bab 2 tinjauan pustakaeprints.umm.ac.id/65751/3/bab 2.pdfketika terjadi ulkus kornea yang...
TRANSCRIPT
-
6
BAB 2
TINJAUAN PUSTAKA
2.1 Bola Mata
2.1.1 Anatomi bola mata
Bola mata atau bulbus okuli adalah struktur seperti bola yang terdiri dari
dinding yang menutupi rongga berisi cairan. Di anterior dari bulbus okuli
terdapat kornea yang lebih melengkung dan transparan (Shea, 2012).
Kornea mengisi 1/6 inci anterior bola mata yang berbentuk kuba dan
berwarna bening. Sedangkan 5/6 sisanya diisi oleh sklera putih, opaque, dan
fibrous. Pusat kornea dikenal sebagai kutub anterior mata dan sebaliknya, di
bagian belakang mata dikenal sebagai kutub posterior. Panjang aksial bola
mata rata-rata orang dewasa adalah 23,5 milimeter yang diukur dari titik terluar
kornea sampai ke belakang retina (Shea, 2012).
Mata terbagi menjadi dua segmen, yaitu segmen anterior dan posterior.
Segmen anterior mengisi sepertiga anterior bola mata dan terdiri dari semua
struktur yang berada di depan vitreous, yaitu kornea, iris, badan silia, dan lensa.
Dalam segmen anterior, terdapat dua ruang yang sama-sama berisi cairan
aqueous yang berperan sebagai penyedia nutrisi untuk struktur di sekitarnya.
Kedua ruang tersebut adalah ruang anterior dan posterior. Ruang anterior
terletak di antara kornea bagian posterior (endotelium) dan iris, sedangkan
ruang posterior terletak dari belakang iris sampai ke depan permukaan vitreous.
Segmen posterior mengisi dua pertiga posterior bola mata dan berisi jelly-like
-
7
vitreous, anterior membran hyaloid dari vitreous, retina, koroid, dan nervus
optikus (Shea, 2012).
Gambar 2.1
Mata dan Orbita
Mata terdiri dari tiga lapisan, yaitu fibrous, vascular, dan nerve serta ocular
media.
2.1.1.1 Lapisan fibrous
Lapisan fibrous merupakan lapisan terluar mata, terdiri dari kornea dan
sklera.
Kornea merupakan organ yang transparan dan avaskular, berbentuk seperti
kubah yang terletak di depan iris. Kornea berdiameter 12 milimeter secara
horizontal dan 10-11 milimeter secara vertikal. Di sentral kornea memiliki
ketebalan 0,5 milimeter, sedangkan di perifer kornea memiliki ketebalan 1
milimeter.
Kornea terdiri dari beberapa lapisan, yaitu lapisan epitelium, bowman,
stroma, membran descement, dan endotelium.
Shea, Carolyn, 2012
-
8
Epitelium merupakan lapisan terluar dari kornea yang berisi sebagian
besar akhiran syaraf yang menyebabkan lapisan ini menjadi sensitif terhadap
rangsangan raba dan nyeri. Pada permukaannya terdapat mikrovili yang
berfungsi untuk menangkap air mata prekornea dan menghaluskan permukaan
kornea. Lapisan ini memiliki sifat hidrofobik (anti air) yang tidak
memungkinkan lewatnya cairan sehingga dapat membantu kornea tetap
transparan. Terdapat lima hingga tujuh lapisan sel epitelium yang beregenerasi
setiap tujuh hari yang memungkinkan epitelium untuk memperbaiki dirinya
sendiri setelah trauma tanpa menghasilkan jaringan parut. Jika oksigen tidak
sampai ke epitelium melalui air mata, lapisan ini dapat mengalami
pembengkakan yang menyebabkan terjadinya edem kornea. Lapisan epitelium
yang terganggu dapat dideteksi melalui pemeriksaan dengan menggunakan
pewarna fluorescein. Lapisan epitelium melekat pada membran basement yang
tidak dapat ditembus oleh senyawa yang larut dalam air (Shea, 2012).
Bowman merupakan lapisan yang terletak di bawah membran basement
epitelium. Lapisan ini terdiri dari fibril kolagen aseluler yang tidak dapat
diregenerasi setelah terjadinya trauma. Lapisan ini membantu kornea untuk
mempertahankan bentuknya dan menyediakan permukaan yang halus sebagai
tempat menempelnya sel-sel epitelium. Lapisan ini dapat mencegah cairan dan
mikroorganisme masuk ke dalam stroma (Shea, 2012).
Stroma membentuk 90% dari ketebalan kornea dengan lapisan kolagen
fibril yang berjalan sejajar dengan permukaan untuk menjaga kornea tetap
transparan. Sel-sel yang disebut keratosit mensintesis kolagen, yang penting
-
9
dalam proses penyembuhan luka. Nervus kornea masuk secara perifer ke dalam
stroma dalam pola radial. Jika terjadi cedera pada daerah ini, akan
menimbulkan rasa nyeri yang luar biasa akibat terjadinya peregangan dan
pembengkakan nervus kornea (Shea, 2012).
Membran descement terletak di posterior lapisan stroma dan
menggambarkan membran basement endotelium. Membran descement terdiri
dari kolagen dan glikoprotein yang disekresi oleh lapisan endotelium.
Membran descement merupakan lapisan yang tahan terhadap bahan-bahan
kimia dan trauma yang dapat beregenerasi jika mengalami kerusakan.
Membran descement dapat mengalami penebalan akibat trauma, inflamasi,
pertambahan usia, ataupun akibat pengaruh genetik. Ketika terjadi ulkus
kornea yang menghancurkan semua lapisan anterior, membran descement akan
membentuk descemetocele yang berperan sebagai barrier yang melindungi
organ-organ intraokular (Shea, 2012).
Endotelium adalah lapisan kornea paling posterior yang berfungsi untuk
mengangkut oksigen melalui aqueous bersamaan dengan pengangkutan cairan
dan produk-produk limbah. Endotelium merupakan lapisan yang bertindak
sebagai barrier dan pengangkut cairan keluar dari stroma sehingga dapat
mempertahankan keadaan dehidrasi normal. Jumlah sel endotel akan terus
berkurang seiring dengan pertambahan usia. Sel-sel endotel tidak dapat
beregenerasi, tetapi dapat bergeser dan menutupi area sel yang hilang. Ketika
sel-sel endotel megalami kematian, endotelium tidak dapat mempertahankan
-
10
fungsi barrier yang efisien, sehingga dapat menyebabkan edema dan
menurunkan kualitas penglihatan (Shea, 2012).
Sklera opaque terdiri dari jaringan avaskular dan tampak berwarna putih.
Lapisan ini memiliki sifat kokoh, kuat, dan elastis sehingga dapat
mempertahankan bentuk bola mata (dengan tekanan intraokular) serta
menyediakan dasar yang kaku sebagai tempat menempelnya otot-otot
ekstraokular.
Gambar 2.2 Sklera dan Limbus
Sklera dan kornea di anterior bertemu membentuk limbus yang memiliki
ketebalan 0,8 milimeter. Sklera dan konjungtiva ditutupi oleh suatu jaringan
ikat longgar yang dikenal sebagai episklera. Episklera merupakan bagian yang
kaya akan vaskularisasi yang berasal dari arteri ciliary anterior yang
membentuk pleksus antara limbus dan tempat penempelan muskulus
ekstraokular. Pada saat terjadinya respon inflamasi, area ini akan menjadi
sangat merah dan kongestif.
Sklera diinervasi oleh nervus siliaris yang menembus sklera dari sekitar
nervus optikus. Nervus optikus melubangi sklera 3 milimeter di medial dan 1
Shea, Carolyn, 2012
-
11
milimeter di atas kutub posterior bola mata. Area ini tampak seperti kisi-kisi
dan dikenal sebagai lamina kribosa. Nervus optikus yang ada di lamina dilewati
oleh arteri dan vena retina sentralis. Lamina kribosa merupakan area yang
lemah, sehingga dapat mengalami kerusakan apabila tekanan intra okular terus
mengalami peningkatan dari waktu ke waktu.
