tugas agama akhlak tasawuf
DESCRIPTION
agama islamTRANSCRIPT
Akhlak Tasawuf
Akhlak Tasawwuf adalah merupakan salah satu khazanah intelektual Muslim
yang kehadirannya hingga saat ini semakin dirasakan, secara historis dengan
teologis akhlak tasawwuf tampil mengawal dan memandu perjalanan hidup umar
agar selamat dunia dan akhirat. Tidaklah berlebihan jika misi utama kerasulan
Muhammad SAW. Adalah untuk menyempurnakan akhlak yang mulia, dan sejarah
mencatat bahwa faktor pendukung keberhasilan dakwah beliau itu antara lain
karena dukungan akhlaknya yang prima.
Khazanah pemikiran dan pandangan di bidang akhlak dan tasawwuf itu kemudian
menemukan momentum pengembangan dalam sejarah, antara lain ditandai oleh
munculnya sejumlah besar ulama tasawwuf dan ulama di bidang akhlak.
Bersamaan dengan itu perkembangan teknologi di bidang alat-alat anti hamil,
makanan minuman, dan obat-obatan telah membuka peluang terciptanya
kesempatan untuk membuat produk alat-alat, makanan, minuman dan obat-
obatan terlarang yang menghancurkan masa depan generasi muda. Tempat-
tempat beredarnya obat terlarang semakin canggih. Demikian juga sarana yang
membawa orang lupa pada tuhan, dan cenderung maksiat terbuka lebar di mana-
mana. Semua in semakin enambah beban tugas akhlak tasawuf.
A. PENGERTIAN ILMU AKHLAK
Ada dua pendekatan yang dapat di gunakan untuk mendefinisikan akhlak yaitu
pendekatan linguistic (kebahasan), dan pendekatan terminologik (peristilahan).
Namun akar kata akhlak dari akhlaqa sebagaimana tersebut di atas tampaknya
kurang pas, sebab isim mashdar dari kata akhlaqa bukan dari kata akhlaq tetapi
ikhlaq. Berkenaan dengan ini maka timbul pendapat yang mengatakan bahwa
secara Lingustik kata akhlak merupakan isim jaded atau isim mustaq, yaitu isim
yang tidak memiliki akar kata, melainkan kata tersebut memang sudah demikian
adanya.
Secara bahasa akhlak berasal dari kata – – اخالقا يخلق ,artinya perangai اخلق
kebiasaan, watak, peradaban yang baik, agama. Kata akhlak sama dengan kata
khuluq. Dasarnya adalah :
Artinya : dan Sesungguhnya kamu benar-benar berbudi pekerti yang agung. ( al-
qalam :4 )
االخالق مكارم تمم ال بعثت انما
Artinya : bahwasanya aku di utus (allah) untuk menyempurkan keluhuran budi
pekerti. (HR. AHMAD)
(dalam buku konsep tasawuf dalam kacamata ahli sufi)
�و اس� و�ع�ن� �لن �ن� ا م�ع�ان� ب �ل�ت+: ق�ال� عنه الله رضي س� أ س+ول� س� �لل ه� ر� عليه الله صلى ا �ر0 ع�ن� وسلم �ب �ل � ا �م �ث �ر9: ) ف�ق�ال�? و�اإل� �ب �ل ن+ ا �خ+ل+ق� ح+س� �ل �م+, ا �ث ,ص�د�ر�ك� ف�ي ح�اك� م�ا و�اإل�
�ر�ه�ت� �ن� و�ك �ع� أ �ط ل �ه� ي �ي �لن اس+ ع�ل ج�ه+ (ا �خ�ر� �مG أ ل م+س�
Nawas Ibnu Sam'an Radliyallaahu 'anhu berkata: Aku bertanya kepada Rasulullah Shallallaahu 'alaihi wa Sallam tentang kebaikan dan kejahatan. Beliau bersabda: "Kebaikan ialah akhlak yang baik dan kejahatan ialah sesuatu yang tercetus di dadamu dan engkau tidak suka bila orang lain mengetahuinya." Riwayat Muslim.(hakikat sufi dan sikap kaum sufi terhadap prinsip ibadah dan agama)
Secara istilah akhlak berasal dari :
a) Ibnu Miskawaih: sifat yang tertanam dalam jiwa yang mendorongnya untuk
melaksanakan perbuatan tanpa memerlukan pemikiran dan pertimbangan.
b) Imam Ghazali: sifat yang tertanam dalam jiwa yang menimbulkan macam-macam
perbuatan yang mudah, tanpa memerlukan pemikiran dan pertimbangan.
c) Ibrahim Anis dalam Mu`jam al-Wasith : sifat yang tertanam dalam jiwa, yang
dengannya lahirlah macam-macam perbuatan, baik atau buruk, tanpa
membutuhkan pemikiran dan pertimbangan.
d) Dalam kitab Dairatul Ma`arif : sifat-sifat yang terdidik.
