bab 2 lidah mertua -...

22
5 BAB 2 TINJAUAN PUSTAKA 2.1 Lidah Mertua (Sansevieria trifasciata lauretii) 2.1.1 Taksonomi Klasifikasi Tanaman Lidah Mertua: Kingdom : Plantaeymax Subkingdom : Tracheobionta Super Divisi : Spermathophyta Divisi : Magnoliophyta Sub Divisi : Angiospermae Kelas : Monocotyledonae Sub-kelas : Lilidae Ordo : Liliales Famili : Agavaceae Genus : Sansevieria Jenis : Sansevieria trifasciata (Nurcahyo, Erista, Rika et al, 2012). (Nurcahyo, Erista, Rika et al, 2012) Gambar 2.1 Tanaman Lidah Mertua

Upload: vokhue

Post on 10-Apr-2019

263 views

Category:

Documents


0 download

TRANSCRIPT

5

BAB 2

TINJAUAN PUSTAKA

2.1 Lidah Mertua (Sansevieria trifasciata lauretii)

2.1.1 Taksonomi

Klasifikasi Tanaman Lidah Mertua:

Kingdom : Plantaeymax

Subkingdom : Tracheobionta

Super Divisi : Spermathophyta

Divisi : Magnoliophyta

Sub Divisi : Angiospermae

Kelas : Monocotyledonae

Sub-kelas : Lilidae

Ordo : Liliales

Famili : Agavaceae

Genus : Sansevieria

Jenis : Sansevieria trifasciata (Nurcahyo, Erista, Rika et

al, 2012).

(Nurcahyo, Erista, Rika et al, 2012)

Gambar 2.1

Tanaman Lidah Mertua

6

2.1.2 Morfologi Lidah Mertua (Sasevieria trifasciata laurentii)

Lidah Mertua (mother-in-law’s tongue) atau bisa disebut tanaman

ular (snake plant) telah lama dikenal oleh banyak orang dan mulai

dibudidayakan sebagai tanaman hias mulai abad ke-19 (Laimeheriwa,

Adeanne, Widya, 2013). Tanaman ini dimanfaatkan sebagai tanaman

hias dalam pot baik di dalam ruangan maupun di luar ruangan

(Adawiyah, Nia, Raisha et al, 2013). Tanaman ini juga dapat

dimanfaatkan sebagai obat tradisional, karena mudah dijangkau

masyarakat, baik harga maupun ketersediaannya (Caroline, 2015).

Lidah Mertua dikenali, karena keindahan daun yang bertekstur

kaku dan keras, tumbuh tegak dengan anakan disekitar tanaman induk,

tidak berbatang, berbunga dan berbiji. Lidah Mertua juga memiliki

tampilan daun yang unik, mulai dari warnanya yang hijau tua, hijau

muda, hijau abu-abu, perak, kombinasi putih-kuning dan hijau-kuning,

disertai model tampilan daun yang cantik dengan model panjang dan

pendek seperti bentuk tongkat, pedang, bulat runcing dan lain-lain.

Keunikan lain dari tanaman ini adalah pada ketahanan tumbuh pada

media tanam yang tidak membutuhkan perlakuan khusus, misalnya

dapat tumbuh dengan media yang tingkat kesuburannya kurang, serta

tahan dengan media kering dan hidup di banyak kondisi suhu udara,

baik dengan pencahayaan maupun tanpa pencahayaan. Selain itu,

tanaman ini dijuluki tanaman surkulen, karena memiliki daun yang

banyak mengandung air untuk bertahan hidup. Lidah Mertua yang

semakin bertambah usianya memiliki ukuran daun semakin lebat dan

7

lebar sehingga semakin besar dan luas penampang daun, maka

kemampuan menyerap polutan semakin besar (Adawiyah, Nia, Raisha

et al, 2013; Dharminto, Meuthika, Putri et al, 2013).

