10 bab 2 tinjauan pustaka 2.1 definisi ispa infeksi saluran

22
BAB 2 TINJAUAN PUSTAKA 2.1 Definisi ISPA Infeksi Saluran Pernapasan Akut (ISPA) dibedakan menjadi dua, ISPA atas dan bawah, Infeksi saluran pernapasan atas adalah infeksi yang disebabkan oleh virus dan bakteri termasuk nasofaringitis atau common cold, faringitis akut, uvulitis akut, rhinitis, nasofaringitis kronis, sinusitis. Sedangkan, infeksi saluran pernapasan akut bawah merupakan infeksi yang telah didahului oleh infeksi saluran atas yang disebabkan oleh infeksi bakteri sekunder, yang termasuk dalam penggolongan ini adalah bronkhitis akut, bronkhitis kronis, bronkiolitis dan pneumonia aspirasi (Nelson, 2002). 2.1.1 Jenis-jenis ISPA Penyakit infeksi saluran pernapasan akut menyerang salah satu bagian dan atau lebih dari saluran nafas mulai hidung (saluran atas) hingga alveoli (saluran bawah) termasuk jaringan aksesoris seperti sinus, rongga telinga tengah dan pleura. Istilah ISPA meliputi tiga unsur yakni antara lain : 1) Infeksi Infeksi merupakan masuknya kuman atau mikroorganisme ke dalam tubuh manusia dan berkembang biak sehingga menimbulkan gejala penyakit. 10

Upload: hoangthuan

Post on 08-Dec-2016

230 views

Category:

Documents


3 download

TRANSCRIPT

Page 1: 10 BAB 2 TINJAUAN PUSTAKA 2.1 Definisi ISPA Infeksi Saluran

10

BAB 2

TINJAUAN PUSTAKA

2.1 Definisi ISPA

Infeksi Saluran Pernapasan Akut (ISPA) dibedakan menjadi dua, ISPA atas

dan bawah, Infeksi saluran pernapasan atas adalah infeksi yang disebabkan oleh virus

dan bakteri termasuk nasofaringitis atau common cold, faringitis akut, uvulitis akut,

rhinitis, nasofaringitis kronis, sinusitis. Sedangkan, infeksi saluran pernapasan akut

bawah merupakan infeksi yang telah didahului oleh infeksi saluran atas yang

disebabkan oleh infeksi bakteri sekunder, yang termasuk dalam penggolongan ini

adalah bronkhitis akut, bronkhitis kronis, bronkiolitis dan pneumonia aspirasi

(Nelson, 2002).

2.1.1 Jenis-jenis ISPA

Penyakit infeksi saluran pernapasan akut menyerang salah satu bagian dan

atau lebih dari saluran nafas mulai hidung (saluran atas) hingga alveoli (saluran

bawah) termasuk jaringan aksesoris seperti sinus, rongga telinga tengah dan pleura.

Istilah ISPA meliputi tiga unsur yakni antara lain :

1) Infeksi

Infeksi merupakan masuknya kuman atau mikroorganisme ke dalam tubuh

manusia dan berkembang biak sehingga menimbulkan gejala penyakit.

10

Page 2: 10 BAB 2 TINJAUAN PUSTAKA 2.1 Definisi ISPA Infeksi Saluran

11

2) Saluran pernapasan

Saluran pernapasan merupakan organ mulai dari hidung hingga alveoli beserta

organ aksesorinya seperti sinus, rongga telinga tengah dan pleura.

3) Infeksi Akut

Infeksi yang berlangsung sampai dengan 14 hari. Batas 14 hari ditentukan

untuk menunjukkan proses akut meskipun untuk beberapa penyakit yang dapat

digolongkan dalam ISPA proses ini dapat berlangsung lebih dari 14 hari. Penyakit

ISPA secara anatomis mencakup saluran pernapasan bagian atas, saluran pernapasan

bagian bawah (termasuk paru-paru) dan organ aksesoris saluran pernapasan.

Berdasarkan batasan tersebut jaringan paru termasuk dalam saluran pernapasan

(respiratory tract).

2.1.2 Klasifikasi Berdasarkan Lokasi Anatomi

Berdasarkan lokasi anatomik ISPA digolongkan dalam dua golongan yaitu :

Infeksi Saluran Pernafasan atas Akut (ISPaA) dan Infeksi Saluran Pernafasan bawah

Akut (ISPbA).

a. Infeksi Saluran Pernafasan atas Akut (ISPaA)

Infeksi Saluran Pernafasan atas Akut (ISPaA) adalah infeksi yang menyerang

hidung sampai bagian faring seperti : pilek, sinusitis, otitis media (infeksi pada

telinga tengah), faringitis (infeksi pada tenggorokan). Infeksi saluran pernafasan atas

digolongkan ke dalam penyakit bukan pneumonia.

