tatalaksana trauma vascular - unsyiah

16
Nasional Symposium & Workshop “Aceh Surgery Update 2”, Banda Aceh 16 – 17 September 2017 34 Tatalaksana Trauma Vascular dr. Suhardi, SpBTKV Division Of Thoracic Cardiac &Vascular Surgery, Departement Of Surgery, Dr. Zainoel Abidin General Hospital Medical Faculty Of Syiah Kuala University, Banda Aceh, Indonesia Trauma pada pembuluh darah menyebabkan ancaman pada kelangsungan hidup bagian tubuh yang diperdarahinya. Trauma vaskuler memerlukan diagnosis dan tindakan penanganan yang cepat untuk menghindarkan akibat fatal berupa amputasi. Trauma vaskular dapat melibatkan pembuluh darah arteri dan vena. Perdarahan yang tidak terdeteksi atau tidak terkontrol dengan cepat akan mengarah kepada kematian pasien, atau bila terjadi iskemia akan berakibat kehilangan tungkai, stroke, nekrosis dan kegagalan organ multipel. Trauma vaskular dapat disebabkan oleh luka tajam, luka tumpul, maupun luka iatrogenik. Trauma vaskuler sering terdapat bersamaan dengan trauma organ lain seperti syaraf, otot dan jaringan lunak lainnya atau bersamaan dengan fraktur atau dislokasi pada ekstremitas. Bentuk trauma vaskular biasanya tangensial atau transeksi komplit. Perdarahan akan menjadi lebih berat pada lesi arteri yang inkomplit, sedangkan pada pembuluh yang putus seluruhnya akan terjadi retraksi dan konstriksi pembuluh darah sehingga dapat mengurangi atau menahan perdarahan. Epidemiologi Di Amerika Serikat, sekurang-kurangnya 2.6 juta orang dirawat di rumah sakit setiap tahunnya karena trauma akibat kecelakaan. Kebanyakan pasien berumur 25-44 tahun, namun laki-laki muda adalah kelompok dengan risiko tertinggi karena mereka sering melakukan aktivitas yang juga berisiko tinggi. Secara keseluruhan, risiko kematian yang disebabkan trauma akibat kecelakaan adalah tujuh kali lipat lebih tinggi pada populasi pria daripada wanita. Penyebab kematian karena kecelakaan di antaranya adalah kecelakaan kendaraan bermotor, terjatuh, terbakar, tertembak, dan terkena benda tajam. Trauma vaskular perifer mencakup 80% dari total kasus trauma vaskular. Dan kebanyakan dari trauma vaskular perifer tersebut terjadi pada ekstremitas bawah. Kasus-

Upload: others

Post on 03-Oct-2021

15 views

Category:

Documents


0 download

TRANSCRIPT

Page 1: Tatalaksana Trauma Vascular - Unsyiah

Nasional Symposium & Workshop “Aceh Surgery Update 2”, Banda Aceh 16 – 17 September 2017 34

Tatalaksana Trauma Vascular

dr. Suhardi, SpBTKV Division Of Thoracic Cardiac &Vascular Surgery, Departement Of Surgery,

Dr. Zainoel Abidin General Hospital – Medical Faculty Of Syiah Kuala University,

Banda Aceh, Indonesia

Trauma pada pembuluh darah menyebabkan ancaman pada kelangsungan hidup

bagian tubuh yang diperdarahinya. Trauma vaskuler memerlukan diagnosis dan tindakan

penanganan yang cepat untuk menghindarkan akibat fatal berupa amputasi. Trauma

vaskular dapat melibatkan pembuluh darah arteri dan vena. Perdarahan yang tidak

terdeteksi atau tidak terkontrol dengan cepat akan mengarah kepada kematian pasien,

atau bila terjadi iskemia akan berakibat kehilangan tungkai, stroke, nekrosis dan

kegagalan organ multipel.

Trauma vaskular dapat disebabkan oleh luka tajam, luka tumpul, maupun luka

iatrogenik. Trauma vaskuler sering terdapat bersamaan dengan trauma organ lain seperti

syaraf, otot dan jaringan lunak lainnya atau bersamaan dengan fraktur atau dislokasi pada

ekstremitas. Bentuk trauma vaskular biasanya tangensial atau transeksi komplit.

Perdarahan akan menjadi lebih berat pada lesi arteri yang inkomplit, sedangkan pada

pembuluh yang putus seluruhnya akan terjadi retraksi dan konstriksi pembuluh darah

sehingga dapat mengurangi atau menahan perdarahan.

Epidemiologi

Di Amerika Serikat, sekurang-kurangnya 2.6 juta orang dirawat di rumah sakit

setiap tahunnya karena trauma akibat kecelakaan. Kebanyakan pasien berumur 25-44

tahun, namun laki-laki muda adalah kelompok dengan risiko tertinggi karena mereka

sering melakukan aktivitas yang juga berisiko tinggi. Secara keseluruhan, risiko kematian

yang disebabkan trauma akibat kecelakaan adalah tujuh kali lipat lebih tinggi pada

populasi pria daripada wanita. Penyebab kematian karena kecelakaan di antaranya adalah

kecelakaan kendaraan bermotor, terjatuh, terbakar, tertembak, dan terkena benda tajam.