2.1.3 Kandungan Kimiawi Lidah Mertua (Sansevieria trifasciata laurentii)

Daun Lidah Mertua mengandungan mengandung bahan aktif

pregnane glikoside (Dewi, Indri, 2012) Selain itu, Lidah Mertua juga

mengandung senyawa lain yaitu carotenoids, phytates, saponins, dan

tannins (Ayalogu, Ikhewuchi, Ikhewuchi et al, 2010). Dalam

penelitian lain juga disebutkan bahwa Lidah Mertua banyak

mengandung vitamin C (Ikewuchi, Jude, 2009). Satu tanaman Lidah

Mertua dewasa yang berdaun 4-5 helai dapat menyegarkan udara

dalam ruangan seluas 20m2 (Nurcahyo, Erista, Rika et al, 2012).

Tabel 2.1 Some Anti-Nutritional and Carotenoid Contents of Sansevieria sp

Component Composition

% Wet weight % Dry weight

Carotenoids 0.72 2.06

Phytates 0.22 0.63

Saponins 0.40 1.15

Tannins 0.01 0.03 (Ayalogu, Ikhewuchi, Ikhewuchi et al, 2010)

Tabel 2.2 Komposisi Kimia Sansevieria

Komposisi Kimia %

Selulosa 50 – 60

Lignin 5 – 10

Rucogenin 1 – 2,5

4-0 methyl glucoronic acid 3 – 5

beta siti sterol 2 – 5

d-xylose 0,1 – 1

n butyl 4 OL propylphthalate 1 – 5

Neoruscogenin 0,1 – 1

Sanseverigenin 4 – 7

Pregnane glikosid 1 – 4 (Nababan, 2014)

8

Tabel 2.3 Komposisi Vitamin dari Sansevieria sp

Vitamin

Komposisi/100g

Jumlah Berat Kering

(mg)

Komposisi/100g

Jumlah Berat Basah

(mg)

Niacin 0,9891 0,4342

Vitamin B6 0,0228 0,0100

Vitamin C 87,3734 38,3569

Biotin 0,0401 0,0176

Vitamin A 0,0548 0,0241

Vitamin B1 0,0495 0,0217

Vitamin B2 0,2103 0,0923

Vitamin E 0,0185 0,0081

Asam Folat 0,0250 0,0110

Vitamin K 0,0005 0,0002

Vitamin D 0,0000 0,0000 (Ikewuchi, Jude, 2009)

2.2 Radikal Bebas

2.2.1 Definisi Radikal Bebas

Radikal bebas adalah atom, molekul atau senyawa yang dapat

berdiri sendiri yang mempunyai elektron tidak berpasangan, oleh

karena itu bersifat sangat reaktif dan tidak stabil. Elektron yang tidak

berpasangan selalu berusaha untuk mencari pasangan baru sehingga

mudah bereaksi dengan zat lain seperti protein, lemak, maupun DNA

yang ada di dalam tubuh. Radikal bebas dapat menimbulkan

kerusakan-kerusakan yang berlanjut dan terus menerus. Hal ini

disebabkan radikal bebas tidak dapat mempertahankan bentuk asli

dalam waktu lama dan segera berikatan dengan bahan disekitarnya,

dengan cara menyerang molekul stabil yang terdekat dan mengambil

elektron. Zat yang terambil elektronnya akan menjadi radikal bebas

juga sehingga akan memulai suatu reaksi berantai hingga akhirnya

merusak sel (Limantara, Budhi, Togar, 2008; Sayuti, Rina, 2015;

Setyowati, Sri, Subagus, 2011).

9

Tubuh manusia memiliki sistem pertahanan endogen terhadap

serangan radikal bebas terutama terjadi melalui peristiwa metabolisme

sel normal dan peradangan. Jumlah radikal bebas dapat mengalami

peningkatan yang diakibatkan oleh stres, radiasi, asap rokok ,

makanan pengawet, kekurangan nutrisi, dan polusi lingkungan. Hal ini

menyebabkan sistem pertahanan tubuh yang ada menjadi tidak

memadai sehingga tubuh memerlukan tambahan antioksidan dari luar

tubuh yang dapat melindungi dari serangan radikal bebas (Sayuti,

Rina, 2015; Setyowati, Sri, Subagus, 2011).

