artikel perkawinan

24
UUD NO1 TAHUN 1974 DAN KHI DALAM PELAKSANAAN HUKUM DI INDONESIA A. Definisi Perkawinan Menurut Persfektif Fiqh, UU. No. 1 Tahun 1974 Dan Kompilasi Hukum Islam (KHI) 1. Persfektif Fiqh Perkawinan dalam bahasa arab disebut dengan al-nikah yang bermakna al-wathi' dan al-dammu wa al-tadakhul. Terkadang juga disebut dengan al-dammu wa al-jamm'u atau 'ibarat 'an al-wath' wa al-'aqd yang bermakna bersetubuh, berkumpul dan berakad. Beranjak dari makna etimologis inilah para ulama fiqh mendefinisikan perkawinan dalam konteks hubungan biologis. Dalam bahasa Indonesia, perkawinan berasal dari kata "kawin" yang menurut bahasa artinya membentuk keluarga dengan lawan jenis; melakukan hubungan kelamin atau bersetubuh. Perkawinan disebut juga "pernikahan", berasal dari kata nikah yang menurut bahasa artinya mengumpulkan, saling memasukkan, dan digunakan untuk arti bersetubuh (wath'i). kata nikah sendiri sering dipergunakan untuk arti persetubuhan, juga untuk arti akad nikah. Wahbah al-Zuhaily menjelaskan definisi perkawinan dengan : "akad yang membolehkan terjadinya al-istimta' 1

Upload: ham-dini

Post on 05-Dec-2014

121 views

Category:

Documents


1 download

TRANSCRIPT

Page 1: Artikel Perkawinan

UUD NO1 TAHUN 1974 DAN KHI DALAM PELAKSANAAN

HUKUM DI INDONESIA

A. Definisi Perkawinan Menurut Persfektif Fiqh, UU. No. 1 Tahun 1974

Dan Kompilasi Hukum Islam (KHI)

1. Persfektif Fiqh

Perkawinan dalam bahasa arab disebut dengan al-nikah yang bermakna al-wathi'

dan al-dammu wa al-tadakhul. Terkadang juga disebut dengan al-dammu wa al-

jamm'u atau 'ibarat 'an al-wath' wa al-'aqd yang bermakna bersetubuh, berkumpul

dan berakad. Beranjak dari makna etimologis inilah para ulama fiqh

mendefinisikan perkawinan dalam konteks hubungan biologis.

Dalam bahasa Indonesia, perkawinan berasal dari kata "kawin" yang menurut

bahasa artinya membentuk keluarga dengan lawan jenis; melakukan hubungan

kelamin atau bersetubuh. Perkawinan disebut juga "pernikahan", berasal dari kata

nikah yang menurut bahasa artinya mengumpulkan, saling memasukkan, dan

digunakan untuk arti bersetubuh (wath'i). kata nikah sendiri sering dipergunakan

untuk arti persetubuhan, juga untuk arti akad nikah.

Wahbah al-Zuhaily menjelaskan definisi perkawinan dengan : "akad yang

membolehkan terjadinya al-istimta' (persetubuhan) dengan seorang wanita atau

melakukan wath'I, dan berkumpul selama wanita tersebut bukan wanita yang

diharamkan, baik dengan sebab keturunan, atau sepersusuan". Definisi lain yang

diberikan Wahbah al-Zuhaily adalah : "akad yang telah ditetapkan oleh syar'I agar

seorang laki-laki dapat mengambil manfaat untuk melakukan istimta' dengan

seorang wanita atau sebaliknya".

Menurut Hanafiah, "nikah adalah akad yang memberi faedah untuk melakukan

mut'ah secara sengaja" artinya kehalalan seorang laki-laki untuk beristimta'

dengan seorang wanita selama tidak ada faktor yang menghalangi sahnya

pernikahan tersebut secara syar'i.

1

Page 2: Artikel Perkawinan

Menurut Hanabilah, nikah adalah akad yang menggunakan lafadz inkah yang

bermakna tajwiz dengan maksud mengambil manfaat untuk bersenang-senang.