Trauma vaskular perifer mencakup 80% dari total kasus trauma vaskular. Dan

kebanyakan dari trauma vaskular perifer tersebut terjadi pada ekstremitas bawah. Kasus-

Page 2: Tatalaksana Trauma Vascular - Unsyiah

Nasional Symposium & Workshop “Aceh Surgery Update 2”, Banda Aceh 16 – 17 September 2017 35

kasus trauma vaskular tersebut terutama disebabkan oleh luka tembak kecepatan tinggi

(70- 80%), luka tusuk (10-15%), dan luka tumpul (5-10%).

Mekanisme Trauma

Secara klasik, mekanisme trauma terbagi dua, yaitu trauma tajam dan tumpul.

Trauma tumpul pada jaringan yang disebabkan oleh kompresi lokal atau deselerasi

dengan kecepatan tinggi. Luka jaringan pada trauma tajam diakibatkan oleh kehancuran

dan separasi jaringan. Dengan memahami biomekanika dari trauma yang spesifik akan

memudahkan untuk melakukan evaluasi awal karena trauma pada arteri berhubungan

dengan beberapa faktor, yaitu tipe trauma, lokasi trauma, konsekuensi hemodinamik, dan

mekanisme trauma.

Tingkat keparahan trauma berbanding lurus dengan jumlah energi kinetik (KE)

yang disalurkan kepada jaringan, yang merupakan fungsi dari massa (M) dan kecepatan

(V), dan dapat dirumuskan sebagai berikut : KE = M x V2/2. Rumus ini berlaku baik

untuk trauma tumpul maupun penetrasi. Perubahan pada kecepatan berefek lebih

siginifikan dibandingkan dengan perubahan pada massa.

Kavitasi adalah sebuah fenomena yang terjadi ketika jaringan bergerak menjauhi

titik trauma yang disebabkan oleh bergeraknya tubuh, menghindari objek penyebab

trauma. Setelah terjadi trauma tumpul akan terbentuk kavitas jaringan sementara yang

disebabkan oleh deselerasi atau akselerasi yang cepat. Tegangan ekstrim terjadi pada titik

fiksasi anatomis selama pembentukan kavitas sementara tersebut. Tekanan dapat terjadi

baik sepanjang sumbu longitudinal (tegangan tensil atau kompresi) dan sumbu transversal

(teganan shear). Tekanan tersebut dapat menyebabkan deformitas, robekan, dan fraktur

jaringan. Sementara itu, trauma penetrasi menyebabkan kavitasi sementara yang

diakibatkan oleh penyaluran energi kinetik dari alat proyektil ke jaringan yang

bersangkutan. Hal ini dapat diikuti oleh pembentukan kavitas permanen yang disebabkan

oleh pemindahan jaringan.

Gejala klinis yang ditampilkan bergantung kepada tipe trauma arteri yang dialami.

Tipe trauma yang paling sering terjadi adalah laserasi parsial dan transeksi komplit.

Transeksi komplit dapat berakibat kepada retraksi dan trombosis pada ujung proksimal

dan distal pembuluh darah, yang dapat menyebabkan iskemia. Sementara itu, laserasi

Page 3: Tatalaksana Trauma Vascular - Unsyiah

Nasional Symposium & Workshop “Aceh Surgery Update 2”, Banda Aceh 16 – 17 September 2017 36

parsial dapat menyebabkan perdarahan persisten atau pembentukan pseudoaneurisma.

Laserasi parsial, seperti halnya kontusio, dapat dibarengi dengan flap intima, yang dapat

berujung kepada trombosis. Kontusio arteri kecil dengan intima flap yang terbatas dapat

tidak menyebabkan penurunan hemodinamik daerah distal, dan karena itu dapat tidak

terdiagnosis. Hal ini disebut sebagai trauma arteri occult atau minimal jika dilihat dari

angiografi. Trauma ini memiliki risiko trombosis yang kecil, dan seringkali dapat sembuh

secara spontan. Trauma arteri dan vena yang bersamaan dapat menyebabkan

terbentuknya fistula arteriovena.

Tipe Trauma Gejala Klinis

Laserasi parsial Pulsasi menurun, hematoma, perdarahan

Transeksi Hilangnya pulsasi distal, iskemia

Kontusio Awal : pemeriksaan dapat normal

Dapat progresif menjadi thrombosis

Kompresi eksternal Pulsasi menurun, pulsasi dapat menjadi normal ketika fraktur

diluruskan

Page 4: Tatalaksana Trauma Vascular - Unsyiah

Nasional Symposium & Workshop “Aceh Surgery Update 2”, Banda Aceh 16 – 17 September 2017 37

Diagnosis

Trauma vaskuler harus dicurigai pada setiap trauma yang terjadi pada daerah yang

secara anatomis dilalui pembuluh darah besar. Hal ini terjadi terutama pada kejadian luka

tusuk, luka tembak berkecepatan rendah, dan trauma tumpul yang berhubungan dengan

fraktur dan dislokasi. Keparahan trauma arteri bergantung kepada derajat invasifnya

trauma, mekanisme, tipe, dan lokasi trauma, serta durasi iskemia.

Gambaran klinis dari trauma arteri dapat berupa perdarahan luar, iskemia,

hematoma pulsatil, atau perdarahan dalam yang disertai tanda-tanda syok. Gejala klinis

paling sering pada trauma arteri ekstremitas adalah iskemia akut. Tanda-tanda iskemia

adalah nyeri terus- menerus, parestesia, paralisis, pucat, dan poikilotermia. Pemeriksaan

fisik yang lengkap, mencakup inspeksi, palpasi, dan auskultasi biasanya cukup untuk

mengidentifikasi adanya tanda-tanda akut iskemia. Adanya trauma vaskular pada

ekstremitas dapat diketahui denganmelihat tanda dan gejala yang dialami pasien. Tanda

dan gejala tersebut berupa hard sign dan soft sign.

