ringkasan fiqh shalât - mrkr

241
ﻣﻠﺨﺺ ﻓﻘﻪ اﻟﺼﻠﺎةRingkasan Fiqh shalât Menurut Pendapat Empat Madzhab Disusun oleh Gus Arifin

Upload: others

Post on 07-Nov-2021

16 views

Category:

Documents


0 download

TRANSCRIPT

Page 1: Ringkasan Fiqh shalât - MRKR

ملخص فقه الصلاة

Ringkasan Fiqh shalât Menurut Pendapat Empat Madzhab

Disusun oleh

Gus Arifin

Page 2: Ringkasan Fiqh shalât - MRKR

1

Ringkasan Fiqih Shalât menurut Empat Madzhab

Meraih “Kesempurnaan” Shalât Ngaji bersama Gus Arifin

Muqaddimah

Hati-hati dan Terbuka dalam persoalan Agama (dalil-dalil)

�ا من فق�اء المدينة ف�ل�م واطأ�ي عليھ فسميتھ �قال مالك : عرضت كتا)ي 'ذا ع%$ سبع ن فق

الموطأImam Mâlik berkata: “Suatu ketika aku mendemonstrasikan kitabku di hadapan tujuh puluh ulama’ fiqh Madinah dan semuanya menyetujuiku (watha’ani), maka akupun menamainya dengan al-Muwaththâ’

و5ان عمر بن عبد العز3ز يقول:ذلك أنيما بي<�م بأمر دي<�م فاش�دوا ف إذا رأيتم جماعة ي8ناجون سرا

)فصول QR بيان ماورد QR ذم الرأي عن الشارع 70 -الم Jان الكGHى الشعرانية (،ضلال و@دعة

Dan Umar bin Abdul Azîz berkata: “Jika Anda melihat sekelompok orang yang mendiskusikan soal-soal Agama di antara mereka secara sembunyi-sembunyi (tertutup, eksklusif), maka saksikanlah bahwa mereka itu sesat dan (melakukan) perbuatan bid’ah (yang sesat). (Kitab Mizânul Kubrâ, 70, Imam Asy-Sya’rânî). Maka, dapat difahami, mengapa ada ruang pembahasan (Ba’ts) terhadap Mashadirul Ahkâm (sumber-sumber hukum) dalam Agama Islam.

Khusyû’ dalam shalât sebagai tanda “Kesempurnân” Shalât Kata khusyû’ (ـوع

ش

beserta kata lainnya yang seakar dengan itu ditemukan di dalam Al-Qur'an (خ

sebanyak 17 kali. Satu kali dengan fi'il madhi (kata kerja masa lalu), satu kali dengan fi'il mudhari' (kata kerja masa kini dan akan datang), satu kali dengan mashdar (infinitif) dan 14 kali dengan ism fâ’il (kata benda yang menunjukkan pelaku).

Kata khusyû' (وع

ش

) berasal dari(خ ع

ش

ع - خ

ش

وعا- يخ

ش

خ ) khasya’a- yakhsya'u-khusyû’an yang artinya

tunduk, rendah/merendahkan, takluk (Kamus Arab-Indonesia, Prof. Mahmud Yunus) dan ada yang mengartikan (

ون

ك لس

.As-sukûn, tenang (ا

Ar-Râghib Al-Ashfahânî 1 dalam Kitab al-Mufradât li alfâdh al-Qur’ân hal.283 menyamakan arti khusyû’ (ــوع

ش

’merendahkan diri). Pada umumnya kata khusyû = (ضــراعة) dengan dharâ'ah (خ

ـوع)

ش

lebih (ضـراعة) lebih banyak dipergunakan untuk anggota tubuh, sedangkan kata dharâ'ah (خ

banyak dipergunakan untuk hati. Dalam kaitan Khusyû’ ada istilah-istilah yang serupa: Khudlû' ضـوع)

merendahkan :(تواضـع) 'tunduk, membungkukkan badan, merendahkan diri Tawâdhu :(خ

diri, meletakkan dirinya rendah, rendah hati. Tadharru' (تضـرع): merendahkan diri, merasa

lemah, menundukkan dirinya dihadapan Allâh . Ibnu Mandhur Al-Ansharî 2 yang mengatakan bahwa khusyû’ berarti tindakan yang dilakukan oleh seseorang dengan melemparkan pandangannya ke bawah (ke bumi) lalu ditundukkan kepalanya dan dipeliharanya suaranya.(Ensiklopedia Al Qur'an: Kajian Kosa kata, 2/489).

1 Beliau adalah Abu al-Qasim al-Husain bin Muhammad bin al-Mufadhal, salah satu Kitab beliau yang terkenal adalah al-Mufradât li alfâdh al-Qur’ân. Al-Ashfahânî adalah nisbah dari tempat asalnya yaitu kota

Al-Ashfahân di Iraq. Akan tetapi beliau hidup di kota Baghdâd. 2 Beliau adalah Muhammad bin Mukrim bin ‘Alî Abu al-Fadhl Jamâluddîn Ibnu Mandhûr al-Anshârî ar-Ruwaifi'î al-Afrîqî, lebih dikenal dengan Ibnu Mandhûr (lahir pada bulan Muharram 630 H/1232 wafat di Mesir pada bulan Sya'ban 711 H/1311) adalah seorang sastrawan, sejarawan, ilmuwan di bidang fikih dan bahasa Arab. Kitab beliau yang terkenal adalah Mu'jam Lisân al-'Arab fi al-Lughah

Page 3: Ringkasan Fiqh shalât - MRKR

2

Pendapat lain mengatakan bahwa kata khusyû’ lebih sempurna dari kata Khudlû' (ضـوع

'Khudlu .(خ

itu hanya dengan membungkukkan badan untuk memperoleh sesuatu benda yang ada di bawah, sedangkan khusyû’ mencakup menundukkan badan, suara, dan penglihatan. Hal ini sesuai dengan firman Allâh ,

ذقان یبكون و�زیدهم خشو�ا ون ل�� ویخر�"Dan mereka menyungkurkan muka sambil menangis dan mereka bertambah khusyû’ (QS. Al-Isra' (17): 109).

Hadîts Rasûlullâh :

ن لم تبكوا ف1باكوا عن سعد -ن +�ب(ي وق�اص قال قال رسول ا!ل�ه 4 ا-كوا فا

Dari Sâd bin Abi Waqqâs �, berkata, Rasûlullâh : "Menangislah (karena bacaan Al qur'an), jika kamu tidak bisa menangis, maka usahakanlah sekuat-kuatnya agar dapat menangis." (HR. Ibn Mâjah)

Dalam riwayat Ibn Mâjah yang lainnya dari Andurrahman bin Sâ'ib �:

ن� هذا القر+ن 6زل بح 4ن لم تبكوا ف1باكواا

4ذا قر+>تموه فا-كوا فا

4 زن فا

"Sesungguhnya Alquran itu telah diturunkan dengan ada rasa takut, maka apabila dibacakannya ayat-ayat al Qur'an maka menangislah, jika kamu tidak bisa menangis, maka usahakanlah sekuat-kuatnya agar dapat menangis. (HR. Ibnu Mâjah )

Sabda Rasûlullâh lagi: �ه یة ا!ل�ــه و�ــ@ن عن ا-ن عب�اس قال سمعت رسول ا!ل Dــار �ــ@ن -كــت مــن خشــ�ــهما الن یقول عینــان لا تمس�

Mتت تحرس في سKLل ا!ل�ه Dari Ibnu ‘Âbbas رضي ا!له عنهمــا berkata, aku mendengar Rasûlullâh bersabda :"Dua mata yang tidak

disentuh api neraka, yaitu yang menangis karena takut kepada Allâh , dan mata yang berjaga-jaga di malam hari pada jalan Allâh (jihad)." (Sunan At Tirmidzî)

ــرع ولا عن +�ب(ي هر�رة قال قال رسول ا!ل�ه یة ا!ل�ه ح1�ى یعود ا!ل�Lن في الض� Dل -كى من خشUار ر�لا یلج الن یجتمع غبار في سKLل ا!ل�ه ودXان جهن�م

Dari Abu Hurairah � berkata, Rasûlullâh bersabda :" Tidaklah masuk neraka seorang laki-laki yang menangis karena takut kepada Allâh, kecuali bila air susu sapi dapat kembali ke dalam kantong susunya, dan tidaklah berkumpul pada seorang hamba, debu dalam peperangan di jalan Allâh dengan asap (debu) api neraka." (Sunan At Tirmidzî dan Nasai) Dari penjelasan di atas, khusyû’ itu berarti 'menundukkan diri dengan cara menundukkan anggota badan, merendahkan suara atau penglihatan dengan maksud agar yang menundukkan diri itu benar-benar merasa rendah dan tanpa kesombongan dan sekaligus merasakan takut (karena kesalahan dan dosa) sehingga "tersungkur" menangis. Imam Syâfi’î رحمه ا!له تعــالى menjelaskan dalam kitab Al-Umm, ”Orang yang sedang shalât hendaklah

ia seperti seorang prajurit yang berhadapan dengan seorang raja gagah dan kuat. Serius, tegak, konsentrasi, dan fokus terhadap perkatân Raja-nya itu, Allâh berfirman :

�ذ�ن هم في صلاتهم Xاشعون )1(قد +�فلح المؤم[ون )2(ال

Sesungguhnya beruntunglah orang-orang yang beriman, (yaitu) orang-orang yang khusyû’ dalam shalât nya, (QS Al Mu'minun (23):1-2) Sebab-sebab turun-nya ayat (Asbâbun Nuzûl) Ayat ke 2 dari Surat Al Mu'minun ini adalah: “Imam Hakîm mengetengahkan sebuah hadîts melalui sahabat Abû Hurairah � bahwa Rasûlullâh jika shalât, pandangan matanya selalu ke atas/langit. Maka turunlah ayat ini, "Yaitu orang-orang yang khusyû’ dalam shalât nya." (Q.S. Al Mu'minun(23):2). Maka sejak saat itu Rasûlullâh menundukkan kepalanya jika sedang mengerjakan shalât .

Page 4: Ringkasan Fiqh shalât - MRKR

3

Hadîts ini disebutkan pula oleh Ibnu Murdawaih, hanya lafadznya mengatakan, "Bahwa Rasûlullâh menolehkan pandangannya, sedang ia dalam shalât ." Disampaikan pula oleh Sa’id ibnu Manshur melalui Ibnu Sirin secara Mursal, yaitu dengan lafadz yang mengatakan, "Bahwa Rasûlullâh membolak-balikkan pandangan matanya dalam shalât, lalu turunlah ayat tersebut."

Karena itu Imam Ath-Thabarî mengartikan khusyû’ -berdasarkan beberapa riwayat yang dikemukakan oleh beliau- dengan "menundukkan kepala dan melihat tempat sujud, tenang melakukannya, tidak menoleh ke kiri dan ke kanan, menundukkan hati dan menjaga penglihatan."

Sementara itu, Ibnu Katsîr mengartikan khusyû’ dengan rasa takut kepada Allâh dan tenang melakukan shalât (kha'ifun sakinun). Ini berarti khusyû’ di dalam shalât adalah mengosongkan hati dari kesibukan di luar shalât yang akan mempengaruhi anggota tubuh dan pikiran. Dengan demikian, khusyû’ tidak lagi sekadar menundukkan diri, tetapi sudah mengarah kepada pemusatan perhatian (konsentrasi) kepada perbuatan yang dilakukan.

Khusyû’ dalam shalât nya. Dalam ayat ini (QS Al Mu'minun (23): 2) Allâh menjelaskan sifat yang kedua yaitu seorang mukmin yang berbahagia itu, jika ia benar-benar khusyû’ dalam shalât nya, pikirannya selalu mengingat Tuhan-nya, Allâh , dan memusatkan semua pikiran dan pancainderanya dan sekaligus ber-munajat kepada Allâh .

Imam Al-Qurthubî, menjelaskan arti khusyû’ dalam beberapa ayat:

Dalam Surah Al Baqarah ayat 45, Allâh berfirman:

لا� �لى الgاشع@ن 4�ها لكh@رة ا ن

4لاة وا Lر والص� تعینوا Mلص� Dواس

Jadikanlah sabar dan shalât sebagai penolongmu. Dan sesungguhnya yang demikian itu sungguh berat, kecuali bagi orang-orang yang khusyû’. (QS.2:45)

Kata khâsyi’în dalam ayat ini merupakan bentuk jamak dari kata khâsyi’ yaitu orang yang merendahkan diri, menundukkan jiwa yang diperlihatkan oleh anggota badan dengan diam dan pasrah. Qatâdah berkata: yang dimaksud khusyû’ di dalam hati adalah sungguh-sungguh dalam melaksanakan shalât dengan memasrahkan diri sepenuhnya.

Dalam Surah Ali Imran ayat 199, Allâh berfirman:

لیهم Xاشع@ن !ل� 4لیكم وما +6kزل ا

4ن� من +�هل الك1اب لمن یؤمن M!ل�ه وما +6kزل ا

4�ه ثمنا وا oت ا!ل pرون بqشr ه لا

ن� ا!ل�ه سریع الحساب 4 قلیلا +kولئك لهم +�جرهم عند ربهم ا

Dan sesungguhnya diantara ahli kitab ada orang yang beriman kepada Allâh dan kepada apa yang diturunkan kepada kamu dan yang diturunkan kepada mereka sedang mereka berendah hati kepada Allâh dan mereka tidak menukarkan ayat-ayat Allâh dengan harga yang sedikit. Mereka memperoleh pahala di sisi Tuhannya. Sesungguhnya Allâh amat cepat perhitungan-Nya.

Khusyû’ dalam ayat ini maksudnya adalah sikap tunduk atau rendah diri, memperhatikan sesuatu yang ada didalam hati.

Dalam Surah Al Isra’ ayat 109, Allâh berfirman:

ذقان یبكون و�زیدهم خشو�ا ون ل�� ویخر�Dan mereka menyungkur atas muka mereka sambil menangis dan mereka bertambah khusyû’. Khusyû’ disini adalah menundukkan kepala ketika mendengarkan Al Quran, sikap rendah diri terhadap semua orang serta bijak dalam menentukan sesuatu.

Dan Surah Al Anbiya’ ayat 90, Allâh berfirman:

�هم كانوا rسارعون في الg@رات وی ن4تجبنا له ووهبنا له یحی(ى و+�صلحنا له زوUه ا Dدعوننا رغبا ورهبا فاس

نوا لنا Xاشع@ن وكاMaka Kami memperkenankan doanya, dan Kami anugerahkan kepada nya Yahya dan Kami jadikan isterinya dapat mengandung. Sesungguhnya mereka adalah orang-orang yang selalu

Page 5: Ringkasan Fiqh shalât - MRKR

4

bersegera dalam (mengerjakan) perbuatan-perbuatan yang baik dan mereka berdoa kepada Kami dengan harap dan cemas. Dan mereka adalah orang-orang yang khusyû’ kepada Kami.

Orang-orang khusyû’ dalam ayat ini adalah orang-orang yang pasrah kepada Tuhannya dan merendahkan diri.

Ibn Athaillâh berkata dalam Al Hikâm :

لا ة مwل� المناUاة ومعدن المصافاة الص� Shalât itu tempat/sarana ber-munajat (kepada Allâh ) serta sumber penyucian.

Mencapai khusyû’ sekaligus kesepurnaan shalât Dalam Risalah-nya al Allamah Habib Ahmad bin Zain bin Alwî Alhabsyî ه ا!لــه تعــالىرحمــ (1069-1145

H), menyampaikan: �ما یتقhــل ــلاة بقــدر والخشوع: وهو سكون ا�عضاء، وحضور القلب، وتد-�ر القراءة وتفه�مها؛ فان ا!لــه مــن الص�

لاة و�@ر oء في الص� ها: وهو العمل U��ل الن�اس.الحضور. ویحرم الرDan Khusyû’ itu adalah ketenangan anggota badan (tidak banyak gerakan yang tidak perlu), menghadirkan hati, memperhatikan bacaan (shalât ) serta memahami apa yang dibaca; karena sesungguhnya berhadapan dengan Allâh dalam shalât hendaknya sepenuh hati. Dan riyâ’ (ingin dipuji, pamer , oleh karena manusia ) dalam shalât, hukumnya haram. Dalam keterangan lainnya ditambahkan bahwa untuk Khusyû’ dalam shalât paling tidak

terdapat 2 (dua) hal yaitu : Ikhlas yaitu ( و العمل !ل�ه و�ــده وه ) amal ibadahnya hanya untuk Allâh

semata, dan hudlur, yaitu ( وهو +ن یعلم بمــا یقــول ویفعــل) dia mengerti, memahami makna ucapan dan

perbuatan (syarat-rukun) shalât nya.

Dalam upaya mencapai khusyû’ dalam shalât, perhatikan hal-hal berikut : 1.Memahami Ilmu terkait dengan Ibadah shalât yaitu: Ilmu Fiqh Thaharah, Shalât , Ilmu

baca dan membaguskan bacaan Al qur'an (tajwid, tahsin), mempelajari bahasa al Qur'an (bahasa arab) sekedar untuk memahami bacaan bacaan Shalât , sehingga faham dan mengerti akan perbuatan dan ucapan ketika shalât , sebagaimana firman Allâh ,

ن +�م �لى قلوب +�قفالها +�فلا یتد-�رون القر+Maka apakah mereka tidak memperhatikan Alquran ataukah hati mereka terkunci?. (Q.S. Muhammad (47): 24)

2. Tenang, Tawâdhu’ dan Tuma'ninah Tunduk – tawâdhu’, arahkan pandangan ke tempat sujud dan penuhi tuma'ninah (tidak terburu-buru) pada rukun shalât, karena kita sedang berhadapan dengan yang Maha Mencipta, Allâh , dan meyakini Dia melihat kita. Imam Abu Hāmid Al Ghazālī mengatakan:

�ك، واعبده في صلاتك كpنك فانما یتقhل ا!له من صلاتك بقدر خشو�ك وخضو�ك وتواضعك وتضر .�راه؛ فان لم �كن �راه فانه �راك

”Maka sesungguhnya shalât itu menghadap Allâh (oleh sebab itu) penuhilah dengan khusyû’, khudhu', tawâdhu’ dan tadharru' dan beribadahlah di dalam Shalât kalian semua seakan-akan kalian melihat Allâh di depan kalian. Walaupun kalian tidak melihat-Nya sesungguhnya Allâh melihat kalian semua.” Bidayatul Hidayah- Bab Adab Shalât

3.Ingat kepada Allâh , Ikhlas beribadah karena Allâh , sesuai dengan Firman-Nya:

لاة لذكري و+�قم الص�Dan dirikanlah shalât untuk mengingat Aku. (Q.S. Thaha: 14)

4. Mengingat kematian ketika dalam shalât . Sabda Rasûlullâh ,

Page 6: Ringkasan Fiqh shalât - MRKR

5

ذا ذكر الموت في صلاته 4Uل ا ن� الر�

4�دثنا شDب@ب -ن �شر عن +�س رفه: اذكر الموت في صلاتك فا

ك وكل� +�مر یعتذر لحري +�ن ت �o4�ه یصل�ي صلاة �@رها وا م[ه. حسن صلاته، وصل� صلاة رUل لا یظن� +�ن

السgاوي- رواه الدیلمي في مسDنده, المقاصد الحسDنة Bercerita Syabib bin Basyar dari Anas �, beliau bercerita: ”Ingatlah kalian terhadap mati ketika dalam shalât. Sesungguhnya seseorang yang ingat mati dalam shalât, ia akan memperbaiki shalâtnya. Jika tidak mengingat kematian diri kalian, niscaya urusan duniawi akan mengganggu konsentrasi shalât kalian.” (HR Ad-Dailamî)

5. Shalât adalah ber-munajat, berdialog dengan Allâh , mengharap Ridha-Nya Shalât adalah komunikasi seorang hamba dengan Tuhannya. Kadang shalât diartikan sebagai al-munaji yaitu dialog interaktif antara hamba dan Tuhannya.

Mewaspadai gangguan terhadap Ibadah shalât Kita harus menyadari bahwa shalât khusyû’ itu mempunyai hambatan dan gangguan, baik dari dalam diri kita sendiri maupun dari luar diri kita (setan dan yang lainnya), untuk itu kita perlu mengetahui profil pengganggu shalât . Nabi Muhammad bersabda:

�ه �قوا وسواس الماء عن +kب(ي -ن كعب قال قال رسول ا!ل یطا� یقال له ولهان فات D!لوضوء ش �ن 4 ا

Dari Ubay bin Ka'ab � berkata, Rasûlullâh bersabda: “Pada wudlu itu ada setan yang menggoda disebut dengan Al Walahan (Walhan), maka hati-hatilah terhadapnya.”(HR Ibn Mâjah, Ibn Khuzaimah dan Musnad Al Jami)

یطان قد �ــال ب@[ــي وبــ@ن عن +�ب(ي العلاء +�ن� عثمان -ن +�ب(ي العاص +�تى الن�ب(ي� �Dالش �4ن�ه ا فقال o رسول ا!ل

�ه صلاتي �ــه م[ــه وقراءتي یلLسها �لي� فقال رسول ا!ل ذ M!ل ته ف1عو� Dذا +�حسس4یطان یقال له �Xزب فا Dذاك ش

�ه عني واتفل �لى rسارك ثلا� قال ففعلت ذ!ك ف�pذهبه ا!لDari Abi Al 'Alâ' dari Utsmân ibn Abî Al ‘Âsh �, telah mendatangi Rasûlullâh dan berkata: "Wahai Rasûlullâh, setan telah mengganggu shalât dan bacaanku.” Beliau bersabda : “Itulah setan yang disebut dengan ‘khanzab’, jika engkau merasakan kehadirannya maka bacalah ta’awudz kepada Allâh dan meludahlah (sedikit ludah) ke arah kiri tiga kali.” (Shahîh Muslim, Musnad Ahmad, Mu'jam Kabir At Thabrânî, Al adzkâr li Nawâwî). Utsman pun melanjutkan: “Akupun melaksanakan wejangan Nabi tersebut dan Allâh mengusir gangguan tersebut dariku.”

Dalam Kitab Nashâihul Ibâd - li Syeikh Muhammad Nawâwî lbnu Umar Al-Jawî Al Bantanî, juga disebutkan bahwa :

لاة والعبادات و+�م� ولهان فهو یوسوس في الوضوء والص�"Dan si Walhân bertugas menimbulkan was-was dalam wudlu, shalât , dan ibadah-ibadah lain"

Walhân juga suka mengganggu ketika bersuci, dia suka menamkan rasa was-was pada manusia, sehingga dalam bersuci, boros pemakaian air.

Cara Setan Mengganggu Orang yang Shalât : 1. Mengganggu bacaan dan pekerjaan shalât, baik ayat Al qur'an maupun bacaan-bacaan sunnah lainnya, sehingga lupa, tertukar ayat atau bacaannya dan sebagainya atau lupa jumlah Rakaat yang sudah dikerjakan atau lupa sudah tasyahud awal atau belum.

2. Masuk dalam fikiran, sehingga menjadi melamun (kosong) atau bahkan dapat menampilkan ingatan atau memory otak kita dengan urusan atau pekerjaan di luar shalât.

3. Memasukkan ke-ragu-ragu-an seperti merasa buang angin (ingin kentut), merasa ingin buang air kecil, membangkitkan kantuk dan malas. Bila seseorang merasa ragu-ragu apakah ia buang angin atau tidak dalam shalâtnya itu, maka teruskanlah shalâtnya, sampai ia merasa yakin bahwa ia telah buang angin. Rasûlullâh bersabda :

Page 7: Ringkasan Fiqh shalât - MRKR

6

یطان فــي صــلاته فKــنفخ فــي مقعدتــه j وعن ا-ن عب�اس رضي ا!له عنهما ان� رسول ا!له �Dتي +��ــدكم الشــ o قالذا وUد ذا!ك فلا ینصــرف ح1�ــى rســ

4�ه +��دث ولم یwدث فا (رواه الLــزار مع صــو� +�و ی�ــد ریwــافKخی�ل الیه +ن

و+صله في صحیw@ن)Dari Ibnu ‘Âbbas رضــي ا!لــه عنهمــا bahwa Rasûlullâh bersabda: “Setan akan datang kepada salah

seorang kamu waktu shalât lalu ia meniup-niup pada pantatnya, dan mengkhayalkan kepadanya bahwa ia telah berhadats, padahal ia tidak berhadats. Apabila yang terjadi demikian, janganlah ia keluar dari shalât, sehingga ia yakin mendengar suara atau mencium baunya (HR.Bazzâr dan asalnya dari Bukhârî-Muslim)

4. Menarik perhatian. Orang yang shalât digoda untuk melihat atap, tembok yang ada kaligrafi-nya, lampu masjid, bahkan melirik baju atau pakain shalât orang lain. 5. Membagus-baguskan shalât untuk mendapat simpati dan pujian dari manusia : Syirik Khafî Disamping upaya untuk Khusyû’ dalam shalât , namun kita harus berhati-hati dengan ingin dipuji dan lain lain, sebagaimana Hadîts :

�ه ال فقال +�لا +LXkركم بما هــو +�خــوف عن +�ب(ي سعید قال خرج �لینا رسول ا!ل �U یح الد� Dونحن نتذاكر المسي ف �ل Uل یصــل رك الخفي� +�ن یقوم الر� ال قال قلنا بلى فقال الش �U یح الد� Dــز�ن صــلاته لمــا یكم عندي من المس@

�رى من نظر رUل Diriwayatkan dari Abû Sa'îd A Khudariî �, berkata, kami bersama Rasûlullâh memperbincangkan Dajjal, kemudian beliau bersabda: " Maukah kamu , aku beritahukan sesuatu yang aku paling takutkan lebih dari perkara Al Masîhu Dajjâl?" beliau bersabda : "yaitu syirik khafî (tersembunyi), yaitu orang yang shalât kemudian membagus-baguskan shalât nya, sebab ada orang lain yang memperhatikannya (Sunan Ibn Mâjah, Musnad Ahmad dan Al Mustadariak ala Shahîhain)

Membahas Shalât yang dicontohkan oleh Rasûlullâh Hadîts:

ي �وا كما ر+�یتموني +kصل )رواه البgارى ومسلم عن ما!ك( صل

Shalâtlah sebagaimana engkau lihat aku shalât (HR. Bukhârî dan Muslim dari Imam Mâlik �). Rukun Shalât adalah urutan pelaksanaan Shalât, Rasûlullâh bersabda:

�م �لــى الن�بــ(ي ن� رسول ا!ل�ه عن +�ب(ي هر�رة +� ذا …… دXل المس�د فــدXل رUــل فصــل�ى فســل4فقــال ا

ر معك من القر+ن ثم� اركع ح1�ى ر ثم� اقر+> ما ت@س� Lلاة فك لى الص�41�ــى تعــدل قائمــا راكعا ثم� ارفع ح تطم�ن� قمت ا

ها تطم�ن� ثم� اس�د ح1�ى ساUدا ثم� ارفع ح1�ى تطم�ن� Uالسا وافعل ذ!ك في صلاتك كلDari Abu Hurairah � berkata, Sesungguhnya Rasûlullâh bersabda: “Apabila kamu hendak mendirikan shalât, maka bertakbirlah, kemudian bacalah sesuatu yang mudah bagi kamu dari al-Qur’an. Kemudian ruku‘lah sehingga kamu thuma’ninah dalam ruku‘. Kemudian bangunlah (dari ruku‘) sampai kamu tegak berdiri (i‘tidal). Kemudian sujudlah sehingga kamu thuma’ninah dalam sujud. Kemudian bangunlah (dari sujud) sampai kamu thuma’ninah dalam duduk. Dan lakukanlah demikian itu dalam setiap shalâtmu.”(Shahîh Bukhârî, No.263 dan Shahîh Muslim, No.298) Hadîts yang menerangkan tatacara shalât Rasûlullâh :

لى صلى الله عليه وسلمقالوا : فاعرض قال : كان رسول ا!له صلى الله عليه وسلمقال +�بو حمید : +�� +��لمكم بصلاة رسول ا!له 4ذا قام ا

لاة �رفع یدیه ح1�ى یwاذي بهما م[كhیه ثم� �كLر ح1�ى یقر� كل� عظم في م ر الص� Lك� �ثم k+یقر �وضعه معتدلا ثم

Page 8: Ringkasan Fiqh shalât - MRKR

7

ب ر+>سه ولا یق[عه ف@رفع یدیه ح1�ى یwاذي بهما م[كhیه ثم� �رفع و یضع راح1یه �لى ركبKqه ثم� یعت دل فلا یصوله +�كLر ثم� ول سمع ا!له لمن حمده ثم� �رفع یدیه ح1�ى یwاذي بهما م[كhیه معتدلا ثم� یقول ا!ثم� �رفع ر+>سه و یق

لى ا��رض فK�افي یدیه عن ج[بیه ثم� �رفع ر+>سه وی�[ي رUله ال@ 4سرى فKقعد �لیها ح1�ى �رجع كل� یهوي ا

كعة ف@رفع یدیه ح ذا قام من الر�4لى موضعه ثم� یصنع في اk�خرى م¡ل ذ!ك ثم� ا

41�ى یwاذي بهما م[كhیه عظم ا

لاة ثم� ر كما كL�ر عند اف1تاح الص� �سلیم +�خ� qها الKتي ف� �دة ال ذا كانت الس�4یفعل ذ!ك في بقK�ة صلاته ح1�ى ا

كا �لى شقه اr��سر قالوا صدقت هكذا كان یصلي صل�ى ا!له � م لیه و سل� رUله ال@سرى وقعد م1ورAbu Humaid mengatakan: “Diantara kalian akulah orang yang paling tahu tentang shalâtnya Rasûlullâh “. Mereka yang hadir mengatakan: “Katakanlah!”. Abu Humaid pun berkata: “Rasûlullâh apabila akan shalât beliau berdiri dan mengangkatkan tangannya sampai sejajar dengan kedua bahunya kemudian bertakbir sampai seluruh persendiannya berada pada tempatnya sementara tubuhnya tetapa berdiri tegak. Kemudian beliau membaca ayat Al-Qur’an dan diteruskan bertakbir dengan mengangkat kedua tangannya sampai sejajar dengan kedua pundaknya. Kemudian beliau rukuk dengan meletakkan kedua telapak tangannya kedua lututnya, punggungnya tegak lurus, tidak mengangkat atau menundukkan kepalanya. Kemudian beliau mengangkat kepalanya dan mengucapkan ‘sami’allâhu liman hamidah’ dengan mengangkat kedua tangannya sejajar dengan kedua pundaknya dan berdiri tegak. Kemudian beliau mengucapkan ‘Allâhu Akbar’. Kemudian beliau menurunkan badannya ke tanah, kedua tangannya menjauhi lambungnya. Kemudian beliau mengangkat kepalanya dari sujud dan menekuk kaki kirinya serta duduk diatasnya sampai semua persendiannya berada pada tempatnya. Kemudian beliau sujud yang kedua seperti sujud sebelumnya. Kemudian beliau bangkit dari sujud dan berdiri serta mengangkat kedua tangannya sampai sejajar dengan kedua pundaknya seperti bertakbir ketika awal shalât. Beliau melakukan seperti itu sampai selesailah seluruh rakaat yang beliau kerjakan hingga melakukan sujud terakhir. Saat itulah beliau menjulurkan kaki kirinya ke kanan dari tempat duduknya. Beliau duduk tawarruk dengan pinggul rukuk”. Mendengar penuturan Abu Humaid, mereka mengatakan: “Engkau benar”. Demikianlah Rasûlullâh melakukan shalât. (HR. Imam Mâlik, Abu Dâwud dan Tirmidzî).

Para fuqâhâ’ madzhab berbeda pendapat mengenai jumlah rukun-rukun dalam shalât.

Terkait masalah ini Madzhab Hanafî memiliki pendapat mengenai wajib-wajib shalât yang berbeda dengan rukun-rukun shalât.

Pengertian wajib menurut madzhab ini adalah segala hal yang ditetapkan dengan dalil yang mengandung syubhat atau kesamaran. Hukum orang yang meninggalkan wajib-wajib shalât berdosa namun shalâtnya tidak batal dan harus menggantinya dengan sujud sahwi. Akan tetapi, jika dilakukan dengan sengaja maka ia harus mengulangi shalâtnya.

Page 9: Ringkasan Fiqh shalât - MRKR

8

۞ Rukun Shalât menurut Empat madzhab

Madzhab Hanafî/ اa`نـــفي

Madzhab Hanafî menyebutkan bahwa rukun-rukun shalât ada 6, yaitu: 1. Takbîratul Ihrâm, 2. Berdiri, 3. Membaca Al-Qur’an, 4. Rukuk, 5. Sujud, 6. Duduk di akhir shalât selama tasyahud. (Abu Muhammad Mahmud bin Muhammad Al-‘Ainani, Al-Binâyah fi Syarh Al-Hidâyah, 2/175-178).

Madzhab Hanafî menyebutkan bahwa wajib-wajib shalât ada 18, yaitu:

1. Membaca Takbîr ketika permulaan shalât, 2. Membaca Surat Al-Fatihah, 3. Membaca surat atau ayat Al-Qur’an setelah membaca Al-Fatihah, 4. Membaca surat pada dua rakaat pertama dalam shalât fardhu, 5. Mendahulukan bacaan surat Al-Fatihah daripada surat yang lain, 6. Menyatukan hidung dan kening ketika sujud, 7. Urut dalam setiap perbuatan yang dilakukan dalam shalât, 8. Thuma’ninah dalam setiap rukunnya, 9. Duduk pertama (tasyahud awal) setelah dua rakaat pada shalât yang berjumlah tiga

atau empat rakaat, 10. Membaca tasyahud ketika duduk pertama, 11. Membaca tasyahud ketika duduk terakhir sebelum salam, 12. Bergegas bangkit ke rakaat ketiga setelah membaca tasyahud awal, 13. Mengucapkan ‘as-Salam’ tanpa ‘alaikum’ sebanyak dua kali pada akhir shalât

sambil menoleh ke kanan dan ke kiri, 14. Mengeraskan suara bagi imam pada dua rakaat shalât shubuh, dua rakaat dalam

shalât Maghrib dan Isya’ meski shalâtnya qadha’, 15. Membaca pelan bagi imam atau makmum pada shalât Dzuhur dan Ashar selain dua

rakaat shalât Maghrib dan Isya’, serta shalât nafilah pada siang hari, 16. Membaca do’a Qunut dalam shalât witir, 17. Takbîr dalam shalât ‘Id, 18. Diam dan mendengarkan imam dalam shalât berjama’ah.

(Wahbah Az-Zuhailî, Al Fiqh Al-Islâmî wa Adillatuhu-Bab Shalât) Madzhab Mâlikî/ المالكـــي

Madzhab Mâlikî menyebutkan bahwa rukun-rukun shalât ada 14, yaitu 1. Niat, 2. Takbîratul Ihrâm, 3. Berdiri ketika shalât fardhu, 4. Membaca surat Al-Fatihah, 5. Membaca Al-Fatihah dengan berdiri, 6. Rukuk, 7. Bangkit dari rukuk, 8. Sujud, 9. Duduk diantara dua sujud, 10. Salam, 11. Duduk ketika salam, 12. Thuma’ninah,

Page 10: Ringkasan Fiqh shalât - MRKR

9

13. I’tidal dari rukuk dan sujud, 14. Tartib

(Asy Syarh Ash-Shaghîr ‘alâ Aqrab Al Masâlik Ila Madzhab Al Imam Mâlik, 303-317) Madzhab Syâfi‘î/ لشافعـــي�

Madzhab Syâfi‘î menyebutkan bahwa rukun-rukun shalât ada 13, yaitu: 1. Niat, 2. Takbîratul Ihrâm, 3. Berdiri dalam shalât fardhu bagi yang mampu, 4. Membaca AlQur’an (Alfatihah), 5. Rukuk, 6. I’tidal dalam posisi berdiri dan thuma’ninah, 7. Sujud, 8. Duduk diantara dua sujud dan thuma’ninah, 9. Tasyahud, 10. Duduk ketika tasyahud, 11. Membaca shalawat kepada Nabi , 12. Salam, 13. Urut dan tartib dalam di setiap rukunnya.

(Syamsuddîn Muhammad bin Al-Khatîb Asy-Syarbinî, Mughnî Al-Muhtâj ila Ma’rifâti Ma’anî Alfâdz Al-Minhâj,1/229-275 Madzhab Hanbalî/ اa`نبلـــي

Madzhab Hanbalî menyebutkan bahwa rukun-rukun shalât ada 14, yaitu: 1. Takbîratul Ihrâm, 2. Berdiri dalam shalât fardhu sesuai kemampuan, 3. Membaca Surat Al-Fatihah pada setiap rakaat bagi imam dan orang shalât

sendirian, 4. Rukuk, 5. I’tidal, 6. Sujud, 7. I’tidal dari sujud, 8. Duduk diantara dua sujud, 9. Thuma’ninah pada setiap rukunnya, 10. Duduk tasyahud akhir, 11. Membaca tasyahud, 12. Membaca shalawat kepada Nabi , 13. Salam ke kanan, 14. Urut/Tartib.

(Ibnu Qudamah Al-Maqdisî, Al-Mughnî, Juz 2)

أو سكون بين حركتينسكون بعد حركة :الطمأنينة )676ص 1ج - (الفقه الإسلامي وأدلته

Thuma’ninah adalah diam sesudah bergerak atau diam di antara dua gerakan.

Rukun Shalât Hanafî/ اa`نـــفي Mâlikî/

المالكـــيSyâfi`î / لشافعـــي� Hanbalî/ ــياa`نبلـ

Thuma‘ninah Wajib Rukun pada gerakan rukuk, I’tidal, Sujud dan duduk di antara dua sujud. Sebagian ulama‘ Syâfi`îyah hukum thuma’ninah dalam shalât adalah syarat

Page 11: Ringkasan Fiqh shalât - MRKR

10

sahnya Rukun.

Dalam Kitab Hâsyîyah Bajûrî juz 1 hal.152:

یكون بعد حركــة) Dــل اى سكون ا�عضاء ب (قوله وهي سKفــع م[ــه. ولــذ!ك ق كوع وقhل حركة الر� عد حركة الهوي !لر�لاة بدونها .هي سكون بعد حركت@ن ... الى +ن قال: و�لى كلا القول@ن لا تصح� الص�

(Dikatakan: Thuma'ninah itu adalah tenang setelah gerakan) artinya ketenangan anggota-anggota badan setelah gerakan turun untuk rukuk dan sebelum gerakan bangkit dari rukuk. Oleh karena itu dikatakan: Thuma'ninah itu adalah tenang (diam) diantara dua gerakan ... sampai ucapan pengarang: Berdasar dua pendapat ini, maka tidak sah shalât tanpa thuma'ninah. Rukun Shalât menurut 4 madzhab :

No Rukun Shalât Hanafî/

اa`نـــفيMâlikî/

المالكـــيSyâfi`î /

لشافعـــي�

Hanbalî/

اa`نبلـــي

1 Niat Syarat Rukun Syarat 2 Takbîratul Ihrâm

Rukun

3 Berdiri bagi yang sanggup)* 4 Membaca surat Al Fâtihah 5 Ruku` 6 I'tidal Bukan

rukun Rukun

7 Sujud dua kali Rukun 8 Duduk di antara dua sujud Bukan

Rukun Rukun

9 Duduk Tasyahud Akhir)** Rukun 10 Membaca Tasyahhud Akhir

Bukan Rukun

Rukun 11 Membaca Shalawat Nabi 12 Salam 13 Tartib (beurutan) 14 Thuma'ninah

(*)(1)Lurus tulang belakangnya (2) tetap (tidak bergerak-gerak atau bergoyang) (3) Muka dan dada menghadap kiblat. (**)Adapun duduk untuk tasyahhud itu termasuk rukun, karena tasyahhud akhir itu termasuk rukun

Dalam pandangan Ulama‘ madzhab Syâfi`îyah, Rukun-rukun shalât dikelompokkan menjadi tiga jenis, yaitu:

Rukun Qalbî: Niat

Rukun Qaulî: Takbîratul Ihrâm Membaca Al-Fâtihah Membaca tasyahud akhir Membaca Shalawat Nabi Salam

Rukun Fi’lî Berdiri Ruku’ I’tidal Sujud Duduk di antara dua sujud Duduk Tasyahud Akhir

Page 12: Ringkasan Fiqh shalât - MRKR

11

Tartib, merupakan gabungan dari Qaulî dan Fi’lî, juga ada yang berpendapat: Tertib termasuk Rukun Qalbî . Dari empat belas rukun shalât tersebut, dapat dikelompokkan menjadi tiga jenis, yaitu: 1. Rukun Qalbî (hati), mencakup satu rukun yaitu niat.

Qashdu : Menyengaja %أص$ (sengaja aku shalât)

Ta’aradh: Menentukan fardhu atau sunnah Ta’yîn: Menentukan Waktu Dalam hati Dalam huruf yang delapan: Dalam kalimat GHاللھ اك (diantara alif dengan Ra)

Jangan berubah: Tidak boleh merubah niat (berdiri untuk shalât sunnah, kemudian ditengah-tengah shalât dirubahnya menjadi shalât fardlu).

Membedakan Ada’(Shalât yang dilaksanakan tepat pada waktunya) dengan Qadla’(Shalât yang dilaksanakan pada waktu yang lain (diluar waktu shalât yang dimaksud)

Hukum melafadzkan niat : Hukum melafadzkan niat (at talafadz bi nnîyah) seperti :

�ه تعالى ماما(مp>موما) !ل4تقhل القhلة +�دائا ا Dي فرض الظهر +�ربع ركعات مس +kصل

Pendapat yang shahîh di kalangan Syâfi’î yah(sebagaimana dalam Mughnî al-Muhtâj, 1/148-150) menyatakan wajibnya niat fardlu dan syarat niat ada tiga, yaitu bersengaja (al-qashd), menentukan (at-ta'yîn) dan niat fardlu (al-fardlîyah). Menurut Madzhab Syâfi’î , ber-niat itu di hati dan di lisan – Syaikh Zainuddîn Al Malibarî menyatakan dalam Fathul Mu’în: Sunnah hukumnya melafadzkan niat sebelum Takbiratul Ihrâm, dan juga harus disengaja, juga menentukan (ta’yin) akan mengerjakan shalât Fardlu atau Sunnah, Adâ’ atau Qadha’, sebagai Imam atau Ma’mum), juga bisa dilihat di dalam Kitab Tuhfah al Muhtâj, II/12 Pendapat yang menyatakan bahwa sunnah melafadzkan niat juga didukung oleh Ulama Hanbalîyah (Al Mughnî al Mukharraq 1/464)

Dalam (الفقـھ الإسـلامي وأدلتـھ) Fiqh Islâmî wa Adillatuhu - Dr.Wahbah Zuhailî mengatakan:

"Dalam shalât fardlu disyaratkan dua perkara, yaitu menentukan jenis shalât dan bermaksud melakukannya. Ibnu Qudamah (pengarang Kitab Al Mughnî – beliau termasuk Ulama' Hanbalî) berkata: "niat menentukan jenis shalât itu wajib, dan shalâtnya akan jadi sesuai dengan yang ditentukan."

Dalam Kitab Al-Fiqh 'ala Madzâhibi Al-Arba'ah - Bab Hukum Melafadzkan Niat Melaksanakan Shalât Tunai (Adâ’) atau Qadha’ dan Lainnya: ‘Abdurrahman Al Juzairî mengatakan : حـو ذلـك fســن أن يـتلفظ بلسـانھ بالنيـة، 5أـن يقـول بلسـانھ أصـ%Q فــرض حكـم الـتلفظ بالنيـة، ونيـة الأداء أو القضـاء أو ن

للقلــب، فلــو نــوى بقلبــھ صـلاة الظ�ــر، ولكــن ســبق لســانھ فقـال: نو3ــت أصــ%Q العصــر فإنــھ �ـا�، لأن RــQ ذلــك تoب

الظ�ـر مــثلا

ا 'ــو القلــب، النطــق باللســان لــuس بoيــة، وsنمــا 'ــو مســاعد ع%ــ$ تنrيــھ لا يضــر، لأنــك قــد عرفــت أن المعتHــR GــQ النيــة إنمــ

حة، و'ــذا اa`كــم متفــق عليــھ عنــد ، أمــااa`نابلــةو الشــافعية القلــب، فخطــأ اللســان لا يضــر مــا دامــت نيــة القلــب wــ`ي

ــــة، واالمالكيــــــة a`نفيــــــا ــــuس مروعــ ــــتلفظ بالنيــــــة لــ ــــة قــــــالوا: إن الــ ــــط (المالكيــــــة، واa`نفيــ حــــــت اyaــ �ما تz'فــــــانظر مــــــذ QــــــR

ــــG الموســــــوس، ـــ$ لغ ـ ــــلاف الأو{ــ ـــالوا: إن الـــــتلفظ بالنيـــــة خـ ، ع%ـــــ$ أن المالكيـــــة قـــــا الصـــــلاة، الا إذا 5ــــاـن المصـــــ%Q موسوســـ

حسن لدفع الوسوسة .)و3ندب للموسوس. اa`نفية قالوا: إن التلفظ بالنية بدعة، و�ست

Page 13: Ringkasan Fiqh shalât - MRKR

12

Melafadzkan niat dengan lisan hukumnya sunnah, misalnya mengucapkan dengan

lisannya ( صــلي فــرض الظهــرk+) dan lain sebagainya, karena melafadzkan niat itu berfungsi

sebagai perhatian bagi hati. Jika ia berniat shalât dhuhur dengan hatinya akan tetapi lisannya terlanjur (tanpa sengaja) mengucapkan:

( ي نویــت صــر الع +kصــل ) maka yang demikian itu tidak batal; karena anda telah tahu bahwa

yang diperhitungkan dalam berniat adalah hati, sedangkan penggungkapan dengan lisan bukanlah niat, melainkan ia berfungsi sebagai alat bantu dalam memperingatkan hati; maka kesalahan lisan tidaklah membatalkan niat selama niat hati itu benar. Hukum ini disepakati oleh madzhab Syâfi’î dan Hanbalî . Sedangkan madzhab Mâlikî dan Hanafî berbeda: (Mereka (Madzhab Mâlikî dan Hanafî ) berpendapat bahwa melafadzkan niat itu tidak disyari'atkan dalam shalât, kecuali apabila orang yang melaksanakan shalât itu was-was. Mâlikîyah juga berpendapat bahwa melafadzkan niat itu menyalahi yang lebih utama ( ـ$خـ

و{

الأ

ف

لا ) bagi orang yang tidak was-was, sedangkan bagi yang was-was hal itu

disunnahkan.

Madzhab Hanafî berpendapat bahwa melafadzkan niat adalah bid'ah, dan dianggap baik bila dilakukan untuk menahan (menghindari) perasaan was-was)

Sekte Wahabi membid'ah-kan secara muthlaq perkara ini. "Waktu" berniat Niat itu dilakukan "bersamaan" dengan takbiratul Ihrâm dan mengangkat kedua tangan, boleh, bila niat itu sedikit lebih dulu dari keduanya.

2. Rukun Qaulî (Ucapan), mencakup lima rukun yaitu : Takbîratul Ihrâm, membaca Al-Fâtihah, membaca tasyahud akhir, membaca shalawat, dan salam (pertama).

Pembahasan Rinci terkait RUKUN QAULÎ, berkata Imam An-Nawâwî: واما غ G الامام فالسنة الاسرار بالتكب G سواء المأموم والمنفرد واد�ى الاسرار ان fسمع نفسھ إذا 5ان w`يح

المسع ولا عارض عند من لغط وغ Gه و'ذا عام QR القراءة والتكب G وال8سrيح QR الركوع وغ Gه وال8ش�د والسلام

حسب ��� م<�ا �ا ونفل�ا لا يzسمع والدعاء سواء واجf يح السمع ولا عارض فان لم يكن نفسھح��`w إذا 5ان

اتفق عليھ الاw`اب قال حيث fسمع لو 5ان كذالك لا يجز3ھ غ G ذلك 'كذا نص عليھ الشاف�Q و كذلك رفع ب

حب ان لا يز3د ع%Q اسماع نفسھ قال الشاف�QR Q الام fسمع ومن يليھ لا يتجاوزه * اw`ابنا و�ست

Adapun selain imam, maka disunnahkan baginya untuk tidak mengeraskan suara ketika membaca lafadh Takbîr, baik dia menjadi makmum atau ketika shalât sendiri (munfarid). Tidak mengeraskan suara ini jika dia tidak menjumpai rintangan, seperti suara yang sangat gaduh. Batas minimal suara yang pelan adalah bisa didengar oleh dirinya sendiri jika pendengarannya normal. Ini berlaku secara umum baik ketika membaca ayat-ayat Al-Qur`an, Takbîr, membaca tasbih ketika ruku`, tasyahud, salam dan doa-doa dalam shalât baik yang hukumnya wajib maupun sunnah. Apa yang dia baca tidak dianggap cukup selama masih belum terdengar oleh dirinya sendiri, dengan syarat pendengarannya normal dan tidak diganggu dengan hal-hal lainnya seperti dijelaskan di atas. Jika tidak demikian, maka dia harus mengeraskan suara sampai dia bisa mendengar suaranya sendiri, setelah itu barulah bacaan yang dia kerjakan dianggap mencukupi. Demikianlah nash yang dikemukakan oleh Syâfi`î

Page 14: Ringkasan Fiqh shalât - MRKR

13

dan disepakati oleh pengikutnya. Sedangkan Ashab Syâfi`î berkata: Disunnahkan agar tidak menambah volume suara yang sudah dapat dia dengarkan sendiri. As-Syâfi`î berkata di dalam Al-Umm: Hendaklah suaranya bisa didengar sendiri dan orang yang berada di sampingnya. Tidak patut dia menambah volume suara lebih dari ukuran itu. (Al-Majmû’, III/295). Para ulama madzhab Syâfi`î berpendapat bahwa orang yang bisu bukan sejak lahir -mengalami kecelakân di masa perkembangannya- wajib menggerakkan mulutnya ketika membaca lafadz Takbîr, ayat-ayat Al-Qur`an doa tasyahud dan lain sebagainya, karena dengan melaksanakan demikian, dia dianggap melafadzkan dan menggerakkan mulut, sebab perbuatan yang tidak mampu dikerjakan akan dimâfkan, akan tetapi selagi masih mampu dikerjakan maka harus dilakukan. (Fatâwâ al Ramlî, I/140 dan Hasyîyah Qulyubî, I/143) Kebayakan ulama lebih memilih untuk mensyaratkan bacaan minimal bisa didengar oleh pembacanya sendiri. Sedangkan menurut ulama madzhab Mâlikî cukup menggerakkan mulut saja ketika membaca ayat-ayat Al-Qur`an, namun lebih baik jika sampai bisa didengar oleh dirinya sendiri sebagai upaya untuk menghindar dari perselisihan pendapat. (Ad Dîn al Khalish II/143). Keharusan melafadhkan rukun Qaulî ini sesuai dengan hadîts bahwa Rasûlullâh membaca bacaan shalât dengan menggerakkan lidah dan bibirnya:

هر والعصر؟، قال: عن +�ب(ي معمر، قال: ق كان رسول ا!ل�ه صل�ى ا!له �لیه وسل�م یقر+k في الظ� لنا لخب�اب +� «Mضطراب لحیته «نعم، قلنا: بم كنتم تعرفون ذاك؟ قال:

“Dari Abu Ma’mar �, dia berkata: Kami bertanya kepada Khabbab �, apakah Rasûlullâh membaca bacaan shalât pada shalât Dzuhur dan Ashar? Ia menjawab: “Ya”. Lalu kami bertanya lagi: Bagaimana kalian bisa mengetahui hal itu? Dia berkata: “Dengan bergeraknya jenggot beliau”. (HR. Bukhârî dan Abu Dâwud). Kalau Rasûlullâh membaca hanya di dalam hati, tidak akan mungkin jenggot beliau sampai bergerak-gerak. Bahkan dalam hadîts itu diungkapkan dengan kalimat ,yang artinya goncang, menunjukkan gerakannya jelas betul-betul bergerak ”اضطراب“

bukan sekadar bergerak.

2.1. Takbîratul Ihrâm Hadîts:

�ــه �ــه عنــه قــال قــال رســول ا!ل د ا-ن الحنفK�ة عن �لي رضــي ا!ل ــلا عن محم� هــور وتحریمهــا مف1ــاح الص� ة الط� الت�كh@ر وتwلیلها الq�سلیم

Kunci shalât itu adalah bersuci, pembatas antara perbuatan yang boleh dan tidaknya dilakukan waktu shalât adalah takbir, dan pembebas dari keterikatan shalât adalah salam." (Hadîts Riwayat Imam Ahmad, Abû Dâwud, Tirmidzî dan Ibn Mâjah) Menurut madzhab Syâfi`î, Mâlikî dan Hanbalî sepakat bahwa mengucapkannya dalam bahasa Arab ( GHاللھ اك"Allâhu Akbar") adalah wajib,walaupun orang yang shalât itu adalah

orang ajam (bukan orang Arab). Hanafî : Sah mengucapkannya dengan bahasa apa saja, walau yang bersangkutan bisa bahasa Arab.

Page 15: Ringkasan Fiqh shalât - MRKR

14

Semua ulama mazhab sepakat : syarat takbiratul ihrâm adalah semua yang disyaratkan dalamshalât. Kalau bisa melkitakannya dengan berdiri; dan dalam

mengucapkan kata راLله اك! - Allâhu Akbar- itu harus didengar sendiri, baik terdengar

secara keras oleh dirinya, atau dengan perkiraan jika ia tuli. Shighat Takbîratul Ihrâm Mâlikî dan Hanbalî : kalimat takbiratul ihrâm adalah “Allâh Akbar” (Allâh Maha Besar) tidak boleh menggunakan kata-kata lainnya. Hanafî : boleh dengan kata-kata lain yang sesuai atau sama artinya dengan kata-kata tersebut, seperti “Allâh Al-A’dham” dan “Allâhu Al-Ajall” (Allâh Yang Maha Agung dan Allâh Yang Maha Mulia). Syâfi`î : boleh mengganti “Allâhu Akbar” dengan ”Allâhu Al-Akbar”, ditambah dengan alif dan lam pada kata “Akbar”. Syarat Takbîratul Ihrâm 1. Dilakukan pada waktu berdiri pada shalât fardhu, bagi orang yang shalât berdiri 2. Dengan memakai bahasa arab 3. Dengan menggunakan kalimat ALLÂH (الله) dan kalimat AKBAR ( أكبر ) 4. Tertib antara kalimat Allâh dengan kalimat akbar 5. Tidak memanjangkan suara “A” pada kalimat ÂLLÂH, dan 6. Tidak memanjangkan suara “BA” pada kalimat Akbâr 7. Tidak men-tasydîdkan suara “BA” pada kalimat Akbar 8. Tidak menambah suara panjang pada kalimat “HU” (Allâhû akbar), atau 9. Tidak menambah suara “WA” diantara kalimat Allâhu -- Akbar (Allâhu Wakbar) 10. Tidak menambah suara “WA” sebelum kalimat Allâh (WAllâhu Akbar) 11. Tidak boleh berhenti antara dua kalimat (Allâhu, Akbar). 12. Seluruh hurufnya mesti didengar diri sendiri 13. Masuk waktu, pada shalât yang diwaktukan 14. Diucapkan pada waktu menghadap kiblat 15. Tidak menyembunyikan satu huruf pun dari huruf-hurufnya 16. Mendahulukan Takbîr imam daripada Takbîr ma’mum.

2.2. Membaca Surah al-Fâtihah Membaca surah al-Fâtihah dalam shalât adalah rukun, baik shalât fardu maupun shalât sunah, dan baik sebagai imam, makmum maupun orang yang shalât sendirian. Diriwayatkan dari Ubâdah bin Shâmit �, bahwa Rasûlullâh bersabda:

اتwة الك1اب لا صلاة لمن لم یقر+> بف “Tidak sah shalât bagi yang tidak membaca surah al-Fâtihah.” (HR. Bukhârî dan Muslim).

امت قال صل�ى بنا رسول ا!ل�ه صل�ى ا!ل�ه �لیه وسل�م صلاة الغداة ف¡ق ا لت �لیه القراء عن عبادة -ن الص� ة فلم��� لنف

4�ه o رسول ا!ل�ه ا مامكم قالوا نعم وا!ل

4راكم تقرءون وراء ا ي �� ن

4لا� بkpم انصرف قال ا

4عل هذا قال فلا تفعلوا ا

�ه لا صلاة لمن لم یقر+> بها ن4 القر+ن فا

Dari Ubâdah bin Shâmit �, berkata; Rasûlullâh bersabda shalât shubuh bersama kami, bacaan terasa berat oleh beliau, seusai shalât beliau bersabda: "Sepengetahuanku, kalian membaca di belakang imam kalian?" mereka menjawab; Ya, demi Allâh wahai Rasûlullâh, kami melakukannya. Rasûlullâh bersabda bersabda: "Jangan kalian lakukan kecuali ummul qur`an (Al Fâtihah) karena tidak dianggap shalât bagi orang yang tidak membacanya." (HR. Ahmad No.21636, Abu Dâwud dan Tirmidzî).

Mereka berbeda pendapat tentang membaca Fâtihah pada tiap Rakaat. Syâfi`î dan

Page 16: Ringkasan Fiqh shalât - MRKR

15

Hanbalî berpendapat : Wajib pada tiap-tiap rekât dalam shalât lima/shalât Fardlu dan shalât sunnah Hanafî berpendapat : Membaca surat al-Fâtihah tidak wajib kecuali dalam dua rekât pertama pada setiap shalât wajib. Dan Mâlikî, salah satunya seperti pendapat Syâfi`î dan Hanbalî. Yang lain, jika ditinggalkan membaca al-Fâtihah dalam salah satu rekât yang bukan shalât subuh, hendaknya sujud sahwi. Jika dalam shalât subuh, diulang lagi shalât itu. Mereka juga berbeda pendapat tentang wajibnya membaca al-Fâtihah bagi ma'mum: Menurut madzhab Hanafî, tidak wajib, baik imam membacanya dengan keras (Jahr) atau berbisik (Sir). Bahkan tidak di-sunnah-kan membaca al Fâtihah dibelakang imam secara mutlak. Menurut madzhab Mâlikî dan Hanbalî, tidak wajib membaca al-Fâtihah bagi ma'mum secara mutlak. Bahkan Mâlikî memakruhkan ma'mum, apabila imam membacanya dengan keras, baik ia dapat mendengar atau tidak, terhadap bacaan imam itu. Menurut madzhab Hanbalî, sunnah membaca Al-Fâtihah di belakang imam, jika imam membacanya dengan berbisik (Sir). Menurut Syâfi`î : wajib membaca al-Fâtihah bagi ma'mum, jika imam shalât sir. Yang kuat dari pendapat beliau adalah pendapat yang mewajibkan membaca al-Fâtihah bagi ma'mum dalam shalât jahar (keras) atau beliau mewajibakan ma'mum membaca al-Fâtihah baik imam membacanya secara Jahar atau Sir.

Cabang Masalah

Hanafî/ ����ـــ�� Mâlikî/ ��ـــ� �� Syâfi’î/ ��ـــ� �� Hanbalî/ ������ـــ�

Membaca Al-fâtihah

Wajib pada dua rakaat pertama pada setiap shalât wajib

Wajib pada tiap-tiap rakaat dalam shalât lima/shalât Fardlu dan shalât sunnah Pendapat yang lain dari madzhab Mâlikî: Jika ditinggalkan membaca al-fâtihah dalam salah satu rakaat yang bukan shalât subuh, hendaknya sujud sahwi. Jika dalam shalât subuh, diulang lagi shalât itu.

Membaca Al-fâtihah bagi makmum

Tidak wajib, baik imam membaca dengan keras (Jahr) atau berbisik (Sir). Tidak di-sunnah-kan membaca al-fâtihah di belakang imam secara mutlak.

Makrûh apabila imam membacanya dengan keras, baik ia dapat mendengar atau tidak, terhadap bacaan imam itu.

Wajib, jika imam shalât sir. Pendapat yang kuat : mewajibkan makmum membaca al-fâtihah baik imam membacanya secara Jahar atau Sir.

Sunnah membaca Al-fâtihah di belakang imam, jika imam membacanya dengan Sir.

۞ Syarat membaca al-Fâtihah Terdapat syarat-syarat yang harus dipenuhi agar sah dalam membacanya. Syarat-syarat tersebut adalah:

1. Membaca setiap ayatnya secara berurutan. 2. Membaca secara terus berkelanjutan dan tidak terputus (al-muwâlah). Jika

antara dua ayat terpisah jarak melebihi seorang bernafas maka batal shalâtnya. 3. Harus sesuai dengan kaidah Ilmu Tajwid serta seluruh hurufnya (142 huruf)

dan tasydidnya (14 tasydid). (Kitab Al Majmû’ III/250-251 dan Tuhfah al Muhtâj, II/37) Apabila terdapat satu saja huruf atau tasydid yang tidak terbaca atau

tertukar dengan huruf lain seperti: ذ dibaca ز atau س dibaca ص atau

sebaliknya, maka bacaan Al Fâtihahnya tidak sah, dan berarti Shalâtnya tidak

Page 17: Ringkasan Fiqh shalât - MRKR

16

sah juga. Juga dijelaskan dalam Safinatun Najah- Syeikh Al-Fadhil Salim Bin Samir Al-Hadhramî - Pasal 27-28

4. Tidak berhenti dalam membaca baik lama maupun sebentar dengan maksud memotong bacaan.

5. Membaca seluruh ayatnya. Termasuk bacaan basmalah (Sirr/Jahr). 6. Tidak salah membaca yang dapat merusak makna. Jika merusak makna seperti:

“an’amtu” atau “an’amti” maka batal shalâtnya. 7. Membacanya dalam keadân berdiri secara sempurna dalam shalât fardlu. Jika

dibaca sambil merunduk ketika akan rukuk atau akan bangkit berdiri maka bacaannya tidak sah.

8. Memperdengarkan bacaan itu kepada dirinya. Karena al-Fâtihah merupakan rukun qaulî (rukun bacaan).

9. Tidak disisipi bacaan dzikir asing, yaitu dzikir yang tidak ada kaitannya dengan shalât, seperti membaca “alhamdulillah” setelah bersin, dan menjawab adzan. Yang termasuk dzikir bukan asing adalah seperti melakukan sujud tilawah, membaca “amin”, dan berdoa memohon rahmat atau perlindungan dari adzab.

10. Tidak membacanya dengan maksud lain selain bacaan shalât. Jika membacanya untuk mendapatkan keberkahan, dzikir atau doa, maka tidak sah bacaan tersebut.

11. Membacanya dalam bahasa Arab, karena terjemahan al-Fâtihah bukan Alquran.

۞ Tidak mampu membaca surah al-Fâtihah Seorang harus mempelajari surah al-Fâtihah sampai dapat membacanya dengan baik. Jika telah belajar tapi belum bisa membaca dengan baik, maka ia boleh shalât dengan keterbatasannya tersebut. Shalâtnya dihukumi sah namun ia tetap harus terus belajar hingga bisa. Jika seorang malas atau lalai sehingga tidak bisa membaca al-Fâtihah padahal ia mampu melakukannya karena terdapat waktu dan guru maka ia berdosa dan shalâtnya tidak sah. Selain kemampuan membaca maka terdapat beberapa hal lain yang harus ia lakukan, yaitu: 1. Menghafal surah al-Fâtihah. 2. Jika tidak mampu menghapalnya maka harus menuliskannya di sebuah kertas dan

membacanya dalam shalât. 3. Jika tidak mampu menulis dan membacanya maka ia harus membaca tujuh ayat

yang jumlah hurufnya tidak kurang dari jumlah huruf al-Fâtihah (156 huruf). 4. Jika tidak mampu maka membaca tujuh bacaan zikir yang hurufnya tidak kurang

dari huruf al-Fâtihah. Diriwayatkan bahwa Rasûlullâh mengajarkan seorang lelaki tatacara shalât. Beliau bersabda:

له ره وهل Lه وك� لا� فاحمد ا!ل4ن كان معك قر+ن فاقر+> به، وا

4 فا

“Jika kamu memiliki hapalan Alquran maka bacalah. Jika tidak maka bertahmidlah, bertakbirlah, dan bertahlil-lah.” (HR. Abu Dâwud).

5. Jika tidak mampu maka ia cukup berdiam selama waktu yang dibutuhkan untuk membaca al-Fâtihah.

۞Gugurnya bacaan al-Fâtihah Secara hukum asal, membaca al-Fâtihah dalam shalât adalah rukun yang tidak dapat ditinggalkan kecuali bagi makmum yang masbuk. Makmum masbuk ada dua keadân:

Page 18: Ringkasan Fiqh shalât - MRKR

17

Masbuk yang tidak memiliki waktu sama sekali untuk membaca al-Fâtihah, yaitu jika ia mendapati imam telah rukuk atau sedang bersiap rukuk. Maka kewajiban membaca al-Fâtihah menjadi gugur.

Masbuk yang memiliki sedikit waktu yang hanya cukup untuk membaca sebagian al-Fâtihah. Maka kewajibannya adalah membaca al-Fâtihah sesuai waktu yang tersedia. Jika imam rukuk maka ia harus rukuk bersamanya meskipun ada beberapa ayat al-Fâtihah yang belum terbaca.

Dalam keadân ini, ia tidak dianjurkan untuk membaca doa iftitah. Jika ia membacanya maka ia harus menambah waktu berdiri untuk membaca al-Fâtihah sesuai waktu yang ia pakai dalam membaca doa iftitah. Jika ia masih mendapati rukuk imamnya maka dianggap telah mendapatkan satu Rakaat, tapi jika imamnya telah berdiri dari rukuk maka ia telah kehilangan satu Rakaat dan harus langsung mengikuti i’tidal imam. Jika ia melakukan rukuk maka batal shalâtnya karena telah menambah perbuatan dalam shalât. Keadân masbuk ini juga berlaku bagi seseorang yang terlambat bangkit dari sujud sehingga ketika berdiri ia mendapati imamnya telah rukuk atau hampir rukuk, maka ia tidak perlu membaca al-Fâtihah atau menyempurnakan bacaannya. Adapun jika makmum tidak dalam keadân masbuk tetapi ia belum selesai membaca al-Fâtihah ketika imam rukuk maka jika keterlambatannya itu disebabkan sebuah dzur, seperti bacaan imam yang sangat cepat, atau bacaannya yang lambat, maka ia tetap harus melanjutkan bacaan al-Fâtihah hingga selesai. Dalam hal ini diberikan keringanan baginya untuk terlambat dari gerakan imam dalam batas maksimal 3 (tiga) rukun besar. Jika telah lebih dari itu maka makmum memiliki dua pilihan, yaitu memisahkan diri dari imam (mufâraqah) atau tetap bersama imam tetapi Rakaat pertama dihitung tidak ada sehingga ia harus menambah satu Rakaat lagi setelah imam salam. Catatan: Basmalah merupakan ayat pertama dari surah ini sehingga harus dibaca secara keras dalam shalât jahriyah dan secara lirih dalam shalât siriyah. Sebagaimana diriwayatkan dari Ummu Salamah ا� .bahwa: “Nabi menganggap basmalah sebagai ayat.” (HR. Ibnu Khuzaimah) ر��� اللھ ع<

2.3.Tasyahud Akhir (1) Dalam duduk yang benar/tetap dada lurus ke arah kiblat Duduk tasyahud akhir merupakan rukun shalât menurut jumhur ulama tidak termasuk madzhab Hanafî.( Badruddîn Al-Ainî al-Hanafî, Al-Biyanah Syarh Hidayah, h. 178). Hanafî: tidak termasuk rukun shalât, lafadz yang beliau gunakan yakni bacaan tasyahud Abdullâh bin Mas’ûd � :

حيات للھ والصلوات والطيبات السلام عليك أ��ا الن�� ورحمة اللھ و@ر5اتھ ال سلام علينا وع%$ عباد الت

حمدا عبده ورسولھ " اللھ الصاa` ن أش�د أن لا إلھ الا اللھ وأش�د أن م(Ibnu Rusyd, Bidayatul Mujtahid wa Nihayatul Muqtashid, cet, pertama (Beirut: Dar Al-Kutub Al-Ilmiyah, 2012), h. 131) Tahîyyat yang masyhur digunakan oleh Jumhur yaitu

حيات للھ الصلوات والطيبة، السلام عليك أ��ا الن�� ورحمة اللھ و@ر5اتھ،السلام علينا وع%$ “ الت

رسول حمدا م

اللھ وأن

اللھ" عباداللھ الصاa` ن ، أش�د أن لا إلھ إلا

(HR.Jamaah) Jumhur ulama menetapkan bahwa posisi duduk untuk tasyahud akhir adalah duduk tawarruk. Posisinya hampir sama dengan duduk iftirasyi namun posisi kaki kiri tidak

Page 19: Ringkasan Fiqh shalât - MRKR

18

diduduki melainkan dikeluarkan ke arah bawah kaki kanan. Sehingga duduknya diatas tanah tidak lagi diatas lipatan kaki kiri seperti pada duduk iftirasyi.

ا� …دي� +�� كنت +�حفظكم لصلاة رسول ا!ل�ه +�بو حمید الس� كعت@ن Uلــس �لــى رUلــه ذا Uلــس فــي الــر�4فــا

م رUله ال@سرى ونصب اk�خرى وق كعة ا�خرة قد� ذا Uلس في الر�4 قعدته عد �لى م ال@سرى ونصب الیمنى وا

Maka apabila beliau duduk setelah dua rakaat, beliau duduk di atas kaki kiri sambil menegakkan telapak kaki kanan, dan apabila beliau duduk pada rakaat akhir beliau majukan kaki kiri sambil menegakkan telapak kaki yang satunya, dan beliau duduk di lantai. (HR. Al-Bukhârî) Ulama’ Asy-Syâfi`îyyah dan Hanabilah (Hanbalî) berpendapat bahwa untuk duduk tasyahud akhir, yang disunnahkan adalah duduk tawarruk. Menurut Ulama’ Hanafîyah, posisi duduk tasyahud akhir sama dengan posisi duduk diantara dua sujud, yaitu duduk iftirasyi. (Nailul Authâr, h. 273) Madzhab Mâlikî sebagaimana diterangkan dalam kitab Asy-Syarhu Shaghir menyunnahkan untuk duduk tawarruk baik pada tasyahud awal maupun tasyahud akhir. Bacaan Tahîyyat (2) mendengar bacaan (3) tertib (4) memelihara hurufnya (5) memelihara kalimatnya (6) memelihara baris-(harakat)nya (7) memelihara tasydîd-nya

Bacaan tasyahud ada berberapa pendapat. Pendapat pertama yaitu pendapat jumhur ulama dari madzhab Hanafî dan Hanbalî serta ada kemiripan pada madzhab Mâlikî . Sedangkan pada madzhab Syâfi`î menggunakan bentuk yang kedua yaitu:

د �لىا!ل�هم� صل محم�

“Allâhumma shalli ‘ala Muhammad...”. (Wahbah Zuhaily, Al-Wajiz fi Fiqhi islam, cet. Pertama, (Damaskus: Darul Fikr, 2005 M) 1/166).

Bacaan Tasyahhud yang terkenal di kalangan madzhab Syâfi’î : �ه �ه عن ا-ن عب�اس +�ن ورة من القر+ن فكان یقول قال كان رسول ا!ل منا الس� منا الq�شه�د كما یعل یعل

Dari Ibn ‘Abbâs � berkata, adalah Rasûlullâh mengajari kami tasyahhud sebagaimana mengajari kami surat-surat Al Qur'an, beliau berkata:

�ه �ها الن�ب(ي� ورحمة ا!ل لام �لیك +�ی �ه الس� بات !ل ی لوات الط� ــلام �لینــا و�لــى الت�حی�ات المباركات الص� و-ركاتــه الس��ه و+�شهد +�ن� لا� ا!ل

4له ا

4الw@ن +�شهد +�ن لا ا دا رسول ا!ل�ه عباد ا!ل�ه الص� محم�

Segala kehormatan, keberkahan, kebahagiaan dan kebaikan bagiAllâh. Salam, Rahmat dan berkahNya kupanjatkan kepadamu wahai Nabi (Muhammad). Salam (keselamatan) semoga tetap untuk kami seluruh hamba-hamba yang shalih. Aku bersaksi bahwa tidak ada sesembahan yang haq, melainkan Allâh dan aku bersaksi bahwa Muhammad adalah hamba dan rasulNya." (Shahîh Muslim, Abû Dâwud, At Tirmidzî, Ibn Mâjah, Nasâî dan Baihaqî dengan sanad shahîh)

2.4.Shalawat Nabi pada Tahîyyat kedua (1) Memelihara hurufnya (2) memelihara tasydîdnya (3) memelihara kalimatnya (4) memlihara barisnya (5) mendengarkan bacaan (6) Tertib (7) Dalam duduk Tahîyyat akhir.

Hukum membaca shalawat, ditambahi kata “sayyidina” ? Dalam Kitab I’ânatut Thâlibîn- Syaikh Bakri Dimyathî berkata :

Page 20: Ringkasan Fiqh shalât - MRKR

19

یادة، ��ن� الافضل سلوك ا��دب. �Dدا رسول ا!له الاولى ذكر الس وقوله: و+�ن� محم�Dan dikatakan : Dan adalah lebih baik mengucapkan ‘sayyidina” sebelum nama (Nabi Muhammad), karena yang afdhal adalah bersopan santun kepada Nabi Muhammad

Membaca shalawat Ibrâhîmîyah dalam bacaan Tasyahhud ditambah dengan “sayyidina” sebelum kata “Muhammad”: Syeikh Syihâbuddîn al Qalyûbî , berkata:

�ها ، ولا و�ده لا شریك لــه بعــد +�شــهد +�ن لا الــه الا� نعم لا یضر� زoدة مKم في �لیك ، ولا oء نداء قhل +�ید ی Dدة ســoدة عبــده مــع رســوله ، ولا زoیخنا ، ولا ز Dه لورودها في روایة كما قاله ش� ــد هنــا ا!ل � قhــل محم�

لاة �لی ه ا�تیة ، بل هو +�فضل ��ن� فKه مع سلوك ا��دب ام1ثال ا��مر وفي الص�Ya, Tidak merusakkan bacaan Tasyahud dengan menambah huruf “mim”, pada “alaika”, begitu juga menambah “ya” sebelum “ayyuha” begitu juga membaca “ Wahdahu la-syarikalah” sesudah “ Asyhadu an Laa ilaha Illallâh” begitu juga menambah “abduhu” sebelum “wa rasuluhu” begitu pula menambah “sayyidina” sebelum nama Muhammad (dalam tasyahud atau dalam shalawat), membaca sayyidina lebih afdhal karena dalam membaca “sayyidina” itu kita sudah menjalankan perintah Nabi sekaligus memuliakan dan menghormati beliau. Dr. Wahbah Zuhailî, berkata dalam Kitab Fiqh Islâmî wa Adillatuhu: Hanafî yah dan Syâfi’î yah berpendapat : Disunnahkan membaca sayyidina kepada Nabi Muhammad dalam membaca shalawat Ibrâhîmiyyah, karena itu merupakan manifestasi pelaksanaan adab. Oleh sebab itu membaca sayyidina itu lebih utama daripada meninggalkannya. Adapun hadîts

ـــلاة ) janganlah kamu menyebut kepemimpinanku dalam membaca) (لا ¦ســـودوني فـــي الص�

shalawat) adalah hadîts palsu (Asnâ al-Mathâlib fi Ahâdits Mukhtalijat al-Marâtib karya Al-Hut al-Bairuti, hal. 55.)

Maka Shalawat atas Nabi yang sempurna dan lebih afdhal, sebagaimana shalawat yang dibaca dalam Shalât adalah nash :

�هم� د و �لىصل ا!ل ید� محم� Dد ، �لى س ید� محم� Dل س§ -راهیم و كما+4ید� ا Dیت �لى س�ید� �لى صل Dل س§ +

-راهیم، وMرك 4د �لىا ید� محم� Dد ، �لى و س ید� محم� Dل س§ -ر �لىMركت كما+

4ید� ا Dل �لى اهیم و س§ +

�ك ن4-راهیم فى العالم@ن ا

4ید� ا Dحمید مجید. س

2.5. Salam yang pertama (1) Dalam duduk (2) mendengar salam (3) berturut-turut (4) tertib (5) memelihara hurufnya (6) memelihara tasydîdnya (7) memelihara kalimatnya (8) memlihara barisnya. Menurut empat madzhab, kalimatnya sama:

م

يكلسلام عل

للھ ا

ا

ورحمة

Kecuali madzhab Mâlikî, yaitu : م

يك

لسلام عل

ھ ا

للھ و@ر5ات

ا

ورحمة

Syâfi’î, Mâlikî, dan Hanbalî : mengucapkan salam adalah wajib. Hanafî : tidak wajib. (Bidayatul Mujtahid, Jilid I, halaman 126). Hanbalî : wajib mengucapkan salam dua kali, sedangkan yang lain hanya mencukupkan satu kali saja yang wajib.

3.Rukun Fi’lî (Perbuatan), mencakup enam rukun, yaitu berdiri, ruku’, i’tidal, sujud, duduk diantara dua sujud, duduk tasyahud akhir. Tertib, merupakan gabungan dari Qaulî dan Fi’lî, juga ada yang berpendapat: Tertib termask Rukun Qalbî .

Page 21: Ringkasan Fiqh shalât - MRKR

20

3.1. Berdiri, menghadap Kiblat Berdasarkan firman Allâh :

لاة الوسطى وقوموا !ل�ه قانت@ن لوات والص� �افظوا �لى الص�Peliharalah semua shalât(mu) dan (peliharalah) shalât wusthâ (Ashar). Berdirilah karena Allâh (dalam shalât-mu) dengan khusyû'. (Al-Baqarah: 238) Dan berdasarkan sabda Rasûlullâh kepada Imran bin Hushain:

�ه عنه قــال كانــت بــ(ي بواســ@ر فســ�pلت الن�بــ(ي� ــلاة عن ا-ن -ریدة عن عمران -ن حص@ن رضي ا!ل عــن الص�تطع Dن لم ¦س

4تطع فقا�دا فا Dن لم ¦س

4 فعلى ج[ب فقال صل قائما فا

Shalâtlah kamu dengan berdiri, apabila tidak mampu maka dengan duduk, dan jika tidak mampu juga maka shalâtlah dengan berbaring ke samping. (Shahîh Bukhârî) Dalam Kitab Kâsyifatus Saja, Syarh Kitab Safinatun Nâjah, hal. 53:

تطع فقــا �ــدا ى وجوب القKام قوله والا صل ف Dلعمران -ن حص@ن, وكانت به بواس@ر, صل قائما فان لم ¦س�ســائي� ا . وزاد ال� تطع فعلى ج[ب, روى هــذه الاحــو ال الثلاثــة البخــري� Dبعــةوهي فــان لــم فان لم ¦س لwالــة الر�

ف ا!له نفسا الا� وسعها تلیقا لا �كل Dتطع فمس Dس¦. Asal dari kewajiban berdiri dalam shalât fardlu adalah sabda Nabi . Kepada Imran bin Husain, beliau menderita penyakit wasir: Shalâtlah engkau dengan berdiri jika engkau tidak mampu, maka dengan duduk, jika engkau tidak mampu, maka dengan tidur miring. Diriwayatkan oleh Imam Bukhârî dalam kaitan keadaan ketiga. Dan Imam An Nasâî menambahkan keadaan yang keempat, jika engkau tidak mampu dengan tidur miring, maka dengan tidur terlentang. Allâh tidak memaksa seseorang kecuali pada batas kemampuannya.

Semua ulama madzhab sepakat bahwa berdiri dalam shalât fardhu itu wajib sejak mulai dari takbiratul ihrâm sampai ruku’, harus tegap, bila tidak mampu ia boleh shalât dengan duduk. Bila tidak mampu duduk, ia boleh shalât dengan miring pada bagian kanan, seperti letak orang yang meninggal di liang lahat, menghadapi kiblat di hadapan badannya, menurut kesepakatan semua ulama madzhab selain Hanafî. Madzhab Hanafî berpendapat: siapa yang tidak bisa duduk, ia boleh shalât terlentang dan menghadap kiblat dengan dua kakinya sehingga isyaratnya dalam ruku’ dan sujud tetap menghadap kiblat. Menurut madzhab Hanafî: bila sampai pada tingkat ini tetapi tidak mampu, maka gugurlah perintah shalât baginya, hanya ia harus melaksanakannya (meng-qadha’-nya) bila telah sembuh dan hilang sesuatu yang menghalanginya. Syâfi`î dan Hanbalî :Dan bila tidak mampu miring ke kanan, maka menurut Syâfi`î dan Hanbalî ia boleh shalât terlentang dan kepalanya menghadap ke kiblat. Bila tidak mampu juga, ia harus mengisyaratkan dengan kepalanya atau dengan kelopak matanya. Syâfi`î dan Hanbalî :shalât itu tidaklah gugur dalam keadaan apa pun. Maka bila tidak mampu mengisyaratkan dengan kelopak matanya (kedipan mata), maka ia harus shalât dengan hatinya dan menggerakkan lisannya dengan dzikir dan membacanya. Bila juga tidak mampu untuk menggerakkan lisannya, maka ia harus menggambarkan tentang melkitakan shalât di dalam hatinya selama akalnya masih berfungsi.

Page 22: Ringkasan Fiqh shalât - MRKR

21

Mâlikî: bila sampai seperti ini, maka gugur perintah shalât terhadapnya dan tidak diwajibkan mengqadha’-nya.

Bagi yang mampu berdiri hendaklah, melebarkan antara dua kaki ketika berdiri, kira-kira sejengkal (

dan tidak terlalu lebar, sehingga pada saat shalât berjamaah, lengan (شGHا

si Mushalli (antar ma'mum) akan berdekatan (menempel) dan shaf menjadi rapat namun tidak terlalu berdesakan. Sebagaimana disebutkan dalam Hâsyîyah Al-Jumal �اية ا�`تاج إ{$ ) Bab Syarat-syarat Shalât, dan Nihâyatul Muhtâj Syarh al-Minhâj (حاشية ا�aمل)�

Bab Rukun-rukun Shalât (شرح الم<�اج

ویندب تفریق قدمKه بنحو شLر Dan sunnah hukumnya melebarkan kedua belah kaki kira-kira sejengkal (+/- 30 cm) ۞ Istiqrâr ketika Shalât Salah satu yang diwajibkan dalam shalât adalah berdiam diri atau menetap (istiqrâr) di tempat yang bertemu langsung dengan bumi atau lewat perantara yang nantinya jika dirunut ke bawah akan bertemu/nyambung (muttashil) dengan bumi.

Shalât tanpa berdiri pada suatu media, atau kaki (qadam) tidak berpijak pada sesuatu atau tergantung maka hukum shalât tersebut tidak sah. (Nihâyatul Muhtâj, 1/466)

يجب وضع القدم ن ع%$ الأرض

Wajib meletakkan kedua tapak kaki di atas bumi.

�ت وج ت

تھ حيث

$ راحل

Q ع%

رسول اللھ ص%$ اللھ عليھ وسلم يص%

ان

ال : 5

اري عن جابر ق

لبخ

روي ا

ق بل ال

ق

است

زل ف

ن

ة

ر3ض

ف

راد ال

ا أ

إذ

ة

بل

Imam Bukhârî meriwayatkan dari Jabir �, bahwa beliau berkata, “Adalah Rasûlullâh shalât di atas kendaraannya dengan menghadap arah yang dituju kendaraan. Dan jika beliau hendak shalât fardlu maka beliau turun (dari kendaraannya) dan (shalât) menghadap kiblat.” (HR. Bukhârî, no.400)

Dari hadîts Imam Bukhârî tersebut, memunculkan pertanyaan, bagaimana hukumnya orang shalât dengan cara gantung tidak menyentuh ke tanah ?

Shalât tanpa berdiri pada suatu media, atau kaki (telapak kaki atau qodam) tidak berpijak pada sesuatu atau tergantung (di udara, termasuk di lantai dua, di pesawat udara) maka hukum shalât tersebut tidak sah.

رار

ستق

رض الا

فة (ال

ة صلا w (QR

£

رع : fش

قال شيخ الإسلام زكر3ا الأنصاري QR أس¥� المطالب(ف

ف QR ال

£

ھ fش

ول

م%QR Q "حاشuتھ" ( ق �اب الر

ال الش

ان) ". ق

ر5

مام الأ

بال وت

ستق

والا

ة الا

رار ر3ض

)ستق

". ا'ـ § م ت

ة سائرة QR 'ودج ل $ داب

$ ع%

و ص%

�واء أ

ا QR ال

ف

ن ووق

ھ رجلا

و حمل

ل

ف

Syaikhul Islam Zakaria Al-Anshârî berkata dalam kitab Asnal Mathâlib 1/136 : Sahnya shalât fardhu disyaratkan menetap. Asy-Syihâb Ar Ramlî berkata: (ucapan Syaikhul Islam Zakariya: " رار

ستق

ة الا

ر3ض

ف

QR ال

£

f") maka jika dua orang mengangkatnya dan keduaش

orang tersebut berada di angkasa, atau dia shalât di dalam 'sekedup' di atas hewan yang berjalan maka shalâtnya tidak sah. Sekedup adalah pelana atau tempat duduk dari kayu yang dipasang di punggung unta Zakaria al-Anshârî, Asnâ al-Muthâlib Fî Syarh Raudh At-Thâlib, 1/136.

Page 23: Ringkasan Fiqh shalât - MRKR

22

تق Dتقرار والاس Dة صلاة (الفریضة الاس �wص (رط فيqشr فرع) رLX في �ال وتمام ا��ركان) اح1یاطا لها ولما مرhر به كما اق1ضاه ك ن لم یتضر�

4یg@ن +�وائل الباب (الا� لضرورة كخوف فوت رفقة) وا �Dحوا به الش لامهم هنا وصر�

�ة سا¬رة الى مقصده (ویعید) ه في نظ@ره من الت� اب یها �لى الد� م لما في ذ!ك من الوحشة فله +�ن یصل ایم�“Far’un: Untuk sah shalât fardhu disyaratkan tidak bergerak-gerak, menghadap kiblat dan menyempurnakan segala rukun karena hati-hati untuk shalât fardhu dan berdasarkan hadîts Bukhârî dan Muslim yang telah disebutkan di awal bab kecuali karena dharurah seperti takut tertinggal oleh rombongan walaupun ia tidak mudharat karena itu sebagaimana dipahami dari kalam ulama dalam masalah ini. Para ulama juga menjelaskannya secara jelas pada masalah tayamum dengan alasan al-Wahsyah maka orang itu boleh shalât di atas kendaraan yang sedang berjalan ketujuannya dan ia wajib mengulangi shalâtnya.” Imam An-Nawâwî, Al-Majmû’ Syarh al-Muhadzdzab, 3/ 221 – 222.

ا في جمیعه تقر­ Dلة مسhل القhتق Dیا مس ا فلا تصح� الى �@ر (الث�ام[ة) شرط الفریضة المك1وبة +�ن �كون مصلتقhل ولا Dة الخوف ولا تصح� من الماشي المس تقhال بلا القhلة في �@ر شد� Dام +�و اسKل بقgاكب الم من الر�

Xلاف “(Kedelapan) Dalam shalât fardhu disyaratkan menghadap kiblat dan tidak bergerak pada seluruh bagian shalâtnya, maka tidak sah shalât fardhu tanpa menghadap kiblat pada selain bersangatan takut dan tidak sah shalât fardhu sambil berjalan kaki walaupun menghadap kiblat dan tidak sah shalât fardhu di atas kenderaan tanpa berdiri betul atau tanpa menghadap kiblat, hal ini tidak diperselisihkan.”

فKنة لم یجز له �رك القKام مع القدرة كما لو كان في الLر وبه قال +�صwابنا اذا صل�ى ال (فرع) فریضة في الس�ن كان له �ذر م

4+>س ن دوران اقال ما!ك و+�حمد وقال +�بو ح[یفة یجوز اذا كانت سا¬رة قال +�صwابنا فا لر�

ل وجه فKنة ف1حو� لت الس� ن هب�ت الریح وحو� 4�ه �اجز فا ن ه ونحوه Uازت الفریضة قا�دا �� ه عن القhلة وجب رد�

الى القhلة ویب(ى �لى صلاته “Far’un: Menurut ulama As-Syâfi’îyah apabila seseorang shalât fardhu dalam safinah/kapal dia tidak boleh meninggalkan berdiri bila ia sanggup sebagaimana shalât di darat. Pendapat ini sesuai dengan pendapat Imam Mâlik dan Imam Ahmad. Menurut Abi Hanifah boleh meninggalkan berdiri bila safinah sedang melaju. Ulama madzhab as-Syâfi’î berkata, bila ada udzur seperti pusing kepala dan lain-lain boleh shalât fardhu sambil duduk karena ia tidak mampu berdiri. Maka jika safinah dibelokkan oleh angin dan ia terpaling dari kiblat, dia wajib kembali kearah kiblat dan meneruskan shalâtnya.”

یها �لى ا�� (فرع) لاة المك1وبة وهم سا¬رون وXاف لو 6زل لیصل رض الى القhلة قال +�صwابنا ولو حضرت الص��ة انقطا�ا عن رفق1ه +�و Xاف �لى نفسه +�و ماله لم یجز اب یها �لى الد� خراجها عن وق1ها بل یصل

4لاة وا �رك الص�

�ه �ذر �در هكذا ذكر المس�pلة جما�ة م[هم صاحب ال ن �ادة ��4افعي� لحرمة الوقت وتجب الا ت�هذیب والر�

“Far’un: Berkata Ulama Madzhab as-Syâfi’î, apabila datang waktu shalât maktubah padahal mereka berada dalam kendaraan yang sedang melaju dan khawatir akan tertinggal dari rombongan bila shalât diluar kenderaan dengan menghadap kiblat atau dia khawatir tentang keselamatan dirinya atau keselamatan hartanya dia tidak boleh meninggalkan shalât dan mengeluarkannya dari waktunya tetapi ia wajib shalât di atas kenderaan untuk menghormati waktu dan wajib meng-I’adah shalât tersebut karena itu adalah udzur yang jarang terjadi. Demikian masalah ini disebutkan oleh jama’ah ulama di antaranya pengengarang kitab at-tahzib dan Imam ar-Rafi’i.”

Page 24: Ringkasan Fiqh shalât - MRKR

23

� وج ت

حيث

ة

افل

يص%$ ن

ن

حر أ ب

ب QR ال

ا يرك �ء مم

��

مث ولا الر

ة ولا

فين uس لراكب الس

بھ ول

ت

و ة

فين عاد الس

م أ

ق ¬عود ص%Q ع%$ ج�تھ يومئ إيماء ث

عل

ت

ف

رق

غ

ة وsن

قبل

$ ال

إ{

حرف

ين

ن

كن عليھ أ

ل

ا aا

ك

$ قبلھ بتل

ة ولم fعد ما ص%$ إ{

G قبل

$ غ

'ا إ{

ا صلا

ال إذ

ك'ا بتل

و@ة صلا

ت

ل مك

ل 5

Dan tidak diperkenankan bagi orang yang naik perahu, rakit atau sesuatu yang ia kendarai di laut untuk shalât sunnah sesuai arah perahunya, tapi dia menghadaplah kiblat meskipun ia tenggelam maka bergantunglah pada kayu, shalâtlah dengan menghadap arah kiblat dengan menggunakan isyarat kemudian baginya wajib mengulangi setiap shalât wajib yang ia kerjakan dalam kondisi tersebut bila ia mengerjakan shalâtnya dengan tidak menghadap kiblat dan tidak perlu baginya mengulangi shalât wajibnya dalam kondisi tersebut bila ia kerjakan dalam posisi ia menghadap kiblat. [ Al-Umm-lis-Syâfi’î I/98]. اقفة وا�aار3ة والزورق المشدود بطرف الساحل بلا خلاف إذا استقبل القبلة وأتم وت¨§ الفر3ضة QR السفينة الو

…..الار5ان

ام مع القدرة كما لو 5ان QR الGH و@ھ قال مالك (فرع) قال اw`ابنا إذا ص%Q الفر3ضة QR السفينة لم يجز لھ ترك القي

حوه جازت الفر3ضة واحمد وقال أبو حنيفة يجوز إذا 5انت سائرة قال اw`ابنا فان 5ان لھ عذر من دوران الرأس ون

حول وج�ھ عن القبلة وجب رده إ{$ القبلة و��3 ع%Q صلاتھ قاعدا لانھ عاجز فان 'بت الر3ح وحولت السفينة فت

و 5ان QR الGH وحول ا�سان وج�ھ عن القبلة ق�را فانھ تبطل صلاتھ كما سبق بيانھ قر3با قال القا��� بخلاف ما ل

حولت QR ساعة واحدة مرارا حر غالب ور@ما ت حس ن والفرق أن 'ذا QR الGH نادر وR$ الب

�ا ع%Q الارض�ا{Q القبلة * (فرع) قال أw`ابنا ولو حضرت الصلاة المكتو@ة و'م سائرون وخاف لو نزل ليصل

�ا ع%$ الدابة a`رمة �انقطاعا عن رفقتھ أو خاف ع%Q نفسھ أو مالھ لم يجز ترك الصلاة وsخراج�ا عن وق°�ا بل يصل

.الوقت وتجب الاعادة لانھ عذر نادر

Hukumnya SAH shalât fardhu yang dikerjakan di atas perahu yang diam, bergerak, sampan yang terikat dipinggir pantai dengan tanpa perbedaan ulama bila ia menghadap kiblat dan mampu menyempurnakan rukun-rukunnya shalât… [CABANG] Berkata pengikut-pengikut as-Syâfi’î “Bila seseorang shalât di atas perahu tidak diperkenankan baginya meninggalkan shalât dalam keadaan berdiri bila ia mampu seperti halnya shalât-nya di daratan, pendapat ini selaras dengan Imam Mâlik dan Ahmad sedang Imam Abu Hanifah membolehkannya saat perahunya telah berlayar”.

Berkata pengikut-pengikut Imam as-Syâfi’î “Bila baginya ada halangan untuk menjalani shalât dalam perahu dengan berdiri semacam kepalanya berputar-putar dan lainnya maka boleh baginya menjalaninya dengan duduk, apabila angin bertiup membelokkan arah perahu dan memalingkan wajahnya dari kiblat maka wajib baginya kembali lagi menghadap kiblat dan meneruskan shalâtnya berbeda saat ia shalât di daratan saat terdapat orang lain memalingkan wajahnya dari kiblat maka batal shalâtnya seperti dalam keterangan yang telah lalu”.

Berkata al-Qâdhi Husain “Perbedaannya adalah kasus berpalingnya wajah di daratan langka sedang di lautan hal yang jamak dan dalam sesaat terkadang bisa berpaling wajahnya berulang-ulang”.

[CABANG] Berkata pengikut-pengikut as-Syâfi’î “Bila waktunya shalât wajib telah tiba sementara dirinya sedang berjalan dan saat ia menjalani shalât di daratan dengan menghadap kiblat ia khawatir akan terpisah dari rombongan atau khawatir akan keselamatan dirinya, hartanya maka baginya tidak diperbolehkan meninggalkan shalât

Page 25: Ringkasan Fiqh shalât - MRKR

24

dan mengerjakannya diluar waktunya namun shalâtlah di atas kendaraan sekedar menghormati waktu dan diwajibkan baginya mengulangi shalâtnya karena hal tersebut termasuk udzur yang langka”. [ Al-Majmû’ ‘alâ Syarh al-Muhaddzab III/240-241 ]. Wallâhu A'lam. Untuk shalât fardhu dalam kendaraan juga wajib memenuhi hal-hal berikut: i. Wajib menyempurnakan ruku’, sujud dan rukun-rukun lainya.

ii. Wajib menghadap kiblat dari awal hingga akhir shalât. iii. Wajib Istiqrâr (kakinya menapak di atas bumi, tidak bergerak tiga kali atau lebih berturut-

turut) iv. Wajib dilakukan dalam keadaan berdiri kecuali ada udzur yang membolehkan tidak berdiri. v. Bila syarat-syarat atau rukun shalât tidak bisa dipenuhi, maka wajib shalât menghormati

waktu dengan menyempurnakan syarat rukun sebisanya dan shalât tersebut wajib di-qadha. Dalam kitab Taqrîrat as-Sadidah:

ومثل ذلك الصلاة QR الطائرة، فتجوز مع ال¨`ة صلاة النفل، وأما صلاةالفرض إن ±عيoت عليھ أثناء

QR ستطع الصلاة قبل صعود'ا أو إنطلاق�ا أو)عد 'بوط�اf الرحلة و5انت الرحلة طو3لة، بأن لم

ال القبلة الوقت، ولو تقديما اوتأخ Gا، ففي 'ذا اa`الة يجب عليھ ان يص%a Q`رمة الوقت مع استقب

�ا حالتان: �إن ص%Q بإتمام الركوع وال�³ود: ففي وجوب القضاء عليھ خلاف، لعدم استقرار .1وف

وsن ص%$ بدون إتمام الركوع وال�³ود أو بدون - 2الطائرة QR الأرض والمعتمد أن عليھ القضاء

استقبال القبلة مع الإتمام فيجب عليھ القضاء بلا خلاف“Seperti halnya shalât di kendaraan adalah shalât di pesawat, melaksanakannya diperbolehkan pada shalât sunnah. Sedangkan pada shalât fardhu, jika ia hanya bisa melakukan di tengah perjalanan karena perjalanan jauh dengan ketentuan ia tidak mampu melaksanakan shalât pada waktunya, baik sebelum take off pesawat atau setelah landing pesawat, meskipun dengan cara jama’ takdim ataupun jama’ ta’khir, maka dalam keadaan demikian wajib baginya untuk shalât li hurmatil waqti dengan tetap menghadap pada arah kiblat.” Sedangkan status shalâtnya dirinci dalam dua keadaan: (1) Jika dia dapat shalât dengan menyempurnakan gerakan ruku’ dan sujud, maka dalam hal

wajib tidaknya mengulangi shalât terjadi perbedaan pendapat di antara ulama. Perbedaan pendapat ini dilandasi tidak tetapnya pesawat pada tanah bumi. Pendapat yang kuat berpandangan, ia wajib mengulangi shalâtnya.

(2) Jika dia tidak dapat menyempurnakan gerakan ruku’ dan sujudnya atau ia shalât tidak menghadap arah kiblat maka ia wajib mengulangi shalâtnya tanpa adanya perbedaan di antara ulama.” (Syekh Hasan bin Ahmad bin Muhammad bin Salim, Taqrîrat as-Sadidah, hal. 201)

Ketentuan umum dalam shalât li hurmatil waqti adalah seseorang melakukan shalât sebatas kemampuan menjalankan syarat-syarat shalât yang dapat ia lakukan. Seandainya bisa wudhu’ dan melakukan gerakan shalât secara sempurna namun tidak bisa menghadap kiblat, maka wajib baginya melaksanakan wudhu dan gerakan itu. Jika ia tidak dapat melaksanakan wudhu namun bisa tayammum, maka wajib baginya melaksanakan tayammum, begitu juga dalam praktik-praktik yang lain. Sebab tujuan dari shalât li hurmatil waqti adalah memuliakan waktu shalât dengan sekiranya waktu tersebut tidak kosong dari pelaksanaan shalât.

Kesimpulan: Shalât tidak Istiqrâr (misalnya shalât di pesawat) tidak dapat mencukupi untuk

Page 26: Ringkasan Fiqh shalât - MRKR

25

menggugurkan kewajiban shalât, sebab shalât yang dilakukan hanya sebatas shalât li hurmatil waqti yang wajib untuk diulang kembali dengan pelaksanaan yang sempurna.

۞ Shalât fardhu dengan cara duduk di kursi bagi orang yang masih mampu untuk berdiri Dan berdasarkan sabda Rasûlullâh kepada Imran bin Hushain:

�ه عنه قال كانت ب(ي بواس@ر فس�pل ــلاة ت الن�ب(ي� عن ا-ن -ریدة عن عمران -ن حص@ن رضي ا!ل عــن الص�تطع فعلى ج[ب Dن لم ¦س

4تطع فقا�دا فا Dن لم ¦س

4 فقال صل قائما فا

Shalâtlah kamu dengan berdiri, apabila tidak mampu maka dengan duduk, dan jika tidak mampu juga maka shalâtlah dengan berbaring ke samping. (Shahîh Bukhârî) Dalam Kitab Kâsyifatus Saja, Syarh Kitab Safinatun Nâjah, hal. 53:

تطع فقــا والا صل فى وجوب القKام قوله Dلعمران -ن حص@ن, وكانت به بواس@ر, صل قائما فــان لــم ¦ســ�سائي� الwالة الر� �دا فا . وزاد ال� تطع فعلى ج[ب, روى هذه الاحو ال الثلاثة البخري� Dبعةوهي فان ن لم ¦س

ف ا!له نفسا الا� وسعها تلیقا لا �كل Dتطع فمس Dلم ¦س. Asal dari kewajiban berdiri dalam shalât fardlu adalah sabda Nabi . Kepada Imran bin Husain, beliau menderita penyakit wasir: Shalâtlah engkau dengan berdiri jika engkau tidak mampu, maka dengan duduk, jika engkau tidak mampu, maka dengan tidur miring. Diriwayatkan oleh Imam Bukhârî dalam kaitan keadaan ketiga. Dan Imam An Nasâî menambahkan keadaan yang keempat, jika engkau tidak mampu dengan tidur miring, maka dengan tidur terlentang. Allâh tidak memaksa seseorang

kecuali pada batas kemampuannya. Melaksanakan shalât fardhu dengan cara duduk di kursi bagi orang yang masih mampu untuk berdiri adalah hal yang tidak diperbolehkan, bahkan menimbulkan dosa bila dilakukan dengan sengaja dan menyepelekan terhadap salah satu kewajiban shalât fardlu. Sebagaimana diakatan oleh Imam An-Nawâwî:

ما الفرض فإن الصلاة قاعدا مع قدرتھ ع%$ القيام لم ي¨§ فلا يكون فيھ ثواب بل يأثم بھ قال وأ

حل الز�ى والر@ا أو غ Gه من حلھ كفر وجرت عليھ أح�ام المرتدين كما لو است أw`ابنا وsن است

حر3م ا�`رمات الشاµعة الت“Shalât fardlu yang dilaksanakan dengan duduk padahal dia mampu berdiri adalah tidak sah, bahkan ia terkena dosa. Para Ashâb (ulama Syâfi’îyah) berkata, ‘Jika ia menganggap halal(memperbolehkan) melakukan shalât fardhu dengan duduk, padahal masih bisa bediri maka ia menjadi kufur(kafir) dan berlaku baginya hukum-hukumnya orang yang murtad, sebagaimana orang yang menghalalkan zina, riba, dan perkara haram lain yang telah masyhur keharamannya.” (Syekh Yahyâ bin Syaraf an-Nawâwî, Syarah an-Nawâwî ala Muslim, 6/ 14) Sedangkan dalam konteks shalât sunnah, melaksanakan shalât dengan cara duduk, baik itu secara langsung di lantai atau dengan perantara kursi adalah hal yang diperbolehkan. Mengapa? Sebab berdiri dalam shalât sunnah bukanlah suatu kewajiban tapi merupakan kesunnahan. Meski begitu orang yang

Page 27: Ringkasan Fiqh shalât - MRKR

26

melaksanakan shalât sunnah dengan cara duduk hanya mendapatkan pahala setengah dibanding orang yang melaksanakan shalât sunnah dengan berdiri. Ketentuan ini berdasarkan hadîts:

ھ ن ل

ائما ف

$ ن

ائم، ومن ص%

جر الق

أ

ھ نصف

ل

اعدا ف

$ ق

ل، ومن ص%

ض

ف

�و أ

ائما ف

$ ق

من ص%

صف

اعد

جر الق أ

“Siapa yang shalât (sunnah) dengan berdiri maka lebih utama, siapa yang shalât dengan duduk maka baginya setengah dari pahala orang yang berdiri dan siapa yang shalât dengan tidur maka baginya setengah pahala dari orang yang duduk.” (HR. Bukhârî). ۞ Seberapa rapat Shaf dalam Shalât Informasi dari Hadîts:

: " +�قKموا صفوفكم, ثلا� وا!له لتقKمن� صفوفكم +�و لیgالفن� ا!له بوجهه �لى الن�اس فقال +�قhل رسول ا!له Uل كعبه -كعب صاحhه, وركبته -ركبته وم[كhه بمنكhه یلزق ب@ن قلو-كم " قال: " فر+�یت الر�

An-Nu’man bin Basyir � berkata: Rasûlullâh menghadap kepada manusia, lalu berkata,"Tegakkanlah shaf kalian (tiga kali). Demi Allâh, tegakkanlah shaf kalian, atau Allâh akan membuat perselisihan diantara hati kalian. Lalu an-Nu’man bin Basyir � berkata: Saya melihat laki-laki menempelkan mata kakinya dengan mata kaki temannya, dengkul dengan dengkul dan bahu dengan bahu. Kata [

زق

Ilzâq (menempelkan mata kaki, dengkul dan [إلزاق] :perbuatannya disebut ,[يل

bahu). Dan Kalimat [ جل الر

يتأ ر

saya melihat seorang laki-laki atau sahabat anonim [ف

yaitu seseorang yang tidak disebutkan nama sahabat tersebut, maka Imam Ibnu Hajar Al-Asqalânî memberikan penafsiran terhadap hadîts tersebut:

�ه بغل شموس وزاد معمر في روایته ولو فعلت ذ!ك ب�p�دهم الیوم لنفر ك�pنMa’mar menambahkan dalam riwayatnya dari Anas �; jika saja hal itu saya lakukan sekarang dengan salah satu dari mereka saat ini, maka mereka akan lari sebagaimana keledai yang lepas. (Fathul Barî, 2/211) ۞ Hukum merapatkan Shaf Imam al-Syaukânî dalam karyanya Nailul-Authar menjelaskan adanya perbedaan pendapat di kalangan ulama dalam menghukumi rapatnya saf dalam shalât jama’ah. Menurut Ibn Hazm, hukumnya adalah wajib sebagaimana wajibnya mendirikan shalât, karena menurutnya sesuatu yang merupakan bagian dari ibadah yang wajib maka otomatis hukumnya juga wajib. Batal orang shalât yang tidak merapatkan shaf. (Al-Muhalla 4/52). Sebagaimana pendapat Nashiruddîn al-Albânî (w. 1420 H) dalam kitabnya, Silsilah al-Ahâdits as-Shahîhah, hal. 6/77 menuliskan :

�ا إfغال �وقد أنكر ¬عض ال�اتب ن QR العصر اa`اضر 'ذا الإلزاق, وزعم أنھ 'يئة زائدة ع%$ الوارد, ف

و'ذا ±عطيل ,QR تطبيق السنة! وزعم أن المراد بالإلزاق اa`ث ع%$ سد اyaلل لا حقيقة الإلزاق

للأح�ام العملية fشبھ تماما ±عطيل الصفات الإل�ية, بل 'ذا أسوأ منھSebagian penulis zaman ini telah mengingkari adanya ilzaq (menempelkan mata kaki, dengkul, bahu) ini, hal ini bisa dikatakan menjauhkan dari menerapkan sunnah. Dia menyangka bahwa yang dimaksud dengan “ilzaq” adalah anjuran untuk merapatkan

Page 28: Ringkasan Fiqh shalât - MRKR

27

barisan saja, bukan benar-benar menempel. Hal tersebut merupakan ta’thil (pengingkaran) terhadap hukum-hukum yang bersifat alamiyyah, persis sebagaimana ta’thil (pengingkaran) dalam sifat Ilahiyyah. Bahkan lebih jelek dari itu.

Merapatkan shaf dalam shalât jama’ah dihukumi sunnah menurut Abu Hanifah (Hanafî), Syâfi’î, dan Mâlikî, Al-Qadhi ‘Iyâdh, imam Nawâwî dan jumhur ulama Empat mazhab lainnya. (Umdatul Qari, 8/455) Menurut mereka merapatkan shaf adalah untuk penyempurna dan pembagus shalât sebagaimana diterangkan dalam riwayat yang shahîh.

ن� ¦سویة الص� ع 4وا صفوفكم فا قامة ن +��س -ن ما!ك عن الن�ب(ي صل�ى ا!له �لیه وسل�م قال سو�

4فوف من ا

لاة =م1فق �لیه =الص�Dari Anas bin Mâlik �, dari Nabi bersabda: Luruskan kalianlah barisan kalian, karena sesungguhnya lurusnya barisan itu dari bagian shalât (berjama’ah). (HR. Muttafaqun ‘Alaihi). Berkata Al-Qadhi ‘Iyâdh tentang hadîts ini: “Hadîts ini adalah dalil bahwa meluruskan shaf tidak wajib, dia adalah sunah yang disukai.” (Ikmal Al Mu’allim, 2/193.) Menurut Ibn al-Batthal, al-Hafizh Ibn Daqîq al-’ Îd, dan mayoritas ulama menghukumi sunah, yait ushaf yang lurus dan rapat dianjurkan untuk kesempurnaan shalât. Ulama’ Saudi Arabiah, Bakr Abu Zaid menjelaskan:

حيل وsلزاق الكعب وsلزاق الكتف بالكتف QR 5ل قيام ت�لف ظا'ر وsلزاق الركبة بالركبة مست

ن ظا'ر حفز والاشتغال بھ QR 5ل ركعة ما 'و ب .بالكعب فيھ من التعذروالت�لف والمعاناة والتMenempelkan bahu dengan bahu di setiap berdiri adalah takalluf (memberat-beratkan) yang nyata. Menempelkan dengkul dengan dengkul adalah sesuatu yang mustahil, menempelkan mata kaki dengan mata kaki adalah hal yang susah dilakukan.

�م ال¨`ا)ي QR ال8سو3ة: الاستقامة, وسد اyaلل لا الإلزاق وsلصاق - ر��� اللھ عنھ - ف�ذا ف

ن المراد: اa`ث ع%$ سد اyaلل واستقامة الصف و±عديلھ لا حقيقة المناكب والكعاب. فظ�ر أ

13)ص لا جديد �� أح�ام الصلاة-بكر أبو ز�د ( .الإلزاق والإلصاق

Inilah yang difahami para shahabat dalam taswiyah shaf: Istiqamah, menutup sela-sela. Bukan menempelkan bahu dan mata kaki. Maka dari itu, maksud sebenarnya adalah anjuran untuk menutup sela-sela, istiqamah dalam shaf, bukan benar-benar menempelkan. Menurut Ulama’ madzhab Syâfi’î, rapatnya shaf yaitu ketika bahu bertemu bahu dan kaki bertemu kaki, hal ini dilakukan sewajarnya saja, tidak terlalu rapat namun juga tidak terlalu longgar barisannya. Bahu saling menempel. Kaki renggang sejajar bahu saja. Dan jarak diantara bahunya seseorang ke bahunya orang lain itu jangan terlalu lebar dan jangan terlalu sempit.Dan juga jarak diantara kakinya seseorang ke kakinya orang lain itu jangan terlalu lebar dan jangan terlalu sempit.

140بغیة المسqرشد�ن !لسDید �Mلوي الحضرمي صحـ :

Page 29: Ringkasan Fiqh shalât - MRKR

28

لاة وهو ما rسعهم �ادة مصط فوف بما یهی�kp !لص� فراط في وتعتLر المسافة في عرض الص�4ف@ن من �@ر ا

یق اهـ جمل عة والض� الس�“Disebutkan bahwa ukuran lebar shaf ketika hendak shalât yaitu yang umum dilakukan oleh seseorang, dengan tanpa berlebihan dalam lebar dan sempitnya.”

Ukuran lebar antara dua kaki ketika berdiri, kira-kira sejengkal ( dan tidak terlalu (شGHا

lebar, sehingga pada saat shalât berjamaah, lengan si Mushalli (antar ma'mum) akan berdekatan (menempel) dan shaf menjadi rapat namun tidak terlalu berdesakan. Sebagaimana disebutkan dalam Hâsyîyah Al-Jumal (مل�aحاشية ا) Bab Syarat-syarat

Shalât, dan Nihâyatul Muhtâj Syarh al Minhâj (اج��اية ا�`تاج إ{$ شرح الم<�) Bab Rukun-

rukun Shalât

ویندب تفریق قدمKه بنحو شLر Dan sunnah hukumnya melebarkan kedua belah kaki kira-kira sejengkal (+/- 30 cm)

فلقد رأيت أحدنا يلصق منكبه بمنكب صاحبه، وقدمه بقدمه. –رواية –قال أنس

29ص 2الكتاب : حاشية إعانة الطالبين ج“Sahabat Anas � berkata [dalam sebuah riwayat] maka kami melihat di antara kami saling mempertemukan bahu dengan bahu dan kaki dengan kaki dari lainnya.” Ibnu Rajab al-Hanbalî (w. 795 H) menulis kitab penjelasan dari Kitab Shahîh Bukhârî.

حاذاة المناكب والأقدام .حديث أ�س 'ذا: يدل ع%$ أن ±سو3ة الصفوف: مHadîts Anas ini menunjukkan bahwa yang dimaksud meluruskan shaf adalah lurusnya bahu dan telapak kaki. (Fathu al-Bari, 6/ 282). Imam Nawâwî dalam kitab al-Majmû’-nya menjelaskan bahwa yang dimaksud dengan lurusnya shaf pada hadîts di atas adalah memenuhi shaf yang pertama terlebih dahulu, kemudian baru menyambungnya dengan shaf yang selanjutnya serta menutup ruang/celah kosong yang terdapat di dalam shaf. Termasuk ke dalam makna hadîts itu juga menyejajarkan barisan dengan standar dada salah seorang

Page 30: Ringkasan Fiqh shalât - MRKR

29

makmum tidak terkedepan dari dada para makmum yang lain. Begitu juga dengan tumitnya, tidak ada yang terkebelakang dari tumit makmum yang di sebelahnya. Syekh Zainuddîn al-Malibârî dalam karyanya Fath al-Mu’în menegaskan bahwa yang menjadi standar lurusnya shaf adalah kesejajaran bahu dan tumit antar makmum, bukan jari-jari kaki mereka, karena jari-jari kaki seseorang bisa saja berbeda-beda dalam hal panjang dan lebarnya, sehingga tidak bisa dijadikan patokan. Sedangkan standar rapatnya shaf adalah tidak adanya ruang atau celah yang kosong antar makmum yang ada (seukuran satu orang). Hal ini sebagaimana disebutkan oleh para ulama dalam kitab al-Mausû’ah al-Fiqhîyyah al-Kuwaitîyah. ۞ Bercampurnya shaf shalât laki-laki dan wanita, apakah sahkah shalâtnya?

Ada dua pendapat: Pertama: Tidak Sah shalâtnya. Madzhab Hanafî menghukumi tidak sah shalât laki-laki dan wanita yang bercampur dalam satu shaf tanpa adanya penghalang (Hâ-il).

�ذي یلیهن� ف ال مام وXلفهن� صف� رUال بطلت صلاة الص�4ن صف� �ساء Xلف الا

4 فا )252ص 3ج كتاب المجموع شرح المهذب(

Sejumlah wanita yang berbaris di belakang imam, dan di belakang para wanita itu terdapat barisan para lelaki, maka shalât barisan yang ada di belakang itu tidak sah. Dalam kitab Tabyînul Haqâiq, Imam Fakhruddîn al-Zayla‘î menjelaskan:

تهاة في ركن من Dة ان �اذته مشUد بلا �ائل ولا فرw�1ركة تحریمة و+�داء في مكان مqصلاة مطلقة مش +�فسدت صلاته ان نوى امام1ها وكانت جهتهما م1�wدة

)250ص 1ج -تب@@ن الحقائق شرح ك�ز الدقائق - عثمان -ن �لي الزیلعي فخر الد�ن(Jika seseorang lelaki bersejajar dengan wanita dalam salah satu rukun shalât secara mutlak yang bersamaan dalam takbiratul ihram dan niat adaan, dalam satu tempat tanpat ada penghalang dan ruang renggang itu bisa membatalkan shalât lelaki tersebut jika ia niat menjadi imam dan keduanya berbaris lurus. Dalam kitab al-Mausû’ah al-Fiqhîyyah al-Kuwaitîyah, dijelaskan :

Page 31: Ringkasan Fiqh shalât - MRKR

30

فإن حاذته : وصرح الحنفية بأن محاذاة المرأة للرجال تفسد صلاتهم . يقول الزيلعي الحنفيمشتركة بينهما تحريمة وأداء في –وهي التي لها ركوع وسجود –امرأة مشتهاة في صلاة مطلقة

مكان واحد بلا حائل ، ونوى الإمام إمامتها وقت الشروع بطلت صلاته دون صلاتها ، لحديث : ) وهو المخاطب به دونها ، فيكون هو التارك لفرض القيام ، 2وهن من حيث أخرهن الله (أخر

فتفسد صلاته دون صلاتها “Madzhab Hanafîyah menegaskan bahwa sejajarnya posisi wanita dengan barisan shaf laki-laki dapat merusak (membatalkan) shalât mereka (para laki-laki). Imam Az- al-Zayla‘î al-Hanafî mengatakan, ‘Jika wanita yang (berpotensi) mendatangkan syahwat sejajar dengan lelaki dalam shalât mutlak yakni shalât yang terdapat rukun ruku’ dan sujud, dan keduanya bersekutu dalam hal keharaman dan melaksanakan shalât di satu tempat yang tidak ada penghalangnya, lalu imam niat mengimami wanita tersebut pada saat melaksanakan shalât maka shalât lelaki tersebut batal, tapi tidak batal bagi wanita.’ Hal ini berdasarkan hadîts, ‘Kalian akhirkan mereka (wanita) seperti halnya Allâh mengakhirkan mereka.’ Lelaki pada hadîts tersebut merupakan objek yang terkena tuntutan syara’ (al-mukhatab) bukan para wanita, maka lelaki dianggap meninggalkan kewajiban menegakkan tuntutan tersebut hingga shalâtnya menjadi rusak (batal) namun tidak bagi shalât para wanita. (al-Mausû’ah al-Fiqhîyyah al-Kuwaitîyah, 6/21).

