teori komunikas1-behavioral kognitif
TRANSCRIPT
TEORI KOMUNIKASI
KOGNITIF DAN BEHAVIORAL
Disusun oleh:
Intan Chairunnisha
Nurul Asri Mulyani
Dhita Ramdhanyati Nur Intani
Nida Choirun Nufus
Cindy Simbolon
Jessica Annette Lalamentik
(201110110231)
(210110110234)
(210110110238)
(210110110281)
(210110110282)
(210110110314)
Teori Disonansi Kognitif Festinger
Teori ini dikemukakan oleh Leon Festinger pada tahun 1957 dan berkembang pesat sebagai
sebuah pendekatan dalam memahami area umum dalam komunikasi dan pengaruh sosial.
Teori Disonansi kognitif dari Leon Festinger merupakan teori yang paling umum dari semua
teori konsistensi. Teori ini telah mengahasilkan data empiris terbesar dan juga
membangkitkan kontroversi cukup besar dibidang psikologi sosial. Teori disonan
beranggapan bahwa dua elemen pengetahuan merupakan hubungan yang disonan (tidak
harmonis) apabila dengan mempertimbangkan dua elemen itu sendiri, pengamatan satu
elemen akan mengikuti elemen satunya (Festinger 1957, hlm 13). Sebagaimana teori
disonansi lainnya, teori ini berpendapat bahwa disonansi, karena secara psikologis tidak
nyaman, maka akan memotivasi seseorang untuk berusaha mengurangi disonansi dan
mencapai harmoni/keselarasan dan selain itu upaya itu orang juga akan secara aktif menolak
situasi-situasi dan informasi yang sekiranya akan meingkatkan disonansi.
Beberapa konsekuensi yang lumayan menarik muncul dari teori disonansi khususnya
dibidang-bidang pengambilan keputusan dan permainan peran.
- Pengambilan Keputusan.
Dalam pengambilan keputusan, disonansi diprediksikan akan muncul karena
alternatif pilihan yang dotolak berisi fitur-fitur yang akan mengakibatkan ia diterima
dan alternatif pilihan yang dipilih berisi fitur-fitur yang akan mengakibatkan ia
ditolak. Dengan kata lain, semakin sulit sebuah keputusan dibuat, maka semakin besar
disonansi setelah keputusan diambil. Selain itu, semakinpenting sebuah keutusan
maka semakin besar pula disonansi pasca keputusan.
- Kepatuhan terpaksa
Sebuah area menarik, meskipun tidak secara langsung berkaitan dengan media
massa adalah perubahan sikap akibat kepatuhan terpaksa. Teori disonansi
merumuskan bahwa ketika seseorang ditempatkan pada sebuha situasi dimana ia harus
berperilaku di depan umum yang bertentangan dengan sikapnya pribadi, maka dia
mengalami disonansi dari pengetahuan tentang fakta tersebut. Situasi semacam itu
sering terjadi sebagai akibat dari janji pemberian penghargaan atau ancaman
hukuman, tetapi kadang hanya akibat tekanan kelompok untuk menyesuikan tehadap
sebuah norma yang tidak terlalu disetujuinya. Contohnya adalah permainan peran.
Asumsi-Asumsi Teoritis
Asumsi dari teori disonansi kognitif memiliki sejumlah anggapan atau asumsi dasar
diantaranya adalah:
- Manusia memiliki hasrat akan adanya konsistensi pada keyakinan, sikap, dan
perilakunya. Teori ini menekankan sebuah model mengenai sifat dasar dari manusia
yang mementigkan adanya stabilitas dan konsistensi.
- Disonansi diciptakan oleh inkonsistensi biologis. Teori ini merujuk pada fakta-fakta
harus tidak konsisten secara psikologis satu dengan lainnya untuk menimbulkan
disonansi kognitif.
- Disonansi adalah perasaan tidak suka yang mendorong orang untuk melakukan suatu
tindakan dengan dampak-dampak yang tidak dapat diukur. Teori ini menekankan
seseorang yang berada dalam disonansi memberikan keadaan yang tidak nyaman,
sehingga ia akan melakukan tindakan untuk keluar dari ketidaknyamanan tersebut.
- Disonansi akan mendorong usaha untuk memperoleh konsonansi dan usaha untuk
mengurangi disonansi. Teori ini beranggapan bahwa rangsangan disonansi yang
diberikan akan memotivasi seseorang untuk keluar dari inkonsistensi tersebut dan
mengembalikannya pada konsistensi.
Aplikasi di dunia komunikasi
Dalam dunia komunikasi, teori ini sering terjadi ketika kita sedang berkomunikasi dengan
mahkluk sosial lainnya. Komunikasi dapat saja berjalan lancar namun disonansi (tidak
harmonis/ketidaknyamanan) dapat pula terjadi tanpa kita ketahui karena adanya permainan
peran.
Konstruktivisme
Teori Konstruktivisme mengatakan bahwa individu menafsir dan bertindak menurut kategori
konseptual yang ada dalam pikiran. Realitas tidak menghadirkan dirinya dalam bentuk kasar,
tetapi harus disaring melalui cara seseorang melihat sesuatu. Teori ini dikembangkan oleh
Jesse Della dan koleganya yang sebagian besar didasarkan pada teori George Kelly tentang
gagasan pribadi yang menyatakan bahwa manusia memahami pengalaman dengan
berkelompok serta membedakan kejadian menurut kesamaan dan perbedaanya. Perbedaan
yang dirasakan tidk terjadi secara alami, tetapi ditentukan oleh hal-hal yang bertentangan
seperti tinggi/pendek, hitam/putih yang digunakan untuk memahami kejadian dan banyak hal
disebut gagasan pribadi.
Sistem kognitif seseorang terdiri dari banyak perbedaan. Dengan memisahkan pengalaman
kedalam kategori-kategori, individu memberinya pemaknaan. Gagasan disusun kedalam
skema interpretif yang mengidentifikasi sesuatu dan menempatkan sebuah objek dalam
sebuah kategori. Dengan skema interpretif kita memahami sebuah kejadian dengan
menempatkannya dalam sebuah kategori yang lebih besar. Skema interpretif ini berkembang
seiring perkembangan kita. Anak-anak yang masih sanga muda memiliki sistem gagasan
yang sederhana sedngkan sebgaian orang dewasa memilki gagasan yang jauh lebih kompleks.
Teori Kultivasi
Teori Kultivasi (Cultivation Theory) merupakan salah satu teori yang mencoba menjelaskan
keterkaitan antara media komunikasi (dalam hal ini televisi) dengan tindak kekerasan. Teori
ini dikemukakan oleh George Gerbner, mantan Dekan dari Fakultas (Sekolah Tinggi)
Komunikasi Annenberg Universitas Pennsylvania,yang juga pendiri Cultural Environment
Movement, berdasarkan penelitiannya terhadap perilaku penonton televisi yang dikaitkan
dengan materi berbagai program televisi yang ada di Amerika Serikat.
Teori Kultivasi pada dasarnya menyatakan bahwa para pecandu (penonton berat/heavy
viewers) televisi membangun keyakinan yang berlebihan bahwa “dunia itu sangat
menakutkan” . Hal tersebut disebabkan keyakinan mereka bahwa “apa yang mereka lihat di
televisi” yang cenderung banyak menyajikan acara kekerasan adalah “apa yang mereka
yakini terjadi juga dalam kehidupan sehari-hari”.
