skripsi fix dini pdf

65
i DERAJAT PARASITEMIA MENCIT GALUR BALB/c YANG DIVAKSINASI KELENJAR SALIVA Anopheles sundaicus SEBAGAI MODEL Transmission Blocking Vaccine (TBV) MELAWAN MALARIA SKRIPSI Oleh Windradini Rahvian Aridama NIM 092010101026 FAKULTAS KEDOKTERAN UNIVERSITAS JEMBER 2013

Upload: danez-cha

Post on 24-Nov-2015

118 views

Category:

Documents


17 download

DESCRIPTION

nbj

TRANSCRIPT

  • i

    DERAJAT PARASITEMIA MENCIT GALUR BALB/c

    YANG DIVAKSINASI KELENJAR SALIVA Anopheles sundaicus

    SEBAGAI MODEL Transmission Blocking Vaccine (TBV)

    MELAWAN MALARIA

    SKRIPSI

    Oleh

    Windradini Rahvian Aridama

    NIM 092010101026

    FAKULTAS KEDOKTERAN

    UNIVERSITAS JEMBER

    2013

  • ii

    DERAJAT PARASITEMIA MENCIT GALUR BALB/c

    YANG DIVAKSINASI KELENJAR SALIVA Anopheles sundaicus

    SEBAGAI MODEL Transmission Blocking Vaccine (TBV)

    MELAWAN MALARIA

    SKRIPSI

    diajukan guna melengkapi tugas akhir dan memenuhi salah satu syarat

    untuk menyelesaikan Program Studi Pendidikan Dokter (S1) dan mencapai gelar Sarjana Kedokteran

    Oleh

    Windradini Rahvian Aridama

    NIM 092010101026

    FAKULTAS KEDOKTERAN

    UNIVERSITAS JEMBER

    2013

  • iii

    PERSEMBAHAN

    Skripsi ini saya persembahkan untuk:

    1. Kedua orang tuaku tercinta, ayahanda Wijiono Arianto dan ibunda Anis Tri

    Ubaidiati. Terima kasih atas segala doa, dukungan, perhatian, kasih sayang

    dan semua pengorbanan yang telah diberikan demi meraih cita-citaku;

    2. Adikku Naksa Garnida Arfie yang telah memberikan dukungan dan

    semangat untuk terus maju;

    3. Guru-guruku yang telah mendidik dengan penuh kesabaran dari taman

    kanak-kanak hingga perguruan tinggi;

    4. Almamater Fakultas Kedokteran Universitas Jember.

  • iv

    MOTTO

    pemalas, pesimis, dan penunda tidak mungkin dipercaya untuk pekerjaan besar

    di tempat baik dan dibayar besar.

    Kualitas perilaku menentukan kualitas nasib.

    (Mario Teguh)

  • v

    PERNYATAAN

    Saya yang bertanda tangan di bawah ini:

    nama : Windradini Rahvian Aridama

    NIM : 092010101026

    menyatakan dengan sesungguhnya bahwa karya tulis ilmiah yang berjudul Derajat

    Parasitemia Mencit Galur BALB/c yang Divaksinasi Kelenjar Saliva Anopheles

    sundaicus sebagai Model Transmission Blocking Vaccine (TBV) Melawan

    Malaria adalah benar-benar hasil karya sendiri, kecuali kutipan yang sudah saya

    sebutkan sumbernya, belum pernah diajukan pada institusi mana pun, dan bukan

    karya jiplakan. Saya bertanggung jawab atas keabsahan dan kebenaran isinya sesuai

    dengan sikap ilmiah yang harus dijunjung tinggi.

    Demikian pernyataan ini saya buat dengan sebenarnya, tanpa ada tekanan

    dan paksaan dari pihak mana pun serta bersedia mendapat sanksi akademik jika

    ternyata dikemudian hari pernyataan ini tidak benar.

    Jember, 25 February 2013

    Yang menyatakan,

    Windradini Rahvian Aridama

    NIM 092010101026

  • vi

    SKRIPSI

    DERAJAT PARASITEMIA MENCIT GALUR BALB/c

    YANG DIVAKSINASI KELENJAR SALIVA Anopheles sundaicus

    SEBAGAI MODEL Transmission Blocking Vaccine (TBV)

    MELAWAN MALARIA

    Oleh

    Windradini Rahvian Aridama

    NIM 092010101026

    Pembimbing

    Dosen Pembimbing Utama : Dr. rer. nat. Kartika Senjarini S.Si., M.Si.

    Dosen Pembimbing Anggota : dr. Sugiyanta, M.Ked.

  • vii

    PENGESAHAN

    Skripsi berjudul Derajat Parasitemia Mencit Galur BALB/c yang Divaksinasi

    Kelenjar Saliva Anopheles sundaicus sebagai Model Transmission Blocking

    Vaccine (TBV) Melawan Malaria telah diuji dan disahkan oleh Fakultas

    Kedokteran Universitas Jember pada:

    hari, tanggal : Senin, 25 Februari 2013

    tempat : Fakultas Kedokteran Universitas Jember

    Tim Penguji

    Mengesahkan

    Dekan Fakultas Kedokteran

    dr. Enny Suswati, M.Kes

    NIP 197002141999032001

    Penguji I

    dr. Yudha Nurdian, M.Kes

    NIP. 197110191999031001

    Penguji II

    dr. Diana Chusna Mufida, M.Kes

    NIP 197203182003122001

    Penguji III

    Dr. rer. nat. Kartika Senjarini S.Si., M.Si

    NIP 197509132000032001

    Penguji IV

    dr. Sugiyanta, M.Ked

    NIP 197902072005011001

  • viii

    RINGKASAN

    Derajat Parasitemia Mencit Galur BALB/c yang Divaksinasi Kelenjar Saliva

    Anopheles sundaicus sebagai Model Transmission Blocking Vaccine (TBV)

    Melawan Malaria; Windradini Rahvian Aridama; 092010101026; 2013; 50

    halaman; Fakultas Kedokteran Universitas Jember.

    Malaria merupakan penyakit infeksi yang menjadi salah satu masalah

    kesehatan utama di dunia. Di Asia Tenggara, sepuluh dari sebelas negara

    merupakan negara endemis malaria termasuk Indonesia. Penyakit ini disebabkan

    oleh Plasmodium dan ditularkan melalui gigitan nyamuk Anopheles betina.

    Anopheles sundaicus (An. sundaicus) merupakan salah satu vektor malaria di

    Indonesia. Sampai saat ini berbagai upaya yang telah dilakukan untuk memberantas

    malaria namun belum memberikan hasil yang optimal sehingga diperlukan suatu

    terobosan baru untuk mengatasi penyakit tersebut. Transmission Blocking Vaccine

    (TBV) berbasis kelenjar saliva vektor merupakan salah satu vaksin yang sedang

    dikembangkan untuk memberantas malaria.

    Protein imunomodulator dalam kelenjar saliva vektor diduga mampu

    mempengaruhi respon imun serta memberi efek proteksi pada inang. Penelitian

    terdahulu menyebutkan bahwa pajanan pertama dari saliva vektor menyebabkan

    pergeseran respon imun dari Th1 ke Th2 yang menguntungkan vektor. Pajanan

    berulang dari saliva vektor menyebabkan pergeseran respon imun yang berlawanan

    dari sebelumnya yaitu dari Th2 ke Th1 yang menguntungkan hospes. Sel Th1

    menghasilkan sitokin IFN- untuk mengaktivasi makrofag sehingga mampu

    menghambat pertumbuhan parasit malaria. Dalam penelitian ini diamati potensi

    kelenjar saliva vektor malaria An. sundaicus dalam menghambat pertumbuhan

    parasit malaria yang ditunjukkan dengan derajat parasitemia hewan coba.

    Hewan coba yang digunakan adalah mencit betina galur BALB/c berusia 6-

    8 minggu sebanyak 45 ekor yang dibagi menjadi tiga kelompok yaitu kelompok

    kontrol, kelompok perlakuan pellet dan kelompok perlakuan supernatan. Masing-

    masing kelompok terdiri dari 15 ekor mencit. Kelompok kontrol divaksinasi dengan

    campuran adjuvan aluminum hidroksida dan larutan PBS, kelompok perlakuan

  • ix

    pellet divaksinasi dengan vaksin model pellet kelenjar saliva An. sundaicus, dan

    kelompok perlakuan supernatan divaksinasi dengan vaksin model supernatan

    kelenjar saliva An. sundaicus. Vaksinasi diberikan secara subkutan pada femur

    bagian luar. Vaksinasi dilakukan sebanyak 3 kali dengan interval waktu 2 minggu.

    Dua minggu pasca vaksinasi terakhir, hewan coba diinjeksi Plasmodium berghei

    secara intraperitonial. Empat puluh delapan jam kemudian dilakukan pembuatan

    hapusan darah tepi dari ekor mencit untuk pengamatan derajat parasitemia.

    Hasil penelitian menggunakan kelenjar saliva An. sundaicus menunjukkan

    bahwa mencit perlakuan yang divaksinasi vaksin model kelenjar saliva An.

    sundaicus memiliki derajat parasitemia yang lebih rendah dibandingkan kelompok

    kontrol yang tidak divaksinasi. Kelompok perlakuan pellet memiliki derajat

    parasitemia yang lebih rendah dibandingkan kelompok perlakuan supernatan

    sedangkan kelompok perlakuan supernatan memiliki derajat parasitemia yang lebih

    rendah dibandingkan kelompok kontrol. Hal ini dimungkinkan protein

    imunomodulator lebih dominan terdapat pada fraksi insoluble pellet. Rendahnya

    derajat parasitemia pada kelompok perlakuan supernatan mengindikasikan bahwa

    komponen protein imunomodulator juga terdapat di bagian supernatan dan bersifat

    soluble. Dengan demikian fraksi insoluble pellet dan fraksi soluble supernatan

    sama-sama berperan dalam menekan pertumbuhan parasit malaria pada hewan coba

    yang ditunjukkan dengan derajat parasitemia mencit kelompok perlakuan yang

    cenderung lebih rendah dibandingkan dengan mencit kelompok kontrol.

  • x

    PRAKATA

    Puji Syukur kehadirat Allah SWT atas segala rahmat dan karunia-Nya

    sehingga penulis dapat menyelesaikan skripsi yang berjudul Derajat Parasitemia

    Mencit Galur BALB/c yang Divaksinasi Kelenjar Saliva Anopheles sundaicus

    sebagai Model Transmission Blocking Vaccine (TBV) Melawan Malaria. Skripsi

    ini disusun untuk memenuhi salah satu syarat untuk menyelesaikan pendidikan

    strata satu (S1) pada Fakultas Kedokteran Universitas Jember.

    Penyusunan ini tidak lepas dari bantuan berbagai pihak. Oleh karena itu,

    penulis menyampaikan terima kasih kepada:

    1. dr. Enny Suswati, M.Kes selaku Dekan Fakultas Kedokteran Universitas

    Jember;

    2. Dr. rer. nat. Kartika Senjarini S.Si., M.Si selaku Dosen Pembimbing I dan dr.

    Sugiyanta, M.Ked. selaku Dosen Pembimbing II yang telah banyak membantu

    dan meluangkan waktu, pikiran, dan perhatian untuk membimbing penulisan

    skripsi hingga akhir;

    3. dr. Yunita Armiyanti, M.Kes. yang sudah memberikan kesempatan untuk

    masuk ke dalam kelompok TBV Research Group dan juga telah banyak

    membantu serta meluangkan waktu, pikiran, perhatiannya untuk membimbing

    penulisan skripsi ini;

    4. dr. Yudha Nurdian, M.Kes dan dr. Diana Chusna Mufida, M.Kes selaku dosen

    penguji atas kesediaannya untuk turut memberikan saran dan penilaian

    terhadap skripsi ini;

    5. Kepala Laboratorium beserta staf Laboratorium Mikrobiologi, Biologi Dasar,

    dan Zoologi Jurusan Biologi Fakultas Matematika dan Ilmu Pengetahuan Alam

    (FMIPA) Universitas Jember atas bantuan dan kerjasamanya;

    6. Mama dan Papa, serta Adikku yang selalu berdoa untuk kesuksesan dan

    keberhasilanku;

    7. Rekan kerja seperjuangan Dani, Harmas, Pak Ali, Pak Adrial, kakak-kakak

    Jurusan Biologi Fakultas MIPA Mbak Esti, Mbak Dina, Mbak Riska, Mbak

  • xi

    Ika, Mas Imam, Mas Syubanul, Mas Arif, Mbak Dewi, Mbak Mada, Mba

    Azizah, Mbak Niear, Mbak Lupink, dkk. atas kebaikan dan bantuan yang

    kalian berikan;

    8. Kakak-kakak Fakultas Kedokteran Mbak Lina, Mbak Vinny, Mbak Ina, Mbak

    Thania, dan Mbak Wiwik atas bantuan dan motivasi yang diberikan;

    9. Sahabat-sahabatku Ira, Wulan, Roat, dan Aulia, yang selalu membantu dan

    memberikan semangat;

    10. Rekan-rekan angkatan 2009 Avicenna atas motivasi, dukungan dan bantuan

    dalam pengerjaan skripsi ini;

    11. Dan akhirnya kepada semua pihak yang tidak dapat disebutkan satu persatu

    atas bantuannya dalam menyelesaikan peneitian ini dan telah mendoakan demi

    suksesnya ujian skripsi ini.

