ste - etika aristoteles

21
PENDAHULUAN A. Latar Belakang Masalah Filsafat plato dan Aristoteles tentang masalah etika dilihat dari latar belakangnya ialah bertujuan untuk mencapai eudaemonia, kebahagiaan sebagai “barang yang tertinggi ”dalam kehidupan. Ajaran Plato tentang etika kurang lebih mengatakan bahwa manusia dalam hidupnya mempunyai tujuan hidup yang baik, dan hidup yang baik ini dapat dicapai dalam polis. Dan Aristoteles pun telah menguraikan pendiriannya tentang etika dalam tiga karyanya yaitu Ethica nicomachea, Ethica eudemia dan magna moralia. Karya terakhir ini umumnya tidak di anggap otentik. Otentisitas Ethica eudemia pada awalnya sering kali di persoalkan, tetapi sekarang sudah tercapai konsensus antara para ahli mengenai otentisitasnya. Kedua filsuf diatas adalah sesosok fhilosof antara guru dan murid, yang dimana memiliki pandangan yang sama namun berbeda, terutama dalam masalah etika ini, karena menurutnya etika sesuatu yang mengandung nilai kebaikan, jika etika itu sendiri di realisasikan terhadap hal-hal yang baik. Plato adalah seorang filsuf dan matematikawan Yunani, dan pendiri dari Akademi Platonik di Athena, Plato adalah guru dari Aristoteles. Karyanya yang paling terkenal ialah Republik, yang di dalamnya berisi uraian garis besar pandangannya pada keadaan “ideal”. Aristoteles lahir di stageira pada semenanjung kalkideke di trasia (balkan) pada tahun 384 SM dan meninggal di kalkis pada tahun 322 SM dalam usia 63 tahun. B. Rumusan Masalah 1. Bagaimana Biografinya Plato dan Aristoteles? 2. Bagaimana ajaran filsafat Etikannya Plato? 3. Apa sajakah pemikirannya Etika Aristoteles C. Tujuan 1. Mengetahui Biografi singkat Plato dan Aristoteles. 2. Mengetahui Pemikiran Plato tentang Etika. 3. Mengetahui pemikiran Etikanya Aristoteles. PEMBAHASAN A. Biografi singkat Plato dan Aristoteles Plato dilahirkan di Athena pada tahun 427 SM dan meninggal disana pada tahun 347 SM dalam usia ke-80 tahun. Ia

Upload: tami-utamiokta

Post on 28-Dec-2015

68 views

Category:

Documents


0 download

DESCRIPTION

sejarah dan teori-teori etika

TRANSCRIPT

Page 1: STE - Etika Aristoteles

PENDAHULUAN

A.    Latar Belakang Masalah          Filsafat plato dan Aristoteles tentang masalah etika dilihat dari latar belakangnya ialah bertujuan untuk mencapai eudaemonia, kebahagiaan sebagai “barang yang tertinggi ”dalam kehidupan. Ajaran Plato tentang etika kurang lebih mengatakan bahwa manusia dalam hidupnya mempunyai tujuan hidup yang baik, dan hidup yang baik ini dapat dicapai dalam polis. Dan Aristoteles pun telah menguraikan pendiriannya tentang etika dalam tiga karyanya yaitu Ethica nicomachea, Ethica eudemia dan magna moralia. Karya terakhir ini umumnya tidak di anggap otentik. Otentisitas Ethica eudemia pada awalnya sering kali di persoalkan, tetapi sekarang sudah tercapai konsensus antara para ahli mengenai otentisitasnya. Kedua filsuf diatas adalah sesosok fhilosof antara guru dan murid, yang dimana memiliki pandangan yang sama namun berbeda, terutama dalam masalah etika ini, karena menurutnya etika sesuatu yang mengandung nilai kebaikan, jika etika itu sendiri di realisasikan terhadap hal-hal yang baik.           Plato adalah seorang filsuf dan matematikawan Yunani, dan pendiri dari Akademi Platonik di Athena, Plato adalah guru dari Aristoteles. Karyanya yang paling terkenal ialah Republik, yang di dalamnya berisi uraian garis besar pandangannya pada keadaan “ideal”. Aristoteles lahir di stageira pada semenanjung kalkideke di trasia (balkan) pada tahun 384 SM dan meninggal di kalkis pada tahun 322 SM dalam usia 63 tahun.

B.    Rumusan Masalah1.    Bagaimana Biografinya Plato dan Aristoteles?2.    Bagaimana ajaran filsafat Etikannya Plato?3.    Apa sajakah pemikirannya Etika Aristoteles

C.    Tujuan1.    Mengetahui Biografi singkat Plato dan Aristoteles.2.    Mengetahui Pemikiran Plato tentang Etika.3.    Mengetahui pemikiran Etikanya Aristoteles.

                                                                                                                                                            PEMBAHASAN

A.    Biografi singkat Plato dan Aristoteles

          Plato dilahirkan di Athena pada tahun 427 SM dan meninggal disana pada tahun 347 SM dalam usia ke-80 tahun. Ia berasal dari keluarga Aristokrasi yang turun-temurun memegang peranan penting dalam poltik Athena.  Ia adalah seorang filsuf dan matematikawan Yunani, dan pendiri dari Akademi Platonik di Athena, sekolah tingkat tinggi pertama di dunia barat. Sejak berumur 20 tahun, plato mengikuti pelajaran Socrates. Sekaligus menjadi murid Socrates. Pemikiran Plato pun banyak dipengaruhi oleh Socrates. Plato adalah guru dari Aristoteles. Karyanya yang paling terkenal ialah Republik, yang di dalamnya berisi uraian garis besar pandangannya pada keadaan “ideal”. Plato mempunyai kedudukan yang istimewa sebagai seorang filosof. Ia pandai menyatukan puisi dan ilmu, seni dan filsafat. Pandangan yang dalam

Page 2: STE - Etika Aristoteles

dan abstrak sekalipun dapat dilukiskannya dengan bahasa yang indah.           Aristoteles lahir di Stageira pada semenanjung kalkideke di Trasia (Balkan) pada tahun 384 SM dan meninggal di Kalkis pada tahun 322 SM dalam usia 63 tahun. Ayahnya yang bernama Mashaon adalah seorang dokter istana pada raja Makedonia Amyntas II.  jadi sangat  di mungkinkan sekali dalam masa mudanya ia hidup di istana raja makedonia di kota pella dan dapat di andaikan pula bahwa ia mewarisi minatnya yang khusus untuk pengetahuan empiris dari bapaknya. Pada usia 17 atau 18 tahun Aristoteles di kirim ke athena, supaya ia belajar di Akademia Plato. Ia tinggal disana sampai plato meninggal pada tahun 348/7; jadi, kira-kira dua puluh tahun  lamanya. Pada waktu Aristoteles berada di akademia, Aristoteles menerbitkan beberapa karya. Ia juga mengajar anggota-anggota akademia yang lebih muda, rupanya tentang pelajaran logika dan retorika.

B.    Pemikiran Etika Plato         Ajaran Plato tentang etika kurang lebih mengatakan bahwa, manusia dalam hidupnya mempunyai tujuan hidup yang baik, dan hidup yang baik ini dapat dicapai dalam suatu polis. Ia tetap memihak pada cita-cita Yunani Kuno yaitu hidup sebagai manusia serentak juga berarti hidup dalam bermasyarakat, ia menolak bahwa negara hanya berdasarkan nomos/adat kebiasaan saja dan bukan physis/kodrat. Plato tidak pernah ragu dalam keyakinannya bahwa manusia menurut kodratnya merupakan mahluk sosial, dengan demikian manusia menurut kodratnya hidup dalam polis atau Negara. Menurut Plato negara terbentuk atas dasar kepentingan yang bersifat ekonomis atau saling membutuhkan antara warganya maka terjadilah suatu spesialisasi bidang pekerjaan, sebab tidak semua orang bisa mengerjakaan semua pekerjaan dalam satu waktu. Polis atau negara ini dimungkinkan adanya perkembangan wilayah karena adanya pertambahan penduduk dan kebutuhanpun bertambah sehingga memungkinkan adanya perang dalam perluasan ini. Dalam menghadapi hal ini maka di setiap negara harus memiliki penjaga-penjaga yang harus di didik khusus.           Ada tiga golongan dalam negara yang baik, yaitu pertama, Golongan Penjaga yang tidak lain adalah para filusuf yang sudah mengetahui yang baik dan kepemimpinan dipercayakan pada mereka. Kedua, Pembantu atau Prajurit. Dan ketiga, Golongan pekerja atau petani yang menanggung kehidupan ekonomi bagi seluruh polis. Plato tidak begitu mementingkan adanya undang-undang dasar yang bersifat umum, sebab menurutnya keadaan itu terus berubah-ubah dan peraturan itu sulit disama-ratakan itu semua tergantung masyarakat yang ada di wilayah tersebut. Adapun negara yang diusulkan oleh Plato berbentuk demokrasi dengan monarkhi, karena jika hanya monarkhi maka akan terlalu banyak kelaliman, dan jika terlalu demokrasi maka akan terlalu banyak kebebasan, sehingga perlu diadakan penggabungan, dan negara ini berdasarkan pada pertanian bukan perdagangan. Hal ini dimaksudkan menghindari nasib yang terjadi di Athena.