Page 3: 10 BAB 2 TINJAUAN PUSTAKA 2.1 Definisi ISPA Infeksi Saluran

12

b. Infeksi Saluran Pernafasan Bawah Akut (ISPbA)

Infeksi Saluran Pernafasan bawah Akut (ISPbA) adalah infeksi yang

menyerang mulai dari bagian epiglotis atau laring sanpai dengan alveoli, dinamakan

sesuai dengan organ saluran nafas, seperti : epiglotitis, laryngitis, laryngotrachetis,

bronchitis, bronchiolitis dan pneumonia.

Gambar 2.1. Anatomi Saluran Pernafasan Berdasarkan Lokasi Anatomik

Program pemberantasan penyakit (P2) ISPA mengelompokkan dalam 2

golongan yaitu :

1) ISPA Non-Pneumonia

Merupakan penyakit yang banyak dikenal masyarakat dengan istilah batuk

dan pilek (common cold).

2) ISPA Pneumonia

Pengertian pneumonia sendiri merupakan proses infeksi akut yang mengenai

jaringan paru-paru (alveoli) biasanya disebabkan oleh invasi kuman bakteri, yang

Page 4: 10 BAB 2 TINJAUAN PUSTAKA 2.1 Definisi ISPA Infeksi Saluran

13

ditandai oleh gejala klinik batuk, disertai adanya nafas cepat ataupun tarikan dinding

dada bagian bawah.

Berdasarkan kelompok umur program-program pemberantasan ISPA (P2

ISPA) mengklasifikasikan ISPA sebagai berikut :

1) Kelompok umur kurang dari 2 bulan, diklasifikasikan atas :

a) Pneumonia berat : apabila dalam pemeriksaan ditemukan adanya penarikan

yang kuat pada dinding dada bagian bawah ke dalam dan adanya nafas cepat,

frekuensi nafas 60 kali per menit atau lebih.

b) Bukan pneumonia (batuk pilek biasa) : bila tidak ditemukan tanda tarikan

yang kuat dinding dada bagian bawah ke dalam dan tidak ada nafas cepat,

frekuensi kurang dari 60 menit.

2) Kelompok umur 2 bulan - <5 tahun diklasifikasikan atas :

a) Pneumonia berat : apabila dalam pemeriksaan ditemukan adanya tarikan

dinding dada dan bagian bawah ke dalam.

b) Pneumonia : tidak ada tarikan dada bagian bawah kedalam, adanya nafas

cepat, frekuensi nafas 50 kali atau lebih pada umur 2 - <12 bulan dan 40 kali

per menit atau lebih pada umur 12 bulan - <5 tahun.

c) Bukan pneumonia : tidak ada tarikan dinding dada bagian bawah ke dalam,

tidak ada nafas cepat, frekuensi kurang dari 50 kali per menit pada anak

umur 2- <12 bulan dan kurang dari 40 permenit 12 bulan - <5 bulan.

Penyakit ISPA pada balita dapat menimbulkan bermacammacam tanda dan

Page 5: 10 BAB 2 TINJAUAN PUSTAKA 2.1 Definisi ISPA Infeksi Saluran

14

gejala seperti batuk, kesulitan bernafas, sakit tenggorokan, pilek, sakit

telinga dan demam.

2.1.3 Etiologi ISPA

Etiologi ISPA terdiri dari bakteri, virus, jamur, dan aspirasi. Bakteri penyebab

ISPA antara lain Diplococcus pneumoniae, Pneumococcus, Streptococcus pyogenes,

Staphylococcus aureus, dan Haemophilus influenza. Virus penyebab ISPA antara lain

Influenza, Adenovirus, dan Sitomegalovirus. Jamur yang dapat menyebabkan ISPA

antara lain Aspergillus sp., Candida albicans, dan Histoplasma. Sedangkan aspirasi

lain yang juga dapat menjadi penyebab ISPA adalah makanan, asap kendaraan

bermotor, BBM (bahan bakar minyak) biasanya minyak tanah, cairan amnion pada

saat lahir, dan benda asing seperti biji-bijian (Widoyono, 2008). Perilaku individu,

seperti sanitasi fisik rumah, kurangnya ketersediaan air bersih (Depkes RI, 2005).

2.1.4 Gejala ISPA

Gejala ISPA dibagi menjadi 3 antara lain sebagai berikut :

1. Gejala dari ISPA ringan

Seseorang balita dinyatakan menderita ISPA ringan jika ditemukan satu atau

lebih gejala-gejala sebagai berikut :

a) Batuk

b) Serak, yaitu anak bersuara parau pada waktu mengeluarkan suara (pada

waktu berbicara atau menangis)

c) Pilek, yaitu mengeluarkan lendir atau ingus dari hidung

d) Panas atau demam, suhu badan lebih dari 37°C.