Hard Sign Soft Sign

Hilangnya pulsasi distal Berkurangnya pulsasi distal

Perdarahan pulsatil yang aktif Riwayat perdarahan sedang

Tanda-tanda iskemia Trauma pada daerah dekat PD utama

Thrill arteri dengan palpalsi manual Defisit neurologis

Bruit pada daerah cedera dan sekitarnya Hematoma sekitar lesi yang tidak meluas

Hematoma yang meluas

Semua pasien trauma dengan mekanisme yang signifikan dan menunjukkan gejala

soft signs harus dilakukan evaluasi sirkulasi distal. Salah satu cara yang praktis adalah

dengan ABI (ankle-brachial index). Jika ABI < 1, hal tersebut menandakan adanya

trauma arteri. Adanya psudoaneurisma atau fistula arteriovena harus dipikirkan pada

kasus trauma penetrasi ekstremitas yang didapati hematoma pulsatil dengan disertai bruit

atau thrill.

Page 5: Tatalaksana Trauma Vascular - Unsyiah

Nasional Symposium & Workshop “Aceh Surgery Update 2”, Banda Aceh 16 – 17 September 2017 38

Adanya tanda trauma vaskular disertai fraktur terbuka merupakan suatu indikasi

harus dilakukan eksplorasi untuk menentukan adanya trauma vaskular. Kesulitan untuk

mendiagnosis adanya trauma vaskular sering terjadi pada hematoma yang luas pada patah

tulang tertutup. Tanda lain yang bisa menyertai trauma vaskular adalah adanya defisit

neurologis baik sensoris maupun motoris seperti rasa baal dan penurunan kekuatan

motoris pada ekstremitas. Aliran darah yang tidak adekuat dapat menimbulkan hipoksia

sehingga ekstremitas akan tampak pucat dan dingin pada perabaan. Pengisian kapiler

tidak menggambarkan keadaan sirkulasi karena dapat berasal dari arteri kolateral, namun

penting untuk menentukan viabilitas jaringan.

Diagnosis dapat menggunakan alat penunjang seperti pulse oxymetry, doppler

ultrasound atau duplex ultrasound untuk menentukan lesi vaskular, tapi belum

memberikan hasil yang memuaskan. Selain itu ada arteriografi intra-operatif yang

berguna dalam mengetahui hasil rekonstruksi secara langsung, apakah masih ada lesi

vaskular yang tertinggal.

Arteriografi bukan prosedur rutin karena akan memperlama penanganan sehingga

akan menyebabkan iskemia pada ekstremitas lebih lama lagi. Arteriografi dilakukan bila

terdapat keraguan diagnosis pada reeksplorasi atau pasca operasi. Arteriografi juga

dianjurkan pada trauma luas untuk mengetahui lesi vaskular yang multiple dan kondisi

kolateral yang ada.

Angiografi berguna untuk mengevaluasi luasnya trauma, sirkulasi distal, dan

perencanaan operasi. Akurasi angiografi cukup tinggi, yakni 92-98%. Alat ini terutama

berguna untuk mendiagnosis trauma arteri minimal yang dapat luput dari pengamatan

karena minimalnya gejala klinis yang ditampilkan. Indikasi untuk melakukan angiografi

di antaranya trauma tumpul yang signifikan pada ekstremitas yang berhubungan dengan

dislokasi dan fraktur, tanda-tanda iskemia atau ABI < 1, trauma penetrasi multipel pada

ekstremitas, dan adanya tanda defisit neurologis. Berdasarkan laporan yang telah

dipublikasikan, pasien dengan luka tembus maupun tumpul yang pulsasi ektremitasnya

tidak terganggu, dengan nilai ankle-brachial indeks (ABI) yang ≥1, tidak memerlukan

pemeriksaan angiografi namun tetap perlu dilakukan pengawasan selama 12 – 24 jam.

Pemeriksaan ultrasonografi Doppler dapat merekam pantulan gelombang suara

yang ditimbulkan oleh sel darah merah sehingga dapat menilai aliran darah. Selain untuk

Page 6: Tatalaksana Trauma Vascular - Unsyiah

Nasional Symposium & Workshop “Aceh Surgery Update 2”, Banda Aceh 16 – 17 September 2017 39

diagnosis awal, pemeriksaan ini dapat menilai hasil sesudah anastomosis arteri.

Ultrasonografi color-flow duplex (CFD) telah disarankan sebagai pengganti ataupun

tambahan pemeriksaan arteriografi. Keuntungannya adalah sifatnya yang noninvasif dan

tidak menimbulkan nyeri. Alat ini portabel sehingga dapat dibawa ke sampai tempat tidur

pasien, unit gawat darurat, maupun ruang operasi.pemeriksaan ulangan dan tindak lanjut

dapat dilakukan dengan mudah tanpa adanya angka kecacatan dan alat ini relatif lebih

murah.

