bab 2 tinjauan pustakaeprints.umm.ac.id/65751/3/bab 2.pdfketika terjadi ulkus kornea yang...

45
6 BAB 2 TINJAUAN PUSTAKA 2.1 Bola Mata 2.1.1 Anatomi bola mata Bola mata atau bulbus okuli adalah struktur seperti bola yang terdiri dari dinding yang menutupi rongga berisi cairan. Di anterior dari bulbus okuli terdapat kornea yang lebih melengkung dan transparan (Shea, 2012). Kornea mengisi 1/6 inci anterior bola mata yang berbentuk kuba dan berwarna bening. Sedangkan 5/6 sisanya diisi oleh sklera putih, opaque, dan fibrous. Pusat kornea dikenal sebagai kutub anterior mata dan sebaliknya, di bagian belakang mata dikenal sebagai kutub posterior. Panjang aksial bola mata rata-rata orang dewasa adalah 23,5 milimeter yang diukur dari titik terluar kornea sampai ke belakang retina (Shea, 2012). Mata terbagi menjadi dua segmen, yaitu segmen anterior dan posterior. Segmen anterior mengisi sepertiga anterior bola mata dan terdiri dari semua struktur yang berada di depan vitreous, yaitu kornea, iris, badan silia, dan lensa. Dalam segmen anterior, terdapat dua ruang yang sama-sama berisi cairan aqueous yang berperan sebagai penyedia nutrisi untuk struktur di sekitarnya. Kedua ruang tersebut adalah ruang anterior dan posterior. Ruang anterior terletak di antara kornea bagian posterior (endotelium) dan iris, sedangkan ruang posterior terletak dari belakang iris sampai ke depan permukaan vitreous. Segmen posterior mengisi dua pertiga posterior bola mata dan berisi jelly-like

Upload: others

Post on 03-Feb-2021

2 views

Category:

Documents


0 download

TRANSCRIPT

  • 6

    BAB 2

    TINJAUAN PUSTAKA

    2.1 Bola Mata

    2.1.1 Anatomi bola mata

    Bola mata atau bulbus okuli adalah struktur seperti bola yang terdiri dari

    dinding yang menutupi rongga berisi cairan. Di anterior dari bulbus okuli

    terdapat kornea yang lebih melengkung dan transparan (Shea, 2012).

    Kornea mengisi 1/6 inci anterior bola mata yang berbentuk kuba dan

    berwarna bening. Sedangkan 5/6 sisanya diisi oleh sklera putih, opaque, dan

    fibrous. Pusat kornea dikenal sebagai kutub anterior mata dan sebaliknya, di

    bagian belakang mata dikenal sebagai kutub posterior. Panjang aksial bola

    mata rata-rata orang dewasa adalah 23,5 milimeter yang diukur dari titik terluar

    kornea sampai ke belakang retina (Shea, 2012).

    Mata terbagi menjadi dua segmen, yaitu segmen anterior dan posterior.

    Segmen anterior mengisi sepertiga anterior bola mata dan terdiri dari semua

    struktur yang berada di depan vitreous, yaitu kornea, iris, badan silia, dan lensa.

    Dalam segmen anterior, terdapat dua ruang yang sama-sama berisi cairan

    aqueous yang berperan sebagai penyedia nutrisi untuk struktur di sekitarnya.

    Kedua ruang tersebut adalah ruang anterior dan posterior. Ruang anterior

    terletak di antara kornea bagian posterior (endotelium) dan iris, sedangkan

    ruang posterior terletak dari belakang iris sampai ke depan permukaan vitreous.

    Segmen posterior mengisi dua pertiga posterior bola mata dan berisi jelly-like

  • 7

    vitreous, anterior membran hyaloid dari vitreous, retina, koroid, dan nervus

    optikus (Shea, 2012).

    Gambar 2.1

    Mata dan Orbita

    Mata terdiri dari tiga lapisan, yaitu fibrous, vascular, dan nerve serta ocular

    media.

    2.1.1.1 Lapisan fibrous

    Lapisan fibrous merupakan lapisan terluar mata, terdiri dari kornea dan

    sklera.

    Kornea merupakan organ yang transparan dan avaskular, berbentuk seperti

    kubah yang terletak di depan iris. Kornea berdiameter 12 milimeter secara

    horizontal dan 10-11 milimeter secara vertikal. Di sentral kornea memiliki

    ketebalan 0,5 milimeter, sedangkan di perifer kornea memiliki ketebalan 1

    milimeter.

    Kornea terdiri dari beberapa lapisan, yaitu lapisan epitelium, bowman,

    stroma, membran descement, dan endotelium.

    Shea, Carolyn, 2012

  • 8

    Epitelium merupakan lapisan terluar dari kornea yang berisi sebagian

    besar akhiran syaraf yang menyebabkan lapisan ini menjadi sensitif terhadap

    rangsangan raba dan nyeri. Pada permukaannya terdapat mikrovili yang

    berfungsi untuk menangkap air mata prekornea dan menghaluskan permukaan

    kornea. Lapisan ini memiliki sifat hidrofobik (anti air) yang tidak

    memungkinkan lewatnya cairan sehingga dapat membantu kornea tetap

    transparan. Terdapat lima hingga tujuh lapisan sel epitelium yang beregenerasi

    setiap tujuh hari yang memungkinkan epitelium untuk memperbaiki dirinya

    sendiri setelah trauma tanpa menghasilkan jaringan parut. Jika oksigen tidak

    sampai ke epitelium melalui air mata, lapisan ini dapat mengalami

    pembengkakan yang menyebabkan terjadinya edem kornea. Lapisan epitelium

    yang terganggu dapat dideteksi melalui pemeriksaan dengan menggunakan

    pewarna fluorescein. Lapisan epitelium melekat pada membran basement yang

    tidak dapat ditembus oleh senyawa yang larut dalam air (Shea, 2012).

    Bowman merupakan lapisan yang terletak di bawah membran basement

    epitelium. Lapisan ini terdiri dari fibril kolagen aseluler yang tidak dapat

    diregenerasi setelah terjadinya trauma. Lapisan ini membantu kornea untuk

    mempertahankan bentuknya dan menyediakan permukaan yang halus sebagai

    tempat menempelnya sel-sel epitelium. Lapisan ini dapat mencegah cairan dan

    mikroorganisme masuk ke dalam stroma (Shea, 2012).

    Stroma membentuk 90% dari ketebalan kornea dengan lapisan kolagen

    fibril yang berjalan sejajar dengan permukaan untuk menjaga kornea tetap

    transparan. Sel-sel yang disebut keratosit mensintesis kolagen, yang penting

  • 9

    dalam proses penyembuhan luka. Nervus kornea masuk secara perifer ke dalam

    stroma dalam pola radial. Jika terjadi cedera pada daerah ini, akan

    menimbulkan rasa nyeri yang luar biasa akibat terjadinya peregangan dan

    pembengkakan nervus kornea (Shea, 2012).

    Membran descement terletak di posterior lapisan stroma dan

    menggambarkan membran basement endotelium. Membran descement terdiri

    dari kolagen dan glikoprotein yang disekresi oleh lapisan endotelium.

    Membran descement merupakan lapisan yang tahan terhadap bahan-bahan

    kimia dan trauma yang dapat beregenerasi jika mengalami kerusakan.

    Membran descement dapat mengalami penebalan akibat trauma, inflamasi,

    pertambahan usia, ataupun akibat pengaruh genetik. Ketika terjadi ulkus

    kornea yang menghancurkan semua lapisan anterior, membran descement akan

    membentuk descemetocele yang berperan sebagai barrier yang melindungi

    organ-organ intraokular (Shea, 2012).

    Endotelium adalah lapisan kornea paling posterior yang berfungsi untuk

    mengangkut oksigen melalui aqueous bersamaan dengan pengangkutan cairan

    dan produk-produk limbah. Endotelium merupakan lapisan yang bertindak

    sebagai barrier dan pengangkut cairan keluar dari stroma sehingga dapat

    mempertahankan keadaan dehidrasi normal. Jumlah sel endotel akan terus

    berkurang seiring dengan pertambahan usia. Sel-sel endotel tidak dapat

    beregenerasi, tetapi dapat bergeser dan menutupi area sel yang hilang. Ketika

    sel-sel endotel megalami kematian, endotelium tidak dapat mempertahankan

  • 10

    fungsi barrier yang efisien, sehingga dapat menyebabkan edema dan

    menurunkan kualitas penglihatan (Shea, 2012).

    Sklera opaque terdiri dari jaringan avaskular dan tampak berwarna putih.