Page 6: 10 BAB 2 TINJAUAN PUSTAKA 2.1 Definisi ISPA Infeksi Saluran

15

2. Gejala dari ISPA sedang

Seseorang balita dinyatakan menderita ISPA sedang jika dijumpai gejala dari

ISPA ringan disertai satu atau lebih gejala-gejala sebagai berikut :

a) Pernapasan cepat (fast breathing) sesuai umur yaitu :

untuk kelompok umur kurang dari 2 bulan frekuensi nafas 60 kali per menit

atau lebih untuk umur 2-<12 bulan dan 40 kali per menit atau lebih pada

umur 12 bulan - < 5 tahun.

b) Suhu tubuh lebih dari 39°C

c) Tenggorokan berwarna merah

d) Timbul bercak-bercak merah pada kulit menyerupai bercak campak

e) Telinga sakit atau mengeluarkan nanah dari lubang telinga

f) Pernapasan berbunyi seperti mengorok (mendengkur)

3) Gejala dari ISPA Berat

Seseorang balita dinyatakan menderita ISPA berat jika dijumpai gejala-gejala

ISPA ringan atau ISPA sedang disertai satu atau lebih gejala-gejala sebagai

berikut :

a) Bibir atau kulit membiru

b) Anak tidak sadar atau kesadaran menurun

c) Pernapasan berbunyi seperti mengorok dan anak tampak gelisah

d) Sela iga tetarik ke dalam pada waktu bernafas

e) Nadi cepat lebih dari 160 kali per menit atau tidak teraba

f) Tenggorokan berwarna merah

Page 7: 10 BAB 2 TINJAUAN PUSTAKA 2.1 Definisi ISPA Infeksi Saluran

16

2.1.5 Cara Penularan ISPA

Penyebaran melalui kontak langsung atau tidak langsung dari benda yang

telah dicemari virus dan bakteri penyebab ISPA (hand to hand transmission) dan

dapat juga ditularkan melalui udara tercemar (air borne disease) pada penderita ISPA

yang kebetulan mengandung bibit penyakit melalui sekresi berupa saliva atau sputum.

2.1.6 Patogenesis Infeksi Saluran Pernapasan

Saluran pernapasan dari hidung sampai bronkhus dilapisi oleh membran

mukosa bersilia, udara yang masuk melalui rongga hidung disaring, dihangatkan dan

dilembutkan. Partikel debu yang kasar dapat disaring oleh rambut yang terdapat

dalam hidung, sedangkan partikel debu yang halus akan terjerat dalam membran

mukosa. Gerakan silia mendorong membran mukosa ke posterior ke rongga hidung

dan ke arah superior menuju faring. Secara umum efek pencemaran udara terhadap

pernapasan dapat menyebabkan pergerakan silia hidung menjadi lambat dan kaku

bahkan dapat berhenti sehingga tidak dapat membersihkan saluran pernapasan akibat

iritasi oleh bahan pencemar. Produksi lendir akan meningkat sehingga menyebabkan

penyempitan saluran pernapasan dan makrofage di saluran pernapasan. Akibat dari

dua hal tersebut akan menyebabkan kesulitan bernafas sehingga benda asing tertarik

dan bakteri tidak dapat dikeluarkan dari saluran pernapasan, hal ini akan

memudahkan terjadinya infeksi saluran pernapasan (Mukono, 2008).

Page 8: 10 BAB 2 TINJAUAN PUSTAKA 2.1 Definisi ISPA Infeksi Saluran

17

2.2 Epidemiologi

2.2.1 Distribusi dan Frekuensi Penyakit ISPA

ISPA merupakan penyakit yang sering terjadi pada anak-anak. Daya tahan

tubuh anak berbeda dengan orang dewasa karena sistem pertahanan tubuhnya belum

kuat. Apabila di dalam satu rumah seluruh anggota keluarga terkena pilek, anak-anak

akan lebih mudah tertular. Dengan kondisi tubuh anak yang masih lemah, proses

penyebaran penyakit pun menjadi lebih cepat (WHO, 2002). Dalam setahun seorang

anak rata-rata bisa mengalami 3 - 6 kali penyakit ISPA (Depkes RI, 2010). Di

Indonesia, ISPA menempati urutan pertama penyebab kematian pada kelompok bayi

dan balita. Berdasarkan data Survei Kesehatan Nasional 2001 menunjukkan bahwa

proporsi ISPA sebagai penyebab kematian bayi adalah 27,6% sedangkan proporsi

ISPA sebagai penyebab kematian anak balita 22,8% (Depkes RI, 2002).

Hasil survei Program P2 ISPA di 12 propinsi di Indonesia (Sumatera Utara,

Sumatera Barat, Bengkulu, Jawa Barat, Kalimantan Barat, Kalimantan Selatan,

Kalimantan Tengah, Sulawesi Utara, Sulawesi Tenggara, Sulawesi Selatan, Nusa

Tenggara Timur dan Nusa Tenggara Barat) pada tahun 1993 diketahui bahwa jumlah

angka kesakitan tertinggi karena ISPA, yaitu 2,9 per 1000 balita. Selama kurun waktu

2000-2002, jumlah kasus ISPA terlihat berfluktuasi. Pada tahun 2000 terdapat

479.283 kasus (30,1%), tahun 2001 menjadi 620.147 kasus (22,6%) dan pada tahun

2002 menjadi 532.742 kasus (22,1%) (Depkes RI, 2005).