    Penulis juga menerima segala kritik dan saran dari semua pihak demi

    kesempurnaan skripsi ini. Akhirnya penulis berharap, semoga skripsi ini dapat

    bermanfaat.

    Jember, Februari 2013 Penulis

  • xii

    DAFTAR ISI

    Halaman

    HALAMAN JUDUL ............................................................................................... ii

    HALAMAN PERSEMBAHAN ............................................................................. iii

    HALAMAN MOTTO ............................................................................................. iv

    HALAMAN PERNYATAAN ................................................................................. v

    HALAMAN PEMBIMBINGAN ............................................................................. vi

    HALAMAN PENGESAHAN.................................................................................. vii

    RINGKASAN .......................................................................................................... viii

    PRAKATA .............................................................................................................. x

    DAFTAR ISI ........................................................................................................... xii

    DAFTAR GAMBAR ............................................................................................... xv

    BAB 1. PENDAHULUAN ...................................................................................... 1

    1.1. Latar Belakang ................................................................................. 1

    1.2. Rumusan masalah ............................................................................. 3

    1.3. Tujuan penelitian ............................................................................... 3

    1.3.1 Tujuan Umum ............................................................................ 3

    1.3.2 Tujuan Khusus ........................................................................... 3

    1.4. Manfaat Penelitian ............................................................................ 3

    BAB 2. Tinjauan pustaka ....................................................................................... 5

    2.1. Malaria .............................................................................................. 5

    2.1.1 Definisi ...................................................................................... 5

    2.1.2 Etiologi ...................................................................................... 5

    2.1.3 Distribusi dan Insiden ................................................................. 6

    2.1.4 Siklus Hidup Plasmodium .......................................................... 6

    2.1.5 Patogenesis ................................................................................ 8

    2.1.6 Manifestasi Klinis ...................................................................... 9

    2.1.7 Diagnosis ................................................................................... 10

    2.1.8 Penatalaksanaan ......................................................................... 12

    2.2 Anopheles sundaicus sebagai Vektor Malaria .................................... 13

    2.3 Peran Saliva Nyamuk dalam Transmisi Patogen ............................. 15

  • xiii

    2.3.1 Morfologi Kelenjar Saliva Nyamuk ............................................ 15

    2.3.2 Respon Imun Saliva Vektor ........................................................ 16

    2.4 Perkembangan Vaksin Malaria ........................................................ 18

    2.5 Transmission Blocking Vaccine sebagai Penanggulangan -

    Malaria ............................................................................................. 19

    2.6 Kerangka Konseptual ......................................................................... 23

    2.7 Hipotesis ............................................................................................. 24

    BAB 3. Metode Penelitian ....................................................................................... 25

    3.1 Jenis Penelitian ................................................................................... 25

    3.2 Tempat dan Waktu Penelitian ........................................................... 25

    3.3 Populasi dan Sampel Penelitian ......................................................... 25

    3.3.1 Populasi Penelitian ..................................................................... 25

    3.3.2 Sampel Penelitian ....................................................................... 25

    3.4 Variabel Penelitian ............................................................................. 26

    3.5 Definisi Operasional ........................................................................... 26

    3.5.1 Kelenjar saliva Anopheles sundaicus ......................................... 26

    3.5.2 Derajat Parasitemia .................................................................. 26

    3.5.3 Vaksin Model Pellet ................................................................. 26

    3.5.4 Vaksin Model Supernatan ......................................................... 27

    3.6 Rancangan Penelitian ........................................................................ 27

    3.7 Instrumen Penelitian .......................................................................... 28

    3.7.1 Alat Penelitian ............................................................................ 28

    3.7.2 Bahan Penelitian ......................................................................... 28

    3.8 Prosedur Penelitian ............................................................................ 28

    3.8.1 Preparasi Kelenjar Saliva .......................................................... 28

    3.8.2 Preparasi Hewan Coba ............................................................. 28

    3.8.3 Preparasi Vaksin Model Kelenjar Saliva An. sundaicus dan

    Vaksinasi ................................................................................. 29

    3.8.4 Preparasi Plasmodium berghei ................................................. 30

    3.8.5 Inokulasi Plasmodium berghei pada Hewan Coba .................... 30

    3.8.6 Penghitungan Derajat Parasitemia ............................................ 31

    3.9 Alur Penelitian ................................................................................. 32

    3.10 Penyajian Data .................................................................................. 33

  • xiv

    BAB 4. HASIL DAN PEMBAHASAN ................................................................... 34

    4.1 HASIL PENELITIAN ...................................................................... 34

    4.1.1 Isolasi Kelenjar Anopheles sundaicus ........................................ 34

    4.1.2 Preparasi Vaksin dan Vaksinasi .................................................. 34

    4.1.3 Derajat Parasitemia .................................................................... 35

    4.2 PEMBAHASAN ................................................................................. 38

    4.2.1 Kelenjar Saliva Anopheles sundaicus .......................................... 38

    4.2.2 Preparasi Model Vaksin dan Vaksinasi ....................................... 39

    4.2.3 Pengaruh Injeksi Model Vaksin Kelenjar Saliva

    terhadap Hitungan Derajat Parasitemia Hewan Coba ................. 42

    BAB 5. PENUTUP .................................................................................................. 44

    5.1 Kesimpulan ......................................................................................... 44

    5.2 Saran ................................................................................................... 44

    DAFTAR PUSTAKA ............................................................................................. 45

  • xv

    DAFTAR GAMBAR

    Halaman

    Gambar 2.1 Siklus hidup Plasmodium .......................................................... 7

    Gambar 2.2 Anopheles sundaicus ................................................................. 14

    Gambar 2.3 Kelenjar saliva nyamuk ............................................................. 15

    Gambar 2.4 Peran protein saliva vektor arthropoda dalam memodulasi

    respon hemostasis pada hospes................................................. 17

    Gambar 2.5 Skema hipotesis mekanisme kerja TBV .................................... 20

    Gambar 4.1 Hasil isolasi kelenjar saliva An. sundaicus................................ 34

    Gambar 4.2 Hapusan darah mencit pasca inokulasi Plasmodium berghei ... 36

    Gambar 4.3 Grafik perkembangan derajat parasitemia (%) pada populasi (n=3)

    dalam kelompok ......................................................................... 36

    Gambar 4.4 Grafik perkembangan derajat parasitemia (%) dengan ulangan

    individu......................................................................... 37

    Gambar 4.5 Kelenjar saliva Anopheles betina .................................................. 38

  • 1BAB 1. PENDAHULUAN

    1.1 Latar Belakang

    Malaria merupakan penyakit infeksi yang masih menjadi salah satu

    masalah kesehatan utama di dunia. Penyakit ini telah menyebabkan kematian

    hampir sekitar satu juta penduduk dunia setiap tahunnya. Infeksi malaria tersebar

    pada 100 negara di benua Afrika, Asia, Amerika (bagian selatan), daerah Oceania

    dan Kepulauan Karibia (Harijanto, 2007). Di Asia Tenggara, sepuluh dari sebelas

    negara merupakan negara endemis malaria, termasuk Indonesia (WHO, 2011).

    Pada tahun 2009, Kejadian Luar Biasa (KLB) dilaporkan terjadi di Pulau Jawa

    (Jawa tengah, Jawa Timur, dan Banten), Kalimantan (Kalimantan Selatan),

    Sulawesi (Sulawesi Barat), NAD dan Sumatera (Sumatera Barat, Lampung)

    dengan total jumlah penderita adalah 1.869 orang dan meninggal sebanyak 11

    orang (Kemenkes, 2011).

    Beberapa upaya untuk menekan angka kesakitan dan kematian telah

    dilakukan melalui program pemberantasan malaria yang kegiatannya antara lain

    meliputi diagnosis dini, pengobatan cepat dan tepat, surveilans, dan pengendalian

    vektor yang kesemuanya ditujukan untuk memutuskan mata rantai penularan

    malaria (Kemenkes, 2011). Namun saat ini telah terjadi resistensi terhadap obat

    antimalaria dan resistensi nyamuk yang menjadi vektor malaria terhadap

    insektisida. Maka dari itu, diperlukan suatu terobosan baru untuk mengatasi

    masalah tersebut dimana salah satunya adalah pembuatan vaksin malaria

    (Greenwood dan Motabingwa, 2002)

    Arah pengembangan vaksin dilakukan dengan beberapa pendekatan yang

    berbeda. Hal ini disebabkan siklus hidup parasit malaria yang sifatnya kompleks

    (Lavazec et al., 2007). Pada prinsipnya terdapat tiga jenis vaksin yang

    dikembangkan berdasarkan stadium perkembangan parasit, yaitu vaksin stadium

    pre-eritrositik, vaksin stadium eritrositik (stadium aseksual) dan Transmission

    Blocking Vaccine (TBV) (Sharma dan Pathak, 2008). Jenis vaksin terakhir

  • 2merupakan salah satu jenis vaksin yang menghambat siklus hidup parasit dengan

    menginduksi antibodi yang akan menghalangi parasit untuk berkembang di dalam

    tubuh nyamuk sesaat setelah menghisap darah orang yang telah divaksinasi

    (Ambarita, 2010). Salah satu kandidat TBV yang dikembangkan adalah berbasis

    parasit dengan target diantaranya adalah gametocytes antigen yang diekspresikan

    pada gametosit jantan dan betina dan ookinets antigen (Brennan et al., 2000; Titus

    et al., 2006; Chattopadhyay dan Kumar, 2009; Ramirez et al., 2009). Beberapa

    tahun terakhir perkembangan TBV menunjukkan konsep TBV berbasis vektor

    atau vaksin stadium nyamuk (mosquitos stage vaccine) dimana salah satu target

    yang digunakan adalah kelenjar saliva vektor (Chattopadhyay dan Kumar, 2009)

    Saat nyamuk menghisap darah secara bersamaan saliva nyamuk masuk

    dalam sirkulasi inang. Protein imunomodulator dalam saliva nyamuk merupakan

    salah satu komponen yang bersifat imunosupresif. Protein ini bekerja dengan cara

    mempengaruhi pergeseran respon imun inang ke arah Th2 yang menguntungkan

    vektor (Titus et al., 2006). Paparan berulang dari saliva ternyata menunjukkan

    pergeseran respon imun dari Th2 ke arah Th1 yang bersifat protektif pada inang.

    Penelitian yang dilakukan oleh Donovan et al. (2007) menunjukkan bahwa

    paparan berulang dari saliva vektor malaria Anopheles stephensi dapat membatasi

    perkembangan pertumbuhan Plasmodium yoelii di dalam tubuh hewan coba

    dengan cara mempengaruhi respon imun sistemik maupun lokal. Penelitian lain

    yang menggunakan kelenjar saliva vektor sand flies pada Leishmaniasis juga

    menunjukkan adanya hambatan pertumbuhan patogen pada hewan coba

    (Kamhawi et al., 2000). Penelitian ini mendasari hipotesis bahwa kelenjar saliva

    vektor malaria dapat mencegah terjadinya penyebaran parasit sehingga dapat

    dijadikan sebagai salah satu kandidat untuk pengembangan TBV melawan

    malaria.

