tatalaksana penyakit hirschsprung pdf

22
Tatalaksana Penyakit Hirschsprung Darmawan Kartono Divisi Bedah Anak Departemen Ilmu Bedah FKUI-RSUPN Dr. Cipto Mangunkusumo Jakarta Abstrak Dari pengalaman penanganan sehari-hari sebagian kasus pasien penyakit Hirschsprung (PH) rujukan tidak terdiagnosis atau datang dalam keadaan terlambat. Sebagian pasien membawa foto yang tidak informatif sehingga terdapat diagnosis false positive atau false negative. Keterlambatan atau tidak terdiagnosisnya PH disebabkan oleh pengetahuan tentang etiologi, patologi dan patofisiologi penyakit ini tidak atau kurang dikuasai. Khusus mengenai foto yang tidak informatif, biasanya disebabkan oleh prosedur pembuatan foto yang dilakukan tidak sesuai dengan prosedur baku. Sebagian pasien penyakit Hirschsprung datang setelah ditangani, baik penanganan bedah sementara maupun bedah definitif yang dikerjakan tidak sesuai dengan prosedur; sehingga hasilnya tidak memadai dan timbul masalah baru yang justru akan mempersulit tindakan koreksi. Oleh sebab itu, diagnosis, pemeriksaan fisik, diagnosis diferensial, patologi dan patofisiologi serta teknik pembuatan foto yang benar sangat diperlukan untuk penanganan PH yang tepat dimana hal-hal tersebut akan diuraikan dalam makalah ini secara lebih rinci. Kata kunci : Hirschsprung, diagnosa, penanganan PENDAHULUAN Dari pengalaman penanganan sehari-hari sebagian kasus pasien penyakit Hirschsprung (PH) rujukan tidak terdiagnosis atau datang dalam keadaan terlambat. Sebagian pasien membawa foto yang tidak informatif sehingga terdapat diagnosis false positive atau false negative. Keterlambatan atau tidak terdiagnosisnya PH disebabkan oleh pengetahuan tentang etiologi, patologi dan patofisiologi penyakit ini tidak atau kurang dikuasai. Khusus mengenai foto yang tidak informatif, biasanya disebabkan oleh prosedur pembuatan foto yang dilakukan tidak sesuai dengan prosedur baku. Sebagian

Upload: sylvia-anggraeni

Post on 18-Dec-2015

112 views

Category:

Documents


32 download

DESCRIPTION

hirschprung

TRANSCRIPT

  • Tatalaksana Penyakit Hirschsprung

    Darmawan Kartono

    Divisi Bedah Anak Departemen Ilmu Bedah FKUI-RSUPN Dr. Cipto Mangunkusumo

    Jakarta

    Abstrak

    Dari pengalaman penanganan sehari-hari sebagian kasus pasien penyakit

    Hirschsprung (PH) rujukan tidak terdiagnosis atau datang dalam keadaan terlambat.

    Sebagian pasien membawa foto yang tidak informatif sehingga terdapat diagnosis false

    positive atau false negative. Keterlambatan atau tidak terdiagnosisnya PH disebabkan

    oleh pengetahuan tentang etiologi, patologi dan patofisiologi penyakit ini tidak atau

    kurang dikuasai. Khusus mengenai foto yang tidak informatif, biasanya disebabkan oleh

    prosedur pembuatan foto yang dilakukan tidak sesuai dengan prosedur baku. Sebagian

    pasien penyakit Hirschsprung datang setelah ditangani, baik penanganan bedah

    sementara maupun bedah definitif yang dikerjakan tidak sesuai dengan prosedur;

    sehingga hasilnya tidak memadai dan timbul masalah baru yang justru akan

    mempersulit tindakan koreksi. Oleh sebab itu, diagnosis, pemeriksaan fisik, diagnosis

    diferensial, patologi dan patofisiologi serta teknik pembuatan foto yang benar sangat

    diperlukan untuk penanganan PH yang tepat dimana hal-hal tersebut akan diuraikan

    dalam makalah ini secara lebih rinci.

    Kata kunci : Hirschsprung, diagnosa, penanganan

    PENDAHULUAN

    Dari pengalaman penanganan sehari-hari sebagian kasus pasien penyakit

    Hirschsprung (PH) rujukan tidak terdiagnosis atau datang dalam keadaan terlambat.

    Sebagian pasien membawa foto yang tidak informatif sehingga terdapat diagnosis false

    positive atau false negative. Keterlambatan atau tidak terdiagnosisnya PH disebabkan

    oleh pengetahuan tentang etiologi, patologi dan patofisiologi penyakit ini tidak atau

    kurang dikuasai. Khusus mengenai foto yang tidak informatif, biasanya disebabkan oleh

    prosedur pembuatan foto yang dilakukan tidak sesuai dengan prosedur baku. Sebagian

  • pasien penyakit Hirschsprung datang setelah ditangani, baik penanganan bedah

    sementara maupun bedah definitif yang dikerjakan tidak sesuai dengan prosedur ;

    sehingga hasilnya tidak memadai dan timbul masalah baru yang justru akan

    mempersulit tindakan koreksi. Oleh sebab itu, diagnosis, pemeriksaan fisik , diagnosis

    diferensial, patologi dan patofisiologi serta teknik pembuatan foto yang benar sangat

    diperlukan untuk penanganan PH yang tepat.

    SEJARAH

    Pada tahun 1886 Harold Hirschsprung melaporkan perjalanan klinis sampai saat

    kematian dua orang pasien dengan gangguan fungsi usus yang berat, masing-masing

    berusia 7 dan 11 bulan dimana didapati penampilan makroskopis kolon yang dilatasi

    dan hipertrofi, yang oleh Hirschsprung dinilai sebagai penyebab primer gangguan fungsi

    usus.

    Penyakit dengan kelainan kolon seperti diuraikan tersebut di atas oleh Hirschsprung

    disebut sebagai congenital dilatation of the colon.

