bab ii dini sp farmasi umm

Upload: eflinora-norma-furqia

Post on 14-Jan-2016

58 views

Category:

Documents


1 download

DESCRIPTION

stroke

TRANSCRIPT

48

BAB IITINJAUAN PUSTAKA2.1 Stroke 2.1.1 Definisi Menurut American Heart Association (AHA), stroke merupakan penyakit yang berhubungan dengan arteri yang menuju ke dan di dalam otak dan terjadi bila pembuluh darah yang membawa oksigen dan nutrisi ke otak diblokir oleh emboli atau clots dan dapat menyebabkan kematian sel. Stroke adalah sindrom yang terdiri dari tanda dan atau gejala hilangnya fungsi system saraf pusat fokal (atau global) yang berkembang cepat (dalam detik atau menit), gejala ini berlangsung lebih dari 24 jam atau menyebabkan kematian (Ginsberg, 2008). Stroke merupakan sindrom defisit neurologik fokal pada sistem saraf pusat (SSP) yang terjadi secara akut, berlangsung lebih dari 24 jam akibat dari gangguan sirkulasi serebral (Aminoff et al, 2009). Stroke juga merupakan penyakit neurologik (saraf) yang sering menyebabkan kecacatan dan kematian sehingga dapat juga di sebut sebagai Cerebrovascular accident (Dewanto et al, 2009). 2.1.2 Epidemiologi Stroke merupakan penyebab kecacatan nomer satu di dunia. Duapertiga stroke terjadi di banyak negara berkembang (Dewanto et al, 2009). Stroke menjadi penyebab kematian nomer dua di dunia dan nomer tiga di Amerika Serikat setelah penyakit jantung dan berbagai jenis kanker. Menurut American Heart Association (AHA), di Amerika Serikat terjadi insiden sekitar 795.000 pasien stroke baru atau berulang dan sekitar 137.000 kematian setiap tahun disebabkan oleh penyakit ini. Sekitar 40% kematian terjadi pada laki-laki dan 60% pada wanita (Goldstein et al, 2011). Data kementrian kesehatan Republik Indonesia (2008) memperlihatkan bahwa stroke merupakan penyebab kematian nomer satu pada pasien yang di rawat di rumah sakit. Berdasarkan riset kesehatan dasar (RISKESDAS) tahun 2007 adalah delapan per seribu penduduk atau 0,8%. Sebagai perbandingan prevalensi stroke di Amerika Serikat adalah 3,4 per persen per 100 ribu penuduk, di Singapura 55 per 100 ribu penduduk, di Thailand 11 per 100 ribu penduduk. Dari jumlah total penderita stroke di Indonesia, sekitar 2,5% atau 250 ribu orang meningggal dunia dan sisanya cacat ringan ataupun berat. Pada 2020 mendatang diperirakan 7,6 juta orang akan meninggal karena stroke (RISKESDAS,2007). Berdasarkan laporan Worldz Health Organization (WHO), pada tahun 1999 diperkirakan 5,54 juta orang meninggal karena stroke. Jumlah ini merupakan 9,5% dari seluruh kematian di dunia. Stroke merupakan penyebab kecacatan yang terjadi pada usia dewasa. Pada tahun 1999, 50 juta orang telah mengalami kecacatan akibat stroke. Jumlah ini merupakan 3,5% dari seluruh penderita cacat. Proyeksi hingga tahun 2020 nanti menunjukkan bahwa setiap tahun, 61 juta orang akan mengalami kecacatan akibat stroke. Dinyatakan pula bahwa sebagian besar (lebih dari 4/5) penderita yang mengalami kecacatan akibat stroke tersebut tinggal di negara yang sedang berkembang (Bahrudin, 2010).2.1.3 Klasifikasi Berdasarkan proses patologisnya, stroke dapat dibedakan menjadi stroke iskemik dan stroke hemorragik (Aminoff et al, 2010). Kejadian stroke yang paling sering terjadi adalah stroke iskemik sebanyak 88% dan 12 % stroke hemorragik (Fagan dan Hess, 2008). Stroke hemorragik Berdasarkan lokasi pendarahannya, dibedakan lagi menjadi subarachnoid hemorragik, intraserebral hemorragik, dan subdural hemorragik. Terjadinya pendarahan dapat disebabkan karena trauma, rupturnya sebuah aneurisma (proses dilatasi fokal suatu arteri karena dindingnya melemah) atau malvormasi arteriovenosa. Pendarahan intraserebral terjadi ketika pembuluh darah pada parenkim otak pecah. Pecahan tersebut dapat menyebabkan terbentuknya hematoma. Hemorragik tipe ini sangat sering terjadi bersamaan dengan tekanan darah tinggi yang tidak terkontrol dan terkadang karena terapi antitrombotik atau trombolitik. Stroke hemorragik meskipun jarang terjadi namun lebih signifikan menyebabkan kematian dibandingkan dengan stroke iskemik (Fagan dan Hess, 2008). Stroke iskemik dapat disebabkan oleh trombosis dan emboli, Duapertiga dari kejadian stroke iskemik disebakan oleh trombosis dan satupertiga sisanya disebabkan oleh emboli. Trombosis banyak terjadi pada pembuluh arteri besar otak terutama pada internal karotid dan basilar, arteri kecil (lakunar stroke), dan vena serebral. Gejala yang ditunjukkan stroke iskemik tidak jauh berbeda dengan Transcient Iskemik Attack (TIAs) karena menyerang pembuluh darah yang sama. Emboli terjadi saat ateri serebral tersumbat karena trombus yang berada di jantung, aorta, dan pembuluh arteri serebral besar. Stroke emboli menyebabkan defisit neurologi dengan onset cepat (Amminoff et al, 2010).

Gambar 2.1 Klasifikasi Stroke (Fagan dan Hess, 2008)2.1.4 Etiologi Stroke IskemikStroke iskemik terjadi akibat pembuntuan arteri oleh adanya thrombus sebanyak 70%, emboli sebanyak 25% dan penyebab lain seperti penyakit hematologik (anemia, leukemia, koagulopati dan abnormalitas kekentalan darah) sebanyak 5%. Thrombus arteri dapat disebabkan oleh satu atau lebih penyebab, antara lain abnormalitas dinding pembuluh darah (penyakit degeneratif, inflamasi atau trauma) yang tersusun dari endotel menyebabkan aktivasi platelet dan terjadi pelekatan platelet membentuk bekuan fibrin. Bekuan fibrin ini akan menghambat bahkan membuntu jalur darah sehingga dapat menyebabkan infark jaringan yang berkembang menjadi stroke iskemik. Sedangkan emboli dikarenakan gumpalan benda asing misalnya, gumpalan darah, lemak dimana dapat menghambat dan membuntu jalur pasokan darah ke otak bila lokasi pembuntuan ada di arteri otak sehingga terjadilah stroke iskemik. Emboli merupakan suatu komplikasi dari penyakit degeneratif atrial yaitu arteroskelosis pada pembuluh darah besar (tromboemboli) ataupun penyakit pembuluh darah kecil (lipohialinosis) (Fagan dan Hess, 2008; Ginsberg, 2008; Rohkamm, 2004).

Gambar 2.2 Etiologi Stroke Iskemik dan Hemorragik (Ikawati, 2009)Terdapat tiga mekanisme utama yang mendasari terjadinya stroke iskemik, mekanisme pertama yaitu terjadinya oklusi pada pembuluh darah intrakranial oleh emboli yang terbentuk di tempat yang jauh dari pembuluh darah otak, misalnya bersumber dari jantung. Sekitar 20% stroke iskemik disebabkan oleh kardioemboli yaitu emboli yang terdapat pada atrium, dinding katup atau katup jantung sinistra. Mekanisme kedua terjadinya stroke iskemik adalah terbentuknya trombosis pada pembuluh darah intrakranial dengan ciri khas adanya penetrasi kecil di arteri yang muncul dari arteri intrakranial mayor. Mekanisme ketiga yaitu terjadinya hipoperfusi yang disebabkan oleh stenosis pada mayor ekstrakranial misalnya pada internal karotis (Smith et al, 2005).Penurunan perfusi sistemik turut berperan memperparah kondisi iskemi. Dalam hal ini aliran darah menuju jaringan otak berkurang dikarenakan rendahnya tekanan perfusi sistemik, umumnya disebabkan oleh kegagalan pompa jantung (pada iskemik miokard atau aritmia dan hipotensi sistemik (akibat blood loss atau hipovolemi). Pada kasus ini penurunan perfusi yang terjadi pada daerah trombosis atau emboli, mempengaruhi otak secara difus (Lumbantobing, 2001; Smith et al., 2005)2.1.5 Patofisiologi Stroke Iskemik

Patofisiologis stroke iskemik dimulai dengan adanya gangguan aliran darah otak yang dapat menyebabkan terganggunya neuron dan sel otak lainnya dan dapat menyebabkan kematian sel apabila aliran darah tidak pulih dengan cepat (Amminoff et al, 2010). Mekanisme patofisiologis iskemik dapat dibagi menjadi 4 tahap, yaitu berkurangnya aliran darah, gangguan metabolik, defisit neurologis reversibel, dan defisit neurologis irreversibel (Rohkamm, 2004).Insufisiensi hemodinamik merupakan proses dimana aliran darah melalui arteri serebral berkurang. Normalnya pembuluh darah otak dapat mempertahankan aliran darah otak (CBF) dari 50-60 ml/100 g jaringan otak / min selama tekanan arteri (MAP) tetap dalam kisaran 50-150mmHg. Jika MAP turun hingga 50 mmHg dan pembuluh darah otak gagal untuk meregulasi, maka akan terjadi penurunan CBF. Mekanisme kompensasi meliputi terjadinya vasodilatasi untuk meningkatkan volume darah ke otak dan CBF (Vaskular reserve). Tingkat cedera otak tergantung pada aliran darah, durasi insufisiensi hemodinamik, dan sensitivitas daerah otak yang terkena (Rohkamm, 2004). Ketika arteri tersumbat secara akut oleh trombus atau embolus, maka area SSP yang diperdarahi akan mengalami infark jika tidak ada pendarahan kolateral yang adekuat. Di sekitar zona nekrotik sentral, terdapat daerah penumbra yang fungsinya bisa pulih jika aliran darah baik kembali (Ginsberg, 2008).