    Vektor yang berperan dalam penyebaran malaria adalah nyamuk

    Anopheles betina. Jumlah spesies Anopheles di Indonesia mencapai 80 species, 24

    diantaranya merupakan vektor malaria. Salah satu dari vektor malaria tersebut

    adalah Anopheles sundaicus (Dale, 2005). Anopheles sundaicus merupakan salah

    satu vektor utama penyebaran malaria di Pulau Sumatera, Jawa, Sulawesi dan

  • 3Nusa Tenggara (Natadisastra, 2009). Berdasarkan uraian di atas diperlukan adanya

    penelitian untuk mengetahui potensi kelenjar saliva vektor malaria Anopheles

    sundaicus sebagai salah satu model Transmission Blocking Vaccine (TBV)

    melawan malaria.

    1.2 Rumusan Masalah

    Rumusan masalah dari penelitian ini adalah bagaimanakah derajat

    parasitemia mencit galur BALB/c yang divaksinasi dengan vaksin model kelenjar

    saliva (fraksi pellet dan supernatan) Anopheles sundaicus?

    1.3 Tujuan Penelitian

    Tujuan penelitian ini diuraikan menjadi tujuan umum dan tujuan khusus:

    1.3.1 Tujuan Umum

    Untuk mengetahui potensi kelenjar saliva Anopheles sundaicus sebagai

    salah satu kandidat target dalam pengembangan Transmission Blocking

    Vaccine (TBV) berbasis kelenjar saliva vektor melawan malaria.

    1.3.2 Tujuan Khusus

    1. Membandingkan derajat parasitemia mencit BALB/c yang divaksinasi

    dengan vaksin model kelenjar saliva Anopheles sundaicus dengan

    kelompok kontrol yang tidak divaksinasi.

    2. Membandingkan derajat parasitemia mencit BALB/c pada kelompok

    perlakuan pellet dengan kelompok perlakuan supernatan.

    1.4 Manfaat Penelitian

    a. Penelitian ini akan memberikan informasi baru mengenai potensi kelenjar

    saliva Anopheles sundaicus sebagai salah satu kandidat target dalam

    pengembangan Transmission Blocking Vaccine (TBV) berbasis kelenjar

    saliva vektor melawan malaria.

    b. Hasil penelitian ini dapat memberikan harapan baru bagi penanggulangan

    malaria di Indonesia.

  • 4c. Hasil penelitian ini dapat digunakan sebagai salah satu acuan untuk

    penelitian lebih lanjut tentang TBV berbasis kelenjar saliva vektor malaria

    Anopheles sundaicus.

  • 5

    BAB 2. TINJAUAN PUSTAKA

    2.1 Malaria

    2.1.1 Definisi

    Malaria adalah penyakit infeksi parasit yang disebabkan oleh Plasmodium

    yang menyerang eritrosit dan ditandai dengan ditemukannya bentuk aseksual di

    dalam darah. Demam intermitten, splenomegali dan anemia merupakan

    manifestasi klinis dari penyakit ini yang dikenal dengan trias malaria (Harijanto,

    2007).

    2.1.2 Etiologi

    Malaria yang menyerang manusia diakibatkan oleh protozoa dengan genus

    Plasmodium, famili Plasmodiiae, ordo Cocidiidaae, subordo Haemosporodiidae,

    kelas Aconoidasida dan filum Apicomplexa (Leids Universitair Medisch Centrum,

    2008). Plasmodium tidak hanya menginfeksi manusia, tetapi juga menginfeksi

    binatang seperti burung, reptil, dan mamalia (Gandahusada, 2006). Empat dari

    seratus spesies Plasmodium bersifat infeksius pada manusia yaitu Plasmodium

    falciparum (P. falciparum), Plasmodium vivax (P. vivax), Plasmodium ovale

    (P.ovale) dan Plasmodium malariae (P. malariae) (Suh et al., 2005). Dalam

    beberapa tahun terakhir, kasus malaria pada manusia juga disebabkan oleh

    Plasmodium knowlesi. Jenis Plasmodium ini awalnya menyerang beberapa spesies

    kera yang terdapat di kawasan hutan tertentu di Asia Tenggara (Malaysia,

    Vietnam, Indonesia) (WHO, 2012).

    Plasmodium malaria yang sering dijumpai adalah P. falciparum yang

    menyebabkan malaria tropika (malignant malaria) dan P. vivax yang

    menyebabkan malaria tertiana (benign malaria). Untuk P. ovale dan P. malariae

    kasusnya sangat jarang ditemukan di Indonesia (Harijanto, 2007). 86,4 %

    penyebab kasus malaria di Indonesia adalah P. falciparum dan 6,9 % disebabkan

    oleh P. vivax (Kemenkes, 2010). Plasmodium menginfeksi eritrosit (sel darah

  • 6

    merah) yang selanjutnya mengalami pembiakan aseksual di jaringan hati dan di

    eritrosit. Pembiakan seksual terjadi dalam tubuh nyamuk Anopheles betina yang

    berperan sebagai vektor utama malaria (Harijanto, 2007).

    2.1.3 Distribusi dan Insiden

    Malaria ditemukan pada 60o Lintang Utara sampai 32

    o Lintang Selatan,

    dari ketinggian 2.666 m sampai 433 m di bawah permukaan laut. Daerah yang

    sejak semula bebas malaria adalah kawasan Pasifik tengah dan Selatan (Hawaii

    dan Selandia Baru) karena di kawasan tersebut tidak terdapat vektor malaria.

    Penyakit malaria dikatakan endemi jika secara konstan angka kejadian penyakit

    dapat diketahui serta penularan secara alami berlangsung sepanjang tahun.

    Dikatakan epidemi jika angka kejadian kasus malaria pada suatu daerah naik

    degan cepat di atas level biasa atau jika penyakit secara tiba-tiba terjadi pada suatu

    daerah yang sebelumnya bebas malaria. Jika suatu epidemi tersebar pada daerah

    luas di luar daerah yang biasa disebut pandemi (Natadisastra, 2009)

    Infeksi malaria tersebar pada lebih dari 100 negara di benua Afrika, Asia,

    Amerika, daerah Oceania, dan kepulauan Caribia. Lebih dari 1, 6 triliun manusia

    terpapar oleh malaria dengan dugaan morbiditas 200 300 juta dan mortalitas

    lebih dari 1 juta pertahun. P. falcifarum dan P. malariae di jumpai pada semua

    negara dengan malaria; di Afrika, Haiti, dan Papua Nugini. P. falcifarum dan P.

    vivax banyak terdapat di Amerika Latin. Di Amerika selatan, Asia Tenggara,

    daerah Oceania, dan India umumnya P. falcifarum dan P. vivax. P. ovale biasanya

    hanya terdapat di Afrika. Di Indonesia kawasan timur mulai dari Kalimantan,

    Sulawesi Tengah sampai ke Utara, Maluku, Irian Jaya, dan dari Lombok sampai

    NTT serta Timor Timur merupakan daerah endemis malaria dengan P. falcifarum

    dan P. vivax (Harijanto, 2007)

    2.1.4 Siklus Hidup Plasmodium

    Infeksi parasit malaria pada manusia dimulai ketika nyamuk Anopheles

    betina menggigit manusia dan melepaskan sporozoit ke dalam pembuluh darah.

    Empat puluh lima menit kemudian sebagian besar sporozoit menuju hati dan

  • 7

    sebagian kecil sisanya mati. Di dalam sel parenkim hati inilah dimulai

    perkembangan aseksual (intrahepatic schizogony atau pre-erithrocytes

    schizogony). Perkembangan ini memerlukan waktu 5 hari untuk P. falciparum dan

    15 hari untuk P. malariae.

    Gambar 2.1 Siklus hidup plasmodium (Sumber : CDC)

    Sporozoit dalam sel parenkim hati selanjutnya berkembang menjadi

    skizon. Apabila skizon pecah maka merozoit-merozoit dikeluarkan ke sirkulasi.

    Setelah berada dalam sirkulasi darah merozoit akan masuk ke dalam eritrosit

    melalui reseptor pada permukaan sel eritrosit. Dalam waktu kurang dari 2 jam

    parasit berubah menjadi bentuk ring (cincin). Di dalam eritrosit parasit tumbuh

    dengan cara memakan hemoglobin dan dalam metabolismenya membentuk

    pigmen yang disebut hemozoit serta dapat dilihat secara mikroskopik. Eritrosit

    berparasit menjadi lebih elastik dan dindingnya berubah menjadi lonjong. Setelah

    36 jam invasi ke dalam eritrosit, parasit berubah menjadi sizon yang apabila pecah

    akan mengeluarkan 6-36 merozoit dan siap untuk menginfeksieritrosit yang lain.

  • 8

    Siklus aseksual pada P. falciparum, P. vivax dan P.ovale adalah 48 jam dan pada

    P. malariae adalah 72 jam (Harijanto, 2007).

    Di dalam darah, sebagian parasit akan membentuk gamet jantan dan

    betina. Apabila nyamuk menghisap darah orang yang sakit maka dimulailah siklus

    seksual dalam tubuh nyamuk. Setelah terjadi perkawinan maka akan terbentuk

    zygote lalu menjadi ookinet yang menembus dinding perut nyamuk kemudian

    menjadi bentuk ookist. Ookist yang masak mengeluarkan sporozoit yang

    bermigrasi ke kelenjar saliva nyamuk dan siap untuk menginfeksi manusia

    (Harijanto, 2007).

    2.1.5 Patogenesis

    Infeksi penyakit malaria dimulai saat nyamuk Anopheles menghisap darah

    dan secara bersamaan nyamuk mengeluarkan saliva yang mengandung sporozoit

    Plasmodium. Sporozoit masuk ke pembuluh darah akan ikut bersama aliran darah

    dan menuju hati. Di hati, sporozoit kemudian membentuk skizon dan jika pecah

    akan melepaskan merozoit ke aliran darah. Merozoit yang lepas siap menginfeksi

    eritrosit dan membentuk skizon. Skizon yang matang berisi merozoit-merozoit

    yang terlepas ke sirkulasi dan siap menginfeksi eritrosit lain. Demam timbul

    karena skizon yang pecah mengeluarkan berbagai macam antigen untuk

    merangsang sel makrofag, monosit atau limfosit untuk mengeluarkan TNF yang

    selanjutnya merangsang hipotalamus sebagai pusat pengatur suhu tubuh untuk

    menaikkan suhu tubuh dan terjadilah demam. Selanjutnya merozoit masuk ke

    limpa (lien), mengalami infiltrasi dan fagositosis, peningkatan dari kerja lien

    menyebabkan terjadinya splenomegali yang merupakan gejala khas pada malaria

    kronis (Gandahusada, 2006). Perusakan eritrosit oleh parasit, retikulosit

    terhambat, hemolisis akibat kompleks imun, dan eritrofagositosis akan

    menyebabkan jumlah eritrosit menurun drastis, dan menimbulkan gejala klinis

    anemia (Harijanto, 2007). Parasit dalam eritrosit (EP) mengalami 2 stadium, yaitu

    stadium cincin pada 24 jam pertama dan stadium matur pada 24 jam selanjutnya.

    Permukaan EP stadium cincin akan menampilkan antigen RESA (Ring

    Erytrhrocyte surgace antigen) yang menghilang setelah parasit masuk stadium

  • 9

    matur. Permukaan membran EP akan mengalami penonjolan dan membentuk

    knob dengan Histidin Rich-protein-1 (HRP-1) sebagai komponen utamanya.

    Selanjutnya bila EP mengalami merogoni, akan dilepaskan toksin malaria berupa

    GPI yaitu glikosilfosfatidilinositol yang merangsang pelepasan TNF- dan IL-1

    dari makrofag, perlekatan EP stadium matur ke endotel pembuluh darah disebut

    sitoadherensi dan membuat penggumpalan atau pengelompokan EP matur yang

    diselubungi 10 atau lebih eritrosit yang non-parasit disebut rosetting membuat

    obstruksi (penyumbatan) dalam pembuluh kapiler yang menyebabkan terjadinya

    iskemi jaringan (Harijanto, 2007; Departemen Kesehatan RI, 2008).

