tinjauan hukum islam terhadap adat kewarisan...
TRANSCRIPT
TINJAUAN HUKUM ISLAM TERHADAP ADAT KEWARISAN
MASYARAKAT SAMIN DI DESA SAMBONG REJO
KECAMATAN SAMBONG KABUPATEN BLORA
SKRIPSI
Diajukan untuk Memenuhi Tugas dan Melengkapi Syarat Memperoleh Gelar Sarjana Program Strata 1 (S1)
Dalam Ilmu Syari’ah Jurusan Ahwal Al-Syakhsiyah
Oleh:
Siti Nur Azizah NIM. 2102156
FAKULTAS SYARI’AH
INSTITUT AGAMA ISLAM NEGERI WALISONGO
SEMARANG
2009
DEKLARASI
Dengan penuh kejujuran dan tanggung jawab peneliti menyatakan bahwa skripsi
ini tidak berisi materi yang pernah ditulis orang lain atau diterbitkan. Demikian
juga skripsi ini tidak berisi satupun pikiran-pikiran orang lain, kecuali informasi
yang terdapat dalam referensi yang dijadikan bahan rujukan.
Semarang, 14 Januari 2009 Deklarator, Siti Nur Azizah NIM. 2102156
viii
ABSTRAK Siti Nur Azizah (NIM. 2102156). Tinjauan Hukum Islam Terhadap Adat Kewarisan Masyarakat Samin di Desa Sambongrejo Kecamatan Sambong Kabupaten Blora. Skripsi. Semarang: Fakultas Syari’ah IAIN Walisongo, 2009. Penelitian ini bertujuan: (1) Untuk mendeskripsikan praktik pembagian warisan pada masyarakat Samin di Desa Sambong Rejo Kabupaten Blora. (2) Untuk menjelaskan pandangan hukum Islam mengenai praktik pembagian warisan pada masyarakat Samin, di Desa Sambong Rejo Kabupaten Blora Jenis penelitian ini adalah penelitian kualitatif lapangan dimana data diperoleh dari wawancara, observasi dan dokumentasi sehingga diketahui bentuk kewarisan suku samin, setelah data terkumpul lalu dianalisis dengan deskrptif yang mengacu pada analisis data induktif, analisis ini peneliti gunakan untuk menganalisis bentuk pembagian kewarisan sedulur sikep di Desa sambong rejo Kabupaten Blora dan kemudian peneliti kaitkan dengan hukum Islam Hasil penelitian menunjukkan bahwa (1) Tradisi pembagian warisan masyarakat sedukur sikep lebih dikenal dengan istilah tinggalan, mereka tidak mengenal metode hijab dan mahjub, tidak ada perbedaan pembagian antara laki-laki dan perempuan meskipun semua warga sedulur sikep di Desa Sambong Rejo Kabupaten Blora mayoritas beragama Islam, anak yang sudah keluar dari samin tetap mendapat warisan, begitu juga kepada anak angkat, sedulur sikep mempunyai kepercayaan bahwa semua keturunan manusia yang bukan dari keluarga pewaris bisa menjadi ahli waris dan mendapat warisan. Proses pembagian harta warisan pada masyarakat Sikep dengan kewenangan orang tua sebagai pemilik dan orang yang berhak membagi adalah dengan jalan perdamaian atau Islah. (2) Tradisi pembagian warisan masyarakat sedukur sikep lebih dikenal dengan istilah tinggalan, mereka tidak mengenal metode hijab dan mahjub, Proses pembagian harta warisan pada masyarakat Sikep dengan kewenangan orang tua sebagai pemilik dan orang yang berhak membagi adalah dengan jalan perdamaian atau Islah. Cara perdamaian atau Islah merupakan jalan pintas untuk membagi harta warisan bila satu sama lain saling suka rela dan sepakat dengan bagian yang telah ditentukan oleh orang tua atau ketika ada sisa harta peninggalan mereka bermusyawarah untuk menyerahkan harta itu kepada salah seorang saudaranya. Jadi kalau dilihat dari pemaparan di atas, pertimbangan harta waris masyarakat Sedulur Sikep di Desa Sambong Rejo Kabupaten Blora yang didasarkan pada proses perdamaian dan musyawarah adalah tidak bertentangan dengan hukum Islam, karena mereka mengutamakan rasa saling menerima. Baik karena pesan orang tua sebagai pewaris maupun ajaran-ajaran Samin yang telah dijadikan falsafah hidup bagi mereka
ix
MOTTO
وللنساء للرجال نصيب مما ترك الوالدان والأقربون نصيب مما ترك الوالدان والأقربون مما قل منه أو
آثر نصيبا مفروضا “Bagi laki-laki ada hak bagian dari harta peninggalan ibu-bapak dan
kerabatnya, dan bagi wanita ada hak bagian (pula) dari harta peninggalan ibu-bapak dan kerabatnya, baik sedikit atau banyak
menurut bahagian yang telah ditetapkan” (QS. An-Nisa’: 7)
iv
PERSEMBAHAN
Dengan segala kerendahan hati baik sebagai hamba Allah dan insan
Akademis karya tulis yang sederhana ini penulis persembahkan kepada:
Ayahanda Rasmo dan Ibunda Siti Sulasmini tercinta yang telah berjuang dan
tiada hentinya selalu mendoakan dengan tulus selama penulis studi.
Kakak-kakakku tercinta yang selalu memberikan motivasi serta mendukung
penulis baik moril dan materiil (Mas Abdul Aziz Zuhri, S.Ag, Mas Musafak
dan Mbak Siti Zumroh, dan Mas Sutikno.
Keponakan-keponakanku (Fuad, Alfi, Ririf, Naqfi) yang selalu setia menanti
kesuksesanku.
v
KATA PENGANTAR
أشهد ان ال , لدينالحمد هللا رب العلمين وبه نستعين على أمور الدنيا وااللهم صلى , اله اال اهللا وحده ال شريك له وأشهد أن محمدا عبده ورسوله
.أما بعد, على محمد وعلى أله وصحبه ومن تبعه بإحسان الى يوم الدينPuji syukur kehadirat Allah Swt yang telah melimpahkan segala rahmat
dan hidayah-Nya sehingga penyusun dapat menyelesaikan skripsi ini dengan baik
dan lancar, shalawat dan salam selalu tercurah kepada baginda Muhammad Saw.,
keluarga, sahabat dan orang-orang yang senantiasa mengikuti jejaknya.
Dalam proses penyusunan skripsi yang berjudul “Tinjauan Hukum Islam
Terhadap Adat Kewarisan Masyarakat Samin Di Desa Sambongrejo Kecamatan
Sambong Kabupaten Blora”.
Usaha dalam menyelesaikan skripsi ini memang tidak bisa lepas dari
berbagai kendala dan hambatan akan tetapi dapat penulis selesaikan juga
walaupun masih banyak kekurangan yang ada, oleh karena itu penulis panjatkan
rasa syukur yang tidak terhingga kepada Allah Swt. dengan rahman dan rahim-
Nya penulis mampu menyelesaikan skripsi ini.
Tidak lupa pula penulis skripsi baik secara emosional, akademis, moral,
material serta keterlibatan yang lain terutama kepada:
1. Bapak Drs. H. Muhyiddin, M.Ag selaku Dekan Fakultas Syari’ah IAIN
Walisongo Semarang dan yang telah membimbing penulis dalam
menyelesaikan skripsi ini.
2. Bapak Arif Budiman, M.Ag, Selaku Ketua Jurusan Ahwal Al-Syakhsiyah
3. Ibu Antin Latifah, M.Ag, selaku Sekretaris Jurusan Ahwal Al-Syakhsiyah
4. Bapak dan Ibu Dosen serta karyawan Fakultas Syari’ah IAIN Walisongo
Semarang.
5. Bapak Sutopo Selaku Kepala Desa Desa Sambongrejo Kecamatan Sambong
Kabupaten Blora.
6. Bapak Pramugie Prawirowijoyo, selaku Ketua Komunitas Sedulur Sikep,
Mbah Karmidi selaku Sesepuh Sedulur Sikep
7. Civitas Akademik Fakultas Syari’ah IAIN Walisongo Semarang
Kepada semuanya, peneliti mengucapkan terima kasih disertai doa semoga
budi baiknya diterima oleh Allah SWT, dan mendapatkan balasan berlipat ganda
dari Allah SWT.
Semarang, 14 Januari 2009 SITI NUR AZIZAH NIM: 2102156
BAB I
PENDAHULUAN
A. Latar Belakang Masalah
Allah swt mensyari’atkan hukum baik yang mengatur tentang hak
yang bisa dimiliki oleh seseorang atau hak yang harus ditunaikan ataupun
mengenai ucapan dan perbuatannya baik secara kelompok maupun secara
perorangan, jasmaniah maupun rohani, di dunia maupun di akhirat dengan
tujuan untuk mewujudkan kemaslahatan hidupnya. Oleh karena itu
penerapan hukum tersebut sangat memperhatikan perkembangan dan
keadaan manusia baik fisik maupun akalnya. Dengan kata lain hukum Islam
dalam memberlakukan ketentuan-ketentuan hukumnya kepada manusia
disesuaikan dengan kemampuan badan dan akalnya.1
Allah swt telah menciptakan manusia sebagai khalifah di muka
bumi, agar mereka bisa melaksanakan apa yang diperintahkan serta
meninggalkan apa yang dilarang-Nya, sesuai dengan firman-Nya yang
berbunyi:
لله ورسوله أمرا أن يكون لهم وما آان لمؤمن ولا مؤمنة إذا قضى ا
الخيرة من أمرهم ومن يعص الله ورسوله فقد ضل ضلالا مبينا
2 ﴾36:االحزاب﴿
Artinya: Dan tidaklah patut bagi laki-laki yang mukmin dan tidak (pula) bagi perempuan yang mukmin, apabila Allah dan
1 Zakiah Daradjat dkk. Ilmu Fiqh, cet. II (Yogyakarta : PT. Dana Bhakti Wakaf,1995),
hlm. 1. 2 Al-Ahzab ( 33 ): 36.
1
2
Rasul-Nya telah menetapkan suatu ketetapan, akan ada bagi mereka pilihan (yang lain) tentang urusan mereka. Dan barang siapa mendurhakai Allah dan Rasul-Nya maka sungguhlah dia telah sesat, sesat yang nyata. (Q.S. Al-Ahzab: 36).
Diantara hukum Islam yang jelas dan rinci diterangkan oleh Allah
swt dalam al-Quran adalah hukum tentang kewarisan. Masalah-masalah yang
menyangkut tentang kewarisan sudah ada ketentuan yang jelas, sehingga
dimungkinkan tidak akan menimbulkan bermacam-macam interpretasi.
kewarisan adalah salah satu pokok yang sering dibicarakan dan hampir
semua orang mengalaminya, al-Quran pun banyak membicarakanya tentang
hal ini, dari seluruh hukum yang berlaku di dalam masyarakat maka
kewarisan ini yang menentukan dan mencerminkan sistem kekeluargaan.3
Hukum kewarisan dalam Islam mendapat perhatian besar karena
pembagian warisan sering menimbulkan akibat-akibat yang tidak
menguntungkan bagi keluarga yang ditinggal mati pewarisnya. Naluriah
manusia yang menyukai harta benda tidak jarang memotivasi seseorang
untuk menghalalkan berbagai cara untuk mendapatkan harta benda tersebut,
termasuk didalamnya harta peninggalan pewarisnya sendiri.
Sebagaimana firman Allah swt:
زين للناس حب الشهوات من النساء والبنين والقناطير المقنطرة من
والأنعام والحرث ذلك متاع الحياة الذهب والفضة والخيل المسومة
4 ﴾14: ال عمران﴿الدنيا والله عنده حسن المآب
Artinya: Dijadikan indah pada (pandangan) manusia kecintaan kepada apa-apa yang diingini, yaitu: wanita-wanita, anak-
3 Ali Parman, Kewarisan Dalam al-Quran (Jakarta: Rajawali Press, 1995), hlm. 17. 4 Ali Imran (3):14.
3
anak, harta yang banyak dari jenis emas, perak, kuda pilihan, binatang-binatang ternak dan sawah ladang. Itulah kesenangan hidup di dunia dan di sisi Allah-lah tempat kembali yang baik (surga).
Kewarisan adalah suatu hal yang pasti terjadi dalam kehidupan
manusia, yang dalam hukum Islam kewarisan terjadi sesudah kematian
seseorang. Menyangkut sejarah hukum Islam di Indonesia tentunya berkaitan
erat dengan masuknya Islam di Nusantara tidak bisa dipungkiri bahwa
sebelum Islam datang ke Nusantara yang dibawa oleh para saudagar Arab,
Gujarat dan India pada saat itu masyarakat Nusantara telah mempunyai nilai-
nilai dan kepercayaan yang telah mendarah daging dan mengakar dalam
masyarakat.
Sebagai konsekuensinya dari adanya nilai-nilai dan kepercayaan
yang telah ada hukum Islam harus berasimilasi dan beradaptasi dengan
budaya lokal dan adat istiadat setempat, sehingga hukum Islam dapat
diterima dan hidup dalam masyarakat waktu itu. Strategi inilah yang dipakai
para ulama’ terdahulu dalam rangka syi’ar Islam, begitu pula dengan hukum
kewarisan Islam yang banyak menyesuaikan diri dengan hukum waris adat
yang ternyata begitu kuat bahkan sulit bagi hukum kewarisan Islam untuk
masuk apalagi merubahnya dengan ketentuan yang ada dalam hukum
kewarisan Islam.
Negara Indonesia ini kaya raya akan adat, termasuk di dalamnya
hukum waris adat yang beraneka ragam yang dianut oleh berbagai macam
agama dan kepercayaan yang berbeda-beda dan mempunyai bentuk–bentuk
4
kekerabatan dengan sistem keturunan yang berbeda-beda pula.5 Fatchur
Rohman dalam bukunya “Ilmu Waris” mengatakan
Di Indonesia sampai sekarang ini belum terdapat suatu kesatuan hukum tentang hukum warisan yang dapat diterapkan untuk seluruh warga Indonesia. karena itu hukum warisan yang diterapkan kepada seluruh warga Negara Indonesia masih berbeda-beda, mengingat masih adanya penggolongan dari warga Negara. 6 Diantara bentuk-bentuk atau sistem kekerabatan dan sistem
keturunan yang terdapat di Indonesia, yaitu sistem keturunan patrilinial,
matrilineal dan sistem keturunan parental atau bilateral, serta ada pula
beberapa sistem kewarisan, yaitu: sistem individu, kolektif, mayorat,
kewarisan Islam dan kewarisan barat.
Sistem kewarisan parental atau bilateral itu sudah sesuai dengan
sistem kewarisan Islam, hal ini disebabkan ayat-ayat al-Quran di wilayah
kewarisan dan perkawinan mencerminkan suatu bentuk sistem kekeluargaan
yang bilateral.7
Sistem kewarisan memiliki asas yang berkenaan dengan hukum
kewarisannya, suatu asas hukum kewarisan pada umumnya didasarkan pada
sistem kekerabatan lebih mendasar lagi ditentukan oleh struktur
kemasyarakatan yang berlaku. Sistem kehidupan masyarakat banyak
ditentukan oleh sistem kekeluargaan yang bermula dari bentuk perkawinan.
Bentuk kekeluargaan itu berpengaruh terhadap pemikiran dan cara pemilikan
atas harta serta cara penyelesaian peralihan harta tersebut. Hal ini nampak
5 Van Dijk, Pengantar Hukum Adat Indonesia. Terjemahan A. Soehardi (Bandung:
Sumur, 1979), hlm.11-12. 6 Fatchur Rahman, Ilmu Waris, edisi 2 (Bandung: al-Ma’arif, 1981), hlm.27. 7 Hazairin, Hukum Kewarisan Bilateral Menurut al-Quran dan Hadis, edisi ke-5 (Jakarta:
Tinta mas,1981), hlm.14.
5
pada praktik pembagian kewarisan hampir di seluruh daerah Nusantara salah
satunya adalah sistem kewarisan yang dilaksanakan oleh masyarakat Samin
di Kabupaten Blora.