2.2.2 Pembentukan Radikal Bebas

Pada metabolisme normal, tubuh memproduksi partikel kecil

dengan tenaga besar yang disebut radikal bebas. Atom dan molekul

dengan elektron bebas ini memiliki fungsi di dalam tubuh untuk

melawan radang, membunuh bakteri serta mengatur tonus otot polos

dalam organ dan pembuluh darah. Akan tetapi, radikal bebas juga

bersifat merusak dan sangat berbahaya (Sayuti, Rina, 2015).

Radikal bebas menyebabkan kerusakan sel dengan cara.

a. Perokdasi komponen lipid dari membran sel dan sitosol. Hal ini

menyebabkan serangkaian kerusakan membran dan organel sel.

b. Kerusakan DNA. Kerusakan DNA dapat mengakibatkan mutasi

DNA bahkan dapat menimbulkan kematian sel.

10

c. Modifikasi protein teroksidasi oleh karena terbentuknya cross

linking protein melalui mediator sulfidril atas beberapa asam amino

labil seperti sistein, metionin, lisin dan histidin (Sayuti, Rina,

2015).

Ada berbagai radikal bebas turunan dari C dan N akan tetapi yang

paling banyak diketahui adalah radikal oksigen. Radikal bebas bisa

terbentuk ketika komponen makanan diubah menjadi bentuk energi

melalui proses metabolisme. Pada proses metabolisme ini sering kali

terjadi kebocoran elektron sehingga mudah sekali terbentuk radikal

bebas seperti anion superoksida, hidroksil dan lain-lain. Radikal bebas

juga dapat terbentuk dari senyawa lain yang bukan radikal bebas,

tetapi mudah berubah menjadi radikal bebas. Misalnya, hidrogen

peroksida (H2O2). Kedua kelompok senyawa tersebut diistilahkan

sebagai Senyawa Oksigen Reaktif (ROS) (Sayuti. Rina, 2015).

Tabel 2.4 Spesies Oksigen Reaktif (ROS)

No Radicals

1 O2* superoxide H2O2 hydrogen peroxide

2 HO* hydroxyl radical

1O2 singlet oxygen

3 HO2 hydroperoxyl radical LOOH lipid hydroperoxide

4 LO2* Lipid peroxyl radical Fe=O iron-oxygen complexes

5 LO* Lipid alkoxyl radical HOCl hypochlorite

6 NO2 nitrogen dioxide

7 NO* nitric oxide

(Sayuti, Rina, 2015)

Radikal bebas mengikat atau menyerang elektron molekul yang

berada di sekitarnya. Senyawa ini biasanya mengikat molekul besar

seperti lemak, protein, maupun DNA. Kerusakan molekul lemak,

protein maupun DNA disebabkan karena molekul tersebut rentan

terhadap radikal bebas yang terjadi dengan proses berikut.

11

a. Peroksidasi lemak terjadi akibat kerusakan pada membran sel yang

kayak akan sumber Poly Unsaturated Fatty Acid (PUFA) yang

mudah dirusak oleh bahan-bahan pengoksidasi. Hal tersebut sangat

merusak karena merupakan hidroperoksida lemak yang sering

melibatkan katalisis ion logam transisi.

b. Kerusakan protein. Protein dan asam nukleat lebih tahan terhadap

radikal bebas daripada PUFA sehingga kecil kemungkinan dalam

terjadinya reaksi berantai yang cepat, kecuali bila sangat ekstensif.

Hal ini terjadi jika radikal tersebut mampu berakumulasi atau bila

kerusakan terfokus pada daerah tertentu dalam protein, hal ini

disebabkan jika protein berikatan dengan ion logam transisi.

c. Kerusakan DNA, hal ini menjadi suatu reaksi berantai, biasanya

kerusakan terjadi bila ada delesi pada susunan molekul. Apabila hal

ini tidak dapat diatasi dan terjadi sebelum replikasi maka akan

terjadi mutasi. Radikal oksigen dapat menyerang DNA jika

terbentuk disekitar DNA seperti pada radiasi biologis (Sayuti, Rina,

2015)

Adapun tahapan reaksi pembentukan radikan bebas secara umum

melalui tiga tahapan reaksi, yaitu inisiasi, propagasi dan terminasi

dengan mekanisme kerja sebagai berikut.

a. Tahapan inisiasi merupakan awal pembentukan radikal bebas. Pada

tahap ini radikal bebas mulai terbentuk oleh beberapa proses. Suhu

tinggi, proses ekstrusi dan tekanan pada proses pemotongan bahan

polimer dapat menghasilkan radikal alkil.

