ajaran suluk

Upload: jasmine-p-murtaningrum

Post on 14-Jul-2015

217 views

Category:

Documents


9 download

TRANSCRIPT

AJARAN SULUK SYEKH ABD AL SAMAD AL-PALIMBANI (Telaah Terhadap Kitab Sayr al-Salikin) Hasni Noor* ABSTRACTUntuk mencapai apa yang disebut makrifah pada hakikatnya adalah penempaan diri manusia sedemikian rupa sehingga sifat-sifat kemanusiaan yang lahir dari tabiat kebendaan sirna dalam pantulan sifat-sifat ketuhanan yang memancar melalui tabiat kerohanian. Seorang salik tidak akan mengetahui maqam apa yang telah dicapainya dan usaha apa yang harus dilakukan untuk mencapai maqam yang lebih tinggi, bahkan mungkin juga tidak dapat mengetahui segala kesalahan dan kekurangannya. Untuk menempuh apa yang disebut maqamat itu satu demi satu, salik memerlukan seorang pembimbing rohani (Syaikh mursyid) yang telah melewati jalan tersebut. Key Words : Suluk, salik, makrifah,

PENDAHULUAN Tasawuf menyebut kemajuan dalam kehidupan spritual sebagai suluk dan sang pencari Allah sebagai salik atau penempuh jalan spritual. Makna leteral suluk adalah menempuh jalan, yang merupakan suatu tindakan fisik dan bisa dipandang sebagai gerakan dalam dimensi ruang. Hanya saja dalam istilah teknis, yang dimaksud suluk adalah perjalanan spritual dan bukan gerakan dalam dimensi ruang. Suluk nafs, disebut tazkiyah an-nafs atau penyucian jiwa yang berarti menghiasi diri dengan sifat-sifat terpuji dan malakuti, sesudah membersihkan dari sifat-sifat tercela dan hewani. Dengan kata lain, diri dibersihkan dari kotoran dan kerusakan, diubah menjadi an-nafs allawwamah (jiwa yang mencela) dan akhirnya menjadi an-nafs almuthmainnah atau jiwa yang tenang. Dengan demikian, suluk bukanlah gerakan dalam dimensi ruang, melainkan kemajuan dalamPenulis adalah Dosen IAIN (DPK) Universitas Islam Kalimantan Selatan Banjarmasin Fakultas Agama Islam.*

1

kehidupan spritual, yakni gerak maju spritual dari sifat-sifat tercela menuju sifat-sifat baik dan terpuji; gerak maju ini adalah nama lain transmutasi atau perubahan normal manusia batiniah. Tulisan ini akan mencoba menelaah dan mengkaji ajaran suluk seperti apa yang telah dituangkan oleh al-Palimbani dalam kitab Sayr al Salikin. RIWAYAT HIDUP AL-PALIMBANI Abd al-Samad al-Jawi al-Palimbani adalah orang Indonesia yang berasal dari Palembang. Ia adalah putra Syekh Abd Jalil bin Syekh Abd al-Wahab bin Syekh Ahmad al-Madani dari Yaman yang diangkat menjadi mufti negeri Kedah, dengan istrinya Raden Ranti dari Palembang. Sebelum ia kawin di Palembang, Syekh Abd Jalil telah kawin di Kedah, dan dari perkawinan tersebut ia mendapat dua orang putra yaitu Wan Abd al-Qadir dan Wan Abdullah. Tetapi Abd al-Samad lebih tua dari kedua saudara seayahnya, karena keduanya lahir setelah Syekh Abd al-Jalil pulang tiga tahun setelah kepergiannya ke Palembang, di mana ia kawin lagi dan mendapat seorang putra yang bernama Abd Samad. Selanjutnya Abd Samad dan saudaranya Wan Abd al-Qadir diantar ke Mekkah, sehingga akhirnya ia dikenal dengan sebutan Syekh Abd Samad al-Palimbani, dan saudaranya tersebut diangkat menjadi mufti negeri Kedah, menggantikan ayahnya. (Chatib Quzwain, 9) Penobatan Sultan Kedah terjadi pada tahun 1112 H/1700 M. Tidak lama kemudian, Syekh Abdul Jalil diangkat menjadi mufti dan dikawinkan dengan Wan Zainab, putri Dato Sri Maharaja Dewa. Tidak berapa lama setelah perkawinan itu mereka melahirkan anak, Syekh Abd al-Jalil dijemput oleh utusan dari Palembang untuk berkunjung ke sana melepaskan rindu kepada murid-muridnya yang sudah sangat lama ditinggalkan. Berdasarkan keterangan ini, al-Palimbani lahir di Palembang sekitar tiga atau empat tahun setelah 1112 H/1700 M. Menurut catatan yang terdapat dalam kitab Sair al-Salikin, kitab tersebut mulai ditulisnya pada tahun 1193 H/1779 M. (Abd Samad Al-Palimbani, TT : 3). Menurut Yusuf Halidi, al-Palimbani menuntut ilmu di Mekkah bersama-sama dengan Muhammad Arsyad al-Banjari, Abdul Wahab