B. Prinsip-prinsip Perkawinan Menurut Hukum Perdata Islam di

Indonesia.

Menurut pandangan M. Yahya Harahap beberapa asas-asas yang cukup prinsip

dalam UU. Perkawinan adalah:

1. Menanmpung segala kenyataan-kenyataan yang hidup dalam masyarakat

bangsa Indonesia dewasa ini.

2. Sesuai dengan tuntutan Zaman.

3. Tujuan perkawinan membentuk keluarga bahagia yang kekal.

4. Kesadaran akan hukum agama dan keyakinan masing-masing warga

Negara bangsa Indonesia yaitu perkawinan harus dilakukan berdasarkan

hukum agama dan kepercayaannya masing-masing.

5. Undang-undang perkawinan menganut asas-asas monogamy akan tetapi

terbuka peluang untuk melakukan poligami selama hukum agamanya

mengizinkan.

6. Perkawinan dan pembentukan keluarga dilakukan oleh pribadi-pribadi

yang telah matang jiwa dan raganya.

7. Kedudukan suami istri dalam kehidupan seimbang, baik dalam kehidupan

rumah tangga ataupun masyarakat.

Musdah Mulia menjelaskan dalam presefektif lain bahwa prinsip-prinsip

perkawinan tersebut ada empat ada empat yang didasarkan pada ayat-ayat al-

Qur'an.

1. Prinsip kebebasan dalam memilih jodoh

Prinsip ini sebenarnya kritik terhadap tradisi bangsa Arab yang

menempatkan perempuan pada posisi yang lemah, sehingga untuk dirinya

sendiri saja ia tidak memiliki kebebasan untuk menentukan apa yang

terbaik pada dirinya. Oleh sebab itu kebebasan memilih jodoh adalah hak

2

Page 3: Artikel Perkawinan

dan kebebasan bagi laki-laki dan perempuan sepanjang tidak bertentangan

dengan syari’at islam.

2. Prinsip mawaddah wa rahmah

Prinsip ini didasarkan pada firman Allah SWT QS ar-Rum:21. Mawaddah

wa rahmah adalah karakter manusia yang tidak dimiliki oleh makhluk

lainnya. Jika binatang melakukan hubungan seksual semata-mata untuk

kebutuhan seks itu sendiri juga dimaksudkan untuk berkembang biak,

sedangkan perkawinan manusia bertujuan untuk mencapai ridha Allah

disamping tujuan yang bersifat biologis.

3. Prinsip saling melengkapi dan saling melindungi

Prinsip ini didasarkan pada firman Allah SWT yang terdapat pada surah al-

Baqarah:187 yang menjelaskan istri-istri adalah pakaian sebagaimana

layaknya dengan laki-laki juga sebagai pakaian untuk wanita. Perkawinan

laki-laki dan perempuan dimaksudkan untuk saling membantu dan saling

melengkapi, karena setiap orang memiliki kelebihan dan kekurangan.

4. Prinsip mu’asarah bi al-ma’ruf

Prinsip ini didasarkan pada firman Allah SWT yang terdapat pada surah

an-Nisa:19 yang memerintahkan kepada setiap laki-laki untuk

memperlakukan istrinya dengan cara yang ma’ruf. Didalam prinsip ini

sebenarnya pesan utamanya adalah pengayoman dan penghargaan kepada

wanita.

3

Page 4: Artikel Perkawinan

C .Landasan Hukum Di Indonesia Uud No1 Tahun 1974 Dan KHI

1. Landasan Filosofis Perkawinan

Pasal 2 KHI mempertegas landasan filosofis perkawinan sesuai dengan ajaran

Islam tanpa mengurangi landasan filosofis perkawinan berdasarkan Pancasila

yang diatur dalam UU No. 1 Tahun 1974. Pasal l UU No 1 Tahun 1974, yaitu;

“menjadikan Pancasila sebagai landasan filosofis perkawinan dengan

mengaitkannya dengan sila pertama yakni berdasarkan Ketuhanan Yang Maha

Esa”. Inti perluasan dan penegasan landasan filosofis dalam pasal 2 KHI itu

adalah :