    2.1.6 Manifestasi Klinik

    Manifestasi klinik pada penyakit malaria tergantung dari jenis Plasmodium

    yang menginfeksi. Pada umumnya manifestasi klinis yang disebabkan P.

    falciparum lebih berat dan lebih akut dibandingkan dengan jenis Plasmodium

    yang lain, sedangkan gejala yang disebabkan oleh P. malariae dan P. ovale adalah

    yang paling ringan. Penyakit malaria diawali dengan gejala prodromal yang tidak

    spesifik, diantaranya lesu, sakit kepala, anoreksia, nausea, dan vomitus.

    Gejala khas yang terjadi pada malaria dikenal dengan Trias Malaria

    yang meliputi demam intermitten, anemia, dan splenomegali. Demam pada

    malaria terjadi karena hancurnya eritrosit pada pembuluh darah dan menghasilkan

    pirogen-pirogen. Pirogen-pirogen ini ketika memasuki otak akan merubah set poin

    suhu tubuh. Perubahan ini menyebabkan suhu tubuh penderita menjadi berubah-

    ubah sesuai tipe malarianya (Fauci et al., 2008). Pada malaria vivax, falciparum,

    dan ovale tipe demamnya adalah demam paroksismal tertiana yaitu demam yang

    berulang tiap 48 jam atau tiap hari ketiga, terjadi. Sedangkan demam pada malaria

    malariae tipe demam yang terjadi adalah demam paroksismal kuartana yaitu

    demam yang berulang tiap 72 jam atau tiap hari keempat. Menurut puncak

    demamnya jenis demam pada dibedakan menjadi demam intermitten dan demam

    remitten. Demam intermitten terjadi jika di antara serangan demam terdapat

    periode suhu normal sedangkan demam remitten merupakan demam berulang

    tanpa ditemukan periode suhu normal. Serangan demam malaria terjadi selama 2-

  • 10

    12 jam. Stadium demam terdiri dari 3 stadium yaitu stadium menggigil, stadium

    puncak demam, dan stadium sudoris. Pada stadium menggigil, penderita

    menggigil kedinginan dan berlangsung selama 15-60 menit. Stadium puncak

    demam ditandai dengan suhu tubuh yang tinggi bisa mencapai 41oC dan

    berlangsung selama 2-6 jam. Sedangkan pada stadium sudoris, suhu mulai turun

    disertai banyak berkeringat. Suhu tubuh berangsur-angsur kembali normal dan

    berlangsung selam 2-4 jam. Dua atau tiga hari kemudian terulang stadium

    kembali stadium demam dengan stadium seperti di atas. Lamanya demam untuk

    spesies Plasmodium tidak sama. Anemia yang terjadi pada malaria disebabkan

    karena perusakan eritrosit oleh parasit, hambatan eritropoiesis sementara,

    hemolisis oleh karena proses complement mediated immune complex,

    eritrofagositosis, penghambatan pengeluaran retikulosit dan pengaruh sitokin.

    Anemia pada malaria memiliki tipe hemolitik, normokrom, normositer. Pada

    penderita malaria, sebagian besar eritrosit mengandung parasit. Eritrosit berparasit

    ini memiliki bentuk yang berbeda normalnya, sehingga ketika melewati limpa

    akan dihancurkan. Splenomegali terjadi karena kongesti aliran darah serta

    hipertrofi dan hiperplasi sistem retikuloendotelial yang disebabkan peningkatan

    penghancuran eritrosit (Natadisastra, 2009).

    2.1.7 Diagnosis

    Diagnosis malaria ditegakkan berdasarkan anamnesis, pemeriksaan fisik,

    dan pemeriksaan laboratorium. Diagnosis pasti malaria harus ditegakkan dengan

    pemeriksaan sediaan darah secara mikroskopik atau menggunakan Rapid

    Diagnostic Test (RDT) yang juga disebut tes diagnostik cepat.

    Pemeriksaan darah secara mikroskopik bertujuan untuk menentukan ada

    tidaknya parasit malaria, spesies dan stadium Plasmodium serta kepadatan parasit

    secara semi kuantitatif dan kuantitatif pada preparat yang dibuat. Beberapa

    pemeriksaan darah secara mikroskopik yang dapat dilakukan untuk menegakkan

    diagnosis adalah sebagai berikut:

  • 11

    a. Tetesan preparat darah tebal.

    Pembuatan preparat darah tebal merupakan cara terbaik untuk menemukan

    parasit malaria karena tetesan darah cukup banyak dibandingkan preparat darah

    tipis. Sediaan mudah dibuat khususnya untuk studi di lapangan. Ketebalan dalam

    membuat sediaan perlu untuk memudahkan identifikasi parasit. Pemeriksaan

    parasit dilakukan selama 5 menit (diperkirakan 100 lapang pandangan dengan

    perbesaran kuat). Preparat dinyatakan negatif bila setelah diperiksa 200 lapang

    pandangan dengan perbesaran kuat 700-1000 kali tidak ditemukan parasit. Hitung

    parasit dapat dilakukan pada tetes tebal dengan menghitung jumlah parasit per 200

    leukosit. Bila leukosit 10.000/ul maka hitung parasitnya ialah jumlah parasit

    dikalikan 50 merupakan jumlah parasit per mikro-liter darah.

    b. Tetesan darah tipis.

    Digunakan untuk identifikasi jenis dan stadium plasmodium, bila dengan

    preparat darah tebal sulit ditentukan. Kepadatan parasit dinyatakan sebagai hitung

    parasit (parasite count), dapat dilakukan berdasar jumlah eritrosit yang

    mengandung parasit per 1000 sel darah merah. Bila jumlah prasit > 100.000/ul

    darah menandakan infeksi yang berat. Hitung parasit penting untuk menentukan

    prognosa penderita malaria, walaupun komplikasi juga dapat timbul dengan

    jumlah parasit normal. Pengecatan dilakukan dengan cat Giemsa, atau Leshmans,

    atau Fields dan juga Romanowsky. Pengecatan Giemsa yang umum dipakai pada

    beberapa laboratorium dan merupakan pengecatan yang mudah dengan hasil yang

    cukup baik.

    Pemeriksaan dengan tes diagnostic cepat (Rapid Diagnostic Test)

    dilakukan berdasarkan deteksi antigen parasit malaria dengan menggunakan

    metode imunokromatografi, dalam bentuk dipstick. Tes ini sangat bermanfaat

    pada unit gawat darurat, saat terjadi KLB, dan di daerah terpencil yang tidak

    tersedia fasilitas laboratorium (Depkes RI, 2008).

  • 12

    2.1.8 Penatalaksanaan

    Secara global WHO telah menetapkan dipakainya pengobatan malaria

    dengan memakai obat ACT (Artemicyn base Combination Therapy). Golongan

    Artemisin telah dipilih sebagai obat utama karena efektif dalam mengatasi

    Plasmodium yang resisten dengan pengobatan lain seperti Klorokuin,

    Sulfadoksin-Pirimetamin (SP), Kina Sulfat, Primakuin, dll. (Harijanto, 2007).

    Selain itu hal-hal lain yang menyebabkan Artemisin dipilih sebagai basis terapi

    kombinasi pada malaria adalah:

    - Kemampuan menurunkan parasitemia lebih cepat 10 kali daripada obat-

    obat antimalaria lainnya.

    - Mempunyai efek samping yang minimal.

    - 2 juta kasus dilaporkan telah diobati dengan basis artemisin tanpa adanya

    efek toksik.

    - Artemisin diabsorbsi cepat melalui oral.

    - Dapat diberi melalui intravena maupun intramuskuler, dengan pemberian 1

    kali sehari.

    - Belum ada laporan resistensi terhadap artemisin, walaupun sudah lama

    digunakan di China (Zein, 2005)

    Penggunaan Artemisin secara monoterapi akan mengakibatkan terjadinya

    rekrudensi. Maka dari itu WHO memberikan petunjuk untuk mengkombinasikan

    Artemisin dengan obat antimalaria yang lain. Kombinasi obat ini dapat berupa

    kombinasi dosis tetap (fixed dose combination) atau kombinasi tidak tetap (non-

    fixed dose) (Harijanto, 2007). Pada wilayah Indonesia kombinasi obat yang

    dianjurkan terdapat pada tabel 2.2

    Tabel 2.2. Kombinasi obat malaria

    Plasmodium falciparum P. vivax

    Tanpa Komplikasi Terapi

    Gagal

    Malaria

    Berat

    Hamil Terapi

    Tidak Lab-

  • 13

    terkonfirmasi Konfirmasi

    CQ+PQ AS+AQ+P

    Q

    QN+D+PQ QN/AM QN;

    (AS+A

    Q-

    2nd

    +3rd

    Trimer

    ster)

    CQ+PQ

    (14d)

    AQ: Amodiaquin; AL: Artemehter-Lumefantrin; AS: Artesunat; CQ: Chloroquin; D:

    Doksisiklin; PQ: Primaquin; QN: Quinin.

    Sumber: WHO (2006)

    2.2 Anopheles sundaicus sebagai Vektor Malaria

    Vektor penyakit infeksi malaria adalah nyamuk dari genus Anopheles.

    Terdapat 80 macam spesies nyamuk Anopheles yang ditemukan di Indonesia, 24

    diantaranya berpotensi sebagai vektor dalam penyebaran penyakit malaria. Salah

    satu nyamuk Anopheles yang menjadi vektor malaria di Indonesia adalah

    Anopheles sundaicus (An.sundaicus) (Dale et al., 2005). Sebaran geografik dari

    vektor malaria An. sundaicus di Indonesia adalah di kawasan Sumatera, Jawa,

    Sulawesi, dan Nusa Tenggara (Natadisastra, 2009).

    An. sundaicus pertama kali ditemukan oleh Rodenwelt pada tahun 1925.

    Nyamuk ini umumnya lebih sering menghisap darah manusia daripada darah

    binatang. Nyamuk ini aktif menggigit sepanjang malam tetapi paling sering antara

    pukul 22.00 01.00 dini hari. Pada waktu malam hari nyamuk masuk ke dalam

    rumah untuk mencari darah, hinggap di dinding baik sebelum maupun setelah

    menghisap darah (Hiswani, 2004). Ciri morfologi dari nyamuk ini adalah adanya

    bercak pada bagian tibia dan femur nyamuk (speck-led), sisik hitam yang terdapat

    pada sayap serta persambungan tarsus dan tibia tanpa ada warna putih panjang

    seperti pita yang terlihat seperti pada gambar 2.2 (Natadisastra, 2009).

  • 14

    Gambar 2.2: Anopheles sundaicus (Sumber: boldsystems.org)

    Perilaku istirahat nyamuk ini sangat berbeda antara lokasi satu dengan

    lokasi yang lainnya. Di pantai selatan pulau Jawa dan pantai Timur Sumatera

    Utara, pada pagi hari sedangkan di daerah Cilacap dan lapangan dijumpai mulai

    pagi hingga siang hari. Jarak terbang An. sundaicus betina cukup jauh. Pada

    musim densitas tinggi masih dijumpai nyamuk betina dalam jumlah cukup banyak

    di suatu tempat yang berjarak kurang lebih 3 km dari tempat perindukan nyamuk

    tersebut (Hiswani, 2004)

    Vektor An. sundaicus umumnya berkembangbiak di air payau yaitu

    campuran antara air tawar dan air asin, dengan kadar garam optimum antara 12%-

    18%. Penyebaran jentik di tempat perindukan tidak merata di permukaan air,

    tetapi terkumpul di tempat-tempat tertutup seperti diantara tanaman air yang

    mengapung, sampah dan rumput-rumput di pinggir sungai atau parit (Hiswani,

    2004)

    Tidak hanya di Indonesia, An. sundaicus merupakan salah satu vektor

    utama malaria di kawasan Asia Tenggara dan Selatan, diantaranya adalah di India,

    Indonesia, Malaysia, Vietnam, Kamboja, Mnyanmar, dan Thailand. Nyamuk ini

    berperan dalam beberapa kasus malaria di Orissa, India (1930-1940), Vietnam

    (1965-1985) dan di Indonesia pada tahun 1985. Nyamuk ini juga berperan dalam

    transmisi malaria pada spesies kera di kawasan Kepulauan Andaman (Dusfour et

    al., 2004).

