universitas muria kudus semai (seminar masyarakat ilmiah...

23
Universitas Muria Kudus SEMAI (Seminar Masyarakat Ilmiah) I 2018 “Mengungkap Kebenaran melalui Linguistik Forensik” i

Upload: vudung

Post on 09-Mar-2019

221 views

Category:

Documents


0 download

TRANSCRIPT

Universitas Muria Kudus SEMAI (Seminar Masyarakat Ilmiah) I 2018

“Mengungkap Kebenaran melalui Linguistik Forensik” ∣ i

Universitas Muria Kudus SEMAI (Seminar Masyarakat Ilmiah) I 2018

“Mengungkap Kebenaran melalui Linguistik Forensik” ∣ ii

Universitas Muria Kudus SEMAI (Seminar Masyarakat Ilmiah) I 2018

“Mengungkap Kebenaran melalui Linguistik Forensik” ∣ iii

PROSIDING SEMINAR NASIONAL

SEMINAR MASYARAKAT ILMIAH (SEMAI) 2018 “MENGUNGKAP KEBENARAN MELALUI LINGUISTIK FORENSIK”

Rektorat Lantai IV UMK, 25 APRIL 2018

DISELENGGARAKAN OLEH

PROGRAM STUDI PENDIDIKAN BAHASA DAN SASTRA INDONESIA

FKIP UNIVERSITAS MURIA KUDUS

BADAN PENERBIT

UNIVERSITAS MURIA KUDUS

2018

Universitas Muria Kudus SEMAI (Seminar Masyarakat Ilmiah) I 2018

“Mengungkap Kebenaran melalui Linguistik Forensik” ∣ iv

PROSIDING SEMINAR NASIONAL

SEMINAR MASYARAKAT ILMIAH (SEMAI) 2018

“MENGUNGKAP KEBENARAN MELALUI LINGUISTIK FORENSIK”

Susunan Panitia:

Pelindung : Rektor Universitas Muria Kudus

Penasihat : Dekan Fakultas Keguruan dan Ilmu Pendidikan

Penanggung jawab : Mila Roysa, M.Pd.

Ketua : Ristiyani, M.Pd

Sekretaris : Eko Widianto, M. Pd.

Bendahara : Muhammad Noor Ahsin, M. Pd.

Seksi Acara : Drs. Moh Kanzunnudin, M. Pd.

Seksi Perlengkapan : Irfai Fathurrahman, M. Pd.

Reviewer:

Drs. Moh. Kanzunnudin, M. Pd.

Editor:

Ristiyani, S.Pd., M.Pd.

Eko Widianto, S.Pd., M.Pd.

Desain Cover:

Eko Widianto

Desain Layout :

Muhammad Noor Ahsin

BADAN PENERBIT

UNIVERSITAS MURIA KUDUS

2018

ISBN 978-602-1180-71-6

Alamat: Gondangmanis PO.BOX 53 Bae Kudus 59342

Telp. 0291 438229 Fax. 0291437198

Universitas Muria Kudus SEMAI (Seminar Masyarakat Ilmiah) I 2018

“Mengungkap Kebenaran melalui Linguistik Forensik” ∣ v

KATA PENGANTAR

Puji dan syukur ke hadirat Allah SWT, Tuhan Yang Maha Esa, yang telah

mencurahkan rahmat dan karunia-Nya kepada kita semua, serta dengan izin-Nya

Seminar Mayarakat Ilmiah (SEMAI) tahun 2018 oleh program studi Pendidikan Bahasa

dan Sastra Indonesia (PBSI) FKIP Universitas Muria Kudus dalam tajuk “Mengungkap

Kebenaran melalui Linguistik Forensik”, dapat terlaksana dengan baik dan prosiding ini

dapat diterbitkan.

Melihat situasi mutakhir saat ini, perkembangan kajian ilmu bahasa

menunjukkan kemajuan sangat signifikan. Ilmu bahasa saat ini tidak sebatas hanya

mengkaji ilmu bahasa itu sendiri, melainkan sudah memiliki peran besar dalam

menyelesaikan problematika sosial. Salah satunya adalah kajian bahasa dalam bidang

linguistik forensik. Hal tersebut perlu disambut untuk dirayakan dengan melakukan

pertemuan ilmiah seperti SEMAI 2018 ini.

Tema “Mengungkap Kebenaran melalui Linguistik Forensik” tersebut dipilih

dengan alasan untuk memberikan perhatian masyarakat ilmiah tentang pentingnya

mengetahui peran linguistik forensik dalam pembuktian kebenaran hukum di

Indonesia. Mengingat, saat ini antara benar dan salah sangat tipis perbedaannya. Hal

lain yang mendasari SEMAI 2018 ini adalah perlunya wadah untuk masyarakat ilmiah

mendesiminasikan dan mempublikasikan penelitian secara luas, guna dapat diakses

oleh masyarakat yang membutuhkan, maka SEMAI 2018 ini layak untuk dilaksanakan.

Selain sebagai tempat mempresentasikan penelitiannya, juga sebagai tempat bertukar

informasi dan mengembangkan kerja sama.

SEMAI 2018 ini diikuti oleh peneliti-peneliti dari berbagai bidang ilmu dari

seluruh Indonesia, yang telah membahas berbagai bidang kajian seperti bidang bahasa,

bidang sastra, bidang hukum, bidang pembelajaran bahasa, sastra, dan inovasinya,

bidang sosial, bidang politik, dan bidang kearifan lokal dalam rangka memberikan

pemikiran dan solusi untuk memperkuat peran Indonesia dalam menghadapi

perkembangan global.

Akhir kata, semoga SEMAI tahun depan akan terlaksana dengan baik dan akan

selalu memiliki peran positif terhadap perkembangan kajian ilmu bahasa dan sastra di

Indonesia.

Kudus, April 2018.

Tim Editor

Universitas Muria Kudus SEMAI (Seminar Masyarakat Ilmiah) I 2018

“Mengungkap Kebenaran melalui Linguistik Forensik” ∣ vi

DAFTAR ISI

HAL HALAMAN JUDUL i KATA PENGANTAR v DAFTAR ISI vi

PEMATERI UTAMA

1 Prof. Bambang Kaswanti Purwo

LINGUISTIK FORENSIK 1

2 Prof. Dr. Subyantoro, M.Hum.

MENGENAL LINGUISTIK FORENSIK: LENTERA DALAM DUNIA HUKUM KITA

3

PEMAKALAH PENDAMPING NO NAMA JUDUL ARTIKEL

1 Anandha PATMI: WOMEN STRUGGLE ON HEGEMONY VORTEX

19

2 Agnes Adhani dan Yovina Putri Pamungkas

KEKERASAN VERBAL TERHADAP PEREMPUAN DALAM MEDIA SOSIAL

24

3 Basuki Sarwo Edi ELEGANSI SIKAP TOKOH DALAM NOVEL MERPATI BIRU KARYA ACHMAD MUNIF

32

4 Edy Prihantoro dan Tri Wahyu Retno Ningsih

DIGITAL FORENSIK DALAM SIARAN VARIETY- SHOW DI TELEVISI

44

5 Eko Widianto

MARGINALISASI POSISI SETYA NOVANTO DALAM KASUS PENCATUTAN NAMA PRESIDEN DI KOMPAS TV: ANALISIS WACANA KRITIS PERSPEKTIF FOUCAULT

54

6 Fahrudin Eko Hardiyanto

BAHASA PENCITRAAN PADA IKLAN POLITIK PILKADA JAWA TENGAH

64

7 Fithriyah Inda Nur Abida

PROGRAM BIPA DALAM MENUNJANG INTERNASIONALISASI

71

8 Hestiyana KLASIFIKASI SATUAN LINGUAL LEKSIKON DALAM ADAT PERKAWINAN SUKU DAYAK HALONG

75

9

I Putu Gede Sutrisna, I Ketut Alit Adianta, dan Nyoman Dharma Wisnawa

PENGARUH MODEL PEMBELAJARAN BERBASIS PROYEK (MPjBL)TERHADAP KEMAMPUAN BERPIKIR KREATIF DAN KINERJA ILMIAH MAHASISWA DALAM MATA AJAR KOMUNIKASI KEPERAWATAN

81

10 Kadek Wirahyuni PERMAINAN “ULAR TANGGA” DALAM PEMBELAJARAN BAHASA INDONESIA

92

11 M. Noor Ahsin PERAN PEMBELAJARAN BAHASA DAN SASTRA INDONESIA DALAM PEMBENTUKAN KARAKTER PESERTA DIDIK

97

12 Nia Royani GAYA BAHASA DALAM LIRIK LAGU BUKA MATA BUKA TELINGA KARYA SHEILA ON 7

103

13 Ristiyani dan PEMBELAJARAN BERBASIS HYPNOMATHEMATICS 108

Universitas Muria Kudus SEMAI (Seminar Masyarakat Ilmiah) I 2018

“Mengungkap Kebenaran melalui Linguistik Forensik” ∣ vii

Savitri Wanabuliandari

UNTUK GURU SEKOLAH DASAR

14 Tri Wahyu Retno Ningsih dan Debyo Saptono

PENGUJIAN LEGALITAS UJARAN MENGUNAKAN PENDEKATAN FONETIK AKUSTIK DAN LINGUISTIK FORENSIK

114

15 Wenny Wijayanti dan Natalia Desi Subekti

KESANTUNAN BERBAHASA PADA JUDUL BERITA KASUS KORUPSI DI MEDIA SOSIAL

127

Universitas Muria Kudus SEMAI (Seminar Masyarakat Ilmiah) I 2018

“Mengungkap Kebenaran melalui Linguistik Forensik” ∣ 3

MENGENAL LINGUISTIK FORENSIK: Lentera dalam Dunia Hukum Kita

Prof. Dr. Subyantoro, M.Hum.

