tinjauan pustaka ppok

Upload: wahid-huda

Post on 10-Oct-2015

78 views

Category:

Documents


0 download

TRANSCRIPT

Tinjauan PustakaA. DefinisiPenyakit Paru Obstruktif Kronik (PPOK) adalah penyakit yang ditandai dengan hambatan aliran udara di saluran nafas yang tidak sepenuhnya reversibel. Hambatan aliran udara ini bersifat progresif dan berhubungan dengan respons inflamasi paru terhadap partikel atau gas yang beracun atau berbahaya.1,2,4 Bronkitis kronik dan emfisema tidak dimasukkan definisi PPOK, karena bronkitis kronik merupakan diagnosis klinis, sedangkan emfisema merupakan diagnosis patologi.1 Bronkitis kronik Kelainan saluran napas yang ditandai oleh batuk kronik berdahak minimal 3 bulan dalam setahun, sekurang-kurangnya dua tahun berturut - turut, tidak disebabkan penyakit lainnya. Emfisema merupakan suatu kelainan anatomis paru yang ditandai oleh pelebaran rongga udara distal bronkiolus terminal, disertai kerusakan dinding alveoli.5B. EpidemiologiDi seluruh dunia, PPOK menduduki peringkat keenam sebagai penyebab utama kematian pada tahun 1990. Hal ini diproyeksikan menjadi penyebab utama keempat kematian di seluruh dunia pada 2030 karena peningkatan tingkat merokok dan perubahan demografis di banyak negara.4Di Amerika Serikat data tahun 2007 menunjukkan bahwa prevalensi PPOK sebesar 10,1% (SE 4,8) pada laki-laki sebesar 11,8% (SE 7,9) dan untuk perempuan 8,5% (SE 5,8). Sedangkan mortalitas menduduki peringkat keempat penyebab terbanyak yaitu 18,6 per 100.000 penduduk pada tahun 1991 dan angka kematian ini meningkat 32,9% dari tahun 1979 sampai 1991. Sedangkan prevalensi PPOK di negara-negara Asia Tenggara diperkirakan 6,3% dengan prevalensi tertinggi terdapat di Vietnam (6,7%) dan China (6,5%).2Di Indonesia tidak ada data yang akurat tentang kekerapan PPOK. Pada Survei Kesehatan Rumah Tangga (SKRT) 1986 asma, bronkitis kronik dan emfisema menduduki peringkat ke- 5 sebagai penyebab kesakitan terbanyak dari 10 penyebab kesakitan utama. SKRT Depkes RI 1992 menunjukkan angka kematian karena asma, bronkitis kronik dan emfisema menduduki peringkat ke- 6 dari 10 penyebab tersering kematian di Indonesia.4C. Faktor RisikoBeberapa faktor risiko antara lain1. Pajanan dari partikel antara lalin :a. Merokok : Merokok merupakan penyebab PPOK terbanyak (95% kasus) di negara berkembang. Perokok aktif dapat mengalami hipersekresi mucus dan obstruksi jalan napas kronik. Dilaporkan ada hubungan antara penurunan volume ekspirasi paksa detik pertama (VEP1) dengan jumlah, jenis dan lamanya merokok. Studi di China menghasilkan risiko relative merokok 2,47 (95% CI : 1,91-2,94).2,3,4Perokok pasif juga menyumbang terhadap symptom saluran napas dan PPOK dengan peningkatan kerusakan paru-paru akibat menghisap partikel dan gas-gas berbahaya. Merokok pada saat hamil juga akan meningkatkan risiko terhadap janin dan mempengaruhi pertumbuhan paru-parunya.1,2,3b. Polusi indoor: memasak dengan bahan biomass dengan ventilasi dapur yang jelek misalnya terpajan asap bahan bakar kayu dan asap bahan bakar minyak diperkirakan memberi kontribusi sampai 35%. Manusia banyak menghabiskan waktunya pada lingkungan rumah (indoor) seperti rumah, tempat kerja, perpustakaan, ruang kelas, mall, dan kendaraan. Polutan indoor yang penting antara lain SO2, NO2 dan CO yang dihasilkan dari memasak dan kegiatan pemanasan, zat-zat organik yang mudah menguap dari cat, karpet, dan mebelair, bahan percetakan dan alergi dari gas dan hewan peliharaan serta perokok pasip.1,2,3 Pada studi kasus kontrol yang dilakukan di Bogota, Columbia, pembakaran kayu yang dihubungkan dengan risiko tinggi PPOK (adjusted OR 3,92, 95 % CI 1,2 9,1).2c. Polusi outdoor: polusi udara mempunyai pengaruh buruk pada VEP1, inhalan yang paling kuat menyebabkan PPOK adalah Cadmium, Zinc dan debu. Bahan asap pembakaran/pabrik/tambang. Bagaimanapun peningkatan relatif kendaraan sepeda motor di jalan raya pada dekade terakhir ini.1,2d. Polusi di tempat kerja: polusi dari tempat kerja misalnya debu-debu organik (debu, sayuran dan bakteri atau racun-racun dari jamur), industri tekstil (debu dari kapas) dan lingkungan industri (pertambangan, industri besi dan baja, industri kayu, pembangunan gedung), bahan kimia pabrik cat, tinta, sebagainya diperkirakan mencapai 19%.22. Genetik (defisiensi Alpha 1-antitrypsin): Faktor risiko dari genetic memberikan kontribusi 1 3% pada pasien PPOK.1,2 Faktor genetik yang utama adalah kurangnya alfa 1 antitripsin, yaitu suatu serin protease inhibitor. Hiperesponsif jalan napas juga dapat terjadi akibat pajanan asap rokok atau polusi. Pertumbuhan paru dikaitan dengan masa kehamilan, berat lahir dan pajanan semasa anak-anak. Penurunan fungsi paru akibat gangguan pertumbuhan paru diduga berkaitan dengan risiko mendapatkan PPOK.13. Riwayat infeksi saluran napas berulang : Infeksi saluran napas akut adalah infeksi akut yang melibatkan organ saluran pernafasan, hidung, sinus, faring, atau laring. Infeksi saluran napas akut adalah suatu penyakit terbanyak diderita anak-anak. Penyakit saluran pernafasan pada bayi dan anak-anak dapat pula memberi kecacatan sampai pada masa dewasa, dimana ada hubungan dengan terjadinya PPOK.2,3

