pengambilan keputusan operation and …
Post on 22-Oct-2021
6 Views
Preview:
TRANSCRIPT
TESIS - TM142502
PENGAMBILAN KEPUTUSAN OPERATION AND
MAINTENANCE (O&M) PLTU BATU BARA
MENGGUNAKAN PEMODELAN KEANDALAN DAN
SISTEM DINAMIK
MOH. FURQON AKHSANI
2116207721
DOSEN PEMBIMBING
Dr. Muhammad Nur Yuniarto, ST
PROGRAM MAGISTER
BIDANG KEAHLIAN MANAJEMEN ENERGI
KERJASAMA PT PEMBANGKITAN JAWA BALI
DEPARTEMEN TEKNIK MESIN
FAKULTAS TEKNOLOGI INDUSTRI
INSTITUT TEKNOLOGI SEPULUH NOVEMBER
SURABAYA
2018
ii
iii
THESIS - TM142502
RELIABILITY AND SYSTEM DYNAMICS BASED
DECISION MAKING FOR OPERATION AND
MAINTENANCE (O&M) IN COAL FIRED POWER
PLANT
MOH. FURQON AKHSANI
2116207721
SUPERVISOR
Dr. Muhammad Nur Yuniarto, ST
MASTER PROGRAM
FIELD STUDY OF ENERGY MANAGEMENT
IN COOPERATION WITH PT PEMBANGKITAN JAWA BALI
DEPARTMENT OF MECHANICAL ENGINEERING
FACULTY OF INDUSTRIAL TECHNOLOGY
INSTITUT TEKNOLOGI SEPULUH NOVEMBER
SURABAYA
2018
iv
v
LEMBAR PENGESAHAN
TESIS
Tesis disusun untuk memenuhi salah satu syarat memperoleh gelar
Magister Teknik (MT)
di
Institut Teknologi Sepuluh Nopember
oleh :
Moh Furqon Akhsani
NRP. 211620721
Tanggal Ujian : 20 Juli 2018
Periode Wisuda : September 2018
Disetujui oleh :
1. Dr. M. Nur Yuniarto, ST (Pembimbing)
NIP : 197506301998021001
2. Prof. Dr. Ir. Triyogi Yuwono, DEA (Penguji)
NIP : 196001291987011001
3. Dr. Bambang Sudarmanta, ST. MT. (Penguji)
NIP :197301161997021001
4. Dr. Ir. Heru Mirmanto, MT. (Penguji)
NIP : 196202161995121001
Dekan Fakultas Teknologi Industri,
Dr. Bambang Lelono Widjiantoro, ST, MT
NIP. 196905071995121001
Halaman ini sengaja dikosongkan
vii
PENGAMBILAN KEPUTUSAN OPERATION AND
MAINTENANCE (O&M) PLTU BATU BARA
DENGAN MENGGUNAKAN PEMODELAN KEANDALAN DAN
SISTEM DINAMIK
Nama Mahasiswa : Moh. Furqon Akhsani
NRP : 02111650077021
Pembimbing : Dr. Muhammad Nur Yuniarto, ST
ABSTRAK
Salah satu faktor krusial dalam bisnis pembangkitan tenaga listrik adalah
terkait Operation and Maintenance (O&M). Tesis ini bertujuan membangun Decission
Support System (DSS) menggunakan sistem dinamik untuk membantu pengambilan
keputusan bagi manajemen, diantaranya dalam pemilihan model O&M yang
dipergunakan dalam mengelola aset pembangkit, khususnya PLTU batu bara. Sasaran
yang ingin dicapai adalah memaksimalkan Net Present Value (NPV) dan tingkat
ketersediaan (availability). Analisis reliability merupakan novelty (kebaruan) dari tesis
ini yang memungkinkan decision support system (DSS) mendekati karakteristik
operasional pembangkit dalam konteks life cycle cost management.
Analisis biaya dibatasi pada fase Operation and Maintenance (O&M). Beberapa opsi O&M yang disimulasikan adalah : (a) seluruh aktivitas di O&M
dikerjakan internal pemilik aset; (b) aktivitas O&M dialihdayakan untuk cakupan asset
manager dan asset operator; (c) aktivitas O&M dialihdayakan untuk cakupan asset
operator untuk seluruh aset pembangkit; dan (d) aktivitas O&M dialihdayakan untuk
cakupan asset operator hanya untuk balance of plant (peralatan pendukung). Kriteria
keberterimaan dalam tesis ini menggunakan Mean Absolute Percentage Error (MAPE)
dengan ketentuan MAPE < 10% (sangat tepat), 10% < MAPE < 20% (tepat), 20% <
MAPE < 50% (cukup tepat), MAPE > 50% (tidak tepat). Uji validitas model ini
memberikan MAPE 1.38%(NPHR), 2,45% (konsumsi batu bara), dan 5,48%
(EAF) sehingga dapat disimpulkan model valid dengan tingkat akurasi sangat tepat.
Pada kondisi availability pembangkit tidak dipengaruhi variasi metodologi
O&M, opsi mengalihdayakan O&M PLTU batu bara 600 MW dalam cakupan
kewenanangan asset operator memberikan NPV tertinggi (Rp. 5.196.048.498.688,00)
untuk 10 tahun periode simulasi. Faktor paling sensitif yang mempengaruhi
pencapaian Net Present Value (NPV) dan ketersediaan (EAF) adalah harga batu bara
(62,36%). Untuk itu perlu dipikirkan mitigasi atas risiko kompetensi personil dan
keterlambatan birokrasi. Selain itu, manajemen juga harus fokus mendapatkan mitra
alihdaya yang menawarkan harga kompetitif tanpa mengabaikan kualitas karena
sensitivitas parameter ini terhadap NPV adalah 4,15%.
Kata kunci : Operation &Maintenance, Decision Support System, Sistem Dinamik,
Reliability
viii
Halaman ini sengaja dikosongkan
ix
RELIABILITY AND SYSTEM DYNAMIC BASED
DECISION MAKING FOR OPERATION AND MAINTENANCE
(O&M) IN COAL FIRED POWER PLANT
By : Moh. Furqon Akhsani
Student Identity Number : 02111650077021
Supervisor : Dr. Muhammad Nur Yuniarto, ST
ABSTRACT
One of important factors in the power generation business is related to
Operation and Maintenance (O&M). This thesis aims to build Decision Support
System (DSS) using system dynamic for assist decision making process for coal-fired
power plant, to provide maximum profit Net Present Value (NPV) and availability
level. Reliability analysis is the novelty of this thesis which allows decision support
system (DSS) to approach the operational characteristics of the plant in the context of
life cycle cost management.
Cost analysis boundaries related to the Operation and Maintenance (O&M)
phase. Some simulated O&M options are: (a) all O&M activities are performed by
internal sourcing; (b) O&M activity is outsourced for asset manager and asset operator
authority; (c) O&M activities are outsourced for asset operator authority; and (d) O &
M activities are outsourced for asset operator authority only for balance of plant
(supporting equipment). The acceptance criteria in this thesis using Mean Absolute
Percentage Error (MAPE) with terms : MAPE < 10% (highly accurate), 10% < MAPE
< 20% (good), 20% < MAPE < 50% (reasonable), MAPE > 50% (inaccurate). The
validity test of this model yields MAPE 1.38% (NPHR), 2.45% (coal consumption),
and 5.48% (EAF). Therefore can be concluded that model is valid with high accuracy.
In term of availability is independent to O & M methodology variant,
outsourced O & M for 600 MW Coal Fired Plant with asset operator authority gives
the highest NPV (IDR 5,196,048,498,688.00) for 10 years simulation period. The most
sensitive factor affecting Net Present Value (NPV) and availability (EAF) is coal price
(62.36%). In other hand, management should prepare some mitigation related to risks
of personnel competence and bureaucratic delays. In addition, management should
also focus on getting an outsourcing partner that offers competitive pricing without
neglecting quality because its sensitivity to NPV about 4.15%.
Keywords : Operation &Maintenance, Decision Support System, System Dynamics,
Reliability
x
Halaman ini sengaja dikosongkan
xi
KATA PENGANTAR
Hari Jumat, 20 Juli 2018 nampaknya menjadi hari yang tidak terlupakan bagi
saya. Setelah lebih 6 bulan tidak bisa tidur nyenyak untuk mengerjakan tesis, pada hari
tersebut tim penguji menyatakan tesis berjudul “PENGAMBILAN KEPUTUSAN
OPERATION AND MAINTENANCE (O&M) PLTU BATU BARA
DENGAN MENGGUNAKAN PEMODELAN KEANDALAN DAN SISTEM
DINAMIK dinyatakan lulus sidang. Bukan hanya soal tesis, namun karya tersebut
juga menjadi ujung perjuangan 2 tahun mengikuti program tugas belajar S2
Manajemen Energi kerjasama Departemen Teknik Mesin ITS dengan PT
Pembangkitan Jawa Bali. Maka sudah sepantasnya jika sujud syukur mendalam saya
haturkan kepada Allah SWT yang telah memberikan ridho dan segala pertolongannya
sehingga tugas tersebut dapat terselesaikan.
Bisnis ketenagalistrikan di Indonesia saat ini sudah jauh berbeda dengan kondisi
lima atau sepuluh tahun yang lalu. Iklim kompetesi yang kian ketat, memaksa pemain
di bisnis ini harus memeras strategi sehingga mampu menghadirkan layanan kepada
masyarakat yang andal dan efisien. Salah satu aspek krusial dalam memproduksi
tenaga listrik adalah Operation and Maintenance (O&M). Tesis ini menawarkan satu
metode untuk mengoptimalisasi metode O&M pembangkit, sehingga dapat
memberikan manfaat bagi pemilik aset pembangkit maupun perusahaan jasa O&M
untuk memenuhi tuntutan tersebut.
Banyak pihak telah berkontribusi baik secara langsung maupun tidak langsung
dalam penulisan tesis ini, maka penulis mengucapkan penghargaan dan terima kasih
yang tak terhitung, diantaranya kepada :
1. Rista Bintarawita Megasari, istri saya yang telah memberikan sepenuh cinta kasih,
dukungan, ekstra kesabaran, dan toleransi selama dua tahun menjalani masa studi
di ITS.
2. Anak pertama saya Hanisa Afia Zafrani yang sering protes karena waktu main
bersama ayahnya terkurangi drastis dan sering berkomentar, “katanya
mengerjakan tesis, kok Ayah hanya bengong” padahal ayahnya lagi berpikir keras
mencari inspirasi. Begitu juga kepada Sabiq Khoiri Assajid, anak kedua yang
Allah anugerahkan di tahun kedua masa studi.
3. Segenap keluarga besar di Lampung dan Ngawi yang juga tidak lelah memberikan
dukungan.
4. Bapak Dr. Nur Yuniarto, ST selaku dosen pembimbing yang memberi bimbingan
dengan metode luar biasa. Di detik terakhir saya baru bisa memahami, dengan
metode ini, ilmunya benar-benar merasuk dengan tingkat kepuasan maksimal.
5. Bapak Mudjahidin, ST, MT, dosen Sistem Informasi ITS yang sangat membantu
saya membuka tabir rahasia Vensim. Teriring doa semoga Bapak juga segera
mendapat tambahan gelar akademis Dr di depan nama Bapak.
6. Kelompok lingkar studi “Sabtuan” di container bengkel Molina, diantaranya Pak
Indra Sidharta, ST, M.Sc, Pak Agus Wibawa, ST, MT, Mas Agus, ST, MT peneliti
mobil listrik, serta seluruh pekerja di bengkel Molina atas segala kehangatan dan
back sound Via Vallen mengiringi diskusi kami.
7. Bapak Dr. Ir. Budi Utomo Kukuh W, ME, selaku dosen wali yang selalu
memberikan ilmu, saran, dan motivasi nya.
xii
8. Tim dosen peguji, meliputi Bapak Prof. Dr. Ir. Triyogi Yuwono, DEA, Bapak Dr.
Ir Heru Mirmanto, MT, dan Bapak Dr. Bambang Sudarmanta, ST, MT yang telah
memberikan saran dan masukan dalam rangka perbaikan penyusunan tesis.
9. Teman seangkatan program S2 Manajemen Energi program kerjasama ITS-PJB,
khusunya penghuni kelas D.202 atas segala dukungan dan canda tawanya.
10. Bapak Suharto, selaku Direktur SDM dan Administrasi PT PJB, yang telah
menginisiasi program tugas belajar S2 Manajemen Energi, sehingga saya
mendapat kesempatan menempuh studi S2.
11. Tim Divisi Talenta PT PJB : Bu Mita, Mas Kunto Wibisono (pak kepala sekolah),
Bu Yanti, Mas Oky, Mbak Indah, Mbak Anggun atas segala support teknis dan
non teknis selama 2 tahun ini.
12. Pak Junaidi Abdi, GM UBJOM Paiton yang memberikan ijin saya untuk mencari
data dan juga kepada Pak Fuad Arifin, Manajer Enjinering UBJOM Paiton, Pak
Tri Leksono, Mbak Novi Aulia atas dukungan datanya.
13. Pak Wisrawan, mantan GM UP Gresik yang mendorong saya untuk mendaftar
program beasiswa ini, juga Mas Tias, Manajer Enjinering dan QA UP Gresik yang
memberikan dukungan dan dispensasi khusus untuk bisa fokus kuliah.
14. Teman-teman di Sub Bidang MMRK UP Gresik : Ariza, Farida, Setiawan, dan
Abah Supateno yang dengan kehangatannya memberi suasana kondusif dalam
menyelesaikan tugas belajar ini.
15. Pak Yudhy Bhagaskara, Kepala Bidang Kinerja Korporat PT PJB dan segenap tim
Kinerja Kantor Pusat dan Unit (Pak Djoni, Dewo, Hilda, Luqman). Mohon maaf
jika enam bulan terakhir belum bisa all out karena masih menyelesaikan tesis.
16. Seluruh pihak yang belum disebutkan di atas yang telah memberikan doa,
bantuan, dan dukungannya sehingga penyusunan tesis ini dapat terselesaikan
dengan baik dan tepat waktu.
Semoga Allah SWT memberi balasan pahala yang lebih baik lagi.
Tesis ini tentu masih jauh dari kata sempurna, untuk itu saya mohon maaf. Tentu
saja kritik dan masukan yang membangun sangat saya harapkan untuk kesempurnaan
penugasan selanjutnya. Terakhir, semoga tesis ini dapat memberi kemanfaatkan bagi
PT PJB dan dunia akademis pada umumnya. Amiin.
Surabaya, Juli 2018
Penulis
xiii
DAFTAR ISI
HALAMAN JUDUL ............................................................................................. i
LEMBAR PENGESAHAN .................................................................................. v
ABSTRAK ............................................................................................................ vii
ABSTRACT .......................................................................................................... ix
KATA PENGANTAR .......................................................................................... xi
DAFTAR ISI ........................................................................................................ xiii
DAFTAR GAMBAR ..........................................................................................xiv
DAFTAR TABEL ................................................................................................. xix
BAB 1 PENDAHULUAN
1.1. Latar Belakang ............................................................................. 1
1.2. Perumusan Masalah ....................................................................... 6
1.3. Tujuan Penelitian ........................................................................... 6
1.4. Manfaat Penelitian ......................................................................... 7
1.5. Batasan Masalah ............................................................................ 7
BAB 2 KAJIAN PUSTAKA DAN DASAR TEORI
2.1 Model Bisnis Ketenagalistrikan ..................................................... 9
2.2 Pengelolaan Pembangkit Tenaga Listrik ........................................ 13
2.3 Alih Daya Pengelolaan Pembangkit Listrik .................................... 18
2.4 Penelitian Terdahulu ....................................................................... 27
2.5 Pemodelan Sistem Dinamik............................................................ 29
2.6 Penggunaan Sistem Dinamik untuk Pemodelan Pengelolaan
Pembangkit Listrik ............................................................................... 36
2.7 Aspek Reliability (Keandalan) Pembangkit Listrik ........................ 38
2.8 Tata Niaga Pembangkit Listrik di Indonesia .................................. 45
2.9 Pemodelan Biaya Operasi dan Efisiensi Pembangkit Listrik ......... 52
2.10 Pemodelan Biaya Pemeliharaan Pembangkit Berbasis Keandalan 54
2.11 Pemilihan Software untuk Pemodelan Sistem Dinamik ............... 57
BAB 3 METODOLOGI PENELITIAN
3.1 Metodologi Penelitian..................................................................... 61
xiv
3.2 Causal Loop Diagram dan Stock&Flow Diagram ......................... 64
3.3 Pengumpulan Data .......................................................................... 67
3.4 Verifikasi Model ............................................................................. 68
3.5 Simulasi Model ............................................................................... 71
3.6 Validasi Hasil Simulasi ................................................................... 71
BAB 4 DATA DAN PEMBAHASAN
4.1 Pengembangan Model Dinamik...................................................... 73
4.2 Identifikasi Variabel dan Formulasi Model .................................... 84
4.3 Verifikasi Model ............................................................................. 100
4.4 Uji Validitas .................................................................................... 113
4.5 Simulasi .......................................................................................... 114
4.6 Analisis Keputusan ......................................................................... 122
BAB 5 KESIMPULAN DAN SARAN
5.1 Kesimpulan ..................................................................................... 124
4.2 Saran ............................................................................................... 124
DAFTAR PUSTAKA ........................................................................................... 127
LAMPIRAN
BIOGRAFI PENULIS
xv
DAFTAR GAMBAR
Gambar 2.1 Skema Penyediaan Tenaga Listrik .................................................... 9
Gambar 2.2 Kapasitas Terpasang Pembangkit Sampai Tahun 2016 .................... 10
Gambar 2.3 Distribusi Energi Listrik Berdasar Jenis Pembangkit Tahun 2016 ... 11
Gambar 2.4 Persyaratan Kunci Fungsional Pembangkitan Tenaga Listrik ......... 13
Gambar 2.5 Skema Bisnis Pembangkitan Tenaga Listrik di Indonesia ................ 15
Gambar 2.6 Peta Teknik/Ekonomi Pengelolaan Pembangkit ............................... 16
Gambar 2.7 Asset Life Cycle ................................................................................. 18
Gambar 2.8 Pengambilan Keputusan Alih Daya Berdasar Jenis Bisnis dan
Ketersediaan Kompetensi...................................................................................... 20
Gambar 2.9 Model Outsourcing Berdasar Lingkup Pekerjaan ............................. 23
Gambar 2.10 Alur Kegiatan Proses Pelaksanaan Pekerjaan Usaha Ketenagalistrikan
............................................................................................................................... 25
Gambar 2.11 Alur Proses Bisnis Sebagai Asset Owner-Asset Manager-Asset
Operator................................................................................................................. 26
Gambar 2.12 Alur Proses Bisnis Sebagai Asset Manager-Asset Operator .......... 27
Gambar 2.13 Framework untuk Struktur Sistem Forrester ................................... 30
Gambar 2.14 Causal Loop Diagram Sederhana ................................................... 33
Gambar 2.15 Tahapan Pemodelan Menggunakan Sistem Dinamik...................... 34
Gambar 2.16 Bathub Failure Rate Curve ............................................................. 39
Gambar 2.17 Sistem Hubungan Serial .................................................................. 42
Gambar 2.18 Sistem Hubungan Paralel ................................................................ 43
Gambar 2.19 Sistem Hubungan Stand By ............................................................. 44
Gambar 2.20 Ilustrasi Transaksi terkait Energi Reaktif ........................................ 49
Gambar 2.21 Fault Tree Diagram untuk Perhitungan Loss Output PLTU .......... 54
Gambar 3.1 Block Diagram Metodologi Penelitian .............................................. 62
Gambar 3.2 Causal Loop Diagram Bisnis Proses Pembangkit Listrik ................. 64
Gambar 3.3 Stock and Flow Diagram................................................................... 66
Gambar 3.4 Data Penelitian Berdasar Sumbernya ................................................ 67
Gambar 4.1 Struktur Model Ketersediaan ............................................................ 74
xvi
Gambar 4.2 Perhitungan Konstanta Weibull menggunakan Software Minitab .... 75
Gambar 4.3 Struktur Model Keandalan dan Laju Kegagalan ............................... 76
Gambar 4.4 Struktur Model Biaya Operasi ........................................................... 77
Gambar 4.5 Struktur Model Biaya Pemeliharaaan ................................................ 78
Gambar 4.6 Struktur Model Pemeliharaan Rutin .................................................. 79
Gambar 4.7 Korelasi Alokasi Sumber Daya antar Jenis Pemeliharaan ................ 79
Gambar 4.8 Struktur Model Biaya Material Pemeliharaan Rutin ......................... 80
Gambar 4.9 Struktur Model Biaya Overhaul ........................................................ 81
Gambar 4.10 Struktur Model Biaya Pemeliharaan Project ................................... 82
Gambar 4.11 Sub Struktur Model Cash Flow ....................................................... 82
Gambar 4.12 Korelasi antara NPHR dan Beban Pembangkit ............................... 89
Gambar 4.13 Pareto Heat Rate PLTU Paiton 9 Desember 2017........................... 90
Gambar 4.14 Korelasi antara Konstanta Weibull pada PM Compliance Peralatan
Utama .................................................................................................................... 94
Gambar 4.15 Korelasi antara Konstanta Weibull pada PM Compliance Peralatan
Pendukung ............................................................................................................. 94
Gambar 4.16 Korelasi antara Konstanta Weibull (β) dengan Anggaran Investasi 96
Gambar 4.17 Korelasi antara Konstanta Weibull (α) dengan Anggaran Investasi 96
Gambar 4.18 Tren Harga LRC kelas 4200 kCal/kg .............................................. 98
Gambar 4.20 Tren Suku Bunga ............................................................................. 99
Gambar 4.21 Uji Logika Balancing Feedback Loop ............................................ 101
Gambar 4.22 Uji Logika Reinforce Feedback Loop ............................................. 101
Gambar 4.23 Pengujian Eksistensi Closed Loop pada Model............................... 102
Gambar 4.24 Pengujian Struktur Model oleh Vensim .......................................... 102
Gambar 4.25 Pengujian Konsistensi Satuan oleh Vensim .................................... 103
Gambar 4.26 Uji Sensitivitas terkait Ketepatan Eksekusi Serious Inspection ...... 105
Gambar 4.27 Uji Sensitivitas terkait Alokasi Anggaran untuk NPHR Improvement
............................................................................................................................... 106
Gambar 4.28 Uji Sensitivitas terkait Tarif Kontraktor O&M ............................... 108
Gambar 4.29 Uji Sensitivitas terkait Dispatch CF ................................................ 109
Gambar 4.30 Uji Sensitivitas terkait Harga Batu Bara ......................................... 111
Gambar 4.31 Grafik Availability versus Waktu .................................................... 117
xvii
Gambar 4.32 Perbandingan Rerata Availability pada Tiap Skenario .................... 118
Gambar 4.33 Grafik Net Cash Flow versus Waktu............................................... 119
Gambar 4.34 Grafik Net Present Value versus Waktu ......................................... 120
Gambar 4.35 Perbandingan Net Present Value Keempat Skenario O&M ............ 121
xviii
Halaman ini sengaja dikosongkan
xix
DAFTAR TABEL
Tabel 1.1 Perbandingan Tarif Listrik Beberapa Negara di ASEAN ..................... 2
Tabel 2.1 Rata-rata Biaya Pembangkitan Periode 2011-2016 .............................. 12
Tabel 2.2 Rangkuman Rumus untuk Menghitung Reliability, Failure Rate, dan
MTTF. ................................................................................................................... 40
Tabel 2.3 Siklus Overhaul pada Beberapa Jenis Pembangkit ............................... 57
Tabel 2.4 Daftar Software untuk Pemodelan Sistem Dinamik ............................. 58
Tabel 2.4 Perbandingan Lima Software Sistem Dinamik ..................................... 58
Tabel 4.1 Kategori Status Pembangkit di Navitas ................................................ 85
Tabel 4.2 Identifikasi Distribusi Data TTF ........................................................... 85
Tabel 4.3 – Rencana dan Realisasi Jadwal Overhaul Pembangkit Existing (dikerjakan
UPHAR) ................................................................................................................ 86
Tabel 4.4 – Rencana dan Realisasi Jadwal Overhaul Pembangkit UBJOM (dikerjakan
PJBS) ..................................................................................................................... 87
Tabel 4.5 Faktor Koreksi Durasi Overhaul berdasar Jenisnya .............................. 88
Tabel 4.6 Biaya Perbaikan NPHR ......................................................................... 91
Tabel 4.7 Distribusi TTR Level Plant ................................................................... 92
Tabel 4.8 Variabel terkait Pemeliharaan Rutin ..................................................... 93
Tabel 4.9 Variabel terkait Overhaul...................................................................... 95
Tabel 4.10 Variabel terkait Model Cash Flow ...................................................... 97
Tabel 4.11 Variabel terkait Faktor Pembebanan oleh P2B ................................... 99
Tabel 4.12 Tarif PPH Badan ................................................................................. 100
Tabel 4.13 Kondisi Uji Sensitivitas Variabel Input .............................................. 104
Tabel 4.14 Hasil Uji Sensitivitas untuk Variabel Input Faktor Koreksi SE.......... 104
Tabel 4.15 Hasil Uji Sensitivitas untuk Variabel Input Persen Alokasi Anggaran
untuk Perbaikan NPHR ......................................................................................... 106
Tabel 4.16 Hasil Uji Sensitivitas untuk Tarif Biaya Jasa O&M ........................... 107
Tabel 4.17 Hasil Uji Sensitivitas untuk Dispatch CF ........................................... 109
Tabel 4.18 Hasil Uji Sensitivitas untuk Harga Batu Bara ..................................... 110
Tabel 4.19 Perbandingan Hasil Uji Sensitivitas dengan 5 Variabel Input ............ 112
xx
Tabel 4.20 Perbandingan Sensitivitas Tiap Variabel Input ................................... 112
Tabel 4.21 Resume Perhitungan MAPE ............................................................... 114
Tabel 4.22 Interpretasi Asumsi dalam Model ....................................................... 117
Tabel 4.23 Rekapitulasi NPV pada Tahun ke-10 .................................................. 117
Tabel 4.24 Perbandingan Hasil Simulasi untuk Pengambilan Keputusan ............ 122
1
BAB 1
PENDAHULUAN
1.1. Latar Belakang
Pemerintah terus berupaya meningkatkan rasio elektrifikasi di Indonesia
dilakukan diantaranya melalui perencanaan pertumbuhan penjualan,
pengembangan pembangkit, transmisi, dan distribusi. Pengembangan pembangkit
salah satunya melalui program 35 GW sampai tahun 2019. Pengembangan
pembangkit diupayakan secara optimal dengan prinsip biaya penyediaan listrik
terendah (least cost), dengan tetap memenuhi tingkat keandalan yang wajar dalam
industri tenaga listrik. Biaya penyediaan terendah dicapai dengan meminimalkan
Net Present Value semua biaya penyediaan tenaga listrik yang terdiri dari biaya
investasi, biaya bahan bakar, biaya operasi dan pemeliharaan, dan biaya energy not
served. Tingkat keandalan system pembangkitan diukur dengan kriteria Loss of
Load Probability (LOLP) dan cadangan daya (ESDM, 2016).
Untuk sistem kelistrikan Jawa-Bali, PT PLN (Persero) – yang selanjutnya
disebut PLN- telah merencanakan PLTU batu bara kelas 1.000 MW dengan
teknologi ultra super critical (clean coal technology) untuk memperoleh efisiensi
yang lebih baik dan emisi CO2 yang lebih rendah. Untuk sistem Sumatera juga
mulai direncanakan pengembangan PLTU memanfaatkan teknologi batu bara
bersih (clean coal technology) dengan kelas kapasitas 600 MW. Sedangkan untuk
sistem Kalimantan dan Sulawesi sudah mulai dikenalkan PLTU dengan kapasitas
200 MW untuk mendapatkan efisiensi yang lebih baik daripada kapasitas yang ada
saat ini. Semua kondisi tersebut dimaksudkan agar penyediaan tenaga listrik berada
pada tingkat keekonomian yang optimal. Pembangkit listrik, baik yang dikelola
PLN, anak perusahaan, maupun Independent Power Producer (IPP) harus
mengoptimalkan operasionalnya sehingga Biaya Pokok Penyediaan Tenaga Listrik
(BPPTL) paling minimal tanpa mengabaikan kualitas layanan dan kendalan.
Harga energi listrik di Indonesia masih tergolong tinggi. Tarif PLN relatif
tinggi dibandingkan tarif listrik beberapa negara di ASEAN (Tabel 1.1). Menaikkan
tarif tenaga listrik PLN akan semakin menurunkan daya beli masyarakat dan tingkat
2
competitiveness industri dalam negeri. Tidak ada pilihan bagi PLN, kecuali
menurunkan biaya produksi agar bisnis PLN tetap berkesinambungan.
Tabel 1.1 Perbandingan Tarif Listrik Beberapa Negara di ASEAN
Jenis
Pengguna
Indonesia
(Rp/kWh)
Malaysia
(Rp/kWh)
Thailand
(Rp/kWh)
Singapura
(Rp/kWh)
Philipina
(Rp/kWh)
Vietnam
(Rp/kWh)
Rumah
tangga
1.467 1.374 1.351 1.878 2.109 1.279
Bisnis
menengah-
TR
1.467 1.867 1.135 1.321 1.262 1.596
Bisnis
besar-TM
1.115 1.320 1.114 1.293 1.229 1.468
Industri
menengah-
TM
1.115 1.140 1.270 1.205 1.196 948
Industri
besar-TT
997 1.066 1.270 1.175 1.188 901
Periode
Tarif Januari 2017
Sumber : PLN, 2017
Tarif keekonomian yang sudah mulai diberlakukan sejak tahun 2015
seharusnya memberikan keuntungan bagi PLN. Kenyataannya, berdasarkan
realisasi tahun 2016 adalah sebagai berikut:
• Untuk penjualan non subsidi / tarif keekonomian (64,4%), harga jual rata-rata
tenaga listrik sebesar Rp 1.197,7/kWh, sementara BPP sebesar Rp
1.265,0/kWh sehingga perseroan membukukan rugi sebesar Rp 67,3/kWh
(ekuivalen Rp 9,4 triliun)
• Untuk penjualan bersubsidi (35,6%), harga jual rata-rata tenaga listrik
sebesar Rp 618,9/kWh plus subsidi listrik sebesar Rp 785,3/kWh memberikan
margin sebesar Rp 139,2/kWh (ekuivalen Rp 10,7 triliun). Perseroan masih
membukukan laba tahun 2016 sebesar Rp10,5 triliun, sumbernya dari : (1)
penjualan tenaga listrik Rp1,3 triliun; (2) Pendapatan BP sebesar Rp 7,1 triliun;
(3) Pendapatan Non Listrik Rp 1,7 triliun; (4) Pendapatan bunga dan lain-lain
bersih Rp 1,6 triliun dan (5) Laba Selisih Kurs sebesar Rp 4,2 triliun. Dari sini
diperlukan strategi yang tepat sehingga disamping secara korporasi
3
menghasilkan keuntungan, PLN masih data memberikan pelayanan terbaik
baik masyarakat.
Pembangkitan tenaga listrik merupakan bisnis yang kompleks. Di
dalamnya terdapat perpaduan antara teknologi tinggi, padat modal, serta tuntutan
kompetensi yang tinggi. Pada masa sebelumnya, bisnis ini sepenuhnya dikelola
PLN dari awal sampai akhir, namun untuk menjawab tuntutan kebutuhan dan
kualitas, skema ini pun berubah. Tingginya investasi, dijawab dengan dibukanya
kran IPP. Adapun untuk menjawab kebutuhan teknologi dan kompetensi, muncul
alternatif alih daya (outsourcing) untuk pengelolaan Operation and Maintenance
(O&M). Belakangan ini, banyak bermunculan perusahaan yang bergerak di bidang
jasa O&M. Layanan ini biasanya merupakan diversifikasi dari bisnis inti mereka
sebagai pemilik pembangkit listrik maupun perusahaan perusahaan energi yang
lain.
PT Pembangkitan Jawa Bali (selanjutnya disebut PJB) adalah anak
perusahaan PLN yang bergerak di bidang pembangkitan tenaga listrik. Pada
awalnya, perusahaan yang didirikan pada 3 Oktober 1995 tersebut mengelola enam
pembangkit milik sendiri, yaitu Unit Pembangkitan (UP) Gresik (PLTU, PLTG,
PLTGU gas dan minyak), UP Paiton (PLTU batu bara), UP Brantas (PLTA), UP
Muara Karang (PLTU, PLTGU gas dan minyak), UP Muara Tawar (PLTGU gas
dan minyak), dan UP Cirata (PLTA) dengan total kapasitas terpasang 6.989 MW.
Namun pada perkembangannya, bisnis PJB juga bergerak di bidang O&M
pembangkit, joint venture membentuk perusahaan IPP, Engineering Procurement
Construction (EPC), konsultan manajemen aset, penyedia suku cadang
pembangkit, dan yang paling terkini bergerak juga di bidang investasi pembangkit
(PJB, 2017).
Pembangkit yang dikembangkan PJB sebagai IPP melalui perusahaan joint
venture sebesar 4.660 MW, terdiri atas PLTU Cilacap (2 x 300 MW), PLTU Cilacap
Ekspansi 1 (1 x 660 MW), PLTU Cilacap Ekspansi 2 (1 x 1000 MW), PLTU
Asahan 1 (2 x 90 MW), PLTU Banjarsari (2 x 110 MW), dan PLTU Jawa 7 (2 x
1000 MW).
Bisnis di bidang jasa O&M dilakukan oleh PJB sendiri,melalui Anak
Perusahaan PT PJB Services (selanjutnya disebut PJBS), dan mendirikan joint
4
venture company. Total pembangkit yang dikelola PJB melalui jasa O&M sebesar
7.001 MW yang tersebar di 25 (sembilan belas) lokasi. PJB mengelola 7 (tujuh)
Unit Bisnis Jasa Operasi dan Pemeliharaan (UBJOM) di Jawa, sedangkan PJBS
mengelola 17 (tujuh belas) Unit Bisnis Jasa Operasi dan Pemeliharaan (UBJOM)
di luar Jawa. Sedangkan perusahaan joint venture PJB mengelola 1 (satu) unit
pembangkit di Jawa. Jasa O&M yang dikelola oleh PJB melalui UBJOM Jawa
sebesar 4.605 MW tersebar di 7 (tujuh). Jasa O&M yang dikelola oleh perusahaan
joint venture adalah PLTU Tanjung Jati B Unit #3 dan #4 dengapapan kapasitas 2
x 660 MW yang berlokasi di Jepara, Jawa Tengah. Pengelolaan jasa O&M tersebut
dilakukan oleh PJB bermitra dengan perusahaan asal Korea yakni Korea Midland
Power dengan mendirikan perusahaan joint venture bernama PT Komipo
Pembangkitan Jawa Bali (KPJB) (PJB, 2017).
Mengacu alir proses bisnis pembangkitan yang ditetapkan oleh Asosiasi
Perusahaan Penyedia Listrik Nasional (Appelin), skema jasa O&M yang dilakukan
PJB pun bervariasi. Untuk UBJOM Jawa, awalnya PJB bertindak sebagai asset
operator dimana asset manager dipegang PLN Unit Pembangkitan Jawa Bali
(UPJB), namun sejak 2016 diperluas menjadi asset manager sekaligus asset
operator. Adapun dalam pengelolaan PLTU Tanjung Jati B dan UBJOM luar Jawa,
PJB hanya bertindak sebagai asset operator. Dari sini diperlukan justifikasi yang
tepat dalam menentukan model O&M yang digunakan, baik PJB sebagai asset
owner (perusahaan IPP) atau sebagai perusahaan jasa O&M yang mengoperasikan
pembangkit milik perusahaan lain.
Kembali terkait aktivitas alih daya O&M pembangkit, keputusan alih daya
pembangkit tenaga listrik didasari tiga alasan, yaitu efisiensi biaya, strategi
pengisian tenaga kerja untuk aktivitas non inti, maupun untuk pengalihan risiko
(Mercer, 2009). Dari sini muncul beberapa alternatif alih daya, diantaranya
menyerahkan seluruh pengelolaan pembangkit kepada perusahaan lain,
menyerahkan pengelolaan hanya pada level eksekusi, atau mengalihkan ke
perusahaan lain hanya untuk aktivitas tertentu saja. Masing-masing pilihan
membawa konsekuensi yang baik secara langsung maupun tidak langsung akan
mempengaruhi pencapaian keuntungan bagi pemilik aset.
5
Secara sederhana, laba berbanding lurus dengan pendapatan (revenue) dan
berbanding terbalik dengan biaya (cost). Namun pada prakteknya, perhitungan
bisnis pembangkitan bersifat multi variabel, dimana satu variabel dengan yang lain
saling berhubungan sebab akibat. Hubungan tersebut ada yang bersifat menguatkan
(positive feedback) atau melemahkan (negative feedback). Semua proses bersifat
simultan, untuk itu analisis harus dilakukan bersamaan (Zhaodong et al, 2015).
Sistem dinamik adalah pemodelan menggunakan simulasi komputer untuk
mempelajari dan mengatur sistem umpan balik yang kompleks, seperti yang terjadi
di bisnis atau sistem sosial. Dapat pula didefinisikan sebagai sebuah pendekatan
untuk memahami perilaku sistem kompleks dalam fungsi waktu. Hal ini terkait
dengan sistem umpan balik internal dan waktu tunda yang berdampak pada perilaku
sistem secara keseluruhan (Sontamino, 2008).
Tesis ini bertujuan membuat model untuk mengoptimasi beberapa
alternatif pemilihan model O&M yang dipergunakan dalam mengelola aset
pembangkit sehingga bisa memberikan keuntungan maksimal. Beberapa variabel
yang berpengaruh dimodelkan perilakunya menggunakan metode sistem dinamik
dengan fungsi obyektif memaksimalkan keuntungan dan keandalan (reliability).
Pada rentang waktu yang panjang, reliability sering dinyatakan dalam ketersediaan
(availability). Analisis menggunakan pemodelan reliability merupakan novelty
(kebaruan) dari tesis ini yang memungkinkan Decision Support System (DSS)
mendekati karakteristik operasional pembangkit dalam konteks life cycle cost
management.
Terkait siklus Life Cycle Cost (LCC), biaya dibatasi yang terkait pada fase
Operation and Maintenance (O&M). Beberapa opsi O&M yang disimulasikan
adalah : (a) seluruh aktivitas di O&M dikerjakan internal pemilik aset, (b) aktivitas
O&M dialihdayakan untuk cakupan asset manager dan asset operator, (c) aktivitas
O&M dialihdayakan untuk cakupan asset operator untuk seluruh aset pembangkit,
dan (d) aktivitas O&M dialihdayakan untuk cakupan asset operator hanya untuk
balance of plant (peralatan pendukung) saja.
Simulasi model dilakukan dalam rentang waktu 10 tahun, yang merupakan
2 (satu) siklus Rencana Jangka Panjang Perusahaan (RJPP). Disamping itu, kontrak
jasa O&M biasanya dalam periode multi year. Hasil simulasi kemudian divalidasi
6
dengan data riil pembangkit pada kelas kapasitas yang sesuai. Karena formulasi
model merupakan fungsi waktu, maka dapat diketahui profit beserta keandalan
pembangkit pada waktu tertentu. Mengacu hasil pemodelan, keputusan O&M bisa
saja berubah setelah tahun tertentu tergantung reliability dan biaya yang
ditimbulkan. Misalkan ketika usia pembangkit masih muda, reliability masih tinggi,
biaya pemeliharaan masih rendah, mengelola O&M oleh sumber daya internal
barangkali paling menguntungkan. Namun ketika pembangkit sudah cukup tua,
angka kegagalan peralatan tinggi, biaya pemeliharaan juga semakin mahal, alih
daya bisa jadi keputusan yang tepat. Dengan iklim bisnis ketenagalistrikan yang
sangat dinamis, tool ini akan bermanfaat bagi PJB dalam menentukan strategi O&M
baik sebagai pemilik aset maupun sebagai perusahaan jasa O&M.
1.2. Perumusan Masalah
Berdasar latar belakang yang telah dipaparkan di atas, fokus penelitian ini
adalah membangun Decission Support System (DSS) dengan menggunakan sistem
dinamik untuk membantu pengambilan keputusan pengelolaan pembangkit.
Keputusan yang diambil diantaranya untuk menentukan model Operation and
Maintenance (O&M) PLTU batu bara yang memberikan manfaat terbesar bagi
pemilik aset pembangkit, diukur dari Net Present Value (NPV) dan tingkat
keandalan (reliability). Opsi O&M yang diuji dalam penelitian ini adalah : (1)
seluruh aktivitas di O&M dikerjakan internal pemilik aset, (2) aktivitas O&M
dialihdayakan untuk cakupan asset manager dan asset operator, (3) aktivitas O&M
dialihdayakan untuk cakupan asset operator untuk seluruh aset pembangkit, dan (4)
aktivitas O&M dialihdayakan untuk cakupan asset operator hanya untuk balance of
plant (peralatan pendukung). Disamping itu, dapat diketahui faktor yang paling
sensitif mempengaruhi Net Present Value (NPV) dan tingkat ketersediaan
(availability) dari empat opsi O&M yang telah disebutkan di atas.
1.3. Tujuan Penelitian
Mengacu pada rumusan masalah penelitian diatas, maka tujuan penelitian
adalah sebagai berikut :
7
1. Menentukan opsi O&M yang memberikan Net Present Value (NPV) dan
tingkat ketersediaan (availability) maksimal untuk pengelolaan PLTU batu
bara.
2. Menentukan faktor yang paling sensitif mempengaruhi pencapaian Net
Present Value (NPV) dan tingkat ketersediaan (availability) dalam
pengelolaan PLTU batu bara.
1.4. Manfaat Penelitian
Penelitian ini menghasilkan struktur model sistem dinamik sebagai
decision support system dalam menentukan mekanisme O&M PLTU batu bara
yang memberikan keuntungan maksimal. Tool ini sangat bermanfaat bagi PJB jika
hendak memulai proyek pembangkit baru, baik sebagai pemilik aset maupun
sebagai perusahan O&M. Sebagai pemilik aset, pemilihan O&M yang tepat untuk
meningkatkan pengembalian aset (ROA atau ROE). Sedang sebagai perusahaan
O&M, hasil penelitian ini bermanfaat untuk menentukan strategi pengelolaan
pembangkit yang tepat utuk memaksimalkan keuntungan. Karena model
melibatkan pengukuran reliability yang merupakan fungsi waktu, metode ini juga
bermanfaat dalam menentukan strategi O&M pembangkit existing (aset milik PJB
sendiri) untuk menurunkan Biaya Pokok Persediaan (BPP).