1.    Perkawinan semata-mata “menaati perintah Allah.”

2.    Melaksanakan perkawinan adalah “ibadah”.

3.    Ikatan perkawinan bersifat miitsaaqan ghalizaa ( al-Nisaa : 21 ).

Penegasan filosofis ini dirangkum secara terpadu antara “aqidah”, “ibadah” dan

“mu’amalah” berkaitan pula dengan huququllah dan huququl ibad.Dalam KHI

terdapat pula penegasan dan pemasyarakatan nilai Islam berupa pernyataan ikatan

perkawinan bersifat mistaaqan ghalidzaa. Filosofis ini untuk mengantisipasi

pendapat dan praktek yang berkembang selama ini yang mengatakan seolah-olah

perkawinan Islam itu rapuh dan boleh dipecah setiap waktu. Dengan penegasan

bahwa perkawinan itu adalah “ikatan yang kokoh”  diharapkan memberikan

kesadaran dan pengertian kepada masyarakat bahwa perkawinan itu mentaati

perintah Allah sebagai ibadah serta harus dipertahankan kelangsungan dan

kelestariannya.

2. Landasan Idiil Perkawinan

Landasan perkawinan yang diatur dalam Pasal 1 UU No. 1 Tahun 1974 adalah

untuk membentuk “keluarga bahagia dan kekal”, Pasal 3 KHI mempertegas dan

memperluas nilai-nilainya dengan ruh Islami seperti yang digariskan dalam  QS.

4

Page 5: Artikel Perkawinan

Al-Rum : 21 yakni untuk membentuk keluarga “sakinah, mawaddah dan rahmah”.

Dengan diletakkan oleh Pasal 3 landasan perkawinan sesuai dengan maksud QS.

Al- Rum : 21, maka dengan sendirinya akan terkait secara langsung dengan nilai-

niai operasional seperti diatur dalam :

QS. Al- Baqarah : 187 “hunna libasullakum wa antum libasullahunna”.

QS. Al- Nisaa : 19 “wa’asyiruhunna bil ma’ruf”.

Dengan memahami landasan idiil dan operasional ini dengan baik dan sadar,

tercakup di dalam keharusan yang bersifat mutuality mulai dari mutual

cooperation, mutual help, mutual understanding, mutual relation dan mutual

interdependency.

3. Landasan Yuridis

Ketentuan Pasal 2 UU No. 1 Tahun 1974 meletakkan fundamentum yuridis

perkawinan nasional, yakni :

Dilakukan menurut hokum agama, dan

Dicatat  menurut perundang-undangan yang berlaku.

Fundamentum yuridis tersebut diperjelas dalam pasal 4, 5, 6 dan 7 sejalan dengan

penegasan itu diaktualkan ketertiban perkawinan masyarakat Islam. Dengan

demikian KHI memuat aturan:

Sahnya perkawinan mesti dilakukan menurut hokum Islam.

Laki-laki Islam dilarang kawin dengan perempuan non Islam.

Setiap perkawinan harus dicatat.

Perkawinan baru sah apabila dilangsungkan di hadapan PPN.

Perkawinan di luar PPN adalah “perkawinan liar”.

Perkawinan hanya dapat dibuktikan dengan Akta Nikah yang dibuat oleh

PPN.

Penegasan ini sekaligus melepaskan dogmatis yang dikembangkan dan difahami

selama ini yakni perkawinan sebagai invidual affair atau urusan pribadi. KHI

menegaskan kepastian hokum dan ketertiban perkawinan dan keluarga masyarakat

Islam. Bagi yang tidak mematuhinya akan menanggung resiko yuridis, yang tidak

5

Page 6: Artikel Perkawinan

mendaftarkan perkawinannya dikualifikasi “perkawinan liar” dalam bentuk

“compassionate marriage atau kawin “kumpul kebo”.