    Sampai tahun 1930-an etiologi PH belum jelas diketahui. Penyebab sindrom

    tersebut baru jelas setelah Robertson dan Kernohan pada tahun 1938 serta Tiffin,

    Chandler dan Faber pada tahun 1940 mengemukakan bahwa megakolon pada PH

    disebabkan primer oleh gangguan peristalsis usus dengan defisiensi ganglion di usus

    bagian distal.

    EMBRIOLOGI DAN ETIOLOGI

    Dalam perkembangan embriologik normal sel-sel neuroenterik bermigrasi dari

    krista neural ke saluran gastrointestinal bagian atas kemudian melanjutkan ke arah

    distal.

    Sel-sel syaraf pertama sampai di esofagus dalam gestasi minggu ke lima.

    Minggu ke tujuh sel-sel syaraf sampai di midgut dan mencapai kolon distal dalam

    minggu ke dua belas. Migrasi berlangsung pertama ke dalam plexus Auerbach ,

    selanjutnya sel-sel ini menuju ke dalam plexus submukosa. Serabut syaraf berkembang

    ke bawah menuju saluran gastrointestinal dan kemudian bergerak menuju intestin mulai

    membran dasar dan berakhir di lapisan muskular. Sel-sel krista neural selanjutnya

    memakai struktur yang telah ada untuk bermigrasi ke dinding intestin.

    Dua teori dasar mengenai defek embriologik PH adalah kegagalan migrasi sel-

    sel krista neural, teori imunologik dan hostile environment. Teori lain tentang hipotesis

    2

  • adanya aberasi migrasi sel-sel krista neural sehingga terjadi kegagalan neuroblas

    mencapai migrasi paling distal sebagai PH.

    PATOLOGI

    Penampilan kolon PH bervariasi bergantung pada usia pasien sewaktu

    ditemukan. Dalam usia neonatal kolon terlihat seperti normal, segmen dilatasi terlihat

    sedikit saja, taenia masih terlihat dan dinding kolon tidak terlalu hipertrofik, dan pada

    perabaan terasa masih lembut, tidak kasar dan tidak kaku. Usia pasca neonatal, lebih

    nyata terlihat segmen kolon sempit, zona transisi dan segmen dilatasi.

    Zona transisi atau disebut sebagai zona perubahan dari segmen aganglion yang

    terlihat sempit ke segmen berganglion normal yang terlihat dilatasi. Absensi sel ganglion

    di segmen distal merupakan ciri khas penyakit ini. Sel ganglion Meissner absen di

    lapisan submukosa ataupun ganglion plexus Auerbach di lapisan intermuskular .

    Serabut-serabut syaraf terlihat pada sediaan pewarnaan hematoxilin dan eosin tetapi

    lebih mudah terlihat dengan pewarnaan asetilkolin-esterase. Penemuan ganglion di

    bagian proksimal setelah segmen aganglion yang disertai serabut syaraf yang menebal

    menunjukkan masih terdapat elemen transisi. Penebalan serabut syaraf menunjukkan

    adanya displasi neuronal di daerah transisi, mungkin sebagai kausa disfungsi intestinal

    pascabedah definitif. ]

    PATOFISIOLOGI Sistem persyarafan autonom intrinsik saluran gastrointestinal terdiri dari plexus

    sel ganglion dengan hubungan neural masing-masing. 1. Plexus Auerbach, terletak di

    antara lapisan otot sirkular dan longitudinal, 2. plexus Henle, atau deep submucosal,

    plexus sepanjang batas dalam muskularis propria sirkular, dan 3. plexus Meissner di

    bawah muskularis mukosa. dimana hilangnya factor intrinsik akan menyebabkan

    hilangnya reflek kontraksi dan relaksasi rectum.

    Absensi sel-sel ganglion, sistem syaraf extrinsik mengakibatkan kenaikan yang

    jelas inervasi intestin. Sistem kolinergik dan adrenergik menunjukkan kenaikan inervasi

    dua sampai tiga kali dalam kolon aganglionik. Diperkirakan bahwa sistem exsitasi

    adrenergik mendominasi fungsi inhibisi dalam segmen aganglionik, sehingga

    menciptakan kenaikan tonus otot polos. Inervasi kolinergik bertambah nyata dalam

    segmen aganglionik dan mendominasi exsitasi.

    3

  • Komponen lain yang menerangkan mekanisme kontraksi segmen aganglion

    adalah hilangnya fungsi sel-sel ganglion akan menyebabkan hilangnya syaraf inhibisi

    enterik intrinsik

    ANATOMI DAN FUNGSI NORMAL REKTUM DAN ANUS

    Anatomi Sfingter Anal dan Otot-otot Dasar Panggul

    Sfingter anal terdiri atas otot polos dan otot lurik yang membentuk saluran anal.

    Otot polos sfingter anal interna adalah intrinsik pada dinding usus, menempati 2/3

    bagian distal saluran anal, sebagian besar terletak distal dari linea dentata ; Sfingter

    anal externa merupakan lingkaran otot memanjang mengelilingi katup anal (anal valves)

    sampai orifisium anal, tersangga di antara muskulus perineum superfisial dan

    anococcygeal raphe. Di samping otot-otot sfingter terdapat otot-otot dasar panggul yang

    terletak pada pintu keluar rongga pelvis berupa otot-otot levator anal yang terdiri dari

    otot pubokoksigeus, ileokoksigeus, dan puborektal (Gb. 2).

    Persyarafan Rektum dan Anus

    Persyarafan parasimpatik berasal dari cabang anterior syaraf sakralis ke 2, 3 dan

    4. Persyarafan preganglion ini membentuk 2 syaraf erigentes yang memberikan cabang

    langsung ke rektum dan melanjutkan diri sebagai cabang utama ke plexus pelvis untuk

    organorgan intrapelvis. Di dalam rektum, serabut syaraf ini berhubungan dengan plexus

    ganglion Auerbach.