Gerbner menyatakan bahwa televisi merupakan suatu kekuatan yang secara dominan dapat
mempengaruhi masyarakat modern. Kekuatan tersebut berasal dari kemampuan televisi
melalui berbagai simbol untuk memberikan berbagai gambaran yang terlihat nyata dan
penting seperti sebuah kehidupan sehari-hari.Televisi mampu mempengaruhi penontonnya,
sehingga apa yang ditampilkan di layar kaca dipandang sebagai sebuah kehidupan yang
nyata, kehidupan sehari-hari. Realitas yang tampil di media dipandang sebagai sebuah
realitas objektif.
Lebih jauh dalam Teori Kultivasi dijelaskan bahwa bahwa pada dasarnya ada 2 (dua) tipe
penonton televisi yang mempunyai karakteristik saling bertentangan/bertolak belakang, yaitu:
a. Para pecandu/penonton fanatik (heavy viewers) adalah mereka yang menonton
televisi lebih dari 4(empat) jam setiap harinya. Kelompok penonton ini sering juga disebut
sebagai kahalayak ‘the television type”,
b. Penonton biasa (light viewers), yaitu mereka yang menonton televisi 2 jam atau
kurang dalam setiap harinya.
Sejarah dan Perkembangan Teori Kultivasi
George Gerbner memelopori lahirnya teori kultivasi. Meskipun banyak teoritikus telah ikut
serta membuktikan kebenaran dari analisis kultivasi Gerbner bertanggung jawab atas hasil
ciptaannya. Sebenarnya, Gerbner merupkan penyair asal hongaria yang bermimigrasi ke
Amerika Serikat dan memulai pendidikan jurnalisnya di berkely. Setelah bekerja di San
Fransisco Chronicle ia kembali melanjutkan pendidikan untuk mengambil gelar master dan
melanjutkan lagi ke jenjang Doctor dimana ia menulis Toward a General Theory of
Communication bersama James D. Finn ( www.Colostate.edu ). Dari tulisan inilah teori
kultivasi bermula.Penelitian pertamanya yang berjudul Cultural Indicators Project pada awal
1960an membuka jalan untuk menambah riwayat kerjanya pada pelaksanaan metode
penelitian analisis kultivasi.
Gerbner menghabiskan waktunya di The Annenberg School of Communication University of
Pensylvania. Dimana ia bertugas sebagai dekan sambil melanjutkan penelitian kultivasi sosial
pada televisi, yang menekankan pada kekerasan dan efek televisi. Pada umumnya teori
kultivasi terkenal atas penelitian mereka terhadap efek televisi yang walaupun seerhana dan
bertahap tetapi juga cukup signifikan dan berlangsung dalam jangka waktu yang panjang.
Mereka memfokuskan penelitian mereka pada topik tingkatan mulai dari peranan gender,
kelompok, usia, hingga kepada sikap berpolitik, tetapi mereka sangat tertarik kepada topik
kekerasan. Teori kultivasi menegaskan bahwa sikap heavy viewers telah diolah terutama oleh
apa yang mereka tonton di televisi. Gerbner menggambarkan dunia televisi sebagai not a
window on or reflection of the world, but a world in itself. Dunia rekayasa ini membujuk
heavy viewers untuk membuat asumsi tentang kekerasan, masyarakat, tempat, dan kejadian
khayalan lainnya yang tidak sesuai dengan kenyataan dalam kehidupan sebenarnya. Dalam
hal ini televisi bertindak sebagai agen sosialisasi yang mendidik penonton pada versi yang
berbeda dari kenyataan. Latar belakang teori kultivasi meyatakan bahwa penonton cenderung
menaruh kepercayaan terhadap televisi ketika mereka menonton televisi lebih sering. Fokus
penelitian ini terletak pada heavy viewers. Sedangkan Light Viewers mempunyai banyak
sumber – sumber lain untuk mempengaruhi pemikiran mereka terhadap realitas daripada
heavy viewers yang sumber utama informasinya hanya program televisi. Para teoritikus
mencoba untuk membuktikan pemikiran seputar peristiwa kekerasan. Penyelidikan DR.
Wade Kenny menunjukan contoh dimana seorang anak yang merupakan heavy viewers
mempercayai bahwa tak masalah baginya dipukul bila hal ini memang harus terjadi padanya.
Contoh lainnya adalah semakin bertambahnya ketakutan berjalan sendirian di malam hari dan
tidak percaya pada semua orang secara umum. Teoritikus kultivasi membedakan antara efek
“first order” (kepercayaan khalayak tentang kehidupan dunia seperti kelaziman dari
kekerasan) dan efek “second order” (sikap- sikap khusus seperti hukum dan tata tertib atau
keamanan pribadi). Banyak heavy viewers tidak menyadari pengaruh tayangan televisi
terhadap sikap – sikap dan nilai – nilai dalam hidup mereka.Teoritikus membuktikan bahwa
heavy viewing, tidak menghiraukan tingkat pendidikan atau penghasilan, mengendalikan
penonton kepada opini yang seragam, sementara light viewing mengendalikan penonton
kepada opini yang beragam.
Efek kultivasi dari tayangan televisi adalah keseragaman pendapat. Gerbner dan kawan –
kawan memperlihatkan bahwa kepercayaan heavy viewers yang menonton kekerasan di
televisi terhadap munculnya kekerasan didalam kehidupan sehari – hari lebih tinggi
dibandingkan light viewers yang mempunyai kesamaan latar belakang dengan heavy viewers.
Teoritikus mengarahkan hal ini kepada efek mainstreaming. Mean World Syndrome
merupakan salah satu efek utama dari teori kultivasi. Hal ini terjadi ketika heavy viewers
menganggap dunia sebagai suatu tempat yang keji sedangkan light viewers tidak
menganggapnya demikian. Teoritikus menghubungkan dengan kenyataan bahwa televisi
melukiskan dunia sebagai suatu tempat yang kejam dan bengis oleh karena itu heavy viewers
terlalu takut dan terlalu berhati – hati dalam aktifitasnya sehari-hari. Gerbner melaporkan
bukti dari “resonance” – suatu efek “double dose” yang dapat mendorong terjadinya
kultivasi. Hal ini terjadi ketika kehidupan sehari-hari penonton sama dengan yang
ditayangkan televisi.
Aplikasi di Dunia Komunikasi
Dalam dunia komunikasi, teori ini sering terlihat dalam komunikasi massa khususnya
televisi. Televisi sebagai media massa yang paling digemari, memberikan tontonan yang
tidak benar sehingga penonton mendapatkan dampak buruk dari hal tersebut
Teori Spiral of Silence
Spiral kesunyian merupakan teori yang memberi media massa lebih banyak kekuatan
dibandingkan teori-teori lain. Noelle Neumann menyatakan bahwa media massa memiliki
dampak yang sangat kuat pada opini public tetapi dampak ini diremehkan atau tidak
terdeteksi di masa lalu karena keterbatsan riset.
Dalam teori Noelle Neumann menerangkan bagaimana proses pembentukan opini public.