Dari atas tak ada perbedaan akan tetapi memilki kemiripan antara satu dengan
yang lain. Definisi – definisi akhlak tersebut adalah subtansial tampak saling
melengkapi.
B. RUANG LINGKUP AKHLAK
Jika definisi tentang ilmu akhlak tersebut kita perhatikan dengan seksama,
akan tampak bahwa ruang lingkup pembahasan ilmu akhlak adalah membahas
tentang perbuatan – perbuatan manusia, kemudian menetapkannya apakah
perbuatan tersebut tergolong perbuatab yang baik atau perbuatan yang buruk.
Dengan mengemukakan beberapa literaratur tentang akhlak tersebut
menunjukan bahwa keberadaan ilmu akhlak sebagai sebuah disiplin ilmu agama
sudah sejajar dengan ilmu-ilmu keislaman lainnya, seperti tafsir, tauhid, fiqh,
sejarah islam, dan lai-lain.
Pokok-pokok masalah yang dibahas dalam ilmu akhlak pada intinya adalah
perbuatan manusia. Dan selanjutnya di tentukan kriterianya apakah itu baik atau
buruk.
Definisi dari ruang lingkup akhlak:
Perbuatan-perbuatan manusia menurut ukuran baik dan buruk.
Objeknya adalah norma atau penilaian terhadap perbuatan tersebut.
Perbuatan tersebut baik perbuatan individu maupun kolektif.
C. TUJUAN DAN MANFAAT AKHLAK
Tujuan akhlak adalah menggapai suatu kebahagiaan hidup umat manusia baik
di dunia dan di akhirat. Dikarenakan itulah kita sebagai manusia untuk hidup
saling membantu baik dari pekerjaan, kebutuhan atau lainnya.
Tujuan mempelajari akhlak diantaranya adalah menghindari pemisahan antara
akhlak dan ibadah. Atau bila kita memakai istilah: menghindari pemisahan agama
dengan dunia (sekulerisme). Kita sering mendengar celotehan, “Agama adalah
urusan akhirat sedang masalah dunia adalah urusan masing-masing.” Atau
ungkapan, ”Agama adalah urusan masjid, di luar itu terserah semau gue.” Maka
jangan heran terhadap seseorang yang beribadah, kemudian di lain waktu
akhlaknya tidak benar. Ini merupakan kesalahan fatal. Kita pun sering menjumpai
orang-orang yang amanah dan jujur, tetapi mereka tidak shalat. Ini juga keliru.
Berkenaan dengan manfaat mempelajari ilmu akhlak ini, Ahmad Amin
mengatakan sebgaai berikut :
Tujuan mempelajari ilmu akhlak dan permasalahannya yang menyebabkan kita
dapat menetapkan sebagian perbuatan yang lainnya sebagai yang baik dan
sebagian perbuatan lainnya sebagai yang buruk. Bersikap adil termasuk baik,
sedangkan berbuat zalim termasuk perbuatan buruk, membayar utang kepada
pemilkinya termasuk perbuatan baik, sedangkan mengingkari utang termasuk
pebuatan buruk.
Selanjutnya Mustafa Zahri mengatakan bahwa tujuan perbaikan akhlak itu,
ialah untuk membersihkan qalbu dari kotoran-kotoran hawa nafsu dan
marahsehingga hati menjadi suci bersih, bagaikan cermin yang dapat menerima
NUR cahayaTuhan.
Seseorang yang mempelajari ilmu ini akan memiliki pengetahuan tentang
kriteria perbuatan baik dan buruk, dan selanjutnya ia akan banyak mengetahui
perbuatan yang baik dan perbuatan yang buruk.
Ilmua akhlak atau akhlak yang mulia juga berguna dalam mengarahkan dan
mewarnai berbagai aktivitas kehidupan manusia disegala bidang. Seseorang yang
memiliki IPTEK yang maju disertai akhlak yang mulia, niscaya ilmu pengetahuaan
yang Ia miliki itu akan dimanfaatkan sebaik-baiknya untuk kebaikan hidup
manusia. Sebaliknya, orang yang memiliki ilmu pengetahuan dan teknologi
modern, memiliki pangkat, harta, kekuasaan, namun tidak disertai dengan akhlak
yang mulia, maka semuanya itu akan disalahgunakan yang akibatnya akan
menimbulkan bencana dimuka bumi.
Demikian juga dengan mengetahui akhlak yang buruk serta bahaya-bahaya
yang akan ditimbulkan darinya, menyebabkan orang enggan untuk melakukannya
dan berusaha menjauhinya. Orang yang demikian pada akhirnya akan terhindar
dari berbagai perbuatan yang dapat membahyakan dirinya.