    Lapisan ini memiliki sifat kokoh, kuat, dan elastis sehingga dapat

    mempertahankan bentuk bola mata (dengan tekanan intraokular) serta

    menyediakan dasar yang kaku sebagai tempat menempelnya otot-otot

    ekstraokular.

    Gambar 2.2 Sklera dan Limbus

    Sklera dan kornea di anterior bertemu membentuk limbus yang memiliki

    ketebalan 0,8 milimeter. Sklera dan konjungtiva ditutupi oleh suatu jaringan

    ikat longgar yang dikenal sebagai episklera. Episklera merupakan bagian yang

    kaya akan vaskularisasi yang berasal dari arteri ciliary anterior yang

    membentuk pleksus antara limbus dan tempat penempelan muskulus

    ekstraokular. Pada saat terjadinya respon inflamasi, area ini akan menjadi

    sangat merah dan kongestif.

    Sklera diinervasi oleh nervus siliaris yang menembus sklera dari sekitar

    nervus optikus. Nervus optikus melubangi sklera 3 milimeter di medial dan 1

    Shea, Carolyn, 2012

  • 11

    milimeter di atas kutub posterior bola mata. Area ini tampak seperti kisi-kisi

    dan dikenal sebagai lamina kribosa. Nervus optikus yang ada di lamina dilewati

    oleh arteri dan vena retina sentralis. Lamina kribosa merupakan area yang

    lemah, sehingga dapat mengalami kerusakan apabila tekanan intra okular terus

    mengalami peningkatan dari waktu ke waktu.

    Konjungtiva adalah membran fibrosa yang menutupi sklera anterior dan

    berlanjut ke permukaan belakang kelopak mata untuk membentuk sakus

    konjungtiva. Konjungtiva dibagi menjadi tiga bagian, yaitu konjungtiva bulbar

    (yang menutupi sklera putih), konjungtiva palpebra (menutupi bagian belakang

    kelopak mata), dan forniks (titik pertemuan konjungtiva bulbar dan

    konjungtiva palpebra).

    Gambar 2.3

    Anatomi kelopak mata Ocular media adalah permukaan optik transparan dan cairan di dalam

    mata, yang dilalui oleh sinar cahaya sebelum mencapai retina. Ruang dan sudut

    Shea, Carolyn, 2012

  • 12

    anterior : ruang anterior adalah ruang yang dibatasi oleh kornea di bagian

    anterior dan iris di bagian posterior. Ruang ini berisi humor aqueous yang

    jernih, tidak berwarna, dan memiliki konsistensi encer (99% air). Humor

    aqueous diproduksi oleh proses siliaris dengan kecepatan 2 mikroliter per

    menit, cairan ini bergerak dari ruang posterior dari belakang iris, melewati

    pupil kemudian masuk ke dalam ruang anterior, membasahi kornea dan

    segmen anterior. Humor aqueous keluar melalui sudut drainase yang

    merupakan pertemuan antara kornea dan iris. Sudut ini terdiri dari trabekular

    meshwork dan kanalis schlemm, kemudian berlanjut melalui jaringan

    pembuluh darah yang mengalir keluar dari mata. Normalnya sudut ini

    membuka 30 derajat yang dinilai dengan gonioskop. Jika sudut ini mengalami

    penyempitan, mekanisme drainase juga akan terganggu, yang menyebabkan

    aliran keluarnya humor aqueous menjadi terganggu. Jika sudut ini terus

    menutup mendekati 0 derajat, dapat menyebabkan timbulnya glaukoma sudut

    tertutup.

    Gambar 2.4

    Aliran aqueous

    Shea, Carolyn, 2012

  • 13

    Lensa kristalin merupakan struktur yang bikonveks dan transparan,

    terletak di belakang iris dan di depan vitreous. Transparansi lensa ini

    dipertahankan dengan menjadi daerah avaskular, tidak memiliki nervus

    maupun jaringan ikat. Lensa ini mengandung kapsul, epitelium, dan substansi

    lensa (korteks dan nukleus). Kapsul merupakan membran elastis yang

    menutupi seluruh lensa dan membentuk lensa saat berespon terhadap tarikan

    zonula selama akomodasi. Kapsul ini berperan dalam mempertahankan isi

    lensa dengan bertindak sebagai barrier terhadap vitreous, fluorescein, dan

    bakteri. Sel-sel epitel berbentuk kubus dan berlokasi di bawah kapsul lensa

    anterior. Serat-serat tersebut dibuat terus menerus dan bermigrasi ke pusar

    lensa, membuat lensa menjadi lebih padat dan kaku. Substansi lensa

    membentuk massa lensa dan terdiri dari sel dan serat yang padat, dengan ruang

    yang sangat kecil di antaranya. Korteks merupakan lapisan tipis yang terdiri

    dari sel-sel muda dan mengandung konsentrasi air yang tinggi, sedangkan

    nukleus terdiri dari sel-sel tua yang terletak di tengah lensa.

    Lensa megandung protein yang sangat tinggi. Perubahan protein lensa

    menyebabkan lensa kehilangan elastisitasnya. Lensa akan terus mengalami

    pertumbuhan selama hidup, terutama pada dua dekade pertama dan melambat

    pada dekade ketujuh kehidupan. Saat lahir lensa manusia berdiameter 6,5

    milimeter dan akan mengalami pertumbuhan hingga berdiameter 10,0

    milimeter pada manusia dewasa. Lensa dapat berubah bentuk untuk mengubah

    kekuatan dioptri mata ketika mengubah fokus dari objek yang berjarak jauh ke

    jarak dekat, guna mempertahankan gambar yang jelas pada retina (akomodasi).

  • 14

    Gambar 2.5 Lensa dewasa normal

    Vitreous adalah suatu zat berbentuk jeli yang mengisi 80% mata. Di

    anterior, vitreous berada di kapsul lensa posterior, dan dibatasi oleh retina di

    bagian posterior. Vitreous tersusun dari kolagen, mucopolysaccharide, dan

    asam hialuronat. Bagian terkuat dari vitreous berada di ora serrata (anterior)

    dan berada di nervus optikus dan fovea (posterior). Permukaan anterior

    vitreous merupakan suatu membran hialoid yang terkondensasi yang dapat

    mencegah kehilangan vitreous selama proses operasi katarak. Seiring dengan

    pertambahan usia, konsistensi vitreous menjadi lebih cair dan membentuk

    kantung aqueous. Ketika proses ini berlanjut, kolagen fibril berubah menjadi

    untaian yang panjang. Ketika kolagen fibril membesar dan melewati visual

    aksis, akan terlihat seperti floaters. Vitreous berfungsi untuk menjaga

    transparansi media optik dan untuk memberikan tekanan yang konstan untuk

    menyokong struktur internal mata.

    Shea, Carolyn, 2012

  • 15

    Gambar 2.6 Ruang vitreous

    2.1.1.2 Lapisan vaskular

    disebut juga traktus uveal dan terdiri dari tiga bagian, yaitu badan siliaris,

    iris, dan koroid. Ini adalah lapisan tengah mata dan berada di antara sklera dan

    retina. Lapisan ini kebanyakan terdiri dari pembuluh darah dan jaringan

    kapiler. Fungsi dari lapisan vaskular (traktus uveal) adalah memproduksi

    humor aqueous dalam proses ciliary dan mengubah bentuk lensa kristalin yang

    membuat mata menjadi fokus.

    Gambar 2.7 Traktus uvea

    Shea, Carolyn, 2012

    Shea, Carolyn, 2012

  • 16

    Badan siliaris memanjang dari dasar iris dan berlanjut ke ora serrata

    bersama dengan koroid. Badan siliaris dibagi menjadi dua bagian :

    Pars plicata (“folded” atau “gathered”) yang memproduksi aqueous

    dalam proses siliaris. Pars plicata adalah suatu bagian yang berbentuk

    seperti jari tangan yang berada di belakang iris. Proses siliaris juga

    terhubung ke lensa. Di pars plicata juga ditemukan muskulus siliaris, yang

    ketika berkontraksi dapat membuat zonula menjadi rileks, sehingga

    meningkatkan akomodasi.

    Pars plana merupakan bagian terbelakang dari badan siliaris. Bagian

    ini menempel pada ora serrata retina.

    Iris merupakan bagian mata yang berwarna dan membentuk diafragma di

    depan lensa kristalin. Iris berperan dalam mengontrol jumlah cahaya yang

    ditransmisikan ke mata dengan mengubah ukuran pupil. Iris juga berperan

    dalam mencegah cahaya berlebih masuk ke mata dan membantu membentuk

    gambar yang jelas pada retina dengan mencegah cahaya perifer masuk ke mata.