Kedua, Makruh tapi sah Shalâtnya. Imam al-Nawâwî dalam al-Majmu’ syarah kitab al-Muhadzab menerangkan:

Uل وبجنبه امر+�ة لم تبطل طلاته ولا صلاتها سواء كان اماما +�و مp>موما هذا م ذهبنا وبه قال اذا صل�ى الر� )252ص 3ج كتاب المجموع شرح المهذب( ما!ك وا��ك�رون

Ketika seorang lelaki sedang shalât dan di sampingnya terdapat seorang wanita, maka shalâtnya itu tidak batal (sah), dan shalât wanita itu juga tidak batal, baik lelaki tersebut menjadi imam atau makmum, dan inilah pendapat mazhab kami (Syâfi’î). Ini juga pendapat Imam Mâlik dan kebanyakan ulama. Akan tetapi, seharusnya dihindari ikhtilâth (bercampur) dalam shalât jamaah laki-laki dengan wanita, ini sebagaimana diungkapkan Imam al-Mawardî (ulama’ madzhab Syâfi’î) menganjurkan agar imam dan makmum laki-laki tidak bubar terlebih dahulu selepas melaksanakan shalât jamaah, untuk menghindari percampuran (ikhtilâth) antara laki-laki dan wanita.

وان كان معه رUال و�ساء الامام فى الصلاه ثLت قلیلا لینصرف ال�ساء ، فان انصرفن وثب لئلا یختلط الرUال Mل�ساء

“Ketika terdapat laki-laki dan wanita yang bersamaan dengan imam dalam shalât maka imam menetap (di tempatnya) sejenak agar jamaah wanita bubar terlebih dahulu, ketika jamaah wanita sudah bubar maka imam berdiri (untuk bubar). Hal tersebut dilakukan agar tidak bercampur antara laki-laki dan wanita.” (Al-Mawardî, al-Hâwî al-Kabîr, 23/497). Dalam Mazhab Mâlikî, Syâfi’î, dan Hanbalî menghukumi bercampurnya shaf shalât Laki-laki dan wanita shalât tetap sah sebagaimana disebutkan dalam kitab al-Mausû’ah al-Fiqhîyyah al-Kuwaitîyah:

وجمهور الفقهاء: (المالكKة والشافعیة والحنابلة) یقولون: ان مwاذاة المر+ة !لرUال لا تفسد الصلاة، ولك[ها �كره، فلو وقفت في صف الرUال لم تبطل صلاة من یلیها ولا من Xلفها ولا من +مامها، ولا

Page 32: Ringkasan Fiqh shalât - MRKR

31

ساد مع �دمهصلاتها،كما لو وقفت في �@ر الصلاة ،وا�مر في الwدیث MلتXp@ر لا یق1ضي الف ”Mayoritas ulama fiqih (mazhab Mâlikî, Syâfi’î, dan Hanbalî) mengatakan, “Sejajarnya shaf wanita dengan laki-laki tidak sampai membatalkan shalât, hanya saja hal tersebut makruh. Jika wanita berdiri di shaf laki-laki maka tidak batal shalât orang yang ada di sampingnya, di belakangnya ataupun di depannya; dan juga tidak batal shalât yang dilakukan oleh dirinya, seperti halnya ketika mereka (wanita) berdiri pada selain shalât. Perintah dalam hadîts untuk mengakhirkan shaf (wanita) tidak menetapkan batalnya shalât ketika tidak melakukannya.” (al-Mausû’ah al-Fiqhîyyah al-Kuwaitîyah, 6/21).

۞ Hukum Shaf tidak rapat (distancing)

Pada prinsipnya posisi makmum yang berdiri terpisah dalam shalât berjamaah (termasuk Jumat yang wajib dilakukan berjamaah) termasuk makruh. Makmum harus membentuk barisan shaf atau ikut ke dalam shaf yang sudah ada.

ف� ان وUد سعة و�كره وقوف المp>موم فردا، بل یدXل الص�“Posisi berdiri makmum yang terpisah dihukumi makruh, tetapi ia masuk ke dalam shaf jika menemukan ruang kosong yang memadai,” (Imam An-Nawâwî, Minhâjut Thalibîn). Syekh Syihâbuddîn Al-Qalyûbî menjelaskan kata [ردا

fardan” atau terpisah sendiri di“ [ف

mana kanan dan kiri makmum terdapat jarak yang kosong sekira dapat diisi oleh satu orang atau lebih.

قوله (فردا) بأن يكون في كل من جانبيه فرجة تسع واقفا فأكثر “Maksud kata (terpisah sendiri) adalah di mana setiap sisi kanan dan kirinya terdapat celah yang memungkinkan satu orang atau lebih berdiri,” (Syihâbuddîn Al-Qalyûbî, Hâsyîyah Qalyûbî wa Umairah, I/239). Ibnu Hajar Al-Haitami berpendapat :

Page 33: Ringkasan Fiqh shalât - MRKR

32

رهم لعذر كوقت الحر Mلمس�د الحرام فلا كراهة ولا تقص@ر كما هو ظاهر نعم ان كان ت�pخ� “Tetapi jika mereka tertinggal (terpisah) dari shaf karena udzur seperti saat cuaca panas di Masjidil haram, maka tidak (dianggap) makruh dan lalai sebagaimana dhahir.” (Ibnu Hajar Al-Haitami, Tuhfatul Muhtaj bi Syarhil Minhaj, halaman 296).

د متعملاو فالصة ليضف نود ةعامجلاة ليضف مهل لصحتة عطقملا فالصفو نأ يلمرلاد محمى واتف يفو ١١٠نهاية الزين .(والمعتمد الأول) وهو موفت لفضيلة الجماعة اه.لوألا

Dalam masalah shaf tidak rapat itu ada khilaf (perbedaan pendapat) antara Imam Ibnu Hajar dan Muhammad Ramli: Menurut Imam Ibnu Hajar, makruh yang dapat meluputkan fadhilah jamaah (pahala

27 darajat). Menurut Syekh Muhammad Ramli shaf yang tidak rapat, dapat menghasilkan

fadhilah (pahala keutamaan) jamaah namun tidak fadhilah shaf.

Pendapat yang kuat Adalah pendapat Ibnu hajar. .) وهو مفوت لفضيلة الجماعةلوألاد متعملاو(

Dan pendapat yang kuat adalah (yang pertama, yaitu pendapat Ibnu hajar): “dan hal itu dapat menghilangkan keutamaan shalât berjamaah. ۞ Maksud “menghadap kiblat” atau Mustqabilal Qiblat itu dengan wajah atau dada? Disebutkan dalam Kitab Hâsyîyah Qulyubî, 1/151:

ما يؤ

كة

لا يبطل الص

بھ لا

ات

تف

ن الال

يضا لأ

وجھ أ

بال

در لا بال بالص

GH الاستق

±ي من و�عت

ا سيأ مم

ذ

خ

را'تھ

كYang dimaksud menghadap qiblat adalah dengan dada bukan dengan wajah, jika wajah berpaling dari menghadap qiblat tidak batal shalâtnya, sebagaimana akan dijelaskan (dan memalingkan wajah dari menghadap qiblat) termasuk makruh.

Ketika salam pertama, muka ke kanan, dan dada-nya ikut agak ke kanan, maka hal itu bisa batal shalâtnya, jika sebagian anggota dada keluar dari tempatnya atau dada berpaling sedikit dari arah qiblat maka shalâtya tidak sah (batal. Sebagaimana disebutkan dalam Kitab Hâsyîyah Qulyubî, 1/151 di atas.

Ketika buang hajat, yang dianggap menghadap qiblat terletak hanya pada kemaluanya yaitu qubul dan dubur, bukan dadanya.

قب دبر ال

و fست

بل أ

ق

fست

ن

بال والاستدبار أ

مراد بالاستق

وا ) ال

بل

ق

ست

±

لا

ھ : ( ف

ول

ق

ارج لا

y

aع ن ا¬

ة

ل

لا G ج�°�ا و@ال ، ف

ره لغ

ك

� ذ

¥

�ا وث

بل

ق

و است

و@ال أ

ة

قبل

دبر ال

و است

� ل در ح� ا بالص

ف

ا 'ـ .ق ل خلا

حرمة

3ادي للز

(Haram menghadap qiblat) ketika buang air kecil dan haram membelakangi qiblat ketika buang air besar, bukan sebalikya. Anggota badan yang sedang buang hajat dikatakan menghadap atau membelakangi qiblat terletak hanya pada qubul dan dubur (

ارج ع ن

y

aا ) bukan dadanya, sehingga ketika sedang kencing, dada dan wajahnya

dihadapkan ke qiblat, sementara alat kelaminnya dipalingkan ke arah selain qiblat begitu juga ketika sedang buang air besar, maka hukumnya tidak apa-apa. (Hâsyîyah Bujairimî, 1/189) 3.2. Ruku’, (1) Disengaja (2) Thuma’ ninah (3) mendatarkan punggung.

Page 34: Ringkasan Fiqh shalât - MRKR

33

Semua ulama madzhab sepakat bahwa ruku’ adalah Rukun shalât. Namun mereka berbeda pendapat tentang wajib atau tidaknya ber-thuma’ninah dalam ruku’, yakni ketika ruku’ semua anggota badan harus diam, tidak bergerak. Hanafî: yang diwajibkan hanya semata-mata membungkukkan badan dengan lurus, dan tidak wajib thuma’ninah. Madzhab Mâlikî, Syâfi`î dan Hanbalî: wajib membungkuk sampai dua telapak tangan orang yang shalât itu berada pada dua lututnya dan juga diwajibkan ber-thuma’ninah dan diam (tidak bergerak) ketika ruku’. Madzhab Syâfi`î, Hanafî, dan Mâlikî : tidak wajib berdzikir ketika shalât, hanya disunnahkan saja mengucapkan :

(ي العظیم بwان رب Dس atau

(ي العظیم وبحمده بwان رب Dس Hanbalî :membaca tasbih ketika ruku’ adalah wajib dengan bacaan :

(ي العظیم بwان رب Dس

3.3. I’tidal (1) Di sengaja (2) lurus (3) thuma’ ninah I’tidal merupakan gerakan shalât berupa tegaknya tubuh yang dilakukan usai melaksanakan ruku’.

ثم� ارفع ح1�ى تعدل قائما... kemudian bangkitlah (dari ruku') sampai kamu tegak lurus berdiri. (Shahîh Bukhârî dan Muslim) Para ulama berbeda pendapat apakah I’tidal termasuk dalam rukun atau hanya sebagai gerakan yang wajib dilakukan saja sehingga yang meninggalkanya berdosa tapi tidak batal shalâtnya atau ia adalah rukun sehingga shalât seseorang tidak sah tanpa salah satu rukunnya dan jika terlupa mengharuskan adanya sujud sahwi. Menurut madzhab Hanafî: I’tidal merupakan bagian shalât dalam kategori hal yang wajib dikerjakan dalam shalât bukan rukun shalât. (Muhammad bin Ali bin Muhammad bin Ali bin Abdurrahman Al-Hanafî, Ad-Dur al-Mukhtar, h. 64)

Namun, sebagian ulama madzhab ini seperti Abu Yusuf (generasi Tâbi’în) dan yang lain mengatakan bahwa i’tidal adalah rukun shalât yang tidak boleh ditinggalkan. Menurut mereka jika seseorang shalât tanpa i’tidal maka shalâtnya batal dan tidak sah. Menurut madzhab Mâlikî, Syâfi`î dan Hanbalî: I’tidal merupakan rukun shalât. (Musthafa Khin dan Mushtafa Bugha, Al-Fiqh Al-Manhaji ‘Ala Madzhab Imam Syâfi`î, 1/ 415; Ibnu Qudamah, Al-Mughni, 2/ 185) Madzhab Syâfi`î mensyaratkan sahnya I’tidal sebagai berikut: 1. Seorang yang shalât tidak meniatkan I’tidal tersebut kecuali untuk ibadah. 2. Tenang ketika posisi I’tidal dengan kadar waktu membaca tasbih 3. Tidak memperpanjang I’tidalnya sebagaimana lamanya berdiri ketika membaca Al-

fatihah. I’tidal merupakan rukun yang rentang waktunya pendek sehingga tidak diperbolehkan memperpanjangnya. (Musthafa Khin dan Mushtafa Bugha, Al-Fiqh Al-Manhaji ‘Ala Madzhab Imam Syâfi’î, jild. 1, hlm. 134-135)

Menurut madzhab Hanafî: tidak wajib mengangkat kepala dari ruku’ yakni i’tidal (dalam keadaan berdiri). Dibolehkan untuk langsung sujud, namun hal itu makruh.

Page 35: Ringkasan Fiqh shalât - MRKR

34

Madzhab-madzhab yang lain: wajib mengangkat kepalanya dan ber-i’tidal, serta

disunnahkan membaca tasmi’, yaitu mengucapkan : سمع الله لمن حمده

(Allâh Maha Mendengar hamba yang memujiNya).

۞Kasus (khilâfîyah): Perbedaan cara (gerakan akan) Sujud: Tangan dulu atau Lutut dulu? Ketika seseorang akan melakukan sujud: apakah meletakkan tangan lebih dahulu kemudian lutut, atau sebaliknya? Ada dua kelompok yang berbeda pendapat- khilâfîyah. Perbedaan tersebut berasal dari dua hadîts sebagimana dalam kitab Bulughul Maram karangan ulama hadîts Ibn Hajar al-‘Asqalānī . Hadîts pertama:

ذا س�د +��دكم فلا یLرك كما یLرك البع@ــر , ولیضــع : قال رسول ا!ل�ه �وعن +�ب(ي هر�رة 4یدیــه قال ا

صحیح +�خرUه الث�لاثة ركبKqه . قhل ) ، ولفظ الqرمذي : " یعمد +�دكم فLKــرك فــي صــلاته -ــرك الجمــل" . وهــي روایــة 269) ، والqرمذي ( 207/ 2) ، وال�سائي (840رواه +بو داود (

) 841�ب(ي داود (Dari Abû Hurairah � menyatakan, Rasûlullâh bersabda:” Jika salah satu dari kalian bersujud, janganlah menderung seperti onta menderung, letakkanlah kedua tangan sebelum lutut.” Dalam hadîts tersebut, kita diperintahkan untuk mendahulukan tangan.

3 2 1

Hadîts kedua, ذا س�د وضــع وهو +�قوى من �دیث وائل : ر+�یت رسول ا!ل�ه

4 یدیــه} +�خرUــه ا��ربعــة hــل ركبKqــه ق {ا

) ، وقــال الqرمــذي : " هــذا �ــدیث 882) وا-ــن ماUــه ( 268) ،والqرمــذي ( 207 - 206/ 2) ، وال�سائي ( 838. رواه +بو داود ( ضعیف حسن غریب

Dari sahabat Wâ’il Ibn Hujr �, Ia mengatakan, "saya melihat Rasûlullâh ketika meletakkan (menjatuhkan) lutut sebelum kedua tangannya."

3 2 1

Para Imam Madzhab, berpendapat sesuai dengan ijtihad masing-masing. Imam Mâlik (Mâlikî) dan Al Auzâ’î memilih hadîts yang pertama. Sedangkan madzhab Syâfi’î dan Hanafî mengamalkan hadîts yang kedua.

Page 36: Ringkasan Fiqh shalât - MRKR

35

Kecenderungan madzhab Syâfi’î menggunakan hadîts dari Wâ’il Ibn Hujr tersebut, karena kelanjutan dari hadîts tersebut adalah : Dan apabila hendak bangkit (terlebih dahulu) mengangkat kedua tangannya sebelum kedua lututnya.

ذا نهض رفع یدیه قhل ركبKqه عن وائل -ن حجر قال ر+�یت الن�ب(ي� 4ذا س�د وضع ركبKqه قhل یدیه وا

4 ا

Dari sahabat Wâ’il Ibn Hujr �, ia mengatakan, "saya melihat Rasûlullâh ketika meletakkan (menjatuhkan) lutut sebelum kedua tangannya. Dan apabila hendak bangkit (terlebih dahulu) mengangkat kedua tangannya sebelum kedua lututnya.” (Hadîts riwayat Abû Dâwud) Menurut Imam asy-Syirâzī رحمــه ا!لــه, sunnah melakukan sujud itu dengan meletakkan kedua

lutut terlebih dulu, kemudian diikuti kedua tangan, kemudian dahi dan hidung. Bila seseorang meletakkan kedua tangannya dulu sebelum kedua lututnya, maka itu sudah memadai namun dia meninggalkan sunnah hai’at. Menurut at-Tirmidzî, al-Khaththâbi dan al-Qadhî Abû ath-Thayyib dalam kitab al-Majmû’, cara inilah yang disepakati oleh jumhur ulama, begitu juga pendapat Ibnu Mundzir. Menurut asy-Syaikh al-Bâjûrî, beginilah tertib sujud yang akmal (lebih sempurna). As-Sayyid al-Bakri pula mengatakan adalah makruh menyalahi tertib sujud yang telah disebutkan di atas.

3.4. Sujud (1) Di sengaja (2) meletakkan anggota yang tujuh (Dahi, dua telapak tangan, dua lutut, jari-jari kaki) di atas sajadah Hal ini berdasarkan hadîts riwayat Imam Bukhârî dan Muslim dari Ibnu ‘Abbâs �, dia berkta;

كبت بعة +�عظم �لى الجبهة، و+�شار بیده �لى +�نفه والید�ن والر� Dمرت +�ن +�س�د �لى سk+ ن، و+�طراف القدم@ن@ “Aku diperintahkan untuk bersujud dengan bertumpu pada tujuh anggota badan: dahi dan beliau berisyarat dengan menyentuhkan tangan ke hidung beliau, dua telapak tangan, dua lutut, dan ujung-ujung dua kaki.” (3) thuma’ ninah (4) menghadapkan kaki ke Qiblat (5) menetapkan dahi diatas sajadah (6) memberatkan kepala (7) meninggikan pinggang. Semua ulama mazhab sepakat bahwa sujud itu wajib dilakukan dua kali pada setiap rakaat. Mereka berbeda pendapat tentang batasnya. Mâlikî , Syâfi`î , dan Hanafî : yang wajib (menempel) hanya dahi, sedangkan yang lain-lainnya adalah sunnah. Imam An-Nawâwî mengatakan, “Untuk anggota sujud dua tangan, dua lutut, dan dua ujung kaki, apakah wajib sujud dengan menempelkan kedua anggota badan yang berpasangan itu? Ada dua pendapat Imam ‘asy-Syâfi`î. Pendapat pertama, tidak wajib. Namun sunnah muakkad (yang ditekankan). Pendapat kedua, hukumya wajib. Dan ini pendapat yang benar, dan yang dinilai kuat oleh asy-Syâfi`î. Karena itu, jika ada salah satu anggota sujud yang tidak ditempelkan, shalâtnya tidak sah.” (al-Majmû’, 4/208).

Madzhab Hanbalî: yang diwajibkan itu semua anggota yang tujuh (dahi, dua telapak tangan, dua lutut, dan ibu jari dua kaki) secara sempurna. Bahkan Hanbalî menambahi hidung, sehingga menjadi delapan. Perbedaan juga terjadi pada tasbih dan thuma’ninah di dalam sujud, sebagaimana dalam ruku’. Maka madzhab yang mewajibkannya di dalam ruku’ juga mewajibkannya di dalam sujud.

۞ Bagaimana Sujudnya Rasûlullâh . Disebutkan oleh hadîts Abu Humaid as Sâ’idî �,

Page 37: Ringkasan Fiqh shalât - MRKR

36

ذا س�د وضع یدیه �@ر مفqرش ولا قابضهما4 فا

“Apabila sujud, Rasûlullâh meletakkan kedua tangan beliau tanpa meletakkan (kedua lengan bawahnya) dan tidak pula mengepitnya/menempelkannya (ke rusuk).” (HR. al-Bukhârî no. 828). Maimunah bintu al-Harits ا� ,ia berkata ,ر��� اللھ ع<

بطیه من ورائه صلى ا!له �لیه وسلم كان رسول ا!له 4ى بیدیه ح1�ى �رى وضح ا ذا س�د خو�

4 ا

“Apabila Rasûlullâh sujud, beliau menjauhkan kedua lengannya hingga tampak dari belakang putihnya kedua ketiak beliau.” (HR. Muslim no. 1108).

ا�دى +�ن� الن�ب(ى� ذا س�د +�مكن +�نفه وجhه -صلى ا!له �لیه وسلم-عن +�ب(ى حمید الس�4ته من ا��رض كان ا

ى یدیه عن ج[بیه ووضع كف�Kه �ذو م[كhیه ونح�Dari Abu Humaid as Sâ’idî �: “Sesungguhnya Nabi jika bersujud beliau menekankan hidung dan dahi beliau di tempat sujud, menjauhkan kedua tangannya dari dua lambungnya dan meletakkan kedua telapak tangannya sejajar dengan bahunya.” (HR Tirmidzî no 270. Hadîts ini dinilai sebagai hadîts hasan shahîh oleh Tirmidzî) yang dimaksud dengan menekankan dahi dan hidung ketika bersujud adalah kebalikan dari sekedar hanya menempelkan. Oleh karena itu mempraktekkan hal ini tidaklah menyebabkan timbulnya noda hitam di dahi apalagi noda hitam di hidung. Rasûlullâh dan Khulafâur Râsyîdîn adalah orang yang paling paham dan menerapkan ketentuan suhud dalam shalât mereka. Namun fakta membuktikan bahwa tidak ada sama sekali noda hitam di dahi-dahi mereka Juga diriwayatkan oleh Thabarî dengan sanad yang hasan dari Qatâdah, beliau berkata, “Ciri mereka adalah shalât” (Tafsir Mukhtashar Shahîh hal 546).

�م �لیه قال : من +�نت؟ : عن سالم +�ب(ى الن�ضر قال لى ا-ن عمر فسل4قال : +�� �اضنك فلان. Uاء رUل ا

صلى ا!له -صحبت رسول ا!ل�ه سوداء فقال : ما هذا ا��Åر ب@ن عیK�ك؟ فقد ور+�ى ب@ن عیK�ه س�دة �ه عنهم فهل �رى ها هنا من شىء؟ +�M -كر وعمر و -�لیه وسلم وعثمان رضى ا!ل

Dari Salim Abû Nadhr, ada seorang yang datang menemui Ibnu Umar �. Setelah orang tersebut mengucapkan salam, Ibnu Umar bertanya kepadanya, “Siapakah anda?”. “Aku adalah anak asuhmu”, jawab orang tersebut. Ibnu Umar melihat ada bekas sujud yang berwarna hitam di antara kedua matanya. Beliau berkata kepadanya, “Bekas apa yang ada di antara kedua matamu? Sungguh aku telah lama bershahabat dengan Rasûlullâh , Abû Bakar �, Umar � dan Utsman �. Apakah kau lihat ada bekas tersebut pada dahiku?” (HR. al-Baihaqî dalam Sunan Kubrâ no 3698) Tafsir dari Firman Allâh :

�ذ�ن �ه وال د رسول ا!ل اء �لى الكف�ار رحماء ب@[هم �راهم محم� دا ی1Lغون فضلا من ا!ل�ه معه +�شد� رك�عا س��جود ورضوا� یماهم في وجوههم من +�Åر الس� Dس

“Muhammad itu adalah utusan Allâh dan orang-orang yang bersama dengan Dia adalah keras terhadap orang-orang kafir, tetapi berkasih sayang sesama mereka. kamu Lihat mereka ruku’ dan sujud mencari karunia Allâh dan keridhaan-Nya, tanda-tanda mereka tampak pada muka mereka dari bekas sujud.” (QS al Fath:29).

Page 38: Ringkasan Fiqh shalât - MRKR

37

Banyak orang yang salah paham dengan maksud ayat ini. Ada yang mengira bahwa dahi yang hitam karena sujud itulah yang dimaksudkan dengan ‘tanda-tanda mereka tampak pada muka mereka dari bekas sujud’. Padahal bukan demikian yang dimaksudkan.

Diriwayatkan oleh Imam At-Thabarî dengan sanad yang hasan dari Ibnu ‘Âbbâs � bahwa yang dimaksudkan dengan ‘tanda mereka…” adalah perilaku yang baik. Diriwayatkan oleh At-Thabarî dengan sanad yang kuat dari Mujahid bahwa yang dimaksudkan adalah kekhusyu’an.

�ه ر+�ى Uل وجهه ، عن ا-ن عمر : +�ن ن� صورة الر� 4 .فلا ¦شن صورتك +�Åرا فقال : o عبد ا!ل�ه ا

Dari Ibnu Umar �, beliau melihat ada seorang yang pada dahinya terdapat bekas sujud. Ibnu Umar berkata, “Wahai hamba Allâh, sesungguhnya penampilan seseorang itu terletak pada wajahnya. Janganlah kau jelekkan penampilanmu!” (HR.al-Baihaqî dalam Sunan Kubrâ no 3699).

رداء امر+�ة بوجهها +�Åر م¡ل ثف[ة الع�ز ، عن +�ب(ى عون قال : ر+�ى +�بو ل : لو لم �كن هذا بوجهك فقا الد� .كان X@را !ك

Dari Abi Aun, Abû Darda’ � melihat seorang wanita yang pada wajahnya terdapat ‘kapal’ semisal ‘kapal’ yang ada pada seekor kambing. Beliau lantas berkata, ‘Seandainya bekas itu tidak ada pada dirimu tentu lebih baik.” (HR.al-Baihaqî dalam Sunan Kubrâ no 3700).

ذ Uاءه عن حمید هو ا-ن عبد 4ائب -ن �زید ا حمن قال : كن�ا عند الس� حمن الر� ب@ر -ن سهیل -ن عبد الر� الز�

یماء ، وا!ل�ه لقد قد +�فسد و : -ن عوف فقال Dه ما هى س�یت �لى وجه(ى مذ كذا وكذا ، ما جهه ، وا!ل�صلجود فى .وجه(ى ش@Æا +�Å�ر الس�

Dari Humaid bin Abdirrahman, aku berada di dekat as Saib bin Yazid ketika seorang yang bernama az Zubair bin Suhail bin Abdirrahman bin Auf � datang. Melihat kedatangannya, as Saib berkata, “Sungguh dia telah merusak wajahnya. Demi Allâh bekas di dahi itu bukanlah bekas sujud. Demi Allâh aku telah shalât dengan menggunakan wajahku ini selama sekian waktu lamanya namun sujud tidaklah memberi bekas sedikitpun pada wajahku.” (HR.al-Baihaqî dalam Sunan Kubrâ no 3701).

جود) +�هو +�Åر (عن م[صور قال قلت لم�اهد یماهم فى وجوههم من +�Åر الس� Dه سUجود فى و الس�ن� +��دهم 4

�سان؟ فقال : لا ا4ر ولك[�ه ا!ل�ه یعن �كون ب@ن عیK�ه م¡ل ركبة الع�ز وهو كما شاء الا ى من الش�

.الخشوع Dari Manshur, Aku bertanya kepada Mujahid tentang maksud dari firman Allâh, ‘tanda-tanda mereka tampak pada muka mereka dari bekas sujud’ apakah yang dimaksudkan adalah bekas di wajah? Jawaban beliau, “Bukan, bahkan ada orang yang ‘kapal’ yang ada di antara kedua matanya itu bagaikan ‘kapal’ yang ada pada lutut onta namun dia adalah orang bejat. Tanda yang dimaksudkan adalah kekhusyu’an.” (HR.al-Baihaqî dalam Sunan Kubrâ no 3702).

Wallâhu a’lam.

۞ Hâ’il atau Penghalang ke tempat Sujud dan asal mula penggunaan peci ketika Shalât.

Page 39: Ringkasan Fiqh shalât - MRKR

38

Rasûlullâh bersabda:

بعة +�عظم عن ا-ن عب�اس رضي ا!ل�ه عنهما قال قال الن�ب(ي� صل�ى ا!ل�ه �لیه وسل�م +kمرت +�ن +�س�د Dلى س�یاب والش� �لى الجبهة كبت@ن و+�طراف القدم@ن ولا 6كفت الث عر و+�شار بیده �لى +�نفه والید�ن والر�

Dari Ibnu Abbâs ما�ھ ع<� الل dia berkata: Nabi bersabda: Aku diperintahkan untuk ,ر��

sujud di atas tujuh tulang (yaitu) dahi –dan beliau menunjuk hidungnya dengan tangannya-, dua telapak tangan, dua lutut dan ujung-ujung jari kedua kaki. Dan kami tidak menghalangi atau melipat baju dan rambut (ketika shalât). (HR. Bukhârî dan Muslim)

Syarat sujud menurut ulama’ Syâfi’îyyah, dijelaskan dalam kitab Fathul Mu’în: قال: (و) سابعها: (سجود مرتين) كل ركعة، (على غير محمول) له، (وإن تحرك بحركته) ولو نحو سرير يتحرك بحركته لانه ليس بمحمول له فلا يضر السجود عليه، كما إذا سجد على محمول لم

يتحرك بحركته كطرف من ردائه الطويل.“Rukun yang ketujuh adalah sujud dua kali setiap rakaat pada benda yang tidak (tergolong) dibawa olehnya (Mahmûl), meskipun benda tersebut bergerak dikarenakan gerakannya. Seperti sujud di ranjang (kasur) yang ikut bergerak seiring dengan bergeraknya orang yang shalât, sebab ranjang bukan termasuk kategori benda yang dibawa oleh orang yang shalât, maka sujud pada ranjang tersebut tidak masalah, seperti halnya sujud pada benda yang dibawa oleh orang yang shalât, namun tidak ikut bergerak seiring dengan gerakannya orang yang shalât. Seperti sujud pada ujung selendang yang sangat Panjang.” (Syekh Zainuddîn Al-Malibari, Fathul Mu’în, 1/ 190)

Ulama berbeda pendapat terkait: Apakah wajib membuka anggota tubuh sujud, termasuk kening saat bersujud?

1. Mayoritas fuqahâ’, yaitu Hanafîyah, Mâlikîyah, Hanabilah (Hanbalî), dan sekelompok Ulama Salaf, seperti ‘Athâ, Thâwus, an-Nakhâ’î, asy-Sya’bî, dan al-Auzâ’î berpendapat tidak wajib membuka kening, kedua telapak tangan, dan kedua telapak kaki saat melakukan sujud. Bagian dari anggota-anggota badan untuk sujud tersebut tidak wajib langsung mengenai atau menyentuh tempat shalât. Bahkan pada waktu panas atau dingin, boleh sujud di atas lengan bajunya, ujung bajunya, tangannya, lipatan sorbannya, dan lainnya yang bersambung pada orang yang shalât. (al-Mausû’ah al-Fiqhîyyah al-Kuwaitîyah, 24/208).

Hal itu berdasarkan hadîts Anas �, dia berkata :

تطع +��د� Dسr ذا لم4ة الحر فا �ه صل�ى ا!ل�ه �لیه وسل�م في شد� ي مع رسول ا!ل +�ن یمكن جhهته من كن�ا نصل

ا�>رض یLسط ثوبه ف@س�د �لیه Kami dahulu shalât bersama Rasûlullâh pada waktu sangat panas. Jika seseorang dari kami tidak mampu meletakkan dahinya ke tanah, dia menghamparkan bajunya (bagian ujungnya) lalu bersujud di atasnya.] (HR. Bukhârî, no. 385; dan Muslim, no. 620).

Dan berdasarkan riwayat dari Ibnu Abbâs �ھ ع<� الل مار�� , dia berkata:

ذا س�د -ك 4@ن ا �م في یوم مط@ر وهو یت�قي الط �ه �لیه وسل ساء �لیه یجعله لقد ر+�یت رسول ا!ل�ه صل�ى ا!ل

ذا س�د 4لى ا�>رض ا

4 دون یدیه ا

Aku telah melihat Rasûlullâh pada suatu hari yang hujan, beliau menjaga diri dari tanah ketika bersujud dengan selimutnya, beliau menjadikannya di bawah tangannya ke bumi jika bersujud.

Page 40: Ringkasan Fiqh shalât - MRKR

39

(HR. Ahmad; didha’ifkan sanadnya oleh syekh Syu’ab al-Arnauth, karena kelemahan perawi yang bernama Husain bin Abdullâh; tetapi hadîts ini beliau nyatakan hasan; Ta’liq Musnad Ahmad bin Hanbal, 1/265).

Dan diriwayatkan dari Nabi :

�ه س�د �لى كور عمام1ه +�نBahwa beliau bersujud di atas lipatan sorbannya. (HR. Abdurrazaq, 1/400, no. 1564, dari Abu Hurairah). Al-Hasan berkata,

�م rس�دون و+�یدیهم Uل �لى عمام1ه كان +�صwاب رسول ا!ل�ه صل�ى ا!ل�ه �لیه وسل في ثیابهم وrس�د الر�“Dahulu para sahabat Rasûlullâh melakukan sujud sedangkan tangan mereka berada di dalam baju atau kain mereka, dan ada orang yang melakukan sujud di atas sorbannya. (HR. al-Baihaqî di dalam As-Sunan Al-Kubrâ, 2/106, no. 2774) Di dalam suatu riwayat:

ه . كان القوم rس�دون �لى العمامة والقل�سوة ویده في كمDahulu mereka melakukan sujud di atas sorban dan penutup kepala (peci), sedangkan tangan mereka berada di dalam lengan bajunya. (HR. Bukhârî) 2. Madzhab Asy-Syâfi’îyyah, dan juga satu riwayat dari imam Ahmad, berpendapat wajibnya membuka kening, dan kening wajib langsung mengenai tempat shalât. Demikian juga tidak boleh sujud di atas lengan bajunya, ujung bajunya, tangannya, lipatan sorbannya, pecinya, atau lainnya yang bersambung pada orang yang shalât dan yang bergerak dengan bergeraknya orang yang shalât. Berdasarkan sabda Nabi:

ذا س�دت فمكن جhهتك من ا��رض 4 الwدیث … ا

Jika engkau sujud, maka letakkan dahimu pada bumi… al-Hadîts. (HR. Ibnu Hibbân, 5/205, no. 1887; didha’ifkan sanadnya oleh syaikh Syu’ab al-Arnauth) Dan berdasarkan riwayat dari Khabbab bin al-Arats �, dia berkata:

[ا) فلم rش مضاء (في جhاهنا و+�كف �ه صل�ى ا!ل�ه �لیه وسل�م حر� الر� لى رسول ا!ل4ك[ا وفي روایة : فما شكو� ا +�شكا�

Kami mengadu kepada Rasûlullâh panasnya pasir (pada dahi dan tangan kami), namun beliau tidak menaggapi pengaduan kami. (HR. Muslim, no. 619; Nasâî, no. 497; Ibnu Mâjah, no. 675 dan 676). Hadîts:

بعة +�عظم �لى الجبهة Dمرت +�ن +�س�د �لى سk+. ك لى +�نفه والید�ن والر�4 بت@ن و+�طراف القدم@ن و+�شار بیده ا

“Aku diperintahkan sujud di atas tujuh anggota tubuh: dahi dan beliau berisyarat dengan menyentuhkan tangan ke hidung beliau, dua (telapak) tangan dan ujung-ujung dua kaki.” (HR. Baihaqî). Sebagian ulama mengartikan penyebutan ‘hidung” dalam riwayat hadîts di atas dengan menghukumi Sunnah untuk dilakukan pada saat sujud, berbeda halnya seperti anggota tubuh lain yang disebutkan dalam hadîts tersebut. Sebab jika hidung juga diwajibkan, maka anggota tubuh yang wajib untuk ditempelkan di tempat salah tidak lagi tujuh, tapi menjadi delapan. (Syekh Abdul Hamid as-Syarwânî, Hawasyi as-Syarwânî, 2/ 75).

Page 41: Ringkasan Fiqh shalât - MRKR

40

Dalam hadîts di atas, anggota yang penting untuk diperhatikan adalah dahi. Rasûlullâh memberikan perngertian khusus dalam wajibnya menempelkan dahi pada saat sujud, hal ini dijelaskan dalam salah satu hadîtsnya: هتكhذا س�دت، فمكن ج

4 ا

“Ketika kamu sujud tetapkanlah keningmu (di tempat shalât).” (HR. Ibnu Hibbân) Para ulama memberi batas minimal menempelkan dahi pada tempat shalât sekiranya sebagian dahi menempel pada tempat shalât. Penjelasan ini misalnya dijelaskan dalam kitab Tuhfah al-Muhtâj:

�تھ مصلاه ) لÀ`ديث ال¨`يح zأقلھ مباشرة ¬عض ج (و“Batas minimal sujud adalah sebagian dahi menyentuh pada tempat shalât. Hal ini berdasarkan hadîts yang shahîh.” (Syekh Ibnu Hajar al-Haitamî, Tuhfah al-Muhtâj, 2/69) Menempelnya sebagian dahi pada tempat shalât, dicontohkan misalnya ketika seseorang sujud pada suatu benda yang tidak muat untuk meliputi seluruh dahi, seperti sujud pada tongkat, atau di dahinya terhalang oleh sebagian rambut yang menutupinya, sekiranya masih terdapat bagian dari dahi yang terbuka dan menempel pada tempat sujud. Maka dalam keadaan demikian, sujudnya tetap dianggap benar dan shalâtnya tetap dihukumi sah, meskipun sujud dengan cara demikian dihukumi makruh, sebab hal yang dianjurkan adalah dahi dapat menempel di tempat shalât tanpa terhalang oleh apa pun. Penjelasan tentang ini seperti yang dijelaskan dalam Hawâsyî as-Syarwânî:

�ة) و3تصور ال�³ود بالبعض بأن يكون ال�³ود ع%$ عود مثلا أو قول الم£ن: (م z�aباشرة ¬عض ا

�تھ) واكتفى zا ع ش ـ قول الم£ن: (¬عض ج�يكون ¬عض�ا مستورا ف�³uد عليھ مع المكشوف م<

.ببعض�ا وsن كره لصدق اسم ال�³ود بذلك ��اية ومغ¥� “Perkataan kalam matan berupa ‘menyentuhnya sebagian dahi’ praktik demikian misalnya seperti sujud pada (potongan) kayu atau sebagian dahi tertutup, lalu ia sujud dengan keadaan sebagian dahi tertutup besertaan adanya bagian yang terbuka dari dahi. Hal ini dikutip oleh Syekh Alî Syibrâmalisi*” “Dicukupkan dengan sujud dengan sebagian dahi meskipun hal tersebut makruh, sebab penamaan sujud mencakup terhadap menempelkan sebagian dahi seperti yang dijelaskan dalam kitab Nihâyah dan Mughnî.” (Syekh Abdul Hamid as-Syarwânî, Hawasyi as-Syarwânî, Juz 2, Hal. 69). *Alî bin Abi adh-Dhiyâ' Nurruddîn asy-Syibrâmalisî asy-Sayi'î al-Qâhirî (987-1087M)

Maka, hendaklah sebagian rambut jangan menutupi dahi pada saat sujud, oleh karena itu laki-laki yang shalât menggunakan penutup kepala seperti kopiah/peci, sehingga rambutnya tidak menghalangi dahinya ketika saat sedang sujud. Jika terjadi pada wanita, yaitu ketika rambutnya dibiarkan terurai di dahi saat shalât, disamping menghalangi sujud juga tampaknya rambut, shalâtnya menjadi batal, karena bagi wanita rambut merupakan aurat yang harus ditutupi ketika shalât, sehingga ketika rambut terurai di dahi, maka ia dianggap tidak menutup auratnya.

3.5. Duduk antara dua sujud (1) Disengaja (2) lurus (3) thuma’ ninah

Page 42: Ringkasan Fiqh shalât - MRKR

41

Menurut madzhab Hanafî : duduk di antara dua sujud itu tidak diwajibkan. Mazhab Mâlikî, Syâfi`î, dan Hanbalî: wajib duduk di antara dua sujud. Rasûlullâh :

لى صلاة رUل لا یقKم صلبه ب@ن ركو�ه وسجوده عن +�ب(ي هر�رة قال قال رسول ا!ل�ه 4 لا ینظر ا!ل�ه ا

"Allâh tidak akan melihat kepada shalât seseorang yang tidak menegakkan tulang punggungnya di antara ruku' dan sujudnya." (HR. Ahmad, dengan isnad shahîh) 3.6. Duduk Tahîyyat akhir (1) Disengaja (2) lurus (3) duduk beserta thuma’ ninah Tahîyyat di dalam shalât dibagi menjadi dua bagian : pertama yaitu Tahîyyat yang terjadi setelah dua rakaat pertama dari shalât maghrib, isya’, dzuhur, dan ashar dan tidak diakhiri dengan salam. Yang kedua adalah Tahîyyat yang diakhiri dengan salam, baik pada shalât yang dua rakaat, tiga, atau empat rakaat.

Tahîyyat Awal: Hanbalî : Tahîyyat pertama itu wajib. Hanafî, Mâlikî, dan Syâfi`î: hanya sunnah.

Tahîyyat Akhir: Hanafî : hanya sunnah, bukan wajib.

Perhatikan gambar berikut:

Page 43: Ringkasan Fiqh shalât - MRKR

42

Page 44: Ringkasan Fiqh shalât - MRKR

43

Page 45: Ringkasan Fiqh shalât - MRKR

44

Page 46: Ringkasan Fiqh shalât - MRKR

45

۞۞۞

Page 47: Ringkasan Fiqh shalât - MRKR

46

Sunnah-sunnah dalam shalât Shalât mempunyai beberapa sunnah yang dianjurkan untuk dikerjakan sehingga menambah kesempurnaan shalât. Bagi ulama Syâfi’îyah dibagi menjadi 2 (dua) : ۞ Sunnah ab'adh (ab'adh = sebagaian) adalah sunnah-sunnah shalât yang perlu ditebus dengan sujud sahwi bila tidak dilaksanakan), Sunnah ab'adh ada tujuh, sebagaimana disebutkan dalam Tuhfat al-Thullab ma'a Hasyiyat al-Syarqawi, 1/195-216; Hâsyîyah al-Bâjûrî, 1/167-181, 193 Mughnî al-Muhtâj, 1/152-184; Al-Muhadzdzab,1/71-82; Al-Majmû’, 3/356. yaitu: 1. Tasyahhud awal, 2. Duduk tasyahhud awal, 3. Membaca shalawat kepada Rasûlullâh setelah tasyahhud awal, 4. Membaca shalawat kepada keluarga Rasûlullâh setelah tasyahhud akhir, 5. Do'a qunut dalam shalât shubuh dan witir pada pertengahan kedua bulan Ramadhan

(Tidak termasuk Qunut Nazilah).Qunut Nazilah adalah doa qunut yang dilakukan karena adanya suatu kejadian berupa banyaknya bala' atau musibah, kemarau panjang, atau adanya musuh. (Fathul Wahab I/77)

6. Berdiri dalam do'a qunut, 7. Membaca shalawat kepada Rasûlullâh dan keluarganya setelah qunut. Sunnah-sunnah tersebut dinamai sunnah ab'adh karena diserupakan dengan sebagian shalât yang hakiki, yaitu rukun shalât.

۞ Membaca doa Qunut Menurut Mâlikîyah (Madzhab Mâlikî) dan Asy Syâfi’îyah (Madzhab Asy Syâfi’î) doa qunut pada shalât subuh adalah masyrû’ (disyariatkan). Mâlikîyah mengatakan: Disunnahkan berqunut secara sirr (pelan) pada shalât subuh saja, bukan pada shalât lainnya. Dilakukan sebelum ruku’ setelah membaca surat tanpa takbîr terdahulu. Sementara kalangan Syâfi’îah berpendapat disunnahkan qunut ketika i’tidal kedua shalât subuh, yakni setelah mengangkat kepala pada rakaat kedua, mereka tidak hanya mengkhususkan qunut nazilah saja.

Menurut Madzhab Syâfi’î (hadîts dari Anas bin Mâlik �) :

�ه نیا عن +��س -ن ما!ك قال ما زال رسول ا!ل یق[ت في الفجر ح1�ى فارق الد�Dari Anas bin Mâlik �, ia berkata: "Tidak pernah berhenti Rasûlullâh melakukan Qunut dalam Shalât Fajar (Subuh) hingga meninggal dunia." (Musnad Ahmad)

ــد عــن بعــ د -ن -كر +�LXر� هشام عن محم� ثنا محم� د -ن ح[بل �د� ثنا +�حمد -ن محم� ض +�صــwابه +�ن� +kبــ(ي� �د�هم یعني في رمضان وكان یق[ت في النصف ا�خر من رمض ان -ن كعب +�م�

Dari Ahmad bin Muhammad bin Hanbal, dari Muhammad bin Bakr menceritakan Hisyam dari Muhammad dari para Sahabat yang lain, sesungguhnya Ubay bin Ka’ab �, mengimami shalât (Witir) di separuh akhir bulan Ramadhan dengan membaca Qunut. (Sunan Abû Dâwud)

لا� في النصف ا�خر من رمضان وكان یق[ت بع 4�ه كان لا یق[ت ا كوع عن �لي -ن +�ب(ي طالب +�ن د الر�

Dari ‘Âlî bin Abî Thâlib �, sesungguhnya (ternyata) tidak melakukan Qunut kecuali di separuh akhir bulan Ramadhan dan dilaksanakan sesudah Ruku’. (Sunan Tirmidzî)

ذا +�راد +�ن 4�ه �لیه وسل�م كان ا �ه صل�ى ا!ل یدعو �لى +��د +�و یدعو عن +�ب(ي هر�رة رضي ا!ل�ه عنه +�ن� رسول ا!ل

�ما ق كوع فرب �هم� +�نج الولید -ن الولید ���د ق[ت بعد الر� �نا !ك الحمد ا!ل �هم� رب ذا قال سمع ا!ل�ه لمن حمده ا!ل4 ال ا

ن Dن@ن كس Dتك �لى مضر واجعلها س�pاشدد وط �هم� وسف یجهر ي ی وسلمة -ن هشام وعی�اش -ن +�ب(ي ربیعة ا!ل

Page 48: Ringkasan Fiqh shalât - MRKR

47

�هم� العن فلا� وفلا� ��حKاء من ا لعرب ح1�ى +�6زل ا!ل�ه بذ!ك وكان یقول في بعض صلاته في صلاة الفجر ا!لمر شيء ( ا�یة ) ل@س !ك من ا��

Dari Abu Hurairah � bahwa Rasûlullâh jika ingin mendoakan kecelakaan kepada seseorang atau berdoa keselamatan kepada seseorang beliau selalu qunut setelah rukuk." Kira-kira ia berkata; "Jika beliau mengucapkan: " ھ لمن حمده

سمع الل , " beliau

berdoa: "Wahai Rabb kami bagi-Mu segala pujian, Ya Allâh selamatkanlah Al-Walid bin Al-Walid, salamah bin Hisyam, dan 'Ayyasy bin Abu Rabi'ah. Ya Allâh keraskanlah hukuman-Mu atas Mudlar, dan timpakanlah kepada mereka tahun-tahun paceklik sebagaimana tahun-tahun pada masa Yusuf." -beliau mengeraskan bacaan tersebut, - beliau juga membaca pada sebagian shalât yang lainnya, beliau membaca pada shalât subuh: "Ya Allâh, laknatlah si fulan dan si fulan dari penduduk arab." Sampai akhirnya Allâh Azza Wa Jalla mewahyukan kepada beliau: "Tak ada sedikitpun campur tanganmu dalam urusan mereka itu atau Allâh menerima taubat mereka, atau mengadzab mereka karena sesungguhnya mereka itu orang-orang yang dhalim (Ali Imran: 128)."

Ibnu Qayyîm al-Jauziyyah (w. 751 H) [3], dalam Zâd al-Ma’âd, 1/ 266 berkata:

حبھ عند النوازل وغ G'ا، و'م أسعد باa`ديث من فأ'ل اa`ديث متوسطون ب ن 'ؤلاء و@ ن من است

الطائفت ن، فإ��م يقنتون حيث قنت رسول اللھ ص%$ اللھ عليھ وسلم، وG£3كونھ حيث تركھ، فيقتدون

بھ QR فعلھ وتركھ.“Ahli hadîts adalah kaum pertengahan antara mereka (yang mengatakan Qunut itu bid’ah) dan mereka yang menganggap sunnah Qunut ketika ada nawazil dan lainnya (termasuk Qunut Shubuh). Mereka lebih beruntung terhadap hadîts Nabi, mereka qunut ketika Rasûlullâh Qunut dan meninggalkannya ketika Rasul juga meninggalkannya. Mereka mengikuti Nabi dalam menjalankan ataupun meninggalkannya.

فعلھ سنة وتركھ سنة، ومع 'ذا فلا ينكرون ع%$ من داوم عليھ، ولا يكر'ون فعلھ، ولا يرونھ :و3قولون

بدعة، ولا فاعلھ مخالفا للسنة، كما لا ينكرون ع%$ من أنكره عند النوازل، ولا يرون تركھ بدعة، ولا

.تاركھ مخالفا للسنة، بل من قنت فقد أحسن، ومن تركھ فقد أحسنMereka (ahli hadîts) mengatakan bahwa melakukannya adalah perbuatan sunnah dan meninggalkannya juga perbuatan sunnah. Maka, mereka tidak mengingkari orang yang membiasakan qunut, tidak benci untuk melakukannya , tidak menganggapnya bid’ah, dan juga tidak menganggap orang yang melakukannya termasuk menyelisihi sunnah begitu juga sebaliknya.

حـارب :وذكـر اa`ـديث، قـال: روى حمـاد، عـن إبـرا'يم، عـن الأسـود قـال 5اـن عمـر إذا حـارب قنـت وsذا لـم ي

لم يقنت.Dari Al-Aswad: Bahwa Umar � jika dalam keadaan perang beliau qunut dan jika dalam keadaan damai tidak qunut.

عمـل، وsن تـرك تـارك فGHخصـة - للـھ عليـھ وسـلمصـ%$ ا -قال الطGHى: فإن قنت قانت فبفعل رسـول اللـھ

ــا، فــأخGH أ�ــس عنــھ أنــھ لــم يــزل يقنــت ــا، و3£ــGك القنــوت أحيان

رســول اللــھ أخــذ، وذلــك أنــھ 5ـاـن يقنــت أحيان

وتــرك القنــوت أخــرى معلمــا بــذلك أمتــھ أ��ــم مخ ــGون Rــ$ �ــا مــرة�ع%ــ$ مــا ع�ــده مــن فعلــھ ذلــك بــالقنوت ف

211ص 4ج رح w`يح البخاري لابن بطالش .العمل بأى ذلك شاءوا من فعلھImam Ath-Thabarî berkata: Bahwa beliau kadang-kadang melakukannya dan kadang-kadang meninggalkannya, sebagaimana hadîts dari Anas �…sebagai pengajaran bagi umatnya, bahwa mereka boleh memilih untuk melakukannya atau meninggalkannya.

Page 49: Ringkasan Fiqh shalât - MRKR

48

Dari Abu Hurairah �, ia berkata:

لا� +�ن یدعو لقوم 4بح ا �ه �لیه وسل�م كان لا یق[ت في صلاة الص� +�و �لى قوم +�ن� رسول ا!ل�ه صل�ى ا!ل

“Bahwa Rasûlullâh tidak berqunut pada shalât subuh, kecuali karena mendoakan atas sebuah kaum atau untuk sebuah kaum.” (HR. Ibnu Hibbân).

Maknanya, menurut madzhab yang tidak menyunnahkan qunut, syariat berdoa qunut pada shalât subuh telah mansûkh (dihapus), dan yang ada hanya qunut nazilah.” (Al -Mausû’ah al-Fiqhîyyah al-Kuwaitîyah, 27/321-322)

أما ا�aواب عن حديث أ�س وأ)ي 'ر3رة ر��� اللھ ع<�ما، QR قولھ :(ثم تركھ)، فالمراد ترك الدعاء ع%$

أولئك الكفار، ولعن°�م فقط، لا ترك جميع القنوت، أو ترك القنوت QR غ G الصبح.. و'ذا التأو3ل

صر3ح، يجب متع ن، لأن حديث أ�س، QR قولھ :(لم يزل يقنت QR الصبح ح�� فارق الدنيا)، w`يح

…ا�aمع بي<�ما“Adapun jawaban terhadap hadîts Anas � dan Abu Hurairah � mengenai lafadz ‘kemudian beliau meninggalkannya’ maksudnya adalah meninggalkan doa laknat atas mereka saja. Bukan meninggalkan semua qunut atau juga maksudnya adalah meninggalkan qunut tapi qunut yang ada pada selain shubuh. Karena ini sesuai dengan hadîts Anas pada lafadz ‘Rasûlullâh senantiasa berqunut shubuh sampai beliau meninggal dunia’ Hadîts ini shahîh dan sangat jelas sekali. Maka wajib untuk menggabungkan antara dua dalil tersebut.” (Al-Majmû’, 4/671)

Al-Imam An-Nawâwî dalam kitab Al-Majmû’ Syarh Al-Muhadzdzab juz 3 halaman 504 :

حديث أ�س ر��� اللھ عنھ أن الن�� ص%$ اللھ ±عا{Q عليھ وسلم قنت ش�را يدعوا " واحتج أw`ابنا ب

�م ثم ترك فأما QR الصبح فلم يزل يقنت ح�� فارق الدنيا�حديث w`يح رواه جماعة من اa`فاظ " عل

حمد بن ع%Q البلQÆ واa`اكم أبو عبد اللھ QR وÇw`وه وممن نص ع%$ w`تھ اa`افظ أبو عبد اللھ م

حة وعن العوام بن حمزة قال " �قي ورواه الدارقط¥� من طرق بأسانيد w`ي�مواضع من كتبھ والب

سألت أبا عثمان عن القنوت QR الصبح قال ¬عد الركوع قلت عمن قال عن أ)ي بكر وعمر وعثمان

�قي عن عمر أيضا��قي وقال 'ذا إسناد حسن ورواه الب�من طرق وعن ر��� اللھ ±عا{$ ع<�م " رواه الب

قنت ع%Q ر��� " التا¬�Q قال -بفتح الميم وsس�ان الع ن الم�ملة وكسر القاف - عبد اللھ بن معقل

�قي وقال 'ذا عن ع%w Q`يح مش�ور " اللھ عنھ QR الفجر� ) .رواه الب

505, ص : 3ا��موع, ج :

Dan ashâbuna berhujjah dengan hadîts Anas � bahwa nabi Muhammad membaca doa qunut selama satu bulan untuk mendoakan suatu kaum, kemudian beliau meninggalkannya. Adapun qunut dalam shubuh beliau tetap berqunut sampai beliau meninggal dunia. Hadîts ini hadîts shahîh yang diriwayatkan oleh para huffadz dan mereka juga menshahîhkan hadîts ini. Diantara yang menshahîhkan hadîts tersebut adalah Al-hafidz Abu Abdillâh muhammad bin Alî, Al-hâkim Abu Abdillâh, Al-Baihaqî dan Dâraquthnî. Dan dari Al-awwam bin hamzah berkata : saya bertanya kepada abu utsman tentang qunut shubuh. Beliau jawab : qunut itu setelah ruku’ dan ini dari Abu bakr �, Umar � dan Utsman �. Ini riwayat Al-Baihaqî dengan sanad yang shahîh. Dan diriwayatkan juga dengan sanad shahîh dan masyhur bahwa sahabat Alî bin Abî Thâlib � berqunut pada shalât shubuh juga.

Al Hafidz al Irâqî, mengatakan bahwa sunnahnya membaca Qunut itu dipegang oleh para sahabat: Abû Bakar As Shiddîq �, Umar bin Khaththâb �, Utsmân bin Affân �, Alî

Page 50: Ringkasan Fiqh shalât - MRKR

49

bin Abî Thâlib �, ‘Âisyah, Abû Mûsâ �, Ibn ‘Âbbâs �, Abû Hurairah �, Mu’awiyah, Thâwus, Hasan al Bashrî, Ibn Sirin, Imam Mâlikî, Imam Syâfi’î dan Al Auzâ’î (Rusûkh al Ahbâr fi Mansûkh Al Akhbâr)

Al-‘Irâqî atau Al-‘Irâqîyûn ( اقيون (العرAl-‘Irâqîyûn adalah segolongan Ulama Madzhab Syâfi’î yang tinggal di Baghdâd dan sekitarnya. Diantara pemimpinnya adalah Syaikh Abû Hâmid Al-Isfarayainî (Wafat tahun 406 H), Abû Ishâq Asy-Syirâzî ( Wafat 476 H), Qadlî Abûl Hasan Al-Mawardî (Wafat 450 H ), Abû Thayyib ath-Thabarî (Wafat 450 H), Ahmad bin Muhammad Al-Muhâmilî ( Wafat 447 H) , Sulaim Ar-Râzî ( Wafat 447 H), dan Abû ‘Alî Al-Bandanijî (Wafat 425 H). Istilah Al-‘Irâqî atau Al-‘Irâqîyûn ini sering ditemukan dalam Literatur/Kitab-kitab Madzhab Syâfi’îyah.

Ketika membaca doa Qunut disarankan mengangkat tangan (posisi berdoa) : ،وقـــال الاخـــر: لـــم رفـــع يـــده عـــن أ)ـــي رافـــع وأ)ـــي قتـــادة قـــالا : صـــلينا خلـــف عمـــر الفجـــر فقنـــت ¬عـــد الركـــوع قـــال أحـــد'ما:

يرفع يده.

Dari Abi Râfi' dan Abi Qatâdah keduanya berkata: " kami shalât fajar (Shubuh) di belakang Umar, maka beliau (membaca) doa Qunut sesudah ruku', berkata salah satu dari mereka : "Beliau (Umar �) mengangkat tangannya." Dan berkata yang lainnya : " Tidak mengangkat tangannya."

Ringkasan masalah Membaca Doa Qunut No Cabang Masalah Hanafî/ ����ـــ�� Mâlikî/ ��ـــ� �� Syâfi’î/ ��ـــ� �� Hanbalî/ �����ـــ��

1 Hukum membaca doa Qunut pada shalât Subuh

Disyariatkan qunut, hanya pada shalât witir.

Disyari’atkan (sunnah) pada shalât shubuh saja. Tidak ada qunut pada shalât witir dan shalât-shalât lainnya.

Disyari’atkan (sunnah Ab’adh) qunut dalam shalât Subuh dan shalât witir pada separuh akhir dari bulan Ramadhan.

Disyari’atkan (sunnah) qunut dalam shalât witir. Tidak disyariat-kan pada shalât lainnya, kecuali jika ada musibah yang besar selain penyakit. Pada keadaan demikian, Imam atau yang mewakilinya berqunut pada shalât lima waktu selain shalât Jum’at.

2 Membaca doa Qunut pada separuh akhir Ramadhan

Sunnah, tidak sunnah pada selain shalât witir, kecuali qunut karena ada bencana

Makrûh (Sunnah pada shalât subuh saja dengan sirr)

Sunnah (pada shalât subuh dan shalât witir)

Sunnah (pada shalât witir)

3 Dibaca : sebelum atau sesudah ruku'

Sebelum ruku' Lebih utama sebelum ruku'

Sesudah ruku'

4 Posisi tangan ketika doa qunut

Diletakkan dibawah pusat/perut

Boleh mengangkat tangan (untuk berdoa)

Mengangkat tangan (untuk berdoa)

Boleh mengangkat tangan (untuk berdoa)

Page 51: Ringkasan Fiqh shalât - MRKR

50

۞Sunnah hai'at - يئـة' -(sunnah-sunnah shalât yang tidak perlu ditebus dengan sujud

sahwi). Seperti : mengangkat tangan ketika takbir, meletakkan tangan kanan di atas punggung tangan kiri, membaca doa iftitah, membaca ta'awwudz sebelum al fatihah.Takbir-takbir

perpindahan (Intiqal), membaca tasbih-tasbih, membaca tasmi' ( ا!ل�ــه لمــن حمــده ســمع ),

meletakkan tangan di atas kedua paha ketika duduk, duduk iftirasy, duduk tawarruk dan salam yang kedua. Sunnah-sunnah shalât menurut pendapat Imam Madzhab : 1. Mengangkat kedua tangan sehingga sama tinggi ujung jari dengan telinga dan telapak tangan setinggi bahu serta keduanya menghadap kiblat pada keadaan sebagai berikut: Ketika ber-takbiratul Ihrâm. Ketika ruku'. Ketika bangkit dari ruku'. Ketika berdiri setelah rakaat kedua ke rakaat ketiga (dari tasyahud awwal), untuk

soal ini Imam Nawâwî membolehkan tanpa mengangkat tangan.

Perbedaan: seberapa tinggi mengangkat kedua tangan ketika takbiratul Ihrâm:

Pertama, Mengangkat kedua tangannya sampai sejajar dengan kedua bahu ,berdasarkan hadîts Ibnu Umar �:

�ه عنهما قال ر+�یت رسول ا!ل�ه �ه -ن عمر رضي ا!ل ــلاة رفــع یدیــه ح1�ــى �كــو� عن عبد ا!ل ذا قام فــي الص�4ا

كوع ویقول سمع ا!ل�ــه لمــن وكان یفعل ذ!ك �@ن �كL �ذو م[كhیه ذا رفع ر+>سه من الر�4كوع ویفعل ذ!ك ا ر !لر�

جود حمده ولا یفعل ذ!ك في الس�Bahwasanya Nabi apabila beliau melaksanakan shalât, beliau mengangkat kedua tangannya sampai sejajar dengan kedua bahu beliau, kemudian membaca takbir. Apabila beliau ingin ruku' beliau pun mengangkat kedua tangannya seperti itu, dan

begitu pula kalau beliau bangkit dari ruku'. Membaca ه لمن حمده� Muttafaq) " سمع ا!ل

'alaih) Kedua, Mengangkat kedua tangannya sampai sejajar dengan telinga, berdasarkan riwayat Mâlik bin Al Huwayrits �,

�ه ذا كL�ر رفع یدیه عن ما!ك -ن الحو�رث +�ن� رسول ا!ل4ذا ركع رفــع یدیــه ح1�ى یwاذي بهما +kذنیه كان ا

4وا

كوع فقال سمع ا!ل�ه لمن حمده فعل م¡ل ذ! ح1�ى ذا رفع ر+>سه من الر�4 ك یwاذي بهما +kذنیه وا

"Bahwasanya Nabi apabila beliau bertakbir untuk shalât, beliau mengangkat kedua tangannya sampai sejajar dengan kedua telinga beliau. Apabila beliau ingin ruku' beliau pun mengangkat kedua tangannya seperti itu, dan begitu pula kalau beliau bangkit dari ruku', beliau membaca ھ لمن حمده

(Shahîh Muslim) " سمع الل

Untuk menyelesaikan persoalan ini, ushûl fiqh membolehkan dilakukannya kompromi (Al Jama’ wal taufiq) sehingga riwayat yang nampaknya berbeda, dapat diamalkan secara bersamaan, hal ini dinyatakan dalam Al Taqyid wa al Idlah Syarh Muqaddimah Ibn Shalah. Jalan komprominya dipopulerkan oleh Imam Nawâwî هرحمه ا!ل ; ujung jari

kedua tangan disejajarkan dengan ujung telinga, ibu jari disejajarkan pangkal (bagian bawah) daun telinga, serta telapak tangan disejajarkan dengan pundak. Ini juga yang dianut oleh madzhab Mâlikî dan Syâfi’î .

Page 52: Ringkasan Fiqh shalât - MRKR

51

Bahkan cara ini juga dilakukan oleh Ar Rāfi’i, Al Ghazālī dan Al Baghawī. Dan menurut Ibn Hajar Al Asqalānī (pengarang Bulûghul Marām dan Fath al Barī) hal ini sesuai dengan hadîts Wā’il bin Hujr �:

�ه +�بصر الن�بــ(ي� ــلاة رفــع یدیــه ح1�ــى كانتــا بحیــال � ــ عن عبد الجب�ار -ن وائل عن +�بیه +�ن لــى الص�4@ن قــام ا

بهامKه +kذنیه ثم� كL�ر 4M یه و�اذىhم[ك

"Bahwasanya saya melihat Nabi apabila beliau melaksanakan shalât, beliau mengangkat kedua tangannya sampai sejajar dengan kedua bahu beliau, dan ibu jarinya sejajar dengan kedua telinga beliau (Sunan Abû Dâwud)

Adapun ketika berdiri untuk rakaat ketiga adalah mengangkat tangan sambil bertakbir, hal ini berdasarkan Hadîts Ibn Shalih :

نq@ن بعد ال�لوس قال عبد ا!ل�ه -ن صالح عن ا ر �@ن یقوم من الث Lیث .... و�ك�ل! ...dan beliau membaca bertakbir apabila berdiri dari rakaat kedua beliau mengangkat kedua tangannya. (Hadîts riwayat Bukhârî secara mauquf, Al-Hafidz Ibnu Hajar berkata: riwayat ini dihukumi marfû'). Dan Ibnu Umar menisbatkan hal tersebut kepada Nabi . Hanbalî berpendapat: seseorang dapat memilih antara mengangkatnya hingga mencapai anak telinga dan menyejajarkannya dengan pundak. Hanafî berpendapat: bahwa laki-laki hendaknya ibu jari tangannya disejajarkan dengan telinga, sedangkan wanita hanya mengangkatnya sejajar dengan pundak, karena yang demikian lebih menutup auratnya. Ibnu Qudamah berpendapat: ujung-ujung jarinya diusahakan mencapai tempat-tempat tersebut. Mâlikî berpegang kepada cara yang demikian. Para fuqahâ’ menambahkan: Disunnahkan menyondongkan ujung-ujung jari/kedua telapak tangan dihadapkan ke arah kiblat karena kemuliaannya.

Bagaimana bentuk telapak tangan ketika takbir? Hadîts :

�ه عن +�ب(ي هر�رة قال كا لاة �شر +�صابعه ن رسول ا!ل ذا كL�ر !لص�4 ا

Dari Abû Hurairah � berkata: adalah Rasûlullâh apabila bertakbir untuk Shalât, beliau merenggangkan jari-jarinya. (Sunan Tirmidzî, Sunan al Baihaqī Kubrâ)

تقhل بباطنهمــا رسول ا!ل�ه عن ا-ن عمر ، قال : قال Dــلاة فل@رفــع یدیــه ، ول@ســ تف1ح +��ــدكم الص� Dذا اســ4: ا

ن� ا!ل�ه +�مامه 4 القhلة ، فا

Dari Ibn Umar مارضي ا!له عنه berkata: Rasûlullâh bersabda: "apabila di antara kalian memulai

untuk Shalât, maka angkatlah kedau tanganmu serta telapaknya hadapkan ke Qiblat, karena sesungguhnya Allâh berada di“depan“nya." (Mu’jam Kubrâ Thabrânî)

Page 53: Ringkasan Fiqh shalât - MRKR

52

Illustrasi saja, da-lam

prakteknya punggung tangan harus tertutup

Kapan mulai mengangkat tangan? Rasûlullâh mengangkat tangan, ketika atau bersamaan dengan takbir, atau dalam Al Umm, Imam Syâfi’î رحمھ اللھ mengatakan:Bersamaan dengan pemulaan takbir dan

mengembalikannya dari mengangkat bersamaan dengan selesainya Takbir

2. Meletakkan tangan kanan di bawah dada dan di atas pusar. Sabda Rasûlullâh : Dalam Shahîh Muslim:

حرام Mب وضع یده ال 4ته یمنى �لى ال@سرى بعد �كh@رة الا ــجود �لــى تحت صدره فوق ســر� ووضــعهما فــي الس�

�ه ر+�ى الن�ب(ي� ا��رض �ذو م[كhیه عن +�بیه وائل -ن حجر نلا ام حKال +kذنیه ثــم� + التحــف بثوبــه ثــم� رفع یدیه �@ن دXل في الص� وضــع یــده الیمنــى �لــى ة كL�ر وصف هم�

ــا قــال ســمع ال@سرى ا +�راد +�ن �ركع +�خرج یدیه من الث�وب ثم� رفعهما ثم� كL�ر فركع فلم� �ــه فلم� لمــن حمــده رفــع ا!لا س�د س�د ب@ن كف�Kه یدیه فلم�

Saya pernah melihat shalât bersama Nabi , ....kemudian meletak-kan tangan kanan di atas tangan kiri dalam shalât." (HR. Muslim dalam Bab meletakkan tangan kanan di atas tangan kiri sesudah Takbiratul Ihrâm, meletakkan keduanya di bawah dada dan di atas pusar). Dan berdasarkan hadîts Wâ’il bin Hijr �:

�یت مع رسول ا!ل�ه ال@سرى �لى صدره ، وضع یده الیمنى �لى یده عن وائل -ن حجر قال : صلSaya pernah shalât bersama Nabi , kemudian beliau meletakkan tangan kanannya di atas tangan kiri di atas dadanya. (HR. Ibnu Khuzaimah, shahîh) Empat imam telah ijmâ’ bahwa meletakkan tangan kanan di atas tangan kiri di dalam shalât, hukumnya sunnah. Hanya saja dalam riwayat dari Mâlik (madzhab Mâlikî), dan merupakan riwayat yang masyhur (terkenal), bahwa beliau berpendapat : Tangan diulurkan ke bawah (tidak bersedekap). Mereka berbeda pendapat mengenai letak kedua tangan: Abû Hanifah (Hanafî ) berpendapat : Di bawah pusat (pusar). Menurut Mâlikî dan Syâfi’î : Di bawah dadanya di atas pusat. Dari Ahmad bin Hanbal (Hanbalî ) diperoleh dua riwayat. Yang lebih masyhur, yaitu

yang dipilih Al-Khuruqî, seperti pendapat Hanafî (di bawah pusat).

Page 54: Ringkasan Fiqh shalât - MRKR

53

(Madzhab Hanafî dan Hanbalî) Tangan diletakkan di bawah Pusat

(Madzhab Mâlikî dan Syâfi’î ) Tangan diletakkan dibawah dada di atas pusat

Menurut Al-Auzâ'î (pengikut madzhab Mâlikî): "boleh memilih antara meletakkan tangan kanan di atas tangan kiri, dan mengulurkan tangan ke bawah."

http://taghrib.li-alwahdah.al-ummah.blogspot..com

Penganut Wahabi/"Salafî" meletakkan tangan kanan di atas tangan kiri di dada.

Cara sedekapnya Wahabi/"Salafî"

3. Membaca do'a iftitah sesudah takbiratul Ihrâm sebelum membaca al Fatihah (namun menurut Madzhab Mâlikî – tidak sunnah).

Ada beberapa contoh do'a iftitah:

ب ــ- 1 �ــوب ا�� �هم� اغسل خطاoي بماء الث�لج والLرد ونــق قلبــ(ي مــن الخطــاo كمــا ینق�ــى الث �س ا!ل یض مــن الــد� وM�د ب@[ي وب@ن خطاoي كما �Mدت ب@ن المشرق والمغرب

Ya Allâh bersihkanlah aku dari segala dosa-dosaku sebagaimana pakaian yang putih bersih dari noda. Ya Allâh, basuhlah dosa-dosaku dengan air, es dan embun. Ya Allâh, jauhkanlah jarak antara aku dan dosa-dosaku sebagaimana Engkau jauhkan jarak antara timur dan barat. (Muttafaq 'alaih)

Page 55: Ringkasan Fiqh shalât - MRKR

54

2 - Dله �@رك س4ك ولا ا �هم� وبحمدك تبارك اسمك وتعالى Uد� بwانك ا!ل

"Maha Suci Engkau ya Allâh, dan dengan memujiMu. Maha Suci namaMu dan Maha Tinggi kebesaranMu, dan tiada Ilah selain Engkau." (HR. Muslim secara mauquf -terhenti sanadnya kepada Umar bin Khattab dan diriwayatkan oleh Abû Dâwud, At-Tirmidzî dan Al-Hakîm secara marfû’ -bersambung sanad-nya hingga kepada Nabi -, shahîh)

Menurut Imam Syâfi’î berdasarkan riwayat yang shahîh dari ‘Âlî bin Abî Thâlib � (sebagaimana dalam Musnad as Syâfi’î I/35 dan juga Shahîh Muslim (no 534) dan dalam Kutubus Sittah /Imam-imam hadîts yang berjumlah 6 orang), do’a iftitah :

ن� صلاتي و�ســك - 3 4ماوات وا��رض ح[یفا وما +�� من المشرك@ن ا هت وجه(ي !ل�ذي فطر الس� ي ومحیــاي وج�

�ه رب العالم@ن لا شریك له وبذ!ك +kمرت و+�� من المسلم@ن ومماتي !ل Imam Syâfi’î رحمه ا!له dalam Musnad-nya berkata:

أنــا أول المســلم ن « قــال أحــد'ما : أنــا مــن المســلم ن « ، وقــال الآخــر : » و قــال الشــاف�Q ر�ــ�� اللــھ عنــھ : ثــم يقــرأ » و

�ـــا قـــال : �و3قـــول مـــن خلفـــھ ، إن 5ــاـن إمامـــا » آمـــ ن « القـــرآن بـــالتعوذ ثـــم ( ¬ســـم اللـــھ الـــرحمن الـــرحيم ..) . فـــإذا أ±ـــى عل

رفع صوتھ ح�� fسمع من خلفھ إذا 5ان يج�ر بالقراءةيMenurut Imam Nawâwî رحمه ا!له ( Al Adzkâr, 36) dan Syaikh Al Bâjûrî (Hâsyîyah al Bâjûrî I/166)

Sunnah hukumnya menggabungkan doa Iftitah

ماوات وا��رض. - 4 هت وجه(ي !ل�ذي فطر الس� .dan وج� oاغسل خطا �هم� �هم� M�د ب@[ي وب@ن خطاoي كما �Mدت ب@ن المشرق والمغرب , ا!ل ي بماء الث�لج والLرد ا!ل

�س ونق قلب(ي من الخطاo كما ینق�ى الث�وب ا��بیض من الد�

4. Membaca isti'adzah atau Ta'awwudz Hal ini berdasarkan firman Allâh :

جKم یطان الر� �Dه من الش� تعذ M!ل Dن فاس ذا قر+>ت القر+4 فا

Maka apabila kamu membaca Al-Qur'an, maka hen-daklah kamu memohon perlindungan kepada Allâh dari setan yang terkutuk. (QS An-Nahl (16): 98)

Para Imam madzhab berselisih tentang membaca ta'awwudz: ( مKج یطان الر� �Dه من الش� (+�عوذ M!ل

sebelum qira'ah (membaca surat). Menurut Abû Hanifah (Hanafî ), ta'awwudz itu diucapkan pada rekaat pertama. Menurut Asy-Syâfi’î , pada tiap-tiap rekaat. Menurut Mâlikî, dalam shalât wajib tidak ada ta'awwudz. Diriwayatkan dari An-Nakhaî dan Ibnu Sirin, bahwa ta'awwudz itu sesudah membaca surat.

5. Membaca Âmîn setelah membaca surat Al-Fatihah. Hal ini di-sunnahkan kepada setiap orang yang shalât, baik sebagai imam maupun ma'mum atau shalât sendirian. Hal ini berdasarkan hadîts Rasûlullâh :

�ه من وافق تp>مKنه تp>م@ن الملا¬كــة غفــر لــه مــا تقــد� عن +�ب(ي هر�رة +�ن� الن�ب(ي� ن4[وا فا مام ف�pم

4ن الا ذا +�م�

4م قال ا

من ذنبه Apabila imam membaca maka bacalah Âmîn. Maka sesungguhnya barangsiapa yang bacaan Âmîn-nya berbarengan dengan Âmîn -nya Malaikat, maka akan diampuni segala dosa-dosanya yang terdahulu. (Shahîh Bukhârî dan Muslim)

Dan sebelum membaca م@ن+ disunnahkan pula untuk membaca ( �رب اغفرلي ولولدي)"Rabbighfirlî

waliwâlîdayya"

@ن } فقولوا +م@ن عن +�ب(ي هر�رة +�ن� رسول ا!ل�ه ال مام{ �@ر المغضوب �لیهم ولا الض�4ذا قال الا

4 قال ا

Page 56: Ringkasan Fiqh shalât - MRKR

55

Cara membaca boleh salah satu dibawah ini:

۞ Shîghat Ta’mîn yang disyariatkan [الصيغة المشروعة للتأم ن]

Bacaan Âmîn, bermakna istajib atau kabulkanlah. Sunnah hukumnya, diucapkan ketika shalât (sesudah membaca surat Alfatihah) atau di luar shalât (ketika mengaminkan doa). Rasûlullâh bersabda:

Q من قراءة سور Îرا

د ف

م¥� جGHيل آم ن عن

حة عل ات

ة الف

“Jibril mengajarkan kepadaku agar membaca amin ketika aku selesai membaca surat Al-Fatihah.”

Imam Al-Baihaqî dan ulama’ lainnya mengatakan tentang bacaan Âmîn saat shalât jahrîyah yaitu imam membacanya dengan jelas (dapat didengar oleh makmum), sebagaimana riwayat dari Wail bin Hujr �, adalah Rasûlullâh jika selesai membaca :

ن آل الض

ولا

beliau mengucapkan amin dengan mengeraskan suaranya dan ma’mum mengucapkan juga bersamaan dengan imamnya.

��ن الن

أ

)ي 'ر3رة

د � عن أ

ق

ھ ما ت

فر ل

ة غ

ئك

ملا

ال

م ن

أ

ھ ت

مين

أ

ق ت

اف ھ من و

إن

وا ف

ن م

أ

مام ف

ن الإ م

ا أ

ال إذ

بھ ق

ن

م من ذ

Dari Abû Hurairah �, bahwa Rasûlullâh bersabda : Apabila imam membaca maka bacalah Âmîn. Maka sesungguhnya barangsiapa yang bacaan Âmîn-nya berbarengan dengan bacaan Âmîn-nya Malaikat, maka akan diampuni segala dosa-dosanya yang terdahulu. (HR. Bukhârî dan Muslim).

Dalam Kitab Al-Adzkar An-Nawâwî, 1/120: حب لھ أن يقول: "آم ن"،والأح

حة است من الفات

رغ

حة QR 'ذا الباب كث Gة مش�ورة QR كث Gة فضلھ وعظيم فإذا ف اديث ال¨`ي

م<�ا، وفيھ أر)ع لغات: أف¨`�ن وأش�ر'ن: "آم ن" حب ل�ل قارئ، سواء 5ان QR الصلاة، أم خارجا أجره، و'ذا التأم ن مست

بالمد وال8شد . يدبالمد والتخفيف؛والثانية بالقصروالتخفيف؛ والثالثة بالإمالة؛ والرا¬عة

Maka jika sesudah membaca surat alfatihah disunnahkan untuk mengucapkan (آم ن)

Âmîn. Dan hadîts-hadîts shahîh terkait masalah ini banyak yang masyhur mengenai keutamaan dan besarnya pahala. Dan mengucapkan Âmîn disunnahkan baik dalam shalât maupun di luar shalât. Dan ada empat macam lughâh (dialek): 1. Âmîn ( م نآ ) dengan Mad (panjang) dan ringan (Â: panjang 2 harakat, minimal:panjang

4–6 harakat) ini bacaan Âmîn yang paling fasih. 2. Amin ( من

.dibaca pendek dan ringan (أ

3. Amen, dibaca dengan imâlah (bacaan yang condong atau miring dari harakat fathah ke harakat kasrah).

4. Âammîn (آم ن) dengan mad (panjang) dan di-tasydîd.

Imam Nawâwî dalam At-Tibyân fî Adâb Hamalatil Qur’ân 105: اللغة من a`ن العوام وقال جماعة من و'ذه الرا¬عة غر3بة جدا فقد عد'ا أكGÔ أ'ل ..... والرا¬عة ب8شديد الميم مع المد

أw`ابنا من قال�ا QR الصلاة بطلت صلاتھImam Nawâwî juga menjelaskan bahwa shîghat atau lughât yang keempat yaitu Âammîn ( نم آ ) dengan mad (panjang) dan di-tasydîd, adalah sangat aneh dan banyak

dari ahli bahasa arab ini adalah lahn/kesalahan yang sering terjadi, maka para ulama’ berpendapat: “Siapa yang membaca seperti itu dalam dalam shalât maka batal shalâtnya.”

Terkait bacaan Âmîn, ada 5 (lima) lughât/bahasa atau dialek: رجل إذا قال آم ن بمد ال�مزة و تخفيف الميم مع الإمالة و عدم�ا و بالقصر قولھ أي قول آم ن)تفس G للتأم ن يقال أمن ال(

)١/١٧٤حاشية الباجوري (...±شديد الميم مع المد و القصر ففيھ خمس لغات لكن المد أف¨§ و يجوز

Page 57: Ringkasan Fiqh shalât - MRKR

56

Ada 5 bahasa / dialek dalam Âmîn: 1. Amen dengan menggunakan imâlah 2. Amin tanpa menggunakan imâlah 3. Amîn dengan men-takhfîf hamzah (-A-dibaca ringan dan pendek) 4. Âammîn dengan mentasydîd mim 5. Amin dengan hamzah pendek dan men-takhfîf mim. (Hâsyîyah al-Bâjûrî, 1/174).

Bahasa atau dialek tersebut semuanya bermakna istajib atau kabulkanlah, kecuali Âammîn.

Saat berjamaah Shîghat Âmîn dibaca jahr atau sirr, Imam madzhab berbeda pendapat:

Cabang Masalah

Hanafî/ ����ـــ�� Mâlikî/ ��ـــ� �� Syâfi’î/ ��ـــ� �� Hanbalî/ ������ـــ�

Membaca Âmîn sesudah membaca Al-fâtihah dalam shalât

Dengan berbisik (Sir). tidak dikeraskan baik oleh Imam atau Makmum

Makmum mengeraskan bacaan “Âmîn” dan Imam hendaknya ikut mengeraskan bacaan “Âmîn” itu, sehingga terdengar juga oleh makmum. Menurut Ath-Thabarî dan Ibnu Hubaib; imam tidak perlu mengucapkannya secara jahr/keras, demikian juga pandangan kalangan Kufiyyin/ulama’ Kufa dan Madaniyyin/ulama’ Madinah.

6. Membaca surat atau ayat setelah membaca surat Al-Fatihah. Dalam hal ini cukup dengan satu surat atau beberapa ayat Al-Qur'an pada dua rakaat shalât Subuh dan dua rakaat pertama pada shalât Dhuhur, Ashar, Maghrib dan Isya. Hal ini berdasarkan hadîts Rasûlullâh :

�ه -ن +�ب(ي ق1ادة عن +�بیه قال كان الن�ب(ي� هــر بفاتwــة عن عبد ا!ل كعت@ن اk�ولیــ@ن مــن صــلاة الظ� یقر+k فــي الــر��انیة وrسمع ا�یة ر في الث ل في اk�ولى ویقص +�حKا� الك1اب وسورت@ن یطو

Rasûlullâh ketika shalât dhuhur membaca Al-Fatihah dan dua surat pada dua rakaat pertama, dan beliau membaca Ummul Kitab saja pada dua rakaat berikutnya dan terkadang beliau perdengar-kan ayat (yang dibacanya) kepada para sahabat. (Muttafaq 'alaih)

Urutan membaca surat Al qur'an ketika Shalât Boleh membaca surat apa saja dari Al quran setelah membaca Al- fatihah asalkan kita mengetahui kaidah-kaidah sebagaimana dalam Kitab Fiqh Islâmî wa Adillatuhu – Dr. Wahbah Zuhailî dan Kitab Fiqh Madzaibul Arba’ah : - Makruh: dalam shalât membaca surat atau ayat pada raka'at kedua lebih panjang bacaannya dari pada raka'at pertama. Misalnya pada rakaat pertama ia membaca surat Al-lnsyirah sedangkan pada rakaat kedua membaca surat Ad Dhuha; ataupun pada rakaat pertama ia membaca:

)قد +فلح من زكاها( sedangkan pada rakaat kedua ia membaca: )اهاwوالشمس وض( dan lain

sebagainya. . . .

Mengulang-ngulang bacaan surat dalam satu rakaat atau dalam dua rakaat, yang demikan itu juga di-makruh-kan baik dalam shalât fardlu dan shalât nafilah, jika ia hafal surat lainnya. Hal ini makruh menurut pendapat Mâlikî dan Syâfi’î . Menurut pendapat Hanafî dan Hanbalî : Hanafî berpendapat bahwa hal ini dimakruhkan dalam kaitannya dengan shalât fardlu. Sedangkan dalam shalât nafilah maka tidaklah dimakruhkan mengulang ulang bacaan surat. Hanbalî berpendapat bahwa yang demikian itu tidak makruh.Yang dimakruhkan tidak lain hanyalah mengulang ulangi bacaan Fatihah dalam satu rakaat serta membaca keseluruhan

Page 58: Ringkasan Fiqh shalât - MRKR

57

Al Qur'an dalam satu shalât fardlu, bukan dalam shalât nafilah.

- Makruh hukumnya membaca dengan urutan surat terbalik pada susunan mushaf. Hal ini disepakati oleh para fuqahâ’, seperti pada raka'at pertama membaca surat Al-Ikhlash dan pada raka'at kedua membaca surat Al- Lahab atau Al-Kafirun, karena yang dicontohkan oleh Rasûlullâh dalam raka'at kedua membaca surat setelah surat yang dibacanya pada raka'at pertama dalam susunan Al-Qur'an. Diriwayatkan dari Ibnu Mas’ûd � bahwa ia ditanya tentang orang yang membaca Al-Qur'an dengan urutan terbalik. Ia menjawab: "Orang itu terbalik hatinya." Abû Ubaidah menafsirkan kasus yang ditanyakan: "Seperti membaca suatu surat lalu membaca surat lain pada urutan yang setelahnya dalam Al-Qur'an."

7. Mengeraskan bacaan Al-Fatihah dan surat pada waktu shalât jahrîyah (yang dikeraskan bacaannya) dan merendahkan suara pada shalât sirrîyah (yang dipelankan bacaannya). Yaitu mengeraskan suara pada dua rakaat yang pertama pada shalât Maghrib dan Isya dan pada kedua rakaat shalât Subuh. Dan merendahkan suara pada yang lainnya. Sebagaimana contoh dari Rasûlullâh , baik secara perkataan maupun perbuatan. Adapun pada shalât sunnah, maka dianjurkan untuk merendahkan suara apabila dilaksanakan pada siang hari dan disunnahkan mengeraskan suara jika shalât sunnah itu dilaksanakan pada waktu malam hari, terkecuali apabila takut mengganggu orang lain dengan bacaannya itu, maka disunnahkan baginya untuk merendahkan suara ketika itu. Dalilnya dalam kitab Al Muhadzdzab-Imam Abî Ishâq Assyîrâzî, juz I/ 74

حب للإمــام أن يج�ــر بــالقراءة RــQ الصــبح والأوليــ ن مــن المغــرب والأوليــ ن مــن العشــاء والــدليل عليــھ و�ســت

حب للمـــأموم أن fســـر لأنـــھ إذا ج�ـــر نـــازع الإمـــام RـــQ القـــراءة، ولأنـــھ مـــأمور نقـــل اyaلـــف عـــن الســـلف، و�ســـت

حب للمنفـــرد أن يج�ـــر فيمـــا يج�ـــر فيـــھ الإمـــام بالإنصـــات إ{ـــ$ الإمـــام، وsذا ج�ـــر لـــم يمكنـــھ الإنصـــات. و�ســـت

لأنــھ لا ينــازع غ ــGه، ولا 'ــو مــأمور بالإنصــات إ{ــ$ غ ــGه ف�ــو 5الإمــام، وsن 5انــت امــرأة لــم تج�ــر RــQ موضــع فيــھ

ــــQ المغـــــرب ـــة Rـ ـــر والثالثــ ـــQ الظ�ـــــر والعصــ حب الإســـــرار Rــ ــا. و�ســـــت �ـــÚ ــ£ن ـــؤمن أن يفتـــ ــھ لا يــ ــال أجانـــــب، لأنـــ رجـــ

ــھ نقــــل اyaلــــف عــــن ا ــھ الإمــــام الشــــاف�Q لأ)ــــي والأخــــر3 ن مــــن العشــــاء الأخ ــــGة لأنــ ــQ فقــ لســــلف, (الم�ــــذب Rــ

إÛ`اق إبرا'يم الش Gازي)Dan disunnahkan bagi imam, membaca jahar pada shalât Shubuh dan pada dua rakaat pertama dari pada Maghrib dan dua rakaat pertama dari pada Isya'. Dan dalil atasnya adalah naqal-nya (naqli) ulama khalaf dari ulama salaf. Dan disunnahkan bagi ma'mum bahwa ia membaca sir, karena jika ia jahar, bertentanganlah bacaannya dengan bacaan imam, dan karena ma'mum diperintahkan diam memperhatikan imam. Dan jika ia jahar, tentu tak mungkin diam. Dan disunnahkan bagi munfarid (shalât sendirian) bahwa ia membaca jahar pada rakaat-rakaat yang di-jahar-kan oleh imam karena ia tidak bertentangan kepada orang lain dan dia tidak diperintahkan untuk diam memperhatikan sesuatu, maka ia seperti imam. Dan jika itu laki-laki yang hajat tidaklah men-jahar-kan shalâtnya, karena ia tidak diamankan tetjadi godaan dengan sebabnya. Dan disunnahkan sir (pelan) pada shalât Dhuhur dan Ashar dan (rakaat) yang ketiga Maghrib dan dua (rakaat) yang akhir dari Isya', karena begitulah naqal Ulama Khalaf dari Ulama Salaf.

Page 59: Ringkasan Fiqh shalât - MRKR

58

Hukum waqaf pada ( م�� عل

عمت

an'amta alayhim- di Surat Al-fatihah dan membaca - (أ

Basmalah Jahr (keras) atau Sirr (pelan). Hukum membaca basmalah, ini terkait dengan "berapa ayat kah al fatihah itu?" Maksud

Basmalah sini adalah membaca : مKسم ا!له الرحمن الرح� Para ulama sepakat bahwa basmalah bagian dari Surat An-Naml(27): 30:

حKم حمن الر� �ه الر� �ه �سم ا!ل ن4�ه من سلیمان وا ن

4 ا

Sesungguhnya surat itu, dari SuIaiman dan Sesungguhnya (isi)nya: "Dengan menyebut nama Allâh yang Maha Pemurah lagi Maha Penyayang.

Para ulama berbeda pendapat perihal hukum membaca Basmalah selain Surat An-Naml (27): 30 yaitu pada setiap awal surat, baik surat Al-Fatihah atau surat yang lain. Apakah Basmalah itu bagian dari surat atau suatu ayat (setiap awal surat) atau hanya untuk pemisah antar surat?. Ibnu Katsir dalam tafsirnya mengemukakan perbedaan pendapat ulama: 1. Basmalah bagian setiap surat dalam Alquran selain Surat At- Taubah (9). Ulama yang berpendapat hal ini adalah dari kalangan sahabat adalah Ibnu ‘Âbbas, Ibnu Umar, Ibnu Zubair. Abû Hurairah dan Sayyidina Ali. Dari kalangan tabi'in : Atha, Thawus, Sa'id bin Jubair, Makhul, Al-Zuhri, Abdullâh bin Al-Mubarak, Asy- Syâfi’î , dan Ahmad bin Hanbal. Oleh karena itu menurut madzhab Syâfi’î dan Hanbalî : membaca Basmalah harus jahar (dikeraskan/dibunyikan)

2. Basmalah tidak merupakan bagian dari Surat Al-Fatihah dan tidak pula bagian dari setiap surat, ini adalah pendapat Imam Mâlik, Abû Hanifah dan pengikutnya. Dianggap hanya sebagai pemisah antar satu surat dengan surat lain. Oleh karena itu menurut madzhab Mâlikî dan Hanafî : Basmalah dibaca sir (tidak dikeraskan/pelan atau berbisik)

3. Basmalah adalah bagian dari Surat Al-Fatihah, akan tetapi bukan bagian dari surat-surat yang lain, dan bukan dari permulaan setiap surat yang lain menurut madzhab Asy-Syâfi’î . Menurut Abû Dâwud: Basmalah adalah ayat yang terpisah bukan termasuk bagian dari setiap surat. Terjadinya perbedaan pendapat di atas karena didasari adanya beberapariwayat hadîts Shahîh yang berbeda, bahwa Nabi membaca Basmalah dalam surat Al-Fatihah (seperti periwayatan Ibnu Khuzaimah dalam Shahîhnya dan Ad-Dâruquthnî) dan ada pula beberapa periwayatan bahwa Nabi tidak membaca Basmalah dalam surat Al-fatihah. Masing masing pendapat mempunyai dasar/dalil.

Surat Al-fatihah memiliki banyak nama di antaranya Umm Al-Kitab (Induk Alquran) dan Al-Matsani (dibaca berulang ulang dalam shalât). Dalam Surat Al-Hijr (15): 87

ن العظیم بعا من المثاني والقر+ Dت@[اك س ولقد +

Dan Sesungguhnya kami Telah berikan kepadamu tujuh ayat yang dibaca berulang-ulang[*] dan Al Quran yang agung. [*] yang dimaksud tujuh ayat yang dibaca berulang-ulang ialah surat Al-Fâtihah yang terdiri dari tujuh ayat. sebagian ahli tafsir mengatakan tujuh surat-surat yang panjang yaitu Al-Baqarah, Ali Imran, Al-Mâidah, An-Nissa', Al 'Arâf, Al An'âm dan Al-Anfâl atau At-Taubah.

Para ulama sepakat bahwa jumlah ayat Surat Al-Fatihah sebanyak 7 (tujuh) ayat. Hanya penghitungannya yang berbeda. Pendapat pertama: yang menghitung basmalah sebagai bagian dari Surat Al-Fatihah (sebagai ayat pertama), dan ayat ketujuh atau terakhir adalah:

@ن ال �ذ�ن +�نعمت �لیهم �@ر المغضوب �لیهم ولا الض� صراط ال

Page 60: Ringkasan Fiqh shalât - MRKR

59

Tetapi sebaiknya di-washal-kan (disambung) sampai akhir ayat (tidak boleh waqaf pada لــیهم�

).Dengan alasan tidak ada tanda waqaf dan لــیهم�….. bukan akhir ayat. Bagi yang waqaf pada

kata tersebut disunnahkan mengulanginya untuk di-washal-kan kepada kalimat berikutnya sebagaimana layaknya pengulangan jika waqaf tidak pada tempatnya karena tidak cukup nafas. (Fathul Mu'în -Al-Malibarî I: 147)

Pendapat kedua: Pendapat yang mengatakan, bahwa basmalah tidak merupakan bagian dari Surah Al-Fatihah,

ayat pertama الحمد !له dan ayat ke-enam:

�ذ�ن +�نعمت �لیهم صراط الAyat ketujuh:

@ن ال �@ر المغضوب �لیهم ولا الض�

Surat-surat Alqur’ān yang dibaca sesudah Al-fatihah dalam Shalât

Hadîts nabi dari sahabat Abu Qatâdah �,

هر بفاتwة الك1اب، ان الن�ب كعت@ن ا�kولی@ن من صلاة الظ� �م یقر+k في الر� ل (ي� صل�ى ا!له �لیه وسل وسورت@ن یطو�انیة وrسمع ا�یة +�حKا�، وكان یقر+k في العصر ب ر في الث فاتwة الك1اب وسورت@ن، وكان في ا�kولى، ویقص

�انیة ر في الث بح، ویقص كعة ا�kولى من صلاة الص� ل في الر� ل في ا�kولى، وكان یطو یطو“Nabi membaca Al-Fatihah di dua rakaat pertama shalât Dhuhur dan juga membaca dua surat yang panjang pada rakaat pertama dan pendek pada rakaat kedua dan terkadang hanya satu ayat. Beliau membaca Al-Fatihah di dua rakaat pertama shalât ashar dan juga membaca dua surat dengan surat yang panjang pada rakaat pertama. Beliau juga biasanya memperpanjang bacaan surat di rakaat pertama shalât subuh dan memperpendeknya di rakaat kedua” (HR.Bukhârî 759, Muslim 451). Para sahabat sepakat bahwa disunnahkan membaca Al-Qur’ān setelah Al-Fatihah pada dua rakaat pertama di semua shalât. Ibnu Sîrîn mengatakan,

لا اعلم�م يختلفون QR 'ذا ) 79ص 7ج - فتح الباري شرح w`يح البخاري لابن رجب (

“Saya tidak mengetahui mereka (para sahabat) berbeda pendapat dalam masalah ini” (lihat juga: Al Mausû’ah al Fiqhiyyah al Kuwaitiyyah (27/90), al Fiqh al Islami wa Adillatuhu (2/883). Namun para ulama’ berbeda pendapat mengenai bacaan Al-Qur’ān pada rakaat ketiga atau keempat. Ada ulama yang membolehkan untuk membaca surat atau ayat setelah Fatihah pada raka’at ketiga dan keempat. Menurut Imam Asy-Syâfi’î dalam kitab al Umm, ini hukumnya mandub (disukai). Sedangkan mayoritas ulama mazhab, termasuk Imam Syâfi’î dalam qaul Qadim-nya menyatakan tidak ada kesunnahannya. (Al Majmû’ Asy Syarh al Muhadzdzab (3/386),

Keterangan penjelasan : Mandûb dan Sunnah

فق"! : بالاصطلاح ال

ة ن لا : الس و

ة : أ ن بالس

ة

ق

متعل

ام ال

ح�

ة : - الأ

6نابل

ة وا7 افعي

عند الش

ة ن ق الس

لط

ت

ل �

، ف

ة

Cادف

اظ

ف

ل

"! أ

ع ، ف و

ط مستحب ، والت

مندوب ، وال

K ال

Lبا ع

لوب ط

لمط

فعل ال

عن ال

مRSا عبارة

ب فيھ مرغ

ل وال

ف و الن

6سن أ

Vا ا7

ل

بناYي : ومث

ال ال

C جازم . ق غ

Page 61: Ringkasan Fiqh shalât - MRKR

60

Hukum-hukum yang terkait dengan sunnah: Pertama: Sunnah menurut istilah Fiqh sebagaimana pandangan ulama’ Syâfi’îyyah dan Hanabilah (ulama’ kalangan madzhab Hanbalî) bahwa mandûb, mustahab, tathawwu’ adalah lafadh mutaradifah (memiliki arti yang tidak berbeda) yaitu perkara yg dianjurkan untuk dilakukan tapi anjurannya tidak jazim/keras. Al-bunânî berkata: Dan itu semakna dengan (al-hasan) baik atau an-naflu dan al-muraghab fih (yang diinginkan di dalamnya).

م يھ وسل

ھ عل

K الل

Lص !a ب الن

وا : إن واظ

ال

ق

Vا حيث

رادف

Cه ت ن وغ ! حس ghا

ق

ى ال

ف

Vو ون

فعل ف

K ال

مستحب Vو ال

ن ف ت و مر

أ

ة ھ مر

عل

ن ف

أ

l يھ

م يواظب عل

، وmن ل

ة ن شئھ الس

oو ما يpھ و

م يفعل

و ل

، أ

ع . وط Vو الت

وراد ف

تياره من الأ

سان باخ

Yالإ

Dan kecuali Al-Qodli Al-husain dan sebagian ulama’ di luar Syâfi’îyyah mengatakan: Jika Nabi sering melakukan sesuatu tersebut, maka namanya adalah Sunnah. Jika beliau jarang melakukannya, seperti hanya melakukan satu atau dua kali maka namanya adalah Mustahab. Jika Nabi tidak melakukan sama sekali yaitu sesuatu yang timbul dari manusia dengan ikhtiyar-nya dari macam-macam perkara yang datang (ada) maka namanya adalah at-Tathawwu’.””

ة لاث

سام الث

ق

مندوب لعمومھ للأ

ن ومن معھ لل ! حس ghا

ق

ض ال م يتعر

. ول

Al-Qodli al-husain bersama ulama’ yang lain tidak menyinggung untuk kata al-mandûb karena lebih umum dan menyeluruh bahkan mencakup dari tiga bagian (Tathawwu’, Sunnah, Mustahab).

6نابل

ن ا7

دة . إلا أ

ك

C مؤ دة وغ

ك

ن مؤ

xس K

yن إ

x الس

ة

6نابل

وا7

ة افعي

م الش س

ون و�ق

يقول

رك : ة

إن ت

دة

ك

مؤC ال رك غ

ا ت م

روه ، أ

دة مك

ك

مؤ

ن ال

x روه الس

|س بمك

ل

ف

Dan ulama’ Syâfi’îyyah dan Hanabilah membagi sunnah menjadi sunnah muakaddah dan ghairu muakaddah. Namun Ulama’madzhab Hanbalî berpendapat: “makruh hukumnya jika meninggalkan perkara sunnah muakaddah dan tidak makruh jika meninggalkan perkara yang termasuk ghairu muakaddah. (Al-Mausûah alfiqhîyah, juz 25/ 263-264)

Ulama yang membolehkan membaca ayat atau surah di raka’at ketiga dan keempat setelah al Fatihah mendasarkan pendapatnya kepada dalil-dalil berikut ini : Pertama: Hadîts dari Abu Sa’îd al-Khudrî �:

كع هر والعصر , فحزر� قKامه في الر� ت@ن كن�ا نحزر قKام رسول ا!ل�ه صلى ا!له �لیه وسلم في الظ��دة . وفي اk�خری@ن قدر النصف من ذ!ك هر قدر : (الم ت�زیل) الس� . وفي اk�ولی@ن من الظ�

هر اk�ولی@ن من العصر �لى قدر اk�خری@ن من الظ�“Kami memperhatikan berdirinya Nabi ketika shalât Dhuhur dan Ashar. Kami perhatikan berdiri beliau di dua rakaat pertama shalât dhuhur panjangnya sekitar surat as-Sajdah. Sementara di dua rakaat terakhir setengahnya. Sementara di dua rakaat pertama shalât ashar, seperti dua rakaat terakhir shalât dhuhur. (HR. Muslim).

Kedua : diriwayatkan oleh Imam Mâlik dalam al-Muwatha’ dengan sanad yang shahîh bahwa Abu Bakr �, di rakaat ketiga shalât maghrib beliau membaca al-Fatihah lalu dilanjutkan dengan membaca ayat Ali Imran ayat ke-8.

Berkata al Hafizh Ibnu Rajab :

Page 62: Ringkasan Fiqh shalât - MRKR

61

G واز ، فيدل ع%$ أنھ غ�aلبيان ا وحملھ طائفة من أw`ابنا وغ G'م ع%$ أن 'ذا 5ان يفعلھ أحيانا

مكروه ، خلافا لمن كر'ھ

“Sekelompok ulama dari kalangan sahabat kami dan yang selainnya membawakan pengertian hadîts ini bahwa Nabi terkadang melakukannya adalah untuk menjelaskan akan kebolehannya. Dan ini menunjukkan bahwa perbuatan itu (membaca surat/ayat lain pada raka’at ketiga dan keempat) tidaklah makruh, dan hadîts ini menyelisihi orang yang menganggapnya makruh.” (Fath al Bari li Ibn Rajab (7/80). Sedangkan mayoritas ulama’ yang menghukumi tidak sunnah, berpendapat bahwa dalil-dalil diatas tidak bisa dijadikan dalil kesunnahan menambahkan ayat di raka’at kedua dan ketiga, oleh karena: Hadîts dari Abu Sa’îd al-Khudrî �, tidak disebutkan apakah Nabi membaca ayat atau tidak, hanya diduga demikian karena beliau pada raka’at tersebut panjang berdirinya separuh panjang rakaat pertama dan kedua. Hal ini berarti ada ihtimal (kemungkinan lain) bahwa boleh jadi panjang berdirinya beliau karena memanjangkan bacaan al Fatihah, dengan lebih pelan. Sedangkan hadîts yang kedua, yaitu dari Imam Mâlik disanggah oleh Makhul, beliau berkata :

�ما كان د�اء م[ه ن4�ه لم �كن من +�ب(ي -كر قراءة ا ن

4 ا

“Itu bukan bacaan surah Abu Bakar, tapi itu adalah doa yang ia baca.” (Mushanaf Abdul

Razzaq (2/110).

Surat-Surat yang biasa dibaca oleh Nabi Muhammad ketika Shalât Sebagaimana hadîts dari Abû Hurairah �,

: قال سلیمان –كان Mلمدینة –ما ر+�یت +�دا +شDبه صلاة -رسول ا!له صل�ى ا!له �لیه وسل�م من فلان هر ویخفف ا�kخری@ن ویخفف العصر ویقر+k في ا�kولی@ن فصل�یت +� وراءه فكان یطیل في ا�kولی@ن من الظ�

ل بح بطوال المفص� ل وفي الص� ل وفي العشاء بوسط المفص� من المغرب بقصار المفص�“Tidak pernah aku melihat orang yang shalâtnya lebih mirip dengan shalât Rasûlullâh selain Fulan (ketika itu di Madinah). Sulaiman berkata, ‘maka aku pun shalât di belakangnya, ia memperpanjang dua rakaat pertama dalam shalât dhuhur dan memperpendek sisanya. Ia juga memperpendek bacaan shalât ashar, dan pada shalât maghrib membaca surat-surat qishâr mufashal, dan pada shalât Isya’ membaca yang wasath mufashal, dan pada shalât subuh membaca thiwâl mufashal.” (HR. Ibnu Hibbân 1837).

Para ulama’ berbeda pendapat mengenai istilah qisar mufashal, wasath mufashal, dan thiwâl mufashal. Namun di antara pendapat yang bagus adalah yang diungkapkan oleh Ibnu Ma’in, yang dikuatkan oleh Imam As-Suyûthî dalam Al-Itqân Fi Ulûmil Qur’ân (1/222):

لى +خر القر+ن قصاره 4حى وم[ها ا لى الض�

4لى عم� و+�وساطه م[ها ا

4 فطواله ا

“Thiwâl mufashal adalah (Qâf) hingga ‘Amma (yatasâ’alûn), wasath mufashal adalah dari ‘Amma hingga Ad-Dhuha, dan dari Ad-Dhuha hingga akhir adalah qishâr mufashal”. Rasûlullâh tidak menetapkan surat tertentu untuk dibaca dalam shalât, sebagiamana disebutkan dalam hadîts Amru bin Syu’aib �, dari ayahnya, dari kakeknya, ia berkata,

�م یؤم� الناس بها في �ه �لیه وسل ل سورة صغ@رة ولا Èب@رة الا وقد سمعت رسول ا!له صل�ى ا!ل ما من المفص�

Page 63: Ringkasan Fiqh shalât - MRKR

62

لاة المك1وبة. الص�“Aku tidak pernah mendengar Rasûlullâh membaca surat mufashshal baik yang pendek atau yang panjang ketika mengimami orang-orang kecuali hanya pada shalât wajib saja.” (HR. Abu Dawud. Zâdul Ma’âd, Ibnul Qayyîm, 1/209). Shalât Jum’at dan shalât Hari Raya

بح Dفي العید�ن وفي الجمعة �س k+م یقر�ه �لیه وسل�ى ا!ل�ه صل� �لى وهل +��ك �دیث كان رسول ا!ل اسم ربك ا��لات@ن ذا اج1مع العید والجمعة في یوم وا�د یقر+k بهما +�یضا في الص�

4یة قال وا Dالغاش

Nu’man bin Basyir ia berkata; “Rasûlullâh biasa membaca surat Al A’lâ dan surat Al Ghasyiyah dalam shalât dua hari raya dan shalât Jum’at. Bila shalât Id bertepatan dengan hari Jum’at, beliau juga membaca kedua surat tersebut dalam kedua shalât itu.” | HR. Muslim: 1452, dari Nu’man bin Basyir �. Membaca surat Al-Jumu’ah dan Al-Munafiqun dalam shalât Jum’at.

لى مك�ة فصل�ى لنا +�بو هر�رة الجمعة 4تgلف مروان +�M هر�رة �لى المدینة وخرج ا Dفقر+� بعد سورة الجمعة اس

ذا Uاءك المنافقون قال ف�pدركت +�M هر�رة � 4كعة ا�خرة ا �ك قر+>ت �سورت@ن في الر� ن

4@ن انصرف فقلت له ا

�ه صل� ني سمعت رسول ا!ل4ى ا!ل�ه �لیه وسل�م یقر+k كان �لي� -ن +�ب(ي طالب یقر+k بهما Mلكوفة فقال +�بو هر�رة ا

بهما یوم الجمعة Ibnu Abu Rafi’ ia berkata; Suatu ketika (khalifah) Marwan meminta kepada Abû Hurairah � untuk menggantikannya (seba gai pemimpin) di Madinah, sementara Marwan pergi ke Makkah. Maka pada suatu hari Jum’at, Abû Hurairah � mengimami kami shalât Jum’at. Ia membaca surat Al Jumu’ah pada raka’at pertama, dan surat Al Munafiqun pada raka’at kedua. Setelah selesai shalât, kutemui Abu Hurairah dan kukatakan kepadanya, “Kedua surat yang Anda baca tadi, pernah dibaca oleh Ali bin Abi Thalib ketika ia berada di Kufah.” Abû Hurairah � berkata, “Saya telah mendengar Rasûlullâh

membaca kedua surat itu pada hari Jum’at.” (HR. Muslim: 1451, dari Abû Hurairah �.) Shalât Shubuh Rasûlullâh pernah membaca surat Qâf dan At-Takwir dalam shalât shubuh. Dari Quthbah bin Mâlik �, ia berkata,

أنھ ص%$ مع الن�� ص%$ اللھ عليھ وسلم الصبح . فقرأ QR أول ركعة: والنخل باسقات ل�ا طلع نضيد.

ور@ما قال: ق“Ia pernah shalât shubuh bersama bersama nabi . Beliau pada rakaat pertama membaca ayat ضيد

ع ن

ل�ا ط

ات ل

ل باسق

خ

.(HR. Muslim 457) ”.(surat Qâf ayat 10) والن

ب �یت مع رسول ا!له صل�ى ا!له �لیه وسل�م الص� ي یقول صل ح فقر+� في عن زoد -ن �لاقة قال سمعت عمكعت@ن والن�gل Mسقات لها طلع نضید. �دى الر�

4 ]163، كتاب الصلاة: 2جـ: [+خرUه ال�سائي،ا

“Diriwayatkan dari Ziyad bin ‘Ilaqah �, ia berkata: Saya mendengar Umar � berkata: Saya bersama Rasûlullâh shalât shubuh, ketika itu pada salah satu dari dua rakaat beliau membaca ضيد

ع ن

ل�ا ط

ات ل

ل باسق

خ

”.(QS. Qaf {50}: 10) والن

[Imam an-Nasa'i, Juz II, Kitab ash-Shalah: 163] ‘Amr bin Harits � berkata,

رت و

مس ك

ا الشجر إذ

ف

QR ال

رأ

م يق

يھ وسل

ھ عل

$ الل

�� ص%

الن

سمعت

Page 64: Ringkasan Fiqh shalât - MRKR

63

“Aku mendengar nabi pada shalât shubuh membaca idzas syamsu kuwwirat (surat At Takwir)” (HR. An Nasâi, dengan sanad hasan).

k+م كان یقر�ى ا!له �لیه وسل�رسول ا!له صل �ره +�نLX�+ اس�ا-ن عب �سار +�نr في ركعتي الفجر في عن سعید -ن�ت لى +خر ا�یة وفي اk�خرى +م[�ا M!له وااk�ولى م[هما ا�یة ال

4لینا ا

4شهد ي في البقرة، قولوا +م[�ا M!له وما +6kزل ا

]100، كتاب الصلاة: 2[+خرUه ال�سائي، جـ: ب��p� مسلمون. “Diriwayatkan dari Said bin Yasar, Ibnu ‘Abbâs � memberitahu bahwa Rasûlullâh pada dua rakaat dalam shalât fajar, pada rakaat pertama membaca ayat yang ada dalam surat al-Baqarah ا

ين

زل إل

ن

ا باللھ وما أ

وا آمن

ول

hingga akhir ayat dan (QS. al-Baqarah {2}: 136)ق

pada rakaat lainnya (kedua) membaca ayat

ا مسلمونن

�د بأ

ا باللھ واش

”.(QS. Ali Imran {3}: 52)آمن

[Imam an-Nasa'i, Juz II, Kitab ash-Shalah: 100]

ذا -44بح ح1�ى ا ائب قر+� الن�ب(ي� صل�ى ا!له �لیه وسل�م المؤم[ون في الص� اء ذكر موسى U عن عبد ا!له -ن الس�كعة الاولى بمائة وعشر�ن +یة من البقرة. وفي وهارون +�و ذكر �@سى +�Xذته سعلة فركع . وقر+� عمر في الر�

لكهف في الا M انیة �سورة من المثاني. وقر+� ا��ح[ف� �انیة بیوسف +�و یو�س ... [الث +خرUه البgاري، ولى وفي الث ]93كتاب ا�ذان:

“Diriwayatkan dari Abdullâh bin as-Saib �, dalam shalât shubuh Nabi membaca surat al-Mukminun, hingga ketika sampai pada penyebutan kata "Mûsâ wa Harun" atau "Isa", beliau terkena batuk lalu rukuk. Dan Umar � pada rakaat pertama membaca seratus dua puluh ayat dari surat al-Baqarah dan pada rakaat kedua membaca surat al-Matsani (surat yang kurang dari seratus ayat). Adapun al-Ahnaf membaca surat al-Kahfi pada rakaat pertama dan surat Yusuf atau Yunus pada rakaat kedua.” [HR. al-Bukhârî, Kitab al-Adzan: 93] Membaca surat Al-Sajdah dan Al-Insan di shalât Subuh di hari Jum’at.

�دة و �سان كان الن�ب(ي� صل�ى ا!ل�ه �لیه وسل�م یقر+k في الجمعة في صلاة الفجر الم ت�زیل الس�4هل +�تى �لى الا

هر �@ن من الد�Abû Hurairah � berkata, “Nabi dalam shalât Fajar di hari Jum’at membaca: “ALIF LAAM MÎM TANZÎL (Surah As Sajadah), dan ‘HAL ATAA ‘ALAL INSAANI HÎNUM MINAD DAHRI (Surah Al Insân).” ( HR. Bukhârî: 842, dari Abû Hurairah � ). Shalât Dhuhur dan Ashar Dari Abu Sa’îd al-Khudrî �,

QR م$ اللھ عليھ وسل

حزر قيام رسول اللھ ص% حزرنا قيامھ QR الركعت ن الأولي ن كنا ن الظ�ر والعصر . ف

ال�³دة . وحزرنا قيامھ QR الأخر3 ن قدر النصف من ذلك وحزرنا –من الظ�ر قدر قراءة الم تJÝيل

قيامھ QR الركعت ن الأولي ن من العصر ع%$ قدر قيامھ QR الأخر3 ن من الظ�ر وQR الأخر3 ن من العصر

. من ذلكع%$ النصف ولم يذكر أبو بكر QR روايتھ : الم تJÝيل . وقال : قدر ثلاث ن آية

“Kami memperkirakan panjang shalât Rasûlullâh ketika shalât zhuhur dan ashar. Kami mengira-ngira dua rakaat pertama beliau pada shalât zhuhur yaitu sekadar bacaan surat Alif laam mîm tanzil (As-Sajdah). Dan kami mengira-ngira dua rakaat terakhir beliau sekitar setengah dari itu. Dan kami mengira-ngira dua rakaat pertama beliau pada shalât ashar itu seperti dua rakaat akhir beliau pada shalât zhuhur. Dan dua rakaat terakhir beliau pada shalât ashar itu sekitar setengahnya dari itu. Dalam riwayat

Page 65: Ringkasan Fiqh shalât - MRKR

64

Abu Bakar tidak disebutkan Alif lam mîm tanzil, namun ia berkata: “sekitar 30 ayat.” (HR. Muslim 452).