Dengan demikian secara ringkas dapat dikatakan bahwa Ilmu Akhlak bertujuan
untuk memberikan pedoman atau penerangan bagi manusia dalam mengetahui
perbuatan yang baik atau yang buruk. Terhadap perbuatan yang baik ia beruasaha
melakukannya, dan terhadap yang buruk ia berusaha untuk menghindarinya.
E. PENGERTIAN TASAWWUF
Tasawwuf adalah bersungguh-sungguh (dalam berbuat baik) dan
meninggalkan sifat-sifat tercela (Lihat kitab Iyqo-zhul Himam halaman 7).
Aslinya Tasawuf (yaitu jalan tasawuf) adalah tekun beribadah, berhubungan
langsung kepada ALLAH, menjauhi diri dari kemewahan dan hiasan duniawi,
Zuhud (tidak suka) pada kelezatan, harta dan pangkat yang diburu banyak orang,
dan menyendiri dari makhluk di dalam kholwat untuk beribadah (Lihat kitab
Zhuhrul Islam IV-Halaman 151).
Adapun batasan tasawuf adalah : Maka berkata Junaed : yaitu bahwa
kebenaran mematikanmu dari dirimu dan kebenaran tersebut menghidupkanmu
dengan kebenaran tersebut. Dan ia berkata juga : Adalah kamu bersama ALLAH
tanpa ketergantungan. Dan dikatakan : Masuk pada segala ciptaan yang mulya
dan keluar dari segala ciptaan yang hina. Dan dikatakan : Yaitu akhlak mulia yang
tampak pada zaman yang mulia beserta kaum yang mulia. Dan dikatakan : Bahwa
kamu tidak memiliki sesuatu dan sesuatu itu tidak memiliki kamu. Dan dikatakan :
Tasawuf itu dibangun atas 3 macam :
a) Berpegang dengan kefakiran dan menjadi fakir
b) kenyataan berkorban dan mementingkan orang lain
c) Meninggalkan mengatur dan memilih
Menurut Ma’ruf al-Kurhi, tasawuf adalah berpegang pada apa yang hakiki dan
menjauhi sifat tamak terhadap apa yang ada di tangan manusia.
Peranan sebagai usaha untuk mendekatkan diri kepada Allah dengan
menekankan pentingnya akhlak atau sopan santun baik kepada Allah maupun
kepada sesama makhluk.
Ajaran tasawuf al-Junaid dikembangkan lagi oleh shufi terkenal. Husain ibn
Manshur al-Hallaj yang mati dihukum gantung oleh ulama syari’ah tahun 309 H,
karena ia mengaku dirinya telah menyatu dengan Tuhan, sebagaimana terlihat
dari ucapannya: ana Allah…ana al-Haqq (aku adalah Allah….aku adalah yang maha
benar).
Berdasarkan seluruh definisi tasawuf yang telah dikemukakan di atas dapat
disimpulkan bahwa tasawuf di samping sebagai sarana untuk memperbaiki ahlak
manusia agar jiwanya menjadi suci, sekaligus sebagai sarana untuk mendekatkan
diri kepada Allah sedekat-dekatnya.
Dari sekian banyak pendapat dan ajaran Tasawuf, Pada intinya pemahaman akan
ajaran Tasawuf terbagi atas 3 macam golongan, antara lain :
1) Tasawuf Amali ( Tasawuf Terapan)--> Tasawuf ini lebih menekankan pada
praktek ritual terdapat pada amaliah-amaliah tasawuf, seperti tarekat,
dzikir/mujahadah, ihsan dan lainnya. Adapun tokohnya, semisal Al-Ghazali, Al-
Junaidy, Ibnu Athoillah dan lainnya.
2) Tasawuf Ilmu --> Tasawuf ini lebih cenderung bersifat sekedar pengetahuan
teoritis saja, sehingga orang yang mempelajari tasawuf lebih cenderung hanya
sebagai tambahan pengetahuan khazanah ilmuan saja. Sehingga ilmu tasawuf
seringkali menjadi ajang perdebatan dan diskusi keilmuan belaka. Seperti yang
diberikan pada sekolah/Perguruan Tinggi Islam, dll.
3) Tasawuf Falsafi --> Tasawuf ini dapat kita jumpai pada ajaran
ortodox/heterodox yang terdapat pada Faham-faham Pantheisme, semisal : Hulul
(Abu Mansur Al-Halaj), ittihad (Abi-Yazid Al-Bistami), Wihdatul wujud (Ibnu Arabi),
dan lainnya.