12

(Sayuti, Rina, 2015)

Gambar 2.2

Tahap Inisiasi

Pada tahap inisiasi asam lemak (RH) bereaksi dengan oksigen

triplet dan membentuk radikal lemak (R*) dan radikal peroksida

(HOO*) dengan inisiator cahaya atau panas.

b. Tahap propagasi merupakan asal pemanjangan rantai radikal atau

reaksi, dimana radikal-radikal bebas akan diubah menjadi radikal-

radikal yang lain.

Pada tahap ini terjadi oksigenasi radikal lemak (R*) membentuk

radikal peroksida (ROO*). Proses ini terjadi sangat cepat dengan

aktifitas energi yang hampir mendekati nol sehingga konsentrasi

ROO* terbentuk lebih besar. Konsentrasi R* dalam sistem

makanan akan bereaksi dengan asam lemak lain dan membentuk

hidroperoksida dan radikal lemak baru (R’*).

(Sayuti, Rina, 2015)

Gambar 2.3

Tahap Prograsi

c. Tahap terminasi merupakan senyawa radikal yang bereaksi dengan

radikal lain atau dengan penangkap radikal sehingga potensi

propagasinya rendah.

13

Konversi radikal peroksi dan alkil ke non radikal mengakhiri reaksi

propagasi sehingga mengurangi perpanjangan rantai kinetik. Reaksi

terminasi yang signifikasn terjadi ketika konsentrasi oksigen

rendah. Kombinasi radikal alkil menyebabkan cross-linking yang

mengakibatkan peningkatan viskositas dan berat molekul.

(Sayuti, Rina, 2015)

Gambar 2.4

Tahap Terminasi

Pada tahap terminasi akan terbentuk spesies non radikal karena

radikal bebas yang bereaksi satu sama lain. Sedangkan

hidroperoksida akan terdekomposisi menjadi produk alkohol, asam

keton dan substrat lalin yang lebih stabil (Sayuti, Rina, 2015).

2.3 Timbal

2.3.1 Definisi Timbal

Timbal atau timah hitam (Pb) adalah kelompok logam berat

golongan IVA dalam sistem periodik unsur kimia yang memiliki

nomor atom 82 dengan berat atom 207,2 dan memiliki berat jenis

11,4/L. Timbal juga memiliki empat bentuk isotop yang berwarna

kebiru-biruan atau abu-abu keperakan dengan titik leleh pada 327,5C

dan titik didih pada 1.740C di atmosfer (Gusnita, 2012; Lubis, Flora,

Nelly et al, 2013).

Logam timbal yang ditinjau secara kimiawi memiliki titik uap

yang rendah serta dapat menstabilkan senyawa lain, sehingga berguna

pada ratusan produk industri antara lain sebagai bahan pengemas,

14

bahan saluran air, bahan alat rumah tangga, hiasan serta timbal dalam

bentuk oksida digunakan sebagai pigmen/zat warna dalam industri

kosmetik dan glace. Selain itu, timbal juga dapat ditemukan pada gas

buangan kendaraan bermotor serta pada cat yang berfungsi sebagai

agen pengering, kaltalis dan antikorosi. Namun, jika ditinjau secara

klinis timbal merupakan logam berat yang bersifat toksik (Gusnita,

2012; Lubis, Flora, Nelly et al, 2013; Mukono, Haryanto, Mulyadi,

2011).

2.3.2 Efek Timbal

Timbal banyak ditemukan sebagai pencemar dan cenderung

mengganggu kelangsungan hidup organisme perairan. Timbal yang

masuk ke dalam perairan dapat berasal dari limbah industri kimia,

industri percetakan serta industri yang menghasilkan logam dan cat

sehingga hal ini dapat mengakibatkan terakumulasi timbal pada ikan.