2

Bugis dari Sulawesi Selatan dan Abdul Rahman Masri dari Jakarta, empat serangkai yang kemudian sama-sama belajar thariqat di Madinah kepada Syeikh Muhammad al-Samman, dan akhirnya mereka bersama-sama pula pulang ke daerah mereka masing-masing di Indonesia. (Yusuf Halidi, 1980 : 33) Tasawuf merupakan bidang spesialisasi Al-Palimbani, sehingga dalam Sair al-Salikin, ia menyebut lebih dari seratus kitab tasawuf serta mengklasifikasinya menurut isi masing-masing kitab tersebut. Ada yang dianggapnya boleh dibaca oleh orang yang masih berada di tingkat permulaan (mubtadi), ada yang merupakan bacaan orang yang sudah mencapai tingkat pertengahan (mutawassith) dan ada pula yang hanya boleh dibaca oleh orang yang sudah mencapai tingkat penghabisan (muntahi) saja. Al-Palimbani mengambil Tarekat al-Khalwatiyah melalui Syekh Muhammad al-Samman di Madinah, yang selanjutnya dikenal sebagai pendiri Tarekat Sammaniyah. Dalam tulisan-tulisannya, khususnya dalam Hidayat al-Salikin dan Sair al-Salikin, ia selalu menyebut dirinya sebagai murid dari Syekh Muhammad al-Samman al-Madani. Mengenai karya tulis Al-Palimbani, ada beberapa kitab seperti yang penulis kutip dari Chatib Quzwain diantaranya (1) Hidayat alSalikin, (2) Sair al-Salikin, yang secara berurutan merupakan terjemahan dari Bidayat al-Hidayat dan Lubab Ihya Ulum al-Din Karangan AlGhazali, (3) Zahrat al-Murid fi Bayan Kalimat al-Tauhid, (4) Nasihat alMuslimin wa Tazdkirat al-Muminin fi Fadhail al-Jihad fi Sabilillah, (6), Al-Urwat al-Wutqa wa Silsilat Uli al-Ittiqa, (7) Ratib Abd al-Samad alPalimbani (Chatib Quzwain, 22 30). Pokok-pokok Ajaran Suluk al-Palimbani a. Taubat Al-Palimbani memandang taubat sebagai langkah pertama yang harus diambil oleh setiap orang yang ingin menempuh jalan ini. Menurut dia taubat merupakan jalan bagi orang yang salik yang menyampaikannya untuk berbuat ibadah yang sempurna yang menyampaikan kepada makrifah Allah. (Abd Samad Al-Palimbani, TT : 3) di samping itu, ia juga menerangkan tentang taubat yakni

3

Suatu makna yang bersusun daripada tiga perkara : ilmu, hal, dan fiil, yakni perbuatan. Menurut dia, taubat adalah suatu kewajiban agama yang harus dilakukan oleh setiap orang yang melakukan perbuatan dosa. Untuk mendapat kebulatan tekad dalam bertaubat itu, harus dilakukan tiga hal : - Pertama, bahwa maksiat yang membawa kepada dosa sangat keji dan sangat jahat kepada Allah dan kepada manusia. - Kedua, harus diingat betapa beratnya siksaan Allah SWT dan Allah sangat murka atas orang yang berbuat maksiat. - Ketiga, harus diingat kelemahan diri untuk menanggung siksa yang sangat sakit di akhirat nanti. (Al-Palimbani, Jilid IV : 7 8). Menurut Al-Palimbani, taubat itu terbagi dalam tiga tingkatan : - Pertama, taubat orang awam; - Kedua, taubat orang khawash; - Ketiga, taubat orang khawash al khawash. Taubat dari maksiat yang zahir, merupakan taubat tingkatan pertama seperti berzina, membunuh, merampas, mencuri dan sebagainya; orang khawash taubat dari maksiat batin seperti ujub, ria, takabur, hasad dan sebagainya; sedangkan orang khawash al khawash, taubat dari segala yang terlintas di dalam hatinya yang lain dari pada Allah SWT, karena ibadah mereka itu senantiasa hadir hati kepada Allah SWT dan mengekali pada tiap-tiap masa (waktu) itu dengan dzikrullah (ingat kepada Allah) di dalam hati dan syuhud (memandang dalam hati) akan Allah Taala. Tingkat taubat yang ketiga ini, nampaknya bukan lagi permulaan jalan bagi orang yang salik karena orang yang bertaubat dari segala yang terlintas di dalam hati selain Allah itu adalah orang khawash al khawas, yang setiap waktu mengingat Allah, bahkan memandang-Nya. Dengan kata lain, taubat pada tingkat ketiga ini adalah taubat orang yang sudah sampai ke puncak makrifah yang berada di ujung jalan orang sufi, yang hanya dicapai oleh seorang salik yang telah menempuh perjalanan panjang. Pada tahap permulaan maqam taubat dalam perjalanan seorang salik hanya meliputi taubat orang awam dan taubat orang khawash,

4

yang masih bergulat melawan hawa nafsu untuk membebaskan diri dari maksiat lahir dan maksiat batin. Tetapi perjuangan ini pun belum dapat dirampungkan pada maqam taubat, karena maksiat batin hanya terhapus setelah seorang salik berada pada maqam zuhud. Menurut al-Palimbani, dosa-dosa batin tersimpan dalam sepuluh perkara sebagai berikut : 1. Banyak makan 2. Banyak berkata-kata, 3. Pemarah, 4. Dengki, 5. Kikir dan cinta harta 6. Cinta kemegahan dan kebesaran 7. Cinta dunia, 8. Tinggi hati, 9. Uzub, 10. Ria Sepuluh macam dosa ini, merupakan sebagian dari dosa besar yang ada di dalam hati. Di samping itu ada empat macam dosa besar yang termasuk dalam dosa bathin yaitu : 1. Menyekutukan Allah, 2. Mengekalkan berbuat maksiat, 3. Putus asa dari rahmat Allah, 4. Tidak takut siksa Allah. Perasaan Cinta dunia itu akan terhapus setelah seorang salik mencapai maqam zuhud; tetapi sebelum sampai ke sana ia harus melewati maqam takut dan harap, yang erat hubungannya dengan kejiwaan seorang salik yang masih berada dalam tahap permulaan. b. Takut dan Harap Pada tahap tertentu, takut dan harap sangat dominan dalam diri seorang salik sehingga merupakan maqamnya. Hal ini terjadi pada tahap permulaan, tetapi sebagaimana halnya dengan maqamat yang lain, takut dan harap ini pun menurut dia masing-masing dikatakan maqam bagi seorang salik apabila perasaan-perasaan ini