هر ف�سم ي Xلف الن�ب(ي صل�ى ا!له �لیه وسل�م الظ� سحق عن الLراء قال كن�ا نصل4ع م[ه ا�یة بعد عن +�ب(ي ا

ارoت . [رواه ال�سائي]اo�ت من سورة لقمان والذ� “Diriwayatkan dari Abu Ishâq dari al-Barra' �, ia berkata: Kami shalât Dhuhur di belakang Nabi , kemudian kami mendengar dari suara beliau, ayat demi ayat dari surat Luqman dan adz-Dzariyat.” [Imam an- Nasâi, Juz II, Kitab ash-Shalah: 163]

ولی@ن من عن عبد ا!له -ن +�ب(ي ق1ادة عن +�بیه k�كعت@ن ا قال : كان الن�ب(ي� صل�ى ا!له �لیه و سل�م یقر+k في الر� ع ا�ی �انیة وrسم ر في الث هر بفاتwة الك1اب وسورت@ن یطول في اk�ولى ویقص لبgاري في . [رواه اة +�حKا� صلاة الظ�

]91: 1كتاب ا�ذان، “Diriwayatkan dari Abdullâh bin Abu Qatâdah dari ayahnya, ia berkata: Nabi pernah membaca dalam dua rakaat pertama pada shalât Dhuhur surat al-Fatihah dan dua surat. Beliau membaca surat yang panjang pada rakaat pertama dan membaca surat yang pendek pada rakaat kedua, dan kadang-kadang memperdengarkan kepada kami dalam membaca ayat.” [HR. al-Bukhârî dalam Kitab al-Adzan, I: 91]

Kي بنا ف كعت@ن عن +�ب(ي ق1ادة قال كان رسول ا!له صل�ى ا!له �لیه وسل�م یصل هر والعصر في الر� قر+k في الظ�كعة اk�ولى ل الر� �انیة اk�ولی@ن بفاتwة الك1اب وسورت@ن وrسمعنا ا�یة +�حKا� وكان یطو ر الث هر ویقص من الظ�

بح. ]210كتاب الصلاة: [رواه مسلم،وكذ!ك في الص� “Diriwayatkan dari Abu Qatâdah, ia berkata: Pernah Rasûlullâh shalât bersama kami. Dalam shalât Dhuhur dan asar, pada dua rakaat pertama, beliau membaca surat al-Fatihah dan dua surat (lainnya), dan kadang-kadang beliau memperdengarkan bacaan ayat. Beliau memperpanjang (bacaan ayat) pada rakaat pertama dan memperpendek (bacaan ayat) pada rakaat kedua, demikian pula dalam shalât shubuh.” [HR. Muslim dalam Kitab ash-Shalah: 210] Shalât Maghrib Ketika shalât maghrib, Rasûlullâh pernah membaca surat At-Thûr, Al-A’râf, dan Al-Mursalât. Dari Jubair bin Math’am �, ia berkata,

بالطور QR المغرب رسول اللھ ص%$ اللھ عليھ وسلم يقرأ

سمعت

“Aku mendengar Rasûlullâh membaca surat At-Thûr pada shalât maghrib” (HR. Muslim 463).

Dari Marwan bin Hakam �, ia berkata,

QR المغرب بقصار الس تقرأ

بن ثابت قال : ما {Q أراك

�ا بأطول أن ز3د� ف

رسول اللھ يقرأ

ور ؟ قد رأيت

ولي ن؟ قال : يا أبا عبد اللھ ، ما أطول الط

ولي ن ! قلت

الأعراف : الط

“Zaid bin Tsabit � bertanya kepadanya, ‘Mengapa engkau membaca surat yang pendek-pendek ketika shalât maghrib? Aku pernah melihat Rasûlullâh membaca surat yang paling panjang’. Marwan berkata, ‘wahai Abu Abdillâh, apa yang engkau maksud surat yang paling panjang?’. Ia menjawab, Al-A’râf.” (HR. An-Nasâi 989).

Dari Ibnu ‘Abbâs �, ia berkata,

رفا } . فقالت : ياب¥� ، واللھ لقد ذكرت¥� بقراءتك والمرسلات ع } : إن أم الفضل سمعتھ ، و'و يقرأ

�ا QR المغربÚ ا لآخر ما سمعت من رسول اللھ ص%$ اللھ عليھ وسلم يقرأ� 'ذه السورة ، أ�

Page 66: Ringkasan Fiqh shalât - MRKR

65

“Bahwa Ummul Fadhl mendengarnya membaca surat wal Mursalâti ‘urfâ. Kemudian Ummul Fadhl berkata, ‘wahai anakku, demi Allâh engkau telah mengingatkan aku dengan bacaan surat ini bahwa ini adalah surat yang dibaca ketika shalât maghrib terakhir yang dilakukan Rasûlullâh .” (HR. Al Bukhârî 763, Muslim 462). Shalât Isya’ Dianjurkan ketika shalât Isya adalah surat-surat wasath mufashal:

�م Ú Q

ومھ فيص%م، ثم يأ±ي ق

$ اللھ عليھ وسل

Q مع الن�� ص%

بن جبل ر��� اللھ عنھ 5ان يص%

أن معاذ

ا فقال : إنھ منافق، غ ذلك معاذ

، فبل

خفيفة

$ صلاة

ز رجل فص% ، قال : فتجو

�م البقرةÚ رأ

، فق

الصلاة

$

ى الن�� ص%±

غ ذلك الرجل، فأ

سقي فبل

م فقال : يا رسول اللھ، إنا قوم �عمل بأيدينا، و�

اللھ عليھ وسل

$

، فزعم أ�ي منافق، فقال الن�� ص%

زت ، فتجو، فقرأ البقرة

$ بنا البارحة

ا ص%

واâ`نا، وsن معاذ

بن

ان أنت ، أفت

م : ( يا معاذ

ا –اللھ عليھ وسل

–ثلاث

: { والش

$ اقرأ

ع%

الأ

ك ح اسم ر@ ا'ا} . و{ سب âمس و

حو'ا )} . ون“Mu’adz bin Jabal � pernah shalât bersama nabi . Kemudian ia kembali kepada kaumnya dan shalât bersama mereka menjadi imam. Kemudian ia membaca surat Al-Baqarah. Kemudian seorang lelaki mangkir dari shalât dan ia shalât sendiri dengan shalât yang ringan. Hal ini terdengar oleh Mu’adz, sehingga ia pun berkata, ‘ia munafik‘. Perkataan Muadz ini pun terdengar oleh si lelaki tersebut. Maka ketika datang nabi ia bertanya, ‘wahai Rasûlullâh, siang hari saya bekerja dengan tangan saya dan mengairi ladang dengan unta-unta saya. Kemarin Muadz shalât mengimami kami dan membaca Al Baqarah, sehingga saya mangkir dari shalât. Dan ia mengatakan saya munafik‘. Lalu nabi pun bersabda, ‘wahai Muadz, apakah engkau ingin menjadi pembuat fitnah?’ Sebanyak 3x. Bacalah was syamsi wad dhuhâha (Asy Syams) dan sabbihisma rabbikal a’lâ (Al A’lâ) atau semisalnya’” (HR. Bukhârî 6106, Muslim 465). Surat Asy-Syams dan Al-A’lâ termasuk wasath mufashal.

Memisah Bacaan Surat Dalam Dua Rakaat Sunnah membaca satu surat atau satu bacaan untuk satu rakaat, tidak memisahkan satu surat atau satu bacaan menjadi dua rakaat. Misalnya seseorang membaca surat An-Naba’ ayat 1–30 pada rakaat pertama, dan pada rakaat kedua ia lanjutkan membaca ayat 31–40. Rasûlullâh bersabda,

�ا من الركوع وال�³ود حظ

ل سورة

ل�

“setiap surat itu kadarnya seperti panjang rukuk dan sujud” (HR. Al-Baihaqî, 3/10).

ل�ل سورة ركعة

“setiap surat itu untuk satu raka’at”. (Syarh Ma’ânil Atsâr, ath-Thahâwî, 1/345) Dalam kitab Attaqrîratus Sadîdah :

حة للإمام و المنفرد و fسن كذلك للمأموم إذا لم fسمع إمامھ و قراءة ���ء من القرآن ¬عد الفات

الأفضل ثلاث آيات فأكGÔ و سورة 5املة أفضل من ¬عض طو3لة و لو 5ان البعض أطول من السورة

١التقر3رات السديدة ج (و اللھ أعلم رم%Q فقال البعض الأطول أفضل. للإتباع عند ابن �åر و خالفھ ال

).٢٤٠ص

Membaca Surat dari Alqur’ān sesudah Alfatihah adalah disunnahkan untuk Imam dan

Page 67: Ringkasan Fiqh shalât - MRKR

66

makmum an disunnahkan yang demikian itu bila Makmum tidak mendengar bacaan Imam-nya dan lebih utama Lebih afdhal membaca satu surat lengkap meskipun pendek, satu surat pendek dibaca lengkap lebih utama daripada surat panjang dibaca sebagian, menurut pendapat Ibn Hajar yang berbeda dengan Imam Ramlî yang berpendapat bahwa membaca surat yang lebih panjang lebih utama. Mengulang surat yang sama pada tiap rakaat atau mengulang-ulang ayat di rakaat yang sama Dalam “Al Mawsûah Al Fiqhîyyah, 25/290 disebutkan: Jumhur ulama dari kalangan Hanafîyyah, Syâfi’îyyah dan Hanabilah berpendapat: “Tidak mengapa (boleh) bagi orang yang shalât untuk mengulangi surat Al-Qur’ān yang telah dibacanya pada rakaat pertama.” Terdapat hadîts :

هم في مس�د قhاء، وكان كل� �ه عنه، كان رUل من ا��نصار یؤم� ة ما اف1تح سور عن +��س -ن ما!ك رضي ا!ل�ه +��د ح1�ى یفرغ م[ها، ثم� ا یقر+k به اف1تح: بقل هو ا!ل لاة مم� یقر+k سورة +kخرى معها، وكان یقر+k بها لهم في الص�

�ك تف ن4�مه +�صwابه، فقالوا: ا �ها تجزئك ح1�ى تقر+� یصنع ذ!ك في كل ركعة، فكل ورة، ثم� لا �رى +�ن 1تح بهذه الس�

hن +�ح4ا +�ن تدعها، وتقر+� بkpخرى فقال: ما +�� بتاركها، ا م�

4ا تقر+k بها وا م�

4كم بذ!ك فعلت، بkpخرى، فا بتم +�ن +�ؤم�

ن 4ا +��ه وا هم �@ره، فلم� �ه من +�فضلهم، وكرهوا +�ن یؤم� ن م الن�ب(ي� صل�ى ا!له �لیه كرهتم �ركتكم، وكانوا �رون +�

�م +�LXروه الLgر، فقال: ك به +�صwابك، وما یحملك �لى لزوم هذه o فلان، ما یمنعك +�ن تفعل ما یp>مر «وسلورة في كل ركعة ي +kح�hها، فقال: » الس� ن

4ها +�دXلك الجن�ة «فقال: ا �o 4

ح�hك ا

Dari Anas bin Mâlik �: "Seseorang (sahabat) dari al Anshar mengimami (shalât) mereka (para shahabat) di Masjid Quba. Setiap ia memulai bacaan (di dalam shalâtnya), ia membaca sebuah surat dari surat-surat (lainnya) yang ia (selalu) membacanya. Ia membuka bacaan surat di dalam shalâtnya dengan :

قل هو ا!له +��د sampai ia selesai membacanya, kemudian ia lanjutkan dengan membaca surat lainnya bersamanya. Ia pun melakukan hal demikan itu di setiap raka'at (shalât)nya. (Akhirnya) para sahabat berbicara kepadanya, mereka berkata: "Sesungguhnya engkau memulai bacaanmu dengan surat ini, kemudian engkau tidak menganggap hal itu telah cukup bagimu sampai (engkau pun) membaca surat lainnya. Maka, (jika engkau ingin membacanya) bacalah surat itu (saja), atau engkau tidak membacanya dan engkau (hanya boleh) membaca surat lainnya". Ia berkata: "Aku tidak akan meninggalkannya. Jika kalian suka untuk aku imami kalian dengannya, maka aku lakukan. Namun, jika kalian tidak suka maka aku tidak mengimami kalian," dan mereka berpendapat bahwa ia adalah orang yang paling utama di antara mereka, sehingga mereka pun tidak suka jika yang mengimami (shalât) mereka adalah orang selainnya. Sehingga tatkala Nabi mendatangi mereka, maka mereka pun menceritakan kabar (tentang itu), lalu ia (Nabi)

bersabda: "Wahai fulan, apa yang menghalangimu untuk melakukan sesuatu yang telah diperintahkan para sahabatmu? Dan apa pula yang membuatmu selalu membaca surat ini di setiap raka'at (shalât)?" Dia menjawab,"Sesungguhnya aku mencintai surat ini," lalu Rasûlullâh bersabda:"Cintamu kepadanya akan memasukkanmu ke dalam surga". (HR Bukhârî kitab al-Adzan, bab al-Jam'u Baina as-Surataini fi ar-Rak'ah).

�ه قال لمروان M�+ o عبد الملك +�تقر+k في المغرب بقل هو ا!له +� �� +�عطیناك الكوÅر عن زید -ن �بت +�ن4�د وا

]175: 2[+خرUه ال�سائي، جـ: قال نعم.

Page 68: Ringkasan Fiqh shalât - MRKR

67

“Diriwayatkan dari Zaid bin Tsabit, ia berkata kepada Marwan: Hai Abu Abdul Mâlik apakah engkau membaca حد

ل 'و اللھ أ

ر dan (QS. al-Ikhlash) ق

وث

ك

ال

اك

ين

عط

ا أ

-QS. al) إن

Kautsar)? Ia menjawab: Ya.”[Imam an-Nasâi, Juz II: 175]

�ه سمع الن�ب(ي� صل�ى ا!ل�ه ) عن معاذ -ن عبد ا!ل�ه الج 816وروى +بو داود ( هني +�ن� رUلا من جهینة +�LXره +�نكعت@ن كلتیهما ذا زلزلت ا��رض) في الر�

4بح : (ا فلا +�دري +��سي رسول ا!ل�ه صل�ى ا!ل�ه . �لیه وسل�م یقر+k في الص�

)صحیح +ب(ي داود (ه وسل�م +�م قر+� ذ!ك عمدا ؟ �لی "Abu Dawud meriwayatkan, (dalam hadîts no. 816) dari Muaz bin Abdullâh Al-Juhanî � bahwa seseorang dari Juhainiyah memberitahukan bahwa dia mendengar Nabi membaca di shalât Subuh surat ‘Idza Zulzilatil Ardu’ pada kedua rakaat. Saya tidak tahu apakah Rasûlullâh a ataukah dibaca dengan sengaja?" (HR. Abu Dawud)

Boleh mengulang-ulang surat atau ayat yang sama pada satu rakaat.

: قام الن�ب(ي� صل�ى ا!ل�ه �لیه ) عن +�ب(ي ذر رضي ا!له عنه قال 1350وا-ن ماUه ( (1010)روى ال�سائي ن تغفر لهم

4�هم عبادك وا ن

4بهم فا ن تعذ

4دها ، وا�یة : ( ا �م بpیة ح1�ى +�صبح �رد �ك +�نت العز�ز الحكKم ) وسل ن

4 فا

حسDنه ا�لباني في صحیح ال�سائي Diriwayatkan oleh Nasa’î (hadîts, no. 1010) dan Ibnu Majah (hadîts no, 1350) dari Abu Dzar �, dia berkata: ”Nabi melakukan shalât dan membaca ayat sampai pagi secara berulang-ulang. Ayat itu adalah;

ن تغفر لهم ف (4�هم عبادك وا ن

4بهم فا ن تعذ

4�ك +�نت العز�ز الحكKم ا ن

4 ) ا

“Jikalau Engkau menyiksa mereka, maka sesungguhnya mereka adalah hambaMu. (akan tetapi) jikalau Engkau ampuni mereka. Sesungguhnya Engkau adalah Maha Perkasa lagi Maha bijaksana.” (HR. Nasâi).

8. Membaca takbir perpindahan (takbir intiqal) pada tiap perpindahan dari satu gerakan kepada gerakan lain, seperti ketika bangkit untuk berdiri atau sebaliknya (kecuali ketika bangkit dari ruku'). Hal ini berdasarkan perkataan Ibnu Mas’ûd � :

�ه ر في كل خفض ورفع وقKام وقعود �كL ر+�یت رسول ا!لAku melihat Nabi selalu membaca takbir ketika merendahkan dan mengangkat (kepala) ketika berdiri dan duduk." (Musnad Ahmad, At-Tirmidzî, An-Nasâî dan lainnya, hadîts shahîh)

9. Membaca ي) بwان رب Dالعظیم س (Maha Suci Rabbku Yang Maha Agung) satu kali ketika ruku'.

Hal ini berdasarkan perkataan Hudzaifah ibnul Yaman � dalam hadîtsnya :

�ه �یت مع رسول ا!ل ــ(ي العظــیم عن �ذیفة قال صل بwان رب Dان فكان یقول في ركو�ه سwب Dوفــي ســجوده ســ(ي ا���لى رب

Dari Hudzaifah berkata, saya shalât bersama Nabi makan beliau membaca di dalam ruku'nya dan di dalam sujudnya membaca: (Maha Suci Rabbku Yang Maha Tinggi

Atau : (3x) ي العظیم وبحمد) بwان رب Dه س

Page 69: Ringkasan Fiqh shalât - MRKR

68

10. Meletakkan kedua telapak tangan di atas lutut ketika ruku'.

11. Membaca �لى (ي ا�� بwان رب Dس (Maha Suci Rabbku Yang Maha Tinggi) di dalam sujud.

Berdasarkan hadîts Hudzaifah di atas.

Atau : (3x) ي ا���لى وبح) بwان رب Dمده س Berdasarkan Hadîts Rasûlullâh :

�ه ذا عن عقhة -ن �امر بمعناه زاد قال فكان رسول ا!ل4ــ(ي العظــیم وبحمــده ثــلا� وا بwان رب Dذا ركع قــال ســ

(ي ا���لى وبحمده ثلا� بwان رب Dس�د قال س Dari Uqbah ibn Amir, menerangkan:"Adalah Rasûlullâh apabila ruku' beliau mengucapkan :

(ي العظیم بwان رب Dوبحمده س(3x) dan bila bersujud mengucapkan :

�لى (ي ا�� بwان رب Dوبحمده س(3x) (Sunan Abû Dâwud, Sunan Al Kubrâ Baihaqî dan Jami’ul Ahâdits)

12. Membaca سمع الله لمن حمده (Allâh Maha Mendengar hamba yang memujiNya)-

ketika bangkit dari ruku'- bagi imam dan orang yang shalât sendirian. Hal ini berdasarkan hadîts Abû Hurairah � :

لا لى الص�4ذا قام ا

4�ــه لمــن حمــده �ــ@ن �رفــع صــلب ا ر �@ن �ركع ثم� یقــول ســمع ا!ل Lك� �ر �@ن یقوم ثم Lه مــن ة �ك

�نا !ك الحمد كعة ثم� یقول وهو قائم رب الر�Sesungguhnya Nabi membaca ــه لمــن حمــده� Allâh Maha Men-dengar hamba yang) ســمع ا!ل

memujiNya) ketika bangkit dari ruku' kemudian masih dalam keadaan berdiri beliau membaca

�نا !ك الحمد رب (Muttafaq 'alaih)

13. Membaca نا !ك الحمد� bagi (ketika i'tidal) (wahai Rabb kami bagi-Mu segala pujian) رب

ma'mum dan orang yang shalât sendirian. Hal ini berdasarkan hadîts yang disebutkan di atas. Juga berdasarkan sabda Rasûlullâh :

�ه �ه عنه +�ن� رسول ا!ل �ه ل عن +�ب(ي هر�رة رضي ا!ل مام سمع ا!ل4ذا قال الا

4�نــا !ــك قال ا من حمده فقولوا ا!ل�هــم� رب

م من ذنبه �ه من وافق قوله قول الملا¬كة غفر له ما تقد� ن4 الحمد فا

Page 70: Ringkasan Fiqh shalât - MRKR

69

Dari Abû Hurairah � menyatakan, Rasûlullâh bersabda: ”Apabila imam membaca عمس ح نمل الله هدم , maka bacalah

�نا !ك الحمد ا!ل�هم� رب(Muttafaq 'alaih) Bacaan lengkapnya :

ماوات وملء ا��رض وملء ما ش�ت �نا !ك الحمد ملء الس� من شيء بعد رب "Ya Tuhan kami, bagi-Mu segala puji sepenuh langit dan sepenuh bumi serta sepenuh apa saja yang Engkau kehendaki setelah itu."

14. Membaca do'a di antara dua sujud : ا!ل�هم� اغفر لي وارحمني واهدني وارزق[ي

"Ya Allâh, ampunilah aku, kasihanilah aku, berikanlah kepadaku petunjuk dan rezki" Atau

membaca رب اغفــر لــي "Wahai Rabbku ampunilah aku." Karena Rasûlullâh membaca

itu.

Imam Syirâzî dalam Kitab Al Tanbîh menambahkan : عني واعف -menjadi:

واعف عني ف[يواهدني و�ا رب اغفر لي وارحمني واLUرني وارزق[ي وارفعني 15. Tasyahhud awwal. Duduk untuk melakukan tasyahhud awwal. Hal ini berdasarkan sabda Rasûlullâh kepada Rifâ'ah bin Râfi' :

ه رفا�ة -ن رافع عن الن�ب(ى ذا +� عن عم4لاة وقال فKه : فــا ــر فذكر �دیث الص� Lنــت قمــت فــى صــلاتك فك

ــلاة فــاطم ذا Uلســت فــى وســط الص�4ر �لیك مــن القــر+ن. وقــال فKــه : فــا �ن� ، وافqــرش ا!ل�ه ، ثم� اقر+> ما ت@س�

ذا قمت فمثل ذ!ك 4 .ح1�ى تفرغ من صلاتك فgذك ال@سرى ، ثم� ¦شه�د ، ثم� ا

Apabila kamu melaksanakan shalât, maka bacalah takbir, lalu bacalah apa yang mudah menurut kamu dari ayat Al-Qur'an. Kemudian apabila kamu duduk di pertengahan shalâtmu maka hendaklah disertai thuma'ninah, dan duduklah secara iftirasy (bertumpu pada paha kiri), kemudian bacalah tasyahhud. (HR. Abû Dâwud dan Al-Baihaqî dari jalannya, hadîts hasan)

16. Senantiasa melihat ketempat sujud, kecuali pada waktu membaca " �لا4له ا

4+�شهد +�ن لاا

.maka pada saat itu, mata diarahkan melihat ke telunjuk nya "ا!له

Bagaimana Rasûlullâh tasyahud (awwal / akhir) ? :

ذا قعد في الq�شه�د وضع یده ال@سرى �لى ركبته ال@سرى ووضــع یــده عن ا-ن عمر +�ن� رسول ا!ل�ه 4كان ا

ب�ابة الیمنى �لى �DلسM ركبته الیمنى وعقد ثلاثة وخمس@ن و+�شار Rasûlullâh , apabila duduk tasyahhud, beliau meletakkan tangan kirinya di atas paha kiri dan tangan kanannya di atas paha kanan sambil digenggamkan membentuk angka (arab) 53, kemudian beliau berisyarat dengan jari telunjuk. (HR. Muslim)

Page 71: Ringkasan Fiqh shalât - MRKR

70

Telunjuk membentuk angka arab 3 terbalik dan 5

شارته 4 عن +�بیه بهذا الwدیث قال لا ی�اوز بصره ا

Dari Abdullâh bin Zubair � dengan matan (isi hadîts) sama dengan sebelumnya: „Dan beliau tidak melebihkan pandangannya dari telunjuk itu.“ (HR. Abû Dâwud, shahîh) Kapan mulai Isyarat Jari telunjuk kanan saat Tasyahhud? Madzhab Hanafî: ketika membaca lafadz la ilaha dan menurunkannya kembali ketika menetapkan ketuhanan Allâh, yaitu ketika membaca illallâh. Maksud mengangkatnya adalah untuk meniadakan ketuhanan, sedangkan menurunkannya adalah untuk menetapkannya. Madzhab Mâlikî : Disunnahkan menggerak-gerakkan jari telunjuk terus menerus dari awal hingga akhir tasyahhud, dengan gerakan menyamping, bukan keatas dan ke bawah. Madzhab Syâfi’î dan Hanbalî , serta sebagaian pengikut Mâlikî (Ibn Al Qasim) : Disunnahkan berisyarat dengan jari telunjuk dan mengangkatnya ketika membaca lafal Illallâh, tanpa mengerak-gerak-kannya.

Hadîts mengenai: Jari Telunjuk digerak-gerakan atau tidak? Hadîts dari Wâ’il bin Hujr �:

لى صلاة رسول ا!ل�ه 4لیــه فقــام +�ن� وائل -ن حجر +�LXره قال قلت ��نظرن� ا

4ي ف[ظــرت ا ثــم� ..كیف یصل

صبعه فر+�یته 4 یدعو بها یحركها رفع ا

Dari Wâ’il bin Hujr �, kami melihat shalâtnya Nabi , Berdiri...kemudian mengangkat jari telunjuknya, kami menyaksikan beliau menggerakkan (diterjemahkan oleh sebagaian ulama: menggerak-gerakkan) jari telunjuknya ....” (Fiqh Islâm wa adillatuhu, Sunan Abû Dâwud, Musnad Ahmad)

Hadîts dari Abdullâh bin Zubair �:

�ه ذكر +�ن� الن�ب(ي� ب@ر +�ن �ه -ن الز� ذا د�ا عن عبد ا!ل4 …ولا یحركهاكان rش@ر بkpصبعه ا

Dari Abdullâh bin Zubair �, "Sesungguhnya Nabi , terbukti memberi Isyarat dengan jari telunjuknya dan tidak menggerak-gerakannya.” ( Fiqh Islâm wa adillatuhu, Sunan Abû Dâwud, Musnad Ahmad)

Dari kedua hadîts tersebut kelihatan berlawanan (ta’arudl) makna/arti-nya, maka perlu melihat Ijtihad-nya Ulama mengenai persoalan ini, sebagaimana dalam kitab Faidl al Qadir (V/221) :

المظهري : اختلف في تحريك الأصبع إذا رفعهــا للإشــارة والأصــح أنــه يضــعها بغيــر تحريــك ولا قال ينظر إلى السماء حين الإشارة إلى التوحيد بل ينظر إلى أصبعه ولا يجــاوز بصــره عنهــا لــئلا يتــوهم

تعالى عن ذلك. -أنه تعالى في السماء Berkata Al Mudhahirî:“ Perbedaan pendapat mengenai menggerakkan jari telunjuk apabila berisyarat (dalam tasyahud), yang paling benar adalah sesungguhnya hanya menyimpan saja tanpa menggerak-gerakkannya dan tidak menatap langit (keatas)

Page 72: Ringkasan Fiqh shalât - MRKR

71

ketika Isyarat kepada Allâh (bacaan syahadat/tauhid), tapi melihat ke arah jari telunjuk.

Begitu pula Ibn Al-Qasim dalam al Muntaqa Sarh Al Muwaththa’ (Madzhab Mâlikî) juga berpendapat tidak digerakkan.

17. Duduk Iftirasy dan Tawarruk. Cara duduk yang tsabit (diriwayatkan) dari Rasûlullâh dalam shalât adalah duduk iftirasy (bertumpu pada paha kiri) pada semua posisi duduk dan semua tasyahhud selain tasyahhud akhir. Bila ada dua tasyahhud dalam shalât itu, maka dia harus duduk tawarruk pada tasyahhud akhir. Hal ini berdasarkan perkataan Abû Humaid As-Sa'idî di hadapan para sahabat. Ketika ia menerangkan shalât Rasûlullâh , di antaranya menyebutkan:

ا�دي� +�� كنت +�حفظكم لصلاة رسول ا!ل�ه …+�بو حمید الس� كعت@ن Uلــس �لــى رUلــه ذا Uلــس فــي الــر�4فــا

k�له ال@سرى ونصب اUم ر كعة ا�خرة قد� ذا Uلس في الر�4 خرى وقعد �لى مقعدته ال@سرى ونصب الیمنى وا

Maka apabila beliau duduk setelah dua rakaat, beliau duduk di atas kaki kiri sambil menegakkan telapak kaki kanan, dan apabila beliau duduk pada rakaat akhir beliau majukan kaki kiri sambil menegakkan telapak kaki yang satunya, dan beliau duduk di lantai. (HR. Al-Bukhârî)

Dari hadîts di atas dapat kita pahami apa arti iftirasy dan tawarruk.

Duduk Iftirasy (tahîyyat

Awwal) Duduk Tawarruk (tahîyyat

Akhir)

Cabang Masalah

Hanafî/ ����ـــ�� Mâlikî/ ��ـــ� �� Syâfi’î/ ��ـــ� �� Hanbalî/ ������ـــ�

Bentuk duduk saat Tasyahhud

Duduk Iftirâsy pada Tasyahhud Awal dan Tasyahhud Akhir.

Duduk Tawarruk pada Tasyahhud Awal dan Tasyahhud Akhir.

Tasyahhud Awal duduk Iftirâsy dan Tasyahhud Akhir duduk Tawarruk. Tasyahhud Akhir pada shalât subuh (shalât dua rakaat) juga duduk Tawarruk, karena duduk terakhir.

Tasyahhud Awal duduk Iftirâsy dan Tasyahhud Akhir duduk Tawarruk. Pada shalât dua rakaat, maka Tasyahhud Akhir duduk Iftirâsy.

18. Berdo'a pada waktu sujud. Berdasarkan Hadîts:

ب� عز� و موا فKه الر� كوع فعظ ا الر� ي نهیت +�ن +�قر+� القر+ن راكعا +�و ساUدا ف�pم� ن4ــجود فاج1هــدوا +�لا وا ــا الس� Uل� و+�م�

ت�اب لكم Dسr اء فقمن +�ن� في الد�Ketahuilah! Sesungguhnya aku dilarang membaca Al-Qur'an ketika ruku' dan sujud. Adapun yang dilakukan pada waktu sujud maka hendaklah kamu membesarkan Rabbmu dan pada waktu sujud maka hendaklah kamu bersungguh-sungguh berdoa, niscaya dikabulkan do'a-mu. (Shahîh Muslim)

Page 73: Ringkasan Fiqh shalât - MRKR

72

19. Membaca shalawat untuk Nabi pada waktu tasyahhud akhir, yaitu setelah membaca tasyahhud: lalu membaca:

�ة خرج �لینا رسو �ه سمعت ا-ن +�ب(ي لیلى قال لقKني كعب -ن عجرة فقال +�لا +kهدي !ك هدی فقلنا قد ل ا!لي �لیك قال قولوا م �لیك فكKف نصل عرف[ا كیف �سل

ــد ا!ل�هم� صل �لى مح �ــك حمیــد مجیــد ا!ل�هــم� Mرك �لــى محم� ن4-راهیم ا

4§ل ا �یت �لى + د كما صل §ل محم� د و�لى + م�

�ك حمید مجید ن4-راهیم ا

4§ل ا د كما Mركت �لى + §ل محم� و�لى +

Ya Allâh, bershalawatlah Engkau untuk Nabi Muhammad dan juga keluarganya sebagaimana Engkau bershalawat kepada Nabi Ibrâhîm dan keluarganya. Dan berkatilah Nabi Muhammad beserta keluarganya sebagaimana Engkau telah memberkati Nabi Ibrâhîm dan juga keluarganya. Pada sekalian alam, sesungguhnya Engkau Maha Terpuji lagi Maha Mulia). (Shahîh Muslim dan lainnya dengan sanad shahîh)

20. Berdo'a setelah selesai tasyahhud dan shalawat dengan do'a yang dicontohkan oleh beliau :

ذا فرغ +��دكم من صلاته فلیــدع بــ�pربع ، ثــم� لیــدع بعــد بمــا شــاء ، عن +�ب(ى هر�رة قال قال رسول ا!ل�ه 4: ا

ى +�عوذ بك من �ذاب جهن�م ، و�ذاب القLر ، وف1نة المحیا وا ن4ال.ا!ل�هم� ا �U یح الد� Dلممات ، وف1نة المس

Dari Abû Hurairah � berkata, Rasûlullâh bersabda:"Apabila salah seorang kamu selesai membaca shalawat, maka hendaklah ia berdo'a untuk meminta perlindungan dari empat hal, kemudian dia boleh berdo'a sekehendaknya, keempat hal tersebut adalah:

ى +�عوذ بك من �ذاب جهن�م ، و�ذاب القLر ، وف1نة المحیا والممات ، وف1نة ن4ال ا!ل�هم� ا �U یح الد� Dالمس.

"Ya Allâh, aku berlindung kepadaMu dari siksa Neraka Jahannam, siksa kubur, fitnah hidup dan fitnah mati serta fitnah Al-Masih Ad-Dajjal." (HR. Al-Baihaqî, shahîh)

Atau membaca doa ب القلوب :رضي ا!له عنها o sebagaimana Sabda Nabi dari ‘Âisyah مقل

Îد عن �ا ثنا �لي� -ن زید عن +kم محم� ــت شة +�ن� رسول ا!ل�ــه �د� Lــب القلــوب ث كــان �ك�ــر +�ن یقــول o مقل قلب(ي �لى دینك وطاعتك

Nabi memperbanyak membaca:

ت قلب(ي �لى دینك وطاعتك Lمقلب القلوب ث o Wahai Dzat yang membolak-balik-kan hati, tetapkan hatiku untuk tetap dalam agamamu dan ketaatan kepadamu. (Musnad Ahmad, Sunan Daruquthnî, Mu’jam Thabrânî, Mustadrak lil Hakîm)

21. Salam kedua ke kiri. Hal ini berdasarkan hadîts:

سحق عن +�ب(ي ا��حوص عن عبد ا!ل� 4�ــه +�ن� عن +�ب(ي ا سرائیل عن +�ب(ي ا��حوص وا��سود عــن عبــد ا!ل

4ه وقال ا

ه الن�ب(ي� م عن یمینه وعن شماله ح1�ى �رى بیاض Xد كان rسلBahwasanya Rasûlullâh melakukan salam ke kanan dan ke kiri sehingga terlihat putihnya pipi beliau. (HR. Abû Dâwud)

22. Berdzikir dan berdo'a setelah salam.

23. Mengerjakan Shalât Rawatib (sesudah shalât fardlu) atau shalât sunnah lainnya dengan ber-pindah tempat

ل لا عن المغ@رة -ن شعبة قال قال رسول ا!ل�ه �ذي صل�ى فKه ح1�ى یتحو� مام في الموضع ال4 یصل الا

Dari Mughîrah bin Syu’bah � , Rasûlullâh berkata: Janganlah Imam shalât (sunnah) di tempat ia Shalât wajib tetapi hendaklah bergeser (berpindah tempat) (Sunan Abû Dâwud )

Page 74: Ringkasan Fiqh shalât - MRKR

73

۞۞۞

Hal-hal yang diperbolehkan dalam shalât Diantara hal-hal yang diperbolehkan dalam shalât yaitu : 1. Membetulkan bacaan imam. Apabila imam lupa membaca ayat tertentu, maka ma’mum boleh mengingatkan ayat tersebut kepada imam. Hal ini berdasarkan hadîts Ibnu Umar � :

�ه -ن عمر +�ن� الن�ب(ي� �یت معنــا عن عبد ا!ل ــا انصــرف قــال k�بــ(ي +�صــل صل�ى صلاة فقر+� فKها فلLس �لیــه فلم� قال نعم قال فما م[عك

Bahwa Nabi shalât, kemudian beliau membaca suatu ayat, lalu beliau salah dalam membaca ayat tersebut. Setelah selesai shalât beliau bersabda kepada Ubay, 'Apakah kamu shalât bersama kami?', ia menjawab, 'Ya', kemudian beliau bersabda, 'Apakah yang menghalangi-mu untuk membetulkan bacaanku'. (HR. Abû Dâwud, Al-Hakîm dan Ibnu Hibbân, shahîh)

Bagaimana jika Imam tidak memahami ketika diingatkan oleh ma’mum? misalkan ia tidak membaca Surat Alfatihah. Dalam Kitab Rahmatul Ummah fi Ikhtilâfil A’immah:

الأمة QR اختلاف الأئمة من تأليف رحمة

حمد بن عبدالرحمن الدمشقي العثما�ي الشاف�Q أ)ي عبداللھ م

من علماء القرن الثامن ال�èري و'و حر3م أو سبق لسانھ ولم يطل لم تبطل عند أو جا'لا بالت

(فصل) إذا ت�لم QR صلاتھ أو سلم ناسيا

إلا بالإسلام. وsن طال فالأw§ عند الشاف�Q البطلان. الثلاثة، وقال أبو حنيفة: تبطل بالكلا م ناسيا

وعن مالك: إن كلام العامد لمصÀ`ة الصلاة لا يبطل�ا 5إعلام الإمام ¬س�وه إذا لم يتoبھ إلا بالكلام.

Apabila seseorang berbicara dalam shalâtatau memberi salam karena tidak mengerti jika haram, atau karena lupa, atau mulutnya terlanjur mengucapkan tetapi tidak begitu banyak, maka shalâtnya tidak batal. Demikian menurut tiga imam. Menurut Abu Hanifah, shalât batal lantaran berbicara karena lupa, kecuali lantaran salam. Jika salam tersebut sudah panjang, maka menurut pendapat Asy-Syâfi’î yang shahih, batal shalâtnya. Menurut Mâlik, berbicara dengan sengaja dalam shalât demi kemaslahatan shalât itu sendiri, tidak membatalkan, seperti memberitahukan kelupaan imam, yang ia tidak akan ingat jika tidak dengan perkataan.

حذير وعن الأوزاQé: أن كلام العامد فيما فيھ مصÀ`ة وsن لم تكن عائدة إ{$ الصلاة 5إرشاد ضال وت

ضر3ر لا يبطل الصلاةDari Al-Auzâ'î, ia menyatakan bahwa berbicara dengan sengaja memberi petunjuk kepada orang yang tidak tahu jalan mengingatkan orang buta, tidak membatalkan shalât.

، وكذلك الشرب إلا أحمد QR النافلة .واتفقوا ع%$ بطلان الصلاة بالأ5ل إلا ناسيا

Empat imam sepakat, bahwa shalât dapat batal lantaran makan, kecuali jika lupa. Demikian juga minum. Menurut Imam Ahmad tidak batal, jika shalât itu sunnah. Dalam al-Ḥāwī al-kabīr fī fiqh madzhab al-Imām al-Syāfiʻī raḍhiya Allāh ʻanhu: wa-huwa syarḥ Mukhtaṣar al-Muzanī, 2/182:

ن الن�� لأ

ف

فيما ب ن إحرامھ و ب ن سلامھ استأن

ث

أو أحذ

مدا

م عا

م أو سل

$ قال الشاف�Q وsن ت�ل

ص%

Page 75: Ringkasan Fiqh shalât - MRKR

74

ھ ال: الل

م، ق

يھ وسل

سليم << عل

�ا ال8

حليل

>>ت

هور، وتحریمها الت� لاة الط� ، عن الن�ب(ي صل�ى ا!ل�ه �لیه وسل�م، قال: مف1اح الص� �سلیم عن �لي qلیلها الwر، وت@hك (رواه الqرمذي و�@ره)

Dari ‘Âlî bin Abî Thâlib �, dari Nabi beliau bersabda: “Pembuka shalât adalah bersuci, pengharamnya adalah Takbir dan penghalalnya adalah Salam.” (HR Tirmidzî dan lainnya)

م و سل

م ، أ

ل

ت

ھ : " وsن

ھ عن

� الل افQ� ، ر��

ال الش

: ق

ة

ل

مسأ

إحرامھ و@ ن

فيما ب ن

ث

حد

و أ

عامدا أ

ماال ال

سليم " ق

�ا ال8

حليل

ال : ت

م ق

يھ وسل

ھ عل

$ الل

�� ص%

ن الن

، لأ

ف

ن

أ

مھ است

ا سلا

رن

ك

د ذ

وردي : ق

اسيا ف

تھ ن

م QR صلا

ل

مت

م ال

ل حال سواء حك

ب�

ة

ھ باطل

ت

صلا

�ا ف�م عامدا QR ) الصلاة ( ف

ل

مت

ا ال م

أ

إ �ا 5

يبطل

ة لا

لا ة الص

Àم لمص

لا

كال مالك : عمد ال

، وق

م لا

ة أ

لا § للص

Àا يص مم

ان

مام ¬س�وه 5

م الإ

علا

م ، و

لا

ك

ان5

اQé : إن

وز

ال الأ

�ا . وق

ة يبطل

لا ة الص

Àمص G تھ وعمده لغ

م ما بقي من صلا

ة ما ل

Àھ لمص

حذير و ت

ال 'الك ، أ

اد ض

إرش

5 ،

م لا

تھ أ

ة صلا

Àھ سواء لمصت

ل صلا

بط

و سبع ت

G ، أ

ìر3ر من ب

ض

م ، وجواب رسول يھ وسل

ھ عل

$ الل

ھ ص%

مھ لرسول الل

لا

ين ، وك

يد

ة ذي ال بقص

لا

ھ استدلا

$ الل

ھ ص%

الل

ر ، وعمر ، ر��

با بكباتھ أ

íھ ، واست

م ل

يھ وسل

قم عل

ل : " أ

ولھ لبلا

ھ ، وق

�ما لÚما ، وجوا�ھ ع<

� الل

ة

لا تھ مع جم " الص

$ صلا

م ع%

يھ وسل

ھ عل

$ الل

� ص%

م ب¥

، ث

ة

لا م عمد يصÀ§ الص

لا

ك

لك

ل ذ

يع ، و5

ا ق

نوا : ولأ

ال

ابھ ، ق w

ھ أ

من

î³

م �

، ث

م لا

�ا أ

Àصة سواء أ

لا م QR الص

لا

ك

$ إباحة عمد ال

ا ع%

جمعن

د أ

ھ ،

y³�

ث

د أ

ق

ف

ة

لا ل الص

بط

من أ

$ إباحتھ ، ف

باQï ع%

ال

ان

�ا إجماعا ، و5 Àيص

ما لا

يك

لا

لك

وذ

ون

حدد أ

م وق

يھ وسل

ھ عل

$ الل

ھ ص%

ول

ابن مسعود ، وق

ا حديث

ن

اطعة ودليل

ة ق

ل

لا

بد

موا QR إلا

ل

ت

لا

ن

أ

ث

ھ $ الل

�� ص%

ن الن

م وروي أ

لا

ك

ر عام QR جميع ال

ا حظ

ة ، و'ذ

لا � الص ر ، ر��

با بك

أ

ف

ل

خ

م است

يھ وسل

عل

ھ $ الل

ھ ص%

عاد رسول الل

ب¥� عمرو بن عوف ، ف

ة ومر ليصÀ§ ب ن

لا $ الص

ھ ، ع%

ھ عن

بو الل

أ م و

يھ وسل

عل

ة

لا ھ ، QR الصھ عن

� الل ر ، ر��

بك

عك

ال : ما من

ق

ھ ، ف

ى رسول الل

رأ

ف

ت

ف

ت

� ال يھ ح�

اس إل

ق الن

صف

، ف

$ ا

ھ ص%ي رسول الل

يد

م ب ن د

ق

يت

ن

أ

ة

حاف

)ي ق

لابن أ

ان

ال : ما 5

ق

ف

امك

QR مق

قف

ت

ن

م أ

يھ وسل

ھ عل

لل

ال

قسrيح للرجال ، ، ف

ما ال8

إن

ح ، ف uسب

ل

تھ ف

�ء QR صلا

ابھ ��

م : " من ن

يھ وسل

ھ عل

$ الل

صفيق ص%

والت

حد'مان : أ

GH دليلا

y

aفي ا

ساء ف

oا : لل � ر ، ر��

)ي بك

$ أ

إ{

ت

ق

صف

ابة ن ال

م أ

ل

م يت

ھ ، ول

ھ عن

لل

ا�aمعة –الصلاة 182- 2ج - اa`اوي الكب QR G فقھ مذ'ب الإمام الشاف�Q (و'و شرح مختصر المز�ي)

مام ¬س�وه ، وما بقي

م الإ

إعلا�ا 5

يبطل

ة لا

لا ة الص

Àم لمص

لا

كال مالك : عمد ال

تھ وعمده من وق

صلا

ل ص بط

م ت

ة ما ل

Àمھ لمص

لا

ك

ان5

اQé : إن

وز

ال الأ

�ا . وق

ة يبطل

لا ة الص

Àمص G ھ سواء لغ

ت

لا

ر3ر من ب حذير ض

و ت

ال 'الك ، أ

اد ض

إرش

5 ،

م لا

تھ أ

ة صلا

Àلمص، Gì

Imam Mâlik berkata: “Berbicara (dengan Bahasa yang biasa dipakai – pent) untuk kebaikan shalât tidak membatalkan shalât, seperti mengingatkan Imam yang kelupaan, jika berbicara bukan untuk kebaikan shalât (perkataan yang ngawur, atau sengaja berbicara tidak terkait shalât) maka batal shalâtnya.” Imam Auzâ’î berkata:”Jika berbicaranya untuk kebaikan maka tidak batal shalâtnya, baik untuk kebaikan shalât maupun bukan, seperti menunjukkan kepada orang yang tersesat atau mengingatkan orang buta dari (tercemplung) sumur/kolam.

Page 76: Ringkasan Fiqh shalât - MRKR

75

Dalam Kitab Mîzânul Kubrâ, Abdul Wahhāb ibn Ahmad Shaʻrānī, Bab Syarat-syarat Shalât, h.204:

حر3م أو سبق لسانھ او جا'لا بالتومن ذلك اتفاق الأئمة الثلاثة ع%$ انھ لا تبطل صلاة من ت�لم ناسيا

لا بالسلام وأما إن طال الكلام فالأw§ عند, ولم يبطل مع قول أ)ي حنيفة إ��ا تبطل بالكلام ناسيا

.الشاف�Q البطلان

إن 5ان لمصÀ`ة الصلاة 5إعلام الإمام ¬س�وه إذ لم يتoبھ إلا بالكلام فلا تبطل :وقال مالك

حذير ضر3ر فلا تبطل وقال الأوزاQé إن 5ان فيھ مصÀ`ة 5إرشاد ضال وت

204ص 2 - 1المدخلة �7ميع أقوال الأئمة ا���Rدين –الم^�ان الك~Cى الشعرانية

Dari kasus tersebut (berbicara dalam shalât) , disepakati oleh Ulama’ Madzhab (terkecuali Imam Syâfi’î) bahwa tidak batal shalât karena berbicara yang karena terlupa/keceplosan ucapan atau karena ketidaktahuan dan sebagainya dan tidak batal menurut Imam Abu Hanifah karena keceplosan berbicara, kecuali mengucapkan salam atau menjawab salam (maka, hal itu menjadi batal shalâtnya). Dan menurut Imam Syâfi’î, berbicara yang Panjang (lebih dari huruf dan itu difahami sebagai berbicara) maka, batal shalâtnya. Imam Mâlik berkata: “Berbicara (dengan Bahasa yang biasa dipakai – pent) untuk kebaikan shalât tidak membatalkan shalât, seperti mengingatkan Imam yang kelupaan, dan tidak dapat diingatkan selain dengan berbicara maka tidak batal shalâtnya.” Imam Auzâ’î berkata:”Jika berbicaranya untuk kebaikan maka tidak batal shalâtnya, seperti menunjukkan kepada orang yang tersesat atau mengingatkan orang buta (dari bahaya).

2. Bertasbih atau bertepuk tangan (bagi wanita) apabila terjadi sesuatu hal, seperti ingin menegur imam yang lupa atau membimbing orang yang buta dan sebagainya. Hal ini berdasarkan sabda Rasûlullâh :

�ما الت�صفKق !ل�سا ن4لیه، وا

4ب�ح التفت ا Dذا س

4�ه ا ن

4ح، فا ب Dلاة فل@س . ء"من رابه شيء في الص�

Barangsiapa terjadi padanya sesuatu dalam shalât, maka hendaklah bertasbih, sedangkan bertepuk tangan hanya untuk perempuan saja. (Mu’jam Thabrânî)

Menurut Madzhab Mâlikî: Baik laki-laki atau wanita : bertasbih.

3. Membunuh kalajengking, ular dan sebagainya. Hal ini berdasarkan sabda Rasûlullâh :

لاة العقرب والحی�ة عن +�ب(ي هر�رة +�ن� الن�ب(ي� +�مر بق1ل ا��سود�ن في الص�Nabi menyuruh membunuh kedua binatang yang hitam itu sekalipun dalam (keadaan) shalât, yaitu kalajengking dan ular. (HR. Ahmad, Abû Dâwud, At-Tirmidzî dan lainnya, shahîh)

4. Mendorong orang yang melintas di hadapannya ketika shalât. Hal ini berdasarkan sabda Rasûlullâh :

�ه لــى شــيء rســqره مــن الن�ــاس فقال +�بو سعید سمعت رسول ا!ل4ذا صــل�ى +��ــدكم ا

4فــ�pراد +��ــد +�ن یقــول ا

یطان Dما هو ش� ن4ن +�ب(ى فلیقاتله فا

4 یجتاز ب@ن یدیه فلیدفع في نحره فا

Apabila salah seorang di antara kamu shalât meng-hadap ke arah sesuatu yang menjadi pembatas baginya dari manusia, kemudian ada yang mau melintas di hadapannya, maka hendaklah dia mendorongnya dan jika dia memaksa maka perangilah (cegahlah dengan keras). Sesungguhnya (perbuatannya) itu adalah (atas dorongan) setan. (Muttafaq 'alaih)

Page 77: Ringkasan Fiqh shalât - MRKR

76

5. Membalas dengan isyarat apabila ada yang mengajaknya bicara atau memberi salam kepadanya. Dasarnya ialah hadîts dari Jâbir bin Abdullâh �:

�ه �متــه عن Uا-ر قال +�رسلني رسول ا!ل ي �لــى بع@ــره فكل لى بنــي المصــطلق ف�pت@1ــه وهــو یصــل4وهو م[طلق ا

�مته فقال لي هكذا ف�pوم �p زه@ــر +�یضــا بیــده نحــو ا��رض و+�� +�ســمعه فقال لي بیده هكذا و+�وم�p زه@ر بیده ثم� كل�ه لم یمنعني +�ن ن

4�ذي +�رسلتك له فا ا فرغ قال ما فعلت في ال يیقر+k یومئ -ر+>سه فلم� ي كنت +kصل لا� +�ن

4مك ا +kكل

Dari Jâbir bin Abdullâh �, ia berkata, "telah mengutus-ku Rasûlullâh sedang beliau pergi ke Bani Musthaliq. Kemudian beliau saya temui sedang shalât di atas onta-nya, maka saya pun berbicara kepadanya. Kemudian beliau memberi isyarat dengan tangannya. Saya ber-bicara lagi kepada beliau, kemudian beliau kembali memberi isyarat sedang saya mendengar beliau membaca sambil memberi isyarat dengan kepalanya. Ketika beliau selesai dari shalâtnya beliau bersabda, 'Apa yang kamu kerjakan dengan perintahku tadi? Sebenarnya tidak ada yang menghalangiku untuk bicara kecuali karena aku dalam keadaan shalât'. (HR. Muslim)

شارة".عن ا-ن عمر، عن صهیب، قال:"مررت -رسول ا!ل�ه 4 ، وهو یصلي، فسل�مت �لیه، فرد� �لي� ا

Dari Ibnu Umar �, dari Shuhaib , ia berkata: "Aku telah melewati Rasûlullâh ketika beliau sedang shalât, maka aku beri salam kepadanya, beliau pun membalasnya dengan isyarat." Berkata Ibnu Umar: "Aku tidak tahu terkecuali ia (Shuhaib) berkata dengan isyarat jari-jarinya." (Sunan Abû Dâwud, At-Tirmidzî, An-Nasâî, hadîts shahîh) Jadi, isyarat itu terkadang dengan tangan atau dengan anggukan kepala atau dengan jari.

6. Menggendong bayi ketika shalât. Hal ini berdasarkan hadîts Rasûlullâh :

یؤم� الن�اس و+kمامة ب�ت +�ب(ي العاص وهي ابنة زی�ب ب�ت الن�بــ(ي عن +�ب(ي ق1ادة ا��نصاري قال ر+�یت الن�ب(ي� جود +��اد ذا رفع من الس�

4ذا ركع وضعها وا

4 ها�لى �اتقه فا

"Dari Abû Qatâdah Al-Anshârî berkata, 'Aku melihat Nabi mengimami shalât sedangkan Umamah binti Abi Al-'Ash رضي ا!له عنها, yaitu anak Zainab putri Nabi berada di

pundak beliau. Apabila beliau ruku', beliau meletak-kannya dan apabila beliau bangkit dari sujudnya beliau kembalikan lagi Umamah itu ke pundak beliau." (Shahîh Muslim) 7. Berjalan sedikit karena keperluan. Dalilnya adalah hadîts ‘Âisyah رضي ا!له عنها,:

�ه ي والبــاب �لیــه مغلــق ف عن �اÎشة قالت كان رسول ا!ل تف1حت قــال +�حمــد قال +�حمد یصــل Dجئــت فاســه وذكر +�ن� الباب كان في القhلة لى مصلا�

4 فمشى فف1ح لي ثم� رجع ا

"Dari ‘Âisyah رضي ا!له عنها, ia berkata, 'Rasûlullâh sedang shalât di dalam rumah,

sedangkan pintu tertutup, kemudian aku datang dan minta dibukakan pintu, beliau pun berjalan menuju pintu dan membukakannya untukku, kemudian beliau kembali ke tempat shalâtnya. Dan terbayang bagiku bahwa pintu itu menghadap kiblat." (HR. Ahmad, Abû Dâwud, At-Tirmidzî dan lainnya, hadîts hasan)

8. Melakukan gerakan ringan, seperti membetulkan shaf dengan mendorong seseorang ke depan atau menarik-nya ke belakang, menggeser ma'mum dari kiri ke kanan, membetulkan pakaian, berdehem ketika perlu, menggaruk badan dengan tangan, atau meletakkan tangan ke mulut ketika menguap. Hal ini berdasarkan hadîts berikut:

�یل فقمت +kصلي معه فقمت عن rساره فX�pذ عن ا-ن عب�اس قال بت� عند Xالتي فقام الن�ب(ي� ي من ا!ل یصل -ر+>سي ف�pقام[ي عن یمینه

Page 78: Ringkasan Fiqh shalât - MRKR

77

Dari Ibnu ‘Abbâs ماRSاللھ ع !ghر , ia berkata, 'Aku pernah menginap di (rumah) bibiku,

Maimunah ا� tiba-tiba Nabi bangun di waktu malam mendirikan shalât, maka ,ر��� اللھ ع<

aku pun ikut bangun, lalu aku ikut shalât bersama Nabi , aku berdiri di samping kiri beliau, lalu beliau menarik kepalaku dan menempatkanku di sebelah kanannya." (Muttafaq 'alaih) Apakah boleh kita membatalkan Shalât Fardlu untuk menolong orang yang pingsan/sakit? Disebutkan di dalam kitab Ensiklopedia Fiqh:

حة - 34الكو83ية ج الكتاب : الموسوعة الفق�ية - صادر عن : وزارة الأوقاف والشئون الإسلامية 51الصف

عبادة : 45الكو3تعدد الأجزاء : ع ال

ط

2جزءاق

�اء ،

ق

فاق ال

ف

G جائز بات

رQé غ

مسوغ ش

�ا بلا�روع ف

الش

واجبة ¬عد

عبادة ال

ع ال

ط

ق

ط

لأن ق

ع�ا بلا

ع ال ±

عبادة ، ق

ساد ال

ò� عن إف

عبادة ، وورد الن

$ مع حرمة ال

ن

ي8

رQé عبث

وا مسوغ ش

بطل

ت

$ : { ولا

ا{

م }

كعمال

أ

Memutus ibadah wajib setelah masuk didalamnya dengan tanpa adanya [ Qغ شرéمسو ]

Musawwigh syar’î (hal yang memperbolehkannya secara syar’î) hukumnya tidak boleh (haram) menurut kesepakatan ulama fiqh karena memutusnya tanpa alasan berarti mempermainkan kemuliaan suatu ibadah sebagaimana firman Allâh:

م

كعمال

وا أ

بطل

ت

) ( ولا

“Dan janganlah kalian membatalkan amal-amal kalian” (QS. Muhammad, 33).

ل� 1(ت

مر بق

حو'ا للأ

ة ون ل حي

ت

لق

ة

لا ع الص

ط

ق

ت

روع ، ف

مش

رQé ف

ع�ا بمسوغ ش

ط

ا ق م

ياع ) أ

وف ض

ا ، وخ

و ل ھ أ

ل

ھ قيمة

يمكن مال ل

ة ، ولا حو حي

يھ ن

إل

ت

صد

ائم ق

و ن

افل أ

rيھ غ

ن

�وف ، وت

ة مل

اث

Gه ، ولإغ

غ

و رضيع س ، أ

ف

$ ن

وف ع%

ر3ق ، وخ

اذ غ

ق

وم لإن ع الص

ط

سrيح ، و3ق

�ھ ب8�ب

o

ت

Sedang memutuskannya disertai Musawwigh syar’î (hal yang memperbolehkannya secara syar’î) maka diperbolehkan menurut syariat, maka boleh memutus shalât sebab hendak membunuh ular karena ada perintah membunuhnya, menyelamatkan harta benda yang bernilai baik miliknya sendiri atau orang lain, menolong orang yang mengaduh meminta bantuan, memperingatkan orang yang tidak tahu atau tidur yang hendak dicelakai semacam ular dan tidak memungkinkan baginya hanya peringatan dengan bacaan tasbih. Ibadah PUASA boleh diputuskan demi menyelamatkan orang yang tenggelam, mengkhawatirkan keselamatan diri, atau karena sedang menyusui.

م 2( وال

ة في

ن

aال ا

قمھ ف

�اء QR حك

ق

ف

ال

ف

ل

ت

د اخ

ق

روع فيھ ف

الش

ع ¬عد و

ط

ع الت

ط

ا ق م

) .أ

: لا

ة الكي

الش

عھ ¬عدط

يجوز يجوز ق

روع فيھ ، ولا

زم بالش

، و3ل

ھ عبادة

مامھ ، لأن

رض و3جب إت

ف

ال

ر 5

عذ

روع بلا

óÇ وال

aا ا

ع ، عد و

ط

ع الت

ط

: يجوز ق

ة

ابل

ن

aوا ة افعي

ال الش

.وق

ھ عبادة

ھ ، لأن

ال

ديث عمرة إبط a ،

سھ

فم G ن

ل أ

ف

ن

مت

ال

Sedang memutus ibadah sunah setelah masuk didalamnya maka terdapat perbedaan pendapat diantara para ulama fiqh, kalangan Hanafîyyah dan Mâlikîyyah menilai juga tidak diperbolehkan tanpa adanya udzur seperti halnya ibadah wajib diatas dengan alasan karena meskipun berbentuk sunnah ia juga merupakan ibadah yang wajib disempurnakan saat seseorang tengah menunaikannya dan tidak boleh dibatalkan ditengah jalan. Kalangan Syâfi’îyyah dan Hanabilah berpendapat selain dalam ibadah haji dan umrah boleh memutuskannya berdasarkan hadîts “Ibadah sunnah pengendali dirinya (bila berkehendak silakan diteruskan atau diputuskan)” HR. at-Tirmidzî,

Page 79: Ringkasan Fiqh shalât - MRKR

78

)3 �� فرع

ا ش

ا إذ

سد

ف

مام�ما ، وsن

يجب إت

ف

عمرة

óÇ وال

aا ا م

مامھ ، أ

حب إت

كن fست

�ما ) ول

ل

ف

ما ، لأن ن

رض�ما

ف

كع ف و

ط

حمد / 1) .__________( 21( ر : ت ، 281/ 1، حاشية الدسوQï 281/ 1اµع ، بداµع الصن 440/ 1) رد ا�`تار 2.( 33) سورة م

) حديث : " المتنقل أم G نفسھ " . أخرجھ ال£Gمذي 1) (3وما ¬عد'ا .( 106، 105 - 94وما ¬عد'ا 81/ 4، ا��موع 249، 49/ 2المغ¥�

افقھ الذ'�� .) و 439/ 1) من حديث أم 'ا�ئ بلفظ " الصائم أم G أو أم ن نفسھ " . وأخرجھ اa`اكم ( 100/ 3( Çw`ھ وو

Namun yang lebih utama adalah menyempurnakannya. Sedang dalam ibadah Haji dan umrah maka wajib disempurnakan meski ibadahnya telah dianggap rusak karena nilai sunnah dalam haji dan umrah seperti nilai fardhunya. (Mausû’ah Fiqhîyyah Quwaitîyyah: 34/51).

HAL_HAL YANG MEMBOLEHKAN MEMUTUS SHALÂT FARDLU

ھ ج ت

ھ الإسلامي وأدل

حة - 2الكتاب : الفق 220الصف

ـ ة وتخر3ج�اثالثا بو3

حقيق الأحاديث الن ة وت ات الفق�ي ظر3

ة وأ'م الن ة والآراء المذ'بي رعي

ة الش

امل للأدل

الش

لصلاة لأجلھ:قد يجب قطع الصلاة لضرورة، وقد يباح لعذر.ما تقطع ا

باستغاثة yöص - 1أما ما يجب قطع الصلاة لھ لضرورة ف�و ما يأ±ي:1 - تقطع الصلاة ولو فرضا

وقع QR الماء، أو صال عليھ حيوان، أو مل�وف، ولو لم fستغث بالمص%Q ¬عينھ، كما لو شا'د إ�سانا

ر ع%$ إغاثتھ.ولا يجب عند اa`نفية قطع الصلاة بنداء أحد الأبو3ن من اعتدى عليھ ظالم، و'و قاد

غ G استغاثة؛ لأن قطع الصلاة لا يجوز إلا لضرورة.

Memutus shalât terkadang (dihukumi) wajib karena situasi darurat dan terkadang boleh karena adanya udzur. Memutus shalât wajib karena situasi darurat, diantaranya : 1. Shalât boleh diputus meskipun shalât wajib karena minta tolongnya seseorang yang

mengaduh meskipun tidak minta pertolongan pada orang yang tengah shalât , seperti saat ia melihat seseorang jatuh di dalam air, diterkam binatang, dianiaya orang dhalim dan ia mampu memberi pertolongan. Menurut Hanafîyyah memutus shalât karena akibat panggilan salah satu dari kedua orang tua bila bukan karena meminta pertolongan (seperti contoh diatas) hukumnya tidak boleh karena memutus shalât tanpa darurat tidak diperbolehkan.

حوه. - 2 إذا غلب ع%$ ظن المص%Q خوف تردي أع÷�، أو صغ G أو غ G'ما QR بGì ونوتقطع الصلاة أيضا

كما تقطع الصلاة خوف اندلاع النار واح£Gاق المتاع وم�اجمة الذئب الغنم؛ لما QR ذلك من إحياء

حة. النفس أوالمال، وsم�ان تدارك الصلاة ¬عد قطع�ا، لأن أداء حق اللھ ±عا{$ مب¥� ع%$ المسام

2. Shalât juga boleh diputus bila seorang yang tengah shalât memiliki praduga akan terjatuhnya orang yang buta, anak kecil atau selain mereka berdua dalam semacam sumur atau lainnya, seperti bolehnya memutus shalât saat melihat akan terlalap dan terbakarnya harta benda oleh kobaran api, diserngnya kambing oleh anjing hutan, karena didalamnya terdapat unsur menyelamatkan jiwa dan harta benda dan masih memungkinkannya menjalankan shalât setelah memutusnya sebab “Hak-hak Allâh dibangun berdasarkan kemurahan.”

لعذر ف�و ما يأ±ي : وأما ما يجوز قطع الصلاة لھ ولو فرضا

1 - GÔفأك سرقة المتاع، ولو 5ان المسروق لغ Gه، إذا 5ان المسروق fساوي در'ما

Hal-hal yang dianggap udzur yang membolehkan seseorang memutus shalât meskipun shalât wajib: 1.Pencurian harta benda meskipun milik orang lain bila harta yang dicuri bernilai satu dirham keatas.

Page 80: Ringkasan Fiqh shalât - MRKR

79

خوف المرأة ع%$ ولد'ا، أو خوف فوران القدر، أواح£Gاق الطعام ع%$ النار. ولو خافت القابلة - 2

�ا تأخ G الصلاة عن وق°�ا، وقطع�ا �(الداية) موت الولد أو تلف عضو منھ، أو تلف أمھ ب£Gك�ا، وجب عل

�ا� لو 5انت ف2.Kekhawatiran seorang ibu akan anaknya, hangusnya masakan, membludaknya panci masakan.Seorang dukun bayi bila mengkhawatirkan matinya atau cacatnya anak yang hendak dilahirkan atau cacatnya ibu yang sedang melahirkan, maka ia wajib mengakhirkan shalât-nya atau memutuskannya saat sedang menjalaninya.

مخافة المسافر من اللصوص أو قطاع الطرق - 33.Kekhawatiran musafir dari seorang pencuri atau begal.

4 - G يوان المؤذي إذا احتاج قتلھ إ{$ عمل كث`aقتل ا 4.Membunuh binatang buas bila membutuhkan banyak bantuan saat membunuhnya.

رد الدابة إذا شردت - 55.Mengembalikan hewan tunggangan yang lepas.

مدافعة الأخبث ن (البول والغائط) وsن فاتتھ ا�aماعة - 66.Menahan dua hal yang menjijikkan (yang keluar dari qubul dan dubur) meskipun akan hilang (meninggalkan) darinya (shalât) berjamaah.

نداء أحد الأبو3ن QR صلاة النافلة، و'ولا fعلم أنھ QR الصلاة، أما QR الفر3ضة فلا يجيبھ إلا للضرر، - 7

.60و'ذا متفق عليھ. مراQï الفلاح: ص

7.Panggilan salah seorang dari kedua orang tua dalam shalât sunnah, yang mereka tidak mengetahui bahwa ia tengah shalât , sedang dalam shalât wajib maka tidak boleh menjawabnya kecuali dalam keadaan darurat, hal ini menjadi kesepakatan ulama (keterangan dari kitab Murâqî al-falâh hal 60, kitab ulama’ Hanafîyyah). [ Al-Fiqh al-Islâm II/220 ]. ۞ Kisah Abu Barzah Al-Aslami �

اد -ن زید عن ا��زرق -ن ق@س قال كن�ا �لى شاطئ نهر ثنا حم� ثنا +�بو الن�عمان �د� هواز قد نضب عنه �د� ��MوXل�ى فرسه فانطلقت الفرس فqرك صلاته وتبعها ح1�ى +�دركها الماء ف�اء +�بو -رزة ا��سلمي� �لى فرس فصل�ى

یخ �ر �Dلى هذا الش4ك صلاته من +�Uل فX�pذها ثم� Uاء فقضى صلاته وفKنا رUل له ر+>ي ف�pقhل یقول انظروا ا

4ن� م�زليفرس ف�pق �م وقال ا مqراخ فلو hل فقال ما عن�ف[ي +��د م[ذ فارقت رسول ا!ل�ه صل�ى ا!ل�ه �لیه وسل

�ه قد صحب الن�ب(ي� صل�ى ا!ل�ه � �یل وذكر +�ن لى ا!ل4�یت و�ركته لم +ت +�هلي ا �م فر+�ى من ت@س@ره صل لیه وسل

Telah menceritakan kepada kami Abu An Nu'man telah menceritakan kepada kami Hammad bin Zaid � dari Al-Azraq bin Qais � dia berkata; "Kami pernah berada di tepi sungai di Ahwaz yang airnya sedikit mengering, tiba-tiba Abu Barzah Al-Aslami � datang dengan mengendarai kuda, lalu dia mengerjakan shalât dengan membiarkan kudanya, tiba-tiba kudanya kabur, dia pun membatalkan shalâtnya untuk mengejar kudanya yang kabur hingga ia dapat menangkapnya lagi, kemudian dia kembali untuk mengqadha' shalâtnya. Ternyata di antara kami ada seorang laki-laki yang memiliki pikiran (lain), ia lalu menghadap dan berkata; "Lihatlah orang tua ini, ia meninggalkan (membatalkan) shalâtnya karena seekor kuda." Setelah itu Abu Barzah � menemuinya dan berkata;

�ه صل�ى ا!ل�ه �لیه وسل�م ] Tidak ada seorang pun yang sangat" [ما عن�ف[ي +��د م[ذ فارقت رسول ا!ل

sangat mencelaku semenjak saya berpisah dengan Rasûlullâh ," katanya

Page 81: Ringkasan Fiqh shalât - MRKR

80

selanjutnya: "Sesungguhnya tempat tinggalku sangatlah jauh, sekiranya aku shalât dan membiarkan kudaku (lepas), niscaya aku pulang ke keluarga sampai larut malam." Dan Al-Azraq � menyebutkan bahwa dia telah menemani Rasûlullâh dan ikut berperang bersama beliau." (Shahîh Al-Bukhârî No. 5662 ). ۞Bagaimana cara mengingatkan Imam yang lupa membaca Surat Alfatiha? Apabila imam lupa atau salah dalam membaca ayat atau surat Al Qur‘an, atau Imam menambah atau mengurangi Rakaat shalât atau ada kekeliruan dalam shalât (seperti tidak duduk Tahiyyat, tanpa duduk di antara dua sujud), maka ma’mum boleh mengingatkan atau membetulkannya. Hal ini berdasarkan hadits Ibnu Umar � :

ب(ي +�صل�یت معنا عن عبد ا!ل�ه -ن عمر +�ن� الن�ب(ي� k� ا انصرف قال صل�ى صلاة فقر+� فKها فلLس �لیه فلم� قال نعم قال فما م[عك

Bahwa Nabi shalât, kemudian beliau membaca suatu ayat, lalu beliau salah dalam membaca ayat tersebut. Setelah selesai shalât beliau bersabda kepada Ubay, “Apakah kamu shalât bersama kami?', ia menjawab, 'Ya', kemudian beliau bersabda, 'Apakah yang menghalangi-mu untuk membetulkan bacaanku.” (HR. Abu Dâwud, Al-Hakim dan Ibnu Hibban, Shahîh) Pada Shalât berjamaah Bertasbîh atau bertepuk tangan (bagi wanita) apabila terjadi sesuatu hal, seperti ingin menegur imam yang lupa atau membimbing orang yang buta dan sebagainya. Hal ini berdasarkan sabda Rasûlullâh :

�ما الت�صفKق !ل�سا ن4لیه، وا

4ب�ح التفت ا Dذا س

4�ه ا ن

4ح، فا ب Dلاة فل@س ء" .من رابه شيء في الص�

Siapa terjadi padanya sesuatu dalam shalât, maka hendaklah bertasbîh, sedangkan bertepuk tangan hanya untuk perempuan saja. (Mu’jam Thabrânî) Menurut Madzhab Mâlikî: Baik laki-laki atau wanita: bertasbîh (membaca:

Subhanallâh , بحن ا!له Dس )

۞ Hal-hal yang makruh didalam shalât Yang dimaksud makruh yaitu, perbuatan yang bila dikerjakan tidak membatalkan shalât. Namun sebaiknya tidak dikerjakan.

1. Menengadahkan pandangan ke atas. Hal ini berdasarkan hadîts Rasûlullâh :

ثهم قال قال الن�ب(ي� تد� +�ن� +��س -ن ما!ك �د� Dماء فــي صــلاتهم فاشــ لى الس�4 ما Mل +�قوام �رفعون +�بصارهم ا

قوله في ذ!ك ح1�ى قال لی1�هن� عن ذ!ك +�و لتخطفن� +�بصارهم Apa yang membuat orang-orang itu mengangkat penglihatan mereka ke langit dalam shalât mereka? Hendak-lah mereka berhenti dari hal itu atau (kalau tidak), niscaya akan tersambar penglihatan mereka." (HR. Al-Bukhârî dan Muslim meriwayatkannya dengan makna yang sama)

2. Memejamkan mata ketika shalât kecuali karena khawatir pandangannya terpusat pada sesuatu yang dapat memalingkannya dari shalât.

3. Shalât dengan membaca Mushaf

4.Meletakkan tangan di pinggang. Hal ini berdasarkan larangan Rasûlullâh meletakkan tangan di pinggang ketika shalât.

Page 82: Ringkasan Fiqh shalât - MRKR

81

5. Menoleh atau melirik, kecuali bila diperlukan. Hal ini berdasarkan perkataan ‘Âisyah ا� .ر��� اللھ ع<

یطان مــن عن �اÎشة قالت س�pلت رسول ا!ل�ه �Dلاة فقال هو اخ1لاس یختلسه الش عن الالتفات في الص� صلاة العبد

Aku bertanya kepada Rasûlullâh tentang seseorang yang menoleh dalam keadaan shalât, beliau menjawab: "Itu adalah pencurian yang dilakukan setan dari shalât seorang hamba." (Shahîh -Bukhârî dan Abû Dâwud, lafadz ini dari riwayatnya)

6. Melakukan pekerjaan yang sia-sia, serta segala yang membuat orang lalai dalam shalâtnya atau kehilangan kekhusyû’an. Hal ini berdasarkan sabda Nabi :

لاة اسك[وا في الص�Hendaklah kamu tenang dalam melaksanakan shalât. (HR. Muslim, Abû Dâwud, Nasâî,Thabrânî)

7. Menaikkan rambut yang terurai atau melipatkan lengan baju yang terulur. Hal ini berdasarkan sabda Rasûlullâh :

بعة +�عظم ولا +�كف� ثوM ولا شعرا الن�ب(ي عن ا-ن عب�اس عن Dمرت +�ن +�س�د �لى سk+ قال Aku diperintahkan untuk sujud di atas tujuh anggota badan dan tidak boleh melipat baju atau menaikkan rambut (yang terulur). (Shahîh Muslim)

8. Menyapu kerikil yang ada di tempat sujud (dengan tangan) dan meratakan tanah lebih dari sekali. Hadîts Rasûlullâh :

ن كنت لا بد� فا�لا فوا�دة عن معیقKب قال ذكر الن�ب(ي� 4 المسح في المس�د یعني الحصى قال ا

Dari Mu'aiqib, ia berkata, 'Rasûlullâh menyebutkan tentang menyapu di masjid (ketika shalât), maksudnya menyapu kerikil (dengan telapak tangan). Beliau bersabda: "Apabila memang harus berbuat begitu, maka hendaklah sekali saja." (Shahîh Muslim)

Hadîts lainnya:

ثني معیقKب +�ن� الن�ب(ي� � ن كنت فا�لا فوا�دة د�4Uل rسوي ال�qراب حKث rس�د قال ا قال في الر�

Dari Mu'aiqîb pula, bahwa Rasûlullâh bersabda tentang seseorang yang meratakan tanah pada tempat sujudnya (dengan telapak tangan), beliau bersabda, 'Kalau kamu melakukannya, maka hendaklah sekali saja'. (Muttafaq 'alaih)

9. Mengulurkan pakaian sampai mengenai lantai dan menutup mulut (tanpa alasan).

�ه دل فــ عن +�ب(ي هر�رة ، +�ن� رسول ا!ل Uــل فــاه نه(ى عن الس� ــي الر� ــلاة ، و+�ن یغط ــدل : هــو (ي الص� والس�رسال الث�وب ح1�ى یص@ب ا��رض

4 )ا

Dari Abi Hurairah �, ia berkata, 'Rasûlullâh melarang mengulurkan pakaian sampai mengenai lantai dalam shalât dan menutup mulut. (Sunan Abû Dâwud, At-Tirmidzî, hadîts hasan) Dibolehkan menutup mulut karena hal lain seperti: menguap.

10. Shalât di hadapan makanan. Ini berdasarkan hadîts :

عام لا صلاة بحضرة الط�Tidak sempurna shalât (yang dikerjakan setelah) makanan dihidangkan. (Shahîh Muslim)

Page 83: Ringkasan Fiqh shalât - MRKR

82

11. Shalât sambil menahan buang air kecil atau besar, dan sebagainya yang mengganggu ketenangan hati. Hal ini berdasarkan hadîts:

�ه عام ولا هو یدافعه ا��خhثان سمعت رسول ا!ل یقول لا صلاة بحضرة الط�Tidak sempurna shalât (yang dikerjakan setelah) makanan dihidangkan dan shalât seseorang yang menahan buang air kecil dan besar. (Shahîh Muslim)

12. Shalât ketika sudah terlalu mengantuk atau shalât dengan menahan kantuk. Rasûlullâh bersabda:

�ه عن � ن� +��ــدكم اÎشة +�ن� رسول ا!ل4ذا نعس +��دكم وهو یصلي فل@رقد ح1�ى یذهب عنــه الن�ــوم فــا

4قال ا

تغفر ف@سب� نفسه Dسr ه� ذا صل�ى وهو �عس لا یدري لعل4 ا

Apabila salah seorang di antara kamu ada yang mengantuk dalam keadaan shalât, maka hendaklah ia tidur sampai hilang rasa kantuknya. Maka sesungguhnya apabila salah seorang di antara kamu ada yang shalât dalam keadaan mengantuk, dia tidak akan tahu apa yang ia lakukan, barangkali ia bermaksud minta ampun kepada Allâh, ternyata dia malah mencerca dirinya sendiri. (Shahîh Bukhârî, Muslim, Abû Dâwud, Tirmidzî, Ibn Mâjah)

13. Shalât dengan Isbal yaitu dengan merendahkan (menjulurkan/menurunkan)

pakaiannya hingga menutupi mata kaki (bagi laki-laki). Bahkan hukumnya haram bagi orang yang shalât dengan merendahkan (menjulurkan/menurunkan) pakaiannya, karena kesombongan. Akan tetapi jika tidak didorong oleh kesombongan maka hukumnya makruh saja. Dalam kitab Irsyâdul 'Ibâd’ hal 28:

لا� كره ویحرم ا6 4 .زال ثوبه +و ازاره عن كعبیه بقصد الخیلاء وا

Dan haram menurunkan pakaiannya atau sarungnya melewati kedua mata kakinya dengan maksud menyombongkan diri. Namun jika tidak dengan maksud tersebut, maka dihukumi makruh.

14.Berdiri dengan satu kaki atau bersandar ke sesuatu (tembok/tiang) dan seandainya sandaran tersebut dihilangkan dan si Mushalli terjatuh dan terangkat telapak kaki-nya dari lantai/terlihat telapak kakinya, maka batal shalâtnya

15.Mengeraskan bacaan yang seharusnya pelan (sir) atau mengucapkan takbir

(bagi ma'mum) terlalu keras sehingga mengganggu ma'mum lainnya. Bila dilakukan, menurut Mâlikîyah: harus sujud Sahwi.

16.Beralaskan dengan kedua hasta, yaitu menempelkan keseluruhan dua hasta, seperti sikap binatang buas, berdasarkan hadîts ‘Âisyah dalam Shahîh Muslim: "Rasûlullâh melarang tumit Setan dan seseorang menghamparkan kedua hastanya seperti sikap binatang buas." Kemakruhannya menurut Hanafî yah adalah makruh tahrîm.

Page 84: Ringkasan Fiqh shalât - MRKR

83

17. Shalât menghadap api (lilin misalnya), wajah seseorang, di belakang wanita yang sedang shalât.

18.Shalât dengan memakai baju bergambar orang, binatang, atau yang berwarna mencolok.

19. Shalât, dengan bau mulut karena makanan, seperti Jengkol, bawang dan lain-lain.

۞ Tempat-tempat yang MAKRUH untuk digunakan shalât 1. Shalât di tengah jalan, karena memang membuat si Mushalli tidak khusyû’.

Disamping itu juga tidak bisa dijamin sucinya dari najis. 2. Shalât di tempat pemandian umum, menurut Hanafî yah, Syafi'yah, dan Hanabilah

adalah makruh, karena pemandian umum merupakan tempat tinggal setan dan tempat terbukanya aurat, dan umumnya terkena percikan bekas mandi dan najis.

3. Shalât di tempat berlututnya onta, atau hewan ternak lainnya. 4. Shalât di tempat penyimpanan pupuk atau penyembelihan hewan 5. Shalât di Gereja atau di tempat maksiat seperti diskotik dan lain-lain, dimana dijual

minuman keras (Khamr) sebagaimana dijelaskan oleh Imam Nawâwî رحمــه ا!لــه – dalam

Kitab Al Majmû’ 6. Shalât menghadap ke Kuburan, dengan rincian dari Imam Madzhab sebagai berikut :

Shalât di kuburan menurut jumhur fuqahâ’ selain Mâlikîyah adalah makruh, karena adanya najis dibawahnya dan karena menyerupai orang Yahudi, sebagaimana hadîts dari ‘Âisyah رضي ا!له عنها :

لعن ا!ل�ه الیهود ات�gذوا قhور +�نKLائهم مساUد "Kutukan Allâh diberikan kepada orang Yahudi karena mereka menjadikan kubur para nabi mereka sebagai mesjid. (Shahîh Bukhârî –Muslim dan Musnad Ahmad) Secara rinci pendapat para fuqahâ’ menegenai shalât di kuburan adalah sebagai berikut: Madzhab Hanafî berpendapat makruh shalât di kubur apabila kuburannya tepat berada di hadapan orang yang shalât, sehingga apabila ia shalât dengan khusyû’ pandangannya akan tertuju kepadanya. Adapun bila kuburannya berada di belakangnya, di atasnya, atau di bawahnya, maka berdasarkan penelitian tidak makruh. Demikian juga tidak makruh shalât di tempat yang disediakan untuk shalât yang tidak ada najis dan kotorannya, dan tidak makruh secara mutlak shalât di kubur para nabi. Madzhab Syâfi’î berpendapat makruh shalât di kubur yang belum digali, baik kuburnya berada di depan, di belakang, di samping kanan, di samping kiri, maupun di bawahnya,

KLاء وشهداء المعركة؛ �ن ا!له تعالى حرم �لى ا�رض +ن تpكل +جساد ا�نKLاء ، وانمــا هــم الا مقا-ر ا�ن +حKاء في قhورهم یصلون

kecuali kubur para nabi dan para syuhada perang, karena Allâh mengharamkan kepada bumi memakan tubuh para nabi, bahkan mereka hidup di dalam kubur dan melakukan shalât. Demikian juga para syuhada adalah hidup, kecuali apabila diniati untuk mengagungkan mereka, maka haram. Adapun kubur yang telah digali, maka tidak sah shalât tanpa penghalang padanya, dan makruh bila dengan penghalang. Madzhab Hanbalî berpendapat bahwa kubur adalah tempat yang terdiri dari tiga kuburan atau lebih dan berupa sebidang tanah yang diwakafkan untuk kuburan. Adapun bila kurang dari tiga kubur, maka sah tanpa makruh shalât padanya apabila tidak menghadap ke kubur, dan bila menghadap kepadanya, maka makruh.

Ada pendapat: tidak sah shalât di kuburan, berdasarkan hadîts marfû’ Abû Sa'id:

Page 85: Ringkasan Fiqh shalât - MRKR

84

ام لا� المقLرة والحم�4�ها مس�د ا ا��رض كل

"Seluruh bumi adalah masjid kecuali kuburan dan pemandian umum." (At Tirmidzî, Ibn Mâjah dan Ahmad)

Makruh shalât menghadap ke kubur tanpa penghalang (hamparan), berdasarkan hadîts Abû Mursyîd al-Ghanawî:

لى القhور ولا ت�لسوا �لیها4 لا تصل�وا ا

"Janganlah shalât dengan menghadap kekubur dan jangan duduk di atasnya." (Shahîh Muslim, Nasâî dan Ahmad)

Hadîts Ibnu Umar ماRSاللھ ع !ghر:

اجعلوا من صلا�كم في بیو�كم ولا تت�gذوها قhورا"Jadikanlah sebagian dari shalâtmu di rumahmu, dan janganlah kamu menjadikannya di kubur."(Shahîh Muslim dan Ahmad) Pengertian shalât di kuburan itu :

.( الفقــه الاســلامي وذ!ك سواء �دث المس�د بعد المقLــرة +م �ــدثت المقLــرة بعــده ، حولــه +و فــي قhلتــه و+دلته)

Boleh jadi masjid dibangun setelah adanya kubur atau sebaliknya, baik kubur berada di kiri kanannya maupun di hadapannya.

7. Shalât di atas ka'bah adalah makruh karena dengan cara itu yang bersangkutan meninggalkan pengagungan yang diperintahkan dan karena tidak adanya pembatas yang tetap di hadapan orang yang shalât, karena ia shalât di atas Baitullah, bukan menghadap kepadanya. Akan tetapi disepakati sah shalât di permukaan atau didalam ka'bah, apabila shalâtnya adalah shalât sunnah. Adapun shalât fardlu menurut Mâlikîyah dan Hanabilah tidak sah di lakukan dipermukaan atau di dalam ka'bah, sedangkan menurut Syâfi’î yah danHanafî yah sah secara mutlak, baik shalât fardlu maupun shalât sunnah.

۞ Hal-hal yang membatalkan shalât Menuurt para ulama Hanafî menyebutkan terdapat 68 (enam puluh delapan) perkara yang merusak shalât, ulama Mâlikî menyebutkan kurang lebih 30 (tiga puluh) perkara, ulama Syâfi’î menyebutkan terdapat 27 (dua puluh tujuh) dan ulama Hanbalî menyebutkan ada 36 (tiga puluh enam) perkara. Shalât seseorang, batal jika melakukan salah satu dari hal-hal berikut : 1. Merubah Niat, dalam hal merubah niat Syaikh Abû Syuja' dalam Kitab Kifâyatul Akhyâr dijelaskan:

Dalam perubahan niat ini ada beberapa masalah: 1. Jika seseorang memutuskan niat, misalnya berniat keluar dari shalât, maka seketika itu

juga batal shalâtnya tanpa ada khilaf, sebab di antara syarat niat adalah berlangsung terus hingga selesai. Yang demikian itu berbeda dengan apabila seseorang itu berniat keluar dari puasa, yang menurut qaul yang ashah (Shahîh), tidak batal puasanya. Perbedaannya, bahwa puasa itu adalah menahan diri dari makan minum dan sesuatu yang membatalkan puasa. Jadi ia termasuk bab meninggalkan perbuatan, karenanya niat membatalkannya tidak dapat berpengaruh. Berbeda denagn shalât, shalât adalah perbuatan yang berbeda-beda yang tidak bersambung antara yang satu dengan yang lainnya jika tidak dengan zat; maka apabila hilang niatnya, hilanglah sambungannya.

2. Jika seseorang itu merubah niatnya dari niat suatu fardlu kepada fardlu yang lain, atau dari fardlu kepada sunnah, menurut qaul yang ashah (paling shahîh), batal shalâtnya. Sebagian Ulama ada yang memastikan batal-nya Shalât.

3. Jika seseorang berkehendak kuat untuk memutuskan shalâtnya, misalnya pada rakaat

Page 86: Ringkasan Fiqh shalât - MRKR

85

yang pertama ia mantap akan memutus shalâtnya pada rakaat yang kedua, seketika itu juga batal shalâtnya, karena ia telah memutuskan syarat keterusan niat, yaitu syarat ketetapan berlangsungnya niat hingga selesai shalâtnya.

4. Tatkala seseorang ragu-ragu apakah ia telah memutuskan niat, misalnya ia ragu-ragu apakah ia akan keluar dari shalât atau akan meneruskannya, maka shalâtnya batal, sebab berlangsungnya niat yang diperlukan dengan keberlangsungan setelah hilang dengan keragu-raguan itu.

2. Makan dan minum dengan sengaja. Berdasarkan hadîts: لاة لشغلا ن� في الص� 4

اSesungguhnya di dalam shalât itu ada kesibukan tertentu. (HR Bukhârî, Muslim, Abû Dâwud, Tirmidzî)

Dan ijmâ’ ulama juga mengatakan bahwa makan dan minum dengan sengaja adalah membatalkan Shalât. Al Qadhî Husain berkata: “Apabila ia makan kurang dari sebiji bijian, tidak batal. Adapun tentang sebiji bijian atau kira-kira sebesar bijan itu ada dua (pendapat) namun yang shahîh, batal shalâtnya. Minum adalah serupa dengan makan.” (Kifâyatul Akhyâr – Bab Perkara yang membatalkan Shalât)

3. Berbicara dengan sengaja, tidak terkait shalât.

لى ج[به في الص� 4Uل صاحhه وهو ا م الر� لاة �كل لاة ح1�ى 6زلت{ وقوموا عن زید -ن +�رقم قال كن�ا نتكل�م في الص�

كوت ونهینا عن الكلام �ه قانت@ن } فkpمر� Mلس� !لDari Zaid bin Arqam �, ia berkata, 'Dahulu kami berbicara di waktu shalât, salah seorang dari kami berbicara kepada temannya yang berada di sampingnya sampai turun ayat: 'Dan hendaklah kamu berdiri karena Allâh (dalam shalâtmu) dengan khusyû'(QS Al Baqarah : 238), maka kami pun diperintahkan untuk diam dan dilarang berbicara. (HR Muslim)

Dan juga hadîts Rasûlullâh : لاة لا یصلح فKها شيء من كلام الن�اس ن� هذه الص� 4

اSesungguhnya shalât ini tidak pantas ada di dalamnya percakapan manusia sedikit pun. (Shahîh Muslim)

Adapun berkata-kata untuk membetulkan pelaksanaan shalât, boleh, seperti membetulkan bacaan (Al-Qur'an) imam, atau imam setelah salam kemudian bertanya apakah shalât-nya sudah sempurna, atau belum. Hal ini pernah terjadi terhadap Rasûlullâh ,

لاة +�م �ســ@ت o رســول انصرف من اثنq@ن فقال له ذو عن +�ب(ي هر�رة +�ن� رسول ا!ل�ه الید�ن +�قصرت الص�فصل�ى اثنq@ن +kخری@ن ثــم� ســل�م +�صدق ذو الید�ن فقال الن�اس نعم فقام رسول ا!ل�ه ا!ل�ه فقال رسول ا!ل�ه

+�و +�طول ثم� كL�ر فس�د م¡ل سجوده Dari Abû Hurairah �, Sesungguhnya Rasûlullâh melaksanakan Shalât 2 Rakaat (mestinya 4 rakaat) maka kemudian Dzul Yadain bertanya kepada beliau, 'Apakah Anda lupa ataukah sengaja meng-qashar shalât, wahai Rasûlullâh?' Rasûlullâh menjawab, 'Aku tidak lupa dan aku pun tidak bermaksud meng-qashar shalât.' Dzul Yadain berkata, 'Kalau begitu Anda telah lupa wahai Rasûlullâh.' Beliau bersabda, 'Apakah yang dikatakan Dzul Yadain itu betul?' Para sahabat menjawab, 'Benar.' Maka beliau pun menambah shalâtnya dua rakaat lagi, kemudian melakukan sujud sahwi dua kali. (Muttafaq 'alaih)

Page 87: Ringkasan Fiqh shalât - MRKR

86

Termasuk ucapan (perkataan) yang membatalkan: Berdehem tanpa alasan, jika terdapat dua huruf atau lebih. Termasuk juga: Mengaduh, merintih, membentak dan menangis - jika terkandung huruf-huruf yang dapat didengar - kecuali keluar oleh kesakitan atau ketakutan kepada Allâh. Termasuk yang membatalkan: Mendoakan orang bersih (tasymital-'athis) - يرحمك اللھ -dan menjawab salam.

Madzhab Mâlikî berpendapat bahwa berdehem itu tidak membatalkan shalât. Tapi Jika dehemnya terdiri dari sejumlah huruf (banyak dan main-main) maka shalâtnya batal. Baik ia berdehem karena ada perlu atau pun tidak. Menurut madzhab Syâfi’î berpendapat bahwa berdehem yang sedikit itu dima'afkan bila ia tidak bisa menahannya, kecuali apabila dehemnya merupakan penyakit yang tidak dapat dihindarkan, di mana seseorang (yang shalât) tidak dapat terhindar darinya untuk selama waktu (cukup) shalât. Berdehem banyakpun juga tidak membatalkan shalât apabila ia berhalangan untuk mengucapkan salah satu rukun shalât yang bersifat qauli, seperti membaca al Fatihah, dengan maksud bila banyak berdehem dengan maksud agar ia dapat membaca, tidaklah membatalkan shalât Namun bila ia berdehem banyak untuk dapat mengucapkan yang sunnah, maka tidak dima'afkan/batal.

4. Meninggalkan salah satu rukun shalât atau syarat shalât yang telah disebutkan, apabila hal itu tidak ia ganti/sempurnakan di tengah pelaksanaan shalât atau sesudah selesai shalât beberapa saat. Hal ini berdasarkan hadîts Rasûlullâh terhadap orang yang shalâtnya tidak tepat:

�ه �ــه عن +�ب(ي هر�رة +�ن� رسول ا!ل فــرد� دXل المس�د فدXل رUل فصل�ى ثم� Uــاء فســل�م �لــى رســول ا!ل�ه لى الن�بــ(ي قال ارجع فص رسول ا!ل

4Uل فصل�ى كما كان صل�ى ثم� Uاء ا �ك لم تصل فرجع الر� ن

4فســل�م ل فا

�ه �لیه فقال رسول �ك لم تصل ح1�ى فعل ذ!ك ثلاث مر� ا!ل ن4لام ثم� قال ارجع فصل فا …ات و�لیك الس�

Dari Abû Hurairah �, Sesungguhnya Rasûlullâh masuk ke Masjid, kemudian masuk juga seseorang untuk Shalât kemudian mendatangi Rasûlullâh dan mengucap Salam, maka Rasûlullâh berkata :Kembalilah kamu melaksanakan shalât, sesungguhnya kamu belum melaksanakan shalât, kemudian orang tersebut mengulang shalâtnya, kemudian mendatangi Rasûlullâh lagi dan mengucap Salam Rasûlullâh berkata : Kembalilah kamu melaksanakan shalât, sesungguhnya kamu belum melaksanakan shalât, hingga melaksanakan Shalât hingga tiga kali ...( Bukhârî II/191,219 dan 222, II/31,467, Muslim II/10-11) Maksud hadîts ini shalât itu harus thuma'ninah, yaitu tidak buru-buru/tenang dan mantap dalam gerakan, baik ketika berdiri, ruku', sujud, duduk antara dua sujud.Oleh karena orang itu telah meninggalkan thuma'ninah dan i'tidal. Padahal kedua hal itu termasuk rukun.

5. Banyak melakukan gerakan (lebih dari 3 (tiga)), karena hal itu bertentangan dengan pelaksanaan ibadah dan membuat hati dan anggota tubuh sibuk dengan urusan selain ibadah. Dengan rincian sebagai berikut:

Para Ulama bersepakat bahwa perbuatan yang dapat membatalkan shalât itu apabila dilakukan secara berturutan. Namun bila dilakukan secara terpisah, misalnya melangkah sekali, kemudian berhenti, lalu melangkah lagi, dan seterusnya .., maka hal itu tidak membahayakan (tidak batal) tanpa khilaf. (Imam Nawâwî di dalam kitab Ar-Raudhah).

Page 88: Ringkasan Fiqh shalât - MRKR

87

Dalilnya: Hadîtsnya mengenai Umamah رضــي ا!لــه عنهــا (Umamah binti Abi Al-'Ash, yaitu anak

Zainab putri Nabi berada di pundak beliau, ketika beliau Shalât).

Jadi bila seorang mushalli (orang yang shalât) bimbang, apakah gerakan yang baru saja ia lakukan itu sudah melewati batas banyak atau belum, Imam Haramain* berkata: “Qaul yang jelas wajah-nya (jelas dalilnya) berpendapat bahwa hal itu tidak membawa pengaruh apa-apa. Sebab yang menjadi asal ialah "tidak adanya banyak dan tidak adanya batal shalât". Adapun prinsip dalam hal "perbuatan yang terpisah" yaitu asalkan perbuatan yang kedua sudah dianggap putus dari yang pertama.”

)* Beliau adalah Imam Al-‘Allâmah Dhiyâ’uddîn Abû Al-Ma’âlî ibnu Syeikh Abî Muhammad Abdul Mâlik bin Abdullâh bin Yusuf bin Abdulllâh bin Yusuf bin Muhammad Al-Haramainî Al-Juwainî. Beliau adalah pemimpin Madzhab Syâfi’î di Naysabur. Lahir tahun 410 H-wafat pada bulan Rabi’ul akhir tahun 478 H). Mengambil fiqh dari jalur imam Abûl Qasîm Al-Isfarayain. Ibnu Sam’ânî berkata: “Beliau adalah Imam umat ini, yang diakui keimamannya dari timur sampai ke barat.”

Ketahuilah bahwa sekali gerakan yang tidak membatalkan shalât itu harus berupa gerakan yang sekedarnya. Apabila sekali gerakan itu kelihatan tidak senonoh, seperti gerakan sekali meloncat, maka gerakanseperti itu dapat membatalkan shalât tanpa khilaf. Sebab perbuatan itu dapat menafikan (meniadakan) shalât. Bergerak yang ringan-ringan, seperti mengerak-gerak-kan jari waktu menggaruk kepala, hal itu tidak membahayakan (tidak batal) menurut qaul yang ashah, walaupun banyak dan berulangkali. Sebab gerakan ringan seperti itu tidak merusak bentuk mengagungkan shalât dan tidak pula merusak ke-khusyû’-an namun apabila mushalli menggerakkan tapak tangannya waktu menggaruk badannya tiga kali, batal shalâtnya. Di dalam kitab Al-Kafi disebutkan: Kecuali jika mushalli seorang yang mempunyai penyakit gatal, yang mana dia tidak mampu meninggalkan menggaruk-garuk badannya karena terlalu gatalnya. Jika demikian, maka orang itu dapat diberi kelonggaran. (Kifâyatul Akhyâr-Bab Syarat-syarat Shalât sebelum mengerjakannya)

6. Tertawa sampai terbahak-bahak. Para ulama sepakat mengenai batalnya shalât yang disebabkan tertawa seperti itu. Adapun tersenyum, maka kebanyakan ulama menganggap bahwa hal itu tidaklah merusak shalât seseorang.

7. Tidak berurutan dalam pelaksanaan shalât, seperti mengerjakan shalât Isya sebelum mengerjakan shalât Maghrib, maka shalât Isya itu batal sehingga dia shalât Maghrib dulu, karena berurutan dalam melaksanakan shalât-shalât itu adalah wajib.

8. Kelupaan yang fatal, seperti menambah shalât menjadi dua kali lipat, misalnya shalât Isya' delapan rakaat, karena perbuatan tersebut merupakan indikasi yang jelas, bahwa ia tidak khusyû’ yang mana hal ini me-rupakan ruhnya shalât.

9. Kedatangan hadats kecil atau besar dan terkena najis.

10. Terbukanya Aurat, jika seseorang itu sengaja membuka auratnya, batal-lah shalâtnya, walaupun seketika itu juga ia menutup kembali auratnya, sebab menutup aurat itu menjadi syarat sahnya shalât. Sedangkan dalam hal ini ia telah menghilangkan syarat menutup itu dengan perbuatannya, maka hal itu sama saja halnya dengan jika ia berhadats. Jika auratnya terbuka oleh sebab tiupan angin, kemudian ditutupnya semula dengan segera, maka tidak batal shalâtnya. Demikian pula apabila kain yang dipakainya atau pengikat pakaiannya terlepas lalu dikembalikannya seketika itu juga, maka shalâtnya tidak batal.

Page 89: Ringkasan Fiqh shalât - MRKR

88

11. Membelakangi Kiblat.

12. Murtad, termasuk pula apabila orang yang shalât itu shalât tidak wajib, karena hal itu merusakkan niat dan hal-hal sepertinya.

۞ Lima belas (15) hal hal yang membatalkan shalât menurut madzhab SYÂFI’Î:

1.Berkata kata (dengan huruf dan suara) dengan sengaja Yaitu perkataan yang memberi kefahaman atau pun tidak memberi faham sekalipun satu huruf, misalnya mengatakan huruf (qaf) (ain) (lam) dan (tha’) karena dalam bahasa Arab huruf qaf singkatan dari wiqayah, ain singkatan dari ri’ayah dan lam Batuk, menguap, sendawa (tidak membatalkan shalât jika ada udzur atau bukan untukmain main). Bersin (tidak membatalkan shalât jika ada udzur atau tidak ada unsur main main) Berdehem (tidak membatalkan shalât jika ada udzur atau tidak ada unsur main main dan di perbolehkan berdehem pada tempat yang diwajibkan rukun qaulî yang lima, Takbîratul ihrâm, al fatihâh, tahyat terakhir, sholawat pada tahyat akhir dan salam yang pertama). Kecuali batuk atau berdehem yang merupakan kode atau orang lain faham makna batuk/dehemnya tersebut. Mendengus dengan hidung, mengembus dengan mulut (membatalkan shalât) (membatalkan shalât) Menangis, Tertawa (batal shalâtnya jika terbahak-bahak) boleh bila hanya tersenyum.

إ (ان ف

�ر بھ حرف

ظ

w§ إن

وجھ الأ

$ ال

ة ع%

لا اء QR الص

ب�

إن ال

ة ، ف افعي

د الش

ا عن م

وأ

ان

5

� وsن �ا ، ح��اف

؛ لوجود ما ين

ة

لا ھ يبطل الص

ن

خرة وف الآ

اء من خ

ب�

.ال

ابل الأ

$ مق

� :w§ وع%

وت ا� بالص

بھ

ش

أ

ان

�ء ، ف

ھ ��

�م من

يف

ة ، ولا

غ

ما QR الل

لا

� ك fس÷

ھ لا

يبطل لأن

د لا ر

Tangisan dalam shalât menurut pendapat yang shahîh bila sampai keluar dua huruf dalam tangisannya membatalkan shalât karena adanya hal yang menafikan shalât walau tangisan takut akan akhirat sekalipun, sedang menurut Muqâbil pendapat yang shahîh tidak membatalkan karena tangisan tidak tergolong pembicarân serta tidak dapat difahami, tangisan hanyalah serupa dengan suara murni. (Nihâyah al-Muhtâj II/34, Hâsyîyah Qalyûbî I/187, Mughnî al-Muhtâj I/195). ۞ Hukum Berbicara ketika shalât

لى ج[به في الص� 4Uل صاحhه وهو ا م الر� لاة �كل لاة ح1�ى 6زلت{ وقوموا عن زید -ن +�رقم قال كن�ا نتكل�م في الص�

كوت ونهینا عن ال �ه قانت@ن } فkpمر� Mلس� كلام !لDari Zaid bin Arqam �, ia berkata, 'Dahulu kami berbicara di waktu shalât, salah seorang dari kami berbicara kepada temannya yang berada di sampingnya sampai turun ayat: 'Dan hendaklah kamu berdiri karena Allâh (dalam shalâtmu) dengan khusyû'(QS Al Baqarah : 238), maka kami pun diperintahkan untuk diam dan dilarang berbicara. (HR Muslim).

�ما هي الq�سKLح والت�كh@ر وقراء ن4لاة لا یصلح فKها شيء من كلام الن�اس ا ن� هذه الص� 4

قر+ن ة الا Shalât ini tidak boleh di dalamnya ada sesuatu dari perkataan manusia. Shalât itu hanyalah tasbih, takbir dan bacaan Al-Quran (HR. Muslim, Ahmad, An-Nasâ'î dan Abu Dâwud)

2. Sengaja menambah satu rukun dari rukun fi’li (perbuatan) ruku’ Sujud dll Bagaimana dengan Hukum tahiyat pertama? Maka, jika imam tahiyat, makmum boleh tidak Tahîyyat dengan sengaja, jika makmum berdiri tanpa ada unsur kesengajaan, maka wajib makmum duduk kembali, dan apabila imam tidak tahiyat pertama, maka wajib makmum tidak melakukan tahiyat (wajib mengikuti Imam).

Page 90: Ringkasan Fiqh shalât - MRKR

89

Bagaimana dengan Hukum sujud sahwi? jika imam sujud sahwi, maka makmum wajib sujud sahwi, dan jika imam tidak sujud sahwi, maka makmum boleh melakukan sujud sahwi).

بما بقي و�Ûد فلو شك QR عدد ما أ±ى بھ من الركعات أQø ثلاثة أو أر)عة ب¥� ع%$ اليق ن و'و الأقل وأ±ى وجو@ا

حة: 1رقم ا�aزء: ��اية الز3ن شرح قرة الع ن (للس�و لل£Gدد QR الز3ادة )84رقم الصفMaka jika lupa (ragu) Rakaat dalam shalât, (dua Rakaat atau tiga Rakaat) maka wajib mengambil keyakinan dua Rakaat (mengambil yang terkecil, dan menyempurnakan Rakaat yang tertinggal, dan di sunnahkan sujud sahwi). 3. Sengaja memanjangkan rukun pendek : yaitu i’tidal dan duduk diantara dua sujud, adapun batasan rukun pendek adalah sekedar membaca tasyahud pertama, jika dilebihkannya dari masa i’tidal dan duduk dintara dua sujud, maka batal shalâtnya. 4. Melakukan perbuatan yang keji: melompat dengan langkah yang pnjang maka batal-lah shalât-ya sekalipun dilakukan karena lupa. 5. Mengerjakan perbuatan selain shalât : Jika perbuatan tersebut dianggap banyak dan dilakukan beberapa kali yang bersambung sambung kecuali pada shalât khauf (ketakutan) seperti melangkah, jongkok, menggaruk-garuk dengan mengerakkan seluruh tangan, adapun menggaruk dengan jari jari tangan maka tidak membatalkan shalât dengan syarat tangan tidak ikut bergerak, madzhab SYÂFI’Î berpendapat bahwa gerakan yang tidak berhubungan dengan shalât dapat membatalkan shalât dengan syarat gerakan tersebut: Dilakukan tiga kali lebih secara berturut-turut Atau dilakukan sekali tapi melampaui batas seperti meloncat memukul dengan keras Atau dilakukan sekali tapi diniati bergerak tiga kali Atau dilakukan sekali tapi bertujuan mempermainkan shalât

Bila tidak sesuai ketentuan diatas seperti bergerak sekali atau dua kali atau tiga kali secara terputus-putus atau bergerak tiga kali hanya saja dengan memakai anggauta tubuh ringan seperti pelapuk mata, lisan, kemaluan, jemari yang menggaruk dengan tidak mengikut sertakan telapak tangannya tetap (tangannya tetap, tidak ikut bergerak) maka tidak membatalkan shalât asalkan gerakannya tidak dimaksudkan untuk mempermainkan, meremehkan shalât.

حرك حركھ واحده مفرطة أو ثلاث حر5ات متوالية عمدا 5ان أو س�وا أو ج�لا( الرا¬ع) أن يت

(Keempat) dari hal-hal yang membatalkan shalât, bila ia bergerak dengan satu kerakan yang sangat melampaui batas atau dengan tiga kali gerakan berturut-turut baik sengaja atau lupa atau karena bodoh.”(Matan Safînah, h. 16).

حر3ك ) أصبع أو ( حر5ات خفيفة ) وsن كGÔت وتوالت بل تكره ( كت حة )لا ) تبطل ( ب مع قرار أصا¬ع ) QR حك أو سب

كفھ ( أو جفن ) أو شفة أو ذكر أو لسان لأ��ا تا¬عة �`ال�ا المستقرة 5الأصا¬ع

Dan tidak batal shalât akibat gerakan-gerakan ringan meskipun banyak dan berulang-ulang namun hukumnya makruh seperti gerakan jari atau jemari saat menggaruk dengan syarat telapak tangannya tetap (tidak ikut bergerak) atau gerakan pelupuk mata, bibir, zakar atau lisannya karena kesemuanya masih mengikuti (menempel dengan tidak bergerak) pada tempat pokoknya yang diam dan kokoh seperti halnya jari-jemari. (Fathul Mu’în, I/215-216)

۞ Kasus: APAKAH KAGET TERMASUK HAL YANG MEMBATALKAN SHALÂT? Bila kagetnya sudah sampai pada batas ‘hilangnya akal’ seseorang maka batal wudhu’nya, bila belum maka tidak batal.

ھ غ Gه فلو رفع فزعا من و3جب أن لا يقصد برفع و) ثام<�ا (جلوس بي<�ما) أي ال�³دت ن ولو QR نفل ع%$ المعتمد(

حو لسع عقرب أعاد ال�³ود ن

Yang No. 8 (dari rukun-rukunnya shalât): Duduk diantara dua sujud meskipun pada shalât sunnah menurut pendapat yang dapat dijadikan pegangan (mu’tamad). Dan

Page 91: Ringkasan Fiqh shalât - MRKR

90

diwajibkan agar tidak punya tujuan selain duduk diantara dua sujud saat ia bangun dari sujudnya, bila ia bangun dari sujud karena kaget semacam oleh sengatan kalajengking maka ulangilah bersujud. ( I’ânah at-Thâlibîn, I/116).

Maka, ia cukup mengulangi sujudnya yang karena kaget oleh sengatan kalajengking, bukan batal shalâtnya karena kagetnya tentu masih dalam kategori normal. Maka jika kaget sampai melangkah lebih tiga langkah (tiga pergerakan berturut-turut maka dapat membatalkan shalât).

6. Makan dan minum sekalipun sedikit : Melainkan makan atau minum yang sedikit karena lupa bahwa ia dalam keadaan shalât atau tidak mengetahui keharaman makan dan minum di dalam shalât seperti baru masuk islam. jika yang ditelan hanya rasanya saja (BUKAN SISA MAKANAN) maka tidak membatalkan shalât, misal sebelum shalât sudah berkumur tetapi masih ada rasa manis/pedas dalam mulut maka menelan ludah tidak batal,tetapi jika ada WUJUDNYA (`Ain) meski hanya sedikit/kecil maka batal jika ditelan.

Pendapat para ulama mengenai hukum menelan sisa makanan dalam shalât: I. Menelan Sisa Makanan Shalât Dengan sengaja : 1. Batal Shalâtnya : Imam Nawâwî berkata :

وsن 5ان ب ن أسنانھ ��� فابتلعھ عمدا أو نزلت من رأسھ فابتلع�ا عمدا بطلت صلاتھ بلا خلاف

dan jika ada sesuatu di sela-sela giginya kemudian menelannya dengan sengaja atau turun dari kepalanya kemudian menelannya dengan sengaja maka batal shalâtnya tanpa ada perselisihan. (Al-Majmû’ 4/89). Dan ijmâ’ ulama juga mengatakan bahwa makan dan minum dengan sengaja adalah membatalkan Shalât. Al Qadhî Husain berkata: “Apabila ia makan kurang dari sebiji bijian, tidak batal. Adapun tentang sebiji bijian atau kira-kira sebesar bijian itu ada dua (pendapat) namun yang shahîh, batal shalâtnya. Minum adalah serupa dengan makan.” (Kifâyatul Akhyâr – Bab Perkara yang membatalkan Shalât) 2. Tidak Batal Shalâtnya Tapi Makruh: Disebutkan Imam Ibnu Muflih dalam Al-Mubdi’ Fii Syarh Al-Muqni’:

ركو ت

مضغ، أ

و ازدرده بلا

عھ، أ

بل

ھ ف

عام يجري بھ ر3ق

ط

ة انھ بقي

سن

أ

بقي ب ن

وsن

م يمضغ

ل

مة

ق

مھ ل

م بف

�ا، ول

ره

ھ يككن

ھ عمل fس G، ل

نة، ولأ

ق

مش

ل لل

بط

م ت

لع�ا، ل

يrت

“Dan jika ada sisa makanan yang menyangkut diantara gigi, kemudian dia mengalir bersama ludahnya kemudian dia menelannya, atau dia menelannya tanpa mengunyah atau sisa makanan tersebut tetap ada dimulutnya dia tidak mengunyahnya dan tidak pula menelannya, maka shalâtnya tidaklah batal karena terdapat masyaqqah (suatu hal yang menyusahkan) dan karena hal tersebut adalah perbuatan ringan. Akan tetapi hukumnya tetaplah makruh” (Al-Mubdi’ Fî Syarh Al-Muqnî 1/454)

3. Tidak Batal Shalâtnya Secara Mutlak : Al-Buhutî – ulama madzhab Hanbalî – (w. 1051 H) menjelaskan, ولا بأس ببلع ما بقي QR فيھ من بقايا الطعام من غ G مضغ أو بقي ب ن أسنانھ من بقايا الطعام بلا مضغ مما

يجري بھ ر3قھ و'و الuس G، لأن ذلك لا fس÷� أكلا

Tidak masalah menelan sisa makanan di mulutnya tanpa dikunyah, atau sisa makanan yang terselip di sela gigi tanpa dikunyah, yang terlarut bersama ludah, dan sisa makanan itu sedikit. Karena semacam ini tidak disebut makan. (Kasyaf al-Qana’, 1/398).

Atau juga pendapat Imam Al-Auzâî (madzhab Mâlikî) yang berkata:

Page 92: Ringkasan Fiqh shalât - MRKR

91

“Tentang menelan sisa makanan di antara sela-sela gigi, jika sisa makanan itu kecil dan tidak banyak, sehingga untuk menelannya tidak memerlukan bantuan liur, maka hal itu tidak membatalkan shalât.”

II. Saat shalât tidak sengaja menelan sisa makanan atau menelan makanan yang terlarut dalam ludah : Imam An-Nawâwî menyebutkan kondisi tidak sengaja,

، بأن جرى الر3ق بباQï الطعام ¬غ G ±عمد منھ ، لم تبطل صلاتھ بالاتفاق مغلو@ا

فإن ابتلع شuئا

Namun jika dia menelan sisa makanan karena tidak bisa dikendalikan, misalnya sisa makanan yang larut dengan ludah, tanpa sengaja, maka shalât tidak batal dengan sepakat ulama. (al-Majmû’, 4/89).

Para ulama sepakat bahwa hukum menelan makanan yang tidak disengaja atau yang tidak bisa dihindarinya untuk menelannya, tidak membatalkan shalât, berdasarkan dalil: Rasûlullâh bersabda:

إن اللھ وضع عن أم�� اyaطأ والoسيان وما استكر'وا عليھ

“Sesungguhnya Allâh menggugurkan dari ummatku kesalahan (ketidak sengajaan), kelupaan dan apa yang mereka dipaksa melakukannya” (HR. Ibnu Majah).

7. Telah lewat (tertinggal) satu rukun qaulî : Seperti tidak membaca surah Al-Fatihâh atau rukun fi’li seperti i’tidal atau ragu dalam niat Takbîratul ihrâm.

ولو س�ا غ G مأموم QR ال£Gتuب ب£Gك ركن .ولو س�ا غ G مأموم ب£Gك ركن أو شك أ±ى بھ إن 5ان قبل فعل مثلھ وsلا أجزأه وتدارك

حة لغا ما فعلھ ح�� يأ±ي بالم£Gوك 5أن �Ûد قبل الركوع أو ركع قبل ا لفات

Bila ghair mamum (imam dan munfarid) lupa atau ragu meninggalkan salah satu rukun dan dia mengetahui bagian yang tertinggalnya, maka ada beberapa kemungkinan: 1. Bila baru teringat sebelum sampai pada pekerjaan sejenis pada rakaat berikutnya, maka langsung ke posisi RUKUN YANG TERTINGGAL. Misal, ketika sujud dia teringat tidak membaca Fâtihah, maka langsung berdiri dan membaca Fâtihah.

أم لا 5أن شك راكعا 'ل قرأ فإن تذكر قبل بلوغ مثلھ أتùبھ وsلا فسيأ±ي بيانھ.أو شك 'و أي غ G المأموم QR ركن 'ل فعل

حة أو ساجدا 'ل ركع أو اعتدل أ±ى بھ فورا وجو@ا إن 5ان الشك قبل فعلھ مثلھ أي مثل المشكوك فيھ من ركعة أخرى الفات

حلھ فإن وsلا أي وsن لم يتذكر ح�� فعل مثلھ QR ركعة أخرى أجزأه عن م£Gوكة ولغا ما بي<�ما.'ذا 5لھ إن علم ع ن الم£Gوك وم

نھ وجوز أنھ النية أو تكب Gة الإحرام بطلت صلاتھ.ج�ل عي2. Bila baru ingat setelah sampai pada pekerjaan sejenis pada rakaat berikutnya, maka teruskan saja rakaat itu, adapun pekerjaan (Rakaat) yang tidak sempurna sebelumnya menjadi laghaw, dan harus ditambah. 3. Bila tidak mengetahui mana dan dimana bagian yang tertinggal, maka ditambah saja satu Rakaat. Termasuk juga dalam masalah ini, bila ingat ada bagian yang tertinggal tetapi lupa apakah pada rakaat terakhir atau rakaat sebelumnya, maka tambah saja satu rakaat. Perkara di atas, menyangkut rukun shalât selain NIAT dan TAKBÎRATUL IHRÂM. Bila menyangkut keduanya yaitu lupa atau ragu terhadap niat atau Takbîratul ihrâm maka shalâtnya BATAL. (Fathul Mu'în, 1/124).

$ w231`ـ : 1حاشuتا قليو)ي وعم Gة ا�aزء

ر ع% ث

م يؤ

رض ل

رك ف

م QR ت

لا ك ¬عد الس

و ش

مكتبة دار الكتب العر@ية(ول

مام م عن ت

لا وع الس

ا'ر وق

ن الظ

�ور) لأ

مش

ال

Sebagai tambahan.jika Ragu-ragu setelah salam menurut pendapat yang Masyhur tidak berpengaruh, karena dengan selesainya shalât, semua masalah dianggap selesai.

