16_226berita terkini-tiotropium dibandingkan salmeterol sebagai pilihan terapi ppok

2
201 BERITA TERKINI CDK-226/ vol. 42 no. 3, th. 2015 T iga kondisi patologis PPOK adalah bronkitis obstruktif kronis, emfisema, dan sumbatan mukus. PPOK atau chronic obstructive pulmonary disease (COPD) dikenali sebagai proses inflamasi kronik, namun mediator inflamasi PPOK tidak didefinisikan sebaik mediator inflamasi pada asma. Bronkokonstriksi secara umum dikontrol dengan jalur saraf kolinergik. Sesuai panduan the Global Initiative for Chronic Obstructive Lung Disease (GOLD), terapi obat antikolinergik adalah salah satu terapi bronkodilator utama pada pasien dengan COPD. 1 Obat inhalasi antikolinergik merupakan salah satu jenis terapi bronkodilator yang penting untuk PPOK /chronic obstructive pulmonary disease (COPD). Ipratropium bromide me- rupakan salah satu jenis obat antikolinergik yang sering diberikan. Namun, ipratropium membunyai durasi kerja singkat, sehingga membutuhkan pemberian tiap 6 jam. 1 Tiotropium bromide mempunyai struktur yang sama dengan ipratropium dan dikembangkan di Amerika Serikat. Durasi kerja tiotropium kurang lebih 24 jam, sehingga dapat diberikan hanya satu kali sehari. Selain xerostomia (mulut kering) yang lebih sering terjadi pada pasien yang mendapat tiotropium, profil keamanan kedua obat ini sama pada studi populasi. Tiotropium dapat menjadi pilihan terapi antikolinergik pada pasien PPOK. 1 Pasien dengan PPOK sering mendapatkan terapi dengan corticosteroid inhalasi (ICS), namun terkadang masih belum jelas apakah terapi ICS dapat memodifikasi respons bronkodilator inhalasi. Sebuah studi dengan desain acak, tersamar ganda, double-dummy, parallel group study, dengan kontrol plasebo dilakukan selama 6 bulan. Pemberian tioptropium 18 μg sekali sehari dibanding- kan dengan salmeterol 50 μg dua kali sehari dilakukan pada pasien dengan PPOK sedang- berat. 2 Efikasi dinilai dengan spirometri, transition dyspnea index (TDI), St. George’s Respiratory Questionnaire (SGRQ), dan eksaserbasi. Data kedua studi dikombinasi untuk subgroup, di mana pemberian dilakukan bersamaan dengan pemberian ICS; 796 pasien me- nerima ICS dianalisis secara terpisah dari 390 pasien yang tidak menerima ICS. Rata-rata umur adalah 64 tahun. Nilai pre- bronkodilator FEV1 (Forced Expiratory Volume in 1 second) adalah 1,06 L (kelompok ICS) dan 1,13 L (kelompok non-ICS) 2 Hasilnya antara lain: 2 1. Kedua bronkodilator meningkatkan rata-rata ±SE pagi pre-dose FEV1 dibanding- kan plasebo (kelompok ICS: tiotropium 110±20mL, salmeterol 80± 20 mL; kelompok non-ICS: tiotropium 150 ± 30mL, salmeterol 110± 30 mL; p> 0,05 untuk tiotropium vs salmeterol) 2. Perbaikan pada TDI, SGRQ, dan frekuensi eksaserbasi lebih baik pada tiotropium. Dari studi ini, didapatkan bahwa terapi tiotropium pada pasien PPOK sedang-berat lebih superior dibandingkan salmeterol pada fungsi paru, tidak berkaitan penggunaan ICS. 2 Sebuah studi lain mencoba mengevaluasi penggunaan tiotropium dibandingkan salmeterol untuk pencegahan eksaserbasi pasien PPOK. 3 Studi dengan desain acak, tersamar ganda, double-dummy, parallel- group trial dilakukan dalam 1 tahun membandingkan efek terapi 18 μg tiotropium sekali sehari dengan 50 μg salmeterol dua kali sehari pada insiden eksaserbasi sedang–berat pada pasien PPOK sedang–sangat berat dan mempunyai riwayat eksaserbasi pada tahun sebelum- nya. Total subjek adalah 7376 pasien yang secara acak mendapatkan terapi dengan tiotropium (3707 pasien) atau salmeterol (3669 pasien). 3 Tiotropium Dibandingkan Salmeterol sebagai Pilihan Terapi PPOK Table. Patient characteristics at baseline (a) Patient characteristics (ICS users) at baseline (mean [SD]) (b) Patient characteristics (ICS non-users) at baseline (mean [SD]) (b) (a)