Universitas Negeri Semarang

A. Pengantar

Bahasa pada dasarnya sudah menyatu dengan kehidupan manusia. Manusia

menyampaikan gagasan, ide, pikiran, harapan dan keinginan lewat bahasa. Bahasa yang

digunakan oleh manusia memiliki unsur-unsur yang sangat beragam. Unsur-unsur

tersebut dimulai dari bagaimana manusia memproduksi bunyi yang kemudian berubah

menjadi kata dan kalimat yang diujarkan oleh manusia. Kalimat yang diujarkan manusia

pasti memiliki makna serta maksud tertentu. Hal ini ditandai oleh beragamnya tindak

tutur yang dilakukan oleh manusia ketika berkomunikasi dengan manusia lainnya.

Bahasa yang digunakan oleh manusia memiliki berbagai kepentingan dan

fungsinya masing-masing. Bahasa yang digunakan oleh manusia dapat digunakan untuk

kepentingan berbudaya, pendidikan, hukum, beragama dan masih banyak lainnya. Salah

satu peran bahasa yang kini tengah menjadi sorotan adalah peran bahasa dalam dunia

hukum. Peran bahasa dalam dunia hukum sudah menjadi hal yang sangat vital. Hal

tersebut dapat terlihat dari mulai banyaknya para ahli bahasa yang dilibatkan untuk

menangani sebuah kasus. Apabila biasanya suatu penyidikan terhadap sebuah kasus

ditumpukan pada aspek-aspek di dalam dunia hukum, maka kini aspek dari segi ilmu

bahasa sudah menjadi salah satu aspek yang dapat membantu dalam penyidikan sebuah

kasus. Para ahli bahasa menggunakan ilmu kebahasaan (linguistik) untuk menangani

kasus hukum. Ilmu kebahasaan yang digunakan adalah ilmu linguistik forensik.

B. Pengertian Linguistik Forensik

McMenamin (2002:4) mendefinisikan linguistik forensik sebagai studi ilmiah

mengenai bahasa yang diterapkan untuk keperluan forensik dan pernyataan hukum.

Adapun menurut Olsson (2008: 3) linguistik forensik adalah hubungan antara bahasa,

tindak kriminal, dan hukum yang di dalamnya termasuk penegak hukum, masalah

hukum, perundang-undangan, perselisihan atau proses hukum, bahkan perselisihan yang

berpotensi melibatkan beberapa pelanggaran hukum yang ditujukan untuk mendapatkan

penyelesain hukum.

Linguistik forensik mengaplikasikan teori-teori linguistik dalam suatu peristiwa

kebahasaan yang terlibat dalam proses hukum, baik dalam bentuk produk hukum,

interaksi dalam proses peradilan, dan dalam interaksi antarperorangan yang

mengakibatkan timbulnya dampak hukum tertentu. Dalam hal ini, teori-teori linguistik

yang diaplikasikan meliputi teori tata bahasa, percakapan, analisis wacana, linguistik

kognitif, tindak tutur, teori dan teknik linguistik deskriptif, seperti fonetik dan fonologi,

leksis, sintaksis, semantik, pragmatik, wacana, dan analisis teks (Coulthard dan

Johnson, 2010).

Hal-hal yang dikaji dalam linguistik forensik meliputi: 1) analisis penggunaan

bahasa dalam ranah hukum; 2) penyelidikan unsur terdalam dalam penggunaan bahasa,

yang selanjutnya dapat digunakan sebagai bukti dalam proses hukum; dan 3) menelaah

penggunaan bahasa para aparat penegak hukum dalam proses peradilan, baik

penyidikan maupun persidangan. Pada kasus tertentu, kajian linguistik forensik dapat

bersifat multidisipliner dengan melibatkan disiplin ilmu yang lain dalam upaya

mengungkap fakta di balik suatu kasus, misalnya dalam proses wawancara penyidikan

Universitas Muria Kudus SEMAI (Seminar Masyarakat Ilmiah) I 2018

“Mengungkap Kebenaran melalui Linguistik Forensik” ∣ 4

dengan melibatkan ilmu psikologi untuk mendeteksi perilaku orang-orang yang sedang

diwawancara atau ilmu penerjemahan ketika berhadapan dengan penutur bahasa non-

Indonesia (dalam hal ini bisa bahasa asing atau bahasa daerah). Akan tetapi, perlu

diperhatikan bahwa analisis yang disampaikan linguistik forensik tidak sampai pada

ranah psikologis seperti menganalisis karakter pada tulisan tangan seseorang. Selain itu,

analisis linguistik forensik tidak sampai pada keputusan bersalah ataupun tidak bersalah

dalam proses persidangan, tetapi hanya sampai pada penentuan status dan peran

keterlibatan setiap pihak dalam sebuah kasus yang melibatkan penggunaan bahasa.

Pemutusan pihak-pihak yang bersalah ataupun tidak bersalah adalah mutlak keputusan

hakim dalam proses peradilan (Correa, 2013).

C. Ruang Lingkup Linguistik Forensik

Ruang lingkup yang menjadi perhatian utama dari linguistik forensik yang

antara lain adalah: (1) bahasa dari dokumen legal, (2) bahasa dari polisi dan penegak

hukum, (3) interview dengan anak-anak dan saksi-saksi yang rentan dalam sistem

hukum, (4) interaksi dalam ruang sidang, (5) bukti-bukti linguistik dan kesaksian ahli

dalam persidangan, (6) kepengarangan dan plagiarisme, serta (7) fonetik forensik dan

identifikasi penutur (Coulthard dan Johnson, 2010). Selain dari ketujuh aspek tersebut,

linguistik forensik juga mengkaji bahasa yang digunakan di penjara, pengembangan

penerjemahan bahasa yang digunakan dalam konteks peristiwa hukum, penyediaan

bukti forensik linguistik berbasis pada kepakaran, dan penyediaan kepakaran linguistik

dalam penyusunan dokumen legal serta upaya penyederhanaan bahasa hukum (Gibbons,

2007).

Dari paparan di atas, dapat disimpulkan bahwa ada tiga bidang utama yang

menjadi fokus kajian linguistik forensik, yaitu: (1) bahasa sebagai produk hukum; (2)

bahasa dalam proses peradilan; dan (3) bahasa sebagai alat bukti. Lebih khusus lagi,

linguistik forensik berurusan dengan masalah identifikasi penutur berdasarkan dialek,

gaya bicara, atau aksennya, bahkan kadang kala menganalisis tulisan tangan tersangka

untuk mendapatkan profilnya, mencocokkan rekaman suara tertuduh dengan sejumlah

tersangka, menganalisis ciri-ciri sidik suara seseorang, memastikan bahwa rekaman

suara yang ada adalah asli dan bukan rekayasa, serta menyaring dan memilah berbagai

kebisingan yang ikut terekam untuk mengetahui latar tempat dan waktu di mana

rekaman itu dibuat. Semua analisis ahli linguistik forensik itu menjadi bahan

pertimbangan di pengadilan.

Kajian linguistik forensik juga terkait dengan permasalahan kebinekaan,

khususnya di Indonesia, baik kebinekaan bahasa maupun kebinekaan budaya. Hal ini

disebabkan interaksi budaya dan bahasa yang berbeda dalam masyarakat Indonesia

bukan tidak mungkin menimbulkan kesalahpahaman yang berakibat pada friksi

horisontal. Dalam hal ini, kajian linguistik forensik sangat dibutuhkan untuk membantu

menyelesaikan permasalahan yang disebabkan oleh situasi multibahasa dan

multibudaya. Aspek dalam kebinekaan yang dapat dikaji linguistik forensik meliputi: a)

permasalahan dialek geografis dan dialek sosial, b) interpretasi kelas sosial terhadap

teks, c) persepsi kesukuan, dan d) sikap masyarakat terhadap hukum (Eades, 1996;

Coulthard dan Johnson, 2010; dan Musfiroh, 2014).

Universitas Muria Kudus SEMAI (Seminar Masyarakat Ilmiah) I 2018

“Mengungkap Kebenaran melalui Linguistik Forensik” ∣ 5

D. Manfaat Linguistik Forensik Analisis linguistik forensik dapat melibatkan bidang-bidang linguistik, seperti

fonetik, semantik, pragmatik, stilistika, semiotika, analisis wacana, dan dialektologi.

Saifullah dalam penelitiannya yang berjudul Analisis Linguistik Forensik terhadap

Tindak Tutur yang Berdampak Hukum (2009) menyebutkan beberapa kasus yang

berhasil diungkap dan diselesaikan oleh para ahli linguistik forensik adalah:

1) Penyelesaian sengketa merek dagang dan kekayaan intelektual lainnya melalui

analisis semantik.

2) Pembatalan vonis yang telah dijatuhkan pengadilan melalui analisis pragmatik

pada rekaman dan-atau transkripsi interogasi.