Page 93: Ringkasan Fiqh shalât - MRKR

92

8. Menukar niat shalât fardlu kepada shalât sunnat : Contoh di saat melaksanakan shalât dhuhur, mengantikan niat shalât dhuhur menjadi shalât sunnat qabliyah dhuhur, maka hal ini membatalkan shalât. 9. Berniat memutuskan (menghentikan) shalât : Karena menghilangkan rasa yakin dalam niat (berniat keluar dari shalât sebelum salam)

) فإ��ا تبطل حالا

حل�ا، و'و مقارن°�ا للسلام إما حالا أو ¬عد ركعة مثلا بoية قطع�ا) وQø نية اyaروج من الصلاة قبل مQúء م

�اية الز3ن شرح قرة الع ن � : فإنھ يكفر حالا

.89كما لو نوى أنھ يكفر غدا

باللھ ±عا{$ صار مرتدا QR اa`ال نوى قطع الصلاة فصل و من المناQR نية القطع و QR ذلك فروع : نوى قطع الإيمان و العياذ

¬عد الفراغ م<�ا لم تبطل بالإجماع و كذا سائر العبادات و QR الط�ارة وجھ لأن حكم�ا باق ¬عد الفراغ نوى قطع الط�ارة

�ة أثناء'ا لم يبطل ما مQR ��û الأw§ لكن يجب تجديد النية لما بقي نوى قطع الصلاة أثناء'ا بطلت بلا خلاف لأ��ا شب�

نوى قطع ا�aماعة بطلت ثم QR الصلاة قولان إذا لم يكن عذر : أw`�ما لا تبطل ...بالإيمان Diantara yang dapat menafikan adanya niat adalah “Niat memutus ibadah, dan dalam hal ini terdapat beberapa macam bahasan : Niat memutus iman, seketika menjadi murtad ‘Na’ûdzu billâh min dzâlik’ Niat memutus shalât setelah rampung shalât, Ulama sepakat ibadah shalâtnya tidak batal begitu juga ibadah-ibadah yang lain kecuali dalam ibadah bersuci (wudhu, mandi dan tayammum), terdapat pendapat ulama yang menyatakan batal karena hukumnya masih berkaitan dengan ibadah selanjutnya. Niat memutus bersuci saat menjalaninya, menurut pendapat yang paling shahîh (kuat/benar) tidak membatalkan anngauta badan yang telah di basuh/diusap hanya saja wajib memperbaharui niat pada basuhan/usapan anggauta setelahnya. Niat memutus shalât saat menjalaninya, Ulama sepakat batal shalâtnya karena shalât menyerupai iman....Niat memutus shalât jamaah saat menjalaninya, jamaahnya batal.

Bagaimana dengan shalâtnya ? Terdapat dua pendapat: Bila memutus shalât jamaahnya karena udzur (alasan/ada halangan), ulama’ sepakat shalâtnya tidak batal, bila tidak karena udzur, shalâtnya juga tidak batal (pendapat yang lebih shahîh). (Asybah wa An-Nadhâir, I/91).

10. Mengaitkan putusnya shalât : Yaitu mengaitkan memberhentikan shalât dengan sesuatu, contoh di saat hendak melaksanakan shalât atau di dalam shalât berniat memberhentikan (membatalkan shalât) jika ada tamu di saat menunggu datangnya tamu, maka shalât sepeti ini batal (tidak sah) sekalipun tamu tidak datang sebab hilangnya keyakinan niat atas shalâtnya,

11. Berhadats ( hadats besar atau kecil) : Maka dapat membatalkan shalât jika di saat shalât keluar sesuatu dari dua jalan (ubur dan qubul), hilang akal (tidur,mabuk, pitam) tersentuh (berentuhan) kulit laki laki dengan wanita yang ajnabi (yang halal dinikahi) tanpa pengahalang dan menyentuh kemaluan dengan telapak tangan tanpa pengahalang,

الثا�ي ) زوال العقل بنوم أو غ Gه إلا نوم قاعد ، ممكن مقعده من الأرض(

Yang No. 2 (dari hal-hal yang membatalkan wudhu adalah hilangnya akal disebabkan karena tidur atau ‘lainnya’ kecuali tidurnya orang yang menetapkan pantatnya pada tanah.( Matan Safînah an-Najâ, 2) atau dengan sebab hadats besar (janabah, keluar mani, haid, nifas).

12. Terkena najis yang tidak dimaafkan : Kedatangan najis yang tidak di maafkan pada tubuh, pakaiannya, maka batal-lah shalâtnya, kecuali jika segera di hilangkannya jika terkena najis kering.

Page 94: Ringkasan Fiqh shalât - MRKR

93

Jika terkena darah nyamuk, maka kalau banyak tidak dima’fu (diampuni) kalau sedikit menurut pendapat yang shahîh masih diampuni.

حو برغوث ) مما لا نفس لھ سائلة كبعوض وقمل لا عن جلده حو برغوث ) الإضافة فيھ لأد�ى (و�عفى عن دم ن قولھ عن دم ن

sنما دمھ رö`ات يمص�ا من بدن الإ�سان ثم يمج�ا ) ¬غ G فعلھ ( ملا¬سة لأنھ لuس لھ دم QR نفسھ و

حو دمل أو حمل ثو@ا فيھ دم براغيث مثلا وص%$ فيھ أو فرشھ فإن كGÔ بفعلھ حو برغوث QR ثو@ھ أو عصر ن قصدا 5أن قتل ن

حقيق وا��موع وص%$ عليھ أو زاد ع%$ ملبوسھ لا لغرض كتجمل فلا fعفى إلا عن القليل ع%$ الأw§ كما QR التDan dima’fu (diampuni) darah yang keluar dari binatang semacam kutu, nyamuk yaitu binatang-binatang yang pada dasarnya tidak memiliki darah yang mengalir melainkan berasal dari yang ia hisap dari badan manusia kemudian ia muntahkan tapi tidak kulit binatang tersebut… (bila darah tersebut bukan akibat pekerjaannya). Bila keluarnya akibat ulahnya seperti ia sengaja membunuh kutu di bajunya atau sengaja memencet bisulnya atau ia shalât dengan memakai pakaian atau beralaskan perkara yang ada darah kutunya atau ia mengenakan pakaian berlebih tanpa ada tujuan maka darah-darah yang semacam ini tidak lagi diampuni kecuali bila sedikit menurut pendapat yang shahîh seperti keterangan dalam kitab at-Tahqîq dan al-Majmû’.(I’ânah at-Thâlibîn, I/100)

صا¬عھ 'ل fعف أ

ب ن

ة

مل

ق

ال

ت ا مر

م فيما إذ

لا

ك

ى ال

د ع ش وQR و3بق

�ل

Àم ل ة الد

ط

ال

Gة مخ

Ô

و لك

عف

رب عدم ال

ق

والأ

و لا

ھ أ

ى عن

ل وعصر ا 'ـت

G بق

Ô

م يك

Gتھ ما ل

Ô@وث و

حو برغ

ل بدم ن

بط

ت

اد ولا

رش

ردي عن الإ

ك

. ال

Pembahasan yang tersisa mengenai masalah bila seekor nyamuk hinggap diantara jemari orang shalât apakah najisnya diampuni ? Pendapat yang mendekati kebenaran tidak dimaafkan karena bercampurnya darah pada kulit, dan dalam al-Kurdy dari al-Irsyad dijelaskan dan shalât tidak batal akibat darah semacam kutu atau jerawat selagi tidak banyak yang bukan akibat ia bunuh (kutunya) atau pencet (jerawatnya). (Tuhfah al-Muhtâj, VI/340)

۞ Terkait hukum darah mimisan, bisul, ditafsil (dirinci): Bila darahnya sedikit, maka tidak membatalkan shalât. Apabila darah yang keluar banyak dan mengenai sebagian dari badan dan pakaiannya, maka wajib membatalkan shalâtnya, meskipun shalât jumat.

حفة : ولو رعف QR الصلاة ولم يصبھ إلا القليل لم يقطع�ا،وsن كGÔ نزولھ ع%$ منفصل عنھ،فإن كGÔ ما فائدة : قال QR الت

حفظ 5السلس ا'ـ .أصابھ لزمھ قطع�ا ولو جمعة ، وsن رعف قبل�ا واستمر فإن رü$ انقطاعھ والوقت م8سع انتظره وsلا ت

"Faidah: Mushannif (pengarang kitab) berkata dalam kitab Tuhfah: “Andai seseorang mimisan didalam shalât, dan darah yang keluar hanya sedikit, maka tidak membatalkan shalâtnya. Apabila darah yang keluar banyak hingga mengenai bagian badan yang lain. Apabila darah yang mengenai bagian badan lain sangat banyak, maka seseorang yang sedang shalât itu harus membatalkan shalâtnya meski dia sedang shalât jumat. Bila mimisan keluar sebelum shalât dan keluar terus, namun dimungkinkan mimisan berhenti dan waktu shalât masih cukup, maka dianjurkan untuk ditunggu hingga berhenti, apabila tidak mungkin ditunggu hingga berhenti, maka hidung disumpal saat shalât sebagaimana orang yang beser."(Bughyah al-Musytarsyidîn, h.53)

GÔالصلاة لم تبطل و إن لوث بدنھ مالم يك QR 1/91¬شرى الكر3م (ولو رعف(

Keluar darah dari hidung pada waktu shalât tidak membatalkan shalât sekalipun mengenai anggota badan. Dengan sarat darah yang keluar tidak banyak. (Busyral Karîm 1/91).

Page 95: Ringkasan Fiqh shalât - MRKR

94

۞Shalât bersentuhan dengan Anak yang belum Khitan apakah membatalkan shalât? Dalam mas'alah Qulfah (kemaluan laki-laki yang belum dikhitan): §wذلك القلفة فالأ G الغسل ونظ QR ائفة وحكم الباطن�aزالة النجاسة واsالصوم و QR فائدة الفم والأنف ل�ما حكم الظا'ر

ح°�ا QR الغسل والاس8نجاء إجراء ل�ا مجرى الظا'ر ومقابلھ يجر��ا مجرى الباطن قرة الع ن بفتاوى ( .أنھ يجب غسل ما ت

)55إسماعيل الز3ن ص

Menurut qaul ashah Qulfah dihukumi sebagai anggota dhahir sehingga wajib disucikan. Dan menurut muqâbil-nya Qulfah dihukumi sebagai anggota batin sehingga tidak wajib disucikan. Maka, shalât orang tersebut dihukumi sah. Sebab meskipun berpijak pada qaul yang mengatakan anggota dhahir, kalau hanya bersentuhan atau menempel pada sesuatu(bayi) yang membawa najis tidak sampai membatalkan shalât.. Catatan: Berpijak pada qaul ashah (pendapat yang lebih shahîh), yang dapat membatalkan shalât dalam masalah ini adalah mengendong, mengikat, memegang merankul, dan memangku anak kecil tersebut. MAKA MEMBATALKAN SHALÂT, KARENA DIHITUNG MENANGGUNG NAJIS,KECUALI JIKA DI YAKINI KEBERSIHANNYA, sama halnya dengan anak yang memakai pampers.

13. Terbuka aurat di dalam shalât : maka batal shalâtnya jika terbuka aurat kecuali jika terbukanya sebentar karena ditiup angin dan segera ditutupnya seketika itu juga, maka tidaklah batal shalâtnya.

14. Memalingkan dada atau setengahnya dari arah kiblat : di dalam shalât fardhu kecuali pada saat shalât khauf (ketakutan) atau di dalam shalât sunnat di atas kendarân.

15. Murtad : Keluar dari agama islam, dengan merusak aqidah ( meyakini Allâh di atas, bawah, samping, depan belakang maka dikategorikan murtad. Tidak mempercayai salah satu rukun Iman yang enam.

۞ Shalât berjamaah, Wajibkah? Shalât berJamaah adalah simbol keutuhan umat Islam. Dan Rasûlullâh membandingkan Shalât berJamaah dengan shalât sendirian, adalah 27 dibanding 1. Rasûlullâh bersabda:

بع وعشر�ن درUة صلاة Dالجما�ة +�فضل من صلاة الفذ �س Shalât berJamaah lebih utama daripada shalât sendirian dengan selisih 27 derajat.(HR. Bukhârî)

Shalât Jamaah didirikan paling sedikit oleh dua orang: seorang imam dan seorang makmum.

Hukum melakukan shalât berJamaah dalam shalât lima waktu, menurut pendapat yang shahîh adalah fardhu kifâyah bagi orang Muslim laki-laki, muqîm, merdeka dan tidak ada udzur. Maka, jika dalam satu desa atau komplek perumahan tidak ada yang mengerjakan shalât berJamaah sama sekali, maka semua penduduk desa/komplek perumahan tersebut berdosa.

Ada yang berpendapat bahwa hukum shalât berjama’ah adalah Sunnah Muakkadah, sedangkan menurut pendapat Imam Ahmad bin Hambal (madzhab Hanbalî) hukum shalât berjama’ah adalah Fardlu ‘Ain akan tetapi tidak menjadi syarat sahnya shalât, artinya kalau seseorang mendirikan shalât sendirian, maka shalâtnya tetap sah, namun dia berdosa karena tidak berjama’ah. Sebagaimana disebutkan dalam Kitab Al-Majmû’ Syarah al-Muhadzdzab, 4/163:

Page 96: Ringkasan Fiqh shalât - MRKR

95

فرع) في مذاهب العلماء في حكم الجماعة في الصلوات الخمس قد ذكرنا إن مذهبنا الصحيح أنها (فرض فرض كفاية وبه قال طائفة من العلماء وقال عطاء والأوزاعي وأحمد وأبو ثور وابن المنذر هي

وشرط في الصحة وبه قال فرض على الأعيانليست بشرط للصحة، وقال داود هي على الأعيانض أصحاب أحمد وجمهور العلماء على أنها ليست بفرض عين واختلفوا هل هي فرض كفاية أم بع

المجموع شرح المهذب (سنة وقال القاضي عياض ذهب أكثر العلماء إلى أنها سنة مؤكدة لا فرض كفاية )٤/١٦٣، محي الدين أبو زكريا يحيى بن شرف النووي-

(Masalah furu’/cabang) di dalam Madzhab para Ulamâ’ mengenai hukum shalât berJamaah dalam shalât lima waktu, menurut pendapat yang shahîh adalah fardhu kifâyah dan demikian juga pendapat sebagian Ulamâ’ lainnya. Dan menurut ‘Atha’ , Al Auza’i, Ahmad, Abu Dâwud, Abu Tsaur, Ibn Mandzur, hukumnya Fardlu ‘ain tidak disertai persyaratan sehat (dalam keadân sehat atau tidak), dan menurut Dâwud hukumnya Fardlu ‘ain dengan syarat (orang tersebut) sehat. Sebagian pengikut Imam Ahmad (bin Hambal atau madzhab Hanbalî) dan Jumhûr Ulamâ’ berpendapat bukan Fardlu ‘ain, dan mereka (Jumhûr Ulamâ’) berbeda pendapat apakah fardhu kifâyah atau Sunnah?. Al-Qâdhî ‘Iyâdh3 berpendapat bahwa para Ulama’ madzhab lebih banyak yang berpendapat Sunnah Muakkadah, bukan fardhu kifâyah.

سنة مؤكدة عند الرفعى والماوردى، والمعتمد عند النووى صلاة الجماعة فى أدء مكتوبة غير جمعة ص نهاية الزين(أحرار مقيمين غير عراة في أداء مكتوبة وغيره أنها في غير جمعة فرض كفاية لرجال

(117 Dalam Kitab Nihâyatuz zain h.117 dikatakan: Shalât jama'ah di dalam shalât Maktubah yang Adâ' (tunai) hukumnya sunnah mu'akkadah menurut Imam al- Râfi'î dan Imam al- Mawardî. Sedangakan yang mu'tamad menurut imam al-Nawâwî dan Ulamâ’ lainnya adalah fardlu kifayah bagi laki-laki yang merdeka dan muqîm.

سنة مؤكدة للخبر المتفق عليه: صلاة الجماعة أفضل من )عةلا جم (صلاة الجماعة في أداء مكتوبةإعانة الطالبين على حل ألفاظ (والافضلية تقتضي الندبية فقط، وحكمة .صلاة الفذ بسبع وعشرين درجة

)6ص 2ج فتح المعينShalât berjama'ah dalam shalât Adâ' (selain jum'at) adalah sunnah muakkadah berdasarkan hadîts muttafaqun 'alaih: ''shalât jama'ah lebih utama dari shalât sendirian dengan selisih 27 derajat. Dan Afdlalîyyah (keutamân) menunjukkan Nadbîyyah (kesunnatan). (I’ânah at Thâlibîn ‘ala Alfâdh Fath al Mu’ în, 2/6) Shalât berJamaah di Masjid atau Shalât berJamaah dengan keluarga di rumah (Istri, Anak, Pembantu)? Mana yang lebih baik?

نعم إن كان يصليها بأهله جماعة وذهابه الى المسجد يفوتها وقام الشعار بغيره ولم يتعطل ..مسجد بغيبته فهو أفضل. وتحصل فضيلة الجماعة بصلاته بزوجته أو نحوها بل تحصيله الجماعة

الباجوري )119ص 1ج بشرى الكريم( لأهل بيته أفضلYa..bila dia shalât berjama'ah di masjid menyebabkan istrinya shalât sendirian di rumah/tidak berjama'ah maka lebìh afdlal berjama'ah di rumah bersama istri.dengan syarat bahwa tidak hadirnya dia ke masjid tidak menyebabkan kekosongan jamaah di masjid/dengan tidak hadirnya dia ke masjid tetap ada jama'ah di masjid (Kitab Busyra Al Karîm 1/119 dan Al Bâjûrî 1/193) 3 Al-Qâdhî ‘Iyâdh adalah Al Qâdhî Abu Al Fadhl ‘Iyâdh bin Musâ bin Iyâdh Al Yahshabî Al Andalusî As-Sabtî Al Mâlikî (476-544H) adalah Qâdhî di Granada-Spanyol/Andalusia. Karya Al Qâdhî ‘Iyâdh antara lain: kitab Al Ikmâl fî Syarh Shahîh Muslim sebagai pelengkap kitab Al Mu’lim karya Al Mazarî, ia juga mengarang kitab Masyariq Al Anwar fî Tafsîr Gharîb Al Hadîts, dan juga kitab At-Tanbîhat.

Page 97: Ringkasan Fiqh shalât - MRKR

96

واعلم أن الجماعة تحصل بصلاة الرجل في بيته مع زوجته وغيرها :الصحيح عند الرافعي أنها سنة لكنها في المسجد أفضل

(Menurut Imam al- Râfi'î) Dan ketahuilah bahwa shalât berjama'ah seseorang di rumahnya bersama istrinya adalah dibolehkan namun afdhal di Masjid

Syarat Sahnya Shalât Jamaah Makmum harus berniat jadi makmum atau berniat berJamaah (mengikuti imam).

Sedangkan imam hanya disunnatkan berniat jadi imam agar bisa memperoleh pahala Jamaah.

Niat berJamaah dilakukan pada saat takbîratul ihrâm. Jika niat berJamaah dilakukan di pertengahan shalât maka hukumnya makruh dan tidak memperoleh fadhilahnya berJamaah. Keabsahan melakukan niat berJamaah di tengah-tengah shalât itu berlaku untuk selain shalât Jum’at. Sebab, shalât Jum’at wajib dikerjakan berJamaah. Imam dan makmum Jum'at wajib niat berJamaah bersamân dengan takbîratul ihrâm.

Mengetahui perpindahan rukun yang dilakukan imam, bisa dengan melihat imamnya, mendengar suaranya, mendengar suara orang yang menyampaikan takbîr intiqâl-nya imam (muballigh), atau melihat sebagian dari makmum.

Makmum harus menyesuaikan dengan imamnya dalam melakukan atau meninggalkan sunnat-sunnat shalât yang jika tidak menyamai imamnya akan menyebabkan terjadinya perbedân yang mencolok antara gerakan imam dan makmum. Misalnya, jika imam melakukan atau meninggalkan sujud tilâwah, maka makmum harus mengikuti imam.

Posisi makmum tidak boleh berada di depan imam. Boleh lurus dengan imam akan tetapi hukumnya makruh dan menghilangkan fadhilah Jamaah. Patokan posisi pada saat berdiri adalah tumit kaki, bukan ujung jari-jari. Jadi, tumit kaki makmum tidak boleh berada di depan tumit kaki imam.

Makmum tidak boleh mendahului atau terlambat dari imam dalam dua rukun Fi’lî (rukun yang berbentuk gerakan bukan ucapan) secara berurutan.

Sedangkan bersamân dengan imam hukumnya ada lima: 1. Haram dan dapat membatalkan shalât, yaitu bersamân dengan imam dalam

takbîratul ihrâm. 2. Sunnah. Yaitu membaca âmîn setelah Fâtihahnya imam. 3. Makruh dan dapat menghilangkan keutamân Jamaah jika dilakukan dengan

sengaja, yaitu bersamân dengan imam dalam melakukan rukun-rukun Fi’lî dan salam.

4. Wajib, yaitu jika makmum tahu bahwa kalau tidak membaca Fâtihah bersama imam, maka ia akan tertinggal dua atau tiga rukun dari imam yang menyebabkan batalnya shalât.

5. Mubah (boleh). Yaitu di selain hal-hal di atas.

Antara imam dan makmum harus cocok dalam susunan atau bentuk shalâtnya.Maka dari itu, tidak sah melakukan shalât lima waktu dikerjakan berJamaah dengan orang yang shalât khusuf (gerhana) atau jenazah, karena bentuk shalâtnya tidak sama.

Imam dan makmum harus berkumpul dalam satu tempat, yaitu: Pertama, bila imam dan makmum sama-sama di dalam masjid, maka makmum boleh mengikuti imam sekalipun jarak antara makmum dan imamnya lebih dari 300 hasta (183,6 meter) asalkan

Page 98: Ringkasan Fiqh shalât - MRKR

97

1. Makmum tahu pada perpindahan rukun imam, 2. Tidak ada penghalang yang membuat makmum tidak bisa sampai kepada imam

jika misalnya makmum berjalan. Maksudnya, antara makmum dan imam ada jalan (ruang) tembus sekalipun dengan cara berpaling (mundur).

Kedua, bila imamnya di masjid sedangkan makmum berada di luar masjid, maka: 1. jarak antara ujung masjid dengan tempat itu tidak boleh melebihi 300 hasta

(183,6 meter) jika barisan shaf Jamaah tidak bersambung hingga tempat tersebut;

2. makmum harus tahu perpindahan rukun imam; 3. tidak ada penghalang antara keduanya (harus ada jalan tembus yang

menghubungkan makmum dan imam, walaupun dengan cara menyamping). Dalam persoalan kedua ini jalan tembus tidak bisa dengan cara berpaling (mundur).

Ketiga, bila Jamaah dilakukan di tempat lapang atau di dalam bangunan yang bukan masjid, maka syaratnya:

1. jarak antara imam dan makmum tidak boleh lebih dari 300 hasta. 2. makmum harus mengetahui perpindahan rukun imamnya. 3. tidak ada penghalang antara keduanya (harus ada jalan tembus yang

menghubungkan makmum dan imam, walaupun dengan cara menyamping). Dalam persoalan ketiga ini, juga jalan tembus tidak bisa dengan cara mundur.

Memiliki keyakinan bahwa shalât imam-nya sah. Maka, makmum yang bermadzhab Syâfi’î tidak sah bermakmum pada orang yang bermadzhab Mâlikî yang melarang membaca Basmalah di awal al-Fâtihah, jika makmum yakin bahwa imamnya tidak membaca Basmalah ketika membaca Fâtihah.

Laki-laki tidak boleh bermakmum pada perempuan.

Tidak boleh bermakmum kepada orang yang sedang menjadi makmum.

Sunnah membaca RABBIGHFIRLÎ ÂMÎN Dalam Kitab Sunan al Baihaqî al Kubra 2/58/2551 :

ثنا +�حمد -ن عبد الجب� از �د� ز� ثنا +�ب(ى و+�LXر� +�بو الحس@ن -ن �شران +�LXر� +�بو جعفر الر� ار العطاردى� �د��ه عن سwاق عن +�ب(ى عبد ا!ل�ه الیحصب(ى عن وائل -ن حجر : +�ن

4سمع رسول +�ب(ى -كر الن�هشلى عن +�ب(ى ا

@ن) قال - صلى ا!له �لیه وسلم-ا!ل�ه ال لى +م@ن رب اغفر :« �@ن قال ( �@ر المغضوب �لیهم ولا الض�.....dari Wa`il bin Hujr, bahwasanya dia mendengar Rasûlullâh ketika membaca GHAIRIL MAGHDHÛBI 'ALAIHIM WALADHDHÂLLIN beliau membaca RABBIGHFIRLÎ ÂMÎN...

Dalam Kitab Bughyatul Mustarsyidîn, halaman 90 :

@ن : لا یطلب من المpموم عند فراغ امامه من الفاتwة قول رب قال الشریف العلامة طاهر -ن حس :فائدة اغفر لي ، وانما یطلب م[ه التpم@ن فقط ، وقول رب(ي اغفر لي مطلوب من القارىء فقط في السك1ة ب@ن

+خر الفاتwة و+م@ن اهـFaidah : Syarif al Allamah Thahir bin Husein berkata: Makmum tidak dianjurkan membaca RABBIGHFIRLÎ ketika imamnya usai membaca Fatihah, dia hanya disunnahkan membaca AMIN saja. Ucapan/bacaan RABBIGHFIRLÎ hanya dianjurkan bagi orang yang membaca (surat Al Fatihah) pada saktah antara akhir surat Fatihah dan ÂMÎN.

Page 99: Ringkasan Fiqh shalât - MRKR

98

۞Beberapa shalât berjama’ah dalam satu waktu (satu masjid) Ada makmum yang datang terlambat dan tidak sempat mengikuti shalât bersama imam tetap masjid tersebut. Kemudian dia memilih orang lain atau dirinya sendiri untuk mengimami shalât. Namun pada saat yang sama, sebagian yang lain juga mendirikan shalât jama’ah. Padahal keduanya masih berada dalam satu masjid. Bagaimana hukumnya? Syekh Wahbah Az-Zuhayli dalam kitabnya Al-Fiqhul Islami wa Adillatuhu menjelaskan:

و�كره تعدد الجما�ات في وقت وا�د، لما فKه من الqشوrش “Dimakruhkan mendirikan beberapa shalât berjama’ah dalam satu waktu (satu masjid) karena dapat menganggu (jama’ah lain).”

Pelaksanân dua shalât jama’ah dalam satu masjid hukumnya makruh menurut Syekh Wahbah Zuhayli, karena dapat menganggu pelaksanân Jamaah shalât lainnya. Dengan demikian, alangkah baiknya dalam satu masjid tidak terdapat dua shalât jama’ah. Bagi orang yang ingin shalât di masjid hendaknya tidak membuat jama’ah baru dan mengikuti shalât jama’ah yang sedang berlangsung. Apabila tetap ngotot membuat jama’ah baru, lebih baik dilakukan di luar masjid atau menunggu jama’ah lain selesai melaksanakan shalât. WAllâhu a’lam.

۞Hukum shalât fardlu bermakmum kepada Imam yang shalât sunnah Hukumnya boleh dan sah. Imam Nawâwî dalam Al-Majmû’, hlm. 4/168, menyatakan:

تصح صلاة النفل Xلف الفرض والفرض Xلف النفل، وتصح صلاة فریضة Xلف فریضة +خرى توافقها في X لف عصر، وتصح فریضةX ظهرÒ لاف عند�العددX ا¬ز بلاU لف فریضة +قصر م[ها، وكل هذا

Sah shalât sunnah di belakang shalât wajib, dan sah shalât wajib di belakang shalât sunnah. Juga, sah shalât wajib di belakang shalât wajib lain yang sama dalam Rakaatnya seperti shalât zhuhur di belakang shalât Ashar. Dan sah shalât wajib di belakang shalât wajib lain yang Rakaatnya lebih pendek. Semua ini boleh tanpa perbedân menurut ulama madzhab Syâfi’î . Pendapat ini didukung oleh sebuah hadîts shahîh riwayat Bukhârî Muslim:

ن يصلي مع رسول الله صلى الله عليه وسلم عشاء الآخرة ثم أن معاذ بن جبل رضي الله عنه كا يرجع إلى قومه فيصلي بهم تلك الصلاة

Muadz bin Jabal pernah shalât Isya berJamaah bersama Rasûlullâh lalu pulang ke kaumnya dan mengimami shalât Isya yang sama. Dalam hadîts shahîh lain riwayat Syâfi’î dalam Musnad dan Al-Umm sebagai berikut: كان معاذ يصلي مع النبي صلى الله عليه وسلم العشاء ثم يطلع إلى قومه فيصليها لهم، هي له

تطوع ولهم مكتوبة". حديث صحيح رواه بهذا اللفظ الشافعي في الأم ومسنده Muadz pernah shalât Isya lalu pulang dan shalât Isya lagi bersama kaumnya. Shalât Isya (kedua) ini adalah sunnah bagi Muadz sedangkan bagi kaumnya shalât wajib (karena shalât pertama).

Page 100: Ringkasan Fiqh shalât - MRKR

99

۞ Imam dan Makmum berbeda Madzhab Menurut imam Muhyiddîn Syarf an-Nawâwî dalam kasus yang seperti ini terdapat empat pendapat,

ق1داء ب�pصwاب المذاهب المgالف@ن ب�pن یق1دي شافعيÓ بحنفي +�و مالكي لا �رى ق راءة الLسملة في الفاتwة الالاة �لى الن�ب(ي صل�ى ا!له �ل ی�اب الq�شه�د اX��@ر والص�

4به ذ!ك؛ ولا ا Dم ولا �رت@ب الوضوء وش�یه وسل

مام صحیwة في اعتقاده دون اعتقاد المp>موم +�و عكسه لاخ1لا 4فهما في الفروع وضابطه +�ن �كون صلاة الا

:فKه +�ربعة +�وUه

“Bermakmum dengan orang yang menganut madzhab lain itu contohnya seperti orang yang menganut madzhab Syâfi’î bermakmum dengan orang yang mengikuti madzhab Hanafî, atau Mâlikî yang tidak membaca basmalah ketika membaca surat Al-Fatihah, tidak mewajibkan tasyahhud akhir, shalawat kepada Nabi , tidak mengharuskan adanya tertib dalam wudlu dan semisalnya. Prinsipnya adalah bahwa shalâtnya imam itu sah menurut keyakinan pihak imam itu sendiri, bukan makmum atau sebaliknya, karena terdapat perbedân di antara keduanya dalam hal-hal furu`. Dalam konteks ini ada empat pendapat.” (Muhyiddîn Syarf an-Nawâwî, al-Majmû’ Syarh al-Muhadzdzab, juz, 4 h. 182).

ة مطلقا: قاله -+��دها �w مام الص القف�ال اعتبارا Mعتقاد الا

“(Pertama) sah secara mutlak. Pandangan ini dikemukakan oleh oleh al-Qaffal dengan melihat pada keyakinan imam itu sendiri.” (Al-Majmû’ Syarh al-Muhadzdzab, juz, 4, h. 182).

Pendapat pertama adalah pendapat yang dikemukakan oleh al-Qaffal. Menurut al-Qaffal bermakmum kepada imam yang berbeda madzhab adalah sah secara mutlak. Sah nya dilihat dari sudut pandangan imam itu sendiri. Artinya, karena imam menyakini bahwa shalât yang dia lakukan adalah sah, maka shalât orang yang bermakmum kepadanya otomatis juga sah, tanpa harus melihat perbedân keyakinan keduanya dalam soal-soal furu`.

ن +�تى بما �شqرطه و -والث�اني4�ه وا ن سفرایني� ��

4سwاق الا

4نوجhه فلا یعتقد لا یصح� اق1داؤه مطلقا: قاله +�بو ا

�ه لم یp>ت به وجوبه فك�pن

“(Kedua) tidak sah secara mutlak. Pandangan ini dikemukakan oleh Abu Ishâq al-Isfarayinî karena jika imam melakukan sesuatu yang kita syaratkan atau wajibkan tetapi ia tidak menyakini kewajbannya maka ia seperti tidak melakukannya” (Al-Majmû’ Syarh al-Muhadzdzab, juz, 4, h. 182).

ن �رك ش@Æا م[ه +�و شك�ك[ا ف --والث�الث 4لاة صح� الاق1داء وا ة الص� �wره نحن لصLن +�تي بما نعت

4 ي �ركه لم یصح� ا

“(Ketiga) jika imam melakukan apa yang kita anggap sebagai syarat sah shalât maka sah bermakmum kepadanya, dan jika ia meninggalkan sesuatu yang kami anggap sebagai sah shalât atau kita meragukan dalam meninggalkannya maka tidak sah bermakmum kepadanya” (Al-Majmû’ Syarh al-Muhadzdzab, juz, 4, h. 182).

Pendapat ketiga menyatakan bahwa jika imam melakukan apa yang dianggap oleh madzhab makmum telah melakukan apa yang dipandang sah menurutnya maka sah bermakmum kepada imam tersebut. Namun apabila imam meninggalkan apa yang dianggap sebagai syarat bagi kesahan shalât dalam pandangan madzhab makmum, atau makmum meragukannya maka tidak sah bermakmum kepadanya.

Page 101: Ringkasan Fiqh shalât - MRKR

100

ابع سفرایني والبندنیج --والر�4یخ +�بو �امد الا �Dاق المروزي� والشwس

4ي� والقاضي +�بو وهو ا��صح� وبه قال +�بو ا

یب وا��ك�رون تیان بجمیعه +�و الط�4ق1داء وان تحق�ق[ا الا ن تحق�ق[ا �ركه لشيء نعتLره لم یصح� الا

4 شك�ك[ا صح� ا

“(Empat) yaitu pendapat yang paling shahîh yang dikemukakan oleh Abu Ishâq al-Marwazî, Syaikh Abu Hamid al-Isfarayinî, al-Bandanijî, al-Qadlî Abu ath-Thayyîb, dan mayoritas ulama (madzhab Syâfi’î). (Pendapat ini menyatakan) jika kita mengetahui secara pasti ia meninggalkan sesuatu yang kita anggap sebagai syarat sah-nya shalât, maka tidak sah bermakmum kepadanya. Tetapi jika kita mengetahui secara pasti ia melakukan semua hal yang menjadi syarat kesahan shalât menurut pandangan kita atau kita meragukannya maka sah bermakmum kepadanya.” (Al-Majmû’ Syarh al-Muhadzdzab, juz, 4, h. 182)

Kasus terkait Fiqih Shalât

۞ Cara Wudlu dan Shalât bagi Mustahâdlah dan Dâimul Hadats [دث`aدائم ا]

حو قنطة حشوه بن حاضة أن تصلى يجب عليها أن تغتسل فرجها من النجاسة ثم ت وإذا أرادت المست

حشو تعصب بعده بخرقة مشقوقة الطرفين وجوبا دفعا للنجاسة أو تخفيفا لها فإن لم يكفها ال

المشهور ولا يضر بعد ذلك خروج الدم إلا ان قصرت فى الشد ثم بعد ذكر على كيفية التلجم

..تتوضأ ثم عقب ذلك تصلى ويجب إعادة جميع ذلك لكل فرض عيني ولو نذرا : مكتبة طھ فوترا سماراع74إعانة الطالبين الجزء الأول ص إنتهى

Bagi Mustahâdlah (dan orang beser -pent) bila akan melakukan shalât maka wajib baginya mencuci farjinya dari najis kemudian menyumpalnya dengan semacam kapas untuk mencegah najis agar jangan sampai keluar, bila masih tembus maka buat rangkap, ikat dengan kuat pakai kain agar tidak tembus, bila masih tembus maka di-ma'fu bila ikatannya sudah kuat dan tidak dima'fu bila asal-asalan/sembrono, kemudian setelah masuk waktu shalât berwudlu (dengan niat "listibâhatish shalât " : niat boleh-nya mengerjakan shalât) itu segera tunaikan shalât dan wajib hukumnya mengulang shalât dalam masalah ini . (I’ânah at Thâlibîn ‘ala Alfâdh Fath al Mu’ în, 1/ 74)

فتغسل المستحاضة فرجها فتحشوه قوله فى غير أيام الحيض) الى أن قال لأنه حدث دائم(دخول وقت الصلاة وبعد ما ذكر تبادر بالصلاة تقليلا للحدث فلو أخرت فإن فتعصبه فتتوضأ بعد

لم يضر لأئها لا تعد بذلك مقصرة وإن كان لغير عورة وانتظار جماعة لمصلحة الصلاة كستر كانفرض ولو منذورا كالتيمم الصلاة ضر فتعيد الوضوء والإحتياط ويجب الوضوء عليها لكل مصلحة

الغسل والحشو والعصب قياسا على تجديد الوضوء وكذا يجب عليها لكل فرض تجديد ه فوترا سماراع: مكتبة ط109إنتهى الباجوري الجزء الأول ص

(Pendapat terkait untuk orang yang tidak tergolong dalam hari-hari haidh/Istihâdlah): bagi orang yang istihâdlah maka ketika sudah masuk waktu shalât wajib mencuci farjinya kemudian menyumbatnya, lalu mengikatnya (dengan kain / pembalut) , lalu berwudlu .setelah itu segera melakukan shalât guna me-minimal-kan najis yang keluar. Namun demikian bagi dia boleh menunda shalât bila ada tujuan misalnya menunggu jamaah shalât, bila tidak ada keperluan maka wajib wudlu lagi untuk kehati-hatian. Wajib bagi mustahâdlah berwudlu, mandi, menyumpal dan mengikat setiap akan melakukan shalât fardlu dan ibadah shalât yang di-nadzari-nya sebagaimana tayammum yang diqiyaskan dengan Tajdîdul wudlu . (Al-bâjûrî, 1/109 ).

Page 102: Ringkasan Fiqh shalât - MRKR

101

۞ Shalât Qadha’ Menurut kesepakatan ulama, orang yang wajib mengqadha’ shalât adalah orang yang meninggalkan shalât karena lupa atau tidur (termasuk orang pingsan) yang tidak disengaja.

Orang yang tertidur atau lupa hingga terlewatkan shalât wajib darinya, maka ia mengerjakan shalât yang terlewat tersebut ketika terbangun atau ketika ia ingat. Hal ini berdasarkan hadîts Rasûlullâh :

ذا ذكرها4 من �سي صلاة فلیصل ا

Siapa lupa dari mengerjakan satu shalât (fardlu) maka hendaklah ia kerjakan shalât tersebut ketika ingat. (Shahîh Bukhârî no. 572 dan Muslim no. 684)

ذا ذكرها4ها ا لاة +�و غفل عنها فلیصل ذا رقد +��دكم عن الص�

4 ا

Apabila salah seorang dari kalian tertidur hingga luput dari mengerjakan satu shalât atau ia lupa, maka hendaklah ia menunaikan shalât tersebut ketika ia ingat (terjaga dari tidur). (Shahîh Muslim (no. 1567)

Tidak shalât dengan sengaja apakah wajib Qadha’? Menurut jumhur ulama, orang tersebut berdosa dan wajib qadha'. Ulama yang mewajibkan qadha' beralasan bahwa orang yang meninggalkan shalât dengan udzur yang dibenarkan oleh Syara', yaitu karena lupa atau tertidur tanpa sengaja, tetap wajib qadha', apalagi orang yang meninggalkan shalât dengan sengaja yang tanpa udzur tentu lebih wajib mengqadha’. (Bidâyatul Mujtahid wa Nihâyatul Muqtashid– Ibn Rusyd – Bab Shalât yang bukan Adâ')

Untuk Wanita Muslimah! Kerjakanlah Shalât di Awwal waktu ketika saat-saat yang diperkirakan akan haid. Imam Syâfi’î berkata: “Adapun wanita yang mengetahui hari-hari haidh ditandai dengan darah yang terus keluar, maka hendaknya ia memperhatikan bilangan malam dan hari dimana ia biasa mengalami haid pada hari-hari itu setiap bulannya.”

Bila sudah memahami dan mengetahui siklus menstruasi-nya, maka ketika pada saat atau hari tersebut diperkirakan akan haidh, maka shalâtlah tepat waktu jangan menunda shalât. Contoh bila diperkirakan haidh akan datang hari itu, maka ketika masuk waktu shalât dhuhur langsung shalât, bila belum datang juga, ketika Ashar tiba, langsung kerjakan shalât dan seterusnya. Misalnya hari itu sudah masuk waktu dhuhur, tapi anda belum shalât dan ketika jam 1.00 haidh/mentruasi datang, maka anda telah meninggalkan kewajiban Shalât dhuhur tanpa udzur dengan sengaja !! Dan tidak dibenarkan mengakhirkan waktu shalât bila tanpa ada udzur syar’î, seperti dokter yang menolong orang sakit/operasi. Maka ia wajib mengqadha’ dan bertaubat dari dosa, karena meninggalkan shalât dhuhur tanpa udzur !!

Menurut Al-Umm: "Dan ia harus meninggalkan shalât pada hari-hari dan malam-malam itu. Namun apabila telah lewat waktunya, maka ia harus mandi kemudian mengerjakan shalât dan berwudlu’ setiap kali hendak shalât. Jika ia mengetahui hari-hari haidhnya, lalu ia lupa atau tidak mengetahui apakah awal bulan atau sesudahnya itu kurang dua hari atau lebih, maka ia harus mandi setiap kali hendak melaksanakan shalât, sebab tidak sah baginya shalât tanpa mandi terlebih dahulu dikarenakan mungkin saja ketika ia hendak melaksanakan shalât Subuh itu adalah waktu sucinya, maka ia harus mandi; atau bila tiba waktu dhuhur, mungkin saja itu adalah waktu sucinya. Oleh karena itu, ia harus mandi. Begitulah yang dikerjakan pada setiap waktu apabila ia hendak mengerjakan shalât, tidak sah baginya apabila ia tidak mandi. Memang, ada kemungkinan ia boleh melaksanakan shalât dengan berwudlu’ dan ada kemungkinan juga tidak boleh melaksanakan shalât kecuali dengan mandi. Sebab, ia tidak boleh melaksanakan shalât kecuali meyakini bahwa ia telah suci. Dalam keadaan

Page 103: Ringkasan Fiqh shalât - MRKR

102

seperti itu ia harus mandi, karena keyakinan dan keraguan terdapat pada wudlu’. Sementara itu, tidak sah mengerjakanshalât apabila ragu. Sedangkan jika mandi dapat membuatnya yakin,maka hendaknya ia mandi setiap kali hendak shalât. (Al Umm – Bab Darah Haidh)

Kasus#1: Tertidur atau pingsan hingga hingga terlewat waktu shalât. Seseorang tidur sebelum shalât ashar, bangun saat sudah maghrib. Apakah orang yang pingsan sehingga melewatkan waktu shalât harus juga meng-qadha’ shalâtnya? Hadîts:

�ه -ن +�ب(ي ق1ادة عن +�بیه ســت بنــا o رســول قال سر� مع الن�ب(ي عن عبد ا!ل لیلة فقــال بعــض القــوم لــو عر�ند بلال ظهره Dوقظكم فاضطجعوا و+�سk+ ��+ لاة قال بلال لى را�لتــه فغلبتــه ا!ل�ه قال +�Xاف +�ن تناموا عن الص�

4 ا

مس فقال o بلال +��ن ما قلت قال مــا +kلقKــت �لــي� نومــة عیناه ف[ام فاسKqقظ الن�ب(ي� وقد طلع �اجب الش�ها �لیكم �ــ@ن شــاء ن� ا!ل�ه قhض +�رواحكم �@ن شاء ورد� 4

ــلاة م¡لها قط� قال ا ن Mلن�ــاس Mلص� o بــلال قــم فــ�pذت قام فصل�ى. مس وابیاض� ا ارتفعت الش� �p فلم� رواه البgارىف1وض�

Dari Abdullâh ibn Abi Qatâdah � dari ayahnya ia berkata: kami menempuh perjalanan bersama Nabi pada malam hari, lalu sebagian orang bertanya, “Andai saja anda menghentikan kami untuk istirahat ya Rasûlullâh! Sabda beliau, “Aku khawatir kamu tertidur melewatkan waktu shalât”. Kata Bilal, “Biar saya yang akan membangunkan kalian”. Kemudian mereka berbaring tidur, dan Bilal bersandar pada kendaraannya. Ia tidak bisa menahan kantuk, dan ia pun tertidur. Nabi terbangun dan matahari telah terbit sabdanya, “Ya Bilal, mana ucapanmu?” jawab Bilal, “Saya belum pernah mengantuk berat seperti ini”. Sabdanya, “Sesungguhnya Allâh mengambil ruh-ruh kamu saat Dia menghendaki; dan mengembalikannya kepadamu ketika Dia menghendaki. Ya Bilal berdirilah, beritahu orang-orang untuk shalât (kumandangkan adzan)!”. Beliau pun berwudlu’. Ketika matahari telah meninggi dan sudah berwarna putih, beliau pun berdiri shalât. (Shahîh Bukhârî). Jika melihat dhahir-nya hadîts diatas, kasus yang terjadi memang berkaitan dengan shalât shubuh saja, tetapi hadîts lain dari Rasûlullâh sebagai berikut:

�ما الت�فــریط فــي الیقظــة عن +�ب(ي ق1ادة قال ذكروا !لن�ب(ي ن4�ه ل@س في الن�وم تفریط ا ن

4لاة فقال ا نومهم عن الص�

ذا ذكرها4ها ا ذا �سي +��دكم صلاة +�و �م عنها فلیصل

4 ائى والqرمذي وصحwه, نیل الاوطاررواه ال�س .فا

Dari Abi Qatâdah �, katanya: Para sahabat melaporkan kepada Nabi tentang tidur mereka yang melewatkan waktu shalât. Sabda beliau: “Sesungguhnya melanggar batas (lalai) itu bukan lantaran tidur. Hanya saja lalai itu saat bangun. Apabila salah seorang diantara kamu lupa shalât atau tertidur sehingga melewatkan waktunya, maka shalâtlah saat ia ingat”. (HR. Nasâî dan Tirmidzî, ia menilai hadîts ini shahîh - Nailul Authâr). Hadîts semakna dengan lafadz:

�ما الت�فریط � ن4ها �ــ@ن ینq ا لاة اk�خرى فمن فعل ذ!ك فلیصل لاة ح1�ى یجيء وقت الص� hــه لى من لم یصل الص� لها

…yang hanya disebut tafrîth itu bagi orang yang tidak shalât sehingga datang waktu shalât berikutnya. Siapa yang tertidur hendaklah ia shalât saat ia bangun …(Shahîh Muslim)

لا� ذ!ك. م1فق �لیه عن +��س -ن ما!ك عن الن�ب(ي 4ذا ذكرها لا كف�ارة لها ا

4 قال من �سي صلاة فلیصل ا

Dari Anas ibn Mâlik �, Nabi bersabda: “Siapa yang lupa shalât, shalâtlah saat ia ingat, tidak ada kiffarat shalât kecuali demikian”. (Muttafaq ‘Alaih).

Page 104: Ringkasan Fiqh shalât - MRKR

103

ن� ا!ل�ه یقول +�قم الص� :و لمسلم4ذا ذكرها فا

4ها ا لاة +�و غفل عنها فلیصل ذا رقد +��دكم عن الص�

4 لاة لذكرىا

Dalam lafadz Muslim beliau bersabda, “Apabila seseorang diantara kamu tertidur pada waktu shalât atau lupa mengerjakannya, maka hendaklah ia shalât saat ia ingat, karena Allâh berfirman, “Aqimishalâta lidzikri” (dirikanlah shalât untuk mengingat-Ku)”. Shalât qadha’ dilakukan karena lupa yang tidak disengaja, bukan karena menangguhkan waktu shalât yang pada akhirnya lupa. Para sahabat pernah lupa shalât ashar karena sedang berperang, sebagaimana hadîts:

ــمس فجعــل اب Uــاء یــوم الخنــدق بعــد مــا غربــت الش� �ه +�ن� عمر -ن الخط� rســب� كف�ــار عن Uا-ر -ن عبد ا!لمس تغــرب قــال الن�ب ــ ي العصر ح1�ى كادت الش� �ه ما كدت +kصل �یتها (ي� قرrش قال o رسول ا!ل �ــه مــا صــل وا!ل

مس ثم� p>� لها فصل�ى العصر بعد ما غربت الش� لاة وتوض� �p !لص� لى بطwان ف1وض�4 صل�ى بعدها المغرب فقمنا ا

Dari Jâbir bin Abdillâh �, bahwa Umar datang pada hari perang Khandaq setelah matahari terbenam, mulailah ia mengumpat para kafir Quraisy, katanya, “Ya Rasûlullâh, saya tidak sempat shalât ashar hingga matahari hampir terbenam”. Sabda Nabi , “Demi Allâh aku pun belum shalât”. Kemudian beliau berwudlu’, kami pun berwudlu’, beliau shalât ashar setelah matahari terbenam, setelah itu shalât maghrib. (Muttafaq ‘Alaih)

Pada riwayat Ahmad dan an-Nasâî dari Abi Sa’îd kejadian itu sebelum turun QS. Al-Baqarah (2): 239.

�مكم ما لم �كونوا تعلم �ه كما �ل ذا +�م[تم فاذكروا ا!ل4ن خف1م فرUالا +�و ركبا� فا

4 ونفا

“Jika kamu dalam keadaan takut (bahaya), maka shalâtlah sambil berjalan atau berkendaraan. Kemudian apabila kamu telah aman, maka sebutlah Allâh (shalâtlah), sebagaimana Allâh telah mengajarkan kepada kamu apa yang belum kamu ketahui”.

Pada riwayat Ahmad pun disebutkan bahwa:"Saat itu Rasûlullâh memanggil Bilal untuk iqamat shalât dhuhur, lalu shalât dhuhur, kemudian menyuruhnya (Bilal) iqamat ashar, lalu shalât ashar, kemudian menyuruhnya iqamat maghrib, lalu shalât maghrib." Hadîts ini diriwayatkan pula oleh Imam an-Nasâî tanpa menyebut shalât maghrib. Riwayat ini pun menerangkan bahwa tartib shalât tidak berubah yaitu ashar dulu kemudian maghrib.

Pingsan berbeda dengan tidur atau lupa. Pingsan termasuk sakit ingatan karena tidak sadarkan diri, dan saat itu ia terlepas dari kewajiban. Sayyid Sabiq menulis dalam kitab Fiqhus Sunnah, bahwa orang yang pingsan, tak perlu mengqadha’ shalât yang tertinggal saat ia pingsan, kecuali bila saat ia sadar cukup waktu untuk bersuci dan shalât. Imam Abdur Razzaq meriwayatkan dari Nâfi’, bahwa Ibnu Umar � pada suatu ketika jatuh sakit hingga pingsan dan meninggalkan shalât. Kemudian setelah sadar, ia tidaklah melakukan shalât yang ketinggalan itu. Dan dari Ibnu Juraij, dari Ibnu Thâwus dari ayahnya, katanya “Seseorang yang jatuh sakit hingga pingsan, kemudian sadarkan diri, tidaklah perlu mengulangi shalâtnya”.

Menurut madzhab Mâlikî, shalât qadha’ wajib didahulukan, walaupun shalât yang sedang tiba itu terkalahkan karena habis waktunya, untuk qadha’. Kemudian shalât yang sedang tiba itu dikerjakan sesudah shalât qadha’. Apabila seseorang menjalankan shalât yang sedang tiba namun mempunyai utang qadha’ shalât, maka shalât yang sedang dia kerjakan itu batal.

Page 105: Ringkasan Fiqh shalât - MRKR

104

Menurut madzhab Hanafî , wajib melakukan dahulu shalât qadha’ kalau waktunya longgar, yaitu tidak sampai membuat shalât yang sedang tiba itu terbengkalai. Imam Mâlik, Hanafî , sepakat bahwa apabila seseorang melakukan shalât yang sedang tiba dengan mengakhirkan shalât qadha’ karena lupa bahwa dia mempunyai utang qadha’ shalât, maka tidak membatalkan shalât yang dikerjakan itu. Apabila shalât yang ditinggalkan banyak, maka qadha’nya juga harus di-urut-kan.

Menurut Syâfi’î, qadha’ itu boleh sebelum shalât yang sedang tiba dan boleh sesudahnya. Namun apabila waktunya longgar lebih baik sebelumnya.

Dalam meng-qadha' shalât yang tertinggal disunnahkan mengumandangkan adzan untuk shalât yang pertama saja. Namun, iqâmah, maka disunnahkan untuk dilakukan pada setiap kali hendak melakukan shalât yang tertinggal itu, berdasarkan pendapat tiga imam madzhab. Mâlikî berpendapat bahwa adzan dan iqâmah dikumandangkan secara pelan-pelan saja.

Kasus#2, Cara meng-qadha’ shalât yang tertinggal pada masa lalu Cara meng-qadha’ shalâtnya dapat dilakukan dengan meng-qadha’ shalât dhuhur pada waktu shalât dhuhur, meng-qadha’ shalât ashar pada waktu ashar, meng-qadha’ shalât magrib pada waktu shalât magrib, meng-qadha’ isya' pada waktu shalât isya' dan shalât subuh pada waktu subuh, atau dengan cara lainnya sebagaimana disebutkan dalam kitab–kitab fiqih. Sedangkan jumlah yang harus di-qadha’ adalah jumlah yang diyakini telah ditinggalkan.

Dalam Kitab Bughya Al Mustarsyidîn hal. 36:

وقــال القف�ــال: یقضــى مــا شك� فى قدرفوائت �لیه لزمه الاتیان -كل مالم یKq�قن فعله كما قــل ا-ــن حجــروم ر. .تحق�ق �ركه

Seseorang telah ragu mengenai jumlah shalât-shalât yang ditinggalkan, maka wajib baginya melakukan shalât yang dia yakini telah melakukannya, sebagaimana pendapat Ibnu Hajar dan Mim Ra’, Imam Qoffal berkata: Dia harus meng-qadha’ apa yang telah nyata meninggalkanya.

Dalam Kitab Fiqh ala Madzâhibul Arba'ah- Cara meng-qadha’ Shalât: Madzhab Hanbalî dan Syâfi’î : Mereka berpendapat bahwa apabila ia musafir dan ketinggalan shalât yang empat rakaat, maka hendaklah ia mengqadha’ dua rakaat, bila qadha’-nya itu dilaksanakan dalam pejalanan. Sedang apabila qadha’ itu ia laksanakan bukan dalam pejalanan, maka wajib diqadha’' empat rakaat, karena asal shalât tersebut adalah sempurna (empat rakaat), maka ia wajib kembali kepada hukum asal ketika dalam keadaan hadlar/tidak bepergian.

Jika ia seorang muqim dan ketinggalan shalât (yang empat rakaat) itu, maka hendaklah ia meng-qadha’nya empat rakaat, sekalipun qadha’ tersebut dilaksanakan dalam safar/be-pergian. Jika ia ketinggalan shalât sirrîyah/samar, seperti Dhuhur, maka dalam meng-qadha’nya ia harus membaca samar, meskipun qadha’nya itu dilaksanakan pada malam hari. Dan apabila ia ketjnggalan shalât Jahrîyah, seperti shalât Maghrib, maka dalam mengqadha’nya hendaklah ia membaca dengan keras, meskipun qadha’ itu dilaksanakan pada siang hari,

Madzhab Syâfi’î: berpendapat bahwa yang menjadi pegangan adalah waktu mengqadha’, baik sirrîyah atau jahrîyah. Barang siapa mengqadha’ shalât Dhuhur pada waktu malam, hendaklah ia mengeraskan bacaannya; dan bagi yang mengqadha’ shalât Maghrib pada waktu siang, maka hendaklah menyamarkan bacaannya. Madzhab Hanbalî : berpendapat, apabila qadha’ itu dilaksanakan pada waktu siang, maka mutlak harus menyamarkan bacaannya, baik shalât tersebut sirrîyah ataupun

Page 106: Ringkasan Fiqh shalât - MRKR

105

jahrîyah, baik ia sebagai imam atau shalât sendirian. Sedangapabila qadha’ itu dilaksanakan pada waktu malam, maka hendaklah mengeraskan bacaannya dalam shalât jahrîyah, bila ia sebagai imam, karena dalam hal ini shalât qadha’ itu serupa dengan shalât adâ’ (shalât pada waktunya). Sedang apabila shalât itu sirrîyah, maka bacaannya harus disamarkan secara mutlak, demikian juga apabila shalât itu jahrîyah sedangkan orang itu shalât sendirian, maka bacaannya harus sirr/disamarkan.

Dalam meng-qadha’ shalât yang tertinggal diharuskan untuk memperhatikan ketertiban antara satu shalât dengan shalât yang lain. Maka shalât Shubuh itu hendaklah di-qadha’ sebelum shalât Dhuhur, shalât Dhuhur sebelum shalât Ashar dan seterusnya, sebagaimana juga harus memperhatikan tertib antara shalât yang tertinggal dengan shalât yang ada (pada waktu tersebut); dan antara dua shalât yaag ada, seperti dua shalât yang di-jama' dalam satu waktu.

Kasus#3: Mengganti shalât yang tertinggal bagi orang yang sudah wafat. Ada 2 (dua) pendapat yang berbeda: Pendapat pertama : bahwa shalât tidak boleh digantikan oleh orang lain. Dalilnya : Firman Allâh :

لا� ما سعى4�سان ا

4 و+�ن ل@س للا

“Dan tidak ada bagi seorang manusia, kecuali apa yang diamalkannya”. QS An Najm (53):39

Dan hadîts Nabi :

�سان انقطع عنه عمله عن +�ب(ي هر�رة +�ن� رسول ا!ل�ه 4ذا مات الا

4لا� من صدقة Uاریــة +�و قال ا

4لا� من ثلاثة ا

�لم ی1�فع به +�و ولد صالح یدعو له Dari Abû Hurairah �, Sesungguhnya Rasûlullâh bersabda: "Bila seorang hamba meninggal, maka putuslah semua amalnya kecuali dari tiga perkara, yaitu shadaqah Jariyah, ilmu yang bermanfaat dan anak shalih yang mendoakannya" (Shahîh Muslim).

�ــه بلغــه +�ن� عبــد ا p : ان �ــه -ــن عمــر كــان وUاء عن ا-ن عمر وا-ن عب�اس Xلاف ذ!ك ، فقال ما!ك في الموط� !ل�ــوب -ــن موســ یقول �سائي مــن طریــق +�ی ي +��د عن +��د ، ولا یصوم +��د عن +��د و+�خرج ال� ى عــن : لا یصل

ي +��د عن +��د ولا یصوم +��د عن +��د " +�ور ده ا-ن عبد الLــر ا-ن +�ب(ي رMح عن ا-ن عب�اس قال : " لا یصل

. من طریقه موقوفا ، ثم� قال : والن�قل في هذا عن ا-ن عب�اس مضطرب Dan apa yang ada dari riwayat dari Ibnu Umar رضــي ا!لــه عنهمــا dan Ibnu ‘Abbâs رضــي ا!لــه عنهمــا ada

perbedaan, sebab dalam Al Muwattha' karya Imam Mâlik diriwayatkan bahwa Ibn Umar menyatakan: "Tidak boleh seseorang melakukan shalât untuk orang lain dan رضــي ا!لــه عنهمــا

tidak boleh pula melakukan puasa untuk orang lain".

Nasâî juga meriwayatkan dari Ayyub bin Mûsâ dari Ibn Abi Rabah bahwa Ibnu ‘Abbâs menyatakan hal serupa. Ibni Abdil Barr secara Mauqûf, kemudian Ia (Ibn Abdil Barr) berkata : " Dan Naqal (dalil naqli) di dalam hadîts dari Ibn ‘Abbâs tersebut Mudhtharib (goncang sanadnya atau tidak jelas sanadnya) Ulama' yang berpendapat bahwa shalât tidak boleh digantikan oleh orang lain adalah Ibn Baththal (Abû al Hasan Ibn Baththal (lahir 449H- penulis Kitab Syarh Shahîh Bukhârî), Syaikh A'tiyah Muhammad Shaqr (Fatâwâ Azharîyah nomor 45-1997)

Pendapat Kedua, beberapa ulama dari Tâbi'în membolehkan penggantian shalât untuk orang yang telah meninggal. Dalil-dalil yang dijadikan landasan adalah:

Page 107: Ringkasan Fiqh shalât - MRKR

106

�ذي +�شار حیw@ن . وقول ا-ن عب�اس ال ة سعد -ن عبادة +�صله في الص� �ــ�دیث ا-ن عب�اس في قص� ه البgاري� ب�pنند صحیح " +�ن� امر+�ة جعلت �لــى نفســها م Dة �سh@ه ا-ن +�ب(ي شUیا الــى مســ�د نحو ما قاله ا-ن عمر +�خر Dشــ

�ه -ن عب�اس اب1�ها +�ن تمشي عنها قhاء فماتت ولم تقضه ، ف�pف1ى عبد ا!لDari Ibn ‘Abbâs مــاRSاللــھ ع !gــhر Atsar riwayat Ibnu Abi Syaibah dengan sanad shahîh

meriwayatkan seorang perempuan berkata kepada Ibnu ‘Abbâs رضـــي ا!لـــه عنهمـــا "Ibuku

meninggal dan telah ber-nadzar untuk pergi ke masjid Quba’ untuk shalât, maka Ibnu ‘Abbâs berfatwa agar perempuan (anak perempuan dari ibu yang wafat tadi) tersebut melakukan nadzar ibunya.” (As Shahîhain)

Shalât untuk mayit di-qiyas-kan (disamakan hukumnya) dengan do'a, shadaqah dan haji yang diperbolehkan, berdasarkan dalil-dalil yang kuat.

�ــه ر ح ي ماتت و�لیهــا نــذر } وك�pن مــز الــى +�ن� المــبهم دیث ا-ن عب�اس بلفظ : { ان� سعد -ن عبادة قال : ان� +kمدقة من الولد تلحق الوالد�ن بعد موتهما بــدون في �دیث �اÎشة هو سعد و+��ادیث الباب تدل� �لى +�ن� الص�

Mب وصول ثواب القرب المهداة الى الموتى) -( نیل ا�وطار وصی�ة م[هما ویصل الیهما ثوابهاHadîts dari Ibn ‘Abbâs رضـــي ا!لـــه عنهمـــا dengan lafadz: Sesungguhnya Saad bin Ubadah

berkata:"Ibuku meninggal dan telah ber-nadzar ." Dan ini menunjukkan bahwa shadaqah dari anak akan sampai kepada orang tua-nya yang telah meninggal meskipun tanpa ada wasiat dari kedua orang tuanya dan sampai kepada keduanya pahala shadaqah anaknya itu.

Imam Baghawî dalam kitab Tahdzîb mengatakan:"Untuk orang yang telah meninggal dan mempunyai tanggungan shalât, maka bisa digantikan setiap shalât dengan satu mud makanan".

لى الن�ب(ي 4�ه عنهما قال Uاء رUل ا ــي ماتــت و�لیهــا صــوم عن ا-ن عب�اس رضي ا!ل 4ن� +kم

فقال o رسول ا!ل�ــه اك د�ن +�كنت قاضیه عنها قال نع �ه +�حق� +�ن یقضىشهر +�ف�pقضیه عنها فقال لو كان �لى +kم م قال فد�ن ا!ل

Dari Ibn ‘Abbâs رضــي ا!لــه عنهمــا, berkata, telah datang seorang laki-laki menghadap Rasûlullâh

, ia berkata: "Ya Rasul, sesungguhnya Ibuku telah meninggal dan ada hutang puasa Ramadhan, apakah aku harus membayar untuknya?", maka beliau berkata: " Seandainya atas ibumu ada hutang maka hendaklah dilunasi,dan beliau berkata lagi: "Haq Allâh lebih berhak untuk dibayar.(Shahîh Bukhârî, Muslim dan Ahmad) ۞ Bagaimana cara mengqadha’ shalâtnya mayyit yang tidak di ketahui jumlah shalât yang di tinggalkan ? Untuk masalah ini ada 4 kemungkinan: 1. Mengqadha’ shalât yang tidak yakin dikerjakan.(Menurut Qodlî Husain, Ibnu Hajar

dan Ar-Ramlî) 2. Mengqadha’ shalât yang yakin ditinggalkan (Menurut Imam Nawâwî dan Al-Quffal) 3. Bila si mayit kadang mengerjakan shalât, kadang tidak mengerjakan shalât, maka

mengqadha’i shalât yang tidak yakin di kerjakan sebagaimana pendapat Qodlî Husain.

4. Bila si mayit jarang meninggalkan shalât maka mengqadha’i shalât yang yakin ditinggalkan sebagaimana pendapat An-Nawâwî.

Maraji': Tarsyîkhul Mustafidîn hal. 164, Bujairimî Alal Khatîb juz I hal. 356, Qalyûbî juz I hal. 118, Bughyatul Mustarsyidîn hal. 36.

Page 108: Ringkasan Fiqh shalât - MRKR

107

۞ Shalât Jama' dan Qashar Shalât Jama' artinya menggabungkan dua shalât dalam satu waktu, yaitu menggabungkan shalât Dhuhur dengan Ashar dan Maghrib dengan Isya, baik secara taqdim maupun ta'khir. Untuk shalât Subuh tetap harus dikerjakan pada waktunya. Kata ( جمع) artinya mengumpulkan. Shalât jama' ada dua yaitu:

1. Jama' Taqdim, mengumpulkan dua shalât dalam satu waktu dan pelaksanaannya pada waktu shalât ang lebih dahulu. Misalnya shalât Dhuhur dengan Ashar dikerjakan pada waktu shalât Dhuhur.

Syarat Jama' Taqdim 1. Dikerjakan dengan tertib 2. Niat jama' dilakukan pada shalât pertama (bersamaan dengan Takbiratul Ihram)

Lafadz Niat Jama' هر تقhل القhلة العشاء)) جمع تقدیم(تX<p@ر) /(المغرب /العصر) /(اصلى فرض (الظ� Dه تعالى مس�ر - !لLه +�ك�ا!ل

Aku niat shalât fardlu (dhuhur /Ashar/Maghrib/isya') jama' taqdim (digabungkan dan didahulukan / diakhirkan dari waktunya), karena Allâh ta’ala

3. Berurutan antara keduanya, yakni tidak boleh disela dengan shalât sunnah atau pekerjaan lain-lain.

4. Hanya boleh bagi Musafir (bagi orang muqim tidak boleh men-jama' shalât )

2. Jama' Ta’khir, kebalikan dari jama' taqdim, misalnya shalât Dhuhur dengan Ashar dilaksanakan pada waktu shalât Ashar

Syarat Jama' Ta’khir 1. Niat jama' ta’khir sebelum berakhirnya waktu shalât yang pertama, bila dia

sengaja mengakhirkan waktu ketika waktu yang pertama telah lewat, dihukumi haram dan wajib meng-qadha' shalât yang pertama pada waktu kedua

2. Masih dalam perjalanan hingga datangnya waktu yang kedua. Jika dia menjadi muqim sebelum selesai shalât yang kedua, maka shalât yang pertama menjadi shalât qadha.

Para Imam Madzhab berbeda pendapat perihal syarat-syarat ini (lihat tabel masalah furu'iyah shalât jama' dan qashar) Penyebab dibolehkannya Shalât Jama' adalah : 1. Bepergian atau safar Dengan syarat-syarat: Niat Safar Memenuhi jarak minimal dibolehkannya safar.Ulama berbeda dalam menentukan

jarak minimal, ada yang menyebut 4 barid (88, 704 km ) ada yang menyebut dua marhalah sama dengan 16 Farsakh (pos) atau 48 mil Hasyimi (Ma'mun) – 80 km) ( Kitab Tanwiir al-Qulub hal. 172). Ibnu Qudamah (ulama Madzhab Hanbalî): menyatakan jarak minimal adalah 16,632 kilometer (3 farsakh) atau 14,481 kilometer (3 mil)- Al-Muhadzdzab, 1/102; dan, Raudhah ath-Thalibin, 1/ 385. Ulama Hanafî saat ini menentukan jarak 48 mil syar'i= 88,864 km (Muhammad Inam al-Haq, The Injunction to The Traveller)

Keluar dari kota tempat tinggalnya (untuk rincian selanjutnya lihat mengenai masalah wathan asli dan wathan iqamah)

Safar yang dilakukan bukan safar maksiat

Page 109: Ringkasan Fiqh shalât - MRKR

108

Konversi satuan yang digunakan oleh Ulama' Fiqh untuk menentukan syarat boleh atau tidaknya Shalât jama'/Qashar:

Satuan Panjang (Ulama Fiqh)

Satuan panjang (m /km)

Referensi

1 Farsakh (= 3 Mil)

7499,9925 m Sebagaian Ulama 5281,25 m Imam Ahmad al Hasan 5541 m Sebagian Ulama

1 Matla' (=24 Farsakh) 888,9 Km Ulama' Falak 1 Mil Hasyimi (= 6000 hasta)

1666,6650 m Imam Ma'mun 2760,41 m Ahmad al Misri 2499,9975 m Sebagaian Ulama 1748 Sebagaian Ulama

Barid (= 48 Mil Hasyimi) 22,176 km Masafatul Qashr

89,999 km Imam Ma'mun 86 Km Tanwir Al Qulub 94,5 km Husain Al Mishri 199,99988 km Mayoritas Ulama'

Mughni al-Muhtaj, 1:268; al-Muhadzdzab, 1:102; Bidayah al-Mujtahid, 1:162 Satuan Panjang yang dipakai oleh UK, USA, Internasional: 1 mile [international] = 160 934.4 centimeter 1 mile [international] = 1.609 344 kilometer 1 mile [nautical, international] = 1.852 kilometer 1 mile [nautical, UK] = 1.853 184 kilometer 1 mile [nautical, US] = 1.852 kilometer 1 mile [Roman, ancient] = 1.52 kilometer 1 mile [survey, US] = 1.609 347 218 7 kilometer http://www.onlineconversion.com/length_all.htm 2. Sakit Madzhab Hanbalî, Mâlikî dan sebagaian Syâfi’î, membolehkan shalât jama` karena disebabkan sakit. (Kitab Al-Mughni lil Ibnu Qudamah)

Al-Imam An-Nawawi (dari madzhab Syâfi’î) dalam Syarah An-Nawawi 5/219; Bidayatul Mujtahid- Kitab Shalât , menyebutkan: "Sebagian imam berpendapat membolehkan menjama' shalât saat muqim (tidak safar) karena keperluan tapi bukan menjadi kebiasaan." Pendapat (diperbolehkannya jama' ketika Sakit) juga dikemukakan oleh Ibnu Sirin dan Ash-hab dari kalangan Mâlikîyah. Begitu juga Al-Khattabi menceritakan dari Al-Qaffal dan juga dari kalangan Asy-Syafi`iyyah. Begitu juga dengan Ibnu Mundzir yang menguatkan pendapat dibolehkannya jama` ini dengan perkataan Ibnu Abbas رضي الله : beliau tidak ingin memberatkan ummatnya. Allâh berfirman ,عنهما

�ن من حرج وما جعل �لیكم في الد"Allâh tidak menjadikan dalam agama ini kesulitan" (QS. Al-Hajj(22) : 78)

ا��عرج حرج ولا �لى المریض حرج ل@س �لى ا��عمى حرج ولا �لى Tidak ada halangan bagi orang buta, tidak (pula) bagi orang pincang, tidak (pula) bagi orang sakit, (QS. An Nur (24) : 61 ) 3. Haji Hadits Nabi :

�وب ا��نصاري� +�ن� رسول ثني +�بو +�ی ة الوداع المغرب والعشاء Mلمزدلفة ا!ل�ه �د� جمع في ح��Dari Abi Ayyub al-Anshari �. Bahwa Rasulullah menjama` Maghrib dan Isya` di Muzdalifah pada haji wada'. (Shahih Bukhari 1590).

Page 110: Ringkasan Fiqh shalât - MRKR

109

4. Hujan Hadits Nabi :

�وب لعل�ه اس +�ن� الن�ب(ي� عن ا-ن عب� هر والعصر والمغرب والعشاء فقال +�ی بعا وثمانیا الظ� Dلمدینة سM ى�صل في لیلة مط@رة قال عسى

Dari Ibnu Abbas رضي الله عنهما, Bahwa Rasulullah shalât jama' di Madinah tujuh atau

delapan (kali) shalât Dhuhur dan Ashar, Maghrib dan Isya', maka Ayyub berkata: "ketika hujan di malamnya, Bukhari berkata : Mungkin." (Shahih Bukhari – Bab Ta'khir Dhuhur ke Ashar). Selain itu ada juga hadits yang menerangkan bahwa sebab dibolehkannya jama' qashar bukan karena hujan :

�ه هر والعصر والمغرب والعشاء Mلمدینة في �@ر خوف ولا عن ا-ن عب�اس قال جمع رسول ا!ل ب@ن الظ� مطر

Dari Ibnu Abbas رضي الله عنهما, Bahwa Rasulullah shalât jama' di Madinah Dhuhur dan

Ashar, Maghrib dan Isya' bukan karena takut (keadaan takut) atau hujan". (Shahih Muslim – Bab Menjama' dua shalât dalam keadaan Hadlar/tidak bepergian).

Apabila mengerjakan shalât jama’ pada waktu muqim (menetap) maka harus dikerjakan pada waktu pertama dari kedua shalât tersebut (jama’ taqdim), bila mengerjakan shalât dhuhur dan ashar maka harus diwaktu dhuhur dan bila menjama’ shalât isya harus pada waktu maghrib.

5. Keperluan Mendesak Bila seseorang terjebak dengan kondisi dimana dia tidak punya alternatif lain selain menjama' (seperti dokter yang sedang menangani pasien kritis, pemadam kebakaran ketika sedang bertugas), maka sebagian ulama membolehkannya. Namun hal itu tidak boleh dilakukan sebagai kebiasaan atau rutinitas. Dalil yang digunakan adalah dalil umum seperti yang sudah disebutkan dalam QS. Al-Hajj (22) : 78 di atas. Shalât Qashar Adalah shalât yang dikerjakan dengan meringkas bilangan rakaatnya, empat menjadi dua. Imam empat madzhab berbeda pendapat tentang hukum qashar: Pendapat Abu Hanifah (Madzhab Hanafî) dan pengikutnya serta ulama Kuffah bahwa hukumnya fardlu 'ain atau –sebagaimana dalam Kitab Rahmatul Ummah disebut :Azimah (ketetapan). Apabila seorang musafir berniat menetap empat hari selain hari-hari masuk dan keluar-nya, maka menurut Madzhab Mâlikî dan Syâfi’î, ia menjadi muqim. Menurut Abu Hanifah, apabila ia berniat ber-muqim 15 (lima belas) hari, maka ia menjadi muqim hukumnya. Jika ia berniat kurang dari itu, maka tidak di-hukumi muqim. Dari Ibnu Abbas, beliau berpendapat, sembilan belas hari. Dari Ahmad ada riwayat, bahwa apabila seseorang berniat menetap selama ia kerja di tempat yang dituju yang lebih dari dua puluh hari, maka ia shalât dengan sempurna.

Page 111: Ringkasan Fiqh shalât - MRKR

110

Jika seseorang menetap di suatu tempat dengan niat pergi lagi jika keperluannya sudah terpenuhi, maka boleh mengerjakan pada setiap waktu tersebut adalah ia boleh meng-qashar hingga 18 (delapan belas) hari atau 4 (empat) hari sebagamana menurut madzhab Syâfi’î, namun menurut Hanafî boleh terus meng-qashar selama menetap di tempat tersebut. Pendapat sebagian pengikut Syâfi’î boleh dipilih antara qashar dengan tidak qashar, nilainya sama. Sedangkan Imam Syâfi’î berpendapat bahwa qashar itu sebagai dispensasi, dan tanpa qashar adalah lebih utama. Pendapat Mâlikî hukumnya Rukhsha (keringanan) atau sunnah muakkad dan lebih ta’kid lagi dari shalât berjamaah, sehingga apabila musafir tidak mendapatkan kawan sesama musafir untuk berjamaah, hendaklah ia bershalât secara perseorangan dengan meng-qashar, dan makruh baginya mencukupkan empat rakaat dan berma'mum kepada orang yang muqim. Dan jika seseorang berniat hendak muqim lebih dari empat hari, harus mencukupkan shalât (tidak Qashar) dan kalau kurang boleh mengqashar. Madzhab Hanbalî berpendapat: Rukhsha (keringanan) (Kitab Bidayatul Mujtahid, Ibn Rusyd) Dasar qashar, sebagai dispensasi, karena musafir itu sulit dalam melakukan shalât di tengah perjalanan. Ini berdasarkan hadits Ya'la bin Umayyah, dia berkata:

اب قلت ن خف1م +�ن ل@س �لیكم ج[اح عن یعلى -ن +kمK�ة قال س�pلت عمر -ن الخط�4لاة ا +�ن تقصروا من الص�

ا عجبت م[ه فس�pلت �ذ�ن كفروا وقد +�من الن�اس فقال عجبت مم� عن ذ!ك فقال رسول ا!ل�ه یف1نكم الق ا!ل�ه بها �لیكم فاقhلوا صدق1ه صدقة تصد�

Dari Ya'la bin Umayyah, "Saya bertanya kepada Umar bin Khathab tentang firman Allâh, 'Jika kamu takut diserang kaum kafir, yaitu masalah mengqashar shalât padasaat bepergian.' Umar menjawab, 'Apa yang tidak kau mengerti itu saya juga tidak mengerti, maka saya tanyakan hal itu kepada Rasulullah tentang apa yang kau tanyakan kepada saya. Rasulullah menjawab, "Qashar itu pemberian Allâh yang Dia berikan kepadamu, maka terimalah pemberian-Nya itu." (Shahih Muslim dan Sunan Abu Dawud)

Qashar juga berlaku untuk shalât sunnah. Menurut empat Imam madzhab, orang yang mengqashar shalât sunnah dalam perjalanan tidak dimakruhkan, baik sunnah rawatib lainnya

Dalam Kitab Bidayatul Mujtahid- Kitab Shalât diperoleh keterangan bahwa tidak ada satupun hadits yang menjelaskan bahwa Rasulullah selalu meng-qashar shalât pada setiap kali bepergian, dan tidak ada hadits yang menerangkan bahwa Rasulullah selalu melengkapkan shalât nya tanpa qashar pada setiap kali baliau bepergian. Ini berarti qashar itu wajib yang bisa dipilih atau bagi orang yang dalam berpergian (safar) diperbolehkan qashar dengan syarat: 1. Harus berniat menempuh jarak yang telah ditetapkan itu dari mulai berangkatnya.

Demikian menurut kesepakatan ulama. 2. Niat mengqashar pada waktu takbiratul ihram

Lafadz Niat Qashar

هر ى فرض (الظ� تقhل القhلة العشاء) ركعت@ن قصرا /العصر /اصل Dه تعالى مس� �ه +�كLر - !ل ا!لAku niat shalât fardlu (dhuhur /Ashar /isya) dua rakaat qashar, mengahadap kiblat karena Allâh ta’ala

Page 112: Ringkasan Fiqh shalât - MRKR

111

3. Tidak ber-ma'mum kepada orang yang Muqim (bukan musafir). Apabila seseorang musafir berma'mum kepada orang muqim dalam sebagian shalât nya, maka ia wajib menyempurnakan shalât nya (tidak qashar). Siapa shalât jum'at, lalu diikuti oleh musafir yang berniat shalât dhuhur secara qashar, wajib bagi musafir menyempurnakan shalât dhuhurnya(tidak boleh qashar). Sebab shalât jum'at adalah shalât nya orang muqim. Demikian pendapat Asy-Syâfi’î yang kuat. Seandainya tetap Shalât Jum'at juga boleh, namun bila sulit menemukan masjid/shalât jum'at maka shalât dhuhurnya cukup diqashar.

4. Jarak perjalanan sekurang-kurangnya dua hari perjalanan kaki atau 16 Farsakh(pos) atau 48 mil Hasyimi (Ma'mun) – 80 km), menurut madzhab Syâfi’î, Mâlikî dan Hanbalî. Sedangkan menurut madzhab Hanafî : 24 Farsakh = 72 Mil = 125,856 Km.

5. Bepergian bukan untuk maksiat ( madzhab Hanafî membolehkan bagi yang pergi untuk maksiat untuk meng-qashar Shalât )

Yang membatalkan Qashar Hukum Fiqh secara umum, seorang musafir tidak boleh meng-qashar shalât begitu ia kembali (memasuki) ke negeri aslinya atau ke suatu tempat dimana ia berniat bermuqim secara mutlak padanya atau bermuqim selama empat hari empat malam penuh atau bermuqim memenuhi suatu keperluan yang biasanya tidak selesai dalam masa empat hari empat malam. Seorang musafir juga tidak boleh meng-qashar shalât bila ia berniat pula kembali ke negeri aslinya atau ragu-ragu sedangia belum mencapai jarak safar. Namun musafir tetap punya hak qashar bila hanya singgah lewat di negeri aslinya. Madzhab Hanafî, Hanbalî dan Mâlikî mengatakan: jika seorang musafir pulang dari perjalanannya dan bermaksud kembali ke tempat ia berangkat dari perjalanannya, maka dalam hal ini harus diperhatikan: Jika ia melakukan sebelum menempuh jarak qashar, maka batal-lah perjalanannya,

dan wajib atasnya menyempurnakan shalât (tidak boleh qashar). Jika ia telah menempuh jarak yang telah ditetapkan syara’, maka ia boleh meng-

qashar hingga kembali ke negerinya. Sedangkan Madzhab Syâfi’î mengatakan: bilamana terlintas dalam benaknya hendak kembali di tengah-tengah perjalanannya, maka ia harus menyempurnakan shalât nya. Imam empat mazhab sepakat: "Tidak boleh meng-qashar shalât kecuali bila sudah meninggalkan bangunan kota (tugu batas)."

Page 113: Ringkasan Fiqh shalât - MRKR

112

Perbedaan (Furu') Masalah dalam Shalât Jama' dan Qashar No Cabang Masalah Hanafî/ـــ������ Mâlikî/ـــ����� Syâfi’î/ـــ��� �� Hanbalî/ـــ�������

1 Hukum Shalât Jama' Selain di Arafah dan Muzdalifah. Tidak Boleh secara Mutlaq

Boleh (menurut Hanbalî: Afdhal tidak di-qashar)

2 Sebab-sebab/Syarat syarat Shalât Jama'

Boleh: Jama' Taqdim: -Di Arafah -Sedang Ihram -Mengikut Imam kaum Muslimin -Shalât dhuhur-nya sah Boleh: Jama' Taqdim: - di Muzdalifah -Sedang Ihram

-Safar -Sakit -Hujan -Tanah Ber-lumpur -Haji (di Arafah dan Muzdalifah)

-Safar -Hujan Boleh: Jama' Taqdim: -Tertib (memulai shalât yang mempunyai waktu tsb) - Niat pada shalât pertama -jarak antara keduanya tidak lama -Masih safar hingga shalât kedua -Masih ada waktu untuk Shalât pertama Boleh: Jama' Taqdim: - Berniat ta'khir di waktu shalât yang pertama -Masih safar hingga kedua shalât telah sempurna.

-Safar -Sakit/wani-ta Istiha-dlah/beser -Karena ada udzur (pe-kerjaan yang sangat pen-ting, karena ada sesuatu yang meng-ancam diri, kehormatan dll

3 Jarak mini-mal boleh Qashar/Ja-ma'

24 Farsakh = +/- 125,856 Km (ada yang menga-takan= 107,5 km + 20 m) *

16 Farsakh = +/- 80 Km (tepatnya = 80,5 km + 140 m)

4 Lama Perja-lanan yang boleh Qa-shar

3 hari (Bila sampai tu-juan, Tidak Boleh Qa-shar

3 hari tetap boleh di qashar (meskipun sudah sampai di tujuan)

5 Berniat Mu-qim di tem-pat tujuan

berniat mu-kim selama 15 hari penuh ber- turut-turut. Jika ia berniat muqim tidak sampai 15 hari, se-kalipun ku- rang 1 jam, maka ia tidak di-sebut mu-qim.

Bila muqim selama 4 hari penuh (selain hari ma-suk/datang dan sehari

keluar/pu-lang TIDAK DIHITUNG), maka tidak lagi boleh Qashar

Berniat untuk muqim, ma-ka, tidak bo-leh Qashar

(*)Fiqih Lima Madzhab karya Muhammad Jawad Mughniyah diterjemahkan oleh Masykur A.B., Afif Muhammad, Idrus Al-Kaff.

Page 114: Ringkasan Fiqh shalât - MRKR

113

Musafir berma'mum kepada Imam Muqim Di antara syarat sahnya shalât qashar adalah hendaknya musafir yang meng-qashar shalât itu tidak ber-ma'mum kepada seorang yang muqim atau kepada musafir lain yang menyempurnakan shalât nya. Jika melakukan yang demikian itu, maka ia wajib menyempurnakan shalât nya, baik ia berma'mum pada waktunya atau setelah keluar waktunya, berdasarkan kesepakatan tiga imam madzhab, kecuali Madzhab Hanafî.

Madzhab Hanafî: Mereka berpendapat bahwa musafir tidak boleh berma'mum kepada orang muqim kecuali pada waktunya. Pada saat itu ia wajib menyempurnakan shalât nya, karena ketika itu fardlu-nya berubah dari dua rakaat menjadi empat rakaat. Sedang apabila waktunya keluar, maka ia tidak boleh berma'mum kepada orang muqim, karena setelah keluarnya waktu, fardlunya itu tidak berubah menjadi empat, karena yang menjadi tangggungannya hanya dua rakaat saja. Bila ia berma'mum kepada orang muqim, maka shalât nya batal, karena duduk (tasyahhud) pertama bagi musafir yang berma'mum tadi adalah fardlu, sedang bagi imam muqim tersebut tidak demikian. Padahal yang wajib hendaklah keadaan imam itu lebih kuat dari ma'mum, dalam waktu shalât dan setelah waktu shalât . Dalam hal ini tidak ada perbedaan, antara sempat mengikuti imam dalam keseluruhan shalât ataupun sebagian shalât , hingga walaupun ia hanya sempat mengikuti tasyahhud akhir, maka ia harus menyempurnakan shalât tersebut secara sepakat. Seorang musafir tidak makruh berma'mum kepada orang muqim kecuali menurut pendapat Mâlikîyah. Mereka mengatakan bahwa hal itu hukumnya makruh, kecuali apabila imamnya lebih utama dan memiliki keistimewaan.

Madzhab Mâlikî: Mereka berpendapat bahwa apabila musafir itu tidak sampai menyertai imam yang muqim selama satu rakaat penuh, maka ia tidak wajib menyempurnakan shalât nya, melainkan boleh mengqasharnya, karena kema'muman seseorang tidak terjadi kecuali apabila ia sempat mengikuti satu rakaat penuh bersama imam. Musafir Menjadi Imam bagi Muqim Jika seorang musafir dijadikan imam oleh orang-orang muqim dan dia meng-qashar shalât nya maka hendaklah orang-orang yang muqim meneruskan shalât mereka sampai selesai (empat raka'at), namun agar tidak terjadi kekeliruan hendaklah imam yang musafir memberi tahu ma'mumnya bahwa dia shalât qashar dan hendaklah mereka (ma'mum yang muqim) meneruskan shalât mereka sendiri-sendiri dan tidak mengikuti salam setelah dia (imam) salam dari dua raka'at. Hal ini pernah di lakukan Rasulullah ketika berada di Makkah (musafir) dan menjadi imam penduduk Mekkah, beliau berkata: Sempurnakanlah shalât mu (empat raka'at) wahai penduduk Mekkah ! Karena kami adalah musafir. (Hadits riwayat Abu Dawud) Beliau shalât dua-dua (qashar) dan mereka meneruskan sampai empat raka'at setelah beliau salam.[ Al-Majmu' Syarah Muhadzdzab 4/178] Sedangkan orang muqim yang berma'mum kepada musafir hukumnya sah secara mutlak, pada waktu shalât dan setelah waktu shalât . Ia shalât bersama imam (musafir) itu dua rakaat, dan apabila imam (musafir) itu bersalam, maka ma'mum berdiri dan menyempurnakan shalât nya dua rakaat (lagi) sebagaimana orang masbuq. Shalât Jum'at bagi Musafir

Page 115: Ringkasan Fiqh shalât - MRKR

114

Kebanyakan ulama berpendapat bahwa tidak ada shalât Jum'at bagi musafir, namun apabila musafir tersebut tinggal di suatu daerah yang diadakan shalât Jum'at maka wajib atasnya untuk mengikuti shalât Jum'at bersama mereka. Ini adalah pendapat Imam Malik, Imam Syâfi’î, Ats-Tsauriy, Ishaq, Abu Tsaur, dll. [Al-Mughni li Ibnu Qudamah 3/216, Al-Majmu' Syarh Muhadzdzab, Imam Nawawi 4/247-248] Atau dengan kata lain: jum’at bagi musafir menjadi wajib mukhayyar, yaitu si musafir tetap wajib shalât jum’at, bila tidak mengerjakan shalât jum’at, dia harus shalât dhuhur. Bahkan Ibn Qudamah (Madzhab Hanbalî) menjelaskan dalil yang menyebutkan bahwa Nabi Muhammad apabila safar (bepergian) tidak shalât Jum'at dalam safarnya, juga ketika Haji Wada' Beliau tidak melaksanakan shalât Jum'at dan menggantinya dengan shalât Dhuhur yang dijama' (digabung) dengan Ashar. Demikian pula para Khulafa Ar-Rasyidun (empat khalifah) dan para sahabat lainnya رضــي اللــه عــنهم serta orang-

orang yang setelah mereka apabila safar tidak shalât Jum'at dan menggantinya dengan Dhuhur. [Al-Mughni, Ibnu Qudamah 3/216] Dari Al-Hasan Al-Basri, dari Abdur Rahman bin Samurah berkata: Aku tinggal bersama dia (Al-Hasan Al-Basri) di Kabul selama dua tahun mengqashar shalât dan tidak shalât Jum'at" Sahabat Anas � tinggal di Naisabur selama satu atau dua tahun, beliau tidak melaksanakan shalât Jum'at. Ibnul Mundzir menyebutkan bahwa ini adalah Ijma' (kesepakatan para ulama') yang berdasarkan hadits shahih. [Al-Mughni, Ibnu Qudamah 3/216] Tata cara Shalât Jama' dan Qashar 1. Shalât Qashar Jama' Taqdim: Dhuhur dengan Ashar Pelaksanaannya pada waktu Dhuhur Pertama, melaksanakan shalât dhuhur 2 rakaat dengan niat:

هر ركعت@ن قصرا مجمو�ا الیه العصر ى فرض الظ� تقhل القhلة اصل Dه تعالى مس�ر - !لLه +�ك� ا!ل “Aku (niat) shalât fardlu dhuhur 2 rakaat qashar dengan menjama' ashar kepadanya, menghadap kiblat karena Allâh Ta’ala.”�

Selesai shalât dhuhur, langsung dilanjutkan dengan iqamah Setelah iqamah langsung melaksanakan shalât ashar 2 rakaat dengan niat:

هر ى فرض العصر ركعت@ن قصرا مجمو�ا الى الظ� تقhل القhلة اصل Dمس �ه تعال �ه +�كLر - ى!ل ا!ل “Aku (niat) shalât fardlu ashar 2 rakaat qashar dengan menjama'nya kepadanya dhuhur, menghadap kiblat karena Allâh Ta’ala.”�

Setelah salam, maka selesai-lah shalât ashar, dan berarti selesai pula pelaksanaan shalât qashar jama' taqdim dhuhur. Dan nanti pada saat shalât ashar tiba, tidak perlu lagi melaksanakan shalât ashar.

2. Shalât Qashar Jama' Taqdim: Maghrib dengan Isya Pelaksanaannya pada waktu Maghrib Pertama, melaksanakan shalât maghrib 3 rakaat (shalât maghrib tidak di qashar)

dengan niat:

ى فرض المغرب ثلاث ركعات مجمو�ا الى العشاء تقhل القhلة اصل Dه تعالى مس� �ه +�كLر - !ل ا!ل“Aku (niat) shalât fardlu maghrib 3 rakaat, dengan menjama' isya kepadanya dengan menghadap kiblat karena Allâh Ta’ala.”� Selesai shalât maghrib langsung melakukan iqamah Selesai iqamah dilanjutkan dengan mengerjakanshalât isya 2 rakaat, dengan niat:

Page 116: Ringkasan Fiqh shalât - MRKR

115

ى فرض العشاء ركعت@ن قصرا مجمو�ا الى المغرب تقhل القhلة اصل Dه تعالى مس�ر - !لLك �ه +� ا!ل“Aku (niat) shalât fardlu isya 2 rakaat qashar dengan menjama'nya kepada maghrib, menghadap kiblat karena Allâh Ta’ala.”� Setelah shalât isya selesai, maka pelaksanaan shalât qashar jama' taqdim maghrib

dengan isya selesai. Dan pada saat waktu isya tiba, maka tidak perlu shalât isya lagi.

3. Shalât Qashar Jama' Ta’khir: Dhuhur dengan Ashar Pelaksanaannya pada waktu ashar Pada waktu shalât dhuhur tiba, ia telah berniat akan melaksanakan shalât dhuhur

tersebut pada waktu ashar Shalât yang pertama kali dilakukan boleh dipilih shalât ashar lebih dahulu atau

shalât dhuhur Jika shalât ashar dahulu maka dikerjakan 2 rakaat dengan niat:

هر ى فرض العصر ركعت@ن قصرا مجمو�ا الیه الظ� تقhل القhلة اصل Dه تعالى مس�ر - !لLه +�ك�ا!ل “Aku (niat) shalât fardlu ashar 2 rakaat qashar dengan menjama' dhuhur kepadanya dengan menghadap kiblat karena Allâh Ta’ala." Shalât ashar selesai, langsung dilanjutkan dengan shalât berikutnya, maka

dilanjutkan dengan iqamah dan disambung dengan mengerjakan shalât dhuhur 2 rakaat, dengan niat:

هر ركعت@ن قصرا مجمو�ا الى ال ى فرض الظ� تقhل القhلة عصراصل Dه تعالى مس�ر - !لLه +�ك� ا!ل “Aku (niat) shalât fardlu dhuhur 2 rakaat qashar dengan menjama'nya kepada ashar dengan menghadap kiblat karena Allâh Ta’ala.”�

4. Shalât Qashar Jama' Ta’khir: Maghrib dengan Isya Waktu pelaksanaannya pada waktu isya Pada waktu shalât maghrib tiba, ia telah berniat akan melaksanakan shalât maghrib

tersebut pada waktu isya Shalât yang pertama dikerjakan boleh dipilih, shalât isya lebih dahulu atau shalât

maghrib Jika shalât isya dahulu, maka dikerjakan 2 rakaat dengan niat:

ى فرض العشاء ركعت@ن قصرا مجمو�ا الیه المغرب تقhل القhلة اصل Dه تعالى مس� �ه +�كLر - !ل ا!ل“Aku (niat) shalât fardlu isya 2 rakaat qashar dengan menjama' maghrib kepadanya, menghadap kiblat karena Allâh Ta’ala.”�

Setelah shalât isya selesai, maka dilanjutkan dengan iqamah dan disambung dengan

mengerjakan shalât maghrib 3 rakaat dengan niat:

ى فرض المغرب ثلاث ركعات مجمو�ا الى العشاء تقhل القhلة اصل Dه تعا مس�ر - لى!لLه +�ك� ا!ل“Aku (niat) shalât fardlu maghrib 3 rakaat, dengan menjama' isya kepadanya dengan menghadap kiblat karena Allâh Ta’ala.”� Wathan Ashli dan Wathan Iqamah Istilah wathan ashli (tempat tetap) dan wathan iqamah (tempat bermuqim sementara) sebenarnya terdapat dalam istilah fiqh ulama Hanafî. Wathan ashli (tempat tetap), menurut Madzhab Syâfi’î: Tempat menetap dalam segala musim. Ia berniat menetap di sana secara mutlak tanpa menentukan batas waktu. Atau

Page 117: Ringkasan Fiqh shalât - MRKR

116

tempat tinggal di sana secara permanen meskipun keluarganya (istrinya) tidak sedang tinggal disana. Inilah pendapat yang mu'tabar dalam Mazhab Syâfi’î. (Mughni al-Muhtaj 1/264) Madzhab Hanafî: Tempat menetap sepanjang tahun. Tempat bekerja atau bertugas. Tempat menetap istrinya, tempat kelahiran jika masih ada padanya sanak keluarganya. Negerinya secara hukum atau sebagai warganegeri atau warga kota. Madzhab Mâlikî: Tempat ia lahir dan tumbuh. Negeri tempat ia memulai safar. Wathan ashli adalah daerah asli atau kota kediaman seseorang dimana ia sudah tinggal menetap atau suatu tempat selain tempat kelahirannya yang sudah dianggapnya sebagai tempat tinggal permanen bersama keluarganya, sedang ia tidak berniat untuk meninggalkan tempat itu. Jadi wathan ashli adalah tempat bermuqim di musim panas dan musim dingin, bukan hanya satu dua bulan saja.

Wathan Iqamah (Tempat Muqim Sementara), yaitu tempat tinggal sementara dimana seorang musafir berdiam selama masa iqamah yaitu selama empat hari atau lebih(Batasan 4 hari ini adalah ketentuan dalam Mazhab Syâfi’î; Mâlikî, dan Hanbalî, sedangkan dalam Hanafî adalah selama 15 hari atau lebih) setelah itu dia bermaksud atau berniat melanjutkan perjalanan ke tempat lain. Sedangkan bila kurang dari hari tersebut, maka tempat itu tidak dapat disebut wathan iqamah. Tempat muqim sementara tersebut tidak harus berupa rumah yang layak ditinggali seperti hotel, penginapan, rumah kerabat, atau rumah persinggahan sendiri. Jadi termasuk perkemahan, padang pasir, padang rumput, dan hutan, karena dengan berkemah berarti seseorang sudah dianggap dalam keadaan menetap. Menurut Mazhab Hanafî, tempat muqim sementara tersebut harus berupa rumah yang layak ditinggali. Ringkasnya, hal ini tergantung dari niat dan kesusahan yang ditemui dalam perjalanan. Hal ini, lebih membuat musafir leluasa, karena status daerah layak huni tidak dapat dipakai sebagai tempat muqim sehingga mereka dapat keringanan safar saat singgah dalam waktu lama. Menurut Mazhab Syâfi’î dan Mâlikî: Masa muqim empat hari di tempat tujuan atau persinggahan (wathan iqamah), tidak-termasuk hari pertama masuk dan hari akan berangkat, karena kedua hari itu dianggap hari dalam perjalanan, sedangkan hari pertama adalah hari meletakkan barang-barang dan hari kedua adalah hari persiapan berangkat, sedang kedua hari tersebut termasuk dalam kegiatan pejalanan. Rumah orang tua atau karib kerabat, maka ia tidak akan menjadi wathan ashli- nya bila tidak menetap secara mutlak disana. Misalnya, seseorang pulang kampung ke Surabaya (rumah/wathan Ashli-nya di Jakarta) setiap bulan atau setiap tahun, maka rumah orang tua atau kerabat bukanlah wathan ashli-nya, karena ia pada hakikat menetap secara permanen di Jakarta, bila ia berniat tinggal kurang dari 4 (empat) hari, maka boleh shalât qashar. Seseorang dapat mempunyai dua wathan ashli, karena ia menetap secara "permanen" di kedua tempat itu, karena mempunyai 2(dua) orang istri, maka itu merupakan wathan Ashli-nya dan tidak boleh shalât qashar

Page 118: Ringkasan Fiqh shalât - MRKR

117

Jika seseorang (muqim di Jakarta) menghabiskan suatu musim bersama keluarganya di rumah musiman ini (di Bandung misalnya), maka daerah tempat rumah musiman tersebut dianggap sebagai wathan ashli-nya. Ia harus menjalankan shalât di Bandung secara penuh (tidak qashar), karena yang disebut wathan ashli adalah tempat tinggal seseorang atau tempat yang dia diami bersama keluarganya tanpa ada niat untuk pindah lagi, tetapi ia berniat untuk menetap hidup di sana secara mutlak atau dianggap keduanya adalah wathan ashli Jika pekerja itu berniat muqim di Bandung selama seminggu, maka ia wajib menyempurnakan shalât nya karena Bandung sudah menjadi Wathan iqamah, sedangkan jika pada suatu ketika ia hanya berniat muqim selama kurang dari empat hari karena suatu alasan mendadak, maka ia boleh meng-qashar shalât nya, sebab hanya sebagai tempat singgah saja (seperti seorang musafir). Jika seseorang menetap bersama keluarga dan barang-barang miliknya di tempat pekerjaannya (ada bisnis di kota yang jauh) dengan niat akan hidup di sana selamanya meskipun pekejaannya berakhir, maka tempat ini statusnya menjadi wathan ashli, ia akan dianggap sebagai seorang muqim (maka ia harus melaksanakan shalât nya secara penuh di sini dan menjalankan puasa wajibnya). Mughni al-Muhtaj, 1:264; al-Fiqh 'Ala al-Madzahib al- Arba'ah, I/ 280. Bagaimana cara menghitung hari? Cara menghitung hari menurut hitungan kalender Qamariyah adalah dimulai sejak terbenam matahari sampai pada terbenamnya lagi matahari esok harinya. Bila Anda datang pada jam 7 malam hari Rabu menurut kalender Syamsiyah, maka Anda terhitung datang pada hari Jum'at menurut hitungan Qamariyah, sedangkan hari Jum'at akan berakhir saat matahari terbenam pada sore hari Jum'at tersebut.

Page 119: Ringkasan Fiqh shalât - MRKR

118

Shalât Jum'at

Dinamakan hari jum`at, karena hari itu merupakan saat berkumpulnya orang-orang muslim pada hari itu untuk menunaikan shalât bersama-sama. Hari jum`at pada masa jahiliyah dinamakan yaumul ‘arûbah yang artinya hari rahmat, sebagaimana dikatakanImam as-Suhaili. Orang yang pertama kalinya menamai jum`at adalah Ka’ab bin Lu’ay. Ka’ab berkata, “Sesungguhnya Allâh telah melebihkan kota Mekkah atas kota-kotayang lain, melebihkan bulan ramadhan atas bulan yang lain, melebihkan hari jum`at atashari-hari yang lain. Juga terdapat hadîts yang mengatakan bahwa pada hari jumat terdapat saat dikabulkannya doa”. Shalât Jum‘at difardlukan di Mekkah sebelum Hijrah. Tetapi, shalât Jum'at tidak/belum dilaksanakan karena agama Islam masih belum tersebar luas dan jumlah umat Islam masih sedikit. Orang yang pertama mendirikan Shalât Jum‘at di Madinah al-Munawwarah sebelum Hijrah ialah As‘ad bin Zararah � atas seizin Rasûlullâh . (Tuhfah al- Muhtâj: 1/329, Mughnî al-Muhtâj: 1/414, Hâsyîyah Qalyûbî: 1/310). Saat itu kaum muslim mengatakan, “orang Yahudi mempunyai hari dimana merekaberkumpul, yaitu hari sabtu dan orang Nasrani pun mempunyai hari seperti itu. Yaitu hari minggu. Karena itu marilah berkumpul dan menetapkan suatu hari dimana kitamengingat Allâh dan memperoleh peringatan di dalamnya.” Kemudian mereka sama sama menemui As’ad bin Zurarah dan As’ad melakukan shalât jum`at yang pertama kali dalam Islam bersama mereka. (Asy- Syarbashi, Ahmad, “Yas’alunaka Fi Ad-Din Wa Al-Hayah”, Dar Al- Jari, Beirut). Nabi Muhammad bersama para sahabatnya melaksanakan shalât jum`at yang pertama kali di tempat Salim bin ‘Auf. Mereka menjadikan tempat itu sebagai masjid. Rasûlullâh berkhutbah di hadapan mereka dan mengerjakan shalât bersama-sama mereka. (Syaukani, Muhammad, “Nailul Authar”, Dar Al-Kutub, Beirut, (2/247)) Ibadah Jumat terdiri dari : 1. Dua khutbah Jum’at 2. Dua raka’at shalât Jum’at

Dari Abu Sa’îd Al-Khudrî � ; Rasûlullâh bersabda,

إذا 5ان يوم ا�aمعة قعدت الملائكة ع%$ أبواب الم�³د فيكتبون الناس من جاء من

الناس ع%$ منازل�م فرجل قدم جزورا ورجل قدم بقرة ورجل قدم شاة ورجل قدم دجاجة

GHورجل قدم عصفورا ورجل قدم بيضة قال فإذا أذن المؤذن وجلس الإمام ع%$ المن

لذكرطو3ت ال¨`ف ودخلوا الم�³د fستمعون ا

“Apabila hari Jumat datang, para malaikat duduk di depan pintu masjid-masjid. Mereka mencatat setiap orang yang datang sesuai dengan waktu kedatangan mereka. Ada orang yang seperti berkurban unta, ada yang seperti berkurban sapi, ada yang seperti berkurban kambing, ada yang seperti berkurban ayam, ada yang seperti berkurban burung, dan ada yang seperti berkurban telur. Ketika muazin melakukan azan dan imam

Page 120: Ringkasan Fiqh shalât - MRKR

119

sudah duduk di mimbar maka buku catatan ditutup dan mereka masuk masjid, mendengarkan khotbah.” (HR. Ahmad; sanadnya dinilai hasan oleh Syu’aib Al-Arnauth).

حمن عن سهیل عن +�بیه ع ثنا یعقوب یعني ا-ن عبد الر� ثنا ق1یبة -ن سعید �د� ن +�ب(ي هر�رة +�ن� رسول و �د� ا!له صل�ى ا!له �لیه وسل�م قال :

لى م¡ل �لى كل Mب من +�بواب المس�د ملك 4لهم ح1�ى صغ�ر ا ل م¡�ل الجزور ثم� 6ز� ل فا��و� �ك1ب ا��و�

كر حف وحضروا الذ مام طویت الص�4ذا Uلس الا

4 البیضة فا

Dan telah menceritakan kepada kami Qutaibah bin Sa’id � telah menceritakan kepada kami Ya’qub bin Abdurrahman dari Suhail dari bapaknya dari Abu Hurairah � bahwa Rasûlullâh bersabda: Di setiap pintu Masjid terdapat Malaikat yang akan mencatat orang yang pertama kali datang dan seterusnya. Beliau mempermisalkan mereka seperti orang berkurban dengan seekor unta, kemudian diturunkannya lagi hingga seperti seorang yang berkurban dengan sebutir telur. Dan ketika Imam telah duduk, maka shuhuf (lembaran catatan) ditutup, dan para Malaikat pun menyimak khutbah. (Shahîh Muslim)

Dari Abu Umamah �; beliau mengatakan,

إذا 5ان يوم ا�aمعة قامت الملائكة بأبواب الم�³د فيكتبون الناس ع%$ منازل�م الاول

فإن تأخر رجل م<�م عن مJÝلھ دعت لھ الملائكة يقولون الل�م إن 5ان مر3ضا فاشفھ الل�م

3ت ال¨`ف إن 5انت لھ حاجة فاقض لھ حاجتھ فلا يزالون كذلك ح�� إذا خرج الامام طو

ثم ختمت فمن جاء ¬عد نزول الامام فقد أدرك الصلاة ولم يدرك ا�aمعة“Apabila hari Jumat datang, malaikat berjaga di pintu-pintu masjid. Mereka mencatat setiap orang yang datang sesuai tingkat kedatangannya. Apabila ada orang yang telat datang maka malaikat ini berdoa untuknya. Mereka memanjatkan doa, ‘Ya Allah, jika dia sakit maka sembuhkanlah dia, dan jika dia punya kepentingan maka selesaikanlah kebutuhannya.’ Mereka terus melakukan hal itu, sampai imam datang. Ketika imam datang, buku catatan ditutup kemudian distempel. Barang siapa yang datang setelah imam turun maka dia hanya mendapatkan shalât dan tidak mendapatkan jumatan.” Keterangan:Sanad hadîts ini hasan. Namun, statusnya mauquf sampai Abu Umamah (ini adalah perkataan Abu Umamah �).

Hukum Shalât Jum'at Shalât Jum‘at adalah Shalât dua raka‘at dalam waktu Dhuhur pada hari Jum‘at dan didahului dengan dua khutbah. Dan hukumnya fardlu ‘ain bagi orang laki-laki yang mukallaf, berakal, merdeka, dan sehat.

Dalil disyari‘atkannya Shalât Jum‘at Allâh berfirman :

لى ذكر ا!ل�ه وذروا ال 4لاة من یوم الجمعة فاسعوا ا ذا نودي !لص�

4م[وا ا �ذ�ن + �ها ال ن كنتم o +�ی

4بیع ذلكم X@ر لكم ا

تعلمون

Hai orang-orang beriman, apabila diseru untuk menunaikan shalât Jum'at, Maka bersegeralah kamu kepada mengingat Allâh dan tinggalkanlah jual beli [*]. yang demikian itu lebih baik bagimu jika kamu Mengetahui. QS Al Jumuah (62):9) [*] Maksudnya: apabila imam telah naik mimbar dan muadzdzin telah adzan di hari Jum'at, maka kaum muslimin wajib bersegera memenuhi panggilan muadzdzin itu dan meninggalkan semua pekerjaannya.

Ayat:

Page 121: Ringkasan Fiqh shalât - MRKR

120

لاة من یوم الجمعة ذا نودي !لص�4 ا

"Apabila diseru untuk menunaikan shalât pada hari'Jum 'at.”

Yang dimaksud dengan "seruan" ini adalah seruan kedua/adzan yang dilakukan di hadapan Rasûlullâh ketika beliau telah berangkat dari rumah dan naik mimbar.

Hukum Jual Beli saat Shalât Jumat

ضuت ا ق

إذ

من باع واش£Gى QR يوم ا�aمعة ¬عد الصلاة، بارك اللھ لھ سبع ن مرة، لقول اللھ ±عا{$: { ف

ھ }ضل الل

وا من ف

غ

ابت شروا QR الأرض و

8

ان

ف

لاة الص

“Barangsiapa melakukan jual beli setelah shalât Jum’at, maka semoga Allâh memberikan ia keberkahan sebanyak 70 kali. Alasannya karena Allâh Ta’ala berfirman (yang artinya), ” Apabila telah ditunaikan shalât, maka bertebaranlah kamu di muka bumi; dan carilah karunia Allâh”. (Tafsîr Al Qur’an Al ‘Adhim, Ibnu Katsir, 13: 563)

Az Zamaksyari dalam Tafsîr Al Kassaf (7: 61):

روا

بادروا تجارة الآخرة ، واتركوا تجارة الدنيا ، واسعوا إ{$ ذكر اللھ الذي لا ���ء أنفع منھ وأر@ح { وذ

حھ مقارب البيع } الذي نفعھ fس G ور@“Berlomba-lombalah meraih (pahala) dalam perniagaan akhirat dan tinggalkanlah perniagaan dunia. Bersegeralah mengingat Allâh yang tidak ada sesuatu pun yang lebih bermanfaat dan lebih beruntung dibanding aktivitas ibadah tersebut. Tinggalkanlah jual beli yang manfaat dan untungnya jika dibanding (dengan keuntungan akhirat) hanyalah

sedikit.”

Ulama berbeda pendapat, Pendapat pertama, larangan ini hukumnya makruh. Ini merupakan pendapat Hanafîyah. (al-Mabsûth, 1/134) Pendapat kedua, larangan ini bersifat haram. Ini pendapat mayoritas ulama, dari madzhab Mâlikîyah, Syâfi’îyah, dan Hanbalî. (Mawahib al-Jalîl, 2/180; al-Majmû’, 4/419; dan al-Mughnî, 3/162).

Ulama Madzhab berbeda pendapat apakah jual beli ketika khatib naik mimbar, statusnya sah ataukah tidak? Apakah larangan ini terkait dengan jual beli itu sendiri (larangan terkait dzat jual beli – ain al-bai’) ataukah larangan karena ia menjadi sebab pelanggaran yang lain.

Pendapat pertama, jual belinya sah. Ini merupakan pendapat Hanafîyah dan Syâfi’îyah. Para Ulama’ tersebut beralasan, bahwa larangan jual beli di sini tidak terkait dengan jual belinya (ainul bai’), tapi karena ia menjadi sebab pelanggaran yang lain, yaitu tidak mendengarkan khutbah. Sehingga larangan tidak ada hubungannya dengan inti akad, tidak pula terkait syarat sah akad. Maka, jual beli tetap sah, meskipun pelakunya berdosa. Contoh lain: Seperti orang yang shalât dengan memakai baju hasil mencuri. Shalâtnya sah, karena dia memenuhi syarat menutup aurat. Meskipun dia berdosa, karena kain penutup yang dia gunakan dari harta haram. Konsekuensi dari jual beli yang sah, uang yang diterima halal, demikian pula barang yang diterima juga halal.

Pendapat kedua, jual belinya tidak sah. Ini merupakan pendapat Mâlikîyah dan Hanbalî. Dalilnya adalah firman Allâh pada ayat di atas. Dan makna tekstual (zahir) ayat menunjukkan jual beli itu tidak sah.

Page 122: Ringkasan Fiqh shalât - MRKR

121

Karena ketika sudah adzan, Allâh melarangnya. Ketika dilarang Allâh, berarti dianggap tidak berlaku. Karena para ulama’ tersebut menilai jual belinya tidak sah, maka uang dan barang yang diserah terimakan, tidak dinilai. Pertimbangan lainnya, bahwa jual beli ini dilarang karena mengganggu aktivitas manusia untuk melakukan ibadah jumat. Ini sebagaimana pernikahan yang dilakukan orang ihram, hukumnya tidak sah, karena mengganggu aktivitas ibadah haji atau umrah. (Tafsîr al-Qurthubi, 1/96). PEREMPUAN TIDAK TERKENA HUKUM HARAM JUAL BELI selama yang dilayani dalam jual beli tersebut sesama orang yang tidak wajib menjalankan SHALÂT JUMAT.

حو مباfعة ) أي لقولھ ±عا{$ { يا أ��ا الذين آمنوا إذا نودي ( قولھ وحرم ع%$ من تلزمھ ا�aمعة ن

فورد النص QR البيع وقuس عليھ غ Gه للصلاة من يوم ا�aمعة فاسعوا إ{$ ذكر اللھ وذروا البيع }

�aامع أما من سمع النداء فقام قاصدا ا�aا G غ QR حق من جلس لھ QR رمة`aحل ا معة فباع QR وم

حرم عليھ حل�ا أيضا إن 5ان طر3قھ أو قعد QR ا�aامع و@اع فإنھ لا ي لكن البيع QR الم�³د مكروه وم

عالما بالن�ò ولا ضرورة كبيعھ للمضطر ما يأ5لھ و@يع كفن لميت خيف ±غ Gه بالتأخ G وsلا فلا حرمة

لكن إذا حرمة عليھ ولا كرا'ة وخرج بقولھ من تلزمھ ا�aمعة من لا تلزمھ فلا وsن فاتت ا�aمعة

وقيل كره لھ أما إذا تباfع مع من تلزمھ حرم عليھ أيضا لإعانتھ ع%$ اa`رام تباfع مع من 'و مثلھ

ذلك

"Hanya diperuntukkan buat mereka yang kena HUKUM ORANG YANG WAJIB menjalankan jumat (laki-laki, merdeka, mustawthin) sedang orang yang tidak wajib menjalankan jumah (seperti perempuan) maka TIDAK HARAM bahkan juga tidak makruh kecuali apabila yang dilayani dalam jual beli tersebut adalah orang-orang yang wajib menjalani jumah seperti saat melayani jual beli terhadap orang laki-laki maka hukumnya juga haram karena termasuk menolong pada perkara HARAM, ada yang menyatakan hukumnya makruh". [I'ânah Atthâlibîn II/95 ].