4. Peminangan

UU No. 1 Tahun 1974 tidak mengatur  tata cara peminangan. Maka demi tertibnya

cara-cara peminangan berdasarkan moral dan yuridis, KHI mengaturnya sebagai

berikut :

Peminangan  pada prinsipnya secara utuh diambil dari ajaran Al- Quran

yang diadopsi oleh fikih standar setelah dimodifikasi secara rational,

praktis dan actual.

5. Rukun Dan Syarat Perkawinan

Ada dua hal yang ingin dicapai dalam menguraikan rukun dan syarat perkawinan

menurut Islam. Pertama, untuk mengatur secara Islami ketentuan syarat

perkawinan yang diatur pada Bab II Pasal 7 UU No. 1 Tahun 1974. Aturan dalam

pasal tersebut bersifat umum, tidak mengatur secara khusus rukun dan syarat

perkawinan menurut Hukum Islam. Maksud Pasal 7 UU No. 1 Tahun 1974 itu

diatur secara jelas dan limitative oleh KHI dan Bab IV Pasal 14 – 29. Kedua, yang

ingin dicapai ialah menghilangkan masalah ikhtilaf dalam rukun dan syarat

perkawinan. Misalnya mengenai apakah saksi termasuk rukun atau tidak?. Pasal

14 KHI menetapkan secara tegas adanya dua orang saksi dalam pernikahan

sebagai rukun. Di samping itu mengaktualkan beberapa nilai;

1. Patokan nilai usia mempelai ( Pasal 15 KHI ), tidak lagi berdasarkan

syariat yang mengambang pada ukuran akil balig, tetapi ditentukan secara

definitif secara positif yakni 16 dan 17 tahun.

2. Tidak diperbolehkan kawin paksa (Pasal 16 dan 17 ), calon mempelai

perempuan diberi peluang untuk melakukan penolakan.

3. Tidak diperkenankan mempermudah kewenangan “wali hakim”, tetapi

harus lebih dahulu ada putusan Pengadilan Agama.

4. Mengenai pelaksanaan ijab Kabul KHI menjatuhkan pilihan :

6

Page 7: Artikel Perkawinan

Tetap bersifat “majelis” berhadapan langsung.

Apabila berhalangan dapat dikuasakan berdasarkan surat kuasa tanpa

mengurangi hak wanita untuk menolak. Pasal 29 KHI tidak membenarkan

pelaksanaan ijab dan Kabul “jarak jauh” melalui sarana komunikasi. Dalam

hal calon mempelai berhalangan memilih alternatif dengan seorang “kuasa”.

6. Pengaturan Tentang Mahar

UU No. 1 Tahun 1974 tidak mengatur masalah mahar, KHI mengatur masalah

mahar tersebut dengan tujuan :

Untuk menertibkan masalah mahar itu

Menetapkan kepastian hokum bahwa mahar bukan “rukun nikah”.

Menetapkan etika mahar atas asas ”kesederhanaan dan kemudahan”, bukan

didasarkan atas prinsip ekonomi, status atau gengsi.

Menyeragamkan konsepsi yuridis dan etika mahar agar terbina ketentuan

dan persepsi yang sama di kalangan masyarakat dan penegak hokum.

7. Larangan Kawin

Larangan kawin yang diatur dalam Pasal 88 UU No. 1 Tahun 1974 dikemukakan

secara halus oleh KHI dan diselaraskannya dengan ketentuan hukum Islam.

Penyelarasan ini mengambil sumber dari Al Quran dan telah diadopsi oleh kitab-

kitab fikih berupa :

Larangan umum perkawinan :

1) Larangan kawin karena pertalian “nasab”.

2) Larangan kawin karena pertalian “semenda”.

3) Larangan kawin karena pertalian “sesusuan”.

Larangan khusus perkawinan bagi seorang perempuan :

1) Karena masih terikat dalam perkawinan yang sah.

2) Masih berada dalam masa iddah.

3) Apabila calon suami ‘tidak beragama Islam”.

Larangan khusus perkawinan bagi seoang lelaki :

7

Page 8: Artikel Perkawinan

1) Mengawini perempuan yang tidak beragama Islam’

2) Memadu dua orng perempuan saudara sekandung, seayah atau seibu serta

keturunannya atau bibi atau kemenakannya dalam waktu bersamaan.