Akumulasi timbal di dalam tubuh ikan dapat tinggal dalam jangka

waktu lama sebagai racun. Disisi lain, ikan merupakan bagian dari

makanan manusia sehingga melalui ikan yang telah terkontaminasi

timbal dapat mengakibatkan timbal terdistribusi ke tubuh manusia.

Apabila keadaan ini terjadi terus menerus dalam jangka waktu lama

dapat mencapai jumlah yang membahayakan kesehatan manusia

(Aunurohim, Yulaipi, 2013). Timbal dapat masuk ketubuh manusia

sekitar 65% melalui makanan, 20% melalui air, serta 15 % melalui

udara (Batubara, Latifah, Lela, 2014). Paparan timbal jangka panjang

dapat terakumulasi di dalam tubuh karena proses eliminasinya yang

15

lambat (Gustina, 2012). Kriteria diagnosis peningkatan kadar timbal

dalam darah untuk orang dewasa (16 tahun) menurut Clinical

Laboratory Improvement Amendments (CLIA) adalah 5g/dL (0,24

mol/L) (CDC, 2016).

Timbal yang telah masuk ke dalam tubuh manusia dapat

mempengaruhi semua organ dan sistem, antara lain sistem

gastrointestinal, sistem saraf, sistem imunitas, ginjal, sistem

hematologi, sistem muskuloskeletal, sistem kardiovaskuler, dan sistem

endokrin. Selain itu timbal juga dapat menyebabkan pubertas

terlambat dan penurunan fungsi kognitif pada anak (Lubis, Flora,

Nelly et al, 2013). Bahkan pada penelitian terakhir menunjukkan

bahwa logam timbal memiliki sifat karsinogenik. Anak-anak dan

balita memiliki resiko lebih tinggi terkena pencemaran bahan toksik.

Jika dilihat rasio berat badan balita dan anak-anak mengkonsumsi

makanan dan minuman serta menghirup udara lebih banyak

dibandingkan orang dewasa. Paparan dalam waktu lama pada anak-

anak menyebabkan penurunan IQ, kemampuan membaca dan

gangguan perilaku yang menetap. Hal ini disebabkan karena masih

terjadi pertumbuhan pada sistem saraf anak (Setiawan, 2012).

Timbal yang diserap oleh tubuh, 99% timbal akan terikat pada

eritrosit, sehingga kadar timbal dapat diperiksa melalui darah (Lubis,

Flora, Nelly et al, 2013). Timbal yang berada di dalam darah dapat

mengganggu sistem hemopitik pada sintesa heme dengan dua

mekanisme, yakni menggangu penyatuan Glycine dan Succinyl Co-

16

Enzyme A melalui depresi terhadap -aminolevulinat dehidrase (-

ALAD) serta mengganggu enzim Ferrochetalase yang berfungsi

melekatkan besi (Fe) terhadap protoporphyrin. Akibatnya,

pembentukan heme menurun (Iryani, Tan, 2011; Lubis, Flora, Nelly et

al, 2013).

Pemberian timbal asetat dapat menurunkan aktivitas enzim

katalase yang bekerja untuk menetralisir oksidan hidrogen peroksida

(H2O2). H2O2 merupakan salah satu senyawa Reative Oxygen Species

(ROS) yang dapat menyebabkan peroksidasi lipid dari asam lemak tak

jenuh dengan tiga atau lebih ikatan rangkap. Sumber utama ROS

adalah dari hasil respirasi seluler dan proses metabolisme. Sedangkan

peroksida lipid merupakan hasil reaksi yang dicetuskan oleh logam

timbal dalam bentuk ion dan berfungsi untuk memasok radikal bebas

sehingga terjadi reaksi peroksida berikutnya. Radikal lipid akan

bereaksi dengan oksigen membentuk radikal peroksi-lipid dan lipid

peroksida serta malondialdehyde (MDA) yang larut dalam air dan

dapat dideteksi dalam darah (Ambrawanto, Nurjazuli, Mursid, 2015;

Asterina, Endrinaldi, 2014).

Selain itu, ROS mempunyai peran krusial pada proses patologis.