Faham Wihdatul Wujud adalah faham "Kesatuan Wujud"
Dalam bukunya Buya Hamka berjudul "Pemurnian dan Perkembangan ilmu
Tasawuf".
Buya Hamka mengemukakan secara singkat, Bahwa Ibnu Arabi menjelaskan
tentang Wihdatul Wujud (Kesatuan Wujud) Bahwa Antara Khaliq dan Makhluq
tidak ada perbedaan, Hamba adalah Tuhan, Tuhan adalah Hamba, Alam semesta
ini adalah 'Ain dari Wujud Allah.
Ajaran Wihdatul wujud ini, lebih cenderung memadukan antara 2 kutub yang
berbeda. Apabila kita simak Allah juga disifati dengan Ya Dzohir..Ya Bathin. Oleh
karena itu, Segala-sesuatu baik yang tampak (Dhohir) atau tidak tampak (Bathin),
pada hakekatnya adalah wujud "Dia".
F. HUBUNGAN AKHLAK DENGAN TASAWUF:
Akhlak dan Tasawuf saling berkaitan. Akhlak dalam pelaksanaannya mengatur
hubungan horizontal antara sesame manusia, sedangkan tasawuf mengatur
jalinan komunikasi vertical antara manusia dengan Tuhannya. Akhlak menjadi
dasar dari pelaksanaan tasawuf, sehingga dalam prakteknya tasawuf
mementingkan akhlak.
Yang memiliki tujuannya sama yaitu mendekatkan diri kepada Allah dengan
cara membersihkan diri dari perbuatan yang terceladan menghias diri dengan
perbatab yang terpuji.
G. TUJUAN MEMPELAJARI TASAWWUF
Tujuannya adalah Ma’rifatullah (mengenal ALLAH secara mutlak dan lebih
jelas)
Tasawwuf memiliki tujuan yang baik yaitu kebersihan diri dan taqarrub kepada
Allah. Namun tasawwuf tidak boleh melanggar apa-apa yang telah secara jelas
diatur oleh Al-Quran dan As-Sunnah, baik dalam aqidah, pemahaman atau pun
tata cara yang dilakukan.
Melihat dari situ kita dapat untuk bisa memahami betapa pentingnya
mengenal Allah secara lebih dalam dan memahaminya dengan benar. Sama juga
dengan kebersihan diri dan taqarrub, tapi kita tak boleh melanggar apapun yang
telah al-qur`an berikan.
H. FAEDAH DARI MEMPELAJARI TASAWWUF
Saat kita telah memahami tassawwuf itu kita mulai dapat membedakan mana
yang baik dan tidak, Bagi tasawwuf mendidik hati dan ma’rifah Allah Yang Maha
Mengetahui, sepertimana kata Ibn `Ajibah: Buah hasilnya ialah kelapangan (mulia)
nafsu, selamat dada dan akhlak yang mulia bersama setiap makhluk.
Faedah tasawwuf ialah membersihkan hati agar sampai kepada ma’rifat akan
terhadap Allah Ta’ala sebagai ma’rifat yang sempurna untuk keselamatan di
akhirat dan mendapat keridhaan Allah Ta’ala dan mendapatkan kebahagiaan
abadi.
akhlak merupakan hiasan diri yang membwa keuntungan bagi yang
mengerjakannya. Ia akan di sukai Allah dan di sukai umat manusia dan makhluk
lainnya. Di dalamnya ternyata memberikan mbimbingan yang optimal secara
batiniah dapat mengintegrasikan jiwa manusia.
Tasawwuf yang oleh sebagian orang dianggap mengandung unsure
penyimpangan dari syari`at islam dan didaulat sebagai biang keladi pembawa
kemunduran ternyata tidak dapat dibuktikan. Ajaran tasawwuf dapat di lacak
dasar-dasarnya secara jelas dalam al-qur`an dan al-sunnah. Dan sebagian besar
ulama telah membiktikannya dengan jelas.
Sebagai ilmu ijtihad manusia, akhlak tasawwuf sama dengan ilmu lainnya. Di sana
ada kekurangan, kelemahan dan keganjilan, dan di sana pula ada kelebihan,
kekuatan dan keistimewaan. Kiranya cara yang bijaksana yang perlu kita tempuh
adalah apabila kita mengambil kelebihan, kekuatan dan keistimewaan dari
tasawwuf itu memandu hidup
I. Kedudukan Tasawuf Dalam Islam
Tasawuf adalah maqam ihsan. Ia merupakan sebahagian dari tiga bahagian utama agama iaitu islam, iman dan ihsan. Ketiga-tiga rukun agama ini dapat dilihat dengan jelas dalam hadis Jibril a.s. Ketika Jibril a.s. datang menemui Nabi s.a.w. dalam rupa seseorang yang tidak pernah dikenali oleh para sahabat, beliau telah mengemukakan beberapa pertanyaan mengenai Iman, Islam dan Ihsan. Pertanyaan itu sebenarnya merupakan suatu perkhabaran iaitu bertujuan mengkhabarkan kepada umat tentang rukun-rukun agama. Perkara ini dapat dilihat di mana Nabi s.a.w. menjelaskan bahawa“ Dialah Jibril yang datang kepada kamu untuk mengajarkan kepada kamu tentang agama kamu”.