5

mantap di dalam dirinya; kalau hanya dirasakan pada saat-saat tertentu saja, hal itu termasuk ahwal. Semakin dalam ilmu seseorang mengenai Tuhan dan mengenai dirinya, semakin tinggi pula rasa takutnya kepada Allah. Rasa takut kepada Allah dapat membebaskan seseorang dari takut pada yang lain, bahkan melahirkan suatu kepribadian yang disegani oleh semua orang. Dalam hal ini, Al-Palimbani mengutip hadits Nabi SAW : Barang siapa takut akan Allah Taala niscaya takut akan dia oleh tiap-tiap sesuatu; dan barang siapa takut yang lain daripada Allah niscaya takut ia daripada tiap-tiap sesuatu. Lebih penting lagi, rasa takut kepada Allah akan membawa seseorang untuk banyak berzikir kepada Allah dan melazimkan hadir hati kepada Allah Taala membanyakkan dzikir akan melazimkan mahabbah (cinta) Allah yang membawa jinak hati kepada Allah Taala; semuanya itu membawa kepada makrifah Allah; dan tiada yang terlebih afdhal dan mulia di dunia dan di akhirat melainkan makrifah akan Allah Taala. Dengan kata lain, takut kepada Allah adalah suatu maqam yang melahirkan maqamat sesudahnya yang akan menyampaikan seorang salik kepada makrifah. Tetapi, sebagaimana halnya rasa takut, rasa harap ini pun pada tahap tertentu dapat menguasai perasaan seorang salik sehingga ia memiliki maqam harap (raja). Tetapi dua maqam ini menurut AlPalimbani, tidak ada yang lebih utama dari yang lain. Khauf (takut) dan raja (harap) menurutnya seperti roti dan air; jikalau sangat dahaga, maka air lebih afdal. Apabila seseorang putus asa dari rahmat Allah, maka raja lebih afdhal baginya. Mana yang lebih utama antara takut dan harap, yang menentukan adalah keadaan orang yang bersangkutan. Amal perbuatan yang dikerjakan atas dasar harap pada dasarnya derajatnya lebih tinggi dari yang dilakukan atas dasar takut, bahkan rasa harap itu sendiri lebih tinggi derajatnya daripada rasa takut, demikian dikatakan oleh Al-Palimbani. Menurutnya, hal ini diisyaratkan oleh Hadits nabi SAW : Jangan mati seseorang melainkan dia berbaik sangka pada Allah Taala yakni membanyakkan harap akan keridhaan Allah. Dengan demikian, harap kepada Allah itu adalah suatu maqam yang lebih tinggi dari

6

pada maqam takut, karena hal itu lebih dekat kepada maqam cinta (mahabbah). Sebagaimana halnya maqam takut, maqam harap ini pun dianggap lahir dari ilmu. Kalau yang pertama lahir dari ilmu seseorang mengenai siksaan Allah terhadap orang yang maksiat, rasa harap ini menurut Al-Palimbani dapat diperkuat dengan memikirkan nikmat yang diberikan oleh Allah Taala yang tidak terhingga banyaknya. Namun keduanya melahirkan buah yang sama, yakni ketaatan mengerjakan segala perintah Allah dan menjauhi segala larangan-Nya. Orang yang sudah mencapai tingkat makrifah, yakni orang arif, berada di maqam cinta (mahabbah), tingkat para aulia Allah yang menurut Al-Quran Tiada lagi bagi mereka rasa takut dan mereka pun tiada bersedih. Tetapi untuk mencapai maqam cinta kepada Allah itu masih ada beberapa maqam lagi yang harus dilalui; diantaranya adalah maqam zuhud. c. Zuhud Al-Ghazali mengibaratkan hati manusia seperti sebuah bejana yang penuh dengan air; untuk mengisinya dengan cuka, air yang ada di dalamnya harus dikeluarkan sebesar volume cuka yang akan dimasukkan. Kalau seluruh bejana itu akan diisi dengan cuka, seluruh air yang ada di dalamnya harus dikeluarkan lebih dahulu. Demikianlah halnya cinta kepada Allah itu tidak mungkin memasuki hati yang masih penuh dengan cinta kepada yang lain. Untuk mencintai Allah dengan sepenuh hati, cinta kepada yang lain harus dikeluarkan seluruhnya dari dalam hati. Karena itu, seperti yang terdapat dalam uraian Al-Palimbani mengenai taubat, cinta harta, cinta kebesaran atau kemegahan dan cinta dunia, semuanya dipandang sebagai dosa besar yang harus dijauhi oleh setiap salik. Zuhud pada hakikanya adalah meninggalkan sesuatu yang dikasihi dan berpaling darinya. Karena itu sikap seseorang yang meninggalkan kasih akan dunia karena menginginkan sesuatu di dalam akhirat, dikatakan zuhud. Tetapi tingkat zuhud yang tertinggi, menurut dia, ialah meninggalkan gemar daripada tiap-tiap sesuatu yang lain daripada Allah, hingga engkau tinggalkan gemar daripada