Membicarakan masyarakat Samin tidak akan lepas dari gerakan
perjuangan melawan penjajah kolonial Belanda. Dirunut ke belakang
masyarakat Samin berawal dari gerakan kultur perlawanan Kyai Samin
Anom alias Ki Samin Surosentiko yang meninggal di Sawah Lunto Sumatra
Barat 1914. Yang menolak membayar pajak kepada penjajah kolonial
Belanda. Didasarkan pada kebudayan Jawa yang religius/kejawen.8
Ajarannya tidak hanya tersebar di daerah Blora saja, tetapi tersebar di
beberapa daerah lainya, seperti Pati, Rembang, Bojonegoro, Madiun,
Banyuwangi, Porwodadi, Kudus, Brebes.
Orang-orang Samin sebenarnya kurang suka dengan sebutan “Wong
Samin” sebab sebutan tersebut mengandung arti tidak terpuji yaitu dianggap
sekelompok orang yang tidak mau membayar pajak, sering membantah dan
menyangkal aturan yang telah ditetapkan sering keluar masuk penjara, sering
mencuri kayu jati dan perkawinannya tidak dilaksanakan menurut hukum
Islam. Sebagian besar penganut Samin di Blora, selalu membahasakan
dirinya sebagai orang ”Sikep” sebagai ganti orang “Samin”. Tapi dia
menampik anggapan penggunaan sebutan “Sikep” untuk menghindarkan diri
dari pencitraan buruk yang terlanjur lekat pada sebutan “Samin”. Dia
menerangkan bahwa Sikep berarti kaum yang berpegang teguh dan satunya
8 Ensiklopedia Nasional Indonesia. cet. III (Jakarta : Delta Pamungkas 1997), VIII: 297.
6
kata dengan perbuatan. Ini merujuk pada pernyataan kesanggupan mereka
untuk “ngelakoni” (mengamalkan) ajaran-ajaran Saminisme dalam
kehidupan sehari-hari.9
Kebiasaan masyarakat Samin (sedulur Sikep10) ditandai oleh sikap
dan prilaku atau perbuatan yang tidak (selalu) mengikuti aturan-aturan yang
berlaku di desa atau masyarakat di mana mereka tinggal, hal ini diawali oleh
sikap orang Samin yang berani melawan kebijakan pemerintah Belanda.11
Terbawa oleh sikapnya yang menentang pemerintah kolonial itu, pendirian
orang-orang Samin membuat tatanan atau aturan sendiri, adat-istiadat dan
cenderung tertutup untuk menerima adat-istiadat baru dari kelompok luar.
Kebiasaan-kebiasaan masyarakat Samin (sedulur Sikep) yang berbeda itu
terlihat dalam tata cara yang berkaitan dengan perkawinan, kehamilan,
kelahiran, kematian, dan juga cara berkomunikasi (bahasa).12
Sedangkan dalam hal warisan yang lebih dikenal dalam masyarakat
mereka dengan sebutan tinggalan, mereka tidak mengenal istilah warisan,
ada sebagian yang tahu tapi kata itu tidak terlalu populer atau tidak pernah
digunakan dalam hal pengurusan harta orang tua atau penyebutan bagi
mereka harta peninggalan orang tua. Menurut mereka kata warisan adalah
bukan berasal dari tanah Jawa jadi mereka enggan untuk mengunakannya,
masyarakat Sikep lebih senang memilih kata-kata yang menurutnya asli dari
9 "http://id.wikipedia.org/wiki/Ajaran_Samin". 10 Sedulur Sikep berarti kaum yang berpegang teguh dan satunya kata dengan perbuatan. 11 Titi Mumfangati,dkk. Kearifan Budaya Lokal di Lingkungan Masyarakat Samin
Kabupaten Blora Jawa Tengah, (Yogyakarta: tnp, 2004). hlm. 29. 12 Sukari, Kehidupan Masyarakat Samin di Desa Baturejo Kecamatan Sukolilo
Kabupaten Pati, (Yogyakarta: Balai Kajian Sejarah dan Nilai-nilai Tradisional,1996/1997). hlm. 224.
7
tanah Jawa, karena budaya perlawanan terhadap kolonial Belanda
menggunakan strategi bahasa dan masih dipegang kuat sampai sekarang.
Dalam adat tinggalan atau warisan, kebiasaan yang sering dipraktikkan oleh
masyarakat Samin di Kabupaten Blora. Berbeda dengan aturan kewarisan
Islam.
Warisan bagi masyarakat Samin adalah sebagai pemberian harta
pusaka atau benda kepada keturunannya (baik laki-laki maupun perempuan)
dan kepada sanak famili yang membutuhkan.
Dalam masyarakat Samin tidak ada perbedaan pembagian dalam
penerimaan warisan antara keturunan laki-laki dan perempuan (2:1) seperti
dalam Islam, Semua harta warisan dibagi menjadi bagian-bagian sesuai
dengan jumlah anak mereka. Masing-masing mendapat satu bagian, karena
orang Sikep menganggap bahwa semua anak manusia mempunyai kedudukan
yang sama yaitu semua keturunan Adam dan semua mempunyai hak dan
kewajiban yang sama.
Menurut adat waris masyarakat Samin (Sedulur Sikep) pada
dasarnya semua anak baik laki-laki maupun perempuan mempunyai hak yang
sama atas harta peninggalan orang tuanya, bahkan orang Samin (Sedulur
Sikep) tidak mempersoalkan perbedaann agama dalam menerima warisan,
karena semua manusia adalah sama-sama keturunan Adam.
Sementara pelaksanaan pembagian harta warisan tersebut itu
dilakukan ketika orang tua masih hidup sehingga otoritas penuh pembagian
itu ada di tangan orang tua, karena dikhawatirkan nanti kalau pembagian
8
setelah dia meninggal akan merepotkan anak-anak mereka. Tetapi ada juga
pelaksanaan pembagian harta warisan dilakukan ketika orang tua sudah
meninggal, biasanya pelaksanaan seperti ini, jika ada harta peninggalan yang
tersisa pada waktu orang tua masih hidup.
Dari sinilah penyusun merasa tertarik untuk meneliti lebih lanjut
mengenai pelaksanaan pembagian harta warisan masyarakat samin di
Kabupaten Blora, yang kemudian bagaimana pelaksanaan pembagian
tersebut dipandang menurut perspektif hukum Islam.
B. Pokok Masalah
Dari uraian latar belakang masalah, maka masalah yang perlu diteliti
lebih lanjut dapat dirumuskan sebagai berikut:
1. Bagaimana praktik pewarisan masyarakat Samin di Desa sambong rejo
Kabupaten Blora?
2. Bagaimana pandangan hukum Islam terhadap praktik pewarisan
masyarakat Samin di Desa sambong rejo Kabupaten Blora?
C. Tujuan dan Kegunaan
Tujuan dari penelitian adalah sebagai berikut :
1. Untuk mendeskripsikan praktik pembagian warisan pada masyarakat
Samin di Desa Sambong Rejo Kabupaten Blora dalam penelitian ini yang
termasuk dalam praktik adalah sistem pembagian waris, cara pemabagian,
alasan, , tujuan dan sebagai adanya pembagian warisan
2. Untuk menjelaskan pandangan hukum Islam mengenai praktik pembagian
warisan pada masyarakat Samin, di Desa Sambong Rejo Kabupaten Blora.
9
Sedangkan kegunaan dari penelitian ini adalah :
1. Sebagai sumbangan informasi ilmiah pada masyarakat yang ingin
menambah wawasan ke-Islaman, khususnya berkaitan dengan pembagian
harta warisan.
2. Untuk memperkaya khazanah ilmu pengetahuan pada umumnya dan
dalam bidang Syari’ah pada khususnya dan lebih khusus dalam bidang
ilmu waris.
D. Telaah Pustaka
Hukum warisan merupakan aturan keperdataan yang telah
diterapkan oleh syari’at Islam sebagai aturan yang paling baik dan paling
lengkap bila dibandingkan dengan aturan keperdataan lainya. Berdasarkan
penelusuran pustaka yang penyusun lakukan, kajian tentang kewarisan boleh
dikatakan cukup melimpah. Kajian-kajian dimaksud terutama berupa
pembahasan normatif menurut hukum Islam.
Dalam buku hendak Kemana Hukum Islam? Hazairin menjelaskan
bahwa hukum kewarisan Islam menganut sistem bilateral, yaitu sistem
bilateral khas Islam. Dalam Islam menganut sistem individual yaitu setiap
ahli waris yang ada mendapat bagian dan bagian-bagian itu wajib diberikan
kepada mereka.13
Sementara itu Facturrahman dalam bukunya Ilmu Waris
menjelaskan, bahwa dalam hukum dikenal adanya rukun dalam hal mewarisi
13 Hazairin, Hendak Kemana Hukum Islam (Jakarta: Tinta Mas, 1976), hlm. 14.
10
yaitu Maurus (Harta peninggalan), Muwaris (orang yang meninggal dunia),
dan Pewaris (orang yang mewarisi harta yang ditinggal oleh muwaris).14
Hasby Ash-Shidieqy dalam bukunya Fiqhul Mawaris, hukum-
hukum waris dalam syari’at Islam membagi hukum waris Islam kedalam
lima belas bab, yang keseluruhannya menjelaskan tentang mekanisme hukum
kewarisan Islam, dasar hukum waris Islam ditambah dengan sejarah waris
Islam di masa jahiliyyah.15 Sedangkan Mahmud Yunus dalam bukunya
Turutlah Hukum Waris Dalam Islam, berisi tentang sebab-sebab mendapat
warisan dan terhalang menerima warisan dan wajibnya mengikuti pembagian
warisan yang telah ditentukan oleh Allah swt di dalam al-Qur’an.16
Hilman Hadikusuma dalam bukunya Hukum Waris Adat hanya
mendeskripsikan tentang macam-macam hukum waris adat di Indonesia,
penggambaran tersebut hanya terbatas pada hukum waris yang berkaitan
dengan garis keturunan, disamping itu juga mengungkapkan sistem hukum
waris Islam.17
R.P.A. Soerjanto Sastroatmodjo dalam bukunya yang berjudul
Mayarakat Samin Siapakah Mereka? Membahas tentang identitas Samin,
ajaran-ajarannya, tradisi wong kalang, yang mana wong kalang yang
merupakan leluhur dari masyarakat Samin.18
14 Factur Rahman, Ilmu Waris., hlm. 36. 15 Hasbi Ash-Shidieqy, Fiqhul Mawaris, Hukum-Hukum Waris Islam, cet. I (Jakarta:
Bulan Bintang, 1973), hlm.12-30. 16 Mahmud Yunus, Turutlah Hukum Waris Dalam Islam, cet. I (Jakarta: Pustaka Hidayah,
1958), hlm.5. 17 Hilman Hadikusuma, Hukum Waris Adat, cet. VI, (Jakarta: Fajar Agung, 1987),
hlm.11. 18 Soerjanto Sastroatmodjo, Masyarakat Samin Siapakah mereka? cet. I, (Yogyakarta:
Narasi, 2003).
11
Sedangkan dalam buku Kearifan Lokal di Lingkungan Masyarakat
Samin Kabupaten Blora Jawa Tengah mengupas tentang deskripsi
masyarakat Samin, mulai dari asal mula nama Samin dan ajarannya,
kebiasaan, persebaran, simbol, kekerabatan sampai dengan hubungan sosial
masyarakat Samin.19
Sedangkan dalam skripsi Meika Eliza yang berjudul Pembagian
Warisan Di Kelurahan Purbayan Kecamatan Kotagede Yogyakarta Ditinjau
Dari Hukum Islam, yang membahas tentang asas-asas yang tetap dipegang
oleh masyarakat setempat yaitu pembagian asas segendong sepikul yang
mengacu pada pembagian 2:1 dalam kewarisan Islam, asas bilateral dan
individual.20
Rukayah dalam skripsinya yang berjudul Studi Pemikiran Ahmad
Azhar Basri Tentang Beberapa Masalah Dalam Hukum Waris Islam. Skripsi
tersebut menjelaskan masalah pokok yang digunakan Azhar Basyir dalam
menyelesaikan polemik bagian warisan antara anak laki-laki dan
perempuan.21
Masri dalam skripsinya yang berjudul Tinjauan Hukum Islam
Terhadap Praktik Pembagian Warisan di Desa Rensing, Kecamatan Sakra
Kabupaten Lombok Timur. Menjelaskan tentang mekanisme pembagian
19 Titi Mumfangati, dkk, Kearifan Lokal di Lingkungan Masyarakat Samin Kabupaten
Blora Jawa Tengah, (Yogyakarta: tnp, 2004). 20 Meika Eliza, ”Pembagian Warisan di Kelurahan Purbayan Kecamatan Kotagede
Yogyakarta Ditinjau dari Hukum Islam”, Skripsi (Yogyakarta: IAIN Sunan Kalijaga, ttp, 2003). 21 Rukayah, ”Studi Pemikiran Ahmad Azhar Basyir Tentang Beberapa Masalah Dalam
Hukum Waris Islam”. Skripsi (Yogyakarta: IAIN Sunan Kalijaga, ttp. 2001).
12
warisan sebelum pewaris meninggal dunia tidak boleh menurut ‘Urf yang
shohih.22
Jalalul Hilmi dalam skripsinya yang berjudul Reaktualisasi Hukum
Islam di Indonesia (Tinjauan Hermeneutik Terhadap Pembagian Waris 1:1
Menurut Prof Dr. H. Munawir Sjadzali) yang berisi tentang gagasan
reaktualisasi warisan yang ditawarkan Munawir. Dalam skripsi tersebut ia
mencoba mengkritisi pendekatan yang digunakan Munawir yang mengacu
pada pendapat Umar Bin Khatab yang dikenal menyimpang dari nas, Jajal
menolak anggapan tersebut, apabila akan melakukan reaktualisasi,
pendekatan yang paling cocok menurutnya adalah pendekatan hermeneutik.23
Dari penelusuran penyusun terhadap berbagai literatur baik itu
tertulis ilmiah dalam bentuk laporan penelitian maupun dalam buku, ada
kesamaan dengan kesamaan dengan penelitian yang peneliti kaji yaitu
tentang pembagian waris, akan tetapi terdapat perbedaan yang cukup jelas
anatara peneletian peneliti dengan literatur diatas yaitu terletak pada
karakteristik pembagian warisan dalam sebuah masyarakat adat (komunitas
Sedulur Sikep. Di Kabupaten Blora), dan itu menjadikan daya beda dengan
penelitian yang sudah pernah dilakukan.
22Masri, ”Tinjauan Hukum Islam terhadap Praktek Pembagian Warisan di Desa Rensing,
Kecamatan Sakra Kabupaten Lombok Timur”. Skripsi (Yogyakarta: IAIN Sunan Kalijaga, ttp. 2002).
23Jalalul Hilmi, ”Reaktualisasi Hukum Islam Di Indonesia (Tinjauan Hermeneutik Terhadap Pembagian Waris 1:1 Menurut Prof Dr. H. Munawir Sjadzali)”. Skripsi (Yogyakarta: IAIN Sunan Kalijaga, ttp. 2001).
13
E. Metode Penelitian
Dalam metode penelitian ini, metode yang digunakan penyusun
adalah:
1. Jenis Penelitian
Penelitian ini merupakan penelitian lapangan (field research)
yaitu data berasal dari hasil observasi dan interview mengenai fenomena-
fenomena yang terjadi di masyarakat dan terkait dengan topik penelitian.
2. Sumber Data
a. Data primer
Sumber data primer adalah data otentik data langsung dari tangan
pertama tentang masalah yang diungkapkan, secara sederhana data
tersebut disebut data asli24.
Sumber data primer yang menjadi acuan pokok dari studi ini
yaitu: hasil wawancara dengan kepala desa Desa sambong rejo
Kabupaten Blora, ketua kelompok sedulur sikep Desa sambong rejo
Kabupaten Blora, dan dokumentasi yang ada pada komunitas sedulur
sikep.
b. Data sekunder
Sumber data sekunder adalah data yang mengutip dari sumber
lain sehingga tidak bersifat otentik karena diperoleh dari sumber kedua
atau ketiga yaitu berupa literatur pendukung
3. Pengumpulan data
Dalam melaksanakan riset ini penyusun menggunakan baberapa
cara untuk mengumpulkan data, antara lain:
a. Interview (wawancara)
24 Suharsimi Arikunto, Prosedur Penelitian Suatu Pendekatan Praktek, (Yogyakarta::
Rineka Cipta, 1996), hlm. 80.