Konjungtiva adalah membran fibrosa yang menutupi sklera anterior dan
berlanjut ke permukaan belakang kelopak mata untuk membentuk sakus
konjungtiva. Konjungtiva dibagi menjadi tiga bagian, yaitu konjungtiva bulbar
(yang menutupi sklera putih), konjungtiva palpebra (menutupi bagian belakang
kelopak mata), dan forniks (titik pertemuan konjungtiva bulbar dan
konjungtiva palpebra).
Gambar 2.3
Anatomi kelopak mata Ocular media adalah permukaan optik transparan dan cairan di dalam
mata, yang dilalui oleh sinar cahaya sebelum mencapai retina. Ruang dan sudut
Shea, Carolyn, 2012
-
12
anterior : ruang anterior adalah ruang yang dibatasi oleh kornea di bagian
anterior dan iris di bagian posterior. Ruang ini berisi humor aqueous yang
jernih, tidak berwarna, dan memiliki konsistensi encer (99% air). Humor
aqueous diproduksi oleh proses siliaris dengan kecepatan 2 mikroliter per
menit, cairan ini bergerak dari ruang posterior dari belakang iris, melewati
pupil kemudian masuk ke dalam ruang anterior, membasahi kornea dan
segmen anterior. Humor aqueous keluar melalui sudut drainase yang
merupakan pertemuan antara kornea dan iris. Sudut ini terdiri dari trabekular
meshwork dan kanalis schlemm, kemudian berlanjut melalui jaringan
pembuluh darah yang mengalir keluar dari mata. Normalnya sudut ini
membuka 30 derajat yang dinilai dengan gonioskop. Jika sudut ini mengalami
penyempitan, mekanisme drainase juga akan terganggu, yang menyebabkan
aliran keluarnya humor aqueous menjadi terganggu. Jika sudut ini terus
menutup mendekati 0 derajat, dapat menyebabkan timbulnya glaukoma sudut
tertutup.
Gambar 2.4
Aliran aqueous
Shea, Carolyn, 2012
-
13
Lensa kristalin merupakan struktur yang bikonveks dan transparan,
terletak di belakang iris dan di depan vitreous. Transparansi lensa ini
dipertahankan dengan menjadi daerah avaskular, tidak memiliki nervus
maupun jaringan ikat. Lensa ini mengandung kapsul, epitelium, dan substansi
lensa (korteks dan nukleus). Kapsul merupakan membran elastis yang
menutupi seluruh lensa dan membentuk lensa saat berespon terhadap tarikan
zonula selama akomodasi. Kapsul ini berperan dalam mempertahankan isi
lensa dengan bertindak sebagai barrier terhadap vitreous, fluorescein, dan
bakteri. Sel-sel epitel berbentuk kubus dan berlokasi di bawah kapsul lensa
anterior. Serat-serat tersebut dibuat terus menerus dan bermigrasi ke pusar
lensa, membuat lensa menjadi lebih padat dan kaku. Substansi lensa
membentuk massa lensa dan terdiri dari sel dan serat yang padat, dengan ruang
yang sangat kecil di antaranya. Korteks merupakan lapisan tipis yang terdiri
dari sel-sel muda dan mengandung konsentrasi air yang tinggi, sedangkan
nukleus terdiri dari sel-sel tua yang terletak di tengah lensa.
Lensa megandung protein yang sangat tinggi. Perubahan protein lensa
menyebabkan lensa kehilangan elastisitasnya. Lensa akan terus mengalami
pertumbuhan selama hidup, terutama pada dua dekade pertama dan melambat
pada dekade ketujuh kehidupan. Saat lahir lensa manusia berdiameter 6,5
milimeter dan akan mengalami pertumbuhan hingga berdiameter 10,0
milimeter pada manusia dewasa. Lensa dapat berubah bentuk untuk mengubah
kekuatan dioptri mata ketika mengubah fokus dari objek yang berjarak jauh ke
jarak dekat, guna mempertahankan gambar yang jelas pada retina (akomodasi).
-
14
Gambar 2.5 Lensa dewasa normal
Vitreous adalah suatu zat berbentuk jeli yang mengisi 80% mata. Di
anterior, vitreous berada di kapsul lensa posterior, dan dibatasi oleh retina di
bagian posterior. Vitreous tersusun dari kolagen, mucopolysaccharide, dan
asam hialuronat. Bagian terkuat dari vitreous berada di ora serrata (anterior)
dan berada di nervus optikus dan fovea (posterior). Permukaan anterior
vitreous merupakan suatu membran hialoid yang terkondensasi yang dapat
mencegah kehilangan vitreous selama proses operasi katarak. Seiring dengan
pertambahan usia, konsistensi vitreous menjadi lebih cair dan membentuk
kantung aqueous. Ketika proses ini berlanjut, kolagen fibril berubah menjadi
untaian yang panjang. Ketika kolagen fibril membesar dan melewati visual
aksis, akan terlihat seperti floaters. Vitreous berfungsi untuk menjaga
transparansi media optik dan untuk memberikan tekanan yang konstan untuk
menyokong struktur internal mata.
Shea, Carolyn, 2012
-
15
Gambar 2.6 Ruang vitreous
2.1.1.2 Lapisan vaskular
disebut juga traktus uveal dan terdiri dari tiga bagian, yaitu badan siliaris,
iris, dan koroid. Ini adalah lapisan tengah mata dan berada di antara sklera dan
retina. Lapisan ini kebanyakan terdiri dari pembuluh darah dan jaringan
kapiler. Fungsi dari lapisan vaskular (traktus uveal) adalah memproduksi
humor aqueous dalam proses ciliary dan mengubah bentuk lensa kristalin yang
membuat mata menjadi fokus.
Gambar 2.7 Traktus uvea
Shea, Carolyn, 2012
Shea, Carolyn, 2012
-
16
Badan siliaris memanjang dari dasar iris dan berlanjut ke ora serrata
bersama dengan koroid. Badan siliaris dibagi menjadi dua bagian :
Pars plicata (“folded” atau “gathered”) yang memproduksi aqueous
dalam proses siliaris. Pars plicata adalah suatu bagian yang berbentuk
seperti jari tangan yang berada di belakang iris. Proses siliaris juga
terhubung ke lensa. Di pars plicata juga ditemukan muskulus siliaris, yang
ketika berkontraksi dapat membuat zonula menjadi rileks, sehingga
meningkatkan akomodasi.
Pars plana merupakan bagian terbelakang dari badan siliaris. Bagian
ini menempel pada ora serrata retina.
Iris merupakan bagian mata yang berwarna dan membentuk diafragma di
depan lensa kristalin. Iris berperan dalam mengontrol jumlah cahaya yang
ditransmisikan ke mata dengan mengubah ukuran pupil. Iris juga berperan
dalam mencegah cahaya berlebih masuk ke mata dan membantu membentuk
gambar yang jelas pada retina dengan mencegah cahaya perifer masuk ke mata.
Kedua otot iris mengontrol ukuran pupil melalui sistem saraf otonom.
Muskulus dilator, diinervasi oleh sistem saraf simpatis, berjalan secara radial
di stroma. Ketika pupil berdilatasi, terjadi midriasis. Muskulus sfingter,
diinervasi oleh sistem saraf parasimpatis, melingkari pupil. Muskulus sfingter
berfungsi untuk mengurangi jumlah cahaya yang masuk ke mata yang disebut
dengan miosis. Iris terdiri dari tiga lapisan, yaitu :
Anterior : berisi melanosit (sel pigmen) dan kolagen, dengan
permukaan anteriornya berlipat-lipat menjadi banyak ridges dan crypts.
-
17
Stroma media : berisi fibroblas, melanosit, dan kolagen.
Posterior : berisi muskulus dilator dan epitel pigmen. Stroma, atau
lapisan tengah, membentuk sebagian besar iris dan mengandung pembuluh
darah, nervus, dan melanosit. Jumlah dan persentase butiran melanin
dalam melanosit stromal superfisial yang akan menentukan warna iris.