7

sesuatu yang di dalam akhirat. Dengan demikian, pengertian zuhud itu ada tiga macam : Pertama, meninggalkan sesuatu karena menginginkan sesuatu yang lebih baik dari padanya. Kedua, meninggalkan keduniaan karena mengharapkan sesuatu yang bersifat keakhiratan, dan Ketiga, meninggalkan segala sesuatu selain Allah karena mencintai-Nya. Al-Palimbani menjelaskan mengenai orang yang zuhud, ada tiga tingkatan yang mencerminkan proses kejiwaan seorang salik dalam menempuh kehidupan zuhud yakni : - Pertama, zuhud orang mubtadi (permulaan) yang baru menjalani jalan yang menyampaikan (kepada) makrifah akan Allah itu, yaitu orang yang di dalam hatinya masih ada rasa kasih dan cenderung kepada keduniaan, tetapi ia bersungguhsungguh untuk melawan hawa nafsunya. - Kedua, orang yang Mutawassith (pertengahan), yaitu orang yang telah mudah hatinya meninggalkan akan dunia itu, tiada lagi ia sangat kasih akan dunia itu. - Ketiga, orang yang muntahi, yakni Arifin (orang-orang arif), yang bagi mereka dunia itu seperti kotoran saja, tidak ada nilainya lagi, sehingga segenap hati mereka sudah menghadap ke akhirat. Namun di atas itu masih ada satu tingkat lagi, yaitu orang yang meninggalkan daripada hatinya yang lain daripada Allah Taala, baik dunia maupun akhirat. Zuhud dalam arti dan tingkatan seperti tersebut itu adalah satu maqam dalam perjalanan seorang salik yang menurut Al-Palimbani terdiri dari tiga perkara : ilmu, hal dan amal. Dalam hal ini al-Palimbani menjelaskan secara rinci batas-batas kebutuhan duniawi yang boleh dipenuhi oleh seorang zahid. Patokan yang digunakannya adalah bahwa orang yang zuhud, dalam mengambil sesuatu dari dunia (hanya mengambil) akan sekedar darurat hajatnya yang mendirikan akan dia pada kehidupan badannya. Dengan kata lain, seorang zahid hanya boleh memenuhi kebutuhan jasmaninya yang pokok saja dan dalam kadar yang tidak mungkin dihindari untuk menyangga kelangsungan hidupnya. Mengenai hal ini, orang-orang zahid dibaginya dalam tiga tingkatan :

8

Derajat yang terlebih tinggi, derajat pertengahan dan derajat yang terbawah (rendah). Orang zahid pada derajat yang tertinggi hanya memiliki makanan untuk satu kali makan saja, tidak mempunyai simpanan untuk jam makan berikutnya berupa makanan pokok dalam kadar minimal untuk dapat mengerjakan ibadah. Ia hanya makan satu kali dalam tiga hari atau satu kali dalam tujuh hari, atau lebih jarang lagi. Pakaian yang dimilikinya hanya cukup untuk mengelak kedinginan atau kepanasan, di samping menutup aurat; dan tempat tidurnya hanya di pojok-pojok mesjid atau di tempat gurunya memberikan pelajaran. Meskipun demikian, orang zahid boleh juga kawin, sepanjang perkawinan itu tidak mengganggu kebulatan hatinya kepada Tuhan. Ukuran-ukuran ini semakin longgar untuk kehidupan zuhud yang pertengahan dan yang paling rendah. Seorang zahid pada tingkat yang disebut terakhir ini boleh menyimpan makanan untuk keperluan pokoknya selama satu tahun; ia boleh makan satu kali sehari, meskipun dalam ukuran sederhana sekali; ia boleh memakai seperangkat pakaian yang terdiri dari baju, celana, kopiah dan sapu tangan, meskipun semuanya itu hanya boleh dimiliki selembar saja; dan ia boleh memiliki rumah kediaman yang layak, baik dibeli atau disewanya, selama tidak melebihi taraf kesederhanaan. Namun tingkat zuhud tertinggi, menurut Al-Palimbani bukan tidak memiliki sesuatu, tetapi tidak menginginkan sesuatu selain Allah. Ciri seorang zahid menurutnya ada tiga perkara : 1) Ia tidak gembira dengan adanya sesuatu dan tidak sedih dengan hilangnya sesuatu. 2) Orang yang memuji dan orang yang mencelanya dianggapnya sama saja. 3) Ia merasa intim dengan Tuhan dan merasa lezat dalam mentaatiNya. (Al-Palimbani, Jilid IV : 99). Semua ini mungkin bisa dipertahankan oleh seorang zahid yang di dalam hatinya tidak ada lagi sesuatu selain Allah, walaupun ia memiliki kekayaan dan kebesaran. Karena itu, maqam zuhud ini, nampaknya adalah pendahuluan dari maqam syukur yang mencerminkan kejiwaan seorang muslim yang selalu memandang Tuhan dalam semua nikmat yang dilimpahkan kepadanya. Tetapi,