14
Wawancara yang digunakan adalah bebas terpimpin dengan
pertanyaan-pertanyaan yang sudah disiapkan. Wawancara
dilaksanakan secara bebas terkendali dengan maksud agar suasana
wawancara tidak baku. Adapun pihak-pihak yang diwawancarai
adalah kepala suku, sejarawan, para tokoh masyarakat seperti
pemuka agama dan tokoh-tokoh lain yang dipandang tahu tentang
masalah yang peneliti bahas dalam penelitian ini.
b. Observasi
Peneliti melakukan pengamatan secara langsung di desa
untuk mendapatkan data dan fakta sebagi sumber laporan penelitian.
c. Dokumentasi
Mengumpulkan dan mempelajari dokumen atau catatan yang
berhubungan dengan permasalahan yang akan dibahas yang didapat
dari lokasi penelitian.25
4. Pendekatan Penelitian
Dalam penulisan skripsi ini penyusun menggunakan dua
pendekatan yaitu :
a. Pendekatan Normatif: pendekatan ini digunakan untuk memahami
konsep tentang fakta yang terjadi di lapangan khususnya mengenai
praktik kewarisan yang terjadi di masyarakat Samin di Kabupaten
Blora, kemudian dianalisa dengan menggunakan hukum Islam,
25 Koentjoraningrat, Metodologi Penelitian Masyarakat, (Jakarta: Gramedia, 1981), hlm.
63.
15
sehingga dengan pendekatan ini dapat diketahui adanya kontradiksi
antara kewarisan masyarakat Samin dengan hukum kewarisan Islam.
b. Pendekatan Sosio Historis pendekatan ini digunakan untuk
mengetahui latar belakang sosio kultural dan sosio politik
seseorang.26 Penyusun menggunakan pendekatan kesejarahan ini
dalam mengungkap ajaran-ajaran tentang masyarakat Samin.
Pendekatan sejarah ini menceritakan peristiwa-peristiwa yang terjadi
pada masa lalu, kemudian peristiwa-peristiwa tersebut dianalisa
dengan meneliti sebab akibat. Kemudian dirangkum kembali
sehingga dapat diperoleh pengertian dalam bentuk sintesis yang
dapat memberi penjelasan mengenai aspek-aspek bagaimana
deskripsi kewarisannya.
5. Analisis data
Metode analisis data yaitu data yang dikumpulkan berupa kata-
kata, gambar, dan bukan angka-angka. Dengan demikian, laporan
penelitian akan berisi kutipan-kutipan data untuk memberi gambaran
penyajian laporan tersebut.27Analisis data adalah mengatur urutan data,
mengorganisasikanya kedalam satu pola, kategori dan satuan uraian
dasar. Sehingga dapat di temukan tema, dan dapat dirumuskan hipotesis
(ide) kerja seperti yang disarankan data.28 Untuk memperjelas penulisan
ini maka peneliti menetapkan metode analisis deskriptif yaitu
26 Sutrisno Hadi, Metode Research, Jilid I, (Yogyakarta: Gajah Mada Press, 1975), hlm.
87. 27 Lexy. J. Moleong, Metodologi Penelitian Kualitatif, (Bandung: P.T. Remaja Rosda
Karya, 2002). Cet. 16, hlm. 7 28 Ibid, hlm. 103
16
menyajikan dan menganalisis fakta secara sistematik sehingga dapat
lebih mudah untuk dipahami dan disimpulkan. Data yang dikumpulkan
semata-mata bersifat deskriptif sehingga tidak bermaksud mencari
penjelasan, menguji hipotesis, membuat prediksi maupun mempelajari
implikasi.29
Metode deskriptif yang peneliti gunakan ini mengacu pada
analisis data secara induktif, karena: 1). Proses induktif lebih dapat
menemukan kenyataan-kenyataan jamak yang terdapat dalam data, 2).
Lebih dapat membuat hubungan peneliti dengan responden menjadi
eksplisit, dapat dikenal dan akuntabel, 3). Lebih dapat menguraikan latar
belakang secara penuh dan dapat membuat keputusan-keputusan tentang
dapat tidaknya pengalihan pada suatu latar lainnya, 4). Analisa induktif
lebih dapat menemukan pengaruh bersama yang mempertajam
hubungan-hubungan, 5). Analisis demikian dapat memperhitungkan
nilai-nilai secara eksplisit sebagai bagian struktur analitik30
Dalam hal ini peneliti menganalisis bentuk pembagian kewarisan
sedulur sikep di Desa sambong rejo Kabupaten Blora dan kemudian
peneliti kaitkan dengan hukum Islam.
29 Saifuddin Azwar, Metodologi Penelitian, (Yogyakarta: Pustaka Pelajar, 1998), hlm. 6-7.
30 Lexy. J. Moleong, Op. Cit., hlm. 10
17
F. Sistematika Penulisan Skripsi
Untuk mempermudah pembahasan skripsi ini, agar lebih mudah dan
sistematis sesuai dengan yang diharapkan, maka dibuat sistematika
pembahasan sebagai berikut:
Bab pertama, merupakan pendahuluan yang memuat latar belakang
masalah, tujuan dan kegunaan, telaah pustaka, metode penelitian dan
sistematika penulisan skripsi.
Selanjutnya untuk memberikan penjelasan tentang hukum kewarisan
Islam agar pembahasan lebih mengarah maka, pada bab kedua, dibahas
mengenai deskripsi hukum kewarisan Islam. Dalam bab ini akan dijelaskan
pengertian kewarisan, dasar hukum waris Islam, penghalang kewarisan,
asas-asas kewarisan Islam, sebab-sebab menerima, penghalang menerima
warisan, macam-macam ahli waris dan bagiannya.
Selanjutnya untuk mendapatkan pemaparan yang jelas mengenai
daerah penelitian, karena penelitian ini merupakan penelitian lapangan, maka
digambarkan tentang kewarisan masyarakat Samin di Desa sambong rejo
Kabupaten Blora yang terdiri dari tiga sub yaitu meliputi, pertama dijelaskan
tentang gambaran umum Desa Sambong Rejo, penjelasannya mengenai
kondisi geografis dan demografis serta sejarah perkembangan Samin dan
kondisi sosial budaya. Pada bagian kedua dijelaskan mengenai sejarah masuk
dan berkembangnya tradisi Samin di Kabupaten Blora. Pada bagian ketiga
dijelaskan tentang praktik kewarisan masyarakat Samin Desa sambong rejo
Kabupaten Blora meliputi; pengertian pewarisan, pewaris dan ahli waris serta
18
harta warisan, sebab-sebab dan penghalang kewarisan, bagian-bagian ahli
waris, waktu pembagian warisan serta akibat kewarisan.
Pada bab selanjutnya merupakan pembahasan inti, memuat analisis
hukum Islam terhadap pelaksanaan kewarisan masyarakat Samin di
Kabupaten Blora. Dalam pembahasan pada bab ini banyak menerangkan
analisis kewarisan masyarakat Samin diantaranya kesatu, sebab-sebab
menerima warisan meliputi sebab-sebab menerima warisan. Sedangkan pada
bagian kedua penghalang warisan. Sedangkan pada bagian ketiga
pelaksanaan pembagian waris, meliputi waktu pembagian, pelaksanaan
pembagian warisan, pewaris, ahli waris dan bagiannya, serta harta warisan.
Dan selanjutnya bagian keempat, kewajiban bagi penerima warisan. Yang
kesemuanya dipanadang dari sudut pandang hukum Islam
Untuk mengetahui kesimpulan akhir dalam penulisan skripsi ini,
penyusun menyajikannya di dalam bab kelima yang sekaligus merupakan
penutup, yang berisi kesimpulan pembahasan bab-bab sebelumnya dan saran-
saran yang menjadi semacam agenda pembahasan lebih lanjut di masa
mendatang tentang kewarisan samin bagi masyarakat.
19
BAB II
TINJAUAN UMUM HUKUM KEWARISAN ISLAM
A. Pengertian dan Dasar Hukum Kewarisan Islam
Warisan atau kewarisan yang sudah populer dalam bahasa Indonesia
berasal dari bahasa Arab yaitu : وارثة- ورثا- يرث-ورث yang berarti
pindahnya harta si Fulan (mempusakai harta si Fulan).1 Bisa juga diartikan
dengan mengganti kedudukan, seperti firman Allah SWT :
2)16: النمل...... (وورث سليمان داوود Artinya “Dan Sulaiman telah mewarisi Daud” (QS. An-naml: 16)
Dalam ayat lain berarti memberi atau menganugerahkan, seperti :
)74:الزمر. (وأورثنا الأرض نتبوأ من الجنة حيث
Artinya “Dan telah (memberi) kepada kami tempat ini sedang kami (diperkenankan) menempati tempat dalam surga di mana saja yang kami kehendaki”. (QS Az-Zumar : 74)3
Dalam kitab-kitab fikih, warisan lebih sering disebut dengan farâ’id
yang berarti ketentuan. Pengertian ini ( فريضة) mufradnya ( فرائض)
didasarkan atas firman Allah SWT :
وقد فرضتم لهن فريضة فنصف ما فرضتم Artinya “Maka bayarlah seperdua dari mahar yang telah kamu tentukan itu”
(QS. Al-Baqaqrah: 273)4
1 Mahmud Yunus, Kamus Arab-Indonesia (Jakarta : PT Hidakartya Agung, 1989), hlm.
496. 2 Soenarjo, dkk, Al Quran dan Terjemahnya, (Jakarta : Departemen Agama RI, 1999),
hlm. 321 3 Ibid. hlm. 456 4 Ibid. hlm. 34
20
Farâ’id dalam arti mawâris|, hukum waris muwaris, dimaksudkan
sebagai bagian atau ketentuan yang diperoleh oleh ahli waris menurut
ketentuan syara’.5
Untuk lebih jelasnya tentang pengertian hukum kewarisan, ada
beberapa pengertian yang diberikan fuqaha, antara lain :
االفقه المتعلق باإلرث ومعرفة الحساب الموصل الى معرفة القدر 6الواجب من الترآة لكل ذى حق
Menurut Asy-Syarbini Fikih Mawaris ialah fikih yang berkaitan
dengan pembagian warisan, pengetahuan tentang tata cara penghitungan yang
dapat menyampaikan pada pembagian harta warisan dan pengetahuan-
pengetahuan tentang bagian-bagian yang wajib dari harta peninggalan untuk
setiap pemilik hak waris.
علم يعرف به من يرث ومن اليرث ومقدار آل وارث وآيفية التوزيع
Dari definisi di atas dapat ditarik kesimpulan bahwa pengertian
kewarisan Islam adalah seperangkat aturan-aturan pemindahan hukum tentang
pemindahan hak pemilikan harta peninggalan pewaris, mengatur kedudukan
ahli waris yang berhak dan bagian masing-masing secara adil dan sempurna
sesuai dengan ketentuan-ketentuan syari’at.7
Adapun dasar hukum kewarisan mempunyai tiga sumber, yaitu :8
5 Zakiah Daradjat, Ilmu Fiqh (Yogyakarta : PT Dana Bhakti Wakaf, 1995), hlm. 2. 6 M. asy-Syarbini Al-Khâtib, Mugnil Muhtâj (Kairo: Mustafa al-Babi al-Halabi, 1958),
III: 3. 7 Idris Djakfar dan Taufik Yahya, Kompilasi Hukum Kewarisan Islam (Jakarta: Pustaka
Jaya, 1995), hlm. 4. 8 Fathur Rahman, Ilmu Waris Islam (Bandung: PT al-Ma’arif, 1981), hlm. 33.
21
1. Al-Qur’an
Dalam sistem hukum Islam, hukum kewarisan menempati posisi
strategis. Ayat-ayat kewarisan secara eksplisit paling banyak dibicarakan
dalam al-Qur’an.9 Angka-angka pecahan tersebut sangat jelas dan pasti.10
Di antara ayat-ayat al-Qur’an yang memberikan tentang masalah kewarisan
adalah an-Nisa (4) : 7, 8, 11, 12, 13, dan 176 serta surat al-Ahzab (33) : 6.
2. Hadist
Meskipun al-Qur’an telah membicarakan tentang kewarisan secara
jelas, namun ada beberapa bagian yang memerlukan ketentuan lebih rinci.
Hadis Rasulullah adalah penguat bagi ketetapan Allah (al-Qur’an), dalam
arti Rasulullah diberi hak interpretasi berupa hak untuk menjelaskan, baik
berupa perkataan (qaûl), perbuatan (fi‘il), maupun dengan cara lain (suqut
taqrîr).
Di antara hadist Rasulullah yang membicarakan masalah kewarisan
yaitu:
11. جعل للجدة السدس إذا لم تكن دونها أمأن النبي صلى اهللا عليه وسلم
3. Ijtihad
9 Helmi Hakim, Pembaharuan Hukum Waris Islam Persepsi Metodologis (Jakarta: Al-
Fajar, 1994), hlm. 11. 10 A. A. Basyir, “Reaktualisasi Pendekatan Sosiologis Tidak selalu Relevan”, dalam Iqbal
Addurrauf Saimina (ed), Polemik Reaktualisasi Ajaran Islam, hlm. 112. 11 Abu Dâwud Sulaimân Ibn al-Asy’âs, Sunan Abi Dâwud, “Kitâb al-Farâ’id,” “Bâb fî al-
Jaddati” (Beirut: Dâr al-Fikr, t.t), III: 7, Hadis nomor 2895. Hadis dari Muhammad bin ‘Abdul ‘Azîz bin Abî Riz|mah dari ‘Ubay dari ‘Abdullah (Abu al-Munîb al-Atki) dari Ibnu Buraidah dari Bapaknya. Hadis riwayat Abu Dâwud
22
Ijtihad para sahabat dan mujtahid-mujtahid kenamaan mempunyai
peranan dan sumbangsih yang tidak kecil terhadap pemecahan-pemecahan
masalah mawaris yang belum dijelaskan oleh nas-nas yang sharih. Misal,
status saudara-saudara yang mewarisi bersama-sama dengan kakek. Di
dalam al-Qur’an tidak dijelaskan. Yang dijelaskan ialah status saudara-
saudara bersama-sama dengan ayah atau bersama-sama dengan anak laki-
laki yang dalam kedua keadaan ini mereka tidak mendapat apa-apa lantaran
terhijab kecuali dalam masalah kalalah mereka mendapatkan bagian.
Menurut pendapat kebanyakan sahabat dan imam-imam mazhab yang
mengutip pendapat Zaid bin S|abit, saudara tersebut bisa mendapat pusaka
secara muqasamah dengan kakek.12
B. Sebab-sebab, Rukun-rukun, Syarat-syarat dan Penghalang Kewarisan
1. Sebab-sebab Terjadinya Kewarisan
Dalam hukum islam, sebab-sebab menerima warisan ada 3 yaitu:
a. Hubungan Kekerabatan (al-qarabah)
Dalam ketentuan hukum Jahiliyah, kekerabatan yang menjadi
sebab mewarisi adalah terbatas pada laki-laki yang telah dewasa. Islam
datang memperbaharui dan merevisinya. Laki-laki dan perempuan,
termasuk didalamnya anak-anak, bahkan bayi yang masih di dalam
kandungan diberikan hak untuk mewarisi, sepanjang hubungan
kekerabatannya membolehkan. Artinya, ada keketentuan bahwa kerabat
yang dekat hubungannya, dapat menghalangi kerabat yang jauh.