Proporsi rumah tangga di Indonesia yang termasuk ke dalam kriteria tidak

padat adalah sebesar 86,6%. Lima provinsi dengan proporsi tertinggi untuk rumah

Page 9: 10 BAB 2 TINJAUAN PUSTAKA 2.1 Definisi ISPA Infeksi Saluran

18

tangga dengan kategori tidak padat (≥ 8m2/orang) adalah Jawa Tengah (96,6%), DI

Yogyakarta (94,2%), Lampung (93,1%), Bangka Belitung (92,8%) Jambi (92,6%).

Lima provinsi terendah adalah Papua (55,0%), NTT (64,0%), DKI Jakarta (68,3%),

Gorontalo (69,0%), dan Maluku (72,7%)

Prevalensi bayi dengan berat badan lahir rendah (BBLR) berkurang dari 11,1

persen tahun 2010 menjadi 10,2 persen tahun 2013. Variasi antar provinsi sangat

mencolok dari terendah di Sumatera Utara (7,2%) sampai yang tertinggi di Sulawesi

Tengah (16,9%) dan cakupan imunisasi lengkap yang angkanya meningkat dari 41,6

persen (2007) menjadi 59,2 persen (2013), akan tetapi masih dijumpai 32,1 persen

yang diimunisasi tapi tidak lengkap, serta 8,7 persen yang tidak pernah diimunisasi,

dengan alasan takut panas, sering sakit, keluarga tidak mengizinkan, tempat imunisasi

jauh, tidak tahu tempat imunisasi, serta sibuk/repot.

Menyusui hanya ASI saja pada bayi umur 6 bulan meningkat dari 15,3 persen

(2010) menjadi 30,2 persen (2013), demikian juga inisiasi menyusu dini <1 jam

meningkat dari 29,3 persen (2010) menjadi 34,5 persen (2013).

Prevalensi gizi kurang pada balita (BB/U<-2SD) memberikan gambaran yang

fluktuatif dari 18,4 persen (2007) menurun menjadi 17,9 persen (2010) kemudian

meningkat lagi menjadi 19,6 persen (tahun 2013). Beberapa provinsi, seperti Bangka

Belitung, Kalimantan Timur, Kalimantan Tengah, Sulawesi Tengah menunjukkan

kecenderungan menurun. Dua provinsi yang prevalensinya sangat tinggi (>30%)

adalah NTT diikuti Papua Barat, dan dua provinsi yang prevalensinya <15 persen

terjadi di Bali, dan DKI Jakarta (Riskesdas 2013).

Page 10: 10 BAB 2 TINJAUAN PUSTAKA 2.1 Definisi ISPA Infeksi Saluran

19

2.3 Determinan Penyakit ISPA

2.3.1 Status Gizi

Status gizi adalah tingkat keseimbangan antara konsumsi dan penyerapan zat

gizi dan penggunaan zat-zat gizi tersebut, atau keadaan fisiologi akibat dari

tersedianya zat gizi dalam seluler tubuh (Supariasi, 2001), sedangkan menurut

Soekirman (2000), status gizi adalah keadaan kesehatan fisik seseorang atau

sekelompok orang yang ditentukan dengan salah satu atau kombinasi dari ukuran-

ukuran gizi tertentu.

Seorang anak sehat, pada status gizi baik akan tumbuh dan berkembang

dengan baik, berat dan tinggi badannya akan selalu bertambah, sedangkan keadaan

gizi yang buruk akan muncul sebagai faktor risiko yang penting untuk terjadinya

ISPA. Beberapa penelitian telah membuktikan tentang adanya hubungan antara gizi

buruk dan infeksi, sehingga anak-anak yang bergizi buruk sering mendapat

pneumonia.

Balita dengan gizi kurang akan lebih mudah terserang ISPA dibandingkan

dengan balita dengan gizi normal karena faktor daya tahan tubuh yang kurang. Dalam

keadaan gizi yang baik, tubuh mempunyai cukup kemampuan untuk mempertahankan

diri terhadap infeksi. Jika keadaan gizi menjadi buruk maka reaksi kekebalan tubuh

akan menurun yang berarti kemampuan tubuh mempertahankan diri terhadap

serangan infeksi menjadi menurun. Penyakit infeksi sendiri akan menyebabkan balita

tidak mempunyai nafsu makan dan mengakibatkan kekurangan gizi. Pada keadaan

Page 11: 10 BAB 2 TINJAUAN PUSTAKA 2.1 Definisi ISPA Infeksi Saluran

20

gizi kurang, balita lebih mudah terserang ISPA lebih berat bahkan serangannya lebih

lama (Maryunani, 2011).

Penelitian yang dilakukan oleh Dewi dkk (1996), didapatkan hasil bahwa

status gizi kurang pada anak balita mempunyai risiko untuk terkena ISPA 2,5 kali

lebih besar dibandingkan dengan anak yang bergizi baik. Sejalan dengan penelitian

Rosalina (2010) bahwa anak balita yang gizinya kurang mempunyai risiko 6,5 kali

menderita ISPA dibanding anak balita yang gizinya baik.