C.    Pemikiran Etika Aristoteles        Etika Aristoteles pada dasarnya serupa dengan etika socrates dan plato. Yang tujuannya yakni mencapai Eudaemonia, kebahagiaan sebagai “barang yang tertinggi ” dalam kehidupan. akan tetapi, ia memahaminya secara realistik dan sederhana, ia tidak bertanya tentang budi dan berlakunya seperti yang dikemukakan oleh sokrates. Ia tidak pula menuju pengetahuan tentang

Page 3: STE - Etika Aristoteles

idea yang kekal dan tidak berubah-ubah, tentang idea kebaikan, seperti yang ditegaskan oleh plato. Ia menuju kepada kebaikan yang tercapai oleh manusia sesuai dengan gendernya, derajatnya, kedudukannya, atau pekerjaannya. Tujuan hidup, katanya tidaklah mencapai kebaikan untuk kebaikan, melainkan merasai kebahagian. Untuk seorang dokter, kesehatanlah yang baik, baik bagi seorang pejuang kemenanganlah yang baik, dan bagi seorang pengusaha, kemakmuranlah yang baik. Yang menjadi ukuran gunanya yang praktis tujuan kita bukan mengetahui, melainkan berbuat. bukan untuk mengetahui apa budi itu, melainkan supaya kita menjadi orang yang berbudi.         Dalam penjelasan sebelumnya kita  sudah mengetahui bahwa aristoteles telah menguraikan pendiriannya tentang etika dalam tiga karya yaitu Ethica nicomachea, Ethica eudemia dan magna moralia. Karya terakhir ini umumnya tidak di anggap otentik. Otentisitas Ethica eudemia pada awalnya sering kali di persoalkan,  tetapi sekarang sudah tercapai konsensus antara para ahli mengenai otentisitasnya. Tetapi  Ethica nicomachea agaknya di tulis aristoteles pada usia lebih tua daripada Ethica eudemia, sehingga dapat di simpulkan bahwa dalam Ethica nicomachea kita dapat menemukan pemikiran aristoteles yang lebih matang dalam bidang etika.  pandangan Aristoteles dalam filsafat etikanya tidak sekritis dengan pendahulunya, yakni Socrates dan gurunya plato, namun ia menanganinnya dengan sederhana. Sesuai dari apa yang ia alami secara realistis. Dalam bukunya ada empat hal penting yang dapat di ambil dari ajaran aristoteles tentang etika, diantaranya yaitu:

a)    Kebahagiaan sebagai tujuan          Dalam segala perbuatannya manusia mengejar suatu tujuan. Ia mencari sesuatu yang baik baginya tetapi ada banyak macam aktivitas manusia yang terarah pada macam-macam tujuan tersebut. Dan menurut aristoteles tujuan yang tertinggi ialah kebahagiaan (eudaimonia). Disini dapat di catat pula bahwa terjemahan “kebahagian” sebetulnya sedikit pincang untuk menyalin eudaimonia ke dalam bahasa indonesia. Dengan kata eudaimonia orang yunani tidak memaksudkan suatu perasaan subjektif, tetapi suatu keadaan manusia yang bersifat demikian sehingga segala yang harus ada padanya terdapat pada manusia (“well-being”). Dengan pemapaaran tadi maka sudah jelas bahwa yang di maksudkan dengan etika adalah cabang filsafat yang sifatnya praktis bukan teoritis.Dalam mencapai tujuan ini aristoteles memberikan pendapatnya tentang tiga hal yang perlu dipenuhi untuk mencapai kebahagiaan hidup:

1. Manusia harus memiliki harta secukupnya, supaya hidupnya terpelihara. Kemiskinan mengakibatkan perilaku rendah bagi manusia, memaksa ia menjadi loba. Apa yang dimiliki membebaskan ia dari kesengsaraan dan keinginan yang meluap, sehingga ia menjadi orang yang berbudi.

2. Alat yang terbaik untuk mencapai kebahagiaan ialah persahabatan. menurut aristoteles, persahabatan lebih penting daripada keadilan. Sebab, kalau orang-orang bersahabat, dengan sendirinya keadilan timbul antara mereka. Seorang sahabat sama dengan satu jiwa dalam dua orang. Cuma persahabatan lebih mudah tercapai antara orang yang sedikit jumlahnya dari antara orang banyak. Semua kita adalah sahabat maka tidak akan ada kemiskinan, karena sahabatnya yang kaya telah meghilangkan kemiskinannya.

Page 4: STE - Etika Aristoteles

3. Keadilan. Keadilan disini mempunyai dua pengertian. Pertama, keadilan dalam  arti pembagian barang-barang yang seimbang, relative sama menurut keadaan masing-masing. Kedua, keadilan dalam arti memperbaiki kerusakan yang ditimbulkan. Misalnya, perjanjian mengganti kerugian. ini keadilan menurut hukum.   

b)   Kebahagiaan menurut isinya        Jika kita berasumsi bahwa kebahagian merupakan tujuan yang tertinggi dalam hidup manusia. Maka perkataan ini perlu di klarifikasi kembali, karena hal ini terkait dengan berbagai pendapat manusia tentang kebahagiaan itu sendiri. Ada yang mengatakan bahwa kekayaan itu kebahagiaan, ada yang mengatakan kesehatan itu kebahagiaan, bahkan suatu kebahagiaan adalah ketika kita di hormati oleh sesama.Manusia hanya di sebut bahagia jika ia menjalankan aktivitanya dengan baik. Atau, seperti di rumuskan oleh aristoteles sendiri, supaya manusia bahagia ia harus menjalankan aktivitasnya “menurut keutamaan”. Hanya pemikiran yang di sertai dengan keutamaan (arete) dapat membuat manusia menjadi bahagia. Keutamaan menurut rasio, tetapi juga manusia seluruhnya. Manusia bukan hanya makhluk intelektual, melainkan juga makhluk yang mempunyai perasaan-perasaan, keinginan-keinginan, nafsu-nafsu, dan lain sebagainya. Dari sebab itu, sebagaimana yang akan di terangkan sebentar lagi, menurut aristoteles terdapat dua macam keutamaan: keutamaaan intelektual dan keutamaan moral. 

         Akan tetapi dalam hubungannya antara keutamaan dan kebahagian aristoteles beranggapan bahwa manusia belum di katakan bahagia jika manusia menjalankan pikirannya dengan keutamaan  dalam waktu yang relatif singkat atau sesekali saja. Menurut ia manusia bisa di katakan bahagia seutuhnya jika manusia itu dapat menjalankan pemikirannya dengan disertai keutamaan  dalam jangka waktu yang cukup panjang. Dengan kata lain, kebahagian itu adalah ketika manusia sudah sampai pada keadaan yang bersifat stabil (tetap).         Selain dalam uraian di atas, masih ada beberapa unsur lagi yang bisa membuat manusia meskipun unsur-unsur ini bukan termasuk pada hakikat kebahagiaan itu sendiri. Agar manusia benar-benar mendapatkan kebahagiaan yang utuh maka perlu juga bahwa dia (manusia) harus merasakan senang dalam menjalankan kebahagian seperti yang sudah di jelaskan di atas. Jadi, mesti ada kesenangan atau rasa bahagia yang subjektif. Dan perlu di garis bawahi kebahagiaan tidak dapat di samakan dengan kesenangan, aristoteles menolak hedonisme, akan tetapi ia mengakui bahwa kebahagiaan tidak akan sempurna jika tidak di sertai kesenangan (hedonis). Selain dari kesenangan yang sifatnya batiniah, maka dalam penyempurnaan kebahagian di perlukan juga kesenangan yang sifanya lahiriah, seperti misalnya kesehatan, kesejahteraan ekonomi, sahabat-sahabat, keluarga, penghormatan dan lain sebagainya. Pada dasarnya manusia yang kurang dari beberapa hal yang sudah di sebutkan tadi maka akan sukar untuk mendapatkan kebahagiaan. akan tetapi perlu di tekankan kembali bahwa kesenangan dan unsur-usur lahiriah tidak termasuk hakikat kebahagian itu sendiri melainkan hanya merupakan  syarat bagaimana kebahagiaan itu dapat di capai dan di realisasikan.