9

sebelum mencapai maqam tersebut masih ada satu maqam lagi yang harus dilewati, yaitu maqam sabar. d. Sabar Menurut Al-Palimbani, sabar adalah menahan diri dalam memikul suatu penderitaan, baik dalam kedatangan sesuatu yang tidak diingini maupun dalam hal kepergian sesuatu yang disenangi. Sabar terbagi dalam tiga tingkatan : Pertama, sabar orang awam yang disebutnya tashabbur (bersabar), yaitu menanggung kesusahan dan menahan kesakitan dalam menerima hukum Allah; Kedua, sabar orang yang menjalani tarikat, yaitu jadi biasa ia dengan bersifat dengan sabar telah mudah atasnya segala yang susah yang datang akan dia itu. Ketiga, sabar orang arif yang telah mengenal Allah, yang disebutnya ishthibar, yaitu bersedap-sedap dengan kena bala dan suka ia dengan ikhtiyar (pilihan) Tuhannya. Sebagaimana maqamat yang sebelumnya, tingkat yang tertinggi bagi maqam sabar inipun, nampaknya hanya dicapai oleh orang yang sampai ke tingkat makrifah; adapun maqam bagi orangorang salik yang belum mencapai makrifah adalah sabar tingkat pertama dan tingkat kedua. Menurut Al-Palimbani, maqam sabar inipun terdiri dari ilmu, hal dan amal; yang dimaksudkan dengan ilmu di sini ialah pengetahuan atau kesadaran bahwa sabar itu mengandung maslahat di dalam agama dan memberi manfaat di dunia dan di akhirat; dari ilmu ini lahir ketabahan hati, yang selanjutnya mendapat perwujudan dalam tingkah laku seorang yang sabar menghadapi segala penderitaan yang dialaminya. Sifat sabar ini adalah suatu hal yang harus dimiliki oleh seorang salik sejak ia menginjakkan kakinya di maqam zuhud, karena untuk menempuh kehidupan zuhud yang telah disampaikan sebelumnya diperlukan kesabaran yang tinggi. e. Syukur

10

Hakikat syukur menurut Al-Palimbani adalah engkau ketahui tiada yang memberi nikmat itu melainkan Allah Taala jua, kemudian maka engkau ketahui pula akan kelebihan segala nikmat Allah atasmu di dalam segala anggotamu dan segala jasadmu dan roh dan segala yang engkau berkehendak kepadanya di dalam kehidupanmu niscaya di dalam hatimu suka dengan Allah dan nikmat-Nya dan dengan anugerah-Nya atasmu. Bagi kaum sufi memandang Allah dalam kesenangan lebih sukar daripada memandang-Nya dalam penderitaan. Karena itu, orang sufi yang sudah berani hidup mewah, seperti Haris Al-Muhasibi, misalnya dianggap mencapai maqam yang tinggi dalam kesufiannya. Al-Quran pun mengatakan bahwa Jikalau mereka ditimpa kesusahan, manusia selalu berdoa kepada Allah dan menyerahkan diri kepada-Nya; tetapi setelah mereka mendapat kesenangan banyaklah di antara mereka yang menyekutukan-Nya. Orang yang berada pada maqam zuhud merasakan kemesraan hubungan dengan Tuhan dalam kehidupan bathin yang bebas dari segala keinginan duniawi, dan yang berada di maqam sabar merasa berhubungan dengan Tuhannya melalui segala penderitaan yang ditakdirkan atasnya, orang yang sudah mencapai maqam syukur ini malahan memandang wajah Tuhan melalui segala nikmat yang dilimpahkan kepadanya. Rasa syukur terhadap nikmat Allah itu harus dilahirkan dalam bentuk amal, baik yang dilakukan dengan hati atau diucapkan dengan lidah maupun yang dilakukan dengan anggota. Berbeda dengan maqamat sebelumnya, maqam syukur ini memerlukan amal perbuatan yang mengandung kebaikan bagi semua manusia; kalau pada maqam zuhud tadi seorang salik membelakangi kehidupan dunia ini untuk membulatkan hatinya kepada Allah, pada maqam ini ia harus melahirkan rasa syukurnya kepada Allah dalam bentuk pengabdian kepada masyarakat. Hal ini memerlukan keikhlasan yang tinggi agar semua amal kebajikan yang dilakukan itu mencapai tujuannya sebagai pengabdian kepada Allah. Karena itu, sebagaimana halnya maqam zuhud tadi diiringi oleh maqam sabar, maqam syukur ini pun diiringi pula oleh maqam ikhlas.

11

f. Ikhlas Ikhlas bagi al-Palimbani adalah suatu maqam yang harus dilalui oleh seorang salik dalam perjalannya kepada Allah. Maqam ikhlas adalah maqam yang paling dekat untuk menjangkau makrifah yang menjadi tujuan akhir orang-orang sufi, yang dalam tingkatan permulaannya mungkin telah dicapai pada maqam syukur tadi. Dalam penjelasannya mengenai fadhilat ikhlas ini, Al-Palimbani mengutip sebuah Hadits Nabi SAW yang menerangkan bahwa apabila seorang hamba Allah beramal dengan ikhlas karena Allah selama empat puluh hari, pasti mengalir mata air hikmah dari dalam hatinya melalui lisannya. g. Tawakkal Al-Palimbani membagi tawakal dalam tiga tingkatan : - Pertama, menyerah diri kepada Allah seperti seorang yang menyerahkan kekuasaan kepada wakilnya dalam suatu perkara. - Kedua, menyerah diri kepada-Nya seperti anak kecil menyerahkan segala persoalan kepada ibunya; - Ketiga, menyerah diri kepada Allah seperti mayat di tangan orang yang memandikannya. Pada tingkat yang pertama orang yang bertawakkal itu masih berusaha dalam batas-batas tertentu untuk mencapai tujuan yang diingininya, seperti halnya orang yang berwakil masih harus melakukan usaha tertentu, menurut permintaan atau perintah dari wakilnya, untuk memenangkan perkaranya. Pada tingkat yang kedua orang yang bertawakal itu tidak lagi melakukan usaha selain meminta apa yang diingininya kepada Allah, seperti anak kecil meminta dan mengadu kepada ibunya. Tetapi orang yang sudah mencapai tingkat tawakal yang ketiga tidak lagi berusaha dalam bentuk apapun juga, bahkan tidak meminta sesuatu kepada Tuhan, karena ia telah berpegang kepada kurnia Allah dan percaya ia akan Allah Taala bahwa Ia memberi akan sekalian hajatnya itu Dalam hal ini Al-Palimbani tidak memaksudkan bahwa orang yang bertawakal sama dengan seorang fatalis yang menyerah diri kepada nasib saja, tanpa berusaha. Menurut dia, dugaan bahwa orang yang bertawakal itu tidak berusaha sama sekali, baik secara fisik