    Persyarafan simpatik berasal dari dalam ganglion lumbal ke 2, 3, dan 4 dan

    plexsus paraaorta. Persyarafan ini menyatu pada kedua sisi membentuk plexus

    hipogastrikus di depan vertebra lumbal 5 dan melanjutkan diri ke arah posterolateral

    sebagai persyarafan presakral yang bersatu dengan ganglion pelvis pada kedua sisi.

    4

  • Gambar 2. Anatomi anus dan rektum beserta otot-ototnya. LA = otot levator anal; PR = otot puborektal; SE = sfingter anal externa: SI = sfingter anal internal; TK = tulang

    koksigeus; MM = muskularis mukosa.

    Persyarafan simpatik dan parasimpatik ke rektum dan saluran anal berperan

    melalui ganglion plexus Auerbach dan Meissner untuk mengatur peristalsis dan tonus

    sfingter anal internal. Serabut syaraf simpatik dikatakan sebagai inhibitor dinding usus

    dan motor sfingter anal internal sedang parasimpatik sebagai motor dinding usus dan

    inhibitor sfingter. Sistem syaraf parasimpatik juga merupakan persyarafan sensorik

    untuk rasa atau sensasi distensi rektum.

    B

    INSIDENS

    Insidens PH sekitar 1 di antara 4400 sampai 1 di antara 7000 kelahiran hidup.

    Ratio pria terhadap wanita pasien PH dilaporkan 4 :1 lebih banyak pada pria. Penulis

    menemukan perbandingan pasien pria : wanita, 3 : 1.

    DIAGNOSIS

    Diagnosis PH harus ditegakkan dini. Keterlambatan diagnosis menyebabkan

    komplikasi seperti enterokolitis, perforasi usus, dan sepsis, yang merupakan penyebab

    kematian tersering.

    Berbagai teknik tersedia untuk penegakan diagnosis PH. Namun demikian

    dengan melakukan anamnesis yang cermat, pemeriksaan fisik yang teliti, pemeriksaan

    radiografik, serta pemeriksaan patologi anatomik biopsi isap rektum, diagnosis PH pada

    sebagian besar kasus dapat ditegakkan.

    5

  • Gambaran Klinis 1. keterlambatan evakuasi mekonium pertama, selanjutnya diikuti dengan distensi

    abdomen dan muntah hijau atau fekal, mirip tanda-tanda obstruksi usus setinggi

    ileum atau lebih distal lagi

    2. Distensi abdomen merupakan gejala penting lainnya. Distensi abdomen

    merupakan manifestasi obstruksi usus letak rendah dan dapat disebabkan oleh

    kelainan lain, seperti atresia ileum dan lain-lainnya.

    3. Pemeriksaan Colok dubur : tidak didapati adanya hambatan mekanik, Feses

    dapat menyemprot dapat tidak saat jari dilepas dari anus

    4. Tanda-tanda edema, bercak-bercak kemerahan khususnya di sekitar umbilikus,

    punggung, dan di sekitar genitalia ditemukan bila telah terdapat komplikasi

    peritonitis.

    5. Muntah yang berwarna hijau akibat obstruksi usus, yang dapat pula terjadi pada

    kelainan lain dengan gangguan pasase usus, seperti pada atresia ileum,

    enterokolitis nekrotikans neonatal, atau peritonitis intrauterin.

    6. PH dengan komplikasi enterokolitis menampilkan distensi abdomen dengan

    disertai diare berupa feses cair bercampur mukus dan berbau busuk, dengan

    atau tanpa darah dan umumnya berwarna kecoklatan atau tengguli.

    Pemeriksaan Radiologis Pemeriksaan foto polos abdomen dan khususnya pemeriksaan enema barium,

    merupakan pemeriksaan diagnostik terpenting untuk mendeteksi PH secara dini pada

    neonatus. Keberhasilan pemeriksaan radiologi pasien neonatus sangat bergantung

    pada kesadaran dan pengalaman spesialis radiologi pada penyakit ini, di samping teknik

    yang baik dalam memperlihatkan tanda-tanda yang diperlukan untuk penegakan

    diagnosis.

    Foto Polos Abdomen

    PH pada neonatus cenderung menampilkan gambaran obstuksi usus letak

    rendah. Daerah pelvis terlihat kosong tanpa udara . Foto polos abdomen dapat

    menyingkirkan diagnosis lain, seperti peritonitis intrauterin atau perforasi gaster. Pada

    foto polos abdomen neonatus, distensi usus halus dan distensi usus besar tidak selalu

    mudah dibedakan. Pada pasien bayi dan anak gambaran distensi kolon dan gambaran

    massa feses lebih jelas dapat terlihat.

    6

  • Gambar 1. Foto polos abdomen, terlihat tanda-tanda obstruksi usus letak rendah. Bayangan udara dalam kolon pada neonatus jarang dapat dibedakan dari bayangan

    udara dalam usus halus. Daerah rektosigmoid tidak terisi udara. Pada foto posisi

    tengkurap kadang-kadang terlihat jelas bayangan udara dalam rektosigmoid dengan

    tanda-tanda klasik penyakit Hirrschsprung, walaupun pasien berumur 21 hari.

    Foto Enema Barium

    Pemeriksaan enema barium harus dikerjakan pada neonatus dengan keterlambatan

    evakuasi mekonium yang disertai distensi abdomen dan muntah hijau, meskipun

    dengan pemeriksaan colok dubur gejala dan tanda-tanda obstruksi usus telah mereda

    atau menghilang. Tanda-tanda klasik radiografik yang khas untuk PH adalah:

    1. Segmen sempit dari sfingter anal dengan panjang tertentu

    2. Zona transisi, daerah perubahan dari segmen sempit ke segmen dilatasi

    3. Segmen dilatasi

    7

  • Gambar 2. Terdapat tiga jenis gambaran zona transisi pada foto enema barium : 1. Abrupt, perubahan tampak mendadak dari segmen sempit ke segmen dilatasi ; 2. Cone,

    bentuk seperti cerobong atau kerucut; 3. Funnel. Bentuk cerobong, perubahan dari

    segmen sempit ke segmen dilatasi terlihat sangat gradual.