3) Pengidentifikasian penulis anonim teks, seperti surat ancaman, pesan singkat

lewat ponsel atau pos-el, melalui analisis semantik dan pragmatik.

4) Pengidentifikasian kasus plagiarisme dengan melakukan analisis stilistika.

5) Perekonstruksian percakapan teks ponsel dan sejumlah masalah lain dengan

melakukan analisis fonetik, dan lain sebagainya.

Selain beberapa kasus yang dapat diungkap oleh ahli forensik seperti di atas, ada

beberapa manfaat linguistik forensik bagi kehidupan praktis.

Pertama, menurut Olsson (2008) pengetahuan linguistik forensik dapat dimanfaatkan

dalam beberapa proses hukum yang terbagi atas tiga tahap: tahap investigasi, tahap

percobaan, dan tahap banding. Tahap investigasi juga kadang-kadang disebut sebagai

tahap intelijen. Dalam hal ini bagian dari proses penting untuk mengumpulkan

informasi yang berkaitan dengan (diduga) kejahatan. Tidak semua informasi yang

dikumpulkan selama investigasi dapat digunakan di pengadilan. Pada tahap investigasi,

linguistik forensik berperan membantu dalam mengembangkan strategi wawancara dan

interogasi. Adapun pada saat tahap percobaan, linguistik forensik berperan sebagai

upaya strategi lain untuk pengungkapan barang bukti lain melalui strategi kebahasaan.

Pada tahap banding, linguistik forensik mengambil peran dalam proses pemberian

nasihat hukum mengenai penganalisisan kebahasaan.

Kedua, dalam proses pengajaran linguistik, linguistik forensik berperan dalam

telaah bahasa dalam bidang hukum. Penelaahan bahasa yang dilakukan tentu saja erat

hubungannya dengan kedua ilmu yang menjadi dasar linguistik forensik. Pembahasan

bahasa dan hukum dipelajari secara seimbang. Melalui linguistik forensik, diharapkan

akan lahir ahli bahasa yang berkompeten dalam penyelidikan di bidang hukum.

Ketiga, Indonesia merupakan salah satu negara multilingual, sehingga akan

muncul beberapa kasus yang berhubungan dengan kebahasaan. Berkaitan dengan hal

tersebut, untuk menghindari kasus yang menyangkut data kebahasaan, perlu adanya

linguistik forensik. Linguistik forensik juga bermanfaat untuk membuka lapangan kerja

bagi para ahli bahasa (linguis). Melihat urgensi dari keberadaan linguistik forensik

dalam proses hukum, tidak menutup kemungkinan peran ahli bahasa sangat dibutuhkan

pada bidang tersebut.

E. Awal Perkembangan Linguistik Forensik Perkembangan awal linguistik forensik ditandai dengan adanya kesadaran

pentingnya unsur bahasa dalam sebuah penyelidikan di kepolisian. Linguistik Forensik

pertama kali berkembang di Inggris. Penyebutan pertama istilah linguistik forensik

dilakukan pada tahun 1968 dalam sebuah analisis laporan polisi yang dilakukan oleh

Jan Svartvik tentang pernyataan Timothy John Evans. Timothy John Evans adalah

seorang terdakwa pembunuhan terhadap istri dan bayinya di Rillington Place No.10,

Universitas Muria Kudus SEMAI (Seminar Masyarakat Ilmiah) I 2018

“Mengungkap Kebenaran melalui Linguistik Forensik” ∣ 6

Notting Hill, London, Inggris. Pada saat itu Svartvik ditunjuk untuk menyelidiki laporan

Evans tersebut. Svartvik yang merupakan salah satu ahli bahasa yang paling awal

terlibat dalam studi korpus, menganalisis sistematis bahasa melalui pengumpulan dan

studi korpus. Dia mampu menganalisis laporan Evans dengan menggunakan metode-

metode tertentu. Dia segera menyadari bahwa laporan tersebut jangkal. Seiring dengan

bukti lain yang dikumpulkan dalam proses penyelidikan, temuan Svartvik menunjukkan

bahwa Evans tidak seperti yang telah dituduhkan pada persidangan.

Di Amerika Serikat pekerjaan forensik mulai sedikit berbeda, tetapi juga

menyangkut hak-hak individu yang berkaitan dengan proses interogasi. Pada tahun 1963

Ernesto Miranda didakwa dalam sebuah perampokan bersenjata, tetapi mengajukan

banding dengan alasan bahwa ia tidak mengerti haknya untuk tetap diam atau memiliki

pengacara hadir pada saat interogasi. Kasus lain dari Linguistik Forensik di Amerika

Serikat berkaitan dengan status merek dagang. Kasus awal terlibat perselisihan seputar

aspek merek 'McDonald', pemilik multirantai makanan cepat saji nasional dengan

―McSleep‟.

Di Australia ahli bahasa mulai bertemu pada tahun 1980-an untuk berbicara tentang

penerapan linguistik dan sosiolinguistik masalah hukum. Mereka prihatin dengan hak-

hak individu dalam proses hukum, dalam kesulitan khusus yang dihadapi oleh tersangka

Aborigin saat diinterogasi oleh polisi.

Pada tahun-tahun sejak Forensik Linguistik mulai membangun dirinya sebagai

disiplin ilmu sendiri, ruang lingkupnya telah berkembang jauh. Dari permulaannya

sebagai sarana mempertanyakan saksi dan terdakwa laporan, kini telah berkembang

menjadi beberapa bagian, antara lain seorang ahli bahasa telah dipanggil untuk

memberikan bukti dalam berbagai jenis kasus, termasuk kepenulisan atribusi dalam

kasus-kasus teroris, kasus kontaminasi produk dan kematian yang mencurigakan;

interpretasi makna dalam dokumen hukum dan lainnya, analisis pesan teks ponsel untuk

mengetahui waktu kematian. Pada bagian berikutnya, daerah penelaahan dalam

Linguistik Forensik yang akan dipertimbangkan yakni: Forensik Fonetik, yaitu analisis

kebahasaan melalui pendengaran dan sarana akustik sarana dan penerapannya dalam

arena hukum dan pidana.

F. Perkembangan Linguistik Forensik di Indonesia Di Indonesia Linguistik forensik mulai berkembang sekitar tahun 1980-an.

Perkembangan saat itu memang sudah ada, namun pemanfaatan hasil analisis belum

optimal. Mungkin karena perundangan di Indonesia belum mengakomodasi dan

menjadikan kesaksian ahli bahasa sebagai alat bukti yang mengikat dalam peradilan.

Peran bahasa yang diperlukan agar kajian linguistik forensik bisa terus berkembang

dalam proses peradilan.

Perkembangan berbagai kasus hukum, baik di ranah pidana maupun perdata dirasa

perlu untuk menerima sumbangsih atau kehadiran pakar bahasa sebagai tenaga ahli

dalam mengungkap berbagai kasus hukum, seperti pencemaran nama baik hingga

persoalan-persoalan korupsi. Apabila selama ini investigasi atas sebuah kasus hukum

lebih banyak ditumpukan pada hasil penyidikan maupun penyelidikan pada aspek

tertentu, barangkali sudah saatnya kehadiran linguistik forensik dapat menjadi salah satu

aspek penunjang yang sangat berarti. Kehadiran pakar linguistik, khususnya linguistik

forensik akan sangat membantu dalam memberikan pembuktian sebuah perkara di

pengadilan.

Universitas Muria Kudus SEMAI (Seminar Masyarakat Ilmiah) I 2018

“Mengungkap Kebenaran melalui Linguistik Forensik” ∣ 7

Salah satu prestasi Indonesia dalam perkembangan linguistik forensik adalah ketika

Konferensi pada 5-7 Juli 2012 dengan tema Forensic Linguistics/Language and Law:

Researching Interdisciplinary Dimensions and Perspective di Malaysia yang merupakan

konferensi pertama mengenai Linguistik forensik di wilayah Asia Tenggara. Saat itu

seorang mahasiswa asal Indonesia bernama Susanto, yang sedang menempuh program

doktor di bidang linguistik dan fonetik di EFL University India, mempresentasikan

penemuan teknik verifikasi suara dengan Synchronic Stability Vowel System untuk

tujuan verifikasi suara rekaman yang tersadap sebagai alat bukti dalam sebuah

persidangan. Sistem ini dapat dimanfaatkan untuk membuktikan apakah benar suara

dalam rekaman tersebut milik terdakwa atau bukan. Dalam presentasinya, Susanto

mengkritisi metode pengukuran nilai Formant dari kata-kata yang disegmentasi dari

rekaman suara sebagai alat bukti, yang selama ini dipakai untuk Audio Forensic atau

Speaker Verification dalam persidangan-persidangan di Indonesia. Menurut Susanto,

metode seperti itu akan menimbulkan discrepancy values (ketidaksesuaian nilai) secara

akustik fonetik yang bisa berakibat hasil verifikasi tidak akurat.

G. Pemanfaan Aspek Linguistik dalam Linguistik Forensik

Aspek-aspek linguistik yang digunakan dalam kajian linguistik forensik akan

disajikan di bawah ini, dengan dimulai dari unit linguistik fonetik dan fonologi hingga

analisis kejujuran berbahasa.