Pada isu kontroversial orang membentuk kesan mengenai distribusi pesan. Mereka
menetukan apakah mereka mayoritas dan apakah opini public sejalan dengan mereka.
Apabila mereka merasa minoritas atau opini public berubahmenjadi berbeda pendapat dengan
mereka, mereka cenderung diam mengenai isu. Semakin mereka diam, semakin orang merasa
sudut pandang tertentu dan semakin mereka diam.
Teori spiral kesunyian menyatakan bahwa individu mempunyai organ indra yang mirip
statistic yang digunakan untuk menentukan “opini dan cara perilaku mana yang disetujui oleh
lingkungan mereka, serta opini dan bentuk perilaku mana yang memperoleh atau kehilangan
kekuatan” (Noelle Neumann, 1993, hlm. 202)
Media massa memainkan peran penting dalam spiral kesunyian karena media massa
merupakan sumber yang diandalkan orang untuk menemukan distribusi opini public. Media
massa dapat berpengaruh dalam spiral kesunyian dalam tiga cara yaitu, pertama, media massa
membentuk kesan tentang opini yang dominan. Kedua, media massa membentuk kesan
tentang opini mana yang sedang meningkat. Ketiga, media massa membentuk kesan tentang
opini mana yang dapat disampaikan di muka umum tanpa merasa tersisih (Noelle Neumann,
1973, hlm. 108)
Noelle Neumann menyatakan bahwa kemauan untuk berbicara mengenai isu-isu sangat
dipengaruhi oleh persepsi iklim opini – apabila iklim opini melawan seseorang, maka orang
itu akan diam. Kekuatan yang memotivasi untuk diam ini digambarkan sebagai ketakutan
akan keterasingan. Lasorsa (1991) mempertanyakan apakah ketakutan akan iklim opini yang
bermusuhan adalah benar-benar kuat, dan dia melaksanakan sebuah survey di mana dia
menguji apakah keterbukaan politik dipengaruhi tidak hanya oleh persepsi iklim opini seperti
yang dinyatakan Noelle Neumann tetapi juga oleh variabel lain. Variabel lain meliputi usia,
pendidikan, penghasilan, minat dalam politik, tigkat persepsi atas kemampuan diri (self
efficacy), relevansi pribadi dengan isu, penggunaan media berita oleh seseorang, dan
perasaan yakin seseorang dalam kebenaran pendapatnya. Hasil analisis regresi menunjukkan
keterbukaan dipengaruhi oleh rintangan variabel demografi (usia, pendidikan, dan
penghasilan), tingkat persepsi atas kemampuan diri (self efficiacy), perhatian pada informasi
politik dalam media berita, dan perasaan yakin seesorang dalm posisinya, tetapi tidak
dipengaruhi oleh relevansi pribadi pada isu atau penggunaan media berita secara umum.
Lasorsa menyatakan bahwa hasil penelitiannya menunjukkan bahwa dihadapan opini public,
orang tidak benar-benar selemah dinyatakan teori Noelle Neumann, dan terdapat kondisi
yang memungkinkan untuk memerangi spiral kesunyian.
Noelle Neumann menyatakan bahwa media massa memainkan peran penting ketika orang
berusaha untuk menentukan opini mayoritas. Hipotesis kunci dari spiral kesunyian bahwa
media massa digunakan untuk menilai opini mayoritas
Teori Pemrosesan Informasi
Teori Pemrosesan Informasi McGuire menyebutkan bahwa perubahan sikap terdiri dari enam
tahap, yang masing-masing tahap merupakan kejadian penting yang menjadi patokan untuk
tahap selanjutnya. Tahap-tahap tersebut adalah sebagai berikut:
1. Pesan harus dikomunikasikan.
2. Penerima akan memerhatikan pesan.
3. Penerima akan memahami pesan.
4. Penerima terpengaruh dan yakin dengan argument-argumen yang disajikan.
5. Tercapai posisi adopsi baru.
6. Terjadi perilaku yang diinginkan.
McGuire mengatakan bahwa berbagai variabel independen dalam situasi komunikasi dapat
memiliki efek pada salah satu atau lebih dari satu di antara tahap di atas. Variabel seperti
kecerdasan, misalnya, mungkin mengakibatkan kecilnya pengaruh, karena semakin cerdas
seseorang akan semakin mampu mendeteksi cacat dalam sebuah argumen dan lebih suka
memegang opini yang berbeda dengan lainnya. Tetapi mungkin lebih menarik perhatian
karena semakin cerdas seseorang semakin besar ketertarikannya pada dunia luar.
McGuire (1968) juga menyebutkan bahwa ciri khasnya variabel-variabel independen akan
memengaruhi satu tahap dengan cara positif dan tahap lain dengan cara negative. Sebuah fear
appeal, misalnya, dapat meningkatkan perhatian terhadap pesan yang disampaikan, tahap 1,
tetapi menggangu daya pengaruh argument-argumen yang disajikan, tahap 4.
Pada sebuah artikel berikutnya, McGuire (1976) mempresentasikan delapan tahap teori
pemrosesan-informasi:
1. Paparan
2. Persepsi
3. Pemahaman
4. Kesepakatan
5. Penyimpanan/memori
6. Pemunculan kembali
7. Pengambilan keputusan
8. Tindakan
Jelas sekali bahwa daftar tahap-tahap ini disusun berdasarkan enam tahap sebelumnya, tetapi
dengan beberapa tahap sebelumnya yang diolah kembali dan ditambahkan beberapa tahap
baru.
Masih dalam artkel selanjutnya, McGuire (1989) mempresentasikan 12 tahap dalam
output atau variabel dependen yang mendukung proses persuasi:
1. Paparan pada komunikasi
2. Perhatian terhadapnya
3. Rasa suka atau tertarik padanya
4. Memahaminya (mempelajari sesuatu)
5. Pemerolehan ketrampilan (belajar cara)
6. Terpengaruh/menurutinya (perubahan sikap)
7. Penyimpanan isi dalam memori dan/atau kesepakatan
8. Pencarian dan pemunculan kembali informasi
9. Pengambilan keputusan berdasarkan pemunculan kembali informasi
10. Berperilaku sesuai dengan keputusan
11. Penguatan terhadap tindakan-tindakan yang diinginkan
12. Konsolidasi pascaperilaku.
Seperti sebelumnya telah dipresentasikan, teori McGuire cenderung berkaitan secara sangat
ekslusif dengan variabel-variabel dependen dalam proses persuasi, memilah mereka ke dalam
kategori yang semakin banyak sampai 12. Pada karya lain, seperti artikelnya tahun 1989,
McGuire juga membahas peranan variabel-variabel independen/ bebas.
Seperti sebelumnya telah dipresentasikan, teori McGuire memberi kita sebuah pandangan
yang bagus tentang proses perubahan sikap, mengingatkan kita bahwa ia melibatkan sejumlah
komponen. Beberapa teori sebelumnya telah menyebutkan semua komponen ini, dan
siantaranya, jika ada, penelitian-penelitian perubahan sikap yang meneliti dampak variabel-
variabel independen pada semua tahap ini. Kenyataannya, seperti yang disebutkan McGuire,
sebagian besar atau literature perubahan sikap yang ekstensif mungkin berfokus pada tahap
menuruti atau sepakat terhadap pesan.