12

maupun pemikiran adalah dugaan orang jahil yang tersesat atau kepercayaan Jabariah yang tidak sesuai dengan ajaran syariat Islam; orang yang bertawakal juga berusaha mencapai apa yang diperlukannya menurut batas-batas yang wajar, seperti menjangkau makanan yang terletak di hadapannya, bahkan seperti bercocok tanam, berniaga, memelihara diri dan hartanya secara wajar, seperti membawa perbekalan dalam perjalanan, menghindari binatang buas, memakai senjata dalam perang, menutup pintu rumah, mengembala hewan ternak dan sebagainya. Hanya dalam kesemuanya itu, ia tidak merasa mempunyai tempat pergantungan selain kepada Allah, sehingga dalam menghadapi semua tantangan, kesukaran, kerugian dan sebagainya ia tidak merasa sedih dan susah, di samping berusaha mengatasinya menurut cara yang wajar dalam batas kemampuan yang ada padanya. Di samping itu, semua usaha yang dilakukannya tidak sampai ke batas yang menyebabkan ia terganggu mengingat Allah. Al-Palimbani menganggap tawakal itu suatu maqam yang terdiri dari ilmu, hal dan amal. Ilmu yang dipandang sebagai sumber dari tawakal itu ialah inti tauhid tingkat ketiga, yakni tauhid orang muqarrabin yang memandang bahwa segala sesuatu dalam alam ini terbit dari Yang Maha Satu. Inti tauhid tersebut, bukan suatu konsep ketuhanan yang dicapai dan mungkin dijelaskan dengan daya bahasa akal, karena pandangan tersebut dikatakan hanya dicapai dengan pancaran Nur Al-Haq dalam hati orang-orang tertentu. h. Mahabbah Cinta kepada Tuhan dalam pandangan Al-Palimbani seperti halnya Al-Ghazali adalah maqam yang terakhir dan derajat yang paling tinggi; segala maqam yang sesudahnya adalah buah dari segala maqam yang sebelumnya adalah hanya pendahuluan untuk mencapainya. Di samping itu ia juga menambahkan bahwa tiada derajat yang di atas mahabbah itu melainkan martabat makrifah Allah Taala; dan dengan derajat mahabbah Allah Taala itu sampai kepada makrifah Allah; dan itulah kesudahan martabat orang yang salik. Rasa cinta kepada Allah sudah bergerak dalam hati seorang salik ketika ia mulai mengenal dirinya dan itulah daya penggerak

13

yang mendorong seseorang bertaubat dari segala dosanya. Dalam perjalanan seorang salik melalui apa yang disebut maqamat itu satu persatu, perasaan cinta itu mungkin terlindung di balik perasaanperasaan lain seperti takut, harap dan sebagainya. Tetapi pada tahap tertentu perasaan itu menguasai seluruh kesadaran batinnya, sehingga ia dikatakan berada pada maqam cinta. Makrifah yang hakiki lahir dari rasa cinta (mahabbah); tetapi cinta yang hakiki kepada Allah itu hanya lahir dari makrifah. Dengan demikian, mahabbah dan makrifah itu adalah dua hal yang masingmasing merupakan sebab tetapi juga adalah akibat dari yang lain. Selanjutnya ia menjelaskan bahwa orang yang benar-benar mencintai Allah itu memiliki tanda-tanda sebagai berikut : - Kasih ia akan mati; - Melebihkan barang yang dikasihi oleh Allah Taala itu atas sekalian yang dikasihi dan menjauhi ia akan mengikuti hawa nafsunya; - Senantiasa ia melazimkan zikir Allah; - Jinak dengan bersunyi sendiri, munajat akan Allah, berzikir, membaca Al-Quran dan mengekali ia atas sembahyang tahajjud di malam yang sunyi; - Tidak menyesal kehilangan sesuatu yang lain daripada Allah Taala - Sedap dengan berbuat taat akan Allah Taala - Kasih sayang akan hamba (Allah) yang muslimin dan benci akan orang kafir-yaitu seteru Allah; - Adalah ia kasih akan Allah Taala itu serta takut akan Dia; - Menyembunyikan ia akan kasihnya akan Allah Taala itu dari pada orang yang bukan ahlinya; - Senantiasa jinak hatinya itu kepada Allah Taala dan ridha ia akan Allah Taala di dalam sekalian yang diperbuat Allah Taala akan Dia. (Al-Palimbani, Jilid IV : 124 130). Al-Palimbani memandang cinta yang merupakan maqam tertinggi itu suatu cinta sadar yang melahirkan dirinya melalui saluran syariat, bukan sejenis cinta yang melahirkan ucapan-ucapan syathahat yang sering berlawanan dengan pokok-pokok ajaran syariat. Orang yang berada pada maqam mahabbah ini menurut keterangan di atas,