Gambar 2.3 Daerah core dan Penumbra (Crooks, 2011)

Kaskade iskemik neuron adalah serangkaian kejadian yang dipicu oleh berkuranganya pasokan osksigen dan glukosa menuju otak. Hasil akhir kerusakan serebral akibat iskemik adalah kematian sel baik neuron maupun berbagai sel lain dalam otak, seperti sel glia, mikroglia, endotil, eritrosit, dan leukosit. Pada stroke apabila kerusakan yang terjadi ringan, sel otak dapat memperbaiki kerusakan sehingga menutup degradasi dan destruksi sehingga kehidupan dan fungsi sel kembali seperti semula. Tetapi apabila kerusakan cukup berat, proses toksik akan mendominasi dan menyebabkan kematian neuron. Beberapa obat neuroprotektan dapat menekan proses ini dan akan meningkatkan perbaikan seluler selama proses iskemik (Suroto, 2002). Patofisiologi dari stroke meliputi dua proses yang berurutan, yaitu kejadian pada pembuluh darah, komponen darah, jantung (arterotromboemboli), yang menyebabkan penurunan dan perubahan aliran darah serebral, diikuti oleh perubahan kimia selular yang mengarah pada nekrosis dari neuron, glia, dan sel otak lain (Budiarto, 2002). 2.1.6 Kematian Sel Pada Stroke IskemikKematian sel dapat langsung terjadi pada stroke iskemik dengan hilangnya energi secara total dari sel karena terhentinya aliran darah. Beberapa mekanisme yang menjelaskan proses kematian sel pada stroke iskemik adalah peningkatan eksitotoksisitas, kelebihan muatan kalsium intrasel, pembentukan radikal bebas, aktivasi berbagai mediator inflamasi dan sistem imun dijelaskan melalui kaskade iskemik neuron (Misbach, 2011). Saat terjadi iskemia ringan akan terjadi kompensasi berupa pengurangan penggunaan energi dan peningkatan ekstraksi oksigen dan pada iskemia berat akan terjadi metabolisme anaerobik dengan menghasilkan asam laktat, penurunan ATP, pelepasan neurotransmitter (glutamat, aspartat), dan terjadi depolarisasi. Keadaan ini diikuti influks ion kalsium dan natrium, serta efluks ion kalium karena kegagalan pompa ion. Ion kalsium akan mengaktivasi enzim fosfolipase yang memecah fosfolipid dan akan membentuk radikal bebas. Selain itu memacu makroglia membentuk nitrit oksid dan pelepasan sitokin pada daerah infark yang akan menyebabkan kematian sel (Bahrudin dan Setiawan, 2010).

Gambar 2.4 Proses Kematian Sel pada iskemik (Arakawa et al, 2005) A. Kegagalan Suplai EnergiOtak memiliki kecepatan metabolisme yang tinggi, dengan berat hanya 2% dari berat badan dan menggunakan 20% oksigen total dari 20% darah yang beredar. Otak sangat memerlukan oksigen dan glukosa, dimana kebutuhan ini terpenuhi bila aliran darah ke otak normal. Jumlah aliran darah ke otak (CBF) biasanya dinyatakan dalam cc/menit/100gram otak. Nilainya tergantung pada tekanan perfusi otak (cerebral perfusion pressure/CPP) dan resistensi serebrovaskular (cerebrovascular resistance/ CVR). Komponen CPP ditentukan oleh tekanan darah sistemik (MABP) dikurangi dengan tekanan intrakranial, sedangkan CVR ditentukan oleh beberapa faktor yaitu, tonus pembuluh darah otak, struktur dinding pembuluh darah, Viskositas darah (Bahrudin dan Setiawan, 2010; Misbach, 2011).

Pada keadaan normal, aliran darah otak (CBF) dipertahankan oleh suatu mekanisme autoregulasi sebanyak 58ml/100gr/menit dengan mean blood pressure (MABP) antara 50-160mmHg. Mekanisme ini gagal bila terjadi perubahan tekanan yang berlebihan dan cepat atau pada stroke fase akut. Jika MABP kurang dari 50mmHg akan terjadi iskemia dan jika lebih dari 160mmHg akan terjadi gangguan sawar darah otak dan terjadi edema serebri atau ensefalopati hipertensif (Bahrudin dan Setiawan, 2010).

Pada keadaan oksigenasi cukup terjadi metabolisme aerobik dari 1 mol glukosa dengan menghasilkan energy berupa 38 mol ATP yang diantaranya digunakan untuk mempertahankan pompa ion (Na-K Pump), transport neurotransmitter (glutamat, dan lain-lain) ke dalam sel, sintesis protein, lipid dan karbohidrat, serta transfer zat-zat dalam sel. Apabila terjadi oklusi pembuluh darah otak (stroke) maka akan terjadi keadaan iskemia yang menyebabkan oksigen menurun sehingga terjadi metabolisme anaerobik dengan menghasilkan energy 2 ATP dari 1 mol glukosa. Keadaan ini menyebabkan pompa ion tidak berfungsi optimal yang menyebabkan kegagalan pertukaran ion. Kejadian ini memicu terjadinya depolarisasi yang menyebabkan keluarnya neurotransmitter glutamat yang berakhir pada kematian sel (Bahrudin dan Setiawan, 2010).

Gambar 2.5 Ambang Batas Aliran Darah Otak (Misbach, 2011)

Kegagalan pasokan energi juga mengakibatkan hilangnya kontrol homeostatis ion hidrogen. Regulasi pH intraselular juga bergantung energi dan terlibat dalam pertukaran dengan natrium. Kehilangan homeostatis akan memicu terjadinya asidosis intraselular. Asidosis ini berperan penting dalam metabolisme glukosa, memperparah edema dan memicu pembentukan radikal bebas (Widjaja, 2002).B. Apoptosis dan Nekrosis Terdapat dua tipe mendasar dari kematian sel, yaitu apoptosis dan nekrosis. Pada daerah iskemik core, kematian sel sudah terjadi sehingga menyebabkan nekrosis akibat kegagalan supplai energi yang merusak dinding sel beserta isinya sehingga mengalami lisis. Pada daerah penumbra sel neuron masih hidup, tetapi metabolisme oksidatif sangat berkurang serta pompa ion sangat minimal dan mengalami depolarisasi neuronal yang bila terjadi secara berkepanjangan mengakibatkan sel tidak lagi dapat mempertahankan integritasnya sehingga akan timbul kematian sel melalui proses apoptosis. Apoptosis, disebut juga programmed cell death merupakan proses aktif dari perusakan gen yang dilakukan oleh sel itu sendiri secara biologis sebagai fungsi homeostatis (Misbach, 2011).Ischemic cell death merupakan campuran dari nekrosis dan apoptosis. Pada daerah core infarct, neuron mati dengan cepat melalui proses nekrosis sedangkan pada daerah penumbra kematian sel neuron yang terjadi lebih lambat dan banyak dijumpai tanda apoptosis ( Suroto, 2002). C. Peranan Glutamat Pada Stroke IskemikPada jaringan dengan perfusi yang kurang dengan adanya kegagalan energy akan terjadi depolarisasi membran dan pelepasan neurotransmitter eksitatorik, seperti glutamat yang terdapat pada ruangan ekstraseluler, dimana terminal presinap melepaskan glutamat dan konsentrasinya akan meningkat hingga 20 kali lipat (Lakhaan, 2009) . Setelah dilepaskan glutamat dapat ditangkap oleh neuron dan sel glia. Sel glia akan mengubah glutamat menjadi glutamin oleh aktifitas enzim glutamin sintetase. Glutamin dapat dilepaskan dan diambil kembali oleh neuron untuk dihidrolisis menjadi glutamat. Dalam keadaaan normal, glutamat dengan cepat diklirens dari sinapsis dan kadarnya menjadi normal kembali. Pada keadaan iskemik terjadi pelepasan glutamat yang berlebihan dan terdapat adanya keagagalan pengambilan glutamat (Kurniasih, 2002). Penumpukan neurotransmitter di dalam ruangan ekstraseluler menyebabkan proses eksitotoksisitas glutamat (Misbach, 2011). Terdapat dua bentuk reseptor glutamat, yaitu :1. Reseptor metabotropik, dimana reseptornya bergandengan dengan protein G dan memodulasi second messenger dalam seperti Ca dan nukleotid siklik.