Berikut ini adalah algoritma diagnosa gangguan arteri:

Penatalaksanaan

Pada dasarnya, semakin cepat tindakan semakin baik hasilnya. Bila ada

perdarahan yang banyak dan atau memancar yang akan membahayakan jiwa, tentunya

pertolongan pertama adalah menghentikan perdarahan sedangkan tindakan definitif

dilakukan setelah perdarahan berhenti. Perdarahan diatasi dengan penekanan di atas

daerah perdarahan. Pemasangan turniket tidak boleh dilakukan karena dapat merusak

sistem kolateral yang ikut terbendung.

Golden period pada lesi vaskuler adalah 6-12 jam. Tanda-tanda iskemia yang

Page 7: Tatalaksana Trauma Vascular - Unsyiah

Nasional Symposium & Workshop “Aceh Surgery Update 2”, Banda Aceh 16 – 17 September 2017 40

jelas terlihat umumnya pada kulit, tetapi sebenarnya otot dan saraf lebih tidak tahan

terhadap adanya iskemia.

Penatalaksanaan Non Operatif

Penatalaksanaan cedera arteri minimal dan asimptomatik masih kontroversial.

Beberapa ahli bedah bersikeras bahwa semua cedera arteri yang terdeteksi harus

diperbaiki,sedangkan yang lain mengusulkan tindakan non operatif bila terdapat kriteria

klinis dan radiologis seperti low-velocity injury, disrupsi dinding arteri yang minimal (<

5mm) pada kelainan intima dan pseudoaneurisma, tidak ada perdarahan aktif, dan

sirkulasi distal masih utuh. Pendekatan ini dapat dilakukan pada arteri yang memiliki

kolateral dan terutama pada orang muda. Bila pendekatan non operatif yang digunakan,

disarankan untuk melakukan pencitraan vaskular untuk memantau penyembuhan atau

stabilisasi.

Penatalaksanaan Endovascular

Embolisasi transkateter dengan coil atau balon dapat digunakan untuk terapi

beberapa cedera arteri seperti fistula arteriovenosa aliran rendah, khususnya pada lokasi

anatomis yang jauh. Coil berguna untuk mengoklusi perdarahan dan fistula arteriovenosa.

Pendekatan endovaskular lainnya pada cedera ekstremitas adalah dengan penggunaan

teknologi stent-graft. Dengan kombinasi alat fiksasi seperti stent dan graft, perbaikan

endoluminal pada false aneurysm atau fistula arteriovenosa besar dapat dimungkinkan.

Penatalaksanaan Operasi

Penatalaksanaan operasi pada cedera arteri perifer memerlukan persiapan seluruh

ekstremitas yang cedera. Sebagai tambahan, ekstremitas atas atau bawah kontralateral

yang sehat harus ikut disertakan untuk mengantisipasi apabila diperlukan autograft vena.

Pada umumnya, insisi dilakukan secara longitudinal langsung pada pembuluh darah yang

cedera dan diekstensi ke arah proksimal atau distal sesuai dengan kebutuhan.

Kontrol arteri proksimal dan distal dilakukan sebelum eksposur pada cedera.

Arteri proksimal dikontrol dengan benang kasar yang melingkari arteri (seperti jerat) atau

bila perlu dengan menggunakan klem vaskuler. Hal ini juga dilakukan pada arteri distal.

Page 8: Tatalaksana Trauma Vascular - Unsyiah

Nasional Symposium & Workshop “Aceh Surgery Update 2”, Banda Aceh 16 – 17 September 2017 41

Terkadang diperlukan pintasan sementara pada arteri yang terputus (thromboresistent

plastic tube) untuk mencegah iskemia selama operasi. Debridemen, fasiotomi, fiksasi

fraktur, neurorhaphy, reparasi vena dapat dilakukan kemudian tanpa harus terburu-buru.

Pemakaian heparin secara sistemik pada kasus trauma memang berbahaya, namun

pemberian heparin dosis kecil yang diberikan langsung terutama ke bagian distal dapat

mencegah terbentuknya trombus.

Cara rekonstruksi arteri tergantung dari luas dan mekanisme trauma. Reparasi

cedera pembuluh darah dapat dilakukan dengan lateral suture patch angioplasty, end-to-

end anastomosis, interposition graft, dan bypass graft. Extra-anatomic bypass graft

berguna pada pasien dengan cedera jaringan lunak ekstensif atau sepsis.

Graft diperlukan untuk mencegah terjadinya penyempitan atau tegangan pada

anastomosis pembuluh darah apabila kehilangan arteri lebih dari 1.5 cm.. Pada umumnya

graft vena autogen lebih disenangi untuk mengatasi persoalan vaskuler. Autograft vena

pertama kali dilakukan untuk memperbaiki cedera arteri pada masa perang Korea.

Perkembangan bahan prostetik (ePTFE) memungkinkan penggunaan rutin bahan

prostetik sebagai pengganti autograft. Pengalaman membuktikan bahwa ePTFE lebih

tahan terhadap infeksi daripada bahan prostetik lainnya dan memiliki tingkat patency

yang lebih tinggi ketika digunakan pada posisi di atas lutut.