3) Melangsungkan perkawinan lebih dari empat dalam waktu yang

bersamaan.

Lebih lanjut mennngenai larangan ini dapat dipelajari dalam Bab IV.

8. Ketentuan Perjanjian Kawin

Perjanjian kawin diatur dalam Bab V UU No. 1 Tahun 1974. Sehubungan dengan

telah dilembagakan kedudukan harta bersama dalam perkawinan, KHI

menjabarkan lebih lanjut aturan perjanjian perkawinan itu. KHI mengenal bentuk

perjanjian :

1) Taklik talak.

2) Perjanjian lain asal tidak bertentangan dengan hukum Islam.

Bentuk perjanjian kawin yang lain itu meliputi :

1) Menyangkut kedudukan harta dalam perkawinan :

Boleh percampuran harta pribadi dengan harta dalam perkawinan.

Pemisahan harta pencarian masing-masing. Hal ini ditujukan untuk istri

atas hasil pencariannya.

Kewenangan pembebanan harta pribadi dan harta bersama.

Perjanjian kawin mengenai harta tidak boleh menghilanngkan kewajiiban

suami untuk memenuhi kebutuhan rumah tangga.

Perjanjian kawin dalam perkawinan poligami mengenai tempat kediaman,

waktu giliran dan biaya rumah tangga.

9. Kebolehan Kawin Hamil

Kawin hamil diletakkan dalam kategori hokum “boleh”, tidak “mesti”.

Pendefinitifan kebolehan kawin hamil yang diatur KHI merupakan kompromistis

dengan hokum Adat dan masalah ikhtilaf dalam ajaran fikih dikaitkan dengan

factor sosiologis dan psikologis.Dari penggabungan factor ikhtilaf dan ‘urf,

8

Page 9: Artikel Perkawinan

perumus KHI berpendapat hal itu berdasarkan istishlah yakni mashlahat

membolehkan kawin hamil lebih besar dari melarangnya.

Acuan penerapan kawin hamil :

Dengan lelaki yang menghamili, dengan ketentuan siapa lelaki yang mau

mengawini diangggap benar sebagai lelaki yang menghamili, kecuali si

perempuan menyanggah  (mengingkari).

Perkawinan dapat dilakukan tanpa menunggu kelahiran bayi.

KHI merumuskan secara singkat dan bersifat umum masalah  kawin hamil

tersebut untuk memberikan keleluasaan bagi pengadilan untuk mencari

dan menemukan asas-asas baru melalui terobosan yang lebih actual dan

rational.

10. Aturan Poligami

Aturan pembatasan dan penerapan syarat-syarat dan kemestian ikut campur tangan

penguasa yang dikemukakan dalam UU No. 1 Tahun 1974 diambil alih

seluruhnya oleh KHI. Pengambilalihan itu merupakan langkah maju secara

dinamis dalam mengaktualisasikan hukum Islam di bidang perkawinan.

Kebolehan poligami:

Harus didasarkan pada alasan-alasan :

1) Istri tidak dapat menjalankan kewajiban.

2) Istri cacat atau sakit yang tidak dapat disembuhkan.

3) Istri mandul.

Harus memenuhi pula syarat :

1) Mesti ada persetujuan istri.

2) Mampu berlaku adil.

3) Kepastian atas kemampuan menjamin kehidupan.

Harus ada izin Pengadilan Agama.

Dengan ketentuan-ketentuan itu harus disadari bahwa poligami tidak lagi

individual affair (semata-mata urusan pribadi), tetapi juga telah menjadi urusan

kekuasaan Negara, yaitu mesti ada izin Pengadilan Agama. Tanpa ada izin dari

Pengadilan Agama, dianggap“poligami liar”, tidak sah dan tidak mengikat. Tanpa

9

Page 10: Artikel Perkawinan

izin Pengadilan Agama perkawinan diangggap never existed, meskipun dilakukan

di hadapan PPN.