    Terdapat 3 jenis gambaran zona transisi yang dijumpai pada foto enema barium

    (Gb.2) 1. Abrupt, perubahan mendadak; 2. Cone, bentuk seperti corong atau kerucut; 3.

    Funnel, bentuk seperti cerobong.

    Selain tanda-tanda klasik radiografik seperti tersebut di atas, mungkin dapat

    juga terlihat gambar permukaan mukosa yang tidak teratur menunjukkan proses

    enterokolitis (Gb.3). Juga dapat terlihat gambar garis-garis lipatan melintang (transverse

    fold), khususnya bila larutan barium mengisi lumen kolon dilatasi yang dalam keadaan

    kosong. Larutan barium mengisi lipatan-lipatan dinding kolon (Gb.3). Pada kasus

    aganglionosis seluruh kolon lebih sering kaliber kolon tampak normal.

    Gambar 3. A. Foto enema barium pada pasien berusia 14 bulan, di samping terlihat tanda-tanda klasik penyakit Hirschsprung juga terlihat iregularitas permukaan mukosa

    yang merupakan tanda enterokolitis berat. Juga terlihat garis-garis lipatan melintang

    (transverse folds) . B & C foto enema barium pasien berusia 1 bulan, tampak segmen

    8

  • sempit, zona transisi, dan dilatasi. Tampak pula lipatan-lipatan melintang dalam kolon

    terdilatasi seperti haustra yeyunum. Pada foto pasca evakuasi terlihat ketidakteraturan

    permukaan mukosa, tanda adanya proses entero-kolitis (tanda panah).

    Foto Retensi Barium

    Retensi barium 24 sampai 48 jam setelah enema merupakan tanda penting PH,

    khususnya pada masa neonatal. Gambaran barium tampak membaur dengan feses ke

    arah proksimal di dalam kolon berganglion norma1. Retensi barium pada pasien dengan

    obstipasi kronik yang bukan disebabkan PH terlihat makin ke distal, menggumpal di

    daerah rektum dan sigmoid (Gb. 4) Foto retensi barium dilakukan apabila pada foto yang dibuat pada waktu enema barium ataupun yang dibuat pasca evakuasi barium

    tidak terlihat tanda-tanda khas PH.

    Gambar 4. Foto retensi barium. Terlihat bayangan membaur ke arah proksimal.

    Prosedur Pemeriksaan FotoEnema Barium

    Pemeriksaan enema barium sebaiknya dikerjakan oleh spesialis radiologi anak

    yang berpengalaman pada neonatus. Hasil pemeriksaan enema barium dalam

    membantu penegakan diagnosis PH sangat bergantung pada tehnik pengerjaannya.

    Teknik Pengerjaan Enema Barium 1. Kateter lunak dimasukkan ke dalam rektum sampai ujung kateter terletak persis

    di atas sfingter anal, tidak lebih dari 2,5 cm. Kateter tidak dioles dengan pelicin

    dan difixasi dengan plester. Kateter dengan balon tidak dapat dipakai untuk

    keperluan ini karena hasilnya akan mengacaukan gambaran segmen sempit atau

    zona transisi., Pantat saling dirapatkan dengan plester lebar.

    2. Bahan kontras yang dipakai adalah larutan barium dengan pengenceran 30%

    dengan cairan pelarut NaCL fisiologik. Untuk memasukkan larutan barium

    9

  • dipakai semprit ukuran kecil, agar volume larutan barium yang dimasukkan dapat

    dikontrol. Rata-rata 510 ml setiap kali memasukkan ke dalam rektum. Untuk

    pasien anak lebih besar larutan barium dapat dimasukkan lebih dari 10 ml.

    Larutan barium lebih dipilih dari larutan gastrografin, karena kemungkinan masih

    diperlu-kan foto retensi barium, 24 48 jam setelah enema.

    3. Cara melakukan enema barium : Pasien dalam posisi tengkurap larutan barium

    dimasukkan dengan dikontrol fluoroskopi. Bila kontras telah masuk ke daerah

    rektosigmoid dan daerah transisi telah terlihat maka larutan barium tidak perlu

    dimasukkan lagi. Larutan barium akan mengisi rektum yang tidak terdilatasi

    (undilated rectum) melalui zona transisi (coned shaped transitional zone) masuk

    ke dalam kolon terdilatasi (dilated colon). Setelah itu posisi pasien diubah ke

    posisi lateral atau oblique. Bila kontras telah masuk ke lumen rektosigmoid dan

    daerah transisi telah terlihat maka larutan barium tidak perlu dimasukkan lagi.

    Foto dibuat dengan proyeksi lateral atau oblique lebih baik dari pada foto dengan

    arah sinar antero-posterior. Kateter dilepas dan dibuat foto ulang, disebut

    sebagai foto pascaevakuasi. Pasca evakuasi rektosigmoid kembali ke bentuk

    semula, tidak terpengaruh oleh tekanan larutan barium yang dimasukkan. Foto

    pascaevakuasi dikerjakan bila hasil enema barium pertama tidak linformatif.

    4. Hal-hal yang perlu diketahui : Sewaktu memasukkan larutan barium harus hati-

    hati dan pelan-pelan untuk menghindari segmen sempit aganglion terdilatasi.

    Pengisian larutan barium yang terlalu banyak dan de-ngan tekanan kuat akan

    mengakibatkan segmen distal kolon teregang dan menghilangkan gambaran

    zona transisi yang harus diperlihatan pada foto. Umumnya foto lebih jelas pada

    foto pascaevakuasi (lihat uraian butir 3) Kalau hasil foto dinilai tidak informatif,

    dapat dibuat foto ulang 24 - 48 jam sesudah enema barium untuk melihat

    bayangan sisa barium atau lebih sering disebut retensi barium.