1.5. Batasan Masalah
Batasan masalah dalam penelitian ini antara lain :
1. Objek penelitian adalah PLTU batu bara menggunakan teknologi
Pulverized Coal Boiler dengan kapasitas di atas 300 MW.
2. Struktur biaya yang dianalisis adalah sebatas biaya pada fase Operation
and Maintenance (O&M) dengan asumsi biaya akuisisi dan biaya disposal
dilakukan dengan skema pendanaan yang berbeda.
3. Faktor keandalan (reliability) peralatan yang dianalisis pada useful life
period dengan failure rate yang terdistribusi sesuai persamaan tertentu.
4. Sebagai boundary condition, obyek penelitian diposisikan sebagai pemilik
aset.
8
Halaman ini dibiarkan kosong
9
BAB 2
KAJIAN PUSTAKA DAN DASAR TEORI
2.1. Model Bisnis Ketenagalistrikan
Undang-undang No 30 tahun 2009 tentang Ketenagalistrikan mengatur
usaha penyediaan tenaga listrik, yang di dalamnya terdiri atas aktivitas
pembangkitan tenaga listrik, transmisi tenaga listrik, distribusi tenaga listrik,
dan/atau penjualan tenaga listrik. Gambar 2.1 secara mudah menjelaskan hal
tersebut.
Gambar 2.1 Skema Penyediaan Tenaga Listrik (PJB Academy, 2015)
Masing-masing proses dapat dijelaskan sebagai berikut :
1. Pembangkit Tenaga Listrik
Pada area bisnis ini dilakukan konversi energi dari energi primer
menjadi energi listrik. Jenis energi yang dikonversikan menentukan sebutan
jenis pembangkit. Disamping dikelola PLN pembangkitan dan anak
perusahaan, pemerintah membuka peluang swasta untuk berperan
menyediakan tenaga listrik melalui skema Independent Power Producer (IPP),
10
maupun penjualan kelebihan energi listrik yang diproduksi industri untuk
keperluan sendiri, disebut captive power.
Pada akhir Desember 2016, total kapasitas terpasang dan jumlah unit
pembangkit PLN (Holding dan Anak Perusahaan) mencapai 39.785,06 MW
dan 5.235 unit, dengan 29.602,37 MW (74,41%) berada di Jawa. Total
kapasitas terpasang meningkat 3,97% dibandingkan dengan akhir Desember
2015. Prosentase kapasitas terpasang per jenis pembangkit sebagai berikut :
PLTU 19.856,35 MW (49,91%), PLTGU 9.204,11 MW (23,13%), PLTD
3.353,80 MW (8,43%), PLTA 3.567,83 MW (8,97%), PLTG 3.208,15 MW
(8,06%), PLTP 580,89 MW (1,46%), PLT Surya dan PLT Bayu 13,93 MW
(0,03%). Adapun total kapasitas terpasang nasional termasuk sewa dan IPP
adalah 54.664,50 MW (PLN, 2017). Kapasistas terpasang pembangkit PLN
sampai tahun 2016 diilustrasikan pada Gambar 2.2.
Gambar 2.2 Kapasitas Terpasang Pembangkit Sampai Tahun 2016 (PLN, 2017)
Adapun distribusi energi pada masing-masing jenis pembangkit
dijelaskan pada gambar 2.3.
11
Gambar 2.3 Distribusi Energi Listrik Berdasar Jenis Pembangkit Tahun 2016 (PLN,
2017)
2. Transmisi Tenaga Listrik
Listrik yang diproduksi pembangkit listrik, dinaikkan tegangannya dan
disalurkan untuk mendekati konsumen. Tegangan kerja pada sistem transmisi
bervariasi sesuai peruntukan, mulai 500 kV sampai 25 kV. Berbeda dengan
pembangkitan yang memberikan peluang swasta berkontribusi, pada area
transmisi berlaku sistem single buyer. Energi listrik harus dijual ke PLN, yang
dalam hal ini diwakili oleh PLN Transmisi. Selanjutnya dilakukan dispatching
energi listrik oleh PT PLN (Persero) Pusat Pengaturan Beban (selanjutnya
disebut P2B) menurut sistem keandalan dan keekonomian. Di sini berlaku
merit order system, bahwa urutan pembangkit yang dipanggil beroperasi
adalah berdasar peringkat Rp/kWh dari sisi biaya bahan bakar. Semakin murah
sebuah pembangkit, maka peluang berproduksi akan semakin besar. Derajat
utilisasi pembangkit dinyatakan dalam Capacity Factor (CF). Data Rp/kWh
beberapa jenis pembangkit dijelaskan pada Tabel 2.1
Pada akhir tahun 2016, total panjang jaringan transmisi mencapai
44.065,42 kms, yang terdiri atas jaringan 500 kV sepanjang 5.056,27 kms, 275
kV sepanjang 1.856,48 kms, 150 kV sepanjang 32.423,02 kms, 70 kV
sepanjang 4.669,32 kms dan 25 & 30 kV sepanjang 60,33 kms.
12
Tabel 2.1 Rata-rata Biaya Pembangkitan Periode 2011-2016
Tahun PLTA PLTU PLTD PLTG PLTP PLTGU PLTS Rata-
rata
2011 155,79 588,47 2.536,85 2.260,96 792,61 960,58 - 1.051,14
2012 155,87 810,14 3.168,58 2.362,99 1.121,50 1.001,80 - 1.217,28
2013 166,66 719,52 3.286,13 2.954,28 1.103,50 1.159,20 - 1.206,67
2014 189,19 726,37 3.064,30 2.892,80 1.306,88 1.335,74 - 1.296,73
2015 211,19 541,78 7.969,86 3.306,22 879,83 1.054,99 6.624,36 920,22
2016 271,90 532,38 1.828,39 3.103,64 1.016,37 1.085,07 5.853,84 856,28
*) Tahun 2011 tidak termasuk sewa pembangkit
Sumber : PLN, 2017
Total panjang jaringan distribusi sepanjang 887.241,07 kms, terdiri atas
JTM sepanjang 359.747,24 kms dan JTR sepanjang 527.493,83 kms. Kapasitas
terpasang trafo gardu induk sebesar 98.898 MVA, meningkat 6,74% dari tahun
sebelumnya. Jumlah trafo gardu induk sebanyak 1.573 unit, terdiri atas trafo
sistem 500 kV sebanyak 58 unit, sistem 275 kV sebanyak 16 unit, sistem 150
kV sebanyak 1.291 unit, sistem 70 kV sebanyak 206 unit, dan sistem< 30 kV
sebanyak 2 unit. Kapasitas terpasang dan jumlah trafo gardu distribusi menjadi
50.099 MVA dan 433.511 unit. Kapasitas terpasang dan jumlah trafo
mengalami peningkatan masing-masing sebesar 6,30% dan 6,90% (PLN,
2017).
3. Distribusi Tenaga Listrik, dan / atau Penjualan Tenaga Listrik
Area ini merupakan frontliner bisnis PLN, yang saat ini dipercayakan
kepada PLN Distribusi. Unit ini mengelola sistem distribusi listrik pada
tegangan rendah 20 kV dan kemudian menjual ke masing-masing rumah
pelanggan
Jumlah energi listrik terjual pada tahun 2016 sebesar 216.004,32 GWh
meningkat 6,49% dibandingkan tahun sebelumnya. Kelompok pelanggan
Industri mengkonsumsi 68.145,32 GWh (31,55%), Rumah Tangga 93.634,63
GWh (43,35%), Bisnis 40.074,38 GWh (18,55%), dan Lainnya (sosial, gedung
pemerintah dan penerangan jalan umum) 14.149,99 GWh (6,55%). Penjualan
energi listrik untuk kelompok pelanggan yaitu Rumah Tangga, Bisnis, Industri
dan Lainnya mengalami peningkatan masing-masing sebesar 5,58%, 8,37%,
13
6,35% dan 7,96%. Jumlah pelanggan pada akhir tahun 2016 sebesar
64.282.493 pelanggan meningkat 5,09% dari akhir tahun 2015. Harga jual
listrik rata rata per kWh selama tahun 2016 sebesar Rp 991,37 lebih rendah dari
tahun sebelumnya sebesar Rp 1.034,50 (PLN, 2017).
2.2. Pengelolaan Pembangkit Tenaga Listrik
Pengelolaan pembangkit listrik merupakan bisnis dengan teknologi tinggi
dan padat modal. Untuk itu pengelolaan pembangkit saat ini melibatkan beberapa
pihak yang masing-masing saling bersinergi. Mercer (2009) menjelaskan hubungan
beberapa stakeholder tersebut dalam block diagram seperti ditunjukkan pada
Gambar 2.4.
Gambar 2.4 Persyaratan Kunci Fungsional Pembangkitan Tenaga Listrik (Mercer,
2009)
Secara garis besar, faktor-faktor yang mempengaruhi bisnis
ketenagalistrikan terbagi menjadi tiga kelompok besar, yaitu fungsi finansial, fungsi
energi, dan fungsi manajemen aset. Kelompok pertama mengelola aspek keuangan,
termasuk hutang, manajemen saham, dan mitigasi risiko keuangan. Pada fase
pembangunan, keputusan mengenai struktur pendanaan ataupun investasi besar
pada fase pengoperasian.
14
Beberapa risiko selama pengoperasian pembangkit yang tidak bisa
dimitigasi, bisa ditranser ke pihak lain. Long Term Part and Services Agreement
(LTPSA) kepada vendor maupun asuransi menjadi opsi dalam mentransfer risiko.
Pada skema LTPSA, vendor menjamin ketersediaan part utama beserta jasa
pemeliharaan. Sedangkan asuransi akan menangani risiko terkait kerusakan
pembangkit yang terjadi tiba-tiba dan tanpa unsur kesengajaan, sesuai polis yang
dibeli. Pihak pemilik aset atau pelaksana jasa O&M akan membayar premi setiap
tahun. Dan pada saat klaim, terdapat biaya risiko tanggung sendiri (deductible) yang
harus dikeluarkan (Grace, 2005).
Kunci penting kedua mengenai manajemen energi, meliputi penyediaan
energi primer dan penjualan energi tenaga listrik. Bisa dikatakan, aspek ini
merupakan risiko terbesar pada pengelolaan bisnis pembangkitan karena terkait
sustainibilitas bisnis. Pemilik aset memitigasi risiko penjualan ini melalui kontrak
Power Purchase Agreement (PPA) jangka panjang. Hal yang sama juga dilakukan
unuk penyediaan energi primer. Bahkan untuk menjaga harga yang biasanya
dinyatakan dalam mata uang asing, dilakukan hedging.
Kunci penting ketiga terkait aktivitas manajemen aset fisik, termasuk
operasi-pemeliharaan pembangkit, enjinering, pengadaan, dan logistik. Di sini,
pemilik aset memiliki banyak opsi untuk dipilih sehingga aset pembangkit mampu
memberikan nilai pengembalian aset maksimal. Optimasi beberapa opsi terkait
aktivitas O&M tersebut, merupakan fokus pada tesis ini.
Divisi Independent Power Producer (IPP) PLN memberikan penjelasan
senada dengan yang dipaparkan Mercer (2009) di atas sebagaimana dijelaskan pada
Gambar 2.5. Pada gambar tersebut dijelaskan pihak-pihak yang bertanggung jawab
pada setiap aktivitas. Diantaranya project sponsor bertanggung jawab pada
pemodalan, lender terkait kontrak pendanaan, fuel supplier terkait suplai energi
primer, O&M contractor untuk mengelola operasional pembangkit, EPC
contractor bertanggung jawab selama fase pembangunan, dan tentu saja PLN
sebagai pihak yang berkontrak untuk pembelian tenaga listrik (PLN, 2013).
15
Gambar 2.5 Skema Bisnis Pembangkitan Tenaga Listrik di Indonesia (PLN, 2013)
Adanya O&M contractor merupakan metode baru di PLN Group seiring
bertambahnya pembangkit yang dimiliki IPP. Pada masa sebelumnya, seluruh aset
pembangkit PLN dikelola mandiri oleh PLN maupun anak perusahaannya. Namun
pada era sekarang, pengelolaan beberapa aset pembangkit PLN juga diserahkan ke
perusahaan lain. Bahkan anak perusahaan PLN, seperti PJB dan Indonesia Power
sudah lebih 10 tahun ini juga merambah bisnis jasa O&M untuk pembangkit IPP.
Di sisi PLN group, ada dua hal penting yang perlu diperhatikan terkait skema bisnis
ini. Sebagai pemilik aset, PLN group harus mampu memilih metode O&M yang
tepat untuk meningkatkan pengembalian aset (ROA atau ROE). Sedang sebagai
perusahaan O&M, PLN Group berkepentingan untuk menentukan strategi
pengelolaan pembangkit yang tepat utuk memaksimalkan keuntungan.
Secara sederhana, untuk memaksimalkan laba (net cash flow) dilakukan
dengan memaksimalkan pendapatan dan dengan meminimalkan biaya. Electrical
Power Research Institue (EPRI) sebagai bagian program Risk-Informed Asset
Management Management (RIAM), memberikan peta teknik dan ekonomi yang di
dalamnya menyusun komponen pendapatan dan biaya pembangkit (Sliter, 2002).
16
Outage Duration
Scheduled Task
Derating
Unplanned
Outages
Planned Outages
Plant Capability
Load Dispatch
PPA Requirement
Availability/
Derates
Thermal Efficiently
Major Equipment
Failure
Fuel Demand /
Use
CO2 Costs
Produced Power
Power
Prices
Asset Salvage
Value
Ancillary Services
Power Revenue
Material/sales
(other)
Insurance Comp
Revenue
(sum of revenues)
Expenced Plant
Improvement
Proactive Maintenance
Cost
Reactive Maintenance
Cost
Operation Cost
Inventory Carrying
Costs
Plant & Engineering
Training
Fire / Accident /
Injury
Transaction Costs
Cooperation Costs
R&D & Eng
Internal Services
Internal Overheads
Supplier
Overheads
O&M Costs
Facility Costs
(taxes &
overheads)
Plant Admin & Eng
Costs
Initial Investments
Plant
Improvements
Life Ext &
Restoration
Salvage and
Decom Costs
Prevention /
mitigation
Penalties / Fines
QA Systems
Compliance Costs
Certification
Insurance
Premiums
Internal Risk
Costs / Provisions
Fuel Costs
Penalties &
Reserve Costs
CAPEX
(Investment)
OPEX
Quality / EHS
Costs
Risk Costs
Financing Costs
Overhead /
Business Costs
Life Cycle Costs
(sum of expense
and capitalized)
Net Cash Flow
Revenues – Costs
(including expenses and
captalized items) – net
taxes paid
Net Present Value of
Project
(sums of discounted cash
flow)
Discount
Rate
Taxes
Gambar 2.6 Peta Teknik/Ekonomi Pengelolaan Pembangkit (Silter, 2002)
Gambar 2.6 menunjukkan bagaimana aktivitas fisik bersama proses
internal dan eksternal berinteraksi dan berdampak pada aspek pendapatan dan
biaya. Dalam hal ini, sangat penting bagi asset manager untuk memperhatikan
hubungan dalam peta tersebut. Sebagai contoh, pendapatan sangat tergantung
dengan ketersediaan (availability) dan kapasitas pembangkit, dimana keduanya
sangat dipengaruhi oleh planned dan unplanned maintenance. Adapun kegagalan
peralatan berdampak pada unplanned maintenance.
Pelaksanaan manajemen aset bersifat end to end, artinya berfokus sejak
aset tersebut diadakan, dioperasikan, dipelihara, hingga dilimbahkan ketika usia
teknis dan ekonomisnya telah berakhir, atau diistilahkan selama periode penuh life
cycle. Barret (2007) menjelaskan Asset Life Cycle Management sebagai sebuah
proses pengelolaan aset selama periode aset tersebut dirancang dan dibangun
(acquisition) sampai saat pembongkaran dan pembuangan (disposal). Secara
umum, asset life cycle management meliputi aktivitas sebagai berikut :
17
1. Acquisition
Akuisisi mencakup aktivitas desain, modifikasi, pengadaan, konstruksi
dan commisssioning dimana biaya yang akan dikeluarkan menjadi
pertimbangan untuk mendapatkan keuntungan.
2. Operation
Periode operasi mencakup pengendalian aset dari hari kehari dalam
keseluruhan dari siklus hidup aset selama dapat berfungsi sesuai dengan
desainnya. Dalam periode tersebut, aset harus dimonitor dengan tepat dan
ditingkatkan untuk mengantisipasi berbagai perubahan kondisi atau
kebutuhan operasional.
3. Maintenance
Kegiatan pemeliharaan meliputi inspection, condition monitoring,
pengujian pengujian, refurbishment, dan atau life-extension. Penggantian
suatu equipment aset juga termasuk sebagai proses pemeliharaan dari sistem
aset.
4. Disposal
Fase ini dilakukan ketika aset tidak diperlukan lagi karena sudah tidak
ekonomis untuk dioperasikan atau direhabilitasi. Dalam fase ini dapat
dilakukan review terhadap tipe aset, konfigurasi, maupun lokasinya. Begitu
juga dapat ditinjau proses ataupun output yang dihasilkan, apakah masih
relevan dengan strategi perusahaan atau tidak. Kegiatan dalam fase ini
meliputi identifikasi, perencanaan tindakan untuk memperpanjang umur,
pembongkaran, penon-aktifkan atau membuang aset, dan memastikan
pembuangan yang dilakukan secara bertanggung jawab dan memenuhi
peraturan perundangan yang berlaku khususnya mengenai lingkungan
hidup.
Keempat siklus di atas diilustrasikan dengan Gambar 2.7.
18
Gambar 2.7 Asset Life Cycle (Barret, 2007)
Terkait peta teknik/ekonomi yang dikemukakan Silter (2002) dan juga
konsep asset life cycle (Barret, 2007), penting juga untuk diperhatikan bahwa
sebagian aktivitas pada peta Gambar 2.6 terjadi pada fase operasional pembangkit
dimana manajemen O&M memegang kendali atasnya. Namun di sisi lain, beberapa
aktivitas terjadi selama fase konstruksi, seperti pemilihan jenis
pembangkit/peralatan, lokasi, kapasitas terpasang, atau struktur pemodalan.
Beberapa aspek tersebut bersifat given, dan tidak bisa dioptimasikan (Mercer,
2009).
Pemodelan tesis ini mengadopsi peta pada Gambar 2.6 di atas, khususnya
yang terjadi pada fase operation dan maintenance pembangkit. Beberapa struktur
biaya dan aktivitas juga disesuaikan dengan yang ada di PJB atau PLN sehingga
cukup mewakili riil kondisi pembangkit di Indonesia.
2.3. Alih Daya Pengelolaan Pembangkit Listrik
Banyak referensi menyebutkan definisi alih daya (outsourcing). Salah
satunya mendefinisikan alih daya sebagai sebuah proses untuk mentransfer aktivitas
untuk dikerjakan pihak lain (Campbell, 1995). Definisi menarik disampaikan oleh
Hiemstra dan Van Tilburg yang menjelaskan istilah non capacity outsourcing. Jika
capacity outsourcing didefinisikan sebagai jenis jasa yang banyak digunakan
perusahaan untuk menyediakan tambahan kapasitas untuk musim khusus atau
periode peak permintaan, maka non capacity dimaksudkan bahwa suplier
PLAN-
NING
ACQUI-
SITION
OPERATION &
MAINTENANCE DISPO-
SAL
19
mengambil alih sebagain nilai perusahaan dalam periode kontrak jangka panjang
(Fill and Visser, 2001).
Pemilik aset pembangkit listrik mengalihdayakan pengelolaan pembangkit
dengan tiga alasan utama : pengurangan biaya, strategi penyediaan tenaga kerja
untuk bidang non inti, dan juga untuk mentransfer risiko.
(1) Alih Daya untuk Tujuan Pengurangan Biaya
Dalam perspektif bisnis, pemilik aset pembangkit akan berusaha
menyeimbangkan antara pendapatan dan biaya. Kebijakan alih daya seringkali
dianggap sebagai salah satu cara untuk menekan biaya pada sebagian produk,
fungsi, atau departemen. Jika biaya kontrak operasional lebih murah
dibandingkan dikerjakan sendiri, maka alih daya dinilai sebagai keputusan
yang tepat (Fill dan Fisher, 2001). Model ini mengasumsikan bahwa efisiensi
penjualan dan spesialisasi dapat dicapai jika masing-masing bagian fokus pada
kompetensi mereka. Selain itu, dengan kebijakan alih daya, perusahaan akan
memiliki banyak kesempatan untuk membangun hubungan baik dengan
investor yang akan meningkatkan produktivitasnya.
Mengalihkan biaya yang timbul jika dikerjakan tenaga internal harus
dibandingkan dengan biaya yang timbul terkait proses alih daya. Dyer (1997)
membagi biaya alih daya menjadi empat bagian, yaitu :
(a) Biaya pemilihan suplier
(b) Biaya penyusunan kontrak, termasuk diantaranya proses negosiasi,
penulisan kontrak, dan biaya legal
(c) Biaya monitoring untuk memastikan bahwa suplier menjalankan
kontrak yng telah disepakati
(d) Biaya yang ditimbulkan setelah kontrak, diantaranya perjanjian ulang
maupun sanksi jika suplier tidak menaati perjanjian.
Sebetulnya belum ada metode yang baku untuk mengkalkulasi biaya
alih daya dibandingkan dengan keuntungan karena setiap perusahaan memiliki
struktur organisasi dan pembiayaan yang bersifat spesifik. Disamping itu juga
terkait dengan tipe kontrak dan kemampuan yang berbeda-beda (Mercer,
2009).
20
(2) Alih Daya Sebagai Strategi Pemenuhan Tenaga Kerja untuk Bidang non Inti
Meskipun biaya menjadi faktor penting, namun banyak peneliti tidak
menjadikan biaya sebagai satu-satunya faktor sebagai keputusan alih daya.
Lebih dari itu, mereka menganggap kebutuhan untuk meningkatkan
kompetensi inti, juga harus diperhatikan dalam menentukan kebijakan alih
daya. Dengan skema ini, perusahaan memilih fokus pada kompetensi intinya,
adapun pemenuhan kompetensi non inti dipenuhi oleh alih daya. Hal ini senada
dengan definisi strategic outsourcing yang dipaparkan oleh Holcomb dan Hitt
(2007), yaitu “suatu pengaturan yang muncul ketika perusahaan mengandalkan
pada pasar yang banyak pesaing, dimana terdapat kebutuhan perusahaan
tersebut untuk meningkatkan spesialisasi dari yang ada sekarang, sesuai tata
nilai perusahaan.” Quinn dan Hilmer (1994) menguatkan bahwa perusahaan
dapat menggunakan alih daya agar sumber daya yang dimiliki dapat fokus pada
kompetensi inti dan memberikan nilai tambah pada pelanggan.
Gottfredson, Puryear, dan Philips (2005) memberikan gambaran
bagaimana memutuskan apakah pengelolaan bisnis lebih menguntungkan
menggunakan sumber daya internal atau dialihdayakan, berdasarkan tingkat
keunikan bisnis dan kepemilikan kemampuan dan pengetahuan. Hal tersebut
dijelaskan pada Gambar 2.8.
Gambar 2.8 Pengambilan Keputusan Alih Daya Berdasar Jenis Bisnis dan
Ketersediaan Kompetensi (Gottfredson, et.al, 2005)
21
Pada Gambar 2.8 tersebut nampak bahwa sisi kiri bawah
menggambarkan bisnis inti dan merupakan profit center, untuk itu lebih
menguntungkan jika dikerjakan sendiri. Sebaliknya pada sisi kanan atas,
mengingat proses bisnis merupakan hal umum di industri sedangkan secara
internal minim kemampuan, maka kondisi tersebut tepat untuk dialihdayakan.
Beberapa tahun belakangan, beberapa perusahaan di Indonesia (selain
PLN) masuk dalam bisnis pembangkit tenaga listrik. Selain berupa kelebihan
energi (captive power) yang dijual ke PLN, pembangunan pembangkit listrik
memang bentuk diversifikasi dari produk utamanya. Sebagai perusahaan oil
and gas, PT Pertamina saat ini memiliki 4 unit PLTP dengan total kapasitas
437 MW (http://pge.pertamina.com/wilayah-kerja.aspx). PT Bukit Asam saat
ini mengelola PLTU Banjarsari (2 x 110 MW) dan sedang menyelesaikan
pembangun PLTU mulut tambang Sumsel 8 (2 x 620 MW) yang diperkirakan
beroperasi pada 2019. Sebagai perusahaan tambang batu bara, PT Bukit Asam
memiliki cadangan batu bara 7,29 miliar ton dan cadangan tertambang 1,99
miliar ton. Hal ini cukup potensial untuk dikembangkan menjadi pembangkit
listrik.
PT Pertamina maupun PT Bukit Asam hanya beberapa contoh
perusahaan non PLN yang mulai merambah bisnis ketenagalistrikan.
Mengingat pembangkit listrik bukan kompetensi inti mereka, maka kebijakan
alih daya O&M pembangkit dirasa cukup menguntungkan.
(3) Alih Daya untuk Mentransfer Risiko
ISO31000 mendefinisikan risiko sebagai kemungkinan terjadinya suatu
peristiwa yang berdampak terhadap pencapaian sasaran. Pemilik aset
pembangkit merencanakan progam untuk mengurangi risiko melalui program
enjiniring, sistem kualitas, pengembangan kompetensi teknis. Selain itu juga
dilakukan kontrak penyediaan energi primer, hedging keuangan, asuransi
maupun mentransfer risiko ke perusahaan jasa O&M (Grace, 2005).
Volatilitas biaya menjadi isu penting bagi pemilik aset pembangkit
karena penggunaan teknologi tinggi. Schimoller (1998) mengingatkan bahwa
biaya O&M bisa berpengaruh sangat signifikan terhadap fluktuasi biaya
22
tersebut. Meskipun biaya O&M hanya berkisar 15% dari seluruh life cycle cost,
namun angka ini bisa fluktuatif sampai 20% yang disebabkan oleh biaya
spare part, usia ekonomis peralatan, maupun kepegawaian. Untuk memitigasi
risiko ini, pemilik aset biasa membuat klausul dalam kontrak bahwa biaya
O&M sebagai fixed price baik untuk planned maupun unplanned maintenance,
artinya risiko volatilitas biaya ditanggung oleh suplier O&M.
Namun perlu diingat, semakin besar proporsi risiko yang dialihkan ke
suplier, maka suplier O&M akan menarik “premi” yang lebih tinggi. Untuk itu
pemilik aset harus bijak merencanakan mitigasi risiko, antara dialihkan melalui
alih daya atau ke program lain, misalkan asuransi, atau justru risiko dikelola
sendiri oleh pemilik aset, yang semuanya tergantung dari selera risiko (risk
apetite) manajemen.
Khususnya untuk pembangkit yang dimiliki IPP, Kulkarni et.al (2013)
meneliti pembangkit IPP di India. Menurutnya, ada beberapa alasan mengapa
kebijakan alih daya O&M dipandang cukup menguntungkan. Diantaranya sebagai
berikut :
1. Keterbatasan Pengalaman Sebelumnya
Fase awal pengoperasian pembangkit memiliki risiko yang besar terkait
keandalan dan efisiensi. Disamping karena karakteristik peralatan yang
mengalami fase infant mortality, trend ini akibat keterbatasan kompetensi
terkait O&M. Seperti diketahui, latar belakang IPP tidak selalu dari
perusahaan pembangkit listrik. Dari total IPP di India, sekitar 65% memiliki
pengalaman mengelola pembangkit tidak lebih 25 tahun.
2. Sedikitnya Ketersediaan Sumber Daya Manusia
SDM yang berpengalaman di sektor ketenagalistrikan tidak banyak.
Data Central Electricity Authority (CEA) menjelaskan jumlah tenaga kerja di
bidang kelistrikan di India menurun 33 % dari periode 1997-2002 sampai
2007-2012. Adapun ahli di bidang commissioning tercatat hanya sekitar
27.000 orang selama periode 2012-2017. Hal ini menyebabkan alihdaya
O&M menjadi opsi yang cukup menguntungkan.
23
3. Antisipasi Keterlambatan Pre-Commisionning dan Commisionning
Aktivitas commisionning membutuhkan keahlian yang tinggi, dimana
hal ini berpotensi menyebabkan keterlambatan proyek secara keseluruhan.
Pekerjaan commissioning sangat tepat jika diserahkan kepada perusahaan
yang kompeten dan mengkhususkan bisnisnya dalam bidang tersebut.
Kulkarni, et.al (2013) juga menjelaskan beberapa model alih daya yang
dibedakan berdasar ruang lingkup pekerjaannya. Ada empat model yang dia
jelaskan, yaitu : (1) Mantenance outsourcing, (2) Basic O&M outsourcing, (3)
Enhanced O&M outsourcing, dan (4) 100% outsourcing including capital spares.
Dijelaskan pula ruang lingkup pekerjaan dan kewenangannya yang dibedakan
antara fungsi asset owner dan asset operator. Secara lebih jelas, model alih daya
yang dikemukakan Kulkarni, et.al (2013) dijelaskan pada Gambar 2.9.
Gambar 2.9 Model Outsourcing Berdasar Lingkup Pekerjaan (Kulkarni, 2013)
Di Indonesia, pemerintah memberikan payung legal bagi alih daya, yang
diterjemahkan sebagai menyerahkan sebagian pekerjaan kepada pihak lain.
Peraturan Menteri Tenaga Kerja dan Transmigrasi Republik Indonesia No 19 tahun
24
2012 pasal 3 (2) menjelaskan syarat penyerahan pekerjan ke perusahaan lain, antara
lain :
a. dilakukan secara terpisah dari kegiatan utama baik manajemen maupun
kegiatan pelaksanaan pekerjaan;
b. dilakukan dengan perintah langsung atau tidak langsung dari pemberi
pekerjaan, dimaksudkwan untuk memberi penjelasan tentang cara
melaksanakan pekerjaan agar seuai dengan standar yang ditetapkan oleh
perusahaan pemberi pekerjan;
c. merupakan kegiatan penunjang perusahaan secara keseluruhan artinya
kegiatan tersebut merupakan kegiatan yang mendukung dan memperlancar
pelaksanaan kegiatan utama sesuai dengan alur kegatan proses pelaksanaan
pekerjaan yang ditetapkan oleh asosiasi sektor usaha yang dibentuk sesuai
peraturan perundang-undangan; dan
d. tidak menghambat proses produksi secara langsung, artinya kegiatan tersebut
merupakan kegiatan tambahan yang apabila tidak dilakukan oleh perusahaan
pemberi pekerjaan, proses pelaksanaan pekerjaan tetap berjalan sebagaimana
mestinya.
Menindaklanjuti Peraturan Menteri tersebut, Asosiasi Perusahaan
Penyedia Listrik Nasional (Appelin) menetapkan alur proses pelaksanaan pekerjaan
usaha ketenagalistrikan. Sebagaimana dijelaskan pada Gambar 2.10, diagram alur
kegiatan proses pelaksanaan pekejaan, dikelompokkan menjadi : usaha penyediaan
tenaga listrik, usaha pendukung penyediaan tenaga listrik, dan fungsi pendukung.
Untuk kegiatan usaha penyediaan tenaga listrik dibagi lagi menjadi unit
pembangkitan, transmisi, distribusi, dan penjualan. Hal ini telah banyak dijelaskan
pada bab sebelumnya. Untuk pembangkitan dibagi lagi menjadi aktivitas
perencanaan pembangkitan, pengelolaan energi primer, pengoperasian dan
pemeliharaan pembangkit, dan niaga listrik.
25
Gambar 2.10 Alur Kegiatan Proses Pelaksanaan Pekerjaan Usaha Ketenagalistrikan
(Appelin, 2013)
Direksi PJB juga meluncurkan Surat Keputusan (SK) No
089.K/010/DIR/2013 mengenai Alur Proses Pelaksanaan Pekerjaan sebagai
pedoman teknis pelaksanaan alih daya pengelolaan pembangkit listrik. Pada SK
tersebut dikenalkan beberapa definisi sebagai berikut :
Asset owner adalah pemilik aset yang secara penuh memiliki hak untuk
mengelola aset dan menentukan kebijakan pengelolaan aset
Asset manager adalah organisasi yang berfungsi untuk melaksanakan
perenanaan dan penetapan kriteria aset, serta menetapkan kerangka acuan
kerja dan menentukan rencana kerja dan anggaran sesuai dengan kebijakan
pengelolaan aset
Aset operator adalah organisasi yang melaksanakan pengoperasian dan
pemeliharaan aset serta melaksanakan set up, implementasi dan pengelolaan
sistem informasi terpadu sesuai dengan rencana kerja dan anggaran yang
ditetapkan oleh asset manager
Pekerjaan utama adalah semua jenis pekerjaan yang dilaksanakan secara
berkesinambungan, yang dilaksanakan sendiri oleh Perusahaan (PJB)
26
Pekerjaan penunjang adalah semua jenis pekerjaan yang dilaksanakan secara
berkesinambungan, diserahkan Perusahaan (PJB) kepada perusahaan lain
Lebih lanjut, SK tersebut menjelaskan kewenangan PJB untuk aset yang
dimiliki sendiri adalah sebagai asset owner-asset manager-asset operator. Adapun
terkait aset yang dimiliki PLN atau perusahaan pembangkit lain (IPP), peran PJB
sebatas Asset Manager-Aset Operator. Alur proses bisnis sebagai asset owner-asset
manager-asset operator dijelaskan pada Gambar 2.11. Sedangkan alur proses bisnis
sebagai asset manager-asset operator dijelaskan pada Gambar 2.12.
Gambar 2.11 Alur Proses Bisnis Sebagai Asset Owner-Asset Manager-Asset
Operator (PJB, 2013).
27
Gambar 2.12 Alur Proses Bisnis Sebagai Asset Manager-Asset Operator (PJB,
2013).
Model dalam tesis ini akan mengadopsi model yang dikemukakan oleh
Kulkarni, et. al (2013) disesuaikan dengan alur proses bisnis sesuai SK Direksi No
089.K/010/DIR/2013.
2.4. Penelitian Terdahulu
Mercer (2009) melakukan penelitian mengenai evaluasi keputusan
outsourcing untuk jasa Operation and Maintenance (O&M) pembangkit listrik.
Terdapat beberapa alternatif dalam pengelolaan O&M pembangkit yang dioptimasi
dalam penelitian tersebut, yaitu : (1) semua scope pekerjaan dilakukan internal, (2)
outsourcing untuk configuration maintenance dan major maintenance, (3)
outsourcing untuk configuration maintenance, major maintenance, dan operation
support, (4) semua jenis pemeliharaan dan operational support, (5) full operation
and maintenance. Dalam pengambilan keputusan dipergunakan metode Analytical
Hierarchy Process (AHP).
Kriteria yang dipergunakan dalam proses pengambilan keputusan adalah
life cycle cost, pengaruh reliability dan availability, aspek kualitas, unjuk kerja
LK3, dan overhead dan biaya transaksi. Penentuan nilai dalam AHP dilakukan
melalui Delphi Technique dengan mewawancarai responden yang dipandang
28
mumpuni. Kemudian dilakukan pairwise comparison sehingga diperoleh nilai yang
konsisten. Untuk memastikan keputusan benar, dilakukan uji sensitivitas dan
pembandingan dengan data real dari pembangkit.
AHP merupakan teknik yang cukup sederhana dalam pengambilan
keputusan. Metode ini cukup mumpuni dalam mengkalkulasi aspek yang bersifat
tangible dan intangible. Kendati demikian, banyak pihak mengkritisi AHP sebagai
tool pengambilan keputusan. Hartwitch (1999) mengatakan bahwa AHP tidak
memberikan panduan baku mengenai struktur permasalahan yang harus
diselesaikan. Teknik ini juga memiliki kendala terkait pembentukan hierarki,
kriteria, alternatif, dan mekanisme agregasi pendapat, terlebih jika diantara para ahli
terkendala jarak geografis dan waktu.
Karena AHP bersumber dari keahlian seseorang, maka keputusan dari
AHP berisiko cacat jika ahli yang menjadi nara sumber tersebut salah dalam
memberikan pertimbangan. AHP tidak mengijinkan perubahan keputusan di tengah
jalan, harus diulang lagi dari awal. Disamping itu, AHP hanya berupa model
matematis tanpa ada pengujian secara statistik sehingga tidak ada batas
kepercayaan dari kebenaran model yang terbentuk (Hartwitch, 1999).
Penelitian yang dilakukan Mercer (2009) menyimpulkan bahwa jumlah
jasa yang dialihdayakan sangat bergantung dengan jenis dan strategi yang
dipergunakan. Jika generalisasi dapat dibuat, tidak ada satu model yang dipakai
pada seluruh paket jasa O&M. Setiap perusahaan hendaknya melakukan evaluasi
plant asset management berdasar kompetensi mereka, kekuatan, dan strategi
perusahaan.
Pemodelan pemilihan strategi O&M yang benar seharusnya fungsi waktu.
Kontrak Power Purchase Agreement (PPA) maupun kontrak jasa O&M biasanya
berlangsung untuk waktu yang lama. Perubahan-perubahan sangat mungkin terjadi
pada masa yang akan datang. Metode AHP tidak bisa menjawab perubahan kondisi
pada time frame yang panjang. Penelitian mengenai pembangkitan tenaga listrik
pada short atau medium-term model sudah banyak dilakukan (Sanchez, et al., 2012)
namun longterm model masih menjadi area yang belum banyak dieksplorasi
(Kagiannas et al., 2004).
29
Sontamino (2014) melakukan penelitian mengenai decision support
system (DSS) konsumsi batu bara untuk bahan bakar Krabi Coal Power Plant,
sebuah pembangkit 800 MW di Thailand. Permasalahan yang diangkat Sontamino
adalah apakah sebaiknya Krabi menggunakan batu bara dari tambang Mae Moh
Lignite, yang berada di dekat lokasi pembangkit, atau harus mengimpor dari negara
lain. Hal ini terkait ketersediaan batu bara dalam jangka waktu 30 tahun, termasuk
potensi fluktuasi bisnis dan isu lingkungan pada masa yang akan datang. Pada
penelitian tersebut, digunakan metode Sistem Dinamik untuk menganalisis perilaku
beberapa variabel tersebut selama 30 tahun ke depan. Opsi yang memberikan Net
Present Value (NPV), Net Cash Flow (NCF), Pay Back Period, dan Internal Rate
of Return (IRR) dipilih sebagai solusi untuk menjawab permasalahan.
2.5. Pemodelan Sistem Dinamik
Sistem dinamik adalah pemodelan simulasi komputer untuk memahami
dan mengelola sistem umpan balik yang kompleks seperti pada bisnis dan sistem
sosial yang lain. Ada pula yang menerjemahkan sistem dinamik sebagai sebuah
pendekatan untuk memahami perilaku sistem yang kompleks berdasar fungsi
waktu. Hal ini terkait dengan siklus sistem umpan balik internal maupun waktu
tunda yang mempengaruhi perilaku sistem secara keseluruhan. Sontamino (2014)
mendefinisikan sistem dinamik sebagai metodologi dan teknis pemodelan
matematis untuk memetakan, memahami, dan mendiskusikan isu dan permasalahan
yang kompleks.
Sistem dinamik dikembangkan oleh Prof. Jay W Forreseter dari
Massachusetts Institute of Technology (MIT). Awalnya, sistem dinamik digunakan
dalam manajemen dan engineering science namun secara perlahan berkembang
menjadi tool untuk analisis sosial, ekonomi, fisika, kimia, biologi, dan sistem
ekologi (Martin, 1999).
Model sistem dinamik mencakup seperangkat metode konseptual dan
numerik yang digunakan untuk memahami struktur dan perilaku sistem yang
kompleks. Sebuah model sistem dinamik merupakan hubungan kausal, loop umpan
balik, dan penundaan/penghambat yang diperkirakan menghasilkan perilaku
sistem. Metodologi sistem dinamik memiliki empat prinsip utama, yaitu teori
30
kontrol umpan balik, proses pengambilan keputusan, penggunaan model
matematika untuk mensimulasikan proses yang kompleks, dan penggunaan
teknologi berbasis komputer untuk mengembangkan model simulasi (ElSawah et.
al., 2012).
Pemodelan sistem dinamik tidak hanya sederhana tetapi juga kuat karena
ide sederhana dapat dikombinasikan menjadi model sistem yang kompleks dan
proses. Selain itu, pemodelan sangat berguna untuk membuat integrasi pemodelan
menjadi sederhana. Pemodelan bersifat alami karena ide-ide sederhana di balik
sistem dinamik sesuai dengan bentuk dasar pemikiran manusia. Permodelan sistem
dinamik dapat membantu manusia untuk melihat sistem secara keseluruhan.
Permodelan dapat diterapkan dalam prototipe aplikasi kehidupan nyata yang
kompleks dari ilmu pengetahuan dan rekayasa (Fuchs, 2006).
Untuk membangun pemodelan sistem dinamik, peneliti harus
mengidentifikasi masalah dan mengembangkan hipotesis dinamik yang
menjelaskan rumusan masalah. Simulasi berjalan dalam model dinamika sistem
diatur sepenuhnya oleh berlalunya waktu. Analisis time series simulasi tersebut
mengambil sejumlah langkah simulasi sepanjang jangka waktu untuk memperbarui
status variabel sistem yang menjadi perhatian sebagai akibat kegiatan sistem
(Dyson dan Chang, 2005).
Terkait sistem dinamik, Forrester (1961) menjelaskan sebuah framework
sebagai pola pikir dasar dalam mengembangkan sistem dinamik, yang dia sebut
sebagai system structure.
Gambar 2.13 Framework untuk Struktur Sistem Forrester (Forrester, 1961)
31
Framework ini dimulai dari closed boundary. Closed (tertutup) ini tidak
merujuk pada makna buka/tutup pada umumnya, namun lebih bagaimana berusaha
memandang sistem sebagai causally closed. Tujuan model adalah bagaimana
mengumpulkan struktur formal oleh dia sendiri. Tanpa adanya penjelasan dari luar
(exogenous), dapat mereproduksi karakter penting permasalahan dinamis. Untuk
itu, perlu diidentifikasi feedback loops yang menunjukkan hubungan sebab akibat
antar parameter. Level dan rate menjelaskan kuantifikasi dari feedback loop.
Setelah semua analisis dilakukan, maka dapat diketahui tujuan, kondisi
terobservasi, perbedaan yang terjadi, dan langkah yang harus diambil.