Adakalanya menghalangi (meng-hijab) sama sekali, ayau hanya sekedar
12 Fathur Rahman, op.cit, hlm. 33.
23
mengurangi bagian si terjihab. Yang pertama, atau hanya sekedar
mengurangi bagian di terhijab. Yang pertama, seharusnya ahli waris
bisa menerima bagian karena ada hijab (ahli waris yang
menghalanginya) berakibat tertutup sama sekali hak warisnya. Yang
kedua seperti suami, sedianya menerima bagian ½, tetapi karena ada
anak atau cucu, berkurang bagiannya menjadi ¼.
a. Firman Allah SWT :
)75:االنفال. (وأولو الأرحام بعضهم أولى ببعض في آتاب اللهArtinya : Dan orang-orang yang beriman sesudah itu, kemudian
berhijrah dan berjihad bersamamu maka orang-orang itu termasuk golonganmu (juga). Orang-orang yang mempunyai hubungan itu sebagiannya lebih berhak terhadap sesamanya (daripada yang kerabat) di dalam kitab Allah. Sesungguhnya Allah Maha Mengetahui segala sesuatu. (QS. Al-Anfal: 75)13
b. Hubungan Perkawinan (al-musaharah)
Perkawinan yang sah, menyebabkan adanya hubungan hukum
saling mewarisi antara suami dan isteri. Yaitu perkawinan yang syarat
dan rukunnya terpenuhi, baik secara agama maupun administratif.
Tentang syarat administrarif ini, masih terdapat perbedaan pendapat
pendapat. Ada yang menyebutnya sebagai syarat yang apabila tidak
dipenuhi berakibat tidak sah perkawinannya. Hukum perkawinan di
Indonesia, memberi kelonggaran dalam hal ini. Yang menjadi ukuran
sah atau tidaknya perkawinan bukan administrasi, tetapi ketentuan
agama. Firman Allah SWT
13 Soenarjo, dkk. op. cit, hlm. 134.
24
ولكم نصف ما ترك أزواجكم إن لم يكن لهن ولد فإن آان لهن . ولد فلكم الربع مما ترآن من بعد وصية يوصين بها أو دين
)12: النسأ (
Artinya “Dan bagimu (suami-suami) seperdua dari harta yang ditinggalkan oleh istri-istrimu, jika mereka tidak mempunyai anak. Jika istri-istrimu itu mempunyai anak, maka kamu mendapat seperempat dari harta yang ditinggalkannya sesudah dipenuhi wasiat yang mereka buat atau (dan) sesudah dibayar utangnya. Para istri memperoleh seperempat harta yang kamu tinggalkan jika kamu tidak mempunyai anak”. (QS. An-Nisa’ : 12)14
c. Hubungan karena sebab al-wala’
Al-wala’ yaitu hubungan kewarisan akibat seseorang
memperdekakan hamba sahaya, atau melalui perjanjian tolong
menolong. Untuk yang terakhir, agaknya jarang dilakukan jika malah
tidak ada sama sekali. Adapun al-wala’ yang pertama disebut dengan
wala’ al’ataqah atau ‘usubah sababiyah dan yang kedua disebut wala’
al-muwalah, yaitu wala’ yang timbul akibat kesediaan seseorang tolong
menolong dengan yang lain melalui suatu perjanjian perwalian. Orang
yang memerdekakan hamba sahaya, jika laki-laki disebut mu’tiq, jika
perempuan mu’tiqah. Wali penolong disebut maula dan orang yang
ditolong disebut dengan mawali.15
2. Rukun-rukun Kewarisan
14 Ibid, op.cit, hlm. 112. 15 Ahmad Rofiq, Fiqh Mawaris,(Jakarta: PTRaja Grafindo Persada, 1998), hlm.34-36
25
Rukun-rukun kewarisan ada tiga yaitu:16
a. Muwarris (orang yang memberi warisan), yakni mayat dimana orang
lain berhak mewarisi dari padanya akan apa saja yang ditinggalkan
sesudah matinya.
b. Wâris (penerima warisan), yakni orang yang berhak mewarisi dengan
sebab yang telah dijelaskan, seperti : kekerabatan, pernasaban,
perkawinan dan sebagainya.
c. Maurûs (benda yang diwariskan), yaitu sesuatu yang ditinggalkan
mayat, seperti : harta, kebun dan sebagainya. Maurûs ini juga disebut
irsun, turâsun dan murâs|un yang kesemuanya merupakan sebutan
untuk segala sesuatu yang ditinggalkan mayat ahli waris.
3. Syarat-syarat Kewarisan
Syarat-syarat kewarisan ada tiga yaitu:17
a. Meninggalnya pewaris
Yang dimaksud dengan meninggalnya pewaris baik secara hakiki
ataupun secara hukmiy ialah bahwa seseorang telah meninggal dan
diketahui oleh ahli warisnya atau sebagian dari mereka, atau vonis yang
ditetapkan hakim terhadap seseorang yang tidak diketahui lagi
keberadaanya. Sebagai contoh orang yang hilang yang keadaannya tidak
diketahui lagi secara pasti, sehingga hakim memvonisnya sebagai orang
yang telah meninggal. Hal ini harus diketahui secara pasti, karena
bagaimanapun keadaannya manusia yang masih hidup tetap dianggap
16 Muhammad Ali ash-Shabuniy, op.cit, hlm. 56. 17 Ibid., hlm. 56-58.
26
mampu untuk mengendalikan seluruh hartanya. Hak kepemilikannya tidak
dapat diganggu gugat oleh siapapun kecuali setelah ia meninggal.
b. Masih hidupnya para ahli waris
Maksudnya, pemindahan hak kepemilikan dari pewaris harus
kepada ahli waris yang secara syari’at benar-benar masih hidup sebab
orang yang sudah mati tidak memiliki hak untuk mewarisi.
c. Diketahuinya posisi ahli waris
Dalam hal ini posisi para ahli waris hendaklah diketahui secara
pasti, misalnya suami, isteri dan sebagainya. Sehingga pembagi
mengetahui masing-masing ahli waris. Sebab dalam hukum kewarisan
perbedaan jauh dekatnya kekerabatan akan membedakan jumlah yang
diterima. Misalnya kita tidak cukup hanya mengatakan bahwa seseorang
adalah saudara sang pewaris. Akan tetapi harus dijelaskan apakah ia
saudara kandung, seayah atau seibu. Mereka masing-masing hukum
bagian, ada yang berhak menerima warisan karena sebagai z|awî al-
furûd}, ada yang ‘as}abah, ada yang terhalang tidak mendapatkan warisan
(mahjûb).
4. Penghalang Kewarisan
Halangan untuk menerima warisan atau disebut mawani ‘alirs
adalah hal-hal yang menyebabkan gugurnya hak ahli waris untuk menerima
warisan dari harta peninggalan al-muwarris. Adapun hal-hal yang dapat
menghalangi tersebut, yang disepakati Ulama ada tiga, yaitu: 1.
Pembunuhan, 2. Berlainan Agama, dan, 3 Berlainan Negara.18
a. Pembunuhan
18 Fathur Rahman, Ilmu Waris, hlm. 83.
27
Pembunuhan terhadap pewaris oleh ahli waris menyebabkan
tidak dapat mewarisi harta yang ditinggal oleh orang yang dibunuh
meskipun yang dibunuh tidak meninggalkan ahli waris lain selain yang
dibunuh. Sabda Rasul :
19رثؤالقا تل ال ي“ Pembunuh tidak termasuk orang yang mendapatkan warisan”
b. Berlainan agama
Keadaan berlainan agama menghalangi memperoleh harta
warisan. Dalam hal ini yang dimaksud ialah antara ahli waris dengan
muwarris berbeda agama. Sabda Rasul :
20.ال يرث المسلم الكافر والالكافر المسلم
Dalam urusan dunia dan akherat hubungan antara dua kerabat
yang tidak seagama hanya sebatas dalam hal-hal berbuat baik saja dalam
pergaulan dunia dan tidak menyangkut soal agama. Hak kewarisan
merupakan soal agama karena ketentuan pelaksanaannya atas kehendak
Allah SWT.
c. Berlainan Negara
Ditinjau dari segi agama orang yang mewariskan dan orang yang
mewarisi, berlainan negara diklasifikasikan menjadi dua :
19 At-Tirmiz|î, Sunan at-Tirmiz|î, “Bâb Mâ Jâ’a fî Ibtâl Mirâs| al-Qâtil” (Beirût: Dâr al-
Fikr, 1988), hlm. 370. Hadis riwayat dari Abu Hurairah. 20 Al-Bukhâri, Sahîh al-Bukhâri, “Kitâb al-Farâ’id”, “Bâb lâ Yaris al-Muslim al-Kafir
walâ al-Kafir al-Muslim, VIII: 14. Hadis riwayat Usamah ibn Zaid
28
1) Berlainan negara antar orang-orang non Muslim
Menurut Abu Hanifah dan sebagian ulama Hanabilah
sebagaimana dikutip Fatchur Rahman dalam bukunya Ilmu Waris,
bahwa berlainan negara antar orang-orang non muslim menjadi
penghalang saling mewarisi diantara mereka, karena terputusnya
‘ismah dan tidak adanya hubungan perwalian. Memberikan pusaka
kepada ahli waris yang berbeda negaranya dengan negara muwarris
berarti memberikan harta pusaka kepada musuhnya atau musuh
keluarganya.21
2) Berlainan negara antar orang Islam
Berlainan negara antar orang Islam tidak menjadi penghalang
untuk saling mewarisi. Sebab negara-negara Islam itu dianggap
sebagai negara kesatuan. Hubungan kekuasaan (‘ismah) antar negara-
negara tersebut tidak putus, bahkan terjalin rasa solidaritas antar
warga negaranya satu sama lain. Lebih jauh dari itu bahwa negara-
negara tersebut menjalankan fungsi yang sama yaitu hukum Islam,
walaupun tiap-tiap negara itu mempunyai perbedaan mengenai
bentuk kenegaraannya, sistem pemerintahannya, politik yang
dianutnya, peraturan-peraturan yang dijalankan dan sebagainya.22
C. Asas-Asas Kewarisan Islam
Asas-asas hukum kewarisan dapat ditemui dari keseluruhan ayat-ayat
hukum dalam al-Qur’an dan penjelasan yang diajarkan oleh Rosulullah dalam
21 Fathur Rahman, op.cit, hlm. 198. 22 Ibid., hlm. 109.
29
sunnahnya, disini akan dijelaskan lima asas yang berkaitan dengan sifat
peralihan harta kepada ahli waris, cara pemilikan harta yang diterima dan
waktu terjadinya peralihan tersebut yaitu:
1. Asas Ijbari
Kata Ijbari secara leksikal mengandung arti paksaan
(Compulsory), yaitu melakukan sesuatu di luar kehendak sendiri. Dalam
hukum Islam peralihan harta dari orang yang telah meninggal kepada
orang yang masih hidup berlaku sendirinya menurut kehendak Allah swt
tanpa usaha dari yang akan meninggal atau kehendak ahli waris atau
pewaris cara seperti ini disebut ijbari.
Adanya unsur Ijbari dalam sistem kewarisan Islam tidak akan
memeberatkan orang yang akan menerima waris, karena menurut
ketentuan hukum Islam ahli waris hanya berhak menerima harta yang
ditinggalkan dan tidak berkewajiban memikul utang yang ditinggalkan
oleh pewaris.
Adanya asas ijbari dalam hukum Islam dapat dilihat dari segi
peralihan harta (bahwa harta orang yang mati itu beralih dengan
sendirinya, bukan dialihkan siapa-siapa kecuali oleh Allah swt), segi
jumlah pembagian (bahwa bagian atau hak ahli waris dalam harta warisan
sudah jelas ditentukan oleh Allah, sehingga pewaris maupun ahli waris
tidak mempunyai hak untuk menambah atau mengurangi apa yang telah
ditentukan itu) dan segi kepada siapa harta warisan itu beralih (bahwa
mereka yang berhak atas harta peninggalan itu sudah ditentukan secara
30
pasti, sehingga tidak ada suatu kekuasaan manusia yang dapat
mengubahnya dengan cara memasukkan orang lain atau mengeluarkan
orang yang berhak).23
2. Asas Bilateral
Asas ini membicarakan tentang kemana arah peralihan harta itu
di kalangan ahli waris. Asas bilateral dalah hukum kewarisan Islam
mengandung arti bahwa harta warisan beralih kepada atau melalui dua
arah, hal ini berarti bahwa setiap orang menerima hak waris dari kedua
belah pihak garis keturunan, yaitu pihak kerabat garis keturunan laki-laki
dan pihak kerabat garis keturunan perempuan.24
3. Asas Individual
Asas individual artinya bahwa dalam sistem hukum kewarisan
Islam, harta peninggalan yang ditinggal oleh orang yang meninggal dunia
dibagi secara individual langsung kepada masing-masing ahli waris untuk
dimiliki secara perseorangan.25
Pembagian secara individual ini didasarkan kapada ketentuan
bahwa setiap insan sebagai pribadi mempunyai kemampuan untuk
menerima hak dan menjalankan kewajiban, yang dalam istilah ushul fiqh
disebut Ahliyat al-Wujub.26
23 Idris Ramulyo, Perbandingan Hukum Kewarisan Islam Dengan Kewarisan Kitab
Undang-Undang Hukum Perdata, (Jakarta: Sinar Grafika, 2004), hlm.92. 24 Amir Syarifuddin, op.cit, hlm.20. 25 Idris Ramulyo, op.cit., hlm. 93. 26 Abdul Wahab Khalaf, Ushūl al fiqh, Dewan Dakwah Islam Indonesia, (Jakarta: 1974),
hlm.136.
31
Pembagian secara individual ini adalah ketentuan mengikat dan
wajib dijalankan oleh setiapmuslim dengan sanksi yang sangat berat di
akhirat bagi yang melanggarnya sebagaimana yang dinyatakan Allah
dalam surat an-Nisa’ ayat 13 dan 14.
4. Asas Keadilan Berimbang
Asas keadilan berimbang dala hukum kewarisan, secara sadar
dapat dikatakan bahwa laki-laki maupun perempuan sama-sama berhak
tampil sebagaiahli waris yang mewarisi harta peninggalan.
Ditinjau dari segi jumlah bagian yang diperoleh saatmenerima
hak, memang terdapat ketidaksamaan. Akan tetapi hal tersebut bukan
berarti tidak adil, karena keadilan dalam pandangan Islam tidak hanya
diukur dengan jumlah yang didapat saat menerima hak waris tetapi juga
dikaitkan kepada kegunaan dan kebutuhan.
5. Asas semata akibat kematian
Asas ini berati bahwa harta seseorang tidak dapat beralih kepada
orang lain dengan nama waris selama yang mempunyai harta masih hidup.
Ini juga berarti bahwa segala bentuk peralihan harta seseorang yang masih
hidup baik secara langsung, maupun terlaksana setelah dia mati, tidak
termasuk kedalam istilah kewarisan menurut hukum Islam.
Asas kewarisan akibat kematian ini mempunyai kaitan erat
dengan asas ijbari .pada hakekatnya, seseorang yang telah memenuhi
syarat sebagai subyek hukum dapat menggunakan hartanya secara penuh
untuk memenuhi keinginannya dan kebutuhan sepanjang hayatnya.
32
Namun, setelah meninggal dunia, ia tidak lagi memiliki kebebasan
tersebut.27
D. Kewajiban Ahli Waris Sebelum Mendapat Warisan
Bagi ahli waris, merupakan suatu kewajiban untuk mengurus harta
peninggalan pewarisnya. Sebelum harta tersebut dibagikan kepada para ahli
warisnya, harta warisan terlebih dahulu diambil guna pemenuhan dan
pengurusan pewaris, membayar hutang-hutangnya dan pemenuhan wasiat bagi
pewarisnya.
Syarat yang harus ada bagi ahli waris untuk dapat menerima harta
peninggalan adalah masih dalam keadaan hidup pada saat pewarisnya
meninggal, baik secara hakikat maupun menurut penetapan hakim.28
Masih hidupnya ahli waris dapat dibuktikan dengan persaksian dan
keterangan pengadilan. Adapun ahli waris yang dianggap dalam keadaan
hidup, seperti anak dalam kandungan kemudian gugur karena suatu tindak
pidana terhadap ibunya, akan tetapi telah sempurna bentuk kejadiannya, maka
ia dapat mewarisi bagian dari harta pusaka.