  • 15

    Penelitian mengenai vektor dan kontrol malaria di kawasan Asia tenggara

    cenderung difokuskan pada tiga spesies utama vektor malaria, yaitu An. dirus, An.

    minimus, dan An. sundaicus. Banyak penelitian telah dilakukan pada spesies An.

    dirus dan An. minimus disebabkan nyamuk tersebut tersebar luas di kawasan Asia

    tenggara sedangkan belum banyak penelitian untuk spesies An. sundaicus karena

    sebagian besar spesies nyamuk ini ditemukan di kawasan pantai (coastal areas)

    (Dusfour et al., 2004).

    2.3 Peran Saliva Nyamuk dalam Transmisi Patogen

    2.3.1 Morfologi Kelenjar Saliva Nyamuk

    Saliva nyamuk disekresikan oleh sepasang kelenjar saliva nyamuk yang

    terletak di bagian thorax mengapit bagian esofagus nyamuk. Masing-masing

    kelenjar terdiri dari 3 lobus, dua lobus terletak di bagian lateral dan satu lobus

    terletak di bagian medial.

    Gambar 2.3:Kelenjar saliva nyamuk. a. posisi kelenjar saliva nyamuk dari saluran cerna

    b. Kelenjar saliva nyamuk Anopheles stephensi dewasa. (A) Tampak seluruh bagian dari kelenjar saliva nyamuk dan (B-F) merupakan regio yang tampak

    dari berbagai macam bentuk diseksi (Clements, 2000; Dhar dan Kumar,

    2003)

  • 16

    Pada nyamuk betina lobus lateral dibagi menjadi regio proximal, intermediet dan

    distal. Lobus medial nyamuk terdiri dari regio distal dan bagian pendek dari leher

    nyamuk. Bagian depan (anterior) dari masing-masing kelenjar telah dipersarafi

    dan terletak pada persambungan fore-gut dan midgut. Masing-masing lobus

    memiliki central ductus yang disusun oleh satu lapis sel epitel yang melekat

    dengan lamina basal externa. Bagian apikal dari regio posterior kelenjar saliva

    nyamuk betina berperan penting dalam proses sekresi saliva. Pada nyamuk jantan

    kelenjar saliva berukuran lebih kecil daripada nyamuk betina (Dhar dan Kumar,

    2003)

    2.3.2 Respon Imun Saliva Vektor

    Infeksi malaria dimulai ketika nyamuk Anopheles betina menghisap darah

    dan disaat yang sama saliva nyamuk juga ikut masuk bersama sporozoit ke dalam

    tubuh inang (Brennan et al., 2000). Saliva nyamuk mengandung komponen

    protein imunomodulator dan vasomodulator yang berguna untuk memperlancar

    transmisi patogen dari vektor ke tubuh hospes selama proses blood feeding (Dhar

    dan Kumar, 2003).

    Kerusakan pembuluh darah saat nyamuk menghisap darah menyebabkan

    terjadinya respon hemostasis yang terdiri dari vasokonstriksi, agregrasi platelet,

    dan serangkaian proses kaskade koagolasi seperti yang terlihat pada gambar 2.4

    (Andrade et al., 2005). Serangkaian reaksi tersebut dapat dihambat oleh adanya

    komponen vasomodulator yang terdapat dalam saliva nyamuk. Komponen

    vasomodulator dalam saliva diantaranya adalah peroksidase, anophelin, dan

    hamdarin. Faktor peroksidase menghambat vasokonstriksi, faktor anopheline

    berfungsi sebagai alpha thrombin inhibitor yang menghambat agregasi platelet,

    dan faktor hamdarin berfungsi dalam menghambat kaskade koagulasi (Fontaine

    et al., 2011). Selain menimbulkan respon hemostasis, kerusakan pembuluh darah

    juga mampu membangkitkan respon imun hospes berupa aktivasi respon imun

    nonspesifik (innate immunity) untuk perbaikan jaringan dan mengeliminasi

    patogen dan respon imun spesifik (adaptive immunity) menghasilkan antibodi

    melawan patogen spesifik (Andrade et al., 2005).

  • 17

    Gambar 2.4 Peran protein saliva vektor arthropoda dalam memodulasi respon hemostasis pada hospes (Sumber: Fontaine et al., 2011)

    Pengaruh protein imunomodulator dalam saliva nyamuk terhadap respon

    imun inang adalah menyebabkan pergeseran respon imun selular dari Th1 ke arah

    Th2 yang lebih menguntungkan vektor (Titus et al., 2006). Paparan berulang

    saliva nyamuk menyebabkan perubahan respon imun inang dengan adanya

    peningkatan respon imun dari Th2 ke arah Th1 yang lebih menguntungkan inang

    dan memberikan respon protektif pada inang (Donovan et al., 2007). Sel Th1

    menghasilkan sitokin IFN- dan IL-2 yang akan menstimulasi sel sitotoksik dan

    makrofag dalam imunitas seluler. Sebaliknya sel Th 2 menghasilkan sitokin IL-4,

    IL-10 dan sitokin lain (IL-3, IL-5, IL-13) yang menstimulasi sel B untuk

    menghasilkan imunoglobulin. Hubungan sitokin yang dihasilkan sel Th 1 dan sel

    Th 2 ini bersifat timbal balik, IFN- menghambat perkembangan sel Th 2 sedang

    IL-4 menghambat perkembangan dan aktivitas sel Th 1 (Baratawidjaja dan

    Rengganis, 2009).

  • 18

    2.4 Perkembangan Vaksin Malaria

    Salah satu upaya strategis pengendalian malaria yang saat ini sedang

    intensif dikembangkan adalah pengembangan vaksin malaria. Tantangan utama

    dalam pengembangn vaksin malaria yang efektif adalah kemampuan memberikan

    perlindungan terhadap berbagai macam bentuk parasit malaria. Oleh karena

    parasit malaria bersifat sangat kompleks, maka arah pengembangan vaksin

    dilakukan dengan beberapa pendekatan yang berbeda (Ambarita, 2010).

    Pada awal pengembangan vaksin, upaya yang dilakukan pada fase pra-

    eritrosit, yaitu periode parasit dalam bentuk sporozoit yang masuk ke dalam

    pembuluh darah dan masuk ke dalam organ hati, yang selanjutnya mengalami

    perkembangan hingga matang dan memulai proses multiplikasi. Saat ini,

    dikembangkan tiga jenis kandidat vaksin untuk malaria, yaitu;

    a. Vaksin pre-eritrositik (pre-erytrhocytic vaccine)

    Kandidat vaksin pra-eritrositik ditujukan untuk melindungi terjadinya

    infeksi awal malaria, yaitu masa dimana parasit masuk atau berkembang dalam

    sel-sel hati penderita. Vaksin ini akan merangsang respon imun yang tidak hanya

    mencegah terjadinya infeksi namun juga mampu menyerang sel hati yang

    terinfeksi jika memang telah terjadi penularan. Kandidat vaksin ini mencakup:

    - Rekombinan ataupun protein hasil rekayasa genetika ataupun antigen

    yang berasal dari permukaan parasit ataupun yang berasal dari sel hati

    yang terinfeksi

    - DNA vaksin yang mengandung informasi genetik untuk memproduksi

    antigen di dalam resipien vaksin

    - Vaksin berupa parasit hidup yang telah dilemahkan dalam bentuk

    sporozoit dan merupakan komponen utama vaksin (Ambarita, 2010).

    b. Vaksin fase darah (blood stage vaccine)

    Kandidat vaksin fase-darah ditujukan pada parasit malaria dalam bentuk

    yang paling destruktif, yaitu masa terjadinya replikasi parasit dalam eritrosit.

    Vaksin ini tidak ditujukan untuk mencegah terjadinya infeksi namun diharapkan

    dapat menurunkan jumlah parasit dalam darah sehingga bisa mengurangi tingkat

  • 19

    keparahan penyakit. Bukti-bukti sebelumnya mengindikasikan bahwa seseorang

    yang sering terkena malaria maka dalam tubuhnya akan terbentuk imunitas alami

    dalam kurun waktu tertentu. Target vaksin yang mengandung antigen ataupun

    protein yang berasal dari permukaan parasit (fase darah/merozoit) adalah

    merangsang tubuh untuk membentuk imunitas alami sehingga meminimalisir

    resiko terkena sakit (Ambarita, 2010).

    c. Vaksin penghambat penularan Transmission Blocking Vaccine (TBV).

    Vaksin penghambat penularan mencegah transmisi malaria dengan

    menginduksi antibodi dari antigen stadium seksual parasit, yang berkembang

    dalam midgut nyamuk. Antibodi yang dihasilkan akan menghambat pertumbuhan

    parasit dalam tubuh nyamuk (Carter et al., 2000). Vaksin ini tidak dapat

    mencegah seseorang untuk tertular malaria serta tidak juga mengurangi gejala

    penyakit. Peran krusialnya adalah membatasi penyebaran infeksi oleh nyamuk

    terhadap orang yang sehat (Ambarita, 2010). Beberapa tahun terakhir

    perkembangan TBV menunjukkan berkembangnya konsep TBV berbasis vektor

    atau vaksin stadium nyamuk (mosquitos stage vaccine) dengan target midgut atau

    kelenjar saliva nyamuk yang mampu menghasilkan antibodi dan membatasi

    pertumbuhan parasit pada host (Chattopadhyay dan Kumar, 2009).

    2.5 Transmission Blocking Vaccine sebagai Penanggulangan Malaria

    Transmission Blocking Vaccine (TBV) merupakan satu strategi dalam

    penanggulangan penyakit malaria karena dapat digunakan sebagai pembangkit

    antibodi host guna melawan vektor yang terlibat dalam pengembangan patogen

    (Kubler-Kielb et al.,2007). TBV berbasis parasit mampu menghambat transmisi

    malaria dari manusia ke vektor malaria melalui pencegahan pertumbuhan parasit

    dalam midgut nyamuk. Antibodi yang terbentuk dalam tubuh host sebagai hasil

    dari pengaruh vaksinasi diduga kuat mampu membunuh gametosit dalam tubuh

    host atau membuhuh saat gametosit dan antibodi tertelan masuk ke midgut

    nyamuk. Tidak seperti jenis vaksin lainnya, antibodi yang ditimbulkan oleh TBV

    membunuh parasit di luar tubuh orang yang divaksinasi (Gambar 2.3). Oleh

  • 20

    karena itu vaksin ini tidak dibuat untuk melindungi individu yang telah

    divaksinasi akan tetapi melindungi individu yang belum terinfeksi oleh malaria

    (Sharma dan Pathak, 2008)

    Gambar 2.5 Skema hipotesis mekanisme kerja TBV. I: Individu sehat (biru) dan

    terinfeksi (merah) diimunisasi antigen TBV; II: vektor menghisap darah

    yang terinfeksi yang mengandung ikatan spesifik antigen-antibodi TBV; III: Antibodi spesifik diproduksi untuk melawan pathogen dalam tubuh;

    IV: Pencegahan transmisi ke inang yang belum terinfeksi (Sumber:

    Coutinho-Abreu dan Ramalho-Ortigao, 2010)

    Salah satu kandidat TBV yang dikembangkan adalah berbasis parasit

    dengan target diantaranya adalah gametocytes antigen yang diekspresikan pada

    gametosit jantan dan betina dan ookinets antigen (Brennan et al., 2000; Titus et

    al., 2006; Chattopadhyay dan Kumar, 2009; Ramirez et al., 2009). Gametocytes

    antigen atau prefertilization antigens yang telah ditemukan antara lain protein

    antigen Psf48/45 dan Psf230. Antigen ini terletak pada permukaan gametosit

    jantan dan gametosit betina. Ookinets antigens atau postfertilization antigens

    merupakan protein-protein yang diekspresikan pada permukaan zygot dan ookinet

    parasit. Psf25 dan Psf28 merupakan beberapa protein ookinet yang sudah berhasil

    diklon dari spesies Plasmodium. Protein-protein tersebut berpotensial sebagai

  • 21

    kandidat TBV yang menghasilkan antibodi untuk menghambat pertumbuhan

    ookist dalam midgut nyamuk (Saxena et al., 2007).