Koroid berfungsi untuk memelihara dan menyediakan oksigen ke lapisan
luar retina, khususnya batang, kerucut, dan epitel pigmen retina. Koroid
memiliki empat lapisan : lamina fusca, stroma, choriocapillaris, dan membran
Bruch. Koroid merupakan jaringan yang besar, bervaskular dan berpigmen
yang membentuk lapisan tengah bagian posterior bola mata dan memanjang
dari ora serrata ke nervus optikus. Koroid menempel pada sklera oleh untaian
jaringan ikat posterior dan oleh banyak pembuluh darah dan nervus yang
memasuki koroid dari sklera. Retina dan koroid mendapat vaskularisasi dari
arteri ophthalmic. Membran Brunch semi-permeabel terjepit di antara
choriocapillaris dan di bagian bawah epitel pigmen retina. Membran basement
memungkinkan nutrisi melewati membran menuju ke lapisan luar retina tetapi
mencegah puing retina melalui pori-pori choriocapillaris.
2.1.1.3 Lapisan nervus (sel-sel reseptor)
Retina adalah lapisan mata yang paling transparan dan paling dalam dan
terhubung langsung dengan otak. Retina terdiri dari dua segmen, yaitu retinal
pigment epithelium (RPE) dan neural retina bagian dalam. RPE adalah lapisan
tunggal sel-sel heksagonal yang kontinu dengan epitel pigmen badan siliaris
-
18
pada ora serrata junction. RPE bekerja dengan membran brunch dan lapisan
koroid untuk menjaga kesehatan sel-sel reseptor.
Cahaya harus melewati sebagian besar lapisan retina untuk merangsang
lapisan kedua fotoreseptor, batang, dan kerucut. Setelah fotoreseptor
mengubah sinyal cahaya menjadi impuls listrik, kemudian diperkuat dan
diintegrasikan melalui bipolar, horizontal, amakrin, dan sel ganglion. Impuls-
impuls tersebut bertemu di atas sel bopilar dan juga sel ganglion. Akson sel
ganglion bergabung dan keluar di optic disc.
Gambar 2.8 Lapisan retina
Terdapat 126 juta sel reseptor, yang terdiri dari 120 juta sel batang dan 6
juta sel kerucut. Sel kerucut yang berada di makula bertanggung jawab
terhadap warna dan penglihatan sentral, bekerja paling baik dalam cahaya
terang, menangkap detail dan warna, dan membutuhkan stimulasi langsung.
Sel batang lebih banyak berada di bagian perifer retina, berfungsi paling baik
Shea, Carolyn, 2012
-
19
dalam pencahayaan redup, mendeteksi bentuk umum daripada detail, dan
memberikan informasi latar belakang.
Gambar 2.9 Potongan melintang makula
Nervus optikus merupakan daerah yang tidak memiliki fotoreseptor,
sehingga dijuluki sebagai “blind spot fisiologis”. Terdiri dari serabut syaraf
yang membawa informasi visual dari retina ke otak nervus optikus berada di
dalam optic disc. Daerah ini tampak lebih kuning dibanding dengan retina yang
berwarna orange sebagai akibat dari suplai darah yang mendasarinya di koroid.
Shea, Carolyn, 2012
-
20
Gambar 2.10 Fundus
2.1.2 Fisiologi mata normal
Kemampuan untuk melihat bergantung pada kejelasan gambar yang
mencapai otak. Oleh karena itu, system optic harus mentransmisikan gambar
secara bersih tanpa gangguan ke retina, yang mengubah cahaya menjadi sinyal
elektrokimia untuk transmisi melalui jalur visual ke korteks visual. Jalur visual
terdiri dari akson, yang menghubungkan retina ke lobus oksipital otak pada
tingkat korteks visual. Perjalanannya dimulai dari retina, kemudian mulai dari
orbit melalui optic disc, sepanjang nervus optikus untuk bergabung dengan
nervus optikus dari sisi mata yang lain di kiasma optikus. Informasi kemudian
diteruskan ke badan geniculate lateral, dan akhirnya ke korteks oksipital.
Gangguan di jalur ini dari mata ke otak akan menghasilkan kecacatan di bidang
visual. Objek yang dilihat di ruang posterior akan dicitrakan di retina inferior,
sedangkan objek yang dilihat di ruang dextra akan dicitrakan di retina sinistra.
Shea, Carolyn, 2012
-
21
Gambar 2.11 Jalur visual
Retina memiliki 10 lapisan, tetapi hanya tiga lapisan sel saraf yang khusus
mengubah energi cahaya menjadi sinyal elektrokimia. Objek ditransmisikan
sebagai cahaya ke lapisan fotoreseptor (batang dan kerucut) retina.
Fotoreseptor mengirim sinyal ke nervus optikus melalui serabut syaraf
retina. Semakin jauh ke pinggiran retina, semakin banyak fotoreseptor yang
ada untuk setiap serabut syaraf. Pada optic disc (disebut “blind spot fisiologis”)
merupakan area yang tidak memiliki fotoreseptor, sehingga tidak ada cahaya
yang dapat dideteksi di area ini.
Akson sel ganglion menghasilkan lapisan serat syaraf retina. Serat syaraf
retina melewati optic disc untuk menjadi nervus optikus. Lapisan serat syaraf
didistribusikan melintasi retina dalam pola yang sangat spesifik ketika
bergerak ke arah optic disc. Lapisan serabut syaraf yang berasal dari retina
superior akan memasuki optic disc superior. Sebalikanya, lapisan serabut
syaraf yang berasal dari retina inferior akan memasuki optic disc inferior.
Shea, Carolyn, 2012
-
22
Berkas papillomacular terdiri dari serabut syaraf dari makula, fovea, dan
area temporal ke optic disc. Untuk sementara serat-serat ini masuk ke dalam
optic disc membentuk lingkaran yang tebal. Serabut syaraf keluar dari optic
disc melalui lamina cribosa yang terdiri dari saringan lubang di sklera.
Kiasma optikum merupakan area pertemuan nervus optikus dari dua sisi
mata. Kiasma optikum berada tepat di atas kelenjar hipofisis. Serabut syaraf
yang berasal dari hidung menuju fovea menyeberang ke setengah bagian otak
yang berlawanan, sedangkan serat yang berasal sementara berlanjut sepanjang
jalur tanpa menyilang. Serabut dari retina (yang melihat bidang visual
temporal) menyeberang ke sisi otak yang berlawanan. Serabut dari retina
temporal (yang melihat bidang visual hidung) tidak bersilangan tetapi tetap
berada di sisi otak sama. Sepuluh persen serabut syaraf yang mewakili seluruh
retina akan meninggalkan traktus optikus dan berakhir di batang otak.
Badan geniculate lateral : akson meninggalkan traktus optikus dan sinaps
dengan sel-sel yang akhirnya menuju ke korteks oksipital. Ketika akson
meninggalkan badan geniculate lateral, akson-akson ini akan menyebar ke
optic radiations. Saat meninggalkan serat/fibers, akson akan berjalan ke sisi
yang sama di lobus oksipital. Beberapa serat inferior keluar melengkung di
sekitar ventrikel lateral ke lobus temporal sebelum berakhir ke bagian inferior
lobus oksipital.
Korteks visual (area V1 atau Brodmann) : terletak di lobus oksipital,
pasangan serat retina yang berproyeksi ke tempat yang sama di fisura
kalkarina. Fisura ini memiliki tiga zona, yaitu : daerah macula posterior, daerah
-
23
binocular perifer, dan daerah monocular perifer. Ujung otak paling posterior
menerima informasi dari 5 derajat sentral bidang makula. Permukaan retina
dipetakan oleh korteks visual. Kebanyakan neuron kortikal dikhususkan untuk
fovea daripada retina perifer. Karena fovea hanya memiliki kerucut, maka
fovea secara luas dipetakan pada permukaan korteks.
2.1.3 Mekanisme akomodasi
Akomodasi adalah proses dimana mata manusia mengubah fokusnya
untuk melihat objek dalam jarak tertentu dari mata. Proses akomodasi ini
melibatkan perubahan kekuatan dioptri lensa kristalin (Oduntan & Ogbomo,
2015). Terdapat beberapa teori yang menjelaskan mekanisme akomodasi :
2.1.3.1 Teori vitreous Cramer
Selama akomodasi, kontraksi otot ciliary bekerja pada koroid yang pada
gilirannya menekan cairan vitreus di balik lensa kristalin posterior. Iris
menahan tekanan lensa berikutnya, dan kelengkungan permukaan anterior
lensa kristalin di area pupil meningkat (Oduntan & Ogbomo, 2015).