    Kedua otot iris mengontrol ukuran pupil melalui sistem saraf otonom.

    Muskulus dilator, diinervasi oleh sistem saraf simpatis, berjalan secara radial

    di stroma. Ketika pupil berdilatasi, terjadi midriasis. Muskulus sfingter,

    diinervasi oleh sistem saraf parasimpatis, melingkari pupil. Muskulus sfingter

    berfungsi untuk mengurangi jumlah cahaya yang masuk ke mata yang disebut

    dengan miosis. Iris terdiri dari tiga lapisan, yaitu :

    Anterior : berisi melanosit (sel pigmen) dan kolagen, dengan

    permukaan anteriornya berlipat-lipat menjadi banyak ridges dan crypts.

  • 17

    Stroma media : berisi fibroblas, melanosit, dan kolagen.

    Posterior : berisi muskulus dilator dan epitel pigmen. Stroma, atau

    lapisan tengah, membentuk sebagian besar iris dan mengandung pembuluh

    darah, nervus, dan melanosit. Jumlah dan persentase butiran melanin

    dalam melanosit stromal superfisial yang akan menentukan warna iris.

    Koroid berfungsi untuk memelihara dan menyediakan oksigen ke lapisan

    luar retina, khususnya batang, kerucut, dan epitel pigmen retina. Koroid

    memiliki empat lapisan : lamina fusca, stroma, choriocapillaris, dan membran

    Bruch. Koroid merupakan jaringan yang besar, bervaskular dan berpigmen

    yang membentuk lapisan tengah bagian posterior bola mata dan memanjang

    dari ora serrata ke nervus optikus. Koroid menempel pada sklera oleh untaian

    jaringan ikat posterior dan oleh banyak pembuluh darah dan nervus yang

    memasuki koroid dari sklera. Retina dan koroid mendapat vaskularisasi dari

    arteri ophthalmic. Membran Brunch semi-permeabel terjepit di antara

    choriocapillaris dan di bagian bawah epitel pigmen retina. Membran basement

    memungkinkan nutrisi melewati membran menuju ke lapisan luar retina tetapi

    mencegah puing retina melalui pori-pori choriocapillaris.

    2.1.1.3 Lapisan nervus (sel-sel reseptor)

    Retina adalah lapisan mata yang paling transparan dan paling dalam dan

    terhubung langsung dengan otak. Retina terdiri dari dua segmen, yaitu retinal

    pigment epithelium (RPE) dan neural retina bagian dalam. RPE adalah lapisan

    tunggal sel-sel heksagonal yang kontinu dengan epitel pigmen badan siliaris

  • 18

    pada ora serrata junction. RPE bekerja dengan membran brunch dan lapisan

    koroid untuk menjaga kesehatan sel-sel reseptor.

    Cahaya harus melewati sebagian besar lapisan retina untuk merangsang

    lapisan kedua fotoreseptor, batang, dan kerucut. Setelah fotoreseptor

    mengubah sinyal cahaya menjadi impuls listrik, kemudian diperkuat dan

    diintegrasikan melalui bipolar, horizontal, amakrin, dan sel ganglion. Impuls-

    impuls tersebut bertemu di atas sel bopilar dan juga sel ganglion. Akson sel

    ganglion bergabung dan keluar di optic disc.

    Gambar 2.8 Lapisan retina

    Terdapat 126 juta sel reseptor, yang terdiri dari 120 juta sel batang dan 6

    juta sel kerucut. Sel kerucut yang berada di makula bertanggung jawab

    terhadap warna dan penglihatan sentral, bekerja paling baik dalam cahaya

    terang, menangkap detail dan warna, dan membutuhkan stimulasi langsung.

    Sel batang lebih banyak berada di bagian perifer retina, berfungsi paling baik

    Shea, Carolyn, 2012

  • 19

    dalam pencahayaan redup, mendeteksi bentuk umum daripada detail, dan

    memberikan informasi latar belakang.

    Gambar 2.9 Potongan melintang makula

    Nervus optikus merupakan daerah yang tidak memiliki fotoreseptor,

    sehingga dijuluki sebagai “blind spot fisiologis”. Terdiri dari serabut syaraf

    yang membawa informasi visual dari retina ke otak nervus optikus berada di

    dalam optic disc. Daerah ini tampak lebih kuning dibanding dengan retina yang

    berwarna orange sebagai akibat dari suplai darah yang mendasarinya di koroid.

    Shea, Carolyn, 2012

  • 20

    Gambar 2.10 Fundus

    2.1.2 Fisiologi mata normal

    Kemampuan untuk melihat bergantung pada kejelasan gambar yang

    mencapai otak. Oleh karena itu, system optic harus mentransmisikan gambar

    secara bersih tanpa gangguan ke retina, yang mengubah cahaya menjadi sinyal

    elektrokimia untuk transmisi melalui jalur visual ke korteks visual. Jalur visual

    terdiri dari akson, yang menghubungkan retina ke lobus oksipital otak pada

    tingkat korteks visual. Perjalanannya dimulai dari retina, kemudian mulai dari

    orbit melalui optic disc, sepanjang nervus optikus untuk bergabung dengan

    nervus optikus dari sisi mata yang lain di kiasma optikus. Informasi kemudian

    diteruskan ke badan geniculate lateral, dan akhirnya ke korteks oksipital.

    Gangguan di jalur ini dari mata ke otak akan menghasilkan kecacatan di bidang

    visual. Objek yang dilihat di ruang posterior akan dicitrakan di retina inferior,

    sedangkan objek yang dilihat di ruang dextra akan dicitrakan di retina sinistra.

    Shea, Carolyn, 2012

  • 21

    Gambar 2.11 Jalur visual

    Retina memiliki 10 lapisan, tetapi hanya tiga lapisan sel saraf yang khusus

    mengubah energi cahaya menjadi sinyal elektrokimia. Objek ditransmisikan

    sebagai cahaya ke lapisan fotoreseptor (batang dan kerucut) retina.

    Fotoreseptor mengirim sinyal ke nervus optikus melalui serabut syaraf

    retina. Semakin jauh ke pinggiran retina, semakin banyak fotoreseptor yang

    ada untuk setiap serabut syaraf. Pada optic disc (disebut “blind spot fisiologis”)

    merupakan area yang tidak memiliki fotoreseptor, sehingga tidak ada cahaya

    yang dapat dideteksi di area ini.

    Akson sel ganglion menghasilkan lapisan serat syaraf retina. Serat syaraf

    retina melewati optic disc untuk menjadi nervus optikus. Lapisan serat syaraf

    didistribusikan melintasi retina dalam pola yang sangat spesifik ketika

    bergerak ke arah optic disc. Lapisan serabut syaraf yang berasal dari retina

    superior akan memasuki optic disc superior. Sebalikanya, lapisan serabut

    syaraf yang berasal dari retina inferior akan memasuki optic disc inferior.

    Shea, Carolyn, 2012

  • 22

    Berkas papillomacular terdiri dari serabut syaraf dari makula, fovea, dan

    area temporal ke optic disc. Untuk sementara serat-serat ini masuk ke dalam

    optic disc membentuk lingkaran yang tebal. Serabut syaraf keluar dari optic

    disc melalui lamina cribosa yang terdiri dari saringan lubang di sklera.

    Kiasma optikum merupakan area pertemuan nervus optikus dari dua sisi

    mata. Kiasma optikum berada tepat di atas kelenjar hipofisis. Serabut syaraf

    yang berasal dari hidung menuju fovea menyeberang ke setengah bagian otak

    yang berlawanan, sedangkan serat yang berasal sementara berlanjut sepanjang

    jalur tanpa menyilang. Serabut dari retina (yang melihat bidang visual

    temporal) menyeberang ke sisi otak yang berlawanan. Serabut dari retina

    temporal (yang melihat bidang visual hidung) tidak bersilangan tetapi tetap

    berada di sisi otak sama. Sepuluh persen serabut syaraf yang mewakili seluruh

    retina akan meninggalkan traktus optikus dan berakhir di batang otak.

    Badan geniculate lateral : akson meninggalkan traktus optikus dan sinaps

    dengan sel-sel yang akhirnya menuju ke korteks oksipital. Ketika akson

    meninggalkan badan geniculate lateral, akson-akson ini akan menyebar ke

    optic radiations. Saat meninggalkan serat/fibers, akson akan berjalan ke sisi

    yang sama di lobus oksipital. Beberapa serat inferior keluar melengkung di

    sekitar ventrikel lateral ke lobus temporal sebelum berakhir ke bagian inferior

    lobus oksipital.