    Strategi baru yang potensial dikembangkan adalah pengembangan TBV

    berbasis vektor atau vaksin stadium nyamuk (mosquito vaccine stadium) dengan

    target midgut atau kelenjar saliva nyamuk. Kandidat untuk vaksin ini merupakan

    protein yang diekspresikan oleh midgut maupun enzim midut yang berperan

    dalam mencerna darah dan reseptor parasit yang diekspresikan oleh sel epitel

    midgut atau kelenjar saliva (Coutinho-abreau dan Ramalho-ortigao, 2010).

    Contoh protein midgut atau kelenjar saliva yang digunakan sebagai kandidat TBV

    antara lain tripsin, CPBAg1, N1(AgAPN1), saglin, dan lain-lain (Chattopadhyay

    dan Kumar, 2009). Perkembangan TBV berbasis vektor tidak hanya mengarah

    pada menghambat pertumbuhan parasit dalam tubuh nyamuk tetapi juga

    mengurangi morbiditas dan mortalitas individu yang terpapar. Sebuah penelitian

    yang dilakukan oleh Donovan et al. (2007) menunjukkan bahwa paparan berulang

    dari saliva nyamuk Anopheles stephensi ternyata dapat membatasi perkembangan

    parasit P.yoelli di dalam tubuh hewan coba dengan cara mempengaruhi respon

    imun sistemik maupun lokal. Respon tubuh berupa peningkatan aktivitas Th1

    yang ditunjukkan dengan adanya peningkatan IFN-, IL-12 dan iNOS dan

    penurunan kadar IL-4. Adanya pergeseran respon imun ke arah Th-1 lebih efektif

    untuk melawan malaria (Donovan et al., 2007). Pada penelitian lain, paparan

    saliva vektor sand flies pada Leishmaniasis juga menunjukkan adanya hambatan

    pertumbuhan patogen pada hewan coba (Kamhawi et al., 2000). Hal ini

    menimbulkan hipotesa bahwa saliva nyamuk mampu memberikan efek proteksi

    pada hewan coba dengan mempengaruhi respon imun inang.

    Jenis molekul yang berperan dalam kandidat TBV sebagai vaksin

    malaria yang efektif harus memiliki beberapa sifat-sifat yang penting untuk

    diperhatikan. Molekul antigen pada vaksin mampu untuk menginduksi kenaikan

    antibodi host sebagai respon terhadap patogen yang masuk dalam tubuh (Kubler-

    Kielb et al., 2007). Di samping itu, vaksin yang terdiri dari kombinasi antigen dan

    adjuvan harus cukup aman digunakan sehingga terhindar dari efek samping yang

    terjadi sesaat setelah imunisasi (Saul et al., 2007). Molekul antigen untuk kandidat

  • 22

    vaksin TBV juga harus memiliki sifat polimorfisme yang rendah. Vaksin TBV

    yang efektif juga bisa dibuat dari kombinasi antigen berbeda karena respon

    antibodi terhadap antigen kombinasi tersebut diduga dapat menghasilkan respon

    yang lebih baik (Coutinho-Abreu dan Ramalho-Ortigao, 2010).

  • 23

    2.6 Kerangka Konseptual

    Keterangan :

    Diteliti :

    Tidak diteliti :

    Malaria adalah penyakit infeksi parasit yang disebabkan oleh Plasmodium.

    Siklus hidup Plasmodium memerlukan Anopheles sebagai vektornya. Anopheles

    sundaicus (An. sundaicus) merupakan satu diantara banyaknya spesies Anopheles

    Plasmodium

    Vektor Malaria

    An. sundaicus

    Terinfeksi Tidak terinfeksi

    Kelenjar saliva

    An. sundaicus

    Protein imunomodulator Vasomodulator

    Vaksin: TBV

    Derajat Parasitemia host

    malaria

  • 24

    yang berperan sebagai vektor malaria. Salah satu target potensial TBV berasal

    dari kelenjar saliva nyamuk An. sundaicus yaitu protein imunomodulator dan

    vasomodulator. Diharapkan paparan berulang ekstrak kelenjar saliva nyamuk An.

    sundaicus sebagai model vaksin TBV dapat membangkitkan respon imun pada

    hewan coba sehingga mampu menghambat pertumbuhan parasit malaria.

    Perbedaan ini dapat ditunjukkan dengan membandingkan derajat parasitemia

    kelompok perlakuan yang divaksinasi ekstrak kelenjar saliva An. sundaicus

    dengan kelompok kontrol yang tidak divaksinasi.

    2.7 Hipotesis

    Hipotesis penelitian ini adalah adanya perbedaan derajat parasitemia

    mencit galur BALB/c yang divaksinasi dengan vaksin model kelenjar saliva An.

    sundaicus pada kelompok perlakuan dibandingkan dengan kelompok kontrol

    yang tidak divaksinasi.

  • BAB 3. METODE PENELITIAN

    3.1 Jenis Penelitian

    Jenis penelitian ini adalah penelitian eksperimental laboratoris. Penelitian

    eksperimental merupakan kegiatan percobaan (experiment) yang bertujuan untuk

    mengetahui suatu pengaruh yang timbul akibat perlakuan tertentu (Notoatmodjo,

    2002)

    3.2 Tempat dan Waktu Penelitian

    Penelitian ini dilaksanakan di Laboratorium Biologi Dasar, Laboratorium

    Mikrobiologi, dan Laboratorium Zoologi Jurusan Biologi Fakultas Matematika

    dan Ilmu Pengetahuan Alam (FMIPA) Universitas Jember. Waktu penelitian

    dilakukan selama bulan Oktober Desember 2012.

    3.3 Populasi dan Sampel Penelitian

    3.3.1 Populasi Penelitian

    Populasi dari penelitian ini adalah mencit betina galur BALB/c berusia 6-8

    minggu.

    3.3.2 Sampel Penelitian

    Besar sampel penelitian ditentukan berdasarkan rumus Federer: (t-1)(n-1)

    15, dimana t adalah banyaknya kelompok perlakuan, dan n adalah jumlah

    sampel per kelompok perlakuan. Jumlah perlakuan yang digunakan sebanyak tiga

    kelompok yaitu kelompok kontrol, kelompok pellet, dan kelompok supernatan.

    Dari rumus tersebut didapatkan jumlah minimal mencit yang digunakan sebanyak

    9 ekor mencit. Untuk menghindari adanya mencit ulangan yang mati, maka

    digunakan 15 ekor untuk masing-masing kelompok sehingga jumlah total sampel

    adalah 45 ekor mencit. Kelompok Kontrol (K): diinjeksi Phosphate Buffer Saline

    (PBS) yang dicampur dengan adjuvan aluminum hidroksida. Kelompok Pellet (P):

    divaksinasi dengan vaksin model pellet kelenjar saliva An. sundaicus yang

  • 26

    dicampur dengan adjuvan aluminum hidroksida. Kelompok Supernatan (S):

    divaksinasi dengan vaksin model supernatan kelenjar saliva An. sundaicus yang

    dicampur dengan adjuvan aluminum hidroksida.

    3.4 Variabel Penelitian

    Variabel-variabel dari penelitian ini adalah :

    1. Variabel bebas yaitu kelenjar saliva nyamuk An. sundaicus.

    2. Variabel kontrol yaitu jenis kelamin, galur, usia, perlakuan, lama waktu

    pemeliharaan hewan coba dan Plasmodium berghei.

    3. Variabel terikat yaitu derajat parasitemia mencit galur BALB/c yang

    diamati dengan menggunakan mikroskop perbesaran objektif 100x.

    3.5 Definisi Operasional

    3.5.1 Kelenjar saliva An. sundaicus merupakan salah satu organ tubuh nyamuk

    yang berfungsi untuk menghasilkan saliva. Kelenjar saliva ini juga

    berperan dalam transmisi parasit dan merupakan perantara penting bagi

    nyamuk selama proses blood feeding. Isolasi kelenjar saliva untuk

    preparasi vaksin dilakukan dengan metode microdissection.

    3.5.2 Derajat parasitemia adalah jumlah kuantitatif parasit Plasmodium berghei

    dalam darah mencit yang dihitung dari ratio jumlah eritrosit terinfeksi tiap

    seribu eritrosit dan dinyatakan dalam persen (%). Derajat parasitemia

    dilihat dari hapusan darah berasal dari ekor mencit yang diwarnai dengan

    pengecatan Giemsa. Penghitungan derajat parasitemia dilakukan di bawah

    mikroskop Olympus dengan perbesaran objektif 100x menggunakan

    minyak emersi.

    3.5.3 Vaksin model pellet adalah vaksin yang didapatkan dari isolat kelenjar

    saliva An. sundaicus yang diproses dengan metode freez and thaw,

    homogenisasi, water sonication, dan sentrifugasi. Endapan hasil dari

    sentrifugasi dicampur dengan adjuvan alumunium hidroksida dan

    digunakan sebagai vaksin model pellet. Pembuatan vaksin ini dilakukan di

    ruangan steril (laminar)

  • 27

    3.5.4 Vaksin model supernatan adalah vaksin yang didapatkan dari isolat

    kelenjar saliva An. sundaicus yang diproses dengan metode freez and

    thaw, homogenisasi, water sonication, dan sentrifugasi. supernatan hasil

    dari sentrifugasi dicampur adjuvan aluminum hidroksida dan digunakan

    sebagai vaksin model supernatan. Pembuatan vaksin ini dilakukan di

    ruangan steril (laminar).

    3.6 Rancangan Penelitian

    Keterangan:

    S : Sampel

    K : Kelompok Kontrol

    PP : Kelompok Perlakuan Pellet

    PS : Kelompok Perlakuan Supernatan

    IM 1 : Imunisasi I

    IM 2 : Imunisasi II

    IM 3 : Imunisasi III

    IN : Inokulasi Plasmodium berghei

    DP 2 : Derajat Parasitemia pada hari ke-2

    DP 3 : Derajat parasitemia pada hari ke-3

    DP 4 : Derajat Parasitemia pada hari ke-4

    DP 5 : Derajat parasitemia pada hari ke-5

    DP 6 : Derajat parasitemia pada hari ke-6

    S

    K

    Pp IM 1 IM 2 IM 3 IN

    DP 2

    DP 3

    DP 4

    DP 5

    DP 6

    DP 7

    PS

  • 28

    DP 7 : Derajat parasitemia pada hari ke-7

    3.7 Instrumen Penelitian

    3.7.1 Alat Penelitian

    Alat-alat yang digunakan dalam penelitian ini adalah kandang mencit,

    tempat untuk pembedahan mencit, gunting bedah, pinset, jarum pentul, disposible

    syringe 1 cc, tabung eppendorf, pipet, mikropistil, satu set mikropipet, Yellow tip,

    Blue tip, White tip, vacutainer heparin, ice bag, ice pack, lemari es, autoclave,

    vortex, laminar air flow, api bunsen, tabung valcon, pH meter, magnetic stirrer,

    hemositometer, mikroskop cahaya, stereoscopic microscope, object glass, cover

    glass, label, beaker glass, alumunium foil, toples tertutup, steroform, tissue, kapas,

    masker, hand scone.

    3.7.2 Bahan Penelitian

    Bahan-bahan yang digunakan dalam penelitian ini adalah salivary gland

    Anopheles sundaicus, isolat Plasmodium berghei, darah intrakardial mencit donor

    terinfeksi Plasmodium berghei, Phosphate Buffer Saline (PBS), adjuvan

    aluminum hidroksida, freezing solution, medium plus, medium complete,

    chloroform, alkohol 70%, cat Giemsa, Buffer Giemsa, methanol, aquades, dan

    minyak emersi.

    3.8 Prosedur Penelitian

    3.8.1 Preparasi Kelenjar Saliva

    Pengambilan kelenjar saliva dari nyamuk betina Anopheles sundaicus

    dilakukan dengan metode microdissection di bawah mikroskop. Jumlah kelenjar

    saliva sebanyak 1.500 pasang kelenjar saliva dalam larutan Phosphate Buffer

    Saline (PBS) disimpan pada suhu -20oC.