Untuk menilai status gizi balita ada beberapa kategori status gizi menurut

indikator yang digunakan dan batas-batasnya, seperti pada tabel dibawah ini :

Tabel 3.1. Baku Antropometri Menurut Standar WHO-NCHS

Indikator Status Gizi Keterangan Berat badan menurut umur (BB/U) Gizi Lebih

Gizi Baik Gizi Kurang Gizi Buruk

> 2 SD -2 SD sampai + 2 SD < 2 SD sampai -3 SD < - 3 SD

Tinggi badan menurut umur (TB/U)

Normal Pendek

- 2 SD sampai + 2 SD < - 2 SD

Berat badan menurut tinggi badan (BB/TB)

Gemuk Normal Kurus Kurus Sekali

> 2 SD - 2 SD sampai + 2 SD < 2 SD sampai -3 SD < - 3 SD

Sumber : Depkes RI, 2002 2.3.2 Berat Bayi Lahir

Berat Bayi Lahir Rendah (BBLR) ditetapkan sebagai suatu berat lahir yang

kurang 2.500 gram. Berat bayi lahir menentukan pertumbuhan dan perkembangan

fisik dan mental pada masa balita. Bayi dengan berat lahir rendah mempunyai risiko

kematian yang lebih besar dibandingkan dengan berat bayi lahir normal, terutama

Page 12: 10 BAB 2 TINJAUAN PUSTAKA 2.1 Definisi ISPA Infeksi Saluran

21

pada bulan-bulan pertama kelahiran karena pembentukan zat anti kekebalan kurang

sempurna sehingga lebih mudah terkena penyakit infeksi, terutama pneumonia dan

sakit saluran pernapasan lainnya (Maryunani, 2011).

Batasan operasional yang digunakan oleh departemen kesehatan untuk BBLR

adalah bayi yang lahir dengan berat dibawah 2500 gram, berat lahir 2500 gram atau

lebih tidak termasuk dalam kategori BBLR.

Bayi dengan BBLR sering mengalami gangguan pernapasan. Hal ini

disebabkan oleh pertumbuhan dan pengembangan paru yang belum sempurna dan

otot pernapasan yang masih lemah ( Prawirohardjo, 2002).

Hasil Penelitian oleh Rosalina (2010) menunjukkan bahwa anak balita yang

yang berat badan lahirnya kurang mempunyai risiko 3,9 kali menderita ISPA

dibandingkan anak balita yang berat badan lahirnya tidak rendah.

2.3.3 Status ASI

Air Susu Ibu (ASI) merupakan makanan bayi yang paling sempurna, bersih

dan sehat serta praktis karena mudah diberikan setiap saat. ASI dapat mencukupi

kebutuhan gizi bayi untuk tumbuh kembang dengan normal sampai berusia 6 bulan.

ASI Eksklusif adalah pemberian ASI saja kepada bayi sampai umur 6 bulan tanpa

mamberikan makanan atau cairan lain (Depkes RI, 2002).

Pada waktu lahir sampai berusia beberapa bulan bayi belum dapat membentuk

kekebalan sendiri secara sempurna. ASI mampu memberikan perlindungan terhadap

infeksi dan alergi serta merangsang perkembangan sistem kekebalan bayi itu sendiri.

Dengan adanya zat anti infeksi pada ASI maka bayi dengan ASI eksklusif akan

Page 13: 10 BAB 2 TINJAUAN PUSTAKA 2.1 Definisi ISPA Infeksi Saluran

22

terlindungi dari berbagai macam infeksi, baik yang disebabkan oleh bakteri, virus,

jamur atau parasit (Roesli, 2000).

Keunggulan lainnya, ASI mengandung gizi yang cukup lengkap dan

komposisinya disesuaikan dengan sistem pencernaan bayi sehingga zat gizi cepat

terserap. Berbeda dengan susu formula atau makanan tambahan yang diberikan secara

dini pada bayi. Susu formula sangat susah diserap usus bayi sehingga dapat

menyebabkan susah buang air besar pada bayi. Proses pembuatan susu formula yang

tidak steril menyebabkan bayi rentan terkena diare. Hal ini akan menjadi pemicu

terjadinya kurang gizi pada anak dan akibat dari kurang gizi anak lebih mudah

terserang penyakit infeksi.

Hasil Penelitina oleh Rosalina (2010), menunjukkan bahwa anak balita yang

tidak ASI ekslusif mempunyai risiko 13,8 kali menderita ISPA dibandingkan dengan

anak balita yang ASI ekslusif.

2.3.4 Status Imunisasi

Imunisasi berasal dari kata imun yang berarti kebal atau resisten. Anak yang

diimunisasi berarti diberikan kekebalan terhadap suatu penyakit tertentu. Dalam

imunologi, kuman atau racun kuman (toksin) disebut antigen. Imunisasi merupakan

upaya pemberian kekebalan tubuh yang terbentuk melalui vaksinasi.