Apabila terjadi meninggalnya pewaris, maka suatu kewajiban yang
harus dilakukan ahli waris terhadap pewaris tersebut adalah sebagai berikut: 29
1. Biaya perawatan Jenazah
Yakni pengurusan terhadap segala yang diperlukan oleh pewaris
sejak dari wafat sampai menguburkannya, seperti: pengeluaran untuk
27 Amir Syarifuddin, op.cit., hlm.28. 28 Hasbi Ash-Shidieqy, Fiqhul Mawaris, Hukum-Hukum Waris Islam, cet. I (Jakarta:
Bulan Bintang, 197), hlm.33. 29 Ahmad Rofiq, op.cit, hlm. 37-47
33
pemenuhan kebutuhan si mayit, memandikannya, mengkafankannya,
menguburkannya, dan segala sesuatu yang diperlukan sampai
dikuburkannya.
Hak ini harus didahulukan dengan mengambil harta peninggalan
sebelum harta tersebut diambil guna pemenuhan hak-hak lainnya.
Berkenaan dengan pengeluaran untuk kebutuhan simayit, haruslah
memperhatikan apa yang dipandang ma’ruf oleh agama, yakni tanpa
berlebih-lebihan dan tanpa terlalu menyedikitkan. Hal ini berbeda-beda
menurut keadaan orang yang meninggal dunia.
Mazhab Ibnu Hambal berpendapat, keperluan ini harus
didahulukan dari pada membayar hutang, walaupun hutang itu berkaitan
dengan sesuatu benda, seperti hutang orang yang menggadaikan
barangnya.
Sementara menurut Malikiyah, Syafi’iyah dan Hanifiyah lebih
mendahulukan pembayaran hutang yang berkaitan dengan pembayaran
benda, setelah itu barulah diambil untuk keperluan tajhiz.
Namun menurut Muhammad bin Hasan asy-Syaibaniy
berpendapat, bahwa pengurusan jenazah dari keluarga seseorang tidak
dibebankan kepada hartanya sendiri, tetapi dibebankan kepada harta
keluarganya. Bila keluarga itu tidak mempunyai harta, maka biaya itu
ditanggung oleh walinya, karena hubungannya terputus dengan
kematiannyan itu.
2. Dibayarkan hutang-hutangnya.
34
Utang dari seseorang yang telah meninggal tidak menjadi beban
ahli waris, karena utang itu dalam Islam tidak diwarisi. Utang tetap
menjadi tanggung jawab yang meninggal yang dibebankan kepada harta
yang ditinggalkan. Kewajiban ahli waris atau orang yang ditinggal hanya
sekedar menolong membayarkan hutang tersebut dari harta yang
ditinggalkannya itu. Tidak dibebankannya utang kepada ahli warisnya itu
dapat dipahami dari Firman Allah SWT.
)38: النجم (.…ألا تزر وازرة وزر أخرى
Artinya : (yaitu) bahwasanya seorang yang berdosa tidak akan memikul dosa orang lain. (QS. An-Najam : 38).30
Untuk itu sebelum harta dibagikan semua hutangnya harus dilunasi
semua terlebih dahulu.
Mazhab Hanafiyah berpendapat hutang-hutang yang ditinggalkan
oleh orang yang telah meninggal dunia kepada Allah yang tidak
dimintakan tanggung jawabnya kepada manusia, seperti: mengeluarkan
zakat, membayar kafarat, memenuhi nazar tidak perlu dilaksanakan oleh
ahli warisnya. Sementara jumhur berpendapat hal tersebut wajib dipenuhi
sebelum harta peninggalan dibagikan kepada ahli warisnya.
3. Melaksanakan Wasiat
Jika sesudah mengeluarkan biaya jenazah dan membayarkan utang,
harta peninggalan masih ada maka tindakan selanjutnya adalah
membayarkan atau menyerahkan wasiat yang dibuat pewaris sepanjang
30 Soenarjo, dkk. op.cit, hlm. 343
35
tidak melebihi sepertiga (1/3) bagian dari harta peninggalan. Adapun kadar
wasiat yang melebihi sepertiga dari harta peninggalan, maka diperlukan
adanya persetujuan dari ahli warisnya.
Adapun tingkatan-tingkatan ahli waris adalah sebagai berikut:
a. Golongan ahli waris yang mempunyai bagian tetap (Asabul Furud)
Yakni ahli waris yang mendapat harta warisan dengan
ketentuan seperti yang telah ditentukan al-Qur’an, hadis} dan ijma’.
Golongan ini mendapat giliran pertama dalam perolehan harta warisan.
b. Golongan Asabah Nasabiyah
Yakni orang-orang yang mendapat bagian dari kelebihan harta
warisan setelah dibagikan kepada orang-orang yang mendapat bagian
tetap (As}abul Furud). Golongan ini memperoleh seluruh harta
warisan jika tidak ada golongan ahli waris lainnya, yang termasuk
golongan ini seperti: anak laki-laki dari anak laki-laki (cucu) jika tidak
ada anak laki-laki.
4. Mengembalikan kelebihan harta warisan kepada Zawil Furud
Jika terdapat kelebihan harta warisan, tetapi tidak ada golongan
ahli waris yang menerima harta warisan berdasarkan sistem kelebihan
(As}abah Nasabiyah), maka kelebihan itu diberikan kepada Zawil Furud
sesuai dengan bagiannya masing-masing, kecuali suami-istri. Suami-istri
tidak termasuk golongan ini karena mereka menerima warisan hanya
karena adanya hubungan perkawinan.
5. Membagi harta warisan kepada Zawil Arham
36
Yakni kerabat pewaris tetapi tidak termasuk kelompok Zawil
Furud maupun As}abah. Golongan ini dapat menerima bagian harta
warisan dengan ketentuan tidak adanya kedua golongan tersebut.
6. Mengembalikan harta warisan kepada Suami-Istri
Pengembalian harta warisan kepada salah seorang diantara suami-
istri dapat dilakukan karena adanya ikatan hubungan perkawinan.
7. Mendapatkan bagian harta warisan karena Suatu Sebab
Seseorang dapat memperoleh harta warisan karena adanya suatu
sebab, yaitu sebab memerdekakan budak (As}abah Sababiyah), baik laki-
laki maupun wanita. Akan tetapi pada zaman sekarang ahli waris ini tidak
ada lagi, hanya sebagai wacana.
8. Mendapat bagian harta warisan karena Wasiat
Seseorang dapat memperoleh bagian harta warisan karena adanya
pemberian wasiat dari pewaris. Kadar maksimal wasiat ini adalah
sepertiga (1/3) dari harta pusaka. Perolehan kadar lebih dari sepertiga (1/3)
dapat diperbolehkan jika pewaris meninggal tanpa adanya ahli waris atau
dengan persetujuan para ahli warisnya.
9. Menyerahkan harta peninggalan kepada Kas Kaum Muslimin.
Jika seseorang meninggal dunia tanpa meninggalkan ahli waris
seorangpun, maka harta peninggalan diserahkan kepada kas keuangan
kaum muslimin (Baitul Mal), harta tersebut kemudian digunakan untuk
kemaslahatan umat.
E. Ahli Waris dan Bagian-bagiannya
37
Kata ahli waris yang secara bahasa berarti keluarga tidak otomatis ia
dapat mewarisi harta peninggalan saudaranya yang meninggal dunia. Ada dua
macam ahli waris, yaitu:
1. Ahli waris nasabiyah, karena hubungan darah
2. Ahli waris Sababiyah, timbul karena:
- Perkawinan yang sah (al-musaharah)
- Memerdekakan hamba sahaya (al-wala’) atau karena perjanjian tolong
menolong.
Apabila dilihat dari bagian-bagian yang diterima, dapat dibedakan
kepada:
1. Ahli waris ashab al-furud, yaitu ahli waris yang menerima bagian yang
telah ditentukan besar kecilnya, seperti ½, 1/3, atau 1/6.
2. Ahli waris ‘asabah, yaitu ahli waris yang menerima bagian sisa setelah
harta dibagikan kepada ahli waris ashab al-furu.
3. Ahli Waris zawi al-arham yaitu ahli waris karena hubungan darah tetapi
menurut ketentuan Al-Qur'an tidak berhak menerima warisan.
Apabila dilihat dari hubunga kekerabatan (jauh-dekat)nya sehingga
yang dekat lebih berhak menerima warisan daripada yang jauh dapat
dibedakan.
1. Ahli waris hijab, yaitu ahli waris yang dekat yang dapat menghalangi yang
jauh, atau karena garis keturunannya menyebabkannya menghalangi orang
lain.
2. Ahli waris mahjub, yaitu ahli waris yang terhalang oleh ahli waris yang
dekat hubungan kekerabatannya. Ahli waris ini dapat menerima warisan,
jika yang menghalanginya tidak ada.
Jumlah keseluruhan ahli waris yang secara hukum berhak menerima
warisan, baik ahli waris nasabiyah atau sababiyah, ada 17 orang, terdiri dari
10 orang laki-laki dan 7 orang perempuan. Apabila dirinci seluruhnya ada 25
38
orang, 15 orang laki-laki dan 10 orang perempuan. Agar lebih mudah
dipahami, uraian selanjutnya digunakan jumlah ahli waris 25 orang.31
1. Ahli Waris Nasabiyah
Ahli waris nasabiyah adalah ahli waris yang pertalian
kekerabatannya kepada muwarris berdasarkan hubungan darah. Ahli waris
nasabiyah ini terdiri 13 orang laki-laki dan 8 orang perempuan.
Seluruhnya 21 orang.
Ahli waris laki-laki, berdasarkan urutan kelompoknya sebagai
berikut:
a. Anak laki-laki (al-ibn)
b. Cucu lakilaki garis laki-laki
c. Bapak
d. Kakek dari bapak
e. Saudara laki-laki sekandung
f. Saudara laki-laki seayah
g. Saudara laki-laki seibu
h. Anak laki-laki saudara laki-laki sekandung
i. Anak laki-laki saudara laki-laki seayah
j. Paman. Saudara bapak sekandung
k. Paman seayah
l. Anak laki-laki paman sekandung
m. Anak laki-laki paman seayah
Dari ahli waris nasabiyah tersebut di atas, apabila dikelompokkan
menurut tingkatan kekerabatannya adalah sebagai berikut:
a. Furu ‘al-waris yaitu ahli waris anak keturunannya di mati, atau disebut
kelompok cabang (al-bunuwwah). Kelompok inilah yang terdekat, dan
mereka yang didahulukan menerima warisan. Ahli waris kelompok ini
adalah:
1) Anak perempuan
2) Cucu perempuan garis laki-laki
31 Ahmad Rofiq, op.cit, hlm. 49-50
39
3) Anak laki-laki cucu laki-laki garis laki-laki
b. Usul al-waris yaitu ahli waris leluhur di mati. Kedudukannya berada
setelah kelompok furu’ al-waris. Mereka adalah:
1) Bapak
2) Ibu
3) Kakek garis bapak
4) Nenek garis ibu
5) Nenek garis bapak
c. Al-Hawasyi, yaitu ahli waris kelompok saudara, termasuk di dalam
paman dan keturunanya. Seluruhnya ada 12 orang yaitu:
1) Saudara perempuan sekandung
2) Saudara perempuan seayah
3) Saudara perempuan seibu
4) Saudara laki-laki sekandung
5) Saudara laki-laki seayah
6) Saudara laki-laki seibu
7) Anak saudara laki-laki sekandung
8) Anak saudara laki-laki seayah
9) Paman sekandung
10) Paman seayah
11) Anak paman sekandung
12) Anak paman seayah
2. Ahli Waris Sababiyah
Ahli waris sababiyah adalah ahli waris yang berhubungan
pewarisnya timbul karena sebab-sebab tertentu, yaitu:
a. Sebab perkawinan, yaitu suami atau isteri
b. Sebab memerdekakan hamba sahaya
Sebagai ahli warisan sababiyah, mereka dapat menerima warisan
apabila perkawinan suami-isteri tersebut sah. Begitu juga hubungan yang
40
timbul sebab memerdekakan hamba sahaya, hendaknya dapat dibuktikan
menurut hukum yang berlaku.32
3. Al-Furud Al-Muqaddarah dan Macam-macamnya
Kata al-furud adalah bentuk jamak dari kata fard artinya bagian
(ketentuan). Al-Muqaddarah artinya ditentukan. Jadi al-furud al-
muqaddarah maksudnya adalah bagian-bagian yang telah ditentukan besar
kecilnya di dalam Al-Qur'an. Bagian-bagian itulah yang akan diterima
oleh ahli waris menurut jauh-dekatnya hubungan kekerabatan.
Macam-macam al-furud al-muqaddarah yang diatur di dalam Al-
Qur'an ada 6, yaitu:
a. Setengah/separoh (1/2 = al-fisf)
b. Sepertiga (1/3 = al-sulus)
c. Seperempat (1/4 = al-rubu’)
d. Seperenam (1/6 = al-sudus)
e. Seperdelapan (1/8 = al-sumun)
f. Dua pertiga (2/3 = al-sulusan ‘alsulusain)
4. Ahli Waris Ashab al-Furud dan Hak-haknya
Pada penjelasan dibawah ini tidak dipisahkan lagi antara ahli waris
nasabiyah dan sababiyah. Pertimbangannya mereka sama-sama sebagai
ashab al-wurud.
Pada umumnya ahliwaris ashab al-wurud adalah perempuan,
sementara ahli waris laki-laki yang menerima bagian tertentu adalah
bapak, atau kakek, dan suami. Selain itu, menerima bagian sisa (‘asabah).
Adapun hak-hak yang diterima ahli waris ashab al-furud adalah.33
a. Anak perempuan, berhak menerima bagian:
½ jika sendirian tidak bersama anak laki-laki
2/3 jika dua orang atau lebih tidak bersama anak laki-laki
b. Cucu perempuan garis laki-laki, berhak menerima:
32 Ibid., hlm. 54 33 Ibid.,hlm. 55-56
41
½ jika sendirian, tidak bersama cucu laki-laki dan tidak mahjub
(terhalang).
2/3 jika dua orang atau lebih, tidak bersama cucu laki-laki dan tidak
mahjub.
1/6 sebagai pelengkap 2/3 jika bersama seorang anak perempuan, tidak
ada cucu laki-laki dan tidak mahjub. Jika anak perempuan dua orang
atau lebih ia tidak mendapatkan bagian.
c. Ibu, berhak menerima bagian:
1/3 jika tidak ada anak atau cucu (far’u waris) atau saudara dua orang
atau lebih.
1/6 jika ada far’u waris atau bersama dua orang saudara atau lebih.1/3
x sisa, dalam masalah Garrawain, yaitu apabila ahli waris terdiri dari:
suami/isteri, ibu dan bapak.
d. Bapak berhak menerima bagian:
1/6 jika ada anak laki-laki atau cucu laki-laki
1/6 + sisa, jika bersama anak perempuan atau cucu perempuan garis
laki-laki.
Jika bapak bersama ibu:
- Masing-masing 1/6 jika ada anak, cucu atau saudara dua orang atau
lebih.
- 1/3 untuk ibu, bapak menerima sisanya, jika tidak ada anak, cucu
atau saudara dua orang lebih.
- Ibu menerima 1/3 sisa, bapak sisanya setelah diambil untuk suami
atau isteri.
e. Nenek, jika tidak mahjub berhak menerima bagian:
1/6 jika seorang
1/6 dibagi rata, apabila nenek lebih dari seorang dan sederajat
kedudukannya.
f. Kakek, jika tidak mahjub, berhak menerima bagian:
1/6 jika bersama anak laki-laki atau cucu laki-laki
42
1/6 + sisa, jika bersama anak atau cucu perempuan tanpa ada anak
laki-laki.
1/6 atau muqasamah (bagi rata) dengan saudara sekandung atau
seayah, setelah diambil untuk ahli waris lain.
1/3 atau muqasamah bersama saudara sekandung atau seayah, jika
tidak ada ahli waris lain.
g. Saudara perempuan sekandung, jika tidak mahjub, berhak menerima
bagian:
½ jika seorang, dan tidak bersama saudara laki-laki sekandung.
2/3 dua orang atau lebih, tidak bersama saudara laki-laki sekandung.
h. Saudara perempuan seayah, jika tidak mahjub, berhak menerima
bagian:
2/3 seorang diri dan tidak bersama saudara laki-laki seayah.
2/3 dua orang atau lebih tidak bersama saudara laki seayah.
1/6 jika bersama dengan saudara perempuan sekandung seorang,
sebagai pelengkap 2/3.
i. Saudara seibu, baik laki-laki ataupun perempuan kedudukannya sama.