Secara matematis, struktur dasar sistem dinamik menggunakan simulasi
komputer adalah pasangan sistem, non linear, persamaan diferensial orde satu, dan
persamaan integral.
𝑑
𝑑𝑡𝑋(𝑡) = 𝑓(𝑋, 𝑃) (2.1)
dengan :
X : Vektor level (stok atau variabel keadaan)
P : Set parameter
f : Fungsi vector non linear
2.5.1 Causal Loop Diagram dan Stock&Flow Diagram
Metode sistem berpikir (thinking system) telah digunakan selama lebih dari
30 tahun (Forrester, 1961). Hal ini merupakan alat yang efektif untuk lebih
memahami manajemen kompleks skala besar. Sistem dinamik dirancang
berdasarkan sistem berpikir dengan metodologi mapan untuk mempelajari dan
mengelola sistem umpan balik yang kompleks. Perlu dibuat diagram lingkaran yang
unik, causal loop atau stock flow diagram, untuk mengaplikasikan model sistem
dinamik.
Analisis kausalitas adalah tahapan penting untuk mendapatkan model
sistem dinamik yang akurat dan bisa dipertanggungjawabkan. Causal Loop
Diagram (CLD) adalah perangkat penting untuk mendapatkan struktur umpan balik
sistem (Lansdowne, 1994). CLD dapat secara cepat menjelaskan hipotesis
32
penyebab terbentuknya sistem dinamik dan menjelaskan mental model secara
individu maupun tim. Jika ternyata ada beberapa umpan balik penting yang menjadi
alasan terbentuknya masalah, maka CLD bisa menyampaikan umpan balik
(Zhaodong, 2014).
CLD terdiri atas banyak variabel dimana hubungan sebab akibat antar
variabel ditandai dengan tanda panah. Pada saat yang sama, loop sistem umpan
balik akan ditandai pada CLD. Pada panah diberikan tanda plus (+) atau minus (-)
sebagai informasi. Tanda plus (+) digunakan untuk menunjukkan hubungan
sebanding. Jika penyebab meningkat maka dampaknya meningkat, jika penyebab
turun maka dampaknya akan menurun juga. Sebaliknya, tanda minus (-) digunakan
untuk menunjukkan hubungan berbanding terbalik. Jika penyebab meningkat maka
dampaknya menurun, jika penyebab turun maka dampaknya akan meningkat
(Sontamino, 2008).
Pada dasarnya, konsep umpan balik merupakan inti metode sistem
dinamik. Diagram loop informasi umpan balik dan hubungan sirkulasi sebab akibat
adalah tool untuk konseptualisasi struktur sistem yang kompleks untuk
mengkomunikasikan ide berdasar model. Loop umpan balik terjadi jika sebuah
informasi melalui sebuah sistem dan kembali pada posisi semula, yang kemudia
berpotensi mempengaruhi pada aksi pada masa yang akan datang. Aksi ini bisa
memperkuat (reinforce) aksi sebelumnya, maka loop ini disebut positive loop atau
reinforcing feedback loop. Ada kemungkinan umpan balik ini berlawanan dengan
aksi sebelumnnya, maka loop ini disebut negative atau balancing feedback loop.
Tanda pada loop disebut polaritas. Balancing loop dapat memiliki karakteristik
yang bervariasi, diantaranya goal seeking, penyeimbang, maupun penstabil proses.
Gabungan reinforcing dan balancing feedback loop akan membentuk perilaku
sistem dinamik (Sontamino, 2014).
Gambar 2.13 merupakan contoh CLD sederhana yang mensimulasikan
optimasi penambahan kapasitas pembangkit listrik yang dipengaruhi oleh beberapa
faktor. Pada gambar tersebut, hubungan antar faktor yang bersifat sebanding (tanda
+), tapi ada yang berbanding terbalik (tanda -). Reinforcing feedback loop
ditunjukkan pada loop nomor 1, 2, 5. Sedang balancing feedback loop ditunjukkan
pada nomor 3 dan 4 (Lopez, 2017).
33
Gambar 2.14 Causal Loop Diagram Sederhana (Lopez, 2017)
Diagram causal loop digunakan untuk mengurangi kompleksitas sistem
dalam kajian dan sangat penting bagi perilaku keseluruhan sistem. Dalam hal ini,
causal loop diagram bermaksud untuk mengedepankan sebuah model konseptual
dari sistem dipelajari. Adapun Stock-flow Diagram biasanya dikembangkan
berdasarkan pada causal loop diagram dan divisualisasikan melalui perangkat
lunak profesional untuk simulasi kuantitatif dan analisis. Sebelum model yang
dibentuk dapat diadopsi untuk analisis kuantitatif, penting untuk membangun
kepercayaan di dalamnya. Oleh karena itu, serangkaian tes telah disarankan untuk
validasi model sistem dinamik (Coyle, 1996).
Setelah melalui tiga langkah pengujian, disepakati bahwa model dapat
diandalkan untuk analisis dasar, menjalankan simulasi dan analisis skenario.
Analisis simulasi untuk membantu memahami sistem apa adanya sedangkan
analisis skenario menawarkan wawasan ke alternatif pengelolaan yang berpotensi
akan memperbaiki perilaku sistem saat ini (Yuan, 2012).
Dengan pemodelan sistem dinamik, variabel-variabel berinteraksi pada
rentang waktu tertentu, bahkan termasuk ketika ada relasi yang bersifat non linear.
34
Data perilaku dari model biasanya dibandingkan dengan perilaku ideal yang
dijadikan referensi. Metode ini dipandang efisien secara biaya dan waku mengingat
penelitian perilaku sistem yang kompleks susah untuk dilakukan. Sistem dinamik
mampu melakukan prediksi data yang bersifat diskret. Kendati demikian sistem
dinamik tidak bisa dimanfaatkan untuk melakukan prediksi pada waktu yang akan
datang (Sontamino, 2014).
Langkah untuk menyusun pemodelan sistem dinamik sebagaimana
dijelaskan Martinez (2001), nampak pada Gambar 2.15.
Gambar 2.15 Tahapan Pemodelan Menggunakan Sistem Dinamik (Martinez,
2011)
Lebih detail, tahap pemodelan dapat dijelaskan sebagai berikut :
1. Identikasi dan pendefinisan masalah
Klasifikasi sistem dimana kasus yang dinanalisis terjadi.
Penyusunan model berdasar klasifikasi tersebut dan mengeluarkan kasus
yang di luar klasifikasi.
35
2. Konseptualisasi sistem
Penyusunan causal loop diagram, mengidentifikasi state variable / level,
identifikasi system boundary.
Menggambar struktur hipotesis dinamik sebagai causal-loop diagram
jika struktur stock-and-flow susah untuk dilakukan. Konsentrasi pertama
pada identifikasi hubungan utama dan loop utama.
Mengidentifikasi dan menggambar stock-flow-structure (resources,
costumer, produk/jasa) beserta pengaruh panah.
3. Formulasi model
Memilih struktur inti pada model dan mengembangkannya dan
diharapkan tidak terlalu menyimpang dari ide inti.
Menuliskan formulasi pada model. Perlu dimasukkan kondisi ekstrem
pada persamaan, apakah formula masih berfungsi. Jika model tidak bisa
berfungsi, perlu dilakukan modifikasi model.
4. Pengujian dan evaluasi model
Pada tahapan ini, hasil simulasi model dibandingkan dengan data dari
lapangan. Jika ditemukan deviasi maka model direview dan direvisi jika
diperlukan. Test dapat dikategorikan menjadi dua, yaitu (1) structure test,
yaitu membandingkan struktur pada sistem dinamik dan sistem riil, (2)
behavior test, untuk memastikan perilaku model sesuai perilaku pada kondisi
riil (Forrester, et.al, 1961).
5. Implementasi model dan diseminasi
Jika model dinyatakan sudah valid, maka langkah selanjutnya adalah
mengimplementasikan model tersebut pada skala yang lebih besar atau pada
model sejenis.
6. Desain learning strategy / infrastruktur
Tahapan ini berfokus untuk pengembangan selanjutnya dan terkait dengan
infrastrukur terkait (Martinez, et.al, 2011).
36
2.6. Penggunaan Sistem Dinamik untuk Pemodelan Pengelolaan Pembangkit
Listrik
Pendekatan sistem dinamik sangat bermanfaat untuk mengkonseptualisasi
sistem yang kompleks, yang melibatkan interaksi manusia dan faktor lain. Sistem
dinamik telah banyak digunakan dalam penelitian terkait pembangkit listrik beserta
peralatan pendukungnya. Mengingat metodenya yang fleksibel, penggunaan sistem
dinamik biasanya terkait operasional pembangkit yang dikaitkan aspek lain
misalnya kajian ekonomi ataupun sosial. Selain itu, sangat bermanfaat jika kajian
dalam time frame yang panjang (Chung, 1999).
Sistem dinamik dipergunakan untuk menganalisis dinamika reliability
(keandalan) dan risiko secara kuantitatif berdasar fungsi waktu pada Pembangkit
Listrik Tenaga Nuklir (PLTN) di Korea Selatan. Penelitian ini mampu menentukan
Limiting Conditions for Operations (LCOs) pembangkit nuklir yang aman dan
berisiko rendah. Causal Loop Diagram (CLD) dipergunakan untuk
memperhitungkan impact (dampak). Adapun peningkatan frekuensi kegagalan, dari
hasil simulasi, sangat penting untuk menentukan probability (kemungkinan)
terjadinya risiko (Kang, 2004).
Menyusul kebijakan pemerintah China untuk memberikan insentif bagi
pengembangan pembangkit photovoltaic, Guo (2015) meneliti hubungan antara
beberapa variabel, baik di sisi ekonomi dan teknik dampak atas kebijakan tersebut
melalui pendekatan sistem dinamik. Selanjutnya dilakukan analisis sensitivitas
untuk menentukan faktor kunci yang paling mempengaruhi pengoperasioan
pembangkit photovoltaic yang paling efisien. Simulasi juga dilakukan untuk
menguji efektivitas investasi pada periode 2012-2032 yang nantinya digunakan
sebagai alat decision support system (DSS) bagi institusi pembuat keputusan terkait.
Park (2013) membuat pemodelan sistem dinamik untuk meneliti karakter
activated-sludge wastewater treatment plant di Korea Selatan. Studi dimaksudkan
untuk meneliti korelasi activated-slude return rate terhadap perubahan kualitas air
pada efluen dan efisiensi pengolahan. Dari model tersebut diketahui bahwa volume
aeration tank harus diperbesar untuk memenuhi persyaratan air efluen. Dimensi
aeration tank juga dihitung untuk laju alur activated-sludge return di bawah laju
alir maksimum sehingga tidak membutuhkan ekspansi aeration tank.
37
Sebagaimana dijelaskan sebelumnya, pemodelan untuk menentukan
keputusan jasa O&M pembangkit bersifat multi variabel yang berhubungan secara
simultan. Disamping itu diperlukan analisis yang dapat mengakomodasi time frame
yang panjang. Sistem dinamik dinilai sebagai metodologi yang mampu menjawab
kebutuhan tersebut.
Pemodelan dan simulasi banyak digunakan jika eksperimen pada sistem
nyata tidak mungkin dilakukan atau tidak praktis, misalkan karena (1) biaya
pembuatan prototype dan pengetesan memerlukan banyak biaya, (2) kerapuhan
sistem tidak memungkinkan dilakukan pengujian ekstensif, atau (3) waktu
pengujian pada pengujian yang sesungguhnya tidak praktis (AnyLogic, 2014).
Pemecahan masalah melalui pemodelan didasarkan pada abstraksi,
simplifikasi, kuantifikasi, dan analisis. Setiap metolodogi pemodelan yang berbeda
biasanya didasarkan asumsi tiap parameter yang berbeda.
Saat ini dikenal tiga metodologi pemodelan untuk penyelesaian masalah,
diantaranya, (1) System Dynamic (SD) modelling, (2) Discrete Event (DE)
modelling, dan (3) Agent Based (AB) modelling. Metode pertama dan kedua
masing-masing dikembangkan oleh Jay Forrester pada tahun 1950-an dan Geoffrey
Gordon pada tahun 1960-an. Keduanya bersifat top-down view. Adapun AB
modelling yang dikembangkan terakhir, menggunakan pendekatan bottom up
dimana pembuat model fokus pada perilaku obyek individual (AnyLogic, 2014)
Model sistem dinamik memandang masalah pada level abstraksi tinggi,
level gambaran besar, dan banyak digunaan untuk menyelesaikan masalah pada
tataran strategis. Model DE banyak digunakan pada level operasional dan teknis,
sedang AB lebih fleksibel digunakan di level manapun. Pemlihan ketiga metode
tersebut biasanya mengacu kriteria berikut :
Jika sistem terdiri atas data individu, lebih tepat menggunakan model AB
Jika sistem terdiri atas variabel kontinu yang kompleks, lebih tepat
menggunakan model SD
Jika sistem dapat dijelaskan menjadi sebuah proses, maka lebih sesuai
menggunakan model DE
38
Bisnis O&M pembangkit melibatkan banyak variabel dimana masing-
masing berhubungan sebab-akibat secara simultan. Disamping itu, kontrak jasa
O&M berlaku untuk jangka waktu yang panjang sehingga model untuk
pengambilan keputusan harus memadai untuk mengakomodasi time frame yang
panjang. Dari pertimbangan tersebut, pemodelan dalam tesis ini menggunakan
Sistem Dinamik.
2.7. Aspek Reliability (Keandalan) Pembangkit Listrik
Reliability (keandalan) dapat diartikan sebagai kemungkinan suatu
peralatan dapat menjalankan fungsinya pada kondisi dan waktu tertentu. Hal ini
merupakan faktor penting pada manajemen aset karena semakin rendah keandalan,
suatu peralatan akan membutuhkan pemeliharaan yang tinggi (Dhillon, 2002).
Dhillon (2002) lebih lanjut menjelaskan bahwa pada analisis keandalan,
sering diasumsikan bahwa failure rate (laju kegagalan) peralatan adalah fungsi
waktu yang mengikuti pola seperti bathub. Pada Gambar 2.16, sebaran pola
kegagalan terbagi menjadi tiga area yaitu burn in period, useful life period, dan
wear out period. Pada burn in period, laju kegagalan menurun hingga akhirnya
stabil setelah masuk useful life period. Di fase kedua, kegagalan terjadi secara acak,
dimana sebagaian besar disebabkan oleh ketidaksesuaian batasan desain,
ketidakcocokan lingkungan, cacat yang tidak terdeteksi, human error, dan
kegagalan yang tidak bisa dihindari. Pada beberapa kasus, suatu kegagalan tidak
bisa dihindari meskipun preventive maintenance sudah dilakukan secara efektif.
Tahapan terakhir adalah wear out period dimana laju kegagalan mulai meningkat.
Diantaranya disebabkan oleh keausan karena waktu, ketidakcukupan atau
ketidaksesuaian preventive maintenance, berakhirnya usia teknis peralatan,
keausan karena gesekan, misalignment, korosi, creep, dan overhaul yang tidak
sesuai. Kegagalan pada wear out period dapat dikurangi signifikan dengan
peremajaan peralatan.
39
Gambar 2.16 Bathub Failure Rate Curve (Dhillon, 2002)
Secara matematis, reliability dapat dinyatakan dengan persamaan :
𝑅(𝑡) = 1 − 𝐹(𝑡) = 1 − ∫ 𝑓(𝑡)𝑑𝑡𝑡
0 (2.2)
dengan :
R(t) : Reliability pada waktu t
F(t) : Cumulative distribution function
f(t) : Failure density function
𝑅(𝑡) = ∫ 𝑓(𝑡) 𝑑𝑡∞
𝑡 (2.3)
𝑅(𝑡) = ∫ 𝜆𝑒−𝜆𝑡 𝑑𝑡∞
𝑡= 𝑒−𝜆𝑡 (2.4)
dengan :
(t) : Laju kegagalan peralatan fungsi waktu
Mean Time To Failure (MTTF) adalah rerata waktu ketika sebuah peralatan
dalam kondisi andal. TTF dihitung dari selisih down time pada waktu t dengan up
time pada waktu t-1 untuk peratan yang sama. Secara matematis MTTF dinyatakan
dalam :
𝑀𝑇𝑇𝐹 = ∫ 𝑅(𝑡)𝑑𝑡∞
0 (2.5)
Dalam bentuk lain, MTTF dapat dinyatakan dalam persamaan :
40
𝑀𝑇𝑇𝐹 = ∫ 𝑡𝑓(𝑡)𝑑𝑡∞
0 (2.6)
𝑀𝑇𝑇𝐹 = lim𝑠→0
𝑅(𝑠) (2.7)
dengan :
s : Variabel transformasi Laplace
R(s) : Transformasi Laplace untuk fungsi Reliability, R(t)
Untuk 𝑅(𝑡) = 𝑒−t maka dapat dinyatakan :
𝑀𝑇𝑇𝐹 = 1
(2.8)
Tabel 2.2 menjelaskan rekapitulasi formula untuk reliability, failure rate,
dan MTTF.
Tabel 2.2 Rangkuman Rumus untuk Menghitung Reliability, Failure Rate, dan
MTTF.
No Reliability Hazard Rate MTTF
1
𝑅(𝑡) = 1 − ∫ 𝑓(𝑡)𝑑𝑡
𝑡
0
𝜆(𝑡) =
𝑓(𝑡)
𝑅(𝑡) ∫ 𝑡𝑓(𝑡)𝑑𝑡
∞
𝑡
2
𝑅(𝑡) = ∫ 𝑓(𝑡)𝑑𝑡
∞
𝑡
𝜆(𝑡) = −
1
𝑅(𝑡)
𝑑𝑅(𝑡)
𝑑𝑡 ∫ 𝑅(𝑡)𝑑𝑡
∞
0
3
𝑅(𝑡) = 𝑒𝑥𝑝 [− ∫ 𝜆(𝑡)𝑑𝑡
𝑡
0
] 𝜆(𝑡) =
𝑓(𝑡)
∫ 𝑓(𝑡)𝑑𝑡∞
𝑡
lim𝑠→0
𝑅(𝑠)
Sumber : Dhillon, 2002
Mean Time to Repair (MTTR) menyatakan waktu yang diperlukan untuk
menyelesaikan aktivitas pemeliharaan. MTTR dapat dinyatakan dengan persamaan
:
𝑀𝑇𝑇𝑅 = (∑ 𝜆𝑖𝐶𝑀𝑇𝑖𝑘𝑖=1 )/ ∑ 𝜆𝑖
𝑘𝑖=1 (2.9)
dengan :
k : Jumlah part
: Failure rate part I, untuk i = 1, 2, 3, …., k
41
CMTi : Waktu yang dibutuhkan untuk menyelesaikan aktivitas
corrective maintenance pada part ke i = 1, 2, 3, …., k
Repair rate yaitu waktu yang dibutuhakn untuk menyelesaikan suatu
aktivitas pemeliharaan. Pada sebagaian besar literatur, disebutkan bahwa repair
rate (µ) mengikuti distribusi eksponensial. Maka dapat dinayatakan :
µ = 1 / MTTR (2.10)
Availability (ketersedian) adalah kemungkinan sebuah peralatan siap
beroperasi saat dibutuhkan. Secara matermatis, availability dinyatakan dengan
persamaan :
𝐴𝑚(𝑡) = 𝑃0(𝑡) =𝜇𝑚
(𝜆𝑚+𝜇𝑚)+
𝜆𝑚
(𝜆𝑚+𝜇𝑚)𝑒−(𝜆𝑚+𝜇𝑚)𝑡 (2.11)
Sedang unavailability (ketidaksiapan) dinyatakan dalam :
𝑈𝐴𝑚(𝑡) = 𝑃1(𝑡) =𝜆𝑚
(𝜆𝑚+𝜇𝑚)+
𝜆𝑚
(𝜆𝑚+𝜇𝑚)𝑒−(𝜆𝑚+𝜇𝑚)𝑡 (2.12)
dengan :
Am (t) : Availabiliy sistem m pada waktu t
UAm (t) : Unavailabiliy sistem m pada waktu t
m : Failure rate sistem m
µm : Repair rate sistem m
t : Waktu
Jika nilai t besar, maka persamaan 2.11 dan 2.12 dapat diubah menjadi :
𝐴𝑚 =𝜇𝑚
𝜆𝑚+𝜇𝑚 (2.13)
dan
𝑈𝐴𝑚 =𝜆𝑚
𝜆𝑚+𝜇𝑚 (2.14)
Karena m = 1/MTTFm dan µm = 1/MTTRm, persamaan 2.13 dan 2.14 dapat
dinyatakan dengan :
𝐴 =𝑀𝑇𝑇𝐹𝑚
𝑀𝑇𝑇𝐹𝑚+𝑀𝑇𝑇𝑅𝑚 (2.15)
42
𝑈𝐴𝑚 =𝑀𝑇𝑇𝑅𝑚
𝑀𝑇𝑇𝐹𝑚+𝑀𝑇𝑇𝑅𝑚 (2.16)
3.2.3.1. Reliability Network
Beberapa equipment akan saling berhubungan secara fungsional
membentuk sistem, dimana keandalan sistem akan sangat ditentukan oleh
keandalan masing-masing equipment penyusunannya. Diantara sistem reliability
network yang banyak dipakai pembangkit adalah hubungan serial, hubungan
paralel, hubungan m-n, dan hubungan stand by. Keempat network tersebut akan
dijelaskan lebih detail sebagai berikut :
a. Sistem Hubungan Serial
Gambar 2.17 menjelaskan block diagram sistem hubungan serial. Pada
sistem tersebut terdapat k equipment yang secara fungsional terhubung
serial. Artinya equipment ke-k tidak akan berfungsi jika equipment < k
mengalami kegagalan.
Gambar 2.17 Sistem Hubungan Serial (Dhillon, 2002)
Pada konfigurasi di atas, reliability sistem serial dapat dinyatakan dengan :
Rs = R1R2R3 .. Rk (2.17)
Dengan Rj adalah keandalan unit j untuk j = 1, 2, 3, ….. k.
Pada failure rate j pada unit j konstan, maka persamaan 2.30 dapat diubah
menjadi :
𝑅𝑠(𝑡) = 𝑒− ∑ 𝜆𝑗𝑡𝑘𝑗=1 (2.18)
Sedang MTTF dapat dirumuskan :
43
𝑀𝑇𝑇𝐹𝑠 = ∫ 𝑒− ∑ 𝜆𝑗𝑡𝑘𝑗=1 𝑑𝑡
∞
0
=1
∑ 𝜆𝑗𝑡𝑘𝑗=1
(2.19)
b. Sistem Hubungan Paralel
Block diagram sistem hubungan paralel dapat dijelaskan pada Gambar 2.18
yang menunjukkan k equipment yang terhubung paralel, dimana kegagalan
sistem hanya terjadi jika semua equipment penyusunnya gagal.
Gambar 2.18 Sistem Hubungan Paralel (Dhillon, 2002)
Kendalan pada sistem paralel (Rps) dapat dinyatakan dengan :
𝑅𝑝𝑠 = 1 − 𝐹𝑝𝑠
= 1 − 𝐹1𝐹2 … … . 𝐹𝑘 (2.20)
Dengan Fj adalah kemungkinan terjadinya kegagalan pada j equipement, j =
1, 2, 3, …, k
Pada failure rate j pada unit j konstan, maka persamaan 3.27 dapat diubah
menjadi :
𝑅𝑝𝑠(𝑡) = 1 − (1 − 𝑒−𝜆1𝑡)(1 − 𝑒−𝜆2𝑡) … … (1 − 𝑒−𝜆𝑘𝑡) (2.21)
Sedang MTTF dapat dirumuskan :
44
𝑀𝑇𝑇𝐹𝑝𝑠 = ∫ [1 − (1 − 𝑒−𝜆𝑡)𝑘
] 𝑑𝑡
∞
0
=1
𝜆∑
1
𝑗
𝑘
𝑗=1
(2.22)
c. Sistem Hubungan m-n
Hubungan ini berlaku jika terdapat n peralatan, setidaknya harus ada m
peralatan yang beroperasi. Pada PLTU, hubungan ini berlaku pada Boiler
Feed Pump (BFP) maupun coal mill. Reliability sistem m-n pada failure rate
() konstan dapat dituliskan sebagai berikut :
𝑅𝑚𝑛⁄ (𝑡) = ∑ (
𝑛𝑗 ) 𝑒−𝑗𝜆𝑡(1 − 𝑒−𝜆𝑡)
𝑛−𝑗𝑛
𝑗=𝑚
(2.23)
𝑀𝑇𝑇𝐹𝑚𝑛⁄ = ∫ [∑ (
𝑛𝑗 ) 𝑒−𝑗𝜆𝑡(1 − 𝑒−𝜆𝑡)
𝑛−𝑗𝑛𝑗=𝑚 ] 𝑑𝑡 =
1
𝜆∑
1
𝑗
𝑛𝑗=𝑚 (2.24)
∞
0
d. Sistem Hubungan Stand by
Sistem stand by banyak ditemui di pembangkit khususnya untuk sistem
redundant. Secara sederhana, sistem stand by dapat digambarkan sebagai
berikut :
Gambar 2.19 Sistem Hubungan Stand By (Dhillon, 2002)
sistem stand by, dimana berlaku persamaan :
𝑅𝑆𝐵(𝑡) = ∑ [[∫ 𝜆(𝑡)𝑑𝑡𝑡
0
]
𝑗
𝑒− ∫ 𝜆(𝑡)𝑑𝑡𝑡
0 ] /𝑗!
𝐾
𝑗=0
(2.25)
45
𝑅𝑠𝑏(𝑡) = ∑(𝜆𝑡)𝑗𝑒−𝜆𝑡
𝑗! (2.26)
𝑘
𝑗=0
𝑀𝑇𝑇𝐹𝑠𝑏 = ∫ [∑(𝜆𝑡)𝑗𝑒−𝜆𝑡/𝑗!
𝐾
𝑗=0
] 𝑑𝑡 = 𝐾 + 1
𝜆 (2.27)
∞
0
dengan :
R : keandalan/probability of reliable
K : jumlah peralatan yang stand by
λ : failure rate
MTTF : Mean Time to Failure
Persamaan di berlaku bagi peralatan yang identik dan memiliki failure rate
(λ) yang konstan.
Aspek reliability di pembangkit listrik memegang peranan sangat krusial.
Reliability memberikan informasi yang bersifat probabilitas atas keberhasilan
pembangkit menjalankan fungsi bisnisnya. Mengingat reliability adalah fungsi
waktu, keandalan peralatan pada beberapa tahun ke depan dapat diprediksi. Begitu
juga dengan parameter yang berhubungan dengan reliability, misalnya biaya
pemeliharaan. Dalam tesis ini, reliability dimodelkan tersendiri melalui software
Minitab dimana formula hasil simulasi (kendalan fungsi waktu) dimasukkan ke
dalam model sistem dinamik.
2.8. Tata Niaga Pembangkit Listrik di Indonesia
Dalam bisnis pembangkitan tenaga listrik, dikenal dua model transaksi
yaitu transaksi berbasis kapasitas dan energi dan transaksi berbasis energi. Dua
model tersebut dapat dijelaskan sebagai berikut :
1. Transaksi Berbasis Kapasitas dan Energi
Pada model ini transaksi pembayaran berdasarkan kapasitas yang dapat
disediakan dan produksi energi. Tarif ditetapkan per komponen
pembayaran, yaitu komponen A, B, C, D, dan pembayaran tambahan
(ancillary services). Komponen A dan B merupakan biaya tetap sedangkan
komponen C dan D merupakan biaya variabel. Model ini diaplikasikan
46
untuk pembangkit berkapasitas tetap (firm capacity), sepertu PLTU,
PLTG/U, dan PLTA besar.
2. Transaksi Berbasis Energi
Berbeda dengan yang pertama, transaksi pada model ini berdasarkan
besarnya energi yang dikirim (delivered). Semua komponen biaya
dinyatakan dengan tariff curah dan single tarif (Rp/kWh atau USD/kWh)
dan biasanya ada klausul take or pay (TOP). Model ini umum diplikasikan
untuk pembangkit berkapasitas tidak tetap (non firm capacity) dan
pembangkit energi terbarukan seperti PLTA run off river, PLTP, atau excess
power.
Pemodelan dalam tesis ini menggunakan transaksi berbasis kapasitas dan
energi karena sampel model yang digunakan adalah PLTU batu bara dengan
kapasitas 600 MW. Rincian tiap komponen tarif dapat dijelaskan sebagai berikut :
Komponen A, terdiri atas :
a. Pembayaran pokok hutang
b. Pembayaran bunga hutang
c. Pembayaran pajak
d. Amortisasi terhadap ekuitas
e. Pendapatan atas ekuitas
Pembayaran komponen A dihitung dengan formula :
𝐴𝑚 = 𝐷𝑀𝑁 𝑥 𝐸𝐴𝐹 𝑥 𝑃ℎ𝑚
𝑃ℎ𝑎 𝑥 𝐻𝑘𝑎𝑝 𝑇𝑂𝑇𝐴𝐿 (2.28)
dengan :
Am : Jumlah pembayaran komponen A pada satu periode
penagihan bulanan
DMN : Daya Mampu Netto (kW)
EAF : Faktor kesiapan unit pembangkit (%)
Phm : Jumlah hari dalam bulan penagihan
Pha : Jumlah hari dalam 1 tahun (365 atau 366 hari)
H kap
total
: Tarif komponen A, merupakan penjumlahan H kap local
dan H kap foreign (Rp/kW.tahun), yang nilainya
ditentukan dalam PPA.
47
Jika EAF realisasi > EAF declare maka berlaku
𝐸𝐴𝐹 = 𝐸𝐴𝐹𝑟𝑒𝑎𝑙𝑖𝑠𝑎𝑠𝑖 +1
2(𝐸𝐴𝐹𝑟𝑒𝑎𝑙𝑖𝑠𝑎𝑠𝑖 − 𝐸𝐴𝐹𝑑𝑒𝑐𝑙𝑎𝑟𝑒) (2.29)
Deklarasi EAF dilakukan bulanan
Komponen B, terdiri atas :
a. Biaya pemeliharaan
b. Biaya kepegawaian
c. Biaya administrasi dan umum
d. Asuransi aset pembangkit
Pembayaran komponen B dihitung dengan formula :
𝐵𝑚 = 𝐷𝑀𝑁 𝑥 𝐸𝐴𝐹 𝑥 𝑃ℎ𝑚
𝑃ℎ𝑎 𝑥 𝐻𝑓𝑖𝑥 𝑇𝑂𝑇𝐴𝐿 (2.30)
dengan :
Bm : Jumlah pembayaran komponen B pada satu periode
penagihan bulanan
DMN : Daya Mampu Netto (kW)
EAF : Faktor kesiapan unit pembangkit (%)
Phm : Jumlah hari dalam bulan penagihan
Pha : Jumlah hari dalam 1 tahun (365 atau 366 hari)
H kap
total
: Tarif komponen B, merupakan penjumlahan H fix local
dan H fix foreign (Rp/kW.tahun), yang nilainya
ditentukan dalam PPA
Jika EAF realisasi > EAF declare maka berlaku
𝐸𝐴𝐹 = 𝐸𝐴𝐹𝑟𝑒𝑎𝑙𝑖𝑠𝑎𝑠𝑖 (2.31)
Deklarasi EAF dilakukan bulanan
Komponen C, terdiri atas :
a. Biaya bahan bakar
b. Biaya pengelolaan waduk (untuk PLTA)
Pembayaran komponen C dihitung dengan formula :
48
Cm = E x ( SHRw / HHV ) x HBB tertimbang (2.32)
dengan :
Cm : Jumlah pembayaran komponen C pada satu periode
penagihan bulanan
E : Jumlah Energi yang dikirimkan (kWh)
SHRw : Heat rate tertimbang berdasarkan logger (kCal/kWh)
HHV : Nilai Kalor Bahan Bakar (kCal/kg atau kCal/l atau
kCal/MMBTU)
HHB
tertimbang
: Harga Bahan Bakar tertimbang (Rp/kg atau Rp/l atau
Rp/MMBTU)
HHB tertimbang mengacu ketentuan berikut :
- Batu Bara : Harga tertimbang H-45 sd H-15 bulan penagihan
- Gas : Harga tertimbang berdasarkan pemakaian gas dan harga kontrak
- Minyak : Harga tertimbang berdasarkan pemakaian minyak
Untuk pembangkit yang dimiliki PLN, pengadaan bahan bakar dilakukan
oleh PLN sehingga komponen C bersifat pass trough.
Komponen D, terdiri atas :
a. Biaya pelumas
b. Biaya bahan kimia dan material consumable
c. Biaya tenaga kerja tidak tetap
Pembayaran komponen D dihitung dengan formula :
Dm = E x Hvar (2.33)
dengan :
Dm : Jumlah pembayaran komponen D pada satu periode
penagihan bulanan
E : Jumlah Energi yang dikirimkan (kWh)
49
Hvar : Harga variabel operasi (Rp/kWh) yang nilainya
ditentukan dalam PPA
Pembayaran Tambahan (Ancillary Services)
Pembayaran tambahan pada transaksi tenaga listrik meliputi : (1)
pembayaran energi reaktif terbayar, (2) pembayaran black start, (3) pembayaran
start up, dan (4) pembayaran technical minimum load. Lebih lengkap, dapat
dijelaskan sebagai berikut :
Pembayaran Energi Reaktif Terbayar
Energi reaktif dibayar untuk mengkompensasi keandalan peralatan akibat
menyerap beban kapasitif jaringan. Energi reaktif dibayar jika power factor
(cos ) antara 0,85 sampai 0,95.
Gambar 2.20 Ilustrasi Transaksi terkait Energi Reaktif
Perhitungan setelmen (transaksi) energi reaktif mengacu persamaan berikut :
Untuk lagging (batasan cos = 0,85)
22/1
jam 1/2 )85.0(1)85.0(
- OutMVar Setelmen xMW
MVARjam (2.34)
Untuk leading (batasan cos = 0,95)
22/1
jam 1/2 )95.0(1)95.0(
- InMVar Setelmen xMW
MVARjam
(2.35)
50
Pembayaran Black Start
Item ini untuk mengkompensasi energi yang dikirimkan selama 4 jam
pertama saat restorasi sistem tenaga listrik saat terjadi black out. Pembayaran
black start mengacu formula berikut :
𝑃𝐵𝑆 = ∑ 𝐸𝐵𝑆 𝑥 𝐻𝐵𝑆𝑡≤4𝑗𝑎𝑚𝑡=1 (2.36)
dengan :
PBS : Pembayaran kompensasi terhadap black start (Rupiah)
EBS : Energi yang dikirimkan oleh mesin pembangkit yang
mempunyai kemampuan black start saat restorasi dari
kondisi black out (kWh).
HEBS : Harga energi yang dinggap sebagai black start – ancillary
services dari suatu mesin pembangkit yang mempunyai
kemampuan black start (Rp/kWh).
HEBS dihitung dari harga energi rata-rata komponen C bulan berjalan, sedang
untuk PLTA menggunakan marginal price sesaat sebelum terjadi gangguan
sistem.
Karena yang menjadi objek pemodelan adalah PLTU batu bara 600 MW yang
tidak memiliki fasilitas black start, maka model tarif ini tidak digunakan.
Pembayaran Start Up
Apabila start up melebihi dari ketentuan yang tercantum dalam batas teknis
di PPA, yang disebabkan permintaan PLN, maka kelebihan start up akan
diberikan kompensasi, dengan formula sebagai berikut :
Pstup = (E x HE import) + (V BBM x H BBM) (2.37)
dengan :
Pstup : Pembayaran kompensasi start up (Rupiah)
E : Jumlah tenaga listrik yang dibutuhkan oleh
pembangkit listrik untuk melakukan satu kali start up
(kWh).
HE import : Harga energi yang harus dibayar oleh PLN kepada
pembangkit yang digunakan untuk satu kali start up
51
yang besarnya sama dengan harga energi impor pada
setelmen bulanan untuk masing-masing entitas
(Rupiah).
V BBM : Volume bahan bakar BBM yang diperlukan oleh
pembangkit yang besarnya seperti tercantum dalam
PPA (liter untuk HSD dan MMBTU untuk gas).
H BBM : Harga bahan bakar BBM yang digunakan untuk satu
kali start up BBM yang digunakan pada setelmen
bulanan untuk masing-masing entitas (Rupiah).
Pada pemodelan, persamaan ini perlu diperhatikan. Jika jumlah start up di
atas yang dipersyaratkan, namun bukan atas perintah dispatcher, maka biaya
start up justru akan menjadi biaya O&M.
Pembayaran Technical Minimum Load
Pada titik-titik dimana unit pembangkit dibebani pada Technical Minimum
Load (TML), maka pembangkit akan dibayar sebagai bentuk kompensasi
efisiensi termal yang rendah. Pembayaran kompensasi TML mengacu
persamaan berikut :
𝑃𝑇𝑀𝐿 =1
2𝑥 ∑ 𝑓𝑆𝑡𝑥 [∑ 𝑆𝐻𝑅𝑇𝑀𝐿 − 𝑆𝐻𝑅𝑀𝐼𝑁
𝑛
𝑡=1
] 𝑥[𝐸𝑀𝐼𝑁
𝑛
𝑡=1
− 𝐸𝑇𝑀𝐿]𝑥[(𝑘𝐺𝐴𝑆𝑥𝐻𝐺𝐴𝑆𝑅𝑥𝐸𝑟𝑅/𝐻𝐻𝑉𝐺𝐴𝑆)
+ (𝑘𝐵𝐵𝑀𝑥𝐻𝐵𝐵𝑀𝑅/𝐻𝐻𝑉𝐵𝐵𝑀)] (2.38)
dengan :
PTML : Pembayaran kompensasi karena beroperasi pada
technical minimum load (Rupiah).
SHR TML : Nilai heat rate pada beban TML sesuai kesepakatan
heat rate pada PPA.
SHR MIN : Nilai heat rate pada nilai daya minimum sesuai
kesepakatan heat rate pada PPA.
HHV : Nilai Kalor Bahan Bakar (kCal/kg atau kCal/l atau
kCal/MMBTU).
52
f St : Faktor status operasi, dimana f St = 1 bila Ei < E MIN.
E min : Beban minimum sesuai kesepakatan heat rate.
E TML Beban TML sesuai kesepakatan heat rate.
K GAS : Kesepakatan konstana komposisi energi gas yang
berupa perbandingan jumlah input kalor gas terhadap
total input kalor masing-masing entitas selama kurun
waktu tertentu (%).
H GASR : Harga rata-rata gas realisasi pemakaian dalam periode
penagihan (USD/MMBTU).
Er R : Besarnya nilai tukar Rupiah per 1 USD yang
digunakan pada bulan penagihan (Rp/USD)
HHV GAS : Asumsi nilai kalor kotor gas yang digunakan pada
harga penawaran yang disampaikan atau price cap
komponen C yang diberlakukan (kCal/MMBTU)
K BBM : Kesepakatan konstanta komposisi energi BBM yang
berupa perbandingan jumlah input kalor BBM
terhadap total input kalor masing-masing entitas
selama kurun waktu tertentu (%)
H BBMR : Harga bahan bakar BBM, baik HSD dan MFO
(termasuk biaya transpor) pada bulan penagihan
(Rp/liter)
HHV BBM : Asumsi nilai kalor kotor bahan bakar BBM, baik HSD
dan MFO yang digunakan pada harga penawaran yang
disampaikan atau price cap komponen C yang
diberlakukan (kCal/liter)
: 9.598 kCal/liter untuk MFO dan 9.095 kCal/liter untuk
HSD
2.9. Pemodelan Biaya Operasi dan Efisiensi Pembangkit Listrik
Pada bagian ini, diperlukan perhitungan untuk menentukan berapa jumlah
biaya yang diperlukan untuk penyediaan bahan bakar (batu bara). Hal ini perlu
53
dianalisis mengingat biaya bahan bakar cukup dominan dari total biaya O&M.
Konsumsi bahan bakar sangat ditentukan oleh efisiensi termal, yang dinyatakan
dalam % atau heat rate.
Heat rate dapat diartikan sebagai satuan Btu/kWh (kJ/kWh) yang
menunjukkan jumlah panas yang diberikan kepada sistem dibagi jumlah energi
yang dibangkitkan oleh sistem (EPRI, 1998). Efisiensi termal sangat dipengaruhi
oleh faktor peralatan namun faktor kompetensi operator juga cukup menentukan,
tentang bagaimana mereka mengoperasikan pembangkit pada batasan operasi
paling efisien.
Secara umum, terdapat dua cara untuk menghitug heat rate yaitu
menggunakan metode input-output atau melalui perhitungan loss-output. Pada
metode input/output, perhitungan memanfaatkan pengukuran flow rate dan heating
value bahan bakar pada suatu kondisi operasi tertentu. Sedangkan pada metode loss
output dilakukan pengukuran panas yang hilang di peralatan untuk kemudian
dikurangkan dengan panas yang diberikan (EPRI, 1998). Hal tersebut didasarkan
pada neraca panas pada persamaan berikut :
M coal x HHV = QT – QA + LB – Pfm (2.39)
dengan :
QT : Kecepatan perpindahan panas pada
siklus PLTU
QA : Kecepatan perpinahan panas di
dalam air pre heater
Pm : Power pada fan dan mill
LB : Lossess pada boiler, termasuk di
dalamnya flue gas, unburned carbon, dan
panas sensible pada ash.
Secara lebih detail, komponen perhitungan heat rate dapat dijelaskan pada
fault tree diagram pada Gambar 2.21.
54
Gambar 2.21 Fault Tree Diagram untuk Perhitungan Loss Output PLTU (Duke,
2006)
Pada tesis ini, heat rate dihitung menggunakan metode loss output dengan
mengasumsikan panas yang hilang pada masing-masing peralatan konstan. Adapun
harga batu bara dihitung dengan pendekatan statistik dari data batu bara di pasar.
2.10. Pemodelan Biaya Pemeliharaan Pembangkit berbasis Keandalan
Pada formulasi biaya pemeliharaan, difokuskan untuk menentukan biaya
masing-masing jenis pemeliharaan, baik material maupun jasa, yang nantinya
diagregasi menjadi total biaya pemeliharaan.
Corrective Maintenance Cost
Corrective Maintenance dapat didefinisikan sebagai tindakan
perbaikan karena terjadinya kerusakan atau defisiensi yang ditemukan selama
Preventive Maintenance, dimaksudkan untuk memperbaiki peralatan pada
kondisi operasi normalnya (Dhillon, 2002).