Imunisasi bermafaat untuk mencegah beberapa jenis penyakit infeksi seperti

polio, TBC, difteri, pertusis, tetanus dan hepatitis B. Bahkan imunisasi juga dapat

mencegah kematian dari akibat penyakit-penyakit tersebut. Sebagian besar kasus

ISPA merupakan penyakit yang dapat dicegah dengan imunisasi, penyakit yang

Page 14: 10 BAB 2 TINJAUAN PUSTAKA 2.1 Definisi ISPA Infeksi Saluran

23

tergolong ISPA yang dapat dicegah dengan imunisasi adalah difteri dan batuk rejan.

(Depkes RI, 2002).

Sebagian besar kematian ISPA berasal dari jenis ISPA yang berkembang dari

penyakit yang dapat dicegah dengan imunisasi seperti difteri, pertusis dan campak,

maka peningkatan cakupan imunisasi akan berperan dalam upaya pemberantasan

ISPA. Untuk mengurangi faktor yang meningkatkan mortalitas ISPA, diupayakan

imunisasi lengkap. Cara yang terbukti paling efektif saat ini adalah dengan pemberian

imunisasi Campak dan DPT (Maryunani, 2011).

Hasil Penelitian oleh Rosalina (2010), menunjukkan bahwa anak balita yang

imunisasi tidak lengkap mempunyai risiko sebesar 6,1 kali menderita ISPA

dibandingkan dengan anak balita imunisasi lengkap.

2.3.5 Faktor Lingkungan (Environment)

Lingkungan merupakan segala sesuatu ataupun kondisi di sekitar ruang

lingkup kehidupan manusia atau individu. Salah satu diantaranya adalah lingkungan

fisik yaitu temperatur, cahaya, pertukaran udara, perumahan, pakaian, air, tanah dan

sebagainya (Dainur, 1995). Faktor lingkungan memegang peranan yang penting

dalam menentukan terjadinya proses interaksi antara host dengan agent dalam proses

terjadinya penyakit. Secara garis besar lingkungan terdiri dari lingkungan fisik,

biologis dan sosial. Keadaan fisik sekitar manusia berpengaruh terhadap manusia baik

secara langsung maupun tidak terhadap lingkungan biologis dan lingkungan sosial

manusia. Lingkungan fisik (termasuk unsur kimia) meliputi udara, kelembaban, air

dan pencemaran udara. Berkaitan dengan ISPA adalah termasuk air borne disease

Page 15: 10 BAB 2 TINJAUAN PUSTAKA 2.1 Definisi ISPA Infeksi Saluran

24

karena salah satu penularannya melalui udara yang tercemar dan masuk ke dalam

tubuh melalui saluran pernapasan, maka udara secara epidemologi mempunyai

peranan penting yang besar pada transmisi penyakit infeksi saluran pernapasan.

Perkembangan timbulnya penyakit menggambarkan secara spesifik peran

lingkungan dalam terjadinya penyakit dan wabah sejak lama sudah diperkirakan

pengaruh lingkungan terhadap terjadinya penyakit. Apabila dilihat dari segi ilmu

lingkungan, penyakit terjadi karena adanya interaksi antara manusia dengan

lingkungan hidupnya (Soemirat, 2007).

Status kesehatan masyarakat dipengaruhi oleh 3 faktor, yaitu induk semang

(host), agen penyakit (agent) dan lingkungan (environment). Ketiga faktor tersebut

akan berinteraksi dan menimbulkan hasil positif maupun negatif. Hasil interaksi akan

menimbulkan keadaan sehat sedangkan interaksi yang negatif akan memberikan

keadaan sakit. Kualitas udara dalam ruangan dipengaruhi oleh ventilasi, kepadatan

penghuni.

2.3.5.1 Ventilasi

Menurut Notoatmodjo (2007) ventilasi adalah proses udara segar ke dalam

dan mengeluarkan udara kotor dari suatu ruangan tertutup secara alamiah maupun

buatan. Ventilasi adalah suatu usaha untuk menyediakan udara segar, mencegah

akumulasi gas beracun dan mikroorganisme, memelihara temperatur dan kelembaban

optimum terhadap udara di dalam ruangan. Ventilasi yang baik akan memberikan

rasa nyaman dan menjaga kesehatan penghuninya.

Page 16: 10 BAB 2 TINJAUAN PUSTAKA 2.1 Definisi ISPA Infeksi Saluran

25

Menurut Sanropie (1989), lubang hawa atau ventilasi tetap minimal 5 % dari

luas lantai ruangan. Sedangkan luas lubang ventilasi insidentil (dapat dibuka dan

ditutup), yaitu jendela minimal 5% dari luas lantai ruangan. Jumlah keduanya adalah

10% dari luas lantai ruangan.

Ventilasi rumah mempunyai banyak fungsi. Fungsi yang pertama adalah

menjaga agar aliran udara dalam rumah tetap segar sehingga keseimbangan O2 tetap

terjaga, karena kurangnya ventilasi menyebabkan kurangnya O2 yang berarti kadar

CO2 menjadi racun. Fungsi kedua adalah untuk membebaskan udara ruangan dari

bakteri-bakteri, terutama bakteri patogen dan menjaga agar rumah selalu tetap dalam

kelembaban yang optimum (Notoatmodjo, 2007). Kelembaban yang tinggi dapat

menyebabkan peningkatan risiko kejadian ISPA. Adanya pemasangan ventilasi

rumah merupakan salah satu upaya untuk mencegah terjadinya penyakit ISPA

(Mukono, 2008).