Pada trauma vaskular yang disertai dengan kerusakan vena, dapat dilakukan

rekonstruksi tersendiri atau bersamaan dengan kerusakan sistem arteri. Sebaiknya

dilakukan penyambungan vena lebih dahulu setelah mengeluarkan thrombus yang terjadi

terutama pada vena utama, sedangkan vena yang kecil dapat diikat saja. Hal ini dapat

menolong untuk mengurangi edema pasca bedah dan menekan angka amputasi pada

penderita trauma vaskular dengan kerusakan jaringan lunak dan tulang yang hebat serta

membantu memperbaiki aliran arteri. Bila terjadi edema yang mengganggu di daerah

ekstremitas, maka sebaiknya dipertimbangkan untuk dilakukan fasiotomi. Dengan

fasiotomi ini diharapkan terjadinya perbaikan sirkulasi pada kapiler dan otot yang rusak

kerena iskemia akibat oklusi total (ruptur arteri dan trombus). Apabila tidak dilakukan

fasiotomi, iskemia dapat menimbulkan gangren. Pada oklusi parsial (robekan intima),

bila sirkulasi kolateral tidak adekuat maka perfusi yang tidak sempurna dan iskemia otot

menyebabkan meningginya tekanan kompartemen.

Page 9: Tatalaksana Trauma Vascular - Unsyiah

Nasional Symposium & Workshop “Aceh Surgery Update 2”, Banda Aceh 16 – 17 September 2017 42

Pada trauma vaskular yang disertai adanya fraktur tulang, dianjurkan batasan

waktu 12 jam setelah trauma. Bila lebih dari 12 jam dilakukan perbaikan arteri terlebih

dahulu. Untuk menangani fraktur ini terlebih dahulu dilakukan fiksasi eksterna, terutama

pada fraktur ekstremitas bawah karena pada ekstremitas bawah biasanya disertai

kerusakan jaringan lunak.

Faktor terpenting yang menentukan prognosis dari terapi pada trauma ekstremitas

pada waktu dirawat adalah adanya trauma rusak remuk, perbaikan vaskular yang

terhambat dan fraktur tibia yang segmental. Pada trauma rusak remuk biasanya terjadi

kerusakan jaringan yang berat yang dengan cepat mengalami nekrosis dan penderita akan

kehilangan tungkai walaupun pembuluh darahnya berfungsi dengan baik. Sedangkan

fraktur tibia sebelah proksimal dan perbaikan pembuluh darah dapat dengan cepat

ditangani, maka hasilnya akan jauh lebih memuaskan.

Trauma tumpul memiliki hubungan yang dengan tingginya kegagalan graft

(35%), dan kegagalan graft menyebabkan harus dilakukannya amputasi. Faktor resiko

independen yang menyebabkan harus dilakukannya amputasi setelah perbaikan arteri

adalah oklusi bypass graft, cedera kombinasi di atas dan di bawah lutut, dan transeksi

arteri.

Tujuan akhir dari rekonstruksi pada trauma vaskular adalah untuk menurunkan

angka amputasi. Untuk mencegah hal ini yang dapat kita lakukan adalah:

a. Secepat mungkin mengenal dan memberikan perawatan

b. Arterigrafi preoperatif dan intraoperatif dipertimbangkan sebaik mungkin

c. Mengerjakan trombektomi ke bagian proksimal dan distal

d. Pemakaian heparin yang sepantasnya

e. Mengutamakan vena autogen sebagai graft.

Komplikasi

Komplikasi trauma vaskular dapat terjadi segera setelah dilakukan perbaikan lesi

pembuluh darah, atau lama setelah trauma berlalu tanpa tindakan yang adekuat.

Komplikasi yang dapat terjadi antara lain thrombosis, infeksi, stenosis, fistula arteri-vena,

dan aneurisma palsu. Trombosis, infeksi, dan stenosis merupakan komplikasi yang dapat

terjadi segera pasca operasi, sedangkan fistula arteri-vena dan aneurisma palsu

Page 10: Tatalaksana Trauma Vascular - Unsyiah

Nasional Symposium & Workshop “Aceh Surgery Update 2”, Banda Aceh 16 – 17 September 2017 43

merupakan komplikasi lama.

Rekomstruksi pembuluh darah harus ditangani secara sungguh-sungguh dan teliti

sekali karena bila terjadi kesalahan teknis operasi karena ceroboh atau penatalaksanaan

pasca bedah yang kurang terarah, akan berakibat fatal bagi kelangsungan hidup

ekstremitas berupa amputasi, atau terjadi emboli paru.

a. Trombosis

Trombosis akut langsung pasca-rekonstruksi vascular adalah komplikasi yang

paling sering terjadi, tetapi bila dilakukan koreksi segera dapat memberikan hasil yang

memuaskan. Bila debridemen arteri kurang adekuat dan aproksimasi intima kurang

akurat pada waktu rekonstruksi dikerjakan, maka sangat mungkin akan terjadi trombosis

segera setelah anastomosis dilakukan. Untuk memperbaiki kesinambungan pembuluh

arteri, pemakaian graft vena autogen jauh lebih unggul dari koreksi dengan jahitan lateral

ataupun anastomosis ujung ke ujung, terutama pada trauma yang luas. Beberapa

kesalahan teknis yang dapat menyebabkan terjadinya trombosis:

1. Debridemen arteri yang kurang adekuat dapat meninggalkan sisa-sisa dinding

arteri, dimana platelet dan trombin dapat lengket dan menyebabkan trombosis.

2. Kerusakan arteri yang multipel. Angiografi intra-operatif sangat besar artinya

dalam kasus ini untuk melihat daerah anastomosis dan distal. Kadang-kadang arus

balik saja tidak cukup untuk menjadi pegangan ada tidaknya lesi vaskular sebelah

distal, karena aliran darah balik dapat pula terjadi melalui kolateral. Akhir-akhir

ini sering dianjurkan untuk membuat arteriografi pra-operatif pada trauma luas.