Lebih jauh, Dhillon (2002) memberikan formula untuk menghitung
pemeliharaan korektif sebagai berikut :
55
𝐴𝐿𝐶𝑐𝑚 =(𝑀𝑇𝑇𝑅)(𝐴𝑆𝑂𝐻)(𝐿𝐶𝐻
𝑀𝑇𝐵𝐹 (2.40)
dengan :
ALCcm : Biaya tenaga kerja tahunan untuk Corrective
Maintenance (Rupiah)
ASOH : Service hours dalam waktu setahun (jam)
LCH : Tarif tenaga kerja untuk Corrective Maintenance per
jam (Rupiah)
MTTR : Mean Time to Repair (jam)
MTBF : Mean Time between Failure (jam)
Untuk biaya material bisa diestimasi rerata jenis part yang sering
mengalami failure, harga, dan MTBF-nya.
Kesuksesan eksekusi corrective maintenance juga dipengaruhi faktor
kompetensi teknisi. Tidak dapat dipungkiri bahwa human error susah
dihindari. Hal ini terkait erat dengan faktor kompetensi dan tingkat stress
teknisi. Untuk itu, human reliability perlu dikalkulasi. Dhillon (2002)
memberikan formula untuk menghitung human reliability sebagai berikut :
𝑀𝑇𝑇𝐻𝐸 = ∫ 𝑅ℎ𝑝 (𝑡)𝑑𝑡∞
0
= ∫ 𝑒𝑥𝑝 [− ∫ 𝜆ℎ(𝑡)𝑑𝑡𝑡
0] 𝑑𝑡
∞
0 (2.41)
dimana MTTHE adalah mean time to human error.
Preventive Maintenance Cost
Preventive maintenance adalah perawatan dan servis oleh individu
yang terlibat dalam pemeliharaan untuk menjaga peralatan / fasilitas dalam
kondisi operasional yang memuaskan dengan menyediakan pemeriksaan
yang sistematis, deteksi, dan koreksi atas kegagalan dini sebelum terjadi
kegagalan yang lebih besar (Dhillon, 2002).
Cakupan pekerjaan preventive maintenance yang digunakan dalam
tesis ini mengacu pada standar best practices yang dirilis oleh EPRI. Pada
56
standar tersebut memuat standar material, manhour, serta frekuensi
pemeliharaan pada masing-masing peralatan. Dari situ, dapat dihitung biaya
pemeliharaan pada setiap task yang kemudian diagregasi dalam periode
setahun.
Overhaul Cost
Diantara seluruh biaya pemeliharaan, overhaul paling mendominasi,
yaitu sekitar 70-80% karena melibatkan penggantian part utama.
Sebagaimana jenis pemeliharaan lainnya, biaya overhaul juga terdiri atas
biaya material dan jasa. Pada beberapa pembangkit, overhaul biasa
dialihdayakan melalui skema Longterm Part and Service Agreement
(LTPSA), namun tidak sedikit yang dikerjakan sendiri, baik melalui teknisi
internal pembangkit tersebut maupun oleh unit pemeliharaan. Seperti halnya
PJB yang memiliki Unit Pelayanan Pemeliharaan Wilayah Timur (UPHT)
dan Barat (UPHB).
Biaya overhaul dapat diprediksi berdasarkan siklus pemeliharaanya.
Spare part yang harus diganti biasanya juga disebutkan dalam manual book
sesuai siklus overhaul. Secara umum, siklus overhaul terbagi atas empat
siklus, dimana tiap siklus biasanya terdiri atas ; 2 tahun ( Untuk PLTGU), 4
tahun (untuk PLTU) dan 6 tahun (untuk PLTA).
Siklus tersebut didasarkan pada siklus equipment sebagaimana
dijelaskan pada Tabel 2.3 sebagai berikut :
57
Tabel 2.3 Siklus Overhaul pada Beberapa Jenis Pembangkit (PJB Academy,
2013)
EOH : equivalent operating hour
2.11. Pemilihan Software untuk Pemodelan Sistem Dinamik
Saat ini banyak berkembang software untuk pemodelan sistem dinamik di
pasar. Bahkan beberapa software masih terus dikembangkan untuk meningkatkan
fiturnya dan menyelesaikan permasalahan yang tersisa (bug). Software yang paling
populer digunakan dan memiliki fasilitas mencukupi, digunakan dalam tesis ini.
Tabel 2.4 menjelaskan beberapa software untuk pemodelan sistem dinamik.
SI : Simple Inspection
ME : Medium Inspection
SE : Serius Inspection
AI : Annual Inspection
GI : General Inspection
MO : Major OH
CI : Combustion Inspection
TI : Turbine Inspection
MI : Major Inspection
8.000 OH
16.000 OH
32.000 OH
8.000 OH
20.000 OH
40.000 OH
8.000 EOH
16.000 EOH
32.000 EOH
TA : Type A Inspection
TB : Type B Inspection
TC : Type C Inspection
TO : Top OH
SO : Semi OH
MO : Major OH
6.000 EOH
12.000 EOH
24.000 EOH
3.000 OH
6.000 OH
12.000 OH
58
Tabel 2.4 Daftar Software untuk Pemodelan Sistem Dinamik
Nama Lisensi Versi
Terakhir
Website Harga
(USD)*
Keterangan
AnyLogic Komersial 7.0 http://anylo
gic.com
Call Tidak ada versi trial.
Cocok untuk system
dynamic, dan discrete
event modelling
Dynamo Komersial, tapi
sudah tidak
didistribusikan
N/A N/A N/A
Powersim
Studio
Komersial
dengan free
trial
9.0 http://www.
powersim.c
om
2.457 Menyajikan fungsi
yang terbatas dengan
trial 6 bulan
Stella,
iThink
Hanya
komersial
10.0 http://isees
ystems.com
2.499
Vensim Komersial
dengan
layanan bebas
untuk personal
lisence &
education
(PLE)
7.2 http://vensi
m.com
1.995 Versi PLE tersedia
gratis untuk personal
dan akademisi
Sumber : Sontamino, 2014
Sontamino (2014) membandingkan kelima software tersebut dengan
melakukan rating melalui beberapa kriteria. Hasilnya ditabelkan sebagai berikut :
Tabel 2.5 Perbandingan Lima Software Sistem Dinamik
Kriteria Vensim Powersim Stella/iThink Dynamo AnyLogic
Versi trial 5 4 0 0 0
Simulasi fungsi
support
4 4 4 3 5
Harga versi komersial 5 4 4 0 0
User interface 4 4 4 1 4
Struktur model 4 5 5 2 4
Popularitas 4 5 5 1 3
Keberlangsungan
pengembangan
5 5 5 0 5
Jumlah Nilai 31 31 27 7 21
Keterangan : 5=excellent, 4 = very good, 3 = good, 2 = fair, 1 = poor, 0 = not available
Sumber : Sontamino, 2014
59
Dari perbandingan di atas nampak bahwa Vensim dan Powersim
mendapatkan nilai paling tinggi. Kedua software ini menawarkan versi trial dan
gratis untuk kepentingan personal dan pendidikan. Secara struktur model juga
mirip, bahkan Powersim lebih baik dari struktur Vensim. Namun versi trial
Powersim berbatas waktu (6 bulan), jumlah variabel dalam model terbatas, dan
terdapat pembatasan fitur yang lain. Sedangkan Vensim tidak mengenal
pembatasan waktu dan jumlah variabel, namun tetap ada pembatasan fungsi. Jika
dibandingkan secara harga, Vensim lebih murah. Disamping itu, Vensim juga lebih
populer (Sontamino, 2014). Berdasar pertimbangan di atas, tesis ini menggunakan
Vensim DSS versi 6.4E
60
Halaman ini dibiarkan kosong
61
BAB 3
METODOLOGI PENELITIAN
3.1. Metodologi Penelitian
Tahapan penelitian dalam tesis ini sesuai block diagram pada Gambar 3.1.
Penelitian dimulai dengan pengembangan model sistem dinamik. Model yang
dibangun mengacu peta teknik/ekonomi proses bisnis pembangkitan yang
dikemukakan EPRI (Gambar 2.6). Kendati demikian, beberapa proses
disederhanakan dan disesuaikan dengan proses bisnis pembangkitan yang berlaku
di PLN. Fungsi obyektif pemodelan adalah untuk memaksimalkan keuntungan dan
tingkat keandalan (reliability) minimal yang harus dicapai, dimana parameter ini
biasa menjadi salah satu acuan keberterimaan dalam kontrak jasa O&M.
Mengingat, kontrak O&M biasanya berlaku dalam jangka waktu yang
panjang, maka keuntungan dinyatakan dalam nilai uang sekarang (net present
value, NPV). Mengacu ke siklus Life Cycle Cost (LCC), maka simulasi dibatasi
hanya untuk fase O&M. Adapun biaya yang timbul pada fase akuisisi di disposal
dikeluarkan karena menjadi tanggung jawab pemilik aset dan biasanya melibatkan
penyandang dana eksternal dengan model pembiayaan tersendiri. Pada tahap ini
digunakan formula-formula terkait tata niaga ketenagalistrikan, persamaan biaya
pembangkit, persamaan reliability, dan juga teori pemodelan sistem dinamik,
sebagai dasar simulasi.
Pada tahap pertama disusun Causal Loop Diagram (CLD) untuk
memetakan hubungan sebab akibat dari beberapa parameter, yang kemudian
diterjemahkan ke dalam stock and flow diagram untuk memudahkan dalam
formulasi. Formula yang ada lalu dimasukkan ke dalam model sehingga model siap
disimulasikan.
62
Gambar 3.1 Block Diagram Metodologi Penelitian
Pada tahapan analisis variabel, ditentukan variabel-variabel yang
dibutuhkan dalam simulasi. Data diambil dari beberapa referensi, diantaranya
namun tidak terbatas pada : laporan rutin pembangkit, dokumen perusahaan, tata
niaga ketenagalistrikan, standar internasional, database teknologi informasi, data
eksternal, dan justifikasi expert.
START
Pengembangan Pemodelan Sistem
Dinamik
Analisis Variabel
Verifikasi Model
Kesimpulan dan rekomendasi
Laporan Rutin Pembangkit Dokumen Perusahaan Tata Niaga Ketenagalistrikan Standar Internasional Database Teknologi Informasi Data Eksternal Justifikasi Expert
Causal Loop Diagram Stock and Flow Diagram Pemodelan System Dinamik
Pemeriksaan logika Pemeriksaan struktur
model Pemeriksaan satuan model Pemeriksaan sensitivitas
model
Variabel pada Model Keandalan dan Ketersediaan
Variabel pada Model Biaya Operasi
Variabel pada Model Biaya Pemeliharaan
Variabel pada Model Biaya Pemeliharaan
Variabel exogenous
FINISH
Deviasi < acceptance
criteria
YA
TIDAK
Simulasi model
Pengembangan Model Reliability
Simulasi model reliability
Data Downtime dari CMMS
Reliability block diagram
Konstanta distribusi Weibull
Komparasi hasil simulasi dengan data riil
Analisis hasil penelitian
Data O&M PLTU Paiton 9 Data keuangan PLTU
Paiton 9
Mengembangkan simulasi untuk skenario
yang lain
63
Variabel reliability fungsi waktu, R (t), diperoleh melalui simulasi
pemodelan. Data downtime disimulasikan melalui software Minitab setelah
Reliability Block Diagram (RBD) ditentukan. Reliability yang dimaksud, adalah
keandalan pada level plant (pembangkit) yang merupakan agregasi keandalan pada
level equipment (peralatan). Pada jangka waktu yang panjang, reliability pada level
plant biasanya dinyatakan dalam availability (ketersediaan).
Model diverifikasi melalui beberapa tahapan, diantaranya : pemeriksaan
logika, pemeriksaan struktur model, pemeriksaan satuan model, dan sensitivitas
model. Terkait uji sensitivitas, pada model diberikan data pada range yang lebar,
kemudian dievaluasi apakah model memberikan respon yang sensitif. Proses
verifikasi memanfaatkan fitur yang disediakan software Vensim.
Model kemudian disimulasi dengan basis perhitungan sesuai untuk PLTU
batu bara kapasitas 600 MW. Simulasi pertama, sebagai basis perhitungan
berikutnya, diasumsikan semua aktvitas O&M dikerjakan internal oleh pemilik
aset. Hasilnya lalu dibandingkan dengan riil data pembangkit dengan pola O&M
yang sama.
Pada penelitian ini digunakan data dari PLTU Paiton unit 9 (1 x 600 MW),
meliputi data O&M dan data keuangan. Pemilihan PLTU unit 9 didasari
pertimbangan bahwa rencana pengembangan pembangkit ke depan, didominasi
kelas pembangkit ≥ 600 MW baik dengan teknologi sub critical, super critical,
maupun ultra super critical (ESDM, 2016). Apabila hasil simulasi telah sesuai
dengan data riil (memenuhi acceptance criteria yang dipersyaratkan), maka model
dinyatakan valid. Namun jika tidak lolos, model harus direvisi kembali mengikuti
langkah-langkah sebelumya. Kendati divalidasi dengan data PLTU 600 MW, model
ini bersifat generic, yang nantinya tetap bisa diaplikasikan untuk pembangkit
lainnya.
Tahap selanjutnya dilakukan simulasi untuk beberapa opsi O&M
pembangkit, yaitu : (1) aktivitas O&M dialihdayakan untuk cakupan asset manager
dan asset operator, (2) aktivitas O&M dialihdayakan untuk cakupan asset operator
untuk seluruh aset pembangkit, dan (3) aktivitas O&M dialihdayakan untuk
cakupan asset operator hanya untuk balance of plant (peralatan pendukung) saja.
64
Hasil penelitian dianalisis untuk menentukan opsi O&M yang memberikan
keuntungan finansial dan reliability tertinggi. Disamping itu dapat diketahui faktor
yang paling sensitif mempengaruhi pencapaian fungsi obyektif tersebut. Ke depan,
hasil penelitian ini dapat dimanfaatkan manajemen PJB untuk menentukan metode
O&M yang paling menguntungkan sekaligus mengevaluasi proses O&M yang
sedang berjalan. Tahap penelitian selanjutnya, memungkinkan untuk dibuat
interface model untuk memudahkan pengguna umum dalam memanfaatkan hasil
penelitian sebagai decision support system penentuan metode O&M PLTU batu
bara yang paling tepat. Namun pembuatan interface model di luar cakupan tesis ini.
3.2. Causal Loop Diagram dan Stock&Flow Diagram
Beberapa faktor yang berpengaruh dalam pengelolaan pembangkit dapat
dinyatakan sebagai Causal Loop Diagram (CLP) seperti pada Gambar 3.2.
Gambar 3.2 Causal Loop Diagram Proses Bisnis Pembangkit Listrik
Model ini dikembangkan berdasarkan framework RIAM dari EPRI dengan
penyesuaian sesuai proses bisnis pembangkitan di PLN. Net cash flow pembangkit
dipengaruhi oleh revenue dan life cycle cost. Semakin tinggi revenue maka net cash
flow akan meningkat pula. Sebaliknya life cycle cost berkontribusi negatif terhadap
Net Present Value
(NPV)
Availability
Planned Outage Unplanned Outage
Derating
Fuel Cost
Thermal Efficiency
Proactive
Maintenance Cost
Reactive
Maintenance Cost
Power Produced+
+
-
-- -
Reliability
-
-
+
+
+
Machine
+
+
Discount
Rate
PPARequire
ment
LoadDispatched
+
+
+
1 -
2 +
3 -
4 +
Fuel
Price
+
Maintenance
Project Budget +
Maintenance Cost
Life Cycle Cost
Revenue
Net Cash Flow
++
++
G&A ExpenseHR Cost
+
+ +Operation Cost
+
+
+
-
+
O&M
Management
+
+
+
HHV
-
65
net cash flow. Maka untuk memaksimalkan net cash flow harus dengan
memaksimalkan revenue dan meminimalkan life cycle cost. Hal ini membentuk
balance feedback loop (1).
Pendapatan pengoperasian pembangkit berasal dari faktor availability
(kesiapan) dan energi yang dibangkitkan. Energi yang dibangkitkan juga sangat
dipengaruhi oleh faktor ketersediaan, persyaratan teknik dalam PPA, dan
permintaan pembebanan dari P2B. Availability merupakan faktor yang masih dalam
kontrol, tapi untuk pembebanan P2B dan PPA bersifat exogenous (di luar kontrol)
meskipun ada faktor bidding biaya bahan bakar juga.
Availability merupakan fungsi planned outage, unplanned outage, dan
derating. Dimana availability akan berkurang oleh tiga faktor tersebut. Disamping
itu, planned outage, unplanned outage, dan derating akan berimbas pada nilai
proactive maintenance cost dan reactive maintenance cost. Reliability yang tinggi
juga berdampak positif pada availability. Hubungan antara reliability, availability,
dan outage/derating membentuk reinforce feedback loop (4).
Dari beberapa faktor di atas, pengaruh reliability (keandalan) cukup
dominan terhadap beberapa faktor lain. Jika reliability tinggi, maka availability
akan naik, yang berujung pada peningkatan revenue. Di sisi lain, keandalan yang
tinggi akan menekan reactive maintenance cost, yang juga berkontribusi positif
pada net cash flow. Reliability tidak berdampak langsung ke faktor yang lain,
melainkan ada time delay. Reliability banyak dipengaruhi oleh jenis mesin yang
bersifat exogenous dan ada faktor manajemen pengelolaan (orang, metode,
peralatan, dll). Terkait kebijakan alihdaya, manajemen O&M yang dikelola secara
baik akan meningkatkan keandalan peralatan. Sebaliknya maintenance project
budget akan memperbaiki reliability dari sisi peralatan. Kondisi ini memberikan
reinforce feedback loop (2). Karena tesis ini tidak memvariasi jenis atau kelas
pembangkit, perubahan reliability terkait sifat alami peralatan di luar cakupan
penelitian.
Life cyle cost terdiri atas biaya bahan bakar, biaya pemeliharaan, biaya
SDM (HR cost) dan General-Administration Cost. Pengelompokan item biaya yang
disebut dalam CLD, diadaptasi dari mekanisme di PJB. Berdasarkan Laporan
Keuangan PJB Tahun 2016, komponen biaya terbesar adalah biaya bahan bakar
66
(64%), depresiasi (14,16%), biaya pemeliharaan (12,73%), biaya kepegawaian
(5,69%), dan biaya administrasi (3,42%) (PJB, 2017).
Biaya bahan bakar ditentukan oleh efisiensi termal, harga bahan bakar, dan
juga energi yang diproduksi sebagai faktor pengali. Harga bahan bakar merupakan
faktor exogenous, adapun efisiensi masih dalam kontrol kontraktor O&M,
meskipun faktor peralatan tidak bisa dipisahkan dari analisis. Kondisi ini
memberikan balancing feedback loop (3).
Jika kondisi finansial perusahaan sehat, diindikasikan net cash flow yang
tinggi, maka perusahaan akan memiliki kemampuan belanja modal (investasi) yang
baik pula. Investasi ini terkait dengan proses peremajaan peralatan maupun retrofit,
yang tentu akan memperbaiki keandalan dan efisiensi.
Causal loop diagram pada Gambar 3.2 dapat dimodifikasi menjadi stock
and flow diagram untuk memudahkan dalam membuat pemodelan selanjutnya.
Stock and flow diagram proses bisnis pembangkit listrik dapat dijelaskan pada
Gambar 3.3.
Gambar 3.3 Stock and Flow Diagram
Pada gambar di atas, ada tiga sistem stock and flow. Pertama adalah stock
net cash flow ditentukan inputan flow/rate revenue dan outputan life cycle cost rate.
Kedua, stock energi yang dibangkitkan ditentukan rate produksi. Dan yang ketiga,
Net Cash
FlowRevenue Rate Life Cycle Cost
Rate
HR Cost
G&A ExpenseMaintenance Cost
Operation Cost
Proactive
Maintenance Cost
Reactive
Maintenance Cost
AvailabilityReliability
Planned Outage Unplanned Outage Derating
Ancillary Services
Fuel Cost
Thermal Effciency
Fuel Price
Power
ProducedProduction Rate
PPA Requirement
Load Dispatch
Machine
Net PV
Discount Rate
O&M
Management
Investment Budget
<Investment
Budget>
<Availability>
67
availability yang ditentukan reliability rate. Masing-masing rate dipengaruhi
beberapa faktor sebagaimana disebutkan di atas.
Pada tahapan berikutnya, causal loop diagram dan stock-flow diagram di
atas dikembangkan menjadi sub struktur model yang lebih detail. Perilaku aktual
diterjemahkan dalam bahasa matematika. Paramater yang dibutuhkan diisi dengan
data-data yang telah diolah sebelumnya.
3.3.Pengumpulan Data
Data menjadi bagian penting dalam penelitian ini. Data diperlukan untuk
menyusun formulasi model, maupun referensi untuk validasi model. Beberapa data
yang dikategorikan berdasar sumbernya, dapat dijelaskan pada Gambar 3.4
Gambar 3.4 Data Penelitian Berdasar Sumbernya
Database Teknologi Informasi
CMMS Ellipse dan Maximo
Navitas
Web MO
Laporan RutinLaporan Pengusahaan
Bulanan
Laporan Efisiensi Bulanan
Laporan Pemakaian Bahan Bakar Bulanan
Dokumen Perusahaan RUPTL Tahun 2016-2025
Power Purchase Agreement (PPA) PLTU
Paiton 9
Laporan Keuangan
Data EksternalHarga Batubara Acuan
(HBA) Kementerian ESDM
BI Rate
Regulasi terkait
Justifikasi ExpertPerilaku model terkait
aspek teknis dan kebijakan manajemen
Model Reliability & Availability
Model Biaya Operasi
Model Biaya Pemeliharaan
Model Cash Flow
International Standard EPRI – PM Basis
EPRI - Heat Rate Reference Improvement
Manual
68
Secara garis besar, data berasal dari database teknologi informasi, laporan
rutin, dokumen perusahaan, data eksternal, dan standar internasional. Justifikasi
expert (pakar) diperlukan apabila pendekatan teoretis tidak bisa dilakukan dan
terkait dengan perilaku kebijakan internal perusahaan. Penggalian informasi dari
narasumber ahli dilakukan dengan metode wawancara. Diantara data-data seperti
disebutkan pada Gambar 3.4, ada data yang langsung dipergunakan namun ada
yang perlu diolah sehingga menjadi sebuah informasi. Metode pengolahan data
menggunakan bantuan software spreadsheet (misalnya Microsoft Excel) dan
software statistik (misalnya Minitab).
3.4. Verifikasi Model
Setelah semua variabel dimasukkan, langkah selanjutnya adalah
melakukan verifikasi model. Tujuan verifikasi untuk mengetahui kelayakan suatu
model yang dibangun apakah sudah mewakili realitas yang dikaji dan dapat
menghasilkan kesimpulan yang meyakinkan.
Proses verifikasi meliputi :
Pemeriksaan logika
Pemeriksaan struktur model
Pemeriksaan satuan model
Pemeriksaan sensitivitas model
3.4.1. Pemeriksaan Logika
Pemeriksaan logika bertujuan untuk melihat kesesuaian logika model
dengan kondisi aktual. Uji logika dilakukan dengan melihat dua variabel yang
saling berhubungan, serta membandingkan hasil logika aktual dengan hasil
simulasi. Pada sistem dinamik terdapat dua jenis relasi : reinforced feedback loop,
satu paramter bersifat menguatkan parameter yang lain, atau balancing feedback
loop, yaitu satu parameter melemahkan parameter yang lain. Pada uji logika,
setidaknya diambil dua set variabel yang mewakili reinforce feedback loop dan
balancing feedback loop.
69
3.4.2. Pemeriksaan Struktur Model
Pemeriksaan struktur model dimaksudkan untuk mengetahui bahwa model
telah mencerminkan sistem dinamik, dimana karakter utama sistem dinamik adalah
adanya closed loop (siklus tertutup) dan semua informasi harus dimanfaatkan.
Vensim telah menyediakan fitur pemeriksaan struktur. Apabila Vensim
menyatakan struktur model telah benar, proses dapat dilanjutkan pada tahapan
selanjutnya.
3.4.3. Pemeriksaan Satuan Model
Penyusunan model sistem dinamik di Vensim mempersyaratkan
konsistensi satuan, terkait operasi perhitungan matematis di dalamnya. Vensim juga
telah menyediakan fasilitas untuk memeriksa “unit check”. Apabila Vensim
menyatakan satuan telah konsisten, maka proses dapat dilanjutkan pada tahapan
berikutnya.
3.4.4. Pemeriksaan Sensitivitas Model
Analisis sensitivitas digunakan untuk menganalisis seberapa sensitif
model merespon perubahan variabel input. Biasanya uji sensitivitas diterapkan
untuk menguji variabel yang tidak bisa dikontrol manajemen namun berpengaruh
pada variabel output. Kendati demikian, uji sensitivitas untuk variabel yang dalam
kendali manajemen harus tetap dilakukan. Hasil uji sensitivitas akan memberikan
informasi kepada manajemen agar lebih fokus terhadap variabel yang sensitif
terhadap perubahan variabel lain. Dalam hal ini perlu disiapkan langkah mitigasi
sehingga dampak negatif terhadap perubahan tersebut dapat diantisipasi
sebelumnya.
Pengujian sensitivitas dilakukan dengan cara :
1. Pemilihan variabel input
Variabel input hendaknya dipilih yang secara riil memang berpotensi
berubah, bersifat kritikal, baik yang dalam kendali manajemen maupun di
luar kendali manajemen.
70
2. Pemilihan variabel output
Variabel output yang dipilih hendaknya yang mencerminkan indikator
kesuksesan perusahaan.
3. Menetapkan nilai input
Sebagai nilai dasar variabel input, diambil rerata data variabel input.
Kemudian ditambahkan simpangan yang besarnya sama, baik pada arah
positif maupun negatif. Perlu dipikirkan dalam menentukan simpangan
adalah, data tersebut masih mungkin terjadi. Jangan memberikan nilai
simpangan yang pada kondisi aktual tidak pernah terjadi.
4. Melakukan simulasi Vensim
Yaitu melakukan running model di Vensim.
5. Membandingkan deviasi perubahan nilai variabel output terhadap
perubahan variabel input
Devisasi dihitung dengan persamaan berikut
𝐷𝑒𝑣𝑖𝑎𝑠𝑖 𝐼𝑛𝑝𝑢𝑡𝑖 =(𝑉𝑎𝑟𝑖𝑎𝑏𝑒𝑙 𝐼𝑛𝑝𝑢𝑡 (𝑏𝑎𝑠𝑒+𝑢𝑝 𝑠𝑒𝑡) 𝑖−𝑉𝑎𝑟𝑖𝑎𝑏𝑒𝑙 𝐼𝑛𝑝𝑢𝑡 (𝑏𝑎𝑠𝑒−𝑑𝑜𝑤𝑛 𝑠𝑒𝑡) 𝑖
𝑉𝑎𝑟𝑖𝑎𝑏𝑒𝑙 𝐼𝑛𝑝𝑢𝑡 (𝑏𝑎𝑠𝑒)𝑥100% (3.1)
𝐷𝑒𝑣𝑖𝑎𝑠𝑖 𝑂𝑢𝑡𝑝𝑢𝑡𝑖 =(𝑉𝑎𝑟𝑖𝑎𝑏𝑒𝑙 𝑂𝑢𝑡𝑝𝑢𝑡 (𝑏𝑎𝑠𝑒+𝑢𝑝 𝑠𝑒𝑡) 𝑖−𝑉𝑎𝑟𝑖𝑎𝑏𝑒𝑙 𝑂𝑢𝑡𝑝𝑢𝑡 (𝑏𝑎𝑠𝑒−𝑑𝑜𝑤𝑛 𝑠𝑒𝑡) 𝑖
𝑉𝑎𝑟𝑖𝑎𝑏𝑒𝑙 𝑂𝑢𝑡𝑝𝑢𝑡 (𝑏𝑎𝑠𝑒)𝑥100% (3.2)
dengan :
Deviasi Inputi : Deviasi variabel input ke-i (%).
Variabel Input (base)i : Nilai rerata variabel input ke-i (sesuai satuan
variabel).
Variabel Input (base+up set)i : Nilai dasar variabel input ke-i ditambah % up
set dikalikan nilai dasar (sesuai satuan
variabel).
Variabel Input (base+down
set)i
: Nilai dasar variabel input ke-i dikurangi %
down set dikalikan nilai dasar (sesuai satuan
variabel).
Deviasi Outputi : Deviasi variabel output ke-i (%).
Variabel Output (base)i : Nilai rerata variabel output ke-i (sesuai
satuan variabel).
71
Variabel Output (base+up
set)i
: Nilai dasar variabel output ke-i ditambah %
up set dikalikan nilai dasar (sesuai satuan
variabel).
Variabel Output (base+down
set)i
: Nilai dasar variabel output ke-i dikurangi %
down set dikalikan nilai dasar (sesuai satuan
variabel).
Nilai deviasi output kemudian dibandingkan satu sama lain. Variabel input
yang memberikan deviasi output yang tinggi dianggap paling sensitif terhadap
perubahan.
3.5. Simulasi Model
Pada tahapan ini dilakukan simulasi dengan 4 skenario sebagaimana telah
dijelaskan sebelumnya. Keempat skenario tersebut adalah :
Skenario 1 :
Pembangkit listrik dikelola langsung oleh pemilik aset.
Skenario 2 :
Pemilik aset mengalihdayakan pengelolaan pembangkitnya dengan cakupan
pekerjaan sebagai asset manager sekaligus asset operator.
Skenario 3
Pemilik aset mengalihdayakan pengelolaan pembangkitnya dengan cakupan
pekerjaan sebagai asset operator saja.
Skenario 4
Peralatan utama pembangkit langsung dikelola oleh pemilik aset, sedangkan
peralatan pendukung (balance of plant) dialihdayakan dengan cakupan
sebagai asset operator.
3.6. Validasi Hasil Simulasi
Untuk menguji keakuratan model dengan data lapangan, digunakan
metode Mean Absolute Percentage Error (MAPE). MAPE dihitung dengan
persamaan :
72
𝑀𝐴𝑃𝐸 =1
𝑛∑
|𝑋𝑚−𝑋𝑑|
𝑋𝑑𝑥100% (3.3)
dengan :
MAPE : Mean Absolute Percentage Error (%)
Xm : Data hasil simulasi
Xd : Data aktual
n : Periode/banyaknya data
Kriteria ketepatan model dengan uji MAPE (Lewis, 1982) adalah :
MAPE < 10 % : Sangat tepat
10% < MAPE < 20% : Tepat
20% < MAPE < 50% : Cukup Tepat
MAPE > 50% : Tidak tepat
Dalam hal ini digunakan data PLTU Paiton 9 (1 x 600 MW) sebagai
referensi dimana PJB sebagai asset manager dan asset operator (skenario 2).
Apabila deviasi hasil pemodelan dengan data riil sudah memenuhi toleransi (<
10%), maka model dinyatakan valid.
73
BAB 4
DATA DAN PEMBAHASAN
4.1. Pengembangan Model Dinamik
Pada bagian ini, causal loop diagram dan stock and flow diagram yang
telah dibahas di Bab 3, dikembangkan dan didetailkan lagi untuk mengakomodasi
proses bisnis yang ada. Untuk lebih menajamkan analisis, struktur pemodelan
dibagi menjadi 4 sub struktur, meliputi :
1. Struktur Model Reliability dan Availability
2. Struktur Model Biaya Operasi
3. Struktur Model Biaya Pemeliharaan
4. Struktur Model Cash Flow
4.1.1. Struktur Model Ketersediaan dan Keandalan
Secara garis besar, struktur model ini meliputi struktur model ketersediaan,
keandalan, dan laju kegagalan.
a. Struktur Model Ketersediaan
Untuk membuat struktur model ketersediaan, sistem PLTU dikategorikan
menjadi dua bagian, yaitu peralatan utama (main equipment) dan peralatan
pendukung (balance of plant, BOP). Peralatan utama mencakup seluruh
peralatan yang terkait proses konversi energi. Adapun BOP terkait segala
peralatan pendukung dalam proses konversi energi tersebut. Di dalam analisis
ini, yang dimasukkan dalam BOP antara lain :
Coal handling system
Desalination plant/reverse osmosis plant
H2 generator plant
Circulating water system
Chlorination plant
Water treatment plant
Waste water treatment plant
74
Dalam reliability block diagram, sistem peralatan utama dan peralatan
pendukung berhubungan secara serial. Struktur model keandalan untuk
peralatan utama dapat dijelaskan melalui Gambar 4.1.
Gambar 4.1 Struktur Model Ketersediaan
Pada model ini, Time to Failure (TTF) atau waktu dimana peralatan berada
pada kondisi andal terdistribusi melalui persamaan Weibull. Data diambil dari
database software Navitas, yang merupakan aplikasi operasi pembangit yang
dipakai di PJB. Uji distribusi dilakukan melalui software Minitab. Jika
distribusi sesuai Weibull 2 parameter, maka terdapat 2 konstanta yaitu β
(shape) dan α (scale). Adapun untuk Weibull 3 parameter, ada tambahan γ
(locator). TTF dihitung untuk peralatan utama dan peralatan pendukung.
Vensim selanjutnya melakukan random TTF mengacu distribusi Weibull
dengan konstanta tersebut. Metode perhitungan konstanta Weibull
menggunakan software Minitab dapat dijelaskan pada Gambar 4.2.
Availability Model
Origin Alpha TTF
(Main)Origin Betha TTF
(Main)
Random Weibull
TTF (Main)
Conv 01
Corrected Alpha
TTF (Main)Corrected Betha
TTF (Main)
<Maint Project Betha
Correction>
<Maint Project Alpha
Correction>
Main Equipment
Origin Alpha TTF
(BOP)
Origin Betha TTF
(BOP)
Corrected Alpha
TTF (BOP)
Corrected Betha
TTF (BOP)
Random Weibull
TTF (BOP)
Daily Up Time
<Maint Project Alpha
Correction>
SI Cycle
ME Cycle
SE Cycle
SI Duration
ME Duration
SE Duration
OH Cycle
Gamma TTF
(BOP)
Daily Availability
Delayed
Availability
Accumulated
Availability t-1
Accumulated
Availability t
Availability
<Conv 01>
Daily Down Time
SI Std Duration
ME Std Duration
SE Std Duration
SI Correction
ME Correction
SE Correction
<PM (Main) Alpha
Correction>
<PM (BOP) Betha
Correction>
<PM (BOP) Alpha
Correction>
<PM (Main) Betha
Correction>
Time Delay for PM
Correction
Time Delay for
Project Correction
Delayed PM (Main)
Alpha Correction
Delayed Project (Main)
Alpha Correction
<Time Delay for PM
Correction>
Delayed PM (Main)
Betha Correction
<Time Delay for PM
Correction>
Delayed PM (BOP)
Betha Correction
<Time Delay for
Project Correction>
Delayed Project
Betha Correction
<Delayed Project
Betha Correction>
<Time Delay for
Project Correction>
Delayed Project
Alpha Correction
<Time Delay for PM
Correction>
Delayed PM (BOP)
Alpha Correction
BOP Equipment
75
Gambar 4.2 Perhitungan Konstanta Weibull menggunakan Software Minitab
TTF dikoreksi oleh beberapa faktor, diantaranya terkait pelaksanaan
preventive maintenance (PM) dan juga oleh penggantian atau perbaikan
peralatan yang bersifat major. Dampaknya tidak bisa dirasakan langsung, tetapi
ada delay waktu. Pada model ini, delay waktu terkait PM adalah 6 bulan sedang
delay waktu setelah penggantian peralatan adalah sebulan.
Pada model juga diperhitungkan downtime yang disebabkan oleh siklus
overhaul. Sesuai manual book, siklus pemeliharaan periodik untuk PLTU
adalah serious inspection (65 hari), medium inspection (46 hari), dan simple
inspection (32 hari). Tetapi realisasi downtime yang disebabkan oleh overhaul
bisa jadi berbeda, kadang lebih cepat, kadang lebih lambat. Ketepatan durasi
overhaul dipengaruhi beberapa faktor. Namun yang dijadikan variabel pada
penelitian adalah terkait faktor kompetensi. Saat ini, overhaul pembangkit
existing PJB dikelola oleh Unit Pemeliharaan. Adapun untuk pembangkit Unit
Bisnis Jasa O&M, overhaul disubkontrakkan kepada perusahaan dengan rerata
masa kerja personil yang lebih rendah. Rerata masa kerja mencerminkan
kompetensi personil.
Mengingat seting waktu pada model adalah hari, maka TTF maupun siklus
overhaul didistribusikan harian. Pengurangan antara periode waktu yang
tersedia dengan TTF dan downtime akibat overhaul, diasumsikan sebagai
downtime akibat pemeliharaan tidak terencana. Dari situ dapat dihitung
START
Database NAVITAS
Pemisahan : Up time / Down time Main Equipment /
BOP Preventable non
Preventable
Uji distribusi menggunakan Minitab
Identifikasi konstanta distribusi yang sesuai
Konstanta Weibull (α, β, γ)
Faktor koreksi keandalan/
ketersediaan
FINISH
76
availability. Karena data yang dianalisis untuk mendapatkan konstanta Weibull
sudah memperhitungkan faktor derating, maka parameter availability pada
model diasumsikan sama dengan Equivalent Availability Factor (EAF) yang
akan dipergunakan untuk perhitungan parameter lain.
b. Struktur Model Keandalan dan Laju Kegagalan
Struktur model keandalan dan laju kegagalan dijelaskan pada Gambar 4.3
Gambar 4.3 Struktur Model Keandalan dan Laju Kegagalan
Pada Gambar 4.3 di atas, keandalan peralatan utama dan peralatan
pendukung dihitung menggunakan konstanta Weibull, yang selanjutnya
dipergunakan untuk menghitung TTF. Secara reliability block diagram, antara
peralatan utama dan peralatan pendukung berhubungan secara serial, maka
keandalan level plant merupakan perkalian antara keandalan peralatan utama
dan peralatan pendukung. Selain itu dihitung pula laju kegagalan (failure rate)
yang nantinya dipergunakan untuk menentukan frekuensi munculnya
emergency maintenance.
4.1.2. Struktur Model Biaya Operasi
Sub struktur biaya operasi dapat dijelaskan pada Gambar 4.4. Biaya
operasi terdiri atas biaya bahan bakar maupun biaya non bahan bakar, yang meliputi
bahan kimia dan pelumas. Biaya non bahan bakar cenderung konstan. Adapun
untuk biaya bahan bakar dipengaruhi banyak faktor, diantaranya harga batu bara,
heat heating value (HHV) batu batu bara, net plant heat rate (NPHR), dan beban.
Reliability (Main)
<Conv 01>
Reliability Model
Cummulative ReliabilityYearly Reliability
Conv 10
Failure Rate Model
Conv 08
Conv 09
Accumulated Failure
RateFailure Rate Failure Rate Out
<Time><Conv 01>
Reliability (BOP)
<Corrected Alpha
TTF (Main)>
<Corrected Betha
TTF (Main)>
<Corrected Alpha
TTF (BOP)>
<Corrected Betha
TTF (BOP)><Conv 01>
<Time> <Time>
<Corrected Alpha
TTF (Main)>
<Corrected Betha
TTF (Main)>
Failure Rate
(Main)
Failure Rate
(BOP)
<Time>
<Corrected Alpha
TTF (BOP)><Corrected Betha
TTF (BOP)>
<Conv 08>
<Conv 09>
77
Beban sendiri sangat ditentukan dispatch P2B sebagai hasil optimasi merit order
system.
Gambar 4.4 Struktur Model Biaya Operasi
Meskipun faktor peralatan paling dominan menentukan efisiensi termal,
tapi kemampuan operator cukup krusial dalam menjaga pembangkit dapat
beroperasi efisien. Begitu juga mengenai heat heating value (HHV). Meskipun
sangat dipengaruhi oleh kondisi batu bara dari tambang, tetapi kemampuan
mencampur (blending) batu bara antar stock pile akan mempengaruhi HHV secara
keseluruhan. Harga batu bara juga memegang kontrol penting dalam bisnis O&M
pembangkit, meskipun sifatnya exogenous (eksternal) tapi nilainya cukup
mendominasi komposisi biaya.
4.1.3. Struktur Model Biaya Pemeliharaan
Secara umum, biaya pemeliharaan pembangkit (yang dikelola oleh pemilik
aset) meliputi biaya material dan biaya jasa. Biaya material muncul untuk seluruh
jenis pemeliharaan, sedang biaya jasa untuk pemeliharaan rutin dianggap nol karena
gaji teknisi bersifat lumpsum (bukan fungsi jumlah pekerjaan). Biaya jasa
pemeliharaan rutin hanya muncul jika terjadi overtime (lembur) yang secara aturan
Operation Cost
Fuel Cost Non Fuel Cost
Chemical Lubricant
Coal Consumption
<Energy
Produced> Conv 04
Accumulated HHVActual HHV Monthly Actual
HHV
<Monthly Actual
HHV>
Accumulated Coal
PriceRandom Coal
PriceAverage Coal
Price
<Average Coal
Price>
Operation Cost Model
Correction Factor due to
Operator Competences
NPHR Table Konv HR
Actual NPHR
Load
<Time>
<Time>
Accumulated Load
Average Monthly
Load
<Time>
Correction Factor due toNPHR Improvement
Program
<Cost for NPHR
Improvement>
Standard Cost for
NPHR Improvement
78
hanya diperbolehkan untuk pekerjaan yang bersifat emergency (menyebabkan unit
trip atau derating). Biaya jasa baru muncul terpisah untuk lingkup overhaul maupun
project yang biasanya dilalukan oleh kontraktor. Lebih jelas dapat dilihat pada
Gambar 4.5.
Gambar 4.5 Struktur Model Biaya Pemeliharaaan
Selanjutnya, item penting yang perlu dimodelkan untuk menghitung biaya
pemeliharaan rutin adalah tentang ketersediaan sumber daya manusia (resources).
Setiap hari, resources teknisi yang tersedia dialokasikan untuk mengerjakan daftar
perintah kerja (workorder) pada hari tersebut. Sumber daya yang dimiliki
mencakup tenaga pada jam kerja normal maupun saat lembur (overtime). Resources
internal (dari teknisi) dialokasikan untuk mengerjakan pemeliharaan yang sifatnya
rutin : preventive (PM), corrective (CM), dan predictive maintenance (PdM).
Ketiga jenis pemeliharaan ini telah direncanakan dan dijadwalkan sebelumnya oleh
fungsi Maintenance Planner. Namun pada waktu tertentu, pekerjaan yang tidak
terencana (emergency maintenance, EM) memungkinkan terjadi.