Berdasarkan kejadiannya ventilasi dibagi menjadi dua yaitu :

a) Ventilasi Alamiah

Ventilasi alamiah berguna untuk mengalirkan udara di dalam ruangan yang

terjadi secara alamiah melalui jendela, pintu dan lubang angin. Selain itu ventilasi

alamiah juga menggerakkan udara sebagai hasil poros dinding ruangan, atap dan

lantai.

b) Ventilasi Buatan

Ventilasi buatan dapat dilakukan dengan menggunakan alat mekanis maupun

elektrik. Alat-alat tersebut di antaranya adalah kipas angin, exhauster dan AC.

Page 17: 10 BAB 2 TINJAUAN PUSTAKA 2.1 Definisi ISPA Infeksi Saluran

26

Menurut Kemenkes No. 829/Menkes/SK/VII/1999 tentang ketentuan

persyaratan kesehatan rumah tinggal secara umum penilaian ventilasi rumah dapat

dilakukan dengan cara melihat indikator penghawaan rumah, luas ventilasi yang

memenuhi syarat kesehatan adalah lebih dari sama dengan 10% dari luas lantai rumah

dan luas ventilasi yang tidak memenuhi syarat kesehatan adalah kurang dari 10% dari

luas lantai rumah.

Udara yang bersih merupakan komponen utama didalam rumah dan sangat

diperlukan oleh manusia untuk hidup sehat. Sirkulasi udara berkaitan dengan masalah

ventilasi. Sebuah penelitian menunjukkan hubungan penyakit saluran pernapasan

dengan kondisi ventilasi. Sebab itu kondisi ventilasi dapat dijadikan indikator rumah

sehat (Achmadi, 1991).

Penelitian Cintya (2012) menunjukkan bahwa ventilasi yang tidak memenuhi

syarat mempunyai risiko 4,4 kali menderita ISPA dibanding ventilasi yang memenuhi

syarat, sejalan dengan hasil penelitian Taisir (2005).

2.3.5.2 Kepadatan Hunian

Rumah harus menjamin kesehatan penghuninya, salah satu syarat rumah sehat

adalah memenuhi kebutuhan fisiologis. Secara fisik kebutuhan fisiologis meliputi

kebutuhan suhu yang optimal, pencahayaan yang optimal, perlindungan terhadap

kebisingan, ventilasi yang memadai, dan tersedianya ruang sesuai dengan

peruntukannya seperti ruang tamu, kamar tidur, dapur, ruang bermain anak, gudang,

kamar mandi dan kakus (Mukono, 2000).

Page 18: 10 BAB 2 TINJAUAN PUSTAKA 2.1 Definisi ISPA Infeksi Saluran

27

Kepadatan hunian kamar diukur dengan cara menghitung luas lantai rumah

(m2) dibagi dengan jumlah penghuni. Diperkotaan dengan semakin sempitnya lahan,

luas lantai rumah dapat berkurang sampai 6 m2 per orang, untuk mengatasi hal ini

rumah dibangun bertingkat, sedangkan dipedesaan masih diperlukan 10 m2 per orang

(Azwar, 1989).

Berdasarkan Kemenkes RI No.829 tahun 1999 tentang kesehatan perumahan

menetapkan bahwa luas ruang tidur lebih dari atau sama dengan 8m2 dikategorikan

sebagai tidak padat dan tidak dianjurkan digunakan lebih dari dua orang tidur dalam

satu kamar tidur. Bangunan yang sempit dan tidak sesuai dengan jumlah penghuninya

akan mempunyai dampak kurangnya oksigen di dalam ruangan sehingga daya tahan

penghuninya menurun, kemudian cepat timbulnya penyakit saluran pernapasan

seperti ISPA.

Kepadatan di dalam kamar terutama kamar balita yang tidak sesuai dengan

standar akan meningkatkan suhu ruangan yang disebabkan oleh pengeluaran panas

badan yang akan meningkatkan kelembaban akibat uap air dari pernapasan tersebut.

Dengan demikian, semakin banyak jumlah penghuni ruangan tidur maka semakin

cepat udara ruangan mengalami pencemaran gas atau bakteri. Dengan banyaknya

penghuni, maka kadar oksigen dalam ruangan menurun dan diikuti oleh peningkatan

CO2 dan dampak peningkatan CO2 dalam ruangan adalah penurunan kualitas udara

dalam ruangan.

Hasil Penelitian Rosalina (2010), menunjukkan bahwa anak balita yang

tempat tinggalnya padat mempunyai risiko 9,9 kali menderita ISPA dibandingkan

Page 19: 10 BAB 2 TINJAUAN PUSTAKA 2.1 Definisi ISPA Infeksi Saluran

28

dengan anak balita yang tempat tinggalnya padat, sejalan dengan hasil penelitian

Taisir (2005) bahwa ada hubungan yang bermakna antara kepadatan hunian rumah

dengan kejadian ISPA, dan tidak sejalan dengan penelitian Listyowati (2013).