Dari penjelasan Nabi s.a.w. terhadap pertanyaan Jibril jelas menunjukkan bahawa Islam itu merujuk kepada amalan lahiriah iaitu perlaksanaan terhadap perintah-perintah agama yang berpaksi pada lima rukun utamanya iaitu shahadah, solat, puasa, zakat dan haji. Iman pula merujuk kepada keyakinan hati terhadap rukun-rukun iman yang berpaksi pada enam rukun utamanya itu kepercayaan kepada Allah, para malaikat, kitab-kitab, rasul-rasul, hari akhirat dan qada’ serta qadar. Manakala ihsan pula merujuk kepada amalan batin manusia iaitu penyaksiaan hati terhadap hadrat ilahi. Oleh itu islam melibatkan anggota lahiriah manusia, iman pula melibatkan anggota dalaman manusia iaitu hati, manakala ihsan pula merupakan gerak jiwa manusia.
Iman itu boleh diumpamakan sebagai tapak binaan, islam itu sebagai binaan asas, dan ihsan itu pula ialah pelengkap, penyempurna dan penyeri binaan. Tanpa
iman, binaan tidak akan terbina kerana ketiadaan tapak. Tanpa islam, bererti hanya memiliki tapak tanpa ada binaan. Tanpa ihsan, bererti hanya memiliki tapak dan binaan asas tanpa pelengkap dan penghiasnya. Kesempurnaan hanya tercapai dengan ketiga-tiga perkara itu. Memiliki tapak semata-mata tanpa ada bangunan menjadikan seseorang itu merasai keperitan kepanasan matahari dan kesejukan hujan. Demikian juga orang yang hanya beriman tanpa melaksanakan tuntutan islam akan diazab di akhirat sekiranya dosa-dosanya itu tidak diampunkan Allah, namun kesudahannya dia tetap ke syurga juga kerana keimanannya itu. Memiliki tapak dan binaan asas pula menjadikan seseorang itu dapat berteduh namun tempat berteduhnya itu tidak sempurna kerana tidak memiliki kelengkapan dan hiasan, malahan seringkali terdedah kepada kecurian. Demikian juga orang yang beriman dan melaksanakan tuntutan islam tetapi tidak berihsan, amalan yang dilakukan itu kurang sempurna malahan kadang-kadang amalan tersebut tidak diterima dan mengundang kemurkaan Allah. Perkara seumpama inilah yang dapat dilihat pada firman Allah yang bermaksud “celakalah bagi orang yang bersolat”.
Tasawuf sebenarnya merupakan saripati atau jiwa agama. Dengannya agama itu dapat dirasai kebenaran dan kemurniannya. Ia merupakan penyempurna kepada agama itu sendiri di mana ia memberikan nilaian tambahan terhadap keimanan dan keislaman. Dalam hal ini Nabi s.a.w. bersabda yang bermaksud “iman yang paling utama ialah bahawa engkau mengetahui bahawa Allah itu menyaksikan engkau di mana sahaja engkau berada”. Hadis ini menunjukkan bahawa iman itu mempunyai tingkatan yang berbeza, dan tingkatan iman yang paling utama ialah iman yang didasari atas pengetahuan dan penyaksian terhadap hakikat tilikan Allah serta taklukan sifat-sifat-Nya terhadap diri manusia. Inilah yang dikatakan ihsan seperti yang disabdakan oleh Nabi s.a.w. yang bermaksud “ihsan itu ialah engkau beribadah kepada Allah seolah-olahnya engkau melihat-Nya, sekiranya engkau tidak melihatNya maka sesungguhnya Dia melihat engkau”.