Akhirnya, teori McGuire mengingtakan kita pada kesulitan perubahan sikap. Teori itu
menyebutkan bahwa banyak variabel independen cenderung membatalkan keseluruhan
dampak mereka sendiri dengan memberikan dampak positif pada sebuah tahap dalam proses
perubahan sikap. Selain itu, kita harus menghadapi fakta bahwa usaha-usaha perubahan sikap
yang sukses perlu menyesuaikan efek-efek yang diinginkan oleh variasi tahapan itu.
Teori Penyusunan Tindakan
Dikembangkan oleh John Greene, teori penyusunan tindakan menguji cara kita mengatur
pengetahuan dalam pikiran dan menggunakannya untuk membentuk pesan. Teori ini
menjelaskan apa yang benar-benar terjadi pada manusia untuk menghasilkan tindakan
komunikatif. Menurut teori ini, anda membentuk pesan dengan menggunakan kandungan
pengetahuan dan pengetahuan prosedural. Anda tahu tentang hal-hal dan anda tahu
bagaimana melakukan hal tersebut. dalam teori penyusunan tindakan, pengetahuan
prosedural menjadi intinya.
Untuk mengetahui gagasan seperti apa pengetahuan prosedural, bayangkan jika memori anda
penuh dengan koneksi antar elemen. Tiap elemen dari memori adalah urat syaraf, dan urat
syaraf saling terhubung dengan yang lainnya, lebih seperti jejaring yang terhubung dengan
internet. Secara spedigik, pengetahuan prosedural terdiri dari urat syaraf yang berhubungan
dengan perilaku, akibat, dan situasi. Contohnya, anda tersenyum dan menjabat tangan orang
lain dan berkata; “hai apa kabar?” kemudian orang tersebut akan tersenyum balik dan
berkata, “baik, bagaiamana dengan kabarmu?” anda menyimpan ini didalam memori anda
sebagai sekumpulan syaraf yang terhubung di mana hubungan yang dibuat di antara situasi
menyalami seseorang, tersenyum, dan menggunakan kata-kata tertentu, dengan menghasilkan
mendapatkan salam baik.
Hubungan yang paling sering aktif dan terkini lebih kuat, sehingga syaraf tertentu cenderung
berkelompok dalam modul yang disebut Greene dengan rekam prosedural (procedural
records). Contoh rekam prosedural adalah senyum sapaan. Rekam prosedural adalah
sekumpulan hubungan diantara syaraf dalam sebuah jaringan tindakan yang sebagiannya
adalah hubungan otomatis. Sebenarnya mengandung informasi atau makna.
Kapanpun anda bertindak, anda harus “menyusun” prosedur yang tepat atau perilaku.
Menurut teori ini kapanpun anda bertindak, anda harus menyusun hubungan perilaku dari
prosedur catatan yang tepat.
Kumpulan unit (unitized assemblies), tutinitas yang membutuhkan sedikit usaha karena anda
tidak perlu memikirkan apa yang harus anda lakukan karena seluruh keadaan sudah ada
tersedia dalam memori anda. Representasi keluaran (output representasi) adalah “”rencana”
pikiran anda yang menyimpan apa yang akan anda lakukan terhadap situasi yang anda
hadapi.
Tindakan kemudian disatukan menjadi jaringan pengetahuan. Setiap pengetahuan dalam
rutinitasnya sebuah representasi dari sesuatu yang harus dilakukan.
Ketika seseorang membutuhkan waktu untuk mengatakan sesuatu, jeda dan menganggap,
atau biasanya membingungkan, mereka mungkin kesulitan dalam menyatukan prosedur
pengetahuan dan merancang sebuah tindakan membuktikan bahwa tugas kompleks lebih
menyita waktu daripada tugas yang sederhana.
Teori penyusunan tindakan disebut juga dengan teori mikrokognitif karena berhubungan
dengan pengoperasian kognitif yang sangat spesifik.
Teori Kesopanan oleh Brown dan Stephen Levinson
Teori kesopanan merupakan teori yang dikembangkan dari hasil kerja Goffman pada 1967
seorang keturunan Yahudi yang membahas komunikasi dalam kajian sosiologi. Ia
menganalisis interaksi sosial, ritus, kesopanan, pembicaraan dan semua hal yang menjalin
hubungan sehari-hari. Konsep kesopanan ini juga sempat lebih dulu dikemukakan oleh
Lakoff pada tahun 1972 namun beliau menuangkan konsep ini dalam bentuk prinsip.
Dalam perkembangannya Brown dan Stphen Levinson pada tahun 1978 mengemukakan teori
kesopanan yang menyatakan bahwa dalam kehidupan sehari-hari kita merancang pesan-pesan
yang melindungi muka orang lain dan mencapai tujua yang lain juga. Brown dan Levinson
yakin bahwa kesopanan sering kali juga sebuah tujuan karena hal ini merupakan sebuah nilai
universal budaya. Kebudayaan-kebudayaan yang berbeda memiliki tingkat kesopanan yang
berbeda dan cara-cara untuk sopan yang berbeda, tetapi semua manusia memiliki kebutuhan
untuk dihargai dan dilindungi, yang disebut para peneliti ini dengan kebutuhan wajah.
Wajah positif adalah keinginan untuk dihargai dan diakui, untuk disukai dan dihormati.
Kesopanan positif dirancang untuk memenuhi keinginan-keinginan ini. Misalnya
menunjukkan perhatian, memberi pujian, dan memberikan penyampaian yang terhormat .
Wajah negatif adalah keinginan untuk bebas dari gangguan dan kekacauan, sedangkan
kesopanan negatif dirancang untuk melindungi orang lain ketika kebutuhan wajah negatif
terancam.
Kesopanan sangat penting ketika kita harus mengancam wajah orang lain, yang sering terjadi
dalam hubungan kita dengan orang lain. Kita melakukan (face threats acts- FTA) ketika
bersikap dalam cara yang berpotensi gagal dalam memenuhi kebutuhan wajah positif atau
negatif. FTA mengambil lima bentuk. Pertama menyampaikan FTA dengan terus terang atau
secara langsung, tanpa tindakan sopan. Kedua, menyampaikan FTA bersamaan dengan
beberapa bentuk kesopanan positif. Ketiga, menyampaikan FTA bersamaan dengan beberapa
bentuk kesopanan negatif. Keempat menyampaikan FTA secara tidak diumumkan. Kelima,
sama sekali tidak menyampaikan FTA.
Misalkan saya hendak meminjam mobil kepada orang tua untuk pergi berjalan-jalan dengan
teman. FTA bentuk pertama adalah menyampaikan secara langsung, pernyataan yang saya
sampaikan , “Bu saya ingin menggunakan mobil sekarang untuk jalan-jalan dengan teman”.
Mungkin bentuk pendekatan seperti ini terlihat sangat tidak sopan dan jarang menjadi pilihan.
Pendekatan yang tidak terlalu mengancam adalah dengan pendekatan yang kedua, misalnya
“Bu akan lebih menghemat waktu bila saya pergi menggunakan mobil malam ini bersama
teman. Saya tahu Ibu yang paling mengerti kondisi jalanan malam minggu seperti ini.”