3. Sisa trombus sebelah distal dapat pula menyebabkan trombosis pada anastomosis

yang tadinya berjalan dengan baik. Larutan heparin dengan perbandingan 1:500

dapat dipakai untuk membilas daerah anastomosis dan membersihkan sisa-sisa

bekuan darah yang masih lengket dan dapat pula dipakai untuk membilas ke arah

distal agar arus balik mengalir dengan lebih lancar. Untuk meyakinkan tidak ada

thrombus yang tertinggal dapat dilakukan dengan memasukkan kateter balon

Fogarthy sejauh mungkin ke distal dan secara hati-hati mendorong trombus

keluar. Bila persediaan ada, maka dianjurkan memakai larutan trobolitik untuk

menghancurkan thrombus yang masih tersisa.

Page 11: Tatalaksana Trauma Vascular - Unsyiah

Nasional Symposium & Workshop “Aceh Surgery Update 2”, Banda Aceh 16 – 17 September 2017 44

4. Trombosis juga terjadi pada anastomosis yang disebabkan oleh tarikan yang

berlebihan pada anastomosis. Stenosis berat akan terjadi pada jahitan bila dinding

pembuluh arteri tidak cukup untuk suatu jahitan lateral. Hal ini juga dapat terjadi

bila pembuluh arteri yang hilang cukup banyak dimana anastomosis ujung ke

ujung tetap dipaksakan. Kehilangan arteri lebih dari 2 cm sudah cukup untuk

melakukan graft dengan interposisi vena autogen. Sebaliknya juga jangan sampai

terlampau panjang memakai vena sebagai graft karena akan terjadi tekukan

(kinking) yang dapat mengganggu aliran darah laminar.

5. Pada graft yang terpelintir dengan mudah dapat terjadi trombosis. Graft sintesis

biasanya sudah mempunyai garis hitam memanjang yang dapat dipakai sebagai

pegangan agar jangan terpelintir. Pada graft vena autogen yang panjang garis ini

dapat dibuat dengan benang hitam halus yang dijelujur sepanjang graft itu

dilapiskan adventisia.

Salah satu cara untuk menentukan apakan rekonstruksi arteri itu berhasil atau

tidak adalah dengan cara meraba pulsasi di sebelah distal. Namun kita harus waspada,

karena pulsasi sebelah distal ini belum menjamin suatu sukses dalam jangka waktu

panjang. Apabila pulsasi tidak teraba, sebagian besar dapat dikoreksi dengan segera

melakukan operasi kedua untuki melihat kemungkinan thrombosis, terutama bila timbul

tanda-tanda iskemia tungkai sebelah distal. Bila tanda-tanda distal dapat bertahan biarpun

ada trombosis, maka sebaiknya dipertimbangkan untuk menunda operasi kedua sampai

keadaan umum mengizinkan karenatindakan operatif yang berulang kali akan lebih sering

menderita komplikasi infeksi. Selain itu, bila cukup waktu, maka akan terbentuk system

kolateral baru.pemeriksaan Doppler (Ultrasonic Sounding Device) dapat menolong

menentukan ada tidaknya aliran kolateral yang mengisi pembuluh arteri distal dari

sumbatan.

Harus hati-hati menegakkan diagnosis spasme arteri pada kemungkinan adanya

trombosis, bahkan pemberian obat sympathetic blocks serig menambah keragu-raguan

dalam menangani kasus trauma vaskular. Hematoma di bawah lapisan intima atau

robekan pada intima sendiri akan terlihat sebagai spasme pada inspeksi. Tetapi memang

spasme arteri dapat terjadi bersama dengan trauma vaskular, yang biasanya dapat diatasi

dengan pemberian Papaverin hydroclorida atau procain hydrochloride 1%.

Page 12: Tatalaksana Trauma Vascular - Unsyiah

Nasional Symposium & Workshop “Aceh Surgery Update 2”, Banda Aceh 16 – 17 September 2017 45

Pada trombosis dengan sumbatan total arteri selama lebih dari 6 jam akan

menyebabkan kematian otot dan saraf yang akan diganti oleh jaringan ikat, sehingga

terjadi kontraktur, misalnya Volkmann ischemic contracture.

b. Infeksi

Peradangan yang menyebabkan pecahnya anastomosis pada rekonstruksi trauma

vaskular dapat menyebabkan perdarahan yang hebat dan sukar untuk diatasi. Untuk

membantu pencegahan terhadap infeksi, diagnosis trauma vaskular harus cepat

ditegakkan, pemberian antibiotik yang sesuai, debridement luka yang adekuat,

kesinambungan pembuluh vaskular harus secepat mungkin diusahakan dan pemberian

nutrisi yang baik secara sistemik penting untuk dilakukan. Diperlukan observasi yang

ketat selama fase pasca operasi. Pada kecelakaan dengan luka terkontaminasi, maka

semua benda asing sedapat mungkin dikeluarkan dan kalau perlu luka dibilas dengan

larutan antibiotik.

Operasi ulang tidak boleh dilakukan di daerah yang terkena infeksi. Tidak saja

karena tindakan koreksi ulang ini akan memberikan kegagalan langsung, tetapi juga

berbahaya untuk kelangsungan hidup pasien karena septikemi dan atau eksanguinasi.