c)    Ajaran tentang keutamaan           Ketika kita berbicara tentang ajaran keutamaan, aristoteles tentu ajaran ini sangat berbeda dengan apa yang sudah pernah di tawarkan oleh filsuf-filsuf sebelumnya yakni socrates dan plato. Dimana socrates dan plato menganggap bahwa keutamaan itu sama halnya dengan pengetahuan,

Page 5: STE - Etika Aristoteles

sehingga dengan mengetahui apa yang baik baginya maka tentu ia akan berbuat seperti yang demikian, dan dari inilah maka di ambil kesimpulan bahwa keutamaan itu dapat di ajarkan, begitu menurut socrates dan plato. Dalam anggapan kedua filsuf ini, aristoteles sangat menentangnya, menurut dia belum cukuplah, jika manusia mengetahui apa yang baik baginya, karena hal ini tidak akan sekaligus membuat ia melakukan pengetahuannya tentang keutamaan tersebut. Dengan demikian aristoteles juga menentang akan anggapan bahwa keutamaan itu dapat di ajarkan. Tetapi dalam anggapan aristoteles ini malah ada pertanyaan yang cukup menarik, yakni jika keutamaan itu tidak dapat di ajarkan maka dengan cara manakah ia dapat memperoleh keutamaan? Jawaban aristoteles pun sangat terkesan paradok, sebab ia mengatakan bahwa kita memperoleh keutamaan dengan berbuat baik. Paradoks timbul karena kita terjepit dalam sebuah “lingkaran setan”.         Dalam penjelasan ini mungkin kita sangat sulit untuk memahami apa yang di maksud aristoteles, sehingga dalam penjelsan ini kita ambil contoh yng di tawarkan oleh kees bertens dalam contoh seperti ini: seorang anak misalnya, di larang oleh orang tuanya jangan mencuri barang kepunyaan orang lain. jika ia berbuat dengan larangan tersebut maka belum dapat di katakan bahwa ia berbuat dengan keutamaan. Tetapi mungkin  sekali dengan demikian suatu sikap tetap akan terbentuk dalam hati si anak, sehingga ia tidak mencuri lagi justru karena ia yakin bahwa perbuatan itu bukan perbuatan yang baik. Dan itulah yang di maksud aristoteles. Hidup menurut keutamaan (objektif) dapat menyebabkan keutamaan pribadi, sehingga untuk selanjutnya perbuatan perbuatan  akan di lakukan menurut keutamaan.        Biarpun aristoteles menolak pendirian yang menyamakan keutamaan dengan pengetahuan, namun ia mengakui juga bahwa rasio mempunyai peranan terpenting  dalam membentuk keutamaan-keutamaan. Setiap keutamaan berasal dari rasio. Tetapi ada dua jenis keutamaan yang dapat menyempurnakan rasio itu sendiri dan keutamaan dapat mengatur watak manusia. Keutamaan tadi kemudian di bagi menjadi dua yaitu keutamaan intelektual dan keutamaan moral.

1)    Keutamaan moralDisini aristoteles melukiskan keutamaan moral sebagai suatu sikap yang memungkinkan manusia untuk memilih jalan tengah antara dua ekstrem yang berlawanan. Hendaklah diperhatikan bahwa menurut aristoteles keutamaan merupakan suatu sikap. Supaya kita betul-betul mempunyai keutamaan, belum cukuplah jika hanya satu kali atau beberapa kali kita memilih jalan tengah antara dua ekstrem. Buat aristoteles, keutamaan baru merupakan keutamaan yang sungguh-sungguh, jika kita mempunyai sikap yang tetap untuk memilih jalan tengah tersebut.

2)    Keutamaan intelektualHal ini di jelaskan oleh aristoteles bahwa rasio manusia mempunyai dua fungsi, di satu sisi rasio manusia memungkinkan manusia untuk mengenal kebenaran dalam arti ini rasio dapat di katakan sebagai rasio teoritis. Di lain pihak rasio manusia berfungsi sebagai pemberi petunjuk atau keputusan supaya orang mengetahui apa yang harus ia lakukan dalam keadaan tertentu, dan di sisi ini rasio bisa di katakan sebagai rasio praktis. Sehingga dari sini aristoteles membagi keutamaan yang menyempurnakan rasio: ada kebijaksanaan teoritis dan ada kebijaksanaan praktis. Kebijakan Teoritis, Aristoteles sendiri memilih kata shopia untuk menunjukan kebijaksanaan teoritis, sebagaimana halnya dengan tiap-tiap keutamaan, kebiijaksanaan teoritis  pun merupakan suatu sikap tetap. Sekali-sekali saja mengenal kebenaran belum boleh dianggap

Page 6: STE - Etika Aristoteles

sebagai keutamaan. Sudah nyata bahwa hanya sedikit orang dapat memiliki kebijaksanaan teoritis, yaitu orang-orang terpelajar. Dan jalan yang menuju ke kebijaksanaan teoritis ini adalah suatu jalan panjang yang meliputi seluruh pendidikan ilmiah.

Kebijaksanaan Praktis, Aristoteles menggunakan kata phronesis untuk menunjukan ke kebijaksanaan praktis. Kebijaksanaan praktis adalah sikap jiwa yang memungkinkan manusia untuk mengatakan yang mana dari barang-barang konkrit boleh dianggap baik untuk hidupnya, dan kebijaksanaan praktis ini tidak lepas dari keutamaan moral. Jika dalam analisanya mengenai keutamaan moral, Aristoteles menekankan bahwa jalan tengah antara dua ekstrem harus ditentukan. Keutamaan moral yang sejati selalu disertai dengan kebijaksanaan praktis.

d)   Kehidupan ideal         Dalam buku terakhir dari ethica nicomachea aristoteles kembali lagi pada unsur terpenting dalam kebahagian manusia, yaitu memandang kebenaran. Hal ini rupaya tidak jauh berbeda dengan anggapan gurunya plato, hanya saja dalam mencapai kebenaran ini plato meyakini akan unsur ide-ide  sedangkan aristoteles menolaknya. Tapi tetap menurutnya, tujuan terpenting dalam hidup manusia adalah kebenaran, hal itu adalah aktifitas manusia yang tertinggi.

                                                                                                                                                           PENUTUP

Kesimpulan         Maka pada kesimpulanya pemikiran etika plato dan aristoteles sangatlah berpengaruh sekali terhadap wilayahnya, selain itu mereka memiliki jiwa social dan peduli sekali terhadap perkembangan  masyarakat pada saat itu.  Ajaran Plato tentang etika kurang lebih mengatakan bahwa, manusia dalam hidupnya mempunyai tujuan hidup yang baik, Plato tidak pernah ragu dalam keyakinannya bahwa manusia menurut kodratnya merupakan mahluk sosial, dengan demikian manusia menurut kodratnya hidup dalam bermasyarakat atau Negara. Dan Etika Aristoteles yang mengedepankan aspek “kebahagiaan” sebagai finalitas tujuan hidup manusia pada satu sisi mempunyai kemiripan dengan konsep yang terdapat dalam agama islam. Bedanya, bahwa konsep kebahagiaan aristoteles berdimensi “kedisinian” sedangkan konsep kebahagiaan dalam islam mencakup juga dimensi “kedisanaan” atau eskatologis.          Konsep jalan tengah (mesotes) yang di tawarkan sebagai hal keutamaan moral pada satu sisi terdapat kebenarannya walaupun hal itu merupakan sesuatu yang menyederhanakan dimensi keutamaan moral. Hal tersebut tidak lain karena keutamaan moral mempunyai cakupan yang luas, tidak hanya mengedepankan aspek mesotes. Sebagai tokoh aliran teleologis, bagi aristoteles, tindakan adalah betul sejauh mengarah kepada kebahagiaan, dan salah sejauh mencegah kebahagiaan. Etika aristoteles ini dapat di golongkan kedalam egososialistik karena yang di utamakan adalah aspek kebahagiaan pelaku dan pada saat bersamaan ia ber-praxis, artinya berpartisipasi dalam menjalankan kehidupan warga polis.          Berpijak dari pemikiran aristoteles bahwa upaya pengembangan diri manusia dapat di tempuh melalui proses self actualization atau aktualisasi diri manusia. Aktualisasi diri pada manusia , menurut aristoteles mencakup dua aspek yaitu aspek intelektual dan aspek sosial. Aspek intelektual dapat di tempuh dengan jalan ber-theoria yaitu mengembangkan secara