Pendekatan lain yang jauh tidak mengancam adalah FTA yang ketiga, “Maaf Bu apakah
malam ini mobil kita tidak akan dipakai? Saya akan sangat bersyukur kalau saya boleh
memakainya.” Pendekatan yang cukup menarik dan kompleks adalah FTA “yang tidak
diumumkan”. Sebagai contoh misalkan seorang istri het ndak meminta tolong suaminya
untuk mengantarkannya ke acara arisan, “ Saya bingung harus pergi bagaimana ke arisan di
hujan lebat seperti ini?” Sang istri tentu saja berharap bahwa suaminya akan langsung
berkata, “Oh tenang saja saya akan mengantarmu.”
Menurut Brown dan Levinston, strategi –strategi mana yang akan kita gunakan bergantung
pada sebuah rumus sederhana: Wx = D(S,H) + P(H,S) +Rx. Rumus ini berarti bahwa jumlah
usaha (W) yang dilakukan seseorang bergantung pada jarak sosial (D) di antara pembicara
(S) dan pendengar (H), ditambahkan dengan kekuasaan (P) pendengar atas pembicara,
ditambahkan risiko (R) menyakiti orang lain. Tentu saja beragam tinngkatan kesopanan
anatara perbedaan ini. Salah satu variabel dapat menghalangi variabel lainnya. Contohm
mungkin ada sedikit jarak sosial, tetapi ada sedikit perbedaan kekuasaan. Mungkin jarak dan
kekuasaan tidak terlalu berpengaruh karena FTA sangat kecil.
Teori Keseimbangan Heider
Fritz Heider psikolog Austria tokoh teori konsistensi kognitif yang lahir pada 18 Februari
1896. Pada tahun 1958 ia menerbitkan The Psychology of Interpersonal Relations
mengemukakan teori keseimbangan yang juga menandai titik awal dari teori atribusi
Teori keseimbangan berkenaan dengan cara seseorang menata sikap terhadap orang atau
benda dalam hubungannya satu sama lain di dalam struktur kognitifnya sendiri. Heider
mengemukakan bahwa keadaan yang tidak seimbang menimbulkan ketegangan dan
membangkitkan tekanan-tekanan untuk memulihkan keseimbangan. Dia mengatakan bahwa
“konsep keadaan seimbang menunjukkan sebuah situasi yang di dalam unit-unit yang ada dan
sentiment-sentimen yang dialami “hidup” berdampingan tanpa tekanan”.
Paradigma Heider berfokus pada dua individu, seseorang (P), objek analisis dan beberapa
orang lain (O), dan objek fisik, gagasan, atau peristiwa (X). Fokus Heider adalah pada
bagaimana hubungan di antara ketiga entitas ini diorganisasikan dalam benak seseorang (P).
Heider membedakan dua jenis hubungan di antara ketiga entitas ini, hubungan kesukaan (l)
dan hubungan unit (U) (penyebab, kepemilikan, kesamaan, dan sebagainnya). Dalam
pandangan Heider , “keadaan seimbang hadir apabila hubungan ketiganya positif dalam
segala hal atau apabila dua negatif dan satu positif”. Semua kombinasi lain adalah tidak
seimbang.
Dalam konsep Heider, tingkat kesukaan tidak bisa direpresentasikan, sebuah hubungan bisa
positif atau negatif. Diasumsikan bahwa sebuah keadaan seimbang adalah stabil dan menolak
pengaruh-pengaruh dari luar. Keadaan tidak seimbang diasumsikan tidak stabil dan
menciptakan ketegangan psikologis dalam diri seseorang. Ketegangan ini “mereda hanya
apabila perubahan di dalam situasi tersebut terjadi sedemikian rupa sehingga tercapai
keadaan seimbang”.
Contoh yang sederhana untuk teori ini misalnya Bretty adalah seorang yang suka menonton
tv tapi tidak suka membaca komik. Bretty berpacaran dengan Alto seseorang yang sangat
gemar membaca komik namun benci sekali menonton televisi, mereka saling menyayangi
dan tidak mau terpisahkan jika mereka masing-masing tidak merubah sikapnya maka akan
timbul ketidakseimbangan di antara mereka.
Selective Process Theory
Selective Process Theory atau Teori Proses Selektif adalah teori yang termasuk teori
komunikasi massa yang merupakan hasil penelitian lanjutan tentang efek media massa pada
Perang Dunia II. Pada tahun 1940 para ilmuwan sosial mulai melakukan penelitian-penelitian
ilmiah seperti studi Erie County, Studi Decatur, dan Studi Elmira yang semuanya
menunjukkan kesimpulan yang sama bahwa pengaruh komunikasi massa adalah terbatas,
tidak all powerful, malahan sama sekali tidak efektif manakala tujuannya tidak menimbulkan
sikap dan perilaku nyata.
Studi Erie County 1940 tentang pemilihan kepresidenan oleh Lazzarfeld, dkk. Dilaporkan
bahwa hanya sedikit yang terpegaruh secara langsung dalam kampanye-kampanye yang
diadakan, lebih banyak yang terpengaruh melalui komunikasi antarpribadi. Begitu pula
dengan studi opinion leadership (studi Rovere), studi tentang keputusan konsumen (studi
Decatur), dan lain-lain menunjukkan adanya peranan besar dari kontak antarpribadi. Menurut
Carl Hovland, media massa hanya efektif dalam penyampaian atau penerusan informasi,
tetapi sangat kurang efektif dalam mengubah sikap. Riset yang dilakukan oleh Cooper, dkk
mengenai kartun “Mr. Biggott” juga menunjukkan adanya sikap selektif di pihak audiens
(terutama selective perception) yang cenderung menurunkan efektivitas. Selanjutnya pada
tahun 1960 Joseph Klapper menerbitkan kajian penelitian efek media massa yang tergabung
dalam penelitiann pasca perang tentag persuasi, pengaruh persona, dan proses selektif.
Teori eksposur selektif adalah sebuah konsep dalam penelitian media dan komunikasi yang
mengacu pada kecenderungan individu untuk mendukung informasi yang sudah ada menurut
pandangannya dan menghindari informasi yang bertentangan dengan pandangan mereka.
Teori ini menunjukkan tindakan orang akan cenderung memilih aspek tertentu dari informasi
berdasarkan perspektif mereka sendiri, keyakinan, sikap, dan keputusan. Mereka dapat
mengambil informasi tersebut atau malah mengabaikannya sama sekali.
Joseph Klapper (1960) menjelaskan bahwa komunikasi massa tidak secara langsung
mempengaruhi orang, tapi hanya memperkuat kecenderungan masyarakat. Komunikasi massa
berperan sebagai mediator dalam komunikasi persuasif. Klapper menjelaskan bahwa ada lima
faktor media dan kondisi yang memengaruhi orang, diantaranya :
1. Kecenderungan dan proses yang terkait paparan selektif, persepsi selektif, dan
retensi selektif.
2. Kelompok-kelompok, dan norma-norma kelompok di mana massa berada.
3. Komunikasi Interpersonal.
4. Pendapat para pemimpin.
5. Sifat media massa dalam masyarakat yang cenderung bebas.
Tiga konsep dasar yang dijelaskan Klapper adalah :
1. Paparan Selektif - orang menjauhkan diri dari komunikasi yang dianggap
berlawanan.