    PEMERIKSAAN PATOLOGI ANATOMIK

    Diagnosis patologi-anatomik PH dilakukan melalui prosedur biopsi yang

    dilaporkan oleh Swenson pada tahun 1955 de-ngan eksisi seluruh tebal dinding

    muskulus rektum, sehingga plexus mienterik dapat diperiksa. Penemuan ganglion dalam

    spesimen biopsi menyingkirkan diagnosis PH; sebaliknya tidak ditemukan sel ganglion

    membuktikan diagnosis. Prose-dur biopsi ini secara teknik relatif sulit, karena

    10

  • memerlukan anestesi umum, juga menyebabkan inflamasi dan pemben-tukan jaringan

    fibrosis yang mempersulit pembedahan selan-jutnya.

    Selain itu dapat juga dilakukan biopsi isap mukosa dan submukosa rektum

    dengan mempergunakan alat Rubin atau Noblett dapat dikerjakan lebih sederhana,

    aman dan dilakukan tanpa anestesi umum. Diagnosis ditentukan dengan tidak

    ditemukannya sel ganglion Meissner dan ditemukan penebalan serabut saraf.

    Pemeriksaan patologi lain yang dianggap sebagai pemeriksaan gold standard

    adalah pemeriksaan ilmunohistokimia dengan memakai reagen cholin esterase.

    DIAGNOSIS DIFERENSIAL Diagnosis PH harus selalu dipikirkan bila menghadapi neonatus dengan gejala dan

    tanda-tanda hambatan pasase usus letak rendah, dapat akibat hambatan mekanik,

    seperti atresia setinggi ileum atau lebih rendah lagi, stenosis anal, ileus mekonium dan

    lain-lain. Obstruksi usus letak rendah akibat gangguan fungsi motilitas usus juga dapat

    tampil menyerupai PH, seperti prematuritas, enterokolitis nekrotikans, sepsis dengan

    gangguan keseimbangan elektrolit, hipotiroidisme , obstipasi psikogenik.

    Atresia Ileum Sumbatan Mekonium Atresia Rektal A Enterokolitis Nekrotikans Neonatal Peritonitis Intrauterin Neonatus dengan Sepsis Sindroma Kolon Kiri Kecil Obstipasi Psikogenik

    PROSEDUR BEDAH Pada dasarnya penyembuhan PH hanya dapat dicapai dengan pembedahan,

    berupa pengangkatan segmen usus aganglion, diikuti dengan pengembalian kontinuitas

    usus. Terapi medik hanya dilakukan untuk persiapan bedah. Prosedur bedah pada PH

    merupakan bedah sementara dan tindakan bedah definitif.

    Tindakan Bedah Sementara Tindakan dekompresi dengan pembuatan kolostomi di kolon berganglion normal

    yang paling distal merupakan tindakan bedah pertama yang harus dilakukan. Tindakan

    ini menghilangkan obstruksi usus serta mencegah enterokolitis yang dikenal sebagai

    11

  • kausa kematian utama. Perlu diketahui bahwa enterokolitis yang timbul sebelum

    tindakan dekompresi cenderung timbul kembali setelah tindakan bedah definitif.

    Kolostomi tidak dikerjakan bila dekompresi secara medik berhasil dan direncanakan

    bedah definitif langsung.

    Tindakan Bedah Definitif Untuk penanganan PH telah dikembangkan prosedur bedah definitif sejak tahun

    1948, ketika Swenson dan Bill mengembangkan prosedur rektosigmoidektomi

    dilanjutkan dengan prosedur pull-through atau tarik-melalui abdomino-perineal.

    Beberapa prosedur lain telah pula dikembangkan, masing-masing oleh Duhamel, Soave

    dan Rehbein, dengan tujuan mengurangi komplikasi dan memperbaiki keberhasilan

    fungsional.

    Prosedur Swenson Swenson memperkenalkan prosedur rektosigmoidektomi dengan preservasi

    sfingter anal. Anastomosis dilakukan langsung di luar rongga peritoneal. Pembedahan

    ini disebut sebagai prosedur rektosigmoidektomi dilanjutkan dengan pull-through

    abdomino-perineal. Puntung rektum ditinggalkan 2-3 cm dari garis mukokutan. Pada

    masa pascabedah ditemukan beberapa komplikasi seperti kebocoran anastomosis,

    stenosis, inkontinensi, enterokolitis dan lain-lain. Teknik Pembedahan

    Reseksi kolon aganglion dimulai dengan pemotongan arteri dan vena sigmoidalis

    dan hemoroidalis superior. Segmen sigmoid dibebaskan beberapa sentimeter dari dasar

    peritoneum sampai 1-2 cm proksimal kolostomi. Puntung rektosigmoid dibebaskan dari

    jaringan sekitarnya di dalam rongga pelvis untuk dapat diprolapskan melalui anus.

    Pembebasan kolon proksimal dilakukan untuk memungkinkan kolon tersebut dapat

    ditarik ke perineum melalui anus tanpa tegangan.

    Puntung rektum diprolapskan dengan tarikan klem yang dipasang di dalam

    lumen. Pemotongan rektum dilakukan 2 cm proksimal dari garis mukokutan, bagian

    posterior dan bagian anterior sama tinggi (Prosedur Swenson I). Atau pemotongan

    dilakukan dengan arah miring, 2 cm di bagian anterior dan 0,5 cm di bagian posterior

    (prosedur Swenson II). Selanjut-nya, kolon proksimal ditarik ke perineum melalui

    puntung rektum yang telah terbuka. Anastomosis dilakukan dengan jahitan dua lapis

    dengan menggunakan benang sutera atau benang vicryl. Setelah anastomosis

    kolorektal selesai dilaku-kan, kemudian rektum dimasukkan kembali ke rongga pelvis.

    12

  • Reperitonealisasi dilakukan dengan perhatian pada vaskularisasi kolon agar tidak

    terjahit. Penutupan dinding abdomen dilakukan setelah pencucian rongga peritoneum.