Page 7: STE - Etika Aristoteles

maksimal kemampuan manusia sebagai makhluk yang berfikir, sedang aspek sosial dapat di tempuh dengan  jalan praxis yaitu mengembangkan potensi manusia sebagai mahluk sosial.http://ipanksuhendra.blogspot.com/2013/03/etika-plato-aristoteles.html

--

pemahaman etika menurut Aristoteles dan Immanuel Kant

MENURUT ARISTOTELESEtika adalah Ilmu yang membahas perbuatan baik dan perbuatan buruk manusia sejauh yang dapat dipahami oleh pikiran manusia.Istilah lain yang iden¬tik dengan etika, yaitu:• Susila (Sanskerta), lebih menunjukkan kepada dasar-dasar, prinsip, aturan hidup (sila) yang lebih baik (su).• Akhlak (Arab), berarti moral, dan etika berarti ilmu akhlak.Filsuf Aristoteles, dalam bukunya Etika Nikomacheia, menjelas¬kan tentang pembahasan Etika, sebagai berikut:• Terminius Techicus, Pengertian etika dalam hal ini adalah, etika dipelajari untuk ilmu pengetahuan yang mempelajari masalah perbuatan atau tindakan manusia.• Manner dan Custom, Membahas etika yang berkaitan dengan tata cara dan kebiasaan (adat) yang melekat dalam kodrat manusia (In herent in human nature) yang terikat dengan pengertian “baik dan buruk” suatu tingkah laku atau perbuatan manusia.Pengertian dan definisi Etika dari para filsuf atau ahli berbeda dalam pokok perhatiannya; antara lain:

1. Merupakan prinsip-prinsip moral yang termasuk ilmu tentang kebaikan dan sifat dari hak (The principles of morality, including the science of good and the nature of the right)2. Pedoman perilaku, yang diakui berkaitan dengan memperhatikan bagian utama dari kegiatan manusia. (The rules of conduct, recognize in respect to a particular class of human actions)3. Ilmu watak manusia yang ideal, dan prinsip-prinsip moral seba¬gai individual. (The science of human character in its ideal state, and moral principles as of an individual)4. Merupakan ilmu mengenai suatu kewajiban (The science of duty)5. Menurut para ahli maka etika tidak lain adalah aturan prilaku, adat kebiasaan manusia dalam pergaulan antara sesamanya dan menegaskan mana yang benar dan mana yang buruk.PART II• Menurut Aristoteles: di dalam bukunya yang berjudul Etika Nikomacheia, Pengertian etika dibagi menjadi dua yaitu, Terminius Technicus yang artinya etika dipelajari untuk ilmu pengetahuan yang mempelajari masalah perbuatan atau tindakan manusia. dan yang kedua yaitu, Manner dan Custom yang artinya membahas etika yang berkaitan dengan tata cara dan kebiasaan (adat) yang melekat dalam kodrat manusia (in herent in human nature) yang terikat dengan pengertian “baik dan buruk” suatu tingkah laku atau perbuatan manusia.    Ajaran Tentang EtikaAristoteles mengembangkan ajaran filsafat tentag etika.atik aristoteles pada dasarnya serupa dengan etik sokrates dan plato.tujuannya mencapai eudaemonia, kebahagiaan sebagai “barang yang tertinggi ”dalam kehidupan.akan tetapi,ia memahaminya secr realistik dan sederhana, ia tidak bertanya tentang budi dan berlakunya seperti yang dikemukakan oleh sokrates. Ia tidak pula menuju pengetahuan tentang idea yang kekal dan tidak berubah-ubah, tentang idea kebaikan, seperti yang ditegaskan oleh plato. Ia menuju kepada kebaikan yang tercapai oleh manusia sesuai dengan gendernya, derajatnya, kedudukannya, atau pekerjaannya. Tujuan hidup, katanya ,tidaklah mencapai

Page 8: STE - Etika Aristoteles

kebaikan untuk kebaikan, melainkan merasai kebahagian. Untuk seorang dokter, kesehatannlah yang baik, baik bagi seorang pejuang kemenanganlah yang baik, dan bagi seorang pengusaha, kemakmuranlah yang baik. Yang menjadi ukuran gunanya yang praktis tujuan kita bkan mengetahui, melainkan berbuat.bukan untuk mengetahui apa budi itu, melainkan supaya kita menjadi orang yang berbudi. 

Dalam penjelasan sebelumnya kita  sudah mengetahui bahwa aristoteles telah menguraikan pendiriannya tentang etika dalam tiga karya yaitu Ethica nicomachea, Ethica eudemia dan magna moralia. Karya terakhir ini umumnya tidak di anggap otentik. Otentisitas Ethica eudemia pada awalnya sering kali di persoalkan,  tetapi sekarang sudah tercapai konsensus antara para ahli mengenai otentisitasnya. Tetapi  Ethica nicomachea agaknya di tulis aristoteles pada usia lebih tua daripada Ethica eudemia, sehingga dapat di simpulkan bahwa dalam Ethica nicomachea kita dapat menemukan pemikiran aristoteles yang lebih matang dalam bidang etika. Dalam buku ini ada empat hal penting yang dapat di ambil dari ajaran aristoteles tentang etika yaitu:a)    Kebahagiaan sebagai tujuanDalam segala perbuatannya manusia mengejar suatu tujuan. Ia mencari sesuatu yang baik baginya tetapi ada bannyak macam aktivitas manusia yang terarah pada macam-macam tujuan tersebut. Dan menurut aristoteles tujuan yang tertinggi ialah kebahagiaan (eudaimonia). Disini dapat di catat pula bahwa terjemahan “kebahagian” sebetulnya sedikit pincang untuk menyalin eudaimonia ke dalam bahasa indonesia. Dengan kata eudaimonia orang yunani tidak memaksudkan suatu perasaan subjektif, tetapi suatu keadaan manusia yang bersifat demikian sehingga segala yang harus ada padanya terdaapat pada manusiaa (“well-being”). Dengan pemapaaran tadi maka sudah jelas bahwa yang di maksudkan dengan etika adalah cabang filsafat yang sifatnya praktis bukan teoritis.Dalam mencapai tujuan ini aristoteles memberikan pendapatnya tentang tiga hal yang perlu dipenuhi untuk mencapai kebahagiaan hidup: 

1.    Manusia harus memiliki harta secukupnya, supaya hidupnya terpelihara. Kemiskinan mengakibatkan perilaku rendah bagi manusia, memaksa ia menjadi loba.milik membebaskan ia daari kesengsaraan dan keinginan yang meluap, sehingga ia menjadi orang yang berbudi.2.    Alat yang terbaik untuk mencapai kebahagiaan ialah persahabatan .menurut aristoteles, persahabatn lebih penting daripada keadilan. Sebab, kalau orang-orang bersahabat,dengan sendirinya keadilan timbul antara mereka.seorang sahabat sama dengan satu jiwa dalam dua orang. Cuma persahabatan lebih mudah tercapai antara orang yang srdikit jumlahnya dari antara orang banyak.semua kita adalah sahabat maka tidak akan ada kemiskinan, karena sahabatnya yang kaya telah meghilangkan kemiskinannya.3.    Keadilan. Keadilan disini mempunyai dua pengertian. Pertama, keadilan dalam  arti pembagian barang-barang yang seimbang, relative sama menurut keadaan masing-masing. Kedua, keadilan dalam arti memperbaiki kerusakan yang ditimbulkan. Misalnya, perjanjian mengganti kerugian. ini keadilan menurut hukum.    b)   Kebahagiaan menurut isinyaJika kita berasumsi bahwa kebahagian merupakan tujuan yang tertinggi dalam hidup manusia. Maka perkataan ini perlu di klarifikasi kembali, karena hal ini terkait dengan berbagai pendapat manusia tentang kebahagiaan itu sendiri. Ada yang mengatakan bahwa kekayaan itu kebahagiaan, ada yang mengatakan kesehatan itu kebahagiaan, bahkan suatu kebahagiaan adalah ketika kita di hormati oleh sesama.

