211 bab v pendidikan anak usia dini bab v menjelaskan
Post on 20-Jan-2017
216 views
Embed Size (px)
TRANSCRIPT
211
BAB V
PENDIDIKAN ANAK USIA DINI
Bab V menjelaskan tentang: (A) kebijakan Pendidikan Anak Usia Dini, (B)
pendidikan sastra untuk PAUD dengan Nyanyian Kanak, (C) implikasi dimensi
emosional dan spiritual Nyanyian Kanak pada Pendidikan Anak Usia Dini, dan
(D) implementasi penggunaan Nyanyian Kanak pada Pendidikan Anak Usia Dini
A. Kebijakan Pendidikan Anak Usia Dini
Anak adalah penerus generasi keluarga dan bangsa yang perlu mendapat
pendidikan yang baik sehingga potensi-potensi dirinya dapat berkembang dengan
pesat, sehingga akan tumbuh menjadi manusia yang memiliki kepribadian yang
tangguh dan memiliki berbagai macam kemampuan dan ketrampilan yang
bermanfaat. Oleh karena itu penting bagi keluarga, lembaga-lembaga pendidikan
berperan dan bertanggung jawab dalam memberikan berbagai macam stimulasi
dan bimbingan yang tepat sehingga akan tercipta generasi penerus yang tangguh.
Sementara itu, perubahan pandangan dalam dunia pendidikan dan berbagai
perkembangan dalam ilmu pengetahuan, teknologi, dan seni (Ipteks) membawa
dampak pada berbagai aspek pendidikan, termasuk pada kebijakan pendidikan.
Undang-undang Sistem Penddikan Nasional menyebutkan bahwa Pendidikan
Anak Usia Dini (PAUD) dapat diselenggarakan melalui jalur pendidikan formal,
nonformal dan informal. PAUD pendidikan formal berbentuk Taman Kanak-
kanak (TK), Raudatul Athfal (RA) atau bentuk lain yang sejenis. PAUD jalur
212
nonformal berbentuk Kelompok Bermain (KB), Taman Penitipan Anak (TPA)
atau bentuk lain yang sederajat, sedangkan PAUD jalur informal berbentuk
pendidikan keluarga atau pendidikan yang diselenggarakan oleh lingkungan
(Syarah, 2009: 1).
Hingga hari ini pun masih banyak orang tua yang mengharapkan anak-
anaknya pintar, terlahir dengan IQ (intelligence quotient) diatas level normal.
Padahal skor tersebut tidak berdiri sendiri. Ia berhubungan dengan pola asuh,
hubungan anak dengan orang tua, kebiasaan belajar, dan faktor lingkungan
lainnya.
Intelligence adalah kemampuan untuk bertindak secara terarah, berfikir
rasional dan menghadapi lingkungannya secara efektif. Dalam arti yang lebih
luas, para ahli mengartikan intelligence sebagai suatu kemampuan mental yang
melibatkan proses berpikir secara rasional. Bukan semata-mata mencerminkan
dimensi terbaik seseorang (Syarah, 2009: 1).
Untuk dapat meningkatkan dimensi emosional, bisa dikatakan bahwa hal itu
sama saja dengan mengubah struktur kimia otak anak. Atau tepatnya, mendidik
mereka suatu cara mengendalikan fungsi otaknya. Karena emosi bukanlah
gagasan abstrak yang telah diciptakan oleh para psikolog, melainkan sesuatu yang
sangat nyata. Martuti (2009: 24) mengatakan bahwa emosi menyiratkan adanya
kecenderungan bertindak dan merupakan hal mutlak dalam emosi. Karena itu,
emosi menyiapkan seseorang untuk menanggapi pristiwa yang mendesak tanpa
membuang waktu untuk memikirkan reaksi yang diberikan. Dengan ini kita dapat
mengajari anak bagaimana cara mengubah biokimia emosi mereka, membantu
213
mereka agar lebih adaptif, lebih mampu mengendalikan diri, dan merasakan
kebahagiaan yang murni.
Dimensi spiritual merupakan satu lagi dimensi yang harus dimiliki oleh
manusia, jika ingin mencapai kebahagiaan, yang pada kenyataannya bagi orang
yang tidak mempercayai terdapat hal lebih besar diluar dirinya, tak akan
mempunyai kemampuan untuk mencerdaskan spiritualnya. Walaupun
sesungguhnya spiritualitas tidaklah identik dengan religiusitas, sekalipun
keduanya sangat berdekatan dan saling menopang. Zohar dan Marshall (2007:
63) mengatakan bahwa spiritual berarti sesuatu yang memberikan kehidupan
atau vitalitas pada sebuah sistem.
Nggermanto (2005: 113) mengatakan bahwa nilai spiritual adalah sumber
yang mengilhami dan mengangkat semangat kita dan mengikat kita pada
kebenaran tanpa batas waktu mengenai aspek humanitas. Karena itu, spiritualitas
merupakan dasar bagi tumbuhnya harga diri, nilai-nilai, dan moral. Spiritual
memberi arah dan arti pada kehidupan, dan akan terus hidup menjadi indah karena
diri manusia tidak dikurung oleh batas-batas fisik.
Untuk membangun dan mengembangkan PAUD, berbagai kebijakan telah
dikeluarkan oleh pemerintah, mulai dari sistem perundang-undangan, sampai
dengan hal-hal yang bersifat teknis operasional. Berbagai ketentuan tentang
Pendidikan Anak Usia Dini termuat dalam UU RI No. 20/2003 tentang Sistem
Pendidikan Nasional, khususnya ketentuan-ketentuan yang berkaitan dengan
seluruh jenjang pendidikan, mulai dari Pendidikan Anak Usia Dini (PAUD),
sampai dengan jenjang pendidikan tinggi.