2. Persepsi selektif - Jika pesan yang disampaikan tidak membuat mereka simpati,
maka mereka akan meninggalkannya tanpa menilai informasi itu lebih dalam lagi.
3. Retensi selektif - Mereka akan melupakan informasi yang dianggap tidak penting.
Proses selektif yang terjadi di masyarakat lebih diakibatkan oleh faktor internal. Massa lebih
dulu memilih apa yang menurut mereka menarik, layak dan baik untuk mereka dibandingkan
memahami secara mendalam isi iklan tersebut. Hal ini pula yang menjadi penyebab utama
gagalnya media massa sebagai media penyampai pesan.
Contoh lainnya terjadi pada kampanye pemilihan umum. Jika kita perhatikan, para kandidat
yang melakukan pemilu berusaha memropagandakan indentitas dirinya kepada massa yang
sangat banyak. Namun di sisi lain massa justru acuh dan hanya tertarik dengan apa yang
sebelumnya telah mereka percayai sebagai pilihan tepat.
Teori Peluru
“Teori peluru” (Schramm, 1971), “teori jarum suntik” (Berlo, 1960), atau “teori stimulus-
respons” DeFleur dan Ball-Roeach, 1989). Teori ini mengatakan bahwa khalayak benar-benar
rentan terhadap pesan-pesan komunikasi massa. Ia menyebutkan bahwa apabila pesan “tepat
sasaran”, ia akan mendapat efek yang diinginkan.
Teori peluru ini merupakan konsep awal efek komunikasi massa yang oleh para pakar
komunikasi tahun 1970-an dinamakan pula hypodermic needle theory (teori jarum
hipodermik). Teori ini mengasumsikan bahwa media memiliki kekuatan yang sangat hebat,
dan komunikannya dianggap pasif aau tidak tahu apa-apa. Komunikator dapat menembakkan
peluru komunikasi kepada khalayak yang tidak berdaya (pasif). Pengaruh media sebagai
hypodermic injection (jarum suntik) didukung oleh munculnya kekuatan propaganda PD I
dan PD II.
Akan tetapi teori yang dikemukakan Schramm pada tahun 1950-an ini dicabut kembali pada
1970-an, sebab khalayak yang menjadi sasaran media massa itu ternyata tidak pasif.
Pernyataan ini didukung oleh Paul Lazarsfeld dan Raymond Bauer. Lazarsfeld mengatakan
jika khalayak diterpa peluru komunikasi, mereka tidak jatuh terjelembab, karena kadang-
kadang peluru itu tidak menembus. Sedangkan Bauer mengatakan bahwa khalayak sasaran
tidak pasif. Mereka secara aktif mencari yang diinginkannya dari media massa.
Kita sekarang tahu bahwa teori komunikasi massa ini terlalu disederhanakan. Sebuah pesan
komunikasi massa tidak memiliki efek yang sama pada masing-masing orang. Dampaknya
pada seseorang tergantung pada beberapa hal, termasuk karakteristik kepribadian seseorang
dan beragam aspek situasi dan konteks. Namun demikian “teori peluru” merupakan sebuah
terori komunikasi massa yang dapat dimengerti: ia tampaknya lahir dari efektivitas nyata
propaganda setelah perang dunia I. Pada saat itu rakyat begitu memercayai kebohongan.
Teori ini mungkin tidak akan bekerja baik sekarang, namun pada waktu itu teori ini masih
akurat.
Akan tetapi saat ini “teori peluru” mungkin belum mati. Ia muncul dalam bentuk yang sedikit
direvisi dalam tulisan filsuf Perancis Jacques Ellul (1973). Ellul berpendapat bahwa
propaganda jauh lebih efektif dibandingkan dengan analisa-analisa yang dibuat orang
Amerika. Dia secara khusus menolak bukti-bukti dai eksperimen-eksperimen, dan
mengatakan bahwa propaganda adalah bagian dari sebuah lingkungan total dan tidak dapat
diduplikasikan dalam lingkup laboratorium. Ellul berpendapat bahwa propaganda bersifat
sangat meresap dalam kehidupan orang Amerika sehingga sebagian besar dari kita tidak
menyadarinya, tetapi ia mampu mengontrol nilai-nilai kita. Tentunya inti dari nilai-nilai ini
adalah “gaya hidup orang Amerika”.
Teori Pembelajaran Sosial
Sebuah teori dari bidang psikologi yang berguna dalam mempelajari dampak media massa
adalah teori pembelajaran sosial (social learning theory) Albert Bandura (Bandura, 1977,
1994) –teori yang menyatakan bahwa terjadi banyak pembelajaran melalui pengamatan pada
perilaku orang lain. Teori ini terutama berharga dalam menganalisis kemungkinan dampak
kekerasan yang ditayangkan di televisi, tetapi teori ini juga merupakan teori pembelajaran
umum yang dapat diaplikasikan pada bidang-bidang dampak media massa yang lain. Teori
pembelajaran sosial mengakui bahwa manusia mampu menyadari atau berpikir dan bahwa
mereka dapat mengambil manfaat dari pengamatan dan pengalaman. Teori pembelajaran
sosial mengakui bahwa banyak pembelajaran manusia terjadi dengan menyaksikan orang lain
yang menampilkan perilaku yang beraneka ragam. Misalnya, seorang murid tari Bali dapat
mempelajari gerakan-gerakan tertentu dengan menyaksikan instruktur yang
mendemonstrasikan gerakan-gerakan itu. Jenis pembelajaran ini juga dapat dengan jelas
terjadi melalui media massa. Seseorang dapat mengamati orang lain yang terlibat dalam
perilaku tertentu di televisi dan dapat mempraktikan perilaku itu dalam kehidupannya.
Banyak dari dampak media massa mungkin terjadi melalui proses prmbelajaran sosial.
Dampak ini meliputi orang yang belajar bagaimana berpakaian dengan mode baru, cara
bergaul anak muda, dan orang yang menyerap perilaku yang berhubungan dengan pria atau
wanita. Prmbelajaran sosial terutama efektif dengan media massa seperti televisi, dimana
Anda mendapatkan kekuatan yang berlipat ganda dari model tunggal yang mengirimkan cara-
cara berpikir dan berperilaku baru bagi banyak orang di lokasi yang berlainan (Bandura,
1994) yang berkenaan dengan persepsi atas kemampuan diri (self-efficacay) dalam
pembelajaran sosial.
Teori Pengartian Semantik
Pencetus: Charles Osgood (seorang psikolog)
Latar Belakang
Teori Osgood berhubungan dengan cara-cara mempelajari makna dan bagaimana makna
tersebut berhubungan dengan pemikiran dan perilaku. Teori ini adalah sebuah tempat yang
berguna untuk mulai berpikir tentang bagaimana lawan bicara memahami pesan. Dengan
menyebut kata “terbang”, mungkin beberapa orang berpikir bahwa itu adalah suatu cara
bepergian yang menyenangkan, namun ada juga yang menganggap nya sebagai sesuatu yang
menakutkan. Apapun yang dipikirkan, itu adalah konotasi seseorang terhadap istilah tersebut.