2. Reseptor ionotropik, yang terdiri atas reseptor yang mempunyai hubungan langsung dengan saluran ion membran. Reseptor ini terbagi lagi dalam reseptor N-Methyl-D-Aspartate (NMDA), reseptor Alpha-amino-3-hydroxy-5-methyl-4-isoxazole propionate (AMPA) (Suroto, 2002)Ikatan dengan reseptor NMDA dan AMPA yang berlebihan menyebabkan gangguan homeostasis yaitu masuknya ion Na+ dan Ca2+ ke dalam sel melalui kanal ion. Meningkatnya ion Na+ dan Ca2+ juga berakibat masuknya cairan H2O yang berlebihan dan dapat menyebabkan edema toksik serta merupakan faktor penyebab sel lisis. Kejadian ini secara primer ditemukan di daerah infark, sedangkan pada penumbra kematian sel sering terjadi akibat proses apoptosis dan inflamasi (Misbach, 2011).

Gambar 2.6 Pertukaran Ion Pada Reseptor Glutamat (Cull-Candy,2002)Reseptor NMDA merupakan reseptor yang paling banyak teraktifkan pada kejadian iskemik fokal. Reseptor NMDA memiliki kemampuan memasukkan ion Ca2+ dan adanya ion Mg 2+ ekstraseluler yang menutup salauran ion tersebut pada keadaan hiperpolarisasi membran. Saluran ion yang dibentuk oleh reseptor NMDA hanya terbuka bila Mg2+ yang menutupi saluran lepas karena depolarisasi akibat adanya input eksikatori yang cukup besar. Depolarisasi setelah iskemik menyebabkan terbukanya saluran ion pada reseptor NMDA yang mengakibatkan pemasukan ion Ca2+ yang belebihan ke dalam sitoplasma (Suroto, 2002; Cull-Candy,2002).Pada keadaan normal reseptor AMPA yang paling bereaksi terhadap efek glutamat. Tetapi pada waktu transmisi sinaptik berfrekuensi tinggi, aktivasi reseptor NMDA menyebabkan Ca2+ intra seluler bertambah yang merangsang constitutive Nitric Oxide Synthase (cNOS). NO yang terbentuk berdifusi kembali ke neuron presinaptik dan menambah lagi pelepasan glutamat. Pelepasan glutamat yang berlebihan menyebabkan aktivasi yang lebih besar dari reseptor glutamat post-sinaptik dan seterusnya menambah efektifitas sinap tersebut (Cull-Candy, 2002).Akibat stroke, mengakibatkan terjadinya aberrant cell signaling, terjadinya peningkatan kadar kalsium. Masuknya kalsium ke dalam neuron melalui ion channel yang dirangsang oleh aktivasi reseptor glutamat dapat menyebabkan kematian sel (eksitotoksisitas) (Suroto, 2002).D. Radikal bebas

Masuknya Ca2+ yang berlebihan akan memicu berbagai reaksi di dalam sel karena Ca2+ dapat berfungsi sebagai second messenger yang akan mengakibatkan transduksi sinyal intraseluler. Berbagai enzim yang berikatan dengan Ca2+akan teraktifkan secara terus menerus, misalnya : protein kinase-C, phospholipase, phosphatase, nitric oxide sythase, endonuklease, ornitrin dekarboksilase. Enzim-enzim tersebut dapat menyebabkan kematian sel melalui pembentukan radikal bebas (Kurniasih 2002; Lakhan, 2009).Radikal bebas adalah satuan molekul atau atom yang mempunyai elektron tidak berpasangan pada orbital terluarnya. Adanya elektron bebas membuat radikal bebas ini menjadi sangat reaktif. Suatu radikal bebas mudah bereaksi dengan molekul/ atom lain non radikal bebas untuk membentuk radikal bebas baru. Radikal bebas dalam keadaan normal, diproduksi tubuh dalam jumlah yang sedikit sebagai produk metabolisme oksidatif terutama dalam mitokondria. Jenis radikal bebas dalam tubuh terdiri atas radikal bebas oksigen dan radikal bebas oksida nitrit (Kontos, 2001; Misbach, 2011).Kalsium mengaktifkan berbagai proses yang menyebabkan produksi Reactive Oxygen Species (ROS), termasuk pelepasan asam arakhidonat, pembentukan NO, degradasi adenosine, kebocoran electron transport chain (ETC), mengaktifkan fosfolipase termasuk fosfolipase A2 (PLA2) yang memecah fosfolipid. Asam arakhidonat selanjutnya dimetabolisir oleh cyclo-oxygenase dan lipo-oxygenase menjadi prostaglandin dan leukotrien. Pada reaksi akhir ini akan terbentuk anion superoxide, suatu ROS (Kurniasih 2002; Lakhan, 2009).Radikal bebas dapat merusak berbagai molekul yang fungsional dalam sel seperti membran fosfolipid, membran protein, serta asam nukleat. Proses pengrusakan yang ditimbulkan radikal bebas terdiri dari beberapa tahap yaitu :1. Tahap inisiasi, yaitu tahapan yang menyebabkan terbentuknya radikal bebas

2. Tahap propagasi, yaitu tahapan dimana radikal bebas yang terjadi akan menyebabkan terbentuknya radikal bebas yang lain yang kemudian akan menyerang senyawa non radikal lain secara terus-menerus

3. Tahap reaksi terminasi, yaitu tahapan bila terjadi reaksi antara radikal bebas dengan radikal bebas atau radikal bebas dengan senyawa pembasmi radikal (Scavenger) (Soewoto,2002).Pada konsentrasi yang besar, radikal oksigen dapat menyebabkan kematian sel dan kerusakan jaringan. Radikal oksigen juga dapat meningkatkan agregasi platelet serta meningkatkan permeabilitas endotel (Soewoto,2002).

E. GABA (-Amino Butiric Acid) Pada Stroke IskemikKomunikasi intraseluler secara normal bergantung pada keberadaan neurotransmitter serta energi di sinaps. Neurotransmitter ini secara difus akan berinteraksi dengan reseptor di post-sinaptik untuk selanjutnya memberikan respon metabolisme. Neurotransmiter eksikatorik seperti glutamat dan aspartat akan menstimulasi sel post-sinapsis, sementara GABA akan bekerja sebaliknya. GABA merupakan suatu neurotransmiter inhibisi utama dalam tubuh dan juga terdapat pada otak. GABA disintesis dari glutamate dengan bantuan enzim glutamic acid decarboxylase (GAD) dan didegradasi oleh GABA-transaminase. Ada dua jenis resptor GABA yaitu GABAA ionotropik dan GABAB metabotropik. Pelepasan GABA dipengaruhi dengan kadar influks ion kalsium dan GABA juga akan mengurangi pelepasan glutamat melalui aktivasi reseptor presinaptik (Cull-candy, 2002; Misbach, 2011)2.1.7 Faktor Resiko

Berdasarkan AHA guidelines tahun 2011, menerangkan bahwa faktor resiko stroke diklasifikasikan menjadi 2 yaitu : faktor resiko yang tidak dapat diubah dan faktor resiko yang bisa diubah. Faktor resiko merupakan beberapa unsur yang dapat memicu terjadinya stroke iskemik. Faktor resiko yang tidak dapat diubah terdiri dari usia, jenis kelamin, berat badan rendah, dan ras. Sedangkan faktor resiko yang dapat diubah antara lain hipertensi, dislipidemia, deiabetes mellitus, obesitas, merokok dan alkohol, semua itu dapat diubah tergantung pada pola hidup pasien (Goldstein et al, 2011). Tabel II.1 Faktor Resiko Stroke Iskemik

FAKTOR RESIKO STROKE ISKEMIK

Tidak Dapat DiubahDapat DiubahPotensial Untuk Diubah

Usia

Jenis Kelamin

Riwayat keluarga

Ras

Kelahiran Berat Badan RendahHipertensi

Atrial Fibrilasi

Penyakit Kardiovaskular lain

Diabetes

Dislipidemia

Merokok

Alkohol

Stenosis

Sickle cell disease

Postmenopouse therapy

ObesitasOral Kontrasepsi

Migraine

Drugs dan alkohol

Homocystein

(Fagan dan Hess, 2008)2.1.7.1 Faktor yang Tidak Dapat Diubah

A. UmurStroke dianggap sebagai penyakit orang tua, tetapi tingkat insiden untuk stroke anak telah meningkat dalam beberapa tahun terakhir. Meskipun kelompok usia muda (25 sampai 44 tahun) berada pada resiko lebih rendah, beban kesehatan menjadi lebih tinggi karena kerugian yang relatif besar jika stroke terjadi pada usia produktif. Efek kumulatif dari penuaan pada sistem kardiovaskular dan sifat progresif dari faktor resiko selama jangka waktu lama secara substansial meningkatkan resiko stroke, baik stroke iskemik maupun stroke hemorragik intraserebral. Resiko stroke iskemik dan stroke perdarahan menjadi berlipat pada setiap dekade setelah usia 55 tahun (Goldstein et al, 2011).B. Jenis Kelamin

Stroke lebih banyak terjadi pada pria dibandingkan pada wanita. Pada umumnya, pria memiliki rentang usia tertentu dimana resiko stroke lebih besar dibandingkan pada wanita. Ini berlaku pada stroke iskemik dan hemorragik. Terdapat pengecualian pada mereka yang berusia 35-44 tahun dan mereka yang berusia 85 tahun. Faktor-faktor seperti pengunaan kontrasepsi oral dan kehamilan berkontribusi terhadap peningkatan resiko stroke pada wanita usia muda. Pada laki-laki dengan penyakit kardiovaskular memiliki resiko stroke yang relatif lebih besar dibandingkan dengan wanita usia lebih tua (Goldstein et al, 2011).C. Berat Lahir Rendah