D. PatogenesisPada bronkitis kronik terdapat pembesaran kelenjar mukosa bronkus, metaplasia sel goblet, inflamasi, hipertrofi otot polos pernapasan serta distorsi akibat fibrosis. Emfisema ditandai oleh pelebaran rongga udara distal bronkiolus terminal, disertai kerusakan dinding alveoli. Secara anatomik dibedakan tiga jenis emfisema:1. Emfisema sentriasinar, dimulai dari bronkiolus respiratori dan meluas keperifer, terutama mengenai bagian atas paru sering akibat kebiasaan merokok lama.2. Emfisema panasinar (panlobuler), melibatkan seluruh alveoli secara merata dan terbanyak pada paru bagian bawah.3. Emfisema asinar distal (paraseptal), lebih banyak mengenai saluran napas distal, duktus dan sakus alveoler. Proses terlokalisir di septa atau dekat pleura.Obstruksi saluran napas pada PPOK bersifat ireversibel dan terjadi karena perubahan struktural pada saluran napas kecil yaitu : inflamasi, fibrosis, metaplasi sel goblet dan hipertropi otot polos penyebab utama obstruksi jalan napas.3,4

Sumber : http://eprints.uns.ac.id/963/1/pengukuhan_suradi.pdf

Kelainan struktur parenkim diawali inflamasi kronik sehingga terjadi destruksi jaringan elastin parenkim dan berakibat terjadi penurunan fungsi paru. Bentuk kelainan struktur yang dijumpai berupa destruksi serat elastin septum interalveoler dan ditemukan peningkatan serat kolagen sebagai bentuk remodeling jaringan ikat paru. Elastin dan kolagen merupakan komponen utama yang menyusun anyaman (network) jaringan ikat paru dan secara bersama menentukan daya elastisitas dan kekuatan tensil paru. Destruksi serat elastin merupakan penyebab timbulnya hilangnya daya elastisitas dan tensil dinding alveoler, terjadi deposisi dan bentuk remodeling kolagen, terjadilah pembesaran ruang udara pada emfisema.3E. Diagnosis dan klasifikasi (derajat) PPOK1,4,5Dalam mendiagnosis PPOK dimulai dari anamnesis, pemeriksaan fisik, dan pemeriksaan penunjang (foto toraks, spirometri dan lain-lain). Diagnosis berdasarkan anamnesis, pemeriksaan fisik dan foto toraks dapat menentukan PPOK Klinis. Apabila dilanjutkan dengan pemeriksaan spirometri akan dapat menentukan diagnosis PPOK sesuai derajat (PPOK ringan, PPOK sedang, dan PPOK berat)1. Diagnosis PPOK klinis ditegakkan apabila :a. Anamnesis : 1) Ada faktor risiko Usia (pertengahan) Riwayat pajanan Asap rokok Polusi udara Polusi tempat kerja2) Gejala atau manifestasi klinisGejala PPOK terutama berkaitan dengan respirasi. Keluhan respirasi ini harus diperiksa dengan teliti karena seringkali dianggap sebagai gejala yang biasa terjadi pada proses penuaan. Batuk kronik adalah batuk hilang timbul selama 3 bulan yang tidak hilang dengan pengobatan yang diberikan. Berdahak kronik, kadang-kadang pasien menyatakan hanya berdahak terus menerus tanpa disertai batuk. Sesak nafas, terutama pada saat melakukan aktivitas Seringkali pasien sudah mengalami adaptasi dengan sesak nafas yang bersifat progressif lambat sehingga sesak ini tidak dikeluhkan. Anamnesis harus dilakukan dengan teliti, gunakan ukuran sesak napas sesuai skala sesak.