2.1.3.2 Teori relaksasi Helmholtz
Ketika mata dalam keadaan tidak berakomodasi dan fokus pada jarak,
muskulus siliaris akan berelaksasi dan serat-serat zonular elastis menegang,
menarik lensa kristalin ke arah luar di ekuator dan mempertahankan lensa
dalam keadaan agak datar. Selama akomodasi, muskulus siliaris akan
berkontraksi, menyebabkan pengurangan tekanan zonular yang
memungkinkan peningkatan kelengkungan lensa kristalin, penurunan diameter
ekuator, dan peningkatan ketebalan lensa; peningkatan kelengkungan
-
24
permukaan anterior lensa kristalin sedangkan hanya sedikit perubahan yang
terjadi pada kelengkungan permukaan posterior lensa kristalin; gerakan maju
dari permukaan anterior lensa kristalin sementara permukaan posterior tidak
menunjukkan gerakan yang berarti; dan peningkatan ketebalan aksial sebesar
0,5 mm pada lensa (Oduntan & Ogbomo, 2015).
Gambar 2.12 Serat zonula
2.1.3.3 Teori kontraksi zonular Tscherning
Ketebalan lensa kristalin meningkat selama akomodasi. Kontraksi
muskulus siliaris menyebabkan peningkatan traksi zonular. Traksi zonular
akan menyebabkan lensa kristalin menjadi rata di bagian lateralnya selama
akomodasi, sedangkan bagian sentral pupil sentral akan mencembung
(Oduntan & Ogbomo, 2015).
2.1.3.4 Teori akomodasi Coleman
Cairan vitreus mencegah pergerakan kutub posterior lensa kristalin.
Cairan vitreus dapat menghasilkan perubahan bentuk deretan permukaan lensa
Shaik, Neha, et al. 2017
-
25
posterior, yang menyebabkan perubahan kelengkungan lensa anterior. Ketika
akomodasi, terjadi peningkatan tekanan dalam cairan vitreus yang secara
bersamaan dirangsang dengan penurunan tekanan dalam aqueous. Perbedaan
tekanan antara ruang vitreous dan aqueous bertindak dalam mengubah hidrolik
lensa kristalin. Ketegangan pada serat zonular (mirip dengan teori relaksasi
Helmholtz) akan menghasilkan kelengkungan lensa anterior yang lebih curam,
dengan cairan vitreus yang menahan tonjolan lensa posterior. Badan siliaris
adalah ‘pendorong pergerakan untuk tingkat akomodasi yang dapat diprediksi'
(Oduntan & Ogbomo, 2015).
2.1.3.5 Teori akomodasi Schachar
Muskulus siliaris berkontraksi selama akomodasi, yang menghasilkan
peningkatan ketegangan serat zonular yang menyebabkan permukaan sentral
lensa kristalin menanjak (peningkatan kecembungan), diameter anterior-
posterior lensa kristalin meningkat , dan datarnya permukaan perifer dari lensa
kristalin (Oduntan & Ogbomo, 2015).
2.1.4 Pertumbuhan dan perkembangan bola mata pada anak
Pada janin, mata mulai berkembang pada minggu kedua kehamilan.
Pembentukan mata secara primer merupakan produk dari tingkat pertumbuhan
sel yang berbeda. Kelopak mata mulai memisah antara bulan ke-lima sampai
bulan ke-tujuh kehamilan. Sebagian besar bayi mengalami hyperopia saat lahir
(Carolyn, 2012).
Pada beberapa tahun pertama usia sesesorang, kekuatan refraksi kornea
akan berkurang; begitu juga kekuatan refraksi lensa akan hilang selama masa
-
26
kanak-kanak (1-12 tahun). Sebaliknya, Aksial Length akan meningkat selama
masa kanak-kanak dan di masa remaja, yang menyebabkan miopia jika
pertumbuhan Aksial Length ini melebihi titik fokus mata. Penelitian yang
dilakukan di Eropa menunjukkan bahwa Aksial Length akan mengalami
peningkatan hingga usia 15 tahun, setelah itu Aksial Length terus meningkat
hingga dewasa sampai usia 50 tahun ke atas. Sebagian besar pemanjangan
aksial bola mata akan terjadi pada usia antara 15 sampai 25 tahun. Anak-anak
di Asia Timur umumnya memiliki Aksial Length yang lebih tinggi setelah usia
6 tahun (Tideman et al., 2017).
ketebalan lensa dan kekuatan lensa terus menurun dari usia 6 hingga 10
tahun dan kemudian menunjukkan sedikit perubahan setelah anak berusia di
atas 10 tahun. Ketebalan lensa dan kekuatan lensa tidak selalu berjalan secara
paralel. Setelah usia 11 hingga 13 tahun, lensa mulai menebal, tetapi terus
kehilangan kekuatan (Chen et al., 2018).
2.2 Kelainan Refraksi
2.2.1 Definisi
Ada beberapa istilah yang harus dikenal mengenai kelainan refraksi, yaitu
emetropia dan ametropia. Emetropia merupakan suatu keadaan yang
menunjukkan tidak adanya kelainan refraksi, sedangkan ametropia adalah
suatu keadaan yang menunjukkan terdapatnya kelainan refraksi (Eva &
Augsburger, 2018).
-
27
Gambar 2.13 Emmetropia
Ametropia merupakan keadaan dimana terdapatnya ketidaksimetrisan
antara panjang bola mata dan kekuatan refraksi mata; hal ini dapat dikoreksi
dengan lensa plus atau minus yang sederhana. Dalam sebagian besar kasus,
panjang aksial bola mata menyimpang dari panjang idealnya, yaitu 24 mm
(ametropia longitudinal). Panjang aksial bola mata yang berlebihan dapat
menginduksi miopia (rabun dekat), sedangkan panjang aksial bola mata yang
kurang dari ideal dapat menyebabkan hiperopia (rabun jauh). Kasus yang lebih
jarang, yaitu kekuatan refraksi dari komponen optik menyimpang dari normal
(misalnya, jari-jari kelengkungan kornea dan / atau lensa yang berubah, atau
peningkatan indeks refraksi lensa yang disebabkan oleh diabetes mellitus yang
tidak terkontrol) (Schiefer et al., 2016).
Daya refraktif ("kekuatan") lensa korektif diukur dalam dioptri (dpt); nilai
ini adalah kebalikan dari jarak fokus dalam meter. Sebagai patokan, setiap
milimeter penyimpangan dari panjang ideal aksial bola mata menghasilkan
ametropia 3 dpt (Schiefer et al., 2016).
Eva, Paul Riordan & Augsburger, James J., 2018
-
28
Menurut perkiraan Global Burden of Disease, kelainan refraksi yang tidak
dikoreksi merupakan penyebab terbesar kedua kebutaan dan penyebab utama
gangguan penglihatan sedang dan berat (53%) (WHO, 2015).
2.2.2 Epidemiologi
Meta-analisis yang diterbitkan oleh Huang et al. menggambarkan
peningkatan prevalensi myopia di seluruh dunia, khususnya di Asia. Di Jerman,
prevalensi penderita kelainan refraksi mencapai 70% pada populasi dewasa.
Pada tahun 2011, hanya sekitar 31% orang berusia di atas 16 tahun yang tidak
menggunakan alat bantu penglihatan : 63. 4% memakai kacamata dan 5,3%
memakai lensa kontak. Masalah refraksi adalah alasan paling sering seseorang
mengunjungi dokter mata (21,1%) - diikuti oleh glaukoma (19,3%), patologi
lensa / katarak (14,9%), dan penyakit pada kompartemen posterior mata
(12,5%) (Schiefer et al., 2016).