       Manusia hanya di sebut bahagia jika ia menjalankan aktivitanya dengan baik. Atau, seperti di rumuskan oleh aristoteles sendiri, supaya manusia bahagia ia haarus menjalankan aktivitasnya “menurut keutamaan”. Hanya pemikiran yang di sertai dengan keutamaan (arete) dapat membuat manusia menjadi bahagia. Keutamaan menurut rasio, tetapi juga manusia seluruhnya. Manusia bukan hanya makhluk intelektual, melainkan juga makhluk yang mempunyai perasaan-perasaan,

Page 9: STE - Etika Aristoteles

keinginan-keinginan, nafsu-nafsu, dan lain sebagainya. Dari sebab itu, sebagaimana yang akan di terangkan sebentar lagi, menurut aristoteles terdapat dua macam keutamaa: keutamaaan intelektual dan keutamaan moral.        Akan tetapi dalam hubungannya antara keutamaan dan kebahagian aristoteles beranggapan bahwa manusia belum di katakan bahagia jika manusia menjalankan pikirannya dengan keutamaan dalam waktu yang relatif singkat atau sesekali saja. Menurut ia manusia bisa di katakan bahagia seutuhnya jika manusia itu dapat menjalankan pemikirannya dengan disertai keutamaan  dalam jangka waktuyang yang cukup panjang. Dengan lain perkataa, kebahagian itu adalah ketika manusia sudah sampai pada keadaan yang bersifat stabil (tetap).

       Selain dalam uraian di atas, masih ada beberapa unsur lagi yang bisa membuat manusia meskipun unsur-unsur ini bukan termasuk pada hakikat kebahagiaan itu sendiri. Agar manusia benar-benar mendapatkan kebahagiaan yang utuh maka perlu juga bahwa dia (manusia) harus merasakan senang dalam menjalankan kebahagian seperti yang sudah di jelaskan di atas. Jadi, mesti ada kesenangan atau rasa bahagia yang subjektif. Dan perlu di garis bawahi kebahagiaan tidak dapat di samakan dengan kesenangan, aristoteles menolak hedonisme, akan tetapi ia mengakui bahwa kebahagiaan tidak akan sempurna jika tidak di sertai kesenangan (hedonis). Selain dari kesenagan yang sifatnya batiniah, maka dalam penyempuraan kebahagian di perlukan juga kesengan yang sifanya lahiriah, seperti misalnya kesehatan, kesejahteraan ekonomi, sahabat-sahabat, keluarga, penghormatan dan lain sebagainya. Pada dasarnya manusia yang kurang dari beberapa hal yang sudah di sebutkan tadi maka akan sukar untuk mendapatgkan kebahagiaan. Kan tetapi perlu di tekankan kembali bahwa kesengan dan unsur-usur lahiriah tidak termasuk hakikat kebahagian itu sendiri melainkan hanya merupakan  syarat bagaimana kebahagiaan itu dapat di capai dan di realisasikan.

Kontektualisasi Ajaran Aristoteles Tentang Etika Terhadap Kehidupan SekarangKondisi masyarakat kontemporer saat ini sudah mulai di gelisahkan oleh berbagai problem kemanusiaan dan ekologi sebagai dampak daru berbagai kemajuan ilmu pengetahuan dan tekhnologi. Kita lihat misalnya dari semarakya seminar-seminar yang membahas tentang pemanasan global, kerusakan sumber air, limbah nuklir dan sebagainya atau mungkin yang lebih mutakhir munculnya dampak dampak dari limbah kebudayaan yang telah mencemari hampir di seluruh kawasan dunia melalui cyberspace . adalah realitas yang tak terbantahkan dari upaya manusia untuk mencari solusi dari permasalahan tersebut.

Pemikiran aristoteles, dalam konteks ini masih mempunyai relevansi pada dimensi-dimensi tertentu hal ini tentunya untuk memberikan solusi terhadap persoalan persoalan yang telah di uraikan tadi. Dalam persoalan persoalan ini, coba kita konteks kan ajaran etika aristoteles tentang keutamaan(arete) dengan keadaan dunia kita saat ini, jika ajaran ini di aplikasikan maka akan memberikan dampak yang sangat baik bagi kehidupan manusia. Sebab, konsep yang di ajarkan oleh aristoteles tersebut berusaha untuk memberikan bingkai dalam berperilaku (kebijakan praktis, phronesis) dan berpikir (kebijaksanaan intelektual, sophia) bagi manusia, dalam konteks sosial (human as zoon politicon) maupun individual (human as zoon logon echon).Pada aspek lain, pemikiran etik aristoteles yang mengedepankan konsep aktus akan potensi, dapat di lihat sebagai upaya strategis untuk ethos pengembangan diri manusia. Kebahagiaan manusia tidak di ukur oleh bagaimana kita mengejar nikmat (hedonis) tapi tergantung pada seberapa jauh kita telah mengaplikasikan da mengaktualisasikan diri secara bijaksana. Dalam sebuah terminologi yang di berikan erich fromm: kita bahagia bukan karena apa yang kita miliki melainkan karena keberadaan kita dan sejauh aktualisasi potensi kita.Berkenaan dengan pokok-pokok pemikiran aristoteles tersebut, berikut dapat di berikan beberapa catatan kecil sebagai berikut:

Page 10: STE - Etika Aristoteles

1.    Etika aristoteles yang mengedepankan aspek “kebahagiaan” sebagai finalitas tujuan hidup manusia pada satu sisi mempunyai kemiripan dengan konsep yang terdapat dalam agama islam. Bedanya, bahwa konsep kebahagiaan aristoteles berdimensi “kedisinian” sedangkan konsep kebahagiaan dalam islam mencakup juga dimensi “kedisanaan” atau eskatologis.

2.    Konsep jalan tengah (mesotes) yang di tawarkan sebagai hal keutamaan moral pada satu sisi terdapat kebenarannya wlaupun hal itu merupakan sesuatu yang menyederhanakan dimensi keutamaan moral. Hal tersebut tidak lain karena keutamaan moral mempunyai cakupan yang luas, tidak hanya mengedepankan aspek mesotes.

3.    Sebagai tokoh aliran teleologis, bagi aristoteles, tindakan adalah betul sejauh mengarah kepada kebahagiaan, dan salah sejauh mencegah kebahagiaan. Etika aristoteles ini dapat di golongkan kedalam egososialistik karena yang di utamakan adalah aspek kebahagiaan pelaku dan pada saat bersamaan ia ber-praxis, artinya berpartisipasi dalam menjalankan kehidupan warga polis.

4.    Berpijak dari pemikiran aristoteles bahwa upaya pengembangan diri manusia dapat di tempuh melalui proses self actualization atau aktualisasi diri manusia. Aktualisasi diri pada manusia , menurut aristoteles mencakup dua aspek yaitu aspek intelektual dan aspek sossial. Aspek intelektual dapat di tempuh dengan jalan ber-theoria yaitu mengembangkan secara maksimal kemampuan manusia sebagai makhluk yangt berfikir, sedag aspek sosial dapat di tempuh dengan  jalan praxis yaitu mengembangkan potensi manusia sebagai mahluk sosial.

5.    Habitus (pembiasaan) adalah hal yang sangat penting dalam pembentukan keutamaan bagi manusia, secara intelektual maupun moral. Hal ini berarti bahwa dalam upaya pengembangan diri manusia pembiasaan untuk melakukan  hal-hal yang utama dalam dimensi intelektual dan tindakan adalah hal yang niscaya. Hal ini berarti bahwa untuk membentuk manusia yang berkualitas membutuhkan waktu yang tak sebentar.Pembentukan etika aristoteles sebagaimana yang telah di uraikan di atas, meskipun di gagas pada masa klasik ternyata ketika di kontektualisasikan pada zaman sekarang masih mempunyai banyak relevansi dan patut di pertimbangkan bagi upaya pengembangan diri manusia di zaman sekarang. Hal ini dapat kita cermati dari gagasan nya bahwa pengembangan diri manusia baik sebagai makhluk yang berakal maupun makhluk sosial.   

VERSI IMMANUEL KANTImmauel Kant (1724-1804) adalah seorang filosof Jerman yang berhasil menyatukan pandangan Rasionalisme dan Empirisme lewat pemikirannya yang terkenal dengan sintesis a priori. menurutnya pengetahuan tidak murni berasal dari akal, sebagaimana yang diungkapkan kaum rasionalis, namun pengetahuan juga tidak selalu berdasarkan pengalaman inderawi. Filsafatnya juga dikenal dengan kritisisme yang dilawankan dengan filsafat sebelumnya, yakni dogmatisme. Tindakan kritis beliau yang sangat luar biasa sangat memberikan sumbangan besar bagi dunia pengetahuan.

