10
BAB 2
TINJAUAN PUSTAKA
2.1 Definisi ISPA
Infeksi Saluran Pernapasan Akut (ISPA) dibedakan menjadi dua, ISPA atas
dan bawah, Infeksi saluran pernapasan atas adalah infeksi yang disebabkan oleh virus
dan bakteri termasuk nasofaringitis atau common cold, faringitis akut, uvulitis akut,
rhinitis, nasofaringitis kronis, sinusitis. Sedangkan, infeksi saluran pernapasan akut
bawah merupakan infeksi yang telah didahului oleh infeksi saluran atas yang
disebabkan oleh infeksi bakteri sekunder, yang termasuk dalam penggolongan ini
adalah bronkhitis akut, bronkhitis kronis, bronkiolitis dan pneumonia aspirasi
(Nelson, 2002).
2.1.1 Jenis-jenis ISPA
Penyakit infeksi saluran pernapasan akut menyerang salah satu bagian dan
atau lebih dari saluran nafas mulai hidung (saluran atas) hingga alveoli (saluran
bawah) termasuk jaringan aksesoris seperti sinus, rongga telinga tengah dan pleura.
Istilah ISPA meliputi tiga unsur yakni antara lain :
1) Infeksi
Infeksi merupakan masuknya kuman atau mikroorganisme ke dalam tubuh
manusia dan berkembang biak sehingga menimbulkan gejala penyakit.
10
11
2) Saluran pernapasan
Saluran pernapasan merupakan organ mulai dari hidung hingga alveoli beserta
organ aksesorinya seperti sinus, rongga telinga tengah dan pleura.
3) Infeksi Akut
Infeksi yang berlangsung sampai dengan 14 hari. Batas 14 hari ditentukan
untuk menunjukkan proses akut meskipun untuk beberapa penyakit yang dapat
digolongkan dalam ISPA proses ini dapat berlangsung lebih dari 14 hari. Penyakit
ISPA secara anatomis mencakup saluran pernapasan bagian atas, saluran pernapasan
bagian bawah (termasuk paru-paru) dan organ aksesoris saluran pernapasan.
Berdasarkan batasan tersebut jaringan paru termasuk dalam saluran pernapasan
(respiratory tract).
2.1.2 Klasifikasi Berdasarkan Lokasi Anatomi
Berdasarkan lokasi anatomik ISPA digolongkan dalam dua golongan yaitu :
Infeksi Saluran Pernafasan atas Akut (ISPaA) dan Infeksi Saluran Pernafasan bawah
Akut (ISPbA).
a. Infeksi Saluran Pernafasan atas Akut (ISPaA)
Infeksi Saluran Pernafasan atas Akut (ISPaA) adalah infeksi yang menyerang
hidung sampai bagian faring seperti : pilek, sinusitis, otitis media (infeksi pada
telinga tengah), faringitis (infeksi pada tenggorokan). Infeksi saluran pernafasan atas
digolongkan ke dalam penyakit bukan pneumonia.
12
b. Infeksi Saluran Pernafasan Bawah Akut (ISPbA)
Infeksi Saluran Pernafasan bawah Akut (ISPbA) adalah infeksi yang
menyerang mulai dari bagian epiglotis atau laring sanpai dengan alveoli, dinamakan
sesuai dengan organ saluran nafas, seperti : epiglotitis, laryngitis, laryngotrachetis,
bronchitis, bronchiolitis dan pneumonia.
Gambar 2.1. Anatomi Saluran Pernafasan Berdasarkan Lokasi Anatomik
Program pemberantasan penyakit (P2) ISPA mengelompokkan dalam 2
golongan yaitu :
1) ISPA Non-Pneumonia
Merupakan penyakit yang banyak dikenal masyarakat dengan istilah batuk
dan pilek (common cold).
2) ISPA Pneumonia
Pengertian pneumonia sendiri merupakan proses infeksi akut yang mengenai
jaringan paru-paru (alveoli) biasanya disebabkan oleh invasi kuman bakteri, yang
13
ditandai oleh gejala klinik batuk, disertai adanya nafas cepat ataupun tarikan dinding
dada bagian bawah.
Berdasarkan kelompok umur program-program pemberantasan ISPA (P2
ISPA) mengklasifikasikan ISPA sebagai berikut :
1) Kelompok umur kurang dari 2 bulan, diklasifikasikan atas :
a) Pneumonia berat : apabila dalam pemeriksaan ditemukan adanya penarikan
yang kuat pada dinding dada bagian bawah ke dalam dan adanya nafas cepat,
frekuensi nafas 60 kali per menit atau lebih.
b) Bukan pneumonia (batuk pilek biasa) : bila tidak ditemukan tanda tarikan
yang kuat dinding dada bagian bawah ke dalam dan tidak ada nafas cepat,
frekuensi kurang dari 60 menit.