Tabel 1, Skala sesak

b. Pemeriksaan fisikPada pemeriksaan fisik seringkali tidak ditemukan kelainan yang jelas terutama auskultasi pada PPOK ringan, karena sudah mulai terdapat hiperinflasi alveoli. Sedangkan pada PPOK derajat sedang dan PPOK derajat berat seringkali terlihat perubahan cara bernapas atau perubahan bentuk anatomi toraks.Secara umum pada pemeriksaan fisik dapat ditemukan hal-hal sebagai berikut:

Inspeksi Bentuk dada: barrel chest (dada seperti tong ) Terdapat cara bernapas lips breathing (seperti orang meniup ) Terlihat penggunaan dan hipertrofi (pembesaran) otot bantu nafas Pelebaran sela iga Penggunaan otot bantu nafas Hipertrofi otot bantu nafas Penampilan pink puffer (gambaran yang khas pada emfisema, penderita kurus, kulit kemerahan dan pernafasan pursed lips breathing) atau blue bloater (gambaran khas pada bronkitis kronik, penderita gemuk sianosis, terdapat edema tungkai dan ronkhi basah di basal paru, sianosis sentral dan perifer) Palpasi Pada emfisema fremitus melemah, sela iga melebar Perkusi Pada emfisema hipersonor dan batas jangtung mengecil, letak diafragma rendah, hepar terdorong ke bawah Auskultasi Suara nafas vesikuler melemah atau normal Ekspirasi memanjang Mengi (biasanya timbul pada eksaserbasi) Ronkic. Pemeriksaan penunjangPemeriksaan penunjang yang diperlukan pada diagnosis PPOK antara lain : Radiologi (foto toraks) Paru hiperinflasi atau hiperlusen Diafragma mendatar Corakan bronkovaskuler meningkat Bulla Jantung pendulum Pemeriksaan faal paruUji faal paru dengan menggunakan spirometri berguna untuk menegakkan diagnosis, melihat perkembangan penyakit, dan menentukan prognosa. Pemeriksaan ini penting untuk memperlihatkan secara obyektif adanya obstruksi saluran nafas dalam berbagai tingkat. Spirometri harus digunakan untuk mengukur volume maksimal udara yang dikeluarkan setelah inspirasi maksimal, atau disebut Forced Vital Capacity (FCV)/ Kapasitas Vital Paksa (KVP). Spirometri juga harus digunakan untuk mengukur volume udara yang dikeluarkan pada satu detik pertama pada saat melakukan manuver di atas, atau disebut dengan Forced Expiratory Volume In 1 Second (FEV1) / Volume Ekspirasi Paksa 1 detik (VEP1). Rasio dari kedua pengukuran ini juga harus dilakukan (VEP1/KVP).4Penderita PPOK secara khas akan menunjukkan penurunan dari VEP1 dan KVP. Adanya nilai VEP1/KVP < 70% disertai dengan hasil tes bronkodilator yang menghasilkan nilai VEP1 < 80% dari nilai prediksi mengkonfirmasi terjadinya pembatasan aliran udara yang tidak sepenuhnya reversibel. VEP1 merupakan parameter yang paling umum dipakai untuk menilai beratnya PPOK dan memantau perjalanan penyakit. VEP1 juga amat dipengaruhi oleh umur, jenis kelamin, etnis, dan tinggi penderita, sehingga paling baik dinyatakan berdasarkan sebagai persentase dari nilai prediksi normal.Apabila spirometri tidak tersedia atau tidak mungkin dilakukan, APE meter walaupun kurang tepat, dapat dipakai sebagai alternatif dengan memantau variabiliti harian pagi dan sore, tidak lebih dari 20%.Uji faal paru juga dapat dilakukan dengan uji bronkodilator. Uji bronkodilator juga menggunakan spirometri. Teknik pemeriksaan ini adalah dengan memberikan bonkodilator inhalasi sebanyak 8 hisapan, dan 15-20 menit kemudian dilihat perubahan nilai FEV1. Bila perubahan nilai FEV1 kurang dari 20% maka ini menunjukkan pembatasan aliran udara yang tidak sepenuhnya reversibel. Uji ini dilakukan saat PPOK dalam keadaan stabil (di luar eksaserbasi akut).Dari hasil pemeriksaan spirometri setelah pemberian bronkodilator juga dapat menentukan klasifikasi penyakit PPOK. Klasifikasi tersebut adalah : Stage I : Ringan Pada stage I, hasil pemeriksaan spirometri setelah pemberian bronkodilator menunjukan hasil rasio VEP1/KVP < 70% dan nilai VEP1 diperkirakan 80% dari nilai prediksi. Gejala klinis dengan atau tanpa batuk, dengan atau tanpa produksi sputum, sesak nafas derajat sesak 0 sampai derajat sesak 1. Stage II : SedangPada stage II, hasil rasio VEP1/KVP < 70% dengan perkiraan nilai VEP1 diantara 50-80% dari nilai prediksi. Gejala klinis dengan atau tanpa batuk, dengan atau tanpa produksi sputum, sesak nafas derajat 2 (sesak timbul pada saat aktivitas). Stage III : Berat Pada stage III, dengan rasio VEP1/KVP < 70%, dan nilai menunjukkan VEP1 diantara 30-50% dari nilai prediksi. Sesak nafas derajat 3 dan 4 dengan gagal nafas kronik, disertai komplikasi kor pulmonale atau gagal jantung kanan. Stage IV : Sangat Berat Pada stage IV, rasio VEP1/KVP < 70%, nilai VEP1 diperkirakan kurang dari 30% ataupun kurang dari 50% dengan kegagalan respirasi kronik. Laboratorium darah rutin (timbulnya polisitemia menunjukkan telah terjadi hipoksia kronik) Analisa gas darah Mikrobiologi sputum (diperlukan untuk pemilihan antibiotik bila terjadi eksaserbasi).Dinyatakan PPOK (secara klinis) apabila sekurang-kurangnya pada anamnesis ditemukan adanya riwayat pajanan faktor risiko disertai batuk kronik dan berdahak dengan sesak nafas terutama pada saat melakukan aktivitas pada seseorang yang berusia pertengahan atau yang lebih tua. Spirometri dibutuhkan untuk diagnosis klinis PPOK ; adanya postbronchodilator VEP1/KVP 89% disertai Kor Pulmonal, perubahan P pullmonal, Ht >55% dan tanda - tanda gagal jantung kanan, sleep apnea, penyakit paru lain.Terapi oksigen dapat dilaksanakan di rumah maupun di rumah sakit. Terapi oksigen di rumah diberikan kepada penderita PPOK stabil derajat berat dengan gagal napas kronik. Sedangkan di rumah sakit oksigen diberikan pada PPOK eksaserbasi akut di unit gawat daruraat, ruang rawat ataupun ICU. Terapi oksigen jangka panjang yang diberikan di rumah pada keadaan stabil terutama bila tidur atau sedang aktiviti, lama pemberian 15 jam setiap hari, pemberian oksigen dengan nasal kanul 1 - 2 L/mnt. Terapi oksigen pada waktu tidur bertujuan mencegah hipoksemia yang sering terjadi bila penderita tidur. Terapi oksigen pada waktu aktiviti bertujuan menghilangkan sesak napas dan meningkatkan kemampuan aktiviti. Sebagai parameter digunakan analisis gas darah atau pulse oksimetri. Pemberian oksigen harus mencapai saturasi oksigen di atas 90%.