2.3.5.3 Bahan Bakar untuk Memasak

Bahan bakar yang digunakan untuk memasak sehari-hari dapat menyebabkan

kualitas udara menjadi rusak. Kualitas udara di 74% wilayah pedesaan di China tidak

memenuhi standar nasional pada tahun 2002, hal ini menimbulkan terjadinya

peningkatan penyakit paru dan penyakit paru ini telah menyebabkan 1,3 juta

kematian.

Berdasarkan hasil penelitian Afrida (2007), menunjukkan bahwa ada

hubungan yang bermakna antara penggunaan bahan bakar memasak dengan kejadian

penyakit ISPA.

2.4 Landasan Teori

Menurut John Gordon bahwa timbulnya suatu penyakit dipengaruhi oleh

adanya pengaruh faktor pejamu (host), agent dan lingkungan ( Environment) yang

digambarkan dengan model tuas (gambar 2.1.). Agent suatu penyakit meliputi agent

biologis dan non biologis, misalnya agent fisik, kimia. Faktor host adalah faktor-

faktor intrinstik yang dapat mempengaruhi kerentanan pejamu terhadap faktor agent.

Sedangkan faktor lingkungan adalah elemen-elemen ekstrinstik yang dapat

mempengaruhi keterpaparan pejamu terhadap faktor agent.

Page 20: 10 BAB 2 TINJAUAN PUSTAKA 2.1 Definisi ISPA Infeksi Saluran

29

Host Agen

Environment

Gambar 2.2. Neraca Keseimbangan Model terjadinya Gangguan Kesehatan atau Penyakit Termasuk Didalamnya “Kejadian ISPA”

Berdasarkan hasil penelitian diberbagai negara, termasuk Indonesia dan

berbagai publikasi ilmiah dilaporkan faktor risiko yang meningkatkan kejadian

(morbiditas) ISPA yang akan dijelaskan berikut, yaitu:

a. Host (Pejamu)

Manusia yang keberadaannya dipengaruhi oleh ; umur, jenis kelamin, status gizi,

berat bayi rendah, status ASI, status imunisasi, vitamin A.

b. Agent

Faktor penyebab penyakit tersebut meliputi bakteri, virus, dan parasit (infection

agent).

c. Environment (Lingkungan)

Faktor di luar penderita yang akan mempengaruhi keberadaan host terdiri dari

lingkungan biologis, fisik dan sosial. Dalam penelitian ini yang berperan sebagai

faktor lingkungan meliputi : bakteri, virus dan parasit (infectious agent), ventilasi,

dan kepadatan hunian kamar.

Konsep di atas adalah suatu konsep yang dinamis, setiap perubahan dari

ketiga lingkungan tersebut akan menyebabkan bertambahnya atau berkurang nya

Page 21: 10 BAB 2 TINJAUAN PUSTAKA 2.1 Definisi ISPA Infeksi Saluran

30

kejadian suatu penyakit. Untuk itu guna menurunkan kesakitan atau kejadian ISPA,

maka dirumuskan suatu upaya pemberantasan penyakit dengan pendekatan terhadap

faktor risiko yang berhubungan melalui kerjasama dengan program imunisasi,

program bina kesehatan balita, program bina gizi masyarakat dan program

penyehatan lingkungan pemukiman (Depkes RI, 2001).

2.5 Kerangka Teori

Gambar 2.3 Depkes RI 2000, Dewi 2012, Widoyono 2008

FAKTOR INTRINSTIK

Karakteristik Ibu • Umur • Pendidikan • Pekerjaan Karakteristik Balita • Umur • Jenis Kelamin • Status Gizi • BBLR • Status Imunisasi • Status Pemberian ASI • Status Vitamin A

FAKTOR EKSTRINSIK

Lingkungan Fisik • Kelembaban Udara • Pencahayaan • Ventilasi • Suhu Udara • Kepadatan Hunian • Pencemaran Udara

dalam Rumah

AGENT

Virus Bakteri

ISPA pada Balita

Page 22: 10 BAB 2 TINJAUAN PUSTAKA 2.1 Definisi ISPA Infeksi Saluran

31

2.6 Kerangka Konsep

Kerangka konsep merupakan model konseptual yang berkaitan atau saling

ketergantungan antara variabel yang dianggap perlu untuk melengkapi dinamika

situasi atau hal yang sedang atau akan diteliti (Hidayat, 2011). Mengacu pada

landasan teoritis yang telah dikemukakan di atas, maka kerangka konsep dalam

penelitian ini adalah :

Variabel Independen Variabel Dependen

Gambar 2.4 Kerangka Konsep Penelitian

Karakteristik Balita 1. Status Gizi 2. Berat Bayi Lahir 3. Status Pemberian ASI 4. Status Imunisasi

Lingkungan Fisik Rumah 1. Ventilasi Rumah 2. Kepadatan Hunian

Kamar 3. Bahan Bakar Untuk

Memasak

Kejadian ISPA