214
Sebagai implementasi dari undang-undang tersebut Pemerintah telah
mengeluarkan PP No. 19/2005 tentang Standar Nasional Pendidikan, dan UU No.
14/2005 tentang Guru dan Dosen, dimana salah satu ketentuannya menyebutkan
bahwa pendidik anak usia dini wajib memiliki kualifikasi akademik pendidikan
minimum D-IV atau S1 serta kompetensi sebagai pendidik. Para calon guru yang
telah memiliki kualifikasi akademik S1 dan kompetensi sebagai pendidik,
selanjutnya harus mengikuti uji kompetensi untuk mendapatkan sertifikat
pendidik. Selain perundang-undangan, telah ditetapkan pula kebijakan pemerintah
berkenaan dengan tugas dan ekspektasi kinerja guru PAUD. Arah kebijakan
tersebut berkenaan dengan pengembangan konsep PAUD, pengembangan
pendidikan guru anak usia dini, pengembangan anak sesuai dengan potensinya
secara optimal, serta pengembangan sarana dan prasarananya.
Pendidikan Anak Usia Dini dianggap penting karena ketika anak lahir telah
dibekali oleh Tuhan dengan berbagai potensi genetis, tetapi lingkungan memberi
peran sangat besar dalam pembentukan sikap kepribadian dan pengembangan
kemampuan anak. Selain itu jaringan otak manusia yang paling menentukan
terjadi ketika anak masih berusia dini, dan usia 4 tahun pertama merupakan usia
yang paling rawan. Perlu diperhatikan dari anak adalah seberapa jauh anak merasa
diperhatikan, diberi kebebasan atau kesempatan untuk mengekspresikan ide-
idenya, dihargai hasil karya atau prestasinya, didengar isi hatinya, tidak ada
paksaan atau tekanan, ancaman terhadap dirinya dan mendapatkan layanan
pendidikan sesuai tingkat usia dan perkembangan kejiwaannya.
215
B. Pendidikan Sastra untuk PAUD dengan Nyanyian Kanak.
Di antara strategi implikasi dimensi emosional dan spiritual Nyanyian
Kanak pada PAUD ialah melalui pendidikan sastra. Pendidikan sastra bertujuan
untuk mengembangkan kompetensi apresiasi sastra, kritik sastra, dan proses
kreatif sastra. Kompetensi yang diasah dalam pendidikan sastra adalah
kemampuan menikmati karya sastra dan menghargai karya sastra (Siswanto,
2008: 168). Ini berarti peserta diajak untuk langsung menikmati dan memahami
karya sastra.
Secara umum tujuan pembelajaran mata pelajaran Bahasa dan Sastra
Indonesia dibidang sastra menurut kurikulum 2004 adalah agar (1) peserta didik
mampu menikmati dan memanfaatkan karya sastra untuk mengembangkan
kepribadian, memperluas wawasan kehidupan, serta meningkatkan pengetahuan
dan kemampuan berbahasa; dan (2) peserta didik menghargai dan membanggakan
sastra Indonesia sebagai khazanah budaya dan intelektual manusia Indonesia
(Siswanto, 2008: 168-169).
Tujuan tersebut dijabarkan ke dalam kompetensi mendengarkan, berbicara,
membaca dan menulis sastra. Kemampuan mendengarkan sastra dikatakan
Siswanto (2008: 169) meliputi kemampuan mendengarkan, memahami, dan
mengapresiasi karya sastra baik asli maupun saduran/terjemahan, sesuai dengan
tingkat kemampuan peserta didik.
Transformasi dimensi emosional dan spiritual dapat dilaksanakan melalui
pendidikan sastra. Menurut Siswanto (2008: 169) bahwa melalui sastra kira bisa
mengembangkan peserta didik dalam hal keseimbangan antara spiritual,
216
emosional, etika, logika, estetika, dan kinestetika; pengembangan kecakapan
hidup, serta pendidikan kemenyeluruhan dan kemitraan.
Pendidikan sastra pada kelompok Pendidikan Anak Usia Dini (PAUD)
sangat strategis digunakan untuk mengembangkan kompetensi atau dimensi
emosional dan spiritual peserta didik, karena memang dapat diasah melalui
pendidikan sastra. Berkenaan dengan kompetensi emosional dikatakan Siswanto
(2008: 172) sebagaimana berikut:
kompetensi emosional merupakan kompetensi untuk memahami diri sendiri dan orang lain. Kemampuan untuk memahami diri sendiri (intrapersonal) antara lain dapat berupa kemandirian, ketahanbantingan, keindependenan, kreativitas, produktivitas, kejujuran, keberanian, keadilan, keterbukaan, mengelola diri sendiri, dan menempatkan diri sendiri secara bermakna serta berorientasi pada keunggulan yang sesuai dengan kehidupan global. Kemampuan untuk memahami orang lain memungkinkan peserta didik untuk bekerja sama dengan orang lain secara multikultural dengan baik.
Selanjutnya berkeaitan dengan kompetensi spiritual dikatakan Siswanto
(2008: 172) sebagaimana berikut:
Kompetensi spiritual adalah kemampuan seseorang yang memiliki kecakapan transenden, kesadaran yang tinggi untuk menjalani ke-hidupan, menggunakan sumber-sumber spiritual untuk memecahkan permasalahan hidup, dan berbudi luhur. Ia mampu berhubungan dengan baik dengan Tuhan, manusia