Standar jumlah tenaga kerja dan jam per satuan pekerjaan (biasa
dinyatakan dengan satuan manhour) untuk PM dan PdM cenderung konstan dan
sudah diprogram dalam Computerized Maintenance Management System (CMMS).
Dalam model ini, job plan diadopsi dari standar EPRI. Standar manhour untuk CM
merupakan hasil perencanaan yang dilakukan Maintenance Planner. Sedangkan
waktu pengerjaan untuk emergency maintenance tidak bisa diprediksi dan bersifat
random. Pada model ini, digunakan random time to repair yang kemudian dirata-
rata memberikan parameter Mean Time to Repair (MTTR). Penjelasan model
pemeliharaan rutin dapat dilihat pada Gambar 4.6 dan Gambar 4.7.
Maint Cost
<Monthly CM
Material Cost>
<Monthly EM
Material Cost>
<Monthly
Overtime Cost>
<Monthly PdM
Material Cost><Monthly PM
Material Cost>
<Overhaul Cost>
<MonthlyMaintenance Project
Cost>
<Conv 01>
79
Gambar 4.6 Struktur Model Pemeliharaan Rutin
Gambar 4.7 Korelasi Alokasi Sumber Daya antar Jenis Pemeliharaan
Pada Gambar 4.6 dapat dijelaskan bahwa karakteristik alokasi resources
pemeliharaan akan cenderung memprioritaskan EM karena sangat erat dengan EAF
pembangkit. Akibatnya, teknisi yang seharusnya dialokasikan untuk mengerjakan
PM akan dialihkan untuk membantu penyelesaian EM. Kendati demikian, jumlah
maksimal teknisi pada EM akan membatasi pengalihan resources ini. Diasumsikan
Routine Maintenance Model
Internal Technician
Resources
Number of
Technician
Effective
Manhour/Day
Resources Allocated for
Corrective Maintenance
Resources Allocated for
Predictive Maintenance
Resources Allocated for
Preventive Maintenance
Overtime Tariff
Accumulated Overtime
CostOvertime Cost Monthly Overtime
Cost
PM Resources
Required
Average WO PM
Raised per Day Avg PM Resources
Required per WO
Average WO PdM
Raised per Day
Avg PdM Resources
Required per WO
Average WO CM
Raised per Day
Avg CM Resources
per Day
Normally WO CM
Raised per DayAdditional WO CM due
to PM Compliance
PM Compliance
Time Delay
PdM Resources
Required
<Resources Allocated for
Emergency Maintenance>
<Add Resources
from PM>
PM Compliance
<PM
Compliance>
Maintenance
Resources Allocated
<Overtime
Resources>
Maintenance
Resources Supply
Maintenance
Resources Availability
<Time>
PM (Main) Alpha
Correction
PM (Main) Betha
Correction
PM (Main) Alpha
Correction Table
PM (Main) Betha
Correction Table
PM (BOP) Alpha
Correction
PM (BOP) Betha
Correction
PM (BOP) Alpha
Correction Table
PM (BOP) Betha
Correction Table
Alpha TTR (Main) Betha TTR (Main)
Random Weibull
TTR (Main)
<Conv 01>
EM Resources
RequiredAvg Man per
WO EM
Conv 06
<Failure Rate
Out>
Resources Allocated for
Emergency Maintenance
Normal Resources
Add Resources
from PM
Overtime
Resources
Max Resources
allocated for EM
Max additional
Resources from PM
<Internal Technician
Resources>
<PM Resources
Required>
<EM Resources
Required>
<Max Resources
allocated for EM><EM Resources
Required>
<Add Resources
from PM>
Gamma TTR
(Main)
Random Weibull TTR(BOP)
Alpha TTR (BOP)
Gamma TTR
(BOP)
Betha TTR (BOP)
Daily TTR
<Daily TTR>
80
pengalihan resources menyebabkan pengurangan PM Compliance paling banyak
menjadi 60%. PM Compliance adalah perbandingan manhour aktual yang
teralokasi ke PM dibandingkan dengan manhour yang secara ideal diperlukan.
Apabila penambahan resources ini masih belum mencukupi, pekerjaan diselesaikan
melalui lembur. PM Compliance juga mencerminkan pengurangan PM ke
peralatan. Dampak pengurangan PM adalah menambah munculnya tambahan WO
CM beberapa saat ke depan (pada model diset delay 3 bulan) dan pada jangka
panjang akan mengurangi keandalan peralatan (mengoreksi konstanta α, β, dan γ
plant).
Material pemeliharaan dihitung dengan mengakumulasi jumlah material
yang diperlukan pada setiap WO, sebagaimana dijelaskan pada Gambar 4.8.
Gambar 4.8 Struktur Model Biaya Material Pemeliharaan Rutin
Accumulated CM
Material CostCM Material Cost Monthly CM
Material Cost
Accumulated EM
Material CostEM Material Cost Monthly EM
Material Cost
Accumulated PdM
Material CostPdM Material
Cost
Monthly PdM
Material Cost
Accumulated PM
Material CostPM Material Cost Monthly PM
Material Cost
<Conv 01>
<Conv 01>
<Conv 01>
<Conv 01>
Average CM Material
Cost per WO
Average EM Material
Cost per WO
Average PdM
Material Cost per WO
Average PM Material
Cost per WO
<Average WO CM
Raised per Day>
<Average WO PdM
Raised per Day>
<Average WO PM
Raised per Day>
Maintenance Material Cost Calculation
<Failure Rate
Out>
81
Adapun penentuan biaya overhaul memperhitungkan siklus overhaul
sebagaimana telah dijelaskan sebelumnya, dikalikan standar kebutuhan material
dan jasa pada tiap jenis overhaul. Hal ini dijelaskan pada Gambar 4.9.
Gambar 4.9 Struktur Model Biaya Overhaul
Maintenance project adalah pemeliharaan yang bersifat proaktif, yaitu
untuk menyelesaikan akar permasalahan pembangkit. Jenis pemeliharaan ini
memerlukan biaya besar karena biasanya mencakup penggantian spare part utama
maupun pengadaan peralatan baru. Secara finansial, bisa menggunakan anggaran
investasi atau anggaran operasional. Maintenance project akan berkontribusi
langsung ke keandalan (mengoreksi konstanta α, β, dan γ plant). Disamping itu juga
berdampak pada penurunan NPHR yang tergantung persentase biaya yang
dialokasikan untuk penurunan NPHR tersebut. Kendati demikian, anggaran untuk
maintenance project bisa dipangkas tergantung perolehan laba rugi pada tahun
sebelumnya. Penjelasan karakteristik project maintenance lebih lengkap dijelaskan
pada Gambar 4.10.
Pendanaan maintenance project biasanya menjadi tanggung jawab pemilik
aset, meskipun kontraktor O&M juga dibebani melakukan project yang bersifat
minor. Pada kondisi pendanaan dilakukan pemilik aset, diberlakukan mekanisme
reimburse. Pertama, kontraktor O&M mengeksekusi project terlebih dahulu dengan
dana yang mereka miliki. Setelah semua pekerjaan selesai, kontraktor O&M
melakukan penagihan (reimburse) kepada pemilik aset. Adakalanya proses
penagihan ini memerlukan waktu lama terkait kendala birokrasi. Jika mundurnya
sampai menyeberang tahun, penagihan ini diberlakukan sebagai hutang disburse
Overhaul Maintenance Model
SI - Material Cost SI - Services Cost
Simple Inspection -
Budget
Simple Inspection
- Cycle
Simple Inspection
Cost
ME - Material
CostME - Services
Cost
Medium Inspection
- Budget
Medium Inspection
- Cycle
Medium
Inspection Cost
SE - Material
Cost
SE - Services
Cost
Serious Inspection
- BudgetSerious Inspection
- Cycle
Serious
Inspection Cost
Overhaul Cost
82
yang akan mengurangi anggaran pemeliharaan pada tahun berikutnya. Pada model,
faktor koreksi ini dinyatakan dalam disburse correction due to birocratic barrier.
Seperti telah dijelaskan sebelumnya, kesuksesan maintenance project akan
berkontribusi positif pada keandalan dan perbaikan NPHR. Manajemen berhak
untuk memutuskan persentase anggaran yang dialokasikan untuk perbaikan NPHR.
Gambar 4.10 Struktur Model Biaya Pemeliharaan Project
4.1.4. Struktur Model Cash Flow
Sub struktur model cash flow dapat digambarkan sebagai berikut :
Gambar 4.11 Sub Struktur Model Cash Flow
Maintenance
Project Cost
Monthly Maintenance
Project Budget
Maintenance Project Cost
Maint Project Alpha
Correction Table
Maint Project Betha
Correction Table
Maint Project Alpha
CorrectionMaint Project Betha
CorrectionKonv Rp
<Konv Rp>
Budget Cut
<NCF Gain>
Cost for NPHR
Improvement
Percentage CostAllocated to NPHR
Improvement
Maintenance
Project Budget
[Corrected] Monthly
Maintenance Budget
Disburse Correction due
to Birocratic Barrier
Component based
Revenue
Ancillary Services
Revenue
Component A
Revenue
Component B
Revenue
Component C
Revenue
Component D
Revenue
H Kap
DMN
H Fix
SHR w
HHV kH BB w
Energy Produced
H Var<DMN>
Conv 02
GA Cost
HR Cost
HSE Cost
<Conv 02>
Cash FLow Model
Maintenance Cost 1/Month
<Maint Cost>
O&M Cost
Contractor
O&M Penalty
RevenueTarget Availability
<O&M Cost
Contractor>
Percentage of
Penalty
Operator
Remuneration
Technician
Remuneration
Management
Remuneration
Other Staf Remuneration
<Number of
Technician>
Avg Technician
Rate
Number of
Operator
Avg Operator
Rate
<Operation Cost>
Energy Sales
Auxiliary Power
Transfomator
Losses
Dispatch CF
Cash Inflow Cash Outflow
Net Cash Flow
(year)Cash Flow After
Tax
Power Plant NPV
Present Value
Discount Rate<Time>
<Conv 01>
Monthly NPV
<Availability>
<Availability>
BPP
<Energy
Produced>
Depreciation
Cash Flow year
(t-1)
Net Cash Flow,
year (t-1)
Yearly Net Cash
Flow
Yearly Net Cash
Flow (t-1)
NCF Gain
Cash Flow
Before Tax
Tax
Tax Rate
<Average Monthly
Load>
Cash Flow month
(m-1)
Net Cash Flow,
month (m-1)
Monthly NCF
Monthly O&M
Tarrif
<DMN>
<Availability> <Time>
Conv 03
CF @ t = 4-6
CF @ t = 6-10
83
Model tersebut mengurangkan antara total revenue (pendapatan) dengan
total cost (biaya). Pemodelan di atas akan tersambung dengan struktur pemodelan
lain, yaitu struktur model ketersediaan, biaya operasi, dan biaya pemeliharaan.
Pendapatan yang diperhitungkan adalah jenis pendapatan komponen,
dimana produk pembangkit akan dibeli sesuai klasifikasi komponen A, B, C, D, dan
juga pelayanan tambahan (ancillary services). Pelayanan tambahan yang
diperhitungkan dalam model hanya energi reaktif terbayar dan kompensasi atas
start up. Kompensasi black start tidak dimasukkan karena pembangkit batu bara
tidak memiliki fasilitas black start. Kompensasi operasi pada technical minimum
load (TML) juga tidak dimasukkan karena pada prakteknya, PLTU batu bara sangat
jarang diminta beroperasi pada TML. Pada prakteknya, pembangkit sangat jarang
beroperasi pada kondisi pelayanan tambahan sebagai item yang dikompensasi,
sehingga pada model ini, pendapatan dari ancillary services dianggap nol.
Adapun life cycle cost meliputi seluruh biaya operasi, biaya pemeliharaan,
biaya K3, biaya kepegawaian, biaya administrasi, biaya kontraktor O&M, dan biaya
depresiasi. Biaya O&M muncul jika O&M pembangkit diserahkan kepada sub
kontraktor (outsourcing). Depresiasi diperhitungkan dengan metode straight line
method dengan usia ekonomis 25 tahun. Net Present Value (NPV) dihitung dengan
persamaan :
𝑁𝑃𝑉 = ∑𝐶𝑡
(1+𝑟)𝑡 − 𝐶0𝑡𝑡=1 (4.1)
dengan :
NPV : Net Present Value (Rp)
Ct : Net cash flow pada periode t tahun (Rp)
r : Discount rate (%)
t : Waktu (tahun)
Co : Total investasi awal (Rp)
Data discount rate diperoleh dari Bank Indonesia untuk menghitung Net
Present Value (NPV). Mengingat cakupan penelitian mengabaikan fase akuisisi
aset, maka Co dianggap nol.
84
Pada model ini, net cash flow (NCF) pada tahun t-1 akan mempengaruhi
keputusan pendanaan pada tahun ke-t. Bila NCF negatif cenderung akan
meningkatkan pemotongan anggaran (budget cut) tahun ke-t.
Pada model ini juga diberlakukan penalti apabila kontraktor O&M gagal
memenuhi availability yang dipersyaratkan. Penalti ini tercatat sebagai pendapatan
bagi pemilik aset.
4.2.Identifikasi Variabel dan Formulasi Model
Pada tahap ini, data dikumpulkan dan diolah (jika dibutuhkan) sebagai
variabel yang akan dimasukkan dalam model. Ada yang sifatnya variabel utama
dan variabel pembantu. Variabel utama adalah variabel yang diperlukan dalam
formula di tiap model, sedang variabel pembantu berfungsi sebagai pelengkap
dalam formula, misalnya untuk konversi satuan. Sumber data meliputi data statistik
pembangkit di PJB maupun data lain yang sifatnya eksternal. Variabel yang
digunakan dalam pemodelan diklasifikasikan menjadi :
1. Variabel pada model keandalan dan ketersediaan
2. Variabel pada model biaya operasi
3. Variabel pada model biaya pemeliharaan
4. Variabel pada model cash flow
5. Variabel Exogenous
4.2.1. Variabel pada Model Keandalan dan Ketersediaan
Sebagaimana dijelaskan pada struktur model sebelumnya, variabel pada
model ini dipergunakan untuk menghitung reliability, availability (ketersediaan),
dan failure rate (laju kegagalan). Beberapa data yang diperlukan adalah time to
failure (TTF), standar durasi overhaul, penyimpangan realisasi jadwal overhaul,
waktu tunda (delay) pengaruh PM dan maintenance project ke keandalan.
4.2.1.1. Time to Failure (TTF)
TTF adalah selisih dimulainya down time pada waktu t dengan berakhirnya
down time pada waktu t-1 untuk peralatan yang sama. Karena level analisis hanya
sampai sistem, yaitu peralatan utama dan peralatan penunjang (BOP), maka data
85
TTF disediakan hanya untuk level sistem saja. Pada penelitian ini, plant dianggap
down time jika mengalami trip atau derating, maka TTF mengindikasikan up time
pada level sistem. Data TTF diolah dari software Navitas. Navitas adalah aplikasi
di PJB yang dipergunakan untuk menyimpan database pengoperasian pembangkit.
Tabel 4.1 menjelaskan pengkategorian status pembangkit di Navitas untuk
menghitung TTF. Tabel ini diadaptasi dari Protap Deklarasi Pembangkit dan Indeks
Kinerja Pembangkit tahun 2017.
Karena diasumsikan bahwa PM berpengaruh ke keandalan, maka dari
cause code dianalisis apakah penyebab down time bersifat preventable atau tidak.
Preventable artinya kegagalan peralatan bisa diantisipasi dengan preventive
maintenance. Data TTF tersebut kemudian diidentifikasi distribusinya
menggunakan software Minitab dengan sebagaimana ditunjukkan pada Tabel 4.2
Tabel 4.1 Kategori Status Pembangkit di Navitas
Up Time Down Time
Normal operasi Forced outage immediately (FO1)
Reserve shutdown Forced outage delayed (FO2)
Forced outage postponed (FO3)
Planned outage (PO)
Maintenance outage (MO)
Force derating immediately (FD1)
Forced derating delayed (FD2)
Forced derating postponed (FD3)
Planned derating (PD)
Maintenance derating (MD)
Sumber : PLN, 2017
Tabel 4.2 Identifikasi Distribusi Data TTF
NO KATEGORI DISTRIBUSI β
(SHAPE)
α
(SCALE)
γ
(LOCATOR) MIN MAX
1 TTF - Main
Equipment
Weibull 2
Paramater
0.53496 7.20572 - 0.0006944 87.1174
2 TTF - BOP Weibull 3
Parameter
0.60761 16.36888 0.055 0.0555556 238.513
86
4.2.1.2. Standar Durasi Overhaul dan Penyimpangan Jadwal
Sebagaimana telah dijelaskan sebelumnya bahwa standar durasi overhaul
untuk PLTU batu bara adalah simple inspection (SI) = 32 hari, medium inspection
(ME) = 46 hari, dan serious inspection (SE) = 65 hari. Siklus ini bergilir tiap tahun
: SI – SE – SI – ME. Kendati demikian, jadwal durasi tersebut tidaklah pasti.
Overhaul kadang bisa berlangsung lebih cepat dan sebaliknya lebih lambat dari
yang dijadwalkan. Ada beberapa faktor penyebab pergeseran durasi overhaul,
diantaranya kesiapan material, jumlah pekerjaan temuan selama overhaul, dan juga
kompetensi. Kesemuanya itu terkait erat dengan kapasitas manajemen, dimana
dalam penelitian ini menjadi aspek pembeda ketika O&M pembangkit dilakukan
sendiri olah pemilik aset atau dialihdayakan.
Data pergeseran jadwal overhaul diperoleh dengan mengevaluasi waktu
penyelesaian overhaul pada beberapa pembangkit di PJB, baik yang dikerjakan oleh
sendiri oleh Unit Pelayanan Pemeliharaan (UPHAR) atau yang dikerjakan oleh PT
PJB Services (PJBS, representasi alih daya). Tabel 4.3 dan Tabel 4.4 menjelaskan
hal tersebut.
Tabel 4.3 – Rencana dan Realisasi Jadwal Overhaul Pembangkit Existing
(dikerjakan UPHAR)
UNIT TAHUN TIPE OH RENCANA REALISASI SELISIH PERSEN
UP Paiton 2017 ME 50 38 -12 -24%
UP Paiton 2016 ME 45 45 0 0%
UP Gresik 2012 ME 30 37 7 23%
UP Gresik 2012 ME 25 25 0 0%
UP Gresik 2013 ME 23 30 7 30%
UP Gresik 2013 ME 25 34 9 36%
UP Gresik 2014 ME 30 30 0 0%
UP Gresik 2014 ME 30 30 0 0%
UP Gresik 2016 ME 30 28 -2 -7%
UP Gresik 2017 ME 30 29 -1 -3%
UP Gresik 2017 ME 30 30 0 0%
UP Gresik 2018 ME 30 30 0 0%
UP Gresik 2012 ME 30 49 19 63%
87
UNIT TAHUN TIPE OH RENCANA REALISASI SELISIH PERSEN
UP Gresik 2014 SE 42 45 3 7%
UP Gresik 2015 SE 45 38 -7 -16%
UP Gresik 2015 SE 45 44 -1 -2%
UP Gresik 2016 SE 45 45 0 0%
UP Gresik 2018 SE 45 27 -18 -40%
UP Paiton 2012 SE + 90 127 37 41%
UP Paiton 2018 SI 35 60 25 71%
UP Paiton 2014 SI 21 23 2 10%
UP Paiton 2013 SI 21 23 2 10%
UP Paiton 2012 SI 26 153 127 488%
UP Gresik 2013 SI 13 24 11 85%
UP Gresik 2013 SI 14 20 6 43%
UP Paiton 2015 SI + 45 37 -8 -18%
Tabel 4.4 – Rencana dan Realisasi Jadwal Overhaul Pembangkit UBJOM
(dikerjakan PJBS)
UNIT TAHUN TIPE OH RENCANA REALISASI SELISIH PERSEN
UBJOM Paiton 2016 ME 42 33 -9 -21%
UBJOM
Rembang 2016 ME 33 41 8 24%
UBJOM
Rembang 2015 ME 33 50 17 52%
UBJOM
Indramayu 2014 ME 42 42 0 0%
UBJOM
Indramayu 2014 ME 42 61 19 45%
UBJOM
Indramayu 2015 ME 42 40 -2 -5%
UBJOM Pacitan 2017 ME 46 59 13 28%
UBJOM Pacitan 2017 ME 46 103 57 124%
UBJOM Pacitan 2016 ME 45 45 0 0%
UBJOM Paiton 2017 SE 66 67 1 2%
UBJOM Rembang 2018 SE 54 54 0 0%
UBJOM
Rembang 2017 SE 63 50 -13 -21%
UBJOM
Indramayu 2016 SE 55 195 140 255%
UBJOM
Indramayu 2017 SE 56 56 0 0%
UBJOM Indramayu 2017 SE 63 58 -5 -8%
UBJOM Paiton 2015 SI 28 34 6 21%
88
UNIT TAHUN TIPE OH RENCANA REALISASI SELISIH PERSEN
UBJOM
Rembang 2017 SI 33 36 3 9%
UBJOM
Rembang 2016 SI 26 22 -4 -15%
UBJOM
Rembang 2014 SI 26 25 -1 -4%
UBJOM
Rembang 2014 SI 26 25 -1 -4%
UBJOM Tj
Awar3 2016 SI 26 43 17 65%
UBJOM
Indramayu 2013 SI 26 32 6 23%
UBJOM
Indramayu 2013 SI 42 40 -2 -5%
UBJOM
Indramayu 2014 SI 26 32 6 23%
UBJOM
Indramayu 2015 SI 26 19 -7 -27%
UBJOM
Indramayu 2015 SI 26 52 26 100%
UBJOM
Indramayu 2016 SI 26 30 4 15%
UBJOM
Indramayu 2017 SI 26 51 25 96%
UBJOM Pacitan 2016 SI 70 117 47 67%
UBJOM Pacitan 2015 SI 26 28 2 8%
UBJOM Pacitan 2015 SI 26 70 44 169%
Atau jika dilakukan pengelompokan berdasar jenis overhaulnya, diperoleh data
seperti nampak pada Tabel 4.5
Tabel 4.5 Faktor Koreksi Durasi Overhaul berdasar Jenisnya
JENIS OH EXISTING UBJOM
SI 98% 34%
ME 9% 27%
SE -2% 38%
4.2.1.3. Waktu Tunda Pengaruh PM dan Maintenance Project ke Keandalan
Tidak terdapat waktu pasti yang mencermikan waktu tunda pengaruh PM
dan maintenance project ke keandalan. Namun dari justifikasi praktisi pembangkit,
pengaruh PM ke keandalan berjeda 180 hari (6 bulan) sedangkan dampak terkait
maintenance project lebih cepat , yaitu 30 hari (1 bulan).
4.2.2. Variabel pada Model Biaya Operasi
Biaya operasi mendominasi sekitar 80% dari seluruh biaya O&M
pembangkit. Penulisan data yang tepat pada model akan menentukan keakuratan
89
model. Beberapa parameter penting terkait biaya operasi meliputi : korelasi antara
NPHR dan beban, faktor koreksi NPHR dalam kendali operator, pemakaian sendiri,
susut trafo, dispatch (tingkat pembebanan) P2B, dan pengaruh investasi pada
perbaikan NPHR.
4.2.2.1. Korelasi antara NPHR dan Beban
Efisiensi termal pembangkit listrik, baik dinyatakan dalam persen maupun
NPHR, merupakan fungsi beban. Hal ini bersifat spesifik tergantung jenis mesin
pembangkit. Dalam penelitian ini, disusun korelasi antara beban dan NPHR PLTU
Paiton 9 yang merepresentasikan PLTU batu bara kelas 600 MW. Data ini diambil
dari rekap data operasi PLTU Paiton 9 tahun 2012-2017. Hubungan antara beban
dan NPHR ditunjukkan pada Gambar 4.12. Mengingat hubungannya tidak selalu
linier, Vensim menggunakan fasilitas look up untuk mengakomodasi model ini.
Gambar 4.12 Korelasi antara NPHR dan Beban Pembangkit
4.2.2.2. Faktor Koreksi NPHR dalam Kendali Operator
Ada beberapa faktor yang mempengaruhi pencapaian NPHR, diantaranya
nampak pada pareto heat rate PLTU Paiton 9 pada Gambar 4.13.
0.00
500.00
1,000.00
1,500.00
2,000.00
2,500.00
3,000.00
3,500.00
4,000.00
4,500.00
88 262346405479525548556565575594603608613619620624630648
NP
HR
(kC
al/k
Wh
)
Beban Pembangkit (MW)
90
Gambar 4.13 Pareto Heat Rate PLTU Paiton 9 Desember 2017 (UBJOM Paiton,
2017)
Pareto heat rate menampilkan deviasi heat rate antara saat commissioning
dengan aktual pengukuran saat ini. Kenaikan heat rate ini dikelompokkan berdasar
kategori besar, diantaranya : boiler component, turbine cycle component, plant
controllable, dan operator controllable. Pada penelitian ini, historis faktor
penambah NPHR yang termasuk operator controllable direkap. Dari data yang ada
diketahui, kontribusi operator terhadap NPHR bervariasi dari 13,23 kCal/kWh ke
217,51 kCal/kWh dengan rata-rata 45,82 kCal/kWh.
4.2.2.3. Pemakaian Sendiri dan Susut Trafo
Pemakaian sendiri (auxiliary power) adalah energi listrik yang dibutuhkan
untuk menyuplai peralatan pendukung di pembangkit. Energi ini disuplai oleh trafo
pemakaian sendiri yang berasal dari output generator. Dengan kata lain, pemakaian
sendiri akan mengurangi penjualan energi listrik. Besaran energi pemakaian sendiri
tergantung beban pembangkit. Semakin tinggi beban pembangkit, maka semakin
banyak pula auxiliary power yang diperlukan. Dari data PLTU Paiton 9 periode
tahun 2012-2017 diketahui rata-rata energi pemakaian sendiri adalah 6,34% dari
produksi.
Selain karena pemakaian sendiri, berkurangnya penjualan juga terkait
susut trafo. Nilai susut trafo tidak diketahui pasti, dan biasanya ditentukan sebagai
91
selisih antara produksi, pemakaian sendiri, dan penjualan. Namun angkanya
cenderung konstan. Pada model ini, susut trafo diset 3.087.000 kWh per bulan.
4.2.2.4. Pengaruh Investasi pada Perbaikan NPHR
Ada beberapa pekerjaan yang dianggap mampu mengembalikan efisiensi
termal pembangkit, seperti retubing HPH, retubing condenser, atau penggantian
elemen air preheater. Pada masing-masing pekerjaan dapat dihitung gain
penurunan NPHR yang mampu dicapai. Jika besar investasi per pekerjaan
diketahui, maka dapat disusun hubungan antara investasi dengan perbaikan NPHR.
Pada penelitian ini, disusun tabel yang menjelaskan hubungan investasi dengan
perbaikan NPHR yang diambil dari data beberapa PLTU di PJB. Hasilnya
ditampilkan pada Tabel 4.6.
Tabel 4.6 Biaya Perbaikan NPHR
NO
NAMA
PEKERJAAN/AREA
IMPROVEMENT
KONTRIBUSI
NPHR
(kCal/kWh)
BIAYA (Rp) COST NPHR
(Rp/(kCal/kWh))
1 Reheat Steam Flow 60.66 696,000,000.00 11,473,788.33
2 Air Heater Effectiveness 34.67 5,460,000,000.00 157,484,857.23
3 Un burned carbon 34.42 6,100,000,000.00 177,222,545.03
4 Outlet Gas Temperature 31.5 5,400,000,000.00 171,428,571.43
5 Main Steam Flow 10.48 696,000,000.00 66,412,213.74
6 Retubing HPH 59.55 6,420,000,000.00 107,808,564.23
7
Penggantian Elemen Air
Heater 68.36 500,000,000.00 7,314,218.84
8 Tuning Boiler 105.96 350,000,000.00 3,303,133.26
9 Perbaikan grinding roll 20.37 237,392,150.00 11,654,008.35
10
Penggantian Nozzle
service ejector 42.23 400,000,000.00 9,471,939.38
RATA-RATA 72,357,383.98
Sumber : PJB, 2017
Dari sini diketahui biaya yang diperlukan untuk menurunkan NPHR setara 1
kCal/kWh adalah Rp. 72.357.383,98
92
4.2.3. Variabel pada Model Biaya Pemeliharaan
Pada model biaya pemeliharaan, variabel yang diperlukan untuk simulasi
antara lain : penentuan time to repair (TTR), variabel terkait pemeliharaan rutin,
variabel terkait overhaul, dan variabel terkait maintenance project.
4.2.3.1. Penentuan Time to Repair (TTR) dan Variabel terkait Emergency
Maintenance
Time to Repair (TTR) adalah waktu yang dipergunakan untuk
menyelesaikan sebuah pekerjaan pemeliharaan sampai peralatan kembali berfungsi
sebagaimana sebelumnya. Adapun Mean Time to Repair (MTTR) menunjukkan
rerata dari beberapa data TTR. Semakin pendek MTTR, maka semakin baik karena
artinya down time peralatan hanya sebentar. Down time terdiri atas passive
downtime dan active downtime. Waktu yang teralokasikan untuk langkah
penormalan disebut active down time, namun dikatan passive down time jika selama
down time, teknisi tidak dapat bekerja misalkan terkait ketersediaan material
maupun isu lain.
Distribusi data TTR, baik untuk peralatan utama maupun BOP, diuji
menggunakan software Minitab. Hasilnya adalah sebagaimana ditulis pada Tabel
4.7. Adapun terkait resources yang dibutuhkan untuk mengeksekusi emergency
maintenance, maka TTR tersebut dikalikan dengan rata-rata jumlah orang per
workorder. Dari pengalaman praktis di PJB, per WO EM rata-rata membutuhkan 6
orang teknisi.
Tabel 4.7 Distribusi TTR Level Plant
NO KATEGORI DISTRIBUSI β
(SHAPE)
α
(SCALE)
γ
(LOCATOR) MIN MAX
1 TTR - Main
Equipment
Weibull 3
Paramater
0.56003 1.97773 0.01856 0.01875 42.3611
2 TTR - BOP Weibull 3
Parameter
0.49884 2.51059 0.01856 0.02222 38.0417
4.2.3.2. Variabel terkait Pemeliharaan Rutin
Beberapa variabel terkait pemeliharaan rutin diambil dari database EPRI,
data PJB, maupun justifikasi sebagaimana praktek yang dijalankan di PJB.
Diantaranya direkap ke dalam Tabel 4.8
93
Tabel 4.8 Variabel terkait Pemeliharaan Rutin
NO VARIABEL SATUAN NILAI
1. Rata-rata WO PM terbit
per hari
Workorder 162
2. Rata-rata resources
dibutuhkan per WO PM
Manhour/Workorder 2
3. Rata-rata WO PdM
terbit per hari
Workorder 3
4. Rata-rata resources
dibutuhkan per WO
PdM
Manhour/Workorder 4
5. Rata-rata WO CM terbit
per hari
Workorder 9
6. Rata-rata resources
dibutuhkan per WO CM
Manhour/Workorder 20
7. Jumlah teknisi Orang 50
8. Resources efektif per
hari
jam/hari 6
9. Rata-rata biaya material
CM per WO
Rp/Workoder
5.969.280,00
10. Rata-rata biaya material
EM per WO
Rp/Workoder
4.595.210,00
11. Rata-rata biaya material
PdM per WO
Rp/Workoder
2.974.270,00
12. Rata-rata biaya material
PM per WO
Rp/Workoder
908.449,00
Pemeliharaan rutin meskipun terkesan sepele, namun berkontribusi positif
terhadap keandalan. Secara langsung, penurunan PM compliance akan menginisiasi
terbitnya WO CM berselang waktu tertentu. Dari praktis di PJB, jeda waktu ini rata-
rata 90 hari (3 bulan). Dalam waktu yang lebih panjang, PM compliance ini akan
mengubah konstanta Weibull keandalan. Konteks PM tersebut, baik yang bersifat
bersihkan, kencangi, lumasi maupun dalam konteks overhaul. Dari hasil simulasi
data di Navitas, diperoleh hubungan antara PM compliance dengan pergeseran
konstanta Weibull keandalan sebagaimana Gambar 4.14. Pada model, data tersebut
dijadikan feedback loop ke fungsi keandalan dan ketersediaan.
94
Gambar 4.14 Korelasi antara Konstanta Weibull pada PM Compliance Peralatan
Utama
Gambar 4.15 Korelasi antara Konstanta Weibull pada PM Compliance Peralatan
Pendukung
4.2.3.3. Variabel terkait Overhaul
Overhaul sebetulnya adalah bagian preventive maintenance yang
dilaksanakan setahun sekali. Jenis overhaul untuk PLTU adalah simple inspection
(SI), medium inspection (ME), dan serious inspection (SE) mengacu siklus SI-SE-
SI-ME. Beberapa variabel terkait pelaksanaan overhaul, baik yang bersumber dari
manual book maupun statistik data di PJB dapat dijelaskan pada Tabel 4.9. Pada
tabel tersebut, nilai biaya material lebih kecil dari jasa karena biaya material
tersebut sebatas material consumable (habis pakai), adapun spare part spesifik
y = -0.0065x + 0.5375
y = 0.3579x + 6.6728
0
2
4
6
8
10
1 2 3 4 5 6
Co
rrec
tio
n F
acto
r
PM Compliance
Betha Alpha Linear (Betha) Linear (Alpha)
y = -0.0033x + 0.6258
y = 1.5056x + 14.897
y = -8E-18x + 0.055
0
5
10
15
20
25
30
1 2 3 4 5 6
Co
rrec
tio
n F
acto
r
PM Compliance
Betha Alpha Locator
Linear (Betha) Linear (Alpha) Linear (Locator)
95
dimasukkan dalam pos biaya maintenance project. Pada prakteknya, overhaul akan
disubkan pada kontraktor lain.
Tabel 4.9 Variabel terkait Overhaul
NO VARIABEL SATUAN NILAI
1. Durasi standar SI Hari 32
2. Durasi standar ME Hari 46
3. Durasi standar SE Hari 65
4. Biaya material SI Rupiah 2.652.080.000,00
5. Biaya jasa SI Rupiah 18.859.500.000,00
6. Biaya material ME Rupiah 2.292.530.000,00
7. Biaya jasa ME Rupiah 24.475.400.000,00
8. Biaya material SE Rupiah 19.729.200.000,00
9. Biaya jasa SE Rupiah 32.582.600.000,00
4.2.3.4. Variabel terkait Maintenance Project
Beberapa variabel penting terkait maintenance project cost adalah
anggaran tahunan, persentase anggaran yang dialokasikan untuk perbaikan NPHR,
termasuk adanya faktor koreksi terkait birokrasi jika anggaran project mengacu
sistem reimburse (penggantian) oleh pemilik aset kepada kontraktor O&M.
Anggaran project pada model diset sesuai yang dilaksanakan di PLTU Paiton 9
yaitu Rp 401.384.000.000,00 per tahun yang merupakan anggaran PLN. Dari
anggaran tersebut, 20% dialokasikan untuk perbaikan NPHR.
Besarnya biaya yang dialokasikan untuk maintenance project akan
mengoreksi konstanta Weibull baik α maupun β. Nilai koreksi berdasar data yang
diolah dari Navitas dan historis nilai pengadaan untuk maintenance project
ditunjukkan pada Gambar 4.16 dan 4.17.
96
Gambar 4.16 Korelasi antara Konstanta Weibull (β) dengan Anggaran Investasi
Gambar 4.17 Korelasi antara Konstanta Weibull (α) dengan Anggaran Investasi
4.2.4. Variabel pada Model Cash Flow
Untuk mengkalkulasi pendapatan, diperlukan beberapa variabel transaksi
yang merupakan kesepakatan dalam PPA. Data lain diperolej dari statistik data di
PJB. Secara lengkap, variabel terkait model pendapatan dijelaskan pada Tabel 4.10.
0
0.005
0.01
0.015
0.02
0.025
2.5 20
37.5 55
72.5 90
107.
5
125
142.
5
160
177.
5
195
212.
5
230
247.
5
265
282.
5
300
317.
5
335
352.
5
370
387.
5
405
422.
5
440
457.
5
475
492.
5
Fakt
or
Ko
reks
i Ko
nst
anta
β
Investasi (Rp Miliar)
0
0.5
1
1.5
2
2.5
3
3.5
4
4.5
5
2.5 20
37.5 55
72.5 90
107.
5
125
142.
5
160
177.
5
195
212.
5
230
247.
5
265
282.
5
300
317.
5
335
352.
5
370
387.
5
405
422.
5
440
457.
5
475
492.
5
Fakt
or
Ko
reks
i Ko
nst
anta
α
Investasi (Rp Miliar)
97
Tabel 4.10 Variabel terkait Model Cash Flow
NO VARIABEL SATUAN NILAI
1. Target Availability % 85
2. H Kap Rp/(kW.bulan) 80.724,9
3. Daya Mampu Netto kW 615.000
4. H Fix Rp/(kW.bulan) 26.633,9
5. SHR w kCal/kWh @ 300 MW = 3011
@ 330 MW = 2850
@ 495 MW = 2643
@ 580 MW = 2597
6. HHV k kCal/kg 4306
7. Harga Batu Bara
Tertimbang
Rp/kg
793
8. CF pada tahun ke 1-4 % 100%
9. CF pada tahun ke 4-6 % 80% - 100%
10. CF pada tahun ke 6-10 % 60% - 100%
11. Biaya penyusutan Rp/bulan 19.359.400.000,-
12. Biaya kontraktor O&M Rp/bulan 0
13. Biaya LK3 Rp/bulan 1.748.770.000,-
14. Jumlah operator Orang 104
15. Rerata gaji operator Rp/bulan 17.234.400,-
16. Rerata gaji teknisi Rp/bulan 15.587.800,-
17. Total gaji staf
pendukung/administrasi
Rp/bulan
1.545.830.000,-
18. Total gaji manajemen
dan supervisor
Rp/bulan
1.024.670.000,-
4.2.5. Variabel Exogenous
Data exogenous adalah data yang berasal dari luar model dan bersifat
independen terhadap model. Beberapa data exogenous diantaranya :
4.2.5.1. Harga Batu Bara
Pada model ini, referensi harga batu bara diambil dari Harga Batubara
Acuan (HBA) yang dikeluarkan oleh Kementerian Energi dan Sumber Daya
Mineral, untuk batu bara rendah kalori (low range coal) 4.200 kCal/kg sesuai
spesifikasi kebanyakan pembangkit FTP 1 di Indonesia. Harga batu bara ditentukan
beberapa faktor, diantaranya supply-demand (domestik dan luar negeri), faktor
geopolitik, dan kondisi cuaca yang susah diprediksi (Sinadia, 2018). Maka wajar
ketika harga batu bara tidak bisa dibuat tren fungsi waktu. Gambar 3.25
menunjukkan pergerakan HBA untuk LRC.
98
Gambar 4.18 Tren Harga LRC kelas 4200 kCal/kg (Kementerian ESDM, 2017)
Karena data pada Gambar 4.19 bersifat acak, harga batu bara pada model
diperoleh sesuai random berdasar statistik harga yang pernah muncul.
Distribusi diidentifikasi menggunakan software Minitab.
4.2.5.2. Heat Heating Value (HHV)
Nilai kalori batubara bersifat random. Variansi ini bisa disebabkan oleh
suplai batu bara dari tambang yang berbeda-beda atau faktor kompetensi operator
coal handling dalam membuat campuran yang seragam, mengingat proses blending
dilakukan secara manual. Dari statistik pembangkit FTP 1 yang dikelola PJB, range
HHV batu bara LRC dengan kelas 4200 kCal/kg berkisar antara 4025 kCal/kg
sampai 4501 kCal/kg, dengan rata-rata 4287,5 kCal/kg dan standar deviasi 107,99
kCal/kg. Dalam model ini, Vensim membuat random HHV sesuai distribusi
tersebut.
4.2.5.3. Dispatch P2B
Faktor pembebanan (dispatch) P2B dikategorikan sebagai variabel
eksternal meskipun dalam merit order system terdapat proses bidding berdasar
harga komponen C dimana beberapa aspek menjadi domain pemilik aset
pembangkit. Untuk pembangkit yang saat ini sudah beroperasi, diperkirakan masih
akan dibebani 100% sampai 4 tahun ke depan. Ketika CF aktual tidak bisa
maksimal, lebih disebabkan ketidakmampuan pembangkit untuk memenuhi
0
10
20
30
40
50
60
70
Jan
-09
Jun
-09
No
v-0
9
Ap
r-1
0
Sep
-10
Feb
-11
Jul-
11
Dec
-11
May
-12
Oct
-12
Mar
-13
Au
g-1
3
Jan
-14
Jun
-14
No
v-1
4
Ap
r-1
5
Sep
-15
Feb
-16
Jul-
16
Dec
-16
May
-17
Har
ga B
atu
Bar
a (U
SD/t
on
)
99
permintaan P2B. Namun setelah 4 tahun ke depan, pembebanan akan berfluktuasi
karena pada waktu itu pembangkit ultra super critical (USC) yang lebih efisien
telah masuk ke sistem Jawa Bali. Pada model ini dibuat anggapan CF sebagai
berikut :
Tabel 4.11 Variabel terkait Faktor Pembebanan oleh P2B
NO VARIABEL SATUAN NILAI
1. CF pada tahun ke 1-4 % 100%
2. CF pada tahun ke 4-6 % 80% - 100%
3. CF pada tahun ke 6-10 % 60% - 100%
4.2.5.4. BI Rate
Suku bunga bank juga termasuk faktor eksternal karena di luar kendali
pemilik aset pembangkit. Suku bunga bank dipergunakan untuk menghitung NPV.
Informasi suku bunga bank diambil dari Bank Indonesia yang dikenal dengan
sebutan BI rate. Tren BI rate ditampilkan pada Gambar 3.26. Adapun pada model
dibuat asumsi BI rate adalah 7,74% per tahun yang merupakan rerata BI rate 10
tahun ke belakang.
Gambar 4.20 Tren Suku Bunga (Bank Indonesia, 2018)
4.2.5.5. Tarif Pajak
Pajak dimaksud ini adalah Pajak Penghasilan (PPH) badan, yaitu pajak
yang dikenakan kepada perusahaan sebagai sebuah entitas wajib pajak. Sesuai
Peraturan Pemerintah No. 46 Tahun 2013 Tentang Pajak Penghasilan Atas
Penghasilan dari Usaha Yang Diterima atau Diperoleh Wajib Pajak Yang Memiliki
0.00%
2.00%
4.00%
6.00%
8.00%
10.00%
12.00%
14.00%
BI R
ate
(%)
100
Peredaran Bruto Tertentu, tarif PPH badan dapat dilihat pada Tabel 4.12.