    Korteks visual (area V1 atau Brodmann) : terletak di lobus oksipital,

    pasangan serat retina yang berproyeksi ke tempat yang sama di fisura

    kalkarina. Fisura ini memiliki tiga zona, yaitu : daerah macula posterior, daerah

  • 23

    binocular perifer, dan daerah monocular perifer. Ujung otak paling posterior

    menerima informasi dari 5 derajat sentral bidang makula. Permukaan retina

    dipetakan oleh korteks visual. Kebanyakan neuron kortikal dikhususkan untuk

    fovea daripada retina perifer. Karena fovea hanya memiliki kerucut, maka

    fovea secara luas dipetakan pada permukaan korteks.

    2.1.3 Mekanisme akomodasi

    Akomodasi adalah proses dimana mata manusia mengubah fokusnya

    untuk melihat objek dalam jarak tertentu dari mata. Proses akomodasi ini

    melibatkan perubahan kekuatan dioptri lensa kristalin (Oduntan & Ogbomo,

    2015). Terdapat beberapa teori yang menjelaskan mekanisme akomodasi :

    2.1.3.1 Teori vitreous Cramer

    Selama akomodasi, kontraksi otot ciliary bekerja pada koroid yang pada

    gilirannya menekan cairan vitreus di balik lensa kristalin posterior. Iris

    menahan tekanan lensa berikutnya, dan kelengkungan permukaan anterior

    lensa kristalin di area pupil meningkat (Oduntan & Ogbomo, 2015).

    2.1.3.2 Teori relaksasi Helmholtz

    Ketika mata dalam keadaan tidak berakomodasi dan fokus pada jarak,

    muskulus siliaris akan berelaksasi dan serat-serat zonular elastis menegang,

    menarik lensa kristalin ke arah luar di ekuator dan mempertahankan lensa

    dalam keadaan agak datar. Selama akomodasi, muskulus siliaris akan

    berkontraksi, menyebabkan pengurangan tekanan zonular yang

    memungkinkan peningkatan kelengkungan lensa kristalin, penurunan diameter

    ekuator, dan peningkatan ketebalan lensa; peningkatan kelengkungan

  • 24

    permukaan anterior lensa kristalin sedangkan hanya sedikit perubahan yang

    terjadi pada kelengkungan permukaan posterior lensa kristalin; gerakan maju

    dari permukaan anterior lensa kristalin sementara permukaan posterior tidak

    menunjukkan gerakan yang berarti; dan peningkatan ketebalan aksial sebesar

    0,5 mm pada lensa (Oduntan & Ogbomo, 2015).

    Gambar 2.12 Serat zonula

    2.1.3.3 Teori kontraksi zonular Tscherning

    Ketebalan lensa kristalin meningkat selama akomodasi. Kontraksi

    muskulus siliaris menyebabkan peningkatan traksi zonular. Traksi zonular

    akan menyebabkan lensa kristalin menjadi rata di bagian lateralnya selama

    akomodasi, sedangkan bagian sentral pupil sentral akan mencembung

    (Oduntan & Ogbomo, 2015).

    2.1.3.4 Teori akomodasi Coleman

    Cairan vitreus mencegah pergerakan kutub posterior lensa kristalin.

    Cairan vitreus dapat menghasilkan perubahan bentuk deretan permukaan lensa

    Shaik, Neha, et al. 2017

  • 25

    posterior, yang menyebabkan perubahan kelengkungan lensa anterior. Ketika

    akomodasi, terjadi peningkatan tekanan dalam cairan vitreus yang secara

    bersamaan dirangsang dengan penurunan tekanan dalam aqueous. Perbedaan

    tekanan antara ruang vitreous dan aqueous bertindak dalam mengubah hidrolik

    lensa kristalin. Ketegangan pada serat zonular (mirip dengan teori relaksasi

    Helmholtz) akan menghasilkan kelengkungan lensa anterior yang lebih curam,

    dengan cairan vitreus yang menahan tonjolan lensa posterior. Badan siliaris

    adalah ‘pendorong pergerakan untuk tingkat akomodasi yang dapat diprediksi'

    (Oduntan & Ogbomo, 2015).

    2.1.3.5 Teori akomodasi Schachar

    Muskulus siliaris berkontraksi selama akomodasi, yang menghasilkan

    peningkatan ketegangan serat zonular yang menyebabkan permukaan sentral

    lensa kristalin menanjak (peningkatan kecembungan), diameter anterior-

    posterior lensa kristalin meningkat , dan datarnya permukaan perifer dari lensa

    kristalin (Oduntan & Ogbomo, 2015).

    2.1.4 Pertumbuhan dan perkembangan bola mata pada anak

    Pada janin, mata mulai berkembang pada minggu kedua kehamilan.

    Pembentukan mata secara primer merupakan produk dari tingkat pertumbuhan

    sel yang berbeda. Kelopak mata mulai memisah antara bulan ke-lima sampai

    bulan ke-tujuh kehamilan. Sebagian besar bayi mengalami hyperopia saat lahir

    (Carolyn, 2012).

    Pada beberapa tahun pertama usia sesesorang, kekuatan refraksi kornea

    akan berkurang; begitu juga kekuatan refraksi lensa akan hilang selama masa

  • 26

    kanak-kanak (1-12 tahun). Sebaliknya, Aksial Length akan meningkat selama

    masa kanak-kanak dan di masa remaja, yang menyebabkan miopia jika

    pertumbuhan Aksial Length ini melebihi titik fokus mata. Penelitian yang

    dilakukan di Eropa menunjukkan bahwa Aksial Length akan mengalami

    peningkatan hingga usia 15 tahun, setelah itu Aksial Length terus meningkat

    hingga dewasa sampai usia 50 tahun ke atas. Sebagian besar pemanjangan

    aksial bola mata akan terjadi pada usia antara 15 sampai 25 tahun. Anak-anak

    di Asia Timur umumnya memiliki Aksial Length yang lebih tinggi setelah usia

    6 tahun (Tideman et al., 2017).

    ketebalan lensa dan kekuatan lensa terus menurun dari usia 6 hingga 10

    tahun dan kemudian menunjukkan sedikit perubahan setelah anak berusia di

    atas 10 tahun. Ketebalan lensa dan kekuatan lensa tidak selalu berjalan secara

    paralel. Setelah usia 11 hingga 13 tahun, lensa mulai menebal, tetapi terus

    kehilangan kekuatan (Chen et al., 2018).

    2.2 Kelainan Refraksi

    2.2.1 Definisi

    Ada beberapa istilah yang harus dikenal mengenai kelainan refraksi, yaitu

    emetropia dan ametropia. Emetropia merupakan suatu keadaan yang

    menunjukkan tidak adanya kelainan refraksi, sedangkan ametropia adalah

    suatu keadaan yang menunjukkan terdapatnya kelainan refraksi (Eva &

    Augsburger, 2018).

  • 27

    Gambar 2.13 Emmetropia

    Ametropia merupakan keadaan dimana terdapatnya ketidaksimetrisan

    antara panjang bola mata dan kekuatan refraksi mata; hal ini dapat dikoreksi

    dengan lensa plus atau minus yang sederhana. Dalam sebagian besar kasus,

    panjang aksial bola mata menyimpang dari panjang idealnya, yaitu 24 mm

    (ametropia longitudinal). Panjang aksial bola mata yang berlebihan dapat

    menginduksi miopia (rabun dekat), sedangkan panjang aksial bola mata yang

    kurang dari ideal dapat menyebabkan hiperopia (rabun jauh). Kasus yang lebih

    jarang, yaitu kekuatan refraksi dari komponen optik menyimpang dari normal

    (misalnya, jari-jari kelengkungan kornea dan / atau lensa yang berubah, atau

    peningkatan indeks refraksi lensa yang disebabkan oleh diabetes mellitus yang

    tidak terkontrol) (Schiefer et al., 2016).

    Daya refraktif ("kekuatan") lensa korektif diukur dalam dioptri (dpt); nilai

    ini adalah kebalikan dari jarak fokus dalam meter. Sebagai patokan, setiap

    milimeter penyimpangan dari panjang ideal aksial bola mata menghasilkan

    ametropia 3 dpt (Schiefer et al., 2016).

    Eva, Paul Riordan & Augsburger, James J., 2018

  • 28

    Menurut perkiraan Global Burden of Disease, kelainan refraksi yang tidak

    dikoreksi merupakan penyebab terbesar kedua kebutaan dan penyebab utama

    gangguan penglihatan sedang dan berat (53%) (WHO, 2015).

    2.2.2 Epidemiologi

    Meta-analisis yang diterbitkan oleh Huang et al. menggambarkan

    peningkatan prevalensi myopia di seluruh dunia, khususnya di Asia. Di Jerman,

    prevalensi penderita kelainan refraksi mencapai 70% pada populasi dewasa.