J. Cara Mencapai Tasawuf
Menurut Imam al-Ghazali, setiap maqam agama itu seperti taubat, sabar, syukur, reda, tawakkal dan sebagainya, adalah terdiri dari tiga perkara iaitu ilmu, amal dan hal (nur). Dengan ketiga-tiga perkara inilah tercapainya kesempurnaan maqam agama itu. Hal atau nur inilah merupakan intipati ilmu tasawuf. Ilmu diperolehi menerusi pengkajian dan pembelajaran dan ilmu itu pula menghendaki pengamalan. Amal yang jujur, bersungguh-sungguh, istiqamah dan berdasarkan ilmu itulah yang akan membuahkan hal. Oleh itu tasawuf dicapai menerusi ilmu
dan amal. Perkara ini dapat dilihat pertunjuknya dalam banyak ayat-ayat al-Qur’an, antaranya ialah firman Allah yang bermaksud “dan orang-orang yang bermujahadah pada jalan Kami (Allah), pasti Kami (Allah) akan tunjukkan (hidayat) kepada mereka jalan-jalan Kami (Allah)”, firman Allah yang bermaksud “wahai orang-orang yang beriman, sekiranya kamu bertaqwa kepada Allah, nescaya Dia (Allah) akan menjadikan untuk kamu pemisah (furqan iaitu nur yang memisahkan antara haq dan batil)”, dan ayat-ayat lain lagi.
Adapun amal yang menghasilkan tasawuf itu ialah amal yang berfungsi membersih dan mentawajjuhkan hati kepada Allah iaitu apa yang diistilahkan sebagai mujahadah dan riyadah. Amalan, tata-cara, adab-adab serta tunjuk-ajar dalam melaksanakan mujahadah dan riyadah inilah yang dinamakan tarekat. Mengenai amal tarekat ini, ulama tasawuf menjelaskan bahawa tarekat itu ialah engkau mengqasadkan hatimu kepada-Nya. Iaitu bermaksud, tarekat itu ialah berusaha sedaya upaya mentawajjuh dan menumpukan tumpuan hati kepada Allah menerusi amalan yang dilaksanakan. Apabila tawajjuh hati mula dicapai dan dirasai serta menjadi semakin kuat dan teguh, ia akan membawa kepada penyaksian batin (mushahadah) terhadap hakikat-hakikat tauhid iaitu apa yang disebut hakikat. Mengenai hakikat ini ulama tasawuf menjelaskan bahawa hakikat itu ialah engkau menyaksikan-Nya.
Intipati dari semua amal mujahadah dan riyadah yang membawa kepada tercapainya tasawuf itu ialah zikir. Menurut Ibn Qayyim, semua amal itu disyariatkan adalah untuk melaksanakan dhikrullah, iaitu apa yang dimaksudkan dengan amal-amal itu ialah dhikrullah. Menurut beliau lagi, tidak ada jalan untuk mendapatkan ahwal dan ma`rifah itu kecuali menerusi zikir. Zikir sebagai amal penting dalam riyadah dan mujahadah ini dapat dilihat kebenarannya dalam banyak pertunjuk Nabi s.a.w. kepada para sahabat r.a. Dalam satu riwayat, Nabi s.a.w. ada menganjurkan para sahabat supaya memperbaharui iman. Mereka bertanya tentang cara bagaimana iman itu dapat diperbaharui. Nabi s.a.w. menjelaskan dengan sabda baginda yang bermaksud “perbanyakkan menyebut La ilaha illallah”. Memperbaharui iman itu bukan bermaksud menambah kepercayaan-kepercayaan baru, tetapi bermaksud memperteguh, memperdalam dan memperhalusi keyakinan sehingga hakikat-hakikat tauhid yang diimani dapat disaksikan kebenarannya oleh matahati. Caranya ialah selalu mengulangi kalimat tauhid sehingga ia tertanam teguh dalam hati sanubari.
Dalam riwayat yang lain, Nabi s.a.w. pernah mentalqinkan kalimat tauhid ini kepada sekumpulan sahabat. Shaddad ibn Aus meriwayatkan bahawa kami berada di sisi Nabi s.a.w. ketika baginda bersabda “angkatkan tangan-tangan kamu, lalu katakanlah La ilaha illallah”.
K. Kesan-Kesan Tasawuf
Tasawuf selalu dilihat sebagai sesuatu yang bersifat peribadi. Memang benar tasawuf itu bersifat peribadi kalau ia dilihat dari segi intipati atau hakikat tasawuf itu. Namun tasawuf itu mempunyai kaitan rapat dengan perkara-perkara lain yang tidak dapat dipisahkan dan mempunyai natijah serta kesan yang tertentu hasil dari pencapaiannya. Secara umumnya, pencapaian tasawuf itu akan mewujudkan, memperteguhkan dan mengharmonikan dua bentuk hubungan iaitu hubungan dengan Allah sebagai pencipta dan pentadbir alam ini dan hubungan dengan manusia sebagai penghuni dan pemakmur dunia ini.