Upload: febria-arma

Post on 01-Feb-2016

229 views

Category:

Documents


0 download

DESCRIPTION

tiotropium

TRANSCRIPT

Page 1: 16_226Berita Terkini-Tiotropium Dibandingkan Salmeterol Sebagai Pilihan Terapi PPOK

201

BERITA TERKINI

CDK-226/ vol. 42 no. 3, th. 2015

Tiga kondisi patologis PPOK adalah bronkitis obstruktif kronis, emfi sema, dan sumbatan mukus. PPOK atau

chronic obstructive pulmonary disease (COPD) dikenali sebagai proses infl amasi kronik, namun mediator infl amasi PPOK tidak didefi nisikan sebaik mediator infl amasi pada asma. Bronkokonstriksi secara umum dikontrol dengan jalur saraf kolinergik. Sesuai panduan the Global Initiative for Chronic Obstructive Lung Disease (GOLD), terapi obat antikolinergik adalah salah satu terapi bronkodilator utama pada pasien dengan COPD.1

Obat inhalasi antikolinergik merupakan salah satu jenis terapi bronkodilator yang penting untuk PPOK /chronic obstructive pulmonary disease (COPD). Ipratropium bromide me-rupakan salah satu jenis obat antikolinergik yang sering diberikan. Namun, ipratropium membunyai durasi kerja singkat, sehingga membutuhkan pemberian tiap 6 jam.1

Tiotropium bromide mempunyai struktur yang sama dengan ipratropium dan dikembangkan di Amerika Serikat. Durasi kerja tiotropium kurang lebih 24 jam, sehingga dapat diberikan hanya satu kali sehari. Selain xerostomia (mulut kering) yang lebih sering terjadi pada pasien yang mendapat tiotropium, profi l keamanan kedua obat ini sama pada studi populasi. Tiotropium dapat menjadi pilihan terapi antikolinergik pada pasien PPOK.1

Pasien dengan PPOK sering mendapatkan terapi dengan corticosteroid inhalasi (ICS), namun terkadang masih belum jelas apakah terapi ICS dapat memodifi kasi respons bronkodilator inhalasi. Sebuah studi dengan desain acak, tersamar ganda, double-dummy, parallel group study, dengan kontrol plasebo dilakukan selama 6 bulan. Pemberian tioptropium 18 μg sekali sehari dibanding-kan dengan salmeterol 50 μg dua kali sehari dilakukan pada pasien dengan PPOK sedang-berat.2

Efi kasi dinilai dengan spirometri, transition dyspnea index (TDI), St. George’s Respiratory

Questionnaire (SGRQ), dan eksaserbasi. Data kedua studi dikombinasi untuk subgroup, di mana pemberian dilakukan bersamaan dengan pemberian ICS; 796 pasien me-nerima ICS dianalisis secara terpisah dari 390 pasien yang tidak menerima ICS. Rata-rata umur adalah 64 tahun. Nilai pre-bronkodilator FEV1 (Forced Expiratory Volume in 1 second) adalah 1,06 L (kelompok ICS) dan 1,13 L (kelompok non-ICS)2

Hasilnya antara lain:2

1. Kedua bronkodilator meningkatkan rata-rata ±SE pagi pre-dose FEV1 dibanding-kan plasebo (kelompok ICS: tiotropium 110±20mL, salmeterol 80± 20 mL; kelompok non-ICS: tiotropium 150 ± 30mL, salmeterol 110± 30 mL; p> 0,05 untuk tiotropium vs salmeterol)