2.3 Kelainan Refraksi Miopia
2.3.1 Definisi miopia
Miopia (near-sightedness) adalah gangguan penglihatan yang paling
umum pada anak-anak. Hal ini ditandai dengan kaburnya objek yang dilihat
dari kejauhan, dan biasanya diakibatkan oleh perpanjangan abnormal bola mata
yang menyebabkan gambar yang dibentuk oleh kornea dan lensa jatuh di depan
fotoreseptor retina. Miopia terjadi ketika panjang aksial mata terlalu panjang,
dan cahaya difokuskan di depan fotoreseptor (Carr & Stell, 2017).
-
29
Gambar 2.14 Miopia
Secara umum, saat onset miopia terjadi pada usia anak, miopia tersebut
akan terus berkembang sampai akhir masa remaja (Chen et al., 2018). Semakin
besar derajat miopia, semakin besar risiko komplikasi seperti degenerasi
makula, ablasio retina, katarak, dan glaukoma; risikonya sangat besar ketika
gangguan refraksinya lebih negatif dari -6,00 D (dioptri), suatu kondisi yang
disebut 'high miopia' (Carr & Stell, 2017).
2.3.2 Epidemiologi miopia
Prevalensi miopia sangat bervariasi, tergantung pada etnisitas, lokasi
geografis, dan status sosial ekonomi (Carr & Stell, 2017).
Miopia diperkirakan mempengaruhi 27% (1893 juta) populasi dunia pada
tahun 2010. Berdasarkan penelitian, prevalensi miopia tertinggi terdapat di Asia
Timur, diantaranya Cina, Jepang, Republik Korea dan Singapura memiliki
prevalensi sekitar 50%, dan prevalensi yang lebih rendah terdapat di Australia,
Eropa serta Amerika Utara dan Selatan. Miopia diperkirakan mempengaruhi
52% (4949 juta) populasi dunia pada tahun 2050 di 57% negara yang ada di
seluruh dunia (WHO, 2015).
Carr, Brittany J. & Stell, William K., 2017
-
30
Gambar 2.15 Jumlah Kasus (biru) dan Prevalensi (merah) miopia di seluruh dunia antara tahun
2000 dan 2050
Pada tahun 2050, prevalensi miopia akan jauh lebih tinggi di daerah
berpenghasilan tinggi di Asia Pasifik, di Asia Timur dan di Asia Tenggara, dan
daerah Amerika Utara yang berpenghasilan tinggi, Amerika Latin bagian
selatan, seluruh bagian Eropa, Afrika utara, Timur Tengah, dan sekitar 30%
Afrika akan serupa dengan yang ada di Asia saat ini (WHO,2015).
2.3.3 Etiologi miopia
Myopia terjadi ketika bola mata terlalu panjang yang menyebabkan sinar
cahaya fokus pada titik di depan retina, bukan langsung pada permukaan retina.
Miopia juga dapat disebabkan oleh kornea dan / atau lensa yang terlalu
melengkung (Upadhyay, 2015).
Penyebab biologis yang mendasari miopia tidak diketahui (Carr & Stell,
2017). Namun terdapat beberapa penelitian yang menunjukkan etiologi dari
miopia :
WHO, 2015
-
31
2.3.3.1 Pengaruh optik dan lingkungan
Pola refraksi perifer berbeda dengan refraksi sentral. Orang-orang
dengan miopia biasanya memiliki hiperopia relatif di perifer, sedangkan
mereka yang memiliki hiperopia biasanya memiliki miopia relatif di
perifer (WHO, 2015).
a. Aktivitas melihat jarak dekat : dapat meningkatkan panjang aksial
akibat pengaruh gabungan dari faktor-faktor biomekanik (yaitu
kekuatan otot ekstraokular, kontraksi otot siliaris) yang terkait dengan
tugas-tugas jarak dekat dalam pandangan ke bawah (WHO, 2015).
b. Waktu yang dihabiskan di luar ruangan : dapat memperlambat
perkembangan miopia (WHO, 2015).
2.3.3.2 Genetik
Twin studies menunjukkan bahwa genetika dapat menjelaskan 60-80%
variasi dalam kelainan refraksi dan panjang aksial bola mata. Namun,
beberapa penelitian lain menunjukkan bahwa genetik hanya memiliki
kontribusi yang kecil dalam perkembangan miopia, dan terdapat pendapat
bahwa gen dapat menentukan kerentanan terhadap faktor lingkungan
(WHO, 2015).
Gen pleiotropik dapat mempengaruhi ukuran otak dan bentuk mata
secara bersamaan (Upadhyay, 2015).
-
32
2.3.4 Faktor penyebab progresivitas miopia
Pembahasan mengenai faktor penyebab progresivitas miopia telah
dijelaskan oleh Yang, et al. dalam sebuah artikel review yang menyatakan
bahwa faktor tersebut diantaranya adalah :
2.3.4.1 Usia saat onset miopia
Sebuah penelitian melaporkan bahwa 65% penderita miopia yang
berusia lebih muda mengalami progresivitas miopia yang cepat pada
kelompok yang diterapi dengan menggunakan kacamata dan 20% pada
kelompok yang diterapi dengan Ortho-K. Penelitian lain menunjukkan
bahwa pemanjangan aksial bola mata berkorelasi positif dengan usia saat
onset miopia (P = 0,02) (Yang, et al., 2016).
Penelitian di atas menunjukkan bahwa anak dengan usia yang lebih
mudah cenderung memiliki pemanjangan aksial bola mata yang lebih
cepat.
2.3.4.2 Derajat miopia awal
Penelitian menemukan bahwa pemanjangan aksial bola mata cenderung
lebih cepat pada penderita miopia dengan derajat miopia yang tinggi di
awal diagnosis (Yang, et al., 2016).
2.3.4.3 Perubahan kekuatan refraksi kornea
Penelitian menunjukkan bahwa progresivitas miopia lebih lambat pada
mata dengan kekuatan refraksi kornea sentral yang rendah dan kekuatan
refraksi kornea perifer yang tinggi (Yang, et al., 2016).
-
33
2.3.4.4. Ukuran pupil
Ukuran pupil menentukan berapa banyak cahaya yang benar-benar
masuk ke mata, dan apabila ukuran pupil kecil maka akan menyebabkan
cahaya perifer menjadi terhalang. Berdasarkan sudut pandang tersebut,
maka dapat dikatakan bahwa ukuran pupil mampu mempengaruhi
progresivitas miopia. Semakin besar diameter pupil, maka semakin lambat
juga pemanjangan aksial bola matanya.
2.3.5 Patofisiologi miopia
Penelitian yang dilakukan oleh CREAM menunjukkan bahwa faktor
genetik berpengaruh terhadap angka kejadian miopia.
Gambar 2.16 Gen penyebab miopia
Gambar di atas menunjukkan lokalisasi dan fungsi beberapa gen yang
berhasil diidentifikasi oleh studi CREAM di mata dan jaringan retina.
Beberapa gen yang diidentifikasi secara fungsional terlibat dalam proses yang
memfasilitasi komunikasi antara sel-sel di retina (KCNQ5, GJD2, RASGFR1,
Carr, Brittany J. & Stell, William K., 2017
-
34
GRIA4) atau mengendalikan kemampuan fotoreseptor untuk merespons
cahaya (RDH5). Beberapa yang lain terlibat dalam pertumbuhan dan
perkembangan mata pre-natal (LAMA2, BMP2, SIX6, PRSS56) (Carr & Stell,
2017).
Penelitian lain mengenai pengaruh genetik dalam terjadinya miopia
menunjukkan bahwa jalur TGF-beta/BMPs memegang peranan peting, karena
penurunan ekspresi isoform TGF-beta di sklera berkaitan dengan penurunan
sintesis kolagen yang dapat menyebabkan terjadinya pemanjangan aksial
bolamata (Vagge et al., 2018).
Banyak jalur bio-molekuler yang berhasil diinvestigasi sebagai
patogenesis miopia, yaitu jalur yang melibatkan peran kolinergik, nitrik oksida
(NO), insulin, dan dopamin (Zhang et al., 2018). Dopamin memberikan
efeknya melalui reseptor D1 dan D5 yang terletak di sel bipolar, apokrin, dan
sel ganglion; serta melalui reseptor D2, D3, dan D4 yang terletak di sel epitel
pigmen retina dan sel neuroepitel (Vagge et al., 2018). Penelitian menunjukkan
bahwa penderita miopia memiliki kadar serum melatonin yang tinggi dan kadar
serum dopamine yang rendah (Kearney et al., 2017).