Hakikat ini dapat diperhatikan kenyataannya dalam satu riwayat di mana Nabi s.a.w. pernah ditanya oleh para sahabat mengenai orang yang paling afdal dan tinggi darjatnya di sisi Allah pada hari kiamat. Nabi s.a.w. menjawab “iaitu orang-orang yang banyak zikirnya terhadap Allah”. Ternyata bahawa zikir yang merupakan kekunci penting dalam usaha mencapai tasawuf itu menjadi ciri utama bagi orang yang dikira sebagai paling utama dan tinggi darjatnya di sisi Allah pada hari kiamat. Dengan tercapainya tasawuf itu akan membuahkan berbagai ahwal, maqamat dan amalan yang dengannya seseorang itu mendapat kemuliaan dan mencapai ketinggian darjat di dunia dan juga di sisi Allah. Antara kesan-kesan tasawuf itu ialah:
1-Memperteguhkan keimanan dan membina jatidiri muslim.
Tasawuf berfungsi memperteguhkan keimanan dan keyakinan serta menetapkan pendirian seseorang muslim. Apabila batin manusia bersih dari kekotoran sifat-sifat yang tercela dan dari kecintaan terhadap sesuatu yang lain dari Allah, akan terpancarlah (tajalli) cahaya kebenaran ilahi di dalam hati. Kesannya manusia dapat menyaksikan hakikat kebenaran Allah dan kepalsuan sesuatu yang lain dari-Nya dengan terang dan nyata. Inilah nur yang disebut dalam firman Allah yang bermaksud “maka sesiapa yang dilapangkan Allah dadanya untuk Islam, maka dia itulah orang yang berada di atas cahaya (nur) dari Tuhannya”. Mengenai nur ini Nabi s.a.w. menjelaskan “bahawa nur itu, apabila memasuki hati, ia akan menjadi
luas dan lapang (terbuka hijab)”. Iaitu hati yang terhijab dengan pelbagai hijab rohani sehingga ia terhalang dari menyaksikan kebenaran Allah, apabila ia disinari dengan nur ilahi, akan tersingkaplah hijab-hijab tersebut lalu ia dapat menyaksikan kebenaran ilahi.
Nur tersebut membawa kepada peningkatan darjat keimanan dan keyakinan hati serta memperteguhkan pendirian. Dalam keadaan ini, hati manusia tidak lagi dipengaruhi oleh sebab musabab, tidak merasa bimbang dan takut terhadapnya serta tidak lagi meletakkan pergantungan hati terhadapnya. Dia tidak merasa gelisah terhadap sumber-sumber rezeki, persoalan hidup atau mati, susah atau senang, kaya atau miskin, untung atau rugi, dapat atau tidak, menang atau kalah dan sebagainya lagi. Ini kerana hatinya telah menyaksikan dengan terang dan nyata kebenaran kewujudan Allah dan adanya ketentuan (qada’ dan qadar) dari-Nya terhadap semua makhluk-Nya. Dia berkeyakinan penuh bahawa tidak akan terjadi sesuatu itu kecuali dengan kekuasaan, kehendak, ketentuan dan keizinan dari-Nya. Inilah kewalian yang sebenar-benarnya seperti yang digambarkan dalam firman Allah yang bermaksud “ketahuilah bahawa wali-wali Allah itu tidak ada ketakutan ke atas mereka dan mereka itu tidak berduka cita”.
Inilah tingkatan iman yang utama iaitu iman yang didasari penyaksian batin terhadap kebenaran ketuhanan Allah. Mengenai perkara ini Nabi s.a.w. bersabda yang bermaksud “iman yang paling afdal ialah bahawa engkau mengetahui (dengan yakin) bahawa Allah menyaksikan dirimu di mana saja engkau berada”. Di sinilah letaknya jati diri seseorang mukmin. Allah memperteguhkan orang mukmin itu dengan keyakinan ini. Dalam al-Qur’an dijelaskan bahawa “Allah memperteguhkan orang-orang yang beriman dengan kata-kata yang teguh”. Menurut ahli tafsir, kata-kata yang teguh itu ialah kalimat tauhid (La ilaha illallah), iaitu kalimat iman dan taqwa.
2-Menimbulkan kesedaran jiwa
Intipati tasawuf itu ialah benarnya tawajjuh hati ke hadrat ilahi. Permulaan tawajjuh hati itu ialah timbulnya kesedaran jiwa (intibah). Seseorang yang mengalami intibah itu akan menyedari kelemahan, kekurangan dan kesilapan dirinya. Kesedaran inilah yang akan membawa kepada taubat dan usaha memperbaiki dan menyempurnakan diri. Kesedaran ini jugalah yang membangkitkan usaha gigih dalam meningkatkan dan memartabatkan diri. Isyarat ini dapat dilihat dalam al-Qur’an di mana Allah berfirman yang bermaksud “dan
orang-orang yang apabila mereka melakukan perkara keji atau menzalimi diri mereka sendiri lalu mereka mengingati Allah, lantas mereka beristighfar terhadap dosa-dosa mereka, dan tiadalah yang mengampunkan dosa-dosa itu melainkan Allah, dan mereka itu tidak berlarutan dalam melakukan apa yang telah mereka lakukan sedangkan mereka mengetahuinya”.