�+ Ó+�ربعة عبد مملوك +�و امر+�ة +�و صب(ي �لا4 و مریض الجمعة حقÓ واجب �لى كل مسلم في جما�ة ا

Shalât Jum’at itu adalah hak kewajiban bagi setiap muslim dalam jama’ah, kecuali atas empat golongan, yakni hamba sahaya, wanita, anak-anak (yang belum dewasa) dan orang sakit. (HR. Abû Dawud)

�ه والیوم ا�خر فعلیه الجمعة الا� مسافر ومملوك وصب(يÓ وامر+�ة ومریض من كان یؤمن M!لSiapa yang beriman kepada Allâh dan hari akhir, maka hendaklah melakukan shalât jum’at kecuali musafir, hamba, anak-anak, wanita dan orang sakit (Disebutkan dalam kitab al-Mabsûth)

Sebagaimana yang diriwayatkan oleh Imam al-Bukhârî :

4ائب -ن �زیــد یقــول ا هري قال سمعت الس� مــام یــوم عن الز�

4لــه �ــ@ن ی�لــس الا ن� ا��ذان یــوم الجمعــة كــان +�و�

ا كــان فــي Xلافــة عثمــان -ــن الجمعة �لى المنLر في عهد رسول ا!ل�ه �ه عنهما فلم� و+�ب(ي -كر وعمر رضي ا!ل � وراء ف¡بــت اعف�ان رضي ا!ل ن بــه �لــى الــز� �الــث فــkpذ مــر �لــى ه عنه وك�روا +�مر عثمان یوم الجمعة M��ذان الث ��

ذ!ك

Page 123: Ringkasan Fiqh shalât - MRKR

122

Dari Zuhrî � berkata, "Saya mendengar Sâib bin Yazîd, ia mengatakan:”Sesungguhya adzan (adzan pertama) hari Jum'at itu awalnya ketika imam telah duduk di atas mimbar, ini terjadi pada zaman Rasûlullâh , Abu Bakar, dan ‘Umar مـا�ـھ ع<

� الل ر�ـ� , Ketika

masa Khalifah ‘Utsmân, mereka memperbanyaknya atas perintah ‘Utsmân bin ‘Affân �, bahwa di hari Jum'at dilaksanakan adzan ketiga, maka dikumandangkan adzan di Zaurâ', dan ketetapan itu sampai sekarang." (Shahîh Bukhârî). (Di atas rumah Zaurâ’, merupakan bangunan paling tinggi yang berada di dekat Masjid)

Pendapat ‘Utsmân � (mengenai Adzan tambahan, dua atau tiga kali) tersebut, tidak ditentang oleh para sahabat lain yang ada pada saat itu, sehingga ini merupakan Ijmâ’ Sahabat. Ibnu Abi Hatîm mengatakan dari Makkhul bahwa seruan adzan itu pada hari Jum'at hanya dikumandangkan sekali (ketika imam keluar dan kemudian didirikan shalât). Dan bila sudah dikumandangkan adzan maka haram melakukan jual beli. Kemudian ‘Utsmân � memerintahkan supaya dikumandangkan adzan sebelum imam keluar sehingga orang orang berkumpul. Dan hanya orang-orang laki-laki merdeka saja yang diperintahkan berangkat ke masjid dan tidak bagi hamba sahaya serta kaum wanita dan anak-anak. Dan diberikan keringanan kepada orang yang berada dalam perjalanan dan juga yang sakit untuk meninggalkan shalât Jum'at atau karena alasan lainnya, sebagaimana yang

telah ditetapkan dalam Firman-Nya: وذروا البیــع "Dan tinggalkanlah jual beli. " Maksudnya,

bersegeralah kalian (berangkat) untuk mengingat Allâh dan tinggalkanlah jual beli jika diseru untuk mengerjakan shalât. Oleh karena itu, para ulama sepakat mengharamkan jual beli yang dilakukan setelah suara adzan kedua dikumandangkan. Kemudian mereka berbeda pendapat tentang sah dan tidaknya jual beli yang dilakukan ketika terdengar suara adzan. Mengenai yang terakhir ini terdapat dua pendapat. Dan lahiriyah ayat di atas menunjukkan bahwa jual beli tersebut dinilai tidak sah, sebagaimana yang telah ditegaskan dalam pembahasan tersendiri. Dan firman Allâh :

ن كنتم تعلمون 4 ذلكم X@ر لكم ا

"Yang demikian itu lebih baik bagimu jika kamu mengetahui. "maksudnya, tindakan kalian meninggalkan jual beli dan keputusan kalian berangkat untuk berdzikir kepada Allâh dan melaksanakan shalât adalah lebih baik bagi kalian di dunia dan di akhirat, jika kalian memang mengetahui.(tafsîr Ibn Katsîr)

Surat Al Jumuah (62) tidak dijadikan dasar untuk memberlakukan kewajiban Shalât Jumat kepada orang mu'min keseluruhan (laki-laki dan perempuan) sebagaimana perintah Puasa dalam QS Al Baqarah (2) : 183. Sebab ada hadîts yang mengatur Shalât Jum'at secara rinci, sebagaimana dalam Sunan Abû Dâwud dan hadîts-hadîts lainnya :

لا� +�ربعــة: عبــد عن طارق -ن شهاب، عن النب(ي 4قال: "الجمعة حقÓ واجب �لى كــل مســلم فــي جما�ــة ا

، +�و مریض". امر+�ة مملوك، +�و Óو صب(ي�+ Dari Thariq bin Syihab �, bahwa Rasûlullâh bersabda: "Shalât Jum'at itu hak yang wajib bagi setiap Muslim dengan berjama'ah kecuali empat orang, yaitu: budak, wanita, anak kecil, dan orang yang sakit.” (HR. Abû Dâwud ) Hadîts di atas diriwayatkan juga oleh ad-Daruqutnî dalam kitabnya as-Sunan, al-Baihaqî dalam kitabnya al-Kabir dan al-Hakîm dalam kitab al-Mustadrak. Imam an-Nawâwî رحمه ا!له

men-shahîh-kan hadîts di atas dalam kitab al-Majmû’ dan telah sesuai dengan syarat تعــالى

Page 124: Ringkasan Fiqh shalât - MRKR

123

dari Imam al-Bukhârî dan Muslim. Juga disebutkan dalam kitab al-Talkhîs yang menyatakan bahwah hadîts di atas shahîh (Minhaj at-Thalibîn: 1/263).

Menurut kitab al-Minhâj -Imam An-Nawâwî رحمــه ا!لــه تعــالى bahwa menurut syara‘ hukumnya fardlu

‘ain melaksanakan Shalât Jum‘at itu bagi setiap orang Islam yang mukallaf, merdeka, lelaki, orang yang muqim, yang tidak sakit dan seumpamanya. (Minhaj at-Thalibîn: 1/263). Ibnu Hajar al-Haitamî ketika menjelaskan perkataan Imam an-Nawâwî tersebut bahwa tidak wajib shalât Jum‘at atas orang yang tidak mukallaf, perempuan, khuntsa/banci, orang musafir dan orang sakit sebagaimana hadîts Rasûlullâh di atas.

Hadîts lainnya tentang kewajiban Shalât Jum‘at:

قال رواح الجمعة واجب �لى كل محتلم +�ن� الن�ب(ي� عن ا-ن عمر عن حفصة زوج الن�ب(ي Dari Ibn Umar, dari Hafshah ــه عنهــا�رضــي ا!ل yaitu isteri Nabi , sesungguhnya Nabi bersabda:

“Pergi (untuk) shalât Jum‘at itu wajib ke atas setiap orang yang telah bermimpi (baligh).”(Hadîts riwayat an-Nasâî). Maka bagi orang yang sudah berkewajiban shalât Jum'at, kemudian ia pergi ketika/sesudah matahari condong ke barat (waktu dimulainya shalât Jum'at) atau bahkan sebelum waktu tersebut (menurut madzhab Syâfi’î, tidak boleh), maka ia tidak boleh pergi kecuali ia dapat memastikan masih mendapatkan shalât jum'at di perjalanan. Imam Ahmad bin Hanbal (Hanbalî) boleh seseorang pergi jihad/perang ketika sebelum matahari condong ke barat. Hukum shalât sunnah Qabliyah dan Ba’diyah Jumat Para ulama sepakat bahwa shalât sunnat yang di lakukan setelah shalât jum'at adalah sunnah dan termasuk rawatib ba'diyah Jum'at. seperti yang di riwayatkan oleh Imam Muslim dan Imam Bukhârî:

ذا صل�ى +��دكم الج عن 4معة فلیصل +�ب(ي هر�رة رضي ا!له عنه قال: قال رسول ا!له صل�ى ا!له �لیه وسل�م ا

بعدها +�ربعا ”Diriwayatkan dari Abu Hurairah � bahwa Rasûlullâh bersabda: ”Jika salah seorang di antara kalian shalât jum’at hendaklah shalât empat raka’at setelahnya”. (HR. Bukhârî dan Muslim).

Shalât sunnah sebelum shalât Jum'at terdapat dua kemungkinan. Pertama, shalât sunnah mutlak, hukumnya sunnah. Waktu pelaksanannya berakhir pada saat imam memulai khutbah. Kedua, shalât sunnah qabliyyah Jum'at. Para ulama berbeda pendapat tentang shalât sunnah qabliyyah Juma’at. Pertama, shalât qabliyyah Jum’ah dianjurkan untuk dilaksanakan (sunnah). Pendapat ini di kemukakan oleh Imam Abu Hanifah, Syâfi’îyah (menurut pendapat yang dalilnya lebih tegas) dan pendapat Hanabilah dalam riwayat yang tidak masyhur. Kedua, shalât qabliyyah Jum’at tidak disunnahkan menurut pendapat Imam Mâlik, sebagian Hanabilah dalam riwayat yang masyhur.

Dalil yang menyatakan dianjurkannya shalât sunnah qabliyah Jum'at:

لا� وب@ن یدی 4ب@ر "ما من صلاة مفروضة ا wه ا-ن حh�ان من �دیث عبدا!له -ن الز� ها ركعتان ما صح�

"Semua shalât fardlu itu pasti diikuti oleh shalât sunnat qabliyah dua rakaat". (HR.Ibnu Hibban yang telah dianggap shohih dari hadîts Abdullah Bin Zubair �). Hadîts ini secara umum menerangkan adanya shalât sunnah qabliyah tanpa terkecuali shalât Jum'at.

Page 125: Ringkasan Fiqh shalât - MRKR

124

یه وسل�م یخطب فقال له وعن +�ب(ي هر�رة رضي ا!له عنه قال Uاء سلیك الغطفاني� ورسول ا!له صل�ى ا!له �ل �یت ركعت@ن قhل +�ن تجيء؟ قال لا. قال فصل ركعت@ن ز فKهماالن�ب(ي� صل�ى ا!له �لیه وسل�م +�صل س�ن ا-ن . وتجو�

ماUه"Diriwayatkan dari Abi Hurairah � berkata: Sulayk al Ghathafani datang (ke masjid), sedangkan Rasûlullâh sedang berkhuthbah. Lalu Nabi bertanya: Apakah kamu sudah shalât sebelum datang ke sini? Sulayk menjawab: Belum. Nabi bersabda: Shalâtlah dua raka’at dan ringankan saja (jangan membaca surat panjang-panjang)” (Sunan Ibn Majah: 1104). Berdasar dalil-dalin tersebut, Imam Nawâwî menegaskan dalam kitab al Majmu’ Syarh al Muhadzdzab:

�ها ركعتان قhله ن�ة الجمعة بعدها وقhلها. ¦سن� قhلها وبعدها صلاة و+�قل Dا وركعتان بعدها. وا��كمل فرع في س +�ربع قhلها و+�ربع بعدها

“(Cabang). Menerangkan tentang sunnah shalât Jum’at sebelumnya dan sesudahnya. Disunnahkan shalât sunnah sebelum dan sesudah shalât jum’at. Paling sedikit dua raka’at sebelum dan sesudah shalât jum’at. Namun yang paling sempurna adalah shalât sunnah empat raka’at sebelum dan sesudah shalât Jum’at”. (Al Majmu’, Juz 4: 9) Yang Boleh tidak shalât Jum'at yang mendapat udzur utk TIDAK shalât jumat adalah musafir, hamba sahaya (budak –Zaman sekarang sudah tidak ada?), anak-anak, wanita dan orang sakit. Maka, orang-orang yang bekerja di pengeboran minyak lepas pantai, pilot, Sopir Bus antar Kota, BOLEH tidak mengerjakan shalât jumat karena mereka umumnya dalam keadaan musafir (tidak mukim). Adapun dokter yang sedang mengoperasi pasiennya –yang mana jika ditinggal shalât jumat akan membahayakan nyawa si pasien- maka BOLEH meninggalkan shalât jumat karena dharurat. Demikian juga petugas keamanan boleh dikelompokkan ke dalam kondisi Dharurat, sebagaimana contoh petugas Keamanan di Masjidil haram/Nabawi. Analogi/Qiyas juga bisa dilakukan bagi Pegawai/operator Mesin Pabrik/Produksi. Berdasarkan kaidah ushul fiqh:

ورات

ذ بح ا�

روره ت لض

ا

"Ad-Dharurah tubiihul mahzhurat" (Keadaan darurat membolehkan perkara-perkara yang dilarang). (Nailul Authâr karya Imam Syaukânî; Fiqhus Sunnah karya Sayyid Sabiq) Ibnu Umar � ketika sedang di Makkah (sedang safar pada hari jum’at, karena beliau adalah orang Madinah), ia melaksanakan jum’at, tidak melaksanakan shalât Dhuhur seperti keterangan berikut ini.

فصلى اربعا. واذا كان ن ثم تقدمعطاء قال: كان ا-ن عمر اذا كان بمكة فصلى الجمعة تقدم فصلى رÒعت@ عنولم یصلى فى المس�د فقKل له فقال: كان رسول ا!له Mلمدینة صلى الجمعة ثم رجع الى ب@1ه فصلى رÒعت@ن

.)داود ابورواه صلعم یفعل ذا!ك (Dari Atha’ � ia berkata: Adalah Ibnu Umar jika berada di Makkah shalât jum’at, ia maju kemudian ia shalât dua raka’at, kemudian ia maju lalu ia shalât empat raka’at. Dan apabila ia berada di Madinah ia shalât jum’at, kemudian ia pulang ke rumah, lalu shalât dua raka’at, dan ia tidak shalât di masjid. Ditanyakan kepadanya (hal itu). Ia berkata, “Adalah Rasûlullâh melakukan yang demikian”. (HR. Abû Dâwud ).

Page 126: Ringkasan Fiqh shalât - MRKR

125

ف�زل بها ح1ى اذا زاغت ح1ى اتى عرفة فوUد القhة قد ضربت له بنمرة Uا-ر ... فاUاز رسول ا!له عنفخطب الناس ... ثم اذن ثم اقام فصلى الظهر ثم اقام الشمس امر Mلقصواء فر�لت له. فاتى بطن الوادي

)مسلمرواه ب@[هما ش@Æا ... ( فصلى العصر ولم یصلDari Jabir �: “…Selanjutnya Rasûlullâh berangkat hingga sampai di Arafah, maka beliau menemukan tenda yang telah dibangun untuknya di Namirah, sehingga tatkala tergelincir matahari, beliau menyuruh dibawakan Qashwa (unta beliau), kemudian unta itu diserahkan kepadanya. Selanjutnya beliau sampai di lembah, beliau memberi khutbah kepada manusia kemudian dikumandangkan adzan selanjutnya iqamat, terus beliau shalât dzuhur, kemudian iqamat, dan terus shalât ashar, dan beliau tidak shalât apapun di antara kedua shalât itu”. (HR. Muslim). Pada pelaksanaan haji Rasûlullâh , wuqufnya ketika itu bertepatan dengan hari jum’at. Akan tetapi beliau melaksanakan shalât dhuhur dan ashar dijama’.

یوم جمعة فرÈب الیه �فع ان -ن عمر ذÈر له ان سعید -ن زید -ن عمر -ن نفKل وكان بدرM مرض فى عن ان تعالى النهار واقqربت الجمعة و�رك الجمعة بعد

Dari Nafi’ � bahwasanya Ibnu Umar � diterangkan kepadanya bahwa Sa’id ibn Zaid ibn ‘Amr ibn Nufail �, ia (peserta perang Badar) sakit pada hari jum’at. Maka Ibnu Umar pergi menjenguknya padahal hari sudah siang, datanglah waktu jum’at, ia pun meninggalkan jum’at. (HR. Bukhârî). Ada yang menyatakan bahwa tidak jum’atnya Ibnu Umar � ketika itu karena tidak ada orang lain untuk bersama-sama melaksanakan jum’at. Sedangkan Sa’id ketika itu sakit keras (jelas tidak bisa jum’at dan memang tidak wajib jum’at), kemudian istri Said ia pun tidak wajib jum’at. Dengan demikian hanya tinggal Ibnu Umar � sendirian untuk jum’at tidak memenuhi syarat fi jama’atin. Dengan demikian beliau tidak jum’at. Sebenarnya ketika Ibnu Umar � tidak sendirian tetapi bersama Sa’ad ibn Abi Waqqash � yang membantu mengurus jenazah. Dengan demikian beliau tidak jum’at itu bukan karena sendirian atau tidak memenuhi fi jama’atin, tetapi karena safar.

Mلزاویة �لى فرسg@ن (البgارى وكان ا�س رض فى قصره احKا� یجمع واحKا� لایجمع وهوDan adalah Anas ibn Malik � ketika safarnya, kadang-kadang melaksanakan jum’at, dan kadang-kadang tidak melaksanakan jum’at. Dan ia berada di az-Zawiyah sejarak dua farsakh (6 mil atau kurang lebih 9 km). (HR. Bukhârî). Jadi, Shalât Jum‘at bagi musafir menjadi wajib mukhayyar (musafir wajib Shalât Jum‘at, jika tidak, maka harus Shalât dhuhur.

Kedudukan Wanita yang Shalât Jum‘at Imam as-Syâfi’î رحمه ا!له تعالى dalam kitab al-Umm, berkata:

ساء ولا �لى العبید جمعة ول@س �لى �@ر :قال الشافعي البالغ@ن ولا �لى ال� “Tidak (wajib) atas orang yang belum baligh, orang perempuan dan hamba untuk menunaikan Shalât Jum‘at.” (al-Umm: Juz 1/218).

Madzhab Syâfi’î, Hanbalî, me-makruh-kannya bila wanita yang shalât jum'at itu cantik, namun tidak makruh bila tidak cantik, pendapat Mâlikî mengenai orang wanita yang tidak cantik atau sudah tua yang sudah tidak mempunyai ketertarikan dengan laki-laki, boleh shalât jum'at, namun bila ia masih remaja (ABG) maka dikhawatirkan menimbulkan fitnah, maka haram hukumnya. Madzhab Hanafî berpendapat bahwa wanita lebih utama shalât dhuhur di rumahnya.

Page 127: Ringkasan Fiqh shalât - MRKR

126

Adapun syarat sahnya ada 4 (empat) yaitu : 1. Masuk waktu shalât (dhuhur). 2. Hendaknya bermukim di suatu kota atau desa. 3. Dihadiri 40 (empat puluh) orang atau lebih termasuk imamnya. 4. Dua khutbah lengkap dengan syarat-syarat dan hukum-hukumnya.

Kedudukan Penting dua Khutbah Dua Khutbah itu adalah pengganti dari dua rakaat Shalât, dan bila tidak ada khutbah atau khutbahnya batal maka seperti tidak shalât Jum'at ( �م

جمعة ل

,Oleh sebab itu .( لا

Wajib hukumnya Shalât Jum’at dengan dua khutbah dan merupakan syarat sahnya Shalât Jum'at sebagaimana hadîts dalam Kitab Sunan Kubrâ:

Rasûlullâh bersabda :

ینا ذ!ك عن عطاء -ن +�ب(ى رMح و�@ر فجعلــت الخطبــة ه وعن سعید -ن جh@ر قال : كانــت الجمعــة +�ربعــا وروكعت@ن +حمد -ن الحس@ن -ن �لي -ن موسى +بو -كر البیهقي - الس�ن الكLرى. مكان الر�

…..Shalât Jum'at itu adalah "empat rakaat" dimana dua khutbah menempati kedudukan dua rakaat (darinya) (Sunan Kubrâ- Al Baihaqî) Karena pentingnya dua Khutbah tersebut, maka shalât Sunnah Muthlaq tidak boleh lagi dikerjakan ketika khutbah dimulai.

، وsن 5ان وق°�ا وقت الظ�ر مقصورا

، وتدرك والدليل ع%$ أن ا�aمعة فرض مستقل، وأ��ا لuست ظ�را

صلاة ا�aمعة ركعتان ” بھ: 'و أن الظ�ر لاfغ¥� ع<�ا، لما روي عن عمر ر��� اللھ عنھ عنھ أنھ قال :

رواه أحمد والoساµي وابن ماجة بإسناد ” تمام غ G قصر ع%$ لسان نrيكم ص%$ اللھ عليھ و سلم

.إنھ حسن :حسن. وقال النووي QR ا��موعDari perkataan Umar � bahwa shalât Jumat itu ada dua rakaat, sempurna tanpa meringkas sebagaimana sabda nabi kalian .” (hadîts riwayat Imam Ahmad, Nasa’i dan Ibnu Majah). Menurut Imam Nawâwî dalam kitab Al-majmu’ bahwa kekuatan hadîts ini adalah hadîts hasan. Syarat dan Rukun Dua Khutbah Jum'at Syarat-syarat sah dua khutbah, menurut Fiqh Madzhab yang empat: 1. Madzhab Hanafî, menjelaskan, bahwa syarat-syarat sahnya khutbah ada enam macam, yaitu :

1. Hendaklah dilaksanakan sebelum shalât. 2. Hendaklah dengan tujuan khutbah. 3. Hendaklah dilaksanakan dalam waktunya 4. Hendaknya dihadiri oleh minimal 1 (satu) orang, dan ia dari orang yang menjadikan

sahnya shalât jum'at 5. Hendaknya antara khutbah dan shalât tidak dipisah dengan pemisah dari jenis lain. 6. Hendaknya khatib membaca khutbah dengan suara keras, yaitu sekiranya orang yang

hadir dapat mendengarnya jika tidak ada hal yang menghalangi. Dan dengan bahasa Arab, bukan merupakan syarat sahnya khutbah, walaupun khatib mampu berbahasa Arab.

2. Madzhab Mâlikî mengatakan, dalam syarat sahnya dua khutbah jum'at ada sembilan macam: 1. Hendaknya dua khutbah itu disampaikan sebelum shalât. 2. Hendaknya shalât jum'at bersambung dengannya (shalât jum'at). 3. Hendaknya bagian-bagian khutbah itu bersambung dengan bagian bagian yang lain.

Page 128: Ringkasan Fiqh shalât - MRKR

127

4. Hendaknya dua khutbah itu berbahasa Arab. 5. Hendaknya disampaikan dengan suara keras. 6. Hendaknya dua khutbah itu disampaikan di dalam masjid. 7. Hendaknya dua khutbah itu menurut orang Arab memang bisa disebut khutbah. 8. Hendaknya dua khutbah itu dihadiri oleh jama'ah yang menjadikan sahnya shalât jum'at

yaitu 12 orang, walaupun mereka itu tidak mendengar khutbah. 9. Hendaknya dilaksanakan dengan berdiri. Ada pendapat yang mengatakan bahwa berdiri

itu sunnah hukumnya, tetapi masing-masing dari dua macam pendapat ini mempunyai sandaran. Oleh karena itu bersikap hati-hati adalah berkhutbah dengan berdiri.

3. Madzhab Syâfi’î menerangkan, syarat-syarat sahnya khutbah itu ada lima belas macam: 1. Hendaknya dilaksanakan sebelum shalât jum'at. 2. Hendaknya dilaksanakan dalam waktunya. 3. Hendaknykah khatib tidak berpaling darinya lantaran suatu hal yang memalingkannya 4. Hendaknya dengan bahasa Arab. 5. Hendaknya berturut-turut antara dua khutbah. 6. Hendaknya berturut-turut antara dua khutbah dengan shalât . 7. Hendaknya khatib suci dari dua hadats dan dari najis yang tidak dimaafkan. 8. Hendaknya khatib menutup aurat-nya dalam dua khutbah. 9. Hendaknya khatib berkhutbah dengan berdiri jika dapat berdiri. Apabila tidak, maka

khutbah sah dengan duduk. 10. Hendaknya khatib duduk antara dua khutbah sekedar tuma'ninah. 11. Apabila berkhutbah dengan duduk karena ada udzur, maka hendaklah diam antara

keduanya sekedar waktu yang melebihi diam untuk bernafas. Demikian juga ia diam di antara keduanya jika berkhutbah dengan berdiri tetapi tidak bisa duduk.

12. Hendaknya khatib menyampaikannya dengan suara keras sekiranya bisa didengar oleh 40 orang yang menjadikan sahnya shalât Jum'at. Terutama rukun-rukun kedua khutbah. Hendaknya 40 orang itu mendengar walaupun hanya menurut perkiraan, dimana khutbah terselenggara di tempat yang sah untuk mendirikan shalât jum'at.

13. Hendaknya yang menjadi khatib adalah laki-laki. 14. Hendaknya ia dinilai sah meng-imam-i kaum 15. Hendaknya khatib meyakini yang rukun sebagai rukun dan yang sunnah memang

sebagai sunnah, jika ia termasuk orang kelompok ahli ilmu (orang yang mengerti dan faham mengenai hukum/fiqh khutbah, dan juga faham dan sadar mengenai isi khutbahnya).

4. Madzhab Hanbalî, mengatakan, syarat sahnya dua khutbah itu ada Sembilan yaitu: 1. Hendaknya dilaksanakan dalam waktunya 2. Hendaknya khatib termasuk orang yang dirinya sendiri berkewajiban menunaikan

shalât jum'at. Jadi tidak cukup khutbah dari budak atau musafir,-meskipun ber-niat mukim untuk beberapa saat yang memutuskan hukum bepergiannya (hukum untuk orang Musafir)

3. Hendaknya dua khutbah itu mengandung pujian kepada Allâh 4. Hendaknya dua khutbah itu memakai bahasa Arab. 5. Hendaknya masing-masing dari padanya berisi pesan untuk bertakwa kepada Allâh . 6. Hendaknya khatib membaca shalawat atas Rasûlullâh 7. Hendaknya khatib membaca satu ayat yang sempurna pada masing masing dari

padanya. 8. Hendaknya berturut-an antara bagian-bagian dan dua khutbah, antara keduanya dan

shalât, serta ditunaikan dengan niat. 9. Hendaknya khatib menyampaikannya dengan suara nyaring, terutama rukun rukunnya

sekiranya jama'ah yang berkewajiban menunaikan shalât jum'at memang tidak ada penghalang dari pendengaran (seperti tidur, lalai atau tuli ) bisa mendengamya.

Hukum khutbah dengan (bukan) bahasa Arab

Page 129: Ringkasan Fiqh shalât - MRKR

128

Berkenaan dengan persyaratan digunakannya bahasa Arab dalam Khutbah, sebagaimana pendapat para Imam madzhab: "Hendaknya khutbah itu dengan bahasa Arab".

Menurut ulama-ulama madzhab sebagai berikut : Madzhab Hanafî mengatakan: "Boleh saja berkhutbah dengan selain bahasa Arab walaupun bagi orang yang mampu berbahasa Arab dan sama saja apakah kaumnya (jama'ah-nya) memang bangsa Arab atau bukan."

Madzhab Hanbalî menerangkan: "Tidak sah berkhutbah dengan selain bahasa Arab, jika khatib itu mampu dan bisa berbahasa arab. Maka kalau ia tidak sanggup menyampaikannya dengan bahasa arab bolehlah ia menggunakan bahasa lain yang ia mampu, baik kaumnya itu bangsa Arab maupun lainnya. Akan tetapi ayat yang merupakan salah satu rukun dua khutbah, tidak boleh diucapkannya dengan selain bahasa Arab. Jadi apabila tidak bisa membaca ayat, hendaklah mengucapkan penggantinya berupa dzikir - apapun - yang dia kehendaki dengan bahasa Arab. Dan kalau tidak bisa berdzikir dengan bahasa Arab, maka hendaklah diam sekedar (untuk) bacaan ayat"

Madzhab Syâfi’î menjelaskan: "Disyaratkan agar rukun-rukun khutbah itu diucapkan dengan menggunakan bahasa Arab, jadi tidaklah cukup dengan selain bahasa arab bilamana si khatib masih mungkin mempelajarinya. Maka jika hal itu juga tidak memungkinkan, bolehlah berkhutbah dengan selainnya. Demikian itu jika kaumnya memang bangsa Arab. Adapun kalau kaumnya "ajaman" (Non Arab), maka tidak disyaratkan menunaikan rukun-rukun khutbah dengan bahasa Arab secara mutlak, walaupun si khatib dapat mempelajarinya, selain ayat, sebab ayat (Al-Qur'an) itu harus diucapkan dengan bahasa Arab. Kecuali kalau dia tidak mampu mengucapkan ayat, maka harus mendatangkan penggantinya dengan dzikir atau do'a yang berbahasa Arab. Apabila hal itu pun sang khatib juga tidak mampu, maka baginya wajib berdiri sekedar bacaan ayat, dan tidak boleh menerjemahkannya. Adapun selain rukun-rukun khutbah, maka TIDAK disyariatkan berbahasa Arab, bahkan berbahasa Arab itu hanya sunnah saja."

Madzhab Mâlikî mengetengahkan: "Disyaratkan dalam khutbah itu hendaknya/dianjurkan dengan bahasa Arab, walaupun yang mendengarkannya itu orang non Arab yang tidak mengerti bahasa Arab. Apabila dari mereka tidak ditemukan seorangpun yang sanggup berbahasa Arab sekedar menyampaikan khutbah dengan bahasa arab, maka gugurlah shalât jum'at dari mereka

Dalam Kitab Raudhatut Thâlibîn oleh Imam Nawâwî, Juz I /418 dijelaskan

ن لــم �كــن ف ــ4ــحیح اشــqراطه، فــا Kهم مــن وهل rشqرط كون الخطبة كل�هــا Mلعربی�ــة ؟ وجهــان : الص�

ة، كالعــاجز عــن یحسن Mلعربی�ة، خطب بغ@رها. ویجــب +�ن یــتعل�م كــل� وا�ــد مــ[هم الخطبــة العربی�ــمكان الت�علیم ولم یتعل�موا،عصوا كل�هم، ولا

4ة ا ن مضت مد�

4 .جمعة لهم الت�كh@ر Mلعربی�ة. فا

"Dan apakah disyaratkan keadaan khutbah semuanya berbahasa Arab ? dalam hal ini ada dua pendapat: pendapat yang benar mensyaratkan keadaan khutbah tersebut berbahasa Arab. Dan jika dalam jama'ah jum'at tersebut tidak ada orang yang dapat berbahasa Arab yang bagus, maka khatib berkhutbah dengan selain bahasa Arab dan masing-masing orang dari jama'ah jum'ah wajib mempelajari khutbah berbahasa Arab seperti orang yang tidak mampu membaca takbir berbahasa arab. Jika telah lalu masa kemungkinan belajar sedang mereka tidak mau belajar maka semua jama'ah jumat berdosa dan shalât jum'at tidak sah".

Kifâyatul Akhyâr Juz I hal:122

ــلف ذا!ــك. و حیح نعــم ننقــل الgلــف مــن الس� ادس:.........وهل rشqرط كونها عربی�ة؟ الص� قKــل لا یجــب الس�حیح لــو لــم �كــن فــKهم یحســن العرب ی�ــة Uــاز بغ@رهــا. و یجــب �لــى كــل وا�ــد +�ن لحصول المعنى. فعلى الص�

مكان الت�علــیم 4ة ا ن مضت مد�

4�مها Mلعربی�ةكالعاجزعن الت�كh@ر Mلعربی�ة. فا �هــم یتعل �م +��ــد مــ[هم عصــوا كل ولــم یــتعل

افعي� ولاجمعة له هر، كذا قاله الر� .م بل یصل�ون الظ�

Page 130: Ringkasan Fiqh shalât - MRKR

129

Yang keenam:.....dan apakah disyaratkan keadaan khutbah dengan bahasa Arab? Yang benar adalah ya. Kami menukil pendapat ulama' khalaf dari ulama' salaf dalam hal tersebut. Dan dikatakan tidak wajib berbahasa Arab, karena keberhasilan pengertian. Menurut pendapat yang benar adalah andaikata dalam jama'ah tidak ada orang dapat berbahasa Arab dengan baik, maka boleh menggunakan bahasa lain. Dan wajib atas setiap orang belajar khutbah dengan bahasa Arab seperti orang yang tidak mampu takbiratul ihram dengan bahasa Arab. Jika masa yang memungkinkan belajar telah lewat dan salah seorang diantara mereka tidak belajar maka semuanya berdosa dan tidak sah bagi mereeka melakukan shalât jum'at tetapi wajiib bagi mereka melakukan shalât dhuhur. Demikianlah yang telah dikatakan Imam Ar Râfi'î." Hamisy al-Muhibah dzil fadl Juz III hal: 231

ى الت�حفة دون مــا �ــداها، قــال (قوله وكونهما +�ي الخطبت@ن Mلعربی�ة ) +�ي ا��ركان كما فى النهایة و�@رها زاد ف . الموالاة ا-ن قاسم یفKد +�ن� كون ما�دا ا��ركان من توابعها بغ@ر العربی�ة لا �كون مانعا من

(Perkataan mushannif mengenai keadaan dua khutbah menggunakan bahasa Arab ) artinya rukun-rukun khutbah sebagaimana tersebut dalam kitab An-Nihâyah dan lainnya. Dalam kitab at Tuhfah Mushannif menambahkan: "bukan selain khutbah" Ibnu Qasîm berkata bahwa "keadaan selain rukun-rukun memberi manfaat terhadap hal-hal yang mengikuti/mendengar khutbah tanpa berbahasa Arab tidaklah mencegah muwalah(ber-urutan/rukun khutbah)."

Dua khutbah dengan tetap menggunakan Bahasa Arab menurut pandangan Madzhab Hanbalî dan Mâlikî, maskipun jamaahnya bukan orang Arab yang tidak mengerti Bahasa Arab. Sedangkan Madzhab Hanafî berpendapat bahwa khutbah itu boleh disampaikan dengan selain Bahasa Arab. Dalam pandangan madzhab Syâfi’î yang disyaratkan menggunakan Bahasa Arab adalah rukun-rukun kedua khutbah, selain itu tidak disyaratkan menggunakan Bahasa Arab.

Rukun Khutbah 1. Memuji kepada Allâh (Dengan membaca: "al-hamdulillâh, atau hamdan lillâh, dll.") dalam

setiap khutbah pertama dan kedua. 2. Membaca shalawat untuk Nabi Muhammad dalam setiap khutbah, satu dan dua

(shalawatnya: "Allâhumma shalli 'ala Muhammad, dan atau semacamnya")

3. Berwasiat untuk melakukan ketakwaan dalam setiap khutbah (pesannya: "ittaqullâh ( اتقــوا ("atau athi'ullah, atau ushikum wa nafsî bitaqwallâh, atau semisalnya ,(الله

4. Membaca satu atau sebagian ayat al-Qur`an. 5. Doa untuk kebaikan dan ampunan bagi orang-orang beriman pada khutbah kedua.

Dalam membaca shalawat kepada Nabi Muhammad , khutbah pertama maupun kedua sebagai rukun khutbah yang kedua, nama Nabi Muhammad , harus diucapkan dan tidak boleh hanya dengan memakai dlamir (kata ganti) seperti contoh :

ا!ل�هم� صل وسلم وMرك �لیه Dan dalam berwasiat taqwa sebagai rukun khutbah yang kedua, tidak harus dengan kalimat Ittaqullâh. Tetapi boleh dengan kalimat yang lain, asalkan isinya mengajak untuk bertaqwa dan bertaat kepada Allâh. (I’ânatut Thâlibîn Juz 2)

Hamdalah (pujian kepada Allâh) shalawat kepada Nabi Muhammad dan wasiat taqwa, adalah tiga rukun khutbah yang harus dibaca pada khutbah pertama dan kedua. Dalam Kitab I’ânatut Thâlibîn Juz 2:

م الخ اى ل ــم@ر بــدل فلا�كفى ا!لهم� سل ــلاة. ولا �كفــى صــل�ى ا!لــه �لیــه Mلاتیــان Mلض� عدم الاتیان بلفظ الص�م لن�بــ(ي اهر قKاســا �لــى الq�شــه�د ... وان تقــد� ــم@ر. الاسم الظ� فــى الكــلام ذكــر اى اســم �رجــع الیــه الض�

ــولایت ــا دل� �ل ــة ا!لــه فKكفــى م ــل �لــى طا� ــوعظ والحم ــرض ال ــوى لان� الف ــا اى الوصــی�ة Mلتق ــ@�ن لفظه ى ع

Page 131: Ringkasan Fiqh shalât - MRKR

130

ث�لاثــة وهــى ال الموعظة. طویلا كان +و قص@را ك�pطیع ا!لــه وراقhــوه وrشــqرط +�ن یــpتي ... -كــل مــن الاركــان لاة �لى الن�ب(ي .والوصی�ة Mلت�قوى الحمدلة والص�

Dan tidak cukup mengucapkan "Allâhumma sallim dan seterusnya... karena tidak mendatangkan lafadz shalawat. Dan tidak cukup mengucapka 'Shallallâhu Alaihi' dengan mendatangkan dlamir sebagai ganti dari isim dzahir karena mengkiaskan pada 'tasyahud' meskipun dalam pembicaraan sebelumnya nama Nabi telah disebutkan sebagai tempat kembali dari dlamir tersebut. Juga tidak harus menjelaskan lafadz wasiat dengan ucapan taqwa karena tujuannya adalah memberi nasehat dan membawa kepada ketaatan kepada Allâh, sehingga cukup dengan lafadz yang menunjukkan kepada nasehat, baik panjang maupun pendek, seperti 'Atii-ullah wa roqiibuhu (taatlah kamu sekalian kepada Allâh dan hendaklah kamu sekalian mohon pengawasan oleh Allâh) dan disyaratkan mendatangkan rukun-rukun khutbah yang tiga, yaitu hamdalah, shalawat dan wasiat dengan taqwa pada masing-masing khutbah pertama dan kedua.

Rukun di atas adalah rukun khutbah dalam Madzhab Syâfi’î. Menurut madzhab ini, semua rukun tersebut harus disampaikan dalam bahasa Arab, adapun pesan-pesan lain yang tidak termasuk rukun bisa disampaikan dengan bahasa yang dipahami oleh jamaah.

Menurut Madzhab Hanafî: Rukun Khutbah hanya ada satu hal, yaitu dzikir secara mutlak, baik panjang maupun pendek. Menurut Madzhab ini bahkan bacaan tahmid, atau tasbih, atau tahlil, sudah cukup untuk menggugurkan kewajiban khutbah. Madzhab ini berpendapat bahwa khutbah bisa disampaikan dalam bahasa apa saja, tidak harus bahasa Arab.

Madzhab Mâlikî berpendapat: rukun khutbah menurut madzhab ini adalah satu hal, yaitu ungkapan yang memuat kabar gembira (dengan janji-janji pahala dari Allâh) atau peringatan (bagi orang-orang yang suka melanggar aturan Allâh). Madzhab ini berpendapat bahwa keseluruhan khutbah harus disampaikan dalam bahasa Arab. Jika tidak ada yang mampu menggunakan bahasa Arab, maka kewajiban shalât Jum'at gugur untuk dilaksanakan. Sedangkan Madzhab Hanbalî berpendapat: Rukun khutbah itu ada empat hal, yaitu: 1. Bacaan "alhamdulillâh" dalam setiap khutbah, satu dan dua. 2. Shalawat atas Nabi Muhammad . 3. Membaca satu atau sebagian ayat al-Qur'an. 4. Wasiat untuk melakukan ketaqwaan. Madzhab Hanbalî juga berpendapat bahwa khutbah harus disampaikan dalam bahasa Arab bagi yang mampu. Bagi yang tidak dapat berbahasa Arab maka menggunakan bahasa yang difahami, khusus untuk ayat al-Qur`an, Tahmîd, Tasbîh, Takbîr dan Tahlîl tidak boleh digantikan dengan bahasa selain bahasa Arab. Struktur (Susunan) Khutbah Jum'at Hadîts:

تغفره ونعــوذ M!ل�ــه مــن شــرور عن ا-ن مسعود +�ن� رسول ا!ل�ه Dتعینه و�ســ Dه �ســ� ذا ¦شه�د قال الحمد !ل4كان ا

�ه فلا مضل� له ومن یضلل فلا هادي له و+�شهد +� نا من یهده ا!ل Dدا عبــده +�نفس �ه و+�شهد +�ن� محم� لا� ا!ل4له ا

4ن لا ا

�ــه ورســوله فقــد رشــد ا�ة من یطــع ا!ل �ــه لا ورسوله +�رسله Mلحق �ش@را ونذ�را ب@ن یدي الس� ن4ومــن یعصــهما فا

لا� نفسه ولا ی4�ه ش@Æایضر� ا ضر� ا!ل

Dari Ibn Mas’ûd �:"Sesungguhnya Nabi apabila bertasyahud beliau membaca : Alhamdulillâhi Asta'inuhu Wanastaghfiruhu dst., artinya = Segala puji bagi Allâh, kami mohon pertolongan kepada-Nya, kami mohon ampun kepada-Nya, dan kami memohon

Page 132: Ringkasan Fiqh shalât - MRKR

131

perlindungan kepada Allâh dari kebumkan diri-diri kami, barangsiapa yang diberi petunjuk oleh Allâh maka tidak ada yang dapat menyesatkannya, dan barangsiapa yang disesatkan maka tidak ada yang dapat memberinya petunjuk, dan aku bersaksi bahwa sesungguhnya tidak ada Tuhan selain Allâh dan aku bersaksi bahwa sesungguhnya Muhammad itu hamba-Nya dan utusan-Nya, yang diutus dengan benar untuk menyampaikan kabar gembira dan memberikan ancaman nanti di hari Kiamat, barangsiapa taat kepada Allâh dan Rasul-Nya maka sungguh ia telah mendapat petunjuk dan barang siapa durhaka kepada keduanya maka hal itu tidak akan membahayakan melainkan pada dirinya sendiri dan tidak memberi bahaya sedikitpun kepada Allâh ." (Sunan Abû Dâwud). Tasyahud yang dimaksud ialah "Lâ Ilâha Illallâhu Wa Anna Muhammadar Rasûlullâh", dan tasyahhud dalam hadîts Ibnu Mas’ûd � tersebut adalah khutbah, sebab di dalam khutbah itu ada kalimat itu. Dan secara struktural khutbah itu terdiri dari : 1. Hamdalah serta puji-pujian kepada Allâh. 2. Isti'anah, minta pertolongan kepada Allâh. 3. Istighfar, memohon ampunan dari Allâh. 4. Ta'awudz, mohon perlindungan kepada Allâh 5. Syahadat 6. Shalawat atas Nabi , keluarga dan para sahabatnya. 7. Wasiat taqwa dan taat kepada Allâh. 8. Tadzkîr, tabsyîr dan tandzîr (peringatan, berita gembira bagi yang ta'at dan

ancaman bagi yang membangkang ). 9. Mau'idhah, nasehat keagamaan dan kemasyarakatan. 10. Doa Fungsi Khutbah: sesuai dengan namanya, "khutbah", yaitu pidato yang berisi petuah-petuah untuk kebaikan masyarakat, baik yang menyangkut masalah duniawi maupun ukhrawi. Memperhatikan struktur dan fungsi khutbah itu, Imam madzhab berbeda pendapat dalam menentukan syarat dan rukun khutbah: Madzhab Hanafî berpendapat: "Khutbah itu tidak disyaratkan harus mengandung apa yang lazim terdapat dalam ceramah-ceramah , karena Allâh menyebut "Adz-Dzikr" (mengingat Allâh secara mutlak) tanpa dirinci panjang pendeknya, baik itu disebut khutbah atau bukan.Maka syaratnya hanya dzikir secara mutlak, dan dipandang cukup dengan menyebut apa saja yang dianggap "dzikir". Hanya saja yang "ma'tsur" biasa dilakukan oleh Rasûlullâh ) adalah dzikir yang disebut khutbah, dan mengkuti apa yang dilakukan oleh Rasûlullâh dalam khutbahnya itu wajib atau sunnah, bukan sebagai syarat sahnya." Fuqahâ’ di lingkungan Syâfi’îyah dan Hanbalî mengatakan: "Para khatib disyaratkan menyampaikan kedua khutbahnya itu secara sempuma dengan syarat yang khusus, di antaranya : 1. Hamdalah (memuji Allâh), 2. Shalawat atas Nabi , 3. Membaca ayat dari Kitabullâh Ta'ala, 4. Wasiat (pesan) untuk taqwallâh. Dan Ulama Syâfi’îyah menambahkan, do'a bagi mukminin dan mukminat. Sedang Madzhab Mâlikî hanya menentukan satu syarat, yaitu hendaknya khutbah itu mengandung "Tahdzîr" (peringatan) dan "Tabsyîr" (berita gembira), yakni nasihat yang pada umumnya disehut "Mau'idhah dan Khutbah." (Rawâ-i'ul Bayân, II /584).

Page 133: Ringkasan Fiqh shalât - MRKR

132

Maksud utama disampaikannya khutbah itu adalah "al-Wa'dzhu" (nasihat), bukan semata-mata untuk mengucapkan hamdalah dan membaca shalawat atas Rasûlullâh , karena memang sudah menjadi kebiasaan orang Arab bahwa kalau seseorang di antara mereka bangkit beridiri hendak mengutarakan sesuatu, mereka memulainya dengan memuji Allâh dan Rasul-Nya. Jadi, yang sebenarnya dituju ialah uraian sesudah itu (yakni nasihat). Kalau ada orang berkata: "Orang yang tampil dan berbicara dalam suatu upacara, dan tidak ada yang mendorongnya melainkan semata hendak mengucapkan hamdalah dan shalawat, maka tidak seorangpun yang dapat menerima (pendapat itu), bahkan setiap orang yang berakal sehat akan menyangkal dan menolaknya. Maka tahulah kita bahwa uraian dalam khutbah jum'at itu cukup dan terpenuhi dengan adanya nasihat (untuk kaum Muslimin), dan kalau seorang khatib telah melakukan hal itu berarti dia telah melaksanakan perintah. Hanya saja kalau dia memulai uraiannya dengan puji-pujian kepada Allâh dan Rasul-Nya, atau kemudian mengiringi nasihat nasihatnya itu dengan ayat-ayat Al-Qur'an (yang ada sangkut-pautnya dengan materi khutbah), tentu hal itu lebih sempurna dan lebih baik." (Rawâ-i'ul Bayân II : 584 - 585/Fiqhus Sunnah I : 262).

Dalam memulai khutbah tidak perlu mengeraskan bacaan basmalah. Dalam kitab Bughyatul Mustarsyidîn hal. 82 Bab Shalât Jum'at:

ل الخطبــة بــل هــي بد�ــة مgالفــة لمــا �لیــه ئلة ب ) لاتh�غــى الLســملة +�و� Dتنــا (مســ ــالح مــن +ئم� ــلف الص� الس�واoت LXــر كــل� +� تضاء ب�pنوارهم مع +ن� +�صح� الر Dسrفعالهم و�pى یق1دى ب مــر ذى Mل لای1Lــد+k فKــه ومشایخنا الذ

ائــد �لــى ا��یــة لــ@س مــن بحمد ا!له فساوت الLسملة الحمد لة (ق ائدة) قــال فــى M عشــن وم[ــه یؤXــذ +�ن� الز�ن�ة Dائد س كوع +ن� +قل� مجزئ م[ه یقع واجhا والز� ى كالر� كن وهو قا�دة ما یتجز� الر�

(Masalah Ba') Basmalah tidak patut diletakkan pada permulaan khutbah. Bahkan peletakan basmalah pada permulaan khutbah adalah bid'ah yang menyimpang dari pendapat orang-orang yang terdahulu dari pemimpin-pemimpin kita dan guru-guru kita (di mana mereka itu diikuti segala tindakan dan diambil terang cahayanya). Disamping itu sesungguhnya riwayat-riwayat yang paling sah adalah hadîts: "Setiap perkara yang baik yang tidak dimulai dengan hamdalah ... " Maka kedudukan hamdalah menyamai kedudukan basmalah. Sunnah-sunnah Khutbah Madzhab Hanafî berpendapat, bahwa khutbah disunnahkan beberapa hal, sebagian berkenaan dengan khatib dan sebagian lagi berkenaan dengan khutbah itu sendiri. Maka bagi khatib disunnahkan hal-hal berikut: 1. Suci dari hadats besar dan kecil. Jika tidak, khutbahnya sah, tetapi makruh. 2. Disunnahkan (mandub) mengulang khutbahnya bagi yang junub bila jarak waktunya

belum berlangsung lama. 3. Duduk di atas mimbar sebelum memulai khutbah. 4. Berkhutbah dengan berdiri. Jika sambil duduk atau berbaring, maka yang demikian

itu cukup (sah), akan tetapi hukumnya makruh. 5. Memegang pedang sambil bersandar kepadanya dengan tangan kirinya untuk

negeri yang ditaklukkan dengan cara peperangan. Beda halnya dengan negeri yang ditaklukkan dengan cara damai, maka khatib tidak perlu menggunakan pedang ketika berkhutbah.

6. Menghadap ke arah jamaah, maka ia tidak perlu menoleh ke kanan dan kiri.

Page 134: Ringkasan Fiqh shalât - MRKR

133

7. Berkhutbah dua kali, salah satunya sunnah, dan satu lainnya merupakan syarat sahnya shalât Jum'at.

8. Duduk antara dua khutbah sebatas lama membaca tiga ayat, berdasarkan madzhab ini. Bila tidak duduk, maka itu tidak baik.

9. Memulai khutbah yang pertama dengan ta'awwudz ( جKم یطان الــر� �Dلــه مــن الشــ!M عــوذ�+ ) dalam

dirinya. kemudian mengeraskan pujiannya kepada Allâh dengan pujian yang layak bagiNya.

10. Mengeraskan bacaan syahadatain 11. Membaca shalawat dan salam atas Nabi 12. Memberi nasihat untuk mencegah perbuatan maksiat 13. Menakut-nakuti serta memperingatkan untuk menghindari apa-apa yang dapat

menyebabkan kebencian Allâh dan siksaanNya. 14. Memberi peringatan dengan apa apa yang dapat memberikan keselamatan di dunia

dan akhirat. 15. Memulai khutbah yang kedua dengan memuji Allâh serta membaca shalawat dan

salam atas Nabi . 16. Pada khutbah yang kedua, hendaklah khatib berdoa untuk orang-orang mukmin

serta memohon ampun bagi mereka. Sedangkan berdoa untuk raja dan penguasa agar memperoleh pertolongan, kekuatan dan taufiq yang membawa suatu kemaslahatan bagi rakyat dan lain sebagainya, maka yang demikian itu hukumnya mandub/sunnah, karena Abû Mûsâ al-Asy’ârî � pernah mendoakan ‘Umar bin Khaththâb � dalam khutbahnya dan ternyata tidak seorang pun dari shahabat Nabi

yang menyalahkannya. 17. Duduk di bagian tepi tempat khalwat-nya (mihrab/tempat imam). Dan makruh

mengucapkan salam kepada jamaah. 18. Melaksanakan shalât (sunnah) di dalam mihrab sebelum berkhutbah. 19. Dalam kedua khutbah itu tidak berbicara selain perintah untuk melakukan kebaikan

dan larangan untuk melakukan kemungkaran. Madzhab Mâlikî berpendapat, bagi imam/khatib disunnahkan hal-hal belikut: 1. Sebelum berkhutbah yang pertama, hendaklah duduk sampai muadzdzin selesai

adzan. 2. Duduk sejenak antara dua khutbah. Sebagian dari mereka menentukan batas

lamanya dengan membaca surat al-Ikhlash. 3. Khutbah disampaikan dari atas mimbar. Yang paling utama, hendaknya ia tidak

harus naik ke undak tertinggi, melainkan cukup naik sekiranya orang orang (jamaah) dapat mendengar khutbahnya.

4. Mengucapkan salam kepada jamaah ketika khatib keluar untuk berkhutbah. Memulai dengan salam pada dasarnya sunnah. Sedangkan mengucapkan salam ketika keluar adalah mandub. Dan dimakruhkan menunda salam itu hingga naik mimbar. Jika ia lakukan itu, maka bagi yang mendengarnya tidak wajib menjawabnya.

5. Hendaklah ia memegang tongkat atau lainnya/busur ketika menyampaikan kedua khutbahnya.

6. Memulai kedua khutbah itu dengan memuji Allâh . 7. Setelah memuji Allâh , hendaklah ia memulai kedua khutbahnya dengan membaca

shalawat dan salam atas Nabi . 8. Menutup khutbah yang pertama dengan membaca sebagian dari ayat al-Qur'an. 9. Menutup khutbah yang kedua dengan membaca:

كم یغفر ا!له لنا و ل

Page 135: Ringkasan Fiqh shalât - MRKR

134

"Mudah-mudahan Allâh mengampuni dosa kami dan kamu sekalian'! atau :

+kذكرو ا!له یذكركم "Ingatlah kepda Allâh, niscaya Dia akan ingat kepadamu"

10. Hendaklah kedua khutbah itu mengandung ajakan untuk bertaqwa dan berdoa untuk kaum muslimin.

11. Mendoakan para shahabat agar memperoleh ridha dari Allâh . 12. Mendoakan penguasa agar supaya memperoleh pertolongan dalam menghadapi musuh dan

berdoa untuk kemuliaan Islam. 13. Khatib itu tetap dalam keadaan suci ketika menyampaikan kedua khutbahnya. 14. Berdoa dalam kedua khutbah agar dilimpahkan nikmat, tertolak(selamat) dari siksa,

memperoleh pertolongan dalam menghadapi musuh-musuh dan disembuhkan dari penyakit. Dan boleh juga berdoa untuk penguasa agar supaya berlaku adil dan baik.

15. Khatib lebih mengeraskan khutbahnya sehingga dapat didengar oleh jamaah. 16. Hendaknya pada khutbah yang kedua tidak lebih keras daripada yang pertama. 17. Khutbah yang kedua lebih pendek dari yang pertama. 18. Hendaklah ia menyederhanakan kedua khutbahnya. Madzhab Syâfi’î berpendapat bahwa sunnah-sunnah khutbah Jum'at itu sebagai berikut: 1. Menertibkan rukun-rukun khutbah, yaitu memulai dengan memuji Allâh, kemudian

membaca shalawat atas Nabi , kemudian berwasiat (berpesan) kepada orang-omng agar supaya bertaqwa, kemudian membaca ayat, kemudian berdoa untuk para Imam muslimin dan para pemimpin mereka agar memperoleh kebaikan dan pertolongan untuk kebenaran; dan tidak apa-apa juga mendoakan raja dan penguasa secara khusus.

2. Menambah ucapan "salam" atas Nabi setelah mengucapkan "shalawat" kepada beliau.

3. Mengucapkan shalawat dan salam untuk keluarga dan shahahat-shahabatnya. 4. Tidak berbicara ketika khutbah bagi orang yang dapat mendengamya dengan tidak

bicara. Sedangkan bagi orang yang tidak dapat mendengar-nya, disunnahkan untuk berdzikir. Dzikir yang paling utama adalah membaca surat al-Kahfi, kemudian membaca shalawat atas Nabi

5. Khutbah tersebut disampaikan di atas mimbar. Jika mimbar itu tidak ada, maka hendaknya disampaikan di atas tempat yang lebih tinggi dari dataran (tempat duduknya) orang-orang (jamaah).

6. Mimbar itu berada di sebelah kanan orang yang berhdapan dengan mihrab. 7. Hendaknya khatib mengucapkan salam kepada orang- orang yang ada di sisi mimbar

sebelum naik ke atas mimbar ia keluar dan tempat pengasingan (khalwat) yang disediakan untuknya. Jika ia masuk dari pintu masjid, maka hendaknya mengucapkan salam kepada setiap orang yang dilaluinya seperti juga kepada lainnya.

8. Menatap wajah jamaah bila ia telah naik ke atas mimbar. 9. Duduk di atas mimbar sebelum khutbah pertama. 10. Sebelum duduk hendaknya ia mengucapkan salam kepada jamaah. Sedangkan

hukum menjawab salam bagi jamaah pada setiap kali ia mengucapkan salam adalah wajib.

11. Ada seorang yang mengumandangkan adzan di hadapan khatib, bukan dihadapan jamaah. Jika bukan dihadapan khatib, maka hukumnya makruh. Sedangkan adzan yang dikumandangkan sebelumnya di atas menara hukumnya sunnah jika

Page 136: Ringkasan Fiqh shalât - MRKR

135

berkumpulnya orang-orang untuk mendengarkan khutbah itu bergantung kepada adzan tersebut.

12. Khutbah itu disampaikan secara fasih dan dekat kepada pemahaman 13. Orang orang secara umum; dan disunnahkan sedang (tidak terlalu panjang atau

terlalu pendek) Hendaknya khutbah itu lebih pendek dari shalât Jum'at. 14. Hendaknya khatib tidak menoleh ketika berkhutbah, melainkan tetap menghadap

kepada para jamaah. 15. Hendaklah tangan kirinya memegang pedang sekalipun terbuat dari kap, atau

tongkat dan lain sebagainya. Sedangkan tangan kanannya memegang tepi mimbar. Madzhab Hanbalî berpendapat bahwa sunnah-sunnah khutbah itu adalah: 1. Hendaklah khatib berkhutbah di atas mimbar atau di tempat yang tinggi. 2. Mengucapkan salam kepada para makmum ketika khatib tampil di Pembahasan

Shalât Jum'at tengah-tengah mereka, begin juga mengucapkan salam setelah naik ke atas mimbar dan menatap mereka dengan wajahnya.

3. Hendaklah khatib duduk(setelah mengucapkan salam) hingga sang muadzin mengumandangkan adzan di hadapannya.

4. Duduk sejenak antara dua khutbah sebatas lama membaca surat Al Ikhlas. 5. Hendaklah berkhutbah dengan berdiri. 6. Hendaklah berpegang pada pedang atau busur atau tongkat. 7. Ketika berkhutbah hendaklah menghadap ke depan, maka ia tidak perlu menoleh ke

kiri dan ke kanan. 8. Memendekkan kedua khutbahnya. 9. Khutbah yang pertama hendakhh lebih pnjang daripada yang kedua. 10. Mengeraskan suaranya ketika berkhutbah sedapat mungkin. 11. Berdoa untuk kaum muslimin; dan dibolehkan juga mendoakan orang tertentu,

seperti penguasa, anaknya, ayahnya atau lainnya. 12. Berkhutbah dengan menggunakan teks (membaca teks khutbah). Hal-hal makruh dalam Khutbah Meninggalkan salah satu sunnah khutbah, maka itu hukumnya makruh sesuai dengan kesepakatan para ulama madzhab Hanafî dan Mâlikî. Sedangkan menurut madzhab Syâfi’î: Berbicara bagi (hadirin/jamaah) di sela-sela khutbah.

�ه م[ذر U@ش تد� غضبه ح1�ى ك�pن Dت عیناه و�لا صوته واش ذا خطب احمر�4�ه ا یقول صب�حكم كان رسول ا!ل

اكم ومس� “Rasûlullâh jika berkhutbah, memerah matanya, suaranya meninggi, emosinya begitu nampak, seakan Beliau sedang memperingatkan pasukan yang berkata: siap siagalah kalian pagi dan sore.” (HR. Muslim)

Ketika menjelaskan hadîts ini al Imam Nawâwî berkata : “Hadîts ini menjadi dalil bahwa hendaknya ketika khatib berkhutbah ia berkata-kata dengan kalimat-kalimat yang fasih dan lancar, tersusun dan teratur rapi, suara yang tegas, fokus dengan bahasan dan membicarakan tentang anjuran atau ancaman dalam agama. (Syarah shahih Muslim (6/155). Maka, Khatib tidak dianjurkan melucu, atau memancing jamaah untuk berbicara Hukum Imam dan khatib, orang yang berbeda? Mayoritas ulama mengatakan bahwa khatib yang merangkap jadi imam shalât sifatnya anjuran dan tidak wajib. Sementara Mâlikîyah mengatakan bahwa tidak boleh selain khatib maju jadi imam shalât, kecuali jika ada udzur.

Page 137: Ringkasan Fiqh shalât - MRKR

136

Dalam Al-Bada’i dinyatakan, ولو أحدث الإمام بعد الخطبة قبل الشروع في الصلاة فقم رجلا يصلي بالناس إن كان ممن شهد الخطبة أو شيئا منها جاز، وإن لم يشهد شيئا منها لم يجز ويصلي بهم الظهر وهو ما ذهب إليه

عذر جمهور الفقهاء. وخالف في ذلك المالكية فذهبوا إلى وجوب كون الخطيب والإمام واحدا إلا ل كمرض

Jika khatib mengalami hadats seusai khutbah sebelum mulai shalât, kemudian dia menyuruh salah seorang untuk menjadi imam shalât, ada dua rincian:

1. Jika orang ini tadi mendengarkan khutbah atau mendengarkan sebagian khutbah, maka dia boleh jadi imam.

2. Jika orang ini tidak mendengar khutbah sama sekali maka tidak boleh jadi imam. Pada kondisi ini, mereka shalât zuhur. Inilah pendapat mayoritas ulama.

Sementara ulama’ Mâlikîyah berbeda, mereka berpendapat bahwa khatib wajib yang menjadi imam, kecuali karena udzur, seperti sakit.. (Bada’i Shana’i, 3/40)

Jika KHATIB BATAL WUDHU di antara 2 Khutbah. Jika khatib ( orang yang khutbah ) hadats di tengah-tengah khutbah baik hadats kecil / hadats besar maka harus dimulai lagi dari depan. Istikhlaf (pergantian khatib) di atas terjadi di tengah khuthbah atau terjadi diantara dua khuthbah? jawabannya BOLEH.

- Hâsyîyahi’ Asy-Syarqawî, 1/ 564 : قوله ( من الحدث ) اى الأصغر وهو متطهر من الحدث والخبث مستتر قائم فيهما عند القدرة الخ

ة استأنفها ، والأكبر ، فلو حدث في اثناء الخطبDan dia ( khatib ) harus suci Dari Hadats Dan Najiz yang menutupi aurat berdiri di dalan ke 2 khotbah ketika mampu, adapun yang di maksud perkata'an kiyai mushannif ( Dari hadats ) adalah yaitu harus suci Dari hadats kecil Dan hadats besar. Dan jika hadats di pertengahan Khutbah maka harus di mulai lagi khutbah Nya.

- Al-minhâju al-qaw îm 1/178 : بخلاف ما لو أحدث بينهما وبين فلو أحدث في الخطبة استأنفها وإن سبقه الحدث وقصر الفصل

جمع بين الصلاتين، وأفهم الصلاة وتطهر عن قرب لأنهما مع الصلاة عبادتان مستقلتان كما في ال كلامه أنه لا يشترط ترتيب الأركان الثلاثة ولا نية الخطبة ولا نية فرضيتها.

Apabila khotib batal ketika khutbah, maka setelah wudlu wajib mengulangi lagi khuthbahnya dari awal. kondisi ini disamakan dengan batal dalam shalât, maka setelah wudlu wajib mengulangi lagi shalâtnya dari awal (karena tidak mungkin melanjutkan dari batas rukun yang ditinggal sebelum batal wudlu).

بخلاف ما لو أحدث بينهما وبين الصلاة وتطهر عن قرب Berbeda jika batal wudlu di antara dua khuthbah atau antara dua kuthbah dengan shalât, maka khotib BOLEH WUDLU terlebih dahulu dan melanjutkannya, hanya saja waktu untuk wudlunya jangan terlalu lama (seukuran dua rokaat shalât), hal ini untuk mengantisipasi agar tidak sampai menghilangkan Al Muwâlât (bersambung, terus menerus) yang merupakan syarat sah khuthbah.

- al- Bujairâmî 'alâ al-manhâj 1/390 : واحدة فلا تؤدى فلو أحدث في أثناء الخطبة استأنفها، وإن سبقه الحدث، وقصر الفصل لأنهما عبادة

لاة بطهارتين كالصKondisi di atas, bila khatib batal dan tidak diganti. Bagaimna bila khotibnya diganti ? BOLEH.

Page 138: Ringkasan Fiqh shalât - MRKR

137

- I'ânah Thâlibin, 2/82 : ولو أحدث في أثناء الخطبة واستخلف من حضر، جاز للثاني البناء على خطبة الأول.

Bila khotib batal di tengah khuthbah dan diganti dengan khotib lain (ke dua) maka hukumnya boleh, dan khotib ke dua BOLEH melanjutkan sisa rukun khutbah (atau memulai lagi dari awal).

Hukum Shalât Dhuhur sesudah Shalât Jumat Menurut madzhab Syâfi’î, bahwa I’adah dhuhur diperbolehkan dilakukan karena bilangan Jum’at tidak terpenuhi dalam sebuah pemukiman. Pendapat ini didasarkan pada keterangan di kitab Fathul Mu’in, yang berbunyi: وسئل البلقيني عن أهل قرية لا يبلغ عددهم أربعين هل يصلون الجمعة أو الظهر فأجاب رحمه الله يصلون الظهر على مذهب الشافعي ، وقد أجاز جمع من العلماء أن يصلوا الجمعة وهو قوي فإذا قلدوا أي جميعهم من قال هذه المقالة فإنهم يصلون الجمعة وإن احتاطوا فصلوا الجمعة ثم

ظهر كان حسناالRedaksi di atas menerangkan bahwa Imam Bulqinî ditanya dari penduduk desa mengenai jumlah bilangan shalât Jumat tidak mencapai 40 jama’ah. Apakah mereka melaksanakan shalât Jum’at atau Dhuhur? Beliau menjawab, laksanakan shalât Dhuhur, pendapat ini menurut madzhab Syâfi’î. Selain itu, golongan ulama berpendapat untuk melaksanakan shalât Jum’at. Namun pengarang kitab Fathul Muin menganjurkan kepada madzhab Syâfi’î supaya mengikuti pendapat yang memperbolehkan shalât Jum’at dengan bilangan di bawah jumlah 40 orang, kemudian shalât dhuhur untuk ihtiyath (sikap kehati-hatian).

Syekh Muhammad Amin Al-Kurdî, dalam kitab Tanwîrul Qulûb fi Mu’âmalati ’All âmil Ghuyûb halaman 236 mengatakan:

ة معا أو مرتبا. وتسن ة سواء وقع إحرام الأئم دت لحاجة فجمعة الكل صح صلاة الظهر وإن تعد بعدها إحتياطا

Jika ada banyak shalât Jum’at karena ada hajat (masjidnya sempit, misalnya), maka semua shalât Jum’at di desa itu sah, baik takbiratul ihram para imam shalât Jum’at tersebut bersamaan atau berurutan. Kemudian, disunnahkan melaksanakan shalât dhuhur setelahnya untuk berhati-hati.

Hukum Shalât Jumat di Jalanan

Syarat Sah dan Wajib Jumat Para ulama memberikan syarat sahnya shalât jumat dilaksanakan. Di antara syarat yang disebutkan adalah mengenai syarat sah dan syarat wajib sekaligus. Artinya, jika syarat ini tidak ada, maka shalât jumatnya tidak sah dan tidak wajib dilaksanakan. Syarat sah dan wajib Jumat yang sekaligus disebut oleh para ulama adalah : Tempat didirikan shalât Jumat adalah di masjid suatu negeri atau kampung yang

berpenduduk. Mendapatkan izin dari sultan atau penguasa. Sudah masuk waktu pelaksanaan shalât Dhuhur dan waktunya berlangsung terus

hingga waktu ‘Ashar.

Syarat pertama disebutkan oleh madzhab Abu Hanifah (Hanafî). Dalam kitab Al-Mabsuth karya Abu Bakr Muhammad bin Abu Sahl As-Sarakhsî disebutkan,

Page 139: Ringkasan Fiqh shalât - MRKR

138

wابة �@ن ف1حوا ا��م صار والقرى ما لا جمعة ولا ¦شریق ولا فطر ولا +�ضحى الا� في مصر Uامع و��ن� الص�فاق مصار والمدن وذ!ك ات تغلوا بنصب المنا-ر وبناء الجوامع الا� في ا�� Dالمصر من شرائط اش �م[هم �لى +�ن

الجمعة “Tidak ada Jum’at, tasyrîq, Idul Fithri, Idul Adha, melainkan di lakukan di mishr jami’. Karena para sahabat ketika menaklukkan berbagai negeri dan kampung, mereka tidaklah sibuk dengan mendirikan mimbar dan membangun jami’ kecuali berada di negeri dan kampung. Karenanya mereka itu sepakat bahwa mishr jami’ itu merupakan syarat didirikannya shalât Jum’at.” (Al-Mabsuth, 2: 310,) Yang dimaksud dengan mishr jami’ disebutkan oleh Imam As-Sarakhsî,

قامة الwدود وتنفKذ ا��حكام �د 4 المصر ال�امع +�ن �كون فKه سلطان +�و قاض لا

“Batasan disebut mishr jami’ adalah yang di dalamnya ada sultan (penguasa) atau qadhi (kami) untuk menegakkan hukum hudud dan menjalankan hukum syari’at lainnya.” Dalam madzhab Syâfi’î disyaratkan, shalât Jumat yang penting dilakukan di dalam bangunan tertutup yang ada di negeri atau perkampungan. Imam Asy-Syairazî dalam Al-Muhaddzab menyatakan,

جمعة من بلد +و قریةولا تصح الجمعة الا في +ب�Kة rسDتوطنها من تنعقد بهم ال“Shalât Jumat tidaklah sah dilakukan kecuali di dalam bangunan yang di mana nantinya diisi oleh orang-orang yang sah mendirikan shalât jumat yang menetap di negeri atau kampung.”

Imam Nawâwî menjelaskan, اب أو طين أو قصب أو سعف أو غيرهاسواء كان البناء من احجار أو أخش

“Bangunan tadi bisa jadi terbuat dari batu, kayu, tanah, batang yang beruas (seperti pada tebu, pen.), pelepah kurma, dan selainnya.” (Al-Majmu’, 4: 256-257) Ulama Hanbalî menyatakan bahwa shalât di padang pasir pun masih sah. Ibnu Qudamah rahimahullah (lahir tahun 541 H, meninggal dunia tahun 620 H) menyatakan,

حراء ة الجمعة اقام1ها في البK�ان ، ویجوز اقام1ها فKما قاربه من الص� �wرط لصqشr وبهذا قال +�بو ح[یفة ولا. افعي� : لا تجوز في �@ر البK�ان وق ال الش�

“Tidak disyaratkan untuk sahnya jumat untuk dilakukan di masjid. Boleh saja melakukan shalât Jumat di tanah lapang yang dekat dengan bangunan. Demikian juga yang menjadi pendapat dalam madzhab Abu Hanifah. Sedangkan Imam Syâfi’î berpendapat bahwa tidak boleh mengerjakan shalât Jumat selain di dalam gedung.” (Al-Mughnî, 3: 209) Mayoritas ulama (Hanafîyah, Syâfi’îyah, dan Hanbalî) berpendapat, Jumatan boleh dilakukan di luar masjid, termasuk di jalanan. Hanya saja, Syâfi’îyah mempersyaratkan, harus dilakukan di dalam kota atau di dalam kampung, yang kanan-kirinya ada bangunan. Dan tidak boleh dilakukan di tanah lapang di luar kampung, seperti shalât ‘id di lapangan. Zainudin Al-Iraqi – ulama Syâfi’îyah – (w. 806 H) mengatakan,

Page 140: Ringkasan Fiqh shalât - MRKR

139

أي : مذهب الشافعية ] : أن إقامة الجمعة لا تختص بالمسجد ، بل تقام في خطة الأبنية ؛ [مذهبنا فلو فعلوها في غير مسجد لم يصل الداخل إلى ذلك الموضع في حالة الخطبة ، إذ ليست له تحية

“Madzhab kami (madzhab Syâfi’îyah), pelaksanaan shalât jumat tidak harus di masjid, namun bisa dilaksanakan di semua lokasi yang tertutup bangunan. Jika ada orang yang melakukan jumatan di selain masjid maka orang memasuki wilayah yang digunakan untuk shalât jumat itu ketika khutbah jumat telah dimulai, maka dia tidak disyariatkan shalât tahiyatul masjid, karena tempat itu bukan masjid yang disyariatkan untuk dilaksanakan tahiyatul masjid. (Tharh At-Tatsrib, 4/90). Dalam madzhab Hanbalî: Syeikh Al-Mardawî – ulama Hanbalî – (w. 885 H) mengatakan,

ويجوز إقامتها في الأبنية المتفرقة , إذا شملها اسم واحد ، وفيما قارب البنيان من الصحراء ) :قولهوهو المذهب مطلقا . وعليه أكثر الأصحاب . وقطع به كثير منهم . وقيل : لا يجوز إقامتها إلا في

الجامعKeterangan penulis: “Boleh mengadakan jumatan di satu tempat yang terkepung beberapa bangunan, jika wiliyah jumatan itu masih satu tempat, boleh juga dilakukan di tanah lapang dekat bangunan pemukiman.” Inilah pendapat madzhab Hanbalî, dan pendapat yang dipilih mayoritas ulama Hanbalî. Ada juga yang mengatakan, ‘Tidak boleh mengadakan shalât jumat kecuali di masjid jami’.’ (Al-Inshaf, 4/23)

Ibnu Qudamah menjelaskan, ولا يشترط لصحة الجمعة إقامتها في البنيان ، و يجوز إقامتها فيما قاربه من الصحراء ، و بهذا قال

أبو حنيفةBukan termasuk syarat sah jumatan harus dilakukan di antara bangunan. Boleh juga dilaksanakan di tanah lapang yang dekat dengan bangunan. Ini merupakan pendapat Abu Hanifah. (al-Mughnî, 2/171) Berbeda dengan madzhab Mâlikîyah. Mereka mempersyaratkan bahwa jumatan harus dilakukan di masjid jami’. Dalam At-Taj wal Iklîl – kitab madzhab Mâlikî – disebutkan beberapa pendapat ulama Mâlikîyah,

داء ا-ن �ش@ر : ال �امع من شروط ا��Ibnu Basyir mengatakan, “Masjid jami’ merupakan syarat pelaksanaan shalât jumat.” Ibnu Rusyd mengatakan,

س�د البK�ان مhني ) الباجي� : من شروط الم ( ا-ن رشد : لا یصح� +�ن تقام الجمعة في �@ر مس�د ن انهدم سقفه صل�وا ظهرا +�ربعا

4 المخصوص �لى صفة المساUد، فا

‘Tidak sah pelaksanaan shalât jumat di selain masjid (yang ada bangunannya).’ Sementara Al-Baji mengatakan, ‘Diantara syarat masjid adalah adanya bangunan khusus dengan model masjid. Jika atapnya hancur maka diganti shalât dzuhur 4 rakaat.’ (At-Taj wal Iklil, 2/237) Ulama Mâlikîyah menyaratkan shalât Jumat dilaksanakan di tempat yang bisa menetap dalam waktu yang lama, bisa dilakukan dalam gedung atau rumah dari kayu (gubug). Namun tidak boleh shalât Jumat tersebut dilakukan di kemah karena bukan tempat yang layak untuk menetap dalam waktu yang lama. Kalau kita perhatikan dari pendapat yang ada, berarti yang menyaratkan shalât dalam bangunan hanyalah madzhab Syâfi’î. Sedangkan madzhab Hanbalî dan Abu Hanifah masih membolehkan di luar masjid. Adapun madzhab Mâlikîyah berpendapat bahwa asalkan tempatnya layak untuk tinggal, boleh didirikan shalât Jumat.

Page 141: Ringkasan Fiqh shalât - MRKR

140

Sehingga dalam madzhab Syâfi’î sendiri -sebagaimana yang dianut di negeri kita- mengenai shalât di jalan jelas tidak dibolehkan karena dipersyaratkan shalât Jumat harus di dalam bangunan. Hukum Shalât di Jalan Ada hadîts dari Abu Sa’id Al-Khudri �, ia berkata bahwa Rasûlullâh bersabda,

ام لا� المقLرة والحم�4 ا��رض كل�ها مس�د ا

“Semua tempat di muka adalah masjid kecuali kuburan dan tempat pemandian.” (HR. Tirmidzî, no. 317; Ibnu Majah, no. 745; Abu Daud, no. 492. Al-Hafizh Abu Thahir mengatakan bahwa sanad hadîts ini shahih) Adapun hadîts dari Ibnu ‘Umar �, ia berkata,

بعة مواطن فى المزبلة والمجزرة والمقLرة وقار�ة - صلى ا!له �لیه وسلم- +�ن� رسول ا!ل�ه Dى فى س�نه(ى +�ن یصلبل

4ام وفى معاطن الا ریق وفى الحم� وفوق ظهر ب@ت ا!ل�ه الط�

“Rasûlullâh melarang shalât di tujuh tempat: (1) tempat sampah, (2) tempat penyembelihan hewan, (3) pekuburan, (4) tengah jalan, (5) tempat pemandian, (6) tempat menderumnya unta, (7) di atas Ka’bah.” (HR. Tirmidzî, no. 346; Ibnu Majah, no. 746. Al-Hafizh Abu Thahir mengatakan bahwa hadîts ini hasan. Ulama madzhab Hanafîyah dan Syâfi’îyah menganggap bahwa dimakruhkan (terlarang) shalât di jalan. Al-Khatib Asy-Syarbini, salah seorang ulama besar dalam madzhab Syâfi’î menyatakan bahwa sebab dilarangnya shalât di jalan adalah karena dapat mengganggu kepentingan umum, menghalangi orang untuk lewat hingga kurangnya khusyu’. (Al-Mawsu’ah Al-Fiqhiyyah, 27: 114) Syaikh ‘Abdullah Al-Fauzan (ulama Saudi) berkata, “Yang utama tidaklah shalât di jalan. Akan tetapi jika ada hajat untuk shalât di tengah jalan, maka tidaklah masalah. Seperti misalnya masjid sangatlah sempit asalkan menggunakan alas saat itu.” (Minhah Al-‘Allam, 2: 356)

Kesimpulan, shalât Jumat wajib dilakukan di masjid/bangunan, bukan di jalan raya yang akan mengganggu kepentingan umum, lebih-lebih masjid sekitar masih muat menampung jama’ah.

Perbedaan (Furu') Shalât Jum'at

No Cabang Masalah Hanafî/ ����ـــ�� Mâlikî/ ��ـــ� �� Syâfi’î/ ��ـــ� �� Hanbalî/ ������ـــ�

1 Hukum Shalât Jum'at Wajib. Tidak wajib bagi Musafir, (boleh memilih shalât dhuhur atau shalât Jum'at ; namun menurut

riwayat dari Az Zuhrî dan An Nakha’î , wajib bagi musafir bila mendengar adzan) 2 Shalât Jum'at tidak

Wajib ba-gi: Anak Kecil, Budak, Wanita, orang Buta (bila ada yang menuntun menjadi

wajib) Budak

3 Orang yang berada di luar kota, tapi men-dengar adzan Jum'at

Tidak Wajib Wajib

4 Shalât Dhuhur berjama'ah ba-gi orang yang tidak mungkin mendatangi shalât Jum'at

Makruh Tidak Makruh (bahkan Sunnah menurut Madzhab Syâfi’î)

5 Jika Shalât Hari Raya (shalât Id) ter-jadi pada hari Jum'at

Wajib Wajib Wajib bagi ummat di kota/sekitar masjid. Tidak Wajib bagi

Tidak Wajib dan diganti dengan Sha-lat Dhuhur

Page 142: Ringkasan Fiqh shalât - MRKR

141

ummat yang jauh dari mas-jid/pedalam-an

6 Hukum Jual beli ketika su-dah masuk waktu shalât Jum'at

Haram

7 Shalât Takhiyatul masjid ketika Khatib sudah khutbah

Tahiyyatul Masjid dianggap sudah gugur begitu khutbah dimulai (makruh hukumnya)

Tetap Shalât takhiyatul masjid (secara Ringkas saja)

8 Shalât Qabliyah Jum'at

Dianjurkan Tidak dianjurkan Dianjurkan Tidak dianjurkan

9 Jumlah Jamaah Shalât Jum'at yang Sah

3 (tiga) O-rang selain Imam

12 (dua be-las) Orang selain Imam

40 (empat Puluh) orang termasuk Imam

No Cabang Masalah Hanafî/ ����ـــ�� Mâlikî/ ��ـــ� �� Syâfi’î/ ��ـــ� �� Hanbalî/ ������ـــ�

10 Bila ada 40 (empat puluh) Musafir, ber-kumpul mendirikan Shalât Jum'at

Sah Tidak Sah

11 Imam Shalât Jum'at-nya Bukan Khatib

Boleh, bila a-da halangan (udzur)

Tidak Boleh Ada dua Pendapat, membolehkan dan melarang

12 Ketika khuth-bah, jamaah yang tidak mendengar-nya, berbicara

Tidak Boleh Wajib diam Mustahab/sunnah, Diam

13 Ketika khuthbah, jamaah, berbicara

Haram. Menurut Mâlikî, Khatib boleh menegur/melarang jamaah yang "ngobrol", demi kebaikan Khuthbah

14 Ketika ber-khuthbah, khatib mengajak bicara Jamaah

- Boleh, bagi Khatib Makruh bagi keduanya (Khatib dan Jamaah)

Boleh bagi Khatib, ha-ram bagi Jamaah

15 Shalât Jum'at dengan musa-fir (untuk me-nggenapkan syarat jumlah (masalah no 9)

Sah Tidak Sah

16 Hukum mak-mum masbuq yang hanya mendapati sa-tu rakaat shalât jum'at

Dianggap sudah shalât Jum'at

Bila masih sempat membaca Al fatihah , dianggap sudah shalât Jum'at, namun bila Imam sudah ruku' rakaat kedua misalnya, maka harus Shalât

Dhuhur 4 rakaat

17 Penduduk kampung, ke-luar kampung dan menga-dakan shalât di luar kam-pungnya

Sah, Shalât Jum'at-nya

Tidak Sah

18 Mandi sunnah untuk Shalât Jum'at: kapan ?

Boleh sejak fajar pada hari Jum'at

Ketika hen-dak pergi shalât Jum'at

Boleh sejak fajar pada hari Jum'at

19 Seseorang yang Junub, mandi jinabat sekaligus mandi untuk shalât Jum'at

Sah Sah, salah satunya saja

Sah

20 Shalât Jum'at di Tanah Lapang

Sah, asal dekat de-ngan masjid terdekat (1 farsakh/3 mil)

Tidak Sah, harus di Masjid Jami'

Sah, asal dekat dengan masjid terdekat (masih dalam batas –kota/belum sampai seseorang boleh qashar)

Page 143: Ringkasan Fiqh shalât - MRKR

142

Shalât-shalât Sunnah Dalam Tinjauan Fiqh Empat Madzhab

Definisi Shalât menurut bahasa:

الد�اء - في ا!لغة -الصلاة Ibadah yang disyariatkan ini dinamakan shalât (صلاة) yang menurut bahasa -berarti doa, karena

tercakup di dalamnya doa-doa.

قال القاضي عیاض: هو قول +ك�ر +هل العربیة والفقهاء. و¦سمیة الد�اء ,Qâdhî Iyâdh4 telah berkata: “bahwa istilah tersebut diartikan sebagai doa oleh penduduk Arab maupun oleh para Fuqâhâ’ (ahli fiqh).”

صلاة معروف في كلام العرب. والعلاقة ب@ن الد�اء والصلاة الجزئیة. فان الد�اء جزء من الصلاة، �نها قد )ت@س@ر العلام شرح عمدة ا�حكام ( اشDتملت �لیه.

Shalât dalam kalâm (istilah) orang arab adalah keterkaitan antara doa-doa dan shalât itu sendiri sebagai bagian-bagiannya, karena sebenarnya doa itu adalah termasuk bagian dari dan atas shalât itu.

Shalât dalam pengertian syariat:

ل مف1تwة Mلتكh@ر ومختتمة Mلqسلیم مع النیة.وفي الشرع: +قوال و+فعا ) 51ص - 27ج -الموسو�ة الفقهیة (

Dan makna shalât dalam pengertian syariat adalah peribadahan kepada Allâh dengan ucapan dan perbuatan tertentu, yang diawali dengan takbir dan diakhiri dengan salam, disertai syarat-syarat yang khusus dan dengan disertai niat.

والصلوات الخمس +�د +ركان الاسلام الخمسة، بل +عظمها بعــد الشــهادت@ن. وثبوتهــا Mلك1ــاب والســDنة والاجمــاع، فمــن جwدها فقد كفر.

Dan shalât lima waktu itu adalah salah satu dari rukun Islam yang lima, bahkan paling agung atau penting sesudah dua kalimah Syahadat, dan di tetapkan (hukum untuk menegakkan-nya) di dalam Alquran, Sunnah (hadîts) dan Ijmâ’ (konsensus para ulama untuk perkara yang tidak secara jelas ada di dalam Alquran dan atau hadîts), siapa yang mengingkarinya sungguh (ia) telah kafir. (Al-Fiqhu ‘Alâl Madzâhibil Arba’ah, 1/160, Subulus Salâm, 1/169, Asy-Syarhul Mumti’, 1/343, Taudhihul Ahkâm, 1/469, Taisîrul ‘Allâm, 1/109).

4 Beliau adalah Al-Qâdhî Abu Al-Fadhl Iyâdh bin Musa bin Iyâdh Al-Yahshabî Al-Andalusî As-Sabtî Al-Mâlikî (476 – 544 H),

Pengarang Kitab Asy -Syifâ’, Kitab Masyâriq al-Anwâr, Kitab Al-Ikmal fî Syarh Shahîh Muslim. Beliau adalah ahli hadîts pada

zamannya.

Page 144: Ringkasan Fiqh shalât - MRKR

143

Shalât sunnah dalam terminologi fiqh sering disebut Tathawwu', Nawafil (bentuk jama' nâfilah) atau marghub fih, yang berarti sunnah.

Menurut Syekh Abdurrahman Al-Jazirî dalam Kitâb Fiqh alâl Madzâhibil Arba'ah – Bab Pembahasan mengenai Shalât Tathawu’: Shalât Tathawwu' (طـوع: النافلـة

adalah shalât yang dianjurkan untuk dilakukan oleh (صـلاة الت

seorang mukallaf sebagai tambahan dari shalât yang diwajibkan. Kata Sunnah semakna dengan mandub, atau mustahab, yang didefinisikan:

المندوب +و السDنة: هو ما طلب الشرع فعله من المكلف طلبا �@ر لازم، +و هو ما یحمد فا�له، ولا یذم �ركهMandub atau sunnah adalah apa yang menurut syara' dikerjakan oleh mukallaf karena perintah yang tidak tegas atau suatu pekerjaan yang pelakunya terpuji dan orang yang meninggalkannya tidak tercela. (Al-Mustasyfâ-Imam Al-Ghazâlî, 1/215, Fiqh Islâm Wa Adillatuhu- Dr. Wahbah Az Zuhailî, Juz I/51).

962)لقاموس المحيط ا (متطوع: وكل متفل خيرOrang yang mengerjakan pekerjaan yang baik itu disebut Mutaththawi’. (Huruf ‘ain, Fashl Thâ, hal. 962, Al-Qâmûs al Muhîth – Fairuzabâdî).

Dalam Alquran ditemukan kata Tathawu’ :

ن� تطو�ع ومن 4�ه شاكر �لیم X@را فا ا!ل

Dan siapa yang mengerjakan suatu kebaikan dengan kerelaan hati, maka sesungguhnya Allâh Maha Mensyukuri[*] kebaikan lagi Maha mengetahui. (QS Al-Baqarah (2):158) [*] Allâh mensyukuri hamba-Nya: memberi pahala terhadap amal-amal hamba-Nya, memaafkan kesalahannya, menambah nikmat-Nya dan sebagainya.

Dan,

X@را فهو X@ر له تطو�ع فمن “maka siapa yang dengan kerelaan hati mengerjakan kebaikan, maka itu yang labih baik baginya.” (QS Al Baqarah (2): 184).

Kata Nâfilah yang diterjemahkan sebagai “Ibadah tambahan” terdapat dalam ayat :

د به �یل ف1ه�� �ك مقاما محمودا �فلة ومن ا!ل !ك عسى +�ن یبعثك ربDan pada sebahagian malam hari bershalât tahajjudlah kamu sebagai suatu ibadah tambahan bagimu; mudah-mudahan Tuhan-mu mengangkat kamu ke tempat yang Terpuji. (QS Al Isrâ’ (17):79).

Dan Nâfilah yang diterjemahkan sebagai “suatu anugerah” terdapat dalam ayat:

سwاق ویعقوب �فلة وكلا­ جعلنا صالw@ن 4 ووهبنا له ا

Dan Kami telah memberikan kepada-Nya (Ibrâhîm) lshak dan Ya'qub, sebagai suatu anugerah (daripada Kami). dan masing-masingnya Kami jadikan orang-orang yang saleh. (QS Al- Anbiyâ’ (21):72) Ibnu Mandzūr dalam Kitâb Lisânul ‘Arab, 4/626, mendefinisikan:

ص 4 لســان العــرب ج(مما لا يلزمه فرضــا. ما تبرع به من ذات نفسهالطاعة. وهو مناللغة: فيالتطوع 626 (

Tathawwu’ adalah “sesuatu yang dikerjakan oleh seorang muslim karena keinginan sendiri terhadap hal-hal yang tidak diwajibkan.”

Shalât sunnah secara syar’î adalah mengerjakan ketaatan-ketaatan yang tidak wajib, dimana dikerjakan oleh seorang mukallaf sebagai tambahan atas perintah yang wajib (Ibadah yang Wajib).

Istilah sunnah, dalam kaitannya dengan istilah Shalât Sunnah adalah shalât yang bila dikerjakan mendapatkan pahala dan bila ditinggalkan tidak mendapatkan dosa.

Page 145: Ringkasan Fiqh shalât - MRKR

144

Atau, suatu pekejaan yang dituntut syara’ agar kita mengerjakannya, tetapi dengan tuntutan yang tidak menunjuk kepada mesti atau harus, artinya pekerjaan itu dianjurkan kepada kita untuk melaksanakannya dan diberi pahala, dan tidak dihukum berdosa bagi yang meninggalkannya. Dalam istilah disebut mandub adalah sesuatu yang lebih baik untuk dikerjakan.

Menurut Ulama Ushul (Fiqh), bahwa yang disuruh oleh syara' itu terbagi menjadi empat, yaitu (I) fardlu, (2) wajib, (3) sunnah, dan (4) nafil (mandub).

Istilah Sunnah, juga dikenal sebagai As-Sunnah, (السنة) yang menurut bahasa artinya cara atau

sistem, yaitu cara yang dibawa atau diajarkan oleh Nabi Muhammad .

Cara dan sistem juga dimiliki oleh Khulafâur Râsyidîn dan juga diperintahkan kepada kita untuk mengikutinya, hal ini berdasarkan hadîts:

@ن من بعدي�ل اشد�ن المهدی ن�ة الgلفاء الر� D1ي وس� )رواه +حمد والqرمذي وحسDنه(یكم �س�Hendaklah engkau berpegangan dengan sunnahku dan sunnah Khulafâur Râsyidîn yang mendapatkan petunjuk, sesudahku.( HR. Ahmad dan Tirmidzî – Hadîts Hasan).

Menurut Ibn Mandzûr:

السDنة هي : الطریق والس@رة حسDنة كانت او قhیwة“Sunnah adalah jalan dan sirah, baik yang terpuji maupun tercela.” (Lisânul ‘Arab- Ibn Mandzûr, juz 13/225).

Adapun definisi sunnah menurut ulama’ ushul adalah:

.الن�ب(ي ص من اقواله وافعاله و تقر�ره وماهم� بفعله ماUاء عن

"Apa-apa yang datang dari Nabi berupa perkataan-perkataannya perbuatan-perbuatannya, Taqrîrnya dan apa-apa yang beliau inginkan untuk mengerjakannya".

Sunnah Qaulîyah (perkataan Nabi ). Sunnah Fi’lîyah (perbuatan Nabi ). Sunnah Taqrîrîyah (pengakuan atau afirmasi dari Nabi ). Sunnah Hammîyah (keinginan Nabi ).

Atau

ل او تقر�ر الن�ب(ي صل�ى ا!له �لیه وسل�م �@ر القران من قول او فع ما صدر عن

Apa yang lahir dari Nabi selain dari Alquran baik berupa perkataan, perbuatan atau pengakuan.

Sunnah fi’lîyah adalah segala yang pernah diperbuat oleh Rasûlullâh yang kemudian diikuti oleh kaum muslimin seperti dalam melaksanakan shalât ataupun haji.

Sunnah taqrîrîyah adalah merupakan pengakuan ini baik dengan cara diam atau dengan cara terang-terangan. Ulama ushul Hanafîyah tidak menyamakan antara sunnah dengan mandub (nafil).

Ulama Hanafîyah (Mazhab Hanafî) membagi sunnah menjadi dua macam, yaitu sunnah hadyin dan sunnah zaidah.

Sunnah Hadyin adalah:

یK�ة قام1ها �كمیلا !لواجhات الد4 ماكانت ا

Segala bentuk pekerjaan yang dilaksanakan untuk menyempurnakan kewajiban-kewajiban agama.

Seperti adzan dan jamaah. Orang yang meninggalkan pekerjaan yang termasuk kategori ini, dipandang sesat dan dicela.

Page 146: Ringkasan Fiqh shalât - MRKR

145

Adzan, shalât berjamaah, shalât hari raya, berkurban dan aqiqah. Karena perbuatan-perbuatan seperti itu dikerjakan Rasûlullâh hanya sesekali dan dua kali beliau tinggalkan yang menunjukkan perbuatan itu bukan wajib namun digemari beliau.

Dan Sunnah Zaidah adalah:

�تي كان یفعلها الن�ب(ي� صل�ى ا!له �لیه وسل�م وهي +kمور �ادیة XلقK�ة هي اk�مور ال

Segala pekerjaan yang Nabi kerjakan dan masuk sebagai urusan adat kebiasaan.

Segala bentuk pekerjaan yang bukan merupakan bagian untuk menyempurnakan perintah agama, hanya termasuk terpuji bagi yang melakukannya. Atau semua perbuatan yang dianjurkan untuk melakukannya sebagai sifat terpuji bagi mukallaf karena mengikuti jejak Nabi Muhammad .

Seperti pekerjaan yang dilakukan Rasûlullâh ketika makan, minum dan tidurnya yang menjadi kebiasaannya, dan kalau ditinggalkan tidak dapat dikatakan makruh.

Sunnah, menurut para Ulama fiqih terkait segala sesuatu yang berasal dari Nabi Muhammad , yang menunjukkan ketentuan syara’ dari beliau, terkait amal perbuatan manusia baik yang wajib, haram, makruh dan lain-lain. Syekh Abdul Qadîr As-Sindî berkata:

ای�اب، و�رادفها المندوب والمسDتحب، والتطوع، فه(ي عندهم عبارة عن الفعل الذي دل الخطاب �لى طلبه من �@ر والنفل،

“Maknanya menurut mereka adalah istilah tentang perbuatan yang menunjukkan perkataan perintah selain kewajiban. Persamaannya adalah mandub (anjuran), mustahab (disukai), tathawwu’(suka rela), an-nafil (tambahan).

قولهم طلاق السDنة یقابل البد�ة م[ه هذه ا�لفاظ اصطلاح Xاص لبعض الفقهاء،وقد تطلق �لى ما والتفرقة ب@ن معاني

.�لیه وسلم الذي تدل +فعاله �لى حكم شرعي كذا، وطلاق البد�ة كذا، فهم بحثوا عن رسول ا!له صلة ا!له

Perbedaan makna pada lafadh-lafadh istilah ini, memiliki makna tersendiri bagi sebagian fuqaha. Istilah ini juga digunakan sebagai lawan dari bid’ah, seperti perkataan mereka :thalaq sunnah itu begini, thalaq bid’ah itu begini. Jadi, pembahasan mereka pada apa-apa yang datang dari Nabi yang menunjukkan perbuatannya itu sebagai hukum syar’î.” (Hujjah As-Sunnah An Nawâwîyah, 88).

Ulama Syâfi’îyah (mazhab Syâfi’î) membagi sunnah menjadi dua, yaitu sunnah muakkadah(dikukuhkan), dan sunnah ghairu muakkadah.

Sunnah Muakkadah

ن�ة المؤك�دة �Dب(ي� هي : الس�ذي داوم الن� صل�ى ا!له �لیه وسل�م ادائه دون ان یqركه الSunnah Muakkadah adalah amal ibadah yang sering dikerjakan oleh Nabi Muhammad tanpa pernah meninggalkannya.

Atau,

�ه ل@س بفرض ماواطب سول او ماكان فعله اك�ر من �ركه مع �لامة +�ن �لیه الر�

Suatu pekerjaan yang tetap dikerjakan Rasûlullâh atau lebih banyak dikerjakan dari pada tidak dikerjakan sambil memberi pengertian bahwa ia bukan fardhu.

Atau perbuatan yang dituntut dan tidak dikenakan siksa bagi yang meninggalkannya, tetapi dicela. Contohnya perbuatan sunnah yang menjadi pelengkap perbuatan wajib seperti shalât sunnah Rawâtib.’

Sunnah Ghairu Muakkadah.

Page 147: Ringkasan Fiqh shalât - MRKR

146

ن�ة �@ر المؤك� �Dة او اك�ر ولكن لم ی الس �تي فعلها الن�ب(ي� صل�ى ا!له �لیه وسل�م مر� عمال ال داوم �لیها دة وهي ا��ثن@ن والخم@س و+�ربع ركعات قhل العصر

Ö كصوم یومي الا

Sunnah Ghairu Muakkadah adalah amal ibadah yang pernah dikerjakan oleh Nabi Muhammad sesekali dan tidak terus menerus seperti puasa hari senin dan kamis dan shalât sunnah empat rakaat sebelum shalât ashar.

Atau,

سول ا!له صل�ى ا!له �لیه وسل�م مایوطب �لیه الر�

Sesuatu yang tidak tetap Rasûlullâh mengerjakannya.

Atau, segala perbuatan yang dituntut untuk mengerjakannya namun tidak dicela meninggalkannya tetapi Rasûlullâh sering meninggalkannya. Seperti shalât sunnah empat rakaat sebelum Dhuhur.

Jika shalât-shalât sunnah dikelompokkan menurut definisi di atas maka, ada dua jenis: 1. Shalât Sunnah Muakkad

shalât sunnah yang dianjurkan dengan penekanan yang kuat (hampir mendekati wajib), seperti shalât dua hari raya, shalât sunnah witir dan shalât sunnah Thawâf.

2. Shalât Sunnah Ghairu Muakkadah shalât sunnah yang dianjurkan tanpa penekanan yang kuat, seperti shalât sunnah Rawâtib dan shalât sunnah yang terkait dengan keadaan, tempat, kejadian dan sebab lain-lain (tergantung waktu dan keadaan, seperti shalât Kusûf /Khusûf hanya dikerjakan ketika terjadi gerhana).

Shalât sunnah juga dapat dikelompokkan menurut berbagai tinjauan seperti menurut apakah mengikuti atau mengiringi shalât fardlu atau tidak, dikerjakan sendiri atau berjamaah, di waktu siang atau malam, dan sebagainya.

Sebagaimana syair:

لاة وزك ما!ك ثم� صم * واعكف وحج� وUاهدن� ف1كرم صل الص�“Shalâtlah engkau, zakatilah hartamu, kemudian puasalah; dan lakukan I’tikâf, haji, dan berjuang

dengan sungguh-sungguh, maka engkau akan dimuliakan.” ۞

Waktu waktu Shalât Sunnah

Untuk diketahui bahwa Shalât itu termasuk dalam kelompok Ibadah Mahdhah, yaitu penghambaan yang murni, dimana“hubungan“ antara si hamba dengan Tuhannya (Allâh ) dilakukan secara langsung. Ibadah jenis ini keberadaannya karena adanya perintah dari Allâh

(dan juga melalui RasulNya ) dan juga telah ditentukan tata caranya, syarat dan rukunnya, serta ada batasan-batasan yang mengaturnya.

Ada Ibadah yang dibatasi oleh “waktu“ (telah ditentukan kapan pelaksanaannya) yaitu : Shalât, Zakat, Puasa, Haji. Shalât telah ditentukan waktunya. Hal ini berdasarkan firman Allâh :

ذا اطمp>ن1�م ف�pقKموا4لاة فاذكروا ا!ل�ه قKاما وقعودا و�لى ج[و-كم فا ذا قضیتم الص�

4لاة فا ن� الص� 4

لاة ا الص� Mموقو� كانت �لى المؤم[@ن كتا

Maka apabila kamu telah menyelesaikan shalât(mu), ingatlah Allâh di waktu berdiri, di waktu duduk dan di waktu berbaring. Kemudian apabila kamu telah merasa aman, maka dirikanlah shalât itu (sebagaimana biasa). Sesungguhnya shalât itu adalah fardlu yang ditentukan waktunya atas orang-orang yang beriman. (QS An-Nisâ’: 103).

Page 148: Ringkasan Fiqh shalât - MRKR

147

Zakat juga ada waktunya yaitu bila sampai Nishab, sudah sampai haul (satu tahun, annual), atau dibayarkan saat panen, zakat Fitrah dibayarkan pada waktunya (bulan Ramadhân).

Puasa juga telah ditentukan waktunya. Firman Allâh :

یام كما كتب �لى �ذ�ن +م[وا كتب �لیكم الص �ها ال �ذ�ن من قhلكم لعل�كم تت�قون o +�ی ما (183)ال �o�+ معدودات

Hai orang-orang yang beriman, diwajibkan atas kamu berpuasa sebagaimana diwajibkan atas orang-orang sebelum kamu agar kamu bertaqwa, (yaitu) dalam beberapa hari yang tertentu. (QS Al Baqarah (2): 183-184).

Demikian pula Puasa sunnah: Puasa Syawwal dikerjakan di bulan Syawal, Puasa Asyura dikerjakan tanggal 10 Muharram, Puasa Arafah dikerjakan pada hari Arafah (9 Dzulhijjah) dan sebagainya.

Pelaksanaan Ibadah Haji juga telah ditentukan waktunya. Firman Allâh :

فسوق ولا Uــدال فــي الحــج ومــا تفعلــوا مــن فمن فرض فKهن� الحج� فلا رفث ولا +�شهر معلومات الحج� X@ر یعلمه ا!ل�ه

(Musim) haji adalah beberapa bulan yang dimaklumi[*], siapa yang menetapkan niatnya dalam bulan itu akan mengerjakan haji, Maka tidak boleh rafats[**], berbuat fasik dan berbantah-bantahan di dalam masa mengerjakan haji. dan apa yang kamu kerjakan berupa kebaikan, niscaya Allâh mengetahuinya. (QS Al Baqarah (2) :197). [*] ialah bulan Syawal, Dzulqaidah dan Dzulhijjah. [**]Rafats artinya mengeluarkan perkataan yang menimbulkan berahi yang tidak senonoh atau bersetubuh.

Ada Ibadah yang dibatasi oleh “tempat“ yaitu: I’tikâf, Thawâf, Sai, Miqat Makani. Ada Ibadah yang dibatasi oleh “waktu dan tempat“ yaitu: Shalât Jumat, Wukuf (9 Dzulhijjah,

mulai Dhuhur hingga terbenamnya matahari dan dikerjakan di Arafah) , Mabit di Muzdalifah, Mabit di Mina (tanggal 10-13 Dzulhijjah berada di Mina)

Shalât Sunnah termasuk ibadah yang mempunyai waktu pelaksanaan yang bermacam-macam. Bila ditinjau, kapan shalât sunnah itu boleh dikerjakan, maka dapat dibagi:

Dikerjakan waktu malam hari, seperti: Shalât Awwâbîn, Witir, Tarâwîh (malam hari di bulan Ramadhân), Tahajud, Khusûf (malam hari bila ada gerhana bulan), Shalât sunnah Fajar.

Dikerjakan pagi atau siang hari, seperti Shalât Isyrâq, Dhuhâh, dua hari raya (Id), Qadha’ Tahajjud, Istisqâ’ (memohon turunnya hujan), Kusûf (siang hari ketika ada gerhana matahari)

Dikerjakan siang atau malam, seperti: Shalât Taubat, shalât Hâjat, shalât sunnah Ihrâm, shalât sunnah Thawâf, shalât sunnah Safar, shalât sunnah Mutlaq

Dalil:

ن الفجر كان مشهودا ن� قر+ 4ن الفجر ا �یل وقر+ لى غسق ا!ل

4مس ا لاة لدلوك الش� +�قم الص�

Dirikanlah shalât dari sesudah matahari tergelincir sampai gelap malam dan (dirikanlah pula shalât) subuh[*]. Sesungguhnya shalât subuh itu disaksikan (oleh Malaikat). (QS. Al Isrâ’ (17): 78).

Page 149: Ringkasan Fiqh shalât - MRKR

148

[*] Ayat ini menjelaskan waktu-waktu shalât yang lima. Tergelincir matahari untuk waktu shalât Dhuhur dan Ashar, gelap malam untuk waktu Maghrib dan Isya dan Fajar (Subuh). Waktu-waktu Tahrîm atau waktu yang "DILARANG" untuk mengerjakan shalât: 1. Sesudah shalât Subuh hingga syuruq (terbitnya) matahari. 2. Ketika matahari terbit hingga naik setinggi ujung tombak (kurang lebih 4-5 meter) menurut

penglihatan mata. 3. Ketika matahari berada di puncak (tepat tengah hari) hingga bergeser ke arah barat. 4. Sesudah Shalât Ashar hingga ghurub (terbenam) matahari. 5. Ketika matahari mulai menguning menjelang terbenam, hingga terbenam. Sebagaimana hadîts Rasûlullâh :

�یثي� +� �ه سمع +�M سعید الgدري� یقول قال رسول ا!ل�ه صل�ى ا!له �لیه وسل�م +�LXرني عطاء -ن �زید ا!ل لاصلاة :نمس مس ولا صلاة بعد صلاة الفجر ح1�ى تطلع الش� بعد صلاة العصر ح1�ى تغرب الش�

Telah mengabarkan kepada saya, Atha' ibn Yazîd Al-Laitsî sesungguhnya telah mendengar Abû Sa’îd al-Khudrî � berkata, Rasûlullâh bersabda: "Tidak ada shalât setelah Ashar hingga matahari tenggelam, dan tidak ada shalât setelah Subuh hingga matahari terbit." (Shahîh Bukhârî (586,1864), Muslim (827) dan yang lainnya.) Dalam sebuah hadîts yang diriwayatkan Muslim, dijelaskan:

�ــه صــل�ى عن موسى -ن �لي عن +�بیه قال سمعت عقhة -ن �امر الجهني� یقولا ثــلاث ســا�ات كــان رســو ل ا!ل�م ینها� +�ن نصلي فKهن� +�و +�ن نقLر فKهن� مو�� �@ن تطلع مس Mز�ة ح1�ى �رتفع و�ــ@ن یقــوم ا!له �لیه وسل الش�

مس !لغروب ح1�ى تغرب مس و�@ن تضی�ف الش� ه@رة ح1�ى تمیل الش� قائم الظ�Dari Mûsâ bin Alî dari Ayahnya ia berkata, saya mendengar Sahabat 'Uqbah bin 'Amir � berkata: "Tiga waktu dimana Rasûlullâh melarang kita melakukan shalât di dalamnya dan mengubur jenazah sampai terbitnya matahari hingga benar-benar muncul hingga naik, ketika matahari tepat di atas hingga condong, dan ketika matahari mulai menguning hingga terbenam." (Shahîh Muslim)

Pada waktu-waktu tersebut dilarang untuk mengerjakan shalât sebagaimana hadîts:

ــلا ــبح ثــم� +�قصــر عــن الص� لاة قال صل صلاة الص� لمي� +�LXرني عن الص� ة ح1�ــى تطلــع قال عمرو -ن �Lسة الس�یطان وحKنئذ rســ�د Dها تطلع �@ن تطلع ب@ن قرني ش� ن

4مس ح1�ى �رتفع فا ــلاة الش� ن� الص�

4لهــا الكف�ــار ثــم� صــل فــا

ن� حKنئذ ¦سجر جه4لاة فا مح ثم� +�قصر عن الص� ل� Mلر� تقل� الظ Dسr ى�ــل الفــيء مشهودة محضورة ح1hذا +�ق

4ن�م فا

لاة مشهودة محضور ن� الص�4�هــا فصل فا ن

4ــمس فا ــلاة ح1�ــى تغــرب الش� ة ح1�ى تصــلي العصــر ثــم� +�قصــر عــن الص�

یطان وحKنئذ rس�د لها الكف�ار Dتغرب ب@ن قرني ش Amr bin 'Abasah As-Sulamî � berkata, (dalam hadîts yang panjang):" Ya Rasûlullâh, beritakan kepadaku tentang shalât." Beliau menjawab,"Lakukan shalât subuh. Setelah itu, jangan lakukan shalât hingga matahari setinggi tombak. Sebab, matahari itu terbit di antara dua tanduk setan yang saat itu orang-orang kafir sujud kepada matahari itu. Kemudian, shalâtlah sebab shalât ketika itu disaksikan dan dihadiri (malaikat) sampai tombak sama dengan bayangannya. Kemudian jangan lakukan shalât (matahari di atas/di tengah-tengah) sebab ketika itu Jahannam sedang dinyalakan. Ketika bayangannya telah datang shalâtlah, sebab shalât ketika itu disaksikan dan dihadiri (malaikat) sampai shalât ashar, Lalu jangan lakukan shalât sampai matahari terbenam, dan matahari ketika itu terbenam di antara dua tanduk setan, yang ketika itu pula orang-orang kafir sujud kepadanya." (Shahîh Muslim)

Para ulama Mujtahid atau para Imam Mazhab, berbeda pendapat mengenai shalât apa saja yang dilarang dilakukan dalam waktu-waktu tersebut.

Page 150: Ringkasan Fiqh shalât - MRKR

149

Jumhur (mayoritas ulama mazhab Mâlikî, Syâfi’î, dan Hanbalî) mengatakan bahwa yang dilarang adalah shalât-shalât sunnah muthlaq, yaitu shalât sunnah yang tidak memiliki

sebab (�ا سrب ل

.(لا

Shalât di waktu Istiwa’ (tengah hari) juga dilarang kecuali pada hari Jum’at. (Al-Muntaqâ – Sarh Al Muwaththa’ – Fasal larangan dari Nabi untuk shalât pada waktu-waktu tertentu). Syekh ‘Abdurrahman Al-Jazirî menjelaskan dalam kitabnya:

أما الصلاة التي لها سبب متقدم عليها كتحية المسجد وسنة الوضوء، وركعتي الطواف، فإنها تصح لطواف، والوضوء،ودخول المسجد، وكذا بدون كراهة في هذه الأوقات لوجود سببها المتقدم، وهو ا

الصلاة التي لها سبب مقارن، كصلاة الاستسقاء، والكسوف، فإنها تصح بدون كراهة أيضا لوجود سببها المقارن، وهو القحط، وتغيب الشمس؛ أما الصلاة التي لها سبب متأخر كصلاة الاستخارة والتوبة،

فإنها لا تنعقد لتأخير سببها “Adapun shalât sunnah yang memiliki sebab Mutaqaddim (sebab yang mendahului), seperti shalât tahiyatul masjid, shalât sunnah wudlu’, dan dua rakaat shalât sunnah thawâf, adalah sah tanpa makruh dilakukan pada waktu-waktu terlarang, karena adanya sebab yang mendahului, yaitu thawâf, wudlu’, dan masuk masjid. Demikian pula shalât yang memiliki sebab Muqârin (sebab yang membarengi), seperti shalât istisqâ’ dan shalât kusûf atau gerhana, juga sah dilakukan pada waktu terlarang karena ada sebab yang menyertai, yaitu kekeringan dan menghilangnya matahari. Sedangkan shalât sunnah yang memiliki sebab Mutaakhir (sebab yang muncul belakangan), seperti shalât sunat istikhârah dan shalât sunnah taubat tidak sah karena belakangannya sebab.” (Al-Fiqhu ‘ala Madzâhibil Arba‘ah, I/ 336).

Maka, shalât sunnah gerhana, shalât istisqâ’, shalât jenazah, shalât tahiyatul masjid, dan shalât syukrul wudlu tergolong ke dalam kategori pertama dan kedua. Semua shalât itu memiliki sebab Mutaqadim dan Muqârin sehingga boleh ditunaikan kapan saja, bahkan pada waktu-waktu terlarang sekalipun. Sedangkan shalât sunnah Hajat, shalât istikhârah, shalât taubat, dan shalât tasbih—meskipun shalât tasbih ini tidak bergantung pada sebab dan waktu—tergolong ke dalam kategori ketiga karena memiliki sebab Mutaakhir sehingga tidak boleh dilakukan pada waktu-waktu terlarang (Waktu Tahrîm)

Sedangkan melakukan shalât-shalât fardlu, atau mengqadha' shalât fardlu, tidak dilarang di dalam waktu-waktu tersebut.

Apakah batal shalât pada waktu-waktu tersebut?

�تي لا سLب لها، بل �كره تحریما +�و ت�زیها لاة ال )Mب الصلاة -شرح البه�ة الوردیة(فلا تبطل الص�

Tidak batal shalât yang tanpa sebab untuk dikerjakan (pada waktu-waktu tersebut), tapi dihukumi Makruh Tahrîm atau Makruh Tanzîh. Namun Imam Hanafî mengatakan bahwa shalât apapun tidak akan sah bila dilakukan dalam waktu-waktu tersebut.

Page 151: Ringkasan Fiqh shalât - MRKR

150

Waktu-waktu Shalât

Waktu-waktu yang makruh untuk mengerjakan Shalât Sunnah Waktu-waktu yang makruh mengerjakan shalât sunnah adalah: Setelah shalât Subuh, Setelah shalât Ashar, Ketika khatib telah mulai khutbah, Ketika sedang iqâmat untuk shalât jamaah, Sebelum shalât 'Id dan setelah shalât 'Id di masjid.

Waktu Tahrîm dan waktu makruh tersebut berlaku di manapun termasuk di Madinah dan Jeddah.

Kecuali di Baitullah – Masjidil Haram- Mekkah, boleh shalât pada setiap waktu dan tidak Makruh, sebagaimana hadîts :

ي +�ي� ذا ال عن جh@ر -ن مطعم یبلغ به الن�ب(ي� صل�ى ا!له �لیه وسل�م قال لا تمنعــوا +��ــدا یطــوف بهــ ب@ــت ویصــل سا�ة شاء من لیل +�و نهار

Dari Jubair Ibn Muth'im � menyampaikan hadîts Nabi : "Janganlah kalian melarang seseorang untuk Thawâf dan shalât di Baitullâh pada waktu kapan saja, siang ataupun malam hari." (Sunan Abû Dâwud dan At Tirmidzî).

Arti “Setinggi Tombak” atau [ در رمح [ق

Ada informasi dari hadîts Jundab �, hadîts marfu’ yang membedakan waktu pelaksanaan shalât ‘Idul fitri dan ‘Idul adha, kalau ‘Idul fitri saat matahari naik/tingginya seukuran dua tombak, adapun ‘Idul adha saat matahari naik/tingginya seukuran satu tombak :

مس �لى قKد رمw@ن وا��ضحى �لى قKد رمح كان الن�ب(ي� یصلي بنا یوم الفطر والش�“Adalah Nabi shalât meng-imami kami pada hari ‘idul fitri dalam keadaan matahari tingginya seukuran dua tombak dan pada hari ‘idul adha dalam keadaan matahari tingginya seukuran satu tombak.” (Hadîts ini diriwayatkan dalam Al-Adhahî oleh Al-Hasan ibn Ahmad

Page 152: Ringkasan Fiqh shalât - MRKR

151

Al-Banna- Ahli fiqih dan muhaddits bermazhab Hanbalî, wafat 471 H.) (Syadzaratudz Dzahab, 3/338-339; Talkhîsul Habir, II/83 No: 684)) Ukuran satu tombak adalah lama waktu sekitar waktu 16 menit setelah matahari terbit.

دقيقة. ١٦قدر رمح أي ما يساوي صلاة الضحى. وقتها: من ارتفاع الشمس قدر رمح إلى الزوال. ].١٩٢و ٢٨٤ص ١التقريرات السديدة ج [.والله أعلم

Shalât Dhuha, waktunya adalah: ukuran kira-kira satu tombak maksudnya satu tombak dalam pandangan mata, yaitu naiknya matahari ke atas seukuran satu tombak setelah dia muncul/terbit menuju waktu Zawâl (Dhuhur) atau 12 jengkal.

قدر رمح [+ي] في ر+>ي الع@ن Satu tombak ialah dalam (seukuran dengan) pandangan mata.

Dalam Kitab Fiqhul Islâmi wa Adillatuhu, 1/593-594 dijelaskan cara mengukur matahari pada posisi satu tombak :

م أو سبعة أذرع في 2,5 وطول الرمح : حتى ترتفع قدر رمح أي بعد طلوعها بمقدار ثلث ساعة رأي العين تقريبا، وقال المالكية: اثنا عشر شبرا

Ukuran kira-kira satu tombak adalah naiknya matahari ke atas seukuran satu tombak setelah dia muncul/terbit seukuran sepertiga jam atau 20 menit. Panjang satu tombak kira-kira adalah 2,50 m, atau 7 dzira’/hasta dalam pandangan mata. Menurut ulama’ Mâlikîyah, satu tombak adalah 12 jengkal, atau jika dikonversi ke satuan waktu = sepertiga jam atau 20 menit.

Menurut Kementrian urusan Dakwah dan Islam Saudi Arabiah, bahwa matahari pada posisi satu tombak adalah kira-kira 1 meter. Jika dkonversi ke satuan waktu adalah sekitar ¼ jam atau 1/3 nya.