Penyebab perkembangan miopia adalah aktivitas jarak dekat yang
berlebihan menghasilkan kelelahan akomodatif, yang kemudian menyebabkan
miopia. Kelelahan akomodatif terjadi ketika otot siliaris melemah karena
terlalu banyak bekerja. Melemahnya otot siliaris akan mengakibatkan
hilangnya kekuatan fokus lensa, yang mengarah ke hiperopia ketika objek
dilihat dari dekat.
-
35
2.3.6 Perubahan struktural dan biomekanikal pada miopia
Pada mata miopia, terjadi perubahan struktural dan biomekanik pada
sklera, dimana sklera akan menjadi lebih tipis dari biasanya, kandungan
glikosaminoglikan dan kolagennya berkurang dan perakitan fibrilnya tidak
teratur, menjadikannya lebih lemah secara biomekanis. Manusia dengan
miopia sedang dan tinggi atau patologis telah terbukti memiliki sklera yang
lebih tipis daripada normal, dengan pengurangan ketebalan sklera posterior
hingga 31% dari sklera manusia dewasa normal yang dilaporkan dalam miopia
patologis (Metlapally & Wildsoet, 2016).
Properti biomekanik sklera yang paling sering dipelajari adalah laju
perembetan, yang mewakili pemanjangan sklera seiring waktu ketika dipapar
oleh beban konstan. Peningkatan laju perembetan akan menyebabkan
penurunan stabilitas biomekanik, dan untuk jaringan sklera dari mata miopia
akan mengalami peningkatan lebih dari 200% dibandingkan dengan nilai mata
normal. Perubahan biomekanik semacam itu pada sklera memfasilitasi
pemanjangan mata pada miopia, dan dalam respon yang berlebihan, dapat
menyebabkan staphyloma posterior, yang berhubungan dengan kegagalan
mekanik sklera yang terlokalisir. Saat ini, satu-satunya pilihan pengobatan
untuk komplikasi tersebut adalah dengan operasi penguatan sklera (Metlapally
& Wildsoet, 2016).
2.3.7 Manifestasi klinis miopia
Pada penderita miopia, objek yang berada di tempat yang jaraknya jauh
akan tampak buram dan tidak fokus. Penderita akan mengalami kesulitan
-
36
melihat gambar atau kata-kata dengan jelas di papan tulis, layar film, atau
televisi. Hal ini dapat menyebabkan menurunnya kinerja penderita miopia di
sekolah maupun pekerjaannya. Penderita akan cenderung menyipitkan mata
atau mengerutkan kening ketika mencoba melihat benda-benda jauh dengan
jelas (Upadhyay, 2015).
Penderita myopia akan sering merasa sakit kepala serta memiliki
kebiasaan memegang buku atau benda lain yang sangat dekat dengan
wajahnya. Anak-anak yang miopia akan cenderung memilih tempat duduk
yang paling depan ketika berada di kelas atau sangat dekat dengan TV atau
layar film (Upadhyay, 2015).
2.3.8 Klasifikasi miopia
2.3.8.1 Berdasarkan klinis miopia
a. Miopia patologis ditandai oleh pemanjangan aksial bola mata yang
ekstrem dan cepat, yang mengarah ke kelainan refraksi yang tinggi
(biasanya jauh lebih negatif daripada -6,00D). Peregangan ekstrem ini
memberi tekanan pada struktur okular (retina, koroid, dan sklera), yang
kemudian dapat mengakibatkan perubahan degeneratif pada mata, dan
kehilangan penglihatan yang ireversibel. Untungnya, miopia patologis
relatif jarang, mempengaruhi 0,9-3,1% dari populasi (Carr & Stell,
2017).
-
37
Gambar 2.17 Perbandingan retina normal dan penderita miopia degeneratif
Retina penderita miopia terlihat lebih regang tipis, disertai dengan
pembuluh darah yang tipis, kepala nervus optik yang terdistorsi (on),
beberapa lipatan pada retina yang tipis, dan pigmentasi pada fovea (fov)
(Carr & Stell, 2017).
b. Miopia onset spontan atau usia sekolah merupakan bentuk miopia yang
paling umum. Perkembangan miopia jenis ini relatif lambat, dan
biasanya stabil pada usia 20 tahun. Retina pada miopia jenis ini masih
terlihat normal (Carr & Stell, 2017).
2.3.8.2 Berdasarkan derajat miopia
a. Miopia ringan yaitu miopia yang memiliki kekuatan refraksi < -3.00
dioptri (Upadhyay, 2015).
b. Miopia sedang yaitu miopia yang memiliki kekuatan refraksi antara -
3.00 sampai -6.00 dioptri (Upadhyay, 2015).
c. Miopia berat yaitu miopia yang memiliki kekuatan refraksi > -6.00
dioptri. Orang dengan miopia berat sangat berpotensi memiliki ablasio
retina dan glaukoma sudut terbuka primer (Upadhyay, 2015).
Carr, Brittany J. & Stell, William K., 2017
-
38
2.3.8.3 Berdasarkan onset miopia
a. Miopia kongenital, juga disebut sebagai miopia infaltile, yaitu miopia
yang diderita sejak lahir dan berlanjut hingga masa infant (
-
39
yang menghasilkan kekaburan optik (Cooper & Tkatchenko, 2018).
Pernyataan tersebut didukung oleh penelitian randomized clinical trial
yang dilakukan pada anak China-Kanada dengan miopia derajat tinggi
(paling tidak kehilangan 0,50 D/tahun) yang menunjukkan bahwa
terdapatnya penurunan progresivitas miopia yang signifikan sebesar – 0,81
D (p < 0,001) setelah menggunakan lensa bifokal selama 3 tahun (Vagge
et al., 2018). Selain itu, terdapat beberapa studi retrospektif yang
menunjukkan bahwa lensa bifokal dan PAL (Progressive Addition Lenses)
dapat memperlambat progresivitas miopia sebesar 40%. Shi-Ming Li dkk.
menemukan bahwa PAL (Progressive Addition Lenses) memperlambat
progresivitas miopia sebesar 0,25D/tahun dibandingkan dengan lensa SV
(Single Vision) (Cooper & Tkatchenko, 2018).
Namun, dalam sebuah eksperimen baru-baru ini yang dilakukan di
China menunjukkan bahwa penggunaan lensa kacamata tidak memiliki
efek yang signifikan dalam memperlambat progresivitas miopia.
Meskipun demikian miopia tetap harus dikoreksi, karena penelitian baru
baru ini juga menunjukkan bahwa miopia yang tidak terkoreksi akan
menghasilkan percepatan ringan dari perkembangan miopia (Cooper &
Tkatchenko, 2018).
2.3.9.2 Lensa kontak
Selama bertahun-tahun, diyakini bahwa lensa kontak yang dapat
ditembus oleh gas memperlambat perkembangan miopia. Namun, harus
diingat bahwa lensa kontak yang dapat ditembus oleh gas biasanya
-
40
diresepkan ketika progresivitas miopia mulai melambat (usia 12 tahun dan
lebih tua) dan lensa kontak ini membuat kornea menjadi rata (Cooper &
Tkatchenko, 2018).
Penelitian Reim et al. melaporkan bahwa laju progresivitas miopia
melambat 0,5 sampai 0,13 D / tahun dengan penggunaan lensa kontak. Hal
ini diakibatkan perubahan Axial Length dan perubahan kedalaman ruang
vitreous. Resiko untuk terkena infeksi microbial keratitis pada
penggunaan lensa kontak tidak begitu besar, dikarenakan lensa kontak
permeabel terhadap oksigen, permukaan lensa kontak halus atau licin,
sehingga biofilm tidak mudah menempel pada lensa. Sebagian besar
infeksi dapat ditangani dengan terapi antimikroba yang agresif. Kasus
yang jarang dan tidak dapat dihindari terjadi akibat infeksi Acanthamoeba
atau Fusarium sering mengakibatkan kerusakan kornea. Dengan demikian,
menjaga kebersihan lensa kontak sangatlah penting. Lensa kontak tidak
boleh direndam dalam air keran (Cooper & Tkatchenko, 2018).