Kelahiran berat lahir rendah dapat disebabkan oleh gizi buruk atau masalah kesehatan lainnya. Berdasarkan studi di Carolina selatan, kemungkinan stroke terjadi lebih dari dua kali lipat pada mereka dengan berat badan lahir 3 jam sebelum administrasi Infark > 1/3 arteri otak tengah pada CT Sc Intrakranial Hemorragik

Subarachnoid Hemorragik

Baru saja terkena stroke, kerusakan kepala berat, atau operasi intracranial

Hipertensi tak terkontrol (sistolik > 185 mmHg, diastolic > 110 mmHg) pada saat administrasi

Pendarahan aktif

Seizure saat administrasi

Pendarahan Diatesis (heparin 48 jam, PTT atau INR, Platelet < 100.000) Beberapa deficit neurologis (National Institute of Health Stroke Scale Score > 22) - Mass Effect pada CT atau MRI

(Johnson et al, 2006)2.1.10.2 AntiplateletThe American Heart Association/American Stroke Association (AHA/ASA) merekomendasikan pemberian terapi antiplatelet digunakan sebagai terapi pencegahan stroke iskemik sekunder. Aspirin, klopidogrel maupun extended-release dipiridamol-aspirin (ERDP-ASA) merupakan terapi antiplatelet yang direkomendasikan (Fagan dan Hess, 2008). Sejak tahun 1980-an, aspirin sudah banyak digunakan untuk prevensi sekunder dari infark otak dan jantung dan menurunkan jumlah resiko kematian. Pemakaiannya aspirin lebih menguntungkan dibandingkan antikoagulan karena mekanisme kerjanya lebih cepat dan dosis mudah diregulasi (Tan Hoan Tjay, 2010). Aspirin bekerja sebagai antiplatelet dengan cara menghambat pembentukan enzim siklooksigenase sehingga menghambat sintesis tromboxan A2 yang bertugas dalam agregasi platelet yang berpotensi dalam pembentukan thrombus (Sweetman, 2009).Klopidogrel merupakan prodrug salah satu derivat piridin yang di hati akan dimetabolisme menjadi k.l 15% metabolit thiolnya yang aktif. Klopidogrel digunakan sebagai prevensi sekunder pada serangan Stroke iskemik, apabila terdapat hipersensitivitas terhadap asetosal (Tan Hoan Tjay, 2010). The American College of Chest Physicians (ACCP) dan para klinisi lebih menyukai klopidogrel sebagai alternatif penggunaan asetosal untuk mencegah kardiovaskular pada pasien yang mendapat antiplatelet profilaksis (McEvoy, 2008).Dipiridamol berkhasiat menghambat agregasi platelet dan adhesinya pada dinding pembuluh. Mekanisme kerjanya berdasarkan inhibisi fosfodiesterase, sehingga cAMP (daya menghambat agregasi) tidak diubah dan kadarnya dalam trombosit meningkat (Tan Hoan Tjay, 2010). Dua penelitian di Eropa telah menunjukkan manfaat kombinasi asetosal dan dipiridamol Hasil studi menunjukkan bahwa kombinasi mengurangi resiko gabungan dari stroke dan kematian sebesar 33% dan resiko stroke sebesar 38%. Komplikasi pendarahan jarang terjadi pada pasien yang menerima dypiridamol lepas lambat dan asetosal (Koda-Kimble, 2009).2.1.10.3 AntikoagulanAntikoagulan adalah obat yang digunakan untuk mencegah adanya bekuan darah dengan jalan menghambat pembentukan atau menghambat fungsi beberapa faktor pembekuan darah. Antikoagulan digunakan untuk mencegah dan meluasnya thrombus dan emboli. Antikoagulan oral dan heparin menghambat pembentukan fibrin dan digunakan sebagai profilaktik untuk mengurangi insiden tromboemboli terutama pada vena. Pada trombus yang sudah terbentuk, antikoagulan hanya mencegah membesarnya thrombus dan mengurangi kemungkinan terjadinya emboli, tetapi tidak memperkecil thrombus (Dewoto, 2009).Secara umum, pemberian heparin, LMWH atau heparinoid setelah stroke iskemik tidak direkomendasi karena pemberian antikoagulan (heparin, LMWH, atau heparinoid) secara parenteral meningkatkan komplikasi perdarahan yang serius. Penggunaan warfarin direkomendasikan baik untuk pencegahan primer maupun sekunder pada pasien dengan atrial fibrilasi. Penggunaan warfarin harus hati-hati karena dapat meningkatkan resiko perdarahan. Oleh karena itu perlu monitor INR paling sedikit 1 bulan sekali (INR = 2 -3). Pemberian antikoagulan rutin terhadap pasien stroke iskemik akut dengan tujuan untuk memperbaiki outcome neurologic atau sebagai pencegahan dini terjadinya stroke ulang tidak direkomendasi (Koda-Kimble, 2009).Penggunaan warfarin dalam pencegahan sekunder stroke nonkardioemboli tidak lebih baik dari asetosal 325 mg/hari dalam pencegahan berulangnya kejadian stroke. Pada penelitian lain menunjukkan bahwa penggunaan asetosal lebih aman pada stroke dengan stenosis intrakranial yang bersumber dari kardioemboli, terutama di atrium (Fagan dan Hess, 2008).2.1.10.4 Antihipertensi

Hipertensi merupakan satu dari beberapa farktor resiko stroke iskemik. Penatalaksanaan hipertensi yang tepat pada stroke akut sangat mempengaruhi morbiditas dan mortalitas stroke (PERDOSSI, 2004). Pada orang normal terdapat suatu sistem autoregulasi arteri serebral yang mengatur spasme pembuluh darah. Bila tekanan darah sistemik meningkat, pembuluh serebral menjadi vasospasme (vasokonstriksi). Sebaliknya, bila tekanan darah sistemik menurun, pembuluh serebral akan menjadi vasodilatasi. Batas atas tekanan darah sistemik yang masih dapat ditanggulangi oleh autoregulasi ialah 200 mmHg untuk tekanan sistolik dan 110-120 mmHg untuk tekanan diastolik (Katzung, 2007).

Pada penderita stroke iskemik akut tekanan darah diturunkan sekitar 20-25% dari tekanan arterial rerata dan tindakan selanjutnya ditentukan kasus per kasus. Tekanan arterial rerata merupaakan tekanan darah sistolik ditambah dengan dua kali darah diastolik dibagi tiga. Pada penderita dengan tekanan darah diastolik >230mmHg atau tekanan darah diastolik 121-140mmHg, maka dilakukan pemberian labetalol i.v selama 1-2 menit. Dosis labetalol dapat digandakan setiap 10-20 menit sampai penurunan tekanan darah yang memuaskan dapat dicapai atau sampai dosis kumulatif 300mg. setelah dosis awal, labetalol dapat diberikan setiap 6-8 jam bila diperlukan (PERDOSSI, 2004).

Jika tekanan darah sistolik 180-230mmHg dan atau tekanan darah diastolik 105-120mmHg, terapi antihipertensi harus ditunda kecuali adanya bukti pendarahan intraserebral, gagal ventrikel jantung kiri, infark miokard akut, gagal ginjal akut, edema paru, diseksi aorta, ensefalopati hipertensi dan sebagainya. Jika tekanan darah tetap tinggi pada dua kali pengukuran dengan selang 60 menit maka dapat diberikan labetalol 200-300mg 2-3 kali sehari. Selain labetalol dapat digunakan nifedipin oral 10mg setiap 6 jam atau 6,35-25mg kaptopril setiap 8 jam (PERDOSSI, 2004).

A. Diuretik

Diuretik adalah zat-zat yang dapat memperbanyak pengeluaran kemih (diuresis) melalui kerja langsung terhadap ginjal. Diuretik meningkatkan pengeluaran garam dan air oleh ginjal hingga volume darah dan tekanan darah menurun. Efek hipotensifnya relatif ringan dan tidak meningkat dengan memperbesar dosis. Obat-obat ini bekerja khusus terhadap tubulus, yakni di tubulus proksimal, lengkungan henle, tubulus distal, dan saluran pengumpul (Tjay dan Raharja, 2010).

Pada umumnya, diuretik dibagi dalam beberapa kelompok, yaitu diuretik kuat, diuretik thiazide, diuretik hemat kalium, diuretik osmotik, dan diuretik karbonanhidrase (Tjay dan Raharja, 2010). Diuretik thiazid banyak digunakan pada pasien hipertensi dengan fungsi ginjal dan jantung yang normal. Diuretik kuat memiliki efek natriuresis besar dan hanya digunakan bila diuretik thiazid tidak efektif dan dikontraindikasikan pada penderita. Diuretik hemat kalium berguna baik untuk menghindari deplesi kalium yang berlebihan, terutama pada pasien yang memakai digitalis, dan umumnya digunakan dalan bentuk kombinasi dengan diuretik thiazid atau loop diuretik untuk mengurangi ekskresi kalium atau mencegah hipokalemia (Katzung, 2007).

B. -Blocker

Zat-zat ini memiliki khasiat utama sebagai anti adrenergik dengan jalan bersaing untuk menempati reseptor -adrenergik. Blokade reseptor ini mengakibatkan peniadaan atau penurunan kuat aktivitas adrenalin dan noradrenalin. Reseptor- terdapat dalam dua jenis, yakni 1 dan 2. Reseptor 1 terdapat di jantung (juga di SSP dan ginjal), blokade reseptor ini mengakibatkan efek ionotrop negatif, bradikardi, dan hipotensi. Reseptor 2 terdapat di bronkus (juga di dinding pembuluh dan usus), blokade reseptor ini mengakibatkan efek spasme pada bronkus dan hipoglikemia (Tjay dan Raharja, 2010).