من طلوع الشمس حتى ترتفع قدر رمح في رأي العين، وهو قدر متر تقريبا، :الثانيويقدر بالوقت بحوالي ربع الساعة أو ثلثها. فإذا ارتفعت الشمس بعد طلوعها قدر رمح

الفقه الميسر في . (ورد في حديث ابن عبسة حتى يعدل الرمح ظله فقد انتهى وقت النهي،

)66ص 1ج ضوء الكتاب والسنة“Waktu terlarang yang kedua adalah dari terbit matahari hinggi naik setinggi satu tumbak dalam pandangan kasat mata, yaitu kira-kira satu meter. Jika dikonversi kepada waktu, kira-kira selama seperempat atau sepertiga jam. Setelah matahari naik satu tombak, maka berakhirlah waktu terlarang. Namun, dalam hadîts riwayat Ibnu ‘Abasah � disebutkan, hingga bayangan tombak sama dengan panjang tumbaknya.” (Al-Fiqhul Muyassar fi Dhauil Kitâb was Sunnah, I/66).

Syekh Sulaimân al-Jamal di dalam kitab Hâsyîyah al-Jamal, II/33, mengutip pernyataan Imam Barmawî yang menyatakan bahwa perkiraan satu tombak adalah 7 dzira’ dengan dzira’nya

manusia. Beliau juga mengutip pernyataan Imam Ibnu Hajar al-Haitamî (ح ج) yang

menyatakan bahwa ketinggian matahari pada posisi kira-kira satu tombak adalah 4 derajat.

Menurut Syekh Hasan bin ‘Ammar (ulama’ madzhab Hanafî) dalam kitab Maraqil Falah, h.149), Dhuha itu adalah nama waktu yang diawali dengan naiknya matahari hingga sebelum tergelincir. Pandangan ini diperjelas oleh Syekh Muhammad bin Abdullâh Al-Kharasyî Al-Mâlikî:

روق. و لها: ضحوة وذ!ك عند الش� وال له ثلاثة +�سماء ف�pو� مس الى الز� �نیها: ضحى ��ن� من طلوع الش�وال. والمراد Mلوقت مقص مس. و�لثها: ضwاء Mلمد وذ!ك الى الز� �ذي ی�سب ور وذ!ك اذا ارتفعت الش� ال

مس وهو مقصور لاة ارتفاع الش� الیه الص�“Sungguh, waktu antara terbit matahari hingga tergelincir terbagi tiga. Pertama, waktu

dhahwah [ وة â]. Waktu itu terjadi pada saat terbit. Kedua, waktu dhuhâ [$�ض] yang

Page 153: Ringkasan Fiqh shalât - MRKR

152

dibatasi dengan naiknya matahari. Ketiga, waktu dhahâ’[ اء â]. Waktu itu (dimulai dari

habis waktu dhuha) hingga tergelincir matahari. Dengan demikian, yang dimaksud waktu yang dinisbahkan pada shalât dhuha adalah waktu di mana naiknya matahari. Naiknya matahari itulah yang menjadi batasnya,” (Al-Kharasyî, Syarh Mukhtashar Khalîl, II/ 4).

Maka, diketahui bahwa waktu antara terbit matahari hingga tergelincir terbagi menjadi tiga waktu:

Pertama, waktu dhahwah [ وة â], yaitu dimulai dari terbitnya matahari hingga naik setinggi

satu tombak. Inilah waktu mulainya shalât Isyrâq.

مس وكانت في ربع النهار من جانب المشرق ان إذا أشرقت وارتفعت قام وصلى ركعتين وإذا انبسطت الش .صلى أربعا

“Rasûlullâh berdiri untuk shalât dua rakaat ketika matahari terbit dan ketika matahari mulai menjulang tinggi dari arah timur, yaitu saat seperempat siang, Rasûlullâh kembali melakukan shalât empat rakaat.” (HR. Tirmidzî).

Kedua, waktu dhuhâ [$�ض], dimulai dari matahari setinggi satu tombak hingga waktu Istiwâ’

(matahari tepat di atas langit). Dari matahari setinggi tombak hingga setinggi dua tombak itulah waktu Shalât Idul Adha (waktu paling awal dhuha). Ketika matahari setinggi dua tombak hingga empat tombak, itulah waktu mulainya shalât Idul Fitri (atau bertepatan dengan waktu shalât Awwâbîn).

ن� رسول ا!له صل�ى ا!له �لیه وسل�م، قال 4اب@ن �@ن �رمض الفصال : ا ]صحیح مسلم[صلاة ا��و�

Sesungguhnya Rasûlullâh bersabda, “Shalât al-Awwâbîn (dhuha) itu pada saat anak-anak unta kepanasan.”(Shahîh Muslim).

Ketiga, waktu dhahâ’ [ اء â], yaitu dimulai dari waktu Istiwâ’ (Matahari tepat di tengah-

tengah/ketika benda tidak ada bayangannya) hingga waktu tergelincir. ۞

Tempat untuk mengerjakan Shalât Sunnah Mengerjakan shalât Tathawwu’, Nâfilah, sunnah hukumnya berpindah dari tempat dimana ia shalât Fardlu, sebagaimana hadîts:

�ه �ــذي صــل�ى فKــه صل�ى ا!له �لیه وسل�م عن المغ@رة -ن شعبة قال قال رسول ا!ل مــام فــي الموضــع ال4لا یصــل الا

ل ح1�ى یتحو�Dari Mughîrah bin Syu’bah �, Rasûlullâh berkata: Janganlah Imam shalât (sunnah) di tempat ia Shalât wajib tetapi hendaklah bergeser (berpindah tempat).” (Sunan Abi Dâwud).

Menurut pendapat Imam Mazhab :

Hanafî/ ����ـــ�� Mâlikî/ ��ـــ� �� Syâfi’î/ ��ـــ� �� Hanbalî/ ������ـــ�

Apabila seseorang melaksanakan sha-lat Fardlu (sebagai Imam), makruh baginya pindah tempat untuk me-laksanakan shalât sunnah. Bagi Makmum boleh tetap di tempatnya semula namun lebih baik ia pindah tempat

Apabila seseorang ingin melaksanakan shalât Rawâtib, maka disunnah ia me-ngerjakannya di Masjid (baik ia tetap di tempat ia shalât fardlu tadi atau berpindah tempat). Namun bila ingin mengerjakan Shalât Ghairu Rawâtib, maka

Bagi yang me-laksanakan sha-lat Fardlu, disunnahkan berpindah tempat bila mengerjakan shalât sunnah. Bila keadaannya penuh sesak/ tidak mungkin untuk berpindah, maka disunnahkan ber-kata-kata di luar amalan shalât ter-lebih dulu

Shalât sunnah Rawâtib maupun Ghairu Rawâtib dan itu shalât sunnah yang tidak disyariatkan ber-jamaah, maka le-bih baik di-kerjakan di rumah dalam keadaan bagaimanapun. Namun bila di-kerjakan di Masjid, boleh tetap di-mana ia shalât Fardlu,

Page 154: Ringkasan Fiqh shalât - MRKR

153

sunnah di-kerjakan di rumah-nya, kecuali ketika di Madinah, sunnah dikerjakan di Masjid Nabawi tersebut.

(seperti “ saya baru selesai shalât fardlu“) baru kemudian ia shalât sunnah.

boleh ber-pindah tempat

Macam macam shalât Sunnah, sendirian atau berJamaah, serta tingkatan hukumnya

A. Dikerjakan sendirian (munfarid)

Shalât Sunnah # Muakkad Ghairu Muakkad

1 Rawâtib

2 Witir

3 Tahajjud

4 Dhuhâh

5 Tahîyyatul Masjid

6 Shalât sebelum dan sesudah safar (bepergian)

7 Shalât Sunnah Thawâf

8 Shalât Sunnah Ihrâm

9 Ghairu Rawâtib 10 Shalât Sunnah Wudlû 11 Isyrâq 12 Awwâbîn (Ghaflah) 13 Hâjat 14 Taubat

Page 155: Ringkasan Fiqh shalât - MRKR

154

15 Istikhârah 16 Tsubûtul îmân 17 Taqwiyatul Hifdh (Hifdhil Qur’an) 18 Shalât Kaffarat (ketika terjadi perselisihan) 19 Shalât Tasbîh 20 Shalât Sunnah Muthlaq 21 Shalât Intidhâr 22 Shalât Isti’âdzah 23 Shalât lil Uns (Hadiyatul Uns)

B. Dikerjakan berJamaah Shalât Sunnah # Muakkad Ghairu Muakkad 1 Witir (di bulan Ramadhân)

2 Tarâwîh

3 Shalât Idain (dua hari raya)

4 Khusûf (Gerhana Bulan)

5 Kusûf (Gerhana Matahari)

6 Istisqâ’ (memohon di-turunkan hujan)

7 Shalât Tasbîh berJamaah Daftar shalât sunnah tersebut di atas adalah berdasarkan referensi dari Kitâb -Kitâb Fiqh Empat

Madzhab (Hanafî, Mâliki, Syâfi’î dan Hanbalî). Namun bila menggunakan referensi Kitâb -Kitâb Fiqh

Madzhab Ja’fari, macam-macam shalât sunnah ada 70 macam shalât.

Shalât-Shalât Sunnah (Shalât Sunnah yang dikerjakan tanpa berjamaah)

1.Shalât Isyrâq Shalât Isyrâq adalah shalât sunnah yang mempunyai waktu (dzatul waqti) dikerjakan pada permulaan shalât Dhuhâ, di mana waktu shalât Dhuhâ itu dimulai dari terbitnya matahari. Hadîts Nabi dalam Sunan At-Tirmidzî:

�م من صل�ى الغ �ه صل�ى ا!له �لیه و سل �ــه عن +��س -ن ما!ك قال قال رسول ا!ل داة في جما�ــة ثــم� قعــد یــذكر ا!لة وعمرة مس ثم� صل�ى ركعت@ن كانت له ك�pجر ح�� ــة ح1�ى تطلع الش� �م �م� �ه صل�ى ا!له �لیــه و ســل قال رسول ا!ل

ة ة �م� �م�Dari Anas bin Mâlik � berkata, Rasûlullâh bersabda: "Siapa yang shalât shubuh berjamaah lalu duduk berdzikir hingga terbitnya matahari (Isyrâq) maka baginya pahala bagaikan pahala haji dan umrah, sempurna, sempurna, sempurna.” (HR. At-Tirmidzî hadîts no.586).

Hukum Shalât Isyrâq Shalât Isyrâq dihukumi sunnah, dilakukan saat terbitnya matahari kira-kira setinggi tombak (15 menit setelah syuruq/terbitnya matahari). Sebagaimana keterangan dalam Tuhfah al-Muhtâj Fî Syarh al-Minhâj – Bab fî Shalât Nâfilah.

Page 156: Ringkasan Fiqh shalât - MRKR

155

ــه مــام الس�4حى ووقع في عوارف المعــارف للا شراق بعد خروج وقت الكراهة وهي �@ر الض�

4روردي ان� مــن الا

مس وارتفاعها كرمح یصلي بعد ذ �ه الى طلوع الش� بح یذكر ا!ل �ــه Uلس بعد الص� !ل M تعاذة Dــة الاســ�K�ك ركعت@ن ب!تgارة لكل عمل یعمله في یومه ولیل Dة الاس�K�ركعت@ن ب �ته من شر یومه ولیلته ثم

Isyrâq adalah saat sesudah keluar dari waktu makruh dan bukan shalât Dhuhâ sebagaimana disebutkan dalam Awârifil Ma'ârif, Imam As-Suhrawardî: Sesungguhnya siapa yang duduk sesudah shalât Shubuh, berdzikir kepada Allâh hingga terbit matahari dan meninggi hingga setinggi tombak, kemudian sesudah itu, shalât dua rakaat dengan niat mohon perlindungan kepada Allâh dari keburukan hari siang dan malamnya kemudian shalât dua rakaat dengan niat Istikhârah untuk tiap amal perbuatan pada hari siang dan malamnya.

Ada keterangan dalam Tafsîr At-Thabarî, yaitu hadîts dari Ibn ‘Abbâs ر ھ عRSما

! الل gh :

حى ح1�ى +�دXلناه �لى +kم هانئ فقالت لهــا : +�LXــري ا-ــ ي الض� ن عب�ــاس بمــا +�LXرت@[ــا +�ن� ا-ن عب�اس كان لا یصل�ه صل�ى ا!له �لی « به، فقالت +kم� هانئ: ــحى ثمــان ركعــات دXل رسول ا!ل �م في ب@1ي فصل�ى صــلاة الض� » ه و سل

ــا�ة « فخــرج ا-ــن عب�ــاس، وهــو یقــول : لا� الس�4شــراق ا

4» لقــد قــر+>ت مــا بــ@ن ا!لــو�@ن فمــا عرفــت صــلاة الا

شراق) ،4حن Mلعشي والا ب Dسr) :اس�قال ا-ن عب �شراق «ثم

4وقــد روى عبــد ا!لــه -ــن عبــاس عــن +م « » هذه صلاة الا

»هانئ �دیثا +خر Bahwa sesungguhnya Ibnu ‘Abbâs

ـــھ عRSمــا

! الل gــhر tidak shalât Dhuhâ. Ia bercerita, lalu aku

membawanya menemui Ummu Hani’ dan saya katakan : “Beritahukan kepadanya apa yang telah engkau beritahukan kepadaku”. Lalu Ummu Hani berkata : “Rasûlullâh pernah masuk ke rumahku untuk mengerjakan shalât delapan rakaat, Kemudian Ibnu ‘Abbâs keluar seraya berkata : “Aku pernah membaca di antara dua papan, aku tidak pernah mengenal shalât Isyrâq kecuali sekarang. {Untuk bertasbîh bersamanya (Dâwud) di waktu petang dan pagi” [Shâd (38) : 18]} Kemudian dia berkata : “Itulah shalât Isyrâq.” (Diriwayatkan oleh Ath-Thabarî di dalam Tafsîrnya dan Al-Hakim).

Perhatian!!: Shalât Isyrâq ini hampir berdekatan dengan waktu Tahrîm /waktu yang dilarang untuk shalât, maka ketetapan para fuqâha berdasarkan dalil-dalil yang ada, adalah setelah matahari setinggi tombak atau kurang lebih 1 jam 30 menit + 15 menit dari waktu shalât shubuh

Namun, Ibn ‘Abbâs

ـھ عRSمـا

! الل gـhر juga mengatakan,” shalât Isyrâq itu shalât Dhuhâ, sebagaimana

dalam Kitâb Fathul Mu’în-lil Malibârî– Pasal Shalât Nafil, disebutkan:

شراق} قال ا-ن 4حن Mلعشي والا ب Dسr} حى) لقوله تعالى حى (و) rسن� ( الض� شراق صلاة الض�

4 عب�اس صلاة الا

Disunnahkan (shalât Dhuhâ), berdasarkan firman Allâh Ta’âlâ, ”Mereka itu membaca Tasbîh (shalât) di waktu petang dan pagi (QS Shâd: 18). Ibnu ‘Abbâs

ـھ عRSمـا

! الل gـhر mengatakan:”shalât

Isyrâq itu shalât Dhuhâ.“

Jumlah Rakaat Shalât Isyrâq 2, 4 atau 6 Rakaat Tata cara Shalât Isyrâq Membaca Basmalah, berniat shalât Isyrâq dengan lafadz:

ن�ة Dي س شراق +kصل4�ه تعالى الا تقhل القhلة !ل Dر - ركعت@ن مسLه +�ك� ا!ل

Usallî sunnatal Isyrâqi rak‘ataini mustaqbila al-qiblati lillâhi ta‘âlâ- Allâhu Akbar. Saya berniat shalât Sunnah Isyrâq dengan menghadap kiblat , karena Allâh Ta’âlâ

Tata cara dan bacaan shalâtnya: Pada rakaat pertama, setelah membaca Al Fâtihah, membaca surat al-Kâfirûn atau An Nûr (24): 35,

Page 157: Ringkasan Fiqh shalât - MRKR

156

UاUــة ك ماوات وا��رض م¡ل نوره كمشكاة فKها مصباح المصباح في زUاUــة الز� �هــا كوكــب دريÓ ا!ل�ه نور الس� �pنء ولو لم تمسســه �ر نــور �لــى نــور یهــدي یوقد من شجرة مhاركة زیتونة لا شرقK�ة ولا غربی�ة �كاد زیتها یضي

�ه -كل شيء �لیم �ه ا��م¡ال !لن�اس وا!ل )35( ا!ل�ه لنوره من rشاء ویضرب ا!ل

Allâh (Pemberi) cahaya (kepada) langit dan bumi. perumpamaan cahaya Allâh, adalah seperti sebuah lubang yang tak tembus[*], yang di dalamnya ada pelita besar. pelita itu di dalam kaca (dan) kaca itu seakan-akan bintang (yang bercahaya) seperti mutiara, yang dinyalakan dengan minyak dari pohon yang berkahnya, (yaitu) pohon zaitun yang tumbuh tidak di sebelah timur (sesuatu) dan tidak pula di sebelah barat(nya)[**], yang minyaknya (saja) Hampir-hampir menerangi, walaupun tidak disentuh api. cahaya di atas cahaya (berlapis-lapis), Allâh membimbing kepada cahaya-Nya siapa yang Dia kehendaki, dan Allâh memperbuat perumpamaan-perumpamaan bagi manusia, dan Allâh Maha mengetahui segala sesuatu. [*] Yang dimaksud lubang yang tidak tembus (misykat) ialah suatu lobang di dinding rumah yang tidak tembus sampai kesebelahnya, biasanya digunakan untuk tempat lampu, atau barang-barang lain. [**] Maksudnya: pohon zaitun itu tumbuh di puncak bukit ia dapat sinar matahari baik di waktu matahari terbit maupun di waktu matahari akan terbenam, sehingga pohonnya subur dan buahnya menghasilkan minyak yang baik.

Pada rakaat kedua setelah membaca Al-Fâtihah, membaca surat al-Ikhlâs atau QS An Nûr (24): 36-37

صــال ح له فKهــا Mلغــدو وا� ب Dسr ها اسمهKه +�ن �رفع ویذكر ف�ــال لا تلهــیهم ت�ــارة ولا )36(في بیوت +�ذن ا!لUركاة یgافون یوما یgافون یوما تتقل�ب فKه اب یتاء الز�

4لاة وا قام الص�

4بصار یع عن ذكر ا!ل�ه وا )37( لقلوب وا��

Bertasbîh[***] kepada Allâh di masjid-masjid yang telah diperintahkan untuk dimuliakan dan disebut nama-Nya di dalamnya, pada waktu pagi dan waktu petang. Laki-laki yang tidak dilalaikan oleh perniagaan dan tidak (pula) oleh jual beli dari mengingati Allâh, dan (dari) mendirikan sembahyang, dan (dari) membayarkan zakat. mereka takut kepada suatu hari yang (di hari itu) hati dan penglihatan menjadi goncang. [***] Yang bertasbîh ialah laki-laki yang tersebut pada ayat 37 berikut.

Bila shalât Isyrâq dilakukan empat rakaat dengan satu tahiyyat dan satu salam, atau 4 rakaat dengan dua tahiyyat dan dua salam, disunnahkan pada rakaat pertama membaca ad Dhuhâ dan al-Insyirah, dan rakaat ketiga dan keempat adalah surat al-Kâfirûn dan surat al-Ikhlâs.

Namun bagi yang melakukannya sebanyak empat rakaat dengan satu tahiyyat dan satu salam, maka membaca surat hanya pada rakaat pertama dan kedua, sedangkan pada rakaat ketiga dan keempat hanya membaca Surat Al-Fâtihah saja.

Sebaiknya shalât Isyrâq dilakukan enam rakaat : Dua Rakaat shalât Isyrâq, dengan niat shalât Isyrâq Dua Rakaat Shalât Isti’âdzah, dengan niat Shalât Isti’âdzah

ن�ة Dي س تعاذة +kصل Dس4�ه تعالى الا تقhل القhلة !ل Dر - ركعت@ن مسLه +�ك� ا!ل

Usallî sunnatal Isti’âdzati rak‘ataini mustaqbila al-qiblati lillâhi ta‘âlâ- Allâhu Akbar. Saya berniat shalât sunnah Isti’âdzah dengan menghadap kiblat , karena Allâh Ta’âlâ

Dua Rakaat (Isyrâq dan Istikhârah) atau Istikhârah, contoh niatnya:

ن�ة Dي س تgارة +kصل Dس4شراق مع الا

4تقhل القhلة !ل�ه تعالى الا Dر - ركعت@ن مسLه +�ك�ا!ل

Usallî sunnatal Isyrâqi ma’al istikhârah rak‘ataini mustaqbila al-qiblati lillâhi ta‘âlâ- Allâhu Akbar. Saya berniat shalât sunnah Isyrâq beserta istikhârah dengan menghadap kiblat , karena Allâh Ta’âlâ

Kemudian berdoa memohon perlindungan kepada Allâh dari keburukan hari itu baik pada siang maupun malamnya:

Page 158: Ringkasan Fiqh shalât - MRKR

157

�هــم� ارزق[ــي X@ــر هــذا ال مس من مطلعها ا!ل �ذي جعل الیوم �افKة وUاء الش� ه الحمد !له ال یــوم وادفــع عنــي شــر�رت ا��رض بنور شمسك ابدا ر قلب(ي بنور هدایتك كمانو� حم@ن ا!ل�هم� نو -رحمتك o ارحم الر�

“Segala puji bagi Allâh, yang telah menjadikan hari ini sejahtera dan telah terbit matahari dari tempatnya. Ya Allâh, berilah aku kebaikan hari ini dan jauhkanlah dariku keburukan hari ini. Ya Allâh, terangilah hatiku dengan cahaya hidayah-Mu, sebagaimana telah Engkau sinari bumi dengan sinar matahari-Mu terus menerus, dengan rahmat-Mu, wahai dzat Yang Paling Pengasih di antara semua yang mengasihi.”

Doa sesudah Shalât Sunnah Isyrâq dari Syekh Nawâwî Al-Bantânî:

ور وكتاب مسطور في رق م�شور والب@ت المعمور. +�س�p!ك +�ن �رز ا! ق[ي نورا, ل�هم� o نور الن�ور Mلط�لیك و+�دل به �لیك, ویصحبني في حKاتي وبعد الانتقال من ظلام م

4تهدي به ا Dمس +�س شكاتي. و+�س�p!ك Mلش�

وهام ولا اها +�ن تجعل شمس معرف1ك مشرقة ب(ي لا یحجبها غیم ا�� یعqریها كسوف وضwاها ونفس وما سو�شراق و

4�هم� اغفر لنا ولوالدینا قمر الوا�دیة عند الت�مام, بل +�دم لها الا هور. ا!ل م والد� �o��هور �لى ممر ا الظ�

Lن د Xاتم ا�� ید� محم� Dلى س� �هم� خواننا في ا!له +�حKاء و+�موا� +�جمع@ن. وصل ا!ل4!له Kاء والمرسل@ن. والحمد ولا

رب العالم@ن

Ya Allâh, Wahai Nûr atas segala nûr. (Aku memohon kepada-Mu demi Firman-Mu) Demi gunung (Sinai). Dan Demi Kitab yang ditulis. Pada lembaran yang terbuka. Dan Demi Baitul Ma'mur. Aku memohon kepada-Mu, limpahkanlah "nûr" kepadaku yang bisa aku gunakan untuk mendapati petunjuk dan dalil kepada-Mu, dan senantiasa menemaniku salam hidupku, dan sesudah berpindahku dari kegelapan lenteraku. Ya Allâh, aku memohon kepada-Mu (demi Firman-Mu) Demi matahari dan sinarnya pada pagi hari. Dan demi jiwa serta penyempurnaannya. Hendaknya Engkau jadikan matahari ma'rifat-Mu selalu bersinar padaku. Tidak tertutupi oleh mendung keraguan. Dan tidak terkena gerhana purnama Wahidiyyah saat sempurnanya. Namun kekalkanlah sinarnya dan nampak jelasnya selama beredarnya waktu dan bulan. Ya Allâh, ampunilah kami, orang-orang tua kami, saudara-saudara kami seagama, yang hidup maupun yang sudah meninggal, semuanya ya Allâh. Dan limpahkanlah pula Ya Allâh, rohmat ta'dhim-Mu kepada junjungan kami Baginda Nabi Muhammad , pamungkasnya para Nabi dan Rasul. Dan segala puji hanya milik Allâh Tuhan alam semesta. Perbedaan pendapat para ulama’ terkait praktik Shalât Sunnah Isyrâq Terkait shalât sunnah Isyrâq dan shalât sunnah Dhuhâ, apakah dua jenis shalât Sunnah yang berbeda atau shalât Sunnah yang sama.

حى ) وهي صلاة الإشراق كما أفتى به الوالد ا هـ شرح م ر وعبارة سم على المن ( هج قوله وكالضحى ا هـ( م ر فرع ) المعتمد أن صلاة الإشراق غير صلاة الض 247)ص 2ج 8-1حاشية الجمل على شرح المنهج (

Imam Ibnu Hajar al-Haytamî memilih pendapat Isyrâq itu adalah Dhuhâ, berdasarkan hadîts riwayat Ibnu ‘Abbâs �. Imam Ghazâlî memilih pendapat Isyrâq itu bukan Dhuhâ. (Hâsyîyah al-Jamal ‘ala syarhil Minhâj, 2/247). Ada khilâf terkait praktik shalât Sunnah Isyrâq, Pertama, menurut pendapat Syekh Muhammad Mukhtâr Asy-Syinqîthî adalah sesuai teks dari hadîts:

ثم� قعد من صل�ى الغداة في جما�ة ، :+�س -ن ما!ك رضي ا!له عنه قال : قال رسول ا!له صلى ا!له �لیه وسلم عنة وعمرة ) مس،ثم� صل�ى ركعت@ن، كانت له ك�pجر ح�� ) صحیح س�ن الqرمذي(یذكر ا!ل�ه ح1�ى تطلع الش�

Page 159: Ringkasan Fiqh shalât - MRKR

158

Dari Anas bin Mâlik � Rasûlullâh bersabda: “Siapa yang shalât Shubuh berjamaah lalu dia duduk untuk berdzikir kepada Allâh hingga terbit matahari kemudian shalât dua rakaat maka dia seperti mendapatkan pahala haji dan umrah.” Anas berkata: Rasûlullâh bersabda: “Sempurna, sempurna, sempurna.” (HR. At Tirmidzî No. 586, hasan gharib. Al Baghawî dalam Syarhus Sunnah No. 710).

أولها: أن يصلي الفجر في جماعة، فلا يشمل من صلى منفردا،وظاهر الجماعة يشمل جماعة المسجد وجماعة السفر وجماعة الأهل إن تخلف لعذر،كأن يصلي بأبنائه في البيت، فيجلس في

. مصلاهPertama, Shalât Subuh berjamaah, maka tidak termasuk yang shalât sendiri. Jamaah yang dimaksud mencakup jamaah di masjid, jamaah saat safar, jamaah bersama keluarga jika ia tertinggal karena ‘udzur, (maka boleh) misal ia shalât bersama anak-anaknya di rumahnya lalu ia duduk berdzikir di tempat shalâtnya.

لم يحصل له هذا الفضل،وهكذا لو جلس خاملا ينعس ، فإنه لا ثانيا: أن يجلس يذكر الله،فإن نام يحصل له هذا الفضل ، إنما يجلس تاليا للقرآن ذاكرا للرحمن ،أو يستغفر، أو يقرأ في كتب العلم،أو يذاكر في العلم، أو يفتي،أو يجيب عن المسائل ، أو ينصح غيره ،أو يأمر بالمعروف وينهى عن

. يذكر الله : أو نميمة لم يحز هذا الفضل ؛ لأنه إنما قالالمنكر،فإن جلس لغيبة Kedua, Duduk berdzikir kepada Allâh. Jika dia duduknya untuk tidur, maka tidak mendapatkan keutamaannya. Begitu pula bagi yang duduk dan malas-malasan, tidak dapat keutamaan yang dimaksud. Sesungguhnya duduknya adalah untuk membaca Alquran, istighfar, membaca kitab, atau diskusi ilmiah, atau berfatwa, menjawab banyak persoalan, atau menasihati orang lain -mendengarkan mauidhatul hasanah/ceramah agama-, atau amar ma’ruf nahi munkar. Tapi jika duduknya untuk ghibah, namimah [adu domba], maka tidak dapat keutamaan ini. Sebab Nabi mengatakan: “Berdzikir kepada Allâh.”

الأمر الثالث: أن يكون في مصلاه، فلو تحول عن المصلى ولو قام يأتي بالمصحف، فلا يحصل له هذا ) "انتهى من "شرح زاد المستقنع للشنقيطي(الفضل

Ketiga, Hendaknya dia di tempat shalâtnya. Jika dia berpindah tempat dari tempat shalâtnya walau hanya untuk bangun mengambil mushaf, maka itu tidak dapat keutamaan.

Pendapat kedua, merupakan pendapat Syekh ‘Alî bin Sulthân Muhammad al-Qârî:

اي استمر في مكانه ومسجده الذي صلى فيه فلا ينافيه القيام لطواف أو لطلب علم أو مجلس وعظ العلامة علي بن سلطان (لذكر حتى تطلع الشمسفي المسجد بل وكذا لو رجع إلى بيته واستمر على ا

)770ص 2ج مرقاة المفاتيح - محمد القاري Yaitu melanjutkan dzikir di tempatnya atau di masjidnya di mana ia shalât di dalamnya, ini tidak menafikan berkeliling di situ, atau menuntut ilmu, atau majelis nasihat di masjid, bahkan demikian juga bagi yang pulang ke rumah lalu dia melanjutkan dzikir di rumahnya sampai terbit matahari. (Mirqâh al-Mafâtih, 2/770).

۞

2.Shalât Awwâbîn (Ghaflah) Shalât Awwâbîn, yaitu shalât sunnah yang dikerjakan antara waktu maghrib dan waktu Isyâ’ dengan jumlah rakaat sebanyak dua hingga 20 (dua puluh) rakaat. Hukum Shalât Awwâbîn: sunnah, berdasarkan hadîts :

�ــه عن �اÎشة عن الن�ب(ي صل�ى ا!له �لیه و سل�م قال من صل�ى بعــد المغــرب عشــر�ن ركعــة بنــى لــه ب@1ــا فــي ا!ل قال +�بو �@سى �دیث غریب -الجن�ة

Dari ‘Âisyah ا�ھ ع<� الل dari Nabi beliau bersabda :"Siapa yang shalât sesudah Maghrib 20 , ر��

rakaat, Allâh membuatkan untuknya rumah di surga." (Sunan At-Tirmidzî, Ibn Mâjah) berkata Abû Isa, Hadîts Gharîb). Dalam Hâsyîyah I’ânatuth Thâlibîn alâ hal alfâdh Fathul Mu’în, Syekh Dimyâthî mengutip hadîts:

Page 160: Ringkasan Fiqh shalât - MRKR

159

ل ب@[هن� -كلام �دلن له ع اث1�ي بادة قال الن�ب(ي� �لیه السلام من صل�ى بعد المغرب ست� ركعات لا یفصنة Dرمذي. وقال هذا �دیث غریب .عشرة سqرواه ال

+ب(ي -كر ا-ن السDید محمد شطا الدمKاطي-�اشDیة ا�انة الطالب@ن �لى �ل +لفاظ ف1ح المع@نNabi beliau bersabda :"Siapa yang shalât sesudah Maghrib enam rakaat saja tanpa diselingi bercakap-cakap, maka pahalanya sebanding dengan ibadah dua belas tahun. (HR At Tirmidzî dan beliau berkata ini hadîts Gharib). Kata 'Awwâbîn' berasal dari bahasa Arab yang berarti orang yang bertaubat. Ada perbedaan pendapat mengenai shalât ini dikalangan para ulama. Ada yang mengatakan bahwa shalât Awwâbîn dilakukan antara waktu Maghrib dan Isyâ’, sementara yang lain mengatakan shalât Awwâbîn adalah nama lain dari shalât Dhuhâ. Adapun lafadz niatnya:

اب@ن ى صلاة ا�و� تقhل القhلة ركعت@ن اصل Dه تعالى مس� �ه +�كLر - !ل ا!لUsallî shalâtal awwabîn rak‘ataini mustaqbila al-qiblati lillâhi ta‘âlâ- Allâhu Akbar. “Aku niat mengerjakan shalât sunnah Awwâbîn dua rakaat karena Allâh Ta’âlâ.” Tata cara Shalât Awwâbîn Tata caranya sama dengan shalât- sunnah lainnya, tiap dua rakaat salam, dan setiap rakaat, setelah surat al-fâtihah membaca surat-surat Alquran dengan tartib mushaf (rakaat pertama, surat yang dibaca adalah surat alquran dengan nomer yang lebih kecil dari rakaat berikutnya, dan seterusnya). Misalkan rakaat 1 membaca Alhakumut takâtsur (QS At Takâtsur (102)) maka Rakaat 2 membaca Wal Ashri (QS Al Ashr (103)). Makruh hukumnya bila tidak sesuai Tartib Mushaf. (Fiqh Islam wa Adillatuhu, I'ânatuth Thâlibîn).

۞

3. Shalât Witir

Shalât witir adalah "shalât ganjil", yang didasarkan pada hadîts:

�ه عنه قال قال رسول ا!ل�ه صلى ا!له �لیه وسلم �ــ عن �لي رضي ا!ل ن� ا!ل4ه و�ــر یحــب� o +�هل القر+ن +�و�روا فــا

الو�ر Dari Alî bin Abi Thâlib � berkata, Rasûlullâh bersabda: "Wahai ahli Qur'an (shalâtlah) witir karena sesungguhnya Allâh adalah witir [ganjil] dan mincintai witir.” (HR. Abû Dâwud dan Musnad Ahmad).

Shalât ini dimaksudkan sebagai pemungkas waktu malam untuk "mengganjili" shalât-shalât yang genap. Karena itu, dianjurkan untuk menjadikannya sebagai akhir atau penutup shalât malam. Hukum Shalât Witir: Di antara mazhab fiqh, hanya Abû Hanifah (Hanafî) yang berpendapat bahwa shalât witir hukumnya wajib.

Di dalam Kitâb Khulâshatul Kalâm, hal 112:

ن�ة مؤك�دة عند �@ره Dة عند +ب(ى ح[یفة وسhصلاة الو�ر واج Shalât witir itu wajib menurut Abû Hanifah dan sunnah yang dikuatkan menurut Imam selain Abû Hanifah.

Sementara imam mazhab yang lain menghukumi sunnah muakkad [sunnah yang benar-benar dianjurkan].

Shalât Witir sunnah dikerjakan sendiri (munfarid) dan afdhal berjamaah pada bulan Ramadhân.

Keutamaan Shalât Witir Shalât witir sangat dianjurkan sebagaimana hadîts :

Page 161: Ringkasan Fiqh shalât - MRKR

160

لي� الن�ب(ي� 4م مــن -صلى ا!له �لیه وسلم عن +�ب(ي هر�رة قال عهد ا �o�+ لى و�ر وصوم ثلاثــة� �لا

4ثلاثة +�ن لا +��م ا

حى ي الض� كل شهر و+�ن +kصلDari Abû Hurairah � Rasûlullâh berkata kepada saya:" Tiga perkara yang harus saya (Abû Hurairah) lakukan yaitu Shalât witir sebelum tidur dan Puasa tiga hari di setiap bulan dan shalât Dhuhâ." (Sunan Tirmidzî). Dan juga hadîts:

ــحى عن +�ب(ي هر�رة قال +�وصاني Xلیلي صلى ا!له �لیه وسلم بثلاث لا +�دعهن� في سفر ولا حضر ركعتــي الض�لا� �لى و�ر وص

4هر و+�ن لا +��م ا م من الش� �o�+ وم ثلاثة

Dari Abû Hurairah �, ia berkata, kekasihku Nabi telah ber-wasiat kepadaku untuk melakukan tiga hal yang tidak akan ku-tinggalkan baik bepergian maupun tidak, yaitu dua rakaat Dhuhâ, Puasa tiga hari setiap bulan dan tidak tidur sebelum melakukan shalât witir. (Sunan Abû Dâwud, Musnad Ahmad, Thabrânî, Baihaqî)

Atau :

رداء قال +�وصاني Xلیلي صلى ا!له �لیه وسلم م بثلاث لا +�دعهــن� لشــيء +�وصــان عن +�ب(ي الد� �o�+ ي بصــیام ثلاثــةفر حى في الحضر والس� بwة الض� Dلى و�ر و�س� �لا

4 من كل شهر ولا +��م ا

Dari Abi Dardâ’ �, ia berkata, ”kekasihku Nabi telah ber-wasiat kepadaku untuk melakukan tiga hal yang tidak akan kutinggalkan, yaitu Puasa tiga hari setiap bulan dan tidak tidur sebelum melakukan shalât witir, dua rakaat Dhuhâ, baik bepergian maupun tidak.” (Sunan Abû Dâwud, Musnad Ahmad, Thabrânî, Baihaqî). Dalam Mushannaf Abdurrazzaq :

ن� 4�ه و�ر یحب� الو�ر o +�هل القر+ن +�و�روا فا ا!ل

"Wahai ahli Qur'an (shalâtlah) witir karena sesungguhnya Allâh adalah witir [ganjil] dan mincintai witir."

Dan pada Kitâb Tuhfatul Muhtâj: �ه تعالى و�ر یحب� الو�ر ن� ا!ل

4 فا

"Karena sesungguhnya Allâh adalah witir [ganjil] dan mencintai wiitr."

Waktu Pelaksanaan dan Jumlah Rakaat: Setelah shalât 'Isya hingga fajar. Dalam Kitâb Fathul Mu’în-lil Malibârî al Fanânî – Pasal Shalât Nafil, disebutkan:

Lgسن� +�ي صلاته بعد العشاء لr (و) (و�ر) واتب الر� ر الو�ر حقÓ �لى كل مسلم وهو +�فضل من جمیع !لgلاف في وجوبه

(Shalât Witir) (dan) disunnahkan maksudnya shalât tersebut, sesudah Isyâ’, sebagaimana hadîts: “Shalât Witir itu hak bagi setiap Muslim. Dan Shalât witir lebih utama dari semua shalât Rawâtib, oleh karena adanya perbedaan yang menyatakan wajibnya (shalât witir tersebut)

Imam Nawâwî dalam Kitab Syarh an-Nawâwî alâ Shahîh Muslim, VI/ 281 mengatakan:”berdasarkan hadîts:

لــه, ومــن سول ا!ل�ه صلى ا!له �لیه وسلمعن Uا-ر قال: قال ر �یــل فلیــو�ر +�و� من Xاف +�ن لا یقوم مــن +خــر ا!ل�یل مشهودة, وذ!ك +�فضل ن� صلاة +خر ا!ل

4�یل, فا رواه مسلم - طمع +�ن یقوم +خره فلیو�ر +خر ا!ل

Dari Jâbir �, ia berkata, ” Rasûlullâh telah bersabda: ” Siapa yang khawatir tidak bangun di akhir malam, maka hendaklah ia mengerjakan shalât witir pada permulaan malam, dan siapa yang berkeinginan kuat untuk bangun pada akhir malam hendaklah ia mengerjakan shalât witir pada akhir malam. Sebab Shalât di akhir malam itu disaksikan (oleh para Malaikat).” (HR Muslim).

Page 162: Ringkasan Fiqh shalât - MRKR

161

Mengakhirkan Shalât witir itu lebih baik bagi yang bisa bangun di akhir malam, dan bagi yang tidak bisa, lebih baik disegerakan untuk dikerjakan.”

Jumlah Rakaatnya: Minimal satu rakaat dan paling banyak 11 (sebelas) rakaat. Sebagaimana hadîts:

�وب ا��نصارى قال قال رسول ا!ل�ه صلى ا!له �لیه وسلم: الو�ر حقÓ �لى كل مسلم، فمن +�حب� عن +�ب(ى +�ی ل بخمس فلیفعل، ومن +�حب� +�ن یو�ر بثلاث فلیفعل، ومن +�حب� +�ن یو�ر بوا�دة فلیفع +�ن یو�ر

Dari Abi Ayyûb al-Anshârî �, ia berkata, ” Rasûlullâh bersabda: ” Shalât Witir itu hak atas setiap muslim, siapa yang suka shalât witir 5 (rakaat) maka kerjakanlah, dan siapa yang suka 3 (rakaat) maka kerjakanlah dan siapa yang suka satu rakaat kerjakanlah.” (Sunan Kubrâ- Al Baihaqî). Tata Cara Shalât Witir 1. Setelah shalât Rawâtib (Ba’dîyah Isyâ’-sebelum tidur), setelah shalât Tahajjud atau setelah

Shalât Tarâwîh (Bulan Ramadhân) berdiri dan berniat Shalât Witir:

�ه تعالى ماما(مp>موما) !ل4تقhل القhلة +�دائا ا Dة ركعت@ن من الو�ر مس�ن Dي س ا!ل�ه +�كLر - +kصل

Usallî sunnatan rak‘ataini minal witri mustaqbilal qiblati lillâhi ta‘âlâ- Allâhu Akbar. Saya berniat shalât Sunnah dua Rakaat dari Witir dengan menghadap kiblat , ada' dan sebagai (Imam/Ma'mum) karena Allâh Ta’âlâ

2. Membaca doa Iftitah atau langsung membaca Basmalah dilanjutkan dengan Surat Al Fâtihah. (Amin).

3. Membaca Surat –Surat dari Alquran – seperti dalam tabel. 4. Pada Rakaat kedua, Al-Fâtihah, surat dari Alquran, salam. 5. Berdiri lagi, berniat lagi untuk satu rakaat Witir :

�ه تعالى ماما(مp>موما) !ل4تقhل القhلة +�دائا ا Dة الو�ر ركعة وا�دة مس�ن Dي س �ه +�كLر - +kصل ا!ل

Usallî sunnatal witri rak‘atan wâhidatan mustaqbilal qiblati lillâhi ta‘âlâ- Allâhu Akbar. Saya berniat shalât Witir satu rakaat dengan menghadap kiblat , ada' dan sebagai (Imam/Ma'mum) karena Allâh Ta’âlâ

6. Membaca Basmalah dilanjutkan dengan Surat Al-Fâtihah. 7. Membaca Surat Al-ikhlâs, Al falaq dan An-Nas. 8. Salam.

Apa yang dibaca sesudah Al Fâtihah dalam Shalât Witir: Hadîts Nabi :

قالــت كــان م عن عبد العز�ز -ن جریج قال س�pلنا �اÎشة ب�pي شيء كان یو�ر رسول ا!ل�ه صلى ا!له �لیه وسل�هــا الكــافرون وفــ ــك ا���لــى وفــي الث�انیــة بقــل o +�ی ح اســم رب ب Dولى �ســk�في ا k+ــه +��ــد یقر� �الثــة بقــل هــو ا!ل ي الث

ذت@ن والمعوDari Abdul ‘Azîz bin Juraij � berkata: "Kami bertanya kepada ‘Âisyah mengenai shalât witir Rasûlullâh , adalah membaca

$

ع% ك الأ ح اسم ر@ pada rakaat pertama dan (surat no 87 Al-A'la) سب

افرون

�ا ال �

ل يا أ

ھ dan ق

ل 'و الل

ق

ن ت

ذ معو

حد وال

.pada rakaat ketiga."(Sunan Tirmidzî dan Ibn Mâjah) ,أ

Tabel Surat yang dibaca pada setiap rakaat Shalât Witir (3 rakaat, 2 kali salam)

يتوسعKeterangan

السورةSurat

رقم ركعةNo.

Rakaat

رقمNo.

Page 163: Ringkasan Fiqh shalât - MRKR

162

ك ا���لى ح اسم رب ب D1 1 س

�ها الكافرون 2 قل o +�ی

Cara Membacanya (lihat catatan)* ه +��د�قل +�عوذ -ــرب الفلــق ..قل هو ا!ل

قل +�عوذ -رب الن�اس …

1 2

Atau boleh juga langsung berniat Witir tiga rakaat, satu salam dengan niat :

تقhل القhلة +�دائا !ل�ه تعالى Dة الو�ر ثلاث ركعات مس�ن Dي س �ه +�كLر - +kصل ا!لUsallî sunnatal witri tsalâtsa rak‘âtin mustaqbilal qiblati adâ-an lillâhi ta‘âlâ- Allâhu Akbar. Saya berniat shalât Witir tiga rakaat dengan menghadap kiblat , ada' karena Allâh Ta'âlâ.

Kemudian setiap rakaat membaca Al Fâtihah dan Surat Alquran (seperti pada tabel di atas) dan hanya sekali Tasyahud, yaitu pada rakaat ke tiga, kemudian salam.

Cara membaca dua atau tiga surat Al Quran (Al-Ikhlâs, Al-Falaq dengan An-Nas) Cara 1:

1. Membaca Surat yang pertama kemudian berhenti قفو)(

2. Membaca Takbir kemudian berhenti قفو)(

3. Membaca Basmalah kemudian berhenti قفو)(

4. Membaca Surat yang kedua قفو)(

5. Membaca Takbir kemudian berhenti قفو)(

6. Membaca Basmalah kemudian berhenti قفو)(

7. Membaca Surat yang ketiga قفو)(

Contoh:

حKم �س حمن الر� �ه +��د )(وقف oم ا!ل�ه الر� مد )1(قل هو ا!ل �ه الص� ولم �كن لــه كفــوا )3(لم یلد ولم یولد )2(ا!ل

)(وقف o)4(+��د

)(وقف oا!له +�كLر

حKم حمن الر� ذا وقــب )2(من شر ما Xلق )1(عوذ -رب الفلق قل +� )(وقف �oسم ا!ل�ه الر�4ومن شر �اســق ا

ذا حسد )4(ومن شر الن�ف�ا�ت في العقد )3(4 )(وقف o)5(ومن شر �اسد ا

)(وقف oا!له +�كLر

حKم حمن الر� �ه الر� لــه الن�ــاس )2(ملــك الن�ــاس )1(ل +�عوذ -ــرب الن�ــاس ق �oسم ا!ل 4مــن شــر الوســواس )3(ا

�ذي یوسوس )4(الخن�اس )(وقف o)6(من الجن�ة والن�اس )5(الن�اس في صدور الO = berhenti ( وقف)

Cara 2: Adalah di sambung antara 2 surat (tetapi kalau memungkinkan (nafasnya panjang), Imam bisa menyambung ketiga surat ini 1. Menyambung وصل)( Surat yang pertama dengan Takbir

2. Menyambung وصل)( Takbir dengan Basmalah

Page 164: Ringkasan Fiqh shalât - MRKR

163

3. Menyambung وصل)( Basmalah dengan Surat yang kedua

4. Menyambung صل(و( Takbir dengan Basmalah

5. Menyambung وصل)( Basmalah dengan Surat yang ketiga

Contoh:

حKم حمن الر� مد ) 1( قل هو ا!ل�ه +��د )(وقف �oسم ا!ل�ه الر� ) ولــم �كــن لــه كفــوا 3( لم یلد ولم یولد ) 2(ا!ل�ه الص�

حKم ا!له ن )4( +��د حمن الر� �ه الر� ومن شــر ) 2( من شر ما Xلق ) 1( قل +�عوذ -رب الفلق )(وقف o+�كLر �سم ا!لذا وقب

4ذا ) 4( ومن شر الن�ف�ا�ت في العقد ) 3( �اسق ا

4�ــه ا!له ) 5( حسد ومن شر �اسد ا حمن +�كLر �سم ا!ل الــر�

حKم قل له الن�اس ) 2( ملك الن�اس ) 1( +�عوذ -رب الن�اس الر� 4�ــذي یوســوس 4( من شر الوسواس الخن�اس ) 3( ا ) ال

)(وقف o)6( من الجن�ة والن�اس ) 5( في صدور الن�اس

):dibaca !له +�كLر �سم ا!ل�ه حسدا(

Apabila Takbir berada sesudah huruf yang bertanwin maka huruf Tanwinnya harus dikasrahkan,

+��د ن ا!له +�كLر dibaca +��د (4) ا!له +�كLر

Cara yang tidak diperbolehkan adalah :

1. Menyambung وصــل)( Surat yang pertama dengan Takbir kemudian menyambung )(وصــل

Takbir dengan Basmalah dan berhenti

ف)(وق di akhir Basmalah.

2. Membaca Surat yang kedua

حKم حمن الر� ذا ومــن )2() من شر ما Xلق 1قل +�عوذ -رب الفلق ( )(وقف �oسم ا!ل�ه الر�4شــر �اســق ا

ذا 4) ومن شر الن�ف�ا�ت في العقد (3وقب (4�ــه ) ا!له +�كLر 5حسد () ومن شر �اسد ا حمن �ســم ا!ل الــر�

حKم )(وقف oالر�له الن�اس )2() ملك الن�اس 1قل +�عوذ -رب الن�اس (

4�ذي 4ن شر الوسواس الخن�اس (م )3(ا ) ال

)(وقف o)6) من الجن�ة والن�اس (5یوسوس في صدور الن�اس (Tidak diperbolehkan karena, seakan-akan takbir dan basmalah merupakan ayat dari surat yang pertama.

Doa sesudah Shalât Witir k+ ه عن�وس صلى ا!له �لیه وسلم ب(ي -ن كعب قال كان رسول ا!ل بwان الملك القد� Dم في الو�ر قال س�ذا سل

4 ا

Dari Ubay bin Kaab �, Rasûlullâh sesudah witir membaca وس بwان الملك القد� Dس Dalam Kitâb Hâsyîyah Qalyûbî:

یندب +�ن یقول بعد الو�ر:و وس بwان الملك القد� Dي +�عوذ -رضاك من سخطك،وبمعافاتك مــن عقوبتــك، وبــك م[ــك، )ثلا� (س �هم� ان ،ا!ل

wه ا-ن حh�ان (قوله : لا +kحصي ثناء �لیك +�نت كما +�ثن@ت �لى نفسك نه) وصح� �Dرمذي� وحس qوال

Dan sunnah hukumnya membaca doa sesudah shalât witir :

وس بwان الملك القد� Dاني +�عوذ -رضــاك مــن ســخطك،وبمعافاتك مــن عقوبتك،وبــك م[ــك،لا )ثلا� ( س �هم�ا!ل، صي ثناء �لیك +�نت كما +�ثن@ت �لى نفسك +kح

"Maha Suci bagi Penguasa yang Maha Qudus." (3 x) "Ya Allâh, dengan keridhaan-Mu aku memohon perlindungan dari kemurkaan-Mu dan dengan ke-Maha-pemaafan-Mu aku memohon ampunan dari siksa-Mu. Aku memohon perlindungan dari-Mu,

Page 165: Ringkasan Fiqh shalât - MRKR

164

yang aku tidak menghitung pujian bagi-Mu. Engkau laksana pujian yang keluar dari diri-Mu sendiri." (Dishahîhkan oleh Ibnu Hibbân, dan Hasan menurut Tirmidzî)

Dan riwayat Nasâ’î dalam Sunan-nasâ’î, 2/244 ditambahkan:

بwان الم Dوح س وس رب� الملا¬كة والر� لك القد�"Maha Suci bagi Penguasa yang Maha Qudus.Rabb para Malaikat dan Ruh(Jibril) ."

Dan dibaca Jahr/nyaring/terdengar, sebagaimana disebut dalam Kitâb Tuhfah Muhtâj; dalam I'ânatut Thâlibîn Juz 1, dibaca 7 x:

وس ) و�رفع صوته :( قوله : ثلا� بwان الملك القد� Dس Membaca وس د

ق

ملك ال

ال

حان .dan suara terdengar /jahr (3x) سب

Doa setelah shalât witir yang juga disunnahkan

�نا ورب� الملا¬كــة والــر� وس رب ب�وح قد� Dــر ولا حــول سLا!لــه وا!لــه اك �ــه ولا الــه الا� بwان ا!لــه والحمــد !ل Dوح ســة الا� M!له العلي العظیم ولاقو�

Maha suci Tuhan kami, Tuhan segala malaikat dan ruh. Maha suci Allâh, dan segala puji bagi Allâh, tidak ada Tuhan kecuali Allâh. Allâh Maha Besar. Tidak daya dan kekuatan kecuali dari Allâh Yang Maha Luhur dan Agung.

۞ Kasus#1: Bolehkah melaksanakan shalât sunnah sesudah shalât witir (misalnya shalât Tahajjud)? Meskipun, shalât witir adalah shalât yang dilaksanakan paling akhir di antara shalât-shalât malam. Sebagaimana Hadîts:

�ه عنهما عن الن�ب(ي صلى ا!له �لیه وسلم �ه -ن عمر رضي ا!ل اجعلوا +خر صلا�كم M!ل�یل و�را :قال عن عبد ا!لDari Abdullâh bin Umar ھ

� الل ع<�مار�� Nabi Muhammad mengatakan: "Jadikanlah witir akhir

shalât kalian di waktu malam". (HR. Bukhârî).

Namun tidak apa-apa (boleh/Mubah) bila kita melaksanakan shalât sunnah sesudahnya, berdasarkan hadîts Muslim dalam Kitâb Tuhfah Muhtâj:

ا � صــل�ى ركعتــ@ن بعــد الــو�ر Uالســا} ففعلــه لبیــان الجــواز صلى ا!له �لیه وسلم دیث مسلم {+�ن� الن�ب(ي� و+�م��یل و�را �ذي واظب �لیه و+�مر به جعل +خر صلاة ا!ل وال

Dalam hadîts riwayat Muslim, ‘Âisyah ��ار�ھ ع<� الل menerangkan: "Sesungguhnya Nabi Muhammad

melaksanakan shalât dua rakaat sesudah witir dengan duduk." Ibn Khuzaimah dalam Kitâb Shahîh-nya mengatakan :

د الــرÒعت@ن ا!لتــ@ن كــان النبــ(ي قال +بو -كر : ها�ن الرÒعتان ا!لتان ذÈرهما ا-ن عباس في هذا الLgــر یحتمــل +ن �كــون +راصلى ا!له �لیه وسلم یصلیهما بعد الو�ر ، كمــا +LXــرت �اÎشــة ، ویحتمــل +ن �كــون +راد بهمــا رÒعتــي الفجــر ا!لتــ@ن كــان

)(+ن الصلاة بعد الو�ر مhا�ة لجمیع من �رید الصلاة بعده یصلیهما قhل صلاة الفریضةAbû Bakar menjelaskan hadîts dari Ibn ‘Abbâs � mengenai shalât Nabi Muhammad , sesudah shalât witir, sebagaimana hadîts ‘Âisyah اRSھ ع

! الل ghر yang menerangkan beliau shalât dua rakaat di

waktu fajar dan disambung dengan shalât qablîyah Subuh. (Ibn Khuzaimah juga menyebut dalil mengenai shalât sunnah sesudah shalât witir adalah Mubah.

Di dalam Sunan Ad-Darâquthnî diriwayatkan hadîts dari Ummu Salamah ا�ھ ع<� الل :ر��

وهــو -زاد المwــاملى� -كان یصلى ركعت@ن خفKف1ــ@ن بعــد الــو�ر عن +kم سلمة +�ن� الن�ب(ى� صلى ا!له �لیه وسلم Uالس.

Page 166: Ringkasan Fiqh shalât - MRKR

165

Dari Ummu Salamah ا�ھ ع<� الل menerangkan : Sesungguhnya Nabi Muhammad melaksanakan ر��

shalât dua rakaat sesudah witir secara ringan, Al-Makhâmilî mengatakan, dengan duduk.

Dalam Mushannaf Abdur Razzâq, meriwayatkan Hadîts dari Alî bin Abi Thâlib � : عن �لي -ن +ب(ي طالب قال: ان ش�ت اذا +و�رت قمــت فشــفعت -رÒعــة ثــم +و�ــرت بعــد ذ!ــك، وان شــ�ت

صلیت بعد الو�ر رÒعت@ن، وان ش�ت +خرت الو�ر ح1ى تو�ر من +خر ا!لیل.Dari Alî bin Abi Thâlib � menerangkan:"Jika mau kerjakanlah witir dan jika mau juga shalâtlah dua rakaat sesudahnya dan jika mau juga, akhirkanlah shalât witir kalian di akhir malam."

Dan tidak perlu witir lagi, berdasarkan hadîts:

في لیلة لا و�ران یقول سمعت الن�ب(ي� صلى ا!له �لیه وسلم Kami mendengar Nabi Muhammad mengatakan: Tidak ada dua kali witir dalam satu malam. (Sunan Abi Dâwud dan-nâsâ’î). Kasus#2: Mana yang lebih baik, witir 3 (tiga) Rakaat, dengan sekali salam (tiga rakaat sekaligus) atau dengan dua kali salam ( 2 Rakaat dan 1 Rakaat)? Dalam Al-Majmû’ Syarh Al Muhadzdzab – Imam Nawâwî:

في مذاهبهم فKمن +و�ر بثلاث هل یفصل الرÒعت@ن عن الثلاثة �سلام: فــذÈر� اخــ1لاف اصــwابنا فــي الافضــل مــن ذ!ــك واحمــد وان الصحیح عند� ان الفصل افضل وهو قول ا-ن عمر ومعاذ القارئ وعبد ا!له -ن عیاش ا-ن اب(ي ربیعــة وما!ــك

واسحق واب(ي ثورPara Ulama Mazhab menjelaskan soal witir tiga rakaat yang dilakukan dengan dua rakaat dan satu rakaat, itu afdhal atau lebih baik sebagaimana dikatakan oleh Ibn Umar, Mu’âdz bin Jabal, Abdullâh bin ‘Iyâs, Ibn Abi Rabiah, Imam Mâlik, Imam Ahmad, Ishâq dan Abi Tsur.

Dalam Fathul Mu’în, Syekh Zainuddîn al-Malibârî berkata:

والوصل Xلاف الاولى، فKما �دا الثلاث، وفKها مكروه !لنه(ي عنه في LXر: ولا ¦شDبهوا الو�ر بصلاة المغرب.Dan menyambung shalât witir yang jumlah rakaatnya tiga, hukumnya Khilâful awlâ (menyalahi keutamaan), atau Makruh, karena adanya larangan menyerupakan shalât witir dengan Shalât Maghrib. Shalât witir yang lebih baik adalah dengan dua kali salam untuk tiga rakaat. Dalam Kitâb Al-Majmû’ Syarh Al Muhadzdzab – Imam Nawâwî, 4 /18 – Bab Shalât Tathawwu'.

حیwة فKه ولك�رة یها مفصولة �سلم@ن لك�رة ا���ادیث الص� .العبادات الصحیح: +�ن� ا��فضل +�ن یصلQaul yang shahîh: “Bahwa yang lebih utama adalah melakukan shalât witir secara terpisah dengan dua kali salam karena banyaknya hadîts shahîh yang berbicara tentang hal itu dan untuk memperbanyak ibadah.“

Namun, bila menghendaki satu salam juga diperbolehkan, sebagaimana dalam Kitâb yang sama Kitâb Al-Majmû’ Syarh al-Muhadzdzab, juz 4 – Bab Shalât Tathawwu'.

ها Uاز ... ن +�راد جمعها بqشه�د وا�د فى +خرها كل4 فا

Siapa yang menghendaki mengumpulkan shalât witir dengan satu tasyahud di akhir shalât seluruhnya maka hal itu diperbolehkan. Qunut di I’tidal terakhir shalât Witir (ketika separuh akhir Ramadhân) Hukum membaca doa qunut pada shalât witir di separuh akhir Bulan Ramadhân, menurut para Imam Mazhab :

Mazhab Hanafî berpendapat: disunnahkan doa qunut dalam shalât witir dan tidak di-sunnah-kan pada selain shalât witir, kecuali dalam shalât jahrîyyah karena ada bencana. (AI-Badâ'i', 1/273; Al-Lubâb, 1/78; Fathul Qadîr, 1/309; Al-Durr al-Mukhtâr, 1/626-628.)

Page 167: Ringkasan Fiqh shalât - MRKR

166

Mazhab Mâlikî berpendapat sunnah membaca doa qunut dengan suara rendah pada shalât shubuh saja, tidak disunnahkan bahkan makruh pada shalât lain. Menurut Wahbah al-Zuhaillî: "Doa qunut dilakukan sebelum ruku', dan hal ini lebih utama, namun boleh juga setelah ruku." (Syarh as-Shaghîr, 1:331; Al-Syarh al-Kabîr, 1:248; Al-Qawânin al- Fiqhîyyah, hal. 61; Fiqh Islam wa Adillatuhu, Wahbah Zuhailî)

Imam, makmum, dan seorang munfarid (shalât sendirian) membaca qunut dengan suara rendah, dan tidak mengapa sambil mengangkat kedua tangan.

Mazhab Syâfi’î berpendapat: sunnah berdoa qunut pada i'tidal kedua dari shalât shubuh dan witir separuh akhir bulan Ramadhân. Sebagaimana hadîts:

نیا عن +��س -ن ما!ك قال ما زال رسول ا!ل�ه صلى ا!له �لیه وسلم یق[ت في الفجر ح1�ى فارق الد�Dari Anas bin Mâlik �, ia berkata: "Tidak pernah berhenti Rasûlullâh melakukan qunut dalam shalât fajar (Subuh) hingga beliau meninggal dunia." (Musnad Ahmad)

Hadîts Riwayat Alî bin Abi Thâlib �:

لا� في النصف ا�خر من رمضان وكان یق[ت ب4�ه كان لا یق[ت ا كوع عن �لي -ن +�ب(ي طالب +�ن عد الر�

Dari Alî bin Abi Thâlib �, sesungguhnya (ternyata) Tidak melakukan Qunut kecuali di separuh Akhir Bulan Ramadhân dan dilaksanakan sesudah Ruku’. ( Sunan Tirmidzî). (Juga dijelaskan dalam Mughnî al Muhtâj, 1/111; Al-Majmû’, 2/474-490; Al-Muhadzdzab, 1/81; Hâsyîyah al-Bajûrî, 1/168 dan hadîts dari Anas bin Mâlik dan Alî bin Abi Thâlib

ھ ع<�ما

� الل (ر��

Mazhab Hanbalî, berpendapat seperti Mazhab Hanafî, bahwa doa qunut adalah sunnah dalam shalât witir pada sepanjang tahun, dilakukan setelah ruku', sebagaimana pendapat Syâfi’îyah dalam shalât witir pada separuh kedua dari bulan Ramadhân. (Al-Mughnî,1/151-155; Kasysyaf al-Qannâ',1/490-494).

د -ن -كر +�LXر� هش ثنا محم� د -ن ح[بل �د� ثنا +�حمد -ن محم� ــد عــن بعــض +�صــwابه +�ن� +kبــ(ي� �د� ام عن محم�هم یعني في رمضان وكان یق[ت في النصف ا�خر من رمضان -ن كعب +�م�

Dari Ahmad bin Muhammad bin Hanbal, dari Muhammad bin Bakr menceritakan Hisyam dari Muhammad dari para Sahabat yang lain, sesungguhnya Ubay bin Ka’ab �, mengimami shalât (witir) di separuh akhir bulan Ramadhân dengan membaca qunut. (Sunan Abi Dâwud). Apabila seseorang membaca doa qunut sebelum ruku', maka tidak mengapa, berdasarkan hadîts Ibnu Mas’ûd bahwa Rasûlullâh membaca doa qunut setelah ruku'. (Diriwayatkan oleh Muslim).

Humaid meriwayatkan bahwa Anas ditanya tentang qunut dalam shalât shubuh. Anas menjawab: "Kami biasa qunut sebelum dan sesudah ruku'. (Diriwayatkan oleh Ibnu Mâjah). Jumhur (mayoritas) Ulama berpendapat: sunnah hukumnya membaca doa qunut, sebagaimana kata Al Hafidz al Iraqy : "Bahwa sunnahnya membaca qunut itu dipegang oleh para sahabat: Abû Bakar As-Shiddiq, Umar bin Khaththab , Utsmân bin Affan, Alî bin Abi Thâlib, ‘Âisyah, Abû Mûsâ, Ibn ‘Abbâs, Abû Hurairah, Mu’awiyah, Thawus, Hasan al Bashrî, Ibn Sirîn, Imam Mâlikî, Imam Syâfi’î dan Al-Auzâ’î. (Rusûkh al-Ahbâr fi Mansûkh Al-Akhbâr).

Dan dalam qunut disarankan mengangkat kedua tangan :

رفع یده Xلف عمر الفجر فق[ت بعد الرÈوع قال +�دهما : عن +ب(ي رافع و+ب(ي ق1ادة قالا : صلیناDari Râfi’ dan Abi Qatâdah keduanya berkata, kami shalât berma'mum kepada Umar pada shalât subuh maka beliau qunut sesudah ruku' , maka berkata salah satu dari kami: "dengan mengangkat tangannya."

Lafadz Doa Qunut

Page 168: Ringkasan Fiqh shalât - MRKR

167

�یت, وMرك لي فKمــا +� �ني فKمن تول عطیــت, وق[ــي شــر� مــا ا!ل�هم� اهدني فKمن هدیت, و�اف[ي فKمن �افKت, وتول�ك تقضي ن

4�ــه لا �ــزل� مــن وال قض@ت, فا ن

4من �ادیــت ولا یقضــى �لیــك, ا �نــا وتعالیــت ولا یعــز� یــت , تباركــت رب

د واله وصحبه اجمع@ن د� محم� وصل�ى ا!له �لى سÙی "Ya Allâh, berilah aku petunjuk sebagaimana orang-orang yang telah Engkau beri petunjuk. Berilah aku kesehatan sebagaimana orang-orang yang Engkau beri sehat. Berilah aku perlindungan sebagaimana orang orang yang telah Engkau beri perlindungan. Berilah berkah kepada apa yang Engkau berikan padaku. Jauhkan aku dari kejahatan yang Engkau tentukan. Karena, sesungguhnya hanya Engkaulah yang dapat memastikan segala sesuatu dan dan tidak ada lagi yang berkuasa diatas Mu. Sesungguhnya tidak akan terhina orang yang mendapat perlindungan-Mu dan tidak akan mulia orang yang telah Engkau musuhi. Engkau penuh berkah, Wahai Penguasa Yang Maha Tinggi. Semoga shalawat senantiasa terlimpahkan kepada Nabi Muhammad, keluarga dan sahabat beliau semuanya." (Kitâb Al-Adzkâr lil Nawâwî, 57).

Doa Qunut, dalam prakteknya dibaca Jahr dan Sirr, yaitu ketika: Bagian pertama, mulai: �هم�ا!ل .dibaca Jahr (dibaca hingga terdengar) وق[ي شر� ما قض@ت hingga اهدني فKمن هدیت

Dan mulai ك تقضي� ن4 .hingga selesai dibaca Sirr (suara pelan) ,فا

Sebagaimana menurut Syekh Zainuddîn Al-Malibârî dalam Kitâb Fathul Mu’în: Apabila seseorang lupa tidak membaca doa qunut hingga ruku', lalu ingat setelah

mengangkat kepala dari ruku', maka ia tidak boleh melakukannya saat itu, dan kesunnahan qunut menjadi gugur darinya, apabila ingat ketika ruku' menurut dhahir riwayat, lalu sujud sahwi pada akhir shalât-nya sebelum salam, karena terlewatnya qunut dari tempatnya.

Apabila seorang ma'mum mendapati imam sedang ruku' pada rakaat kedua dari shalât witir, maka secara hukum ia mendapatkan ruku' sehingga ia tidak perlu membacanya pada akhir rakaat shalât sendiri.

Apabila imam mulai membaca qunut, maka orang yang di belakangnya membaca "Amin" sambil mengangkat dua tangannya, lalu menyapukan keduanya ke muka, berdasarkan sabda Rasûlullâh : Apabila kamu berdoa kepada Allâh, maka berdoalah dengan menengadahkan kedua telapak tanganmu, dan jangan menengadahkan bagian luarnya, lalu apabila kamu telah selesai berdoa, maka sapukanlah kedua telapak tanganmu itu ke wajahmu. (Diriwayatkan oleh Abû Dâwud dan Ibnu Mâjah juga dari riwayat Ibnu Luhai'ah).

Ma'mum cukup membaca Amin tanpa membaca qunut sendiri apabila ia mendengar bacaan qunut imamnya, dan apabila ia tidak mendengarnya, maka ia membaca qunut sendiri.

Mengqadha‘ Shalât Witir Bagi seseorang yang terlewatkan untuk melaksanakan shalât witir di malam harinya, dapat mengqadha’nya di siang hari atau ketika teringat, sebagaimana hadîts:

�ه عنه یقول قال رسول ا!ل�ه صلى ا!له �لیه وسلم: اب رضى ا!ل من �م عن حزبه +�و « سمعت عمر -ن الخط��ما قر+�ه من ا!ل�یل عن شىء م[ه فقر+� هر كتب له ك�pن حیح ». ه فKما ب@ن صلاة الفجر وصلاة الظ� رواه مسلم فى الص�

Dari Umar Ibn Khattâb �, ia berkata: Rasûlullâh bersabda:” Siapa yang tertidur (sehingga) terlewat untuk membaca hizb (wirid) atau sebagiannya, maka ia ganti dengan membacanya di waktu antara shalât Subuh dan shalât Dhuhur, maka dicatat baginya seperti membaca hizb tersebut di malam hari.” (HR Muslim hadîts no.747).

Dan juga hadîts:

ذا +�صبح +�و « ا!ل�ه صلى ا!له �لیه وسلم: عن +�ب(ى سعید قال قال رسول 4ه ا یه فلیصل Dمن �م عن و�ره +�و �س

».ذكره

Page 169: Ringkasan Fiqh shalât - MRKR

168

Dari Abi Sa’îd �, ia berkata: Rasûlullâh bersabda:”Siapa yang tertidur (sehingga) terlewatkan atau terlupakan witirnya maka hendaklah ia mengerjakannya ketika terbangun atau teringat.” (HR Abû Dâwud, Ibnu Mâjah dan Tirmidzî juga Baihaqî dalam Sunan Al-Kubrâ).

Cabang-cabang masalah Shalât Witir

No Cabang Masalah Hanafî/ـــ������

Mâlikî/ ��ـــ� �� Syâfi’î/ ��ـــ� �� Hanbalî/

������ـــ�

1 Hukum Shalât Witir Wajib)* Sunnah Muakkad

2 Pelaksanaannya Setiap malam Sesudah Shalât Isya 3 Jumlah rakaat shalât

Witir 1 rakaat (minimal) atau 3 rakaat atau 11 rakaat (afdhal/utama)

4 Praktek shalât (untuk 3 rakaat)

Afdhal: dengan 2 salam (2 dan 1 rakaat) Mazhab Syâfi’î : Makruh : 3 rakaat , 1 salam

5 Membaca doa Qunut pada separuh akhir Ramadhân

Sunnah, tidak sunnah pada selain shalât witir,

kecuali qunut karena ada bencana

Makruh (Sunnah pada

shalât subuh saja dengn sirr)

Sunnah (pada shalât

subuh dan pada shalât witir)

Sunnah (pada shalât pada witir)

6 Dibaca : sebelum atau sesudah ruku'

Sebelum ruku' Lebih utama sebelum ruku'

Sesudah ruku'

7 Posisi tangan ketika doa qunut

Diletakkan dibawah pusat/perut

Boleh mengangkat tangan (untuk

berdoa)

Mengangkat tangan (untuk

berdoa)

Boleh mengangkat tangan (untuk

berdoa) 8 Shalât tahajjud sesudah

witir Tidak perlu witir lagi Sesudah ta-

hajjud shalât witir lagi 1 rakaat

)* Menurut Imam Abû Hanifah, fardlu adalah apa yang ditetapkan menurut dalil qath’î (tidak ada keraguan di dalamnya) seperti shalât lima waktu, sedangkan wajib adalah apa yang ditetapkan berdasarkan dalil dhannî (yang mungkin ada keragu-raguan)

۞

Qiyâmul lail Shalât malam atau Qiyâmul lail ( ليـل

yaitu: Shalât Witir, Shalât Tahajjud dan Shalât (قيـام ا

Tarâwîh/Qiyâmu Ramadhân.

Kata Qiyâm adalah bentuk masdar dari kata Qum ( ـمـام ـ قيـام ) dari kata/fi'il madhi (ق

Kata .(ق

tersebut ada dalam Alquran:

ل م �ها المز� لا� قلیلا )o )1 +�ی4�یل ا ن �رتیلا )3(نصفه +�و انقص م[ه قلیلا )2( قم ا!ل )4( +�و زد �لیه ورتل القر+

Hai orang yang berselimut (Muhammad), bangunlah (untuk shalât) di malam hari[*], kecuali sedikit (daripadanya), (yaitu) seperduanya atau kurangilah dari seperdua itu sedikit. Atau lebih dari seperdua itu. dan bacalah alquran itu dengan perlahan-lahan. (QS Al Muzammil (73): 1-3) [*] shalât malam ini mula-mula hukmnya wajib (kira-kira selama 1 (satu) tahun), sebelum turun ayat ke 20 dalam surat ini juga. setelah turunnya ayat ke 20 ini, hukumnya menjadi sunnah.

Qatâdah mengatakan: Al-Muzzammil adalah orang yang terbungkus di dalam bajunya." Ibrâhîm an-Nakhâ’î mengemukakan: "Ayat ini turun ketika beliau masih berselimutkan

beludru." Firman Allâh Ta’âlâ: ( ھ

Seperduanya, " merupakan kata ganti dari kata al-lail" (نصف

يـھ ) و زد عل

أ

لـيلا

ق

ـھ

ـص من

ق

و ان

Atau kurangilah dari seperdua itu sedikit, atau lebih dari seperdua" (أ

Page 170: Ringkasan Fiqh shalât - MRKR

169

itu." Yakni, Kami (Allâh) memerintahkanmu (Muhammad ) untuk bangun pada pertengahan malam dengan sedikit tarnbahan atau sedikit pengurangan dari shalât malam, tidak ada dosa

bagimu dalam hal itu.( Lubâb at Tafsîr Ibn Katsîr-G من إبن كث G لباب التفس)

Allâh memerintahkan Rasul-Nya meninggalkan keadaan berselimut, yaitu menutupi diri pada malam hari, untuk bangun menghadap Rabb-nya , sebagaimana firmanNya:

ا رزق[اهم ینفقون �هم خوفا وطمعا ومم� تت�افى ج[وبهم عن المضاجع یدعون ربLambung mereka jauh dari tempat tidurnya, sedang mereka berdoa kepada Rabbnya dengan rasa takut dan harap dan mereka menafqahkan sebagian dari rizki yang Kami berikan kepada mereka. " (QS. As-Sajdah (32): 16).

Demikianlah Nabi melaksanakan apa yang diperintahkan oleh Allâh berupa qiyâmul lail, yang bersifat wajib untuk beliau, sebagaimana yang di-firmankan oleh Allâh :

�ك مقاما محمودا د به �فلة !ك عسى +�ن یبعثك رب ومن ا!ل�یل ف1ه��Dan pada sebagian malam hari shalât tahajjud-lah kamu sebagai suatu ibadah tambahan bagimu; mudah-mudahan Rabb-mu mengangkatmu ke tempat yang terpuji." (QS. Al-Isrâ’ (17):79).

۞

4. Shalât Tahajjud

Shalât tahajjud adalah shalât malam (shalâtul-lail) setelah tidur sejenak. Tahajjud

berasal dari bahasa Arab ( ــد ته ج ) tahajjud, dari kata dasar ( ظ

يق

إسـ8 :

ـد �� -

ـد �è

-hajada (ت

tahajjada: Istaiqadha, yang berarti "bangun" dan juga berarti "shalât di malam hari." Orang yang mendirikan shalât malam disebut ( اجد') "hâjid".

Jadi ber-tahajjud artinya melakukan shalât sunnah di malam hari, setelah tidur.

Kata Tahajjud, disebut di dalam Alquran Surat Al-Isrâ’ (17):79.

�ك مقاما محمودا د به �فلة !ك عسى +�ن یبعثك رب ومن ا!ل�یل ف1ه��Dan pada sebagian malam hari bershalât tahajjudlah kamu sebagai suatu ibadah tambahan bagimu; Mudah-mudahan Tuhan-mu mengangkat kamu ke tempat yang Terpuji. (QS Al Isrâ’ (17):79)

Keutamaan Shalât Tahajjud Pertama, merupakan shalât sunnah yang selalu dikerjakan oleh Nabi Muhammad dan juga Nabi Dâwud عليه السلام.

Shalât Tahajjud adalah shalât yang selalu dikerjakan oleh Rasûlullâh , bahkan telah dikerjakan oleh beliau sebelum beliau menerima perintah shalât lima waktu dalam peristiwa Isrâ’ Mi’raj pada tahun ke 7 kenabian beliau (QS Al Muzammil (73):1-19 menginformasikan hal tersebut).

Shalât Tahajjud adalah shalât sunnah yang paling utama setelah shalât fardlu, sebagaimana hadîts:

یام بعد رمضان : «قال : -صلى ا!له �لیه وسلم- +ن رسول ا!له - رضي ا!له عنه - +بو هر�رة عن +فضل الصلاة بعد المك1وبة : صلاة ا!ل�یل شهر ا! م ، و+فضل الص� +خرUه مسلم و+بو داود» له المحر�

Dari Abû Hurairah � berkata, bahwa Rasûlullâh bersabda: “Puasa yang paling utama sesudah Puasa Ramadhân adalah puasa (pada bulannya Allâh) Muharram dan shalât yang paling utama sesudah shalât fardlu adalah shalât malam.” (HR Muslim dan Abû Dâwud).

Dan lebih istimewa lagi shalât Tahajjud juga telah dikerjakan oleh Nabi Dâwud عليھ السلام.,

sebagaimana hadîts berikut:

Page 171: Ringkasan Fiqh shalât - MRKR

170

ي +قول :وا!له -+LXر رسول ا!له «قال: -رضي ا!له عنهماعبد ا!له -ن عمرو -ن العاص صلى ا!له �لیه وسلم: +ن�ذي تقول : « -صلى ا!له �لیه وسلم - �صومن� الن�هار ،و�قومن� ا!ل�یل ما عشت ، فقال رسول ا!له +نت ال

«فقلت له : قد قلته ، بpب(ي +نت و+مي o رسول ا!له،قال: » ذ!ك ؟ تطیع ذ!ك ، فصم فانك لا ¦ Dو+فطر، -سهر نة بعشر +م¡الها، وذ!ك م¡ل صیام الد� Dالحس �م ، فان �o+ هر ثلاثة ي »ونم ، وقم ، وصم من الش� ، قلت : ان

ي +طیق +فضل من ذ!ك، قال : »فصم یوما +فطر یوم@ن «+طیق +فضل من ذ!ك، قال: م یوما فص «،قلت: فانقلت: فاني -وفي روایة: +فضل الصیام- »و+فطر یوما ، فذ!ك صیام داود �لیه السلام ، وهو +�دل الصیام

».لا +فضل من ذ!ك: «-صلى ا!له �لیه وسلم - +طیق +فضل من ذ!ك، فقال رسول ا!لهAbdullâh bin Amru bin Ash ما� ,berkata bahwa Nabi diberitahu aku pernah berkata ,ر��� اللھ ع<

"Demi Allâh, sungguh, aku akan berpuasa di siang hari dan shalât tahajud di malam harinya selama aku hidup." Lalu Rasûlullâh bersabda, "Kamu berkata seperti itu?" Aku menjawab, "Ya. Sungguh, aku telah mengatakannya, ya Rasûlullâh."Rasûlullâh bersabda, "Kamu tidak akan mampu melakukannya. Karena itu, berpuasa dan berbukalah, tidur dan tahajudlah. Dalam sebulan, berpuasalah selama tiga hari karena kebaikannya dilipatgandakan sepuluh kali. Yang demikian itu sama dengan berpuasa sepanjang masa." Aku berkata, "Aku mampu melakukan yang lebih dari itu." Rasûlullâh bersabda, "Berpuasalah sehari dan berbukalah dua hari." Aku berkata, "Aku mampu melakukan yang lebih dari itu." Rasûlullâh bersabda, "Berpuasalah sehari dan berbukalah sehari, seperti puasa Nabi Dâwud عليھ السلام. Itulah puasa yang paling sesuai." (Di

riwayat lain disebutkan,.. “Itulah puasa yang paling utama.") Aku berkata, "Aku mampu melakukan yang lebih dari itu." Rasûlullâh bersabda, "Tidak ada puasa yang lebih utama dari itu." (Kebanyakan riwayat ini terdapat dalam Kitâb Shahîh Bukhârî dan Muslim.)

لى ا!له ص 4لاة ا لاة عبد ا!له -ن عمرو -ن العاص، +�ن� رسول ا!له صلى ا!له �لیه وسلم، قال له: +�حب� الص�

لام، و+�حب� �یل ویقوم ثلثه وینام سدسه، داود �لیه الس� لى ا!له صیام داود، وكان ینام نصف ا!ل4یام ا الص

Mب من �م عند السحر 7كتاب الته�د: 19+خرUه البgاري في: -ویصوم یوما، ویفطر یوما

Abdullâh bin Amru bin Ash ما� bahwa Rasûlullâh berkata kepadanya: ”Shalât yang ,ر��� اللھ ع<

paling disukai oleh Allâh adalah Shalât Dâwud عليھ السلام. dan puasa yang paling disukai adalah

puasa Dâwud عليھ السلام.. Dan beliau (Dâwud عليھ السلام.) tidur di pertengahan malam dan bangun

pada sepertiga malam dan tidur (lagi) pada seperenam malam. Dan beliau sebari berpuasa, sehari berbuka.” (HR Bukhârî dalam Kitâb Tahajjud). Hadîts tersebut sesuai dengan firman Allâh dalam surat Shâd ayat 17 :

اب اصLر �لى ما یقولون واذكر عبد� داوود ذ �ه +�و� ن 4ید ا ا ا��

Bersabarlah atas segala apa yang mereka katakan; dan ingatlah hamba Kami Dâwud yang mempunyai kekuatan; Sesungguhnya dia amat taat (kepada Tuhan). (QS Shâd (38):17) Dalam Kitâb Tafsîr Jalalain disebutkan :

+ي القوة في العبادة كان یصوم یوما ویفطر یوما ویقوم نصف " یقولون واذكر عبد� داوود ذا ا��ید اصLر �لى ما"اب "ا!لیل وینام ثلثه ویقوم سدسه �ه +�و� ن 4

رUاع الى مرضاة ا!له " اAllâh berfirman, ("Bersabarlah atas segala apa yang mereka katakan; ingatlah hamba Kami Dâwud yang mempunyai kekuatan) dalam beribadah; tersebutlah bahwa dia sepanjang tahun selalu berpuasa sehari dan berbuka sehari; bangun pada tengah malam untuk melakukan shalât, kemudian tidur selama sepertiga malam dan seperenam malam harinya lagi ia gunakan untuk shalât (sesungguhnya dia amat taat) yakni selalu mengerjakan hal-hal yang menjadi keridaan Allâh .

Oleh karena itu Rasûlullâh mengingatkan kita agar menjaga shalât tahajjud (terus menerus mengerjakan – kecuali dalam keadaan Mûsâfir), sebagaimana hadîts :

Page 172: Ringkasan Fiqh shalât - MRKR

171

�ه -ن عمرو -ن العاص قال قال لى رسول ا!ل�ه صلى ا!له �لیه وسلم لا �كن م¡ل فلان،كان یقوم :عن عبد ا!ل�یل. رواه مسلم ا!ل�یل فqرك قKام ا!ل

Abdullâh bin Amr bin Ash مار��� اللھ�ع< berkata, "Rasûlullâh berkata kepadaku, “Hai Abdullâh,

janganlah kamu seperti si fulan. Ia pernah shalât tahajjud semalam suntuk, namun selanjutnya meninggalkannya bermalam-malam." (HR Muslim). Kedua, sebagai penghapus dan pencegah dosa

�ه � «قال: - : +ن رسول ا!له صلى ا!له �لیه وسلم-رضي ا!له عنهما -و+بو +مامة عن بلال ن4�یل، فا لیكم بقKام ا!ل

لى ا!له ، وم[هاة عن ا��م، و�كف@ر 4�یل قربة ا ن� قKام ا!ل

4الw@ن قhلكم،وا Æات من د+>ب الص� @ رUه +خ». !لس�

الqرمذيDari Bilal dan Abû Umâmah ما� berkata:” Biasakanlah untuk shalât malam, sebab ia ر��� اللھ ع<

merupakan kebiasaan orang shâlih sebelum kalian dan untuk taqarrub (mendekat) kepada Allâh, dan mencegah dari perbuatan dosa, serta menghapus keburukan.” (HR Tirmidzî). Ketiga, sebagai cara yang memohon yang cepat dikAbûlkan oleh Allâh dan menjadi sebab bagi seseorang untuk mendapatkan surga Dalam hadîts disebutkan:

Dن اس4ب� من العبد جوف ا!ل�یل ا�خر، فا ن� +قرب ما �كون الر� 4

�ه فى تلك ا ن یذكر ا!ل تطعت +�ن �كون مم�ا�ة فكن الس�

“Sesungguhnya saat yang paling dekat antara Rabb (Tuhan) dengan hambaNya adalah pada separuh malam terakhir. Jika kalian dapat berdzikir kepada Allâh pada saat tersebut, kerjakanlah.” (HR. Tirmidzî, Abû Dâwud dan-nâsâ’î).

Dan juga ada waktu yang mustajabah dalam setiap malam, yang sangat baik bila kita memanfaatkannya untuk memohon segala Hâjat keperluan kita di didunia dan akhirat, sungguh, kesempatan yang sangat baik, jangan terlewatkan. Sebagaimana hadîts:

�یل لسا�ة،لا -، قال: سمعت رسول ا!له -رضي ا!له عنه -عن Uا-ر صلى ا!له �لیه وسلم ،یقول: ( ان� في ا!للا� +عطاه

4نیا وا�خرة، ا ه،وذ!ك كل� لیلة ) یوافقها رUل مسلم rسpل ا!له تعالى X@را من +مر الد� �oرواه مسلما

Dari Jâbir � berkata, "aku mendengar Rasûlullâh berkata: “ Sesungguhnya pada malam hari itu ada satu waktu, dimana tidaklah seseorang muslim meminta kepada Allâh Ta’âlâ suatu permintaan yang baik untuk urusan dunia dan akhirat kecuali pasti akan Dia kabulkan, dan itu ada di setiap malam.” (HR Muslim).

Dan balasan surga yang indah telah menanti:

ن� في الجن�ة 4�م: ا ، قال: قال رسول ا!ل�ه صل�ى ا!ل�ه �لیه وسل غرفا �رى ظاهرها من عن +�ب(ي ما!ك ا��شعري

ی عام،و�بع الص ها ا!ل�ه لمن +�لان الكلام ، و+�طعم الط� �یل والن�اس Mطنها، وMطنها من ظاهرها +��د� ام،وصل�ى M!ل )البغوي شرح السDنة-رواه احمد( نیام

Dari Abi Mâlik Al-Asy’ârî � berkata, " Rasûlullâh bersabda: “Sesungguhnya di surga itu terdapat kamar-kamar yang bagian luarnya terlihat dari dalam dan bagian dalamnya terlihat dari luar yang disiapkan oleh Allâh bagi yang lembut dalam ucapan, memberikan makanan, senantiasa berpuasa dan mengerjakan shalât malam di saat manusia terlelap dalam tidurnya.” (HR.Ahmad, Tirmidzî dan Ibn Hibbân).

Keempat, mendapatkan “bonus” yang luar biasa banyaknya Allâh mengobral pemberian yang berlimpah, bagi siapa saja yang mendirikan shalât malam, sebagaimana hadîts:

Page 173: Ringkasan Fiqh shalât - MRKR

172

من قام بعشر +oت لم �ك1ب -عن عبد ا!له -ن عمرو -ن العاص قال قال رسول ا!له صلى ا!له �لیه وسلم (رواه ابو داود) ة كتب من المق[طر�ن من الغافل@ن ومن قام بمائة +یة كتب من القانت@ن ومن قام ب�pلف +ی

Dari ‘Abdillâh bin ‘Amr bin ‘Ash �, ia berkata, Rasûlullâh bersabda, “Siapa saja yang mendirikan (shalât) untuk membaca dari alquran sebanyak 10 ayat maka tidak dicatat sebagai orang yang lupa, dan siapa yang membaca 100 ayat akan dicatat sebagai orang yang Qanitin (orang yang suka beribadah) dan siapa yang membaca 1000 ayat akan dicatat sebagai orang Muqantirîn (orang kaya yang suka bersedekah).” (HR. Abû Dâwud dalam Bab Tahdzîbu al-Qur’ân).

Mengenai muqantirîn ini, ‘Abdurrazzaq as-San’ânî menerangkan dalam Mûshânaf-nya,

بعون +�لفا Dئل ا-ن عمر كم الق[طار ؟ فقال : س Dقال : فس عبد الرزاق الصنعاني) -(المصنف

yaitu ketika Ibnu ‘Umar � ditanya mengenai berapa banyak Qintâr itu? Beliau menjawab,“ 70.000.”

Kelima, menguatkan jiwa serta merupakan jalan mendapatkan tempat dan balasan yang terpuji Allâh berfirman:

ا رزق[اهم ینفقون تت�افى �هم خوفا وطمعا ومم� تعلم نفس ما +kخفي لهم فلا )16( ج[وبهم عن المضاجع یدعون ربة +��@ن جزاء بما كانوایعملون )17( من قر�

Lambung mereka jauh dari tempat tidurnya [*] dan mereka selalu berdoa kepada Rabbnya dengan penuh rasa takut dan harap, serta mereka menafkahkan apa apa rezki yang Kami berikan. Tak seorangpun mengetahui berbagai nikmat yang menanti, yang indah dipandang sebagai balasan bagi mereka, atas apa yang mereka kerjakan. [*] Maksudnya mereka tidak tidur di waktu biasanya orang tidur untuk mengerjakan shalât malam.

Banyak ayat Alquran dan hadîts Nabi yang menerangkan keutamaan shalât malam itu, untuk beribadah kepada Allâh, dan menambah keimanan.

Shalât tahajjud dapat mengangkat manusia ke tempat yang terpuji, sebagaimana Allâh berfirman:

�یل ف1ه�� �ك مقاما محموداومن ا!ل د به �فلة !ك عسى +�ن یبعثك ربDan pada sebagian malam hari bershalât tahajjud-lah kamu sebagai ibadah tambahan bagimu, mudah-mudahan Tuhanmu mengangkat kamu ke tempat yang terpuji. (QS. Al Isrâ’(17): 79).

Pada ayat yang lain Allâh menerangkan bahwa shalât dan membaca Alquran di malam hari itu dapat menguatkan jiwa sehingga jiwa itu akan dapat menerima sesuatu yang lebih berat dan besar dari-Nya. Allâh berfirman:

ل م �ها المز� لا� قلیلا قم ا!ل�یل )o )1 +�ی4ن �رتیلا )3( نصفه +�و انقص م[ه قلیلا )2( ا �� )4( +�و زد �لیه ورتل القر+

نلقي �لیك قولا ثقKلا Dلا )5( سKیل هي +�شد� وطئا و+�قوم ق�ئة ا!ل D�ش �ن 4 )6( ا

Hai orang yang berselimut (Muhammad), bangunlah untuk shalât di malam hari, kecuali sedikit (daripadanya), (yaitu) seperduanya atau kurangilah dan seperdua itu sedikit atau lebih dari seperdua itu. Dan bacalah Alquran itu dengan perlahan-lahan. Sesungguhnya Kami akan menurunkan kepadamu perkataan yang berat, sesungguhnya bangun di waktu malam adalah lebih tepat (untuk khusyuk) dan bacaan di waktu itu lebih berkesan. (Q.S. Al Muzammil (73): 1-6).

Diriwayatkan oleh lbnu Jarîr, Al-Hakim dan Ibnu Mardawaihi bahwa Mu’âdz bin Jabal � bertanya kepada Rasûlullâh :

؟ قال: عن معاذ رضي ا!له عنه قال: قلت : o رسول ا!له،+�LXرني بعمل یدXلني الجن�ة ویبا�دني من الن�ار ره ا!له تعالى �لیه �ه ل@س@ر �لى من rس� لاة (لقد سpلت عن عظیم،وان : تعبد ا!له لا ¦شرك به ش@Æا ،وتقKم الص�

Page 174: Ringkasan Fiqh shalât - MRKR

173

وم ج[� �ك �لى +بواب الg@ر؟ الص� كاة ،وتصوم رمضان،وتحج� الب@ت) ثم� قال: (+لا +د! دقة ،وتؤتي الز� ة، والص�Uل من جوف ا!ل�یل) ثم� تلا: {تت�افى ج[وبهم عن تطفئ الخطیئة كما یطفئ الماء الن�ا ر،وصلاة الر�

)2616(، والqرمذي ) 3973(+خرUه: ا-ن ماUه المضاجع}Dari Mu’âdz � berkata Ya Nabi Allâh, beritahukanlah kepadaku perbuatan yang dapat memasukkan aku ke surga dan menjauhkan aku dari api neraka. Rasûlullâh bersabda: "Sesungguhnya engkau benar-benar telah menanyakan sesuatu yang besar, sesungguhnya perbuatan itu mudah dilakukan oleh orang yang dimudahkan Allâh baginya: "Engkau menyembah Allâh, tidak memperserikatkan-Nya dengan sesuatupun, mendirikan shalât, menunaikan zakat, puasa pada bulan Ramadhân, berhaji ke Baitullah", kemudian Rasûlullâh meneruskan sabdanya: "Maukah engkau aku tunjukkan kepadamu pintu kebaikan? Puasa itu adalah perisai, sedekah menghapuskan kesalahan, dan shalât pada pertengahan malam, kemudian beliau membaca: "Tatajafa... sampai akhir". (H.R. Ibnu Jarîr, Hakim dan Ibnu Mardawaih juga oleh Ibn Mâjah dan At Tirmidzî).

Diriwayatkan oleh Ibnu Jarîr dari Ibnu’Abbâs ما� berkata: maksud "lambung mereka jauh ر��� اللھ ع<

dari tempat tidur mereka" ialah beribadah kepada Allâh, adakalanya bangun dengan mengingat Allâh, adakalanya shalât, berdiri, duduk atau tidur, mereka selalu mengingat Allâh .

Hukum Shalât Tahajjud Shalât tahajjud hukumnya sunnah muakkadah. Shalât tahajjud adalah shalât yang selalu dikerjakan oleh Nabi Muhammad , bahkan seandainya beliau ada udzur (sakit atau lainnya) sehingga tidak melaksanakannya, beliau mengganti dengan shalât 12 (dua belas) rakaat di siang harinya, sebagaimana hadîts dalam Shahîh Muslim:

ذا �لبــه نــوم +�و وجــع عــن وكان نب(ي� ا!ل�ه صلى ا!له �لیه وسلم 4ذا صل�ى صلاة +�حب� +�ن یداوم �لیهــا وكــان ا

�یل صل�ى من الن�هار ث1�ي عشرة ركعة قKام ا!ل‘Âisyah ا� berkata, "Adalah Rasûlullâh , jika tidak shalât malam karena sakit atau ر��� اللھ ع<

lainnya, beliau melakukan shalât 12 (dua belas) rakaat di siang hari." (Shahîh Muslim).

Dalam melakukan shalât tahajjud disunnahkan memulainya dengan shalât sunnah dua rakaat yang ringan (tidak panjang).

�ه �یل فلیصــل ركعتــ@ن خفKف1ــ@ن. صلى ا!له �لیه وسلم عن +�ب(ي هر�رة قال قال رسول ا!ل ذا قام +��دكم من ا!ل4ا

ل بعد ما شاء ذا بمعناه زاد ثم� لیطو 4 ا

Dari Abû Hurairah �, Rasûlullâh bersabda: "Jika salah satu di antara kalian melakukan shalât malam, hendaknya memulainya dengan dua rakaat yang ringan". Artinya sesudah itu boleh shalât dengan shalât yang lebih panjang sekehendaknya.” (Riwayat Muslim, Abû Dâwud, dan Ahmad).

Waktu Pelaksanaannya Dikerjakan di malam hari (afdhal setelah tidur) yaitu: 1. Sepertiga pertama, yaitu dari jam 7-10 malam (waktu utama) 2. Sepertiga kedua, yaitu dari jam 10-1 malam (waktu lebih utama) 3. Sepertiga ketiga, yaitu dari jam 1 malam sampai masuknya waktu subuh (waktu yang

paling utama).

Jumlah Rakaatnya Minimal dua rakaat, maksimal tidak dibatasi sesuai kemampuan (tiap-tiap dua rakaat salam). Namun ada juga yang mengatakan,10 (sepuluh) rakaat. Sebagaimana Hadîts:

�دى عشرة ركعة ، یو�ر م[ها بوا�دة عن �اÎشة : +�ن� رسول ا!ل� 4�یل ا ه صلى ا!له �لیه وسلم كان یصلى M!ل

Dari ‘Âisyah ـا� berkata, "Bahwa Rasûlullâh , shalât malam itu sebelas rakaat termasuk ر�ـ�� اللـھ ع<

satu rakaat witir.” (Sunan Kubrâ – Baihaqî).

Page 175: Ringkasan Fiqh shalât - MRKR

174

12 (dua belas) rakaat, atau 8 (delapan) rakaat dan ditutup dengan 3 rakaat Witir:

�ه عنها كیف كانت صلاة رسول ا! �ه س�pل �اÎشة رضي ا!ل حمن +�ن ل�ه صلى ا!لــه �لیــه عن +�ب(ي سلمة -ن عبد الر�ي +�ربعــا فــلا ¦ســل في رمضان فقالت ما كا وسلم �دى عشرة ركعة یصل

4ن �زید في رمضان ولا في �@ره �لى ا

ي ثلا� نهن� وطولهن� ثم� یصل Dي +�ربعا فلا ¦سل عن حس نهن� وطولهن� ثم� یصل Dعن حس Dari Abi Salamah bin Abdurrahman bahwasanya ia bertanya kepada 'Âisyah ا� ع<

ھ

� الل ر�� tentang

shalât Rasûlullâh di bulan Ramadhân. Maka ia menjawab: "Tidak pernah Rasûlullâh (shalât tathawwu') di bulan Ramadhân dan tidak pula di (bulan) lainnya lebih dari sebelas rakaat (yaitu) ia shalât empat (rakaat) jangan engkau tanya tentang bagus dan panjangnya, kemudian beliau shalât empat (rakaat) jangan engkau tanya panjang dan bagusnya, kemudian beliau shalât tiga rakaat." (Hadîts Shahîh Riwayat Bukhârî dan Muslim).

Cara mengerjakannya Membaca basmalah dan berniat shalât tahajjud, lafadznya:

�ه تعالى تقhل القhلة !ل Dد ركعت@ن مس ن�ة الت�ه�� Dي س �ه +�كLر - +kصل ا!لUsallî sunnatat tahajjudi rak‘âtaini mustaqbilal qiblati lillâhi ta‘âlâ- Allâhu Akbar. Saya berniat shalât sunnah Tahajjud dua Rakaat dengan menghadap kiblat karena Allâh Ta’âlâ

Rakaat pertama setelah membaca Al Fâtihah, bacalah Surat Al Baqarah 284-286: (hingga akhir surat - رض

ماوات وما QR الأ ھ ما QR الس

.atau surat-surat yang mudah (لل

Rakaat kedua, setelah membaca Al Fâtihah, bacalah surat Ali Imran ayat 18, 26,27:

لا� هو 4له ا

4لا� هو والملا¬كة و+kولو العلم قائما Mلقسط لا ا

4له ا

4�ه لا ا �ه +�ن العز�ز الحكKم شهد ا!ل

ن ¦شاء وتعز� مــن ¦شــاء �هم� ما!ك الملك تؤتي الملك من ¦شاء وت�زع الملك مم� وتــذل� مــن ¦شــاء بیــدك قل ا!ل�یل في الن�هار وتولج الن�هار �ك �لى كل شيء قد�ر تولج ا!ل ن

4ت وتخــرج الg@ر ا �یل وتخرج الحي� من المی في ا!ل

ت من الحي و�رزق من ¦شاء بغ@ر حساب المی(Atau -surat yang mudah dari Alquran.)

Doa Shalât Tahajjud

Setelah melaksanakan shalât Tahajjud, bacalah dzikir yang anda suka atau yang mudah. Kemudian lanjutkan dengan membaca doa dari Al Quran dan juga dari hadîts berikut :

Doa Shalât Tahajjud dari Alquran

وقل Uاء )80(وقل رب +�دXلني مدXل صدق و+�خرج[ي مخرج صدق واجعل لي من لدنك سلطا� نص@را ن� الباطل كان زهوقا 4

)81(الحق� وزهق الباطل اDan Katakanlah: "Ya Tuhan-ku, masukkanlah Aku secara masuk yang benar dan keluarkanlah (pula) Aku secara keluar yang benar dan berikanlah kepadaku dari sisi Engkau kekuasaan yang menolong[*]. Dan Katakanlah: "Yang benar telah datang dan yang batil telah lenyap. Sesungguhnya yang batil itu adalah sesuatu yang pasti lenyap.” (QS. Al-Isrâ’(17):80–81). [*] Maksudnya: memohon kepada Allâh supaya kita memasuki suatu ibadah dan selesai daripadanya dengan niat yang baik dan penuh keIkhlâsan serta bersih dari riya’ dan dari sesuatu yang merusakkan pahala. ayat Ini juga mengisyaratkan kepada Nabi supaya berhijrah dari Mekah ke Madinah. Ada juga yang menafsirkan: memohon kepada Allâh supaya kita memasuki kubur dengan baik dan keluar daripadanya waktu hari-hari berbangkit dengan baik pula.

Doa Shalât Tahajjud dari Hadîts

Dari Kitâb Shahîh Bukhârî Bab Tahajjud bil lail

Page 176: Ringkasan Fiqh shalât - MRKR

175

ثنا سفKا ثنا �لي� -ن عبد ا!ل�ه قال �د� �ــه عنهمــا �د� ثنا سلیمان -ن +�ب(ي مسلم عن طاوس سمع ا-ن عب�اس رضي ا!ل ن قال �د�د قال صلى ا!له �لیه وسلمقال كان الن�ب(ي� ذا قام من ا!ل�یل یته��

4 ا

موات و ــموات وا��رض ومــن فــKهن� ا!ل�هم� !ك الحمد +�نت قKم الس� ا��رض ومن فKهن� و!ك الحمد !ــك ملــك الس�ــموات وا��رض موات وا��رض ومن فKهن� و!ــك الحمــد +�نــت ملــك الس� و!ــك الحمــد و!ك الحمد +�نت نور الس�

ــد +�نت الحق� �ــه وو�دك الحق� ولقاؤك حقÓ وقو!ك حقÓ والجن�ة حقÓ والن�ار حقÓ والن��KLــون حــقÓ ومحم� صــل�ى ا!للیــ

4ا�ة حقÓ ا!ل�هم� !ــك +�ســلمت وبــك +م[ــت و�لیــك توك�لــت وا ك +�نLــت وبــك Xاصــمت �لیه وسل�م حقÓ والس�

م و+�نــ رت وما +�سررت وما +��لنت +�نت المقد مت وما +�خ� لیك �اكمت فاغفر لي ما قد�4لا� وا

4لــه ا

4ر لا ا ت المــؤخ

له �@رك 4 +�نت +�و لا ا

لا� M!ل�ه :ریم +�بو +kمK�ة قال سفKان وزاد عبد الك 4ة ا ولا حول ولا قو�

Ibnu ‘Abbâs ما� berkata, "Adalah Rasûlullâh . Beliau bangun meninggalkan tidur pada ر��� اللھ ع<

malam kemudian ber (shalât) tahajjud beliau membaca:

"Ya Allâh hanya bagi-Mu segala puji, Engkaulah cahaya langit dan bumi dan semua isinya, hanya bagi-Mu segala puji, Engkaulah yang Pencipta langit dan bumi dan semua isinya. Hanya bagi-Mu segala puji. Engkaulah penguasa langit dan bumi dan siapa yang ada padanya. Engkaulah satu-satunya yang Haq demikian pula jnnan-Mu, janji- Mu dan pertemuan dengan-Mu adalah haq. Hapuskanlah semua dosa) yang telah lama dan yang baru kulalui; (demikian pula) yang kukemukakan dan yang kurahasiakan. Engkaulah yang Maha terdahulu dan Maha Akhir. Tiada tuhan selain Engkau, tiada daya dan upaya selain karena Engkau. Surga dan neraka adalah haq. Hari kebangkitan adalah haq. Para nabi adalah haq, Muhammad adalah haq. Ya Allâh hanya pada-Mu aku berserah diri, kepada-Mu aku beriman, kapada-Mu aku bertawakkal, kepada-Mu aku kembali, kepada-Mu aku mengadu, dan hanya kepada-Mu aku bertahkim (mohon keadilan hukum). Maka ampunilah daku, ampunilah dosa-dosaku yang telah lama dan dosa-dosaku yang baru lalu, yang aku lakukan secara diam-diam ataupun terang-terangan. Engkau adalah Tuhanku. Tiada Tuhan melainkan Engkau."

Sufyân berkata, "Abdul Karim Abû Umayah menambahkan kata,“Dan tiada upaya dan kekuatan selain karena pertolongan Allâh." Hukum shalât Tahajjud berjamaah Ulama kalangan mazhab Hanbalî membolehkan (lebih dianjurkan shalât secara munfarid atau dikerjakan sendiri), tetapi kalangan mazhab Syâfi’î dan Hanafî menghukumi makruh.

Mereka berpendapat bahwa ijtima’ (berkumpulnya) manusia untuk menghidupkan malam hanya dibenarkan untuk shalât Tarâwîh di bulan Ramadan. Selain Tarâwîh, disunnahkan melakukan shalât secara munfarid (sendirian) Ibnu Hazm Ad-Dhâhirî, berpendapat sunnahnya berjamaah dalam shalât nâfilah adalah mutlak.

Di dalam Kitâb Fiqh Lima Mazhab, oleh Muhammad Jawad Mughnîyah, halaman 135- Bab Shalât berjamaah, disebutkan bahwa keempat mazhab sunni (Hanafî, Syâfi’î, Mâlikî dan Hanbalî) berpendapat shalât berjamaah dilakukan untuk shalât fardlu dan shalât sunnah, berbeda dengan mazhab Syi’ah Imamiyah (Fiqh Ja’farî) yang tidak menyebutkan Shalât berjamaah untuk Shalât Sunnah. Shalât Tahajjud atau Shalât witir dulu? Dalam Kitâb Fathul Mu’în-lil Malibârî – Pasal Shalât Nafil, disebutkan:

Page 177: Ringkasan Fiqh shalât - MRKR

176

د وعمر رضي ا!له عنه ینام قhل +�ن یو�ر وقد كان +�بو -كر رضي ا!له عنه یو�ر قhل +�ن ینام ثم� یقوم ویته�� M ذX�+ م فقال هذا� لى رسول ا!له صل�ى ا!له �لیه وسل

4د ویو�ر فqرافعا ا لحزم یعني +�M -كر وهذا ویقوم ویته��

ة یعني عمر +�Xذ Mلقو�Abû Bakar � melakukan shalât witir sebelum tidur, kemudian bangun untuk mengerjakan shalât Tahajjud. Sedangkan Umar � tidur dulu sebelum mengerjakan shalât witir (yaitu tidur dulu kemudian bangun untuk shalât Tahajjud, kemudian ditutup dengan shalât witir). Maka beliau berdua menghadap kepada Rasûlullâh memohon nasihatnya. Rasûl menjawab:” Inilah yang melaksanakannya secara hati-hati yaitu Abû Bakar �, sedangkan yang kuat adalah Umar �.” Syaikhul Islâm Zakariyyâ Al-Anshârî berpendapat:

(قوله : فهو .�د (فهو +فضل) من صلاته قhل نفل ا!لیل(و) حKث یصلیه (بعد نفل ا!لیل) ان كان له تنفل +ي : ته +فضل) ، وان لزم �لى تXp@ره فوات صلاة الجما�ة فKه في رمضان

“Sekiranya seseorang melaksanakan shalât witir setelah shalât tahajjud maka hal tersebut lebih utama daripada shalât witir sebelum tahajjud. Meskipun dengan mengakhirkan witir akan menyebabkan tidak terlaksananya shalât witir dengan cara jamaah di bulan Ramadhan.” (Syaikhul Islâm Zakariyyâ Al-Anshârî, Syarh al-Bahjah al-Wardiyah, 4/140).

Qadha’ Shalât (qiyâm) Lail Bagi orang yang memiliki kebiasaan Tahajud dan witir, kemudian tidak sempat mengerjakannya karena sebab tertentu, dianjurkan untuk menqadha’-nya. Waktunya adalah antara subuh sampai menjelang dhuhur. Berdasarkan hadîts:

�ه +� ائب -ن �زید وعبید ا!ل حمن -ن عبد القاري� قال سمعت عمر -ن عن ا-ن شهاب +�ن� الس� LXراه +�ن� عبد الر�

�ه صل�ى ا!ل�ه �لیه وسل�م اب یقول قال رسول ا!ل من �م عن حزبه +�و عن شيء م[ه فقر+�ه فKما ب@ن صلاة :الخط��ما قر+�ه من ا!ل�یل الفجر و هر كتب له ك�pن صلاة الظ�

Dari Ibnu Syihâb bahwa As-Sâib bin Yazîd dan 'Ubaidullâh mengabarkan kepadanya, dari 'Abdurrahman bin 'Abdul Qârî berkata; Aku mendengar 'Umar bin Al-Khaththab � berkata: "Rasûlullâh bersabda: “Siapa saja yang ketiduran, sehingga tidak melaksanakan kebiasaan shalât malamnya, kemudian dia baca (mengerjakannya) di antara shalât subuh dan shalât dhuhur maka dia dicatat seperti orang yang melaksanakan shalât tahajud di malam hari.” (HR. Muslim, Nasâî, Abû Dâwud, dan Ibnu Mâjah).

Hadîts dari Abû Sa’îd al-Khudrî �, Nabi bersabda,

ذا +�صبح +�و ذكره 4یه فلیصل ا Dمن �م عن الو�ر +�و �س

Siapa yang ketiduran atau kelupaan sehingga tidak witir, hendaknya dia mengerjakannya setelah masuk subuh atau ketika ingat. (HR. Tirmidzî 467, Ahmad 11264 dan dishahîhkan Syuaib al-Arnauth)

Syekh Abû Thayyîb Syamsul haq Muhammad Asyaraf bin ‘ Alî Haidar As-Siddiqî Al-Adzhîm Abadî dalam kitabnya Aunul Ma’bûd Syarh Sunan Abi Dâwud mengatakan, “Hadîts ini menunjukkan disyariatkannya melakukan amal saleh di malam hari, dan menunjukkan disyariatkannya mengqadha’ amalan tersebut jika tidak sempat melaksanakannya, karena ketiduran atau udzur lainnya.

�ما قر+�ه من ا!ل�یل من �م عن حزبه +�و عن شيء هر كتب له ك�pن م[ه فقر+�ه فKما ب@ن صلاة الفجر وصلاة الظ�

Siapa yang melaksanakan qadha’ amal ini di antara shalât subuh dan shalât Dhuhur, maka dia seperti melaksanakannya di malam hari.” (Aunul Ma’bûd Syarh Sunan Abi Dâwud, 4/139). Jumlah rakaat shalât tahajjud (qadha’)

Page 178: Ringkasan Fiqh shalât - MRKR

177

Jumlah rakaatnya sama dengan jumlah rakaat shalât tahajud ditambah satu (digenapkan). Misalnya, seseorang memiliki kebiasaan tahajud (Shalât tahajud dan Shalât Witir) 11 rakaat maka nanti diganti di waktu dhuha sebanyak 12 rakaat. Siapa yang memiliki kebiasaan tahajjud (Shalât tahajud dan Shalât Witir) 3 rakaat maka diganti di waktu dhuha sebanyak 4 rakaat, dan seterusnya. Nabi melaksanakan shalât qadha’ 12 rakaat karena beliau memiliki kebiasaan shalât malam sebanyak 11 rakaat.

Berdasarkan hadîts riwayat ‘Âisyah ا� :ر��� اللھ ع<

ذا �م من ا!ل� 4ذا عمل عملا +�ث1Lه وكان ا

4یل +�و مرض عن �اÎشة قالت كان رسول ا!ل�ه صلى ا!له �لیه وسلم ا

ن الن�هار ث1�ى عشرة ركعة.صل�ى م

“Apabila Rasûlullâh melakukan satu amalan, beliau melakukan dengan istiqâmat, dan apabila beliau ketiduran di malam hari atau karena sakit maka beliau shalât 12 rakaat di siang hari.” (HR. Muslim dan Ibnu Hibbân).

ذا �لبــه نــوم +�و وجــع عــن صلى ا!له �لیه وسلموكان نب(ي� ا!ل�ه 4ذا صل�ى صلاة +�حــب� +�ن یــداوم �لیهــا وكــان ا

�یل صل�ى من الن�هار ث1�ي عشرة ركعة قKام ا!ل‘Âisyah رضي الله عنها berkata, "Adalah Rasûlullâh , jika tidak shalât malam karena sakit atau lainnya, beliau melakukan shalât 12 (dua belas) rakaat di siang hari." (Shahîh Muslim).

Waktunya: subuh sampai menjelang dhuhur. Berdasarkan Hadîts:

حمن -ن عبد القارى ق اب یقول قال رسول ا!ل�ه صلى ا!له �لیه وسلمعن عبد الر� :ال سمعت عمر -ن الخط�

هر كتب له ك �ما قر+�ه من ا!ل�یل من �م عن حزبه +�و عن شىء م[ه فقر+�ه فKما ب@ن صلاة الفجر وصلاة الظ� -�pن مرواه مسل

Dari Abdurrahman bin ‘Abd al Qâry, ia berkata bahwa aku mendengar Umar bin Khaththab � bahwa Rasûlullâh bersabda: “Siapa saja yang ketiduran, sehingga tidak melaksanakan kebiasaan shalât malamnya, kemudian dia baca (mengerjakannya) di antara shalât subuh dan shalât dhuhur maka dia dicatat seperti orang yang melaksanakan shalât tahajud di malam hari.” (HR. Muslim, juga diriwayatkan oleh Nasâî, Abû Dâwud (yaitu dalam Kitab Sunan Abû Dâwud karya Al Imam Sulaimân bin Al Asy’ Ats As Sijistanî [202-275 H]), Ibnu Khuzaimah dan Ibnu Mâjah).

۞

5. Shalât Dhuhâ Shalât Dhuhâ adalah shalât sunnah yang dilakukan ketika waktu Dhuhâ. Kata Dhuhâ ( لضـ�$ا ), dalam Alquran, ada enam kali disebut di dalam lima surat:

حى والض�Demi waktu matahari sepenggalahan naik. (QS. Ad Dhuhâ (93):1)

مس وضwاها والش�Demi matahari dan cahayanya di pagi hari. (QS Asy Syams (91):1).

و+�غطش لیلها و+�خرج ضwاها �هم یوم �رون ی�ة +�و ضwاهاك�pن Dعش �لا

4 ها لم یلبثوا ا

Page 179: Ringkasan Fiqh shalât - MRKR

178

Dan Dia menjadikan malamnya gelap gulita, dan menjadikan siangnya terang benderang. Pada hari mereka melihat hari berbangkit itu, mereka merasa seakan-akan tidak tinggal (di dunia) melainkan (sebentar saja) di waktu sore atau pagi hari[*]. QS An Nâziât (79):29 dan 46 [*] Karena hebatnya suasana hari berbangkit itu mereka merasa bahwa hidup di dunia adalah sebentar saja.

نا ضحى وهم یلعبون Dس<pتیهم ب<pو+�من +�هل القرى +�ن ی�+ Atau Apakah penduduk negeri-negeri itu merasa aman dari kedatangan siksaan Kami kepada mereka di waktu matahari sepenggalah-an naik ketika mereka sedang bermain? (QS Al ‘Araf 97):98).

قال مو�دكم یوم الزینة و+�ن یحشر الن�اس ضحى Berkata Mûsâ: "Waktu untuk Pertemuan (kami dengan) kamu itu ialah di hari raya dan hendaklah dikumpulkan manusia pada waktu matahari sepenggalahan naik". (QS. Thaha (20):59). Menurut hadîts, juga disebutkan bahwa shalât Dhuhâ adalah Shalât Awwâbîn (orang yang kembali kepada Allâh):

ثني من سمع +�M هر�رة یق ام -ن حوشب �د� ثنا العو� اك �د� م� د -ن الس� صــلى ول +�وصاني Xلیلي +�بو العب�اس محم�م من كل شهر وMلو�ر ق -ا!له �لیه وسلم �o�+ اب@ن بصوم ثلاثة �ها صلاة ا��و� ن

4حى فا hل الن�وم وبصلاة الض�

Abû al-‘Abbâs Muhammad ibnu Sammaki, bercerita dari Awwam ibnu Khausyabi, bercerita kepadaku seseorang yang mendengar Abû Hurairah � berkata, telah berwasiat kepadaku Rasûlullâh untuk puasa tiga hari pada setiap bulan qamariyah (puasa Yaumul bidh), shalât witir sebelum tidur dan shalât Dhuhâ, itulah Shalât Awwâbîn. (Musnad Ahmad) juga dalam Shahîh Bukhârî, Kitâb Ash-Shaum, bab: Puasa al-Bidh tanggal 13,14, dan 15 tiap bulan no. 1981; dan Muslim dalam Kitâb Shalâtu Mûsâfirîn, bab: Dianjurkannya Shalât Dhuhâ, no: 721)

Istilah shalât Awwâbîn menurut pendapat yang lainnya juga merupakan Shalât Sunnah 20 Rakaat Ba'da Maghrib (lihat Penjelasan terkait Shalât Awwâbîn)

Keutamaan Shalât Dhuhâ Di dalam tubuh manusia ada 360 sendi (persendian) setiap sendi tersebut membutuhkan shadaqah setiap harinya. Shadaqah yang diperuntukkan pada persendian sebagai wujud rasa syukur atas nikmat yang telah diberikan Allâh , untuk mencukupi semua itu, maka dua rakaat dari shalât Dhuhâ, adalah sebagai gantinya.

