sindrom metabolik fix idm

Upload: indah-dwi-mentari

Post on 13-Jan-2016

16 views

Category:

Documents


0 download

DESCRIPTION

Sindrom Metabolik Fix Idm

TRANSCRIPT

SINDROM METABOLIK

A. DefinisiSindrom metabolik merupakan sindrom resistensi insulin dimana terjadi penurunan sensitivitas jaringan terhadap kerja insulin sehingga terjadi peningkatan sekesi insulin sebagai bentuk kompensasi sel beta pankreas (IPD, 2009). Terdapat beberapa kriteria sindrom metabolik yang sebenarnya mempunyai tujuan yang sama yaitu mengenali sedini mungkin gejala gangguan metabolik sebelum seseorang jatuh dalam keadaan sakit.Pada tahun 2005 International Diabetes Federation (IDF) mendefinisikan suatu kriteria baru dari Sindrom Metabolik adalah bila ditemukan obesitas sentral (lingkaran pinggang > 94 cm (laki-laki Eropa dan wanita Eropa >80 cm. Nilai ini akan berubah pada kelompok etnis lainnya. Ditambah dengan 2 dari 4 faktor tersebut dibawah:1. Trigliserid yang meningkat > 150 mg/dl , atau mendapat pengobatan yang spesifik untuk kelainan fraksi lipid tersebut.2. Kolesterol-HDL menurun 85 mm Hg , atau sebelumnya mendapat pengobatan anti hipertensi.4. Glukosa plasma puasa > 100 mg/dl atau sebelumnya sudah didiagnosis dengan DM.

B. Kriteria Sindrom MetabolikBeberapa kriteria sindrom metabolik adalah sebagai berikut :

Kriteria yang diajukan NCEP-ATP III lebih banyak digunakan, karena antara lain lebih memudahkan seorang klinisi untuk mengidentifikasi seseorang dengan sindrom metabolik. Sindrom metabolik ditegakkan apabila seseorang memiliki sedikitnya 3 kriteria. The American Heart Association and National Heart, Lung, and Blood Institute, pada tahun 2005 mempublikasikan kriteria diagnosis baru sindrom metabolik sesuai dengan kriteria dari NCEP ATP III, namun dengan beberapa modifikasi. Kriteria sindrom metabolik sebagai berikut : peningkatan kadar trigliserida (>150 mg/dL), penurunan kadar kolesterol HDL (100 mg/dL), tanpa mengikutsertakan kriteria obesitas jika kriteria lainnya telah ada, sebab terdapat individu yang tidak obes, tetapi memiliki resistensi insulin dan faktor risiko metabolik, terutama pada individu yang memiliki kedua orang tua yang diabetes atau keluarga inti maupun tingkat kedua yang diabetes (IPD, 2007).