Golongan -blocker terbagi menjadi 2 sub kelas, yaitu -blocker kardioselektif (selektif reseptor 1) yaitu atenolol, asebutolol, metoprolol, bisoprolol, celiprolol dan -blocker non-kardioselektif (reseptor -1 dan -2) yaitu cardevilol, propanolol, labetalol, dan pindolol. Beta bloker digunakan pada terapi angina, baik angina stabil maupun angina tidak stabil, dapat menurunkan resiko mortalitas pada fase akut infark miokard dan setelah periode infark dan juga pilihan terapi untuk kondisi lain seperti hipertensi, aritmia serius dan kardiomiopati. Dosis awal dari beta bloker umumnya kecil dan pelan-pelan dinaikkan sampai dosis target, peningkatan dosis tergantung pada penderita. Kontraindikasi harus diawasi, seperti asma bronchial, severe bronchial disease, bradikardia simptomatik, dan hipotensi (Tjay dan Raharja, 2010).C. ARB (Angiotensin Reseptor Blocker)

Angiotensin reseptor bloker merupakan antagonis kompetitif dari angiotensin II pada reseptor AT1, yang menyebabkan penurunan resistensi perifer tanpa adanya reflek peningkatan denyut jantung dan menurunkan kadar aldosteron. ARB tidak menimbulkan efek bradikin yang menyebabkan munculnya efek samping batuk seperti pada penggunaan ACEI (Fagan dan Hess, 2008). Zat ini lebih efektif dibandingkan dengan ACEI karena jalur kedua melalui enzim chymase juga dihambat. Dengan demikian efek-efek angiotensin II diblokir seperti peningkatan tekanan darah, ekskresi kalium, retensi natrium dan air. Zat-zat ini menimbulkan vasodilatasi (terutama dari pembuluh nadi), penekanan aktivitas RAAS yaitu penurunan produksi aldosteron yang mengakibatkan bertambahnya ekskresi natrium dan air serta berkurangnya ekskresi kalium. Golongan ARB terdiri dari antara lain losaartan, valsartan, irbesartan, candesartan dan olmesartan (Tjay dan Raharja, 2010).D. CCB (Calcium Channel Blocker)

Kalsium merupakan elemen penting untuk kontraksi semua otot sel. Kalsium bebas juga perlu untuk pembentuka impuls AV jantung. Kadar ion kalsium di luar sel adalah beberapa ribu kali lebih besar dibandingkan dengan di dalam sel. Pada hal-hal tertentu seperti terjadinya rangsangan, dapat menyebabkan terjadinya depolarisasi membran sel yang menyebabkan membran permeabel bagi ion Ca2+ sehingga banyak ion Ca2+ yang melintasi membran dan masuk ke dalam sel. Antagonis kalsium menghambat pemasukan ion Ca2+ ke dalam sel sehingga dapat mengurangi penyaluran impuls dan kontraksi miokard serta dinding pembuluh. Senyawa ini tidak mempengaruhi kadar ion Ca2+ di plasma (Tjay dan Raharja, 2010).

Antagonis kalsium dibagi menjadi dua subkelas, yaitu dihydropyridin dan non-dihydropyridin. Dihydropyridin mempengaruhi baroreseptor dengan refleks takikardia karena efeknya yang kuat mengakibatkan vasodilatasi perifer, yaitu nifedipin, amlodipin, nikardipin, dan nimodipin. Dihydropyridin tidak mempengaruhi konduksi nodal atrioventrikular dan tidak efektif pada supraventrikular takiaritmia, sedangkan non-dihydropyridin menyebabkan penurunan heart rate dan memperlambat konduksi nodal atrioventrikular. Non-dyhidropyridin seperti verapamil bekerja terhadap jantung (menurunkan frekuensi dan daya kontraksi, memperlambat penyaluran AV) dan terhadap system pembuluh (vasodilatasi). Diltiazem memiliki efek seperti verapamil tetapi efek ionotropik negatifnya lebih ringan. Kedua senyawa ini lebih lemah bila dibandingkan dengan golongan dihydropyridin sehigga lebih banyak digunakan pada angina daripada sebagai obat hipertensi (Fagan dan Hess, 2008).E. ACE-Inhibitor

ACE inhibitor bekerja dengan menghambat enzim pengkonversi peptidyl dipeptidase yang menghidrolik angiotensin I ke angiotensin II dan menyebabkan inaktivasi baradikinin, suatu vasodilator kuat yang bekerja dengan cara menstimulasi rilis nitrit oksid dan prostasiklin. Aktifitas hipotensi terjadi baik pada hambatan system renin angiotensin maupun efek stimulus pada system kinin-kallikrein. ACE inhibitor menghambat degradasi bradikinin dan merangsang sintesa zat-zat yang menyebabkan vasodilatasi, termasuk prostaglandin dan prostasiklin. Peningkatan bradikinin meningkatkan efek penurunan tekanan darah dari ACEI, tetepi juga berperan terhadap efek samping batuk kering yang sering dijumpai pada penggunaan ACEI. ACEI secara efektif mencegah dan meregresi hipertrofi ventrikel kiri dengan mengurangi perangsangan langsung oleh angiotensin II pada sel miokardial (Katzung, 2007).

Tekanan darah tinggi sangat berkaitan dengan resiko stroke ulangan. JNC7 dan AHA/ASA merekomendasikan penggunaan ACE inhibitor dan diuretik untuk pengurangan tekanan darah pada pasien stroke atau TIA. Menurunkan tekanan darah pada periode stroke akut (7 hari pertama) dapat mengakibatkan penurunan aliran darah serebral dan memperburuk gejala, oleh karena itu penggunaan obat ini terbatas hanya pada pasien yang telah melalui periode stroke akut (Fagan dan Hess, 2008).2.1.10.5 Neuroprotektan

Seperti yang telah dijelaskan pada kaskade iskemik, keadaan iskemik akan menyebabkan pelepasan dari glutamat, suatu neurotransmitter perangsang alami (exitatory amino acid) yang bekerja sebagai neurotoksin endogen. EAA inilah yang menyebabkan berbagai kejadian molekular terkait iskemik, antara lain influks pasif ion Ca2+ dan free radical scavenger (Suroto, 2002). Neuroprotektan bekerja dengan melindungi sel neuron dari kematian akibat stroke iskemik akut. Beberapa diantaranya adalah penghambat kanal kalsium ( nimodipin), Antagonis reseptor Glutamat (Aptiganel, selfotel, srestat, magnesium), agonis GABA (klomethiazol), penghambat peroksidasi lipid (trilizad, antibody anti-ICAM-1 (enlimobab), dan aktivator metabolik (Pirasetam, sitikolin). Pemberian neuroprotektan diharapkan dapat menurunkan angka kecacatan dan kematian pada pasien stroke iskmeik (McEvoy,2008).Tabel II.5 Obat Neuroprotekan pada iskemik Stroke dan Hasil Trial

MekanismeObatHasil*

Glutamate Reseptor Antagonis

NMDA Antagonis

AMPA AntagonisSelfotel (CGS19755)

Eliprodil

Aptiganel (Cerestat, CNS1102)

MgSO4 (IMAGES)

MgSO4 (FAST-MAG)

YM872Complete / No benefit

Halted / No benefit

Complete / No benefit

Complete / No benefit

Ongoing

Ongoing

Ion Channel Modulator

Calcium Channel Blocker

Sodium Channel Blocker

Potassium Channel Activator Nimodipine

Flunarizine

Fosphenytoin

Maxipost (BMS-204352)Complete / No benefit

Complete / No benefit

Complete / No benefit

Complete / No benefit

Free Radical Scavenger

NXY-059

Tirilazad (U70046F)

EbselenEdaravoneComplete / Benefit on preliminary analysis

Complete / No benefit

Complete / Benefit on ITT analysisComplete / Benefit

Anti Inflammatory Agents

Anti-Leukocyte Antibody

Enlimomab

LeukArrest (9Hu23F2G)

Neutrophil Inhibiting Factor (ASTIN)Complete / Worsening

Halted / No benefit

Complete / Worsening

(Arakawa et al, 2005)* Jalannya penelitian dan hasil penelitian, contoh complete/no benefit dimaksudkan bahwa penelitian sempurna atau complete tetapi hasilnya tidak memuaskan atau tidak ada manfaatA. SitikolinSitikolin Pertama kali ditemukan oleh kennedy pada tahun 1955 dan disintesis pada tahun 1956 dan telah dipelajari di eropa, jepang dan amerika selama beberapa dekade. Sitikolin digunakan sebagai terapi pada kerusakan neuorologi di banyak negara dan dipasarkan sebagai supplemen di amerika serikat (Doijad et al, 2012).

Gambar 2.7 Struktur Kimia sitikolin (Sweetman, 2009)Sitikolin merupakan turunan senyawa kolin dan cystidin yang berperan dalam biosintesis lesitin. Sitikolin berperan meningkatkan aliran darah dan oksigen di otak dan telah digunakan secara intravena dan intramuscular injeksi untuk pengobatan gangguan serebrovaskular, parkinson, dan cedera kepala (Sweetman, 2009). Sitikolin merupakan suatu asetilkolin prekursor yaitu pirimidin 5-nukleotida sebagai prodrug yang nantinya akan terdisosiasi menjadi kolin dan cystidin. Sitikolin adalah kompleks molekul organik yang berfungsi sebagai perantara dalam biosintesis membran sel fosfolipid yaitu fosfatidilkolin yang disebut jalur sintesis kennedy pathway (Fernandez-Murray and McMaster 2005).