1) Fonetik dan Fonologi Forensik

Fonetik adalah cabang linguistik yang menyelidiki produksi, penyampaian, dan

penerimaan bunyi bahasa, yaitu bunyi-bunyi yang dihasilkan oleh alat-alat ucapan yang

terdapat dalam rongga mulut dan yang digunakan untuk melambangkan makna. Jika

fonetik merupakan deskripsi suara yang diproduksi oleh alat bunyi manusia, fonologi

mendeskripsikan perbedaan bunyi tersebut dengan memberikan karakteristik tertentu

pada setiap bunyi dalam rangka membedakannya dengan bunyi yang lain (Crystal,

2008). Hal yang dipelajari dalam fonologi adalah fonem, yakni bunyi bahasa dengan

ciri-ciri tertentu yang memiliki fungsi sebagai pembeda makna. Fonetik forensik

berkaitan dengan pengenalan suara penutur yang terlibat dalam suatu kasus hukum.

Penelitian fonetik forensik menganalisis kualitas akustik suara dalam rangka

mengidentifikasi penutur, voice line-up atau penentuan penutur yang tidak diketahui

orangnya dengan mendengarkan bermacam-macam suara yang pernah didengar

sebelumnya, pemrofilan penutur, otentifikasi rekaman suara, dan pengkodean tuturan

dalam suatu pertengkaran (Crystal, 2008). Penerapan fonetik dan fonologi forensik salah

satunya adalah dalam pembuatan transkipsi fonetis dan fonologis dari suatu tuturan

dalam sebuah kasus hukum yang tengah dianalisis secara linguistik forensik (Olsson,

2008). Alat yang biasanya digunakan dalam fonetik forensik adalah spektograf. Selain

itu, saat ini sudah ada software yang bisa diunduh dari internet yang dinamakan praat.

2) Morfologi

Dalam kajian linguistik forensik, morfologi digunakan dalam beberapa analisis,

yakni: a) menelaah kesesuaian proses morfologis kata dalam produk hukum dengan

kaidah gramatikal sehingga tidak menimbulkan ketaksaan atau kesalahpahaman makna;

dan b) menelaah gaya bahasa perorangan, yakni dengan meneliti kecenderungan

penggunaan morfem tertentu dalam gaya bahasa seseorang yang membedakannya

Universitas Muria Kudus SEMAI (Seminar Masyarakat Ilmiah) I 2018

“Mengungkap Kebenaran melalui Linguistik Forensik” ∣ 8

dengan gaya bahasa orang lain sehingga dapat digunakan dalam proses analisis

identifikasi pengarang.

3) Sintaksis

Sintaksis dalam kajian linguistik forensik digunakan untuk menganalisis beberapa

hal, yakni: a) kesesuaian susunan kalimat dalam bahasa produk hukum dengan kaidah

gramatikal sehingga tidak menimbulkan ketaksaan dan kesalahpahaman; b)

mengidentifikasi pengarang asli sebuah karya; c) analisis transitivitas dalam analisis

wacana kritis; dan d) menyederhanakan kalimat-kalimat kompleks dalam produk hukum

sehingga mudah dipahami.

4) Semantik

Dalam kajian linguistik forensik, ilmu semantik digunakan dalam: a) analisis makna

dalam bahasa produk hukum untuk menyelidiki ketaksaan makna yang dapat

menimbulkan multitafsir dari produk hukum tersebut; dan b) analisis wacana, dalam hal

ini penyelidikan mengenai pemilihan kata yang memiliki makna tertentu baik makna

literal maupun makna kiasan yang menyiratkan maksud-maksud tertentu dari

penuturnya.

5) Pragmatik dan sosio-pragmatik

Pragmatik didefiniskan sebagai kajian mengenai makna bahasa dalam kaitannya

dengan konteks. Meneliti makna bahasa secara pragmatik berarti membutuhkan

pengetahuan mengenai hal-hal di luar ujaran yang mempengaruhi penggunaan bahasa

tertentu oleh penuturnya (lihat Levinson, 1983 dan Leech, 1993). Sosio-pragmatik

merupakan perkembangan dari ilmu pragmatik. Analisis pragmatik suatu tuturan dalam

percakapan atau komunikasi interpersonal dilengkapi dengan analisis dan identifikasi

latar belakang sosial penutur atau yang diistilahkan sebagai lokalitas penutur seperti latar

belakang pendidikan, status sosial, latar belakang budaya, dan sebagainya (periksa

Leech, 1993 dan Culpeper ed., 2011). Analisis pragmatik dalam kajian linguistik

forensik menerapkan teori mengenai prinsip-prinsip pragmatik, seperti a) teori tindak

tutur (Austin, 1962 dan Searle, 1969), b) teori kerjasama (Grice, 1987; Leech, 1993),

dan c) presuposisi (Levinson, 1983). Dalam kajian linguistik forensik, kajian pragmatik

digunakan dalam analisis wacana, baik wacana lisan seperti percakapan antarpelaku

sebuah kasus, percakapan dalam proses penyidikan, atau percakapan dalam proses

persidangan, maupun wacana tertulis seperti teks-teks sosial media yang berpotensi

menimbulkan tindakan hukum.

6) Gaya bahasa forensik

Gaya bahasa forensik dikenal sebagai stilistika forensik. Pengertian stilistika

sebagai interpretasi ilmiah dari penanda-penanda gaya bahasa yang diamati,

dideskripsikan, dan dianalisis (McNamin, 2010 dalam Coulthard dan Johnson, 2010).

Dalam kajian forensik, analisis stilistika digunakan untuk analisis suara, terjemahan dan

interpretasi, identifikasi dialek, serta analisis wacana (Mcnamin, 2010 dalam Coulthard

dan Johnson, 2010). Selain itu, stilistika forensik juga digunakan untuk mengidentifikasi

penulis sebenarnya dari suatu tulisan tanpa nama, misalnya dalam surat kaleng, surat

ancaman, surat teror, dan sebagainya (Tiersma dan Solan, 2005 dalam Musfiroh, 2014).

7) Analisis wacana

Universitas Muria Kudus SEMAI (Seminar Masyarakat Ilmiah) I 2018

“Mengungkap Kebenaran melalui Linguistik Forensik” ∣ 9

Analisis wacana merupakan kajian mengenai penggunaan bahasa dalam ruang

lingkup penggunaan atau konteksnya (Brown dan Yule, 1983). Analisis wacana

mencoba menelaah: a) penggunaan bahasa yang mempengaruhi sistem kognisi dan

interaksi sosial; atau sebaliknya, b) interaksi sosial mempengaruhi penggunaan bahasa;

dan c) sistem kognisi yang mempengaruhi penggunaan bahasa dan interaksi sosial (Van

Dijk, 1997). Analisis wacana menganalisis struktur wacana, baik lisan maupun tertulis,

dengan mengaplikasikan kriteria linguistik, seperti morfologi, sintaksis, semantik,

pragmatik, dan sebagainya, termasuk dengan memanfaatkan penanda wacana untuk

mendapatkan kesatuan dan kebermaknaan wacana (Crystal, 2008). Selain itu, terdapat

analisis wacana kritis yang menghubungkan telaah wacana dengan faktor-faktor di luar

aspek kebahasaan, seperti faktor sosial-budaya, ekonomi, dan bahkan politik (Crystal,

2008; lihat juga Tiersma dan Solan, 2005; Eriyanto, 2001). Analisis wacana kritis dalam

kajian linguistik forensik dimanfaatkan untuk membongkar kuasa tertentu yang tersirat

dalam penggunaan bahasa. Pada umumnya, maksud yang tersirat dalam penggunaan

bahasa yang ditelaah melalui analisis wacana kritis berkaitan dengan unsur politik dan

sosial.

8) Kecakapan berbahasa (linguistic proficiency)

Profisensi linguistik atau kecakapan berbahasa mencerminkan tingkat penguasaan

bahasa individu; sejauh mana seseorang mampu menangkap makna bahasa dan

menyampaikan maksudnya dengan bahasa tersebut. Dalam proses penyidikan, seringkali

ditemukan tersangka/ korban/ saksi yang hanya diam dan tidak mau memberikan

jawaban atas pertanyaan penyidik. Ahli bahasa forensik dapat membantu

mengidentifikasi apakah tersangka sengaja diam atau karena tidak memiliki kecakapan

berbahasa sehingga tidak mampu menangkap maksud pertanyaan penyidik atau tidak

mampu berbahasa dengan baik untuk mengungkapkan maksudnya. Proses penyidikan

selanjutnya dapat dibantu oleh penerjemah, ahli bahasa isyarat (jika

tersangka/korban/saksi tunarungu atau tunawicara), atau ahli bahasa dengan kompetensi

tertentu untuk membantu tersangka yang tidak mempunyai kecakapan berbahasa agar

dapat mengungkapkan maksudnya dengan baik sehingga penyidikan dapat berlangsung

dengan lancar (Tiersma dan Solan, 2005 dalam Musfiroh, 2014). Selain itu, ahli bahasa

forensik juga dapat membantu penyidik dalam memeriksa menggunakan strategi-strategi

kebahasaan tertentu sehingga dapat menggali keterangan tanpa menggunakan kekerasan

selama proses penyidikan. Dengan demikian, keterangan yang terkumpul lebih valid dan

berkualitas.