Mengingat pendapatan pembangkit pasti di atas Rp 50 miliar per tahun, maka tarif
pajak pada model ini mengacu nilai 25% dari penghasilan kena pajak (PKP).
Tabel 4.12 Tarif PPH Badan
Penghasilan Kotor (Rp) Tarif Pajak
< Rp 4,8 miliar 1% x Penghasilan kotor
Rp 4,8 miliar – Rp 50 miliar {0,25 – (0,6 miliar/penghasilan kotor)}
x PKP
> Rp 50 miliar 25% x PKP
Sumber : PP No 46 Tahun 2013
4.3.Verifikasi Model
Penelitian ini menggunakan 4 metode untuk memverifikasi model, yaitu :
Pemeriksaan logika
Pemeriksaan struktur model
Pemeriksaan satuan model
Pemeriksaan sensitivitas model
Selengkapnya dapat diuraikan sebagai berikut :
4.3.1. Pemeriksaan Logika
Uji logika dilakukan dengan melihat dua variabel yang saling
berhubungan, serta membandingkan hasil logika aktual dengan hasil simulasi.
Sebagai metode pengujian diambil 2 parameter yang saling berhubungan. Sebagai
contoh, pada kondisi aktual beban pembangkit berbalik dengan NPHR. Vensim
kemudian mensimulasi kedua paramater pada bulan ke 1-10, diperoleh grafik pada
Gambar 4.21, nampak bahwa pola logika tersebut benar. Pada Vensim, kedua
parameter tersebut memang membentuk balancing feedback loop (negatif).
Uji kedua diambil parameter NPHR dan Biaya Pokok Persediaan (BPP)
sebagaimana ditampilkan pada Gambar 4.22. Dari grafik tersebut nampak bahwa
semakin tinggi NPHR maka BPP akan semakin tinggi pula, yang hal ini sesuai
dengan realita di lapangan yang mengacu reinforce feedback loop (positif).
101
Gambar 4.21 Uji Logika Balancing Feedback Loop
Gambar 4.22 Uji Logika Reinforce Feedback Loop
Dari kedua sampling tersebut, dapat disimpulkan bahwa secara logika,
model yang disusun telah valid.
4.3.2. Pemeriksaan Struktur Model
Pemeriksaan struktur model dimaksudkan untuk mengetahui bahwa model
telah mencerminkan sistem dinamik, dimana karakter utama sistem dinamik adalah
adanya closed loop. Vensim telah menyediakan fitur untuk pemeriksaan struktur
model. Ketika model telah memiliki closed loop dan Vensim telah menyatakan
model telah “OK”, maka dapat dikatakan model telah valid. Gambar 4.23 dan 4.24
menunjukkan Vensim melakukan pengujian validitas struktur model.
2,200.00
2,400.00
2,600.00
2,800.00
3,000.00
-
200.00
400.00
600.00
800.00
1 2 3 4 5 6 7 8 9 10
NP
HR
(kC
al/k
Wh
)
Beb
an (
MW
)
Bulan ke
Beban NPHR
-
100.00
200.00
300.00
400.00
500.00
600.00
2200
2300
2400
2500
2600
2700
2800
2900
3000
1 2 3 4 5 6 7 8 9 10
Bia
ya P
oko
k P
rod
uks
i (R
p)
NP
HR
(kC
al/k
Wh
)
Bulan ke
NPHR BPP
102
Gambar 4.23 Pengujian Eksistensi Closed Loop pada Model
Gambar 4.24 Pengujian Struktur Model oleh Vensim
Dari pengujian oleh Vensim tersebut, dapat disimpulkan bahwa secara
logika, model yang disusun telah valid.
4.3.3. Pemeriksaan Satuan Model
Sama dengan pengujian struktur, Vensim juga menyediakan fasilitas untuk
menguji konsistensi satuan. Ketika Vensim telah menyatakan model telah “OK”,
maka dapat dikatakan model telah valid. Gambar 4.25 menunjukkan Vensim
melakukan pengujian konsistensi satuan, dimana dinyatakan unit telah konsisten.
103
Gambar 4.25 Pengujian Konsistensi Satuan oleh Vensim
4.3.4. Pemeriksaan Sensitivitas Model
Analisis sensitivitas digunakan untuk menganalisis seberapa sensitif
model merespon perubahan variabel input. Biasanya uji sensitivitas diterapkan
untuk menguji variabel yang tidak bisa dikontrol manajemen namun berpengaruh
pada variabel output. Variabel yang dipilih untuk uji sensitivitas adalah :
Ketepatan Eksekusi Serious Inspection (SE)
Alokasi anggaran untuk perbaikan NPHR
Tarif Kontraktor O&M
Dispatch CF
Harga batu bara
Variabel input divariasi menjadi 3, yaitu nilai dasar (base), naik 10% dan
turun 10% dari nilai dasar, sedang variabel lain dipertahankan konstan. Selanjutnya,
respon simpangan pada variabel output atas perubahan ini, dievaluasi. Yang dipilih
menjadi variabel output antara lain :
Net Cash Flow (NCF)
Net Present Value (NPV)
Availability
104
Mengingat, hasil untuk NCF dan availability bersifat naik turun, maka
yang dipilih sebagai variabel output adalah Net Present Value (NPV). Disamping
itu, NPV merepresentasikan keuntungan kumulatif perusahaan. Kondisi uji
sensitivitas direkap pada Tabel 4.13. Nilai yang ditulis pada Tabel 4.13 mengacu
data PLTU Paiton 9 yang pelaksanaan O&M saat ini dialihdayakan untuk cakupan
kewenangan asset manager dan asset operator.
Tabel 4.13 Kondisi Uji Sensitivitas Variabel Input
No Paramater Satuan Basis Basis + 10% Basis - 10%
Kompetensi Kontraktor O&M
1 Ketepatan eksekusi
Serious Inspection (SE)
Hari 65 71.5 58.5
Tata Kelola O&M
2 Alokasi anggaran untuk
perbaikan NPHR
Persen 20 22 18
Kebijakan Bisnis
3 Tarif Kontraktor O&M Rp/bulan 6,957,685,778.30 7,653,454,356.13 6,261,917,200.47
Faktor Kompetisi Pasar
4 Dispatch Capacity Factor
(CF)
Persen 80 96 64
Faktor Eksternal
5 Harga batu bara Rp/ton 594,287.04 653,715.7427 534,858.335
Hasil uji sensitivitas dapat dijelaskan sebagai berikut :
4.3.4.1. Ketepatan Eksekusi Serious Inspection (SE)
Serious Inspection (SE) dipilih sebagai variabel input mengingat overhaul
jenis ini menyebabkan down time paling lama (65 hari). Ketika terjadi perpanjangan
jadwal SE, maka efeknya ke NPV dianggap paling signifikan. Jika ditabulasikan,
uji sensitivitas tampak seperti pada Tabel 4.14.
Tabel 4.14 Hasil Uji Sensitivitas untuk Variabel Input Faktor Koreksi SE
No Kondisi Durasi SE
(hari) NPV (Rupiah)
Deviasi
Output (%)
1. Base 65 3.750.058.524.672,00 1.50%
2. Base + 10% 71,5 3.702.388.948.992,00
3. Base – 10% 58,5 3.758.775.336.960,00
105
Hasil running Vensim dapat dilihat pada Gambar 4.26
Gambar 4.26 Uji Sensitivitas terkait Ketepatan Eksekusi Serious Inspection
Dari Tabel 4.14 maupun Gambar 4.26, nampak bahwa perubahan durasi
serious inspection sebesar 20%, yaitu lebih lambat 10% maupun lebih cepat 10%
dari jadwal awal, hanya menghasilkan deviasi NPV sebesar 1,5%. Hal ini
disebabkan biaya overhaul bersifat borongan per paket pekerjaan dan belum ada
faktor penalti atas keterlambatan eksekusi. Dampak ke biaya hanya terkait
availability.
4.3.4.2. Alokasi Anggaran untuk Perbaikan NPHR
Alokasi anggaran untuk perbaikan NPHR dipilih sebagai variabel input
karena NPHR sangat signifikan mempengaruhi biaya operasi, yaitu memegang
sekitar 60% dari total biaya O&M. Variabel yang dimodifikasi adalah persentase
Monthly NCF
400 B
0
-400 B
2018 2021 2024 2027
Year
Rp
Monthly NCF : SE Schedule Compliance (-10%)
Monthly NCF : SE Schedule Compliance (+10%)
Monthly NCF : SE Schedule Compliance (base)
Power Plant NPV
4 T
2 T
0
2018 2021 2024 2027
Year
Rp
Power Plant NPV : SE Schedule Compliance (-10%)
Power Plant NPV : SE Schedule Compliance (+10%)
Power Plant NPV : SE Schedule Compliance (base)
Availability
1
.5
0
2018 2020 2022 2024 2026 2028
Year
Dm
nl
Availability : SE Schedule Compliance (-10%)
Availability : SE Schedule Compliance (+10%)
Availability : SE Schedule Compliance (base)
106
jumlah anggaran maintenance project yang dialokasikan untuk program perbaikan
NPHR. Jika ditabulasikan, uji sensitivitas tampak seperti pada Tabel 4.15
Tabel 4.15 Hasil Uji Sensitivitas untuk Variabel Input Persen Alokasi Anggaran
untuk Perbaikan NPHR
No Kondisi
Alokasi
Anggaran
(%)
NPV (Rupiah) Deviasi
Output (%)
1. Base 20 3.750.058.524.672,00 2,76%
2. Base + 10% 22 3.809.747.664.896,00
3. Base – 10% 18 3.706.149.666.816,00
Hasil running Vensim dapat dilihat pada Gambar 4.27
Gambar 4.27 Uji Sensitivitas terkait Alokasi Anggaran untuk NPHR Improvement
Monthly NCF
400 B
0
-400 B
2018 2021 2024 2027
Year
Rp
Monthly NCF : Anggaran NPHR Improvement (-10%)
Monthly NCF : Anggaran NPHR Improvement (+10%)
Monthly NCF : Anggaran NPHR Improvement (base)
Power Plant NPV
4 T
2 T
0
2018 2021 2024 2027
Year
Rp
Power Plant NPV : Anggaran NPHR Improvement (-10%)
Power Plant NPV : Anggaran NPHR Improvement (+10%)
Power Plant NPV : Anggaran NPHR Improvement (base)
Availability
1
.5
0
2018 2020 2022 2024 2026 2028
Year
Dm
nl
Availability : Anggaran NPHR Improvement (-10%)
Availability : Anggaran NPHR Improvement (+10%)
Availability : Anggaran NPHR Improvement (base)
107
Dari Tabel 4.15 maupun Grafik 4.27, nampak bahwa perubahan alokasi
anggaran untuk program perbaikan NPHR sebesar 20%, yaitu naik 10% maupun
turun 10% dari kondisi semula, menghasilkan deviasi NPV sebesar 2,76%. Angka
ini sedikit lebih tinggi dibandingkan dengan perubahan durasi Serious Inspection.
Meskipun NPHR cukup signifikan menentukan biaya operasi, namun dampak
terhadap peralatan bersifat delay. Disamping itu, dampak investasi ke perbaikan ke
efisiensi termal berbeda-beda antar peralatan. Kendati tidak terlalu sensitif,
manajemen harus tetap berkomitmen memperbaiki efisiensi termal, mengingat tren
bisnis ketenagalistrikan saat ini sudah tidak hanya mengacu ke keandalan, namun
juga efisien secara bisnis.
4.3.4.3. Tarif Kontraktor O&M
Komponen ini adalah biaya yang harus dibayarkan pemilik aset kepada
kontraktor O&M atas jasa yang diberikan. Meski biaya bersifat lumpsum (flat),
namun dalam menentukan tarif, kontraktor O&M pasti telah memperhitungkan
seluruh komponen biaya O&M. Jika ditabulasikan, uji sensitivitas tampak seperti
pada Tabel 4.16.
Tabel 4.16 Hasil Uji Sensitivitas untuk Tarif Biaya Jasa O&M
No Kondisi Biaya Jasa
O&M (Rp) NPV (Rupiah)
Deviasi
Output (%)
1. Base 6.957.685.778,30 3.750.058.524.672,00 4,15%
2. Base + 10% 7.653.454.356,13 3.672.211.980.288,00
3. Base – 10% 6.261.917.200,47 3.827.905.331.200,00
Hasil running Vensim dapat dilihat pada Gambar 4.28
108
Gambar 4.28 Uji Sensitivitas terkait Tarif Kontraktor O&M
Dari Tabel 4.16 maupun Grafik 4.28, tarif jasa O&M cukup signifikan
mempengaruhi NPV. Perubahan biaya jasa O&M sebesar 20%, yaitu naik 10% atau
turun 10% dari kondisi semula, memberi pengaruh deviasi 4,15% ke NPV. Variabel
ini bersifat independen, dalam arti tidak merupakan fungsi variabel yang lain,
namun cukup berpengaruh ke NPV. Analisis ini memberikan pesan ke manajemen
untuk lebih dapat mengendalikan komponen biaya ini, salah satunya dengan
menemukan mitra kerja yang mampu menawarkan tarif jasa yang kompetitif.
Kendati demikian, jangan sampai tarif yang murah mengabaikan aspek kualitas.
Untuk itu manajemen harus melakukan due diligence yang cermat untuk
menemukan kontraktor O&M yang tepat.
Power Plant NPV
4 T
2 T
0
2018 2021 2024 2027
Year
Rp
Power Plant NPV : Monthly O&M Contractor Tariff (-10%)
Power Plant NPV : Monthly O&M Contractor Tariff (+10%)
Power Plant NPV : Monthly O&M Contractor Tariff (base)
Monthly NCF
400 B
0
-400 B
2018 2021 2024 2027
Year
Rp
Monthly NCF : Monthly O&M Contractor Tariff (-10%)
Monthly NCF : Monthly O&M Contractor Tariff (+10%)
Monthly NCF : Monthly O&M Contractor Tariff (base)
Availability
1
.5
0
2018 2020 2022 2024 2026 2028
Year
Dm
nl
Availability : Monthly O&M Contractor Tariff (-10%)
Availability : Monthly O&M Contractor Tariff (+10%)
Availability : Monthly O&M Contractor Tariff (base)
109
4.3.4.4. Dispatch Capacity Factor (CF)
Tingkat pembebanan pembangkit merupakan kewenangan P2B mengacu
tingkat permintaan beban puncak dibandingkan kesiapan unit pembangkit. Diantara
pembangkit yang siap, P2B juga melakukan prioritisasi unit yang dipanggil
(dispatch) beroperasi berdasar biaya komponen C dan karakteristik operasi masing-
masing jenis pembangkit. Aspek dispatch CF ini perlu diuji sensitivitasnya
mengingat faktor pembenanan ini merepresentasikan daya tarik pembangkit di
pasar. Hasil uji sensitivitas ditampilkan pada Tabel 4.17.
Tabel 4.17 Hasil Uji Sensitivitas untuk Dispatch CF
No Kondisi Dispatch CF
(%) NPV (Rupiah)
Deviasi
Output (%)
1. Base 80 3.750.058.524.672,00 53,31%
2. Base + 10% 96 4.751.053.291.520,00
3. Base – 10% 64 2.751.862.407.168,00
Hasil running Vensim dapat dilihat pada Gambar 4.29
Gambar 4.29 Uji Sensitivitas terkait Dispatch CF
Monthly NCF
400 B
0
-400 B
2018 2021 2024 2027
Year
Rp
Monthly NCF : Dispatch CF (-10%)
Monthly NCF : Dispatch CF (+10%)
Monthly NCF : Dispatch CF (base)
Power Plant NPV
5 T
2.5 T
0
2018 2021 2024 2027
Year
Rp
Power Plant NPV : Dispatch CF (-10%)
Power Plant NPV : Dispatch CF (+10%)
Power Plant NPV : Dispatch CF (base)
Availability
1
.5
0
2018 2020 2022 2024 2026 2028
Year
Dm
nl
Availability : Dispatch CF (-10%)
Availability : Dispatch CF (+10%)
Availability : Dispatch CF (base)
110
Berbeda dengan variabel-variabel sebelumnya, tingkat pembebanan P2B
sangat signifikan menentukan NPV. Dengan variasi input 20%, yaitu pembebanan
P2B meningkat 10% atau turun 10% dari kondisi semula, NPV bergerak sejauh
53,31%. Hal ini karena terkait langsung dengan energi yang diproduksi dan
penjualan. Sayangnya, dispatch CF tidak sepenuhnya dalam kontrol manajemen.
Dalam penelitian ini, posisi merit order PLTU Paiton 9 pada sistem Jawa Bali tidak
dimodelkan karena keterbatasan untuk mendapatkan data operasi seluruh
pembangkit di sistem Jawa Bali. Terkait hal tersebut, yang dapat dilakukan
manajemen terkait tingkat kompetetif tersebut adalah dengan menjaga efisiensi
pembangkit sehingga komponen harga tetap menarik bagi pasar.
4.3.4.5. Harga Batu Bara
Harga batu bara dipilih sebagai variabel input karena cukup signifikan
menentukan harga energi listrik kendati faktor penentu harga batu bara cukup
kompleks dan di luar kendali manajemen. Hasil uji sensitivitas terhadap harga batu
bara ditampilkan pada Tabel 4.18.
Tabel 4.18 Hasil Uji Sensitivitas untuk Harga Batu Bara
No Kondisi Harga Batu
Bara (Rp/ton) NPV (Rupiah)
Deviasi
Output (%)
1. Base 594.287,04 3.750.058.524.672,00 62,36%
2. Base + 10% 653.715,74 2.579.415.433.216,00
3. Base – 10% 534.858,34 4.918.021.193.728,00
Hasil running Vensim dapat dilihat pada Gambar 4.30
111
Gambar 4.30 Uji Sensitivitas terkait Harga Batu Bara
Dari Tabel 4.18 dan Gambar 4.30 di atas, terlihat bahwa harga batu bara
sangat sensitif menentukan NPV. Kenaikan maupun penurunan harga bara sebesar
10% akan berpengaruh 62,36% terhadap NPV. Hal ini menjadi faktor yang harus
diperhatikan dalam bisnis ketenagalistrikan. Salah satu mitigasi yang bisa diambil
adalah dengan menjaga keandalan pasokan. Di PLN sendiri sudah ditetapkan aturan
bahwa pembangkit harus menjaga persediaan batu bara untuk 15-22 hari operasi.
Disamping untuk menjaga kontinuitas operasi pembangkit, strategi ini juga untuk
menjaga biaya yang dikeluarkan untuk pengadaan energi primer cenderung
konstan.
Apabila seluruh hasil analisis sensitivitas ditabulasikan, akan didapat hasil
seperti pada Tabel 4.19 dan 4.20. Net Present Value (NPV) mencerminkan aliran
kas masuk pada jangka waktu yang panjang. Metode NPV dipergunakan mengingat
Monthly NCF
400 B
0
-400 B
2018 2021 2024 2027
Year
Rp
Monthly NCF : Coal Price (-10%)
Monthly NCF : Coal Price (+10%)
Monthly NCF : Coal Price (base)
Power Plant NPV
5 T
2.5 T
0
2018 2021 2024 2027
Year
Rp
Power Plant NPV : Coal Price (-10%)
Power Plant NPV : Coal Price (+10%)
Power Plant NPV : Coal Price (base)
Availability
1
.5
0
2018 2020 2022 2024 2026 2028
Year
Dm
nl
Availability : Coal Price (-10%)
Availability : Coal Price (+10%)
Availability : Coal Price (base)
112
adanya nilai uang yang cenderung menurun seiring discount rate. NPV yang tinggi
mencerminkan tingkat kesehatan perusahaan. Semakin tinggi nilai NPV, maka
perusahaan tersebut dinilai semakin menguntungkan.
Tabel 4.19 Perbandingan Hasil Uji Sensitivitas dengan 5 Variabel Input
No Paramater Satuan NPV (+ 10%)
Rp NPV (- 10%)
Rp NPV (base)
Rp
Kompetensi Kontraktor O&M
1 Durasi Serious Inspection (SE)
Hari 3,702,388,948,992.00 3,758,775,336,960.00 3,750,058,524,672.00
Tata Kelola O&M
2 Alokasi anggaran untuk perbaikan NPHR
Rupiah 3,809,747,664,896.00 3,706,149,666,816.00 3,750,058,524,672.00
Kebijakan Bisnis
3 Tarif Kontraktor O&M
Rupiah 3,672,211,980,288.00 3,827,905,331,200.00 3,750,058,524,672.00
Faktor Kompetisi Pasar
4 Dispatch Capacity Factor (CF)
Persen 4,751,053,291,520.00 2,751,862,407,168.00 3,750,058,524,672.00
Faktor Eksternal
5 Harga batu bara Rupiah 2,579,415,433,216.00 4,918,021,193,728.00 3,750,058,524,672.00
Tabel 4.20 menampilkan perbandingan deviasi input dan output :
Tabel 4.20 Perbandingan Sensitivitas Tiap Variabel Input
No Paramater Satuan Deviasi Input Deviasi Output
Kompetensi Kontraktor O&M
1 Ketepatan eksekusi Serious Inspection (SE)
Hari 20% 1.50%
Tata Kelola O&M
2 Alokasi anggaran untuk perbaikan NPHR
Rupiah 20% 2.76%
Kebijakan Bisnis
3 Tarif Kontraktor O&M Rupiah 20% 4.15%
Faktor Kompetisi Pasar
4 Dispatch Capacity Factor (CF) Persen 20% 53.31%
Faktor Eksternal
5 Harga batu bara Rupiah 20% 62.36%
113
Data Tabel 4.20 di atas menjelaskan bahwa secara berurutan NPV paling
sensitif dipengaruhi oleh faktor-faktor berikut :
1. Harga batu bara (62,36%)
2. Dispatch oleh P2B (53,31%)
3. Tarif kontraktor O&M (4,15%)
4. Alokasi anggaran untuk perbaikan NPHR (2,76%)
5. Ketepatan eksekusi Serious Inspection (SE) (1,50%)
Karena harga batu bara paling sensitif (62,36%), maka begitu harga batu
bara naik sedikit saja, dampak yang ditimbulkan ke perusahaan cukup signifikan.
Hal ini berbeda ketika pelaksanaan overhaul yang mundur, tidak terlalu
mengganggu keuangan perusahaan.
Kendati parameter 1 dan 2 sangat sensitif, namun tidak seluruhnya dalam
kendali manajemen. Seperti dijelaskan sebelumnya, optimasi persediaan batu bara
maupun menjaga efisiensi pembangkit pada tingkat kompetitif, dipandang sebagai
meotode yang tepat.
Selanjutnya, manajemen diharapkan dapat memberikan best effort
terhadap parameter yang dalam kontrol mereka. Langkah yang bisa dilakukan
antara lain dengan memilih kontraktor O&M yang tepat, komitmen untuk
memperbaiki efisiensi termal pembangkit, dan menjaga overhaul dilaksanakan
tepat waktu. Perlu juga mengidentifikasi faktor leading yang mempengaruhi
parameter-parameter di atas, sehingga strategi yang diambil dapat tepat sasaran.
Model ini menunjukkan hubungan sebab akibat, yang diharapkan dapat membantu
manajemen melakukan causal tracing atas jika pada saat tertentu ditemukan
kelainan.
4.4.Uji Validitas
Untuk membuktikan validitas model, dilakukan pembandingan hasil
simulasi dengan data referensi di lapangan. Validasi menggunakan metode Mean
Absolute Percentage Error (MAPE). MAPE dihitung sesuai persamaan 3.3. Data
disimulasikan dengan skenario 2 (O&M pembangkit dialihdayakan untuk cakupan
kewenangan sebagai asset manager sekaligus asset operator) mengingat kontrak
114
O&M PJB untuk PLTU Paiton 9, yang dijadikan sebagai referensi, sesuai dengan
skenario 2.
Beberapa data yang dibandingkan antara lain EAF, konsumsi batu bara,
NPHR. EAF dan NPHR dipilih sebagai pembanding mengingat kedua hal tersebut
menjadi ukuran kesuksesan pengelolaan pembangkit, yaitu keandalan dan efisiensi.
Konsumsi batu bara dijadikan referensi mengingat pada kondisi lapangan,
penggunaan batu bara diketahui melalui field instrument (alat ukur) sehingga lebih
bersifat independen. Adapun data biaya tidak dibandingkan karena tidak ditemukan
PLTU batu bara 600 MW (sebanding dengan PLTU Paiton 9) yang dikelola oleh
pemilik aset langsung.
Resume hasil perhitungan MAPE untuk skenario 2 dituliskan pada Tabel
4.21 :
Tabel 4.21 Resume Perhitungan MAPE
Parameter NPHR Konsumsi
Batu bara EAF
Rerata Model 2,835.36
211,661.25 0.817865
Data Aktual 2,796.88 206,601.58 0.8794
Gap 38.49 5,059.67 0.833721
Persen MAPE 1.38% 2.45% 5.48%
Karena persen MAPE ≤ 10% maka dapat disimpulkan model telah
VALID dengan tingkat akurasi sangat tepat dan siap dipergunakan untuk simulasi
berikutnya.
4.5. Simulasi
Sebagaimana dijelaskan pada metodologi penilitian, dipilih 4 skenario
untuk disimulasikan. Keempat skenario di atas dijalankan dengan beberapa asumsi
sebagai berikut :
Skenario 1
- Pemilik aset memegang kendali semua keputusan, terutama keputusan
yang terkait pendanaan.
115
- Kompetensi karyawan paling tinggi di antara skenario yang lain. Aspek
kompetensi ini terkait erat dengan kemampuan pembangkit beroperasi
secara efisien dan juga ketepatan waktu dalam pengelolaan overhaul.
- Pemilik aset tidak menanggung biaya kontraktor O&M.
- Pemilik aset menanggung biaya kepegawaian, dimana biaya
kepegawaian cenderung lebih tinggi karena rerata usia karyawan yang
tinggi sehingga harus menaggung biaya aktuaria (kenaikan remunerasi
fungsi masa kerja)
Skenario 2
- Asset manager memiliki kewenangan dalam mengambil keputusan
sampai pada level tertentu, namun untuk level yang lebih tinggi
(misalnya investasi) harus melalui persetujuan. Pada skenario ini
dikenal kebijakan reimburse dalam mengeksekusi maintenance project,
dimana asset manager diperbolehkan melakukan pengadaan dan
instalasi terlebih dahulu, baru kemudian dilakukan reimburse
(penggantian) oleh pemilik aset.
- Kompetensi karyawan pelaksana sebetulnya mirip dengan skenario 3,
namun pada model ini, tataran manajerial (GM sampai supervisor)
dipegang oleh orang-orang yang memiliki masa kerja dan kompetensi
lebih tinggi sehingga jaminan kualitas pekerjaan lebih baik. Dari sini
diharapkan, kualitas operasi dan pemeliharaan akan lebih baik.
- Pemilik menanggung biaya kontraktor O&M dengan nilai yang lebih
tinggi dari skenario ke-3.
- Pemilik aset tidak menanggung biaya kepegawaian karena sudah
dikompensasi oleh biaya kontraktor O&M.
Skenario 3
- Sebagai asset operator, kontraktor O&M hanya berperan sebagai
pelaksana. Semua keputusan dikembalikan ke pemilik aset. Dari sini
muncul isu keterlambatan pengambilan keputusan sehingga kadang
berdampak ke keandalan. Pada model ini, tidak dikenal mekanisme
reimburse. Kalaupun ada terkait case khusus yang harus mendapat
persetujuan pemilik aset.
116
- Hampir semua karyawan pelaksana memiliki pengalaman kerja yang
kurang panjang, karena kadang pihak kontraktor O&M melakukan
rekrutmen lokal dengan mekanisme perjanjian kerja. Tataran
manajerial (GM sampai supervisor) dipegang oleh tim dengan
kompetensi relatif sama dengan pelaksana. Untuk itu, risiko kegagalan
operasi maupun kualitas overhaul jadi lebih tinggi.
- Pemilik menanggung biaya kontraktor O&M dengan nilai yang lebih
rendah dari skenario ke-2.
- Pemilik aset tidak menanggung biaya kepegawaian karena sudah
dikompensasi oleh biaya kontraktor O&M.
Skenario 4
- Pemilik aset memegang kendali semua keputusan, terutama keputusan
yang terkait pendanaan.
- Kompetensi karyawan paling tinggi di antara skenario yang lain khusus
untuk peralatan utama, namun untuk peralatan pendukung kompetensi
lebih rendah. Hal ini berisiko pada kegagalan peralatan pendukung dan
mungkin merembet ke peralatan utama jika secara reliability block
diagram terhubung serial.
- Pemilik aset menanggung biaya kontraktor O&M paling kecil
dibanding skenario yang lain.
- Pemilik aset menanggung biaya kepegawaian, namun lebih rendah
dibanding skenario ke-1.
Keempat skenario di atas diterjemahkan ke dalam model sebagaimana
dijelaskan pada Tabel 4.22. Komponen biaya jasa O&M pada skenario 1 adalah nol
karena semua pelaksanaan O&M pembangkit dikerjakan sendiri oleh pemilik aset.
Sebaliknya pada skenario 2 dan 3, komponen kepegawaian nol karena biaya
remunerasi pegawai sudah include dengan tarif O&M. Tarif O&M untuk skenario
3 lebih kecil dari skenario 2 karena cakupan pekerjaannya hanya sebagai asset
operator. Adapun skenario keempat lebih seperti penggabungan model-model
sebelumnya.
117
Tabel 4.22 Interpretasi Asumsi dalam Model
Pada skenario 4, pemilik aset masih menanggung biaya pegawai yang
bertugas mengelola main equipment, namun masih tetap mengeluarkan biaya jasa
O&M yang diperuntukkan untuk pengelolaan peralatan pendukung (BOP). Pada
keempat skenario di atas, jumlah tenaga kerja diasumsikan sama.
Gambar 4.31 Grafik Availability versus Waktu
Gambar 4.31 menjelaskan respon dinamik availability pada keempat
skenario sesuai fungsi waktu. Pada gambar tersebut nampak, ketersediaan
berfluktuasi antara 0 sampai 1. Ketersediaan nol terjadi pada saat dilaksanakan
overhaul. Sebaliknya, angka availability 1 ketika pembangkit siap berprokdusi.
Skenario 1 Skenario 2 Skenario 3 Skenario 4
1 Correction Factor due to
Operator Competences
kCal/kWh 38.81 45.82 45.82 38.81
1 Maintenance Project Budget Rp 401,383,930,000.00 384,325,389,000.00 384,325,389,000.00 401,383,930,000.00
2
Disburse Correction due to
Birocratic Barrier
Dmnl - 0.20 0.3 -
3 SI Correction Persen 0.983760684 0.339313 0.339313 0.983760684
4 ME Correction Persen 0.091616499 0.274421 0.274421 0.091616499
5 SE Correction Persen -0.015873016 0.379149 0.379149 -0.015873016
1 Monthly O&M Tariff Rp/month - 15,821,306,760.94 4,209,792,144.96 841,958,428.99
1 Number of Operator Man 104 104 104 64
2 Avg Operator Rate Rp/man.month 17,234,375.00 - - 17,234,375.00
3 Number of Technician Man 50 50 50 35
4 Avg Technician Rate Rp/man.month 15,587,797.62 - - 15,587,797.62
5 Management Remuneration Rp/month 1,024,666,666.67 - - 914,250,000.00
6 Other Staf Remuneration Rp/month 1,545,833,333.33 - - 1,545,833,333.33
Contractor Services Cost Related
Human Resoures Cost
No Paramater SatuanNilai
Maintenance Cost Related
Operation Cost Related
-
0.20
0.40
0.60
0.80
1.00
1.20
1 5 9 13 17 21 25 29 33 37 41 45 49 53 57 61 65 69 73 77 81 85 89 93 97 101105109113117
Ava
ilab
ility
Bulan ke
Availability (Skenario 1) Availability (Skenario 2)
Availability (Skenario 3) Availability (Skenario 4)
118
Secara sekilas, tidak terdapat perbedaan signifikan antara keempat skenario yang
disimulasikan. Untuk itu disusun grafik yang menunjukkan rerata availability
selama periode 10 tahun sebagai ditampilkan pada Gambar 4.32
Gambar 4.32 Perbandingan Rerata Availability pada Tiap Skenario
Mengacu Gambar 4.32, meskipun skenario 2 memberikan faktor
ketersediaan tertinggi namun availability keempat skenario dapat dikatakan sama.
Secara teori, keandalan suatu peralatan dipengaruhi oleh beberapat faktor,
diantaranya man, machine, method, money, tool, dan sebagainya. Penelitian ini
lebih banyak menganalisis keandalan dari sisi man dan method. Dan ternyata kedua
faktor tersebut tidak berpengaruh signifikan kepada keandalan. Besar
kemungkinan, availability akan berbeda jika mesin-nya berbeda pula, dimana
variasi mesin tidak menjadi fokus dalam penelitian ini. Diperlukan penelitian
lanjutan untuk mengkaji pengaruh jenis mesin terhadap keandalan dengan metode
O&M yang sama.
Jika faktor keandalan dianggap tidak dipengaruhi oleh metode O&M,
langkah selanjutnya adalah dengan menganalisis dari tinjauan biaya, baik melalui
parameter Net Cash Flow (NCF) maupun Net Present Value (NPV). Grafik 4.33
dan 4.34 menunjukkan hasil simulasi Vensim untuk parameter Net Cash Flow
(NCF) maupun Net Present Value (NPV).
0.858302 0.863288 0.863275
0.858300
0.800000
0.810000
0.820000
0.830000
0.840000
0.850000
0.860000
0.870000
0.880000
0.890000
0.900000
NP
V (
RP
MIL
IAR
)
12 3
4
119
Gambar 4.33 Grafik Net Cash Flow versus Waktu
Net cash flow menjelaskan tentang aliran kas dan biaya pada periode
bulanan dimana cash flow adalah pengurangan total revenue (pendapatan) dan cost
(biaya). Nilainya berfluktuasi sesuai faktor-faktor yang berpengaruh, dan inilah
yang merupakan ciri sistem dinamik dimana ada proses yang memperkuat
(reinforce) dan ada pula proses yang memperlemah (balancing). Pada waktu-waktu
tertentu, cash flow pembangkit menyentuh angka negatif ekstrem. Hal ini
disebabkan adanya pembebanan biaya overhaul sesuai dengan siklusnya. Adapun
aktivitas overhaul menyerap sekitar 80% anggaran pemeliharaan. Prakteknya, biaya
overhaul timbul ketika terdapat pembayaran pembelian spare part (komponen
terbesar) yang waktunya berlangsung sepanjang tahun.
Jika periode NCF adalah bulanan, maka NPV sifatnya kumulatif.
Meskipun tetap ada fluktuasi naik turun, Gambar 4.34 menunjukkan tren
peningkatan NPV. Pada grafik tersebut, NPV skenario 3 paling tinggi dibanding
ketiga skenario yang lain, berurutan disusul skenario 4, 1, dan 2. Skenario 1 dan 4
hampir berhimpit yang mengartikan kebijakan alihdaya pada peralatan pendukung
(BOP) tidak secara signifikan mendongkrak NPV perusahaan. Adapun skenario 2
(alih daya dengan cakupan asset manager dan asset operator) dinilai sebagai opsi
yang paling buruk.
(300.00)
(200.00)
(100.00)
-
100.00
200.00
300.00
1 6
11
16
21
26
31
36
41
46
51
56
61
66
71
76
81
86
91
96
10
1
10
6
11
1
11
6
Net
Cas
h F
low
Rp
(x
Mili
ar)
Bulan ke
Net Cash Flow (Skenario 1) Net Cash Flow (Skenario 2)
Net Cash Flow (Skenario 3) Net Cash Flow (Skenario 4)
120
Gambar 4.34 Grafik Net Present Value versus Waktu
Evaluasi NPV pada tahun ke-10 (120 bulan) ditunjukkan pada Tabel 4.23.
Tabel 4.23 Rekapitulasi NPV pada Tahun ke-10
Skenario Kondisi NPV pada Tahun
ke-10 (Rupiah)
1 O&M pembangkit dikelola penuh oleh
pemilik aset
4,262,090,768,384.00
2 O&M pembangkit dialihdayakan dengan
kewenangan sebagai asset manager dan
asset operator
3,709,838,819,328.00
3 O&M pembangkit dialihdayakan dengan
kewenangan sebagai asset operator
5,196,048,498,688.00
4 O&M pembangkit untuk peralatan utama
dikelola oleh pemilik aset, sedang untuk
peralatan pendukung (BOP) dialihdayakan
4,283,801,796,608.00
Grafik atas data tersebut dapat dilihat pada Gambar 4.35
-
1,000.00
2,000.00
3,000.00
4,000.00
5,000.00
6,000.00
1 5 9
13 17 21 25 29 33 37 41 45 49 53 57 61 65 69 73 77 81 85 89 93 97
101
105
109
113
117
Net
Pre
sen
t V
alu
e R
p (
x M
iliar
)
Bulan ke
NPV (Skenario 1) NPV (Skenario 2) NPV (Skenario 3) NPV (Skenario 4)
121
Gambar 4.35 Perbandingan Net Present Value Keempat Skenario O&M
Dari data pada Tabel 4.2, pada tingkat availability yang relatif konstan,
skenario 3 yang paling menguntungkan secara tinjauan biaya. Padahal opsi untuk
mengalihdayakan O&M pembangkit dengan cakupan asset operator, menyisakan
risiko yang cukup besar yaitu terkait kompetensi dan delay akibat sistem birokrasi.
Kelemahan ini perlu dimitigasi agar metode ini tetap memberikan revenue
maksimal bagi perusahaan.
Saat ini, PLTU Paiton 9 dikelola PJB dengan cakupan kewenangan sebagai
asset manager sekaligus asset operator (skenario 2). Pada kondisi ini, PJB sebagai
perusahaan O&M berhadapan dengan risiko bisnis, dimana pemilik aset
menganggap jasa yang ditawarkan terlalu mahal.
Mesin PLTU Paiton 9 adalah pabrikan China yang dengan failure rate
yang cenderung lebih tinggi dari pabrikan Jepang atau Eropa. Effort O&M yang
dikeluarkan tentu berbeda ketika mengelola mesin pabrikan lain yang lebih dahulu
proven. Dengan pertimbangan tersebut, tarif jasa O&M yang saat ini diterapkan
barangkali masih dianggap wajar. Artinya tingginya tarif dikompensasi dengan
layanan keandalan. Kendati demikian, evaluasi terhadap masing-masing komponen
biaya harus tetap dilakukan karena saat ini perusahaan pesaing di bidang jasa O&M
semakin banyak, yang tentunya akan membawa risiko bisnis tersendiri.
Simulasi menggunakan model sistem dinamik bersifat fleksibel. Jika
terjadi perubahan kondisi bisnis, pengambil keputusan tinggal mengubah nilai
Skenario 1 Skenario 2 Skenario 3 Skenario 4
NPV 4,262,090,7 3,709,838,8 5,196,048,4 4,283,801,7
-
1,000.00
2,000.00
3,000.00
4,000.00
5,000.00
6,000.00
NP
V (
Ru
pia
h)
Mili
ar
122
variabel terkait. Hal ini disebabkan perilaku bisnis telah diterjemahkan ke dalam
bahasa matematika. Berbeda dengan metode Analytical Hierarchy Process (AHP)
yang dikembangkan Mercer (2009) dalam menentukan strategi alihdaya O&M
pembangkit, ketika terjadi perubahan kondisi bisnis, maka pengambil keputusan
harus mengumpulkan kembali expert yang dimintai pendapatnya dalam AHP.
Disamping itu, simulasi menggunakan sistem dinamik juga memungkinkan
dilakukan dalam jangka waktu yang panjang. Pada tesis ini, dilakukan simulasi
untuk rentang waktu 10 tahun. Adapun AHP merupakan metode pengambilan
keputusan yang hanya didekasikan pada satu waktu tertentu.
4.6. Analisis Keputusan
Dari simulasi di atas, disusun perbandingan hasil simulasi dari keempat
skenario sebagaimana ditampilkan pada Tabel 4.24
Tabel 4.24 Perbandingan Hasil Simulasi untuk Pengambilan Keputusan
Skenario Keterangan NPV (Rupiah) Availability Risiko
1 O&M pembangkit dikelola
penuh oleh pemilik aset
4,262,090,768,384.00 0.858302 Biaya tinggi
2 O&M pembangkit
dialihdayakan dengan
kewenangan sebagai asset
manager dan asset
operator
3,709,838,819,328.00 0.863288 Kompetensi
karyawan relatif
lebih rendah
(dari skenario 1)
Rantai birokrasi
menghambat
eksekusi
3 O&M pembangkit
dialihdayakan dengan
kewenangan sebagai asset
operator
5,196,048,498,688.00 0.863275 Kompetensi
karyawan relatif
lebih rendah
(dari skenario 2)
Rantai birokrasi
menghambat
eksekusi (lebih
lambat dari
skenario 2)
4 O&M pembangkit untuk
peralatan utama dikelola
oleh pemilik aset, sedang
untuk peralatan pendukung
(BOP) dialihdayakan
4,283,801,796,608.00 0.858300 Terganggunya
peralatan
pendukung (BOP)
terkait kompetensi
karyawan
123
Dari pertimbangan Tabel 4.23 di atas, pengelolaan O&M PLTU Paiton 9,
lebih baik menggunakan skenario 3, yaitu mengalihdayakan O&M dengan
kewenangan sebagai asset operator. Selanjutnya perlu dipikirkan langkah mitigasi
untuk mengantisipasi risiko kompetensi personil dan keterlambatan eksekusi akibat
birokrasi.
124
BAB 5
KESIMPULAN DAN SARAN
5.1. Kesimpulan
Dari penelitian yang telah dilakukan, dapat diambil kesimpulan sebagai
berikut :
1. Pada kondisi availability pembangkit tidak dipengaruhi variasi metodologi
O&M, keputusan untuk mengalihdayakan O&M PLTU batu bara 600 MW
dengan kewenangan sebagai asset operator memberikan keuntungan paling
besar bagi perusahaan. Untuk periode simulasi 10 tahun, opsi ini
memberikan Net Present Value sebesar Rp. 5,196,048,498,688.00.
2. Faktor paling sensitif yang mempengaruhi pencapaian Net Present Value
(NPV) dan ketersediaan (EAF) pengelolaan pembangkit adalah harga batu
bara (62,36%).