11. Pencegahan Perkawinan

Materi KHI tentang pencegahan pekawinan pada dasarnya mengambil alih

ketentuan yang diatur dalam Bab III UU No. 1 Tahun 1974, namun ada satu

tambahan penegasan berupa pencegahan atas alasan “perbedaan agama”. Alasan

pencegahan perkawinan bertujuan untuk menghindari perkawinan yang dilarang

Islam, pasal 61 menjelaskan bahwa salah satu alasan pencegahan adalah karena

perbedaan agama.

Pencegahan itu dilakukan dengan kemestian atas campur tangan Pengadilan

Agama, Selama belum ada izin dari pengadilan maka perkawinan tidak boleh

dilangsungkan.

12. Pembatalan Perkawinan

Pembatalan perkawinan diatur dalam Bab XI KHI. Materi rumusannya sama

dengan rumusan dalam Bab IV UU No. 1 Tahun 1974, namun rumusan KHI

secara jelas membedakan alasan pembatalan :

1) Pembatalan karena pelanggaran larangan, “batal demi hokum” ( Pasal 70 ).

2) Pembatalan karena pelanggaran syarat, “dapat dibatalkan” ( Pasal 71 ).

Pembatalan perkawinan itu harus ada campur tangan kekuasaan Negara yaitu

Pengadilan Agama untuk kepastian hukum dan ketertiban umum.

13. Makna Al-Rijalu Qawwamuna ‘Ala An-Nisa

KHI dalam Bab XII mengatur hak dan kewajiban suami istri. Prinsip aturan itu

hampir sama dengan aturan yang digaruskan dalam Bab VI UU No. 1 Tahun

1974. Materi pasal-pasal Bab XII secara tersirat dan tersurat telah melenturkan

makna al-rijalu qawwamuna ‘ala an-nisaa.

Tujuannya dapat difahami :

10

Page 11: Artikel Perkawinan

1) Untuk mewujudkan cita-cita sakinah, mawadddah dan rahmah menjadi

2) kewajiban dan tanggung jawab bersama ( Pasal 77 ayat (1).

3) Penghapusan diskriminasi katagoris atas pemeliharaan dan pendidikan

anak dengan asas tanggung jawab bersama ( Pasal 77 (3) ).

4) Menghapuskan diskriminasi normative dalam pelaksanaan hak dan

kewajiban berdasarkan persamaan hak, yakni :

Suami dan istri mempunyai hak yang sama untuk mengajukan gugatan ke

Pengadilan Agama atas tindakan “kelalaian” (neglisence), “penolakan”

(refuse) atau “ketidakmampuan” (failure), dan Kewajiban (Pasal 77 ayat

(5)).

Sama-sama berhak secara musyawarah menentukan tempat kediaman.

5) Menyeimbangkan harkat derajat suami istri secara “fungsional”

berdasarkan asas “kodrati alamiah” dan biologis dalam acuan :

Suami sebagai “kepala keluarga” (chief of the family ).

Isteri sebagai “ibu rumah tangga” ( Pasal 79 ayat (1) ).

6) Mempunyai hak dan derajat yang sama dalam kehidupan masyarakat

dengan sama-sama berhak aktif dalam kehidupan bermasyarakat dan

sama-sama berhak mengembangkan profesi dan karir.

Dari uraian singkat itu difahami bahwa KHI telah mengembangkan suatu

wawasan “keseimbangan” yang proporsional tanpa mengabaikan sifat kodrati

alamiah berdasarkan biologis dan psikologis.

14. Pelembagaan Harta Bersama

Harta bersama dalam UU No. 1 Tahun 1974 diatur secara singkat dalam Bab VII.

Undang-undang ini menyerahkan pelaksanaan penerapannnya berdasarkan

ketentuan nilai-nilai adat.Sementara dalam hukum Islam hal itu tidak diatur.

Dari pengamatan lembaga harta bersama lebih besar manfaatnya dari

mudlaratnya. Atas dasar metodologi “istishlah” (maslahah mursalah) dan ‘urf

dengan kaedah al’adah muhakkamah, KHI menetapkan pendekatan kompromis

kepada hukum Adat.