9) Dialektologi

Dialektologi merupakan cabang dari linguistik yang mengkaji perbedaan isolek

dengan memperlakukan perbedaan tersebut secara utuh (Mahsun, 1995). Isolek merujuk

pada perbedaan dialek atau bahasa (Hudson dalam Mahsun, 1995). Dalam kajian

dialektologi, perbedaan isolek yang dikaji kemudian dideskripsikan menurut unit-unit

linguistiknya, seperti perbedaan fonologis, morfologis, sintaksis, dan semantik, termasuk

perbedaan dalam hal sosiolinguistik seperti sistem tingkat tutur atau speech level. Dalam

kajian linguistik forensik, dialektologi dimanfaatkan untuk menganalisis data bahasa,

terutama berupa ujaran, dalam rangka mengenali dialek penutur yang belum diketahui

dan untuk menentukan aksen sosialnya (Tiersma dan Solan dalam Musfiroh, 2014).

Selain itu, melalui dialektologi forensik dapat juga ditelusuri dan diidentifikasi asal

muasal dan keaslian bahasa dari penutur yang belum diketahui identitasnya.

Universitas Muria Kudus SEMAI (Seminar Masyarakat Ilmiah) I 2018

“Mengungkap Kebenaran melalui Linguistik Forensik” ∣ 10

10) Kejujuran Berbahasa

Linguistik forensik juga memungkinkan proses penyidikan untuk mengungkap

kejujuran pihak-pihak yang diperiksa dalam proses penyidikan seperti tersangka dan

saksi, mengingat terbuka kemungkinan saksi juga berkata tidak jujur selama proses

penyidikan. Melalui analisis kebahasaan, dapat diidentifikasi apakah tersangka berkata

yang sebenarnya, mengada-ada, atau menutupi kejadian yang sebenarnya melalui

penelitian struktur kalimat atau pemilihan kata dari keterangan tersangka (Tiersma dan

Solan, 2005 dalam Musfiroh, 2014). Selain itu, dalam rangka mendeteksi kebohongan

tersangka/saksi, penggunaan strategi bertanya yang investigatif dan dipadukan dengan

bantuan alat pendeteksi kebohongan merupakan cara yang efektif untuk menunjang

keberhasilan penyidikan.

11) Analisis Struktur Bahasa

Analisis struktur bahasa berkaitan dengan mengkaji struktur kebahasaan yang

meliputi unit-unit struktural linguistik seperti analisis morfologi, sintaksis, dan semantik

dalam suatu teks, dalam hal ini teks dalam analisis kajian linguistik forensik. Berkaitan

dengan bahasa dalam produk hukum, analisis struktur bahasa ini menelaah struktur

bahasa dalam produk hukum untuk membedah penggunaan bahasa dalam produk hukum

tersebut, apakah sudah sesuai dengan kaidah-kaidah kebahasaan sehingga tidak

menimbulkan ketaksaan makna yang berdampak pada penyalahgunaan bahasa hukum

dalam proses pengadilan. Selain itu, analisis struktur bahasa dalam kajian produk hukum

juga dapat sampai pada rekomendasi penyederhanaan kalimat-kalimat kompleks dalam

produk hukum sehingga lebih mudah dipahami.

12) Kepengarangan (authorship)

Cara ini pada umumnya digunakan dalam kasus plagiarisme, atau penyelidikan

sebuah teks yang tidak diketahui pengarang sebenarnya (Olsson, 2008). Identifikasi

pengarang pada kasus plagiarisme diterapkan dengan menggunakan ilmu stilistika atau

ilmu tentang gaya bahasa. Melalui ilmu stilistika ini, dapat diketahui gaya bahasa khas

yang biasanya dipakai oleh seseorang dalam karya-karyanya sehingga dapat

diungkapkan pengarang sebenarnya dan pengarang yang menjiplak karya tersebut.

Melalui penggunaan gaya bahasa tertentu, dapat diidentifikasi asal-usul atau ciri-ciri

gaya bahasa seseorang, yang kemudian dapat menjadi petunjuk untuk mengungkap

pelaku sebenarnya dalam penyidikan sebuah kasus (Olsson, 2008).

H. Pelaksanaan Kajian Linguistik Forensik

Pada dasarnya bagian ini menjelaskan langkah penelitian di lapangan. Materi

pokok bagian ini adalah teknik pengumpulan data, pengembangan instrumen, dan teknik

pengolahan dan analisis data. Hal yang terpenting sebelum melaksanakan kajian adalah

memastikan hal-hal yang bersifat administratif seperti surat izin, surat tugas penelitian

lapangan, dan lain-lain telah diselesaikan terlebih dahulu untuk memastikan kajian

berjalan dengan lancar.

Pengumpulan data dalam kajian linguistik forensik dilakukan dengan membuat

daftar jenis data primer dan sekunder yang akan dipakai dalam kajian. Pengumpulan

sumber data primer pada kajian linguistik forensik dapat berupa sumber data tertulis

seperti draf peraturan atau undang-undang, perjanjian, sertifikat, BAP dan bukti tertulis

lainnya baik yang tercetak dalam bentuk fisik maupun yang tidak tercetak (digital).

Universitas Muria Kudus SEMAI (Seminar Masyarakat Ilmiah) I 2018

“Mengungkap Kebenaran melalui Linguistik Forensik” ∣ 11

Selain itu, sumber data primer juga berupa data non-tulis seperti percakapan dalam

peradilan, bukti rekaman suara, maupun video. Alat yang umum digunakan dalam kajian

linguistik forensik antara lain alat perekam dan spektograf (alat yang menghasilkan

tampilan grafik bunyi yang memberikan informasi tentang perubahan dalam rentang

waktu, frekuensi, dan intensitas gelombang bunyi menurut sumbu waktu—lazim

digunakan untuk analisis fonetik forensik).

Selain itu, dapat digunakan pula piranti lunak (software) untuk melakukan

transkripsi hasil percakapan seperti ELAN atau NVIVO dan Sketch English untuk

penggunaan korpus Bahasa Indonesia atau Bahasa Inggris. Pengumpulan data primer

membutuhkan perancangan alat dan metode pengumpulan data. Berikut adalah cara

pengumpulan data kajian linguistik forensik: a) observasi lapangan; b) wawancara; c)

pengukuran fisik dokumen termasuk grafologi dan analisis tulisan, d) percobaan

laboratorium menggunakan spektograf dan bisa juga menggunakan angket atau survey

bahasa dan mock-crime paradigme (penelitian penerjemahan dalam proses peradilan).

Setelah data diperoleh, penting untuk mengklasifikasi data tersebut menjadi data primer

dan data sekunder. Klasifikasi ini dibutuhkan untuk mengembangkan instrumen kajian

dan menentukan data-data sekunder untuk mendukung data primer. Selain klasifikasi,

identifikasi sumber data juga sangat diperlukan. Identifikasi berdasarkan usia, jenis

kelamin, ras, atau suku sebagai data sekunder untuk mendukung data primer. Jika

diperlukan, data rekam medis atau visum untuk menganalisis ada tidaknya faktor cacat

fisik yang mempengaruhi data primer (pernah operasi bibir sumbing, cadel, disabilitas,

difabel, kidal, dll.) serta pengaruh alkohol dan narkotika. Data demografi yang terkait

juga diperlukan untuk mendukung pengolahan data primer.

Untuk penelitian yang menggunakan alat dan bahan, perlu dituliskan spesifikasi

alat dan bahannya. Spesifikasi alat menggambarkan kecanggihan alat yang digunakan

sedangkan spesifikasi bahan menggambarkan macam bahan yang digunakan. Penelitian

linguistik forensik biasa menggunakan metode deskriptif. Artinya, dalam penelitian ini

dilakukan penggambaran secara sistematis, faktual, dan akurat mengenai fakta-fakta

penggunaan bahasa dalam kasus dan atau produk hukum, kemudian dianalisis dengan

menggunakan analisis linguistik forensik. Setelah data terkumpul dan terorganisir

dengan baik, kajian masuk ke tahap selanjutnya yaitu analisis data. Teknik analisis data

yang digunakan dalam kajian ini adalah teknik deskriptif kualitatif, namun tidak

menutup kemungkinan untuk menggunakan teknik kuantitatif, terutama pada

penggunaan spektograf yang akan menghasilkan diagram/kurva yang dapat dijelaskan

dengan data dan formulasi tertentu. Data primer dan sekunder dikumpulkan,

diklasifikasikan, dan selanjutnya diinterpretasikan ke dalam bentuk-bentuk kata-kata

atau kalimat sehingga diperoleh gambaran yang jelas tentang masalah yang diteliti.

Analisis data dilakukan melalui beberapa tahapan yaitu:

1) Tahap reduksi data, digunakan dengan mengambil data yang diperlukan dari data

primer maupun data sekunder, sedangkan data yang tidak diperlukan untuk analisis

tidak diambil. Dalam tahap ini peneliti terlebih dahulu melakukan transkrip hasil

wawancara, dan observasi. Data yang sudah ditranskrip dipilih berdasarkan ketepatan

atau keterkaitan dengan fokus penelitian.

2) Tahap penyajian data, merupakan tahapan lanjutan untuk menyajikan data agar lebih

mudah dipahami dan dimengerti. Data ditampilkan melalui bentuk data teks naratif,

matriks, tabel, gambar atau skema, sehingga selain mudah dimengerti analisis juga

akan lebih akurat.