Apabila tidak mahjub, saudara seibu berhak menerima bagian:
1/6 jika seorang diri
1/3 dua orang atau lebih bergabung menerima 1/3 dengan saudara
sekandung, ketika bersama-sama dengan ahli waris sunni dan ibu
(musyarakah)
j. Suami, berhak menerima bagian:
½ jika tidak mempunyai anak atau cucu.
¼ jika bersama dengan anak atau cucu.
k. Isteri, berhak menerima bagian:
¼ jika tidak mempunyai anak atau cucu.
1/8 jika bersama anak atau cucu.
5. Ahli Waris ‘Asabah dan Macam-macamnya
‘Asabah adalah bagian sisa setelah diambil oleh ahli waris ashab
al-furud. Sebagai penerima bagiansisa, ahli waris ‘asabah, terkadang
43
menerima bagian banyak (seluruh harta warisan), terkadang menerima
sedikit, tetapi terkadang tidak menerima bagian sama sekali, karena habis
diambil ahli waris ashab al-furud.
Adapun macam-macam ahli waris ‘asabah ada tiga macam, yaitu:34
a. ‘Asabah bin nafsi, yaitu ahli waris yang karena kedudukan dirinya
sendiri berhak menerima bagian ‘asabah. Ahli waris kelompok ini
semuanya laki-laki, kecuali mu’tiqah (perempuan yang memerdekakan
sahaya), yaitu:
1) Anak laki-laki
2) Cucu kali-laki dari garis laki-laki
3) Bapak
4) Kakek (dari garis bapak)
5) Saudara laki-laki sekandung
6) Saudara laki-laki seayah
7) Anak laki-laki saudara laki-laki sekandung
8) Anak laki-laki saudara laki-laki seayah
9) Paman sekandung
10) Paman seayah
11) Anak laki-laki paman sekandung
12) Anak laki-laki paman eayah
13) Mu’tiq dan atau mu’tiqah (anak laki atau perempuan
memerdekakan hamba sahaya)
b. ‘Asabah bi al-Gair, yaitu ahli waris yang menerima sisa karena
bersama-sama dengan ahli waris lain yang menerima bagian sisa.
Apabila ahli waris penerima sisa tidak ada, maka ia tetap menerima
bagian tertentu (tidak menerima ’asabah). Ahli waris ‘asabah bi al-gair
tersebut adalah:35
1) Anak perempuan bersama-sama dengan anak laki-laki.
34 Ibid., hlm. 60 35 Ibid., hlm. 61
44
2) Cucu perempuan garis laki-laki, bersama dengan cucu laki-laki
garis laki-laki.
3) Saudara perempuan sekandung bersama dengan saudara laki-laki
sekandung.
4) Saudara perempuan seayah bersama dengan saudara laki-laki
seayah.
c. Asabah ma’al-Ghair, ialah ahliwaris yang menrima bagian ‘asabah
karena bersama ahli waris lain bukan penerima bagian ‘asabah.
Apabila ahli waris tidak ada, maka ia menerima bagian tertentu.
‘asabah ma’ al-Gair ini diterima ahli waris:
1) Saudara perempuan sekandung (seorang atau lebih) karena
bersama dengan anak perempuan (seorang atau lebih) atau bersama
degan cucu perempuan garis laki-laki (seorang atau lebih).
2) Saudara perempuan seayah (seorang atau lebih) bersama dengan
anak atau cucu perempuan (seorang atau lebih). Misalnya seorang
meninggal, ahli warisnya terdiri dari seorang anak perempuan,
seorang cucu perempuan garis laki-laki, dan dua orang saudara
perempuan seayah.36
6. Ahli Waris yang terhijab
Hijab secara harfiyah berarti satir, penutup atau penghalang, dalam
fiqih mawaris istilah hijab digunakan untuk menjelaskan ahli waris yang
jauh hubungan kekerabatannya yang kadang-kadang atau seterusnya
terhalang oleh ahli waris yang lebih dekat. Orang yang menghalangi
disebut hajib dan orang yang terhalang disebut mahjub, keadaan
menghalangi disebut hijab.
Hijab ditilik dari akibatnya dibagi menjadi dua macam,
sebagaimana berikut:37
a. Hijab Nuqshan
36 Ibid., hlm. 62 37 Ibid, hlm. 72-75
45
Hijab Nuqshan yaitu menghalangi yang berakibat mengurangi
bagian ahli waris yang mahjub, seperti suami yang seharusnya
mendapat bagian ½ karena bersama anak baik laki-laki maupun
perempuan, bagiannya terkurang menjadi ¼. Ibu yang sedianya
menerima bagian 1/3, karena bersama dengan anak, atau bersama dua
saudara atau lebih maka bagiannya terkurang menjadi 1/6.
Berikut rinciannya dalam tabel
No Ahli Waris Bagian Terkurang Oleh Menjadi
1 Ibu 1/3
1/3
- Anak atau cucu
- 2 saudara atau
lebih
1/6
1/6
2 Bapak ’Ashabah
’Ashabah
- Anak laki laki
- Anak perempuan
- 1/6
- 1/6+Ashabah
3 Isteri ¼ - Anak atau cucu 1/8
4 Suami ½ - Anak atau cucu ¼
5 - Saudara perempuan
sekandung/seayah
- Saudara perempuan
2 atau lebih
- ½
- 2/3
- Anak atau cucu
perempuan
- Anak atau cucu
perempuan
- Ashabah
Ma’a Ghair
- Ashabah
Ma’a Ghair
6 Cucu (pr) garis Lk-lk ½ - Seorang anak
(pr)
1/6
7 Saudara (pr) seayah ½ - Seorang saudara
(pr) kandung
1/6
Keterangan: Ahli waris nenek jika tidak mahjub oleh ibu atau
bapak, mendapat bagian 1/6 (kedudukannya hampir sama dengan ibu).
Demikian juga kakek jika tidak ada bapak, kedudukannya sama dengan
bapak, kecuali dalam masalah Al-Jadd ma’a Al-Ikhwah.
b. Hijab Hirman
Hijab Hirman yaitu menghalangi secara total yang
mengakibatkan hak-hak ahli waris yang termahjub tertutup sama sekali
46
dengan adanya ahli waris yang menghalangi. Misalnya, saudara
perempuan sekandung yang semula berhak menerima bagian 1/2 , akan
tetapi karena bersama dengan anak laki-laki menjadi tertutup sama
sekali dan tidak mendapat bagian. Saudara seibu yang pada dasarnya
mendapat bagian 1/6 karena bersama dengan anak perempuan maka
menjadi tertutup sama sekali baginya untuk memperoleh warisan.
Berikut rinciannya dalam tabel
No Ahli Waris Bagian Terhalang oleh
1 Kakek 1/6 Ayah
2 Nenek garis ibu 1/6 Ibu
3 Nenek garis Ayah 1/6 Ayah dan ibu
4 Cucu (lk) garis laki-laki ‘Ashabah Anak (laki-laki)
5 • Cucu (pr) garis laki-
laki
• 2 Cucu (pr) garis laki-
laki atau lebih
½
2/3
Anak (laki-laki),
2 anak (pr) atau lebih
6 • Saudara (lk)
sekandung
• Saudara (pr)
sekandung
• 2 saudara (pr)
sekandung atau lebih
‘Ashabah
½
2/3
Anak (lk), cucu (lk),
dan ayah
7 • Saudara (lk-lk) seayah
• Saudara (pr) seayah
• 2 Saudara (pr) seayah
atau lebih
‘Ashabah
½
2/3
Anak (lk), cucu (lk),
ayah, saudara (lk)
sekandung, saudara
(pr) sekandung
bersama anak/cucu
perempuan.
8 • Saudara lk/pr seibu 1/6 Anak (lk) dan anak
47
• 2 Saudara lk/pr seibu
atau lebih
1/3 (pr), Cucu (lk) dan
cucu (pr), ayah dan
kakek.
9 Anak (lk) dari saudara
(lk) sekandung
‘Ashabah Anak (lk), cucu (lk),
ayah atau kakek,
saudara (lk) sekandung
atau seayah, saudara
(pr) sekandung atau
seayah yang menerima
Ashabah ma’a al-
Ghair
10 Anak (lk) dari saudara
Seayah
‘Ashabah Anak atau cucu (lk),
ayah atau
kakek,saudara (lk)
sekandung atau
seayah, anak (lk) dari
saudara (lk)
sekandung,
Saydara (pr)
sekandung atau seayah
yang menerima
’Ashabah Ma’a al-
Ghoir
11 Paman Sekandung ‘Ashabah Anak atau cucu (lk),
ayah atau
kakek,saudara (lk)
sekandung atau
seayah, anak (lk) dari
saudara (lk)
sekandung,
48
Saudara (pr)
sekandung atau seayah
yang menerima
’Ashabah Ma’a al-
Ghoir
12 Paman seayah ‘Ashabah Anak atau cucu (lk),
ayah atau
kakek,saudara (lk)
sekandung atau
seayah, anak (lk) dari
saudara (lk)
sekandung,
Saydara (pr)
sekandung atau seayah
yang menerima
’Ashabah Ma’a al-
Ghoir dan paman
sekandung
13 Anak (lk) dari Paman
sekandung
‘Ashabah Anak atau cucu (lk),
ayah atau
kakek,saudara (lk)
sekandung atau
seayah, anak (lk) dari
saudara (lk)
sekandung,
Saudara (pr)
sekandung atau seayah
yang menerima
’Ashabah Ma’a al-
Ghoir dan paman
49
sekandung/seayah
14 Anak (lk) dari Paman
seayah
‘Ashabah Anak atau cucu (lk),
ayah atau
kakek,saudara (lk)
sekandung atau
seayah, anak (lk) dari
saudara (lk)
sekandung,
Saydara (pr)
sekandung atau seayah
yang menerima
’Ashabah Ma’a al-
Ghoir, paman
sekandung/seayah dan
Anak (lk) dari Paman
sekandung
BAB IV
ANALISIS HUKUM ISLAM
TERHADAP PELAKSANAAN KEWARISAN MASYARAKAT SAMIN
DI DESA SAMBONG REJO KABUPATEN BLORA
Hukum Islam disyariatkan oleh Allah dengan tujuan utama merealisasikan
dan melindungi kemaslahatan umat manusia, baik kemaslahatan individu maupun
masyarakat. Kemaslahatan yang ingin diwujudkan dalam hukum Islam itu
menyangkut seluruh aspek kepentingan manusia. Maqasid al-Syari’ah
mengandung empat aspek:
1. Kemaslahatan manusia di dunia dan di akherat.
2. Syariat sebagai sesuatu yang harus dipahami.
3. Syariat sebagai suatu hukum taklif yang harus dilakukan.
4. Tujuan syariat membawa manusia ke dalam sebuah hukum.
Kemaslahatan itu dapat diwujudkan bila lima unsur pokok dapat
diwujudkan dan dipelihara, kelima unsur itu adalah : Agama, Jiwa, Keturunan,
Akal, dan Harta (Usul al-Khamsah). Aspek-aspek kepentingan manusia itu
menurut para ulama’, dapat diklarifikasikan menjadi tiga aspek, yaitu: daruriyat
(Primer), hajjiyat (sekunder), tahsiniyat (stabilitas sosial).
Tahsiniyat adalah aspek yang paling asasi dalam kehidupan manusia.
Apabila aspek ini terganggu maka kehidupan akan kacau.1 Aspek-aspek
mu’amalah (interaksi sosial) adalah jenis hukum yang mengatur secara khusus
1 Said Agil Husain al-Munawar, Hukum Islam dan Pluralitas Sosial (Jakarta:
Penamadani, 2004), hlm. 19.
79
80
hubungan hamba dengan sesamanya. Aspek-aspeknya diantaranya adalah
munakahat (perkawinan), mawaris (kewarisan), ba’i (jual beli) dan lain-lain.
Hukum kewarisan yang mengatur peralihan harta benda dari orang yang
sudah meninggal dunia kepada ahli warisnya yang masih hidup adalah termasuk
ke bidang mu’amalah, lebih khusus lagi termasuk kedalam bidang hukum
keluarga.2 Menurut Basyir, inti dari persoalan kewarisan adalah bagaimana harta
peninggalan itu diberlakukan, kepada siapa ia akan dialihkan dan bagaimana cara
peralihannya.3
Masyarakat Sedulur Sikep di Desa sambong rejo Kabupaten Blora
menggunakan cara yang hampir mirip dengan cara yang dilakukan oleh
masyarakat sebelum Islam yang menggunakan tiga sebab untuk dapat mewarisi:
sebab pertalian darah (qarabah), janji setia (muhalafah), adopsi (tabaniy).
Kekerabatan bagi masyarkat Sikep di Desa sambong rejo Kabupaten Blora
adalah hal utama dalam menentukan warisan. Mereka menggunakan pertalian ini
untuk menyatukan tali kekeluargaan juga termasuk ahli waris. Sedangkan bagi
keluarga yang tidak mempunyai keturunan, mereka bisa mengadopsi anak dari
kerabat terdekat. Dan anak tersebut pun mendapat semua harta warisan. Padahal
dalam hukum Islam anak yang dipungut tidak mendapat warisan, jika ada ahli
waris atau orang tua kandung yang masih hidup.
Semua pertalian ahli waris yang ada hubungan darah, baik laki-laki
maupun perempuan, saudara dan anak-anak diberi hak untuk menerima bagian
2 Hazairi, Hukum Kewarisan Bilateral menurut al-Quran dan Hadis (Jakarta: Tinta Mas,
1982), hlm.27. 3 Ahmad Azhar Basyir, Hukum Waris Islam (Yogyakarta: Fakultas Ekonomi UII, 1990),
hlm.2.
81
menurut jauh dekatnya. Kekerabatan yang dipakai dalam kewarisan Islam adalah
sistem kekerabatan bilateral dan parental. Artinya penentuan hubungan
kekerabatan dihubungkan pada garis ibu dan garis ayah.4
Hubungan kekerabatan dalam Islam dijelaskan dalam firman Allah :
)75:االنفال. (ولو الأرحام بعضهم أولى ببعض في آتاب اللهوأ .Artinya : Dan orang-orang yang beriman sesudah itu, kemudian berhijrah
dan berjihad bersamamu maka orang-orang itu termasuk golonganmu (juga). Orang-orang yang mempunyai hubungan itu sebagiannya lebih berhak terhadap sesamanya (daripada yang kerabat) di dalam kitab Allah. Sesungguhnya Allah Maha Mengetahui segala sesuatu. (QS. Al-Anfal: 75)
Masyarakat sedulur sikep juga menetapkan suami Istri sebagai ahli waris.
Penetapan ini sesuai dengan hukum Islam. Namun mayoritas suami istri pada
masyarakat Sikep memberikan harta mereka kapada ahli waris sebelum mereka
meninggal dan jika salah satu dari suami istri meninggal, maka harta tersebut
langsung menjadi milik ahli waris yang telah ditunjuk oleh suami atau saudara-
saudara melalui musyawarah. Sedangkan untuk mencukupi kehidupan mereka
ditanggung oleh ahli waris tersebut.
Mengenai dasar hukum sebab perkawinan diterangakan dalam al-Qur’an:
م إن لم يكن لهن ولد فإن آان لهن ولد ولكم نصف ما ترك أزواجك: النسأ . (فلكم الربع مما ترآن من بعد وصية يوصين بها أو دين
12(
Artinya “Dan bagimu (suami-suami) seperdua dari harta yang ditinggalkan oleh istri-istrimu, jika mereka tidak mempunyai anak. Jika istri-istrimu itu mempunyai anak, maka kamu mendapat seperempat dari
4 Ahmad Rofiq, Hukum Waris Islam di Indonesia (Jakarta: PT. Raja Grafindo, 1995),
hlm.339.