2. Perbaikan pada TDI, SGRQ, dan frekuensi eksaserbasi lebih baik pada tiotropium.

Dari studi ini, didapatkan bahwa terapi tiotropium pada pasien PPOK sedang-berat lebih superior dibandingkan salmeterol pada fungsi paru, tidak berkaitan penggunaan ICS.2

Sebuah studi lain mencoba mengevaluasi penggunaan tiotropium dibandingkan salmeterol untuk pencegahan eksaserbasi pasien PPOK.3 Studi dengan desain acak, tersamar ganda, double-dummy, parallel-group trial dilakukan dalam 1 tahun membandingkan efek terapi 18 μg tiotropium sekali sehari dengan 50 μg salmeterol dua kali sehari pada insiden eksaserbasi sedang–berat pada pasien PPOK sedang–sangat berat dan mem punyai riwayat eksaserbasi pada tahun sebelum-nya. Total subjek adalah 7376 pasien yang secara acak mendapatkan terapi dengan tiotropium (3707 pasien) atau salmeterol (3669 pasien).3

Tiotropium Dibandingkan Salmeterol sebagai Pilihan Terapi PPOK

Table. Patient characteristics at baseline (a) Patient characteristics (ICS users) at baseline (mean [SD]) (b) Patient characteristics

(ICS non-users) at baseline (mean [SD])

(b)

(a)

Page 2: 16_226Berita Terkini-Tiotropium Dibandingkan Salmeterol Sebagai Pilihan Terapi PPOK

202

BERITA TERKINI

CDK-226/ vol. 42 no. 3, th. 2015

REFERENSI:

1. Panning C. Tiotropium: An inhaled, long-acting anticholinergic drug for chronic obstructive pulmonary disease. Medscape [Internet] 2003 [cited 2014 Sept 19]. Available from:http://www.

medscape.com/viewarticle/449727_1

2. Hodder R, Kesten S, Menjoge S, Viel K. Outcomes in COPD patients receiving tiotropium or salmeterol plus treatment with inhaled corticosteroids. Int J Chron Obstruct Pulmon

Dis. 2007;2(2):157-67.

3. Vogelmeier C, Hederer B, Glaab T, Schmidt H, Rutten-van Mölken MP, Beeh KM, et al. Tiotropium versus salmeterol for the prevention of exacerbations of COPD. N Engl J Med. 2011 Mar

24;364(12):1093-1103. doi: 10.1056/NEJMoa1008378.

serius dan efek samping yang menyebabkan penghentian terapi adalah sama pada kedua kelompok• Terdapat 64 kematian (1,7%) pada kelompok tiotropium dan 78 (2,1%) pada kelompok salmeterol

Dari studi ini, pada pasien PPOK sedang-berat, pemberian tiotropium lebih efektif daripada salmeterol dalam mencegah eksaserbasi.3

Simpulannya, tiotropium memberikan efek yang baik terhadap fungsi paru dan dapat mencegah eksaserbasi PPOK lebih baik daripada salmeterol. � (AYN)

Figure. Improvements in health-related quallity of life in

active treatment groups compared to baseline SGRQ Total

score (patients concurrencly using ICS).

ningkatkan selang waktu sampai terjadinya eksaserbasi pertama (9187 hari vs. 145 hari), dengan penurunan risiko 17% (hazard ratio, 0,83; 95% confi dence interval [CI] 0,77 – 0,90; P<0,001).• Tiotropium juga meningkatkan selang waktu sampai eksaserbasi berat pertama (hazard ratio 0,72; 95% CI 0,61 – 0,85; P<0,001)• Menurunkan jumlah eksaserbasi sedang-berat per tahun (0,64 vs. 0,72; rate ratio 0,89; 95% CI 0,83 – 0,96; P=0,002)• Menurunkan jumlah eksaserbasi berat per tahun (0,09 vs. 0,13; rate ratio 0,73; 95% CI 0,66 – 0,82; P<0,001)• Secara keseluruhan, insiden efek samping

Hasil studi ini antara lain:3

• Tiotropium dibandingkan salmeterol, me-