    Pada tahun 2011, hanya sekitar 31% orang berusia di atas 16 tahun yang tidak

    menggunakan alat bantu penglihatan : 63. 4% memakai kacamata dan 5,3%

    memakai lensa kontak. Masalah refraksi adalah alasan paling sering seseorang

    mengunjungi dokter mata (21,1%) - diikuti oleh glaukoma (19,3%), patologi

    lensa / katarak (14,9%), dan penyakit pada kompartemen posterior mata

    (12,5%) (Schiefer et al., 2016).

    2.3 Kelainan Refraksi Miopia

    2.3.1 Definisi miopia

    Miopia (near-sightedness) adalah gangguan penglihatan yang paling

    umum pada anak-anak. Hal ini ditandai dengan kaburnya objek yang dilihat

    dari kejauhan, dan biasanya diakibatkan oleh perpanjangan abnormal bola mata

    yang menyebabkan gambar yang dibentuk oleh kornea dan lensa jatuh di depan

    fotoreseptor retina. Miopia terjadi ketika panjang aksial mata terlalu panjang,

    dan cahaya difokuskan di depan fotoreseptor (Carr & Stell, 2017).

  • 29

    Gambar 2.14 Miopia

    Secara umum, saat onset miopia terjadi pada usia anak, miopia tersebut

    akan terus berkembang sampai akhir masa remaja (Chen et al., 2018). Semakin

    besar derajat miopia, semakin besar risiko komplikasi seperti degenerasi

    makula, ablasio retina, katarak, dan glaukoma; risikonya sangat besar ketika

    gangguan refraksinya lebih negatif dari -6,00 D (dioptri), suatu kondisi yang

    disebut 'high miopia' (Carr & Stell, 2017).

    2.3.2 Epidemiologi miopia

    Prevalensi miopia sangat bervariasi, tergantung pada etnisitas, lokasi

    geografis, dan status sosial ekonomi (Carr & Stell, 2017).

    Miopia diperkirakan mempengaruhi 27% (1893 juta) populasi dunia pada

    tahun 2010. Berdasarkan penelitian, prevalensi miopia tertinggi terdapat di Asia

    Timur, diantaranya Cina, Jepang, Republik Korea dan Singapura memiliki

    prevalensi sekitar 50%, dan prevalensi yang lebih rendah terdapat di Australia,

    Eropa serta Amerika Utara dan Selatan. Miopia diperkirakan mempengaruhi

    52% (4949 juta) populasi dunia pada tahun 2050 di 57% negara yang ada di

    seluruh dunia (WHO, 2015).

    Carr, Brittany J. & Stell, William K., 2017

  • 30

    Gambar 2.15 Jumlah Kasus (biru) dan Prevalensi (merah) miopia di seluruh dunia antara tahun

    2000 dan 2050

    Pada tahun 2050, prevalensi miopia akan jauh lebih tinggi di daerah

    berpenghasilan tinggi di Asia Pasifik, di Asia Timur dan di Asia Tenggara, dan

    daerah Amerika Utara yang berpenghasilan tinggi, Amerika Latin bagian

    selatan, seluruh bagian Eropa, Afrika utara, Timur Tengah, dan sekitar 30%

    Afrika akan serupa dengan yang ada di Asia saat ini (WHO,2015).

    2.3.3 Etiologi miopia

    Myopia terjadi ketika bola mata terlalu panjang yang menyebabkan sinar

    cahaya fokus pada titik di depan retina, bukan langsung pada permukaan retina.

    Miopia juga dapat disebabkan oleh kornea dan / atau lensa yang terlalu

    melengkung (Upadhyay, 2015).

    Penyebab biologis yang mendasari miopia tidak diketahui (Carr & Stell,

    2017). Namun terdapat beberapa penelitian yang menunjukkan etiologi dari

    miopia :

    WHO, 2015

  • 31

    2.3.3.1 Pengaruh optik dan lingkungan

    Pola refraksi perifer berbeda dengan refraksi sentral. Orang-orang

    dengan miopia biasanya memiliki hiperopia relatif di perifer, sedangkan

    mereka yang memiliki hiperopia biasanya memiliki miopia relatif di

    perifer (WHO, 2015).

    a. Aktivitas melihat jarak dekat : dapat meningkatkan panjang aksial

    akibat pengaruh gabungan dari faktor-faktor biomekanik (yaitu

    kekuatan otot ekstraokular, kontraksi otot siliaris) yang terkait dengan

    tugas-tugas jarak dekat dalam pandangan ke bawah (WHO, 2015).

    b. Waktu yang dihabiskan di luar ruangan : dapat memperlambat

    perkembangan miopia (WHO, 2015).

    2.3.3.2 Genetik

    Twin studies menunjukkan bahwa genetika dapat menjelaskan 60-80%

    variasi dalam kelainan refraksi dan panjang aksial bola mata. Namun,

    beberapa penelitian lain menunjukkan bahwa genetik hanya memiliki

    kontribusi yang kecil dalam perkembangan miopia, dan terdapat pendapat

    bahwa gen dapat menentukan kerentanan terhadap faktor lingkungan

    (WHO, 2015).

    Gen pleiotropik dapat mempengaruhi ukuran otak dan bentuk mata

    secara bersamaan (Upadhyay, 2015).

  • 32

    2.3.4 Faktor penyebab progresivitas miopia

    Pembahasan mengenai faktor penyebab progresivitas miopia telah

    dijelaskan oleh Yang, et al. dalam sebuah artikel review yang menyatakan

    bahwa faktor tersebut diantaranya adalah :

    2.3.4.1 Usia saat onset miopia

    Sebuah penelitian melaporkan bahwa 65% penderita miopia yang

    berusia lebih muda mengalami progresivitas miopia yang cepat pada

    kelompok yang diterapi dengan menggunakan kacamata dan 20% pada

    kelompok yang diterapi dengan Ortho-K. Penelitian lain menunjukkan

    bahwa pemanjangan aksial bola mata berkorelasi positif dengan usia saat

    onset miopia (P = 0,02) (Yang, et al., 2016).

    Penelitian di atas menunjukkan bahwa anak dengan usia yang lebih

    mudah cenderung memiliki pemanjangan aksial bola mata yang lebih

    cepat.

    2.3.4.2 Derajat miopia awal

    Penelitian menemukan bahwa pemanjangan aksial bola mata cenderung

    lebih cepat pada penderita miopia dengan derajat miopia yang tinggi di

    awal diagnosis (Yang, et al., 2016).

    2.3.4.3 Perubahan kekuatan refraksi kornea

    Penelitian menunjukkan bahwa progresivitas miopia lebih lambat pada

    mata dengan kekuatan refraksi kornea sentral yang rendah dan kekuatan

    refraksi kornea perifer yang tinggi (Yang, et al., 2016).

  • 33

    2.3.4.4. Ukuran pupil

    Ukuran pupil menentukan berapa banyak cahaya yang benar-benar

    masuk ke mata, dan apabila ukuran pupil kecil maka akan menyebabkan

    cahaya perifer menjadi terhalang. Berdasarkan sudut pandang tersebut,

    maka dapat dikatakan bahwa ukuran pupil mampu mempengaruhi

    progresivitas miopia. Semakin besar diameter pupil, maka semakin lambat

    juga pemanjangan aksial bola matanya.

    2.3.5 Patofisiologi miopia

    Penelitian yang dilakukan oleh CREAM menunjukkan bahwa faktor

    genetik berpengaruh terhadap angka kejadian miopia.

    Gambar 2.16 Gen penyebab miopia

    Gambar di atas menunjukkan lokalisasi dan fungsi beberapa gen yang

    berhasil diidentifikasi oleh studi CREAM di mata dan jaringan retina.

    Beberapa gen yang diidentifikasi secara fungsional terlibat dalam proses yang

    memfasilitasi komunikasi antara sel-sel di retina (KCNQ5, GJD2, RASGFR1,

    Carr, Brittany J. & Stell, William K., 2017

  • 34

    GRIA4) atau mengendalikan kemampuan fotoreseptor untuk merespons

    cahaya (RDH5). Beberapa yang lain terlibat dalam pertumbuhan dan

    perkembangan mata pre-natal (LAMA2, BMP2, SIX6, PRSS56) (Carr & Stell,

    2017).

    Penelitian lain mengenai pengaruh genetik dalam terjadinya miopia

    menunjukkan bahwa jalur TGF-beta/BMPs memegang peranan peting, karena

    penurunan ekspresi isoform TGF-beta di sklera berkaitan dengan penurunan

    sintesis kolagen yang dapat menyebabkan terjadinya pemanjangan aksial

    bolamata (Vagge et al., 2018).