3-Membina keperibadian dan akhlak mulia.
Tasawuf itu dari satu sudut ialah pencapaian akhlak mulia. Akhlak tidak dapat dipisahkan dari tasawuf di mana akhlak itu adalah merupakan buah atau hasil dari tasawuf. Pencapaian tasawuf membawa kepada pembentukan akhlak mulia. Mengenai akhlak ini, Abu Bakr al-Kattani menjelaskan bahawa “tasawuf itu ialah akhlak, sesiapa yang menambahkan akhlakmu, maka sesungguhnya dia telah menambahkan kesufianmu”. Hakikat ini sesuai dengan hadis Nabi s.a.w. yang bermaksud “orang-orang mukmin yang paling sempurna iman ialah mereka yang paling baik akhlak”
Apabila seseorang itu mula merasai hakikat tasawuf dengan sendirinya dia akan berakhlak mulia, kerana pencapaian hakikat tasawuf itu membawa kepada kelembutan hati. Kelembutan hati itulah yang melahirkan berbagai akhlak mulia. Oleh itu semakin tinggi tahap kesufian seseorang itu maka semakin mulia akhlaknya. Nabi s.a.w yang merupakan imam ahli tasawuf adalah diutuskan untuk menyempurnakan akhlak yang mulia sebagaimana sabda baginda yang bermaksud “sesungguhnya aku diutuskan untuk menyempurnakan akhlak yang mulia”.
4-Membentuk insan yang bertanggungjawab
Tasawuf itu dari satu dimensi ialah merasai hakikat iman dan mencapai martabat ihsan. Sekurang-kurang martabat ihsan itu ialah seseorang itu merasai dan menyedari bahawa dirinya sentiasa dalam tilikan dan pandangan Allah. Kesedaran inilah yang akan menjadikan seseorang itu merasa bertanggungjawab. Orang yang mengalami kesedaran ini akan merasai bahawa dirinya akan dipersoalkan di hadapan Allah mengenai tanggungjawabnya terhadap dirinya, keluarganya dan juga masyarakatnya. Mengenai perkara ini Nabi s.a.w. bersabda yang bermaksud “perumpamaan orang-orang yang beriman dalam perkara kasih sayang, rahmat merahmati, dan belas kasihan sesama mereka adalah seumpama satu tubuh,
apabila satu anggota mengadu kesakitan maka seluruh anggota yang lain akan merasainya dengan tidak dapat tidur malam dan demam”.
Dalam satu riwayat, Nabi s.a.w. ada menjelaskan bahawa “iman itu ada lebih dari enam puluh tiga cabang, yang paling tinggi ialah ucapan La ilaha illallah, yang paling rendah ialah membuang sesuatu yang menyakiti di jalanan, dan sifat malu merupakan salah satu cabang iman”. Kemantapan dan kemurnian iman hasil dari pencapaian tasawuf akan menimbulkan rasa prihatin dan tanggungjawab terhadap orang lain. Timbulnya dorongan untuk tidak menyakitkan orang lain dan membuang sesuatu yang boleh menyakitkan mereka seperti yang disebut dalam hadis adalah merupakan hasil dari kemurnian jiwa atau tercapainya tasawuf.
5-Mewujudkan persaudaraan, perpaduan, dan sifat rahmat sesama manusia
Tasawuf itu dari satu sudut merupakan peningkatan tahap keimanan dan kesempurnaannya. Apabila tasawuf itu dicapai dan dirasai hakikatnya ia akan menimbulkan suatu keadaan kejiwaan di mana seseorang itu merasa kasih dan bertanggungjawab terhadap semua manusia dan juga makhluk-makhluk lain. Mengenai perkara ini Nabi s.a.w. bersabda yang bermaksud “tidak beriman seseorang kamu itu sehinggalah dia mengasihi untuk saudaranya apa yang dikasihinya untuk dirinya sendiri”. Demikian juga Nabi s.a.w. bersabda yang bermaksud “orang mukmin terhadap orang mukmin yang lain adalah seumpama binaan di mana sebahagiannya memperteguhkan sebahagian yang lain”.
Sumber :
1. Hakekat Sufi & Sikap Kaum Sufi Terhadap Prinsip Ibadah dan Agama Syekh Dr Sholeh Fauzan
2. Konsep Tasawuf dalam Kacamata Ahli Sufi oleh Oleh: Dr. Abdul Manam bin Mohamad al-Merbawi
3. Prof.Dr.H.Abuddin Nata, MA, 2006. Akhlak Tasawwuf . Jakarta. PT RajaGrafindo Persada.