14

selalu berzikir, munajat, mengerjakan sembahyang tahajjud, membaca Al-Quran, dengan rasa cinta kepada Tuhan yang mengalahkan hawa nafsunya, sehingga ia merasa lezat mentaati semua ajaran syariat, kasih kepada semua yang dikasihi Allah dan benci kepada semua yang dibenci-Nya. i. Ridha Al-Palimbani menganggap ridha sebagai maqam tertinggi yang merupakan buah dari mahabbah. Menurutnya, arti ridha itu tidak menyangkali akan segala perbuatan yang diperlakukan Allah atasnya dan atas orang yang lain daripadanya; karena sekalian perbuatan yang wuqu (terjadi) di dalam dunia ini perbuatan-Nya dan wajib ia ridha akan perbuatannya. Dalam hubungan ini, antara lain ia mengutip sebuah cerita bahwa Rabiah Al-Adawiyyah pernah ditanya : Bilakah seorang hamba Allah ridha kepada-Nya ? Jawabnya : apabila kegembirannya menerima musibah sama dengan kegembirannya menerima nikmat. Dengan demikian, maqam ridha itu mencerminkan puncak ketenangan jiwa seorang sufi yang tidak lagi digoncangkan oleh apapun juga, karena bagi dia segala yang terjadi di alam ini adalah perbuatan Allah, lahir dari qudrat dan iradat-Nya yang mutlak, yang harus diterima dengan gembira. Maqam ridha ini lebih tinggi dari maqam sabar, karena pengertian sabar itu masih terkandung di dalamnya pengakuan adanya sesuatu yang menimbulkan penderitaan, sedangkan orang yang sudah berada di maqam ridha ini tidak membedakan lagi antara apa yang disebut musibah dan yang disebut nikmat, semuanya diterima dengan gembira, karena semuanya adalah perbuatan Tuhan. Al-Palimbani juga memperingatkan pembacanya bahwa ridha kepada Tuhan itu tidak berarti bahwa seseorang harus ridha pula menerima kemaksiatan dan kekafiran. Menurutnya, hal itu harus dipandang dari dua segi; segi pertama kufur dan maksiat itu jadi daripada qadha Allah Taala dan daripada qudrat-Nya yang harus kita ridhai, tetapi dari segi lain, kufur dan maksiat itu sifat bagi hamba-Nya yang tiada disuruh oleh Allah Taala dan karena itu tidak boleh pula kita terima dengan ridha.

15

Dari uraian di atas, dapat ditarik kesimpulan bahwa yang dimaksudkan dengan ridha terhadap semua yang diridhai Allah, sebagai buah dari cinta yang hakiki kepada-Nya. Dengan kata lain, pada maqam tertinggi ini segala kehendak dan keinginan yang mencerminkan tuntutan hawa nafsu manusia telah terhapus dalam kehendak Tuhan yang sudah merupakan sentral wujud-Nya. Menurut Al-Palimbani, ridha yang lahir dari cinta kepada Allah itu adalah pintu yang amat besar yang merupakan jalan masuk kepada makrifah Allah Taala, dan merupakan maqam yang terlebih tinggi, maqam orang yang muqarrabin, yakni orang yang sangat dekat kepada Allah Taala. j. Makrifah Al-Palimbani menganggap makrifah sebagai tujuan akhir yang ingin dicapainya di dunia ini, karena hal itu menurut dia adalah surga, barang siapa yang masuk ia akan dia niscaya tiada ingat ia akan surga yang di akhirat nanti. Semua maqamat yang tersebut itu, dari taubat sampai kepada ridha dianggapnya sebagai jalan yang menyampaikan kepada makrifah Allah Taala. Intisari makrifah hanya dapat dicapai setelah seorang salik melewati maqam mahabbah dan maqam ridha, karena dua maqam ini dianggapnya sebagai jalan menuju makrifah. Mengenai tujuan tingkatan nafs, ia menerangkan bahwa orang yang sudah mencapai tingkat nafs ar-radliyah tingkat nafs yang kelima ridha dengan segala yang terjadi, karam dalam memandang keindahan Allah yang mutlak dan Syuhud (memandang di dalam hati) akan zat (esensi) Allah. Dari penjelasan ini dapat ditarik kesimpulan yang sama dengan di atas; bahwa makrifah yang menjadi tujuan akhir seorang sufi itu hanya dicapai setelah melewati maqam yang tertinggi. k. Fana dan Baqa Menurut Al-Palimbani, pandangan batin bahwa yang ada hanya Allah itu dikatakan fana dalam tauhid, karena orang yang sudah mencapai pandangan itu karam ia dengan syuhud akan Tuhan Yang Maha Esa Yang Sebenarnya. Dalam tasawuf, istilah fana digunakan dalam arti gugurnya sifat-sifat tercela dan istilah Baqa dalam arti

16

berdirinya sifat-sifat terpuji orang yang sudah fana (terhapus dari dirinya sifat-sifat tercela, lahir padanya sifat-sifat terpuji. Dalam kata lain, fana dan baqa itu adalah dua istilah yang mengungkapkan keadaan atau pengalaman seorang sufi dari dua aspek yang berbeda. Dengan demikian, istilah fana dan baqa yang bertalian dengan makrifah meliputi tiga tingkatan. Pertama, fananya segala perbuatan makhluk dalam perbuatan Tuhan; kedua, fananya sifat-sifat makhluk dalam perbuatan Tuhan; dan ketiga, fananya wujud makhluk dalam wujud Tuhan. Al-Palimbani dalam hal ini memberikan suatu penjelasan, menurutnya orang yang sudah mencapai tingkat nafs almuthmainnah, fana segala sifatnya dan syuhud ia akan sifat Allah Taala; dan orang yang sudah sampai ke tingkat nafs-ar-radiyah fana dirinya (dan) segala sifat basyariah (nya) di dalam syuhud akan Ahadiyah Allah Taala. Bagi orang yang telah berada pada tingkat nafs al-mulhamah ia memandang segala yang terjadi di alam semesta ini perbuatan Allah, sehingga dalam pandangannya telah fana semua perbuatan yang lain. Dengan demikian, fana dan baqa itu tercapai dalam waktu yang sama, karena hal itu adalah dua aspek dari keadaan atau pengalaman yang sama. Orang yang telah fana dari perbuatan makhluk baqa dengan perbuatan Tuhan; dan yang telah fana dari wujud dan yang lain baqa dengan Tuhan. Makrifah dalam arti memandang esensi Tuhan yang mutlak secara langsung, nampaknya hanya tercapai dalam keadaan fana tingkat yang terakhir ini, ketika wujud diri orang arif telah terhapus di dalam syuhud akan ahadiyah Allah Taala yang menurut Al-Palimbani itulah puncak makrifah tertinggi, yang dicapai oleh Rasulullah SAW. Pada puncak perjalanan mikraj-nya. Selain itu, dua istilah di atas juga digunakan dalam arti dua keadaan yang dialami oleh seorang salik dalam waktu yang beriringan. Baqa merupakan keadaan yang mengiringi fana; orang yang dalam keadaan fana segala perbuatan-nya diatur dan dikuasai oleh Allah, karena ia dalam keadaan tidak mampu membedakan antara sesuatu barang dengan yang lain; tetapi orang yang dalam keadaan baqa sesudah fana segala perbuatannya sesuai dengan garis