5.2. Saran
Saran yang bisa disampaikan berdasar penelitian ini adalah :
1. Apabila diambil keputusan untuk mengalihdayakan O&M PLTU batu bara
600 MW dengan kewenangan sebagai asset operator, perlu dipirkan
mitigasi atas risiko kompetensi personil dan keterlambatan dalam birokrasi
pengambilan keputusan sehingga tidak menimbulkan dampak lanjutan.
Rekrutmen profesional maupun penyusunan prosedur yang lean (ramping)
dipandang sebagai salah satu langkah yang tepat.
2. Manajemen pemilik aset harus memberi perhatian lebih untuk menemukan
mitra alih daya yang menawarkan harga kompetitif tanpa mengabaikan
kualitas, karena tarif jasa O&M memegang tingkat sensitivitas terhadap
NPV yang cukup tinggi (4,15%).
3. Manajemen perusahaan jasa O&M harus mengerahkan upaya untuk
mengefisienkan segala komponen biaya O&M, agar layanan jasanya tetap
kompetitif di pasar.
125
4. Model sistem dinamik yang dikembangkan dalam penelitian ini dapat
dimanfaatkan untuk menyelesaikan permasalahan bisnis lain di PT PJB.
5. Penelitian ini perlu dilanjutkan dengan :
Penelitian sejenis dengan cakupan seluruh siklus hidup biaya (life cycle
cost) serta diintegrasikan dengan metodologi Life Cycle Cost
Management (LCCM) yang sudah diterapkan di PT PJB.
Optimasi NPV dan keandalan dengan metode O&M yang sama dengan
variasi jenis/kelas mesin pembangkit.
127
DAFTAR PUSTAKA
AnyLogic, (2014), Multimethod Simulation Approach. Available:
http://www.anylogic.com/multimethod-modeling
Appelin, (2013), Keputusan Pengurus Asosiasi Perusahaan Penyedia Listrik
Nasional No. 01/X/KEP/APPELIN/2013 tentang Alur Kegiatan Proses
Pelaksanaan Pekerjaan
Campbell, J (1995), Uptime Strategies for Excellence in Maintenance
Management, 1st Edition, CRC Press, Portland, Oregon.
Chung, H.K., Son, T.W, “System Dynamics Approach for Analyzing Dynamic
Motivaton Model using Vensim”, Korean System Dynamics Society, hal 61-
86.
Coyle, R. G, (1996), System Dynamics Modelling : A Practical Approach,
Chapman and Hall.
Dhillon, B. S. (2002), Engineering Maintenance, a Modern Approach, 10th edition, CRC Press, New York.
Dhillon, B. S. (2006), Maintainability, Maintenance, and Reliability for
Engineers, 10th edition, CRC Press, New York.
Duke, Daniel, F. (2006), “Heat Rate Improvement Reference Manual”, Electric
Power Research Institute (EPRI), Technical update Product ID : TR-109546.
Dyer, J. (1997), “Effect of Interm Collaboration : How Firms Minimize
Transaction Costs and Maximize Transaction Value” Strategic Management
Journal, Vol 18, No 7, hal 104-114.
Dyson, B., Chang, N.-B. (2005). “Forecasting Municipal Solid Waste Generation
in a Fast-Growing Urban Region with System Dynamics Modeling”. Waste
Management, Vol 25, No 7. hal 669-679.
ElSawah, S., Haase, D., Delden, H. v., Pierce, S., ElMahdi, A., Voinov, A. A.,
Jakeman, A. J. (2012). “Using System Dynamics for Environmental
Modelling: Lessons Learnt from Six Case Studies 2012”, International
Congress on Environmental Modelling and Software
Managing Resources of a Limited Planet, Sixth Biennial Meeting. Leipzig,
Germany International Environmental Modelling and Software Society
(iEMSs)
Fang L., dan Zhaodong H. (2015), “System Dynamic Based Simulation Approach
on Correction Maintenance Cost of Aviation Equipments”, Procedia
Engineering, Vol 99, hal 150-155.
128
Fill, C. and Visser, E (2001), “The Outsourcing Dilemma : A Composite
Approach to The Make or Buy Decision”, Management Decision, Vol 38, No
12, hal 43-50.
Forrester, J. W. 1961. Industrial Dynamics. The MIT Press.
Fuchs, H. U., (2006), “System Dynamics Modeling In Science and Engineering”.
System Dynamics Conference at the University of Puerto Rico Resource
Center for Science and Engineering, Mayaguez.
Gottfredson, M., Puryear, R., dan Philips S. (2005), “Strategic Sourcing from
Periphery to The Core”, Harvard Business Review, Vol 83, No 2, hal 132-
139.
Grace, D. (2005), “Approaches to Minimizing Risk in Combustion Turbine
Project : Costs for Self-Managed Maintenance, Long Term Maintenance
Contracts abd Insurance Update”, Electric Power Research Institute (EPRI),
Technical update Product ID : 1004239.
Guo, X, (2015), “China’s Photovoltaic Power Development under Policy
Incentives : A System Dynamics Analysis”, Energy, Vol 93, hal 589-598.
Hartwitch, F. (1999), “Weighing of Agricultural Research Results: Strength and
Limitations of the Analytical Hierarchy Process (AHP)”, Institut für
Agarökonomie und Soziologie in den Tropen und Subtropen, Universität
Hohenheim.
Holcomb, T. dan Hitt, M. (2007), “Toward a Model of Strategic Outsourcing”,
Journal of Operation Management, Vol 25, No 2, hal 464-481.
Kagiannas, A.G., Askounis, D.T., Psarras, J., (2004), “Power Generation
Planning: a Survey from Monopoly to Competition”, Electric Power Energy
System, Vol 26, hal 413–421.
Kang, K. M, Jae, M., (2004), “A Quantitative Assessment of LCOs for Operations
using System Dynamics”, Reliability Engineering and System and Safety,
Vol 87, hal 211-222.
Kementerian ESDM,(2016), Pengesahan Rencana Usaha Penyediaan Tenaga
Listrik (RUPTL) Tahun 2016-2025, Kementerian Energi dan Sumber Daya
Mineral, Jakarta
Kementerian Tenaga Kerja dan Transmigrasi, (2012), Peraturan Menteri Tenaga
Kerja dan Transmigrasi Republik Indonesia No 19 tahun 2012 tentang
Syarat-syarat Penyerahan Sebagian Pelaksanaan Pekerjaan kepada
Perusahaan Lain.
Kulkarni, S., Agarwal, M., Singh, A. K. (2013), “Outsourcing Operations, a New
Trend among IPPs”, Infraline Plus, Ed July 2013, hal 16-18.
Lansdowne, Z. S, (1994), “Built in Test Factors in a Life Cycle Cost Model”,
Reliability Engineering & System Safety, Vol 43, No 3, hal : 325-330.
129
Lewis, C. D. (1982). “International and Business Forecasting Methods”. London:
Butterworths.
Martinez, I. J., Richardson, G. P. (2011), “Best Practices in System Dynamics
Modelling”, Proceedings of the 19th International Conference of The System
Dynamics Society, Atlanta, Georgia, USA
Mercer, W. B. (2009), Evaluation of the Outsourcing Decisions for Power Station
Operations and Maintenance Services, Tesis, Athabasca University, Canada.
Park, S., Kim, B. J., Jung, S. Y, (2013), “Simulation Methods of a System
Dynamics Model for Efficient Operations and Planning of Capacity
Expansion of Activated-Sludge Wastewater Treatment Plant”, Procedia
Enginnering, Vol 70, hal 1289-1295.
PJB, (2017), Laporan Keberlanjutan 2016, Sekretariat Perusahaan PT PJB,
Surabaya
PJB, (2013), Surat Keputusan Direksi PT PJB No 089.K/010/DIR/2013 tentang
Alur Proses Pelaksanaan Pekerjaan sebagai Pedoman Teknis Pelaksanaan
Alih Daya Pengelolaan Pembangkit Listrik.
PJB Academy (2015), Operation Management, Lecture handout : Manajemen
Aset, PJB Academy, Surabaya.
PJB Academy (2015), Outage Management, Lecture handout : Manajemen Aset,
PJB Academy, Surabaya.
PJB Academy (2015), Pengantar Manajemen Aset, Lecture handout : Manajemen
Aset, PJB Academy, Surabaya.
PLN (2013), Independent Power Producers, Divisi Pengadaan IPP PT PLN
(Persero), Jakarta
PLN, (2017), Prognosa RKAP 2017, PT PLN (Persero), Jakarta
PLN (2017), Statistik PLN 2016, No 02901-170531, Sekretariat Perusahaan PT
PLN (Persero), Jakarta.
Quinn J. B. dan Hilmer, F. (1994), “Strategic Outsourcing”, Sloan Management
Review, Vol 35, No 4, hal 43-55.
Sanchez, J.J., Centeno, E., Barquin, J., (2012), “System Dynamics Modeling for
Electricity Generation Expansion Analysis”, Universidad Pontificia
Comillas, Madrid.
Sliter, G. (2002), “Risk-Informed Asset Management (RIAM) Development
Plan”, Electric Power Research Institute (EPRI), Technical update Product
ID : 1006268.
Sontamino P. (2008), Introduction to System Dynamics (SD) & Vensim Software,
Lecture handout : Mining and Material Engineering, Prince of Songkla
University, Thailand.
130
Sontamino, P. (2014), Decision Support System of Coal Mine Planning using
System Dynamics Model, Tesis Ph.D., Technische Universität Bergakademie,
Freiberg, Germany.
US Army, (1976), Engineering Design Handbook Maintainability Engineering,
Headquarters United States Army, Alexandria.
Yuan, H. (2012), “A Model for Evaluating The Social Performance of
Construction Waste Management”, Waste Management, Vol 32, Hal 1218-
1228.
A. Profil PLTU Paiton 9
B. Formulasi Software Vensim
C. Penggunaan Software Minitab
D. Perhitungan Mean Absolute Percentage Error
(MAPE)
A-1 Lamp A – Profil PLTU Paiton 9
LAMPIRAN A – PROFIL PLTU PAITON 9
PLTU Paiton Unit 9 berkapasitas 1 x 660 MW, berlokasi di desa Binor, Paiton,
Kabupaten Probolinggo, Jawa Timur, tepatnya di sisi barat komplek PLTU Paiton yang
sudah ada. Lokasi ini berjarak sekitar 140 km dari Surabaya, di pinggir jalan raya
Pantura Surabaya - Banyuwangi.
Pembangunan Proyek Percepatan Pembangkit Tenaga Listrik berbahan bakar batubara
berdasarkan pada Peraturan Presiden RI Nomor 71 Tahun 2006 tanggal 05 Juli 2006
tentang penugasan kepada PT. PLN (Persero) untuk melakukan Percepatan
Pembangunan Pembangkit Tenaga Listrik yang menggunakan batubara. Perpres ini
menjadi dasar bagi pembangunan 10 PLTU di Jawa dan 25 PLTU di Luar Jawa Bali
atau yang dikenal dengan nama Proyek Percepatan PLTU 10.000 MW. Pembangunan
proyek – proyek PLTU tersebut guna mengejar pasokan tenaga listrik yang akan
mengalami defisit sampai beberapa tahun mendatang, serta menunjang program
diversifikasi energi untuk pembangkit tenaga listrik ke non bahan bakar minyak (BBM)
dengan memanfaatkan batubara berkalori rendah (4200 kcal/kg.).
Kontrak EPC PLTU Unit 9 ditandatangani pada tanggal 12 Maret 2007 oleh PT PLN
(Persero) dan Konsorsium Harbin Power Engineering Co. Ltd. dari China dan
Perusahaan Lokal PT Mitra Selaras Hutama Energi.
A-2 Lamp A – Profil PLTU Paiton 9
Nilai Kontrak dari proyek ini sebesar US$ 389,206,488.60 dan Rp
706,630,361,158.96 belum termasuk Value Added Tax. Pendanaan berasal dari
Anggaran PLN dan utang dari Bank of China
Fasilitas - fasilitas utama yang tersedia di PLTU Paiton 9 meliputi :
Steam Turbine and Generator & Auxiliaries.
Boiler & Auxiliaries.
Electro Static Precipitator
Coal Handling System
Ash Handling System
150 kV and 500 kV System
Instrumentation and Control System
FIRE Fighting System (Water, Foam & CO2 system)
Water Treatment Plant (WTP) and Waste Water Treatment Plant (WWTP)
Water and Fuel Tank
Powerhouse , Control Building and Administration Building
Pump House and Cooling Water System
Intake Canal & Outlet Canal
Stack and Flue Liner 275 M high
PLTU Paiton 9 telah resmi beroperasi sejak 9 Mei 2013. Energi listrik yang
dihasilkan oleh PLTU Paiton Baru disalurkan melalui gardu induk tegangan ekstra
tinggi Paiton. Kebutuhan batu bara dipasok oleh PT Bukit Asam sedangkan
transportasi laut angkutan batu bara dilaksanakan oleh PT Bahtera Adhiguna, anak
perusahaan PLN.
Operation and Maintenance (O&M) PLTU Paiton 9 dipegang oleh PT Pembangkitan
Jawa Bali dengan cakupan sebagai asset manager sekaligus asset operator. Adapun
asset owner PLTU Paiton 9 adalah PT PLN (Persero).
B-1 Lamp B – Formulasi Vensim
LAMPIRAN B - FORMULASI SOFTWARE VENSIM
A. Formulasi Aspek Keandalan dan Ketersediaan
No Parameter Keterangan Satuan Nilai/Formula
Stock/Level
1. Accumulated
reliability
Akumulasi perhitungan faktor keandalan secara
harian
Dmnl*Day Accumulated reliability = Realibility-Yearly Reliability
2. Accumulated
Availability t
Akumulasi perhitungan faktor ketersediaan secara
harian pada periode t
Dmnl*Day Accumulated Availability t = Daily Availability
3. Accumulated
Availability t-1
Akumulasi perhitungan faktor ketersediaan secara
harian pada periode t-1
Dmnl*Day Accumulated Availability t-1 = Delayed Availability
4. Accumulated
Failure rate
Akumulasi perhitungan laju kegagalan secara
harian
Workorder Accumulated Failure rate = Failure Rate-Failure Rate Out
Flow
1. Failure rate Laju kegagalan peralatan yang dihitung harian Workorder/day Failure rate = "Failure Rate (Main)"+"Failure Rate (BOP)"
2. Failure rate out Rata-rata laju kegagalan peralatan Workorder/day Failure rate out = IF THEN ELSE( Accumulated Failure
Rate<1 , 0 , integer(Accumulated Failure Rate)/Conv 01 )
Constant
1. Origin Alpha
TTF (Main)
Konstanta scale distribusi Weibull untuk peralatan
utama
Dmnl Origin Alpha TTF (Main) = 7.20572
2. Origin Betha
TTF (Main)
Konstanta shape distribusi Weibull untuk
peralatan utama
Dmnl Origin Betha TTF (Main) = 0.53496
3. Origin Alpha
TTF (BOP)
Konstanta scale distribusi Weibull untuk peralatan
utama
Dmnl Origin Alpha TTF (BOP) = 16.3689
4. Origin Betha
TTF (BOP)
Konstanta shape distribusi Weibull untuk
peralatan utama
Dmnl Origin Betha TTF (BOP) = 0.60761
5. Gamma TTF
(BOP)
Gamma TTF (BOP) = 0.055
6. SI Std Duration Durasi standar overhaul untuk jenis simple
inspection
Day SI Std Duration = 32
7. ME Std
Duration
Durasi standar overhaul untuk jenis medium
inspection
Day ME Std Duration = 46
8. SE Std Duration Durasi standar overhaul untuk jenis serious
inspection
Day SE Std Duration = 65
9. SI Correction Faktor koreksi terkait pergeseran durasi overhaul
untuk jenis serious inspection
Dmnl SI Correction = 0.983761
10. ME Correction Faktor koreksi terkait pergeseran durasi overhaul
untuk jenis medium inspection Dmnl ME Correction = 0.0916165
B-2 Lamp B – Formulasi Vensim
No Parameter Keterangan Satuan Nilai/Formula
11. SE Correction Faktor koreksi terkait pergeseran durasi overhaul
untuk jenis medium inspection Dmnl SE Correction = -0.015873
12. Time Delay for
PM Correction
Jeda waktu efek pelaksanaan preventive
maintenance terhadap peruban konstanta Weibull
Day Time Delay for PM Correction = 180
13. Time Delay for
Project
Correction
Jeda waktu efek pelaksanaan maintenance project
terhadap peruban konstanta Weibull
Day Time Delay for Project Correction = 30
Auxiliary
1. Delayed Project
(Main) Alpha
Correction
Koreksi konstanta scale distribusi Weibull
peralatan utama akibat pekerjaan project setelah
memperhitungkan jeda waktu
Dmnl Delayed Project (Main) Alpha Correction = DELAY1( Maint
Project Alpha Correction , Time Delay for Project Correction
)
2. Delayed PM
(Main) Alpha
Correction
Koreksi konstanta scale distribusi Weibull
peralatan utama akibat preventive maintenance
setelah memperhitungkan jeda waktu
Dmnl Delayed PM (Main) Alpha Correction = DELAY1( "PM
(Main) Alpha Correction" , Time Delay for PM Correction )
3. Corrected
Alpha TTF
(Main)
Konstanta scale terkoreksi distribusi Weibull pada
peralatan utama
Dmnl Corrected Alpha TTF (Main) = "Origin Alpha TTF
(Main)"+"Delayed Project (Main) Alpha
Correction"+"Delayed PM (Main) Alpha Correction"
4. PM (Main)
Betha
Correction
Koreksi konstanta shape distribusi Weibull pada
peralatan utama akibat preventive maintenance
Dmnl PM (Main) Betha Correction = LOOKUP EXTRAPOLATE(
"PM (Main) Betha Correction Table" , PM Compliance )
5. Delayed PM
(Main) Betha
Correction
Koreksi konstanta shape distribusi Weibull
peralatan utama akibat preventive maintenance
setelah memperhitungkan jeda waktu
Dmnl Delayed PM (Main) Betha Correction = DELAY1( "PM
(Main) Betha Correction" , Time Delay for PM Correction )
6. Delayed Project
Betha
Correction
Koreksi konstanta shape distribusi Weibull
peralatan utama akibat pekerjaan project setelah
memperhitungkan jeda waktu
Dmnl Delayed Project Betha Correction = DELAY1( Maint Project
Betha Correction , Time Delay for Project Correction )
7. Corrected Betha
TTF (Main)
Konstanta shape terkoreksi distribusi Weibull pada
peralatan utama
Dmnl Corrected Betha TTF (Main) = Origin Betha TTF (Main)"-
Delayed Project Betha Correction-"Delayed PM (Main)
Betha Correction
8. Random
Weibull TTF
(Main)
Time to Failure (TTF) pada peralatan utama yang
dihasilkan secara random sesuai distribusi Weibull
Dmnl Random Weibull TTF (Main) = RANDOM WEIBULL(
0.0006944 , 87.1174 , "Corrected Betha TTF (Main)" , 0 ,
"Corrected Alpha TTF (Main)" , 1 )*Conv 01
9. Delayed PM
(BOP) Betha
Correction
Koreksi konstanta shape distribusi Weibull
peralatan pendukung (BOP) akibat preventive
maintenance setelah memperhitungkan jeda waktu
Dmnl Delayed PM (BOP) Betha Correction = DELAY1("PM
(BOP) Betha Correction", Time Delay for PM Correction )
10. Delayed Project
Betha
Correction
Koreksi konstanta shape distribusi Weibull akibat
pekerjaan project setelah memperhitungkan jeda
waktu
Dmnl Delayed Project Betha Correction = DELAY1( Maint Project
Betha Correction , Time Delay for Project Correction )
B-3 Lamp B – Formulasi Vensim
No Parameter Keterangan Satuan Nilai/Formula
11. Corrected Betha
TTF (BOP)
Konstanta shape terkoreksi distribusi Weibull pada
peralatan pendukung (BOP)
Dmnl Corrected Betha TTF (BOP) = Delayed Project Betha
Correction+"Origin Betha TTF (BOP)"+"Delayed PM
(BOP) Betha Correction"
12. Delayed Project
Alpha
Correction
Koreksi konstanta scale distribusi Weibull akibat
pekerjaan project setelah memperhitungkan jeda
waktu
Dmnl Delayed Project Alpha Correction = DELAY1(Maint Project
Alpha Correction, Time Delay for Project Correction )
13. Corrected
Alpha TTF
(BOP)
Konstanta scale terkoreksi distribusi Weibull pada
peralatan pendukung (BOP)
Dmnl Corrected Alpha TTF (BOP) = "Origin Alpha TTF (BOP)"-
Delayed Project Alpha Correction-"Delayed PM (BOP)
Alpha Correction"
14. Random
Weibull TTF
(BOP)
Time to Failure (TTF) pada peralatan pendukung
(BOP) yang dihasilkan secara random sesuai
distribusi Weibull
Dmnl Random Weibull TTF (BOP) = RANDOM WEIBULL(
0.0555556 , 238.513 , "Corrected Betha TTF (BOP)" ,
"Gamma TTF (BOP)" , "Corrected Alpha TTF (BOP)" , 1
)*Conv 01
15. SI Duration Durasi pekerjaan simple inspection (SI) setelah
memperhitungkan faktor koreksi durasi
Day SI Duration = SI Correction*SI Std Duration+SI Std
Duration
16. ME Duration Durasi pekerjaan medium inspection (MI) setelah
memperhitungkan faktor koreksi durasi
Day ME Duration = ME Correction*ME Std Duration+ME Std
Duration
17. SE Duration Durasi pekerjaan srious inspection (SE) setelah
memperhitungkan faktor koreksi durasi
Day SE Duration = SE Correction*SE Std Duration+SE Std
Duration
18. SI Cycle Mekanisme untuk memunculkan downtime akibat
SI sesuai yang dijadwalkan
Day SI Cycle = PULSE TRAIN( 360 , SI Duration , 720 , 3240 )
19. ME Cycle Mekanisme untuk memunculkan downtime akibat
ME sesuai yang dijadwalkan
Day ME Cycle = PULSE TRAIN( 1440 , ME Duration , 1440 ,
2880 )
20. SE Cycle Mekanisme untuk memunculkan downtime akibat
SE sesuai yang dijadwalkan
Day SE Cycle = PULSE TRAIN( 720 , SE Duration , 1440 , 3600
)
21. OH Cycle Penjumlahan siklus OH pada model Day OH Cycle = ME Cycle+SE Cycle+SI Cycle
22. Daily Up Time Up time pembangkit yang didistribusikan harian Day Daily Up Time = IF THEN ELSE (OH Cycle=1,0,IF THEN
ELSE (("Random Weibull TTF (Main)"+"Random Weibull
TTF (BOP)")>1,1,("Random Weibull TTF
(Main)"+"Random Weibull TTF (BOP)")))
23. Daily Down
Time
Down time pembangkit yang didistribusikan
harian
Day Daily Down Time = 1-Daily Up Time
24. Daily
Availability
Availability pembangkit yang didistribusikan
harian
Dmnl Daily Availability = IF THEN ELSE( (Daily Up Time+Daily
Down Time)=0 , 0 , Daily Up Time/(Daily Up Time+Daily
Down Time) )
25. Delayed
Availability
Availability pembangkit pada periode bulan n-1 Dmnl Delayed Availability = DELAY INFORMATION (Daily
Availability , 30 , 0)
B-4 Lamp B – Formulasi Vensim
No Parameter Keterangan Satuan Nilai/Formula
26. Availability Availability pembangkit yang didistribusikan
bulanan
Dmnl Availability = PULSE TRAIN
(30,1,30,3600)*(Accumulated Availability t-"Accumulated
Availability t-1")/30/Conv 01
B. Formulasi Aspek Biaya Operasi
No Parameter Keterangan Satuan Nilai/Formula
Stock/Level
1. Accumulated
Energy
Jumlah energy listrik dalam sehari MW*Day Accumulated Energy = Load-Average Monthly Load
2. Accumulated
Coal Price
Akumulasi harga batu bara yang dipergunakan
pembangkit
Rp*Day/ton Accumulated Coal Price = Random Coal Price-Average
Coal Price
3. Accumulated
HHV
Akumulasi HHV batu bara yang dipergunakan
pembangkit
kCal*Day/kg Accumulated HHV = Actual HHV-Monthly Actual HHV
Flow
1. Average
Monthly Load
Rata-rata beban pembangkit bulanan MW Average Monthly Load = IF THEN ELSE( Time=0 , 0 ,
PULSE TRAIN( 30 , 1 , 30 , 3600 )*Accumulated
Load/Time )
2. Random Coal
Price
Random harga batu bara yang dipergunakan
pembangkit
Rp/ton Random Coal Price = RANDOM WEIBULL( 417174 ,
874092 , 1.70872 , 401886 , 229896 , 1 )
3. Average Coal
Price
Harga rata-rata batu bara Rp/ton IF THEN ELSE( Time=0 , 0 , PULSE TRAIN( 30 , 1 , 30
, 3600 )*Accumulated Coal Price/Time )
4. Actual HHV Random HHV batu bara yang dipergunakan
pembangkit
kCal/kg Actual HHV = RANDOM NORMAL( 4025.35 , 4501 ,
4287.5 , 107.988 , 1 )
5. Monthly Actual
HHV
Rata-rata HHV yang dipergunakan pembangkit kCal/kg Actual HHV = IF THEN ELSE( Time=0 , 1 , PULSE
TRAIN( 30 , 1 , 30 , 3600 )*Accumulated HHV/Time )
Constant
1. Standard Cost
for NPHR
Improvement
Biaya investasi yang diperlukan untuk
menurunkan NPHR 1 kCal/kWh
Rp/(kCal/kW/Hour) Standard Cost for NPHR Improvement = 50248900
2. Correction
Factor due to
Operator
Competences
Faktor kenaikan NPHR dalam kendali operator
yang disebabkan faktor kompetensi
kCal/(Hour*kW) Correction Factor due to Operator Competences = 38.1
3. CF @ t = 4-6 Perkiraan Capacity Factor (CF) pada tahun ke-4
sampai ke-6
Dmnl CF @ t = 4-6 = 0.8
4. CF @ t = 6-10 Perkiraan Capacity Factor (CF) pada tahun ke-6
sampai ke-10
Dmnl CF @ t = 6-10 = 0.6
B-5 Lamp B – Formulasi Vensim
No Parameter Keterangan Satuan Nilai/Formula
5. Transformer
Losses
Rerata susu trafo yang diperoleh dari data
operasi
Hour*kW/month Transformer Losses = PULSE TRAIN( 30 , 1 , 30 , 3600
)*3.087e+006
6. Chemical Biaya bahan kimia yang dipergunakan dalam
operasional pembangkit. Dihitung dari rerata
biaya bahan kimia data operasional pembangkit
Rp/month Chemical = 5.77875e+007
7. Lubricant Biaya pelumas yang dipergunakan dalam
operasional pembangkit. Dihitung dari rerata
biaya pelumas data operasional pembangkit
Rp/month Lubricant = 1.08541e+008
Auxiliary
1. Load Random beban untuk menghitung NPHR MW Load = RANDOM WEIBULL( 87.9184 , 613.299 ,
91.0129 , -7102.89 , 7650.83 , 1 )*Conv 12
2. Correction
Factor due to
NPHR
Improvement
Program
Faktor koreksi konstanta Weibull sebagai
dampak program perbaikan NPHR
kCal/(Hour*kW) Correction Factor due to NPHR Improvement Program
=Cost for NPHR Improvement/Standard Cost for NPHR
Improvement
3. Actual NPHR NPHR aktual pembangkit setelah dikoreksi kCal/(Hour*kW) Actual NPHR = IF THEN ELSE( Load/Conv 12=0 , 0 ,
(LOOKUP EXTRAPOLATE( NPHR Table , Load/Conv
12 )*Konv HR)+Correction Factor due to Operator
Competences
-Correction Factor due to NPHR Improvement Program )
4. Coal
consumption
Tingkat konsumsi batu bara ton/month Coal consumption = IF THEN ELSE( Monthly Actual
HHV=0 , 0 , Energy Produced*Actual NPHR/Monthly
Actual HHV*Conv 04 )
5. Fuel Cost Biaya bahan bakar Rp/month Fuel Cost = Coal Consumption*Average Coal Price
6. Non Fuel Cost Biaya operasi non bahan bakar Rp/month Non Fuel Cost =(Lubricant+Chemical)*PULSE TRAIN(
30 , 1 , 30 , 3600 )
7. Operation Cost Biaya operasi Rp/month Operation Cost =Fuel Cost+Non Fuel Cost
8. Dispatch CF Capacity Factor (CF) pembangkit fungsi
dispatch oleh P2B
Rp/month Dispatch CF = IF THEN ELSE( Time<=1080 , 1 , IF
THEN ELSE( Time>1080:AND:Time<=2160 ,
RANDOM UNIFORM( "CF @ t = 4-6" , 1 , 1 ) ,
RANDOM UNIFORM(
"CF @ t = 6-10" , 1 , 1 ) ) )
9. Energy
Produced
Energi yang dihasilkan bulanan kW*Hour/month Energy Produced = DMN*Conv 03*Availability*Dispatch
CF
10. Auxiliary
Power
Energi listrik yang dipergunakan untuk
menggerakkan peralatan-peralatan pembangkit
Hour*kW/month Auxiliary Power = 0.076*Energy Produced
B-6 Lamp B – Formulasi Vensim
No Parameter Keterangan Satuan Nilai/Formula
11. Energy Sales Energi listrik yang djual ke P2B Hour*kW/month Energy Sales = Energy Produced-Auxiliary Power-
Transfomator Losses
C. Formulasi Aspek Biaya Pemeliharaan
No Parameter Keterangan Satuan Nilai/Formula
Stock/Level
1. Accumulated
Overtime Cost
Akumulasi biaya lembur bulanan Rp Accumulated Overtime Cost = Overtime Cost-Monthly
Overtime Cost
2. Accumulated
CM Material
cost
Akumulasi biaya material corrective
maintenance bulanan
Rp Accumulated CM Material cost = CM Material Cost-
Monthly CM Material Cost
3. Accumulated
EM Material
Cost
Akumulasi biaya material emergency
maintenance bulanan Rp Accumulated EM Material Cost = EM Material Cost-
Monthly EM Material Cost
4. Accumulated
PdM Material
Cost
Akumulasi biaya material predictive
maintenance bulanan Rp Accumulated PdM Material Cost = PdM Material Cost-
Monthly PdM Material Cost
5. Accumulated
PM Material
Cost
Akumulasi biaya material preventive
maintenance bulanan Rp Accumulated PM Material Cost = PM Material Cost-
Monthly PM Material Cost
Flow
1. Overtime Cost Biaya lembur Rp/day Overtime Cost = Overtime Resources*Overtime Tariff
2. Monthly
Overtime Cost
Biaya lembur dalam periode satu bulan Rp/day Monthly Overtime Cost = IF THEN ELSE( Time=0 , 0 ,
PULSE TRAIN(30,1,30,3600)*Accumulated Overtime
Cost/Time )
3. CM Material
Cost
Biaya material corrective maintenance Rp/day CM Material Cost = Average CM Material Cost per
WO*Average WO CM Raised per Day
4. Monthly CM
Material Cost
Biaya material corrective maintenance dalam
periode satu bulan
Rp/day Monthly CM Material Cost = PULSE TRAIN( 30 , 1 , 30
, 3600 )*Accumulated CM Material Cost/Conv 01
5. EM Material
Cost
Biaya material emergency maintenance Rp/day EM Material Cost = Average EM Material Cost per
WO*Failure Rate Out
6. Monthly EM
Material Cost
Biaya material emergency maintenance
dalam periode satu bulan
Rp/day Monthly EM Material Cost = PULSE TRAIN( 30 , 1 , 30
, 3600 )*Accumulated EM Material Cost/Conv 01
7. PdM Material
Cost
Biaya material predictive maintenance Rp/day PdM Material Cost = Average PdM Material Cost per
WO*Average WO PdM Raised per Day
8. Monthly PdM
Material Cost
Biaya material predictive maintenance dalam
periode satu bulan
Rp/day Monthly PdM Material Cost = PULSE TRAIN( 30 , 1 ,
30 , 3600 )*Accumulated PdM Material Cost/Conv 01
B-7 Lamp B – Formulasi Vensim
No Parameter Keterangan Satuan Nilai/Formula
9. PM Material
Cost
Biaya preventive corrective maintenance Rp/day PM Material Cost = Average PM Material Cost per
WO*Average WO PM Raised per Day
10. Monthly PM
Material Cost
Biaya material preventive maintenance dalam
periode satu bulan
Rp/day Monthly PM Material Cost = PULSE TRAIN( 30 , 1 , 30
, 3600 )*Accumulated PM Material Cost/Conv 01
Constant
1. Number of
Technician
Jumlah seluruh teknisi yang bekerja di unit
pembangkit
Man Number of Technician = 50
2. Effective
Manhour/Day
Jumlah jam kerja efektif per hari Hour/Day Effective Manhour/Day = 6
3. Overtime Tariff Tarif lembur per satuan tenaga kerja Rp/(Man*Hour) Overtime Tariff = 125000
4. Alpha TTR
(Main)
Konstanta alpha Weibull untuk perhitungan
time to failure pada peralatan utana
Dmnl Alpha TTR (Main) = 1.97773
5. Betha TTR
(Main)
Konstanta betha Weibull untuk perhitungan
time to failure pada peralatan utana Dmnl Betha TTR (Main) = 0.56003
6. Gamma TTR
(Main)
Konstanta gamma Weibull untuk
perhitungan time to failure pada peralatan
utana
Dmnl Gamma TTR (Main) = 0.01856
7. Alpha TTR
(BOP)
Konstanta alpha Weibull untuk perhitungan
time to failure pada peralatan pendukung
Dmnl Alpha TTR (BOP) = 2.51059
8. Betha TTR
(BOP)
Konstanta betha Weibull untuk perhitungan
time to failure pada peralatan pendukung Dmnl Betha TTR (BOP) = 0.49884
9. Gamma TTR
(BOP)
Konstanta gamma Weibull untuk
perhitungan time to failure pada peralatan
pendukung
Dmnl Gamma TTR (BOP) = 0.01856
10. Avg Man per
WO EM
Rerata kebutuhan orang untuk menyelesaikan
1 WO emergency maintenance
Man/Workorder Avg Man per WO EM = 6
11. Average WO
PM Raised per
Day
Rerata jumlah WO PM terbit per hari Workorder/Day Average WO PM Raised per Day = 162
12. Average PM
Resources
Required per
WO
Rerata kebutuhan tenaga kerja pemeliharaan
untuk menyelesaikan 1 WO preventive
maintenance
Man*Hour/Workorder Average PM Resources Required per WO = 2
13. PM (Main)
Alpha
Correction
Table
Tabel koreksi konstanta Weibull (alpha)
terkait pelaksanaan preventive maintenance
pada peralatan utama
Dmnl PM (Main) Alpha Correction Table = GET XLS
LOOKUPS( 'D:\06 S2 Manajemen Energi ITS\07 Thesis
Project\! Rumah Pertolongan\Tabel Reliability PM.xlsx'
, 'main_alpha' , 'A' , 'B1' )
B-8 Lamp B – Formulasi Vensim
No Parameter Keterangan Satuan Nilai/Formula
14. PM (Main)
Betha
Correction
Table
Tabel koreksi konstanta Weibull (betha)
terkait pelaksanaan preventive maintenance
pada peralatan utama
Dmnl PM (Main) Betha Correction Table = GET XLS
LOOKUPS( 'D:\06 S2 Manajemen Energi ITS\07 Thesis
Project\! Rumah Pertolongan\Tabel Reliability PM.xlsx'
, 'main_betha' , 'A' , 'B1' )
15. PM (BOP)
Alpha
Correction
Table
Tabel koreksi konstanta Weibull (alpha)
terkait pelaksanaan preventive maintenance
pada peralatan pendukung
Dmnl PM (BOP) Alpha Correction Table = GET XLS
LOOKUPS( 'D:\06 S2 Manajemen Energi ITS\07 Thesis
Project\! Rumah Pertolongan\Tabel Reliability PM.xlsx'
, 'BOP_alpha' , 'A' , 'B1' )
16. PM (BOP)
Betha
Correction
Table
Tabel koreksi konstanta Weibull (betha)
terkait pelaksanaan preventive maintenance
pada peralatan pendukung
Dmnl PM (BOP) Betha Correction Table = GET XLS
LOOKUPS( 'D:\06 S2 Manajemen Energi ITS\07 Thesis
Project\! Rumah Pertolongan\Tabel Reliability PM.xlsx'
, 'BOP_betha' , 'A' , 'B1' )
17. Average WO
PdM Raised per
Day
Rerata jumlah WO predictive maintenance
terbit per hari
Workorder/Day Average WO PdM Raised per Day = 3
18. Avg PdM
Resources
Required per
WO
Rerata kebutuhan tenaga kerja pemeliharaan
untuk menyelesaikan 1 WO predictive
maintenance
Man*Hour/Workorder Avg PdM Resources Required per WO = 4
19. Normally WO
CM Raised per
Day
Rerata jumlah WO corrective maintenance
per hari dalam kondisi normal
Workorder/Day Normally WO CM Raised per Day = 9
20. Avg CM
Resources per
Day
Rerata jumlah tenaga kerja yang dialokaiskan
untuk menyelesaikan WO corrective
maintenance per hari
Man*Hour/Workorder Avg CM Resources per Day = 20
21. PM
Compliance
Time Delay
Waktu tunda pengaruh ketepatan pelaksanaan
preventive maintenance terhadap
bertambahnya WO corrective maintenance
Day PM Compliance Time Delay = 90
22. Average CM
Material Cost
per WO
Rerata biaya material yang dibutuhkan untuk
corrective maintenance per WO
Rp/Workorder Average CM Material Cost per WO = 5.96928e+006
23. Average EM
Material Cost
per WO
Rerata biaya material yang dibutuhkan untuk
emergency maintenance per WO Rp/Workorder Average EM Material Cost per WO = 4.59521e+006
24. Average PdM
Material Cost
per WO
Rerata biaya material yang dibutuhkan untuk
predictive maintenance per WO Rp/Workorder Average PdM Material Cost per WO = 2.97427e+006
B-9 Lamp B – Formulasi Vensim
No Parameter Keterangan Satuan Nilai/Formula
25. Average PM
Material Cost
per WO
Rerata biaya material yang dibutuhkan untuk
preventive maintenance per WO Rp/Workorder Average PM Material Cost per WO = 908449
26. SI – Material
Cost
Rerata biaya material untuk paket pekerjaan
overhaul berjenis simple inspection
Rp SI – Material Cost = 2.65208e+009
27. SI – Services
Cost
Rerata biaya jasa untuk paket pekerjaan
overhaul berjenis simple inspection
Rp SI – Services Cost = 1.88595e+010
28. Simple
Inspection -
Cycle
Siklus waktu overhaul berjenis simple
inspection
Dmnl Simple Inspection - Cycle = PULSE TRAIN( 360 , 1 ,
720 , 3240 )
29. ME – Material
Cost
Rerata biaya material untuk paket pekerjaan
overhaul berjenis medium inspection
Rp ME – Material Cost = 2.29253e+009
30. ME – Services
Cost
Rerata biaya jasa untuk paket pekerjaan
overhaul berjenis medium inspection
Rp ME – Services Cost = 2.44754e+010
31. Medium
Inspection -
Cycle
Siklus waktu overhaul berjenis medium
inspection
Dmnl Medium Inspection - Cycle = PULSE TRAIN( 1440 , 1 ,
1440 , 2880 )
32. SE – Material
Cost
Rerata biaya material untuk paket pekerjaan
overhaul berjenis serious inspection
Rp SE – Material Cost = 1.97292e+010
33. SE – Services
Cost
Rerata biaya jasa untuk paket pekerjaan
overhaul berjenis serious inspection
Rp SE – Services Cost = 3.25826e+010
34. Serious
Inspection –
Cycle
Siklus waktu overhaul berjenis serious
inspection
Dmnl Serious Inspection – Cycle = PULSE TRAIN( 720 , 1 ,
1440 , 3600 )
35. Maintenance
Project Budget
Jumlah anggaran untuk project pemeliharaan
per tahun
Rp Maintenance Project Budget = 4.01384e+011
36. Percentage
Cost Allocated
to NPHR
Improvement
Persen alokasi anggaran project pemeliharaan
tahunan untuk program perbaikan NPHR
Dmnl Percentage Cost Allocated to NPHR Improvement = 0.2
37. Main Project
Alpha
Correction
Table
Tabel koreksi konstanta Weibull (alpha)
terkait pelaksanaan proyek pemeliharaan
pada peralatan utama
Dmnl Main Project Alpha Correction Table = GET XLS
LOOKUPS( 'D:\06 S2 Manajemen Energi ITS\07 Thesis
Project\! Rumah Pertolongan\Tabel Reliability Investasi
Alpha.xlsx' , 'Sheet1' , 'A' , 'B1' )
38. Main Project
Betha
Correction
Table
Tabel koreksi konstanta Weibull (betha)
terkait pelaksanaan proyek pemeliharaan
pada peralatan utama
Dmnl Main Project Betha Correction Table = GET XLS
LOOKUPS( 'D:\06 S2 Manajemen Energi ITS\07 Thesis
Project\! Rumah Pertolongan\Tabel Reliability Investasi
Betha.xlsx' , 'Sheet1' , 'A' , 'B1' )
B-10 Lamp B – Formulasi Vensim
No Parameter Keterangan Satuan Nilai/Formula
39. Disburse
Correction due
to Birocratic
Barrier
Faktor koreksi penyerapan anggaran
pemeliharaan terkait birokrasi
Dmnl Disburse Correction due to Birocratic Barrier = 0
Auxiliary
1. Internal
Technician
Resources
Jumlah tenaga kerja tersedia per hari pada jam
kerja normal per hari
Hour*Man/Day Internal Technician Resources = "Effective
Manhour/Day"*Number of Technician
2. Maintenance
Resources
Supply
Jumlah keseluruhan tenaga kerja tersedia per
hari baik pada jam kerja normal maupun
lembur per hari
Man*Hour/Day Maintenance Resources Supply = Internal Technician
Resources+Overtime Resources
3. Maintenance
Resources
Availability
Jumlah sisa tenaga kerja yang tersedia setelah
dialokasikan untuk menyelesaikan pekerjaan
per hari
Man*Hour/Day Maintenance Resources Availability = Maintenance
Resources Supply-Maintenance Resources Allocated
4. Maintenance
Resources
Allocated
Jumlah tenaga kerja yang teralokasi untuk
menyelesaikan pekerjaan per hari
Man*Hour/Day Maintenance Resources Allocated = Resources Allocated
for Corrective Maintenance+Resources Allocated for
Emergency Maintenance+Resources Allocated for
Predictive Maintenance+Resources Allocated for
Preventive Maintenance
5. Resources
Allocated for
Preventive
Maintenance
Jumlah tenaga kerja pemeliharaan yang
teralokasi untuk menyelesaikan preventive
maintenance per hari
Man*Hour/Day Resources Allocated for Preventive Maintenance = PM
Resources Required-Add Resources from PM
6. PM Resources
Required
Jumlah tenaga kerja yang dibutuhkan untuk
menyelesaikan WO preventive maintenance
per hari
Man*Hour/Day PM Resources Required = Average WO PM Raised per
Day*Avg PM Resources Required per WO
7. PM
Compliance
Ketepatan eksekusi WO preventive
maintenance
Dmnl PM Compliance = Resources Allocated for Preventive
Maintenance/PM Resources Required
8. PM (Main)
Alpha
Correction
Faktor koreksi konstanta Weibull (alpha)
terkait preventive maintenance untuk
peralatan utama
Dmnl PM (Main) Alpha Correction = LOOKUP
EXTRAPOLATE( "PM (Main) Alpha Correction Table"
, PM Compliance )
9. PM (Main)
Betha
Correction
Faktor koreksi konstanta Weibull (betha)
terkait preventive maintenance untuk
peralatan utama
Dmnl PM (Main) Betha Correction = GET XLS LOOKUPS(
'D:\06 S2 Manajemen Energi ITS\07 Thesis Project\!