2) Kelompok umur 2 bulan - <5 tahun diklasifikasikan atas :
a) Pneumonia berat : apabila dalam pemeriksaan ditemukan adanya tarikan
dinding dada dan bagian bawah ke dalam.
b) Pneumonia : tidak ada tarikan dada bagian bawah kedalam, adanya nafas
cepat, frekuensi nafas 50 kali atau lebih pada umur 2 - <12 bulan dan 40 kali
per menit atau lebih pada umur 12 bulan - <5 tahun.
c) Bukan pneumonia : tidak ada tarikan dinding dada bagian bawah ke dalam,
tidak ada nafas cepat, frekuensi kurang dari 50 kali per menit pada anak
umur 2- <12 bulan dan kurang dari 40 permenit 12 bulan - <5 bulan.
Penyakit ISPA pada balita dapat menimbulkan bermacammacam tanda dan
14
gejala seperti batuk, kesulitan bernafas, sakit tenggorokan, pilek, sakit
telinga dan demam.
2.1.3 Etiologi ISPA
Etiologi ISPA terdiri dari bakteri, virus, jamur, dan aspirasi. Bakteri penyebab
ISPA antara lain Diplococcus pneumoniae, Pneumococcus, Streptococcus pyogenes,
Staphylococcus aureus, dan Haemophilus influenza. Virus penyebab ISPA antara lain
Influenza, Adenovirus, dan Sitomegalovirus. Jamur yang dapat menyebabkan ISPA
antara lain Aspergillus sp., Candida albicans, dan Histoplasma. Sedangkan aspirasi
lain yang juga dapat menjadi penyebab ISPA adalah makanan, asap kendaraan
bermotor, BBM (bahan bakar minyak) biasanya minyak tanah, cairan amnion pada
saat lahir, dan benda asing seperti biji-bijian (Widoyono, 2008). Perilaku individu,
seperti sanitasi fisik rumah, kurangnya ketersediaan air bersih (Depkes RI, 2005).
2.1.4 Gejala ISPA
Gejala ISPA dibagi menjadi 3 antara lain sebagai berikut :
1. Gejala dari ISPA ringan
Seseorang balita dinyatakan menderita ISPA ringan jika ditemukan satu atau
lebih gejala-gejala sebagai berikut :
a) Batuk
b) Serak, yaitu anak bersuara parau pada waktu mengeluarkan suara (pada
waktu berbicara atau menangis)
c) Pilek, yaitu mengeluarkan lendir atau ingus dari hidung
d) Panas atau demam, suhu badan lebih dari 37°C.
15
2. Gejala dari ISPA sedang
Seseorang balita dinyatakan menderita ISPA sedang jika dijumpai gejala dari
ISPA ringan disertai satu atau lebih gejala-gejala sebagai berikut :
a) Pernapasan cepat (fast breathing) sesuai umur yaitu :
untuk kelompok umur kurang dari 2 bulan frekuensi nafas 60 kali per menit
atau lebih untuk umur 2-<12 bulan dan 40 kali per menit atau lebih pada
umur 12 bulan - < 5 tahun.
b) Suhu tubuh lebih dari 39°C
c) Tenggorokan berwarna merah
d) Timbul bercak-bercak merah pada kulit menyerupai bercak campak
e) Telinga sakit atau mengeluarkan nanah dari lubang telinga
f) Pernapasan berbunyi seperti mengorok (mendengkur)
3) Gejala dari ISPA Berat
Seseorang balita dinyatakan menderita ISPA berat jika dijumpai gejala-gejala
ISPA ringan atau ISPA sedang disertai satu atau lebih gejala-gejala sebagai
berikut :
a) Bibir atau kulit membiru
b) Anak tidak sadar atau kesadaran menurun
c) Pernapasan berbunyi seperti mengorok dan anak tampak gelisah
d) Sela iga tetarik ke dalam pada waktu bernafas
e) Nadi cepat lebih dari 160 kali per menit atau tidak teraba
f) Tenggorokan berwarna merah
16
2.1.5 Cara Penularan ISPA
Penyebaran melalui kontak langsung atau tidak langsung dari benda yang
telah dicemari virus dan bakteri penyebab ISPA (hand to hand transmission) dan
dapat juga ditularkan melalui udara tercemar (air borne disease) pada penderita ISPA
yang kebetulan mengandung bibit penyakit melalui sekresi berupa saliva atau sputum.