Universitas Muria Kudus SEMAI (Seminar Masyarakat Ilmiah) I 2018

“Mengungkap Kebenaran melalui Linguistik Forensik” ∣ 12

3) Tahap penyimpulan, merupakan tahap akhir dalam analisis yaitu menarik simpulan

dari hasil reduksi data dan penyajian data. Pada tahap ini peneliti selalu melakukan

uji keabsahan atau validasi dan melakukan cross check kebenaran hasil interpretasi.

Caranya adalah dengan meninjau ulang reduksi data dan penyajian data serta

melakukan triangulasi dan observasi (Miles dan Huberman, 1992). Selain itu, dalam

simpulan akan dimunculkan keterkaitan teori dengan hasil penelitian apakah dalam

bentuk mendukung teori atau mungkin menjadi sebuah kritik terhadap teori yang

digunakan.

D. Implementasi Linguistik Forensik

Pencemaran nama baik, dalam KUHP, disebut juga penghinaan.

Pencemaran nama baik dalam bahasa Inggris disebut sebagai defamation.

Perbuatan tersebut merupakan hal yang bisa dilaporkan ke kepolisian, karena ada pihak

yang merasa dirugikan, yakni nama baiknya dicemarkan atau kehormatannya

dilecehkan, bahkan dirusak.

Dalam Hukum online, dijelaskan pencemaran nama baik dalam UU ITE pasal 27

ayat (3) ―Setiap Orang dengan sengaja dan tanpa hak mendistribusikan dan/atau

mentransmisikan dan/atau membuat dapat diaksesnya Informasi Elektronik dan/atau

Dokumen Elektronik yang memiliki muatan penghinaan dan/atau pencemaran nama

baik‖, bukan delik biasa ditinjau dari segi esensi delik penghinaan dan aspek historis.

Dari esensi penghinaan, pencemaran nama baik dinyatakan sebagai perbuatan

menyerang nama baik seseorang atau kehormatan yang berdampak pada

pencemaran atau perusakan nama seseorang atau pihak-pihak yang dirugikan.

Konten dan konteks tuturan atau tulisan seseorang yang ditujukan kepada pihak

tertentu dikatakan sebagai perbuatan ―menyerang‖ nama baik hanya dipahami oleh

korban serangan pencemaran nama baik, karena merekalah yang merasakan dihina,

terhina, terlecehkan (Sitompul, 2012). Di sisi lain diketahui, undang-undang

memberikan perlindungan hukum terhadap harkat dan martabat warga negara sebagai

hak asasi manusia.

Ditambahkan oleh Hukum online bahwa konteks berfungsi menilai secara

objektif konten penghinaan. Konteks yang dimaksud meliputi bagaimana perasaan

pihak yang ―diserang‖ dan bagaimana perasaan pihak yang ―menyerang‖, tujuan

―penyerang‖ menyebarkan penghinaan tersebut. Berdasarkan hal tersebut, untuk

menangkap konteks terhadap konten hinaan diperlukan pakar bahasa, pakar psikologi,

dan pakar komunikasi.

Selanjutnya, aspek historis, pasal 27 ayat (3) UU ITE, jika ditinjau berdasarkan

Kitab Undang-Undang Hukum Pidana (KUHP), pasal 310 dan pasal 311, dinyatakan

bahwa penghinaan termasuk dalam delik aduan. Hal ini diperkuat dengan Putusan

Mahkamah Konstitusi Nomor 50/PUU-VI/2008. Dari kedua pernyataan hukum

tersebut, penghinaan merupakan delik aduan, bukan delik biasa.

Contoh analisis kasus: Kasus Florence Sihombing (FS): Analisis Semantik Leksikal, Semantik

Gramatikal, dan Tindak Tutur. Data lingual FS merupakan salah satu data kajian

Linguistik Forensik. Berikut ini, data lengkap yang diunggah di

Path milik FS (@www.tribunnews.com).

Universitas Muria Kudus SEMAI (Seminar Masyarakat Ilmiah) I 2018

“Mengungkap Kebenaran melalui Linguistik Forensik” ∣ 13

Data lingual tersebut dianalisis berdasarkan semantik leksikal. Semantik leksikal

adalah salah satu cabang Semantik. Ia memelajari makna kata secara lepas, tanpa

mengaitkan kedudukan kata dalam kalimat (Chaer, 2009). Kata-kata dalam path

FS adalah ―miskin‖ dan ―tolol‖. Kata tersebut ditulis dengan huruf awal kapital

sebagai penekanan. Kata ―miskin‖ dalam Kamus Besar Bahasa Indonesia daring

(2016) bermakna leksikal: tidak berharta, serba kekurangan (berpenghasilan sangat

rendah). Kata kedua adalah ―tolol‖. Dalam Kamus Besar Bahasa Indonesia daring

(2016), kata ―tolol‖ bermakna sangat bodoh; bebal. Dari analisis secara leksikal

tersebut, sangat jelas jika kedua kata tersebut bermakna negatif dan rendah.

Dari segi semantik gramatikal, yakni semantik yang memelajari makna

frasa, klausa, dan kalimat, FS menulis frasa ―tidak berbudaya‖ dan dua buah kalimat,

yaitu (1) ―Jogja Miskin, Tolol, dan Tidak Berbudaya‖ dan ―Teman-teman Jakarta-

Bandung jangan mau tinggal di Jogja.‖ Frasa ―tidak berbudaya‖ dibentuk dari dua kata,

yakni ―tidak‖ dan ―berbudaya‖. Dengan demikian, frasa tersebut bermakna tidak

memiliki budaya, tidak memiliki pikiran dan akal yang maju (Kamus Besar

Bahasa Indonesia daring, 2016).

Selain itu, tuturan ―Jogja Miskin, Tolol, dan Tidak Berbudaya‖ merupakan

kalimat majemuk setara. Kalimat tersebut berasal dari tiga kalimat, yaitu (1)

―Jogja Miskin‖, (2) ―Jogja Tolol‖, dan ―Jogja Tidak Berbudaya‖. Ketiga kalimat

tersebut bersubjek sama, yakni ―Jogja‖. Sebagaimana diketahui,―Jogja‖ merupakan

ibu kota Provinsi Daerah Istimewa Yogyakarta. Pemimpin provinsi tersebut adalah

Sultan Hamengku Buwana X. Sebagai ibu kota provinsi, Yogyakarta jelas memiliki

rakyat. Karena itu, kata ―miskin‖ dan ―tolol‖ serta frasa ―tidak berbudaya‖ dikenakan

pada seluruh rakyat Yogyakarta beserta para pemimpin provinsi tersebut. Berdasarkan

analisis semantik leksikal dan gramatikal, tuturan FS bermakna ―rakyat dan

pemimpin Yogyakarta adalah rakyat dan pemimpin yang sangat bodoh dan bebal; tidak

memiliki budaya dan tidak memiliki pikiran dan akal yang maju‖. Hal tersebut

didukung oleh ahli bahasa dari Fakutas Bahasa dan Sastra UNY Ibnu Santoso (2015)

yang menyatakan bahwa kata ―tolol‖ dan ―tak berbudaya‖ adalah kata-kata untuk

menghina dan merendahkan.

Analisis berikutnya dilakukan dengan pendekatan pragmatik. Dalam data

tersebut, FS menulis, ―Jogja Miskin, Tolol, dan Tak Berdudaya. Teman-teman Jakarta-

Bandung jangan mau tinggal di Jogja.‖ Berdasarkan konteks, yang diserang oleh

Universitas Muria Kudus SEMAI (Seminar Masyarakat Ilmiah) I 2018

“Mengungkap Kebenaran melalui Linguistik Forensik” ∣ 14

FS adalah ―Jogja‖. Kepada ―Jogja‖ FS mengatakan ―miskin‖, ―tolol‖, dan ―tak

berbudaya‖. Berdasarkan teori tindak tutur (Searle, 1965), yang dituturkan oleh FS

merupakan tindak tutur ilokusi ekspresif. FS mengekspresikan kekecewaan dan

kemarahannya kepada ―Jogja‖. Bahkan menurut Kabid Humas Polda DIY, AKBP

Anny Puji Astuti, tuturan FS tersebut merupakan tuturan ekspresif yang provokatif.

Hal berikutnya adalah tuturan FS yang berbunyi, ―Teman-teman Jakarta-Bandung

jangan mau tinggal di Jogja‖ merupakan tindak tutur direktif, berupa ajakan. Melalui

tuturan tersebut, FS mengajak dan memprovokasi teman-temannya yang berdomisili di

Jakarta dan Bandung agar tidak tinggal di Yogyakarta.

DAFTAR PUSTAKA

Correa, M. 2013. ―Forensic Linguistics: An Overview of the Intersection and

Interaction of Language and Law‖ makalah dalam Studies about Language Nomor

23 Tahun 2013. Kalbu Studijos.

Coulthard, R. M. 2005. The linguist as expert witness. Linguistics and the Human

Sciences 1 (1): 39–58.

Coulthard, M. dan Alison Johnson (Eds.). 2010. An Introduction to Forensic

Linguistics: Language in Evidence. New York: Rouledge.

Crystal, D. 2008. A Dictionary of Linguistics and Phonetics 6th Edition. Oxford:

Blackwell Publishing.