Rumah Pertolongan\Tabel Reliability PM.xlsx' ,
'main_betha' , 'A' , 'B1' )
10. PM (BOP)
Alpha
Correction
Faktor koreksi konstanta Weibull (alpha)
terkait preventive maintenance untuk
peralatan pendukung
Dmnl PM (BOP) Alpha Correction = GET XLS LOOKUPS(
'D:\06 S2 Manajemen Energi ITS\07 Thesis Project\!
Rumah Pertolongan\Tabel Reliability PM.xlsx' ,
'BOP_alpha' , 'A' , 'B1' )
B-11 Lamp B – Formulasi Vensim
No Parameter Keterangan Satuan Nilai/Formula
11. PM (BOP)
Betha
Correction
Faktor koreksi konstanta Weibull (betha)
terkait preventive maintenance untuk
peralatan pendukung
Dmnl PM (BOP) Betha Correction = GET XLS LOOKUPS(
'D:\06 S2 Manajemen Energi ITS\07 Thesis Project\!
Rumah Pertolongan\Tabel Reliability PM.xlsx' ,
'BOP_betha' , 'A' , 'B1' )
12. Resources
Allocated for
Predictive
Maintenance
Jumlah tenaga kerja yang teralokasi untuk
menyelesaikan predictive maintenance per
hari
Man*Hour/Day Resources Allocated for Predictive Maintenance = PdM
Resources Required
13. PdM Resources
Required
Jumlah kebutuhan tenaga kerja untuk
menyelesaikan WO predictive maintenance
Man*Hour/Day PdM Resources Required = Average WO PdM Raised
per Day*Avg PdM Resources Required per WO
14. Average WO
CM Raised per
Day
Rerata jumlah WO corrective maintenance
per hari, meliputi WO CM murni maupun
tambahan WO CM akibat kurang disiplin
dalam melaksanakan preventive maintenance
Workorder/Day Average WO CM Raised per Day = Additional WO CM
due to PM Compliance+Normally WO CM Raised per
Day
15. Additional WO
CM due to PM
Compliance
Tambahan WO CM terkait konsistensi
pelaksanaan preventive maintenance
Workorder/Day Additional WO CM due to PM Compliance = IF THEN
ELSE( PM Compliance=1 , 0 , integer(DELAY1(
0.2*Normally WO CM Raised per Day , PM Compliance
Time Delay ) ))
16. Random
Weibull TTR
(Main)
Random time to repair pada peralatan utama Dmnl Random Weibull TTR (Main) = RANDOM WEIBULL(
0.01875 , 42.3611 , "Betha TTR (Main)" , "Gamma TTR
(Main)" , "Alpha TTR (Main)" , 1 )*Conv 01
17. Random
Weibull TTR
(BOP)
Random time to repair pada peralatan
pendukung
Day Random Weibull TTR (BOP) = RANDOM WEIBULL(
0.0222222 , 38.0417 , "Betha TTR (BOP)" , "Gamma
TTR (BOP)" , "Alpha TTR (BOP)" , 1 )*Conv 01
18. Daily TTR Konversi time to repair ke satuan hari Day Daily TTR = "Random Weibull TTR (BOP)"+"Random
Weibull TTR (Main)"
19. Overtime
Resources
Jumlah tenaga kerja yang bekerja lembur Man*Hour/Day Overtime Resources = IF THEN ELSE((Normal
Resources+Add Resources from PM)>=EM Resources
Required,0,EM Resources Required-(Normal
Resources+Add Resources from PM))
20. Max Resources
Allocated for
EM
Jumlah maksimal tenaga kerja yang
teralokasi untuk emergency meaintenance
Man*Hour/Day Max Resources Allocated for EM = 0.2*Internal
Technician Resources
21. Normal
Resources
Jumlah tenaga kerja yang bekerja pada jam
kerja normal
Man*Hour/Day Normal Resources = IF THEN ELSE(EM Resources
Required<=Max Resources allocated for EM,EM
Resources Required,Max Resources allocated for EM)
22. Resources
Allocated for
Jumlah tenaga kerja yang teralokasi untuk
menyelesaikan emergency maintenance per
hari
Man*Hour/Day Resources Allocated for Emergency Maintenance = Add
Resources from PM+Normal Resources+Overtime
Resources
B-12 Lamp B – Formulasi Vensim
No Parameter Keterangan Satuan Nilai/Formula
Emergency
Maintenance
23. Add Resources
from PM
Jumlah tambahan tenaga kerja untuk
menyelesaikan emergency maintenance yang
seharusnya untuk mengerjakan preventive
maintenance
Man*Hour/Day Add Resources from PM = IF THEN ELSE(Normal
Resources<Max Resources allocated for EM,0,IF THEN
ELSE((EM Resources Required-Max Resources
allocated for EM)<=Max additional Resources from
PM,(EM Resources Required-Max Resources allocated
for EM),Max additional Resources from PM))
24. Max Additional
Resources from
PM
Jumlah maksimal tenaga kerja yang bisa
dialihkan dari preventive maintenance untuk
menyelesaikan pekerjaan emergency
maintenance
Man*Hour/Day Max Additional Resources from PM = 0.4*PM
Resources Required
25. EM Resources
Required
Jumlah tenaga kerja yang diperlukan untuk
menyelesaikan WO emergency maintenance
Man*Hour/Day EM Resources Required = Avg Man per WO EM*Conv
06*Failure Rate Out*Daily TTR
26. Simple
Inspection -
Budget
Total biaya overhaul berjenis simple
inspection
Rp Simple Inspection - Budget = "SI - Material Cost"+"SI -
Services Cost"
27. Simple
Inspection Cost
Total biaya overhaul berjenis simple
inspection per tahun
Rp Simple Inspection Cost = "Simple Inspection -
Budget"*"Simple Inspection - Cycle"
28. Medium
Inspection -
Budget
Total biaya overhaul berjenis medium
inspection
Rp Medium Inspection - Budget = "ME - Material
Cost"+"ME - Services Cost"
29. Medium
Inspection Cost
Total biaya overhaul berjenis medium
inspection per tahun
Rp Medium Inspection Cost = "Medium Inspection -
Budget"*"Medium Inspection - Cycle"
30. Serious
Inspection –
Budget
Total biaya overhaul berjenis serious
inspection
Rp Serious Inspection – Budget = "SE - Material Cost"+"SE
- Services Cost"
31. Serious
Inspection Cost
Total biaya overhaul berjenis serious
inspection per tahun
Rp Serious Inspection Cost = "Serious Inspection -
Budget"*"Serious Inspection - Cycle"
32. Overhaul Cost Total biaya overhaul per tahun Rp Overhaul Cost = Medium Inspection Cost+Serious
Inspection Cost+Simple Inspection Cost
33. Cost for NPHR
Improvement
Anggaran yang teralokasi untuk program
perbaikan NPHR
Rp Cost for NPHR Improvement = Maintenance Project
Cost*Percentage Cost Allocated to NPHR Improvement
34. Monthly
Maintenance
Projcet Budget
Anggaran pemeliharaan project per bulan Rp Monthly Maintenance Projcet Budget = Maintenance
Project Budget*PULSE TRAIN( 360 , 1 , 360 , 3600 )
35. Budget Cut Faktor pengurangan anggaran pemeliharaan
yang dipengaruhi net cash flow pada tahun
sebelumnya
Dmnl Budget Cut = IF THEN ELSE( NCF Gain>=0 , 0 , IF
THEN ELSE( NCF Gain<0:AND:NCF Gain>=-0.1 ,
0.05 , IF THEN ELSE( NCF Gain<-0.1:AND:NCF
B-13 Lamp B – Formulasi Vensim
No Parameter Keterangan Satuan Nilai/Formula
Gain>=-0.2 , 0.1 , IF THEN ELSE( NCF Gain<-
0.2:AND:NCF Gain>=-0.3 , 0.15 , IF THEN ELSE(NCF
Gain<-0.3:AND:NCF Gain>=-0.4, 0.2 , 0.25 ) ) ) ) )
36. [Corrected]
Monthly
Maintenance
Budget
Jumlah pengurangan anggaran pemeliharaan Rp [Corrected] Monthly Maintenance Budget = Monthly
Maintenance Project Budget-Budget Cut*Monthly
Maintenance Project Budget
37. Maintenance
Project Cost
Jumlah anggaran pemeliharaan setelah
dilakukan pengurangan
Rp Maintenance Project Cost = "[Corrected] Monthly
Maintenance Budget"-Disburse Correction due to
Birocratic Barrier*"[Corrected] Monthly Maintenance
Budget"
38. Maint Project
Alpha
Correction
Faktor koreksi konstanta Weibull (alpha)
terkait pelaksanaan proyek pemeliharaan
Dmnl Maint Project Alpha Correction = LOOKUP
EXTRAPOLATE( Maint Project Alpha Correction Table
, Maintenance Project Cost*Konv Rp )
39. Maint Project
Betha
Correction
Faktor koreksi konstanta Weibull (betha)
terkait pelaksanaan proyek pemeliharaan
Dmnl Maint Project Betha Correction = LOOKUP
EXTRAPOLATE( Maint Project Betha Correction Table
, Maintenance Project Cost*Konv Rp )
40. Maintenance
Cost
Total biaya pemeliharaan Rp Maintenance Cost = Conv 01*(Monthly CM Material
Cost+Monthly EM Material Cost+Monthly Overtime
Cost+Monthly PdM Material Cost +Monthly
PM Material Cost
)+Overhaul Cost+Maintenance Project Cost
D. Formulasi Aspek Cash Flow
No Parameter Keterangan Satuan Nilai/Formula
Stock/Level
1. Power Plant
NPV
Menyatakan NPV pembangkit yang telah
memperhitungkan nilai waktu uang
Rp Power Plant NPV = Present Value
2. "Net Cash Flow
(year)"
Net cash flow tahunan pembangkit pada
tahun ke-t
Rp "Net Cash Flow (year)" = Cash Flow After Tax
3. "Net Cash
Flow, year (t-
1)"
Net cash flow tahunan pembangkit pada
tahun ke- (t-1)
Rp "Net Cash Flow, year (t-1)" = "Cash Flow year (t-1)"
4. "Net Cash
Flow, month
(m-1)"
Net cash flow bulanan pembangkit pada
tahun bulan ke n-1
Rp "Net Cash Flow, month (m-1)"
= "Cash Flow month (m-1)"
B-14 Lamp B – Formulasi Vensim
No Parameter Keterangan Satuan Nilai/Formula
Flow
1. Present Value Present value cash flow Rp/Day Present Value = Cash Flow After Tax/((1+Discount
Rate)^(Time/Conv 01))
2. Cash Flow
After Tax
Cash flow setelah dikurangi pajak Rp/Day Cash Flow After Tax = Cash Flow Before Tax-Tax
Constant
1. Discount Rate Suku bunga Bank Indonesia Dmnl Discount Rate = 1.66667e-005
2. Tax Rate Tarif pajak sesuai peraturan pemerintah Dmnl Tax Rate = 0.0208333
3. Target
Availability
Target ketersediaan (EAF) yang harus dicapai
oleh pembangkit
Dmnl Target Availability = 0.85
4. H Kap Tarif komponen A (pengembalian investasi) Rp/kW/month H Kap = 80724.9
5. DMN Daya mampu netto kW DMN = 615000
6. H Fix Tarif komponen B (biaya tetap) Rp/kW/month H Fix = 26633.9
7. H BB w Tarif komponen C (biaya bahan bakar) Rp/kg H BB w = 793
8. "Monthly
O&M Tarrif"
Biaya jasa O&M yang harus dibayarkan
pemilik aset kepada kontraktor O&M
Rp/month "Monthly O&M Tarrif" = 0
9. GA Cost Biaya administrasi dan umum Rp/month GA Cost = 3.84134e+008*PULSE TRAIN( 30 , 1 , 30 ,
3600 )
10. Management
Remuneration
Gaji GM, manajer, dan supervisor Rp/month Management Remuneration = 1.02467e+009
11. Number of
Operator
Jumlah operator Man Number of Operator = 104
12. Avg Operator
Rate
Rerata gaji bulanan operator Rp/(Man*month) Avg Operator Rate = 1.72344e+007
13. Avg Technician
Rate
Rerata gaji bulanan teknisi Rp/(month*Man) Avg Technician Rate = 1.55878e+007
14. Other Staf
Remuneration
Gaji karyawan supporting (non O&M) Rp/month Other Staf Remuneration = 1.54583e+009
15. HSE Cost Biaya K3 Rp/month HSE Cost = 1.74877e+009*PULSE TRAIN( 30 , 1 , 30 ,
3600 )
16. Depreciation Nilai penyusutan pembangkit per bulan yang
dinyatakan sebagai biaya
Rp/month Depreciation = 1.93594e+010*PULSE TRAIN( 30 , 1 ,
30 , 3600 )
Auxiliary
1. Percentage of
Penalty
Persen penalty yang dibebankan kepada
kontraktor O&M jika tidak bisa mencapai
target availability.
Dmnl Percentage of Penalty = IF THEN ELSE(
(Availability/Target Availability)>=1,0 ,IF THEN ELSE(
(Availability/Target
Availability)>=0.95:OR:(Availability
B-15 Lamp B – Formulasi Vensim
No Parameter Keterangan Satuan Nilai/Formula
/Target Availability)<1 , 0.02 , IF THEN
ELSE((Availability/Target
Availability)>=0.9:OR:(Availability/Target Availability
2.)<0.95, 0.04 , IF THEN ELSE((Availability/Target
Availability)>=0.85:OR:(Availability/Target
Availability)<0.9, 0.06 ,
IF THEN ELSE((Availability/Target
Availability)>=0.8:OR:(Availability/Target
Availability)<0.85, 0.08 , 0.1 ) ) ) ) )
2. "O&M Penalty
Revenue"
Pendapatan yang diperoleh dari penalty
kontraktor O&M yang gagal mencapai target
Rp/month "O&M Penalty Revenue" = "O&M Cost
Contractor"*Percentage of Penalty
3. Component A
Revenue
Pendapatan komponan A Rp/month Component A Revenue = Availability*DMN*H Kap
4. Component B
Revenue
Pendapatan komponan B Rp/month Component B Revenue = DMN*Availability*H Fix
5. Component C
Revenue
Pendapatan komponan C Rp/month Component C Revenue = (Energy Sales*SHR w*H BB
w)/HHV k
6. Component D
Revenue
Pendapatan komponan D Rp/month Component D Revenue = Energy Sales*H Var
7. Component
based Revenue
Total pendapatan komponen Rp/month Component based Revenue = Component A
Revenue+Component B Revenue+Component C
Revenue+Component D Revenue
8. Ancillary
Services
Revenue
Pendapatan dari ancillary services Rp/month Ancillary Services Revenue = 5000*PULSE TRAIN( 30
, 1 , 30 , 3600 )
9. Cash Inflow Total aliran kas masuk dari pendatan Rp/Day Cash Inflow = (Ancillary Services Revenue+Component
based Revenue+"O&M Penalty Revenue")*Conv 02
10. HR Cost Biaya kepegawaian pembangkit Rp/month HR Cost = (Management Remuneration+Operator
Remuneration+Technician Remuneration+Other Staf
Remuneration)*PULSE TRAIN( 30 , 1 , 30 , 3600 )
11. Cash Outflow Aliran kas keluar berasal dari seluruh total
biaya
Rp/Day Cash Outflow = IF THEN ELSE ("Net Cash Flow
(year)">0,(Operation Cost+HSE Cost+HR Cost+GA
Cost+Maintenance Cost+"O&M Cost
Contractor"+Depreciation)*Conv 02,
0)
12. Cash Flow
Before Tax
Aliran kas keluar berasal dari seluruh total
biaya (sebelum pajak)
Rp/Day Cash Flow Before Tax = Cash Inflow-Cash Outflow
13. Monthly NPV Pencapain NPV bulanan Rp Monthly NPV = PULSE TRAIN( 30 , 1 , 30 , 3600
)*Power Plant NPV
B-16 Lamp B – Formulasi Vensim
No Parameter Keterangan Satuan Nilai/Formula
14. "Cash Flow
year (t-1)"
Cash flow tahunan pada tahun t-1 Rp/Day "Cash Flow year (t-1)" = DELAY INFORMATION
(Cash Flow After Tax , 360 , 0)
15. "Cash Flow
month (m-1)"
Cash flow tahunan pada tahun t-1 Rp/Day "Cash Flow month (m-1)" = DELAY INFORMATION
(Cash Flow After Tax , 30 , 0)
16. Monthly NCF Net cash flow bulanan Rp ("Net Cash Flow (year)"-"Net Cash Flow, month (m-
1)")
17. Yearly Net
Cash Flow
Net cash flow tahunan Rp Monthly NCF = PULSE TRAIN( 360 , 1 , 360 , 3600
)*("Net Cash Flow (year)"-"Net Cash Flow, year (t-1)")
18. "Yearly Net
Cash Flow (t-
1)"
Net cash flow tahunan pada tahun t-1 Rp "Yearly Net Cash Flow (t-1)" = DELAY
INFORMATION (Yearly Net Cash Flow, 360 , 0)
19. NCF Gain Perbandingan NCF pada tahun ke t dan
setahun sebelumnya
Dmnl NCF Gain = IF THEN ELSE( "Yearly Net Cash Flow
(t-1)"=0 , 0 , (Yearly Net Cash Flow-"Yearly Net Cash
Flow (t-1)")/"Yearly Net Cash Flow (t-1)" )
E. Variabel Pendukung/Konversi
No Parameter Keterangan Satuan Nilai/Formula
1. Conv 01 Konversi untuk mendefinisikan waktu 1 hari Day 1
2. Conv 02 Konversi waktu dari bulan ke hari Month/Day 1/30
3. Conv 03 Konversi waktu dari bulan ke jam Hour/month 720
4. Conv 04 Konversi massa dari ton ke kg Ton/kg 1/1000
5. Conv 06 Konversi waktu dari hari ke jam jam/hari 24
6. Conv 08 Konversi untuk mengkonversi failure rate 1/day 1
7. Conv 09 Konversi untuk mendefinisikan WO EM Workorder/day 1
8. Conv 10 Konversi untuk mendefinisikan 360 hari day 360
9. Conv 12 Konversi untuk definisikan 1 MW MW 1
10. Konv HR Konversi untuk meendefinisikan heat ra kCal/(Hour*kW) 1
11. Konv Rp Konversi untuk menormalisasi satuan Rupiah 1/Rp 1
12. Time Variabel default Vensim untuk
mendefinisikan waktu
day 1, 2, 3, dst
13. Year
Conversion
Variabel untuk mengkonversi satuan default
hari menjadi tahun
Year TIME BASE (2018 , 0.00277778)
14. Time
Conversion
Variabel untuk mengkonversi satuan default
hari menjadi bulan
month TIME BASE (0 , 0.0333333)
C-1 Lamp C – Penggunaan Software Minitab
LAMPIRAN C – PENGGUNAAN SOFTWARE MINITAB
Software Minitab dipergunakan untuk menentukan distribusi data dan konstanta yang
diperlukan, antara lain :
1. Penentuan Distribusi Time to Failure (TTF) Peralatan Utama
2. Penentuan Distribusi Time to Failure (TTF) Peralatan Pendukung
3. Penentuan Distribusi Time to Repair (TTR) Peralatan Utama
4. Penentuan Distribusi Time to Repair (TTR) Peralatan Pendukung
C.1. Penentuan Distribusi Time to Failure (TTF) Peralatan Utama
Data Time to Failure (TTF) peralatan utama diperoleh dari Software
Navitas sebagai berikut :
Data ke TTF (hari) Data ke TTF (hari) Data ke TTF (hari) Data ke TTF (hari)
1 58.28125 31 64.60347 61 9.0625 91 0.695833
2 22.38403 32 4.75625 62 13.31875 92 0.779861
3 0.211806 33 0.478472 63 0.259722 93 8.958333
4 20.70069 34 29.67778 64 56.88403 94 0.248611
5 11.98056 35 1.8875 65 0.465278 95 32.12153
6 0.485417 36 0.354167 66 1.036806 96 0.333333
7 3.117361 37 0.000694 67 3.082639 97 0.413194
8 2.635417 38 2.269444 68 0.000694 98 1.097222
9 13.34236 39 1.577778 69 18.20903 99 21.68333
10 0.275694 40 32.15278 70 10.66458 100 0.440972
11 0.000694 41 12.6625 71 2.280556 101 85.29653
12 0.108333 42 9.039583 72 34.875 102 38.93403
13 66.37222 43 3.004861 73 0.083333 103 0.122222
14 4.964583 44 0.235417 74 15.70903 104 12.96944
15 28.79444 45 20.59653 75 72.94792 105 0.082639
16 0.454861 46 9.405556 76 11.11458 106 12.0125
17 0.021528 47 5.675694 77 5.05 107 0.529861
18 5.027778 48 6.952083 78 0.18125 108 1.504861
19 0.322222 49 0.682639 79 14.17292 109 4.970139
20 7.610417 50 9.395833 80 9.25
21 0.690278 51 3.574306 81 0.202778
22 1.584722 52 0.243056 82 0.233333
23 3.500694 53 1.381944 83 14.90972
24 0.571528 54 3.854861 84 0.190278
25 3.700694 55 7.127083 85 66.33333
26 0.496528 56 41.65417 86 0.169444
27 7.745833 57 28.51389 87 8.329861
28 1.379167 58 2.229167 88 0.216667
29 3.107639 59 20.87014 89 87.11736
30 73.22917 60 0.169444 90 5.095833
C-2 Lamp C – Penggunaan Software Minitab
Selanjutnya data dimasukkan ke dalam Minitab untuk diidentifikasi distribusi
dan konstanta terkait. Hasil running Minitab adalah sebagai berikut :
Distribution ID Plot for TTF Main (day)
Descriptive Statistics
N N* Mean StDev Median Minimum Maximum Skewness
Kurtosis
109 0 12.4107 19.9553 3.57431 0.0006944 87.1174 2.24289
4.46098
Goodness of Fit Test
Distribution AD P LRT P
Normal 13.979 <0.005
Lognormal 1.427 <0.005
3-Parameter Lognormal 1.097 * 0.049
Exponential 26.881 <0.003
2-Parameter Exponential 22.932 <0.010 0.913
Weibull 0.663 0.084
3-Parameter Weibull 0.741 0.057 0.000
Smallest Extreme Value 17.343 <0.010
Largest Extreme Value 9.885 <0.010
Gamma 1.016 0.017
3-Parameter Gamma 0.917 * 0.000
Logistic 10.568 <0.005
Loglogistic 1.220 <0.005
3-Parameter Loglogistic 1.417 * 0.008
ML Estimates of Distribution Parameters
Distribution Location Shape Scale Threshold
Normal* 12.41070 19.95526
Lognormal* 0.88915 2.39670
3-Parameter Lognormal 0.97403 2.15303 -0.00835
Exponential 12.41070
2-Parameter Exponential 12.41002 0.00068
Weibull 0.53496 7.20572
3-Parameter Weibull 0.51416 6.98263 0.00068
Smallest Extreme Value 24.06300 27.92659
Largest Extreme Value 5.14737 9.77527
C-3 Lamp C – Penggunaan Software Minitab
Gamma 0.40331 30.77184
3-Parameter Gamma 0.37977 32.67760 0.00068
Logistic 8.11252 8.80484
Loglogistic 1.06115 1.32357
3-Parameter Loglogistic 1.05254 1.40448 0.00068
* Scale: Adjusted ML estimate
Dari running Minitab tersebut, diketahui distribusi yang sesuai adalah Weibull
2 parameter dengan β (shape) = 0.53496 dan α (scale) = 7.20572
C.2. Penentuan Distribusi Time to Failure (TTF) Peralatan Pendukung
Data Time to Failure (TTF) peralatan pendukung diperoleh dari Software
Navitas sebagai berikut :
Selanjutnya data dimasukkan ke dalam Minitab untuk diidentifikasi distribusi
dan konstanta terkait. Hasil running Minitab adalah sebagai berikut :
Descriptive Statistics
N N* Mean StDev Median Minimum Maximum Skewness
Kurtosis
Data ke TTF (hari) Data ke TTF (hari) Data ke TTF (hari) Data ke TTF (hari)
1 8.625 21 19.5 41 27.71319 61 30.14097
2 35.375 22 28.18194 42 20.16597 62 1.147222
3 109.4931 23 5.78125 43 14.09931 63 36.89861
4 117.266 24 66.49653 44 54.82222 64 12.52222
5 0.251389 25 6.60625 45 10.45833 65 0.604861
6 3.281944 26 0.7375 46 2.534028 66 4.689583
7 2.072917 27 5.716667 47 0.334722 67 5.800694
8 9.214583 28 11.95833 48 9.472917 68 1.874306
9 36.77431 29 3.7875 49 0.322222 69 9.231944
10 1.369444 30 0.070833 50 2.877083 70 60.18681
11 238.5132 31 3.897917 51 1.052778 71 8.653472
12 35.22986 32 17.17917 52 18.9
13 1.638194 33 6.038194 53 2.14375
14 0.413889 34 43.59722 54 1.509722
15 3.816667 35 3.18125 55 15.425
16 21.65347 36 103.0535 56 0.055556
17 3.370139 37 5.511806 57 118.9882
18 0.315972 38 4.25 58 21.82361
19 6.890278 39 25.30903 59 65.54306
20 1.827083 40 26.6125 60 152.5271
C-4 Lamp C – Penggunaan Software Minitab
71 0 24.4701 41.1416 8.625 0.0555556 238.513 3.05734
11.1521
Goodness of Fit Test
Distribution AD P LRT P
Normal 9.344 <0.005
Lognormal 0.305 0.560
3-Parameter Lognormal 0.270 * 0.760
Exponential 9.530 <0.003
2-Parameter Exponential 8.243 <0.010 0.572
Weibull 0.286 >0.250
3-Parameter Weibull 0.215 >0.500 0.011
Smallest Extreme Value 12.738 <0.010
Largest Extreme Value 5.860 <0.010
Gamma 0.835 0.041
3-Parameter Gamma 0.611 * 0.004
Logistic 6.514 <0.005
Loglogistic 0.270 >0.250
3-Parameter Loglogistic 0.356 * 0.146
ML Estimates of Distribution Parameters
Distribution Location Shape Scale Threshold
Normal* 24.47013 41.14163
Lognormal* 1.96486 1.82234
3-Parameter Lognormal 1.98442 1.77325 -0.02455
Exponential 24.47013
2-Parameter Exponential 24.41513 0.05500
Weibull 0.63430 16.97963
3-Parameter Weibull 0.60761 16.36888 0.05500
Smallest Extreme Value 49.38631 67.49392
Largest Extreme Value 10.61821 18.42858
Gamma 0.51324 47.67740
3-Parameter Gamma 0.47708 51.17619 0.05500
Logistic 15.96263 16.56983
Loglogistic 2.04483 1.03483
3-Parameter Loglogistic 2.02304 1.11338 0.05500
* Scale: Adjusted ML estimate
Dari running Minitab tersebut, diketahui distribusi yang sesuai adalah Weibull
3 parameter dengan β (shape) = 0.60761, α (scale) = 16.36888, dan γ (locator)
= 0.05500
C-5 Lamp C – Penggunaan Software Minitab
C.3. Penentuan Distribusi Time to Repair (TTR) untuk Peralatan Utama
Data Time to Repair (TTR) peralatan utama diperoleh dari Software Navitas
yang menunjukkan waktu recovery atas terjadinya gangguan. Selanjutnya
setelah disimulasikan di Minitab diperoleh data sebagai berikut :
Distribution ID Plot for TTR Main (excld PO)
Descriptive Statistics
N N* Mean StDev Median Minimum Maximum Skewness
Kurtosis
105 0 3.49440 6.68255 0.670139 0.01875 42.3611 3.60804
16.3165
Goodness of Fit Test
Distribution AD P LRT P
Normal 15.373 <0.005
Lognormal 1.314 <0.005
3-Parameter Lognormal 0.989 * 0.073
Exponential 29.634 <0.003
2-Parameter Exponential 28.508 <0.010 0.290
Weibull 2.820 <0.010
3-Parameter Weibull 2.242 <0.005 0.000
Smallest Extreme Value 20.942 <0.010
Largest Extreme Value 13.640 <0.010
Gamma 4.609 <0.005
3-Parameter Gamma 3.849 * 0.000
Logistic 12.933 <0.005
Loglogistic 1.372 <0.005
3-Parameter Loglogistic 1.014 * 0.010
ML Estimates of Distribution Parameters
Distribution Location Shape Scale Threshold
Normal* 3.49440 6.68255
Lognormal* -0.15834 1.74996
3-Parameter Lognormal -0.22852 1.83979 0.01515
Exponential 3.49440
2-Parameter Exponential 3.47584 0.01856
Weibull 0.58288 2.08140
3-Parameter Weibull 0.56003 1.97773 0.01856
Smallest Extreme Value 7.67624 11.88832
Largest Extreme Value 1.32665 2.84497
Gamma 0.45703 7.64593
C-6 Lamp C – Penggunaan Software Minitab
3-Parameter Gamma 0.42906 8.10099 0.01856
Logistic 2.15907 2.64662
Loglogistic -0.24287 1.03105
3-Parameter Loglogistic -0.29112 1.10514 0.01856
* Scale: Adjusted ML estimate
Dari running Minitab tersebut, diketahui distribusi yang sesuai adalah Weibull
3 parameter dengan β (shape) = 0.56003, α (scale) = 1.97773, dan γ (locator)
= 0.01856
C.4. Penentuan Distribusi Time to Repair (TTR) untuk Peralatan Pendukung
Data Time to Repair (TTR) peralatan pendukung diperoleh dari Software
Navitas yang menunjukkan waktu recovery atas terjadinya gangguan.
Selanjutnya setelah disimulasikan di Minitab diperoleh data sebagai berikut :
Distribution ID Plot for MTTR (BOP)
Descriptive Statistics
N N* Mean StDev Median Minimum Maximum Skewness
Kurtosis
71 0 1.84267 6.62163 0.166667 0.0222222 38.0417 4.64134
21.6698
Goodness of Fit Test
Distribution AD P LRT P
Normal 21.320 <0.005
Lognormal 1.821 <0.005
3-Parameter Lognormal 0.670 * 0.000
Exponential 58.189 <0.003
2-Parameter Exponential 57.147 <0.010 0.192
Weibull 4.939 <0.010
3-Parameter Weibull 2.789 <0.005 0.000
Smallest Extreme Value 21.636 <0.010
Largest Extreme Value 19.186 <0.010
Gamma 9.897 <0.005
3-Parameter Gamma 7.536 * 0.000
Logistic 17.727 <0.005
Loglogistic 1.053 <0.005
3-Parameter Loglogistic 0.336 * 0.000
ML Estimates of Distribution Parameters
C-7 Lamp C – Penggunaan Software Minitab
Distribution Location Shape Scale Threshold
Normal* 1.84267 6.62163
Lognormal* -1.55465 1.66949
3-Parameter Lognormal -1.92418 2.06259 0.02175
Exponential 1.84267
2-Parameter Exponential 1.82067 0.02200
Weibull 0.48128 0.52878
3-Parameter Weibull 0.43796 0.42239 0.02200
Smallest Extreme Value 6.16214 12.20474
Largest Extreme Value 0.37429 1.61166
Gamma 0.31573 5.83618
3-Parameter Gamma 0.27517 6.61654 0.02200
Logistic 0.52837 1.57427
Loglogistic -1.74308 0.88189
3-Parameter Loglogistic -1.99625 1.12936 0.02200
* Scale: Adjusted ML estimate
Dari running Minitab tersebut, diketahui distribusi yang sesuai adalah Weibull
3 parameter dengan β (shape) = 0.43796, α (scale) = 0.42239, dan γ (locator)
= 0.022
D-1 Lamp D – Perhitungan MAPE
LAMPIRAN D
PERHITUNGAN MEAN ABSOLUTE PERCENTAGE ERROR
(MAPE)
Mean Absolute Percetage Error (MAPE) dihitung dengan persamaan :
𝑀𝐴𝑃𝐸 =1
𝑛∑|𝑋𝑚−𝑋𝑑|
𝑋𝑑𝑥100%
dengan :
MAPE : Mean Absolute Percentage Error (%)
Xm : Data hasil simulasi
Xd : Data aktual
n : Periode/banyaknya data
Kriteria ketepatan model dengan uji MAPE (Lewis, 1982) adalah :
MAPE < 10 % : Sangat tepat
10% < MAPE < 20% : Tepat
20% < MAPE < 50% : Cukup Tepat
MAPE > 50% : Tidak tepat
Perhitungan MAPE adalah sebagai berikut :
Waktu (Bulan ke-) NPHR
(kCal/kWh) Konsumsi Batu bara
(ton/bulan) EAF
1 2,825.06 200,820.81 0
2 3,301.65 262,254.71 0.805649
3 2,725.15 207,431.26 0.930376
4 2,800.95 212,609.19 0.906109
5 3,260.46 244,898.66 0.927225
6 2,886.97 219,095.37 0.902285
7 2,692.04 201,677.47 0.916524
8 2,681.36 201,595.02 0.868138
9 2,848.16 211,431.24 0.904912
10 2,897.53 215,818.63 0.7812
D-2 Lamp D – Perhitungan MAPE
Waktu (Bulan ke-) NPHR
(kCal/kWh) Konsumsi Batu bara
(ton/bulan) EAF
11 2,823.19 208,311.35 0.859214
12 2,718.40 201,622.70 0.890963
13 2,904.58 219,276.58 0.92652
14 2,658.64 198,244.28 0.910157
15 2,921.01 220,261.52 0.8583
16 2,676.27 199,030.22 0.892501
17 3,368.23 251,296.65 0.911581
18 2,901.38 213,380.05 0.941121
19 2,795.46 204,644.77 0.894064
20 2,838.59 209,000.25 0.876674
21 2,835.68 208,911.89 0.885873
22 2,693.82 198,500.04 0.8942
23 2,699.98 198,716.84 0.876274
24 2,803.62 208,337.85 0.860812
25 2,884.91 216,129.86 0.957815
26 2,771.79 207,588.74 0.840096
27 2,760.33 205,409.27 0.945447
28 2,804.42 209,071.69 0.809792
29 2,596.15 191,481.23 0.934936
30 2,723.16 202,942.33 0.826128
31 2,712.20 201,876.92 0.917818
32 2,754.21 205,812.74 0.832297
33 2,642.28 197,147.99 0.855285
34 2,756.19 206,059.25 0.945683
35 2,569.71 190,674.56 0.970053
36 2,806.45 210,272.83 0.905453
37 2,913.01 219,506.39 0.981275
38 2,801.83 210,536.39 0.872231
39 2,659.92 199,624.59 0.895173
40 2,977.66 224,515.98 0.905173
41 2,830.73 211,981.67 0.963951
42 2,839.16 212,371.36 0.874005
43 3,007.64 225,806.01 0.745024
44 2,768.96 205,273.11 0.812189
45 2,754.91 203,255.28 0.944468
46 2,991.83 222,644.71 0.880899
47 2,931.62 218,324.33 0.884835
D-3 Lamp D – Perhitungan MAPE
Waktu (Bulan ke-) NPHR
(kCal/kWh) Konsumsi Batu bara
(ton/bulan) EAF
48 3,224.59 242,367.24 0.748783
49 2,807.76 208,541.62 0.895852
50 2,692.33 198,810.42 0.912144
51 2,819.77 209,458.36 0.867182
52 2,678.40 198,403.38 0.827805
53 2,849.80 212,296.03 0.872025
54 2,839.98 210,969.82 0.871306
55 2,890.42 214,658.58 0.884471
56 2,917.79 216,986.88 0.92467
57 2,752.19 203,661.98 0.933812
58 2,676.90 197,142.23 0.917287
59 2,676.87 197,473.45 0.874941
60 2,828.97 210,303.71 0.766934
61 2,773.89 205,970.89 0.899596
62 3,523.19 267,309.76 0.838088
63 3,297.13 248,581.16 0.8028
64 2,965.98 221,715.76 0.90177
65 2,677.12 197,887.68 0.88496
66 2,912.77 217,520.94 0.856621
67 3,016.62 225,645.28 0.907083
68 2,799.19 208,509.62 0.873083
69 2,708.88 201,267.75 0.914247
70 3,183.78 240,173.09 0.937652
71 2,640.05 195,523.19 0.955718
72 2,782.95 207,385.81 0.850875
73 2,904.08 217,379.31 0.91002
74 2,948.77 221,414.64 0.892703
75 2,872.02 215,429.61 0.947937
76 2,889.15 216,930.77 0.91256
77 2,769.99 207,462.87 0.897843
78 2,828.28 212,329.67 0.903294
79 2,679.94 200,001.19 0.945687
80 2,886.66 216,898.71 0.843481
81 2,698.34 201,466.85 0.908054
82 3,500.58 267,937.79 0.959336
83 3,042.33 230,078.32 0.803731
84 2,779.38 208,451.56 0.85674
D-4 Lamp D – Perhitungan MAPE
Waktu (Bulan ke-) NPHR
(kCal/kWh) Konsumsi Batu bara
(ton/bulan) EAF
85 2,804.10 210,362.55 0.890526
86 2,911.66 218,901.43 0.931898
87 2,802.00 209,655.01 0.881379
88 2,714.09 202,268.39 0.920699
89 2,618.84 194,257.01 0.938288
90 2,785.13 207,937.66 0.750858
91 2,915.42 218,722.43 0.93751
92 2,863.30 214,232.51 0.878438
93 2,805.60 209,605.35 0.903654
94 2,605.56 192,675.14 0.866623
95 2,849.16 212,600.09 0.878151
96 2,803.85 208,800.08 0.923508
97 2,800.81 208,683.94 0.911661
98 2,849.20 212,739.71 0.897761
99 2,763.89 205,857.03 0.928705
100 2,564.47 189,421.49 0.8369
101 2,759.43 205,484.11 0.983571
102 2,753.43 205,135.81 0.969474
103 2,777.67 207,071.76 0.842287
104 2,675.88 198,735.19 0.851904
105 2,715.54 202,047.72 0.876033
106 2,820.60 210,666.73 0.8193
107 2,803.21 209,290.08 0.944143
108 2,690.76 200,200.77 0.915747
109 2,735.57 203,681.82 0.902651
110 3,180.17 240,052.74 0.928355
111 2,760.79 205,372.76 0.890096
112 2,684.03 198,870.17 0.865668
113 3,437.35 260,523.19 0.803417
114 2,718.97 201,577.27 0.858842
115 2,878.95 214,495.01 0.86887
116 2,784.02 206,835.71 0.901568
117 2,850.73 212,428.43 0.786297
118 2,596.35 191,964.21 0.914853
119 2,802.27 208,953.88 0.907277
120 2,806.43 209,422.01 0.860796
D-5 Lamp D – Perhitungan MAPE
Rerata Model 2,835.36 211,661.25 0.817865
Data Aktual 2,796.88 206,601.58 0.8794
Gap 38.49 5,059.67 0.833721
Persen MAPE 1.38% 2.45% 5.48%
Karena persen MAPE ≤ 10% maka dapat disimpulkan model telah VALID dengan
tingkat akurasi sangat tepat.
BIOGRAFI PENULIS
Penulis tesis ini bernama lengkap Muhammad Furqon Akhsani,
biasa dipanggil Furqon. Pria kelahiran Ngawi, 30 Juli 1981 ini
menamatkan pendidikan S1 Teknik Kimia di Universitas Sebelas
Maret (UNS) Surakarta pada tahun 2005. Selanjutnya
berkesempatan melanjutkan S2 Manajemen Energi di
Departemen Teknik Mesin ITS yang merupakan kerja sama
antara ITS dan PT Pembangkitan Jawa Bali (PJB) pada 2016.
Sempat menjadi wartawan Jawa Pos dan pada 2006 bergabung
ke PJB hingga saat ini. Selama bekerja di PJB, penulis pernah
berkarir di bidang Lingkungan dan K3 (LK3), Perencanaan dan Pengendalian Operasi,
Perencanaan dan Pengendalian Pemeliharaan, Supervisor Senior Manajemen Mutu
Risiko dan Kepatuhan, dan terakhir diamanahi sebagai Manajer Kinerja Kantor Pusat
dan Unit pada Bidang Kinerja Korporat. Tiga kali mutasi unit kerja, yaitu UP Brantas
(PLTA), UP Gresik (PLTG/PLTU/PLTGU), dan Kantor Pusat cukup memperkaya
wawasan penulis di bidang Operation and Maintenance (O&M) pembangkit. Penulis
pernah memegang sertifikat kompetensi CMPM (di bidang Project Management) dan
CRMP (di bidang Risk Management). Di sela-sela tugas rutin, penulis juga aktif
mengajar di PJB Academy untuk materi pembelajaran Asset Management, Work
Planning and Control (WPC), dan Risk Management. Saat ini penulis tinggal bersama
istri dan kedua anaknya di kota Gresik. Untuk diskusi lebih lanjut bisa
berkorespondensi via email ke furqon@ptpjb.com atau mf.akhsani@gmail.com.
top related