Dalam Shahîh Muslim, bahwa Rasûlullâh bersabda:

ؤلي عن +�ب(ي ذر عن الن�ب(ي �ه قال یصــبح �لــى كــل ســلامى مــن -صلى ا!له �لیه وسلمعن +�ب(ي ا��سود الد� +�نة و+�مــر م صــدقة فكــل� ¦ســwKLة صــدقة وكــل� تحمیــدة صــدقة وكــل� تهلیلــة صــدقة وكــل� �كh@ــرة صــدق +��ــدك

ح ىMلمعروف صدقة ونه(ي عن المنكر صدقة ویجزئ من ذ!ك ركعتان �ركعهما من الض�Dari Abû Al-Aswâdî Ad-Duallî dari Abi Dzar � berkata, Rasûlullâh bersabda:"Pada setiap pagi, pada tiap-tiap ruas persendian di antara kalian memiliki hak, yaitu shadaqah. Setiap tasbîh (subhanallâh) adalah shadaqah, setiap tahmid adalah shadaqah, setiap tahlil adalah shadaqah, setiap takbir adalah shadaqah, amar ma’ruf termasuk shadaqah, mencegah dari kemungkaran termasuk shadaqah, maka yang mencukupi demikian itu adalah shalât Dhuhâ dua rakaat.” (HR. Muslim dalam Kitâb Shalât al-Mufasirîn wa Qashriha, bab Istihbab Shalât adh-Dhuhâ no. 720).

Dan hadîts lainnya:

�ه 4ن� رسول ا!ل�ه سمع �اÎشة تقول ا ت@ن صلى ا!له �لیه وسلم+�ن Dســان مــن بنــي +دم �لــى ســ�

4�ه Xلق كــل� ا ن

4قال ا

�ه �ــه وعــزل حجــرا عــن طریــق وثلاث مائة مفصل فمن كL�ر ا!ل تغفر ا!ل Dــه واســ� ب�ح ا!ل Dه وســ� وحمد ا!ل�ه وهل�ل ا!ل

Page 180: Ringkasan Fiqh shalât - MRKR

179

ت Dاس و+�مر بمعــروف +�و نهــ(ى عــن م[كــر �ــدد تلــك الســ�اس +�و شوكة +�و عظما عن طریق الن�لاث الن�ن والــث@�ه یمشي یومÆذ وقد زحزح نفسه عن الن�ار مائة ن

4لامى فا الس�

Sesungguhnya ‘Âisyah ـھ ع<�ـا

� الل ,berkata, sesungguhnya Rasûlullâh bersabda: "Pada setiap pagi ر��

pada tiap-tiap ruas persendian(*) di antara kalian memiliki hak, yaitu shadaqah. setiap takbir adalah shadaqah, setiap tahmid adalah shadaqah, setiap tahlil adalah shadaqah setiap tasbîh (subhanallâh) adalah shadaqah,dan juga beristighfar kepada Allâh, dan menyingkirkan batu atau duri atau tulang dari jalan, amar ma’ruf termasuk shadaqah, mencegah dari kemungkaran termasuk shadaqah, itulah shadaqah untuk 360 ruas tulang maka sungguh ia telah menyelamatkan dirinya dari neraka. ” (Shahîh Muslim). [*]aslinya tulang jari jemari dan telapak tangan kemudian di pergunakan untuk seluruh tulang-tulang badan dan persendiannya, lihat syarh An-Nawâwî atas Shahîh Muslim 5/272.

Hadîts serupa juga diriwayatkan oleh Abû Dâwud dalam hadîts no. 5242 dan Ahmad, 5/354, Shahîh Sunan Abi Dâwud, 3/984.

Bahkan surga mempunyai pintu yang diberi nama “Pintu Dhuhâ”, sebagaimana hadîts:

�ذ�ن كانوا ی ذا كان یوم القKامة �دى م[اد +��ن ال4حى فا ــحى ان� فى الجن�ة MM یقال له الض� دیمون �لى صــلاة الض�

ى ا�وسط ، والخطیب فى المتفق والمفqرق عن +ب(ى هر�رة)(الطLرانى فهذا M-كم فادXلوه -رحمة ا!له “Sesungguhnya di surga itu ada pintu yang diberi nama Pintu Dhuhâ. Maka ketika tiba hari kiamat, ada panggilan: Dimanakah orang yang suka membiasakan shalât Dhuhâ? Inilah pintu kalian, masuklah kalian semua dengan rahmat Allâh.” (At-Thabrânî dalam Al-Awsath dan Al-Khatîb dari Abû Hurairah �).

Hukum Shalât Dhuhâ Hukumnya sunnah muakkadah. Mazhab Mâlikî berpendapat bahwa shalât Dhuhâ itu hukumnya bukan sunnah tapi, mandub Muakkad.

Waktu Pelaksanaannya: Waktunya shalât Dhuhâ mulai terbitnya matahari dari ¼ jam setelah terbitnya matahari sampai kurang ¼ jam sebelum shalât Dhuhur.

Waktu yang paling utama untuk menunaikannya adalah ketika terik matahari mulai makin menyengat, berdasarkan hadîts:

اب@ن �@ن �رمض الفصال صلى ا!له �لیه وسلم -ن +�رقم; +�ن� رسول ا!ل�ه عن زید قال: صلاة ا��و�Dari Zaid bin Arqam �, sesungguhnya Rasûlullâh bersabda: “Shalât orang-orang yang kembali kepada Allâh (Awwâbîn) adalah ketika anak-anak unta (fishâl) kepanasan.” (HR Muslim, hadîts no. 748.) Jumlah Rakaat: Jumlah rakaat shalât Dhuhâ: 2,4,6,8 atau 12 rakaat. Dan setiap dua rakaat, salam. Rasûlullâh bersabda :

�ه ن صلى ا!له �لیه وسلم عن +�ب(ي هر�رة قال قال رسول ا!ل4ــحى غفــر لــه ذنوبــه وا من �افظ �لــى شــفعة الض�

كانت م¡ل زبد البحر Dari Abû Hurairah � berkata, Rasûlullâh bersabda: "Siapa yang menjaga (mngerjakan secara terus-menerus) shalât Dhuhâ, akan diampuni dosanya oleh Allâh, meskipun dosa itu sebanyak buih di lautan." (Sunan At Tirmidzî).

Hadîts :

Page 181: Ringkasan Fiqh shalât - MRKR

180

�ه رداء +�و +�ب(ي ذر عن رسول ا!ل � صلى ا!له �لیه وسلم عن +�ب(ي الد� ن ه قال ا-ن +دم اركع لي عن ا!ل�ه عز� وUل� +�

ل الن�هار +�ربع ركعات +�كفك +خره قال +�بو �@سى هذا �دیث حسن غریب -من +�و�

Dari Abû Dardâ’ atau Abû Dzar مــا� ع<ـھ

� الل berkata, Rasûlullâh dari Allâh Azza wa jalla ر�ــ�

berfirman:" Wahai Anak Adam ruku'lah (shalât-lah) di awal siang (Dhuhâ) empat rakaat, Aku cukupkan untukmu hingga waktu sore." (Sunan At Tirmidzî) Abû Isa berkata : Ini hadîts Hasan Gharîb).

Hadîts:

حى ست� ركعات.دXل �لی صلى ا!له �لیه وسلمعن +kم هانئ،+�ن� الن�ب(ي� ها یوم الف1ح فصل�ى الض�Dari Ummi Hani' ـا� ,berkata, Sesungguhnya Nabi ketika penaklukan kota Mekkah ر�ـ�� اللـھ ع<

mengerjakan shalât Dhuhâ enam rakaat." (Mu'jam Al-Kabîr At-Thabrânî dan As-Syamâ’il Muhammadiyah li Tirmidzî).

Hadîts :

ــحى ثمــاني صــلى ا!لــه �لیــه وســلمعن +kم هانئ ب�ت +�ب(ي طالب +�ن� رسول ا!ل�ــه بwة الض� Dى ســ�یــوم الفــ1ح صــلم من كل ركعت@ن ركعات rسل

"Dari Ummu Hani’ binti Abi Thâlib ر�ـ�� اللـھ ع<�ـا bahwa Rasûlullâh pada hari pembebasan kota

Mekkah, shalât Dhuhâ delapan rakaat dan salam tiap dua rakaat." (Sunan Abû Dâwud).

Hadîts :

�ــه لــ صلى ا!له �لیه وسلمعن +��س -ن ما!ك قال قال رسول ا!ل�ه حى ث1�ي عشرة ركعــة بنــى ا!ل ه من صل�ى الض� قصرا من ذهب في الجن�ة

Dari Anas bin Mâlik � berkata, Rasûlullâh bersabda: “Siapa shalât Dhuhâ 12 (dua belas) rakaat, Allâh akan membuatkan untuknya istana yang terbuat dari emas di surga.” (HR. Tirmidzî dan Ibn Mâjah). Ada pendapat lain bahwa jumlah maksimal rakaat Dhuhâ tidak ada batasannya. Berdasarkan hadîts:

�ــه �ه عنهــا كــم كــان رســول ا!ل �ها س�pلت �اÎشة رضي ا!ل ثq[ي معاذة +�ن یصــلي صــلاة صــلى ا!لــه �لیــه وســلم �د�حى قالت +�ربع ركعات و �زید ما شاء الض�

Dari Muâdzah, kami bertanya kepada ‘Âisyah ي اللــه عنهــا berapa rakaat Rasûlullâh shalât رضــ

Dhuhâ? ‘Âisyah berkata: “Empat rakaat, dan beliau tambahi sekehendak beliau.” (Shahîh Muslim).

Batas minimal shalât Dhuhâ adalah dua rakaat, sedangkan batas maksimalnya delapan rakaat. Apabila ia menambah (jumlah rakaatnya) lebih dari batas itu karena sengaja dan tahu dengan berniat shalât Dhuhâ, maka selebihnya dari delapan rakaat itu tidak sah. Sedangkan apabila hal tersebut ia lakukan karena lupa dan tidak tahu, maka menurut Mazhab Syâfi’î dan Hanbalî, sah sebagai shalât nâfilah mutlak.

Mazhab Hanafî, berpendapat bahwa batas maksimal jumlah rakaat Dhuhâ adalah enam belas. Apabila melebihi dari batas maksimal dalam melakukan shalât Dhuhâ, maka yang demikian itu boleh jadi ia berniat melaksanakan keseluruhan shalât terssbut dengan satu salam, dan shalâtnya dengan niat Dhuhâ itu sah. Sedangkan selebihnya dari batas maksimal tersebut terhitung sebagai shalât nâfilah mutlak. Namun dimakruhkan melakukan shalât nâfilah pada waktu siang untuk lebih dari empat rakaat dengan menggunakan satu salam.

Mazhab Mâlikî berpendapat bahwa apabila ia melakukan lebih dari delapan rakaat maka selebihnya itu sah, dan tidak makruh, berdasarkan pendapat yang shahîh.

Page 182: Ringkasan Fiqh shalât - MRKR

181

Tata cara Shalât Dhuhâ Membaca Basmalah dan berniat dengan lafadz sebagai berikut:

حى ن�ة الض� Dى س تقhل القhلة ركعت@ن اصل Dه تعالى مس�ر - !لLه +�ك� ا!لUsallî sunnatadh dhuhâ rak‘âtaini mustaqbilal qiblati lillâhi ta‘âlâ- Allâhu Akbar. “Aku niat mengerjakan shalât sunnah Dhuhâ dua rakaat karena Allâh Ta’âlâ”

Pada rakaat pertama setelah Al-Fâtihah, membaca surat Asy-Syams, dan pada rakaat kedua sesudah Al-Fâtihah, membaca surat Adh-Dhuhâ.

�وا ركعتى ال حىصل مس وضwاها والض� حى �سورتیهما والش� (الدیلمى عن عقhة -ن �امر) ض�"Shalâtlah dua Rakaat Dhuhâ dengan membaca Wasyamsi wa Dhuhâha dan Wad Dhuhâ." (Riwayat Ad-Dailamî dari Uqbah bin Amir).

Selain itu, bacaan Surat Alquran yang dianjurkan dalam shalât Dhuhâ adalah surah al-Waqi'ah, al-Quraisy, al-Kâfirûn dan al-Ikhlâs. Juga boleh bacaan surat yang lain yang mudah baginya. Rakaat selanjutnya (ketiga dan keempat; kelima dan keenam dan seterusnya), setelah membaca Al Fâtihah dan surat, setiap dua Rakaat Salam .

Doa shalât Dhuhâ Doa setelah shalât Dhuhâ dapat menggunakan doa apapun sesuai keinginan dan supaya diperhatikan kaifiyah/tata cara berdoa: 1. Membaca Dzikir/wirid

اب الغفور �ك +�نت الت�و� ن4 (100x) رب اغفر لي وتب �لي� ا

Wahai Tuhanku ampunilah aku, dan terimalah taubatku, sesungguhnya Engkau Maha menerima taubat lagi Maha Pengampun. ( At Tirmidzî, Musnad Ahmad dari Ibn Umar

ھ ع<�ما

� الل (ر��

2. Didahului dengan membaca Ta’awudz. 3. Membaca Shalawat kepada Nabi Muhammad . 4. Memuji Allâh (Tahmid/hamdalah). 5. Berdoa Shalât Dhuhâ dan doa lainnya (sesuai maksud).

ــ تــك، والقــدرة ق ة قو� ــاؤك، والجمــال جما!ــك، والقــو� ــاء به ــwاء ضــwاؤك ، والبه ــم� ان� الض� درتك، والعصــمة ا!ل�هــعصمتك ا!ل� ــرا ف@س ن كــان معس�

4ن كان في ا��رض ف�pخرUه، وا

4ماء ف6�pزله، وا ن هم� ان كان رزقي في الس�

4ره، وا

تــك وقــ ن كــان بعیــدا فقربــه بحــق ضــwائك وبهائــك وجما!ــك وقو�4درتك +تنــي مــا +ت@ــت كان حراما فطهــره، وا

الw@ن . عبادك الص�"Ya Allâh, sesungguhnya waktu pagi ini adalah waktu pagiMu, keindahan ini adalah keindahanMu, kekuasaan ini adalah kekuasaanMu, kenyamanan ini adalah kenyamananMu. Seandainya rezeki saya di langit turunkanlah, jika tersembunyi di dalam bumi maka keluarkanlah, jika sukar mudahkanlah, jika haram bersihkanlah, jika jauh dekatkanlah, berkat kesejatian masa pagiMu, keindahanMu, dan kekuasaanMu, ya Allâh Limpahkanlah kepada kami segala apa yang telah Engkau limpahkan kepada hamba-hambaMu yang saleh." (Tuhfah Al-Muhtâj syarh al-Minhâj 7/292, I’ânatut Thâlibîn ,1/295 dan Khawasy As Syarwanî, 2/231).

Tambahkan Doa doa yang lain, baik yang bersumber dari Alquran / Hadîts atau Doa kita sendiri.

6. Ditutup dengan Shalawat kepada Nabi Muhammad serta mengucapkan Alhamdulillâhirabbil ‘Âlamîn.

Hukum Shalât Dhuhâ berjamaah Imam Nawâwî dalam Kitâb Al-Majmû’ Syarh Al-Muhadzdzab menuliskan bahwa ada dua jenis shalât sunnah dalam kaitannya disunnahkan untuk berjamaah atau tidak.

Pertama, shalât sunnah yang dilakukan dengan berjamaah. Seperti: shalât Id Fitri, shalât Id Adhâ, Tarâwîh dan lainnya.

Page 183: Ringkasan Fiqh shalât - MRKR

182

Kedua, shalât sunnah yang tidak dilakukan dengan berjamaah. Contohnya adalah shalât tahajjud atau Dhuhâ. Namun boleh dilakukan dengan berjamaah. Hanya saja bila dilakukan dengan berjamaah, tidak mendapat pahala berjamaah. Tetapi pahala shalât Dhuhâ-nya saja. Jadi shalât Dhuhâ lebih afdhal dilaksanakan secara munfarid/sendirian.

Mengqadha’ Shalât Dhuhâ Menurut mazhab Syâfi’î dan Hanbalî: Disunnahkan mengqadha’ shalât Dhuhâ jika waktunya sudah habis. Menurut mazhab Hanbalî dan Mâlikî: Semua Shalât Nâfilah yang waktunya sudah habis, tidak perlu diqadha’, kecuali dua rakaat shalât Fajar (yang boleh diqadha’ hingga matahari tergelincir/zawâl).

۞

6. Shalât Tahiyyatul Masjid Shalât Tahiyyatul Masjid, yaitu shalât sunnah yang dilakukan ketika masuk ke Masjid/Mushalla dan dilaksanakan sebelum duduk di Masjid/Mushalla tersebut. Sebagaimana hadîts:

لمي +�ن� رسو ذا دXــل +��ــدكم المســ�د فل@ركــع ركعتــ@ن صلى ا!له �لیــه وســلم ل ا!ل�ه عن +�ب(ي ق1ادة الس�4قــال ا

قhل +�ن ی�لس Dari Qatâdah As-Salamî, sesungguhnya Rasûlullâh bersabda: "Apabila seseorang dari kalian masuk ke Masjid, maka hendaklah shalât dua rakaat sebelum ia duduk. (Shahîh Bukhârî Muslim)”.

Hukumnya sunnah Muakkad. Menurut mazhab Dzâhirî, Wajib

Waktu pelaksanaannya Boleh kapan saja, ketika masuk masjid bukan pada waktu-waktu yang dilarang untuk shalât Nâfilah/sunnah. Menurut pendapat yang masyhur dari Mazhab Mâlikî, bahwa shalât Tahiyyatul Masjid hanya bagi mereka yang masuk masjid dengan maksud duduk di dalamnya.

Ketentuan-ketentuan terkait Shalât Tahiyyatul Masjid: Masuk Masjid dalam keadaan suci (pendapat dari mazhab Hanafî, Mâlikî dan Hanbalî).

Menurut mazhab Syâfi’î, bagi yang berhadats bisa bersuci terlebih dulu kemudian mengerjakan shalât Tahiyyatul Masjid.

Jika seseorang masuk Masjid ketika sudah Iqâmat , maka tidak perlu Shalât Tahiyyatul Masjid (Hanafî, Syâfi’î dan Hanbalî). Menurut mazhab Mâlikî, ada dua ketentuan syarat: (i) Bila imam Masjid tersebut adalah Imam tetap, maka tidak perlu shalât Tahiyyatul Masjid. (ii) Bila bukan imam tetap, ia boleh shalât Tahiyyatul Masjid.

Bila Masuk Masjid ketika Khatib akan naik/sudah berada di Mimbar, maka menurut Mazhab Hanafî dan Mâlikî, tidak perlu shalât tahiyyatul Masjid. Menurut Syâfi’î dan Hanbalî, tetap disunnahkan shalât Tahiyyatul Masjid, bila ia belum duduk yang lamanya setara dengan shalât Tahiyyatul Masjid, bila duduknya melewati batas tersebut, tidak perlu Shalât Tahiyyatul Masjid.

Bila masuk Masjid, sengaja untuk langsung duduk, maka tidak perlu shalât Tahiyyatul

Masjid (demikian menurut Mazhab Syâfi’î). Menurut Mazhab Hanafî dan Mâlikî, langsung duduk sebelum tahiyyatul Masjid adalah Makruh.

Bila Masuk Masjidil Haram, Shalât Tahiyyatul Masjid diganti dengan Thawâf Sunnah (Mazhab Hanafî, Mâlikî dan Hanbalî), sedangkan menurut mazhab Syâfi’î ada dua ketentuan: (i) Tahiyyat/salam hormat kepada Baitullah dengan Thawâf Sunnah. (ii) Tahiyyat untuk Masjidil Haram dengan shalât Tahiyyatul Masjid.

Bila masuk Masjid tidak dapat melaksanakan shalât Tahiyyatul Masjid, baik karena hadats atau sebab lainnya, maka menurut mazhab Hanafî, Mâlikî dan Syâfi’î, harus membaca sebanyak empat kali:

�ه +�كLر �ه والحمد !ل�ه ولا اله الا� ا!ل�ه وا!ل بwان ا!ل Dس

Page 184: Ringkasan Fiqh shalât - MRKR

183

Niat shalâtnya adalah :

ن�ة تحی�ة المس�د Dى س تقhل القhلة ركعت@ن اصل Dه تعالى مس� ا!ل�ه +�كLر - !لUsallî sunnatan tahiyyatal masjid rak‘ataini mustaqbilal qiblati lillâhi ta‘âlâ- Allâhu Akbar. “Aku niat mengerjakan shalât sunnah tahiyyat Masjid dua rakaat karena Allâh Ta’âlâ”- Allâhu Akbar

Tata caranya sama dengan shalât sunnah lainnya, tinggal mengganti lafadz niat-nya.

۞

7. Shalât Sunnah Pergi dan Pulang Safar Adalah Shalât sunnah dua rakaat yang mempunyai sebab Mutaakhir, dikerjakan ketika akan bepergian. Sesuai hadîts:

)رواه الطLراني (فرا �ركعهما عندهم �@ن �رید س ركعت@ن ما Xلف +��د عند +�هله +�فضل من

"Tidak ada sesuatu yang lebih utama untuk ditinggalkan oleh seseorang di tengah keluarganya (kecuali) adalah (shalât) dua rakaat yang dilakukan di sisi mereka(keluarganya) ketika hendak bepergian (safar).” (Diriwayatkan At Thabrânî – dalam Kitâb Al Adzkâr li Nawâwî).

�ه عنه،عن الن�ب(ي ذا خرجــت مــن م�ز!ــك فصــل ركعتــ@ن صلى ا!له �لیــه وســلم عن +�ب(ي هر�رة رضي ا!ل4قــال: ا

لى م�ز!ــك فصــل ركعت ــ4ذا دXلت ا

4وء و ا ــوء تمنعانك مخرج الس� (الLــزار، والبیهقــى فــى شــعب @ن تمنعانــك مــدXل الس�

حسن)-الایمان Dari Abû Hurairah � berkata, "Nabi bersabda: " Apabila engkau keluar dari rumahmu, maka shalâtlah dua rakaat, maka shalâtmu itu akan memeliharamu dari kemasukan kejahatan. Dan apabila engkau masuk rumah (pulang dari bepergian), maka shalâtlah juga dua rakaat, maka shalâtmu itu akan memeliharamu dari kemasukan kejahatan." (Al-Bazzâr, al-Baihaqî dalam Kitâb Syu‘ab al- Îmân, hadîts hasan).

Ketika akan bepergian, shalât dengan dimulai dengan basmalah dan berniat dengan lafadz:

فر ن�ة الس� Dى س تقhل القhلة ركعت@ن اصل Dه تعالى مس� �ه +�كLر - !ل ا!لUsallî sunnata as-safari rak‘ataini mustaqbila al-qiblati lillâhi ta‘âlâ- Allâhu Akbar. “Aku niat mengerjakan shalât sunnah safar dua rakaat karena Allâh Ta’âlâ”

Atau :

ى رادة ركعت@ن اصل4فر لا تقhل القhلة الس� Dه تعالى مس� ن�ة !ل Dر - سLه +�ك� ا!ل

Usallî rak‘ataini li irâdatis -safari mustaqbila al-qiblati sunnatan lillâhi ta‘âlâ- Allâhu Akbar. “Aku niat mengerjakan dua rakaat shalât karena akan bepergian sunnah karena Allâh Ta’âlâ”

Tata caranya sama dengan shalât-shalât lainnya, tinggal mengganti lafadz niat-nya.

Ketika pulang (sudah sampai di rumah di negerinya) juga disunnahkan shalât. Shalât sunnah Qudum minas Safar ini mempunyai sebab Mutaqaddim. Dalilnya adalah hadîts:

�ه عنه +�ن� الن�ب(ي� ذا قدم من سفر ضحى دXــل المســ�د فصــل�ى صلى ا!له �لیه وسلمعن كعب رضي ا!ل4كان ا

@ن قhل +�ن ی�لس ركعت Dari sahabat Ka'ab �, "Sesungguhnya Nabi ketika pulang dari safar di pagi hari, masuk ke Masjid kemudian Shalât dua rakaat sebelum beliau duduk." (Shahîh Bukhârî).

Adapun niat shalâtnya adalah:

ن�ة لقدوم الس� Dى س تقhل القhلة ركعت@ن فر اصل Dه تعالى مس�ر - !لLه +�ك� ا!لUsallî sunnatan li qudûmis-safari rak‘ataini mustaqbila al-qiblati lillâhi ta‘âlâ- Allâhu Akbar. “Aku niat mengerjakan shalât sunnah pulang dari safar dua rakaat karena Allâh Ta’âlâ”

Tata caranya sama dengan shalât-shalât lainnya, tinggal mengganti lafadz niat-nya.

Page 185: Ringkasan Fiqh shalât - MRKR

184

Rakaat pertama membaca al-Fâtihah dan surat al-Kâfirûn, pada rakaat kedua membaca surat al- Fâtihah dan surat al-Ikhlâs. Setelah salam membaca doa:

دني ا ا!ل�هم� �هم� زو ني ومالا اهتم� له ا!ل �هم� اكف[ي ما هم� هت وبك اعتصمت ا!ل . الیك توج� لت�قوى واغفرلي ذنب(يAllâhumma ilaika tawajjahtu wa bika‘tasamtu. Allâhummakfinî mâ hammanî wa mâ lâ ahtammu lahu. Allâhumma zawwidniyat-taqwâ waghfir lî dzanbî. “Ya Allâh kepada-Mu aku menghadap dan dengan-Mu aku berpegang teguh. Ya Allâh lindungilah aku dari sesuatu yang menyusahkan dan sesuatu yang tidak aku perlukan. Ya Allâh bekalilah aku dengan taqwa dan ampunilah dosaku.

Atau ketika keluar rumah bacalah surat al-Fâtihah, ayat Kursî, kemudian membaca doa:

لتني وقد وثقت بك فلا �فت اهلي ومالي وماخو� هت وجه(ي و�لیك Xل ب ا!ل�هم� الیك وج� L[ي o من لایخی تخی§له واحفظني فKما غبت عنه ولا د و+ �هم� صل �لى محم� ع من حفظه. ا!ل �كلني الى نفسي من اراده ولایضی

احم@ن oارحم الر�Allâhumma ilaika wajahtu wajhiya, wa ‘alaika khlaftu ahlî wa malî wamâ khawaltanî, waqad watsiqtu falâ tukhayyibnî yâ man lâ yukhayyibu man arâdahu walâ yudayyi‘u man hafizahu. Allâhumma salli ‘ala muhammadin wa âlihi wah’fazani fîmâ ghibtu ‘anhu wa lâ takilnî ilâ nafsî yâ arhama ar-rahimîn. Ya Allâh, kepada-Mu kuhadapkan wajahku, kepada-Mu kutinggalkan keluargaku, hartaku, dan apa yang telah Kau anugerahkan kepadaku. Sungguh aku mempercayai-Mu, maka jangan kecewakan aku wahai Yang Tidak Mengecewakan orang yang berkendak kepada-Nya, dan Yang Tidak Menyia-nyiakan orang yang dipelihara-Nya. Ya Allâh, sampaikan shalawat kepada Muhammad dan keluarganya, dan peliharalah aku selama pepergianku serta jangan serahkan aku kepada diriku wahai Yang Maha Kasih dari segala yang mengasihi.

۞

8. Shalât Sunnah ketika masuk rumah Shalât Sunnah ketika masuk rumah [ لJÝصلاة سنة عند دخول الم] adalah Shalât sunnah dua rakaat

yang dilakukan ketika masuk rumah, dan termasuk shalât sunnah yang mempunyai sebab Mutaqaddim. Bacaan surat setelah al-fâtihah boleh apa saja.

للاتباع, ویقر+ فKهما الكافرون لهیتمي: وrسن فعلهما في ب@1هحجر ا قال الامام شهاب الد�ن +حمد -ن )المنهاج القویم / فصل: في صلاة النفل(.والاXلاص

Al-Imam Syihâbbuddîn Ahmad bin Hajar Al-Haitamî berkata: Disunnahkan melakukannya dua rakaat saat sudah di rumah karena ittibâ’ (mengikuti Nabi ). Bacaan setelah al-fâtihah pada rakaat pertama adalah surat Al-Kâfirûn,dan pada rakaat kedua membaca surat Al-Ikhlâs .

ذا قال رسول ا!له صلى ا!له �لیه وسلم: 4وء وا ذا خرجت من م�ز!ك فصل ركعت@ن یمنعانك من مخرج الس�

لىدXلت 4وء ا م�ز!ك فصل ركعت@ن یمنعانك من مدXل الس�

Rasûlullâh bersabda:" Apabila engkau keluar dari rumahmu, maka shalâtlah dua rakaat dimana ia akan mencegahmu dari tempat keluar (rumah) yang buruk. Ketika hendak masuk ke rumahmu, maka shalâtlah dua rakaat dimana ia akan mencegahmu dari tempat masuk yang buruk ". (HR. Al-Bazzâr hadîts shahîh dari Abu Hurairah �).

وقال رسول ا!له صلى ا!له �لیه وسلم: اذا دXل +�دكم ب@1ه فلا ی�لس ح1ى �رÒع رÒعت@ن فان ا!له Uا�ل له )اء �لوم الد�ن / الباب السابع: في النوافل احK ( .من رÒعتیه X@را

Rasûlullâh bersabda:" Apabila salah seorang diantara kalian masuk rumahnya, janganlah ia duduk sebelum shalât dua reka'at. Karena Allâh 'Azza Wa Jalla akan menjadikan shalât dua raka'at yang ia lakukan di rumahnya tersebut kebaikan baginya ".

۞

Page 186: Ringkasan Fiqh shalât - MRKR

185

9. Shalât Thawâf Shalât Thawâf adalah shalât sunnah yang mempunyai sebab Mutaakhir. Shalât sunnah ini ada dalam fiqh Ahlussunnah dan Fiqh Ja’farî/Syi'ah. Shalât Thawâf dalam fiqh Ja’farî, wajib hukumnya sebagai bagian dari Thawâf haji dan umrah. Sedangkan dalam fiqh Ahlussunnah, shalât Thawâf mustahab hukumnya dan afdhal dilaksanakan di belakang dari Maqam Ibrahîm, sebagaimana hadîts:

حمن -ن عوف +�ن� �ه طاف Mلب@ت عن ا-ن شهاب عن حمید -ن عبد الر� حمن -ن عبد القاري� +�LXره +�ن عبد الر�مس طلعت ف ا قضى عمر طوافه نظر فلم �ر الش� بح فلم� اب بعد صلاة الص� ركــب ح1�ــى +��خ مع عمر -ن الخط�

واف @ن ركعت بذي طوى فصل�ى ن�ة الط� Dس Dari Ibn Syihâb dari Humaid ibn Abdurrahman ibn Auf, sesungguhnya Abdurrahaman ibn Abdul Qory mengabarkan bahwa beliau Thawâf di Baitul Haram bersama Umar bin Khathab � sesudah shalât Shubuh, maka ketika sudah menyelesaikan Thawâf-nya, beliau (Umar �) menunggu (tapi tidak sampai matahari terbit) maka Umar beliau mengendarai (kendaraannya) hingga berhenti di suatu tempat, maka beliau shalât dua rakaat sunnah Thawâf. (Al-Muwaththa', Sunan Kubrâ al-Baihaqî, Jami' al hadîts).

Jumlah Rakaatnya: Dua Rakaat Adapun niat shalâtnya adalah :

واف ن�ة الط� Dى س تقhل القhلة ركعت@ن اصل Dه تعالى مس� �ه +�كLر - !ل ا!لUsallî sunnatan Thawâfi rak‘ataini mustaqbila al-qiblati lillâhi ta‘âlâ- Allâhu Akbar. “Aku niat mengerjakan shalât sunnah Thawâf dua rakaat karena Allâh Ta’âlâ”- Allâhu Akbar

Tata caranya sama dengan shalât-sunnah lainnya, dua rakaat, satu salam, tinggal menyesuaikan lafadz niat-nya.

Rakaat pertama setelah membaca surat Al Fâtihah, membaca surat Al Kâfirûn. Rakaat kedua setelah membaca Al-Fâtihah, membaca surat al-Ikhlâs.

Keutamaan Shalât Sunnah Thawâf Shalât sunnah Thawâf adalah untuk menyempurnakan Ibadah Thawâf seseorang yang ber-haji atau ber-umrah. Kedudukannya sederajat dengan shalât Istikhârah, sunnah Ihrâm dan sunnah sesudah wudlû’.

Dalam Kitâb Fathul Mu’în-lil Malibârî– Pasal Shalât Nafil:

تgارة (ركعتا Dحرام و طواف و وضوء )اس4 و ا

“Disunnahkan shalât Istikhârah dua rakaat, sunnah ihrâm, sunnah Thawâf dan sunnah sesudah wudlû’.”

ن لم ینوها معه +�ي rسق كعتاوتت�pد�ى 4خر وا ط طلبها الت�حی�ة وما بعدها -ركعت@ن ف�pك�ر من فرض +�و نفل +

4ا حصول ثوابها فالوUه توق�فه �لى النی�ة لLgر ا رون واعتمده بذ!ك +�م� �ما ا��عمال Mلنی�ات كما قاله جمع م�p1خ ن

ن لم ینوها معه وهو مق1ضى كلام الم 4یخنا لكن ظاهر كلام ا��صwاب حصول ثوابها وا Dجموع ش

Shalât Tahiyyat dan shalât sunnah sesudahnya itu bisa dikerjakan dengan dua rakaat atau lebih dari shalât fardlu atau shalât sunnah lainnya, walaupun tidak berniat shalât tahiyyat, maksudnya, tuntutan sunnahnya gugur dengan mengerjakan shalât tersebut. Adapun pahalanya– sebagaimana pendapat yang masyhur- adalah tergantung pada niatnya. Yang demikian itu berdasarkan hadîts: ”Sesungguhnya amal perbuatan bergantung pada niat,” juga menurut para Ulama’ Mutaakhirîn dan juga apa yang menjadi pegangan Syaikhuna. Akan tetapi para sahabat (Imam Syâfi’î) berkata “Shalât Tahiyyat tetap berpahala walaupun tidak menyertakan niat beserta shalât fardlu tersebut. Hal itu di katakan dalam Kitâb Al Majmû’.”

Shalât Thawâf termasuk shalât yang dikerjakan sendirian, tidak berjamaah, Imam Al-Ghazâlî dalam Kitâb Al-Wasîth fil Mazhab, mengatakan :

Page 187: Ringkasan Fiqh shalât - MRKR

186

محمد -ن محمد -ن -الوسDیط في المذهب ( لا ¦شرع الجما�ة فKها Òصلاة الضحى وتحیة المس�د ورÒعتي الطواف )505 / سDنة الوفاة450 الولادة محمد الغزالي +بو �امد سDنة

“Tidak disyariatkan berjamaah untuk Shalât Hâjat, Shalât Tahiyyatul Masjid dan Shalât Thawâf.” Doa sesudah Shalât Sunnah Thawâf

ها �لى نعمائه لــى مــا +�!ل�هم� تقh�ل م[ي ولاتجعله +�خر العهد م[ي. +�لحمد !له بمwامد كل4ها ح1ــى� ی1�هــ(ي الحمــد ا كل

�ه �هــم� ارحمنــي بطــیحب� و�رضى. +�!ل د وتقh�ل م[ي وطهـر قلب(ي وزك عملي. +�!ل §ل محم� د و+ اعتي م� صل �لى محم�ى �دودك وج بني +�ن +�تعد� �هم� ج[ §له وسل�م، +�!ل ك وطا�ة رسو!ك صل�ى ا!له �لیه و+ �o 4

ن یحب�ــك ویحــب� ا علني مم�الw@ن رسو!ك وملا¬ك1ك وعبادك الص�

Allâhumma taqabbal minnî walâ taj‘alhu akhira al-‘ahdi minnî. Al-hamdullâhi bimahâmidi kullihâ ‘alâ na‘mâ’ihi kullihâ hattâ yantahiya al-hamdu ilâ mâ yuhibbu wa yardâ. Allâhumma salli ‘alâ muhammadin wa âli muhammadin wa taqabbal minnî wa tahhir qalbî wa zakkî ‘amalî. Allâhummarhamnî bi tâ‘atî iyyâka wa tâ‘ati rasulika sallallâhu ‘alaihi wa âlihi wa sallam, Allâhumma jannibnî an ta‘adda hudûdaka wa ja‘alnî mimman yuhibbuka wa yuhibbu rasûlika wa malâ’ikatika wa ‘ibâdaka as-sâlihîn.

“Ya Allâh, terimalah shalâtku ini dan jangan jadikan ia sebagai shalât yang terakhir bagiku. Segala puji bagi Allâh dengan segala pujian atas semua nikmat-Nya sehingga pujian itu berakhir pada cinta dan ridha-Nya. Ya Allâh, sampaikan shalawat kepada Muhammad dan keluarga Muhammad, terimalah amalku, sucikan hatiku, dan bersihkan amalku.” “Ya Allâh, sayangi aku dengan ketaatan kepada-Mu dan Rasul-Mu Muhammad . Ya Allâh, jauhkan aku dari pelanggaran terhadap hukum-Mu; golongkan aku kepada orang-orang yang mencintai-Mu, mencintai Rasul-Mu, Malaikat-Mu, dan hamba-hamba-Mu yang saleh.” (Kitab Nubdzah min Asrâri al-Hajj). Atau membaca doa:

ي و�لا ن@1ي فاق �ك تعلم سر ن4hل معذرتي وتعلم �اج1ي ف�pعطني سؤالي وتعلم ما في نفسي فاغفرلي ا!لهم� ا

�ك +�نت X .ذنوب(ي ن4ني ظلمت نفسي فاغفر لي ا

4بwانك وبحمدك رب ا D+�نت س �لا

4له ا

4هم� � ا هم� @ر الغاف ا!ل ر�ن. ا!ل

ا �ك +�نت X@ر الر� ن4ني ظلم◌ت نفسي فارحمني ا

4بwانك وبحمدك رب ا D+�نت س �لا

4له ا

4له الا� � ا

4هم� � ا حم@ن. ا!ل

ني ظلمت نفسي ف1ب � 4بwانك وبحمدك رب ا Dم +�نت سKح اب الر� �ك +�نت الت�و� ن

4 .لي� ا

Ya Allâh, sesungguhnya Engkau Maha Mengetahui rahasiaku yang tersembunyi dan amal perbuatanku yang nyata, terimalah permohonanku, Engkau Maha Mengetahui hajatku, perkenankanlah harapanku. Ya Allâh, tiada Tuhan selain Engkau, Maha Suci engkau dan Maha Terpuji namaMu. Tuhanku, sesungguhnya aku telah menganiaya diriku, maka rahmatilah aku karena Engkaulah sebaik-baik pemberi rahmat. Ya Allâh, tiada Tuhan selain Engkau, Maha Suci dan Maha Terpuji namaMu. Tuhanku, sesungguhnya aku telah menganiaya diriku, maka terimalah tobatku, karena Engkaulah sebaik-baik penerima tobat dan lagi Maha Penyayang.

۞

10. Shalât Sunnah Ihrâm Shalât Ihrâm adalah shalât sunnah dua rakaat sebelum niat Ihrâm baik Ihrâm untuk Haji atau Umrah. Shalât Ihrâm merupakan shalât sunnah yang mempunyai sebab Mutaakhir. Waktunya menyesuaikan dengan pelaksanaan Ihrâm–nya.

Tata caranya: Membaca Basmalah, berniat dengan lafadz:

حرام 4ن�ة الا Dى س تقhل القhلة ركعت@ن اصل Dه تعالى مس�ر - !لLه +�ك� ا!ل

Page 188: Ringkasan Fiqh shalât - MRKR

187

Usallî sunnatal Ihrâm rak‘ataini mustaqbila al-qiblati lillâhi ta‘âlâ- Allâhu Akbar. “Aku niat mengerjakan shalât sunnah Ihrâm dua rakaat karena Allâh Ta’âlâ”

Pada rakaat pertama, setelah membaca Al Fâtihah, membaca surat al-Kâfirûn dan pada rakaat kedua setelah membaca Al Fâtihah, membaca surat al-Ikhlâs. (Fiqh Islam wa Adillatuhu-Bab Haji- Dr. Wahbah Zuhailî).

Disunnahkan ber-Ihrâm (ihrâm untuk haji atau umrah) setelah shalât (sunnah), sebagaimana dalam hadîts Ibnu Umar � dalam Shahîh Bukhârî, bahwa Rasûlullâh bersabda:

ة +��ني ا!ل�یلة +ت من رب(ي فقال: صل في هذا الوادي المبارك وقل عمرة في ح��“Tadi malam telah datang utusan dari Rabb-ku (Jibril عليھ السلام), lalu ia berkata, ‘Shalâtlah di Wâdî

yang diberkahi ini dan katakanlah, ‘Umratan fî hajjatin.’‘ (HR Bukhârî).

Hadîts dari Sahabat Jâbir �,

توت به فصل�ى رسول ا!له صل�ى Dذا اس4�ق1ه �لى البیداء ا!له �لیه وسل�م في المس�د ثم� ركب القصواء ح1�ى ا

+�هل� Mلحج “Maka Rasûlullâh shalât di masjid (Dzulhulaifah) kemudian beliau menunggangi al-Qashwâ’ (nama unta beliau) sampai ketika untanya berdiri di al-Baida’ beliau ber-Ihrâm untuk haji.” (HR. Muslim).

Jadi, yang sesuai dengan dalil di atas maka, lebih utama, dan sempurna adalah ber-ihrâm setelah shalât fardhu. Tetapi, bila tidak mendapatkan waktu shalât fardhu, maka terdapat dua pendapat dari para ulama:

Pendapat pertama, disunnahkan shalât dua rakaat, dan ini pendapat jumhur. Berdalil dengan sifat keumuman hadîts dar Ibnu Umar ماRSاللھ ع !ghر di atas:

صل في هذا الوادي“Shalât-lah di Wâdî ini.” Yang dimaksud Wâdî ini adalah di Dzulhulaifah atau Bi’r Alî Madinah, Miqât untuk penduduk Madinah.

Pendapat kedua, tidak disyariatkan untuk melaksanakan shalât dua rakaat, dan ini pendapat Ibnu Taimiyah. Sebagaimana tercantum dalam Kitâb Majmû’ Fatâwâ, 26/108, “Disunnahkan untuk ber-Ihrâm setelah shalât, baik shalât fardlu maupun sunnah. Jika seseorang berada pada waktu tathawwu’ -menurut salah satu dari dua pendapatnya, dan pendapat beliau yang lain adalah jika seseorang shalât fardlu- maka ia ber-ihrâm setelahnya, dan jika tidak maka tidak ada bagi ihrâm shalât yang khusus, dan inilah yang rajah (kuat).”

۞

11. Shalât Sunnah Wudlû' atau Shalât Thuhûr

Merupakan shalât sunnah dua rakaat yang mempunyai sebab Mutaqaddim yang dikerjakan setelah membaca doa wudlû’. Kalau di masjid, sebaiknya dilaksanakan sesudah shalât tahiyyatul masjid.

Shalât ini mempunyai keutamaan, bahkan Nabi Muhammad berdialog dengan sahabat Bilâl yang senantiasa mengamalkan shalât ini:

�ه عنه +�ن� الن�بــ(ي� قــال لــبلال عنــد صــلاة الفجــر o بــلال صلى الله عليه وســلمعن +�ب(ي هر�رة رضي ا!لثني ب�pرجى عمل ي سمعت دف� نعلیك بــ@ن یــدي� فــي الجن�ــة قــال مــا عملــت عمــلا �د ن

4سلام فا

4عملته في الا

هور ما كت �یت بذ!ك الط� لا� صل4ي لم +�تطه�ر طهورا في سا�ة لیل +�و نهار ا ن +kصلي ب لي +� +�رجى عندي +�ن

Dari Abû Hurairah � berkata, "Nabi bersabda kepada Bilâl ketika usai shalât Shubuh:" Wahai Bilal, tolong jelaskan kepadaku perihal amalan yang paling engkau cintai yang biasa engkau laksanakan dalam Islam? Sebab, sesungguhnya aku mendengar suara hentakan kedua sandalmu di hadapanku di surga.", maka Bilâl � menjawab: "Aku tidak pernah mengamalkan suatu amalan yang paling kusenangi, (melainkan) bahwa aku tidaklah berwudlû dengan sebaik-baiknya, baik

Page 189: Ringkasan Fiqh shalât - MRKR

188

saat malam atau siang, kecuali, pasti setelah itu (berwudlû’) aku shalât seberapa banyak rakaat yang telah ditentukan untuk shalât tersebut." (Shahîh Bukhârî Muslim).

Hadîts lainnya:

ــkp «عن عقhة -ن �امر الجهنى +�ن� رسول ا!ل�ه صــلى ا!لــه �لیــه وســلم قــال فKحســن الوضــوء مــا مــن +��ــد یتوض�لا� وجhت له الجن�ة

4 ».ویصلى ركعت@ن یقhل بقلبه ووجهه �لیهما ا

Dari Uqbah ibn Amir Al-Juhannî � bahwa Rasûlullâh bersabda: “Seseorang yang berwudlû’ dengan membaguskan wudlû’nya, kemudian ia shalât sunnah dua rakaat dengan menhadirkan hati dan wajahnya, maka wajib baginya surga.” (Sunan Abû Dâwud).

Waktu pelaksanaanya Setiap selesai berwudlû’ bahkan menurut Imam Nawâwî dalam Kitâb Syarh An-Nawâwî alâ Shahîh Muslim, XV/ 246: ”Shalât itu (shalât sunnah Wudlû’) hukumnya sunnah dan boleh dikerjakan pada waktu yang dilarang untuk shalât (waktu Tahrîm), …demikian itu, karena shalât sunnah Wudlû’ memiliki sebab.” Demikian juga pendapat Ibn Hajar Al-Asqalânî dalam Kitâb Fath al Bârî, III/ 35.

Tata caranya Setelah berwudlû’ membaca doa :

دا عبده ورسوله )رواه مسلم( اسهد ان لااله الا�ا!له و�ده لاشریك له واشهد ان� محم�“Saya bersaksi bahwa tidak ada tuhan selain Allâh yang tunggal, tiada sekutu bagiNya dan aku bersaksi bahwa Nabi Muhammad itu hamba dan utusanNya. (Shahîh Muslim).

Dan tambahkan doa:

الw@ن اب@ن واجعلني من المتطهر�ن و اجعلني من عبادك الص� .ا!ل�هم� اجعلني من الت�و�Ya Allâh ! Jadikanlah aku dari golongan orang-orang yang ahli taubat dan jadikanlah aku dari golongan orang-orang yang bersuci serta jadikanlah aku dari golongan orang-orang yang shâlih.”

Kemudian berdiri menghadap kiblat dengan membaca Basmalah, berniat, dengan lafadz:

ن�ة Dى س تقhل القhلة ركعت@ن الوضوء اصل Dه تعالى مس�ر - !لLه +�ك�ا!ل Usallî sunnatal wudlû’i rak‘ataini mustaqbila al-qiblati lillâhi ta‘âlâ- Allâhu Akbar. “Aku niat mengerjakan shalât sunnah wudlû' dua rakaat karena Allâh Ta’âlâ”- Allâhu Akbar

Tata caranya sama dengan shalât sunnah lainnya, tinggal mengganti lafadz niat-nya.

۞

12. Shalât Hâjat

Shalât Hâjat atau Qadhâil Hâjat, yaitu shalât dua rakaat hingga 12 (dua belas) rakaat (sebagaimana disebutkan dalam Kitâb Ihyâ' Ulûmuddîn-Imam Ghazâlî) yang bertujuan untuk memohon agar Hâjat/kebutuhan kita segera dicukupi oleh Allâh . Merupakan shalât sunnah yang mempunyai sebab Mutaakhir.

Tata Cara Shalât Hâjat Membaca Basmalah dan berniat shalât Hâjat dengan lafadz:

ن�ة لقض Dى س تقhل القhلة ركعت@ن اء الwاUة اصل Dه تعالى مس�ر – !لLه +�ك� ا!لUsallî sunnatan li qadhâil Hâjati rak‘ataini mustaqbila al-qiblati lillâhi ta‘âlâ- Allâhu Akbar. “Aku niat mengerjakan shalât sunnah Hâjat dua rakaat karena Allâh Ta’âlâ”

Rakaat Pertama, membaca doa iftitah, Surat Al Fâtihah, membaca ayat kursi. Rakaat Kedua, setelah membaca Surat Al Fâtihah, membaca surat Al-ikhlâs

Pada sujud terakhir setelah membaca tasbîh, kemudian berdoa meminta apa Hâjat kita, tapi harus hanya di dalam hati saja, tidak boleh dilafadzkan, karena kalau dilafadzkan di lisan akan membatalkan shalât (dianggap seperti bercakap-cakap).

Page 190: Ringkasan Fiqh shalât - MRKR

189

Doa Shalât Hâjat

(ي من كــل ذنــب واتــوب الیه تغفرا!له رب Dتغفرا!له العظیم. اس Dان ا!لــه رب اسwب Dلــیم الكــریم ســwا!لــه ال�لاالــه الا.صــمة مــن كــل ذنــب العرش العظیم. الحمد !له رب العالم@ن اســ�p!ك موجhــات رحمتــك وعــزائم مغفرتــك والع

ج1ــه ولا�اUــة هــي !ــك ر والغنیمة من كل -ر وا ا الا� قر� لامة من كل اثم لاتدع لي ذنبا الا� غفرته ولاهم­ ضــا لس�احم@ن. الا� قضیتها oارحم الر�

“Aku mohon ampun kepada Allâh yang Maha Agung, Aku mohon ampun kepada Allâh, wahai Tuhanku dari segala dosa dan hanya kepadaNya aku bertaubat. Tiada Tuhan yang patut disembah dengan sebenarnya melainkan Allâh, Maha Penyantun lagi Maha Mulia, aku memohon kepadaMu sesuatu yang menyebabkan Engkau berikan rahmatMu dan memantapkan hati untuk memperoleh ampunanMu. Dan saya bermohon pula untuk memperoleh seluruh kebaikan serta selamat dari melakukan seluruh dosa. Janganlah Engkau meninggalkan dosa kepadaku, melainkan Engkau mengampuni-nya, dan meninggalkan kesusahan, melainkan Engkau melapangkannya, tidak ada Hâjat yang Engkau ridhai kecuali Engkau kabulkan. Wahai Tuhan yang paling pengasih dan penyayang.”

Atau, sebagaimana dalam Kitâb Ihyâ’ Ulûmuddîn-Imam Ghazâlî, I/215 diterangkan sebagai berikut:

� ي العبد ث1�ي عشرة ركعة یقر+k فــي كــل روي عن وهیب -ن الورد +�ن �ذي لا �رد +�ن یصل �اء ال ن� من الد� 4ه قال: ا

ذا فرغ خر� ساUدا ثم� قال 4 ركعة بkpم الك1اب و+یة الكرسي وقل هو ا!له +��د فا

Diriwayatkan dari Wahib bin Ward, sesungguhnya beliau bersabda: “Sesungguhnya ada doa yang tidak tertolak (yaitu) hendaklah seorang hamba shalât 12 (dua belas) rakaat (setiap dua rakaat, salam) dan membaca di tiap-tipa rakaatnya Ummul Kitâb (al-Fâtihah) dan Ayat Kursi dan Qul huwallâhu ahad..dan ketika (sudah akhir /selesai rakaat yang ke 12, sujud yang terakhir sebelum salam ) maka kemudian berdoa:

�ــذي بwان ال Dلم�د و�كرم بــه ســM ذي تعطف� بwان ال Dوقال به س �س العزLذي ل� بwان ال Dشــيء س �حصــى كــل�+بwان ذي العــ Dان ذي المن والفضــل ســwب Dله س �لا

4�ذي لا یh�غي الq�سKLح ا بwان ال Dان بعلمه سwب Dزم والكــرم ســ

حمــة ول +�س�p!ك بمعاقــد العــز مــن عرشــك وم[تهــ(ى الر� ك ا���لــى ذي الط� مــن كتابــك وMســمك ا��عظــم وUــدد و�لى �تي لا ی�اوزهن� -رÓ ولا فاجر +�ن تصل�ي �لى محم� ات ال ات العام� د وكلماتك الت�ام� §ل محم� +

Mahasuci Dzat yang memakai pakaian Kemuliaan dan menfirmankan yang demikian itu, Maha Suci Dzat yang Maha Perkasa lagi Maha Mulia, Maha Suci Dzat yang menjangkau segala sesuatau dengan ilmuNya, Maha Suci dzat pemilik rahmat dan keutamaan, Maha Suci yang mempunyai rencana dan kemuliaan, Maha Suci pemilik kekuasaan. Aku mohon kepadaMu dengan kemegahan arasyMu dan kesempurnaan rahmat dari Kitâb Mu dan dengan namaMu yang Maha Agung, kemegahanMu, ke-Maha-luhuran-Mu dan dengan kalimatMu yang sempurna yang tidak dilampau oleh kebaikan dan keburukan agar juga Engkau sampaikan Shalawat atas Nabi Muhammad dan atas keluarganya.”

۞

13. Shalât Taubat Shalât Taubat, adalah shalât sunnah yang mempunyai sebab Mutaakhir, diamalkan untuk memohon ampun atas segala dosa yang telah dilakukan, sebagaimana hadîts :

ثني +�بو �ه صل�ى ا!لــه �لیــه و ســل�م ی و�د� �ه قال سمعت رسول ا!ل �ه عنه +�ن قــول مــا -كر وصدق +�بو -كر رضي ا!للا� 4تغفر ا!ل�ه ا Dسr �ي ركعت@ن ثم هور ثم� یقوم فKصل غفر ا!ل�ه له من عبد یذنب ذنبا فKحسن الط�

لى +خر ا� 4ذا فعلوا فاحشة +�و ظلموا +�نفسهم ذكروا ا!ل�ه} ا

4�ذ�ن ا یة ثم� قر+� هذه ا�یة{وال

Page 191: Ringkasan Fiqh shalât - MRKR

190

Dan telah berkata kepadaku Abû Bakar � dan benar lah Abû Bakar itu, sesungguhnya aku mendengar Rasûlullâh bersabda: " Tidaklah seseorang telah berbuat dosa, maka kemudian ia bersuci dan mendirikan shalât dua rakaat kemudian ber-istighfar (memohon ampun) kepada Allâh, melainkan Allâh akan memberikan ampunanNya, setelah itu membaca ayat :

4�ذ�ن ا وال

4نوب ا تغفروا لــذنوبهم ومــن یغفــر الــذ� Dــه فاســ�ــه ولــم ذا فعلوا فاحشــة +�و ظلمــوا +�نفســهم ذكــروا ا!ل� لا� ا!ل

وا �لى ما فعلوا وهم یعلمون هــم وج[�ــا )135( یصر� ت تجــري مــن تحتهــا ا��نهــار +kولئك جــزاؤهم مغفــرة مــن رب )X )136الد�ن فKها ونعم +�جر العامل@ن

Dan (juga) orang-orang yang apabila mengerjakan perbuatan keji atau menganiaya diri sendiri, mereka ingat akan Allâh, lalu memohon ampun terhadap dosa-dosa mereka dan siapa lagi yang dapat mengampuni dosa selain dari pada Allâh? dan mereka tidak meneruskan perbuatan kejinya itu, sedang mereka Mengetahui. Mereka itu balasannya ialah ampunan dari Tuhan mereka dan surga yang di dalamnya mengalir sungai-sungai, sedang mereka kekal di dalamnya; dan Itulah sebaik-baik pahala orang-orang yang beramal. (QS Ali Imran (3): 135-136) (Abû Dâwud, At Tirmidzî, Ibn Mâjah, Musnad Ahmad).

Adapun lafadz niat shalâtnya:

ن�ة الت�وبة Dى س تقhل القhلة ركعت@ن اصل Dه تعالى مس�ر - !لLه +�ك�ا!ل Usallî sunnatat taubati rak‘ataini mustaqbila al-qiblati lillâhi ta‘âlâ- Allâhu Akbar. “Aku niat mengerjakan shalât sunnah taubat dua rakaat karena Allâh Ta’âlâ”- Allâhu Akbar Doa Shalât Taubat Setelah salam, lalu membaca istighfar 100 kali

تغفرا!له العظیم Dاس "Aku memohon ampun kepada Allâh Yang Maha Agung".

Setelah istighfar, membaca doa dibawah ini :

�ــذي لا الــه الا� هــو الحــي� الق�Kــوم اتــوب الیــه. ا تغفرا!له العظــیم ال Dــي اســ ــ(ى لا الــه الا� انــت Xلق1ن ــم� انــت رب �ه !لتطعت اعوذبك من شر ماصنعت ابوء!ــك بنعمتــك Dوابوءبــذنب(ي وا�عبدك وا� �لى عهدك وو�دك مااس �لــي�

�ه لا یغفر ا ن4نوب الا� انت.فاغفرلى فا لذ�

"Aku memohon ampun kepada Allâh yang Maha Agung, yang tidak ada tuhan selain Dia yang Maha Hidup, Berdiri Sendiri, dan aku bertaubat kepadaNya, Ya Allâh! Engkau adalah Tuhanku, tidak ada Tuhan yang berhak disembah kecuali Engkau, Engkaulah yang menciptakan aku. Aku adalah hambaMu. Aku akan setia pada perjanjianku denganMu semampuku. Aku berlindung kepadaMu dari kejelekan yang kuperbuat. Aku mengakui nikmatMu kepadaku dan aku mengakui dosaku, oleh karena itu, ampunilah aku. Sesungguhnya tiada yang mengampuni dosa kecuali Engkau.”

Lر وUــد� ا یة وطلــب اهــل ا!ل�هم� انى اسا!ك تو فKق اهل الهدى واعمال اهل الت�وبة وعزم اهل الص� Dهــل الخشــ�هم� انى اسا!ك مgا فة تحجز نى عن معاصــیك الر� غبة وتعب�د اهل الورع وعر فان اهل العلم ح1�ى اXافك . ا!ل

تحق� به رضاك ح1�ى ا� صwك فى الت�ــو بــة خــو فــا م[ــك وح1�ــى ا Dى اعمل بطا عتك عملا اس�لــص !ــك ح1Xبwان Xالق نور الن� Dل �لیك فى الامور كلهاوحسن ظن بك . س�ى اتو ك�ا !ك وح1­hة حwصی

“Ya Allâh! Aku memohon kepadaMu (mendapat) taufiq-nya orang-orang yang mendapat petunjuk, dan amal-amalnya orang-orang yang bertaubat, dan tetapkan sebagai orang-orang yang sabar, dan berilah kesungguhan sebagai orang yang takut (kepadaMu), dan masukkan sebagai orang yang memperoleh harapannya, dan Engkau jadiakan sebagai hamba yang jauh dari dosa, dan menjadi orang berpengetahun seperti orang-orang mempunyai ilmu pengetahun sehingga menjadi hamba yang takut kepadaMu, Ya Allâh! Aku memohon kepadaMu, rasa takut yang dapat mencegahku dari berbuat ma'siat

Page 192: Ringkasan Fiqh shalât - MRKR

191

kepadaMu hingga dapat beramal untuk taat kepadaMu dengan amal yang benar yang dengan amal itu Engkau meridhai dan Engkau beri nasihat kepadaku dalam bertaubat, dengan ada rasa takut dari (adzab)Mu, dan berilah keIkhlâsan dalam beramal kepadaMu yang menjadi nasihat untuk mendapatkan cinta bagimu dan jadikan (diri ini) untuk dapat berserah diri kepadaMu dalam segala urusan dengan selalu berprasangka baik. Wahai Yang Maha Suci, sang Pencipta dan Cahaya.”

۞

14. Shalât Istikhârah Shalât Istikhârah, merupakan shalât sunnah yang sebabnya Mutaakhir. Shalât shalât yang dilakukan untuk meminta petunjuk kepada Allâh atas segala kebingungan, pertanyaan atau ketidaktahuan atau kebimbangan dalam memilih dll. yang mana hal tersebut dapat menimpa seseorang. Dan sebagai hambaNya, tentu kita yakin akan pertolongan Allâh dengan memohon petunjuk dariNya, agar kebingungan, dan kebimbangan dapat ditemukan solusinya. Sebagaimana ungkapan:

ئون Dر والعالم ش ا!له مقدAllâh yang menentukan alam dan seisinya dalam berbagai ragam dan keadaannya.

Hadîts:

تgار،ولا نــدم مــن اسqشــار، عن +��س -ن ما!ك قال: قال رسول Dاب من اسX م: ما�ى ا!له �لیه و سل�ا!له صل ولا �ال من اق1صد

Dari Anas bin Mâlik � berkata, "Rasûlullâh bersabda:"Tidak akan kecewa bagi yang shalât Istikhârah dan tidak akan menyesal orang yang bermusyawarah dan tidak akan kekurangan (fakir) bagi yang suka hemat.” (Mu'jam Al-Awsath At-Thabrânî). Diceritakan dalam Kitâb Shahîh Muslim hadîts no.1333, bahwa Abdullâh bin Zubair � ketika akan merenovasi Ka’bah (yaitu merombak letak maqam Ibrahîm) meminta pendapat kepada para sahabat tetapi mereka berselisih pendapat, maka beliau berkata:

ن4كم ا ه فكKف ب@ت ر- ب@ر لو كان +��دكم اq�رق ب@1ه ما رضى ح1�ى ی�د� ــ(ى ثــلا� ثــم� فقال ا-ن الز� تg@ر رب Dى مس

ا مضى الث�لاث +�جمع ر+>یه �لى +�ن ینقضها صحیح مسلم -�ازم �لى +�مرى فلم�“Jika di antara kalian ada yang rumahnya terbakar, pastilah dia tidak akan puas sebelum memperbaikinya. Maka, bagaimana dengan “Rumah Tuhan” kalian? Sesungguhnya aku akan Istikhârah kepada Tuhanku selama tiga hari, kemudian aku bersungguh-sungguh dengan urusanku ini. Maka, ketika waktu tiga hari telah dilewati (setelah Shalât Istikhârah-pent), tekadpun mantap untuk meronavasinya (Baitullâh).” (Shahîh Muslim).

Hukumnya: Sunnah Muakkad Sebagaimana hadîts:

�ــه صــل�ى ا!لــه �لیــه و ســل�م یعل �ه عنهما قــال كــان رســول ا!ل �ه رضي ا!ل تgارة فــي عن Uا-ر -ن عبد ا!ل Dمنــا الاســورة من منا الس� ها كما یعل ذا هم� +��دكم M��مر فل@ركع ركعت@ن من �@ر الفریضة ثــم� لیقــل اk�مور كل 4

القر+ن یقول ا

تg@رك Dي +�س ن4 .… ا!ل�هم� ا

Dari Jâbir bin Abdullâh �, "Rasûlullâh mengajarkan kepada kami untuk bagaimana meminta petunjuk dalam beberapa perkara yang penting sebagaimana beliau mengajarkan kepada kami dari Alquran. Beliau berkata, "Apabila salah seorang di antara kamu menghendaki suatu pekerjaan, hendaklah ia shalât dua rakaat, kemudian berdoalah: Allâhumma inni astakhiruka ... sampai akhir." (Shahîh Bukhârî – Bab Shalât Tathawwu').

Waktu dan Tata cara Shalât Istikhârah

Page 193: Ringkasan Fiqh shalât - MRKR

192

Shalât ini lebih utama dikerjakan pada waktu malam (paling utama di sepertiga malam menjelang fajar) sebanyak dua rakaat. Adapun lafadz niat shalâtnya:

تgارة Dس4ن�ة +لا Dى س تقhل القhلة ركعت@ن اصل Dه تعالى مس�ر - !لLه +�ك� ا!ل

Usallî sunnatal Istikhârati rak‘ataini mustaqbila al-qiblati lillâhi ta‘âlâ- Allâhu Akbar. “Aku niat mengerjakan shalât sunnah Istikhârah dua rakaat karena Allâh Ta’âlâ” Rakaat Pertama: membaca doa iftitah, Surat Al Fâtihah, membaca Surat Al Kâfirûn Rakaat Kedua setelah membaca Surat Al Fâtihah, membaca surat Al-ikhlâs. Diakhiri dengan salam. Dan diteruskan dengan berdzikir, memuji Allâh serta ber-istighfar (dengan sebaik-baiknya) kemudian dilanjutkan berdoa.

Doa Shalât Istikhârah

�ــك ن4ئلك من فضلك العظیم فا Dتقدرك بقدرتك واس Dرك بعلمك واس@gت Dي اس� ولا تقــد�ر ولا اقــدر وتعلــم ا!ل�هم� ان

�هم� ان كنت تعلم ان� هذا ا��مر ا�لم وانت �لا�م الغیوب. ا!ل(sebutkan Hâjatnya................)

ره لي ثم� Mرك لي فKه و لي فــي X@رلي في دیني ومعاشي و�اقhة امري فاقدره لي وrس ان كنت تعلم ان� هذا شــر� رضني به.د�ن ومعاشي و�اقhة امري فاصرفه عني فاصرف[ي عنه واقدرلي الg@ر حKث كان ثم� ا

“Wahai Tuhanku, aku memohon pertolongan kepadaMu berdasarkan pengetahuanMu, aku mohon ketetapan kepadaMu berdasarkan qodratMu dan aku mengharapkan karuniaMu. Sesungguhnya Engkau Maha Kuasa melaksanakan sesuatu, sedangkan aku tidak kuasa untuk itu dan Engkau Maha Mengetahui tentang segala yang tidak aku ketahui. Engkaulah Tuhan Yang Maha Mengetahui akan barang yang ghaib, barang tidak dapat diketahui orang lain. Wahai Tuhanku, jika Engkau mengetahui bahwa perkara itu baik buat diriku, penghidupanku dan akibat masa depanku, cepat atau lambatnya. Maka taqdirkanlah ia bagiku serta mudahkanlah, lalu berilah bagiku berkah di dalamnya. Dan jika Engkau tahu bahwa perkara ini......... adalah buruk bagiku, bagi agamaku, kehidupanku dan bagi akibat masa depanku, cepat lambatnya, maka palingkanlah aku dari padanya dan hindarkanlah dia dari padaku. Lalu taqdirkanlah kepadaku kesanggupan memperoleh kebajikan dimana saja kebajikan itu berada, kemudian berilah aku keridhaan terhadapNya”. (Shahîh Bukhârî No 1162).

Isyarat atau petunjuk (hasil) Shalât Istikhârah Hasil dari shalât Istikhârah itu dapat berupa: Kemantapan hati untuk menentukan pilihan (dimana sebelumnya ada kebimbangan) Petunjuk atau Isyarah yang diberikan oleh Allâh melalui hamba-hambaNya yang shâlih,

boleh jadi ia bertemu dengan seseorang yang dapat memberikan ide maupun bantuan yang dapat menjadi solusi baginya, atau,

Berupa Mimpi yang memberi gambaran jawaban atas pertanyaan kita , sebagimana hadîts:

Uل عن +��س -ن ما!ك +�ن� رسول ا!ل�ه صل�ى نة من الر� Dالحس oؤ �م قال الر� ت�ة ا!له �لیه وسل Dالح جزء مــن ســ الص�ة و+�ربع@ن جزءا من الن�بو�

Dari Anas bin Mâlik � bahwa, Sesungguhnya Rasûlullâh bersabda:" Mimpi yang baik dari seorang yang shâlih adalah satu bagian dari 46 bagian kenabian.” (Al Muwaththa', Shahîh Bukhârî, Muslim, At Tirmidzî, Ibn Mâjah, Abû Dâwud dan Ahmad).

۞

15. Shalât Tsubûtul Îmân Shalât Tsubûtul Îmân atau juga disebut Hifdhul Îmân adalah shalât dua rakaat yang mempunyai sebab Mutaakhir, dikerjakan setelah shalât Maghrib dengan tujuan agar Allâh memberikan ketetapan iman dan keteguhan hati untuk menjalankan perintah-perintahnya-Nya. Shalât Tsubûtul Îmân ini dianjurkan oleh Rasûlullâh , sebagaimana hadîts:

Page 194: Ringkasan Fiqh shalât - MRKR

193

:ا!له �لیه وسل�م قال الن�ب(ي صل�ى4ن�ة المغــرب، من +�حب� +�ن یحفظ ا!لــه �لیــه ا Dیمانــه فلیصــل ركعتــ@ن بعــد ســ

ة. ة مر� ات والمعوذت@ن مر� یقر+k في كل� ركعة فاتwة الك1اب وقل هو ا!له +��د ستÓ مر�ذا سل�م رفع یدیه وقال

4یماني في حKاتي وعند وقال في المسلك: فا

4تود�ك ا Dي +�س ن

4بحضور قلب: ا!ل�هم� ا

�ك �لى كل شئ قد�ر، ثلا� ن4 .مماتي وبعد مماتي، فاحفظه �لي� ا

Rasûlullâh bersabda: “Siapa yang ingin imannya dijaga oleh Allâh hendaklah ia shalât dua rakaat setelah shalât sunnah ba’dîyah maghrib dengan membaca surat Al-Fâtihah pada setiap rakaat, dan surat Al-Ikhlâs enam kali, Al falaq dan An-nâs satu kali-satu kali. Dan juga dalam Al Masalik: Maka, ketika setelah salam kemudian mengangkat tangan dan berdoa dengan sepenuh hati :

� ن4یماني في حKاتي وعند مماتي وبعد مماتي، فاحفظه �لي� ا

4تود�ك ا Dي +�س ن

4 )ثلا�. (،ك �لى كل شئ قد�ر ا!ل�هم� ا

Ya Allâh, sesungguhnya aku memohon kepadaMu tetap Imanku selama hidupku dan ketika matiku dan sesudah matiku, peliharalah iman itu tetap ada pada diriku, sesungguhnya Engkau Maha Kuasa atas segala sesuatu. (dibaca 3x). (Kitâb I’ânatut Thâlibîn, I/258). Tata cara Shalât Tsubûtul Îmân Setelah mengerjakan shalât sunnah Ba’dîyah Maghrib, kemudian berdiri lagi dan berniat shalât sunnah Tsubûtul Îmân dengan lafadz niat:

یمان ركعت@ن 4ن�ة لثبوت الا Dى س تقhل القhلة اصل Dه تعالى مس� �ه +�كLر - !ل ا!ل

Usallî sunnatan li tsubûtul îmân rak‘ataini mustaqbila al-qiblati lillâhi ta‘âlâ- Allâhu Akbar. “Aku niat mengerjakan shalât sunnah tsubutil iman dua rakaat karena Allâh Ta’âlâ”

Pada setiap rakaatnya, membaca surat Al-Fâtihah diteruskan dengan membaca surat Al-Ikhlâs: “Qul’ Huwallâhuahad...” enam kali dan Al falaq dan An-nâs satu kali-satu kali. Bacaan ketika ruku’,i’tidal, sujud duduk dan tasyahud sama dengan shalât sunnah lainnya.

Nabi Muhammad tidak memerintahkan shalât ini dikerjakan secara berjamaah. Para ulama berbeda pendapat apakah shalât Tsubûtul Îmân di-sunnah-kan dikerjakan secara berjamaah. Dalam Kitâb Nihayatuz Zain dijelaskan, beberapa ulama berpendapat, shalât yang tidak disyariatkan dilakukan dengan berjamaah akan menyalahi keutamaannya. (Nihayatuz Zain – Imam Nawâwî al Bantânî, hal 99). Pendapat lain yang lebih kuat (dalam Kitâb Nihayatuz Zain juga) bahwa tidak dilarang melaksanakan shalât sunnah Tsubûtul Îmân secara berjamaah.

Shalât Tsubûtul Îmân yang dilakukan secara berjamaah, sebagaimana dilakukan oleh para jamaah tharîqah, melafadzkan bacaan secara pelan (sirr) meskipun dikerjakan dalam waktu jahr (waktu-waktu yang diperintahkan untuk mengeraskan bacaan takbir, Al-Fâtihah dan surat, serta salam ketika melakukan shalât berjamaah, yakni waktu Maghrib, Isyâ’ dan Shubuh).

۞

16. Shalât Taqwiyatul Hifdh Shalât Taqwiyatul Hifdh ( تقو3ة اa`فظ صلاة ), adalah shalât sunnah yang Rasûlullâh ajarkan

kepada ummatnya agar dapat mudah menghafal al-Quran. Sebagaimana hadîts dari Ibn ‘Abbâs yang menceritakan dialog antara Ali bin Thâlib � dengan Rasûlullâh perihal ,ر��� اللھ ع<�ما

masalah hafalan Alquran yang dihadapi oleh Ali �, beliau bersabda: �ه صل�ى مك كلمات ین فقال رسول ا!ل �م M�+ o الحسن +�فلا +�kل �متــه ا!له �لیه وسل �ه بهن� وینفع بهن� مــن �ل فعك ا!ل

ذا كان لیلة الجمعة 4مني قال ا �ه فعل ت ما تعل�مت في صدرك قال +�Uل o رسول ا!ل Lتطعت +�ن تقوم ویث Dن اس

4فا

Page 195: Ringkasan Fiqh shalât - MRKR

194

�ه ن4تغفر في ثلث ا!ل�یل ا�خر فا Dه{ سوف +�ســK�ت�اب وقد قال +�خي یعقوب لب Dها مسKاء ف� ا سا�ة مشهودة والد�

تطع Dن لم ¦س4تطع فقم في وسطها فا Dن لم ¦س

4(ي} یقول ح1�ى تp>تي لیلة الجمعة فا لها فقم في +�و� لكم رب

كعــة الث�انیــ كعــة اk�ولــى بفاتwــة الك1ــاب وســورة rــس وفــي الر� ة بفاتwــة فصل +�ربع ركعات تقر+k فــي الر�ــ�دة كعــة الث�الثــة بفاتwــة الك1ــاب والــم ت�زیــل الس� Xان وفــي الر� ابعــة الك1اب وحم الد� كعــة الر� وفــي الر�

ل �ــه و+�حســن الث�نــاء �لــى ا!ل�ــه وصــل �لــي� بفاتwة الك1اب وتبارك المفص� ذا فرغت من الq�شه�د فاحمــد ا!ل4فا

تغفر !لمؤم[@ن Dن واس@ یمان ثم� قل فــي +خــر و+�حسن و�لى سا¬ر الن�ب@4بقوك Mلا Dذ�ن س� خوانك ال

4والمؤم[ات ولا

وارزق[ــي حســن الن�ظــر ذ!ك ا!ل�هم� ارحمني بqرك المعاصي +�بدا ما +�بقKتنــي وارحمنــي +�ن +��كل�ــف مــا لا یعن@[ــي فKما �رض ــ !�pتــي لا �ــرام +�ســ� ة ال كــرام والعــز�

4ــموات وا��رض ذا ال�ــلال والا �هــم� بــدیع الس� �ــه o یك عنــي ا!ل ك o +�!ل

�متنــي وارزق[ــي �ــذي رحمن ب�لا!ك ونور وجهك +�ن تلــزم قلبــ(ي حفــظ كتابــك كمــا �ل +�ن +�تلــوه �لــى الن�حــو ال�تــي لا �ــرام ة ال كــرام والعــز�

4موات وا��رض ذا ال�ــلال والا �هم� بدیع الس� +�ســ�p!ك o +�!ل�ــه o رحمــن �رضیك عني ا!ل

ر -ك1ابك بصري و+�ن تطلــق بــه لســاني و+�ن تفــرج بــه عــن قلبــ(ي و+�ن ¦شــرح بــه ب�لا!ك ونور وجهك +�ن تنولا� +�نــت ولا حــو

4�ــه لا یعی�[ــي �لــى الحــق �@ــرك ولا یؤتیــه ا ن

4�ــه صدري و+�ن تغسل به بدني فا لا� M!ل

4ة ا ل ولا قــو�

ذن ا!ل�ــه و 4M بعا تجب Dالحسن تفعل ذ!ك ثلاث جمع +�و خمسا +�و س M�+ o ,لحــق العلي العظیمM ــذي بعثنــي� ال

هذا �ــدیث حســن غریــب لا نعرفــه قال +�بو �@سى -و +خرUه الwاكم وصحwه الحسن غریب+خرUه الqرمذي وقال -ما +�خط�p مؤم[ا قط�لا� من �دیث الولید -ن مسلم

4 ا

"Wahai Abû Hasan, maukah engkau aku ajarkan kalimat yang Allâh akan memberi-mu manfaat di dalam hati-mu, dari apa yang telah kamu ketahui dan meneguhkan ilmu yang engkau pelajari." Ali berkata:" Segeralah Ya Rasûlullâh, ajari aku!" Rasûlullâh bersabda: " Jika engkau sanggup, ketika malam hari Jum'at, dirikanlah shalât di sepertiga malam terakhir, karena sesungguhnya itu merupakan saat yang masyhudah (disaksikan), doa-doa dikabulkan, karena sungguh saudaraku Nabi Ya'qub عليـھ السـلام: "Aku akan memohonkan ampun bagimu kepada Tuhanku (QS Yusuf (12):98),

Beliau bersabda lagi, jika telah tiba malam Jum'at, maka dirikanlah shalât (di sepertiga akhir), bila tidak sanggup di pertengahannya, bila tidak sanggup di awal malam, maka dirikanlah shalât empat rakaat Rakaat pertama, setelah membaca al-Fâtihah, bacalah surah Yaasin, pada rakaat

kedua, setelah membaca al-Fâtihah, bacalah surah Haa Mim Ad-Dukhân (حــم الـدخان), pada

rakaat ketiga, setelah al-Fâtihah, bacalah surat Alif Lâm Mim Tanzil as-Sajdah ( يــلJÝألــم ت

pada rakaat keempat, setelah membaca al-Fâtihah, bacalah surat Tabârak al Mufashal ,(ال³ـ�دة

.(تبارك المفصل)Setelah selesai shalât, sampaikanlah pujian kepada Allâh (membaca: alhamdu lillâhi rabbil 'alamin), kemudian bershalawat kepada Nabi dan keluarganya (membaca: Allâhumma shalli 'ala Muhammad wa ali Muhammad), dan membaca istighfar untuk kaum Mukmin dan untuk saudara-saudara se-iman yang terdahulu (membaca: Allâhummaghfir lil mu'minina wal mu'minat). Kemudian membaca doa berikut:

ق[ــي حســن الن�ظــر فKمــا ا!ل�هم� ارحمني بqرك المعاصي +�بدا ما +�بقKتنــي وارحمنــي +�ن +��كل�ــف مــا لا یعن@[ــي وارز �هم� بدیع �تــي لا �ــرام +�ســ�p!ك o +�!ل�ــه o رحمــن �رضیك عني ا!ل ة ال كــرام والعــز�

4موات وا��رض ذا ال�ــلال والا الس�

�متنــي وارزق[ــي +�ن +�تلــوه �لــى الن� �ــذي �رضــیك حــو ب�لا!ك ونور وجهك +�ن تلزم قلب(ي حفظ كتابك كمــا �ل ال�تــي لا �ــرام +�ســ�p!ك ة ال كرام والعــز�

4موات وا��رض ذا ال�لال والا �هم� بدیع الس� �ــه o رحمــن ب�لا!ــك عني ا!ل o +�!ل

Page 196: Ringkasan Fiqh shalât - MRKR

195

ر -ك1ابك بصري و+�ن تطلق به لساني و+�ن تفرج به عن قلب(ي و+�ن ¦شرح بــه صــدري و+�ن ونور وجهك +�ن تنولا� +�نت ولا حول ولا قو�

4�ه لا یعی�[ي �لى الحق �@رك ولا یؤتیه ا ن

4�ه العلي العظیم تغسل به بدني فا لا� M!ل

4 ة ا

"Ya Allâh , hindarkanlah aku dari bermaksiat kepada-Mu untuk selamanya, selama Engkau memberiku kehiupan, kasihanilahaku agar tidak memaksakan diri mencari sesuatu yanq tidak berguna, berilah aku pandangan yang baik terhadap apa yang membuat Mu ridha kepadaku. Ya Allâh Pencipta langit dan bumi, wahai Pemilik keagungan, kemuliaan, dan keluhuran yanq tidak terhingga Ya Allâh, Wahai Yang Maha Pengasih, Wahai Yang Maha Penyayang, dengan keagungan dan cahaya Wajah-Mu, aku memohon kepadaMu agar menguatkan hatiku untuk menghafal Kitâb -Mu yang diturunkan kepada Rasul-Mu, agar Engkau memberiku kemampuan untuk membacanya dengan cara yang membuat-Mu ridha kepadaku. Ya Allâh, Pencipia Langit dan bumi, Pemilik keagungan, kemuliaan, dan keluhuran yang tak terhingga, ya Allâh wahai Yang Maha Penyayang melalui keagunganMu dan cahaya Wajah-Mu, aku memohon-Mu agar Engkau menerangi penglihatanku melalui Kitâb -Mu itu, menfasihkan lidahku, melegakan hatiku, melapangkan dadaku, mendayagunakan badanku, memberikan kekuatan kepadaku dan menolongku untuk itu, karena tidak ada yang dapat menolong kepada kebaikan selain-Mu dan tidak ada yang dapat memberikan taufik selain-Mu dan tidak ada daya dan kekuatan kecuali dengan pertolongan Allâh Yang Maha Tinggi dan Maha Agung." "Wahai Abû Hasan (Alî bin Abi Thâlib), kerjakanlah shalât tersebut 3 (tiga) kali (malam) Jum'at atau lima kali atau tujuh kali, maka akan dikAbûlkan dengan se-izin Allâh dan demi Dzat yang mengutusku (Allâh ) dengan haq (benar), maka sungguh tidak ada yang terlupa sedikitpun (hafalan Alquran-nya). ( At Tirmidzî – Hadîts hasan Gharîb dan Al Hakim – Shahîh menurut dia) Berkata Abû Isa, hadîts : hasan Gharîb).

Tata Cara Shalâtnya Shalât ini dilakukan pada malam Jumat, sebanyak empat rakaat dengan setiap dua rakaat, salam. Rakaat pertama, setelah membaca al-Fâtihah, membaca surat Yâsin (سf سورة) (Surat No.36).

Rakaat kedua, setelah membaca al-Fâtihah, membaca surat Ad-Dukhân (حــم الــدخان)(Surat

No.44). Rakaat ketiga, setelah membaca al-Fâtihah, membaca surat As-Sajdah ( ال³ـ�دة ألـم تJÝيـل ) (Surat

No.32).

Rakaat keempat, setelah membaca al-Fâtihah, membaca surat Tabârak al Mufashal (al-Mulk) (Surat No.67) (تبارك المفصل) Setelah itu membaca dzikir :

د د� محم� ی Dصل �لى س �هم�ه رب العالم@ن, ا!ل�م ورضــي ا!لــه تبــارك وتعــالى الحمد !ل ل@ن وا��خر�ن وســل فى ا��و�یمان ولا تجعــل فــي عن سادتنا وعن اصwاب رسول ا!له اجمع@ن *

4بقو� Mلا Dذ�ن س� خواننا ال

4�نا اغفر لنا ولا رب

�ذ حKم قلوبنا �لا !ل �ك رؤوف ر� ن4�نا ا �ن +م[وا رب

"Segala Puji hanya milk Allâh, pengatur seluruh Alam, Semoga Shalawat serta salam tetap tercurah kepada Sayyid kita Nabi Muhammad dari golongan orang orang terdahulu hingga oran orang golongan di akhir kelak dan semoga diridhai dan diberkahi oleh Allâh Ta’âlâ kepada para sadat (contoh teladan) dan para sahabat Rasûlullâh kesemuanya. "Ya Rabb kami, beri ampunlah kami dan Saudara-saudara kami yang Telah beriman lebih dulu dari kami, dan janganlah Engkau membiarkan kedengkian dalam hati kami terhadap orang-orang yang beriman; Ya Rabb kami, Sesungguhnya Engkau Maha Penyantun lagi Maha Penyayang."

Kemudian berdoa: (sebagaimana doa di dalam hadîts tersebut di atas). ۞

17.Shalât ketika terjadi Perselisihan Dalam Kitâb Mu'jam Al-Kabîr disebutkan bahwa Rasûlullâh bersabda :

Page 197: Ringkasan Fiqh shalât - MRKR

196

�ه صل�ى ، قال: سمعت رسول ا!ل �م یقول:"�كف@ر كل لwاء ركعتان". عن +�ب(ي +kمامة الباهلي ا!له �لیه وسلDari Abi Umâmah Al-Bahilî berkata, aku mendengar Rasûlullâh bersabda: "Kaffarat bagi setiap pertikaian (perselisihan) adalah shalât dua rakaat." (Baihaqî)

عن +�ب(ي هر�رة قال : �كف@ر كل لwاء ركعتان . )37/262(] +خرUه ا-ن عساÈر 9028(ا-ن عساÈر) [ك�ز العمال

Dari Abû Hurairah �, berkata: "Kaffarat bagi setiap pertikaian (perselisihan) adalah Shalât dua rakaat." (Dari Ibn Asâkir, Kanzul Umâl). Tata cara pelaksanaannya sama dengan shalât sunnah lainnya, setelah membaca basmalah dan berniat untuk shalât dua rakaat karena Allâh Ta’âlâ, membaca doa Iftitah, Surat Al- Fâtihah, Surat Alquran. Dan demikian juga ketika rakaat kedua, setelah membaca Al-Fâtihah, Surat Alquran, dan di-akhiri dengan salam.

۞

18. Shalât Tasbîh Shalât Tasbîh adalah shalât sunnah empat rakaat dengan dua kali salam yang di dalamnya terdapat bacaan tasbîh pada setiap rakaat, yang dapat dilakukan pada malam hari maupun pada siang hari, boleh dikerjakan sendirian/munfarid atau berjamaah.

Shalât Tasbîh mempuyai dalil yang kuat untuk menjadi amalan ibadah tambahan, sebagamana hadîts:

ثنا موسى -ن عبد العز�ز قال +بو داوود في س�[ه: حمن -ن �شر -ن الحكم الن�@سابوري� �د� ثنا عبد الر� �د�ثنا الحكم -ن +�Mن عن عكرمة عن ا-ن عب�اس � +�ن� رسول ا!ل�ه ��د� قال !لعب�اس -ن ا!له �لیه وسل�م ىصل

اه +�لا +kعطیك +�لا +�م[wك +�لا +�حhوك +�لا +�فعل بك عشر خص لب o عب�اس o عم� ذا +�نت فعلت عبد المط�4ال ا

له و+خر ه و�لان@1ه عشر خصال ذ!ك غفر ا!ل�ه !ك ذنبك +�و� ه قدیمه و�دیثه خط�pه وعمده صغ@ره وكب@ره سر�ذا فرغت من القراء

4ي +�ربع ركعات تقر+k في كل ركعة فاتwة الك1اب وسورة فا ل ركعة +�ن تصل و+�نت ة في +�و�

ة ث لا� ا!ل�ه وا!ل�ه +�كLر خمس عشرة مر�4له ا

4�ه ولا ا بwان ا!ل�ه والحمد !ل Dركع ف1قولها و+�نت راكع قائم قلت س� �م

كوع ف1قولها عشرا ثم� ته وي ساUدا ف1قولها و+�نت ساUد عشرا ثم� �رفع ر+>سك من عشرا ثم� �رفع ر+>سك من الر�جود ف1قولها عشرا ثم� ¦س�د ف1قولها عشرا ثم� �رفع ر+>سك ف1قولها عشرا فذ!ك خم بعون في كل الس� Dس وس

ن لم تفعل ففي كل ركعة تفعل ذ!ك 4ة فافعل فا یها في كل یوم مر� تطعت +�ن تصل Dن اس

4جمعة في +�ربع ركعات ا

ن لم 4ة فا مر�

ن لم 4ة فا نة مر� Dن لم تفعل ففي كل س

4ة فا ة تف تفعل ففي كل شهر مر� عل ففي عمرك مر�

Berkata Abû Dâwud dalam Sunan-nya : Bercerita kepada kami Abdurrahman Ibnu Bisyri Ibni Hakam An Naisâbûri, bercerita kepada kami Mûsâ Ibnu Abdil ‘Azîz, bercerita kepada kami Al Hakam Ibnu Aban, dari Ikrimah dari Ibn ‘Abbâs �, Rasûlullâh bersabda kepada '‘Abbâs bin 'Abdul Muthâlib (paman beliau), "Wahai ‘Abbâs, pamanku, apakah kamu suka aku beri dan aku karuniai, aku beri hadiah istimewa, aku ajari sepuluh macam perbuatan yang dapat menghapus sepuluh macam dosa. Jika kamu mengerjakannya, niscaya Allâh mengampuni dosa-dosamu, baik yang terdahulu maupun yang sekarang, yang sudah lama maupun yang baru, yang tidak disengaja maupun yang disengaja, yang kecil maupun yang besar, yang tersembunyi maupun yang terang-terangan. Sepuluh amal itu ialah shalât empat rakaat, tiap tiap rakaat membaca surat Al Fâtihah dan surat apa saja, dan setelah selesai membaca itu dalam rakaat pertama lalu membaca di waktu masih dalam keadaan berdiri: 'Subhânallâhi wal hamdu lillâhi wa lâ ilâha illallâhu wallâhu akbar' sebanyak lima belas kali, lalu 'ruku' dan di waktu masih ruku' membaca

Page 198: Ringkasan Fiqh shalât - MRKR

197

tasbîh seperti tersebut di atas sebanyak sepuluh kali, dan i'tidal dari ruku' dan membaca lagi bacaan tersebut sepuluh kali, lalu turun untuk mengerjakan sujud dan membaca lagi bacaan tersebut sepuluh kali, lalu bangun dari sujud dan membaca bacaan tersebut sepuluh kali pula, lalu sujud lagi dan membaca bacaan tersebut sepuluh kali, lalu mengangkat kepala dari sujud dan di waktu duduk membaca bacaan tersebut sepuluh kali. Jadi jumlahnya ada tujuh puluh lima kali bacaan dalam setiap rakaat. Demikian itulah yang harus dikerjakan dalam setiap raka 'at dari keempat rakaat itu. Jika kamu mampu, kerjakanlah hal itu setiap hari. Kalau tidak mampu, lakukanlah setiap Jum'at sekali, dan kalau tidak mampu, lakukanlah setahun sekali. Kalau masih tidak mampu, kerjakanlah sekali dalam seumur hidup."

(HR. Abû Dâwud (dalam Kitâb shalât bab shalât tasbîh), At Tirmidzî, Ibnu Khuzaimah dan Ibnu Mâjah (dalam Kitâb Iqâmat Asshalah bab shalât tasbîh), Imam Baihaqî dalam bab shalât tasbîh, Imam Thabrânî dalam Mu’jam Al-Kabîr) dan masih banyak yang menghukumi Shahîh dan sunnah terhadap hadîts dan pelaksanaan Shalât Tasbîh. Juga dalam Kitâb Tuhfa al-Muhtâj fi Sarh Minhâj, Ihyâ’ Ulûmuddîn),

Derajat hadîts shalât tasbîh adalah shahîh sehingga dapat diamalkan.

Shalât tasbîh hukumnya Sunnah, kecuali dalam mazhab Hanbalî (seperti pendapat: Imam Ahmad bin Hanbal, Imam Mizzî, Ibnu Taimîyah, Ibnu Qudamah dan Imam Syaukânî), dan dijelaskan bahwa siapa yang melakukan shalât tasbîh hukumnya adalah makruh, akan tetapi seandainya ada orang yang melaksanakan shalât tersebut tidak apa-apa, karena perbuatan yang sunnah tidak harus dengan menggunakan dalil hadîts yang Shahîh. Shalât tasbîh dilakukan empat rakaat dengan satu salam, sesuai dengan dhâhir hadîts. Ada juga sebagian ulama yang menyatakan dengan dua salam.

Waktunya boleh dikerjakan siang atau malam hari.

Yang dimaksud dengan sepuluh sifat (pekerti) ( ر خصال

:di dalam hadîts di atas adalah (عش

1. Sebagai penghapus sepuluh macam dosa, yaitu: dosa yang awal dan yang akhir, dosa yang lama dan yang baru, dosa yang tidak disengaja dan yang disengaja, dosa yang kecil dan yang besar, dosa yang rahasia dan yang terang-terangan.

2. Sepuluh tasbîh, karena tasbîh yang diucapkan di dalamnya adalah sepuluh kali, sepuluh kali kecuali saat berdiri (15 kali).

Cara mengerjakannya Dijelaskan dalam Kitâb Al-Kalimut Thayyibi wal ’Amalus Shâlih ( §aا عمل الص

ب وال ي

لم الط

اب ال

:Imam As Suyûthî menjelaskan – (كت

Niat shalât tasbîh dua Rakaat

�ه تعالى تقhل القhلة !ل Dح ركعت@ن مسKLسqة ال�ن Dي س ا!ل�ه +�كLر - +kصلUsallî sunnatat tasbîh rak‘ataini mustaqbila al-qiblati lillâhi ta‘âlâ- Allâhu Akbar. Saya berniat shalât Sunnah Tasbîh dua rakaat dengan menghadap kiblat, karena Allâh Ta’âlâ. Niat shalât tasbîh empat Rakaat

�ه تعالى تقhل القhلة !ل Dح +�ربع ركعات مسKLسqة ال�ن Dي س �ه +�كLر - +kصل ا!لUsallî sunnatan tasbîh arba’ah rak‘âtin mustaqbila al-qiblati lillâhi ta‘âlâ- Allâhu Akbar. Saya berniat shalât Sunnah Tasbîh empat Rakaat dengan menghadap kiblat, ada' dan sebagai (Imam/Ma'mum) karena Allâh Ta’âlâ (dengan satu salam atau dua salam)

#1

(berdiri) Niat,Takbiratul Ihrâm

qة ال�ن Dصلي سk+ه تعالى�لة !لhل القhتق Dح ركعت@ن مسKLر - سLه +�ك� ا!ل

Doa Iftitah, Al Fâtihah (ةwسورة الفات), م@ن+ - , Surat Al Kâfirûn (سورة الكــافرون) - �ــه - ا!ل +�كLر

Page 199: Ringkasan Fiqh shalât - MRKR

198

�ه �ه ولا اله الا� ا!ل بwان ا!ل�ه والحمد !ل Dــه العلــي س� !ل M �ة الا �ــه +�كLــر لا حــول ولا قــو� وا!ل ا!ل�ه +�كLر - - (15x)العظیم

Ruku' ي العظیم وبحمده) بwان رب Dس(3x) ــه�ــه وا!ل� �ــه ولا الــه الا� ا!ل �ــه والحمــد !ل بwان ا!ل Dس ,ة الا� M!ل�ه العلي العظیم +�كLر لا (10x) حول ولا قو�

I'tidal ه لمن حمده� ماوات وملء ا��رض وملء ما شــ�ت , سمع ا!ل �نا !ك الحمد ملء الس� رب�ه ولا , من شيء بعد �ه والحمد !ل بwان ا!ل Dة س �ــه +�كLــر لا حــول ولا قــو� اله الا� ا!ل�ــه وا!ل

�ه العلي العظیم !ل M �الا- (10x) - رLه +�ك�ا!ل Sujud ي ا���لى وبحمــده) بwان رب Dس(3x) , ــه� �ــه والحمــد !ل�ــه ولا الــه الا� ا!ل بwان ا!ل Dــه ســ�وا!ل

ة الا� M!ل�ه العلي العظیم �ه +�كLر - (10x) +�كLر لا حول ولا قو� ا!لDuduk رنــي وارزق[ــي وارفعنــيLUواعــف عنــي واهــدني و�ــاف[ي رب اغفر لــي وارحمنــي وا ,

بwان ا!ل�ه والح Dــه العلــي س� !ل M �ة الا �ــه +�كLــر لا حــول ولا قــو� �ه وا!ل �ه ولا اله الا� ا!ل مد !ل

�ه +�كLر - (10x)العظیم -ا!لSujud ي ا���لى وبحمده) بwان رب Dس(3x)ــه ولا الــ�ــه والحمــد !ل� بwان ا!ل Dــه , ســ�ــه وا!ل� ه الا� ا!ل

ة الا� M!ل�ه العلي العظیم -ا!ل�ه +�كLر - (10x)+�كLر لا حول ولا قو� Duduk Istirahah ة �ــه +�كLــر لا حــول ولا قــو� �ه وا!ل �ه ولا اله الا� ا!ل بwان ا!ل�ه والحمد !ل Dــه العلــي س� !ل M �الا

–ا!ل�ه +�كLر - (10x)العظیم #2

(berdiri untuk Rakaat ke 2)

Al Fâtihah (ةwسورة الفات), م@ن+ - -, Surat Al Ashr (سورة العصر)

�ــه +�كLــر لا �ه وا!ل �ه ولا اله الا� ا!ل بwان ا!ل�ه والحمد !ل Dــه العلــي س� !ل M �ة الا حــول ولا قــو�

ا!ل�ه +�كLر - (15x)العظیم Ruku' ي العظیم وبحمده) بwان رب Dس (3x) ــه�ــه وا!ل� �ــه والحمــد !ل�ــه ولا الــه الا� ا!ل بwان ا!ل Dســ ,

ة (10x)الا� M!ل�ه العلي العظیم +�كLر لا حول ولا قو�I'tidal ه لمن حمده� ماوات وملء ا��رض وملء ما شــ�ت , سمع ا!ل �نا !ك الحمد ملء الس� رب

�ه ولا اله الا� ا!ل�ــه , من شيء بعد �ه والحمد !ل بwان ا!ل Dة س �ــه +�كLــر لا حــول ولا قــو� وا!ل

�ه العلي العظیم !ل M �الا(10x) - رLه +�ك� -ا!لSujud ي ا���لى وبحمده) بwان رب Dس(3x) ــه�ــه وا!ل� �ــه والحمــد !ل�ــه ولا الــه الا� ا!ل بwان ا!ل Dســ ,

ة الا� M!ل�ه العلي العظیم +�كLر لا �ه +�كLر - (10x) حول ولا قو� -ا!لDuduk رنــي وارزق[ــي وارفعنــيLUواعــف عنــي واهــدني و�ــاف[ي رب اغفر لــي وارحمنــي وا ,

�ه ولا ال �ه والحمد !ل بwان ا!ل Dــه العلــي س� !ل M �ة الا �ــه +�كLــر لا حــول ولا قــو� �ه وا!ل ه الا� ا!ل

�ه +�كLر - (10x) العظیم -ا!ل

Page 200: Ringkasan Fiqh shalât - MRKR

199

Sujud ي ا���لى وبحمده) بwان رب Dس(3x) ــه وا� �ــه والحمــد !ل�ــه ولا الــه الا� ا!ل بwان ا!ل Dــه , ســ�ل!

ة الا� M!ل�ه العلي العظیم -ا!ل�ه +�كLر - (10x)+�كLر لا حول ولا قو�Duduk Tasyahhud

!ل�ه M �ة الا �ه وا!ل�ه +�كLر لا حول ولا قو� �ه ولا اله الا� ا!ل بwان ا!ل�ه والحمد !ل Dعلي ال س ,(10x)العظیم

�هــا الن�بــ(ي� ورحمــة ا!ل�ــه ــلام �لیــك +�ی �ــه الس� بات !ل ی لوات الط� الت�حی�ات المباركات الص�لا� 4لــه ا

4ــالw@ن +�شــهد +�ن لا ا �ــه الص� لام �لینا و�لى عباد ا!ل �ــه و+�شــهد +�ن� و-ركاته الس� ا!ل

�هم� صــل دا رسول ا!ل�ه, ا!ل ــد و �لــىمحم� ید� محم� Dــد، �لــى ســ ید� محم� Dل ســ§ كمــا+-راهیم و

4ید� ا Dیت �لى س�رك �لى صلMراهیم، و-

4ید� ا Dل س§ ــد �لــى+ ید� محم� Dو ســ

د ، �لى ید� محم� Dل س§ -ــراهیم و �لىMركت كما+4ید� ا Dــراهیم �لــى ســ-

4ید� ا Dل ســ§ +

�ك ن4 حمید مجید. فى العالم@ن ا

ي +�س�p!ك توفKق +�هل الهدى و+�عمال +�هل الیق@ن وم[اصwة +�هــل �هم� ان الت�وبــة وعــزم ا!لغبة وتعب�د +�هل الــورع وعرفــان +�هــل یة وطلب +�هل الر� D+�هل الخش �دUر وL +�هل الص�ــي +�ســ�p!ك مgافــة تحجزنــي عــن معاصــیك ح1�ــى +�عمــل العلم ح1�ــى +�Xافــك، ا!ل�هــم� ان

تحب� به رضاك وح1�ى +k�صwك Mلت�وبة خوفا م[ك وح1�ــى +�Xلــص بطاعت Dك عملا +�سبwان Dمــور حســن ظنــي بــك ســk�ل �لیك فــي ا�ى +�توك�اء م[ك وح1Kة حwصی�ك الن!

Xالق الن�ار . Salam لام �لیكم ورحمة ا!ل�ه الس�

Rakaat #3, Setelah Al Fâtihah, membaca Surat Al Kâfirûn Rakaat #4, Setelah Al Fâtihah, membaca Surat Al-ikhlâs bacaan yang lainya sama dengan Rakaat#1 dan #2

Doa sesudah Shalât Tasbîh

حKم o ار حمن الر� كرام o اهل الت�قوى واهل المغفرة �سم ا!له الر�4احم@ن o حي� o ق�Kوم oذا ال�لال والا حم الر�

كر�ن وتب �لینا توبة نصو�ا وزد� بفضل رحمتك احم@ن o ارحم نورا وظهورا ووضو�ا o ذاكر الذ� ا!ل�هم� . الر��� �س�p!ك

4Lر وUد� ا اهل توفKق اهل الهدى واعمال اهل الیق@ن وم[اصwة اهل الت�وبة وعزائم اهل الص�

كوع وع غبة وتعب�د اهل الر� یة وطلب اهل الر� Dنا اتمم لنا نور� واغفرلنا الخش� رفان اهل العلم ح1�ى نgافك رب

�ك �لى كل شيء قد�ر ن4�هم� اجعل .ا نورا فى قلبنا ونورا فى قLر� ونورا وفى بصر� و نورا وفى سمعنا لناا!ل

مام[ا وXلف[ا ونورا من فوق[ ونور ا ونورا من تحتنا ا فى لساننا ونورا عن یمی�[ا ونورا عن شمالنا ونورا فى +�د و�لى اله وص ید� محم� Dى ا!له �لى س�احم@ن، وصل حبه وسل�م والحمد !ل�ه رب العالم@ن.-رحمتك o ارحم الر�

“Dengan nama Allâh Yang Maha Pengasih lagi Maha Penyayang, Ya Allâh, Dzat Yang Pengasih, Yang Penyayang, Yang Hidup dan Yang Berdiri Sendiri, Mahaperkasa lagi Mahamulia, Mahapemelihara ketakwaan dan Mahapemberi Ampunan, Yang Mengingat kepada yang mengingatNya, terimalah taubat kami dengan taubat yang sebenarnya dan tambahkanlah, dengan karunia rahmat-Mu, cahaya yang jelas lagi terang, wahai Dzat Yang Paling Pengasih di

Page 201: Ringkasan Fiqh shalât - MRKR

200

antara yang mengasihi. Ya Allâh, kami memohon kepada-Mu taufiq sebagaimana yang dimiliki oleh orang-orang yang memperoleh petunjuk, juga amal-amal orang yang memiliki keyakinan, kesetiaan orang-orang yang bertaubat, keteguhan orang yang sabar dan kesungguhan orang yang takut kepada Allâh, permohonan yang penuh harap, pengabdian orang yang ahli ruku’, dan ma’rifat orang yang berilmu, sehingga kami merasa takut kepada-Mu, Ya Allâh sempurnakanlah cahaya kami ampunilah kami, sesungguhnya Engkaulah Yang Berkuasa atas segala sesuatu. Ya Allâh, berikan cahaya di hati kami, cahaya di kubur kami, cahaya pada penglihatan kami, cahaya pada pendengaran kami, cahaya di sebelah kanan kami, cahaya di sebelah kiri kami, cahaya di depan dan belakang kami, cahaya di atas kami dan cahaya di bawah kami. Dengan Rahmat-Mu, wahai Dzat Yang Paling Penyayang di antara yang menyayangi.”

۞

19. Shalât Sunnah Muthlaq Shalât sunnah Muthlaq, yaitu shalât sunnah dua rakaat yang dikerjakan kapanpun (kecuali pada waktu tahrîm) dan dimanapun. Shalât adalah Ibadah yang utama, sehingga siapa yang ingin makin banyak shalâtnya, maka shalâtlah, sebagaimana hadîts

�ــه صــل�ى تطاع +�ن :ا!لــه �لیــه وســل�م عــن +�بــ(ي هر�ــرة، قــال: قــال رســول ا!ل Dــر موضــوع، فمــن اســ@X ــلاة الص�تك�ر Dتك�ر فل@س Dسr"

Dari Abû Huraiarah � berkata, "Rasûlullâh bersabda: "Shalât itu adalah Sesuatu yang baik, maka jika mampu untuk memperbanyak (shalât sunnah) maka hendaklah diperbanyak."(Mu'jam Al-Kabîr at-Thabrânî).

Adapun niat shalâtnya adalah :

ن�ة Dصلى سk+ ه تعالى كعت@ن ر�ر -!لLه +�ك�ا!ل Usallî sunnatan rak‘âtain lillâhi ta‘âlâ- Allâhu Akbar. “Aku niat mengerjakan shalât sunnah dua rakaat karena Allâh Ta’âlâ”

Tata caranya sama dengan shalât sunnah lainnya tinggal mengganti lafadz niat-nya.

Imam Nawâwî dalam Syarh Nawâwî alâ Shahîh Muslim V/205 mengatakan: “Para Ulama’ sepakat menganjurkan shalât sunnah Muthlaq untuk dikerjakan dalam perjalanan.”

۞

20.Shalât Intidhâr Shalât Intidhâr [صــلاة الإنتظــار] yaitu shalât menunggu/Intidhâr ini termasuk shalât sunnah

Muthlaq yang dapat dikerjakan pada setiap saat; terlepas dari keterikatan shalât sunnah yang lain. Pada hari Jum'at menjelang khatib naik mimbar, atau pada kesempatan yang lain. Shalât Intidhâr tidak boleh dikerjakan bila khatib sudah naik mimbar. Caranya seperti mengerjakan shalât sunnah lainnya, setiap dua rakaat satu kali salam.

Tata caranya sama dengan shalât-shalât lainnya tinggal mengganti lafadz niat dengan Shalât Sunnah Muthlaq.

۞

21. Shalât Isti’âdzah Shalât Isti’âdzah5 [صلاة الإستعاذة] dijelaskan dalam Kitâb Nihâyatuz Zain fî Irsyâdil Mubtadi’în yang

ditulis oleh Syekh Muhammad bin Umar bin Ali bin Nawâwî al-Jâwî – Bab Shalât Nafil

من شر یومه ولیلته یقر+ في ا�ولى بعد وم[ه صلاة الاسDتعاذة وهي رÒعتان بعد صلاة الضحى ینوي بهما سDنة الاسDتعاذة یقصد بهما +ن ا!له یعیذه 5

1(x)الناس ا�یة 114وفي الثانیة بعد الفاتwة سورة {قل +عوذ -رب الناس} 1(x)الفلق ا�یة 113الفاتwة سورة {قل +عوذ -رب الفلق}

Page 202: Ringkasan Fiqh shalât - MRKR

201

disebutkan bahwa Shalât Isti’âdzah adalah shalât dua rakaat yang dilaksanakan sesudah shalât Dhuhâ dengan niat memohon perlindungan kepada Allâh dari keburukan siang hari dan juga keburukan malam hari. Shalât Isti’âdzah merupakan shalât sunnah yang mempunyai sebab Mutaakhir.

Niat Shalât Isti’âdzah:

ن�ة Dي س تعاذة +kصل Dس4تق الا Dه تعالىركعت@ن مس� �ه +�كLر - hل القhلة !ل ا!ل

Usallî sunnatal Isti’âdzati rak‘ataini mustaqbila al-qiblati lillâhi ta‘âlâ- Allâhu Akbar. Saya berniat shalât sunnah Isti’âdzah dengan menghadap kiblat , karena Allâh Ta’âlâ.

Rakaat Pertama, setelah membaca Al-Fâtihah membaca surat Al-Falaq. Rakaat Kedua, setelah membaca Al-Fâtihah membaca surat An-Nâs.

تعاذة وهو Dیدعو بد�اء الاس �ثم Kemudian berdoa dengan bacaan doa:

حKم حمن الر� §له وصحبه الحمد !له رب الع �سم ا!له الر� ي و�لى + م k�ي ا) د الن�ب د� محم� ی Dى ا!له �لى س�الم@ن وصلم وسل

نة دف[ Dن ر+�ى حس4ي +�عوذ بك من Xلیل ماكر عیناه �رoني وقلبه �ر عني ا ن

4 ا!ل�هم� ا ن ر+�ى س@

4Æة +�ذاعها ها وا

وء و+�عوذبك من سا�ة الس� وء و+�عوذبك من لیلة الس� ي +�عوذ بك من یوم الس� ن4وء و+�عوذبك من ا!ل�هم� ا

وء في دار المقام وصل�ى ا!ل وء و+�عوذبك من Uار الس� §له وصحبه صاحب الس� د و�لى + د� محم� ی Dه �لى سم وسل

“Dengan nama Allâh Yang Maha Pengasih lagi Maha Penyayang, Segala puji bagi Allâh, Tuhan sekalian alam dan shalawat serta salam dari Allâh terlimpahkan kepada sayyid kita, Nabi Muhammad, Nabi Ummîyyi dan kepada keluarga beliau dan para sahabat beliau. Ya Allâh sesungguhnya aku berlindung kepadaMu dari pandangan, kelicikan serta niat (jahat) orang lain kepadaku, jikalau melihatku atas kebaikan maka ditutupnya, jika melihat kejelekan disebarkannya. Ya Allâh sesungguhnya aku berlindung kepadaMu dari kejelekan siang ini, dan aku berlindung kepadaMu dari kejelekan malam ini dan aku berlindung kepadaMu dari saat-saat yang jelek dan aku berlindung kepadaMu dari kawan yang jelek (akhlak, perilakunya) dan aku berlindung kepadaMu dari tetangga yang jelek, shalawat serta salam dari Allâh terlimpahkan kepada sayyid kita, Nabi Muhammad, dan atas keluarga dan para sahabat beliau.”

۞

22. Shalât Ta’qîb Shalât Ta’qîb [عقيب

الت

ة

,adalah [صلا

�راویح … التعقKب هو qافلة بعد ال�صلاة الن

)526/ 3النهایة في غریب اÅ�ر (Ibnu Al-Atsîr berkata: “Ta’qîb adalah… Shalât nafilah setelah Tarâwîh.” Shalât tambahan yang dikerjakan sesudah Shalât Tarâwîh.

Ta’qîb berasal dari kata ‘aqqaba ( ب

yang bermakna menyusulkan. Jadi, dalam bahasa mudah (عق

Shalât Ta’qîb bermakna Shalât susulan. Istilah Shalât Ta’qîb merupakan produk ulama’, tidak akan dijumpai di alquran atau hadîts.

Page 203: Ringkasan Fiqh shalât - MRKR

202

Menurut Syekh Az-Zamakhsyarî:

هو +ن یصل�وا عقب الqراویح

wرالفائق في غریب الÅ�(13 /3) دیث و ا “Ta’qîb adalah Shalât setelah Tarâwîh.”

Ibnu Qudamah al-Hanbalî memberikan ketentuan :

ا الت�عقKب، وهو +�ن یصلي بعد الq�راویح �فلة +kخرى جما�ة، +�و یصلي الq�راویح ف لمغني ا(ي جما�ة +kخرى ف�pم� (125 /2) لا-ن قدامة

“Adapun Ta’qîb maknanya adalah shalât nafilah yang lain setelah Tarâwîh secara berjamaah, atau shalât Tarâwîh dalam jamaah yang lain.”

Al-Maqrizî menjelaskan tempat pelaksanaannya, yaitu di masjid. Beliau berkata,

لى المس�د بعد انصرافهم عنه الت�عقKب و 4 هو رجوع الن�اس ا

)245مختصر قKام ا!لیل وقKام رمضان وكتاب الو�ر (ص: “Ta’qîb yakni kembalinya orang-orang ke masjid setelah mereka pulang dari masjid.” Atau dapat dikatakan, shalât Ta’qîb adalah Qiyamullail yang dikerjakan setelah Qiyamullail, atau Tahajjud yang dikerjakan setelah Tahajjud, atau Tarâwîh yang dilakukan setelah Tarâwîh.

Hukumnya boleh dikerjakan, Ibnu Abi Syaibah meriwayatkan,

ثنا عب�اد ، عن سعید ، عن ق1ادة ، عن +��س �ما �رجعون الى X@ر �رجونه ویLرؤون : قال �د� لا بp>س به ان (399 /2) مصنف ا-ن +ب(ي ش@hة (من شر یgافونه

‘Abbâd memberitahu kami, dari Sa’îd, dari Qatâdah, dari Anas �, beliau mengatakan, tidak apa-apa (Shalât Ta’qîb), mereka hanya kembali menuju kebaikan yang mereka harapkan dan berlepas diri dari apa yang mereka khawatirkan. Dalam kitab al-Mughnî disebutkan,

س بھ بأ

ھ لا ن

حمد: أ

عن أ

(125 /2) المغ�! لابن قدامة( ف

“Dari Ahmad, bahwasanya Shalât Ta’qîb itu tidak apa-apa.”

يل K آخر الل

yره إ خ

و أ

ما ل

ره، ك

م يك

ل

، ف

اعة

C وط

ھ خ نره؛ لأ

يك

ھ لا ن

6يح أ المغ�! لابن (وال�

(125 /2) قدامة“Yang benar bahwa itu tidak dimakruhkan karena merupakan kebaikan dan ketaatan, jadi tidak dimakruhkan, sebagaimana jika ia mengakhirkan sampai akhir malam.” Namun, sebagian ulama’ memakruhkan Shalât Ta’qîb, karena adanya musyaqqah atau keberatan, juga karena ada banyak orang yang melaksanakan ibadah sunnah lainnya di rumah, seperti Shalât Tahajjud (dimana jika dikerjakan secara munfarid atau sendiri lebih utama daripada secara berjamaah). Sebagaimana pendapat kalangan Ulama mazhab Hanbalî yang membolehkan namun lebih dianjurkan shalât secara munfarid, dan ulama’ kalangan mazhab Syâfi’î dan Hanafî menghukumi makruh. Juga adanya ibadah sunnah lainnya yang juga tidak lebih rendah tingkatannya dibandingkan Shalât Ta’qîb (berjamaah) seperti menyenangkan istri

(menggauli istri) yang juga bernilai sedekah atau sunnah [ ة

م صدق

حدك

, [وQR بضع أ

�ه �لی عن �م قالوا !لن�ب(ي صل�ى ا!ل �ه �لیه وسل ه وسل�م o رسول ا!ل�ه +�ب(ي ذر +�ن� �سا من +�صwاب الن�ب(ي صل�ى ا!لثور k�Mجور یصل�ون كما نصلي ویصومون كما نصوم وی موالهم قال +�و ل@س ذهب +�هل الد� قون بفضول +� تصد�

ن� -كل ¦سwKLة صدقة وكل �كh@رة صدقة وكل تحمید 4قون ا د� �ه لكم ما تص� ة صدقة وكل تهلیلة قد جعل ا!لنه(ي عن م[كر صدقة وفي بضع +��دكم صدقة قالوا o رسول ا!ل�ه +�یpتي +��د� صدقة و+�مر Mلمعروف صدقة و

Page 204: Ringkasan Fiqh shalât - MRKR

203

ذا وضعها ف شهوته و�كون له فKها +�جر قال +�ر+�یتم لو وضعها في حرام +�كان �لیه فKها وزر فكذ! 4ي الwلال ك ا

كان له +�جراDari Abu Dzar � bahwa beberapa orang dari sahabat Nabi bertanya kepada beliau, "Wahai Rasûlullâh, orang-orang kaya dapat memperoleh pahala yang lebih banyak. Mereka shalât seperti kami shalât, puasa seperti kami puasa dan bersedekah dengan sisa harta mereka." Maka beliau bersabda: "Bukankah Allâh telah menjadikan berbagai macam cara kepada kalian untuk bersedekah? Setiap kalimat tasbih adalah sedekah, setiap kalimat takbir adalah sedekah, setiap kalimat tahmid adalah sedekah, setiap kalimat tahlil adalah sedekah, amar ma'ruf nahi munkar adalah sedekah, bahkan pada kemaluan seorang dari kalian pun terdapat sedekah." Mereka bertanya, "Wahai Rasûlullâh, jika salah seorang diantara kami menyalurkan nafsu syahwatnya, apakah akan mendapatkan pahala?" beliau menjawab: "Bagaimana sekiranya kalian meletakkannya pada sesuatu yang haram, bukankah kalian berdosa? Begitu pun sebaliknya, bila kalian meletakkannya pada tempat yang halal, maka kalian akan mendapatkan pahala." (HR.Muslim)

Alasan Musyaqqah atau keberatan adalah dikemukaan oleh ulama’ kalangan tâbi’în (Al-Hasan Bashrî) sebagaimana Ibnu Rajab Al-Hanbalî dalam Fathul Barî, menyampaikan sikap Al-Hasan Bashrî:

وقال: من كان فيه قوة وكره الحسن أن يأمر الإمام الناس بالتعقيب؛لما فيه من المشقة عليهم، (175 /9) فتح الباري لابن رجب (فليجعلها على نفسه، ولا يجعلها على الناس

“Al-Hasan tidak suka seorang Imam memerintahkan orang-orang untuk melakukan Ta’qîb, karena mengandung musyaqqah/keberatan bagi mereka. Ia berkata, siapa yang memiliki kekuatan, maka hendaklah ia melakukannya pada dirinya sendiri dan tidak memerintahkan kepada orang-orang.