Eades, D. 1996. ―Legal Recognition of Cultural Differences in Communication: The

Case of Robyn Kina‖ dalam Journal Language and Communication v16 n3 p2 15-

27 July 1996.

Gibbons, J. 2007. "Forensic Linguistics: an introduction to language in the Justice

System". Blackwell.

Grice, P. 1987. ―Logic and Conversation‖ dalam Grice, Paul. 1991. Studies in the Way

of Words. Cambridge: Harvard University Press.

Leech, G. 1993. Prinsip-Prinsip Pragmatik. Jakarta: Universitas Indonesia Press.

Levinson, S. C. 1983. Pragmatics. Cambridge: Cambridge University Press.

Matthews, P.H. 1981. Syntax. Cambridge: Cambridge University Press.

McMenamin, G. R. 1993. Forensic Stylistics. Amsterdam: Elsevier.

Musfiroh, T. 2014. ―Linguistik Forensik dalam Masyarakat Multikultur‖. Bahasa dan

Sastra dalam Perspektif Ekologi dan Multikulturalisme. Yogyakarta. Jurusan

Bahasa dan Sastra Indonesia UNY.

Olsson, John. 2008. Forensic Linguistics. New York : Continuum.

Saifullah, A. R. 2009. Analisis Linguistik Forensik terhadap Tindak Tutur yang

Berdampak Hukum (Studi Kasus Delik Penghinaan dan Pencemaran Nama Baik

di Polres Bandung Tengah dan Bandung Timur). Laporan Penelitian Dasar

Program Bahasa Dan Sastra Indonesia Jurusan Pendidikan Bahasa Dan Sastra

Indonesia Fakultas Pendidikan Bahasa Dan Seni Universitas Pendidikan

Indonesia.

Searle. 1969. Speech Acts and Essay in the Physolophy of Language. Cambridge:

Cambridge University Press.

Universitas Muria Kudus SEMAI (Seminar Masyarakat Ilmiah) I 2018

“Mengungkap Kebenaran melalui Linguistik Forensik” ∣ 15

Lampiran

Contoh serangkaian kasus yang melibatkan peran linguis forensik berupa sejumlah

kasus penyebaran ujaran kebencian dan hoaks yang menonjol selama tahun 2017:

1) Ropi Yatsman Ropi Yatsman (36) merupakan salah satu pelaku yang ditangani di

awal terbentuknya Direktorat Tindak Pidana Siber Bareskrim Polri. Di akun alter

Facebook bernama Agus Hermawan dan Yasmen Ropi, ia mengunggah konten

penghinaan terhadap pemerintah dan Presiden Jokowi. Selain Jokowi, Ropi

mengedit foto sejumlah pejabat, termasuk mantan Gubernur DKI Jakarta Basuki

Tjahaja Purnama alias Ahok. Ia juga merupakan admin dari akun grup publik

Facebook Keranda Jokowi-Ahok. Atas perbuatannya, Ropi telah divonis 15 bulan

penjara.

2) Ki Gendeng Pamungkas Ki Gendeng Pamungkas (ILUSTRASI:

KOMPAS.com/LAKSONO HARI WIWOHO) Paranormal Ki Gendeng

Pamungkas membuat video sepanjang 54 detik yang yang memuat unsur kebencian

yang bersifat rasial. Video itu dibuatnya pada 2 Mei 2017. Selain video, Ki

Gendeng juga memproduksi atribut seperti kaus, stiker, jaket, hingga kantong

plastik bermuatan kebencian suku, agama, ras, dan antargolongan (SARA). Bahkan,

Ki Gendeng membagikan atribut berkonten SARA itu kepada orang-orang di

lingkungannya. Kepada polisi, ia mengaku sudah lama memendam kebencian

terhadap etnis tertentu.

3) Akun Muslim_Cyber1 HP (23), admin akun Instagram Muslim_Cyber1 ditangkap

karena mengunggah screenshoot (bidik layar) percakapan palsu antara Kapolri

Jenderal Pol Tito Karnavian dengan Kabid Humas Polda Metro Jaya Kombes Argo

Yuwono. Isi percakapan membahas kasus pemimpin Front Pembela Islam (FPI)

Habib Rizieq Shihab. Dalam potongan pesan itu, seolah Tito dan Argo berencana

merekayasa kasus untuk menjatuhkan Rizieq. HP tak hanya membuat hoaks

percakapan antara Tito dan Argo. Dalam akun @muslim_cyber1 itu juga termuat

unggahan berbau SARA, fitnah, serta ujaran kebencian. Dalam sehari, akun

tersebut bisa mengunggah tiga hingga lima gambar provokatif yang seluruhnya

menyinggung ras dan suku tertentu. Selain HP, ada 18 admin lain yang

mengoperasikan akun tersebut. Namun, baru HP yang dipidanakan karena polisi

masih menelusuri keterlibatan admin lainnya. Atas perbuatannya, HP akan dikenai

Pasal 28 ayat (2) juncto Pasal 45a UU ITE dan atau Pasal 4 huruf d angka 1 juncto

Pasal 16 UU Nomor 40 Tahun 2008 tentang Penghapusaan Diskriminasi Ras dan

Etnis.

4) Tamim Pardede Kediaman Tamim Pardede di Perumahan Adhiloka, Tangerang,

Banten. Tamim diamankan Bareskrim Polri karena diduga melakukan penghinaan

terhadap Presiden Joko Widodo dan Kapolro Tito Karnavian, Kamis (8/6/2017)

(Kompas.com/David Oliver Purba) Muhammad Tamim Pardede (45) ditangkap

lantaran mengunggah video di Youtube yang memuat penghinaan terhadap

Presiden dan Kapolri. Dalam salah satu videonya, Tamim menyebut bahwa Jokowi

berpihak pada blok komunis. Ia juga menyatakan bahwa Tito termasuk antek

Jokowi yang berpaham komunis. Ia lantas menantang polisi untuk menangkapnya.

"Kalau Jokowi memerintahkan anteknya yang bernama Tito Karnavian dan

pasukannya untuk menangkap saya, saya tidak akan tinggal diam. Jangan harap

polisi bisa bawa saya hidup-hidup," ujar Tamim dalam video berdurasi hampir 4

menit itu. Gelar Profesor yang sering dibawa-bawa oleh Tamim Pardede pun

diduga palsu. Sebab, Lembaga Ilmu Pengetahuan Indonesia (LIPI) secara resmi

Universitas Muria Kudus SEMAI (Seminar Masyarakat Ilmiah) I 2018

“Mengungkap Kebenaran melalui Linguistik Forensik” ∣ 16

menyatakan bahwa tidak pernah ada penganugerahan gelar profesor kepada Tamim.

Dalam salah satu kalimatnya tertulis bahwa ketenaran LIPI di bidang ilmu

pengetahuan dan teknologi kerap membuat orang mencatut nama LIPI untuk tujuan

tertentu. "Salah satu contohnya adalah seseorang yang mengaku bernama Tamim

Pardede dan mengklaim dirinya adalah profesor riset dari LIPI. Dan setelah LIPI

melakukan penelusuran data dan fakta, ternyata nama Tamim Pardede bukan

merupakan profesor riset dari LIPI dan lembaga ini tidak pernah mengukuhkan

yang bersangkutan sebagai profesor riset," bunyi siaran pers tersebut.

5) Akun "Ringgo Abdilah" Pada Agustus 2017, polisi menangkap MFB, seorang

pelajar SMK di Medan yang diduga menghina Presiden Jokowi. Akun Facebook

yang menggunakan alamat email [email protected] itu juga menghina

institusi Polri yang dipimpin Jendral Tito Karnavian. Ternyata, MFB menggunakan

foto orang lain di sebuah akun Facebook untuk menghina Presiden RI Joko

Widodo. Pelaku melakukan ini untuk menghindari pelacakan petugas. Dalam laman

Facebook yang menggunakan nama Ringgo Abdillah itu, MFB menggunggah foto-

foto yang berisi hinaan terhadap Jokowi dan institusi Polri. Setelah diperiksa lebih

lanjut, ternyata MFB membobol WiFi milik MR. Hal itu diakui pelaku saat

menjalani pemeriksaan.

6) Kelompok Saracen Kelompok yang eksis di Facebook dan website ini paling

banyak mendapatkan sorotan sejak pertengahan 2017. Mereka mengunggah konten

berisi ujaran kebencian dan hoaks yang ditujukan kepada kelompok tertentu.

Bahkan, beberapa postingannya menyinggung sentimen suku, agama, ras, dan

antargolongan (SARA). Dalam kasus ini, polisi menetapkan empat pengurus

Saracen sebagai tersangka. Mereka adalah Mohammad Faisal Todong, Sri Rahayu

Ningsih, Jasriadi, dan Mahammad Abdullah Harsono. Mereka dianggap

menyebarkan konten ujaran kebencian dan berbau SARA di media sosial sesuai

pesanan dengan tarif Rp 72 juta. Media yang digunakan untuk menyebar konten

tersebut antara lain di Grup Facebook Saracen News, Saracen Cyber Team, situs

Saracennews.com, dan berbagai grup lain yang menarik minat warganet untuk

bergabung. Hingga saat ini diketahui jumlah akun yang tergabung dalam jaringan

Grup Saracen lebih dari 800.000 akun. Dua dari empat pelaku, Sri dan Faisal,

ditangkap lebih dulu karenaa mengunggah konten serupa di akun Facebook pribadi

mereka. Di laman Facebooknya, Sri menghina Presiden Jokowi dan pemerintah.