ROS berperan dalam fungsi imun, tiroid, kognitif dan modulasi sensor

nutrien dan umur. ROS juga berimplikasi pada beberapa penyakit

antara lain cancer, penyakit kardiovaskuler (termasuk hipertensi),

penyakit saraf, gangguan pernapasan dan penyakit psikiatrik.

Peningkatan ROS dan MDA dapat menyebabkan kerusakan membran

17

sel yang mengandung senyawa lipid termasuk eritrosit. Peroksidasi

membran eritrosit menyebabkan hemolisis sehingga terjadi penurunan

kadar Hb (Ambrawanto, Nurjazuli, Mursid, 2015; Djokomoeljanto,

Ag, Iswari et al, 2012)

Akumulasi timbal dalam tubuh dapat menyebabkan keracunan

timbal akut dan kronis. Keracunan timbal akut dan subakut

disebabkan dengan paparan dosisi yang relatif tinggi, waktu paparan

yang relatif singkat dan efek yang ditimbulkan terjadi secara dramatis,

seperti kematian tiba-tiba kram perut yang parah, anemia, perubahan

perilaku, dan kehilangan nafsu makan. Sedangkan untuk keracunan

timbal kronik disebabkan paparan timbal yang sedikit demi sedikit

dalam jangka waktu yang lama serta gejala yang ditimbulkan tidak

spesifik pada hampi semua sistem dalam tubuh (Andriyanto, Aulia,

Ietje et al, 2014).

2.3.3 Terapi Keracunan Timbal

Tindakan medis untuk mengurangi efek toksik dari timbal adalah

dengan terapi kelasi (Andriyanto, Aulia, Ietje et al, 2014). Namun,

menurut penelitian di Amerika Serikat bahwa terapi kelasi pada anak

keracunan timbal dapat menurunkan Blood Lead Level (BLL), tetapi

tidak berefek pada fungsi kognitif, perilaku dan neuromotorik pada

anak yang sudah keracunan timbal (Lubis, Flora, Nelly et al, 2013).

Selain itu, agen kelasi saat ini memiliki harga yang sangat mahal,

tidak tersedia secara kontinyu, tidak dapat diperoleh tanpa resep

dokter, dan dalam jumlah yang mencukupi. Berdasarkan kendala

18

tersebut, terapi kelasi pada manusia yang mengalami keracunan timbal

tidak ditangani dengan cepat dan tepat. Sehingga penundaan terapi

dapat berakibat fatal bahkan sampai terjadi kematian (Andriyanto,

Aulia, Ietje et al, 2014).

2.4 Hemoglobin

2.4.1 Definisi Hemoglobin

Hemoglobin adalah suatu pigmen yang berwarna secara alami,

karena kandungan besinya, hemoglobin tampak kemerahan jika

berikatan dengan O2 dan kebiruan jika mengalami deoksigenasi.

Karena itu, pembuluh darah yang teroksigenasi akan berwarna merah

dan pembuluh darah vena yang telah kehilangan sebagian kandungan

O2 memiliki warna kebiruan. Selain itu juga, kualitas darah dan warna

darah ditentukan oleh kadar hemoglobin (Nugrahani, Sulastri,

Winarsih, 2012; Sherwood, 2014).

Molekul hemoglobin memiliki dua bagian, yaitu (1) bagian

globin, protein yang terbentuk dari empat rantai polopeptida; dan (2)

gugus hem yang mengandung besi dalam empat gugus non-protein

dengan masing-masing terikat ke salah satu polipeptida. Masing-

masing dari keempat atom besi dapat berikatan secara reversibel

dengan satu molekul O2 dan 98,5% O2 terangkut dalam darah terikat

ke hemoglobin, karena O2 tidak mudah larut dalam plasma.

Hemoglobin hanya ditemukan di sel darah merah. Sel darah merah

mampu mengkonsentrasikan hemoglobin dalam sel sampai sekitar 34

gm/dL sel. Konsentrasi ini tidak pernah meningkat lebih dari nilai

19

tersebut, karena nilai tersebut merupakan batas metabolik dari

mekanisme pembentukan hemoglobin. Namun, bila pembentukan

hemoglobin dalam sumsum tulang berkurang, maka presentase

hemoglobin dalam sel darah merah juga menurun. Bila jumlah

hemoglobin dalam masing-masing sel darah merah nilainya normal,

maka jumlah hemoglobin seorang pria rata-rata mengandung 16

gram/dL dan pada wanita rata-rata mengandung 14 gram/dL

(Nugrahani, Sulastri, Winarsih, 2012; Sherwood, 2014).