Gambar 2.8 Kennedy Pathway Biosintesis Fosfatidilkolin (Vance et al, 2007)Mekanisme Kerja

Sitikolin bekerja memperbaiki membran sel dengan cara menambah sintesis phosphatidylcholine dan mengurangi kadar asam lemak bebas serta meningkatkan sintesis asetilkolin yang merupakan neurotransmitter yang penting untuk fungsi kognitif (Widjaja, 2002). Jalur metabolisme sitikolin terdiri dari tiga tahap yaitu yaitu (1) sintesis phospolipid dari phosphorylcholine , (2) sintesis asetilkolin, (3) oksidasi sebagai pendonor gugus metil (Doijad et al, 2012). Sementara pada tingkat vaskular sitikolin dapat meningkatkan aliran darah menuju ke otak, meningkatkan konsumsi O2, menurunkan resistensi vaskular, menurunkan pembentukan asam laktat, mempercepat pembentukan asetilkolin dan menghambat radikalisasi asam lemak dalam keadaan iskemia (Baozier et al., 2004).Berdasarkan studi metaanalis pada hewan yaitu tikus, menunjukkan bahwa penggunaaan sitikolin dapat memperbaiki fungsi neurotransmitter struktur lipid pada sel (Fioravanti dan Buckley, 2006). Pada penelitian yang dilakukan pada 39 Tikus yang diberikan injeksi 250mg/kg sitikolin memberikan efek yang lebih baik dalam mencegah terjadinya kerusakan sel otak dibandingkan dengan plasebo. Studi itu menunjukkan bahwa konsentrasi MDA (melanoyldialdehyde) pada tikus yang diberi sitikolin lebih kecil dibandingkan dengan tikus plasebo. Pemberian sitikolin tersebut meningkatkan pembentukan glutathione yang merupakan antioksidan endogen otak terhadap radikal bebas hydrogen peroksida dan lipid peroksida yang dapat mengurangi stress oksidatif (Menku et al, 2010).Studi pada 1.372 pasien stroke iskemik akut yang diberikan sitikolin menunjukkan bahwa sitikolin memungkinkan untuk memulihkan kerusakan neuron setelah tiga bulan apabila diberikan dalam waktu 24 jam setelah serangan stroke (Davalos, 2002; Rao et al 2006). Berdasarkan penelitian pada 814 pasien serebrovaskular dilihat dari aspek tingkah laku menunjukkan efek signifikan peningkatan efek kognitif dibandingkan dengan plasebo (Fioravanti and Buckley, 2006).

Gambar 2.9 Biosintesis Sitikolin (Doijad et al, 2012)FarmakokinetikSitikolin merupakan senyawa yang mudah larut dalam air dan memiliki bioavailabilitas lebih dari 90%. Absorpsi sitikolin untuk pemakaian oral baik dengan ekskresi kurang dari 1% melalui tinja. Kadar puncak telihat dalam waktu 1 jam dan semakin besar setelah 24 jam pemakaian. Proses metabolisme terjadi pada hati dan terhidrolisis di dinding usus menjadi kolin dan cytidin. setelah diabsorpsi kedua zat tersebut digunakan untuk berbagai jalur biosintesis, melewati sawar darah otak yang kemudian di resintesis kembali menjadi sitikolin melalui cytidin triphosphat atau monophosphat oleh enzim cytidin triphosphat phosphocolin transferase. Sitikolin diekskeresi melaui saluran pernapasan dan saluran kencing. Sitikolin menunjukkan kadar puncak biphasik yaitu setelah puncak awal diikuti dengan penurunan konsentrasi selama 4-10 jam, dan kadar puncak kedua terlihat setelah 24 jam diikuti dengan proses eliminasi. Waktu paruh sitikolin 56 jam untuk ekskresi melalui pernapasan dan 71 jam melalui saluran kemih (Conant et al, 2004; Doijad et al, 2012).Dosis

Diberikan dalam 24 jam sejak awal stroke. Penggunaan untuk stroke iskemik 250-1000mg/hari secara i.v dalam dosis terbagi 2-3 kali sehari selama 2-14 hari, untuk stroke hemorragik 150-200mg/hari secara i.v dalam dosis terbagi 2-3 kali sehari selama 2-14 hari. Secara peroral digunakan 200-600mg/hari dalam dosis terbagi (PERDOSSI, 2004; Sweetman, 2009).

Efek Samping Obat

Sitikolin memiliki profil toksisitas yang sangat rendah pada hewan dan manusia. Secara klinis, dosis 2000mg per hari telah diamati dan disetujui. Efek samping sementara yang langka dan paling sering terjadi adalah rasa sakit perut dan diare (Conant et al, 2004).Sediaan Obat di Pasaran Tablet 100mg; 250mg; 500mg, Injeksi 100 mg/2mL; 250 mg/2ml; 500mg/4ml; 1000 mg/8 ml. Brainact, Bralin, Lancolin Ampul, Lancolin Tablet, Neulin, Neuciti, Nicholin, Serfac, Soholin, Takelin (Direktorat Bina Farmasi-DEPKES).B. PirasetamPirasetam ditemukan pada tahun 1967, diklasifikasikan sebagai obat nootropik dan digunakan pada terapi dementia, alzheimer, dan penyakit neurologi yang lain. Pirasetam mudah larut dalam air, memiliki inti pyrrolidon dengan struktur kimia seperti pyroglutamat. Berdasarkan struktur kimia pirasetam memilki susunan nama 2-oxo-1-pyrrolidinacetamid (Doijad et al, 2012).

Gambar 2. 10 Struktur Kimia Pirasetam (Sweeetman, 2009)2-Oxo-1-pyrrolidinacetamid telah digunakan bertahun-tahun sebagai cognition enhancing agent yaitu digunakan sebagai obat yang merangsang peningkatan efek kognitif. Efek pirasetam pada daerah vaskular adalah meningkatkan aliran darah dan metabolisme glukosa di daerah yang terkena infark dan pada daerah penumbra sehingga dapat meningkatkan fungsi kognitif dalam berbahasa pada pasien stroke dengan aphasia. (Wheble et al, 2008).Berdasarkan studi metaanalisis menggunakan hewan sebagai model stroke dengan pengobatan pirasetam menunjukkan bahwa efek nootropik pada pirasetam menurunkan volume infark sebanyak 30,2% dan tidak memiliki efek pada obat nootropik yang lain (levetiracetam, oxiracetam and GVS-111). Sebuah analisi post-hoc dari The Piracetam Acute Study menyarankan bahwa pirasetam memiliki efek yang menguntungkan dalam pengobatan jika diberikan dalam rentang waktu 7 jam dari onset stroke. Studi pada 98 model hewan menunjukkan efek neuroprotektif pada serangan iskemik cerebral (Wheble et al , 2008). Berdasarkan double-blind placebo-controlled study penggunaan pirasetam pada 24 pasien post stroke aphasia didapatkan bahwa pirasetam meningkatkan kemampuan berbahasa (pidato, pemahaman, dan penamaan bahasa) dan komunikasi verbal (Kessler et al,2000).Mekanisme Kerja

Mekanisme kerja pirasetam tidak diketahui secara pasti. Pirasetam melindungi kerusakan sel otak dengan mencegah terjadinya hipoksia, mencegah terjadinya agregasi platelet dan menurunkan viskositas darah pada dosis tinggi. Diperkirakan obat ini pada level neuronal berikatan pada membran sel (pilar head of the phospholipid), memperbaiki integritas sel, memperbaiki fluiditas membran, serta memperbaiki neurotransmisi. Sementara pada level vaskular pirasetam dapat meningkatkan deformabilitas eritrosit, sehingga aliran darah meningkat, juga mengurangi hiperagregrasi platelet dan memperbaiki mikrovaskularisasi (Baozier et al, 2004; Sweetman, 2009).Pirasetam mempengaruhi fungsi neuron, vaskular dan fungsi kognitif tanpa berperan sebagai sedatif atau stimulant. Pirasetam berperan sebagai modulator alosterik positif untuk reseptor AMPA. Hal ini diduga berperan dalam memodulasi kanal ion (Na+, K+) tidak spesifik dalam eksitasi neuron. Pirasetam meningkatkan aliran darah, konsumsi oksigen dengan meningkatkan metabolisme ATP, meningkatkan aktifitas adenylate kinase dan meningkatkan fungsi neurotransmitter asetilkolin melalui reseptor muskarinik yang berperan dalam proses peningkatan daya ingat. Selain itu, pirasetam mungkin memiliki efek pada reseptor NMDA yang berperan dalam proses pembelajaran dan memori. Pirasetam secara signifikan meningkatkan aliran darah dan diaktifkan memfasilitasi rehabilitasi post stroke aphasia pasien (Kessler et al, 2000 ; Wheble et al, 2008; Doijad et al, 2012).FarmakokinetikaPirasetam bersifat Water Soluble dan hampir 100% diabsorpsi pada pemberian oral. Peak efek terlihat sekitar 1,5 jam stelah pemberian dan memilik waktu paruh eliminasi 5-6 jam. Pirasetam mudah melewati blood brain barier, plasenta dan terdistribusi melalui air susu ibu. Pirasetam diekskresi melalui urin secara utuh lebih dari 98% (Sweetman, 2009).DosisPenggunaan pada stroke untuk pemberian pertama 12 gram perinfus habis dalam 20 menit, dilanjutkan dengan 3 gram bolus intravena per 6 jam atau 12 gram/24 jam dengan drip kontinyu sampai dengan hari ke 4. Hari ke 5 sampai dengan akhir minggu ke 4 diberikan 4,8 gram 3 kali perhari peroral. Minggu ke 5 sampai 12 diberikan 2,4 gram 2 kali sehari peroral. Pada pasien dengan gangguan fungsi ginjal ringan sampai sedang, maka dosis harus dikurangi (PERDOSSI, 2004; Sweetman, 2009).Sediaan Obat di Pasaran Tablet 800 mg, 1200 mg. Ampul: 3 g, Larutan 20% 125 ml, 33% 125 ml.