    3.8.2 Preparasi Hewan Coba

    Empat puluh lima mencit galur BALB/c berusia 6-8 minggu dibagi

    menjadi tiga kelompok. Sebelumnya mencit tersebut diaklimatisasi dahulu selama

  • 29

    1 minggu di kandang mencit Laboratoratorium Zoologi Fakultas MIPA

    Universitas Jember. Masing-masing kelompok berisi 15 ekor mencit. Kelompok

    pertama berperan sebagai kelompok kontrol dan divaksinasi dengan Phosphate

    Buffer Saline (PBS) dicampur dengan adjuvan aluminum hidroksida. Kelompok

    kedua merupakan kelompok perlakuan pellet yang divaksinasi dengan vaksin

    model pelet kelenjar saliva An. sundaicus dicampur dengan adjuvan aluminum

    hidroksida. Kelompok ketiga merupakan kelompok perlakuan supernatan yang

    divaksinasi dengan vaksin model supernatan kelenjar saliva An. sundaicus

    dicampur dengan adjuvan aluminum hidroksida.

    3.8.3 Preparasi Vaksin Model Kelenjar Saliva An. sundaicus dan Vaksinasi

    Isolat kelenjar saliva nyamuk An. sundaicus dalam larutan PBS yang

    sebelumnya disimpan pada suhu -20oC. Melalui proses freez and thaw, isolat

    beku tersebut dicairkan dengan cara dimasukkan ke dalam air mendidih selama 3

    menit. Setelah melalui proses freez and thaw sampel dihomogenisasi dengan

    menggunakan mikropistil sampai homogen. Sampel dikatakan telah homogen

    apabila sudah tampak jernih saat dilihat di bawah mikroskop. Sampel kemudian

    dihomogenisasi untuk kedua kalinya dengan water sonication selama 30 menit.

    Sampel selanjutnya disentrifugasi selama 15 menit dengan kecepatan 14.000 rpm

    pada suhu 4oC untuk memisahkan bagian pellet dan supernatan kelenjar saliva An.

    sundaicus. Pellet dan supernatan hasil sentrifugasi kemudian diambil dengan

    mikropipet dan dimasukkan dalam tabung falcon yang berbeda kemudian

    disimpan pada suhu -20oC. Sebelum vaksinasi masing-masing pellet dan

    supernatan ditambah dengan adjuvan aluminum hidroksida

    Vaksinasi pada mencit dilakukan 3 kali, yaitu Imunisasi I, II, dan III dengan

    interval 2 minggu. Setiap kali vaksinasi, mencit diinjeksi 100 l vaksin dengan

    menggunakan disposible syringe 1 cc secara subkutan di femur bagian luar tepat

    di bawah lapisan kutaneus mencit.

  • 30

    3.8.4 Preparasi Plasmodium berghei

    Isolat Plasmodium berghei (P. berghei) diperoleh dari mencit donor

    melalui proses pasase. Mencit donor ini sebelumnya telah diukur derajat

    parasitemianya hingga mencapai 15 %. Darah dari mencit donor diambil melalui

    proses pembedahan dibagian thorax dilanjutkan dengan pengambilan darah secara

    intrakardial. Pengambilan darah dilakukan dengan menggunakan disposible

    syringe 1 cc yang ditusukkan di jantung. Darah yang diambil kemudian

    dimasukkan dalam vacutainer heparin supaya darah tidak membeku. Darah yang

    diperoleh dicampur dengan larutan PBS sampai diperoleh pengenceran 104.

    Larutan tersebut lalu dimasukkan dalam hemositometer kemudian dihitung jumlah

    eritrositnya (n) di bawah mikroskop dengan perbesaran objektif 40x.

    Karena terdapat pengenceran, maka didapatkan hasil perhitungan jumlah

    eritrosit (a) = n x 104 x 10

    4 . Setelah diperoleh jumlah eritrosit, dihitung

    pengencerannya dengan rumus sebagai berikut:

    Selanjutnya dihitung jumlah darah yang akan diambil dengan rumus:

    Darah yang diperoleh kemudian ditambah dengan medium plus. Campuran

    tersebut tersebut dimasukkan dalam disposable syringe 1 cc dan siap untuk

    diinjeksikan.

    3.8.5 Inokulasi Plasmodium berghei pada Hewan Coba

    Inokulasi (infeksi) P. berghei pada masing-masing kelompok mencit

    donor dilakukan 2 minggu pasca Imunisasi III. Setiap mencit diinjeksi isolat P.

    berghei yang telah diencerkan sebanyak 200 l secara intraperitonial.

    Jumlah Pengenceran =

    Jumlah darah yang diambil =

  • 31

    3.8.6 Penghitungan Derajat Parasitemia

    Penghitungan derajat parasitemia pada mencit BALB/c yang telah

    diinfeksi P. berghei dilakukan 48 jam pasca infeksi yang dilanjutkan dengan

    penghitungan pada hari ke-2 sampai hari ke-7. Sebelum penghitungan, dilakukan

    pembuatan preparat hapusan darah tepi yang berasal dari ekor mencit dengan

    pewarnaan Giemsa. Hapusan darah yang sudah kering kemudian diamati di bawah

    mikroskop Olympus dengan perbesaran objektif 100x menggunakan minyak

    emersi. Derajat parasitemia diukur dengan menghitung jumlah eritrosit terinfeksi

    P. berghei setiap 1000 eritrosit. Adapun rumusnya adalah sebagai berikut:

    Derajat Parasitemia= x 100 %

  • 32

    3.9 Alur Penelitian

    Preparasi Vaksin

    Imunisasi I

    Imunisasi II

    Interval 2 minggu

    Imunisasi III

    Inokulasi P. berghei

    Pengamatan Derajat Parasitemi

    (Hari 2-7)

    Data

    Interval 2 minggu

    Interval 48 jam

    Isolasi kelenjar saliva Anopheles sundaicus

    Interval 2 minggu

    Adjuvan aluminum

    hidroksida + PBS Vaksin Model

    Supernatan Kelenjar

    Saliva An. sundaicus

    Vaksin Model Pellet

    Kelenjar Saliva An.

    sundaicus

    Kelompok

    Kontrol

    Kelompok

    Pellet

    Kelompok

    Supernatan

  • 33

    3.10 Penyajian Data

    Data yang diperoleh dari hasil penelitian dicatat dalam buku catatan (log

    book) dan disimpan dalam komputer. Data ditampilkan dalam bentuk diagram

    kemudian dijelaskan secara diskriptif.

  • 34

    BAB 4. HASIL DAN PEMBAHASAN

    4.1 Hasil penelitian

    4.1.1 Isolasi Kelenjar Saliva Anopheles sundaicus

    Seribu lima ratus pasang kelenjar saliva diisolasi dari nyamuk An.

    sundaicus betina yang didapatkan dari kawasan pantai Kenagarian Sungai Pinang,

    Kabupaten Pesisir Selatan, Sumatera Barat. Isolasi dilakukan dengan metode

    microdissection menggunakan entomological needles. Setiap 50 pasang kelenjar

    saliva dalam larutan PBS dimasukkan dalam tabung eppendorf kemudian

    disimpan pada suhu -20oC. An. sundaicus memiliki sepasang kelenjar saliva yang

    terletak di bagian depan thorax dimana masing-masing kelenjar saliva terdiri atas

    tiga lobus dengan duktus yang bermuara pada salivary pump seperti pada gambar

    4.1. Masing-masing kelenjar saliva terdiri dari 2 lobus lateral dan 1 lobus medial.

    Lobus lateral terdiri dari bagian proksimal dan distal sedangkan lobus medial

    hanya terdiri dari satu bagian.

    Gambar 4.1 Hasil isolasi kelenjar saliva An. sundaicus. PL: proksimal lateral lobe , DL: distal lateral lobe, ML: medial lobe. Mikroskop: KYOWA No.701113

    (perbesaran 100x)

    4.1.2 Preparasi Vaksin dan Vaksinasi

    Isolat kelenjar saliva beku dalam larutan PBS dicairkan dengan cara freez

    and thaw, dihomogenisasi dengan mikropistil dan selanjutnya disonikasi

    Lobus

    Lateral

    Lobus

    Lateral

    Lobus

    Medial

  • 35

    menggunakan water sonication. Sampel selanjutnya disentrifugasi sehingga

    bagian pellet dan supernatan terpisah. Volume pellet hasil sentrifugasi yang

    didapatkan sebanyak 3000 l. Volume supernatan yang didapatkan sebanyak 23,5

    ml. Jumlah supernatan tersebut kemudian disentrifugasi lagi sehingga didapatkan

    volume akhir supernatan sebanyak 3000 l. Sebelum vaksinasi, pellet dan

    supernatan masing-masing ditambah adjuvan aluminum hidroksida dengan

    perbandingan volume 1:1. Vaksin model pellet terdiri dari 800l pellet kelenjar

    saliva ditambah dengan 800l adjuvan aluminum hidroksida untuk setiap kali

    vaksinasi dan selanjutnya diinjeksi pada mencit kelompok perlakuan pellet.

    Vaksin model supernatan terdiri dari 800l supernatan kelenjar saliva ditambah

    dengan 800l adjuvan aluminum hidroksida untuk setiap kali vaksinasi. dan

    selanjutnya diinjeksi pada mencit kelompok perlakuan supernatan. Kelompok

    kontrol diberikan campuran larutan PBS dengan adjuvan aluminum hidroksida.

    Campuran terdiri 800l larutan PBS ditambah dengan 800l adjuvan aluminum

    hidroksida. Proses pembuatan vaksin dilakukan di ruangan steril (laminar).

    Vaksinasi dilakukan sebanyak 3 kali dengan interval waktu untuk setiap

    kali vaksinasi adalah 2 minggu. Vaksin diinjeksi secara subkutan di femur bagian

    luar mencit. Masing-masing volume vaksin model untuk tiap mencit adalah 100l.

    4.1.3 Derajat Parasitemia

    Derajat parasitemia ditentukan dengan cara menghitung jumlah eritrosit

    terinfeksi setiap 1000 eritrosit dan dinyatakan dalam persen (%). Eritrosit

    terinfeksi mengandung satu atau lebih ringform, memiliki dinding yang lebih

    elastis serta ukuran sel yang lebih besar daripada eritrosit normal (Gambar 4.2).

    Penghitungan derajat parasitemia dilakukan 2 kali yaitu dengan ulangan populasi

    dan ulangan individu. Hasil penghitungan persentase derajat parasitemia tiap

    populasi dan tiap individu ditampilkan dalam gambar 4.4 dan 4.5.

  • 36

    Gambar 4.2 Hapusan darah mencit pasca inokulasi Plasmodium berghei. Anak panah

    menunjukkan eritrosit yang terinfeksi parasit.

    Gambar 4.3 Grafik perkembangan derajat parasitemia (%) pada populasi (n=3) dalam

    kelompok. K: Kelompok kontrol; P: Kelompok perlakuan pellet; S: Kelompok perlakuan supernatan.

    -2.00

    0.00

    2.00

    4.00

    6.00

    8.00

    10.00

    12.00

    14.00

    16.00

    18.00

    20.00

    2 3 4 5 6

    Der

    aja

    t P

    ara

    site

    mia

    (%

    )

    Hari ke-

    K

    P

    S

  • 37

    Gambar 4.4 Grafik perkembangan derajat parasitemia (%) dengan ulangan individu. K: individu pada kelompok kontrol; P: individu pada kelompok perlakuan

    pellet; S: individu pada kelompok perlakuan supernatan.

    Berdasarkan kedua grafik di atas semakin hari derajat parasitemia semakin

    meningkat. Hasil pengukuran menunjukkan bahwa pada hari ke-6 kelompok

    perlakuan pellet memiliki kecenderungan derajat parasitemia yang lebih rendah

    dibandingkan dengan kelompok perlakuan supernatan dan kelompok kontrol.

    Sedangkan kelompok perlakuan supernatan mengalami kecenderungan lebih

    rendah dibandingkan dengan kelompok kontrol.