Sementara itu, Faisal mengunggah gambar yang isinya tudingan Jokowi adalah

keluarga dari Partai Komunis Indonesia (PKI). Selain itu, Faisal juga menyinggung

soal fraksi yang mendukung maupun menolak ambang batas parlemen dan ajakan

untuk menjatuhkan partai tertentu. Ada juga konten berisi penghinaan kepada Polri

dan Kapolri. Selain itu, beberapa gambar dan tulisan yang diunggah dinilai

menyinggung SARA dan ujaran kebencian.

7) Asma Dewi Persidangan dengan terdakwa Asma Dewi di Pengadilan Negeri

Jakarta Selatan, Selasa (5/12/2017).(KOMPAS.com/ABBA GABRILLIN) Polisi

menangkap Asma Dewi, pada 11 September 2017 karena diduga mengunggah

konten berbau ujaran kebencian dan diskriminasi SARA di akun Facebooknya

Mulanya, Polri menyebut ada aliran uang dari Dewi ke kelompok Saracen sebesar

Rp 75 juta. Namun, hal tersebut tidak disebutkan dalam dakwaan yamg dibacakan

jaksa penuntut umum dalam persidangan. Dewi sendiri juga telah membantah soal

uang itu dan menyatakan tak ada hubungan dengan kelompok Saracen. Dewi

didakwa dengan sengaja menumbuhkan kebencian atau rasa benci kepada orang

Universitas Muria Kudus SEMAI (Seminar Masyarakat Ilmiah) I 2018

“Mengungkap Kebenaran melalui Linguistik Forensik” ∣ 17

lain berdasarkan diskriminasi ras dan etnis melalui tulisan atau gambar, untuk

diletakkan, ditempelkan, atau disebarluaskan di tempat umum atau tempat lain yang

dapat dilihat atau dibaca orang lain. Selain itu, ia juga didakwa dengan sengaja di

muka umum dengan lisan atau tulisan menghina suatu penguasa atau badan umun

yang ada di Indonesia. Dewi menjelaskan bahwa konten yang dia unggah di

Facebooknya hanya candaan, bukan ujaran kebencian. Ia juga menganggap kata-

katanya merupakan ungkapan kekecewan, karena pemerintah dinilai tidak

memberikan solusi atas permasalahan negara. Srikandi ACTA (Advokat Cinta

Tanah Air) selaku kuasa hukum Asma Dewi memaparkan, dalam berita acara

pemeriksaan (BAP) maupun surat dakwaan, tidak ada tuduhan bahwa Asma Dewi

adalah bendahara Saracen dan tidak ada tuduhan telah melakukan transfer sebesar

Rp 75 juta kepada Saracen. Dalam surat dakwaan, Asma Dewi dituduh

menyebarkan informasi yang bisa menimbulkan kebencian berdasarkan SARA.

Menurut ACTA, tuduhan tersebut juga tidak benar karena status Facebook Asma

Dewi tidak menghina suku, agama, etnis atau golongan apa pun. "Status tersebut

merupakan bentuk ekpresi kebebasan menyampaikan pendapat serta kritikan

terhadap pemerintah yang masih dalam koridor hukum," demikian ACTA

membantah.

8) Pemilik akun @warga_biasa tak hanya Jokowi yang menjadi sasaran ujaran

kebencian dan hoaks di media sosial. Istrinya, Iriana Jokowi, juga tak luput jadi

objek konten serupa. Melalui akun instagram @warga_biasa, Dodik Ikhwanto (21)

mengunggah konten bernada ujaran kebencian terhadap Iriana. Mahasiswa ini juga

membuat meme berisi hinaan kepada Presiden Joko Widodo. Ia ditangkap jajaran

Satreskrim Polrestabes Bandung pada 11 September 2017. Konten yang diunggah

berupa gambar disertai komentar dengan kata-kata yang tak pantas yang ditujukan

kepada Iriana. Pelaku mengaku mengunggah gambar tersebut ke media sosial

karena ia merasa kecewa terhadap pemerintah. Gambar yang diunggah Dodik

sampai kepada kedua anak Presiden Jokowi dan Iriana, Gibran Rakabuming dan

Kaesang Pangarep. Namun, keduanya tak ambil pusing dengan konten tersebut dan

memaafkan pelaku.

9) Ahmad Dhani Artis Ahmad Dhani jadi tersangka karena dianggap menyebarkan

kebencian terhadap kelompok tertentu melalui akun Twitternya. Dhani berkicau

menggunakan akun @AHMADDHANIPRAST yang nadanya dianggap menghasut

dan penuh kebencian terhadap pendukung Ahok. Dhani dilaporkan atas tuduhan

melanggar Pasal 28 Ayat (2) juncto Pasal 45 Ayat (2) Undang-Undang Nomor 19

Tahun 2016 tentang ITE. Dhani hanya mengakui satu dari tiga tweet dari akun

Twitter Dhani yang diperkarakan karena dinilai sarkastik. Dua lainnya, kata Dhani,

diunggah oleh admin Twitternya. Tim kuasa hukum Ahmad Dhani yang tergabung

dalam Advokat Cinta Tanah Air (ACTA) menilai, kasus ujaran kebencian yang

dikenakan pada kliennya tidak layak dilanjutkan. Mereka menganggap kicauan

Dhani bersifat umum dan tidak tendensius.

10) Jonru Ginting Tersangka kasus dugaan ujaran kebencian di media sosial, Jonru

Ginting (tengah) berjalan keluar dari ruang penyidikan dengan pengawalan petugas

kepolisian usai menjalani pemeriksaan lanjutan di Ditreskrimsus Polda Metro Jaya,

Jakarta, Minggu (1/10/2017). Penyidik Ditreskrimsus Polda Metro Jaya telah

melakukan penahanan terhadap Jonru Ginting di Rutan Polda Metro Jaya sejak

Sabtu (30/9/2017).(ANTARA FOTO/RENO ESNIR) Jonru Ginting ditetapkan

sebagai tersangka atas dugaan penyebaran ujaran kebencian melalui konten yang

Universitas Muria Kudus SEMAI (Seminar Masyarakat Ilmiah) I 2018

“Mengungkap Kebenaran melalui Linguistik Forensik” ∣ 18

dia unggah di media sosial. Dalam laporan itu, ia diduga melanggar Pasal 28 Ayat

(2) juncto Pasal 45A Ayat (2) dan atau Pasal 35 juncto Pasal 51 UU RI Nomor 19

Tahun 2016 Tentang Perubahan atas UU RI Nomor 11 Tahun 2008 Tentang ITE

dan atau Pasal 4 huruf (b) angka (1) juncto Pasal 16 UU RI Nomor 40 Tahun 2008

Tentang Penghapusan Diskriminasi Ras dan Etnis dan atau Pasal 156 KUHP

Tentang Penginaan Terhadap Suatu Golongan. Unggahan Jonru di media sosial

dinilai sangat berbahaya dan jika dibiarkan dapat memecah belah bangsa Indonesia.

Salah satu postingan Jonru yang dipermasalahkan penyidik adalah soal Quraish

Shihab yang akan menjadi imam salat Idul Fitri di Masjid Istiqlal, Jakarta. Menurut

Jonru, Quraish Shihab tidak pantas menjadi imam lantaran pernyataannya yang

menyebut wanita Muslim tidak perlu menggunakan jilbab. Kemudian Jonru

mengajak umat Islam tidak salat Idul Fitri di Masjid Istiqlal jika imamnya adalah

Quraish shihab.

11) Siti Sundari Daranila Baru hitungan hari menjadi Panglima TNI, Marsekal Hadi

Tjahjanto sudah menjadi sasaran penyebar hoaks. Penyidik Direktorat Tindak

Pidana Siber Bareskrim Polri menangkap pemilik akun Facebook Gusti Sikumbang

yang bernama asli Siti Sundari Daranila (51). Sehari-hari, Sundari berprofesi

sebagai dokter. Ia ditangkap pada 15 Desember 2017 karena menyebarkan konten

hoaks yang menyatakan istri Hadi Tjahjanto merupakan etnis Tionghoa. Sehari

setelah ditangkap, Sundari ditahan di rumah tahanan Bareskrim Polri. Berikut

kalimat hoaks yang diunggahnya: KITA PRIBUMI RAPATKAN BARISAN….

PANGLIMA TNI YANG BARU MARSEKAL HADI TJAHYANTO BERSAMA

ISTRI *LIM SIOK LAN* DGN 2 ANAK CEWEK COWOK....ANAK DAN

MANTU SAMA SAMA DIANGKATAN UDARA..... Kalimat itu merupakan

caption sebuah foto yang menampilkan Hadi Tjahjanto beserta keluarga. Setelah

dicek, di dalam akun pribadinya juga ditemukan sejumlah unggahan menyinggung

SARA. Sundari dikenakan UU Nomor 19 Tahun 2016 tentang Informasi Transaksi

Elektronik dan UU 40 Tahun 2008 Tentang Penghapusan Diskriminasi Ras dan

Etnis. Ia terancam hukuman penjara enam tahun.