82
harta yang ditinggalkannya sesudah dipenuhi wasiat yang mereka buat atau (dan) sesudah dibayar utangnya. Para istri memperoleh seperempat harta yang kamu tinggalkan jika kamu tidak mempunyai anak”. (QS. An-Nisa’ : 12)
Dalam ayat itu digunakan kata azwaj. Penggunaan kata azwaj yang secara
leksikal berarti pasangan (suami/istri), menunjukkan dengan gamblang hubungan
kewarisan antara suami dan istri. Bila hubungan kewarisan berlaku antara
mempunyai hubungan karena kekerabatan, adanya hubungan alamiah di antara
keduanya, maka adanya hubungan kewarisan antara suami istri disebabkan adanya
hukum suami dan istri.5
Sedang masalah adopsi, masyarakat Sikep menyebut adopsi atau
pengangkatan anak dengan istilah mupu. Pengangkatan anak atau adopsi dalam
kamus Indonesia-Jawa berarti pamupuning anak.6 Pengertian anak angkat
menurut kamus Hukum adalah anak orang lain yang dijadikan anak sendiri sejak
kecil, pengangkatannya dengan adopsi.7 Sedangkan menurut Kompilasi Hukum
Islam (KHI), anak angkat adalah anak yang dalam pemeliharaan untuk hidupnya
sehari-hari, biaya kepada orang tua angkatnya berdasarkan putusan pengadilan.8
Dalam ajaran Islam, pengangkatan anak disebut dengan istilah tabanni.
Istilah tersebut untuk menyebutkan suatu kebiasaan yang berlaku pada masa
jahiliyah. Maksudnya, bila seseorang mengangkat anak orang lain sebagai anak
sendiri, maka berlakulah terhadap anak ini hak yang berlaku atas anak kandung.
Ali Yafie berpendapat dalam Islam tidak dikenal istilah anak angkat dan tidak ada
sejarahnya. Dalam hukum Islam hanya ada empat jenis anak, yaitu: anak kandung,
5 Amir Syarifuddin, op.cit, hlm.188. 6 Sudaryanto, dkk., op.cit, hlm.3. 7 Yan Pramadya Puspa, Kamus Hukum (Semarang: Aneka, tt.), hlm.66. 8 Pasal 171 (h) KHI.
83
anak pungut (laqit), anak akuan, anak asuhan.9 Hukum Islam menolak lembaga
anak angkat dalam arti terlepasnya anak angkat dari kekerabatan orang tua asalnya
dan beralih ke dalam kekerabatan orang tua angkatnya. Hal ini berdasarkan firman
Allah:
وفه وما جعل أزواجكم اللائي ما جعل الله لرجل من قلبين في ج تظاهرون منهن أمهاتكم وما جعل أدعياءآم أبناءآم ذلكم قولكم
﴾4﴿بأفواهكم والله يقول الحق وهو يهدي السبيل Artinya : Allah sekali-kali tidak menjadikan bagi seseorang dua buah hati
dalam rongganya; dan Dia tidak menjadikan istri-istrimu yang kamu zhihar itu sebagai ibumu, dan Dia tidak menjadikan anak-anak angkatmu sebagai anak kandungmu (sendiri). Yang demikian itu hanyalah perkataanmu di mulutmu saja. Dan Allah mengatakan yang sebenarnya dan Dia menunjukkan jalan (yang benar). (QS. Al-Ahzab:4)
Namun sesuai asas keadilan yang dijunjung tinggi Islam, maka dalam hal
kewarisan secara moral orang tua angkat dituntut untuk memberikan hibah atau
wasiat atas sebagian hartanya kepada anak angkatnya yang telah berjasa merawat,
membantu atau melengkapi sebuah keluarga.
Di Indonesia mengangkat anak atau adopsi merupakan suatu hal yang
umum dan sering terjadi. Tidak bisa dipungkiri bahwa kehadiran seorang anak
bagi keluarga yang tidak mempunyai keturunan adalah sebuah kebutuhan yang
sangat penting. Di Jawa status anak angkat masih mempunyai hak kewarisan dari
orang tua kandungnya, namun juga berhak mewarisi harta dari orang tua
angkatnya, tetapi hanya sebatas pada harta peninggalan selain barang-barang
pusaka yang berasal dari warisan harus dikembalikan kepada kerabat si pewaris.10
9 Muhammad Anshari, “Wali Nikah Anak Angkat Hak Siapa?” dalam Anggun, No.5, Vol.
I, 2005, hlm.18. 10 Setiawan Budi Utomo, op.cit, hlm.157.
84
Kompilasi Hukum Islam (KHI) juga membolehkan pengangkatan anak
atau adopsi yaitu pada Pasal 171 (h). Hubungan hukum yang terjadi antara orang
tua angkat dengan anak angkat hanya terbatas pada tanggung jawab moral
kemanusiaan, yaitu saling tolong menolong sesama manusia, dan pemeliharaan
anak fakir miskin. Menurut syari’at Islam seorang bapak angkat diperbolehkan
memberikan wasiat wajibah dari sebagian tirkah (harta peninggalan) untuk
menutupi hari depan anak angkat, sehingga kehidupanya stabil dan terjamin.
Pemberian wasiat wajibah itu tidak boleh melebihi sepertiga dari harta
peninggalan.
Pemberian semua harta peninggalan orang tua angkat kepada anak
angkatnya menjadi tradisi dalam masyarakat Sedulur Sikep memang mirip dengan
budaya yang dipraktikkan pada masa jahiliyah dulu. Kepercayaan seperti ini
masih dimiliki oleh masyarakat Sedulur Sikep yang masih benar-benar murni,
dalam artian mereka belum masuk pada suatu agama.
Namun bagi saedulur sikep yang telah masuk Islam, maka sebagian
hartanya masih tetap diwariskan kapada anak angkatnya namun tidak semuanya,
sebagian diberikan kepada saudara-saudaranya dan sebagian lagi biasanya
diinfakkan atau diwakafkan untuk kepentingan umum.misalnya diwakafkan ke
masjid atau madrasah.
Selain ketiga sebab di atas masyarakat Sedulur Sikep menetapkan
katurunan Adam (semua manusia) bisa mendapat warisan karena semua manusia
bersaudara, yaitu keturunan Adam. Kepercayaan seperti ini masih dimiliki oleh
masyarakat Sedulur Sikep yang masih benar-benar murni, dalam artian ajaran atau
85
kepercayaan mereka belum tercampuri dengan pengetahuan atau ajaran lain dari
luar.
Dalam Islam ada aturan yang jelas untuk mendapat warisan, tidak semua
manusia bisa mendapat warisan, ada batasan-batasan tertentu untuk mendapatkan
warisan, ada ukuran-ukuran tertentu tentang bagian warisan, bahkan tidak semua
anggota keluarga mendapat warisan, kerena terdapatnya penghalang-penghalang
kewarisan.
Berangkat dari ketentuan-ketentuan itu, maka dapat dipahami Islam
mengatur dengan jelas orang-orang yang berhak menerima warisan dan orang-
orang yang tidak berhak menerima warisan. Tegasnya tidak semua orang berhak
mendapat warisan dari seorang pewaris seperti yang dianut masyarakat Sedulur
Sikep. Kepercayaan masyarakat Sikep itu berdasarkan pada prinsip-prinsip ajaran-
ajaran Samin Surosentiko, yang pada hakekatnya menyangkut tentang nilai-nilai
kehidupan manusia, kehidupan yang sempurna dan juga kehidupan yang tidak
sempurna.
Ajaran-ajaran itu digunakan sebagai pedoman bersikap dan bertingkah
laku. Mereka percaya bahwa dengan melakukan ajaran Samin Surosentiko
akanterlepas dari “hukum karma”. Siapa yang melanggar akan mendapat
hukuman sesuai perbuatannya.
Masyarakat Sedulur Sikep di Desa sambong rejo Kabupaten Blora ini
tidak mengenal adanya ahli waris yang menghalangi (hajib/mahjub). Karena
prinsip dari masyarakat Sedulur Sikep di Desa sambong rejo Kabupaten Blora
yaitu bahwa semua manusia adalah keturunan Adam, sehingga mereka tidak
86
mengenal istilah penghalang kewarisan, mereka juga mempunyai kepercayaaan
bahwa semua keturunan Adam bisa mendapatkan harta warisan. Yang penting
bagi mereka anak-anak dan para kerabat sudah saling merelakan, dan sudah
berpindah harta orang tua kepada anak-anaknya, terutama ketika mereka sudah
berumah tangga.
Kebiasaan atau ‘Urf yang shahih harus dipelihara keberadaanya dan
terhadap kebiasaan yang tidak sesuai menurut ajaran Islam, maka secara normatif
itu adalah salah. Karena tidak sesuai dengan dalil-dalil atau nash yang secara jelas
telah ditentukan dalam hukum Islam. Namun dengan pendekatan sosiologis
terhadap kebiasaan-kebiasaan itu bisa dikatakan baik, karena dengan praktik-
praktik itu mereka pun menemukan kemaslahatan berkeluarga dan bermasyarakat
yang menjadi tujuan-tujuan syari’ah (Maqasid al-Syari’ah).
Bagi masyarakat Sikep pembagian harta warisan dilakukan pada saat
pewaris masih hidup dari pihak orang tua kepada anaknya yang sudah berumah
tangga sebagai bekal hidup. Mereka langsung membagikan harta itu apa adanya,
pada waktu pewaris masih hidup. Hal ini sesuai dengan yang dikatakan Soepomo,
bahwa barang-barang asal suami dan barang-barang asal istri serta barang gono-
gini itu tidak ada artinya bila suami istri itu punya anak.11
Memang dalam Islam dikenal adanya kewarisan sebagai akibat adanya
kematian, ini berkaitan erat dengan asas ijbari. Namun juga perlu dicatat bahwa
kewarisan sebagai akibat tidak dianut olek Kompilasi Hukum Islam (KHI) secara
mutlak. Karena pada prinsipnya Islam membenarkan, bahkan juga menganjurkan
11 Soepomo, Bab-bab tentang Hukum Adat (Jakarta: Paramadina Paramitha, 1993),
hlm.97.
87
untuk mengatur anak-anak, keluarga, dan kerabat-kerabanya dengan membagi-
bagi harta bendanya kepada mereka dengan sistem hibah atau wasiat. Seorang
muslim juga boleh membuat wasiat untuk sebagian ahli warisnya. Firman Allah:
﴾180﴿الوصية للوالدين والأقربين بالمعروف حقا على المتقين
Artinya : Diwajibkan atas kamu, apabila seorang di antara kamu kedatangan (tanda-tanda) maut, jika ia meninggalkan harta yang banyak, berwasiat untuk ibu-bapa dan karib kerabatnya secara makruf, (ini adalah) kewajiban atas orang-orang yang bertakwa. (QS. Al-Baqarah : 180)
Dari kutipan ayat di atas bahwa orang tua (suami/istri) boleh mengatur
harta bendanya dengan sistem wasiat atau hibah. Dan demikian bukanlah
penyimpangan terhadap atau menghindari fara’id, sebab tindakan-tindakan itu
sesuai dengan hak asasinya dan sesuai pula dengan ajaran Islam. Bahkan dalam
Pasal 211 KHI diterangkan bahwa: “Hibah dari orang tua kepada anaknya dapat
diperhitungkan sebagai warisan”, jadi peralihan harta warisan itu dapat berlansung
semenjak pewaris masih hidup.
Dalam ilmu fara’id hal ini bisa disebut dengan takharuj atau tasalul yaitu
pengunduran diri seseorang ahli waris dari hak yang dimilikinya untuk
mendapatkan bagian secara syar’i.12 Dalam al-Quran disebutkan :
فمن خاف من موص جنفا أو إثما فأصلح بينهم فلا إثم عليه إن ﴾182﴿الله غفور رحيم
Artinya : (Akan tetapi) barang siapa khawatir terhadap orang yang berwasiat itu, berlaku berat sebelah atau berbuat dosa, lalu ia mendamaikan antara mereka, maka tidaklah ada dosa baginya. Sesungguhnya
12 M. Ali As-Sabuny, alih bahasa A.M. Basmalah, Pembagian Waris Menurut Islam
(Jakarta: Gema Insani Press, 1996), hlm.41.
88
Allah Maha Pengampun lagi Maha Penyayang(QS. Al-Baqarah : 182)
Di dalam perdamaian atau musyawarah ini pun tidak ada pihak yang
merasa diambil atau dirugikan dan juga tidak terdapat unsur memakan harta orang
lain secara batil. Karena bila yang punya hak misalnya merelakan, maka tindakan
tersebut adalah hak dan terhindar dari memakan hak orang lain.
Jadi kalau dilihat dari pemaparan ayat di atas, pertimbangan harta waris
masyarakat Sedulur Sikep di Desa sambong rejo Kabupaten Blora yang
didasarkan pada proses perdamaian dan musyawarah adalah tidak bertentangan
dengan hukum Islam, karena mereka mengutamakan rasa saling menerima. Baik
karena pesan orang tua sebagai pewaris maupun ajaran-ajaran Samin yang telah
dijadikan falsafah hidup bagi mereka.
Dalam pelaksanaan pembagian harta warisan, masyarakat Sedulur Sikep
cenderung membagikannya ketika pewaris masih hidup (dengan sistem hibah).
Namun juga ada yang membagikan ketika salah satu pewaris atau kedua pewaris
meninggal dunia.
Sedangkan pewaris, dalam literatur fikih disebut al-Muwarris, ialah
seseorang yang telah meninggal dunia dan meninggalkan sesuatu yang dapat
beralih kepada keluarganya yang masih hidup. Dalam Kompilasi Hukum Islam
dijelaskan bahwa pewaris adalah orang yang pada saat meninggalnya atau yang
dinyatakan meninggal berdasarkan putusan Pengadilan Agama Islam,
meninggalnya ahli waris dan harta peninggalan.13 Yang membedakan pewaris
Sedulur Samin dengan Islam yaitu waktu peralihan harta, yang mana di dalam
13 Pasal 171 (b).
89
adat Samin pemberian harta dilakukan ketika orang tua masih hidup maupun
ketika sudah meninggal, sedangkan Islam peralihan harta dari orang tua (pewaris)
ke anak (ahli waris) dilakukan ketika pewaris sudah meninggal dunia.
Sedangkan tentang masalah hibah Allah SWT mensyari’atkan hibah
karena didalamnya terkandung upaya menjinakkan hati dan memperkuat tali kasih
sayang di antara manusia, seperti hadist yang diriwayatkan Abu Hurairah r.a.
”Tahadau tahabbu” yang artinya: “salinglah memberi, maka akan timbul kasih
sayang”. Dalam hadist lain riwayat Abu Hurairah, Nabi SAW mengatakan,
“salinglah kalian memberi hadiah, karena hadiah itu dapat menghilangkan iri hati,
dan janganlah menganggap sepele atas pemberian meskipun berupa kikil
kambing”14. Dalam hukum islam terdapat beberapa dalil hukum/dasar hukum
yang pernah disepakati oleh jumhur ulama yaitu; Al-Qur’an, Al- sunnah, ijma’
dan qiyas.15
Salah ayat yang menjadi landasan hukum dibolehkannya hibah
diantaranya adalah QS. Al-Baqarah: 262
لهم أذى وال منا أنفقوا ما يتبعون ال ثم الله سبيل في أموالهم ينفقون الذين يحزنون هم وال عليهم خوف وال ربهم عند أجرهم
Artinya: “Orang-orang yang menafkahkan hartanya di jalan Allah, kemudian mereka tidak mengiringi apa yang dinafkahkannya itu dengan menyebut-nyebut pemberiannya dan dengan tidak menyakiti (perasaan si penerima), mereka memperoleh pahala di sisi Tuhan mereka. Tidak ada kekhawatiran terhadap mereka dan tidak (pula) mereka bersedih hati.”16
14 Al-Sayyid Sabiq, Fiqh al-Sunnah, Beirut: Dar al-Fikr, cet. Ke-4, 1983, juz 3, hlm. 389 15 Prof. Dr. Abdul Wahhab khallaf, Kaidah-Kaidah Hukum Islam, Jakarta: Raja Grafindo
Persada , 1994, hlm. 18. 16 Soenarjo, dkk, Al Quran dan Terjemahnya, (Jakarta : Departemen Agama RI, 1999),
hlm. 321s
90
Maka dapat dipahami bahwa hibah adalah perbuatan baik dan di anjurkan
dalam Islam yang cara kepemilikannya harus memenuhi syarat-syarat yang telah
ditentukan, hibah adalah pemberian yang berdasarkan suka rela maka hukumnya
sunnahnya tidak ada kewajiban didalamnya,oleh karena itu hibah yang dijadikan
dasar sedulur sikep dalam pandangn Islam bukanlah ketentuan wajib dan mereka
yang mendapat hibah hanya mendapat sepertiga dari warisan bahkan
keseluruannya, akan tetapi orang-orang sedulur sikep mempunyai nilai
kedermawaan sebagaimana yang di anjurkan dalam Islam
Soal pembagian harta warisan Anak laki-laki dan anak perempuan dalam
komunitas Sedulur Sikep merupakan ahli waris yang utama. Karena anak adalah
yang mempunyai hak sepenuhnya terhadap harta peninggalan orang tua tersebut.