    Banyak jalur bio-molekuler yang berhasil diinvestigasi sebagai

    patogenesis miopia, yaitu jalur yang melibatkan peran kolinergik, nitrik oksida

    (NO), insulin, dan dopamin (Zhang et al., 2018). Dopamin memberikan

    efeknya melalui reseptor D1 dan D5 yang terletak di sel bipolar, apokrin, dan

    sel ganglion; serta melalui reseptor D2, D3, dan D4 yang terletak di sel epitel

    pigmen retina dan sel neuroepitel (Vagge et al., 2018). Penelitian menunjukkan

    bahwa penderita miopia memiliki kadar serum melatonin yang tinggi dan kadar

    serum dopamine yang rendah (Kearney et al., 2017).

    Penyebab perkembangan miopia adalah aktivitas jarak dekat yang

    berlebihan menghasilkan kelelahan akomodatif, yang kemudian menyebabkan

    miopia. Kelelahan akomodatif terjadi ketika otot siliaris melemah karena

    terlalu banyak bekerja. Melemahnya otot siliaris akan mengakibatkan

    hilangnya kekuatan fokus lensa, yang mengarah ke hiperopia ketika objek

    dilihat dari dekat.

  • 35

    2.3.6 Perubahan struktural dan biomekanikal pada miopia

    Pada mata miopia, terjadi perubahan struktural dan biomekanik pada

    sklera, dimana sklera akan menjadi lebih tipis dari biasanya, kandungan

    glikosaminoglikan dan kolagennya berkurang dan perakitan fibrilnya tidak

    teratur, menjadikannya lebih lemah secara biomekanis. Manusia dengan

    miopia sedang dan tinggi atau patologis telah terbukti memiliki sklera yang

    lebih tipis daripada normal, dengan pengurangan ketebalan sklera posterior

    hingga 31% dari sklera manusia dewasa normal yang dilaporkan dalam miopia

    patologis (Metlapally & Wildsoet, 2016).

    Properti biomekanik sklera yang paling sering dipelajari adalah laju

    perembetan, yang mewakili pemanjangan sklera seiring waktu ketika dipapar

    oleh beban konstan. Peningkatan laju perembetan akan menyebabkan

    penurunan stabilitas biomekanik, dan untuk jaringan sklera dari mata miopia

    akan mengalami peningkatan lebih dari 200% dibandingkan dengan nilai mata

    normal. Perubahan biomekanik semacam itu pada sklera memfasilitasi

    pemanjangan mata pada miopia, dan dalam respon yang berlebihan, dapat

    menyebabkan staphyloma posterior, yang berhubungan dengan kegagalan

    mekanik sklera yang terlokalisir. Saat ini, satu-satunya pilihan pengobatan

    untuk komplikasi tersebut adalah dengan operasi penguatan sklera (Metlapally

    & Wildsoet, 2016).

    2.3.7 Manifestasi klinis miopia

    Pada penderita miopia, objek yang berada di tempat yang jaraknya jauh

    akan tampak buram dan tidak fokus. Penderita akan mengalami kesulitan

  • 36

    melihat gambar atau kata-kata dengan jelas di papan tulis, layar film, atau

    televisi. Hal ini dapat menyebabkan menurunnya kinerja penderita miopia di

    sekolah maupun pekerjaannya. Penderita akan cenderung menyipitkan mata

    atau mengerutkan kening ketika mencoba melihat benda-benda jauh dengan

    jelas (Upadhyay, 2015).

    Penderita myopia akan sering merasa sakit kepala serta memiliki

    kebiasaan memegang buku atau benda lain yang sangat dekat dengan

    wajahnya. Anak-anak yang miopia akan cenderung memilih tempat duduk

    yang paling depan ketika berada di kelas atau sangat dekat dengan TV atau

    layar film (Upadhyay, 2015).

    2.3.8 Klasifikasi miopia

    2.3.8.1 Berdasarkan klinis miopia

    a. Miopia patologis ditandai oleh pemanjangan aksial bola mata yang

    ekstrem dan cepat, yang mengarah ke kelainan refraksi yang tinggi

    (biasanya jauh lebih negatif daripada -6,00D). Peregangan ekstrem ini

    memberi tekanan pada struktur okular (retina, koroid, dan sklera), yang

    kemudian dapat mengakibatkan perubahan degeneratif pada mata, dan

    kehilangan penglihatan yang ireversibel. Untungnya, miopia patologis

    relatif jarang, mempengaruhi 0,9-3,1% dari populasi (Carr & Stell,

    2017).

  • 37

    Gambar 2.17 Perbandingan retina normal dan penderita miopia degeneratif

    Retina penderita miopia terlihat lebih regang tipis, disertai dengan

    pembuluh darah yang tipis, kepala nervus optik yang terdistorsi (on),

    beberapa lipatan pada retina yang tipis, dan pigmentasi pada fovea (fov)

    (Carr & Stell, 2017).

    b. Miopia onset spontan atau usia sekolah merupakan bentuk miopia yang

    paling umum. Perkembangan miopia jenis ini relatif lambat, dan

    biasanya stabil pada usia 20 tahun. Retina pada miopia jenis ini masih

    terlihat normal (Carr & Stell, 2017).

    2.3.8.2 Berdasarkan derajat miopia

    a. Miopia ringan yaitu miopia yang memiliki kekuatan refraksi < -3.00

    dioptri (Upadhyay, 2015).

    b. Miopia sedang yaitu miopia yang memiliki kekuatan refraksi antara -

    3.00 sampai -6.00 dioptri (Upadhyay, 2015).

    c. Miopia berat yaitu miopia yang memiliki kekuatan refraksi > -6.00

    dioptri. Orang dengan miopia berat sangat berpotensi memiliki ablasio

    retina dan glaukoma sudut terbuka primer (Upadhyay, 2015).

    Carr, Brittany J. & Stell, William K., 2017

  • 38

    2.3.8.3 Berdasarkan onset miopia

    a. Miopia kongenital, juga disebut sebagai miopia infaltile, yaitu miopia

    yang diderita sejak lahir dan berlanjut hingga masa infant (

  • 39

    yang menghasilkan kekaburan optik (Cooper & Tkatchenko, 2018).

    Pernyataan tersebut didukung oleh penelitian randomized clinical trial

    yang dilakukan pada anak China-Kanada dengan miopia derajat tinggi

    (paling tidak kehilangan 0,50 D/tahun) yang menunjukkan bahwa

    terdapatnya penurunan progresivitas miopia yang signifikan sebesar – 0,81

    D (p < 0,001) setelah menggunakan lensa bifokal selama 3 tahun (Vagge

    et al., 2018). Selain itu, terdapat beberapa studi retrospektif yang

    menunjukkan bahwa lensa bifokal dan PAL (Progressive Addition Lenses)

    dapat memperlambat progresivitas miopia sebesar 40%. Shi-Ming Li dkk.

    menemukan bahwa PAL (Progressive Addition Lenses) memperlambat

    progresivitas miopia sebesar 0,25D/tahun dibandingkan dengan lensa SV

    (Single Vision) (Cooper & Tkatchenko, 2018).

    Namun, dalam sebuah eksperimen baru-baru ini yang dilakukan di

    China menunjukkan bahwa penggunaan lensa kacamata tidak memiliki

    efek yang signifikan dalam memperlambat progresivitas miopia.

    Meskipun demikian miopia tetap harus dikoreksi, karena penelitian baru

    baru ini juga menunjukkan bahwa miopia yang tidak terkoreksi akan

    menghasilkan percepatan ringan dari perkembangan miopia (Cooper &

    Tkatchenko, 2018).

    2.3.9.2 Lensa kontak

    Selama bertahun-tahun, diyakini bahwa lensa kontak yang dapat

    ditembus oleh gas memperlambat perkembangan miopia. Namun, harus

    diingat bahwa lensa kontak yang dapat ditembus oleh gas biasanya

  • 40

    diresepkan ketika progresivitas miopia mulai melambat (usia 12 tahun dan

    lebih tua) dan lensa kontak ini membuat kornea menjadi rata (Cooper &

    Tkatchenko, 2018).