Untuk memahami konsep pemikiran Immanuel Kant dalam etika, alangkah baiknya jika kita juga sudah mengetahui metode yang di pakai Kant, yakni murni a priori. a priori berarti sebelum pengalaman. Dalam artian ia  masih murni belum terkontaminasi oleh pengalaman atau pemikiran orang lain baik berupa nilai budaya atau adat istiadat suatu masyarakat. Jadi metode Kant adalah murni  deduktif, tanpa memiliki perhatian terhadap pengalaman empiris. sehingga dalam persoalan etika ini memnurutnya prinsip-prinsip moralitas tidak tergantung pada pengalaman sama sekali. Melainkan benar-benar berasal dari kehendak dalam diri, dalam hal ini disebut “ authonomi

Page 11: STE - Etika Aristoteles

kehendak”. Jadi kehendak dari dalam diri itulah yang nantinya memberikan hukum, bukan karena faktor dari luar. Dan ia adalah satu-satunya sumber moralitas.Kant juga membagi akal menjadi dua, yakni akal teoritis (rasio murni)dan akal praktis (rasio praktis). Akal teoritis membahas persoalan ada dan tiada, pengertian, dan berbagai persoalan tentang epistemologisnya. Sedangkan akal praktis membahas persoalan suatu tindakan, keharusan untuk melakukan sesuatu atau ketidakharusan melakukan sesuatu dan berbagai persolan tentang etikanya. Bukan berarti keduanya seakan-akan berdiri sendiri dan tidak mempengaruhi, justru  pemikiran Immanuel Kant dalam akal teoritis inilah yang nantinya akan sangat mempengaruhi pandangannya dalam etika, misalnya saja dalam teori sintesis a priorinya.

Etika yang digagas Immanuel Kant berbeda sekali dengan yang digagas oleh filosof sebelumnya. Etika Kant secara hakiki merupakan etika kewajiban yang tidak menuntut adanya kebahagiaan atau faktor-faktor emosi lainnya dari luar. Kewajiban yang murni berasal dari kehendak kita untuk melakukannya tanpa adanya pemaksaan. Selain itu, etika Kant tidak mengharuskan adanya konsekuensi sebagaimana dalam utilitarianisme, justru Kant lebih mengutamakan adanya konsistensi. Sebagaimana yang  ia katakan “ consistency is the highest obligation of a philosopher and yet the most rarely found”. Kant juga percaya bahwa moral tidak dapat di sandarkan kepada kebhagiaan. Kita tidak akan pernah tahu apa konsekuensi yang terjadi jika kita mengandalkan tindakan kita semata-mata hanya untuk kebahagiaan

B.  PRINSIP DAN LANDASANDalam etika Immanuel ada beberapa hal perlu diperhatikan, diantaranya adalah :Prinsip good willKonsep kewajiban (duty)Imperative hipotesis dan kategorisPrinsip subjektif/ maximGood Will (kehendak baik) & kewajiban (duty)Moralitas menurut Kant tidak menyangkut hal yang baik dan buruk, melainkan baik pada dirinya sendiri, tanpa pembatasan sama sekali. Kebaikan moral itu baik dari semua sisi, tanpa ada pembatasan sama sekali. Secara mutlak kebaikkan itu tetaplah baik, meskipun berkonsekuensi merugikan orang lain. Yang baik tanpa adanya batasan sama sekali menurutnya hanyalah satu, yakni kehendak baik (good will). Kehendak itu selalu baik dan dalam kebaikkannya tidak tergantung pada sesuatu di luar.

Kehendak baik yang dimaksud Kant adalah kehendak yang mau melakukan kewajiban (duty). Manusia bukanlah roh murni, ia juga mahluk alami yang memiliki dorongan dan terikan hawa nafsu, emosi, kecendrungan dan dorongan-dorongan batin. karena itu manusia  tidak hanya tertarik untuk melakukan perbuatan baik, namun ia juga tertarik melakukan perbuatan jahat. Itulah sebabnya akal budi praktis menyatakan diri dalam bentuk kewajiban. Seseorang dikatakan berkehandak baik apabila ia berkehendak untuk melakukan kewajiban.Ada tiga kemungkinan orang melakukan kewajiban, yakni karena menguntungkan, dorongan dari hati/ belas kasihan dan karena kewajiban. Menurut Kant hanya kehendak yang terakhir inilah yang betul-betul bermoral. Melakukan perbuatan karena menguntungkan ataupun karena belas kasihan itu disebut dengan legalitas. Secara lahiriah dua keadaan tersebut memang ada kesesuaian antara kehendak dan kewajiban, tapi secara batin segi kewajiban tidak memiliki peranan. Melakukan kewajiban karena mau memenuhi kewajiban itulah yang disebut kehendak baik (good will) tanpa pembatasan. Itu yang dimaksud dengan moralitas menurut Kant. [3] selain itu tindakan moral juga harus bersifat sintetik a priori. jujur itu benar ; jujur itu a priori, diketahui oleh semua orang  dalam akal murni /pure reason , sedangkan benar itu sintesis, karena konsep benar tidak terkandung di dalam konsep jujur. Oleh karena itu ia termasuk sintesis a priori.

Page 12: STE - Etika Aristoteles

Dalam contoh kasus, misalnya saja ketika sedang berlangsung ujian di kelas, ada temanmu yang pintar dan ia ingin membantumu menyelesaikan soal-soal pertanyaan dengan memberikan kertas jawaban. Jika kamu menolak atau mengabaikannya, berarti kamu melakukan tindakan yang benar/ right. Meskipun mungkin saja kamu menolak menerima jawaban itu karena takut ketahuan guru. Mencontek adalah perbutan buruk yang selamanya buruk, walaupun disatu sisi ia menguntungkan karena bisa membuat nilaimu tinggi. Kehendak baik lah yang  akan mendorong kita untuk mengerjakan soal ujian sendiri, tanpa bantuan contekan dari orang lain.

Di awal dijelaskan bahwa  Immanuel Kant bukanlah seorang consequentalist , dalam artian ia tidak melihat konsekuensi dari suatu tindakan, ia adalah seorang yang konsisten bukan konsekuen. Untuk mengukur moralitas seseorang , kita tidak boleh melihat pada hasil perbuatannya, karena belum tentu hasil yang baik menunjukkan bahwa perbuatan itu baik, sebagaimana yang terjadi pada kasus mencontek diatas, meskipun nantinya ia mendapat nilai yang baik padahal di dapatkan dari perbuatan yang tidak baik, yakni mencontek. Oleh karena itu menurut Kant, yang membuat perbuatan manusia menjadi baik dalam artian moral bukanlah hasilnya, melainkan karena kehendak baik yang menuntun untuk melakukan kewajiban.Imperatif Hipotesis dan KategorisImperatif adalah suatu bentuk perintah. Kant memakai istilah imperatif dalam artian bukan sembarang perintah, melainkan mengungkapkan sebuah keharusan (sollen) . perintah dalalm arti ini adalah rasional, bukan karena paksaaan. Perintah yang dimaksud adalah perintah yang berdasarkan suatu keharusan objektif, bukan paksaan melainkan pertimbangan yang meyakinkan dan membuat kita taat.

Ada tigamacam perintah menurut Kant :Keharusan keterampilan yang bersifat teknis, misalnya jika ingin menggunakan kendaraan, entah mobil atau motor, diharuskan mengisi bensin terlebih dahuluKeharusan kebijaksanaan pragmatis, misalnya jika ingin mengurangi polusi udara, gunakanlah alat transportasi yang bebas polusi, seperti sepeda.

Keharusan kategoris.misalnya selalu berkata jujur, meskipun dalam keadaan terdesak. Keharusan 1 dan 2 adalah keharusan yang tidak mutlak, dalam artikan jika anda ingin menghendaki x maka saya harus melakukan y. Jadi kedua keharusan itu dilakukan hanya mempertimbangkan resikonya saja, bukan karena murni kewajiban itu sendiri. Inilah yang disebut kant dengan “imperatif hipotesis”. Sedangkan keharusan yang ketiga adalah keharusan yang mutlak, tanpa syarat. Imperatif ini mengharuskan kita untuk melakukan apa yang wajib tanpa syarat dan bersifat niscaya yang disebut juga “imperatif ketegoris”.