    Besarnya persentase derajat parasitemia kedua grafik diatas cenderung

    tidak sama. Hal ini karena pada grafik ulangan individu data diperoleh dari

    perkembangan derajat parasitemia 1 mencit dari tiap kelompok. Preparat hapusan

    darah dari 1 sampel tersebut dihitung sebanyak 3 kali kemudian dihitung nilai

    rata-ratanya. Penghitungan ulang sebanyak 3 kali pada tiap sampel (individu)

    dilakukan untuk mengoreksi distribusi parasit pada sediaan hapusan darah yang

    cenderung tidak merata. Nilai derajat parasitemia pada ulangan populasi

    merupakan akumulasi dari nilai rata-rata pada 3 individu pada satu kelompok.

    0.0

    2.0

    4.0

    6.0

    8.0

    10.0

    12.0

    14.0

    16.0

    18.0

    20.0

    2 3 4 5 6

    Der

    aja

    t P

    ara

    site

    mia

    (%

    )

    Hari ke-

    K

    P

    S

  • 38

    Grafik ulangan populasi juga menampilkan nilai standar deviasi yang

    menunjukkan ukuran penyebaran data antar sampel tiap kelompok.

    4.2 Pembahasan

    4.2.1 Kelenjar saliva Anopheles sundaicus.

    Isolasi kelenjar saliva dilakukan dengan metode microdissection

    menggunakan entomological needles dibawah mikroskop stereo (Jariyapan et al.,

    2008). Kelenjar saliva yang diisolasi disimpan dalam tabung eppendorf yang

    berisi larutan Phosphat Buffer Saline (PBS). Penggunaan buffer pada

    penyimpanan isolat kelenjar saliva ini berfungsi untuk menjaga agar sel-sel

    kelenjar saliva tidak mengalami destrukturisasi sehingga komponen yang terdapat

    didalamnya tidak mengalami malfungsi dan larut (Desmarais et al., 2002;

    Ghalanbor et al., 2008).

    Anopheles betina mempunyai sepasang kelenjar saliva dan masing-masing

    mempunyai 3 lobus yaitu 2 lobus lateral dan satu lobus medial (Gambar 4.5)

    (Jariyapan et al., 2007).

    Gambar 4.5 Kelenjar saliva Anopheles betina. A: Hasil isolasi kelenjar saliva Anopheles

    sundaicus, B: Hasil isolasi kelenjar saliva Anopheles dirus. PL: proksimal lateral lobe , DL: distal lateral lobe, ML: medial lobe (Sumber: Jariyapan et

    al., 2007)

    Lobus lateral dibagi lagi menjadi regio proksimal dan distal. Setiap lobus

    memiliki duktus di bagian tengah yang dindingnya dilapisi oleh selapis sel epitel

    dan bagian luarnya merupakan lapisan lamina basalis. Duktus dari masing-masing

    B A

    Lobus

    Lateral

    Lobus

    Medial

    Lobus

    Lateral

  • 39

    lobus menyatu dan bermuara di hipofaring. Bagian anterior dari tiap lobus

    diinervasi oleh ganglia ingluvial yang terletak di pertemuan foregut dan midgut

    yang mengatur pengeluaran saliva (Dhar dan Kumar, 2003).

    Saliva Anopheles betina mengandung dua enzim, apyrase dan alfa-

    glocosidase. Enzim ini terakumulasi pada regio distal dan proksimal dari lobus

    lateral. Regio distal dari lobus lateral dibutuhkan nyamuk untuk blood feeding.

    Enzim Apyrase disintesis dan diakumulasi pada regio spesifik tersebut, dari

    kelenjar saliva nyamuk Anopheles betina dan dikaitkan dengan penghambatan

    agregasi platelet yang memfasilitasi blood feeding nyamuk. Enzim ini disekresi

    oleh kelenjar saliva hanya pada saat blood feeding. Sedangkan untuk alfa-

    glucosidase disekresikan hanya pada saat sugar feeding sebagai sugar stablization

    (Jariyapan et al., 2007; James, 2003).

    4.2.2 Vaksin Model Vaksin dan Vaksinasi

    Preparasi model vaksin diawali dengan proses freez and thaw. Freeze and

    Thaw merupakan suatu metode untuk melisiskan sel dengan adanya perubahan

    suhu secara mendadak sehingga membran sel bengkak (swelling) dan kemudian

    pecah menyebabkan protein keluar dari sel (Termo Scientific, 2009). Dalam

    penelitian ini, isolat kelenjar saliva beku dalam suhu -20oC dicairkan dengan cara

    dimasukkan dalam air mendidih selama 3 menit (Hajipirloo et al., 2005). Untuk

    memaksimalkan sel yang lisis guna pengeluaran protein dilakukan homogenisasi.

    Mikropistil merupakan hemogenisator mekanik dimana gerakan memutar pistil

    secara manual menghasilkan gaya mekanik untuk memecah sel-sel tersebut

    sehingga unsur di dalamnya keluar (Murray, 2003). Proses selanjutnya adalah

    sonikasi dengan water sonication. Sonikasi merupakan metode untuk melisiskan

    sel dengan gelombang suara frekuensi tinggi (20-50 kHz). Gelombang suara ini

    menghasilkan energi mekanik yang dapat melisiskan sel. Sampel dalam probe

    direndam dalam air dengan suhu yang rendah untuk mencegah denaturasi protein

    (Thermo Scientific, 2009). Tujuan dari sonikasi menggunakan water sonicator

    adalah untuk menyempurnakan proses homogenisasi kelenjar saliva Anopheles

    sundaicus. Sampel yang telah homogen disentrifugasi untuk memisahkan pellet

  • 40

    dan supernatan. Supernatan yang didapat dari sentrifugasi sebanyak 23,5 ml.

    Volume tersebut mengandung terlalu banyak larutan PBS sehingga perlu

    dipekatkan lagi. Semakin pekat larutan berarti jumlah protein ekstrak kelenjar

    saliva terlarut akan lebih banyak dibandingkan dengan larutan sehingga bisa

    memaksimalkan efek vaksin supernatan yang dibuat. Pemekatan dilakukan

    dengan cara disentrifugasi dengan kecepatan 10.000 rpm selama 2 menit pada

    suhu 4oC. Volume akhir supernatan yang didapatkan dari hasil sentrifugasi

    sebanyak 3000 l. Volume pellet yang didapatkan sebanyak 3000 l.

    Jenis model vaksin yang digunakan dalam penelitian adalah vaksin pellet

    dan vaksin supernatan dari ekstrak kelenjar saliva An. sundaicus dimana keduanya

    mengandung adjuvan aluminum hidroksida. Adjuvan berasal dari bahasa latin

    adjuvare yang berarti membantu atau meningkatkan (Vogel, 1998). Adjuvan

    merupakan substansi bukan antigen yang ditambahkan dalam vaksin (Harold dan

    Stills, 2005). Penambahan adjuvan dalam vaksin berfungsi untuk membantu

    meningkatkan respon imun sehingga meningkatkan efikasi dari vaksin. Sampai

    saat ini banyak adjuvan yang telah ditemukan dan diklasifikasikan dalam

    beberapa golongan diantaranya adalah mineral salt adjuvants (aluminum

    hidroksida dan aluminum phospat), tensoactive adjuvants, bacteria derived

    adjuvants, adjuvants emultions (FIA, FCA, Montanide, Adjuvan 65, Lipovant),

    liposome adjuvant , polymericmicrosphere adjuvants, cytokines as adjuvants, dan

    carbohydrates adjuvants (Petrovsky et al., 2004). Aluminum hidroksida

    merupakan adjuvan yang paling banyak digunakan dalam vaksinasi pada manusia

    maupun hewan selama lebih dari 60 tahun dan menginduksi respon imun ke arah

    Th2. Penggunaan adjuvan ini terutama digunakan dalam vaksinasi pada penyakit

    tetanus, difteri, pertusis, hepatitis A, hepatitis B dan poliomyelitis (Linbland,

    2004). Adjuvan ini bekerja dengan cara merangsang pembentukan granuloma

    kecil yang menyimpan antigen kemudian melepaskannya sedikit demi sedikit

    untuk memperpanjang proses pajanan antigen dengan sistem imun non spesifik

    (innate immunity (Coffmann et al., 2010).

    Pemisahan bagian pellet dan supernatan kelenjar saliva sebagai komponen

    dalam pembuatan vaksin model kelenjar saliva An. sundaicus berhubungan

  • 41

    dengan kandungan protein pada masing-masing bagian pellet dan supernatan.

    Pemisahan kedua bagian tersebut dilakukan dengan cara sentrifugasi yang

    memanfaatkan gaya sentrifugal dan gaya gravitasi. Kecepatan proses

    pengendapan dipengaruhi oleh berat molekul dan bentuk partikel. Semakin besar

    berat molekul yang disentrifuge maka semakin mudah partikel tersebut akan

    mengendap (Yuwono, 2005). Bentuk partikel protein berhubungan dengan

    kelarutan protein tersebut. Protein globular merupakan protein berbentuk bulat

    dengan rantai peptide yang melipat padat dan jenis protein larut dalam air dan

    larutan garam, misalnya albumin, globulin, antibodi, dan hampir semua enzim.

    Protein fibrosa merupakan bentuk protein yang menyerupai serabut dengan rantai

    polipeptida yang memanjang, misalnya kolagen, keratin, fibroin. Umumnya

    protein ini tidak larut dalam air dan larutan garam (Sumardjo, 2009). Sentrifugasi

    mengakibatkan partikel-partikel yang berbeda ukurannya terpisah pada lapisan

    (zone) yang berbeda pada tabung (Yuwono, 2009). Sentrifugasi homogenate sel

    dengan kecepatan antara 10.000-20.000 rpm selama 10 menit menghasilkan

    bagian pellet yang terdiri dari nukleus, komponen tidak larut (insoluble),

    mitokondria, lisosom, peroksisom dan debris sel. Sedangkan bagian supernatan

    mengandung garam, mikromolekul, dan komponen terlarut (soluble) dari

    sitoplasma (Carprette, 1995). Dengan demikian pemisahan bagian pellet dan

    supernatan bertujuan untuk mengetahui potensi dari komponen protein insoluble

    pada pellet dan komponen protein soluble pada supernatan.

    Vaksinasi (imunisasi) yang dilakukan dalam penelitian ini sebanyak 3 kali

    dengan interval setiap kali vaksinasi adalah 2 minggu. Imunisasi I berperan

    sebagai pemicu awal, kemudian diperkuat dengan Imunisasi II dan Imunisasi III

    (booster) untuk memaksimalkan respon imun terhadap antigen dalam vaksin.

    Pada imunisasi I (vaksinasi primer) tubuh akan membentuk respon imun untuk

    mengaktivasi sel B dan sel T. Sel B akan bereplikasi membentuk sel memori yang

    menghasilkan antibodi. Paparan berulang dari antigen vaksin menyebabkan sel

    memori yang dihasilkan lebih banyak sehingga respon imun humoral yang

    terbentuk menjadi lebih kuat (Baratawidjaja, 2009).

  • 42

    Rute vaksinasi pada mencit diberikan secara subkutan di femur bagian

    luar. Pemberian secara subkutan dan intramuskular merupakan rute tersering dan

    terbaik dalam vaksinasi aktif atau pasif. Suntikan secara intravena dapat

    mengurangi respons imun (Baratawidjadja, 2009). Selain itu, injeksi subkutan

    direkomendasikan untuk penggunaan aluminum hidroksida sebagai adjuvan

    karena efek samping yang timbul apabila diberikan secara subkutan sangat

    minimal dibandingkan dengan rute lain (Linbland, 2004). Metode injeksi secara

    subkutan juga didasarkan pada cara nyamuk menggigit inang untuk menghisap

    darah. Saat proses blood feeding nyamuk akan menempelkan probosisnya pada

    kulit inang, menembus connective tissue yang terletak tepat diatas lapisan

    subkutan (Fontaine et al., 2011). Hal ini menyebabkan antigen terpajan oleh sel

    fagosit Langerhans yang berada pada lapisan subkutan sehingga meningkatkan

    interaksi dengan sel-sel kekebalan nonspesifik (Harold dan Stills, 2005).

    Volume vaksin model yang diinjeksikan pada masing-masing mencit

    sebanyak 100L. Hal ini berkaitan dengan rute pemberian vaksin tersebut. 100

    L adalah dosis campuran imunogen dan adjuvan yang direkomend