Yang harus dipertimbangkan adalah ligasi dari arteri proksimal dan distal dari daerah

infeksi. Beberapa hal yang masih dapat dikerjakan pada daerah infeksi ini adalah

debridenen, transisi flap otot, membasahi daerah infeksi dengan larutan antibiotic secara

teratur dan terus-menerus serta pemberian antibiotic yang terbaik. Infeksi adalah

penyebab kedua dari kegagalan rekonstruksi arteri pada trauma vaskular.

c. Stenosis

Penyebab terjadinya stenosis (penyempitan):

1. Kesalahan teknik operasi, misalnya jahitan jelujur yang ditarik terlampau ketat

atau pada koreksi dengan jahitan lateral, tetapi bahan dinding pembuluh tidak

cukup. Dapat pula karena tertinggalnya sisa jaringan pembuluh yang rusak. Bila

lesi arteri tidak diperbaiki dengan sempurna dapat terjadi iskemia relatif pada otot

yang akhirnya mengakibatkan suatu klaudikasio intermitten.

2. Hiperplasialapisanintimaterjadidijahitananastomosissetelahbeberapamingguatau

bulan. Ini dapat dikoreksi dengan graft interposisi vena autogen.

Page 13: Tatalaksana Trauma Vascular - Unsyiah

Nasional Symposium & Workshop “Aceh Surgery Update 2”, Banda Aceh 16 – 17 September 2017 46

d. Fistula arteri vena

Fistula arteri vena dapat disebabkan oleh trauma atau berupa suatu kelainan

bawaan. Biasanya fistula arteri vena traumatic disebabkan oleh cedera luka tembus yang

mengenai arteri dan vena yang berdekatan sehingga darah dapat langsung mengalir dari

arteri ke vena. Biarpun tidak sering kelainan ini dapat pula terbentuk pada tindakan arteri

yang kurang cermat di daerah yang kaya pembuluh darah.

Segera setelah terbentuk fistula antara arteri dan vena, darah arteri akan mengalir

melalui pintasan ini ke dalam vena, dan selanjutnya diteruskan ke jantung. Ini

menyebabkan menurunnya resistensi pembuluh darah perifer, tekanan diastole akan

menurun dan denyut jantung akan tambah cepat. Tekanan vena setempat akan naik,

sedangkan arus darah di tempat tersebut akan berkurang setelah beberapa waktu.

Pembuluh kolateral di daerah ini akan melebar serta arteri dan vena yang terlibat juga

akan melebar menyebabkan volume darah yang melalui pintasan ini akan bertambah

besar. Pembuluh vena melebar demikian rupa sehingga terbentuk seperti varises. Hal ini

bila berlangsung lama dapat menyebabkan payah jantung karena curahnya yang

bertambah.

Diagnosis fistula arteri vena tidak begitu sukar ditegakkan. Riwayat trauma tajam,

adanya pulsasi yang jelas disertai getaran pada perabaan dan pada auskultasi terdengar

bissng seperti bunyi mesin, semuanya ini menunjukkan adanya fistula antara pembuluh

arteri dengan pembuluh vena. Tanda lain yang mungkin timbul sebelah distal dari fistula

adalah klaudikasio intermitten, edema dan pelebaran vena yang berkelok-kelok dan

disertai warna kulit yang agak kebiruan.

Angiografi tidak diperlukan untuk diagnostik tetapi berguna untuk penentuan

lokasi pintasan yang akan dikoreksi. Waktu yang tepat untuk melakukan tindakan operasi

adalah segera setelah diagnostik ditegakkan. Prinsip dasar pada bedah vaskular juga

berlaku di sini, yaitu mencari dan melakukan jerat sementara pada proksimal dan distal

dari arteri dan vena yang terlibat, sebelum fistulnya dieksisi. Bila mungkin pembuluh

arterinya direkonstruksidengan jahitan langsung atau graft dengan vena autogen,

sedangkan lesi pembuluh darah vena biasanya dapat dijahit lateral langsung. Kelainan

struktur dan hemodinamika yang terjadi pada fistula arteri dan vena traumatic biasanya

pasca operasi menjadi normal kembali.

Page 14: Tatalaksana Trauma Vascular - Unsyiah

Nasional Symposium & Workshop “Aceh Surgery Update 2”, Banda Aceh 16 – 17 September 2017 47

e. Aneurisma Palsu

Penyebab aneurisma palsu adalah luka tembus yang merusak ketiga lapisan

dinding pembuluh arteri secara menyamping (tangensial). Kadang-kadang disebabkan

oleh kesalahan pada prosedur diagnostik atau terapi, yaitu kerusakan dinding arteri yang

disebabkan oleh jarum atau kateter atau kecelakaan pada waktu operasi hernia nukleus

pulposus dan fraktur ganda tulang pada kecelakaan lalu lintas. Biarpun jarang trauma

tumpul juga dapat menyebabkan terjadinya aneurisma palsu.

Aneurisma traumatik dapat terbentuk di daerah yang secara anatomik

mengandung banyak jaringan ikat kuat dan bersekat, yang dapat mengadakan tamponade

terhadap hematoma. Kemudian dengan tumbuhnya lapisan endotel baru yang berasal dari

pinggir luka lesi vaskular, maka terbentuklah rongga aneurisma palsu.

Benjolan yang berdenyut adalah tanda yang paling nyata dari aneurisma palsu.