Ortokeratologi (OrthoK) merupakan teknik yang melibatkan
penggunaan lensa kontak gas permeable di malam hari, yang untuk
sementara dapat membentuk kembali permukaan kornea melalui desain
geometri terbalik. Lensa OrthoK akan mendatarkan sentral kornea, yang
menyebabkan bagian tersebut menjadi lebih tipis, mendistribusikan
kembali sel-sel epitel ke mid-perifer kornea. Hal tersebut memungkinkan
OrthoK untuk memperlambat progresivitas miopia melalui pengurangan
kelainan refraksi hyperopia perifer dan menghasilkan pengurangan
-
41
pemanjangan aksial bola mata. Pernyataan tersebut didukung oleh
penelitian Longitudinal Orthokeratology Research in Children (LORIC)
selama 2 tahun yang melaporkan penurunan 2,09 ± 1,34 D pada kelompok
OrthoK setelah 24 bulan; dan pemanjangan aksial bola mata 0,29 ± 0,27
mm pada kelompok OrthoK dibandingkan 0,54 ± 0,27 mm pada kelompok
kontrol setelah 24 bulan. Efikasi lensa OrthoK lebih besar pada miopia
anak (usia 7-8 tahun), dengan tingkat progresivitas yang cepat,
menyebabkan penurunan pemanjangan aksial bola mata dari 65% pada
kelompok kontrol menjadi 20% pada kelompok OrthoK (Vagge et al.,
2018).
Namun, berbagai penelitian melaporkan peningkatan resiko infeksi
keratitis setelah penggunaan jangka panjang terapi OrthoK yang paling
sering disebabkan oleh Pseudomonas aeruginosa dan Acanthamoeba
dimana sebagian besar pasien mengalami luka parut pada kornea (Kam et
al., 2017). Penggunaan lensa OrthoK untuk memperlambat progresivitas
miopia pada anak harus dipertimbangkan dengan hati-hati, karena rasio
resiko-keuntungan dikombinasikan dengan rendahnya tingkat kepatuhan
pasien belum memberikan hasil yang searah (Vagge et al., 2018).
2.3.9.3 Bedah keratorefraktif
Bedah keratorefraktif merupakan suatu tindakan yang menggunakan
serangkaian metode yang berguna untuk mengubah kelengkungan
permukaan anterior mata (Eva & Augsburger, 2018).
-
42
2.3.9.4 Terapi farmakologi
Penelitian menunjukkan terapi yang paling efektif dalam
memperlambat progresivitas miopia adalah agen antimuskarinik
khususnya atropine. Mekanisme kerja atropine dalam memperlambat
progresivitas miopia masih menjadi perdebatan antar peneliti. Mekanisme
atropine yang dominan adalah kaskade neurokimia yang dimulai dari
retina.
Obat hipotensi okular (β-adrenergik bloker) juga dipercaya berperan
terhadap perlambatan progresivitas miopia, karena peningkatan tekanan
intraokular dapat menyebabkan peregangan pasif sklera yang diikuti
pertumbuhan panjang bola mata, akan tetapi efek yang diberikan sama
dengan penggunaan lensa kacamata (Vagge et al., 2018). Terapi
farmakologi lain yang dipercaya berperan dalam memperkuat sklera
posterior dan mencegah pemanjangan aksial bola mata adalah golongan
antagonis adenosin yaitu 7-methylxanthine (7-mx) (Hung et al., 2018).
Prostaglandin analog seperti latanoprost juga dapat menurunkan
pemanjangan aksial bola mata akibat efek terhadap tekanan sklera yang
rendah (El-Nimri & Wildsoet, 2018). Pirenzepine, antagonis reseptor M1,
juga banyak diteliti dikarenakan kecil kemingkinan untuk menimbulkan
efek samping seperti sikloplegi dan midriasis. Pirenzepine terbukti efektif
dalam memperlambat progresivitas miopia. Gel mata pirenzepine 2%
memiliki beberapa efek samping, seperti papilla/folikel, residu obat dan
kelainan akomodasi (Vagge et al., 2018).
-
43
Obat antimuskarinik lain seperti siklopentolat telah menunjukkan
hasil yang menjanjikan dalam pengobatan progresivitas miopia akan tetapi
efek klinisnya lebih rendah daripada atropine (Vagge et al., 2018).
2.3.9.5 Ekstraksi lensa jernih untuk miopia
Ekstraksi lensa jernih atau yang biasa juga disebut dengan ekstraksi
lensa non-katarak dianjurkan untuk koreksi refraktif miopia derajat sedang
sampai tinggi. Hasil dari tindakan ini tidak kalah memuaskan dengan hasil
yang dicapai oleh bedah keratorefraktif menggunakan laser. Namun, perlu
dipikirkan komplikasi operasi dan pascaoperasi bedah intraokular,
khususnya pada miopia tinggi.
2.3.10 Pencegahan miopia
Penundaan terhadap onset miopia sangat diperlukan dikarenakan onset
miopia yang terlalu dini beresiko berkembang menjadi miopia derajat tinggi
pada usia dewasa (Vagge et al., 2018). Penelitian menunjukkan bahwa anak-
anak yang menghabiskan lebih banyak waktu di luar ruangan memiliki insiden
miopia yang lebih rendah. Menghabiskan waktu sekitar 10 hingga 14 jam
setiap minggu di luar ruangan dapat mencegah onset miopia maupun
perkembangan miopia serta menghambat perpanjangan aksial bola mata.
Efektivitas aktivitas luar ruangan terhadap onset atau perkembangan miopia
tidak mencapai signifikansi klinis (sekitar 50% atau lebih penurunan
perkembangan miopia) yang biasanya dapat dicapai dengan atropin (Chen et
al., 2018).
-
44
Penelitian lain yang dilakukan pada 2276 anak China usia 10-15 tahun
menunjukkan hubungan yang signifikan antara aktivitas luar ruangan dengan
perlambatan pemanjangan aksial bolamata pada anak yang awalnya tidak
menderita miopia ( - 0,036 mm/tahun; p = 0,009). Sebaliknya, anak yang
menderita miopia tidak menunjukkan efek yang signifikan dalam pengurangan
pemanjangan aksial bola mata ( - 0,005 mm/tahun; p = 0,595) (Vagge et al.,
2018).
Aktivitas luar ruangan dapat mencegah onset miopia disebabkan retina
merespon tingkat cahaya yang tinggi dengan melepaskan dopamin, yang
menghambat pertumbuhan panjang aksial bola mata. Penelitian baru-baru ini
menunjukkan bahwa paparan dengan intensitas cahaya kurang dari 10.000 lux
sudah cukup untuk dijadikan sebagai pencegahan terhadap miopia. Paparan
dengan intensitas cahaya 1000 atau 3000 lux (seperti di lorong atau di bawah
naungan pohon) dalam waktu 30 menit sehari sudah cukup untuk mencegah
miopia. Temuan ini memiliki peranan penting dalam mengurangi
kemungkinan efek samping dari paparan sinar matahari yang sangat terang
(>10.000 lux), seperti katarak, makulopati, atau kanker kulit (Chen et al.,
2018).
2.3.11 Prognosis miopia
Penderita miopia yang terus mengalami progresivitas (< -5 Dioptri) yang
tidak dikoreksi memiliki resiko yang tinggi untuk berkembang menjadi
katarak, glaukoma sudut terbuka, miopia degerasi makula, dan ablasio retina
(Congdon et al., 2019).
-
45
Miopia < -1,50 Dioptri yang tidak dikoreksi akan menyebabkan gangguan
penglihatan tingkat sedang, sedangkan miopia > -4,00 Dioptri dapat
menyebabkan kebutaan (WHO, 2015).