2.1.6 Patogenesis Infeksi Saluran Pernapasan
Saluran pernapasan dari hidung sampai bronkhus dilapisi oleh membran
mukosa bersilia, udara yang masuk melalui rongga hidung disaring, dihangatkan dan
dilembutkan. Partikel debu yang kasar dapat disaring oleh rambut yang terdapat
dalam hidung, sedangkan partikel debu yang halus akan terjerat dalam membran
mukosa. Gerakan silia mendorong membran mukosa ke posterior ke rongga hidung
dan ke arah superior menuju faring. Secara umum efek pencemaran udara terhadap
pernapasan dapat menyebabkan pergerakan silia hidung menjadi lambat dan kaku
bahkan dapat berhenti sehingga tidak dapat membersihkan saluran pernapasan akibat
iritasi oleh bahan pencemar. Produksi lendir akan meningkat sehingga menyebabkan
penyempitan saluran pernapasan dan makrofage di saluran pernapasan. Akibat dari
dua hal tersebut akan menyebabkan kesulitan bernafas sehingga benda asing tertarik
dan bakteri tidak dapat dikeluarkan dari saluran pernapasan, hal ini akan
memudahkan terjadinya infeksi saluran pernapasan (Mukono, 2008).
17
2.2 Epidemiologi
2.2.1 Distribusi dan Frekuensi Penyakit ISPA
ISPA merupakan penyakit yang sering terjadi pada anak-anak. Daya tahan
tubuh anak berbeda dengan orang dewasa karena sistem pertahanan tubuhnya belum
kuat. Apabila di dalam satu rumah seluruh anggota keluarga terkena pilek, anak-anak
akan lebih mudah tertular. Dengan kondisi tubuh anak yang masih lemah, proses
penyebaran penyakit pun menjadi lebih cepat (WHO, 2002). Dalam setahun seorang
anak rata-rata bisa mengalami 3 - 6 kali penyakit ISPA (Depkes RI, 2010). Di
Indonesia, ISPA menempati urutan pertama penyebab kematian pada kelompok bayi
dan balita. Berdasarkan data Survei Kesehatan Nasional 2001 menunjukkan bahwa
proporsi ISPA sebagai penyebab kematian bayi adalah 27,6% sedangkan proporsi
ISPA sebagai penyebab kematian anak balita 22,8% (Depkes RI, 2002).
Hasil survei Program P2 ISPA di 12 propinsi di Indonesia (Sumatera Utara,
Sumatera Barat, Bengkulu, Jawa Barat, Kalimantan Barat, Kalimantan Selatan,
Kalimantan Tengah, Sulawesi Utara, Sulawesi Tenggara, Sulawesi Selatan, Nusa
Tenggara Timur dan Nusa Tenggara Barat) pada tahun 1993 diketahui bahwa jumlah
angka kesakitan tertinggi karena ISPA, yaitu 2,9 per 1000 balita. Selama kurun waktu
2000-2002, jumlah kasus ISPA terlihat berfluktuasi. Pada tahun 2000 terdapat
479.283 kasus (30,1%), tahun 2001 menjadi 620.147 kasus (22,6%) dan pada tahun
2002 menjadi 532.742 kasus (22,1%) (Depkes RI, 2005).
Proporsi rumah tangga di Indonesia yang termasuk ke dalam kriteria tidak
padat adalah sebesar 86,6%. Lima provinsi dengan proporsi tertinggi untuk rumah
18
tangga dengan kategori tidak padat (≥ 8m2/orang) adalah Jawa Tengah (96,6%), DI
Yogyakarta (94,2%), Lampung (93,1%), Bangka Belitung (92,8%) Jambi (92,6%).
Lima provinsi terendah adalah Papua (55,0%), NTT (64,0%), DKI Jakarta (68,3%),
Gorontalo (69,0%), dan Maluku (72,7%)
Prevalensi bayi dengan berat badan lahir rendah (BBLR) berkurang dari 11,1
persen tahun 2010 menjadi 10,2 persen tahun 2013. Variasi antar provinsi sangat
mencolok dari terendah di Sumatera Utara (7,2%) sampai yang tertinggi di Sulawesi
Tengah (16,9%) dan cakupan imunisasi lengkap yang angkanya meningkat dari 41,6
persen (2007) menjadi 59,2 persen (2013), akan tetapi masih dijumpai 32,1 persen
yang diimunisasi tapi tidak lengkap, serta 8,7 persen yang tidak pernah diimunisasi,
dengan alasan takut panas, sering sakit, keluarga tidak mengizinkan, tempat imunisasi
jauh, tidak tahu tempat imunisasi, serta sibuk/repot.