Benocetam, Cetoros, Cephamed, Ciclobrain, Encebion, Ethopil, Gotropil, Ineuron, Latropil, Lutrotam, Mersitropil, Neurocet, Neurota, Neurotam, Pratropil, Primatam, Procetam, Resibron, Revolan, Scantropil, Sotropril, Tropilex, Zetropil (Direktorat Bina Farmasi-DEPKES).C. CCB (Calcium Channel Blocker) Kalsium berperan pada patofisiologi pada iskemik otak dan serangan jantung. Pada otak, antagonis kanal kalsium berperan dalam mengurangi intake kalsium ke dalam neuron sehingga bermanfaat untuk mencegah kerusakan pada serangan iskemik. Nimodipin memiliki nama kimia 1,4-dihydropyridine merupakan antagonis kanal kalsium yang memiliki efek neurologis dan dapat memvasodilatasi pembuluh darah serebral. Pada pasien hemorragik subarachnoid, nimodipin terbukti mengurangi defisit neurologis dan vasospasme Serebral (Ginsberg, 2008).

Gambar 2.11 Struktur Kimia Nimodipin (Sweetman,2009)Mekanisme KerjaNimodipin merupakan Antagonis kanal kalsium turunan dihidropiridin berfungsi sebagai vasodilator yang digunakan dalam pengobatan angina, hipertensi, penyakit kardiovaskular yang lain, dan digunakan pada stroke hemorragik dan iskemik karena dapat melancarkan peredaran darah (Sweetman, 2009).

Efek SampingEfek samping yang sering terjadi akibat kompensasi dari fungsi vasodilatasi adalah pusing, takikardi, jantung sering berdebar, hipotensi, edema perifer, myalgia, tremor, dan impotensi. Pada saluran pencernaan dapat menyebabkan mual, muntah dan juga gangguan penglihatan. Reaksi hipersensitivitas jarang terjadi dan dapat menyebabkan eritema kulit. Nimodipin bersifat terratogenik pada hewan (Sweetman, 2009).FarmakokinetikNimodipin diserap dengan mudah melalui saluran pencernaan melalui pemberian oral tetapi mengalami first pass metabolism di hati. Bioavailabilitas nimodipin adalah 13% dengan konsentrasi obat lebih dari 955 terikat pada protein plasma. Metabolisme nimodipin terjadi di hati dan ginjal dan hampir seluruh metabolit dikeluarkan dalam bentuk tinja dan urin. Waktu paruh sekitar 9 jam (Sweetman, 2009).DosisPada serangan iskemik otak, untuk pengobatan defisit neurologis digunakan infuse intravena nimodipin melalui bypass ke vena sentral. Dosis awal yang diberikan adalah 1mg/jam selama 2 jam dan dapat ditingkatkan (selama tidak terjadi penurunan tekanan darah yang parah) sampai 2 mg/ jam. Dosis awal harus dikurangi menjadi 500 mikrogram / jam, atau bahkan lebih rendah jika perlu, pada pasien dengan berat kurang dari 70 kg dan pada mereka dengan tekanan darah tidak stabil. Penurunan dosis juga ditujukan pada pasien dengan gangguan fungsi hati dan tekanan darah harus dimonitor. Pengobatan harus dimulai sesegera mungkin dan dilanjutkan selama setidaknya 5 dan tidak lebih dari 14 hari.jika pasien telah menerima nimodipin oral, total durasi penggunaan nimodipin tidak boleh melebihi 21 hari (Sweetman, 2009).D. N-methyl-D-aspartate (NMDA) Receptor Antagonists

Iskemia menyebabkan terjadinya akumulasi kalsium intraseluler dan aktivasi berlebihan dari neurotransmitter eksitatori yaitu glutamat yang dapat diikuti dengan pelepasan produk beracun lainnya yang menyebabkan cedera selular. Dengan mencegah pelepasan neurotransmiter yang berlebihan, maka kerusakan syaraf dapat berkurang dan diatasi. Obat-obat yang termasuk golongan ini antara lain adalah magnesium, selfotel, dextorphan (Lutsep, 2011).Banyak agen antagonis NMDA yang sudah dilakukan uji coba dan sudah tidak digunakan lagi karena efek sampingnya yang terlalu besar seperti menyebabkan halusinasi, agitasi, hipotensi dan jumlah kematian yang lebih besar dibandingkan dengan placebo saat experimental seperti dextorphan dan selfotel. Dextorphan termasuk antagonis reseptor NMDA nonkompetitif dan merupakan hasil metabolit dari dextromethorpan dan selfotel merupakan antagonis NMDA yang kompetitif (Lutsep, 2011). Magnesium merupakan agen antagonis NMDA lain yang memiliki insiden efek samping rendah. Magnesium sebagai antagonis kalsium endogen dapat mengurangi cedera iskemik dengan meningkatkan aliran darah regional, mencegah intake kalsium ke dalam intrasel, dan memblokir reseptor NMDA. Sebuah percobaaan fase III yang menyelidiki kemanjuran magnesium pada stroke Efikasi Studi Magnesium intravena, yang merawat pasien dalam waktu 12 jam dari onset gejala, tidak menunjukkan khasiat yang berarti (Lutsep, 2011). Magnesium merupakan neuroprotektan yang lemah tetapi penggunaannya aman dan lebih murah (Ginsberg, 2008). E. GABA AgonisClomethiazol merupakan salah satu obat GABA agonis yang bekerja dengan meningkatkan aktivitas GABA yang merupakan neurotransmitter inhibitory pada otak dan dapat digunakan sebagai obat sedatif, karena efek yang langsung pada reseptor GABA. Clomethiazol di Eropa banyak digunakan sebagai antikonvulsan dan obat penenang (Wilby et al, 2004).

Gambar 2. 12 Struktur Kimia Clomethiazol (Sweetman, 2009)

Manfaat clomethiazol sebagai neuroprotektan pada serangan iskemik pertama kali diteliti di Eropa yang merupakan bagian dari Studi Stroke clomethiazol akut. Pada uji safety dan efficacy (Trial CLASS) yang melibatkan 1.360 pasien dengan stroke akut hemispheric yang diberikan clomethiazole atau plasebo dalam waktu 12 jam, tidak ditemukan perbedaan yang berarti pada pasien (Wahlgren et al., 1999). Sebuah percobaan dilakukan untuk mengeksplorasi efek pengobatan clomethiazole dan plasebo dalam waktu 12 jam, ketikan ditambahkan pada terapi rtPA menunjukkan bahwa pasien dengan hemispheric stroke yang diobati dengan clomethiazole menunjukkan peningkatan yang lebih besar dibandingkan kelompok plasebo yang diobati selama 90 hari (Lyden et al., 2001). Studi klinik penggunaan clomethiazole membutuhkan waktu selama 12 jam dan tidak semua penelitian memberikan efek yang lebih baik dibandingkan plasebo pada pasien stroke akut (Ginsberg, 2008).Efek sampingClomethiazole dapat menyebabkan urtikaria, kulit kemerahan pada beberapa orang tergantung pada sensitifitasnya. Pada saluran pencernaan dapat menyebabkan mual dan muntah untuk penggunaan oral. Meningkatkan jumlah enzim liver dan konsentrasi bilirubin darah secara reversibel. Clomethiazol dapat menyebabkan sedasi atau kantuk dan efek tersebut semakin meningkat apabila digunakan dalam dosis tinggi. Dosis tinggi clomethiazol dapat menyebabkan koma, depresi pernafasan, hipotensi dan hipotermia (Sweetman, 2009).Clomethiazol di kontraindikasikan pada pasien dengan insufisiensi paru akut, dan penggunaan dengan pemantauan yang hati-hati pada penderita gangguan ginjal, liver ,penyakit saluran pernafasan kronik, dan orang tua (Sweetman, 2009).FarmakokinetikClomethiazol dapat diserap dengan cepat pada saluran pencernaan dan mencapai kadar puncak sekitar 15 sampai 90 menit setalah pemberian oral tergantung pada formulasi sediaan. Terikat protein plasma sebanyak 65% dan mengalami first pass metabolism di hati, serta diekskresi melalui ginjal. Waktu eliminasi paruh antara 4- 8 jam atau lebih pada orang tua dan pasien dengan gangguan funsi hati. Clomethiazol dapat menembus plasenta dan didistribusikan melalui ASI (Sweetman, 2009).DosisClomethiazol dapat diberikan secara oral maupun intravena sebagai obat penenang, insomnia, dan memperbaiki status epileptikus. Di Inggris, clomethiazol tersedia dalam bentuk kapsul yang mengandung 192 mg clomethiazol dan sediaan sirup mengandung 250 mg clometiazol edisilate dalam 5 mL. Dosis clomethiazole untuk insomnia adalah 192 - 384 mg clomethiazole base. Penggunaan lebih dari 9 hari tidak diperbolehkan karena dapat menyebabkan ketergantungan (Sweetman, 2009).F. AntioksidanTirilazad mesilat merupakan non glukokortikoid, 21-aminosteroid yang digunakan dalam terapi subarachnoid hemorrhage (SAH), traumatic brain injury, spinal cord injury, dan stroke iskemik dengan mekanisme aksi menhambat iron-dependent lipid peroksidasi pada membran. Mekanisme kerja tirilazad melalui beberapa tahap yaitu (1) menangkap radikal bebas hidroksil, (2) mengurangi pembentukan radikal hidroksil, (3) menurunkan fluiditas membran fosfolipid, dan (4) mempertahankan konsentrasi antioksidan endogen ( terutama vitaman E dan C) (Tirilazad Sterring Commite, 2000).

