatik,
hepatic stellate cell (HSC), sel Kupffer, limfositosit, dan sel jaringan ikat. Seperti
manusia, HSC pada hepar tikus berada pada ruang Disse dengan diameter ±10µm
(Rogers, 2005).
Secara keseluruhan hepar mengandung 25% volume cardiac output. Sistem
vaskuler utama yang menyuplai hepar adalah vena portal dan arteri hepatik dengan
aliran darah dari vena portal lebih besar daripada arteri hepatik namun arteri hepatik
memberikan suplai oksigen yang lebih tinggi. Aliran pembuluh darah berawal melalui
mesenterikum, gastrika, splenika, pankreatika dan masuk kedalam hepar. Dapat terjadi
perbedaan kadar nutrisi, toksin, dan bahan lain yang berasal dari Trakus gastrointestinal
dan splenika pada setiap lobus, hal ini disebut portal streamlining. Perbedaan ini dapat
terjadi dimana darah menyuplai hepar berawal dari lobus sinistra lalu menyebar ke
seluruh lobus. Sehingga apabila terdapat bahan toksin, lobus sinistra hepar akan
menerima lebih banyak paparan (Malarkey, Johnson, Ryan, et al, 2005).
2.6. Pengaruh Jinten Hitam pada Kolagen tipe 1
25
Kolagen tipe 1 merupakan parameter yang digunakan dalam penegakan
diagnosis fibrosis hepar, oleh karena itu dalam penelitian mengenai fibrosis hepar
pemeriksaan ekspresi kolagen tipe 1 kerap digunakan. Dalam penelitian yang
dilakukan Bai (2013) terdapat penurunan ekspresi kolagen tipe 1 pada induksi
lipopolysaccharide dengan pemberian thymoquinone. Model penelitian yang dilakukan
oleh Bai adalah preventif sehingga fibrosis yang terbentuk belum sampai kepada tahap
berat (Bai, Lian, Wu, et al, 2013).
Selain thymoquinone, ekstrak jinten hitam juga memiliki kandungan lain yang
cukup besar yaitu carvacrol dalam penelitian yang dilakukan Rajan (2015) mengenai
efek carvacrol didapatkan bahwa stress oksidatif dalam hepar yang dapat memperberat
fibrosis. Mekanisme dalam penurunan ekspresi kolagen tipe 1 berhubungan dengan
apoptosis HSC yang dapat menginisiasi degradasi ECM. Ekstrak jinten hitam dapat
menginduksi apoptosis HSC melalui mekanisme penurunan stress oksidatif, inaktivasi
sel Kupffer, serta aktivasi NK sel melalui TRAIL (Khader & Eckl, 2014).