(Sherwood, 2014)

Gambar 2.5

Molekul Hemoglobin

2.4.2 Peran Hemoglobin

Hemoglobin yang terkandung di dalam sel darah merah memiliki

peran berikatan dengan zat-zat berikut ini.

a. Oksigen (O2). Hemoglobin membantu mengangkut gas ini dari

paru-paru ke sel jaringan.

b. Karbon dioksida (CO2). Hemoglobin membantu mengangkut gas

ini dari sel jaringan ke paru.

20

c. Bagian ion-hidrogen asam (H+) dari asam karbonat terionisasi,

yang dihasilkan di jaringan dari CO2. Hemoglobin bertugas

menyangga asam ini agar tidak banyak mengubah pH darah.

d. Karbon monoksida (CO). Gas ini dalam keadaan normal tidak

terdapat di dalam darah, tetapi jika terhirup gas ini cenderung

menempati bagian hemoglobin yang berikatan dengan O2

menyebabkan keracunan CO.

e. Nitrat oksida (NO). Di paru, nitrat oksida yang bersifat vasodilator

dan berikatan dengan hemoglobin. Vasodilatasi dapat membantu

menjamin bahwa darah kaya oksigen dapat mengalir dengan lancar

dan juga membantu menstabilkan tekanan darah (Sherwood, 2014).

2.4.3 Pembentukan Hemoglobin

Hemoglobin (Hb) merupakan komponen utama eritrosit yang

berfungsi mentransport oksigen dan karbondioksida (Baldy, 2012).

Sintesis Hb dimulai dari proeritoblas dan berlanjut sampai retikulosit

membentuk sel darah merah (eritrosit). Tahap dasar pembentukan Hb

dimulai dari suksinil-KoA yang telah dibentuk dalam siklus Krebs

berikatan dengan glisin untuk membentuk molekul pirol. Kemudian,

dari empat pirol bergabung untuk membentuk protoporfirin IX yang

selanjutnya akan bergabung dengnan besi untuk membentuk heme.

Akhirnya, setiap molekul heme bergabung dengan rantai polipeptida

panjang atau disebut dengan globin sehingga menjadi rantai

hemoglobin. Empat rantai hemoglobin akan berikatan longgar untuk

membentuk molekul hemoglobin yang lengkap (Guyton, Hall, 2014).

21

(Guyton, Hall, 2014)

Gambar 2.6

Pembentukan Hemoglobin

Pembentukan heme terjadi terutama di mitokondria melalui

rangkaian reaksi biokimia yang dimulai dari kondensasi glisin dan

suksinil koenzim A dalam pengaruh kerja enzim asam -

aminolevulinat (ALA) sintase yang menghasilkan ALA. Dua molekul

ALA disatukan oleh enzim ALA dehidrase untuk membentuk dua

molekul air dan satu porfobilinogen (prekursor pertama pirol)

(Murray, Granner, Rodwell, 2013; Hoffbrand, Moss, 2015).

Pembentukan tetrapirol siklik, yaitu suatu porfirin, terjadi melalui

kondensasi empat molekul porfobilinogen (PBG) yang memadat

untuk membentuk sebuah tetrapirol linier, yaitu hidroksilmetibilan

(HMB). Reaksi ini dikatalis oleh uroporpirinogen I sintase yang juga

disebut PBG deaminase atau HMB sintase. HMB mengalami siklisasi

secara spontan untuk membentuk uroporfirinogen III oleh kerja

uroporfirinogen III sintase (Murray, Granner, Rodwell, 2013).