Teori Osgood mencoba menjelaskan konotasi ini dan darimana konotasi tersebut berasal.
Perkembangannya
Teori Osgood memulai dengan bagaimana individu memberi respons terhadap rangsangan
dalam lingkungan, membentuk sebuah hubungan rangsangan-respons (R-R).
Saat seseorang mendengar kata terbang dalam suatu percakapan maka akan muncul sebuah
asosiasi internal dalam pikiran orang tersebut yang mendasari pemaknaan nya terhadap kata
itu. Pemaknaan tadi ada di antara rangsangan fisik, yaitu terbang, dan respons perilaku orang
tersebut terhadap rangsangan tersebut. Rangsangan dari luar menghasilkan sebuah
pemaknaan internal yang akan menghasilkan respons ke luar. Pemaknaan internal dibagi dua
bagian, yaitu respons internal dan rangsangan internal. Keseluruhan rangkaian terdiri atas,
rangsangan fisik, respons internal, rangsangan internal, dan respons ke arah luar.
Contoh atau aplikasi. Seseorang yang takut terbang memiliki respons internal, yaitu rasa
takut, terhadap pesawat terbang. Rasa takut itu memicu kecenderungan penghindaran yang
merupakan rangsangan internal bagi respons ke luar yaitu tidak naik pesawat terbang.
Makna, bersifat internal dan istimewa terhadap pengalaman seseorang dengan rangsangan
alami, disebut konotatif. Salah satu karya besar Osgood adalah pengukuran makna. Osgood
mengembangkan perbedaan semantic, yaitu alat bantu pengukuran yang beranggapan bahwa
pemaknaan seseorang dapat digunakan dengan penggunaan kata-kata sifat. Metodenya
dilmulai dengan mencari seperangkat kata sifat yang dapat digunakan untuk mengungkapkan
konotasi seseorang bagi setiap rangsangan. Kata sifat-kata sifat ini disusun saling
bertentangan. Orang tersebut diberikan sebuah kata dan diminta untuk menunjukkan pada
sebuah skala 7 poin bagaimana dia mengasosiasikan kata dengan pasangan-pasangan kata
sifat. Sebuah skala terlihat seperti ini: baik_:_:_:_:_:_:_:buruk. Subjek meletakkan sebuah
tanda pada ruang kosong di antara kata sifat-kata sifat tersebut untuk menunjukkan tingkatan
baik atau buruk yang dihubungkan dengan rangsangan. Osgood menggunakan teknik
statistika yang disebut analisis faktor untuk mengetahui dimensi dasar pemaknaan seseorang.
Penemuannya dalam penelitian ini telah menghasilkan teori ruang semantic. Pemaknaan
seseorang bagi setiap tanda dikatakan terletak dalam sebuah ruang metaforis yang terdiri dari
tiga dimensi utama, yaitu evaluasi, aktivitas, dan potensi. Tanda, mungkin sebuah kata,
menimbulkan sebuah reaksi dalam diri seseorang, terdiri atas sebuah pemahaman tentang
evaluasi (baik atau buruk), aktivitas (aktif atau non-aktif), dan potensi (kuat atau lemah).
Contoh, pesawat terbang mungkin dipandang sebagai sesuatu yang baik, aktif, dan kuat.
Teori Kongruensi Osgood
Teori Kongruensi merupakan teori khusus dari teori keseimbangan Heider. Teori ini
dikemukakan oleh Charles Osgood. Teori Kongruensi lebih berkenaan secara khusus dengan
sikap orang-orang terhadap sumber-sumber informasi dan objek-objek pernyataan sumber.
Teori kongruensi memiliki beberapa kelebihan dibandingkan teori keseimbangan,
diantaranya kemampuan untuk membuat prediksi tentang arah dan tingkat perubahan sikap.
Model kongruensi berasumsi bahwa kerangka rujukan cenderung mengarah pada kelugasan
maksimal. Karena penilaian-penilaian ekstrem lebih mudah dibuat daripada disaring, maka
penilaian cenderung bergerak ke arah ekstrem. Selain maksimalisasi kelugasan ini, ada pula
asumsi bahwa identitas (kemiripan) adalah tidak begitu kompleks dibandingkan diskriminasi
perbedaan-perbedaan yang halus.
Dalam paradigma kongruensi, seseorang (P) menerima sebuah pernyataan dari suatu sumber
(S), yang tentunya dia mempunyai sikap terhadapnya, juga mempunyai sikap terhadap
objek(O), dalam model Osgood, seberapa besar P menyukai S dan O akan menentukan
apakah terdapat keadaan kongruensi atau konsistensi.
Definisi keseimbangan dan kongruensi adalah sama. Inkongruensi ada saat sikap terhadap
sumber dan objek adalah sama dan penilaiannya adalah negative, atau ketika sikap terhadap
sumber dan objek adalah berbeda dan asersinya positif. Keadaan yang tidak seimbang
mengandung satu atau semua relasi negative.
Ingkonruensi tidak selalu menghasilkan perubahan sikap. Ada beberapa dasar atas keyakinan
bahwa banyak materi dimedia yang akan menghasilkan inkongkuensi pada diri seseorang
ternyata tidak demikian halnya. Dalam proses pemilihan focus perhatian kita, kita bisa
menolak pesan-pesan yang kita curigai tidak akan sesuai dengan konsep kita tentang dunia-
paparan selektif- atau mungki kita hanya perlu memperhatikan bagian-bagian pasan yang
sesuai dengan “kerangka rujukan penting” kita- perhatian selektif.
Setiap orang memiliki perbedaan dalam memaknai pesan. Dua peneliti bertanya ke lebih dari
700 orang dewasa tentang alasan mereka menonton acara olahraga di televisi. Hasilnya, pria
dewasa menonton acara olahraga di televisi untuk hiburan, untuk melihat drama atletik, dan
untuk mendapatkan bahan perbincangan. Sementara para wanita lebih suka menonton
kejuaraan dengan orang yang menyukai acara itu.
Teori Ketergantungan
Teori ini dikemukakan oleh Sandra Ball-Rokeach dan Melvin DeFleur. Teori ini
mengintegrasi beberapa perspektif: pertama, teori ini mengombinasikan perspektif-perspektif
psikologi yang bersumber dari teori-teori psikologi sosial. Kedua, teori ini mengintegrasikan
perspektif sistem dengan unsur-unsur pendekatan yang lebih kausal. Ketiga, teori ini
mengombinasikan unsur-unsur penelitian penggunaan dan kepuasan berikut efek yang
ditimbulkannya.
Secara umum, teori ini ketergantungan ini selajan dengan teori penggunaan dan kepuasan
(uses and gratifications) yakni menekankan bahwa Anda bergantung pada informasi media
untuk memenuhi kebutuhan tertentu dan mencapai tujuan tertentu. Akan tetapi Anda tidak
bergantung pada semua media. Menurut Ball-Rokeach dan DeFleur, ada dua faktor yang
menentukan akan seberapa bergantungnya Anda pada media. Pertama, Anda akan menjadi
lebih bergantung pada media yang memenuhi beberapa kebutuhan Anda daripada media yang
hanya sedikit memuaskan saja. Kedua, stabilitas sosial. Ketika perubahan sosial dan konflik
meningkat, ketergantungan akan informasi akan meningkat. Misalnya, ketika tengah terjadi
konflik sosial dimasyarakat, audiens akan lebih bergantung pada media untuk mendapatkan
informasi dibandingkan dengan situasi sosial yang normal.