11

Page 12: Artikel Perkawinan

Pokok-pokok aturan harta bersama yang dikemukakan dalam Bab XIII KHI secara

singkat dapat dilihat berikut ini :

1.    Harta bersama terpisah dari harta pribadi masing-masing:

Harta pribadi tetap menjadi hak milik pribadi dan dikuasasi sepenuhnya 

oleh pemiliknya ( suami atau istri).

Harta bersama menjadi hak bersama suami istri dan terpisah dari harta

pribadi.

2.    Harta bersama terwujud sejak tanggal perkawinan dilangsungkan :

Sejak itu dengan sendirinya terbentuk harta bersama.

Tanpa mempersoalan siapa yang mencari.

Tanpa mempersoalkan atas nama siapa terdaftar.

3.    Tanpa persetujuan bersama, suami atau istri tidak boleh mengasingkan atau   

memindahkannya.

4.    Utang untuk kepentingan keluarga, dibebankan kepada harta bersama.

5.    Dalam perkawinan serial atau poligami wujud harta bersama terpisah antara

suami dengan masing-masing istri.

6.    Apabila perkawinan pecah (mati, cerai) :

Harta bersama dibagi dua.

Masing-masing mendapat setengah bagian.

Apabila terjadi cerai mati, bagiannya menjadi tirkah.

7.    Sita marital atas harta bersama di luar gugat cerai ( Pasal 95 ) :

Ketentuan ini perluasan dari Pasal 24 ayat (2) huruf c PP No. 9 Tahun

1975.

Suami atau istri dapat meminta sita marital kepada Pengadilan Agama

apabla salsh satu pihak boros atau pejudi.

15. Pembuahan Anak Secara Teknologi

Dalam Bab XIV diatur mengenai pemeliharaan anak. Materinya hampir sama

dengan Bab IX UU No. 1 Tahun 1974. Pasal 99 mengemukakan mengenai

12

Page 13: Artikel Perkawinan

pengabsahan kebolehan mempergunakan teknologi kedokteran dalam kelahiran

anak :

Sah dan dibolehkan pembuahan anak di luar rahim.

Asal pembuahan itu dari sperma istri, dan dilahirkan oleh istri sendiri.

Tidak dibenarkan penyewaan atau mempergunakan rahim perempuan lain.

16. Pemeliharaan Anak Dalam Perceraian

Pasal 105 KHI menggariskan secara pasti tentang pemeliharaan anak dalam

perceraian :

Selama belum mumayyiz dengan patokan usia 12 tahun, yang berhak

memellihara anak ialah ibunya.

Yang sudah berumur 12 tahun ke atas, diberikan kebebasan kepada anak

untuk memilih antara ayah dan ibu.

Biaya pemeliharaan anak ditanggung ayah.

Batas pemeliharaan anak ditingkatkan menjadi 21  tahun ( Pasal 98 ) .

Tujuannya untuk memikulkan keharusan kepada orang tua untuk

meningkatkan tanggung jawab pembinaan dan pengembangan pendidikan

anak.

17. Perwalian

KHI memperluas jangkauan perwalian seperti yang telah dimuat dalam Bab XI

UU No. 1 Tahun 1974. Perluasan itu disesuaikan dengan hokum Islam:

1.    Selama salah seorang orang tua masih hidup dan waras :

Belum terbuka perwalian menurut hukum Islam.

Kedudukan anak masih tetap berada di bawah kekuasaan orang tua yang

masih hidup.

2.    KHI tidak mengatur “pengawasan” perwalian.

13

Page 14: Artikel Perkawinan

18. Pokok-Pokok Aturan Perceraian

Aturan perceraian yang dirumuskan dalam Bab XVI sampai dengan Bab XIX KHI

merupakan perluasan dari ketentuan perceraian yang diatur dalam Bab VIII UU

No. 1 Tahun 1974 dan Bab IV dan Bab VII PP No. 9 Tahun 1975. Hal-hal yang 

dibicarakan di sini adalah:

1.  Campur tangan Pengadilan dalam perceraian :

Perceraian hanya dapat dilakukan di sidang Pengadilan Agama ;

Bentuk perceraian terdiri dari “cerai talak dan cerai gugat”

Perceraian di luar Pengadilan Agama tidak sah dan tidak mengikat (talak

liar).