    Kateter dan pipa rektal kecil dipertahankan untuk 2 - 3 hari

    Prosedur Duhamel Pada tahun 1956, Duhamel memperkenalkan prosedur bedah definitif dengan

    rektum dipertahankan. Kolon berganglion normal di proksimal ditarik melalui retrorektal

    transanal dan dilakukan anastomosis kolorektal ujung ke sisi. Kemudian kolon proksimal

    ditarik melalui retrorektal transanal dan dila-kukan anastomosis kolorektal ujung ke sisi.

    Prosedur Duhamel asli, anastomosis kolon proksimal dilakukan pada sfingter anal

    internal dan dinilai kurang baik sebab sering terjadi stenosis, inkontinensi, dan

    pembentukan fekaloma dalam puntung rektum yang ditinggalkan terlalu panjang. Untuk

    mencegah kekurangan tersebut di atas dikembangkan berbagai modifikasi.

    Teknik Pembedahan

    Reseksi segmen sigmoid dikerjakan seperti pada prosedur Swenson. Puntung

    rektum dipotong sekitar 2-3 cm di atas dasar peritoneum dan ditutup dengan jahitan dua

    lapis memakai benang sutera atau vicryl. Ruang retrorektal dibuka sehingga seluruh

    permukaan dinding posterior rektum bebas. Sayatan endoanal setengah lingkaran

    dilakukan pada dinding posterior rektum pada jarak 0,5 cm dari linea dentata.

    Selanjutnya kolon proksimal ditarik retrorektal melalui insisi endoanal keluar anus.

    Mesokolon diletakkan di bagian posterior.

    Anastomosis kolorektal dilakukan untuk membentuk rektum baru dengan

    menghilangkan septum (dinding rektum poste-rior dan dinding anterior kolon proksimal).

    Teknik anastomosis dikerjakan dengan bermacam-macam cara. Beberapa teknik

    anastomosis yang dikenal adalah:

    1. Prosedur Duhamel Asli (1956).

    2. Prosedur Duhamel Modifikasi Grob (1959).

    3. Prosedur Duhamel Modifikasi Talbert dan Ravitch.

    4. Prosedur Duhamel Modifikasi Ikeda.

    5. Prosedur Duhamel Modifikasi Adang.

    Prosedur Duhamel modifikasi dengan penggunaan stapler linear.

    Prosedur tersebut terakhir ini merupakan prosedur yang dilakukan saat ini.

    13

  • 5

    Gambar 5. Skema tahapan bedah definitif prosedur Duhamel modifikasi. (1) gambar kolon dan rektum setelah reseksi kolon dilatasi; (2) pembebasan ruang retrorektal dari

    lantai dasar peritoneum; (3) posisi kolon setelah pull-through retrorektal, kolon dibiarkan

    prolaps; (4) dan (5), tahapan anastomosis, reseksi kolon yang diprolapskan dan setelah

    reseksi septum.

    Di samping modifikasi yang telah diuraikan seperti di atas, masih banyak lagi

    tehnik yang diajukan para spesialis bedah, yang pada dasarnya merupakan modifikasi

    Duhamel.

    Prosedur Soave Soave mengerjakan prosedur bedah yang berbeda dengan dua prosedur bedah

    seperti diuraikan di atas. la melakukan pendekatan abdominoperineal dengan

    membuang lapisan mukosa rektosigmoid dari lapisan seromuskular. Selanjutnya

    dilakukan penarikan kolon berganglion normal keluar anus melalui selubung

    seromuskular rektosigmoid. Prosedur ini disebut juga sebagai prosedur pull-through

    endorektal. Setelah 21 hari, sisa kolon yang diprolapskan dipotong. Boley pada waktu

    yang hampir bersamaan melakukan prosedur pull-through endorektal persis seperti

    prosedur Soave dengan anastomosis langsung tanpa kolon diprolapskan lebih dahulu.

    Tehnik ini dilakukan untuk mencegah retraksi kolon bila terjadi nekrosis bagian kolon

    yang diprolapskan (Gb. 6).

    14

  • Gambar 6. Skema tahapan bedah prosedur Soave (sigmoidektomi dengan tarik-melalui endorektal). Reseksi kolon disertai diseksi mukosa rektum, sehingga tersisa selubung

    seromuskular.

    Prosedur Rehbein Pada dasarnya prosedur Rehbein merupakan prosedur State, berupa reseksi

    anterior yang diextensi ke distal sampai dengan pengangkatan sebagian besar rektum.

    Reseksi segmen aganglion termasuk sigmoid dilanjutkan dengan anastomosis ujung-ke-

    ujung yang dikerjakan intraabdominal extraperitoneal (Gb 7). Dalam prosedur ini puntung rektum aganglion yang ditinggalkan masih cukup panjang, sehingga sering

    ditemukan obstipasi residif.

    Gambar 7. Skema tahapan bedah prosedur Rehbein, deep anterior resection (rekto-sigmoidektomi dengan anastomosis ujung-ke-ujung, dilakukan intraabdominal

    extraperitoneal).

    15

  • Prosedur Bedah Definitif Melalui Laparoskopik 1. Beberapa tahun terakhir penanganan bedah PH berkembang dari dua atau tiga

    tahapan rekonstruksi (multi-stage proce-dure) ke prosedur satu tahap (single-

    stage procedure) pada pasien usia dini. Telah dilaporkan oleh banyak senter

    bedah mengenai pengalaman mereka melakukan pull-through kolon primer satu

    tahap. Prosedur satu tahap dikerjakan juga dengan tehnik laparokopik.

    Keuntungan prosedur satu tahap dibandingkan dengan prosedur bedah bertahap

    dikatakan terdapat penurunan morbiditas, tidak memerlukan kolosto-mi, masa

    rawat lebih singkat dan biaya rumah sakit lebih murah.

    Kesulitan bedah laparoskopik di antaranya : 1. dengan endostapler puntung

    rektum tidak terpotong tuntas pada prosedur Duhamel, sehingga terjadi pouchitis. 2.