22

(Murray, Granner, Rodwell, 2013)

Gambar 2.7

Biosintesis Porpobilinogen

Uroporfibrinogen III diubah menjadi koproporfibrinogen III oleh

dekarboksilasi semua gugus asetat (A), yang mengubah asetat menjadi

substituen metil (M). Reaksi tersebut dikatalis oleh uroporfibrinogen

dekarboksilase. Koproporfibrinogen III kemudian memasuki

mitokondria dan diubah menjadi protoporfibrinogen III yang

kemudian menjadi protoporfirin III. Perubahan ini terjadi dalam

beberapa tahap, enzim mitokondria koproporfirinogen oksidase

mengkatalis dekarboksilasi dan oksidasi koproporfirinogen untuk

membentuk protoporfirinogen. Selanjutnya, oksidasi

protoporfirinogen menjadi protoporfirin dikatalisis oleh enzim

mitokondria yang lain, yaitu protoporfirinogen oksidase. Tahap

terakhir adalah penggabungan besi fero dengan protoporfirin dalam

23

suatu reaksi yang dikatalisis oleh feroketalase menjadi heme (Murray,

Granner, Rodwell, 2013).

(Murray, Granner, Rodwell, 2013)

Gambar 2.8

Tahap-Tahap Biosintesis Turunan Porfirin dari Porfobilinogen

24

(Murray, Granner, Rodwell, 2013)

Gambar 2.9

Biosintesis Heme

2.5 Pengaruh Ekstrak Daun Lidah Mertua (Sansevieria trifasciata lauretii)

terhadap Kadar Hemoglobin

Tanaman Daun Lidah Mertua mengandung senyawa aktif pregnane

glikosid yang berfungsi untuk mereduksi polutan menjadi asam organik, gula

dan asam amino, yang tidak berbahaya bagi manusia (Dewi, Indri, 2012).

Adapun polutan yang direduksi sekitar 107 polutan diantaranya ada asap

25

rokok, limbah perak (Ag) dan timbal (Pb) (Adawiyah, Nia, Raisha et al,

2013). Sedangkan, enzim ALA dehidrase merupakan enzim yang peka

terhadap inhibisi oleh timbal. Dengan metabolic breakdown yang dilakukan

oleh senyawa aktif pregnane glikosid dianggap dapat mereduksi timbal di

dalam tubuh. Sehingga enzim ALA dehidrase tidak terinhibisi dan produksi

heme kembali baik (Dewi, Indri, 2012; Murray, Granner, Rodwell, 2013;

Swadaya, 2008).

Selain itu, antioksidan yang terdapat di dalam daun Lidah Mertua dapat

menangkap radikal bebas yang ada di dalam tubuh. Beberapa senyawa

antioksidan dapat ditemui pada vitamin C dan E yang dapat berpengaruh

terhadap kuantitas hemoglobin dan efektif mengatasi radikal bebas.Vitamin C

merupakan antioksidan kuat yang bekerja dengan mendonorkan elektron ke

senyawa logam serta menyumbangkan elektron ke dalam reaksi biokimia

intraseluler dan ektraseluler serta mampu menghilangkan senyawa oksigen

reaktif di dalam sel. Sedangkan vitamin E merupakan vitamin yang larut

dalam lemak dan berperan penting dalam mengatasi kerusakan radikal bebas.

Peran vitamin E adalah mengendalikan peroksida lemak dengan

menyumbangkan hidrogen dan menghambat aktivitas yang dilakukan oleh

peroksida dalam perusakan sel akibat radikal bebas (Cahyati, Didik, Roni et

al, 2014; Ikewuchi, Jude, 2009; Queljoe, Astrid, Benny, 2015).

Kombinasi vitamin C dan E dosis tinggi sebagai antioksidan dapat

menghentikan reaksi berantai radikal bebas dengan mengikat radikal bebas

yang mempengaruhi sumsum tulang sehingga efek penurunan sistem

hemopoetik dapat dicegah dan mencegah kerusakan sel-sel normal. Vitamin

26

C dan E bekerja secara sinergis, saling menetralkan produk teroksidasi

masing-masing vitamin. Vitamin C berperan penting dalam mempertahankan

jumlah vitamin E di dalam sel dengan cara mendaur ulang radikal vitamin E

menjadi bentuk yang tereduksi dan kerusakan DNA karena teroksidasi oleh

vitamin C juga dapat dihambat oleh vitamin E (Aminullah, Neni, Wiratno,

2012).