Pembahasan Daftar Pustaka1. KEMENKES RI NO 1022/MENKES/SK/XI/2008 tentang Pedoman Pengendalian Penyakit Paru Obstruktif Kronik ; http://www.btklsby.go.id/wp-content/uploads/2010/07/kepmenkes-1022-thn-2008-ttg-pedoman-pengendalian-ppok.pdf.2. Oemiati, Ratih., 2013., Kajian Epidemiologis Penyakit Paru Obstruktif Kronik (PPOK). Media Litbangkes Vol. 23 No. 2, Juni 2013: 82-88 ; http://download.portalgaruda.org/article.php?article=87006&val=4883.3. Suradi., 2007., Pengaruh Rokok Pada Penyakit Paru Obstruksi Kronik (Ppok) Tinjauan Patogenesis, Klinis Dan Sosial. Pidato Pengukuhan Guru Besar Pulmonologi dan Ilmu Kedokteran Respirasi Fakultas Kedokteran Universitas Sebelas Maret ; http://eprints.uns.ac.id/963/1/pengukuhan_suradi.pdf.4. Putra, Wijaya I P., Artika, Made I D., 2011., Diagnosis Dan Tata Laksana Penyakit Paru Obstruktif Kronis., http://ojs.unud.ac.id/index.php/eum/article/download/4872/3658.5. PDPI., 2003., Penyakit Paru Obstruktif Kronik ( Ppok ) Pedoman Diagnosis Dan Penatalaksanaan Di Indonesia. http://www.klikpdpi.com/konsensus/konsensus-ppok/ppok.pdf