Teori ini menunjukan bahwa institusi sosial dan sistem media berinteraksi dengan audiens
untuk menciptakan kebutuhan, minat, dan motif. Hal ini, selanjutnya, memengaruhi audiens
untuk memilih beragam sumber media dan non-media yang selanjutnya dapat menghasilkan
beragam ketergantungan. Manusia yang bergantung pada segmen media tertentu akan
terpengaruh secara kognitif, afektif, dan perilakunya oleh segmen tersebut. Akibatnya,
manusia dipengaruhi dengan cara dan tingkatan yang berbeda oleh media.
Kondisi individu tidak hanya bersifat pribadi dan dipengaruhi faktor internal saja, melainkan
juga dipengaruhi oleh faktor sosial budaya dari luar yang tidak dapat dikendalikan oleh
manusia itu sendiri. Hal tersebut juga berpengaruh pada tingkat ketergantungan terhadap
media. Fakor-faktor dari luar tersebut bertindak sebagai pembatas bagi apa dan bagaimana
media dapat digunakan pada ketersediaan pengganti non-media yang lain.
Secara umum, dapat disimpulkan sebagai berikut. Semakin media tersedia, semakin besar
instrumentalitas yang dirasakan, dan semakin diterima pula penggunaan sebuah media secara
sosial dan budaya, dan semakin mungkin penggunaan media akan dianggap sebagai alternatif
fungsional yang paling tepat. Selanjutnya, semakin banyak alternative yang dimiliki individu
untuk memuaskan kebutuhannya, individu tersebut tidak akan terlalu bergantung pada media
apa pun.
Misalnya, jika seseorang hanya memiliki sedikit teman, ia mungkin akan lebih bergantung
pada media untuk mendapatkan informasi dibandingkan dengan orang yang memiliki lebih
banyak teman. Orang yang memiliki banyak teman akan lebih banyak memiliki alternatif lain
untuk berkomunikasi sehingga tidak terlalu banyak tergantung oleh media.
Teori Perencanaan
Teori ini dikemukakan oleh Charles L. Berger untuk menjelaskan proses yang dilalui
individu dalam merencanakan perilaku komunikasi mereka. Berger menulis, teori
perencanaan dikembangkan sebagai jawaban atas gagasan bahwa komunikasi merupakan
proses mencapai tujuan. Manusia tidak terlibat dalam kegiatan komunikasi hanya karena
mereka memang melakukannya; mereka berkomunikasi untuk memenuhi tujuan. Rencana-
rencana kognitif memberikan panduan yang penting dalam menyusun dan menyebarkan
pesan-pesan untuk mencapai tujuan. Rencana pesan yang canggung memungkinkan pelaku
komunikasi mencapai tujuan mereka dengan lebih banyak dan lebih efisien; sehingga
kompetensi komunikasi sangat bergantung pada kualitas rencana pesan individu.
Berger juga menulis bahwa rencana-rencana dari perilaku komunikasi adalah representasi
kognitif hierarki dari rangkaian tindakan mencapai tujuan. Dengan kata lain, rencana-rencana
adalah gambaran mental dari langkah-langkah yang diambil oleh seseorang untuk mencapai
tujuan. Dalam beberapa kondisi, untuk mencapai tujuan utama diperlukan rencana-rencana
tambahan untuk mencapai tujuan tertentu di mana tujuan ini merupakan langkah-langkah
strategis untuk meraih tujuan utama, hal ini disebut meta-tujuan. Misalnya, Anda memiliki
tujuan untuk menjadi lulusan terbaik di universitas. Maka Anda harus menyusun rencana
untuk mencapai tujuan tertentu. Sebelum mengarah pada tujuan lulusan terbaik, maka tujuan
awal Anda adalah memiliki nilai-nilai yang baik. Menjadi lulusan terbaik adalah tujuan Anda
yang sebenarnya. Memiliki nilai yang baik adalah meta-tujuan Anda. Rencananya adalah,
misalnya, belajar dengan sungguh-sungguh.
Teori Berger memperkirakan bahwa semakin banyak yang Anda tahu, akan semakin
kompleks rencana Anda. Dengan demikian, jika Anda memiliki banyak motivasi dan
pengetahuan, maka Anda akan menciptakan rencana yang lebih kompleks.
Perencanaan dan pencapaian tujuan sangat bergantung pada emosi kita. Jika tujuan kita
terhalangi, maka kita cenderung akan bereaksi negatif. Sebaliknya, reaksi yang positif akan
timbul jika tujuan kita berhasil tercapai.
Teori Simetri Newcomb
Teori ini dikemukakan oleh Theodore M. Newcomb. Teori ini dapat membantu menganalisis
relasi interaksi diadik. Secara sederhana, model ini melibatkan dua komunikator (A dan B)
serta sebuah objek komunikasi (X). Objek komunikasi dalam hal ini dapat berupa objek fisik,
peristiwa, kegiatan, sikap, maupun perilaku. Kedua pelaku komunikasi (A dan B) memiliki
keterkaitan terhadap objek komunikasi tersebut (X).
Tingkah laku komunikasi terbuka antara A dan B dapat diterangkan melalui kebutuhan
mereka untuk mencapai keseimbangan atau keadaan simetris antara satu sama lain dan juga
terhadap X. Komunikasi terjadi karena A harus berorientasi terhadap B dan X, serta B harus
berorientasi terhadap A dan X. Untuk mencari keadaan yang simetris, A berusaha untuk
melengkapi dirinya dengan informasi tentang orientasi B terhadap X, dan ini dapat dilakukan
melalui interaksi A, mungkin terdorong untuk memengaruhi atau mengubah orientasi B
terhadap X. Jika A menemukan keadaan tidak seimbang diantara mereka, B dengan
sendirinya juga akan mempunyai dorongan yang sama terhadap orientasi A. Besarnya
pengaruh akan ditanamkan A dan B terhadap satu sama lain serta kemungkinan usaha
masing-masing dalam meningkatkan keadaan simetris melalui tindakan komunikasi akan
meningkat. Keadaan simetris melalui tindakan komunikasi akan meningkat pada saat daya
tarik dan intensitas sikap terhadap X meningkat. Dengan demikian, pada model ini
komunikasi merupakan cara yang bisa dan efektif bagi orang yang mengorientasikan dirinya
terhadap lingkungannya (Severin dan Tankard, 2005)
Daftar Pustaka
Stephen W. Littlejohn dan Karen A. Foss. Teori komunikasi edisi 9. 2009. Jakarta : salemba
humanika
Werner J. Severin dan James W. Tankard, Jr. Teori komunikasi edisi 5. 2008. Jakarta :
Kencana
http://wsmulyana.wordpress.com/2009/01/09/teori-kultivasi/
http://lontar.ui.ac.id/file?file=digital/126189-153.8%20AGU%20d%20-%20Disonansi
%20Kognitif%20-%20Literatur.pdf
http://repository.usu.ac.id/bitstream/123456789/18917/4/Chapter%20II.pdf