    Penelitian Reim et al. melaporkan bahwa laju progresivitas miopia

    melambat 0,5 sampai 0,13 D / tahun dengan penggunaan lensa kontak. Hal

    ini diakibatkan perubahan Axial Length dan perubahan kedalaman ruang

    vitreous. Resiko untuk terkena infeksi microbial keratitis pada

    penggunaan lensa kontak tidak begitu besar, dikarenakan lensa kontak

    permeabel terhadap oksigen, permukaan lensa kontak halus atau licin,

    sehingga biofilm tidak mudah menempel pada lensa. Sebagian besar

    infeksi dapat ditangani dengan terapi antimikroba yang agresif. Kasus

    yang jarang dan tidak dapat dihindari terjadi akibat infeksi Acanthamoeba

    atau Fusarium sering mengakibatkan kerusakan kornea. Dengan demikian,

    menjaga kebersihan lensa kontak sangatlah penting. Lensa kontak tidak

    boleh direndam dalam air keran (Cooper & Tkatchenko, 2018).

    Ortokeratologi (OrthoK) merupakan teknik yang melibatkan

    penggunaan lensa kontak gas permeable di malam hari, yang untuk

    sementara dapat membentuk kembali permukaan kornea melalui desain

    geometri terbalik. Lensa OrthoK akan mendatarkan sentral kornea, yang

    menyebabkan bagian tersebut menjadi lebih tipis, mendistribusikan

    kembali sel-sel epitel ke mid-perifer kornea. Hal tersebut memungkinkan

    OrthoK untuk memperlambat progresivitas miopia melalui pengurangan

    kelainan refraksi hyperopia perifer dan menghasilkan pengurangan

  • 41

    pemanjangan aksial bola mata. Pernyataan tersebut didukung oleh

    penelitian Longitudinal Orthokeratology Research in Children (LORIC)

    selama 2 tahun yang melaporkan penurunan 2,09 ± 1,34 D pada kelompok

    OrthoK setelah 24 bulan; dan pemanjangan aksial bola mata 0,29 ± 0,27

    mm pada kelompok OrthoK dibandingkan 0,54 ± 0,27 mm pada kelompok

    kontrol setelah 24 bulan. Efikasi lensa OrthoK lebih besar pada miopia

    anak (usia 7-8 tahun), dengan tingkat progresivitas yang cepat,

    menyebabkan penurunan pemanjangan aksial bola mata dari 65% pada

    kelompok kontrol menjadi 20% pada kelompok OrthoK (Vagge et al.,

    2018).

    Namun, berbagai penelitian melaporkan peningkatan resiko infeksi

    keratitis setelah penggunaan jangka panjang terapi OrthoK yang paling

    sering disebabkan oleh Pseudomonas aeruginosa dan Acanthamoeba

    dimana sebagian besar pasien mengalami luka parut pada kornea (Kam et

    al., 2017). Penggunaan lensa OrthoK untuk memperlambat progresivitas

    miopia pada anak harus dipertimbangkan dengan hati-hati, karena rasio

    resiko-keuntungan dikombinasikan dengan rendahnya tingkat kepatuhan

    pasien belum memberikan hasil yang searah (Vagge et al., 2018).

    2.3.9.3 Bedah keratorefraktif

    Bedah keratorefraktif merupakan suatu tindakan yang menggunakan

    serangkaian metode yang berguna untuk mengubah kelengkungan

    permukaan anterior mata (Eva & Augsburger, 2018).

  • 42

    2.3.9.4 Terapi farmakologi

    Penelitian menunjukkan terapi yang paling efektif dalam

    memperlambat progresivitas miopia adalah agen antimuskarinik

    khususnya atropine. Mekanisme kerja atropine dalam memperlambat

    progresivitas miopia masih menjadi perdebatan antar peneliti. Mekanisme

    atropine yang dominan adalah kaskade neurokimia yang dimulai dari

    retina.

    Obat hipotensi okular (β-adrenergik bloker) juga dipercaya berperan

    terhadap perlambatan progresivitas miopia, karena peningkatan tekanan

    intraokular dapat menyebabkan peregangan pasif sklera yang diikuti

    pertumbuhan panjang bola mata, akan tetapi efek yang diberikan sama

    dengan penggunaan lensa kacamata (Vagge et al., 2018). Terapi

    farmakologi lain yang dipercaya berperan dalam memperkuat sklera

    posterior dan mencegah pemanjangan aksial bola mata adalah golongan

    antagonis adenosin yaitu 7-methylxanthine (7-mx) (Hung et al., 2018).

    Prostaglandin analog seperti latanoprost juga dapat menurunkan

    pemanjangan aksial bola mata akibat efek terhadap tekanan sklera yang

    rendah (El-Nimri & Wildsoet, 2018). Pirenzepine, antagonis reseptor M1,

    juga banyak diteliti dikarenakan kecil kemingkinan untuk menimbulkan

    efek samping seperti sikloplegi dan midriasis. Pirenzepine terbukti efektif

    dalam memperlambat progresivitas miopia. Gel mata pirenzepine 2%

    memiliki beberapa efek samping, seperti papilla/folikel, residu obat dan

    kelainan akomodasi (Vagge et al., 2018).

  • 43

    Obat antimuskarinik lain seperti siklopentolat telah menunjukkan

    hasil yang menjanjikan dalam pengobatan progresivitas miopia akan tetapi

    efek klinisnya lebih rendah daripada atropine (Vagge et al., 2018).

    2.3.9.5 Ekstraksi lensa jernih untuk miopia

    Ekstraksi lensa jernih atau yang biasa juga disebut dengan ekstraksi

    lensa non-katarak dianjurkan untuk koreksi refraktif miopia derajat sedang

    sampai tinggi. Hasil dari tindakan ini tidak kalah memuaskan dengan hasil

    yang dicapai oleh bedah keratorefraktif menggunakan laser. Namun, perlu

    dipikirkan komplikasi operasi dan pascaoperasi bedah intraokular,

    khususnya pada miopia tinggi.

    2.3.10 Pencegahan miopia

    Penundaan terhadap onset miopia sangat diperlukan dikarenakan onset

    miopia yang terlalu dini beresiko berkembang menjadi miopia derajat tinggi

    pada usia dewasa (Vagge et al., 2018). Penelitian menunjukkan bahwa anak-

    anak yang menghabiskan lebih banyak waktu di luar ruangan memiliki insiden

    miopia yang lebih rendah. Menghabiskan waktu sekitar 10 hingga 14 jam

    setiap minggu di luar ruangan dapat mencegah onset miopia maupun

    perkembangan miopia serta menghambat perpanjangan aksial bola mata.

    Efektivitas aktivitas luar ruangan terhadap onset atau perkembangan miopia

    tidak mencapai signifikansi klinis (sekitar 50% atau lebih penurunan

    perkembangan miopia) yang biasanya dapat dicapai dengan atropin (Chen et

    al., 2018).

  • 44

    Penelitian lain yang dilakukan pada 2276 anak China usia 10-15 tahun

    menunjukkan hubungan yang signifikan antara aktivitas luar ruangan dengan

    perlambatan pemanjangan aksial bolamata pada anak yang awalnya tidak

    menderita miopia ( - 0,036 mm/tahun; p = 0,009). Sebaliknya, anak yang

    menderita miopia tidak menunjukkan efek yang signifikan dalam pengurangan

    pemanjangan aksial bola mata ( - 0,005 mm/tahun; p = 0,595) (Vagge et al.,

    2018).

    Aktivitas luar ruangan dapat mencegah onset miopia disebabkan retina

    merespon tingkat cahaya yang tinggi dengan melepaskan dopamin, yang

    menghambat pertumbuhan panjang aksial bola mata. Penelitian baru-baru ini

    menunjukkan bahwa paparan dengan intensitas cahaya kurang dari 10.000 lux

    sudah cukup untuk dijadikan sebagai pencegahan terhadap miopia. Paparan

    dengan intensitas cahaya 1000 atau 3000 lux (seperti di lorong atau di bawah

    naungan pohon) dalam waktu 30 menit sehari sudah cukup untuk mencegah

    miopia. Temuan ini memiliki peranan penting dalam mengurangi

    kemungkinan efek samping dari paparan sinar matahari yang sangat terang

    (>10.000 lux), seperti katarak, makulopati, atau kanker kulit (Chen et al.,

    2018).

    2.3.11 Prognosis miopia

    Penderita miopia yang terus mengalami progresivitas (< -5 Dioptri) yang

    tidak dikoreksi memiliki resiko yang tinggi untuk berkembang menjadi

    katarak, glaukoma sudut terbuka, miopia degerasi makula, dan ablasio retina

    (Congdon et al., 2019).

  • 45

    Miopia < -1,50 Dioptri yang tidak dikoreksi akan menyebabkan gangguan

    penglihatan tingkat sedang, sedangkan miopia > -4,00 Dioptri dapat

    menyebabkan kebutaan (WHO, 2015).