Menyusui hanya ASI saja pada bayi umur 6 bulan meningkat dari 15,3 persen
(2010) menjadi 30,2 persen (2013), demikian juga inisiasi menyusu dini <1 jam
meningkat dari 29,3 persen (2010) menjadi 34,5 persen (2013).
Prevalensi gizi kurang pada balita (BB/U<-2SD) memberikan gambaran yang
fluktuatif dari 18,4 persen (2007) menurun menjadi 17,9 persen (2010) kemudian
meningkat lagi menjadi 19,6 persen (tahun 2013). Beberapa provinsi, seperti Bangka
Belitung, Kalimantan Timur, Kalimantan Tengah, Sulawesi Tengah menunjukkan
kecenderungan menurun. Dua provinsi yang prevalensinya sangat tinggi (>30%)
adalah NTT diikuti Papua Barat, dan dua provinsi yang prevalensinya <15 persen
terjadi di Bali, dan DKI Jakarta (Riskesdas 2013).
19
2.3 Determinan Penyakit ISPA
2.3.1 Status Gizi
Status gizi adalah tingkat keseimbangan antara konsumsi dan penyerapan zat
gizi dan penggunaan zat-zat gizi tersebut, atau keadaan fisiologi akibat dari
tersedianya zat gizi dalam seluler tubuh (Supariasi, 2001), sedangkan menurut
Soekirman (2000), status gizi adalah keadaan kesehatan fisik seseorang atau
sekelompok orang yang ditentukan dengan salah satu atau kombinasi dari ukuran-
ukuran gizi tertentu.
Seorang anak sehat, pada status gizi baik akan tumbuh dan berkembang
dengan baik, berat dan tinggi badannya akan selalu bertambah, sedangkan keadaan
gizi yang buruk akan muncul sebagai faktor risiko yang penting untuk terjadinya
ISPA. Beberapa penelitian telah membuktikan tentang adanya hubungan antara gizi
buruk dan infeksi, sehingga anak-anak yang bergizi buruk sering mendapat
pneumonia.
Balita dengan gizi kurang akan lebih mudah terserang ISPA dibandingkan
dengan balita dengan gizi normal karena faktor daya tahan tubuh yang kurang. Dalam
keadaan gizi yang baik, tubuh mempunyai cukup kemampuan untuk mempertahankan
diri terhadap infeksi. Jika keadaan gizi menjadi buruk maka reaksi kekebalan tubuh
akan menurun yang berarti kemampuan tubuh mempertahankan diri terhadap
serangan infeksi menjadi menurun. Penyakit infeksi sendiri akan menyebabkan balita
tidak mempunyai nafsu makan dan mengakibatkan kekurangan gizi. Pada keadaan
20
gizi kurang, balita lebih mudah terserang ISPA lebih berat bahkan serangannya lebih
lama (Maryunani, 2011).
Penelitian yang dilakukan oleh Dewi dkk (1996), didapatkan hasil bahwa
status gizi kurang pada anak balita mempunyai risiko untuk terkena ISPA 2,5 kali
lebih besar dibandingkan dengan anak yang bergizi baik. Sejalan dengan penelitian
Rosalina (2010) bahwa anak balita yang gizinya kurang mempunyai risiko 6,5 kali
menderita ISPA dibanding anak balita yang gizinya baik.
Untuk menilai status gizi balita ada beberapa kategori status gizi menurut
indikator yang digunakan dan batas-batasnya, seperti pada tabel dibawah ini :
Tabel 3.1. Baku Antropometri Menurut Standar WHO-NCHS
Indikator Status Gizi Keterangan Berat badan menurut umur (BB/U) Gizi Lebih
Gizi Baik Gizi Kurang Gizi Buruk
> 2 SD -2 SD sampai + 2 SD < 2 SD sampai -3 SD < - 3 SD
Tinggi badan menurut umur (TB/U)
Normal Pendek
- 2 SD sampai + 2 SD < - 2 SD
Berat badan menurut tinggi badan (BB/TB)
Gemuk Normal Kurus Kurus Sekali
> 2 SD - 2 SD sampai + 2 SD < 2 SD sampai -3 SD < - 3 SD
Sumber : Depkes RI, 2002 2.3.2 Berat Bayi Lahir
Berat Bayi Lahir Rendah (BBLR) ditetapkan sebagai suatu berat lahir yang
kurang 2.500 gram. Berat bayi lahir menentukan pertumbuhan dan perkembangan
fisik dan mental pada masa balita. Bayi dengan berat lahir rendah mempunyai risiko
kematian yang lebih besar dibandingkan dengan berat bayi lahir normal, terutama
21
pada bulan-bulan pertama kelahiran karena pembentukan zat anti kekebalan kurang
sempurna sehingga lebih mudah terkena penyakit infeksi, terutama pneumonia dan
sakit saluran pernapasan lainnya (Maryunani, 2011).