17

keridhaan Allah, karena segala perbuatannya tidak lagi untuk kepentingan dirinya sendiri. PENUTUP Menurut Al Palimbani, untuk suluk dan dapat mencapai insan kamil manusia harus mampu menaklukkan hawa nafsunya, sehingga jiwanya terbebas dan dapat berada sedekat mungkin di sisi Allah. Untuk dapat berada di sisi Tuhan, manusia harus dapat menaklukkan tujuh hawa nafsu yang ada di dalam dirinya, yaitu nafs al-ammarah, nafs allawwamah, nafs al-mulhamah, nafs al-muthmainnah, nafs al-radliyah, nafs al-mardliyah dan nafs al kamilah. Di samping upaya menaklukkan hawa nafsu dalam rangka mencapai makrifat tertinggi itu, salik harus membersihkan jiwanya dari noda-noda. Untuk itu, ia harus menempuh maqamat, sebagai stasiunstasiun ruhani, yang menandai perjalanan salik menuju Tuhannya. Dalam hal ini, pada prinsipnya, pandangan Al Palimbani dekat dengan Al Ghazali dalam Al arbain fi Ushul al Din, ada sepuluh maqam yang harus ditempuh oleh salik agar sampai kepada Allah, yaitu : taubat, takut dan cemas (al khauf wal raja), zuhud, sabar, syukur, ikhlas, tawakkal, cinta, ridha dan mengingat mati. Sifat-sifat itu disebut sebagai sifat-sifat terpuji (al akhlak al mahmudah), dalam pengertian ketaatan kepada Allah. Setelah menempuh sepuluh maqam itu, barulah salik sampai pada makrifat yang sebenarnya, sehingga ia fana dalam makrifat tersebut.

18

DAFTAR PUSTAKA Abdus Shamad al-Falimbani, Sayr al-Salikin, (Beirut, Dar al-Fikri) Juz 1-4 Abudin Nata, Metodologi Studi Islam, cet. Ke-5, (Jakarta : Raja Grafindo Persada, 2000). Abu Hamid Muhammad bin Muhammad al-Ghazali, Ihya Ulum alDin, (Beirut : Dar al-Fikr, tt). Aceh, Abu Bakar, Pengantar Ilmu Tarekat (Solo : Ramadhani, 1994) Cet. Ke-10 ----------------------- , Pengantar Sejarah Sufi dan Tasawuf, (Solo : Ramadhani, 1994) cet. Ke-8 Al-Hujwiri, Kasyful Mahjub, Risalah Persia Tertua Tentang Tasawuf, (Bandung : Mizan, 1992). An-Najar, Amin, Ilmu Jiwa dalam Tasawauf, (Jakarta : Pustaka Azzam, 2001) A.R. Nicolson, Mistik dalam Islam (The Mysitc of Islam), terj. Tim Penerjemah Bumi Aksara, (Jakarta ; 1998). Azra, Azyumardi, Jaringan Ulama Timur Tengah dan Kepulauan Nusantara Abad XVII dan XVIII, (Bandung : Mizan, 1998).

19

Bruinnessen, Martin Van, Kitab Kuning, Pesantren dan Tradisi (Bandung : Mizan, 1999)Cet. Ke-3 Chatib Quzwain, Tasawuf Abd Samad Al-Palimbani, (Disertasi) Nasution, Harun, Falsafat dan Mistisisme dalam Islam, (Jakarta : Bulan Bintang, 1973. --------------------- , Teologi Islam, (Jakarta : UI Press, 1986). ORiordan, Linda, Seni Penyembuhan Sufi, Jalan Meraih Kesehatan Fisik, Mental dan Spritual Secara Holistik, (Jakarta : Serambi Ilmu Semesta, 2002). Siddiq, Moch, Mengenal Ajaran Tarekat dalam Aliran Tasawuf (Surabaya : Putra Pelajar, 2001) Cet. Ke-1. Syukur, Amin, Zuhud Di Abad Modern, (Yogyakarta : Pustaka Pelajar, 1997) Cet. Ke-1 Valiuddin, Mir, Zikir dan Kontemplasi dalam Tasawuf, (Bandung : Pustaka Hidayah, 1996).

20

Curriculum Vitae Nama Tempat/Tanggal Lahir Alamat STIEI Telp Pendidikan Terakhir Tempat Tugas Kalimantan : Hasni Noor : Banjarmasin, 30 Maret 1972 : Jl. Hidayatullah RT. 47 No. 55 Komp. Kayu Tangi Banjarmasin 70123 : 0812-5056120 : S2 IAIN Antasari Banjarmasin Tahun 2004 : Dosen Dpk pada Universitas Islam Syekh Muhammad Arsyad Al-Banjari.

21

22