    2.4 Kelainan Refraksi yang Lain

    2.4.1 Hipermetropia

    Hipermetropia biasa disebut juga dengan hiperopia atau farsightedness

    merupakan keadaan mata tak berakomodasi yang memfokuskan bayangan di

    belakang retina (Eva & Augsburger, 2018). Orang dengan hipermetropia akan

    merasa buram ketika melihat benda yang berada di jarak yang dekat, namun

    benda yang berada di jarak yang jauh akan terlihat jelas. Hipermetropia terjadi

    jika panjang aksial bola mata terlalu pendek akibat jarak lensa dengan retina

    yang terlalu pendek atau kelengkungan kornea terlalu kecil akibat aktivitas

    muskulus siliaris yang lemah, sehingga cahaya yang masuk ke mata tidak

    difokuskan dengan baik. Hipermetropia juga dapat disebabkan oleh genetik.

    Tanda umum hipermetropia adalah kesulitan dalam berkonsentrasi dan

    mempertahankan fokus pada objek yang berjarak dekat, mata menjadi tegang

    dan sakit kepala ketika setelah melakukan aktivitas jarak dekat, serta mata

    terasa sakit atau terbakar. Penderita hipermetropia juga akan merasakan

    kaburnya penglihatan terutama pada malam hari (Upadhyay, 2015).

  • 46

    Gambar 2.18 Hipermetropia

    Hipermetropia dikoreksi dengan kacamata, lensa kontak, atau operasi

    refraktif. Lensa yang diperlukan untuk mengoreksi hipermetropia adalah lensa

    cembung yang membuat sinar cahaya yang masuk ke mata jatuh ke titik fokus

    retina. Bayi dan anak sebaiknya dikoreksi dengan menggunakan kacamata.

    Operasi refraktif tidak dianjurkan sampai kelainan refraksi mata telah stabil

    dan pertumbuhan bola mata sudah berhenti, keadaan ini terjadi ketika

    seseorang memasuki usia tiga puluhan tahun. Pilihan operasi untuk

    hipermetropia adalah thermal laser keratoplasty (TLK), conductive

    keratoplasty (CK), spiral heksagonal keratotomi, laser excimer, clear lens

    extraction dengan intraocular lens implantation atau phakic intraocular lens

    implantation (Upadhyay, 2015).

    2.5 Atropine

    Atropine sulfat, secara luas digunakan dalam bentuk tetes mata, merupakan

    garam sulfat Atropine yang bersifat alkaloid yang ditemukan pada tanaman

    keluarga Solanaceae, seperti daun Atropa belladoma, Datura stramonium,

    Hyoscyamus niger, dan Mandragona officinarum. Atropine terdiri dari bahan

    organik (tropin) dan asam aromatik (tropik) yang membentuk struktur ester

    organik. Tropin dan asam tropik sendiri apabila tidak disatukan tidak akan memberi

    Eva, Paul Riordan & Augsburger, James J., 2018

  • 47

    efek antimuskarinik karena efek antimuskarinik merupakan efek yang dihasilkan

    oleh struktur ester organik (Tran et al., 2018).

    Atropine merupakan antagonis nonspesifik reseptor muskarinik yang berefek

    terhadap sikloplegik (paralisis muskulus siliaris) yang dapat menekan akomodasi

    sehingga dipercaya dapat menekan progresivitas miopia (Chiang & Phillips, 2018).

    Temuan penting menunjukkan bahwa kelainan refraksi miopia dapat berubah

    menjadi hiperopia setelah 4 minggu mendapat terapi atropine, yang akan hilang

    setelah 4 bulan. Efek tersebut diakibatkan oleh efek atropine yg kuat terhadap

    sikloplegi. Penurunan kelainan refraksi juga dapat diakibatkan efek atropine

    terhadap penebalan sementara dari koroid (Huang et al., 2016). Efek lain yang dapat

    ditimbulkan oleh atropine adalah midriasis (dilatasi pupil). Efek sikloplegi timbul

    40 menit setelah pemberian atropine dan efek tersebut akan hilang sepenuhnya

    dalam waktu 10 hari sampai 14 hari, sedangkan efek midriasis timbul 30 menit

    setelah pemberian atropine dan efek tersebut akan hilang sepenuhnya dalam waktu

    7 sampai 10 hari (Tran et al., 2018).

    Atropine dipercaya dapat memperlambat progresivitas miopia karena efek

    terhadap akomodasi lensa, namun penelitian baru-baru ini menyebutkan bahwa

    peran atropine dalam memperlambat progresivitas miopia adalah melalui jalur

    nonakomodatif di retina atau sklera yang tidak menyebabkan terjadinya sikloplegi

    (Huang et al., 2016). Terlebih lagi, penelitian menunjukkan bahwa atropine efektif

    dalam memperlambat progresivitas miopia manusia pada konsentrasi yang sangat

    rendah (0,01%) dimana pada konsentrasi ini tidak dapat meninmbulkan efek

    sikloplegia (Chiang & Phillips, 2018). Selain dapat mengontrol miopia, tetes mata

  • 48

    atropine juga digunakan pada pengobatan amblyopia dan spasme jarak dekat (Tran

    et al., 2018).

    Mekanisme atropine dalam mengontrol progresivitas miopia masih belum

    dapat dipastikan. Beberapa mekanisme yang telah dibuktikan dalam berbagai

    penelitian adalah sebagai berikut :

    2.5.1 Retina

    Retina memiliki sel amakrin yang pada membran selnya terdapat reseptor

    muskarinik. Ketika atropine berikatan dengan reseptor muskarinik pada sel-sel

    amakrin maka ikatan ini dapat menghasilkan releasenya dopamin dimana

    dopamin tersebut merupakan mediator kimia yang dapat menghambat

    pertumbuhan mata. Atropine meningkatkan release dopamine melalui

    penyimpanan seluler, hal ini dibuktikan dari penelitian yang menyatakan

    bahwa atropine menyebabkan turunnya gelombang b dan d elektroretinogram

    (ERG) dan teredamnya retinal pigment epithetium (RPE). Akan tetapi ablasi

    sel-sel amakrin kolinergik tidak menghambat kerja atropine dalam mencegah

    pemanjangan aksial bola mata sehingga dapat disimpulkan bahwa atropine

    juga dapat bekerja pada reseptor muskarinik ekstraretina, kemungkinan pada

    epitel pigmen retina, koroid, atau sklera (Tran et al., 2018).

    2.5.2 Asam ɣ-aminobutyric

    Terjadi penurunan kadar neurotransmitter asam ɣ-aminobutyric setelah

    terapi atropine.

  • 49

    2.5.3 Sklera

    Sklera merupakan struktur mata yang dimana pada sklera tersebut

    ditemukannya 5 jenis reseptor muskarinik tepatnya di membrane sel-sel

    fibroblas sklera. Ketika atropine diaplikasikan maka akan menyebabkan

    sintesis DNA dan glikosaminoglikan dari kondrosit sklera diinhibisi. Atropine

    mencegah perogresivitas miopia dengan cara mencegah pelebaran sklera yang

    abnormal. Selain melalui mekanisme reseptor muskarinik secara langsung di

    sklera, dilaporkan terdapat mekanisme lain juga yang dapat berperan, yaitu

    melalui reseptor muskarinik di epitel pigmen retina yang mentransfer sinyal

    kaskade ke sklera (Chiang & Phillips, 2018).

    2.5.4 Koroid

    Koroid merupakan struktur vascular yang berperan aktif dalam

    emetropisasi dengan mengubah ketebalan dan memindahkan bidang gambar

    retina sebagai respon terhadap defokus optik. Antagonis muskarinik, termasuk

    atropine, dengan cepat dapat menebalkan koroid yang bersifat sementara,

    penebalan koroid ini dapat mencegah pertumbuhan okular. Penebalan koroid

    tersebut terjadi melalui mekanisme reseptor muskarinik yang terdapat di epitel

    pigmen retina yang mentransfer sinyal kaskade ke koroid (Tran et al., 2018).

    Mekanisme kerja atropine dalam memperlambat progresivitas miopia masih

    menjadi perdebatan antar peneliti. Mekanisme atropine yang dominan adalah

    kaskade neurokimia yang dimulai dari retina. Pernyataan tersebut didukung oleh

    penelitian yang dilakukan pada sampel mamalia yang menunjukkan bahwa agen

    antimuskarinik yang sangat selektif seperti MT7 (antagonis reseptor M1) dan MT3

  • 50

    (antagonis reseptor M4) mencegah pembentukan miopia, bekerja pada reseptor

    muskarinik retina pada konsentrasi yang lebih dekat dengan konstanta afinitas

    reseptor dibandingkan konsentrasi yang ditemukan pada sklera dan koroid (Vagge

    et al., 2018).