Batasan operasional yang digunakan oleh departemen kesehatan untuk BBLR
adalah bayi yang lahir dengan berat dibawah 2500 gram, berat lahir 2500 gram atau
lebih tidak termasuk dalam kategori BBLR.
Bayi dengan BBLR sering mengalami gangguan pernapasan. Hal ini
disebabkan oleh pertumbuhan dan pengembangan paru yang belum sempurna dan
otot pernapasan yang masih lemah ( Prawirohardjo, 2002).
Hasil Penelitian oleh Rosalina (2010) menunjukkan bahwa anak balita yang
yang berat badan lahirnya kurang mempunyai risiko 3,9 kali menderita ISPA
dibandingkan anak balita yang berat badan lahirnya tidak rendah.
2.3.3 Status ASI
Air Susu Ibu (ASI) merupakan makanan bayi yang paling sempurna, bersih
dan sehat serta praktis karena mudah diberikan setiap saat. ASI dapat mencukupi
kebutuhan gizi bayi untuk tumbuh kembang dengan normal sampai berusia 6 bulan.
ASI Eksklusif adalah pemberian ASI saja kepada bayi sampai umur 6 bulan tanpa
mamberikan makanan atau cairan lain (Depkes RI, 2002).
Pada waktu lahir sampai berusia beberapa bulan bayi belum dapat membentuk
kekebalan sendiri secara sempurna. ASI mampu memberikan perlindungan terhadap
infeksi dan alergi serta merangsang perkembangan sistem kekebalan bayi itu sendiri.
Dengan adanya zat anti infeksi pada ASI maka bayi dengan ASI eksklusif akan
22
terlindungi dari berbagai macam infeksi, baik yang disebabkan oleh bakteri, virus,
jamur atau parasit (Roesli, 2000).
Keunggulan lainnya, ASI mengandung gizi yang cukup lengkap dan
komposisinya disesuaikan dengan sistem pencernaan bayi sehingga zat gizi cepat
terserap. Berbeda dengan susu formula atau makanan tambahan yang diberikan secara
dini pada bayi. Susu formula sangat susah diserap usus bayi sehingga dapat
menyebabkan susah buang air besar pada bayi. Proses pembuatan susu formula yang
tidak steril menyebabkan bayi rentan terkena diare. Hal ini akan menjadi pemicu
terjadinya kurang gizi pada anak dan akibat dari kurang gizi anak lebih mudah
terserang penyakit infeksi.
Hasil Penelitina oleh Rosalina (2010), menunjukkan bahwa anak balita yang
tidak ASI ekslusif mempunyai risiko 13,8 kali menderita ISPA dibandingkan dengan
anak balita yang ASI ekslusif.
2.3.4 Status Imunisasi
Imunisasi berasal dari kata imun yang berarti kebal atau resisten. Anak yang
diimunisasi berarti diberikan kekebalan terhadap suatu penyakit tertentu. Dalam
imunologi, kuman atau racun kuman (toksin) disebut antigen. Imunisasi merupakan
upaya pemberian kekebalan tubuh yang terbentuk melalui vaksinasi.
Imunisasi bermafaat untuk mencegah beberapa jenis penyakit infeksi seperti
polio, TBC, difteri, pertusis, tetanus dan hepatitis B. Bahkan imunisasi juga dapat
mencegah kematian dari akibat penyakit-penyakit tersebut. Sebagian besar kasus
ISPA merupakan penyakit yang dapat dicegah dengan imunisasi, penyakit yang
23
tergolong ISPA yang dapat dicegah dengan imunisasi adalah difteri dan batuk rejan.
(Depkes RI, 2002).