Biasanya ada riwayat luka tembus. Berbatas tidak begitu tegas karena benjolan ini

terletak di bawah jaringa fasia yang kuat. Biasanya akan teraba getaran sistolik pada

seluruh benjolan ini, kadang disangka abses atau suatu neoplasma. Dapat pula terjadi

bersamaan dengan fistula arteri-vena. Pemeriksaan angiografi diperlukan bila ragu atau

bila letak lesinya sukar dicapai pada pemeriksaan di klinik. Pemeriksaan sonografi dapat

pula menolong untuk menentukan besar serta letak aneurisma palsu ini.

Dengan mencari dan mengikat sementara arteri proksimal dan distal dari lesi ini,

maka rekonstruksi arteri dapat dilakukan dengan leluasa. Kadang hanya diperlukan

beberapa jahitan lateral untuk menutup lesi arteri ini. Kemungkinan penyembuhan secara

spontan sangat kecil.

f. Sindrom Kompartemen

Sindroma kompartemen disebabkan oleh kenaikan tekanan internal pada

kompartemen fascia. Tekanan ini dapat menekan pembuluh darah dan syaraf tepi. Perfusi

menjadi kurang, serat syaraf rusak dan akhirnya terjadi iskemia atau bahkan nekrosis

otot. Sindrom kompartemen ditandai oleh 5 P yaitu pain, pulseless, paresthesia, pallor,

dan paralysis. Akibat dari sindroma kompartemen antara lain:

1. Kerusakan jaringan akibat hipoksemia

Sindroma kompartemen dengan peningkatan tekanan intramuskuler (IM) dan

kolaps aliran darah lokal sering terjadi pada cedera dengan hematoma otot, cedera

Page 15: Tatalaksana Trauma Vascular - Unsyiah

Nasional Symposium & Workshop “Aceh Surgery Update 2”, Banda Aceh 16 – 17 September 2017 48

remuk (crushed injury), fraktur atau amputasi. Bila tekanan perfusi (tekanan darah

sistolik) rendah, sedikit saja kenaikan tekanan IM dapat menyebabkan hipoperfusi

lokal. Pada pasien normotermik, shunting aliran darah mulai terjadi pada tekanan

sistolik sekitar 80mmHg. Sedang pada pasien hipotermik shunting terjadi pada

tekanan darah lebih tinggi.

2. Kerusakan akibat reperfusi

Jika hipoksemia lokal (tekanan IM tinggi, tekanan darah rendah) berlangsung

lebih dari 2 jam, reperfusi dapat menyebabkan kerusakan pembuluh darah yang

ekstensif. Pada kasus-kasus ekstremitas dengan syok berkepanjangan, kerusakan

akibat reperfusi sering lebih buruk dibanding cedera primernya. Karena itu

dekompresi harus dikerjakan lebih awal, terutama kompartemen di lengan atas.

Kesimpulan

1. Trauma vaskular lebih sering terjadi pada laki-laki dari pada perempuan.

2. Trauma vaskular berhubungan dengan beberapa faktor, yaitu tipe trauma, lokasi

trauma, konsekuensi hemodinamik, dan mekanisme trauma.

3. Gambaran klinis dari trauma arteri dapat berupa perdarahan luar, iskemia,

hematoma pulsatil, atau perdarahan dalam yang disertai tanda-tanda syok.

4. Trauma vaskuler memerlukan diagnosis dan tindakan penanganan yang cepat untuk

menghindarkan akibat fatal berupa amputasi. Trauma pada pembuluh darah juga

menyebabkan ancaman pada kelangsungan hidup bagian tubuh yang

diperdarahinya

Page 16: Tatalaksana Trauma Vascular - Unsyiah

Nasional Symposium & Workshop “Aceh Surgery Update 2”, Banda Aceh 16 – 17 September 2017 49

DAFTAR PUSTAKA

1. Jusi HD. Dasar-Dasar Ilmu Bedah Vaskuler Edisi ke-4. Jakarta: Balai Penerbit

FKUI. 2008. H:50-65.

2. Rich NM, Mattox KL, Hirshberg A. Vascular Trauma 2nd

Ed. USA: Elsevier

Saunders. 2004.

3. Bjerke HS, 2010. Extremity Vascular Trauma. From

emedicine.medscape.com/article/462753-treatmentandmanagement [Accessed on

: 19th

October 2014]

4. Brohi K, 2002. Peripheral Vascular Trauma. From :

www.trauma.org/archive/vascular/PVTmanage.html. [Accessed on : 19th October

2014]

5. Davies AH, Brophy CM (2006). Vascular Surgery. Springer Science & Business

Media.

6. Hands L, Sharp M, Ray-Chaundhuri S dan Murphy M (2007). Vascular Surgery.

Oxford University Press.

7. Hansen J.T., 2011. Netter’s Anatomy Coloring Book 2nd

ed. : Saunders

Publications, United Kingdom.

8. Jusi HD. Dasar-Dasar Ilmu Bedah Vaskuler Edisi ke-4. Jakarta: Balai Penerbit

FKUI. 2008. H:50-65.

9. Nuraini P, 2013. Ruptur Arteri Brachialis, Fakultas Kedokteran Universitas

Padjajaran.

10. Rich NM, Mattox KL, Hirshberg A. Vascular Trauma 2nd Ed. USA: Elsevier

Saunders. 2004.