C. PatogenesisMenurut T Kadowaki, dari Depertemen Penyakit Metabolik, Universitas Tokyo, Jepang memaparkan peran adiponektin dalam sindrom metabolik. Adiponektin merupakan hormon sensitisasi insulin yang utama, yang bisa mengaktifkan AMP kinase dan jalur PPAR yang memfasilitasi metabolisme glukosa dan lipid untuk meningkatkan sensitivitas terhadap insulin (IDF symposia, 2006). AMP Kinase merupakan enzim yang mempengaruhi peningkatan glukosa oleh jaringan perifer dan merupakan regulator selular utama bagi metabolisme lipid dan glukosa. Aktifasi AMPK pada hepatosit akan mengurangi aktifitas Acetyl CoA Carbocsylase (ACC) dengan induksi oksidasi asam lemak dan menekan ekspresi enzim lipogenik (IPD, 2007). PPAR (Peroxisome Proliferator Activated Receptor-gamma) merupakan reseptor yang terdapat di jaringan target kerja insulin seperti jaringan adiposa, otot skelet dan hati, sedang reseptor pada organ tersebut merupakan regulator homeostasis lipid, diferensiasi adiposit, dan kerja insulin (IPD, 2007). Penurunan kadar adiponektin dalam plasma yang berkaitan dengan obesitas adalah penyebab resistensi insulin dan sindrom metabolik baik pada hewan pengerat sebagai model maupun pada manusia (IDF symposia, 2006). Menurut NCEP, di banyak populasi CRP (C-reactive protein) sangat berkaitan dengan resistensi insulin dan berbagai gangguan sindrom metabolik (IDF symposia, 2006). CRP merupakan protein globulin fase aktif yang paling menonjol atau globulin yang membentuk endapan ketika tercampur dengan polisakarida-C somatik pneumokokus secara in vitro (Dorland, 2002). Sementara itu S. Haffner memaparkan tentang inflamasi dalam sindrom metabolik. Menurut dokter dari Universty of Texas Health Center ini, Inflamasi di sini dilihat sebagai meningkatnya kadar c-reaktif protein (CRP) yang sebelumnya terlihat sebagai predikator kuat dari penyakit jantung koroner dan insiden diabetes melitus tipe 2. Jika pre-diabetes digunakan sebagai model untuk metabolik sindrom, maka kadar CRP yang tinggi memang ditemukan pada subjek-subjek pre-diabetes dan terlihat sangat jelas pada subjek pre-diabetes yang mengalami resistensi insulin (IDF symposia, 2006). Intervensi yang dilakukan untuk menurunkan kadar CRP seperti penggunaan obat golongan TDZs dan penurunan berat badan bisa mencegah atau menunda diebetes tipe 2. Namun, tambah Haffner (University of Texas Health Center), meskipun CRP sudah direkomendasikan sebagai kandidat terjadinya sindrom metabolik, dalam praktik klinis kadang tidak dilakukan pengukuran CRP secara rutin. Lebih jauh lagi Haffner memaparkan kandidat-kandidat lain sebagai faktor risiko sindrom metabolik. Salah satunya meningkatnya LFTs (Liver Function Tests), khususnya ALT (Alanine transaminase) yang saat ini digunakan sebagai penanda non-alcoholic fatty liver disease (NAFLD). ALT merupakan suatu enzim golongan transferase yang mengkatalisis pemindahan reversibel sebuah gugus amino dari alanin ke -ketoglutarate untuk membentuk glutamat dan piruvat, dengan pyridoxal phosphate sebagai kofaktor. Reaksi ini memindahkan nitrogen ke dalam senyawa-senyawa lain untuk ekskresi atau inkorporasi. Enzim ini ditemukan dalam serum dan jaringan-jaringan tubuh, terutama pada hepar. Aktivitas enzim serum (SGPT) sangat meningkat pada penyakit hati dan juga meningkat pada mononukleosis infeksiosa. Disebut juga glutamic-pyruvic transaminase (GPT) (Dorland, 2002). Pengidap NAFLD kebanyakan obes dan resisten terhadap insulin dibandingkan orang normal. Meningkatnya kadar ALT menunjukkan kemungkinan insiden diabetes maupun sindrom metabolik (IDF symposia, 2006). Lebih jauh lagi, menurut Kadowaki, penurunan plasma adiponektin menunjukkan keterkaitan dengan berkembangnya penyakit kardiovaskular pada manusia. Efek biologikal adiponektin ini ada yang memediasi, setidaknya sebagian, yakni melalui reseptor adiponektin yakni Adipo R1 dan Adipo R2. Adiponektin dan reseptor adiponektin mengalami downregulasi pada obesitas, jelas Kadowaki. PPAR agonis seperti obat dari kelas thiazolidinediones (TZDs) bisa meningkatkan regulasi kadar adiponektin plasma. TZDs bisa memperbaiki resistensi insulin dan aterosklerosis baik melalui jalur yang dependen adiponektin maupun yang independen. Di sisi lain, PPAR agonis juga bisa meningkatkan regulasi reseptor adiponektin. (IDF symposia, 2006) Penatalaksanaan sindrom metabolik terutama bertujuan untuk menurunkan risiko penyakit kardiovaskular aterosklerosis dan risiko diabetes melitus tipe 2 pada pasien yang belum diabetes. Apabila kondisi tersebut ada maka perlu diajukan pengobatan untuk sindrom metabolik. Penatalaksanaan sindrom metabolik terdiri atas 2 pilar, yaitu tatalaksana penyebab (berat badan lebih/obesitas dan inaktivitas fisik) serta tatalaksana faktor risiko lipid dan non lipid (IPD, 2007).