Sebagian besar kematian ISPA berasal dari jenis ISPA yang berkembang dari
penyakit yang dapat dicegah dengan imunisasi seperti difteri, pertusis dan campak,
maka peningkatan cakupan imunisasi akan berperan dalam upaya pemberantasan
ISPA. Untuk mengurangi faktor yang meningkatkan mortalitas ISPA, diupayakan
imunisasi lengkap. Cara yang terbukti paling efektif saat ini adalah dengan pemberian
imunisasi Campak dan DPT (Maryunani, 2011).
Hasil Penelitian oleh Rosalina (2010), menunjukkan bahwa anak balita yang
imunisasi tidak lengkap mempunyai risiko sebesar 6,1 kali menderita ISPA
dibandingkan dengan anak balita imunisasi lengkap.
2.3.5 Faktor Lingkungan (Environment)
Lingkungan merupakan segala sesuatu ataupun kondisi di sekitar ruang
lingkup kehidupan manusia atau individu. Salah satu diantaranya adalah lingkungan
fisik yaitu temperatur, cahaya, pertukaran udara, perumahan, pakaian, air, tanah dan
sebagainya (Dainur, 1995). Faktor lingkungan memegang peranan yang penting
dalam menentukan terjadinya proses interaksi antara host dengan agent dalam proses
terjadinya penyakit. Secara garis besar lingkungan terdiri dari lingkungan fisik,
biologis dan sosial. Keadaan fisik sekitar manusia berpengaruh terhadap manusia baik
secara langsung maupun tidak terhadap lingkungan biologis dan lingkungan sosial
manusia. Lingkungan fisik (termasuk unsur kimia) meliputi udara, kelembaban, air
dan pencemaran udara. Berkaitan dengan ISPA adalah termasuk air borne disease
24
karena salah satu penularannya melalui udara yang tercemar dan masuk ke dalam
tubuh melalui saluran pernapasan, maka udara secara epidemologi mempunyai
peranan penting yang besar pada transmisi penyakit infeksi saluran pernapasan.
Perkembangan timbulnya penyakit menggambarkan secara spesifik peran
lingkungan dalam terjadinya penyakit dan wabah sejak lama sudah diperkirakan
pengaruh lingkungan terhadap terjadinya penyakit. Apabila dilihat dari segi ilmu
lingkungan, penyakit terjadi karena adanya interaksi antara manusia dengan
lingkungan hidupnya (Soemirat, 2007).
Status kesehatan masyarakat dipengaruhi oleh 3 faktor, yaitu induk semang
(host), agen penyakit (agent) dan lingkungan (environment). Ketiga faktor tersebut
akan berinteraksi dan menimbulkan hasil positif maupun negatif. Hasil interaksi akan
menimbulkan keadaan sehat sedangkan interaksi yang negatif akan memberikan
keadaan sakit. Kualitas udara dalam ruangan dipengaruhi oleh ventilasi, kepadatan
penghuni.
2.3.5.1 Ventilasi
Menurut Notoatmodjo (2007) ventilasi adalah proses udara segar ke dalam
dan mengeluarkan udara kotor dari suatu ruangan tertutup secara alamiah maupun
buatan. Ventilasi adalah suatu usaha untuk menyediakan udara segar, mencegah
akumulasi gas beracun dan mikroorganisme, memelihara temperatur dan kelembaban
optimum terhadap udara di dalam ruangan. Ventilasi yang baik akan memberikan
rasa nyaman dan menjaga kesehatan penghuninya.
25
Menurut Sanropie (1989), lubang hawa atau ventilasi tetap minimal 5 % dari
luas lantai ruangan. Sedangkan luas lubang ventilasi insidentil (dapat dibuka dan
ditutup), yaitu jendela minimal 5% dari luas lantai ruangan. Jumlah keduanya adalah
10% dari luas lantai ruangan.
Ventilasi rumah mempunyai banyak fungsi. Fungsi yang pertama adalah
menjaga agar aliran udara dalam rumah tetap segar sehingga keseimbangan O2 tetap
terjaga, karena kurangnya ventilasi menyebabkan kurangnya O2 yang berarti kadar
CO2 menjadi racun. Fungsi kedua adalah untuk membebaskan udara ruangan dari
bakteri-bakteri, terutama bakteri patogen dan menjaga agar rumah selalu tetap dalam
kelembaban yang optimum (Notoatmodjo, 2007). Kelembaban yang tinggi dapat
menyebabkan peningkatan risiko kejadian ISPA. Adanya pemasangan ventilasi
rumah merupakan salah satu upaya untuk mencegah terjadinya penyakit ISPA
(Mukono, 2008).