2.4 Kelainan Refraksi yang Lain
2.4.1 Hipermetropia
Hipermetropia biasa disebut juga dengan hiperopia atau farsightedness
merupakan keadaan mata tak berakomodasi yang memfokuskan bayangan di
belakang retina (Eva & Augsburger, 2018). Orang dengan hipermetropia akan
merasa buram ketika melihat benda yang berada di jarak yang dekat, namun
benda yang berada di jarak yang jauh akan terlihat jelas. Hipermetropia terjadi
jika panjang aksial bola mata terlalu pendek akibat jarak lensa dengan retina
yang terlalu pendek atau kelengkungan kornea terlalu kecil akibat aktivitas
muskulus siliaris yang lemah, sehingga cahaya yang masuk ke mata tidak
difokuskan dengan baik. Hipermetropia juga dapat disebabkan oleh genetik.
Tanda umum hipermetropia adalah kesulitan dalam berkonsentrasi dan
mempertahankan fokus pada objek yang berjarak dekat, mata menjadi tegang
dan sakit kepala ketika setelah melakukan aktivitas jarak dekat, serta mata
terasa sakit atau terbakar. Penderita hipermetropia juga akan merasakan
kaburnya penglihatan terutama pada malam hari (Upadhyay, 2015).
-
46
Gambar 2.18 Hipermetropia
Hipermetropia dikoreksi dengan kacamata, lensa kontak, atau operasi
refraktif. Lensa yang diperlukan untuk mengoreksi hipermetropia adalah lensa
cembung yang membuat sinar cahaya yang masuk ke mata jatuh ke titik fokus
retina. Bayi dan anak sebaiknya dikoreksi dengan menggunakan kacamata.
Operasi refraktif tidak dianjurkan sampai kelainan refraksi mata telah stabil
dan pertumbuhan bola mata sudah berhenti, keadaan ini terjadi ketika
seseorang memasuki usia tiga puluhan tahun. Pilihan operasi untuk
hipermetropia adalah thermal laser keratoplasty (TLK), conductive
keratoplasty (CK), spiral heksagonal keratotomi, laser excimer, clear lens
extraction dengan intraocular lens implantation atau phakic intraocular lens
implantation (Upadhyay, 2015).
2.5 Atropine
Atropine sulfat, secara luas digunakan dalam bentuk tetes mata, merupakan
garam sulfat Atropine yang bersifat alkaloid yang ditemukan pada tanaman
keluarga Solanaceae, seperti daun Atropa belladoma, Datura stramonium,
Hyoscyamus niger, dan Mandragona officinarum. Atropine terdiri dari bahan
organik (tropin) dan asam aromatik (tropik) yang membentuk struktur ester
organik. Tropin dan asam tropik sendiri apabila tidak disatukan tidak akan memberi
Eva, Paul Riordan & Augsburger, James J., 2018
-
47
efek antimuskarinik karena efek antimuskarinik merupakan efek yang dihasilkan
oleh struktur ester organik (Tran et al., 2018).
Atropine merupakan antagonis nonspesifik reseptor muskarinik yang berefek
terhadap sikloplegik (paralisis muskulus siliaris) yang dapat menekan akomodasi
sehingga dipercaya dapat menekan progresivitas miopia (Chiang & Phillips, 2018).
Temuan penting menunjukkan bahwa kelainan refraksi miopia dapat berubah
menjadi hiperopia setelah 4 minggu mendapat terapi atropine, yang akan hilang
setelah 4 bulan. Efek tersebut diakibatkan oleh efek atropine yg kuat terhadap
sikloplegi. Penurunan kelainan refraksi juga dapat diakibatkan efek atropine
terhadap penebalan sementara dari koroid (Huang et al., 2016). Efek lain yang dapat
ditimbulkan oleh atropine adalah midriasis (dilatasi pupil). Efek sikloplegi timbul
40 menit setelah pemberian atropine dan efek tersebut akan hilang sepenuhnya
dalam waktu 10 hari sampai 14 hari, sedangkan efek midriasis timbul 30 menit
setelah pemberian atropine dan efek tersebut akan hilang sepenuhnya dalam waktu
7 sampai 10 hari (Tran et al., 2018).
Atropine dipercaya dapat memperlambat progresivitas miopia karena efek
terhadap akomodasi lensa, namun penelitian baru-baru ini menyebutkan bahwa
peran atropine dalam memperlambat progresivitas miopia adalah melalui jalur
nonakomodatif di retina atau sklera yang tidak menyebabkan terjadinya sikloplegi
(Huang et al., 2016). Terlebih lagi, penelitian menunjukkan bahwa atropine efektif
dalam memperlambat progresivitas miopia manusia pada konsentrasi yang sangat
rendah (0,01%) dimana pada konsentrasi ini tidak dapat meninmbulkan efek
sikloplegia (Chiang & Phillips, 2018). Selain dapat mengontrol miopia, tetes mata
-
48
atropine juga digunakan pada pengobatan amblyopia dan spasme jarak dekat (Tran
et al., 2018).
Mekanisme atropine dalam mengontrol progresivitas miopia masih belum
dapat dipastikan. Beberapa mekanisme yang telah dibuktikan dalam berbagai
penelitian adalah sebagai berikut :
2.5.1 Retina
Retina memiliki sel amakrin yang pada membran selnya terdapat reseptor
muskarinik. Ketika atropine berikatan dengan reseptor muskarinik pada sel-sel
amakrin maka ikatan ini dapat menghasilkan releasenya dopamin dimana
dopamin tersebut merupakan mediator kimia yang dapat menghambat
pertumbuhan mata. Atropine meningkatkan release dopamine melalui
penyimpanan seluler, hal ini dibuktikan dari penelitian yang menyatakan
bahwa atropine menyebabkan turunnya gelombang b dan d elektroretinogram
(ERG) dan teredamnya retinal pigment epithetium (RPE). Akan tetapi ablasi
sel-sel amakrin kolinergik tidak menghambat kerja atropine dalam mencegah
pemanjangan aksial bola mata sehingga dapat disimpulkan bahwa atropine
juga dapat bekerja pada reseptor muskarinik ekstraretina, kemungkinan pada
epitel pigmen retina, koroid, atau sklera (Tran et al., 2018).
2.5.2 Asam ɣ-aminobutyric
Terjadi penurunan kadar neurotransmitter asam ɣ-aminobutyric setelah
terapi atropine.
-
49
2.5.3 Sklera
Sklera merupakan struktur mata yang dimana pada sklera tersebut
ditemukannya 5 jenis reseptor muskarinik tepatnya di membrane sel-sel
fibroblas sklera. Ketika atropine diaplikasikan maka akan menyebabkan
sintesis DNA dan glikosaminoglikan dari kondrosit sklera diinhibisi. Atropine
mencegah perogresivitas miopia dengan cara mencegah pelebaran sklera yang
abnormal. Selain melalui mekanisme reseptor muskarinik secara langsung di
sklera, dilaporkan terdapat mekanisme lain juga yang dapat berperan, yaitu
melalui reseptor muskarinik di epitel pigmen retina yang mentransfer sinyal
kaskade ke sklera (Chiang & Phillips, 2018).
2.5.4 Koroid
Koroid merupakan struktur vascular yang berperan aktif dalam
emetropisasi dengan mengubah ketebalan dan memindahkan bidang gambar
retina sebagai respon terhadap defokus optik. Antagonis muskarinik, termasuk
atropine, dengan cepat dapat menebalkan koroid yang bersifat sementara,
penebalan koroid ini dapat mencegah pertumbuhan okular. Penebalan koroid
tersebut terjadi melalui mekanisme reseptor muskarinik yang terdapat di epitel
pigmen retina yang mentransfer sinyal kaskade ke koroid (Tran et al., 2018).
Mekanisme kerja atropine dalam memperlambat progresivitas miopia masih
menjadi perdebatan antar peneliti. Mekanisme atropine yang dominan adalah
kaskade neurokimia yang dimulai dari retina. Pernyataan tersebut didukung oleh
penelitian yang dilakukan pada sampel mamalia yang menunjukkan bahwa agen
antimuskarinik yang sangat selektif seperti MT7 (antagonis reseptor M1) dan MT3
-
50
(antagonis reseptor M4) mencegah pembentukan miopia, bekerja pada reseptor
muskarinik retina pada konsentrasi yang lebih dekat dengan konstanta afinitas
reseptor dibandingkan konsentrasi yang ditemukan pada sklera dan koroid (Vagge
et al., 2018).