    Anus bayi yang masih kecil tidak muat untuk stapler sehingga menyulitkan . 3. Biaya

    mahal. 4. Waktu yang dibutuhkan lama, dari 17 kasus yang ditangani dengan prosedur

    Duhamel, Muraji (2002) memerlukan waktu 5 jam .

    Prosedur Soave Satu-Tahap Transanal. Teitelbaum dkk setelah berhasil melakukan tehnik pull-through laparoskopik

    mereka mengembangkan prosedur Soave satu tahap transnal. Menurut mereka

    prosedur ini dapat menekan biaya rumah sakit, risiko kerusakan struktur pelvis kurang,

    insidens perdarahan intraperitoneal dan adhesi rendah dan tanpa jaringan parut bekas

    insisi dinding abdomen.

    PERMASALAHAN BEDAH DEFINITIF

    Tiap prosedur bedah definitif mempunyai tujuan yang sama, yaitu menyelesaikan

    secara tuntas PH dengan hasil yang baik, dalam arti pasien dapat menguasai fungsi

    sfingter anal sehingga kontinensia anal dapat tercapai.

    Komplikas pascabedah yang serius dapat timbul dini atau lambat sesudah

    pembedahan. Pengenalan komplikasi pasca bedah secara dini dan diikuti dengan

    tindakan yang tepat akan mengurangi angka kecacatan dan kematian. Setiap masalah

    yang timbul dalam waktu 4 minggu pertama setelah bedah definitif dinilai sebagai

    komplikasi dini pasca bedah.

    16

  • PENYULIT PASCA BEDAH

    Beberapa keadaan dapat merupakan faktor predisposisi untuk terjadi komplikasi

    pascabedah di antaranya :

    1. Usia saat pembedahan definitif. Lebih muda usia pasien umumnya lebih sering

    dijumpai komplikasi pascabedah.

    2. Kondisi pasien prabedah. Persiapan perbaikan keadaan umum pasien, termasuk

    persiapan kolon, merupakan hal yang penting dilakukan. Keadaan umum prabedah

    yang kurang optimal cenderung menimbulkan komplikasi pasca-bedah.

    3. Prosedur bedah yang digunakan. Setiap prosedur bedah mempunyai

    kecenderungan timbul komplikasi yang spesifik untuk masing-masing prosedur.

    4. Keterampilan dan pengalaman spesialis bedah yang melaku-kan pembedahan.

    5. Jenis dan cara pemberian antibiotika yang dipakai.

    6. Perawatan pascabedah.

    Kebocoran Anastomosis Kebocoran anastomosis dinilai merupakan komplikasi serius pascabedah dan dapat

    menyebabkan kenaikan angka kecacatan dan kematian.

    Faktor predisposisi

    1. Ketegangan pada garis anastomosis

    2. Vaskularisasi pada tepi sayatan kedua ujung usus yang dianastomosiskan tidak

    adekuat.

    3. Infeksi dan abses di sekitar anastomosis

    4. Pemasangan pipa rektal yang terlalu besar dapat menye-babkan nekrosis tekan

    pada anastomosis.

    5. Trauma akibat colok dubur atau businasi pascabedah yang dikerjakan terlalu dini

    dan kurang hati-hati. Colok dubur sebaiknya dikerjakan 2 minggu pascabedah.

    6. Distensi usus-usus pasca bedah menimbulkan tegangan pada garis anastomosis

    yang berakhir disrupsi anastomosis.

    7. Lain-lain, seperti pasien sindroma Down, pasien dan pasien dengan umur yang

    terlalu muda.

    Kenaikan suhu tubuh dengan disertai tanda-tanda ileus harus dicurigai adanya

    proses infeksi terkait dengan pembedahan yang dilakukan.

    17

  • Pencegahan dan Tindakan

    Pencegahan kebocoran anastomosis dilakukan dengan memperhatikan faktor

    predisposisi dalam pengerjaan pembedahan. Deteksi dini kebocoran anastomosis perlu

    dilakukan, dan bila terdapat kebocoran anastomosis segera dilakukan pengamanan

    dengan pembuatan kolostomi di segmen proksimal.

    STENOSIS Etiologi

    1. Gangguan penyembuhan luka di daerah anastomosis.

    2. Prosedur bedah yang dipakai.

    Manifestasi klinis

    Stenosis di daerah anastomosis menyebabkan gangguan defekasi dengan

    segala akibatnya.

    Enterokolitis Enterokolitis yang terkait dengan PH atau Teitelbaum dkk menyebutnya sebagai

    Hirschsprungs associated enterocolitis telah diketahui sebagai kausa morbiditas dan

    mortalitas.

    Enterokolitis dapat terjadi mulai pada awal kehidupan neonatal dengan PH dan

    dapat juga timbul pada setiap usia, baik sebelum ataupun sesudah pembedahan.

    Kompli-kasi ini perlu diketahui secara dini karena dapat mengakibatkan kematian pada

    setiap saat bila pengelolaan tidak memadai..

    Gangguan Fungsi Sfingter Anal Pascabedah Pembedahan definitif dikatakan berhasil bila pasien dapat defekasi spontan, setiap

    hari, tanpa bantuan obat-obat laxans ataupun supositoria; Pasien dapat menguasai

    fungsi sfingter anal dengan baik. Gangguan fungsi sfingter anal dapat dibe-dakan

    sebagai berikut :

    Inkontinensia Soiling Obstipasi berulang

    18

  • BENTUK-BENTUK KHUSUS PENYAKIT HIRSCHSPRUNG

    1. Penyakit Hirschsprung Segmen Ultrapendek

    2. Aganglionosis Seluruh Kolon

    3. Penyakit Hirschsprung Dewasa

    Contoh contoh pemeriksaan radiologis PH

    Gambar 8. Foto enema barium pada pasien tersebut pada gambar 1, terlihat tanda-tanda klasik PH, segmen sempit, zona transisi dan segmen dilatasi (kiri). Foto pasien

    lain dengan zona transisi terlihat di kolon desendens.