Gambar 2.13 Struktur kimia Tirilazad Mesilat (Sweetman, 2009)

Studi pra klinis tirilazad sudah dimulai sekitar pertengahan tahun 1980-an dengan menggunakan model hewan sedera otak, syok hemorragik, cedera tulang belakang, subarachnoid hemoorrhagik, dan fokal ismemik.berdasarkan pre-clinical study review and metaanalysis, tirilazad mengurangi volume infark sebesar 29% dan meningkatkan fungsi neurologis sebesar 48%. Pengobatan yang maksimum terlihat ketika pemberian tirilazad sebelum terjadinya iskemik, dan hasil yang menurun setelah terjadinya iskemi . Tirilazad diberikan dengan rentang waktu 10 menit setelah terjadinya iskemik (Sena et al, 2007). Sebuah uji prospektif dari tirilazad yang dilakukan pada 660 pasien dengan stroke akut yang diobati dlaam waktu 6 jam dari onset menghasilkan kecacatan pada skala outcome Glasgow dan indeks barthel pada 3 bulan (The RANTTAS Investigator, 1996). Uji ini tidak dilanjutkan karena resikonya yang terlalu besar. pada analisis radiologi, tirilazad tidak terbukti mengurangi volume infark. Berdasarkan studi praklinik dan klinik terhadap penggunaan tirilazad mesilat menjelaskan bahwa pada uji klinik menggunakan dosis yang jauh lebih rendah dibandingkan dengan uji pra-klinik, dan membutuhkan waktu pengobatan yang lebih lama dari onset stroke (median 5 jam) dibandingkan pada hewan coba (median 10 menit) (Ginsberg, 2008).

Gambar 2.14 Struktur kimia Edaravone (Sweetman, 2009)

Edaravon merupakan free-radical scavenger yang digunakan dalam terapi stroke iskemik, diberikan melalui intravena dengan dosis 30mg sebanyak dua kali sehari, infus digunakan selama 30 menit selama 24 jam setelah onset stroke dan dilanjutkan hingga 14 hari (Sweetman, 2009).Pada studi praklinik menggunakan tikus, edaravon berhasil mengurangi volume infark bila diberikan sebelum onset stroke dan gagal memberikan efek pada pemberian 1-2 jam setelah onset terjadi (Nakajima et al, 2005). Dan pada studi pra-klinik yang lain, edaravon dapat mengurangi volume infark dan meningkatka fugsi neurologi pada 24 jam bahkan jika diberikan pada 6 jam setelah onset iskemik terjadi (Zhang et al, 2005). Hanya satu penelitian randomized clinical trial of edaravone yang merupakan studi fase II pada 2525 pasien stroke iskemik dengan rentang terapi selama 72 jam pengobatan, uji ini menunjukkan hasil yang baik selama 3 bulan (Edaravone Acute Infarction Study, 2003; Ginsberg, 2008).G. Inhibitor Regulasi Nitrit OksidaLubeluzol merupakan agen neuroprotektif yang bekerja menghambat regulasi nitrit oxide dan pada studi pra klinik dapat mengurangi peningkatan release glutamat. A Cochrane Database meta-analysis menemukan bahwa tidak ada efek kematian selama penggunaan dan tidak terdapat efek peningkatan yang signifikan terhadap neurologi disorder pada pasien yang diberikan lubeluzol. Hasil uji praklinik tidak semuanya memuaskan dan belum bisa dibuktikan secara pasti manfaat klinisnya dan Studi klinik yang telah dilakukan lebih mengacu terhadap tingkat kematian sebagai hasil outcome, bukan mengacu terhadap peningkatan fungsi neurologis yang lebih dibutuhkan sekarang (Ginsberg, 2008).

Gambar 2.15 Struktur Kimia Lubeluzol (Sweetman, 2009)2.2 Penggunaan Neuroprotektan Pada Stroke IskemikBerdasarkan studi Citicoline in Vascular Cognitive Impairment and Vascular Dementia After Stroke menyatakan bahwa sitikolin merupakan obat yang aman dan diakui di berbagai negara untuk penggunaan dalam terapi iskemik stroke. Sitikolin oral dengan dosis 500, 1000 dan 2000 mg yang diberikan dalam waktu 24 jam dari gejala awal telah menunjukkan bukti keberhasilan pada 1.372 paisen dalam 4 clinical trial yang dilakukan di Amerika Serikat. Sitikolin dapat meningkatkan fungsi neurologis dan fungsi recovery. Dibandingkan dengan pasien yang diberikan plasebo, pasien stroke iskemik yang diberikan sitikolin lebih memungkinkan untuk perbaikan fungsi neurologis berdasarkan NIHSS dan indeks barthel yaitu placebo sebanyak 21% dan sitikolin sebanyak 33%. Studi eksperimental dan klinis telah menunjukkan kemungkinan efek sitikolin dalam neurorepair dan neuroplastisis. Pengobatan kronis dengan menggunakan sitikolin dapat meningkatkan pemulihan fungsional. Potensi neurorepair menunjukkan bahwa sitikolin dapat meningkatkan perlindungan syaraf dengan meningkatkan uptake glutamat. Fungsi neurotropik menunjukkan bahwa sitikolin dapat meningkatkan fungsi kognitif (Alvarez-Sabin dan Roman, 2010).

Berdasarkan studi lain, Role of piracetam in cerebral palsy disease, dikatakan bahwa pirasetam merupakan obat nootropik yang memiliki efek terapi pada beberpa pasien dengan defisit neurologi terutama jika berda dalam keadaan hipoksia. Pirasetam meliki sedikit efek samping, seperti ansietas, insomnia, using, agitasi, dan tremor. Studi ini dilakukan pada 40 pasien, yang terdiri dari 22 orang wanita dan 18 orang laki-laki yang didiagnosa dengan kelumpuhan otak (Cerbral Palsy Disease). Semua pasien dibagi menjadi 4 group yang masing-masing group terdiri dari 10 orang, yaitu group A, B, C, dan D, dimana group A mendapatkan piracetam 40 mg/kg BB, Group B mendapatkan pirasetam 80mg/kg BB, group C mendapatkan pirasetam 120mg/kgBB, dan group D sebagai kelompok kontrol. Penilaian didasarkan pada clinical examination, tes intelligence quotient (IQ) dan dianalisis menggunakan A one-way analysis of variance (ANOVA). Clinical examination terdiri dari general examination yang dilakukan sebelum dan setiap bulan selama 6 bulan penelitian dan local examination yaitu penilaian fungsi motorik dan mental sebelum dan setiap bulan selama terapi. Tes Intellegence Quationt (IQ) dilakukan sebelum terapi dan setiap bulan pada tanggal yang sama di pagi hari selama 6 bulan terapi. Hasil studi menunjukkan bahwa pada group A terdapat peningkatan signifikan dalam aktifitas duduk, berdiri, dan berjalan, tetapi tidak signifikan pada aktifitas berbicara, group b terdapat peningkatan signifikan pada aktifitas berdiri, tetapi tidak saat berbicara dan berjalan, group C terdapat peningkatan saat duduk tetapi tidak saat berbicara, berdiri, dan berjalan. Group d tidak terdapat peningkatan fungsi motorik dan mental. Studi ini membuktikan bahwa pirasetam dapat digunakan untuk terapi pada cerebral palsy disease dalam peningkatan fungsi motorik dan mental (Elgendy et al, 2012).Berdasarkan studi Therapeutic Applications of Citicoline and Piracetam as Fixed Dose Combination, dikatakan bahwa kombinasi sitikolin dan pirasetam bisa menjadi keuntungan pada manajemen berbagai gangguan kognitif . Kombinasi tersebut masuk ke dalam cairan cerebrospinal otak dengan mudah karena dapat melintasi blood brain barrier. Sitikolin meningkatkan metabolisme otak dengan meningkatkan sintesis asetilkolin dan memulihkan fosfolipid di otak. Sitikolin banyak digunakan dalam terapi gangguan neurologis otak seperti stroke, trauma otak, dan Parkinson. Pirasetam mempengaruhi fungsi saraf dan pembuluh darah tanpa bertindak sebagai obat penenang atau stimulant. Sitikolin dan pirasetam merupakan salah satu kombinasi obat yang telah terbukti efek fakrmakologi, biokimia dan kompatibel secara fisik. Kombinasi ini memiliki efek terapi yang ditujukan pada gangguan koagulasi, Alzheimer disease, demensia, gejala iskemik stroke, dan trauma craniocerebral (Doijad et al, 2012).6