Bagi mereka tidak membedakan antara jenis laki-laki dan perempuan atau siapa
saja yang lahir lebih dahulu mempunyai hak yang sama.
Sanak famili atau Sedulur Sikep yang lain juga bisa menerima harta
peninggalan, tentunnya yang diutamakan adalah mereka yang masih ada
hubungan darah, dan sangat membutuhkan. Mereka bisa meminta kepada pewaris
untuk memberikan sedikit harta kepada ahli waris itu.
Bagian-bagian ahli waris antara laki-laki dan perempuan adalah satu
banding satu (1:1), mereka menyamaratakan bagian antara laki-laki dan
perempuan karena yang membedakan antara laki-laki dan perempuan adalah
tingkah lakunya. Dan mengenai siapa-siapa yang mendapat warisan tidak diatur
secara jelas, yang penting dan utama adalah anak-anak mereka baik laki-laki
maupun perempuan.
91
Sayid Sabiq, mengatakan bahwa tidak dihalalkan bagi seseorang
melebihkan pemberian antara anak-anaknya, karena hal ini mengandung usaha
menabur benih permusuhan serta dapat memutuskan hubungan silaturrahmi yang
justru diperintahkan oleh Allah. Pendapat ini sejalan dengan pendapat imam
Ahmad, Ishaq, al-Sauri, Tawus, dan sebagian Malikiyah. Menurut mereka,
melebihkan diantara anak-anak dalam pemberian merupakan tindakan batil dan
menyimpang.
Dalam tradisi masyarakat Samin penerima harta warisan diharuskan untuk
membalas budi terhadap orang tua yang telah memberikan harta bendanya. Yaitu
berupa memberikan sebagian hasil panennya ketika pewaris masih hidup dan
ketika meninggal dunia, maka biaya pengurusan jenazah dibebankan kepada ahli
waris yang tinggal serumah.
Dalam kewarisan Islam mengenal adanya asas ijbari, artinya peralihan
harta seseorang yang telah meninggal kepada yang masih hidup berlaku dengan
sendirinya menurut kehendak Allah tanpa bergantung kepada kehendak pewaris
atau ahli waris. Asas ijbari ini terlihat dari segi ahli waris terpaksa menerima
kenyataan pindahnya harta pewaris kepadanya sesuai dengan jumlah yang
ditentukan.17
Dengan adanya asas ijbari ini tidak memberatkan ahli waris, karena
menurut hukum Islam ahli waris tidak berarti untuk membayar hutang pewaris
dari hartanya sendiri, kewajibannya adalah :
17 A. Racmad Budiono, Pembaharuan Hukum Islam di Indonesia ( PT. Citra Aditya,
Bandung, 1999), hlm.2.
92
a. Mengurus dan menyelesaikan semua hal dalam pengurusan jenazah meliputi;
pengurusan jenazah, pemakaman dan kebutuhan lainnya diselesaikan secara
wajar dan ma’ruf.
b. Pelunasan hutang, baik pelunasan berupa pengobatan, perawatan, menagih
hutang, serta menyelesaikan wasiat pewaris.
c. Membagi harta warisan diantara ahli waris yang berhak.
Dengan proses pewarisan yang dilakukan sedulur sikep Desa sambong
rejo Kabupaten Blora banyak hal yang tidak bertentangan dengan kaidah hukum
Islam. dalam pandangan penulis jika pelaksanaan itu tidak melanggar dari kaidah
hukum Islam dan menjadikan maslahat bagi masyarakat maka tentunya proses
kewarisan dalam adat suatu adat itu diperbolehkan, karena pada dasarnya hukum
kewarisan itu diperuntukkan untuk menciptakan keadilan dan kemaslahatan umat.
BAB V
PENUTUP
A. Kesimpulan
Berdasarkan penelitian, pembahasan sekaligus analisis terhadap
praktik pembagian warisan masyarakat Samin di Desa sambong rejo
Kabupaten Blora yang telah diuraikan pada bab-bab terdahulu maka dapat
diambil kesimpulan sebagai berikut:
1. Tradisi pembagian warisan masyarakat sedukur sikep lebih dikenal dengan
istilah tinggalan, mereka tidak mengenal metode hijab dan mahjub, tidak
ada perbedaan pembagian antara laki-laki dan perempuan meskipun semua
warga sedulur sikep di Desa Sambong Rejo Kabupaten Blora mayoritas
beragama Islam, anak yang sudah keluar dari samin tetap mendapat
warisan, begitu juga kepada anak angkat, sedulur sikep mempunyai
kepercayaan bahwa semua keturunan manusia yang bukan dari keluarga
pewaris bisa menjadi ahli waris dan mendapat warisan. Proses pembagian
harta warisan pada masyarakat Sikep dengan kewenangan orang tua
sebagai pemilik dan orang yang berhak membagi adalah dengan jalan
perdamaian atau Islah. Cara perdamaian atau Islah merupakan jalan pintas
untuk membagi harta warisan bila satu sama lain saling suka rela dan
sepakat dengan bagian yang telah ditentukan oleh orang tua atau ketika
ada sisa harta peninggalan mereka bermusyawarah untuk menyerahkan
harta itu kepada salah seorang saudaranya. Jadi kalau dilihat dari
93
94
pemaparan di atas, pertimbangan harta waris masyarakat Sedulur Sikep di
Desa Sambong Rejo Kabupaten Blora yang didasarkan pada proses
perdamaian dan musyawarah adalah tidak bertentangan dengan hukum
Islam, karena mereka mengutamakan rasa saling menerima. Baik karena
pesan orang tua sebagai pewaris maupun ajaran-ajaran Samin yang telah
dijadikan falsafah hidup bagi mereka.
2. Dalam praktik pembagian warisan, ada beberapa sistem praktik yang
sesuai dengan ajaran Islam. Namun juga ada beberapa sistem kepercayaan
pemberlakuan terhadap harta waris dalam masyarakat Samin yang tidak
sesuai dengan ajaran Islam.
a) Mereka tidak mengenal adanya hijab maupun mahjub. Kebiasaan atau
‘Urf yang tidak sesuai menurut ajaran Islam, maka secara normatif itu
adalah salah. Karena tidak sesuai dengan dalil-dalil atau nash yang
secara jelas telah ditentukan dalam hukum Islam. Namun dengan
pendekatan sosiologis terhadap kebiasaan-kebiasaan tersebut bisa
dikatakan baik, karena dengan praktik-praktik itu mereka pun
menemukan kemaslahatan berkeluarga dan bermasyarakat yang
menjadi tujuan-tujuan syari’ah (Maqasid al-Syari’ah).
b) Pemberian semua harta waris kepada anak angkat dan semua manusia
yang bisa menjadi ahli waris, hal ini tidak sesuai dengan Islam karena
dalam Islam anak angkat tidak bisa menjadi ahli waris, tetapi secara
moral orang tua angkat dituntut untuk memberikan hibah atau wasiat
atas sebagian hartanya kepada anak angkatnya yang telah berjasa
95
merawat, membantu atau melengkapi sebuah keluarga, tapi tidak
sebagai harta warisan.
c) Bagian-bagian ahli waris antara laki-laki dan perempuan adalah satu
banding satu (1:1), hal ini tidak sesuai dengan hukum kewarisan Islam
yang mana di dalam hukum Islam bagian antara anak laki-laki dan
perempuan adalah (2:1), dan bagian (1:1) dalam Islam dikenal degnan
hibah..
B. Saran-saran
1. Bertolak dari berbagai pemaparan dalam bab-bab sebelumnya, maka bisa
dikatakan bahwa masyarakat Samin patut dianggap sebagai kebanggaan
budaya (cultural heritage), karena mereka masih tetap memegang kuat
agama-nya di tengah perkembangan modernisasi yang kompleks ini.
Sehingga pendekatan musyawarah dan kekeluargaan adalah cara yang
paling tepat untuk saling bertukar informasi atau berdiskusi dengan
mereka, sehingga pengetahuan-pengetahuan baru bisa mereka dapatkan.
2. Dalam kehidupan masyarakat Samin ada beberapa hal positif yaitu sikap
mereka yang perlu ditiru dan dilestarikan, sikap yang baik itu ditunjukkan
dalam sikap yang jujur, suka menolong, tepat janji, bertanggung jawab
atas segala ucapan, tindakan, tidak suka iri hati, dan kerukunan dalam
berkeluarga dan bermasyarakat.
3. Perbedaan adalah sunatullah, Islam adalah agama rahmatan lil’alamin.
Sunatullah mencakup keseluruhan adanya alam semesta dan Islam
merahmati semuanya. Pendekatan sosiologis terhadap produk-produk
96
hukum Islam harus terus dikembangkan agar hukum Islam tidak
dipandang sebagai suatu ketetapan yang halal haram. Ijtihad menjadi suatu
kepastian untuk kembali melahirkan hukum Islam yang dinamis agar
hukum Islam kembali menjadi pelopor budaya yang menjadi rahmat bagi
seluruh alam.
C. Penutup
Demikian penyusunan skripsi ini. Peneliti menyadari bahwa skripsi
yang berada di tangan pembaca ini masih jauh dari kesempurnaan sehingga
perlu adanya perbaikan dan pembenahan. Oleh karena itu, peneliti dengan
kerendahan hati mengharap saran konstruktif demi melengkapi berbagai
kekurangan yang ada. Terakhir kalinya, peneliti memohon kepada Allah
SWT. agar karya sederhana ini dapat bermanfaat, khususnya bagi pribadi
peneliti umumnya untuk semua pemerhati ekonomi Islam. Wa Allahu A'lam
DAFTAR KEPUSTAKAAN
Al-Bukhâri, Sahîh al-Bukhâri, “Kitâb al-Farâ’id”, “Bâb lâ Yaris al-Muslim al-Kafir walâ al-Kafir al-Muslim, VIII: 14. Hadis riwayat Usamah ibn Zaid
Al-Khâtib, M. Asy- Syarbini, Mugnil Muhtâj Kairo: Mustafa al-Babi al-Halabi, 1958.
Anshari, Muhammad, “Wali Nikah Anak Angkat Hak Siapa?” dalam Anggun, No.5, Vol. I, 2005.
Arikunto, Suharsimi, Prosedur Penelitian Suatu Pendekatan Praktek, Yogyakarta:: Rineka Cipta, 1996.
Ash-Shidieqy, Hasbi, Fiqhul Mawaris, Hukum-Hukum Waris Islam, cet. I Jakarta: Bulan Bintang, 1973.
As-Sabuny, M. Ali, alih bahasa A.M. Basmalah, Pembagian Waris Menurut Islam, Jakarta: Gema Insani Press, 1996.
At-Tirmiz|î, Sunan at-Tirmizî, “Bâb Mâ Jâ’a fî Ibtâl Mirâs| al-Qâtil” Beirût: Dâr al-Fikr, 1988.
Azwar, Saifuddin, Metodologi Penelitian, Yogyakarta: Pustaka Pelajar, 1998.
Basyir, Ahmad Azhar, Hukum Waris Islam Yogyakarta: Fakultas Ekonomi UII, 1990.
Budiono, A. Racmad, Pembaharuan Hukum Islam di Indonesia, PT. Citra Aditya, Bandung, 1999.
Daradjat, Zakiah dkk. Ilmu Fiqh, cet. II Yogyakarta: PT. Dana Bhakti Wakaf, 1995.
Dijk, Van, Pengantar Hukum Adat Indonesia. Terjemahan A. Soehardi Bandung: Sumur, 1979
Djakfar, Idris dan Taufik Yahya, Kompilasi Hukum Kewarisan Islam Jakarta: Pustaka Jaya, 1995.
Eliza, Meika, ”Pembagian Warisan di Kelurahan Purbayan Kecamatan Kotagede Yogyakarta Ditinjau dari Hukum Islam”, Skripsi Yogyakarta: IAIN Sunan Kalijaga, ttp, 2003.
Ensiklopedia Nasional Indonesia. cet. III Jakarta : Delta Pamungkas 1997.
Hadi, Sutrisno, Metode Research, Jilid I, Yogyakarta: Gajah Mada Press, 1975.
Hadikusuma, Hilman, Hukum Waris Adat, cet. VI, Jakarta: Fajar Agung, 1987.
Hakim, Helmi, Pembaharuan Hukum Waris Islam Persepsi Metodologis Jakarta: Al-Fajar, 1994.
Hazairi, Hukum Kewarisan Bilateral menurut al-Quran dan Hadis Jakarta: Tinta Mas, 1982.
Hazairin, Hendak Kemana Hukum Islam, Jakarta: Tinta Mas, 1976.
_______, Hukum Kewarisan Bilateral Menurut al-Quran dan Hadis, edisi ke-5 Jakarta: Tinta Mas,1981.
http://id.wikipedia.org/wiki/Ajaran_Samin.
Husain, Said Agil al-Munawar, Hukum Islam dan Pluralitas Sosial Jakarta: Penamadani, 2004.
Hutomo, Suripan Sadi, Tradisi dari Blora, Semarang: Citra Almameter, 1996.
Khalaf, Abdul Wahab, Ushūl al fiqh, Dewan Dakwah Islam Indonesia, Jakarta: 1974.
______, Kaidah-Kaidah Hukum Islam, Jakarta: Raja Grafindo
Koentjoraningrat, Metodologi Penelitian Masyarakat, Jakarta: Gramedia, 1981.
Moleong, Lexy. J., Metodologi Penelitian Kualitatif, Bandung: P.T. Remaja Rosda Karya, 2002.
Mumfangati, Titi,dkk. Kearifan Budaya Lokal di Lingkungan Masyarakat Samin Kabupaten Blora Jawa Tengah, Yogyakarta: tnp, 2004.
Parman, Ali, Kewarisan Dalam al-Quran Jakarta: Rajawali Press, 1995.
Puspa, Yan Pramadya, Kamus Hukum Semarang: Aneka, tt.
Rahman, Fatchur, Ilmu Waris, edisi 2 Bandung: al-Ma’arif, 1981.
Ramulyo, Idris, Perbandingan Hukum Kewarisan Islam Dengan Kewarisan Kitab Undang-Undang Hukum Perdata, Jakarta: Sinar Grafika, 2004.
Rofiq, Ahmad, Fiqh Mawaris, Jakarta: PT. Raja Grafindo Persada, 1998.
________, Hukum Waris Islam di Indonesia Jakarta: PT. Raja Grafindo, 1995.
Sabiq, Sayyid, Fiqh al-Sunnah, Beirut: Dar al-Fikr, cet. Ke-4, 1983.
Sastroatmodjo, Soerjanto, Masyarakat Samin Siapakah mereka? cet. I, Yogyakarta: Narasi, 2003.
Soenarjo, dkk, Al Quran dan Terjemahnya, Jakarta: Departemen Agama RI, 1999.
Soepomo, Bab-bab tentang Hukum Adat Jakarta: Paramadina Paramitha, 1993.
Sukari, Kehidupan Masyarakat Samin di Desa Baturejo Kecamatan Sukolilo Kabupaten Pati, Yogyakarta: Balai Kajian Sejarah dan Nilai-nilai Tradisional,1996/1997.
Sulaimân, Abu Dâwud Ibn al-Asy’âs, Sunan Abi Dâwud, “Kitâb al-Farâ’id,” “Bâb fî al-Jaddati” Beirut: Dâr al-Fikr, t.t.,
Wikipedia Indonesia, Ajaran Samin, http://id. wikipedia. org/wiki/ajaraan samin. 8 Maret 2007.
Yunus, Mahmud, Kamus Arab-Indonesia Jakarta: PT Hidakartya Agung, 1989.
________, Turutlah Hukum Waris Dalam Islam, cet. I Jakarta: Pustaka Hidayah, 1958.