    19

  • Gambar 9-10. Diagnosis false negative diagnosis penyakit Hirschsprung dan bayangan barium retensi pada foto 24 jam pasca enema barium. Lumen rektosigmoid terlihat

    sangat teregang.

    Gambar 11. Diagnosis false positive penyakit Hirschsprung. Segmen sempit yang terlihat di foto adalah penyempitan akibat kontraksi muskulus puborektalis; terlihat

    gambaran peristalsis; tidak terlihat zona transisi.

    20

  • Gambar 12. Lipatan-lipatan melintang (trans Gambar 13. Permukaan mukosa verse folds) Irreguler suatu tanda proses enterokolitis

    Ringkasan

    Diagnosis PH tidaklah sulit untuk ditegakkan dengan pertimbangan sebagai

    berikut :

    1. Pasien yang datang dengan obstipasi tidak dimulai sejak lahir dan tidak disertai kembung perut harus difikirkan penyakit lain terlebih dahulu.

    2. Neonatus sejak lahir mekonium tidak keluar spontan ataupun dengan bantuan, terdapat 2 kemungkinan :

    - Penyakit Hirschsprung letak tinggi

    - Diagnosis deferensial : atresia ileum dsb

    Neonatus dengan keterlambatan evakuasi mekonium, walaupun akhirnya

    mekonium dapat keluar spontan atau dengan bantuan tetap memerlukan pemeriksaan

    lebih lanjut, di antaranya pemeriksaan radiologis.

    Diagnosis PH yang penting didasarkan pada riwayat klinik seperti tersebut di

    atas, dan pemeriksaan radiologis foto polos abdomen dengan terlihat tanda-tanda

    obstruksi usus letak rendah (setinggi ileum terminal atau lebih rendah lagi) .

    Untuk amannya, pembedahan definitif dilakukan setelah pasien berusia 2 bulan

    atau lebih, khususnya di rumah sakit dengan fasilitas terbatas. Prosedur bedah definitif

    21

  • yang digunakan, sebaiknya yang sederhana, komplikasi yang diperhitungkan kecil dan

    hasil akhirnya baik. Prosedur Duhamel modifikasi terhitung sebagai prosedur bedah

    definitif yang sederhana, mudah dikerjakan dan komplikasi obstipasi ulang, enterokolitis,

    kebocoran, dan inkontinensia kecil atau praktis mendekati 0%. Prosedur Soave masih

    terhitung prosedur sederhana dan angka keberhasilan tinggi dengan angka kom-plikasi

    kecil. Prosedur Swenson, merupakan prosedur yang relatif rumit, sulit dikerjakan kecuali

    oleh spesilis bedah yang trampil dan berpengalaman serta mampu bekerja dengan

    akurasi tinggi.

    Peran bedah invasif minimal dalam prosedur bedah definitif PH perlu

    dipertimbangkan masak-masak sebelum memulai, khususnya spesialis bedah yang

    sudah berhasil dengan bedah konvensional dan tidak mempunyai masalah dalam

    penanganan penyakit ini. Perubahan prosedur penanganan dari bedah konvensional ke

    bedah invasif minimal memer-lukan waktu lagi untuk suatu keberhasilan.

    Keberhasilan penanganan PH secara keseluruhan ditentukan oleh kerja sama

    yang baik antara berbagai dokter spesialis terkait, seperti spesialis anak, radiologi,

    bedah, anestesi, patologi anatomi dan sebagainya.

    Daftar Pustaka

    1. Kartono D. Penyakit Hirschsprung. Jakarta : Sagung Seto., 2004

    2. Kartono D. Penyakit Hirschsprung Neonatal: Diagnostik Radiologik. Maj Kedokt

    Indon, volum: 54, nomor:8, Agustus 2004; 332-7

    22

    Tatalaksana Penyakit Hirschsprung Divisi Bedah Anak Departemen Ilmu Bedah FKUI-RSUPN Dr. Cipto Mangunkusumo Jakarta Abstrak PENDAHULUAN SEJARAH EMBRIOLOGI DAN ETIOLOGI PATOLOGI ANATOMI DAN FUNGSI NORMAL REKTUM DAN ANUS Anatomi Sfingter Anal dan Otot-otot Dasar Panggul Persyarafan Rektum dan Anus INSIDENS DIAGNOSIS Gambaran Klinis Pemeriksaan Radiologis Foto Polos Abdomen Foto Enema Barium Foto Retensi Barium Prosedur Pemeriksaan FotoEnema Barium Teknik Pengerjaan Enema Barium

    PEMERIKSAAN PATOLOGI ANATOMIK Pemeriksaan patologi lain yang dianggap sebagai pemeriksaan gold standard adalah pemeriksaan ilmunohistokimia dengan memakai reagen cholin esterase. Atresia Ileum Atresia Rektal Enterokolitis Nekrotikans Neonatal Peritonitis Intrauterin Neonatus dengan Sepsis Sindroma Kolon Kiri Kecil Obstipasi Psikogenik Tindakan Bedah Definitif Prosedur Swenson Teknik Pembedahan Prosedur Duhamel Teknik Pembedahan Prosedur Soave Prosedur Rehbein Prosedur Bedah Definitif Melalui Laparoskopik

    PERMASALAHAN BEDAH DEFINITIF PENYULIT PASCA BEDAH Kebocoran Anastomosis Faktor predisposisi Pencegahan dan Tindakan

    STENOSIS Etiologi Manifestasi klinis

    Enterokolitis Gangguan Fungsi Sfingter Anal Pascabedah

    BENTUK-BENTUK KHUSUS PENYAKIT HIRSCHSPRUNG 1. Penyakit Hirschsprung Segmen Ultrapendek 2. Aganglionosis Seluruh Kolon 3. Penyakit Hirschsprung Dewasa