Berdasarkan kejadiannya ventilasi dibagi menjadi dua yaitu :
a) Ventilasi Alamiah
Ventilasi alamiah berguna untuk mengalirkan udara di dalam ruangan yang
terjadi secara alamiah melalui jendela, pintu dan lubang angin. Selain itu ventilasi
alamiah juga menggerakkan udara sebagai hasil poros dinding ruangan, atap dan
lantai.
b) Ventilasi Buatan
Ventilasi buatan dapat dilakukan dengan menggunakan alat mekanis maupun
elektrik. Alat-alat tersebut di antaranya adalah kipas angin, exhauster dan AC.
26
Menurut Kemenkes No. 829/Menkes/SK/VII/1999 tentang ketentuan
persyaratan kesehatan rumah tinggal secara umum penilaian ventilasi rumah dapat
dilakukan dengan cara melihat indikator penghawaan rumah, luas ventilasi yang
memenuhi syarat kesehatan adalah lebih dari sama dengan 10% dari luas lantai rumah
dan luas ventilasi yang tidak memenuhi syarat kesehatan adalah kurang dari 10% dari
luas lantai rumah.
Udara yang bersih merupakan komponen utama didalam rumah dan sangat
diperlukan oleh manusia untuk hidup sehat. Sirkulasi udara berkaitan dengan masalah
ventilasi. Sebuah penelitian menunjukkan hubungan penyakit saluran pernapasan
dengan kondisi ventilasi. Sebab itu kondisi ventilasi dapat dijadikan indikator rumah
sehat (Achmadi, 1991).
Penelitian Cintya (2012) menunjukkan bahwa ventilasi yang tidak memenuhi
syarat mempunyai risiko 4,4 kali menderita ISPA dibanding ventilasi yang memenuhi
syarat, sejalan dengan hasil penelitian Taisir (2005).
2.3.5.2 Kepadatan Hunian
Rumah harus menjamin kesehatan penghuninya, salah satu syarat rumah sehat
adalah memenuhi kebutuhan fisiologis. Secara fisik kebutuhan fisiologis meliputi
kebutuhan suhu yang optimal, pencahayaan yang optimal, perlindungan terhadap
kebisingan, ventilasi yang memadai, dan tersedianya ruang sesuai dengan
peruntukannya seperti ruang tamu, kamar tidur, dapur, ruang bermain anak, gudang,
kamar mandi dan kakus (Mukono, 2000).
27
Kepadatan hunian kamar diukur dengan cara menghitung luas lantai rumah
(m2) dibagi dengan jumlah penghuni. Diperkotaan dengan semakin sempitnya lahan,
luas lantai rumah dapat berkurang sampai 6 m2 per orang, untuk mengatasi hal ini
rumah dibangun bertingkat, sedangkan dipedesaan masih diperlukan 10 m2 per orang
(Azwar, 1989).
Berdasarkan Kemenkes RI No.829 tahun 1999 tentang kesehatan perumahan
menetapkan bahwa luas ruang tidur lebih dari atau sama dengan 8m2 dikategorikan
sebagai tidak padat dan tidak dianjurkan digunakan lebih dari dua orang tidur dalam
satu kamar tidur. Bangunan yang sempit dan tidak sesuai dengan jumlah penghuninya
akan mempunyai dampak kurangnya oksigen di dalam ruangan sehingga daya tahan
penghuninya menurun, kemudian cepat timbulnya penyakit saluran pernapasan
seperti ISPA.
Kepadatan di dalam kamar terutama kamar balita yang tidak sesuai dengan
standar akan meningkatkan suhu ruangan yang disebabkan oleh pengeluaran panas
badan yang akan meningkatkan kelembaban akibat uap air dari pernapasan tersebut.
Dengan demikian, semakin banyak jumlah penghuni ruangan tidur maka semakin
cepat udara ruangan mengalami pencemaran gas atau bakteri. Dengan banyaknya
penghuni, maka kadar oksigen dalam ruangan menurun dan diikuti oleh peningkatan
CO2 dan dampak peningkatan CO2 dalam ruangan adalah penurunan kualitas udara
dalam ruangan.
Hasil Penelitian Rosalina (2010), menunjukkan bahwa anak balita yang
tempat tinggalnya padat mempunyai risiko 9,9 kali menderita ISPA dibandingkan
28
dengan anak balita yang tempat tinggalnya padat, sejalan dengan hasil penelitian
Taisir (2005) bahwa ada hubungan yang bermakna antara kepadatan hunian rumah
dengan kejadian ISPA, dan tidak sejalan dengan penelitian Listyowati (2013).