Salah satu bentuk imperatif kategoris yang paling sederhana adalah “ betindaklah secara moral !” itulah perintah atau kewajiban mutlak satu-satunya. Disitu terlihat bahwa moralitas tidak tergantung pada berbagai konsekuensi perbuatan, melainkan berlaku dimana saja, kapan saja, dalam situasi apa saja, tanpa terkecuali sama sekali. Adapun rumusan imperatif kategoris Kant yang paling terkenal adalah “ bertindaklah semata-mata menurut prinsip (maxim) yang dapat sekaligus kau kehendaki menjadi hukum umum (universal)”

Maxim (prinsip subjektif)Maxim adalah prinsip subjektif dalam bertindak, sikap dasar hati orang dalam mengambil sikap-sikap dan tindakan konkret. Maxim bukanlah segala macam peraturan atau pertimbangan, ia adalah sikap-sikap  dasar yang memberikan arah bersama kepada sejumlah maksud dan tindakan konkret. Dimanapun kita berada itu tidak terlepas dari suatu tindakan. Jenis tindakan apa yang kita pilih disesuaikan dengan keadaan. Kita melakukan tindakan karena alasan. Ada yang ingin memutuskan

Page 13: STE - Etika Aristoteles

suatu perkara karena memang ingin membela kepentingan pribadinya, adapula yang tetap memikirkan kepentingan orang lain, jadi maksim itu dapat baik dan juga tidak baik.

Oleh karena itu untuk mengetahui prinsip-prinsip mana yang bermoral dan mana yang tidak, kembali lagi ke dalam imperatif kategoris. Rumusan itu mengatakan bahwa kita bertindak sesuai dengan kewajiban  yang sesuai dengan kehendak kita, namun hal itu tidak hanya berlaku bagi kita melainkan berlaku bagi semua orang , semua mahluk rasional yang ada di dunia. imperatif ini disebut juga prinsip penguniversalisalian. Ia adalah suatu prinsip yang mana suatu tindakan dapat dinyatakan benar jika ia memang dapat diberlakukan kepada semua orang.

Kant merumuskan tiga macam imperatif kategoris:Hukum universalMengingat kedaan realitas menurut hukum umum dalam pengertian formal Kant adalah sama dengan alam, maka imperatif kategoris juga berbunyi “ bertindaklah demikian seakan-akan maksim tindakanmu dapat, melalui kehendakmu, menjdi hukum alam umum” Manusia merupakan tujuan dirinya sendiriImperatif kategorisnya berubah bentuk menjadi “ bertindaklah sedemikian rupa, sehingga engkau memakai umat manusia, baik dalam pribadimu, maupun dalam pribadi setiap orang lain, selalu juga sebagai tujuan, tidak pernah hanya sebagai sarana.”Dalam hal ini dalam kehidupan sehari-hari kita juga pastinya berinteraksi dengan orang lain (hablumminannaas) yang mana kita harus perlakukan manusia dengan baik.Berbuat seperti dalam kerajaan TuhanImperatif kategorisnya berbunyi “ semua maksim dari perundangan sendiri harus dapat dicocokkan menjadi satu kerajaan tujuan yang mungkin, satu kerajaan alam.”Dari berbagai prinsip dan landasan etika kant yang disebutkan di atas, Menurut saya, inilah peta pemikiran etika Kant :

http://duniaonme.blogspot.comhttp://erniritonga123.blogspot.comhttp://hiburan.kompasiana.com/buku/2010/03/12/belajar-hidup-bermutu-dari-aristoteles/http://www.darunnajah.ac.id/?act=news&kategori=Artikel&id=19

DAFTAR PUSTAKAKees bartens, 1999. Sejarah filsafat yunani, Kanisius, Yokyakarta.Atang abdul hakim, beni ahmad saebani, 2008. Filsafat Umum Dari Mitologi Sampai Teofilosofi, Pustaka Setia, Bandung.Mohammad Hatta, 1986. Alam Pikiran Yunani, Tintamas, Jakarta.Ahmad Syadali dan Mudzakkir, 2004. Filsafat Umum, Pustaka Setia, Bandung.Ali Maksum, 2009. Pengantar Filsafat: Dari Masa Klasik Hingga Postmodernisme, Ar-Ruzz Media, Jokjakarta.Achmadi, asmoro. 2001. Filsafat umum. Jakarta, grafindo persada.http://literacymediaagent.blogspot.com/2013/06/pemahaman-etika-menurut-aristoteles-dan_15.html

--

Biografi Singkat AristotelesAristoteles dilahirkan pada tahun 384 SM di Stagyra, sebuah daerah di Thrakia, Yunani Utara. Masuk Akademia ketika berusia delapan belas tahun. Menjadi murid Plato selama dua puluh tahun, yaitu sampai tahun 347. Sekembalinya dari Athena pada tahun 335 SM (Kevin Knigth, 1999: 1), atau menurut pendapat lain tahun 334

Page 14: STE - Etika Aristoteles

(Titus Hepp Smith, 1975: 91), ia mendirikan sekolah yang diberi nama Lykaion (Lyceum) atau disebut juga sekolah paripetik. Pada tahun 342, pernah menjadi pendidik Iskandar Agung Muda, kerajaan Raja Philippus dari Makedonia. Tahun 323 melarikan diri dari Athena, setelah kematian Iskandar Agung, karena dituduh menyebarkan ajaran ateisme, dan meninggal pada tahun 322 SM (Kevin Knigth, 1999: 2). Di antara tiga karya besar Aristoteles yang khusus berkaitan dengan etika adalah Ethica Eudemia, Ethica Nicomacheia, dan Politike. Namun yang paling mendapat perhatian dari ketiga karya tersebut adalah Ethica Nicomacheia karena merupakan ungkapan pikiran matang Aristoteles; Ethica Eudemia masih dipertanyakan orosinalitasnya (apakah ditulis oleh Aristoteles?), sementara Politike lebih menfokuskan pada masalah kenegaraan (Frans Magnis Suseno, 1999: 27-28).

Tujuan Hidup: KebahagiaanSetiap manusia memiliki tujuan hidup. Menurut Aristoteles, tujuan hidup manusia adalah kebahagiaan (eudaimonia). Orang yang sudah bahagia tidak memerlukan apa-apa lagi pada satu sisi, dan pada sisi lain tidak masuk akal jika ia masih ingin mencari sesuatu yang lain. Hidup manusia akan semakin bermutu manakala semakin dapat mencapai apa yang menjadi tujuan hidupnya. Dengan mencapai tujuan hidup, manusia akan mencapai dirinya secara penuh, sehingga mencapai mutu yang terbuka bagi dirinya (Richard H.Popkin & Avrum Stroll, 1982: 7-8).Apapun yang dilakukan oleh manusia, demikian menurut Aristoteles, mesti merupakan sesuatu yang baik, demi suatu nilai. Dalam mencapai tujuan hidup, yang terpenting adalah nilai, yaitu nilai demi dirinya sendiri. Apabila kebahagiaan merupakan tujuan akhir hidup manusia, itu berarti bahwa kebahagiaan adalah sesuatu yang bernilai pada dirinya sendiri, bukan demi suatu nilai lebih tinggi lainnya. Kebahagiaan adalah yang baik pada dirinya sendiri (Jonathan Barnes, 1995: 199-203).Menurut Aristoteles, ada tiga pola hidup yang mengandung kepuasan dalam dirinya sendiri. Pertama, hidup yang mencari nikmat, kedua hidup praksis atau politis, dan ketiga hidup sebagai seorang filsuf: hidup kontemplatif.Maksud hidup yang mencari nikmat menurut Aristoteles bukanlah hidup hedonistik. Meskipun hampir setiap manusia mengharapkan hidup penuh kenikmatan, namun kenikmatan itu sendiri –baginya—bukanlah khas manusiawi. Ini dapat diambil contohnya pada seorang anak kecil yang gembira. Kalau anak kecil itu gembira, mestinya kita ingin menjadi anak kecil lagi. Aristoteles mengakui kenikmatan itu. Nikmat itu adalah baik saja asalkan tidak menjadi tujuan. Jadi, kenikmatan bukanlah satu-satunya tujuan untuk mencapai kebahagiaan (Frans Magnis Suseno, 1999: 31-32). Meskipun sebagain orang sepakat bahwa kenikmatan dapat membahagiakan, namun kenikmatan itu bukanlah kenyataan itu sendiri. Kenikmatan itu tidak berdiri sendiri, tapi menyertai suatu tindakan. Bagi Aristoteles, seseorang dapat menemukan kebahagiaan sebagai tujuan akhir apabila ia menjalankan fungsinya dengan baik. Nilai tertinggi bagi manusia adalah suatu tindakan yang merealisasikan kemampuan atau potensialitas khas manusia (K. Bertens, 2001: 243). Apabila kebagiaan merupakan tujuan hidup manusia dan tujuan itu hanya dapat dicapai dengan menjalankan fungsinya, maka kebahagiaan –dalam pandangan Aristoteles—dapat dipahami sebagai optimalisasi fungsi. Uang misalnya, dapat membikin manusia nikmat dan dengannya ia menjadi bahagia, namun kenikmatan yang diperoleh seperti ini memposisikan dirinya sebagai pelaku yang pasif. Artinya kebahagiaan yang diperoleh itu bukan berasal dari hasil tindakan atau aktualisasi pengembangan dirinya sendiri. Oleh karena itu, kebahagiaan itu diperoleh melalui tindakan yang aktif, dengan menyatakannya dalam bentuk tindakan.Manusia –demikian menurut Aristoteles—tidak dapat menyatakan tindakan dan aktualitas dirinya yang khas kecuali dengan akal budi. Dengan akal budi inilah, manusia mampu mewujudkan tindakannya, dan ini sekaligus yang membedakan antara manusia dengan makhluk yang lain (baca: binatang). Kegiatan yang khas manusiawi adalah kegiatan yang melibatkan bagian jiwa yang berakal budi (Jonathan Barnes, 1995: 206-208). Namun menurut Aristoteles, manusia adalah makhluk yang campur, bukan makhluk rohani murni dan juga bukan fisik saja. Keduanya ada dalam diri manusia. Untuk itu manusia bisa melaksanakan kegiatan khas manusiawinya dalam pola kehidupan politis (praxis) dan kehidupan kontemplatif (Theoria). Manusia adalah jiwa yang berbadan dan badan yang berjiwa.