D. ObesitasObesitas merupakan suatu kelainan kompleks pengaturan nafsu makan dan metabolisme energi yang dikendalikan oleh beberapa faktor biologik spesifik. Faktor genetik diketahui sangat berpengaruh bagi perkembangan penyakit ini. Secara fisiologis, obesitas didefinisikan sebagai suatu keadaan dengan akumulasi lemak yang tidak normal atau berlebihan di jaringan adiposa sehingga dapat mengganggu kesehatan. Keadaan obesitas ini, terutama obesitas sentral, meningkatkan risiko penyakit kardiovaskular karena keterkaitannya dengan sindrom metabolik. a. Obesitas Sentral, Lingkar Perut dan IMTPada obesitas sentral, distribusi lemak regional yaitu pada daerah abdomen. Lemak daerah abdomen terdiri dari lemak subkutan dan lemak intraabdominal yang dapat dinilai dengan cara CT dan MRI. Jaringan lemak intraabdominal terdiri dari lemak viseral atau intraperitoneal yang terutama terdiri dari lemak omental dan mesenterial serta massa lemak retroperitoneal (sepanjang perbatasan dorsal usus dan bagian permukaan ventral ginjal). Pada laki-laki massa retroperitoneal hanya merupakan sebagian kecil dari lemak intraabdominal. Kira-kira seperempatnya terdiri dari lemak viseral. Lemak subkutan daerah abdomen sebagai komponen obesitas sentral mempunyai korelasi yang kuat dengan resistensi insulin sperti lemak viseral. Keadaan ini tetap berbeda bermakna setelah disesuaikan lemak viseralnya. Vena porta merupakan saluran pembuluh darah tunggal bagi jaringan adiposa dan berhubungan langsung dengan hati. Mobilisasi asam lemak bebas akan lebih cepat dari daerah viseral dibandingkan dengan lemak daerah subkutan. Aktivitas lipolitik yang lebih besar dari lemak viseral, baik pada obes maupun non-obes merupakan kontributor terbesar asam lemak bebas dalam sirkulasi. CT atau MRI dapat menilai obesitas sentral, namun keduanya mahal dan jarang digunakan. Lingkar perut atau rasio antara lingkar perut dan lingkar pinggul (WHR, Weist-Hip Ratio) merupakan alternatif klinis yang lebih praktis. WHO menganjurkan agar lingkar perut sebaiknya diukur pada pertengahan antara batas bawah iga dan krista iliaka, dengan menggunakan ukuran pita secara horisontal pada saat akhir ekspirasi dengan kedua tungkai dilebarkan 20-30 cm. Subyek diminta untuk tidak menahan perutnya dan diukur memakai pita dengan tegangan pegas yang konstan. Ukuran lingkar perut berkorelasi baik dengan rasio lingkar perut dan pinggul (WHR) baik pada laki-laki maupun perempuan serta dapat memperkirakan luasnya obesitas abdominal yang tampaknya sudah mendekati deposisi lemak abdominal bagian viseral. Lingkar perut juga berkorelasi baik dengan IMT (r=0,89, p150 mg/dL &atau HDL-C LK88 cmLingkar perut L>94 cm P80 cm

-Obesitas sentral (Lingkar perut) Asia: L>90 cm P>80 cm (nilai tergantung jenis etnis)Gangguan metabolisme glukosaDM tipe 2 atau TGTGD puasa > 110 mg/dLGD puasa 110 mg/dL

GD puasa 110-125 mg/dL 2 jam PP 140-200 mg/dLGD puasa 100 mg/dL atau didiagnosis DM tipe 2Lain-lainMikroalbuminuria > 20 g/menit (30 mg/g Cr)-Hiperinsulinemia (konsentrasi insulin puasa > kuartil atas populasi non diabetes)--Kriteria diagnosisDM tipe 2 atau TGT & 2 kriteria diatas, jika toleransi gluosa normal, diperlukan 3 kriteriaMinimal 3 kriteriaDM tipe 2 atau TGT & 2 kriteria diatas, jika toleransi gluosa normal, diperlukan 3 kriteria-Obesitas sentral + 2 kriteria diatas1Tabel 2. klasifikasi BB lebih & obesitas berdasarkan IMT & lingkar perut (LP) menurut kriteria Asia PasifikKlasifikasi IMT (kg/m2)Risiko ko-morbiditasLP L