2.  Penambahan alasan cerai

Gugat cerai baru memenuhi syarat formal dan materiil apabila didasarkan

atas alasan yang sah; Alasan cerai yang sah telah ditetapkan secara

enumerative dalam Pasal 19 PP No. 9 tahun 1975 jo. Penjelasan Pasal 39

UU No. 1 Tahun 1974

Alasan tambahan dalam pasal Pasal 116 KHI:

Karena suami melangggar taklik talak;

Peralihan agama ( murtad )

3.   Lembaga Li’an

Lembaga li’an tetap dipertahankan dan dapat digunakan oleh suami

sebagai bukti  perbuatan zina yang dilakukan oleh istri.

atau untuk mengingkari anak yang ada dalam kandungan istri.

4.  Meningkatkan proses cerai talak menjadi contentiosa.

Peningkatan proses itu diatur dalam Pasal 138 KHI dan diperbaiki oleh Pasal 66

UU No. 7 Tahun 1989. Dengan demikian penerapan cerai talak:

Ditingkatkan menjadi contensiosa ;

14

Page 15: Artikel Perkawinan

Suami sebagai pihak “pemohon” (pengggugat) dan istri sebagai

“termohon” (tergugat);

Proses pemeriksaan dilakukan berdasarkan asas audi et alteram partem.

5.  Kepastian hukum atas rujuk

Pasal 167 KHI mengatur tentang:

Penertiban rujuk kearah kepastian hukum ;

Rujuk harus secara bilateral, istri harus setuju, tidak ada paksaan ;

Rujuk baru sah dan mengikat bila dilakukan di hadapan PPN dan dihadiri

oleh saksi-saksi dan PPN ;

Dibuat catatan dalam buku daftar rujuk yang ditanda tangani oleh suami

istri, saksi-saksi dan PPN.

C. Kesimpulan

Ketentuan pokok yang bersifat umum dalam UU No. 1 Tahun 1974 dirumuskan

dan dijabarkan yang akan dijadikan ketentuan yang bersifat khusus sebagai aturan

Hukum Islam yang akan diberlakukan bagi mereka yang beragama Islam. Dengan

kata lain buku I KHI bidang perkawinan merupakan aturan dan hukum khusus

yang akan diberlakukan danditerapkan secara khusus bagi masyarakat Indonesia

yang  beragama Islam.

KHI muncul karena adanya kebutuhan untuk menyeragamkan atau unifikasi

hukum. Sebelum adanya KHI, para hakim agama mempunyai independensi dalam

menetapkan keputusan atas kasus-kasus yang mereka jumpai, berdasarkan ijtihad

mereka masing-masing. Biasanya ijtihad itu bersumber dari bacaan mereka atas

kitab-kitab (khususnya fikih) yang dapat mereka akses. Dengan begitu, tak ayal

lagi, lahirlah produk hukum yang berbeda-beda, meski kasusnya kadang

sama.Dalam KHI ketentuan ketentusn yang mengatur tenteng perkawinan diatur

dalam buku ke I, dalamKHI terdapat perluasan mengenai arti arti baik landasan

filosofis, landasan idil, dll. Bahkan KHI menambah ketentuan yang tidak diatur di

dalam UU No.1 Tahun 1974 salah satunya tentang mahar.

15

Page 16: Artikel Perkawinan

D. DAFTAR PUSTAKA

Erfaniah Zuhriah,M.H,Peradilan Agama di Indonesia U,N.Malang Press 2008

Prof.Muhammad Amin Summa,Hukum Keluarga Islam di Dunia Islam,PT. Raja

Grafindo Persada, Jakarta

Sayuti Thalib, S.H., Hukum Kekeluargaan Indonesia, Jakarta:Penerbit Universitas

Indonesia. 1974.

UU RI nomor 1 tahun 1974 Tentang Perkawianan dan Kompilasi Hukum Islam

(Bandung : Citra Umbara), 232

16