Theoria dan PraxisMenurut Aristoteles, theoria dimaksudkan dengan renungan atau kontemplasi, yaitu memandang sesuatu secara mendalam, bukan pemikiran. Ini merupakan kegiatan manusia yang paling luhur, karena merealisasikan bagian jiwa manusia yang paling luhur: yang ilahi, logos, dan roh. Dalam theoria inilah roh digiatkan (Frans Magnis Suseno, 1999: 33).Apa yang menjadi objek renungan dalam hal ini adalah realitas yang tidak berubah, bersifat abadi dan ilahi. Melalui renungan, orang akan dapat menemukan cinta pada kebajikan. Karena bersifat ilahi dan abadi, maka ia pun lebih membahagiakan manusia. Tidak ada yang lebih luhur katimbang renungan atau philoshopia. Hanya

Page 15: STE - Etika Aristoteles

sedikit orang yang dapat ber-theoria.Oleh karena itu, menurut Aristoteles manusia harus memasuki wilayah etis yang sebenarnya, yaitu praxis: bukan practique yang berarti perbuatan. Praxis memiliki kekhasan tersendiri. Praxis tidak membutuhkan keterampilan dan sikap cekatan sebagaimana lumrahnya segala macam kegiatan. Menurut Aristoteles, praxis berarti tindakan atau perbuatan demi dirinya sendiri (tindakan yang merubah) bukan poesis, sebuah tindakan demi hasil di luar perbuatan itu sendiri (tindakan yang mencipta), dan juga bukan ponos, pekerjaan berat dan kasar. Yang terpenting dalam praxis adalah partisipasi untuk turutserta merealisasikan diri sebagai makhluk sosial di tengah masyarakat lewat komunikasi aktif atau pergaulan dengan sesama demi mencapai kebahagiaan: sebab tujuan tiap orang dan semua komunitas adalah sama (Frans Magnis Suseno, 1999: 34-35). Manusia itu adalah zoon politikon. Realisasi partisipasi manusia akan semakin utuh lewat kehidupan negara. Manusia bertindak etis melalui segala tindakan dalam rangka kesosialannya, terutama dalam memajukan negara-kota. Oleh karena itu, bagi Aristoteles, ada hubungan erat antara etika dan politik Frank N.Magill, 1990: 76-77). 

Phronesis dan Keutamaan EtisTidak ada pengetahuan yang pasti tentang tindakan manusia. Tugas etika bukan menyediakan aturan-aturan, namun menyediakan semacam visi atau perspektif. Pesrpektif ini disebut dengan orthos logos (pengetahuan yang tepat). Pengertian yang tepat bukan tolok ukur terurai, namun lebih merupakan sikap batin atau ketajaman akal etis dalam memahami tindakan mana yang tepat untuk dilakukan dalam situasi tertentu. Dalam pandangan Aristoteles, etika menghasilkan kemampuan untuk bertindak sesuai dengan orthos logos (Frans Magnis Suseno, 1999: 37-38). Keutamaan adalah sikap batin yang dimiliki manusia. Aristoteles membedakan dua macam keutamaan, yaitu intelektual (aretai dianoetikai) dan keutamaan etis (aretai atikai). Yang pertama merupakan sikap akal budi, sedangkan yang kedua adalah sikap kehendak. Keutamaan yang pertama dibagi menjadi shopia (kebijaksanaan I), nous (kemampuan mengaktifkan logos), phronesis (kebijaksanaan Praktis), episteme (ilmu pengetahuan), dan techne (keterampilan) (Frans Magnis Suseno, 1999: 37-38). Kemampuan untuk bertindak sesuai dengan pengertian yang tepat adalah prhonesis. Shopia adalah kebijaksanaan orang yang hatinya terangkat ke tingkat alam adiduniawi: kebijakan orang yang ber-theoria. Sementara phronesis adalah kemampuan orang untuk mengambil sikap dan keputusan dalam memecahkan berbagai masalah dalam kehidupan keseharian. Menurut Aristoteles, prhonesis adalah kebiasaan bertindak berdasarkan pertimbangan yang tepat dalam masalah baik dan buruk bagi manusia. Prhonesis tidak ada kaitannya dengan theoria. Ia tumbuh dari pengalaman dan kebiasaan (dalam arti habitus) untuk bertindak etis (Frans Magnis Suseno, 1999: 76-77).Menurut Aristoteles, keutamaan tindakan (baca: Prhonesis) itu memerlukan kebiasaan yang mengarah kepada pilihan jalan tengah antara ekstrem-sktrem dalam prilaku; antara tujuan antara dan tujuan ultimate, yang diperoleh melalui pengambilan keputusan-keputusan (Lorens Bagus, 1996: 459). Sikap berani milsanya, merupakan keutamaan dari antara sikap pengecut dan nekad; murah hati (antara boros dan kikir); berjiwa besar (antara kejih dan kurang ajar); dan santun (antara ambisi dan tidak peduli).

EpilogTujuan etika dalam pandangan Aristoteles bukan pengetahuan lebih tajam, namun praxis. Bukan mengetahui apa yang baik, namun membuat orang hidup dengan baik. Tindakan dikatakan betul sejuah mengarah kepada kebahagiaan, dan salah sejauh mencegah kebahagiaan: oleh karena itu, ia termasuk aliran etika teleologis. Pengetahuan yang diberikan oleh etika adalah pengetahuan dalam garis besar (typo), bukan rinci.[mff] 

Daftar Pustaka

Fran N.Magill (ed.), Masterpieces of World Philosophy, Harper Collin: New York, 1990

Frans Magnis Suseno, 13 Tokoh Etika; Sejak Yunan Sampai Abad ke-19, Kanisius: Yogyakarta, Cet. III, 1999

Jonathan Barnes (ed.), The Cambridge Companion to Aristotle, Cambridge Universty: Cambridge (USA), 1995

K.Bertens, Etika, PT.Gramedia Pustaka Utama: Jakarta, 2001, Cet. IX 

Kevin Knight, The Catholic Encyclopedia, Vol. I (naskah didapat dari internet)

Page 16: STE - Etika Aristoteles

Loren Bagus, Kamus Filsafat, PT.Gramedia Pustaka Utama: Jakarta, 1996

Richard H.Popkin & Avrum Stroll, Philosophy, Made Simple Books: London, Cet. IX, 1982

Titus Hepp Smith, The Range of Philosophy, Wadsworth Publishing Company: California: 1975

http://mfaisolfatawi.blogspot.com/2009/12/pemikiran-etika-aristoteles.html