2.3.5.3 Bahan Bakar untuk Memasak
Bahan bakar yang digunakan untuk memasak sehari-hari dapat menyebabkan
kualitas udara menjadi rusak. Kualitas udara di 74% wilayah pedesaan di China tidak
memenuhi standar nasional pada tahun 2002, hal ini menimbulkan terjadinya
peningkatan penyakit paru dan penyakit paru ini telah menyebabkan 1,3 juta
kematian.
Berdasarkan hasil penelitian Afrida (2007), menunjukkan bahwa ada
hubungan yang bermakna antara penggunaan bahan bakar memasak dengan kejadian
penyakit ISPA.
2.4 Landasan Teori
Menurut John Gordon bahwa timbulnya suatu penyakit dipengaruhi oleh
adanya pengaruh faktor pejamu (host), agent dan lingkungan ( Environment) yang
digambarkan dengan model tuas (gambar 2.1.). Agent suatu penyakit meliputi agent
biologis dan non biologis, misalnya agent fisik, kimia. Faktor host adalah faktor-
faktor intrinstik yang dapat mempengaruhi kerentanan pejamu terhadap faktor agent.
Sedangkan faktor lingkungan adalah elemen-elemen ekstrinstik yang dapat
mempengaruhi keterpaparan pejamu terhadap faktor agent.
29
Host Agen
Environment
Gambar 2.2. Neraca Keseimbangan Model terjadinya Gangguan Kesehatan atau Penyakit Termasuk Didalamnya “Kejadian ISPA”
Berdasarkan hasil penelitian diberbagai negara, termasuk Indonesia dan
berbagai publikasi ilmiah dilaporkan faktor risiko yang meningkatkan kejadian
(morbiditas) ISPA yang akan dijelaskan berikut, yaitu:
a. Host (Pejamu)
Manusia yang keberadaannya dipengaruhi oleh ; umur, jenis kelamin, status gizi,
berat bayi rendah, status ASI, status imunisasi, vitamin A.
b. Agent
Faktor penyebab penyakit tersebut meliputi bakteri, virus, dan parasit (infection
agent).
c. Environment (Lingkungan)
Faktor di luar penderita yang akan mempengaruhi keberadaan host terdiri dari
lingkungan biologis, fisik dan sosial. Dalam penelitian ini yang berperan sebagai
faktor lingkungan meliputi : bakteri, virus dan parasit (infectious agent), ventilasi,
dan kepadatan hunian kamar.
Konsep di atas adalah suatu konsep yang dinamis, setiap perubahan dari
ketiga lingkungan tersebut akan menyebabkan bertambahnya atau berkurang nya
30
kejadian suatu penyakit. Untuk itu guna menurunkan kesakitan atau kejadian ISPA,
maka dirumuskan suatu upaya pemberantasan penyakit dengan pendekatan terhadap
faktor risiko yang berhubungan melalui kerjasama dengan program imunisasi,
program bina kesehatan balita, program bina gizi masyarakat dan program
penyehatan lingkungan pemukiman (Depkes RI, 2001).
2.5 Kerangka Teori
Gambar 2.3 Depkes RI 2000, Dewi 2012, Widoyono 2008
FAKTOR INTRINSTIK
Karakteristik Ibu • Umur • Pendidikan • Pekerjaan Karakteristik Balita • Umur • Jenis Kelamin • Status Gizi • BBLR • Status Imunisasi • Status Pemberian ASI • Status Vitamin A
FAKTOR EKSTRINSIK
Lingkungan Fisik • Kelembaban Udara • Pencahayaan • Ventilasi • Suhu Udara • Kepadatan Hunian • Pencemaran Udara
dalam Rumah
AGENT
Virus Bakteri
ISPA pada Balita
31
2.6 Kerangka Konsep
Kerangka konsep merupakan model konseptual yang berkaitan atau saling
ketergantungan antara variabel yang dianggap perlu untuk melengkapi dinamika
situasi atau hal yang sedang atau akan diteliti (Hidayat, 2011). Mengacu pada
landasan teoritis yang telah dikemukakan di atas, maka kerangka konsep dalam
penelitian ini adalah :
Variabel Independen Variabel Dependen
Gambar 2.4 Kerangka Konsep Penelitian
Karakteristik Balita 1. Status Gizi 2. Berat Bayi Lahir 3. Status Pemberian ASI 4. Status Imunisasi
Lingkungan Fisik Rumah 1. Ventilasi Rumah 2. Kepadatan Hunian
Kamar 3. Bahan Bakar Untuk
Memasak
Kejadian ISPA