۞

23. Shalât Sunnah Qabla Aqdun Nikah

Shalât sunnah sebelum akad nikah [صلاة سنة قبل عقد الن�اح] adalah Shalât dua rakaat, termasuk

shalât sunnah yang mempunyai sebab Mutaakhir, yang dikerjakan sebelum akad pernikahan kapan saja selain waktu yang dimakruhkan. Bacaan suratnya di setiap rakaat setelah al-fâtihah boleh apa saja.

وج ، والولي قال الإمام شهاب الدين أحمد بن حجر الهيتمي: ينبغي أن يكون ذالك للز ( لتعاطيهما للعقد دون الزوجة. وينبغي أيضا إن فعلهما في مجلس العقد قبل تعاطيه

238) - 2حواشي تحفة المنهاج بشرح المنهاج ج Imam Syihâbbuddîn Ahmad bin Hajar al-Haitamî berkata: “Shalât tersebut sangat dianjurkan bagi mempelai laki-laki dan wali, karena keduanya yang melaksanakan akad nikah, tidak dianjurkan bagi mempelai wanita. Dan sebaiknya dilakukan di majelis akad nikah sebelum pelaksanaannya.”

Niat shalât sebelum akad nikah ini adalah:

ن�ة النكاح ركعت@ن !له تعال Dى س �ه +�كLر - ىاصل ا!لUshalli sunnatan nikahi rak’ataini lillâhi ta’âlâ “Aku niat shalât sunnah nikah dua rakaat karena Allâh Ta’âlâ.”

Rakaat pertama, setelah membaca al-Fâtihah, membaca Surat Al Kâfirûn Rakaat kedua, setelah al-Fâtihah, membaca Surat al-ikhlâs . Setelah salam, berdoa memohon ridha dan petolongan Allâh Ta’âlâ, agar diberi keselamatan, keberkahan dan keberhasilan dalam aqad nikah dan rumah tangga yang akan dibinanya.

۞

Page 205: Ringkasan Fiqh shalât - MRKR

204

24. Shalât Sunnah Zifâf (malam pertama pengantin) Shalât sunnah zifâf [صلاة سنة الزفاف] atau shalât sunnah dua rakaat malam pertama pengantin,

merupakan shalât sunnah yang mempunyai sebab Mutaakhir. Kedua mempelai melakukan Shalât Sunnatuz Zifâf, dengan niat:

ن�ة Dى س +�كLر ا!ل�ه - ركعت@ن !له تعالى الزفاف اصلUshalli sunnatan nikahi rak’ataini lillâhi ta’âlâ “Aku niat shalât sunnah nikah dua rakaat karena Allâh Ta’âlâ.”

Rakaat pertama, setelah membaca al-Fâtihah, membaca Surat Al Kâfirûn Rakaat kedua, setelah al-Fâtihah, membaca Surat al-ikhlâs . Waktunya kapan saja selain waktu yang dimakruhkan.

قال الإمام شهاب الدين أحمد بن حجر الهيتمي: يسن للرجل إذا زفت إليه امرأة ودخل بها, أن يأخذ ها وخير ما جبلتها بناصيتها, ويقول: بارك الله لكل منا في صاحبه, ثم يقول: اللهم إني أسألك خير

ا خلفه عليه وأعوذ بك من شرها وشر ما جبلتها عليه. وروى الطبراني أنه يصلي ركعتين وهي أيض م اجمع بيننا ما جمعت في خير ويقول اللهم بارك لي في أهلي وبارك لأهلي في وارزقني منهم. الله

وفرق بيننا إذا فرقت في خير 273-274ص الفتاوى الكبرى الفقهية على مذهب الإمام الشافعي (فتاوى ابن حجر الهيتمي)

Imam Syihâbbuddîn Ahmad bin Hajar al-Haitamî berkata: “Disunnahkan bagi mempelai laki-laki ketika dipertemukan dengan mempelai wanita pada malam pertama untuk menunaikan hasratnya (jima’), hendaklah dia memegang ubun-ubun istrinya, kemudian membaca doa:

Mرك ا!ل�ه لكل م[�ا في صاحhه

“Ya Allâh,berikanlah keberkahan bagi kami dalam keluarga kami.”

Kemudian membaca doa:

ي +�س�p!ك X@رها وX@ر ما جhلتها �لیه و+�عوذ بك من شرها وشر ما جhلتها �ل یه. ا!ل�هم� ان

“Ya Allâh, sesungguhnya aku memohon kepada-Mu kebaikannya dan kebaikan wataknya. Dan aku berlindung kepada-Mu dari kejahatannya dan kejahatan wataknya.”

�ه یصلي ركعت@ن وهي +�یضا Xلفه ویقول ن Lراني� +� وروى الط�

Al-Imam At-Thabrânî meriwayatkan bahwa, dianjurkan bagi keduanya untuk shalât dua rakaat, si suami sebagai imam dan istrinya sebagai makmum. Kemudian membaca doa:

ق ا!ل�هم� Mرك لي في +�هلي وMرك ��هلي في وارزق[ي م[هم. ا!ل�هم� اجمع بی�[ا ما جمعت في X@ر وفرقت في X@ر ذا فر�

4 بی�[ا ا

“Ya Allâh, limpahkanlah keberkahan padaku dalam keluargaku, dan limpahkan pula keberkahan pada keluargaku. Satukanlah kami dalam kebaikan yang Engkau ridloi, dan jika Engkau pisahkan kami jika, maka pisahkanlah dalam menuju kebaikan”. Terdapat pula keterangan dari atsâr dari Abu Sa’îd �, mengisahkan bahwa saat ia menikah dihadiri oleh Abdullâh bin Mas’ûd �, Abu Dzar �, serta Khudzaifah �, ketiga sahabat Nabi itu menasehatkan kepada Abu Sa’îd yang baru saja menikah sebagai berikut:

ذا دXل �لیك +� 4ذ به من شره، ثم� شp> ا نك هلك فصل ركعت@ن ثم� سل ا!ل�ه من X@ر ما دXل �لیك، ثم� تعو�

وشp>ن +�هلك Apabila kamu bertemu pertama dengan istrimu, lakukanlah shalât dua rakaat, kemudian mintalah kepada Allâh kebaikan dari semua yang datang kepadamu, dan berlindunglah dari keburukannya. Kemudian lanjutkan urusanmu dengan istrimu. (HR. Ibn Abi Syaibah no.30352).

Page 206: Ringkasan Fiqh shalât - MRKR

205

۞

25. Shalât Sunnah ketika keluar dari Masjid Nabawi

Shalât sunnah dua rakaat dikerjakan saat akan keluar atau meninggalkan masjid Rasûlullâh atau di Masjid Nabawi Madinah [روج من م�³د رسول اللھ ص%$ اللھ عليھ وسلمyaصلاة سنة عند ا]. Merupakan

shalât sunnah yang mempunyai sebab Mutaakhir. Dan bacaan suratnya di setiap rakaat adalah boleh apa saja.

Rasûlullâh bersabda:

لا� المس�د الحرام4 صلاة في مس�دي هذا X@ر من +�لف صلاة فKما سواه، ا

Satu shalât di masjid saya ini lebih baik daripada seribu shalât di tempat lain, kecuali Masjidil Haram. (Shahîh Bukhârî dan Muslim). Niat shalâtnya:

ن�ة ركعت@ن !له تعالى Dى س ا!ل�ه +�كLر -اصلUshalli sunnatan rak’ataini lillâhi ta’âlâ “Aku niat shalât sunnah dua rakaat karena Allâh Ta’âlâ.”

Rakaat pertama, setelah membaca al-Fâtihah, membaca Surat Al Kâfirûn. Rakaat kedua, setelah al-Fâtihah, membaca Surat al-ikhlâs .

Imam Ghazâlî dalam Ihyâ’ Ulûmiddîn mengatakan, sebelum memasuki kawasan masjid Nabawi, dianjurkan membaca doa:

حKم. +�عوذ M!له العظیم ووUه الكریم وسلطان حمن الر� �هم� اف1ح لي �سم ا!له الر� جKم ا!ل یطان الر� �Dه القدیم من الش +�بواب رحمتك

Bismillâhir rahmânir rahîm. A’uudzubillâhil karîmi wa sulthânihil qadîmi minasy syaithânir rajîmi allâhummaftahlî abwâba rahmatika. Dengan menyebut nama Allâh Yang Maha Pengasih dan Maha Penyayang. Aku berlindung kepada Allâh yang Maha Agung, kepada wajah-Nya yang Maha Mulia dan kepada kekuasaan-Nya Yang Maha Dahulu dari godaan setan yang terkutuk. Ya Allâh, bukakanlah bagiku segla pintu rahmat-Mu.

۞

26. Shalât Sunnah ketika terjadi Gempa Bumi dan sejenisnya Shalât sunnah dua rakaat yang mempunyai sebab Muqârin (bersamaan), yaitu dikerjakan pada saat terjadi gempa ataupun sejenisnya [حوه Dan waktunya kapan saja selain di .[صلاة سنة عند الزلازل ون

waktu yang dimakruhkan. Bacaan suratnya di setiap rakaat setelah al-fâtihah adalah bebas apa saja.

قال الشDیخ النووي الب�1اني: rسن لكل +�د +ن یتضرع Mلد�اء ونحوه عند الزلازل ونحوها كالصواعق والریح الشدید )104ص نهایة الز�ن / فصل: في صلاة النفل(والخسف و+ن یصلي في ب@1ه م[فردا

Imam An-Nawâwî Al-Bantânî berkata: “Disunnahkan bagi setiap muslim untuk berdoa di saat terjadi gempa bumi maupun sejenisnya, seperti ada hujan petir, hujan angin yang dahsyat sekali, tanah longsor dan lain sebagainya. Shalât tersebut dikerjakan di rumah masing-masing tanpa berjamaah.”

Niat shalâtnya:

ن�ة ركعت@ن !له تعالى Dى س ا!ل�ه +�كLر -اصلUshalli sunnatan rak’ataini lillâhi ta’âlâ “Aku niat shalât sunnah dua rakaat karena Allâh Ta’âlâ.”

Rakaat pertama, setelah membaca al-Fâtihah, membaca Surat Al Kâfirûn Rakaat kedua, setelah al-Fâtihah, membaca Surat al-ikhlâs .

Page 207: Ringkasan Fiqh shalât - MRKR

206

Setelah salam berdoa.

و+ن رسول ا!له صلى ا!له �لیه وسلم كان اذا عصفت الریح, قال: Sesungguhnya Rasûlullâh pada saat ada angin yang bertiup kencang sekali, Beliau berdoa:

ها وشر ما ف ا!ل� ني +�س�p!ك X@رها وX@ر ما فKها وX@ر ما +رسلت به و+�عوذ بك من شر4Kها وشر هم� ا

)104ص نهایة الز�ن / فصل: في صلاة النفل(ما +�رسلت به. ا!ل�هم� اجعلها رo�ا ولاتجعلها ریwا

Ya Allâh, sesungguhnya aku meminta kepadamu kebaikan angin ini dan kebaikan yang terdapat di dalamnya, dan kebaikan dari apa yang Engkau kirimkan ini. Dan aku meminta perlindungan dari kejelekan angin ini dan kejelekan apa yang ada di dalamnya, dan dari kejelekan dari apa yang Engkau kirimkan ini. Ya Allâh, semoga Engkau jadikan angin ini sebagai penyejuk, dan jangan Engkau jadikan ini sebagai angin puting beliung yang merusak.

Dalam kitab Asnâ Al-Mathâlib, 1/288 Syaikhul Islâm Zakariyyâ Al-Anshârî berkata:

ويستحب لكل أحد أن يتضرع بالدعاء ونحوه عند الزلازل ونحوها من الصواعق والريح الشديدة ، ,وأن يصلي في بيته منفردا لئلا يكون غافلا

Dianjurkan bagi setiap orang untuk bersungguh-sungguh dalam berdoa ketika ada gempa bumi dan lainnya, seperti petir dan angin kencang, dan mendirikan shalât dikerjakan di rumah,

لأنه صلى الله عليه وسلم كان إذا عصفت الريح قال: (اللهم إني أسألك خيرها وخير ما فيها وخير ما أسنى المطالب (أرسلت به، وأعوذ بك من شرها وشر ما فيها وشر ما أرسلت به) رواه مسلم" انتهى

. (3/65) تحفة المحتاج) ، 1/288شرح روض الطالب (Sebab jika Nabi melihat angin kencang maka berdoa: "Ya Allâh, aku minta kepadaMu kebaikan dari angin dan yang ada di dalamnya dan kebaikan yang Engkau kirim. Dan aku minta perlindungan kepadaMu dari keburukan angin dan yang ada di dalamnya dan keburukan yang Engkau kirim." (HR Muslim)

لا ج¡ا الن�ب(ي� صل�ى ا!ل�ه �لیه قط� ما هب�ت ریح : قال عنه عن ا-ن عب�اس رضي ا!ل�ه :وروي الشافعي LXر 4ا

�م �لى ركبKqه :وقال ، وسلAsy-Syâfi’î juga meriwayatkan hadîts dari Ibnu ‘Abbâs � bahwa, jika ada angin kencang maka Nabi bersimpuh di atas kedua lututnya dan berdoa:

Mاجعلها رحمة ولا تجعلها �ذا �هم�ا، ا!لw�ا ولا تجعلها ریoاجعلها ر �هم�ا!ل "Ya Allâh, jadikanlah angin ini sebagai rahmat dan jangan jadikan adzab. Jadikanlah angin yang berhembus dan jangan jadikan angin yang menghancurkan."(Musnad Asy-Syâfi’î-Kitab al-‘Idain, hadîts nomer 336).

۞

27. Shalât Sunnah Litashîlil maut (agar dimudahkan ketika meninggal dunia) Shalât sunnah Litashîlil Maut [صلاة سنة ل8س�يل الموت] adalah shalât sunnah dua rakaat yang

mempunyai sebab Mutaakhir. Yaitu dikerjakan pada malam jum’at setelah shalât maghrib agar dimudahkan kelak jika mau meninggal dunia dan diselamatkan dari segala petaka yang terjadi sesudah meninggal. Bacaan suratnya boleh apa saja.

وقال الشيخ نووي البنتاني: يقرأ في كل ركعة منهما بعد الفاتحة سورة الزلزلة خمس عشر )104ص نهاية الزين / فصل: في صلاة النفل( .مرة

Imam An-Nawâwî Al-Bantânî berkata: Setelah al-fâtihah di setiap rakaat membaca surat Al-Zalzalah lima belas kali. Niat shalâtnya:

ن�ة ركعت@ن !له تعالى Dى س ا!ل�ه +�كLر -اصلUshalli sunnatan rak’ataini lillâhi ta’âlâ

Page 208: Ringkasan Fiqh shalât - MRKR

207

“Aku niat shalât sunnah dua rakaat karena Allâh Ta’âlâ.”

Rakaat pertama, setelah membaca al-Fâtihah, membaca Surat Al Kâfirûn Rakaat kedua, setelah al-Fâtihah, membaca Surat al-ikhlâs . Setelah salam berdoa agar diberi kemudahan ketika meninggal dunia dan tergolong khusnul khatimah.

۞

28. Shalât Sunnah liraf’il Adzâbil Qubur Shalât sunnah liraf’il Adzâbil Qubur [ GH صلاة

ق

اب ال

ع عذ

لرف ] adalah shalât sunnah diniatkan untuk

memohon agar dibebaskan diri dari adzab qubur. Dalam Kitab Al-Ghunyah li Thâlibî Thâriqil Haq Fîl Azza Wa Jalla, juz II, Syekh Abdulqadir Al-Jilânî Al-Hasanî (ulama’ yang masyhur, bermazhab Hanbalî) menukil hadîts:

لاة لرفع �ذاب القLر) (فصل: فى فضل الص�

ن صل�ى (م عن عبد ا!له -ن الحسن عن �لي رضي ا!له عنه قال: قال رسول ا!له صل�ى ا!له �لیه وسل�م ماء -روUا) ح1�ى یخت �ذى جعل فى الس� �دهما +خر الفرقان من (تLرك ال

4م السورة، ثم� یX<pذه ركعت@ن یقر+k فى ا

ل سورة المؤم[@ �انیة فKقر+k فKها بعد الفاتwة من +�و� ن ح1�ى یبلغ (ف1بارك ا!له +�حسن الgالق@ن) الث(Pasal: Shalât sunnah liraf’il Adzâbil Qubur) Dari Abdullâh bin Hasan dan beliau dari Sahabat Alî bin Abi Thâlib � beliau berkata Rasûlullâh

bersabda: ”Siapa yang melakukan shalât dua rakaat dan dia membaca di dalam shalât itu pada rakaat pertama, membaca al-Fâtihah satu kali, membaca ayat diakhir surat al-Furqân ayat 61 sampai dengan ayat 77 mulai dari “tabârakal ladzî ja’ala fîssamâ’i burûjan.. sampai ayat terakhir surat itu,

� [@راتhـرك ال قمرا م� جعل فKها سرUا و� ماء -روUا و� من اراد ﴾61﴿ذى جعل فى الس� �یل والن�هار Xلفة ل �ذى جعل ال وهو الك�ر او اراد شكورا �ذ� �ذ�ن یمشون �لى ﴾62﴿ان ی حمن ال اذا Xاطبهم الجهلون قالوا سلماوعباد الر� ﴾63﴿الارض هو� و�

قKاما دا و� هم س�� �ذ�ن یب@1ون لرب �نا اصرف عن�ا �ذاب جهÙن�م ﴾64﴿ وال �ذ�ن یقولون رب ان� �ذابها كان غراما ◌ وال�ه ﴾65﴿◌ مقاماان ا و� تقر­ Dروا وكان ب@ن ذ!ك قواما ﴾66﴿ ا ساءت مسqسرفوا ولم یقr ذ�ن اذا انفقوا لم� ﴾67﴿ وال

م ا!له �تى حر� ه الها اخر ولا یق1لون الن�فس ال �ذ�ن لا یدعون مع ا!ل �فعل ذ !ك یلق ا�ما الا� Mلحـق ولا �زنون وال ومن ی

ل ﴾69﴿ ◌ یضعف له العذاب یوم القKمة ویgلد فKه مها� ﴾68﴿ الا� من �ب وامن وعمل عملاصالحÙا فاولÙئك یبدی Dه س حKما اتهم حس�ت ا!ل ه غفورا ر� �ه یتوب الى ا!له م1اM ﴾70﴿ وكان ا!ل �ذ�ن ﴾71﴿ ومن �ب وعمل صالحÙا فان وال

وا كراما وا M!ل�غو مر� ور و اذا مر� �ذ�ن ﴾72﴿ لا rشهدون الز� عمیا� وال ا و� وا �لیها صم­ هم لم یخر� یت رب M روا اذا ذكاجعلنا !لمت�ق@ ﴾73﴿ ة ا�@ن و� q[ا قر� �نا هب لÙنا من ازواج[ا وذری �ذ�ن یقولون رب الغرفة اولÙئك یجزون ﴾74﴿ ن اماماوال

سلما مقاما Xلد�ن فKها ﴾75﴿ بما صLروا ویلق�ون فKها تحی�ة و� ا و� تقر­ Dى لولا ﴾76﴿ حس�ت مس) قل ما یعhـؤا -كم رببتم فسوف �كون لزاماد�اؤكم ﴾77﴿ ◌ فقد كذ�

pada rakaat yang kedua, membaca al-Fâtihah satu kali membaca dari awal surat al-mukminun ayat 1 sampai ke ayat 14: “fatabârakallâhu ahsanal khâliqîna.”

�ذ�ن هم فى صلاتهم Xاشعون ﴾1﴿ قد افلح المؤم[ون �ذ�ن هم ع ﴾2﴿ ال كوة ﴾3﴿ ن ا!ل�غو معرضون وال �ذ�ن هم !لز� وال�ذ�ن هم لفروجهم حفظون ﴾4﴿ فا�لون �هم �@ر ملوم@ن ﴾5﴿ وال فمن ﴾6﴿ ◌ الا� �لى ازواجهم او ما ملÙكت ایمانهم فان

م[تهم وعهدهم راعون ﴾7﴿ ◌ ذ !ك فاولÙئك هم العدون ابتغى وراء �ذ�ن هم لا �ذ�ن هم �لى صلوتهم ﴾8﴿ وال وال�ذ�ن �رثون الفردوس هم فKه ﴾10﴿ اولÙئك هم الوارثون ﴾9﴿ ◌ یwافظون ولقد Xلق[ا الا�سان من ﴾11﴿ ا Xلدون ال

Page 209: Ringkasan Fiqh shalât - MRKR

208

ن ط@ن ك@ن ﴾12﴿ ◌ سللة م ثم� Xلق[ا الن�طفة �لقة فgلق[ا العلقة مضغة فgلق[ا ﴾13﴿ ثم� جعلنه نطفة فى قرار م�

ه احسن الgلق@ن ثم� ا�شانه Xلقا اخر العظم لحماالمضغة عظما فكسو� ﴾14﴿ فh1ـرك ا!ل

�س ویعطى كتابه بیمینه یوم القKامة، ویp>من من �ذ 4�ه یp>من من مكر الجن والا ن

4لفزع ا��كLر، اب القLر ومن افا

ن لم �كن حریصا، وی�زع م[ه الفقر، ویؤتیه ا!له الحكم، وینصره 4�ذى +6kزله �لى ویعلمه الك1اب وا فى كتابه ال

ن الن�اس، ولا نKLه صل�ى ا!له �لیه وسل�م، ویلق[ه حجته ی ذا حز�4وم القKامة، ویجعل الن�ور فى قلبه، ولا یحزن انیا من قلبه، و�ك1ب عند ا!له ذا �افوا، ویجعل الن�ور فى بصره، وی�زع حب� الد�

4یق@ن) یgاف ا د من الص

Maka dia aman dari segala tipu dan gangguan jin dan manusia dan pada hari kiamat kitabnya diberikan kepadanya dari kanan, dan diselamatkan dari adzab kubur dan dari ketakutan yang amat sangat, akan diajarkan alquran meskipun ia tidak ulet, dilepaskan dari kefakiran, Allâh akan memberikan pemahaman terhadap alquran yang diturunkan kepada NabiNya , ia juga diberi cahaya dalam hatinya, tidak akan bersedih ketika orang-orang lain bersedih, tidak akan takut ketika orang-orang lain takut, ia diberikan cahaya dalam pandangannya, dicabut dari hatinya sikap amat menyintai dunia, dan ia kan dicatat di sisi Allâh termasuk urang-orang yang jujur.

۞

29. Shalât Sunnah lil unsi (Hadiyatul Uns)

Shalât lil Unsi [ س صلاة�

للأ ] atau untuk menyenangkan si mayit atau Shalât Hadiyatul Unsi. Shalât

sunnah lil Unsi mempunyai sebab Mutaakhir. Dalam Kitâb Nihâyatuz Zain fî Irsyâdil Mubtadi’în yang ditulis oleh Syeikh Muhammad bin Umar bin Ali bin Nawawî al Jâwî – Bab Shalât Nafil, dijelaskan:

دقة من نه قال روي عن النب(ي صلى ا!له �لیه وسلم + ولى فارحموا Mلص� k�لیلة ا� ت +�شد� من ا! لا یp>تي �لى المییة الكرسي یموت فمن لم ی�د فلیصل ركعت@ن یقر+k فKهما +�ي في كل ركعة م[هما فاتwة الك1اب ة و+ ة و مر� مر�

ة و{قل هو ا!له +�د} 1التكاÅر ا�یة 102{+�لهاكم الت�كاÅر} , ویقول عشر مرات 1الاXلاص ا�یة 112مر�بعد السلام: ا!لهم اني صلیت هذه الصلاة وتعلم ما +رید, ا!لهم ابعث ثوابها الى قLر فلان -ن فلان فKبعث

لك نور وهدیة یؤ�سونه الى یوم ینفخ فى الصورا!له من ساعته الى قLره +لف ملك مع كل مDiriwayatkan dari Rasûlullâh , Ia bersabda, “Tiada beban siksa yang lebih keras dari malam pertama kematiannya. Karenanya, kasihanilah mayit itu dengan bersedekah. Siapa yang tidak mampu bersedekah, maka hendaklah shalât dua raka‘at. Di setiap raka‘at, ia membaca surat al-fâtihah 1 kali, Ayat Kursi 1 kali, surat At-takâtsur 1 kali, dan surat Al-ikhlâs 11 kali. Setelah salam, ia berdoa, ‘Allâhumma inni shallaitu hadzihis shalâta wa ta‘lamu ma urid. Allâhummab ‘ats tsawabaha ila qabri fulan ibni fulan (sebut nama mayit yang kita maksud),’ Tuhanku, aku telah lakukan shalât ini. Kau pun mengerti maksudku. Tuhanku, sampaikanlah pahala shalâtku ini ke kubur (sebut nama mayit yang dimaksud), niscaya Allâh sejak saat itu mengirim 1000 malaikat. Tiap malaikat membawakan cahaya dan hadiah yang kan menghibur mayit sampai hari Kiamat tiba.” (Syekh Nawâwî Al-Bantanî, Nihayatuz Zain, 107). (Juga disebutkan dalam Kitâb Nuzhâtul Majâlis- Syeikh Abdurrahman Ash-Shafurî).

م[ه +نه لا یخرج من الدنیا ح1ى �رى مكانه في الجنة قال بعضهم فطوب(ى +ن فا�ل ذ!ك له ثواب جسDیم وفي الwدیث. صفwة 1نهایة الز�ن . الجز (وM!له التوفKق .لعبد واظب �لى هذه الصلاة كل لیلة و+هدى ثوابها لكل مKت من المسلم@ن

(107

“Siapa saja yang melakukan sedekah atau shalât itu, akan mendapat pahala yang besar. Di antaranya, ia takkan meninggalkan dunia sampai melihat tempatnya di surga kelak.”

Page 210: Ringkasan Fiqh shalât - MRKR

209

Imam Nawâwî Al-Jâwî Al-Bantânî juga menuturkan bahwa terdapat hadîts yang menyatakan bahwa orang yang melakukan hal itu (sedekah, shalât hadiah) akan mendapat pahala dan balasan yang diantaranya tidak akan meniggal dunia sebelum melihat tempatnya di dalam surga. Sebagian Ulama' menyatakan bahwa beruntung orang yang melakukan shalât ini setiap malam dan menghadiahkan pahalanya untuk orang-orang muslim yang telah meninggal. Wallâhu a‘lam.

Waktu pelaksanannnya Malam pertama setelah mayat dimakamkan (sesudah Shalât Maghrib)

Tata cara Pelaksanaannya Lafadz niat shalât hadiah:

�ة ركعت@ن !له تعالى ن�ة الهدی Dي س +kصلUshalli sunnatal hadiyyati rak‘ataini lillāhi ta‘ālā. “Aku menyengaja sembahyang sunnah hadiah dua rakaat karena Allâh Ta’âlâ,” Atau dengan lafadz:

تقhل القhلة +kصلى ركعت@ن �k�س فى قLره (ها)...-ن(ب�ت)... Dه تعالى مس�ر - !لLه +�ك�ا!ل Usallî rak‘ataini lil unsi fî qabrihi (ha) ......bin (binti)....... mustaqbila al-qiblati lillâhi ta‘âlâ- Allâhu Akbar Saya berniat shalât sunnah dua rakaat untuk menyenangkan di dalam kuburnya ......bin (binti) ...... dengan menghadap kiblat , karena Allâh Ta’âlâ

Rakaat Pertama, setelah membaca al-Fâtihah, membaca ( ..وsل�كـــم إلـــھ ) dilanjutkan

membaca ayat kursi 1 x, At takâtsur 1x, Al-ikhlâs 11 x, An Falaq dan An Nâs, satu kali-satu kali. Rakaat Kedua, sama dengan rakaat pertama, setelah itu berdoa :

ــلاة وتع ي صل�یت هذه الص� ن4د ,ا دنéا محم� ی Dد و�لى ال س دنéا محم� ی Dصل �لى س �بعــث ا!لهم �ریــد , ا!لهــمk+ لــم مــا

ــي oكــ لــى قLــر ... -ن(ب�ــت)... تقh�لهاا!لــه م[4ــالw@ن , و صــل ا!لــه �لــى ثوابها ا ریم كمــا تقh�لتهــا مــن عبــادك الص�

�م د و�لى ال وصحبه وسل دنéا محم� ی Dس Ya Allâh, limpahkanlah shalawat atas Muhammad dan keluarga Muhammad, sesungguhnya aku mengerjakan Shalât ini dan Engkau mengetahui apa yang aku inginkan, Ya Allâh berilah pahala kepada ….bin(binti)….di kuburnya, berikanlah olehMu ya Allâh apa (pahala) dariku ini wahai Dzat yang Maha Mulia sebagaimana Engkau menerima pahala dari hamba-hambamu yang Shâlih, dan limpahkanlah shalawat serta salam atas Muhammad dan keluarga serta sahabatnya.

Hukum Shalât lil Unsi Dalam kitab Tuhfatul Muhtâj Syarh Minhâj Juz II:

وفK�ة من �@ر +�ن �رد ل نها الص� Dتحس Dتي اس� لوات بتلك النی�ات ال ن�ة نعــم ان ولا تصح� هذه الص� �Dها +�صــل فــي الســتgارة مطلقة لم �كن Dتعاذة +�و اس Dن نحو اس لاة ثم� د�ا بعدها بما یتضم� (تحفــة المحتــاج بذ!ك بp>س نوى مطلق الص�

في شرح المنهاج )Tidak sah Shalât dengan niat-niat yang dianggap baik oleh kalangan Sufi tanpa adanya dasar hadîts sama sekali. Namun jika memutlakkan niat Shalât kemudian berdoa sesudahnya dengan doa yang berisikan permohonan perlindungan atau istikhârah (meminta petunjuk Allâh untuk dipilihkan yang baik) secara mutlak, maka hal tersebut diperbolehkan.

Jadi, apabila shalât itu shalât sunnah muthlaq dua rakaat dengan niat:

ن�ة ركعت@ن !ل�ه تعالى Dصلى سk+ Usallî sunnatan rak‘âtain lillâhi ta‘âlâ- Allâhu Akbar. “Aku niat mengerjakan shalât sunnah dua rakaat karena Allâh Ta’âlâ.”

Page 211: Ringkasan Fiqh shalât - MRKR

210

Setelah salam berdoa seperti doa tersebut di atas, maka hukumnya (boleh) dan menurut suatu pendapat pahala tersebut dapat sampai dan manfaat kepada mayat.

Syekh Ismâîl Zain menyampaikan pendapat bahwa:

صلاةالهدية للميت التي يصليها الإنسان بين العشائين فهل هي ؤال:ما حكمحكم صلاة الهدية س صحيحة ومحصلة لما نواه أولا؟

والله الموفق للصواب أن الإنسان إذا صلى شيئا من النوافل ثم وهب للميت وأهداه له فإن :الجوابالله سبحانه وتعالى ذلك الثواب يصل إلى الميت بإذن الله وهو مذهب الحنابلة وجمهور العلماء و

اعلم“Hukum shalât hadiah. Pertanyaan: apa hukumnya shalât hadiah untuk mayit, yang dilakukan oleh seseorang di antara Maghrib dan Isya’, apakah sah dan dapat menghasilkan apa yang ia niati? Jawaban: Semoga Allâh memberi pertolongan. Sesungguhnya apabila seseorang melaksanakan shalât sunnah, kemudian ia berikan dan hadiahkan untuk mayit, maka pahala shalât tersebut sampai kepada mayit dengan izin Allâh. Ini adalah pendapat Hanabilah (mazhab Hanbalî) dan mayoritas ulama. Dan Allâh maha mengetahui.” (Syekh Ismâîl Zain, Qurrat al-‘Ain, 59).

۞

30. Shalât Sunnah Al-Khushamâ’ Shalât sunnah al-Khushamâ’ [ صماء

y

ة

.adalah shalât empat rakaat dengan satu kali salam [صلا

ل لیلة بعة +�وقات +�و� Dلاة فى س من رجب، ولیلة النصف من شعبان، و+خر جمعة من یصلى هذا الص� رمضان، ویومي العید�ن، یوم العرفة، ویوم �اشراء.

Shalât sunnah al-Khushamâ’ ini dikerjakan di tujuh waktu tertentu yaitu: 1. Malam pertama bulan Rajab 2. Malam Nishfu Sya'ban 3. Jum'at terakhir di bulan Ramadhan. 4. Hari raya 'Idul Fitri 5. Hari raya 'Idul Adha 6. Hari wuquf di 'Arafah atau tanggal 9 Dzulhijjah 7. Hari 'Asyura atau tanggal 10 Muharram

Shalât sunnah al-Khushamâ’ ini agar diniatkan untuk membebaskan diri dari tuntutan para musuh atau orang yang kita sakiti, di hari kiamat nanti. Tata cara melakukan shalât sunnah al-Khushamâ’: Shalât dilakukan sebanyak empat rakaat dalam satu kali salam dan satu kali duduk tahiyyat. Rakaat pertama, setelah Al-Fâtihah membaca Al-Ikhlâs 11x Rakaat kedua, setelah Al-Fâtihah membaca Al-Ikhlâs 11x dan Al-Kâfirûn 3x Rakaat ketiga, setelah Al-Fâtihah membaca Al-Ikhlâs 10x dan Al Kautsar 1x Rakaat keempat, setelah Al-Fâtihah membaca Al-Ikhlâs 15x dan Ayat Kursi 1x Setelah salam memohon kepada Allâh semoga menerima shalât ini dan menjadikan pahalanya untuk orang-orang yang pernah bermusuhan ataupun memusuhi kita. Maka,

ن شاء ا!له تعالى،4 )عز وUل; المؤلف: عبد القادر الجیلاني الحق الغنیة لطالب(ي طریق(�كفKهم ا!له +�مرهم یوم القKامة ا

Insya Allâh, Allâh akan melepaskan dari tuntutan musuh-musuh kita dan Allâh akan mengatasi persoalan kita pada hari Kiamat dengan mereka. (Kitab Al-Ghunyah li Thâlibî Thâriqil Haq Fil Azza Wa Jalla, Syekh Abdulqadir Al-Jilânî Al-Hasanî, juz II).

۞

31. Shalât Sunnah ’Utaqâ’

Page 212: Ringkasan Fiqh shalât - MRKR

211

Shalât sunnah ’Utaqâ’ di bulan Syawwâl [ وال

اء R$ ش

قعت

ال

ة

merupakan ibadah yang termasuk [صلا

jarang diketahui dan juga jarang diamalkan kecuali bagi mereka yang mengerti adalah shalât sunnah di bulan Syawwâl. Shalât sunnah ’Utaqâ’ adalah shalât sunnah muthlaq delapan rakaat yang dilakukan selama bulan Syawwal. Niatnya shalât sunnah muthlaq dua rakaat dengan niat:

ن�ة Dصلى سk+ ه تعالى�ركعت@ن !ل Usallî sunnatan rak‘âtain lillâhi ta‘âlâ- Allâhu Akbar. “Aku niat mengerjakan shalât sunnah dua rakaat karena Allâh Ta’âlâ”,

Setiap dua rakaat salam, maka ada empat kali salam yang pada setiap rakaatnya dibaca al-fâtihah dan surat al-ikhlâs sebanyak lima belas kali. Kemudian dilanjut dengan 70 kali bacaan tasbih dan 70 kali bacaan shalawat. Keutamaannya diterangkan dalam hadîts Rasûlullâh sebagaimana yang dituliskan oleh Syekh Abdul Qadîr al-Jailânî dalam kitabnya Al-Ghunyah juz II dan juga dalam Kitab Khazînatul Asrâr halaman 46:

وال) (فصل: فى صلاة العتقاء فى ش�ثنا +�بو عبد ا!له الحس@ن -ن عمر العلا ثنا +�بو نصر -ن البناء عن والده، قال: �د� ف، قال +�LXر� +�بو �د�

ثنا ، قال: �د� حمن، قال: +�نب�p� +�بو القاسم القاضي ثنا یعقوب -ن عبد الر� د -ن +�حمد ا-ن صدیق، قال: �د� محم�د -ن م ثني محم� ثنا �لي� -ن معروف، قال: �د� ، قال: �د� ال +�LXر� حمود، ق -كر +�حمد -ن جعفر المروزي

ثنا حمید عن +��س رضي ا!له عنه قال: قال رسول ا!له صل�ى ا!له �ل ب@ب، قال: �د� Dم (من یحي -ن ش�یه وسلال ثمان ركعات لیلا كان +�و نهارا، یقر+k فى كل ركع ة، قل هو صل�ى فى شو� ة بفاتwة الك1اب خمس عشرة مر�

ة، وصل�ى �لى الن�ب(ي صل�ى ا!له �لیه وسل� بع@ن مر� Dبح س Dذا فرغ من صلاته س4ة، ا!له +��د فا بع@ن مر� Dم س

لا� +�نبع ا!له به ینابع الحكمة فى قلبه، و+�نطق بها وال�ذى بعث�ني Mلحق ن­KLا ما م 4لاة ا ن عبد یصلى هذه الص�

لاة ك نیا ودواءها، وال�ذى بعث�ني Mلحق ن­KLا من صل�ى هذه الص� لا �رفع ر+>سه من ما وصفت لسانه و+�راه دار الد�ن مات مات شهیدا مغفورا له، وما من عبد صل�ى هذه ا

4فر +خر سجوده ح1�ى یغفر ا!له له، وا لاة فى الس� لص�

لى موضع مراده، 4هاب ا @ر والذ لا� سه�ل ا!له �لیه الس

4ن كان ذا �اUة ا

4ن كان مدبو� قضى ا!له دینه، وا

4وا

لا� +�عطاه 4لاة ا ا!له تعالى -كل حرف قضى ا!له حوائ�ه، وال�ذى بعث�ني Mلحق ن­KLا ما من عبد یصلى هذه الص�

فة فة o رسول ا!له؟ قال صل�ى ا!له �لیه وسل�م: �سات@ن فى الج و-كل +یة مخر� ن�ة فى الجن�ة، قKل: وما المخر�ن�ة ثم� لا یقطعها). Dاكب فى ظل شجرة من +�ش�ارها مائة س وUل; المؤلف: عبد عز الغنیة لطالب(ي طریق الحق rس@ر الر�

القادر الجیلاني(Pasal: Shalât sunnah ’Utaqâ’ di bulan Syawwâl) Diceritakan dari Anas �, dia berkata bahwasannya Rasûlullâh pernah bersabda: “Siapa shalât di bulan syawwal sebanyak delapan rakaat baik dilakukan malam hari maupun siang hari yang mana di setiap rakaatnya membaca al-Fâtihah dan Qul Huwallâhu ahad –al-Ikhlâs- sebanyak lima belas kali. Setelah delapan rakaat tersebut kemudian dilanjut dengan membaca tasbih (Subhanallâh wa bi hamdihi, subhanallâhil adhîm) tujuh puluh kali dan shalawat (Allâhumma shallli ‘ala sayyidina Muhammad) tujuh puluh kali. Maka demi dzat yang telah mengutusku, Allâh akan mengalirkan hikmah (kebijaksanaan atau kebenaran) dalam hati yang diungkapkan melalui lisan seorang hamba yang telah melaksanakan shalât ini , dan Allâh akan tunjukkan kepada dia penyakit-penyakit dunia serta obatnya. Dan demi dzat yang telah mengutusku, barang siapa yang mendirikan shalât ini sesuai tata caranya, maka akan diampuni dosa-dosanya sebelum ia mengangkat kepala setelah sujudnya, dan andaikan dia mati, maka dia mati dalam keadaan syahid yang dosanya telah diampuni. Dan tiada seorang hamba yang melaksanakan shalât ini dalam keadaan bepergian, kecuali Allâh mudahkan baginya

Page 213: Ringkasan Fiqh shalât - MRKR

212

perjalanannya hingga tempat yang dituju. Andaikan ia memiliki hutang, maka hutangnya akan terbayar, dan seandainya ia memiliki kebutuhan, Allâh akan memenuhi kebutuhannya. Dan demi dzat yang telah mengutusku, tiada seorang hamba yang menjalankan shalât ini kecuali Allâh berikan untuknya di setiap huruf dan ayatnya sebuah makhrafah di surga nantinya. Kemudian dipertanyakan “Apakah makhrafah itu Ya Rasul? Rasûlullâh menjawab: ’’Makhrafah adalah dua ekor domba yang mempermudah penunggangnya mengelilingi (kebun penuh) pepohonan yang tidak pernah dipotong selama seratus tahun).” (Kitab Al-ghunyah li Thâlibî Thâriqil Haq Azza Wa Jalla, Syekh Abdul Qadir Al-Jilânî Al-Hasanî, juz II).

۞

Shalât Sunnah (yang disunnahkan dikerjakan secara berjamaah)

1. Shalât Tarâwîh Shalât Tarâwîh (terkadang disebut teraweh atau taraweh) adalah shalât sunnah yang dilakukan khusus hanya pada bulan Ramadhân. Boleh dikerjakan secara munfarid/sendirian, namun afdhal bila berjamaah.

Tarâwîh dalam bahasa Arab adalah bentuk jama’ dari حة رو3

yang diartikan sebagai "waktu ت

sesaat untuk istirahat" yaitu karena beristirahat sejenak setiap setelah melakukan shalât empat rakaat. Penamaan shalât Tarâwîh tersebut belum muncul pada zaman Rasûlullâh .

Pada masa Rasûlullâh dan masa pemerintahan Khalifah Abû Bakar As-Shiddiq, shalât Tarâwîh itu dilaksanakan pada waktu tengah malam, dan namanya bukan shalât Tarâwîh, melainkan "qiyâmu Ramadhân" (Shalât pada malam bulan Ramadhân).

Hukumnya: sunnah Muakkad Shalât Tarâwîh sangat dianjurkan untuk menghidupkan malam-malam di bulan Ramadhân. Dan pada Nabi Muhammad merasa takjub dengan semaraknya orang-orang yang datang untuk Shalât, sehingga beliau menyampaikan sabdanya sebagaimana hadîts dari ‘Âisyah:

�س ثم� صل�ى من القابلة فك�ــر الن�ــاس صل�ى في المس�د ذات لیلة فصل�ى بصلاته عن �اÎشة +�ن� رسول ا!ل�ه لیهم رسول ا!ل�ه

4ابعة فلم یخرج ا �الثة +�و الر� ــا +�صــبح قــال قــد ا!له �لیــه وســل�م صل�ىثم� اج1معوا من ا!ل�یلة الث فلم�

�ذي صنعتم ف لا� ر+�یت ال4لیكم ا

4ي خش@ت +�ن تفرض �لیكم لم یمنعني من الخروج ا قال وذ!ك في رمضان +�ن

Dari ‘Âisyah ا� ع<ھ

� الل Sesungguhnya Rasûlullâh pada suatu malam shalât di masjid lalu para”: ر��

sahabat mengikuti shalât beliau, kemudian pada malam berikutnya (malam kedua) beliau shalât maka manusia semakin banyak (yang mengikuti shalât Nabi ), kemudian mereka berkumpul pada malam ketiga atau malam keempat. Maka Rasûlullâh tidak keluar pada mereka, lalu ketika pagi harinya Beliau bersabda: ‘Sungguh aku telah melihat apa yang telah kalian lakukan, dan tidaklah ada yang mencegahku keluar kepada kalian kecuali sesungguhnya aku khawatir akan diwajibkan pada kalian, dan (peristiwa) itu terjadi di bulan Ramadhân.” (Muttafaqun ‘alaih) Waktu Pelaksanaannya Sesudah waktu Isyâ’, sampai Nisfulail (tengah malam); dan disunnahkan shalât witir sesudahnya.

Cara mengerjakannya Cara melakukan shalât Tarâwîh adalah dua rakaat satu salam; dan shalât Tarâwîh ini tidak sah tanpa membaca al Fâtihah dan disunnahkan membaca ayat atau surat pada setiap rakaat. Tidak dianjurkan empat rakaat dengan satu salam kecuali mazhab Hanafî.

Shalât Tarâwîh itu adalah dua rakaat satu salam, menurut mazhab Ahlus Sunnah Wal Jamaah. Dalam hal ini mazhab Syâfi’î seperti dalam Kitâb Kifâyatul Akhyâr, berpendapat: "Wajib dari

Page 214: Ringkasan Fiqh shalât - MRKR

213

setiap dua rakaat; sehingga jika seseorang melakukan shalât Tarâwîh 20 (dua puluh) rakaat dengan satu salam, maka hukumnya tidak sah."

Jadi menurut para ulama' Syâfi’îyah, shalât Tarâwîh itu harus dilakukan dua rakaat dan salam pada rakaat kedua.

Menurut Imam Mâlik dan Imam Syâfi’î, shalât sunnah, baik di waktu malam maupun siang adalah dua-dua; salam setiap dua rakaat. Menurut Imam Abû Hanifah/Hanafî, boleh dua-dua, tiga-tiga atau empat-empat, enam-enam, delapan-delapan, tanpa salam setiap dua rakaatnya. Ada yang membedakan antara shalât sunnah malam dan siang; kalau malam dua-dua, kalau siang empat-empat. (Bidâyat al-Mujtahid wa Nihâyah al-Muqtasid, I/207-208).

Jumlah Rakaat Shalât Tarâwîh Dalil yang dipergunakan bagi yang berpendapat: Tarâwîh 8 Rakaat: Hadîts :

�ه س�pل �اÎشة رضي ا!ل�ه عنها كیف كانت صلاة رسول ا! حمن +�ن �ه عن +�ب(ي سلمة -ن عبد الر� ا!لــه �لیــه صل�ىلي +�ربعــا فــلا ¦ســل رمضان ولا في �@ره فقالت ما كان �زید في في رمضان وسل�م �دى عشرة ركعة یصل

4�لى ا

ي ثلا� نهن� وطولهن� ثم� یصل Dي +�ربعا فلا ¦سل عن حس نهن� وطولهن� ثم� یصل Dعن حس Dari Abi Salamah bin Abdurrahman bahwasanya ia bertanya kepada '‘Âisyah ا�ھ ع<

� الل ر�� tentang

shalât Rasûlullâh di bulan Ramadhân. Maka ia menjawab: "Tidak pernah Rasûlullâh (tathawwu') di bulan Ramadhân dan tidak pula di (bulan) lainnya lebih dari sebelas rakaat (yaitu) ia shalât empat (rakaat) jangan engkau tanya tentang bagus dan panjangnya, kemudian beliau shalât empat (rakaat) jangan engkau tanya panjang dan bagusnya kemudian beliau shalât tiga rakaat." (Hadîts Shahîh Riwayat Bukhârî dan Muslim).

Dan hadîts dari '‘Âisyah ا�ھ ع<� الل ر�� :

�م �زید فى رمضــêان ما كان رسول ا!ل�ه صل�ى �ــدى عشــرة ركعــة ، یصــلى ولا فــى غــë@ره ا!له �لیه وسل4�لــى ا

نهن� وطولهن� Dال عن حسÙى ثــلا� ، اربعا فلا ¦س نهن� و طــولهن� ثــم� یصــëل Dال عن حســëى اربعا فلا ¦س ثم� یصلن� عیني� تنام ولا یـــــنام قلب(ى +�تنام قhل ان تو�ر فقلت : o رسول ا!ل�ه 4

�لیه . م1�فق ؟ فقال : o �اÎشة اTidaklah Rasûlullâh menambah pada bulan Ramadhân dan tidak pula pada bulan lainnya atas sebelas rakaat . Beliau shalât empat rakaat dan jangan anda bertanya tentang bagus-nya dan panjangnya. Kemudian beliau shalât empat rakaat dan jangan anda bertanya tentang bagus-nya dan panjangnya. Kemudian beliau shalât tiga rakaat. Kemudian aku (‘Âisyah) berkata: "Wahai Rasûlullâh, adakah engkau tidur sebelum shalât witir?" Kemudian beliau bersabda: "Wahai ‘Âisyah, sesungguhnya kedua mataku tidur, sedang hatiku tidak tidur!" (Shahîh Bukhârî dan Shahîh Muslim). Pada umumnya para ulama memahami maksud hadîts ‘Âisyah ا�ھ ع<

� الل sebagai shalât lail atau ر��

shalât Witir. (sebagaimana disebutkan dalam: Kitâb al-Fiqhu 'alâ al-Madzâhib al-Arba'ah, I/342-343; Shahîh Muslim, I/ 305-307; Ibanat al-Ahkam, I/505-519; Kifâyatul Akhyâr, I/ 88; Nailul Authâr, III/ 37-48, Dalîlul Falihîn (Syarh Riyâdhus Shâlihîn),III 659 ). Dalil Tarâwîh 20 Rakaat Hadîts:

Page 215: Ringkasan Fiqh shalât - MRKR

214

ائب -ن �زید قــال : كــانوا یقومــ �ــه عنــه فــى شــهر رمضــان عن الس� ــاب رضــى ا!ل ون �لــى عهــد عمــر -ــن الخط� بعشر�ن ركعة

Dari Sâib bin Yazîd berkata kami mendirikan shalât (Tarâwîh) di bulan Ramadhân sebanyak 20 rakaat sebagaimana Umar bin Khaththab �. ( Sunan Kubrâ Baihaqî). Hadîts:

�م صل�ىعن ا-ن عب�اس قال : كان الن�ب(ى� یصلى فى شهر رمضان فى �@ر جما�ة بعشــر�ن ركعــة ا!له �لیه وسل والو�ر.

Dari Ibn ‘Abbâs ھ ع<�ما

� الل berkata: Nabi Muhammad shalât Tarâwîh di bulan Ramadhân tanpa ر��

berjamaah sebayak 20 rakaat dan satu Rakaat witir. (Sunan Kubrâ Baihaqî) (Subul Al-Salâm, II/10) Hadîts:

ــاب فــي رمضــ �ه قال كان الن�اس یقومــون فــي زمــان عمــر -ــن الخط� ان بــثلاث عن ما!ك عن �زید -ن رومان +�ن وعشر�ن ركعة

Dari Mâlik dari Yazîd bin Rumman, dia berkata : manusia di masa Umar Bin Khattâb �. telah melakukan shalât (Tarâwîh) dengan 20 rakaat dan 3 rakaat (shalât witir) di bulan Ramadhân.”( Al-Muwaththa', Tanwir al-Hawalik, hal 138, Bidayatul Mujtahid, Juz 1).

Pengarang dari Kitâb Al-Fiqhu 'Alâ al Madzâhib al Arba'ah, Abdurrahman Al-Jazirî menyatakan bahwa shalât Tarâwîh itu adalah 20 rakaat menurut semua imam mazhab tidak termasuk witir.

Dalam Kitâb "al Mizan" karangan Imam Asy-Sya'rani dan juga dalam Bidayatul Mujatahid – Ibn Rusyd, menyatakan bahwa termasuk pendapat Imam Abû Hanifah, Asy-Syâfi’î dan Ahmad, shalât Tarâwîh itu adalah 20 rakaat. Imam Asy-Syâfi’î berkata: "20 rakaat bagi mereka itu adalah lebih saya sukai!". Dan sesungguhnya shalât Tarâwîh dengan berjamaah itu adalah lebih utama juga pendapat dari Imam Mâlik dalam salah satu riwayat dari beliau, bahwa shalât Tarâwîh itu adalah 36 rakaat. (Mizan al-Kubrâ, 1/ 184); Majmû’ Syarah al-Muhadzdzab, V/2-3).

Mazhab Hanafî, Mâlikî dan Hanbalî berpendapat: "Disunnahkan melakukan salam pada akhir setiap dua rakaat. Rasûlullâh bersabda:

بح صل�ى ركعة واحــــــدة تو�ر له ما قــد صــل�ى . م¡نى م¡نى صلاة ا!ل�یل ذا خشي +��دكم الص�4رواه البgــاري� عــن فا

عبد ا!له ا-ن عمر “Shalât malam itu dua rakaat, dua rakaat. Maka jika salah seorang dari kamu sekalian khawatir akan shubuh, maka dia shalât satu rakaat yang menjadi witir baginya dari shalât yang telah dia lakukan.”( Shahîh Bukhârî dari Ibn Umar, Al Muwaththa’ lil Mâlik).

Dan yang menunjukkan bahwa bilangan shalât Tarâwîh 20 (dua puluh) rakaat selain dari dalil-dalil tersebut di atas, adalah apa yang diriwayatkan oleh Ibnu Humaid dan At Thabrânî dari jalan/sanad Abû Syaibah bin Usman dari Al Hakam dari Muqassim dari Ibnu ‘Abbâs � bahwa Rasûlullâh telah melakukan shalât pada bulan Ramadhân dengan 20 (dua puluh) rakaat dan witir. Dalil Tarâwîh 36 Rakaat Dalam Kitâb Al-Umm, Imam Syâfi’î berkata:

Page 216: Ringkasan Fiqh shalât - MRKR

215

ان فصلاة المنفرد +حــب الــى م[ــه ور+یــتهم Mلمدینــة یقومــون بqســع وثلاثــ@ن و+حــب الــى فpما قKام شهر رمض عشرون لانه روى عن عمر وكذ!ك یقومون بمكة ویو�رون بثلاث

“Adapun Qiyâm Ramadhân awalnya dikerjakan sendiri-sendiri hingga penduduk Madinah mengerjakannya sebanyak 39 Rakaat dan Aku (Syâfi’î) lebih suka 20 rakaat karena ada Riwayat dari Umar bin Khattab � dan demikian juga di Makkah (20 Rakaat) juga dan ditambah tiga rakaat Witir.”

Imam Muzannî (Mazhab Syâfi’î) dalam Mukhtashar Muzannî menyampaikan:

اللــه عليــه صــلىوروى عن ابن عمر أن رســول اللــه ..الفجر قال ابن مسعود الوتر فيما بين العشاء و قال " صلاة الليل مثنى مثنى " وفى ذلك دلالتان.وسلم

أحدهما: أن النوافل مثنى مثنى بسلام مقطوعة والمكتوبة موصولة والاخرى أن الــوتر واحــدة فيصــلى مسافرا فحيث توجهــت بــه دابتــه كــان رســول النافلة مثنى مثنى قائما وقاعدا إذا كان مقيما وإن كان

يصلى الوتر على راحلته أينمــا توجهــت بــه (قــال) فأمــا قيــام شــهر رمضــان الله عليه وسلم صلىالله فصلاة المنفرد أحب إلى منه ورأيتهم بالمدينة يقومون بتسع وثلاثين وأحــب إلــى عشــرون لانــه روى

بثلاث عن عمر وكذلك يقومون بمكة ويوترونBerkata Ibn Mas’ûd �, Witir itu dikerjakan antara Isyâ’ dan Subuh, dan riwayat Ibn Umar �, bahwa Rasûlullâh berkata: Shalât malam itu dua-dua.

Pendapat lainnya: Bahwa shalât sunnah itu dua-dua dan tiap dua salam, berkata Ibn Mas’ûd �, adapun qiyâm Ramadhân awalnya dikerjakan sendiri-sendiri hingga penduduk Madinah mengerjakannya sebanyak 39 (tiga puluh sembilan) rakaat dan Aku (Syâfi’î) lebih suka 20 rakaat karena ada riwayat dari Umar bin Khaththab � dan demikian juga di Makkah (20 Rakaat) dan ditambah tiga rakaat Witir. Dalam Kitâb Majmû’ Syarh Al Muhadzdzab mengenai bilangan rakaat Shalât Tarâwîh

:(QR مذا'ب العلماء QR عدد ركعات ال£Gاو3ح)

مذهبنا +نها عشرون رÒعة بعشر ¦ســلیمات �@ــر الــو�ر وذ!ــك خمــس �رویwــات والqرویwــة +ربــع رÒعــات بqســلیمت@ن هــذا ا وبه قال +بو ح[یفة و+صwابه و+حمد وداود و�@رهم ونقله القاضى عیاض عن جمهور العلماء وحكــى +ن الاســود -ــن مذهبن

مزید كان یقوم بpربع@ن رÒعة ویو�ر �سDبع وقال ما!ك الqراویح ¦سع �رویwات وهى سDتة وثلاثون رÒعة �@ر الو�ر Ulama pengikut Mazhab berpendapat mengenai jumlah rakaat Tarâwîh : "Mazhabnya Nawâwî (Mazhab Syâfi’î ) adalah 20 rakaat dengan 10 salam tidak termasuk witir begitu juga pendapat Abû Hanifah, Ahmad (bin Hanbal), Dâwud, dan dijelaskan: Qâdhî Iyâdh dan sebagaian Ulama mengerjakan shalât Tarâwîh 40 rakaat dan 7 rakaat witir (dari riwayat Al Aswad bin Mazid). Imam Mâlik berkata: bahwa Tarâwîh itu 36 Rakaat tidak termasuk witir." Khalifah Umar bin Abdul ‘Azîz � telah menambahkan menjadi 36 (tiga puluh enam rakaat). Tambahan ini dimaksudkan untuk menyamakan dengan keutamaan dan pahala penduduk Makkah. Karena di Makkah setiap kali selesai melakukan shalât empat rakaat, mereka melakukan Thawâf di Ka'bah. Setiap selesai empat rakaat, Shalât empat rakaat lagi sehingga menjadi 36 Rakaat (4 Rakaat + 4 Rakaat tambahan* + 4 Rakaat + 4 Rakaat tambahan*+ 4 Rakaat + 4 Rakaat tambahan* +4 Rakaat + 4 Rakaat tambahan*+ 4 Rakaat = 36 Rakaat) Rakaat tambahan* sebagai pengganti Thawâf.

Cabang masalah Shalât Tarâwîh menurut Empat mazhab

Page 217: Ringkasan Fiqh shalât - MRKR

216

No Cabang Masalah Hanafî/ ����ـــ�� Mâlikî/ ��ـــ� �� Syâfi’î/ ��ـــ� �� Hanbalî/ ������ـــ�

1 Hukum Shalât Tarâwîh Sunnah Muakkad

2 Waktu pelaksanaannya Pada bulan Ramadhân (Sesudah Shalât Isyâ’ hingga Fajar) 3 Jumlah rakaat shalât

Tarâwîh 20 rakaat

36 rakaat 20 rakaat

20 rakaat

4 Praktek shalât Boleh empat rakaat, satu salam

salam setiap dua rakaat

Wajib: salam setiap dua rakaat dan tidak sah untuk empat rakaat, satu salam

salam setiap dua rakaat (seperti pada umumnya shalât sunnah)

*) Qâdhî Iyâdh dan sebagaian Ulama berpendapat: rakaat shalât Tarâwîh itu 40 Rakaat dan 7 witir (dari riwayat Al Aswad bin Mazid). **) Kelompok Wahabi me-rekomendasi-kan shalât Tarâwîh 8 (delapan) rakaat. sebagaimana dalam Shifat shaum an Nabi Fî Ramadhân, penulis Syaikh Salim bin 'Id Al-Hilâly, Syaikh Ali Hasan Abdul Hamid), oleh Al-Albani dalam Kitâb Shalât Tarâwîh dan juga oleh A. Hassan (PERSIS) dalam Buku Tanya Jawab -nya. Surat apa yang dibaca pada setiap rakaat sesudah Al-Fâtihah? Dijelaskan dalam Kitâb I'ânatut Thâlibîn, 1/176 dan halaman 307 termasuk meninggalkan keutamaan (khilâf al-awlâ))

وقد ر+یت في المعلمات لا-ن شهبة +ن �كر�ر سورة الاXلاص في الqراویح ثلا� Èرهها بعض السلف"Dan sungguh saya telah mendapati keterangan dari Ibn Syaibah perihal terus-menerus membaca surat Al-ikhlâs di dalam shalât Tarâwîh hingga tiga kali, maka makruh menurut sebagaian ulama salaf."

Tata Cara Shalât Tarâwîh 1. Setelah Shalât Isyâ’ dan Rawâtib ( Ba’dîyah Isyâ’), berdiri dan berniat Shalât Tarâwîh :

hل القhتق Dراویح ركعت@ن مس� qة ال�ن Dي س �ه تعالى+kصل ماما(مp>موما) !ل4 ا!ل�ه +�كLر - لة +�دائا ا

Usallî sunnatan Tarâwîhi rak‘ataini mustaqbilal qiblati adâ-an imâman (ma’mûman) lillâhi ta‘âlâ- Allâhu Akbar. Saya berniat shalât Sunnah Tarâwîh dua Rakaat dengan menghadap kiblat , ada' dan sebagai (Imam/Makmum) karena Allâh Ta’âlâ

2. Membaca Iftitah atau langsung membaca Basmalah dilanjutkan dengan Surat Al Fâtihah. (Amin)

3. Membaca Surat –Surat dari Alquran, seperti tabel, atau surat-surat dalam juz 29 atau juz 30. 4. Setiap dua Rakaat, salam. Tertib Shalât Tarâwîh Dikerjakan dengan tertib dan thuma'ninah serta tidak mengabaikan bacaan shalât, surat-surat alquran). Bila tidak tidak ada thuma'ninah, maka batAllâh Tarâwîh-nya, oleh karena thuma'ninah adalah rukun shalât. Dalam Kitâb I’ânatut Thâlibîn 1/307 dijelaskan:

واذا صلیتم الqروایح و�@رها مــن الصــلوات فــpتموا القKــام والقــراءة والرÈــوع والســجود والخشــوع والحضــور وســا¬ر الاركــان وا�داب

Dan apabila kalian semua Shalât Tarâwîh atau shalât-shalât yang lainnya, maka sempurnakanlah, berdirinya, Qira'ah (bacaan-bacannya baik bacaan Shalât atau Bacaan Surat Alquran), ruku'nya, sujudnya dan Khusyu' serta sepenuh hati pada kesemua Rukun dan adab Shalât.

Tabel Surat yang dibaca pada tiap rakaat sesudah Al Fâtihah bagi Imam Tarâwîh

Page 218: Ringkasan Fiqh shalât - MRKR

217

Keterangan Surat No. Rakaat

No.

ك ا���لى والفجر ..او ح اسم رب ب D1 1 س

یة لا +kقسم بهذا البلد ..او D2 هل +��ك �دیث الغاش

حى ..او والض�

ذا یغشى ..او 4�یل ا وا!ل

مس وضwاها والش�

1 2

2 درك +�لم �شرح !ك ص

یتون 3 1 والت@ن والز�

ك ..او اقر+> Mسم رب(Ada ayat Sajdah !!)

�� +�6زلناه في لیلة القدر 4 2 ا

�ذ�ن كفروا من +�هل الك1اب لم �كن ال والمشرك@ن

1 4

ذا زلزلت ا��رض زلزا 4 2 لها ا

5 1 والعادoت ضبwا القار�ة ..او

2 +�لهاكم الت�كاÅر

6 1 والعصر

2 ویل لكل همزة لمزة

�ك ب�pصwاب الفKل 7 1 +�لم �ر كیف فعل رب

یلاف قرrش 4 2 لا

�ذي � �ن +�ر+�یت ال ب Mلد 8 1 كذ

�� +�عطیناك الكوÅر 4 2 ا

�ها الكافرون 9 1 قل o +�ی

�ه والف1ح ذا Uاء نصر ا!ل4 2 ا

�ت یدا +�ب(ي لهب وتب� L10 1 ت

2 قل هو ا!ل�ه +��د

Setelah salam (rakaat ke 20), dilanjutkan dengan dzikir dan Doa :

Dzikir Shalât Tarâwîh

ئلك Dتغفر ا!له .�س Dا!له , اس �لا4 3× . الجÙن�ة و نعوذ بك من الÙن�ار اشهد ان لا اله ا

Aku bersaksi bahwa Tidak Ada tuhan selain Allâh, aku memohon ampun kepada Allâh, ku-mohon kepadaMu Surga dan ku-mohon perlindunganMu dari (siksa) Neraka

Page 219: Ringkasan Fiqh shalât - MRKR

218

Doa Shalât Tarâwîh (biasa disebut Doa Kâmilîn)

كا لوات مwافظ@ن و!لز� �ن و�لى الص� یمان كامل@ن. ولفرائضك مؤد4لا M اجعلنا �هم�ن ولمــا عنــدك طــالب@ن ة فــا�ل@ ا!ل

نیازاهــد�ن وفــى ا��خــر ــك@ن وعــن ا!ل�غــو معرضــ@ن. وفــى الد� ة راغبــ@ن وMلقضــاء ولعفوك راU@ن وMلهدى م1مسد صل�ىراض@ن وMلن�عمpء شاكر�ن. و�لى البلاء صا-ر� د� محم� ی Dامــة ن. وتحت لواء سKم یــوم الق�ا!لــه �لیــه وســل

U@ن. ومــن سا¬ر�ن و�لى الحوض وارض@ن وفى الجن�ة داXل@ن و�لى سر�رة الكرامة قا�د�ن وبحور �ــ@ن مqــزون Dن وعســل مصــف@ن شــارب ســLــة +كلــ@ن. ومــن لــ�ســ@ن ومــن طعــام الجن Lج م1لMرق ودLت Dكواب دس واســ�pن بــ@

یق@ن د @ن والص �ذ�ن انعمت �لیهم من الن�ب@ ــالw@ن وحســن اولئــك واMریق وكp>س من مع@ن مع ال هد+ء والص� والس�ــر �ــÙیلة الش� یفــة المــÙباركة مــن رفKقا ذا!ك الفضل من ا!له وكفــى M!لــه �لیمــا. ا!لهــم� اجعلــëنا فــى هــذه ا!ل

عداء المقhولÙ@ن . و لا تجعل ــد و الــه و الس� د� محم� شقKاء المردود�ن . وصل�ى ا!لــه �لــى ســÙی Ùنا من ا��احم@ن والحمد !له رب العالم@ن صحبه اجمع@ن . -رحمÙتك o ارحم الر�

“Ya Allâh, jadikanlah kami (orang-orang) yang beriman sempurna, dapat menunaikan segala fardlu, menjaga shalâtnya, menunaikan zakat, menuntut (mencari) segala kebaikan di sisiMu, menghaap keampunanMu, senantiasa memegang teguh petunjuk-petunjukMu, terlepas (terhindar) dari segala penyelewengan dan zuhud di dunia dan mencintai amal untuk bekal di akhirat dan tabah (sabar) menerima cobaan, mensyukuri segala nikmatMu, dan semoga nanti pada kiamat kami dalam satu barisan di bawah naungan panji-panjijunjungan kita Nabi Muhammad dan melalui telaga yang sejuk, masuk ke dalam syurga, terhindar dari api neraka dan duduk di tahta kehormatan, di dampingi oleh bidadari syurga, dan mengenakan baju-baju kebesaran dari sutra berwana-warni, menikmati santapan syurga yang lezat, minum susu dan madu yang suci bersih dalam gelas-gelas dan kenci-kendi yang tak kering-keringnya, besama-sama dengan orang-orang yang telah Engkau beri nikmat pada mereka dari golongan para nabi, shiddiqin dan orang-orang yang syahid serta orang-orang saleh. Dan baik sekali mereka menjadi teman-teman kami. Demikianlah kemurahan dari Allâh dan kecukupan dari Allâh Yang Maha Mengetahui dan segala puji. Ya Allâh, pada malam mulia yang penuh berkah ini semoga Engkau jadikan kami orang-orang yang berbahagia yang di terima amal-nya, dan semoga jangan Engkau jadikan kami orang-orang yang celaka dan ditolak. Semoga Allâh melimpahkan rahmat kepada Nabi Muhammad , keluarga dan sahabat-sahabat beliau semuanya. Dengan rahmatMu wahai Dzat paling belas kasihan. Segala puji bagi Allâh, Tuhan semesta alam.”

۞ 2. Shalât Witir secara berjamaah (di bulan Ramadhan) Shalât witir termasuk dalam kelompok shalât yang tidak dianjurkan berjamaah. Dijelaskan oleh Imam an-Nawâwî:

قال أصحابنا تطوع الصلاة ضربان (ضرب) تسن فيه الجماعة وهو العيد والكسوف والاستسقاء وكذا التراويح على الأصح (وضرب) لا تسن له الجماعة لكن لو فعل جماعة صح وهو ما سوى ذلك

“Shalât Sunnah dibagi menjadi dua bagian. Pertama, shalât yang disunnahkan berjamaah yaitu shalât sunnah ‘ied, shalât gerhana, dan shalât istisqa’, begitu juga shalât tarawih menurut qaul ashah. Kedua, shalât yang tidak disunnahkan berjamaah, tapi jika dilaksanakan secara berjamaah, maka shalâtnya tetap sah. Yaitu shalât selain dari bagian pertama diatas.” (Syekh Yahyâ bin Syaraf an-Nawâwî, al-Majmû’ ala Syarh al-Muhadzzab, 4/5).

Shalât witir yang dilaksanakan di bulan Ramadhan para ulama memberi pengecualian. Menurut para ulama Syâfi’îyah shalât witir pada malam bulan Ramadhan sunnah dilakukan secara berjamaah. Pendapat yang sama dalam mazhab Hanabilah (Hanbalî) dan satu pernyataan dalam mazhab Hanafî. Sebagaimana dijelaskan dalam referensi berikut:

Page 220: Ringkasan Fiqh shalât - MRKR

219

والجما�ة في صلاة الو�ر سDنة في شهر رمضان عند الحنابلة ، ومسDتحبة عند الشافعیة وفي قول عند الحنفKة “Berjamaah pada shalât witir adalah hal yang sunnah di bulan Ramadhan menurut mazhab Hanbalî dan Syâfi’î serta satu qaul dari madhab Hanafî.” (Mausû’ah al-Fiqhîyyah al-Kuwaitîyyah, 27/168) .

Namun bagi orang yang akan melaksanakan tahajjud di malam hari dan yakin akan terbangun di akhir malam, maka dalam keadaan demikian yang lebih utama baginya adalah mengakhirkan shalât witirnya di akhir malam. Seperti yang dijelaskan oleh Syekh Wahbah az-Zuhailî:

وتندب الجما�ة في الو�ر عقب الqراویح جما�ة، الا ان وثق MسKqقاظه +خر ا!لیل،فالتXp@ر +فضل، “Disunnahkan berjamaah dalam melaksanakan shalât witir setelah melaksanakan shalât tarawih secara berjamaah, kecuali ketika seseorang yakin akan bangun di akhir malam, maka mengakhirkan shalât witir baginya adalah lebih utama.

�یل ، من Xاف +�ن لا یقوم من +خر ا!ل�یل فلیو�ر «لLgر مسلم: له ، ومن طمع +�ن یقوم +خره فلیو�ر +خر ا!ل +�و�ن� صلاة +خر ا!ل�یل مشهودة

4 « فا

+ي ¦شهدها ملا¬كة ا!لیل والنهار Berdasarkan hadîts yang diriwayatkan oleh Imam Muslim: “Siapa yang khawatir tidak bangun di akhir malam maka hendaknya ia melaksanakan witir di awal malam. Dan barang siapa yang mengharap bangun di akhir malam, maka hendaknya melaksanakan shalât witir di akhir malam, sebab shalât di akhir malam itu disaksikan” maksudnya disaksikan oleh Malaikat (yang bertugas) di malam hari dan siang hari.” (Syekh Wahbah az-Zuhailî, al-Fiqh al-Islâmî wa Adillatuhu, 2/ 240)

۞ 3. Shalât dua Hari Raya ('Idain)

Shalât Id adalah ibadah Shalât yang sunnah muakkad dua Rakaat yang dilakukan pada hari raya Idul Fitri (1 Syawal) dan Idul Adhâ (10 Dzulhijjah).

Dinamakan hari 'Id karena berasal dari kata ( fعـود - عـاد ) = kembali. Juga berarti kembali berbuka

puasa atau kembali makan pagi di mana sebelumnya dilarang makan sesuatu.

Makna 'Id, secara bahasa berarti (عـود) Aud, yakni kembali. Maksudnya, kembali mendapat

kebahagiaan dan kesenangan pada setiap tahun.

Id-ul-Fithr ( رفط

Id yang artinya hari raya, dari asal kata' (عيد) terdiri dari dua kata, yaitu (عيد ال

ayada yg artinya kembali. Dikatakan 'Id karena pada hari itu Allâh mengembalikan' (عيد )

kegembiraan dan rasa suka cita kepada hambaNya. Atau kembalinya kebaikan-kebaikan dari Allâh kepada hamba, pada hari itu seorang hamba kembali dalam keadaan suci karena telah bertaubat kepada Allâh dan telah meminta maaf kepada sesamanya.

Kata kedua (ر fithr , artinya fitrah, kesucian dan kebersihan jiwa. Sebab, pada hari itu seorang (فط

hamba merayakan kebersihannya dari noda dosa setelah beribadah dan bartaubat secara sungguh-sungguh selama sebulan penuh. Allâh berfirman :

�ه �لى ما هداكم ولعل�كم ¦شكرون روا ا!ل Lة ولتك ولتكملوا العد�Dan hendaklah kamu mencukupkan bilangannya dan hendaklah kamu mengagungkan Allâh atas petunjuk-Nya yang diberikan kepadamu, supaya kamu bersyukur. (QS Al Baqarah (2):185)

Dalam kaitan dengan Idul Adhâ ( ض�$عيد الأ ) dapat berarti: menyempurnakan haji dengan

Thawâf ziarah (ifAdhâh), daging- kurban serta lainnya.

Page 221: Ringkasan Fiqh shalât - MRKR

220

Kata “Adhâ” dari kata Dhahâ ($ juga dapat berarti berkurban (to sacrifice), sebagamana (ض�

hadîts:

�م صل�ى سمعت +��س -ن ما!ك رضى ا!ل�ه عنه یقول : كان رسول ا!ل�ه ى -كLش@ن قال ا!له �لیه وسل یضحى -كLش@ن. حیح +��س: و+�� +kضح رواه البgارى� فى الص�

Aku mendengar Anas bin Mâlik �, ia berkata:“Bahwa Rasûlullâh berkurban dengan dua ekor kibas, Anas berkata:”Saya berkurban dua ekor kibas.” (HR. Bukhârî).

Allâh berfirman dalam surat al-A'la (87) :(14 -15)

ه فصل�ى ,قد +�فلح من �زك�ى وذكر اسم رب"Sesungguhnya beruntunglah orang yang membersihkan diri (dengan beriman), dan dia ingat nama Tuhannya, lalu dia shalât. "

Qatâdah dan Atha' mengatakan yang dimaksud dengan membersihkan diri dalam ayat ini

adalah mengeluarkan zakat fitrah. Abû Sa’îd al-Khudrî � berkata: yang dimaksud dengan " ( ر

كوذ

ھ ingat nama Tuhannya" adalah dengan mengumandangkan takbir pada hari 'Idul Fitri (اسم ر@

dan "Shalâtlah" maksudnya shalât 'Id." Waktu Pelaksanaan dan Jumlah Rakaat Fuqâhâ’ sepakat bahwa waktu shalât 'Id adalah setelah matahari terbit kira-kira satu atau dua tumbak (sekitar setengah jam setelah terbit matahari) sampai sebelum masuk waktu dhuhur (ketika waktu Dhuhâ) dan Makruh pada saat terbit matahari (menurut jumhur ulama). Menurut Mazhab Hanafî, apabila orang melaksanakan shalât 'Id sebelum matahari naik satu tombak, maka shalât 'Id batal bahkan berubah menjadi shalât sunnah yang diharamkan. Mazhab Syâfi’î: Waktu shalât 'Id tersebut adalah sejak terbitnya matahari sampai tergelincirnya matahari (waktu zawâl). Sedangkan menurut Mazhab Hanbalî: waktunya adalah sejak naiknya matahari setombak (sampai waktu zawâl /matahari mulai condong ke arah barat). Keterangan mutawatir (orang banyak) menerangkan secara pasti bahwa Rasûlullâh biasa melaksanakan shalât kedua hari raya. Shalât hari raya yang pertama kali dilakukannya adalah shalât Idul Fitri pada Tahun kedua Hijriyah. Sebagaimana hadîts:

�ه سمع �@ر وا�د من �لمائهم یقول لم �كن في عید الفطر ولا في ا�� قامة عن ما!ك +�ن4 ضحى نداء ولا ا

Dari Mâlik � telah mendengar dari para ulama bahwa tidak ada dalam Shalât ‘Id-ul Fithr dan ‘Id-ul Adhâ Adzan dan Iqâmat. (Al-Muwaththa’ lil Imam Mâlik).

Ulama (jumhur/mayoritas) sepakat atas diperintahkannya kedua shalâthari raya tersebut. (sebagaimana dalam Kitâb Al Muwaththa'- Imam Mâlik)

Hukum shalât Idul Fitri dan Idul Adhâ, wajib atau sunnah? Mazhab Hanafî mengatakan kedua shalât 'Id itu hukumnya fardlu 'ain dengan syarat-syarat yang ada pada shalât Jum'at. Kalau syarat-syarat tersebut atau sebagian dari padanya tidak terpenuhi, maka menurut mazhab tersebut kewajiban tersebut menjadi gugur.

Mazhab Hanbalî mengatakan: Hukumnya fardlu Kifâyah.

Mazhab Syâfi’î dan Mâlikî mengatakan: hukumnya adalah sunnah 'ain muakkadah (dengan peringkat setelah muakkad- nya shalât witir).

Page 222: Ringkasan Fiqh shalât - MRKR

221

Hukum Wanita pergi shalât 'Id Fuqâhâ’ Mazhab Hanafî dan Mazhab Mâlikî sepakat bahwa para gadis tidak diperkenankan pergi shalât Jum'at dan shalât dua hari raya berdasarkan firman Allâh :

ي بیو�كن� وقرن ف .211/1 ، بدایة المجتهد:530/1 ، الشرح الصغ@ر:275/1البدائع: )1(

"Dan hendaklah kamu tetap di rumahmu" (QS. Al Ahzab (33):33).

Juga, dalam Kitâb (Badâ’i, 1/275; Syarh Shaghîr, 1/530, Bidâyatul Mujtahid, 91/211) Menurut Mazhab Syâfi’î dan Mazhab Hanbalî, tidak mengapa wanita menghadiri tempat shalât 'Id. Maka sebaiknya wanita yang menghadirinya tidak memakai wewangian serta berpakaian yang glamour.

Berdasarkan hadîts dari Ummu Athiyah ھ ع<�ا

� الل ر�� bahwa ia mendengar Nabi bersabda :

یعqزل الحی�ض المصل�ى, وفKه " یخرج العواتق وذوات الgدور “Agar keluar para gadis, perawan dan wanita haid… tetapi wanita yang sedang haid menjahui tempat shalât.” (Shahîh Bukhârî).

Syarat wajib dan bolehnya shalât 'Id Mazhab Hanafî berpendapat: Bahwa apa saja yang menjadi syarat wajib dan bolehnya Jum'at adalah berlaku pula untuk

shalât dua hari raya, seperti adanya imam, jamaah, kota/tempat, serta waktu kecuali khutbahnya yang hukumnya sunnah setelah selesai shalât, bahkan jika tidak ada khutbah-pun, shalât 'Id tetap boleh.

Hadirnya imam, yakni penguasa atau hakim atau wakilnya merupakan syarat terlaksananya shalât 'Id sebagaimana pada shalât Jum'at berdasarkan keterangan Sunnah/hadîts. Sebab jika penguasa tidak hadir, akan timbul fitnah akibat banyaknya masyarakat yang tidak jarang berebut dalam mengajukan seorang imam sebagai kedudukan terhormat.

Persyaratan shalât 'Id harus disuatu kota didasarkan kepada pendapat Ali (mauquf) bahwa "tiada Jum'at, tasyriq, shalât 'Idul Fitri dan shalât 'Idul Adhâ kecuali bila dalam suatu kota yang menghimpun masyarakat atau di kota besar ."

Mengenai keharusan adanya jamaah, adalah terdiri dari lelaki, baligh, berakal, merdeka, sehat badan dan muqim, merupakan syarat wajibnya shalât 'Id, sebagaimana yang berlaku dalam shalât Jum'at. Shalât 'Id tidak berlaku bagi orang lupa, anak-anak, gila, hamba sahaya kalau idak diizinkan tuannya, berpenyakit merana, sakit biasa dan Mûsâfir di mana mereka semua juga tidak wajib shalât Jum'at.

Sedangkan Mazhab Hanbalî mensyaratkan: Bahwa sah-nya shalât 'Id harus dihadiri oleh 40 orang jamaah Jum'at yang tetap tempat

tinggalnya dan di sana tidak perlu izin bahkan boleh dilakukan oleh Mûsâfir, wanita serta munfarid demi mengikuti orang yang wajib melaksanakannya.

Mazhab Syâfi’î menyatakan: Shalât pada kedua hari raya itu sah dikerjakan, baik sendiri maupun berjamaah. Sedangkan

mazhab-mazhab lainnya mewajibkan berjamaah dalam shalât 'Id.

Page 223: Ringkasan Fiqh shalât - MRKR

222

Amalan-amalan yang disunnahkan pada Hari Raya

-Menghidupkan dua malam hari raya (Idul Fitri dan Idul Adhâ) dengan berbagai ibadah berupa dzikir, shalât, membaca Alquran, takbir, tasbîh dan istighfar. Mulai dari sepertiga akhir malam 'Id, atau semalam penuh. Berdasarkan sabda Nabi :

�ه تعالى، لم یمت قلبه یوم تموت القلوب من قام لیلتي ال عید، مqwسDبا !ل"Siapa yang menghidupkan malam Idul Fitri dan Idul Adhâ atas dasar perintah Allâh, maka hatinya tidak akan pernah mati pada hari semua hati mati."(At Thabrânî, Ad Daruqutni dan Ibn Mâjah dari Ubadah bin Shamit) –Imam Nawâwî berkata Sanad-nya lemah).

Memperbanyak membaca takbir pada malam Idul Fitri, adalah ibadah yang dilakukan untuk meninggalkan Ramadhân dan menyambut kedatangan Idul fitri. Maka, disunnahkan mengucapkan takbir dengan mengangkat suara/keras, mulai terbenam matahari malam Hari Raya hingga imam Takbiratul Ihrâm shalât Id. Bacaan Takbir-nya sesuai hadîts Ibn Umar �:

�ه و�ده لا شریك له له الملك وله ا) x3( ا!له اكLر لا� ا!ل4له ا

4لحمــد وهــو �لــى كــل شــيء قــد�ر +یبــون لا ا

نا �امدون صدق ا!ل�ه و�ده ونصر عبده وهزم ا��حزاب و�د ه.�ئبون �ابدون سائحون لربAllâh Maha Besar (3x) Tidak ada tuhan selain Allâh yang tunggal, tidak ada sekutu bagiNya, milikNya seluruh kerajaan dan bagiNya segala pujian dan Dia Maha Kuasa atas segala sesuatu, orang-orang yang kembali(kepada Allâh), orang orang yang bertaubat, orang-orang yang menghamba, orang orang yang bepergian menuju Allâh, bagi Tuhan kami (pujian) dari orang orang yang memuji, Maha Benar janji Allâh dan menolong hambaNya dan mengalahkan (musuhNya) dengan sendiriNya

- Serta berdoa-ah pada kedua malam hari raya tersebut, karena akan dikAbûlkan oleh Allâh sebagaimana pada malam Jum'at dan waktu mustajabah lainnya. - Mandi, memakai wangi-wangian, menggosok gigi dan mengenakan pakaian terbaik sebagaimana ketika akan shalât Jum'at sebagai tanda syukur atas nikmat Allâh .

Menurut Mazhab Syâfi’î, mandi dimulai tengah malam atau seperenam malam. Menurut Mazhab Mâlikî, terutama sunnah setelah shalât (waktu) Shubuh.

Menurut Mazhab Hanafî dan Hanbalî, sebelum pergi ke lapangan/tempat shalât hendaknya mandi untuk shalât, karena Rasûlullâh mandi sebelum pergi Shalât hari Raya Fitri dan Qurban. Sahabat Ali � dan Umar � juga melakukannya. Nabi pada hari 'Id, juga memakai wewangian meskipun milik keluarganya (istrinya) dan beliaupun mengenakan burdah (semacam sorban yang lebar).

Menurut Mazhab Syâfi’î dan Hanbalî) bahwa wanita boleh pergi mengikuti shalât 'Id dengan berpakaian sederhana tanpa wewangian (kosmetik) yang dapat menimbulkan fitnah.

-Makmum segera berangkat menuju ke tempat shalât 'Id setelah Shubuh jika tidak berhalangan walau matahari belum terbit agar mendapat shaf di depan, tidak banyak melangkahi pundak orang serta dapat banyak bertakbir.

ا!لــه صــل�ىكــان النبــ(ي «و+ما الامام ف@سن له التpخر الى وقت الصلاة، لwدیث +بــ(ي ســعید عنــد مســلم:

ل شيء لى المصل�ى ف�pو�4لاة :یبد+k به �لیه وسل�م یخرج یوم الفطر وا��ضحى ا » .الص�

Imam sunnah mengakhirkan datang ke tempat shalât 'Idul Fitri. Sesuai dengan keterangan hadîts riwayat Abû Sa’îd dalam Kitâb Shahîh Muslim bahwa Rasûlullâh pada hari Raya ‘Idul Fitri dan Adhâ menuju tempat shalât dan tidak ada yang pertama kali dikerjakannya selain shalât.

-Boleh berkendaraan ketika pulang dari shalât 'Id, berdasarkan pernyataan Sayyidina Ali � :

Page 224: Ringkasan Fiqh shalât - MRKR

223

»رجعت اثم �رÈب اذ« "Kemudian anda berkendaraan ketika pulang", (apabila berkendaraan itu bukan ditujukan ingin memperdekat jarak).

Mazhab Hanafî berpendapat, boleh berkendaraan ketika pergi Jum'at dan shalât dua hari raya. Namun berjalan kaki lebih baik bagi mereka yang mampu. Menurut Mazhab Hanafî, ketika pergi shalât Id dianjurkan dua hal, yaitu: 1. Al-Tabakkur, bersiap diri untuk menunaikan ibadah; 2. Al-Ibtikar, segera pergi menuju tempat shalât guna memperoleh hal yang terbaik dengan

menempati shaf/barisan terdepan. -Menempuh jalan yang berbeda untuk berangkat dan pulangnya Imam Shalât dan yang lainnya sunnah pergi menempuh satu jalan dan pulang menempuh jalan lainnya sesuai dengan sunnah Nabi , terutama ketika pergi hendaknya menempuh jalan yang lebih jauh dari pada pulangnya. -Waktu dimulainya shalât “Idul Fitri “lebih siang” dibandingkan shalât waktu dimulainya shalât ‘Idul Adhâ -Pada Idul Fitri, sunnah makan beberapa butir karma, sebelum pergi melaksanakan shalât dan sebaliknya pada Idul Adhâ sunnah makan sesudah shalât. Sebagaimana hadîts :

�ه كان یp>كل یوم عید الفطر قhل +�ن یغدو عن ما!ك عن هشام -ن عروة عن +�بیه +�نDari Mâlik dari Hisyam bin Urwah dari ayahnya sesungguhnya beliau sarapan pagi sebelum shalât 'Id Fithr (Al Muwaththa')

-Zakat fitrah- sudah ditunaikan sebelum menuju tempat shalât. -Bershadaqah sunnah sesuai dengan kemampuan. -Menampakkan wajah ceria dan senang terhadap kaum mukmin yang dijumpai. Mengunjungi keluarga dan handai taulan serta memperkuat Silaturahim.

Tata cara shalât 'Id 1. Tidak ada Adzan dan Iqâmat dalam shalât 'Id sunnah diserukan kalimat:

»الصلاة جامعــة« "mari kita shalât berjamaah", sesuai dengan riwayat Zuhrî dan disamakan

dengan cara shalât gerhana (Kusûf (Shalât gerhana matahari) dan Khusûf (shalât gerhana bulan)

2. Berniat dan ber-takbiratul Ihrâm. Jumhur Ulama selain Mazhab Mâlikî sepakat shalât 'Id sunnah diawali dengan niat yang diungkapkan oleh hati dan lisan.

المالكKة Mلنیة بقلبه ولسانه فKقول: (+صلي صلاة العید !له تعالى ) اماما +و �@ر ویبد+ بها عند الجمهور مق1دo، ویpتي بعد

الاحرام بد�اء الاف1تاح +و الثناء.Menjelaskan (ta’yîn) berniat atas shalâtnya itu, apakah menjadi imam atau makmum Kemudian membaca doa iftitah atau pujian kepada Allâh setelah takbiratul Ihrâm.

تقhل القhلة +�دائا Dة لعید الفطر (ا��ضحى) ركعت@ن مس�ن Dي س ماما(مp>موما) !ل�ه تعالى+kصل4 ا!ل�ه +�كLر - ا

Usallî sunnatan li ‘îdil fithri (al-Adhâ) rak‘ataini mustaqbila al-adâ’an imâman (Ma'mûman) mustaqbilal qiblati lillâhi ta‘âlâ- Allâhu Akbar. Saya berniat shalât Id al Fithr (Id Al-Adhâ) dua rakaat dengan menghadap kiblat, ada' dan sebagai (Imam/ma’mum) karena Allâh Ta’âlâ

3. Membaca Takbir dan selanjutnya dirinci menurut pendapat Imam Mazhab sebagai berikut:

Page 225: Ringkasan Fiqh shalât - MRKR

224

No Cabang Masalah Hanafî/

����ـــ��Mâlikî/ ��ـــ� �� Syâfi’î/ ��ـــ� �� Hanbalî/

���ـــ����

1 Rakaat I (sebelum Al Fâtihah) Takbir 3 x Takbir 6x Takbir 7x Takbir 6x 2 Membaca Ta'-awudz sebelum Al

Fâtihah Kecuali Mâlikî, Imam yang lain dianjurkan membaca:

جKم یطان الر� �Dله من الش!M عود+ 3 Bacaan antara Takbir (Kecuali

Hanbalî)* لا� ا!ل�ه وا!ل�ه +�كLر

4له ا

4بwان ا!ل�ه والحمد !ل�ه ولا ا Dس

4 Surat yang dibaca sesudah Al Fâtihah

(rakaat I) Boleh surat apa saja dari Alquran

Surat Al A'la (QS no. 87)

Surat Qaf (QS no.50)

Surat Al A'la (QS no. 87)

5 Rakaat II (sebelum membaca Al Fâtihah)

Takbir 3 x Takbir 5x (selain takbir Intiqal/ba-ngun dari sujud)

Takbir 5x (selain takbir Intiqal)

6 Bacaan antara Takbir رLه +�ك�ه وا!ل�ا!ل �لا4له ا

4بwان ا!ل�ه والحمد !ل�ه ولا ا Dس

7 Surat yang dibaca sesudah Al Fâtihah (rakaat II)

Boleh surat apa saja dari Alquran

Surat As Syams (QS no 91)

Surat Al Qamar (QS no. 54)

Surat Al Ghasiyah (QS no. 88)

(*) Menurut Mazhab Hanbalî; antara tiap-tiap dua takbir itu mengucapkan:

�ه �ه -كرة و+�صیلا +�كLر كب@را والحمد !ل�ه كث@را ا!ل بwان ا!ل Dله و س§ د و�لى + و سلم ¦سلیما وصل�ى ا!له �لى محم�Allâh Maha Besar, dengan segala KebesaranNya dan segala Puji milik Allâh dengan sebanyak-banyak Pujian dan Maha Suci Allâh (memuji makhluqNya) di waktu pagi dan petang dan Shalawat Allâh (semoga) tercurah kepada Nabi Muhammad dan atas keluarga beliau dan juga kesalamatan senantiasa tercurah kepada beliau.

4. Salam

5. Dilanjutkan dengan Khutbah Shalât Id Para Imam mazhab berpendapat: Khutbah pada Shalât 'Id itu sunnah. Shalât 'Id tetap boleh meskipun khutbahnya tidak dilaksanakan. Khutbah tersebut, semua sependapat: adalah disampaikan sesudah shalât, sesuai dengan sunnah Nabi sebagaimana diterangkan oleh Ibnu Umar bahwa Nabi , Abû Bakar, Umar dan Utsmân menunaikan shalât dua hari raya sebelum khutbah dimulai, berbeda dengan khutbah Jum'at yang hukumnya wajib dan disampaikan sebelum shalât.

Menurut Mazhab Mâlikî: khutbah 'Id disampaikan dua kali sebagaimana khutbah Jum'at (dalam masalah rukun, syarat, perkara sunnah dan makruhnya), setelah menunaikan shalât 'Id . Ketetapan ini diterima oleh segenap kaum muslimin.

Menurut Mazhab Hanafî: imam tidak perlu duduk bila telah naik ke atas mimbar, tetapi menurut Mazhab Mâlikî, Hanbalî dan Mazhab Syâfi’î ia hendaknya duduk untuk istirahat. Akan tetapi menurut Mazhab Hanafî, sekalipun menyalahi Sunnah Nabi, khutbah boleh saja disampaikan sebelum shalât. Mazhab Hanafî berpendapat: sesuai dengan sunnah Nabi hendaknya sebelum imam/khatib turun dari mimbar membaca takbir empat belas kali, bahkan setelah selesai khutbah dianjurkan pula takbir dibacakan agar terdengar oleh orang yang tidak sempat mendengarnya walau oleh wanita, demikian riwayat Syaikhan (Bukhârî dan Muslim) Ada 3 (tiga) khutbah menurut Mazhab Hanafî. Selain khutbah Jum'at dan Hari 'Arafah dilaksanakan sesudah shalât, kecuali pada khutbah nikah tanpa disertai shalât. Semua khutbah disampaikan dua kali kecuali tiga khutbah Hají.

Menurut Mazhab Mâlikî, dalam khutbahnya khatib memulai dengan takbir, temasuk di tengah-tengahnya tanpa ditentukan jumlahnya, (ada juga yang mengatakan tujuh kali takbir pada khutbah pertama). Sedangkan menurut jumhur 9 (sembilan) kali berkesinambungan pada khutbah pertama dan 7 (tujuh) kali pada khutbah kedua, berdasarkan riwayat Sa’îd bin Mansur

Page 226: Ringkasan Fiqh shalât - MRKR

225

dari Ubaidillah bin 'Utbah bahwa Khatib hendaknya membaca takbir sembilan kali sebelum memulai khutbahnya dan tujuh kali pada khutbah keduanya. Menurut Mazhab Syâfi’î khutbah yang diperintahkan agama itu ada sepuluh, yaitu (1) khutbah Jum'at, (2)Idul Fitri, (3)Idul Adhâ, (4) Shalât Kusûf /gerhana matahari, (5) Shalât Khusûf /gerhana bulan, (6) Shalât Istisqâ’, (7) Khutbah Nikah dan 3 (tiga) khutbah dalam ibadah haji.

Menurut Mazhab Syâfi’î, dalam khutbah hendaknya dimulai dengan tahmid (pujian kepada Allâh), yaitu dalam khutbah Jum'at, Istisqâ’ dan Khutbah Nikah. Yang lainnya diawali dengan bacaan takbir, yaitu dalam khutbah kedua hari raya dan dimulai dengan takbir, talbiyah kemudian isi khutbah yaitu khutbah haji di Makkah atau Arafah.

Khutbah 'Id dan Jum'at berbeda dalam beberapa hal: a) Khutbah Jum'at disampaikan sebelum shalât dan khutbah b) Pada shalât 'Id, sebaliknya dan menurut Mazhab Hanafî khutbah 'Id tidak sah bila

didahulukan bahkan harus diulangi lagi. c) Kedua khutbah Jum'at dimulai dengan pujian kepada Allâh

(hamdalah). Hal ini termasuk syarat atau rukun menurut Mazhab Syâfi’î dan Mazhab Hanbalî atau menurut Mazhab Hanafî, sunnah atau menurut Mazhab Mâlikî, mandub (sunnah yang dianjurkan). Sedangkan khutbah Idul Fitri dan Idul Adhâ sunnah dimulai dengan bacaan takbir.

d) Menurut Mazhab Hanafî, Mazhab Hanbalî dan Mazhab Mâlikî, bagi yang mendengarkan khutbah 'Id sunnah mengucapkan takbir secara pelan pelan ketika khatib bertakbir. Sedangkan dalam khutbah Jum'at haram berbicara termasuk ber-dzikir menurut jumhur. Namun menurut pendapat yang Shahîh dari Mazhab Hanafî, tidak makruh berdzikir ketika khutbah Jum'at dan 'Id. Sedangkan menurut Mazhab Hanbalî , haram berbicara selain takbir dalam khutbah Jum'at atau khutbah 'Id.

e) Mazhab Syâfi’î berpendapat, berbicara ketika mendengar khutbah Jum'at dan 'Id itu makruh, bukan haram dan sebaiknya hadirin mendengarkan saja ketika khutbah berlangsung.

f) Menurut Mazhab Hanafî, khatib 'Id jangan duduk di atas mimbar, kecuali pada khutbah Jum'at.

g) Menurut Mazhab Mâlikî, khatib 'Id apabila berhadats di tengah tengah khutbahnya, ia boleh melangsungkan terus khutbahnya dan tidak perlu cari pengganti dan sebaliknya pada khutbah Jum'at.

h) Menurut Mazhab Syâfi’î, dalam khutbah 'Id sunnah (tidak wajib) hal hal yang berlaku pada khutbah Jum'at, juga berlaku dalam khutbah Id seperti harus berdiri, suci, menutup aurat dan duduk di antara kedua khutbah.

Tempat Pelaksanaan Tempat dilaksanakan shalât 'Id menurut mayoritas ulama adalah di lapangan, kecuali untuk kota Mekkah dimana shalât 'Id lebih utama dilaksanakan di Masjidil Haram. (lihat tabel cabang masalah Shalât 'Id)

Page 227: Ringkasan Fiqh shalât - MRKR

226

Cabang masalah Shalât Sunnah sebelum/sesudah Shalât 'Id

No Cabang Masalah Hanafî/ ����ـــ�� Mâlikî/ ��ـــ� �� Syâfi’î/ ��ـــ� �� Hanbalî/ ������ـــ�

1 Bila dikerjakan di Lapangan Makruh

Makruh bila dia seorang Imam dan Tidak ada

Shalât Tahiyyat

Makruh

2 Bila dikerjakan di Masjid Makruh Boleh

Makruh

3 Bila dikerjakan di Rumah Makruh - - Boleh

Perbedaan Waktu Pelaksanaan Bila terjadi perbedaan hari pelaksanaan 'Idul Fitri/Adhâ karena perbedaan metodologi penentuan hilal. Umat Islam dipersilahkan mengikuti mana yang diyakini benar. Mengikuti keputusan pemerintah juga merupakan langkah yang dianjurkan untuk menjawab keragu-raguan dan kebingungan. Melakukan shalât sunnah sebelum dan sesudah shalât 'Id. Dalam masalah ini terdapat dua pendapat Fuqâhâ’ . 1. Jumhur berpendapat, tidak ada shalât sebelum dan sesudah shalât 'Id. Menurut (Dr.

Wahbah Zuhailly) inilah pendapat yang lebih Shahîh. 2. Mazhab Syâfi’î berpendapat, bagi selain imam, boleh melakukan shalât (sunnah) sebelum

'Id bila matahari telah ke atas atau sesudah shalât 'Id.

Jika shalât 'Id bertepatan dengan hari Jum'at apakah shalât jum'atnya boleh ditinggalkan? Rasûlullâh berkata dalam hadîts, dari Utsmân �:

ع «+و -وروى ا-ن ماUه» من شاء +�ن یصلي فلیصل « ع فلیجم مسDند +حمد» من شاء +�ن یجم"Siapa yang ingin melaksanakan shalât jum`at bersama kami, maka shalâtlah dan siapa (dari penduduk pegunungan/ pedesaan) yang ingin kembali maka kembalilah." (Ibn Mâjah, Musnad Ahmad)-hadîts Shahîh Hadîts:

م هذا عیدان فمن شاء +�جــز+�ه قد اج1مع في یومك « قال: ا!له �لیه وسل�م صل�ىعن +ب(ي هر�رة عن رسول ا!له عون �� مجم

4 » من الجمعة وا

)304/3:نیل ا�وطار( س�ن +ب(ي داود( Dari Abû Hurairah �, bahwa Rasûlullâh bersabda: "Telah berkumpul hari ini dua hari raya, maka Siapa yang ingin memperoleh pahala shalât jum'atnya maka kerjakanlah dan sesungguhnya kami dikumpulkan." (Sunan Abû Dâwud/Nailul Authâr 3/304).

Ulama' Fiqh berbeda pendapat dalam kasus ini: Mazhab Syafi`i berpendapat: shalât jum`at tetap wajib bagi penduduk kota/sekitar masjid, sedangkan bagi penduduk desa/pedalaman shalât jum'at-nya gugur/tidak wajib (bila tidak ada masjid di pedalaman/desa tersebut), berdasarkan hadîts di atas. Mazhab Mâlikî dan Hanafî, mengatakan tidak ada perubahan hukum dalam masalah ini, yaitu wajib melaksanakan shalât Jum`at bagi setiap mukallaf (baik penduduk desa/kota), dan sunnah melaksanakan shalât 'Id.

Page 228: Ringkasan Fiqh shalât - MRKR

227

Hukum imam yang meng-imam-i shalât 'Id dua kali ? Dijelaskan dalam Kitâb Asy-Syarqâwî juz I hal. 275 6. Shalât yang kedua tidak sah, sebab tidak termasuk mu’adah ('ada') atau qadha’. Shalât 'Id pada hari kedua ketika terlambat menetapkan hari 'Id setelah tergelincir matahari Apabila suatu kaum tidak mengetahui hari 'Id kecuali setelah matahari tergelincir atau karena tanggal tidak jelas, kemudian mereka menyaksikan tanggal (bulan) setelah (tergelincir matahari) atau terdapat halangan seperti turun hujan deras, maka bolehnya shalât 'Id di hari berikutnya terdapat dua pendapat: Menurut Mazhab Mâlikî, shalât 'Id tidak boleh dilaksanakan keesokan harinya dan juga

tidak bisa menjadi pengganti shalât Jum'at karena waktunya terbatas. Menurut jumhur, shalât 'Id boleh dikerjakan keesokan harinya, bahkan dalam shalât Idul

Adhâ sampai tiga hari batasnya, sebagaimana riwayat :

�م صل�ى!له روى +بو عم@ر -ن +�س عن عمومة له من +صwاب رسول ا غــم� �لینــا «، قــال: ا!له �لیه وسلال ف�pصبحنا صیاما ف�اء ركب من +خر الن�هار فشهدوا عند رسول ا!ل�ــه صــل�ى ا!لــه �لیــه وســل�م هلال شو�

�هم ر+�وا الهلال M��مس ف�pمر ر �م +�ن یفطروا من یومهم و+�ن یخرجوا لعیدهم سول ا!ل�ه صل�ى+�ن ا!له �لیه وسل مسDند +حمد » من الغد

Abû Umair bin Anas dari Amumah dari para sahabat Rasûlullâh berkata:"Tanggal satu Syawal tidak jelas bagi kami sehingga kami tetap melakukan puasa. Lalu datang rombongan di ujung hari yang mengakui bahwa mereka menyaksikan bulan (1 Syawal) pada hari kemarin. Maka Nabi memerintahkan kaum muslimin agar berbuka pada hari itu juga dan pergi shalât 'Id keesokan harinya, (Musnad Ahmad).

Hadîts riwayat Abû Umair � tersebut, Shahîh. Dan Abû Bakar al-Khatib mengatakan bahwa sunnah Nabi itu lebih baik untuk diikuti. Begitu juga menyangkut perbuatan-perbuatan yang wajibnya. Apabila dua orang menyaksikan awal bulan Syawal sudah lewat, maka disepakati ulama, shalât 'Id dilaksanakan keesokan harinya dan hal ini bukan qadla namanya walau masyarakat sudah berbuka di hari tersebut berdasarkan riwayat ‘Âisyah ـا� bahwa Nabi ر�ـ�� اللـھ ع<

bersabda:

ون فطركم یوم تفطرون و+�ضwاكم �دیث صحیح ( المرجع السابق ) » وعرفة یوم تعرفون ، یوم تضح� "Hari rayamu adalah pada hari di mana kalian berbuka. Dan hari raya Adhâ-mu adalah pada hari di mana kalian ver-kurban serta hari Arafah-mu adalah hari di mana kalian semua mengetahui (ma'rifah)". (Hadîts Shahîh Baihaqî dan Ad Darâqthnî/referensi sebelumnya). Hukum Takbir dalam dua hari raya Fuqâhâ’ (Ahli Fiqh) sepakat bahwa bacaan takbir diperintahkan pada dua hari raya dari pagi harinya sampai menjelang shalât serta setelah shalât fardlu di hari-hari haji (malam tanggal 1 Syawal hingga Takbiratul Ihrâm Shalât Idul Fithri dan tanggal 9,10,11,12 dan 13 Dzulhijjah – saat Idul Adhâ). Adapun takbir dari pagi hari sampai menjelang shalât 'Id, menurut mazhab Hanafî, adalah sunnah secara pelan-pelan ketika keluar menuju lapangan berdasarkan hadîts:

�ه زق ما �كفيا!له �لیه وسل�م صل�ىعن سعد -ن ما!ك قال قال رسول ا!ل كر الخفي� وX@ر الر X@ر الذ"Sebaik-baik dzikir adalah dzikir yang rendah dan sebaik-baik rizki adalah yang mencukupi". (Musnad Ahmad)

دراكا لما سDبق لفعله مق1ض ( والا�ادة ) وهي فعل في الشرقاوي مانصه : ( Mب القضاء ) وهو فعل العبادة كلها او الادون رÒعة بعد وقت الاداء اسDت 6

كمن صلى فى العبادة فى وقت ادائها �نیا (قوله اسDتدراكا) مفعول U�له الى ان قال وخرج بقوله اسDتدراكا ما فعل بعد وقت ا�داء لابقصد الاسDتدراك �ن شرط المعادة ان �كون فى وقت الاداء فه(ى Mطلة الوقت صلاة صحیwة ثم اراد فعلها XارUه فى جما�ة فانها لا¦سمى قضاء ولا ا�ادة

Page 229: Ringkasan Fiqh shalât - MRKR

228

Menurut satu riwayat, bacaan takbir tersebut berhenti apabila seseorang telah sampai ke mushalla/tempat shalât (masjid atau lapangan) atau ketika akan memulai shalât (menurut riwayat lainnya). Dan menurut kedua sahabat Abû Hanifah (Abû Yusuf dan Muhammad) hendaknya takbir dibaca dengan keras karena telah disepakati Fuqâhâ’ dalam hari raya 'Idul Adhâ.

Menurut jumhur, takbir itu dibaca dengan keras di rumah, di masjid, di pasar dan di jalan-jalan dari sejak pagi sampai mau melaksanakan shalât.

Sedangkan menurut mazhab Hanbalî sampai selesai khutbah, terutama dalam hari raya Fitri dan pada takbir di malam Idul Adhâ. Juga karena bacaan keras bertakbir itu menampakkan syi'ar Islam dan mengingatkan muslim yang lain tentang hari raya yang datang.

Menurut mazhab Syâfi’î dan mazhab Hanbalî, dianjurkan bertakbir secara mutlak (tidak hanya sehabis shalât saja) mulai dari terbenamnya matahari pada malam kedua hari raya, bukan sebelumnya serta tidak sunnah bertakbir secara muqayyad (takbir sehabis shalât saja) pada malam 'Idul Fitri, berdasarkan keterangan yang Shahîh.

Ucapan/Shighat bacaan takbir Menurut mazhab Hanafî dan Hanbalî , takbir itu ganda, yaitu:

Lه +�ك� �ه +�كLر ، ا!ل �ه +�كLر (ثنq@ن)، و!ل�ه الحمد )(ا!ل �ه +�كLر ، ا!ل لا� ا!له ، و ا!ل4له ا

4 ر ، لا ا

ا�تي، وهو قول الgلیف1@ن الراشد�ن، وقول ا-ن مسعود عملا بLgر Uا-ر عن النب(ي Allâh Maha Besar, Allâh Maha Besar, Tidak ada tuhan selain Allâh, dan Allâh Maha Besar, Allâh Maha Besar dan bagiNya segala Puji.

Berdasarkan keterangan Jâbir dari Nabi yang akan diterangkan kemudian. Ini termasuk pendapat kedua khalifah Râsyidîn dan Ibnu Mas’ûd �.

Sedangkan menurut mazhab Mâlikî dan Syâfi’î dalam qaul jadid-nya, takbir itu tiga kali, yakni:

لا� ا!له ، 4له ا

4�ه +�كLر ، ا!ل�ه +�كLر )، وهذا هو ا�حسن عند المالكKة، فان زاد لا ا و ا!ل�ه +�كLر (ا!ل�ه +�كLر ، ا!ل

�ه +�كLر ، و!ل�ه الحمد ، ا!ل(Allâh Maha Besar, Allâh Maha Besar, Allâh Maha Besar) Ini yang terbaik menurut mazhab Mâlikî, termasuk jika ditambah dengan bacaan :

لا� ا!له ، و ا!ل�ه +�كLر ، ا!ل�ه +�كLر ، و!ل�ه الحمد( 4له ا

4 ) لا ا

(Tidak ada tuhan selain Allâh, dan Allâh Maha Besar, Allâh Maha Besar dan bagiNya segala Puji.) Mengamalkan keterangan dari sahabat Jâbir dan Ibnu ‘Abbâs

ع<�ما

ھ

� الل .ر��

Bahkan mazhab Syâfi’î menganjurkan setelah bacaan takbir ketiga dibacakan pula kalimat:

بwان ا!له -كرة و+�صیلا ا!ل�ه +�كLر كب@را، والحمد !ل�ه Dكث@را، وس �م صل�ىكما قاله النب(ي �لى الصفا.ا!له �لیه وسل

(Allâh Maha Besar, dengan segala KebesaranNya dan segala Puji milik Allâh dengan sebanyak-banyak Pujian dan Maha Suci Allâh (memuji makhluqNya) di waktu pagi dan petang)

Seperti yang pernah dibacakan oleh Nabi ketika berada di Shafa.

وrسن� +�ن یقول +�یضا بعد هذا:Sunnah juga membacakan lafadz berikut jika mau menurut mazhab Hanafî; yakni lafadz:

لا� ا!له ولا 4له ا

4�ن ، (لا ا ه، مgلص@ن له الد �o 4

لا� ا4لا� ا!له و�ده، صدق و�ده، ولو كره الكافرون نعبد ا

4له ا

4، لا ا

لا� ا!له و ا!ل�ه +�كLر)4له ا

4 ونصر عبده، وهزم ا��حزاب و�ده، لا ا

Page 230: Ringkasan Fiqh shalât - MRKR

229

(Tidak ada tuhan selain Allâh, dan janganlah menyembah selain kepadaNya, orang orang yang memurnikan ketaatan kepada-Nya dalam (menjalankan) agama yang lurus meskipun dibenci oleh orang orang Kafir, Tidak ada tuhan selain Allâh yang Maha Tunggal, Maha Benar janji Allâh dan menolong hambaNya dan mengalahkan (musuhNya) dengan sendiriNya, Tidak ada tuhan selain Allâh dan Allâh Maha Besar)

Dan diakhiri dengan lafadz:

د، و�لى +�زواج محم� د، و�لى +�صwاب محم� §ل محم� د و�لى + �هم� صل �لى محم� م ¦سلیما كث@را )( ا!ل د، وسل�م صل�ىویpتي Mلتكh@ر الامام مسDتقhل الناس، لwدیث Uا-ر السابق +ن النب(ي كان یقhل بوجهه �لى +صwابه، ویقول: «ا!له �لیه وسل

(Ya Allâh sampaikan shalawat kepada Nabi Muhammad dan atas keluarga, sahabat , istri-istri beliau dan juga kesalamatan senantiasa tercurah kepada beliau dengan sebanyak-banyak kesalamatan) Dalam bertakbir, imam hendaknya menghadap ke arah jamaah, berdasarkan hadîts Jâbir bahwa Nabi . menghadapkan muka beliau ke arah para sahabat dan berkata:

�لى مكا6كم، ثم� �كLر "Tetaplah kalian pada tempat masing-masing lalu beliau membaca takbir".

ص 2ج - الفقه الاسلامي و+دلته ( و�كLر �@ر الامام مسDتقhل القhلة؛ �نه ذÈر مختص Mلصلاة، +شDبه ا�ذان والاقامة.386(

Selain imam, yang lainnya tetap bertakbir menghadap ke kiblat, sebab takbir merupakan dzikir terkait dengan shalât sehingga sama kedudukannya dengan adzan dan Iqâmat .

Mengqadha’ shalât ‘Id Jika seseorang terlambat mengikuti shalât ‘id, maka disunnahkan ia mendengarkan khutbah terlebih dulu kemudian baru mengqadha’ shalât ‘id-nya. Terdapat riwayat bahwa sahabat dan tâbi’în melakukan qadha’ shalât ‘id. Imam Bukhârî menyebutkan beberapa riwayat mengenai qadha’ shalât ‘id secara muallaq dalam kitab shahîhnya,

اویة، فجمع +�هله وبK�ه، وصل�ى كصلاة +�هل المصر و�كh@ر و+�مر +��س -ن ما!ك هم. مولاهم ا-ن +�ب(ى عتبة Mلز�مام. وقال عط

4واد یجتمعون فى العید یصل�ون ركعت@ن كما یصنع الا ذا فاته العید وقال عكرمة +�هل الس�

4اء ا

صل�ى ركعت@ن Anas bin Mâlik � menyuruh mantan budaknya, Ibnu Abi Uthbah � yang tinggal di Zawiyah untuk menjadi imam. Beliau kumpulkan istri dan anak-anaknya, lalu mereka shalât seperti shalât yang ada di lapangan dengan jumlah takbir yang sama. Ikrimah mengatakan, Penduduk as-Sawad mereka melaksanakan shalât ‘id dua rakaat seperti yang dilakukan imam. Atha’ mengatakan, “Siapa yang ketinggalan, tidak shalât ‘id, hendaknya shalât dua rakaat.” (Shahîh Bukhârî, 4/154).

ساء ، ومن كان فى البیوت Mب ذا فاته العید یصلى ركعت@ن. وكذ!ك ال�4 ا

Bab, penjelasan, apabila tidak shalât id di lapangan, maka melakukan shalât dua rakaat. Demikian pula untuk wanita, dan mereka yang tinggal di rumah. (Shahîh Bukhârî, 4/154).

Praktek ini seperti yang dilakukan Anas bin Mâlik �.

ف ، فلم rشهد العید الى مصر ه جمع موالیه وولده +��س -ن ما!ك رضي ا!ل�ه عنه قال : اذا كان في م�زله Mلط�ي بهم كصلاة +�هل المصر ، ثم� یp>مر مولاه ، عبد ا!ل�ه -ن +�ب(ي عتبة ، فKصل

Apabila Anas bin Mâlik � sedang di kampungnya di Thaf, sehingga beliau tidak bisa hadir shalât id di pusat kota, beliau kumpulkan budak-budaknya dan anaknya, kemudian beliau perintahkan Ibnu Abi Utbah untuk jadi imam. Beliau shalât id seperti yang dilakukan imam di kota. (HR. Thahâwî dalam Syarh Ma’ânî al-Atsâr, 6/30).

Kaidah fiqh,

Page 231: Ringkasan Fiqh shalât - MRKR

230

القضاء یحكي ا�داءQadha’ itu sama dengan menyerupai ada’.

Ada riwayat dari as-Sya’bî dari Ibnu Mas’ûd �, bahwa beliau mengatakan,

من فاته العید فلیصل +ربعا“Siapa yang tidak ikut shalât id, hendaknya dia shala 4 rakaat.” Sebagian ulama menilai riwayat ini dhaif. Karena as-Sya’bî tidak pernah mendengar dari Ibnu Mas’ûd.

Maka cara mengqadha’nya adalah dengan jumlah rakaatnya sama dengan shalât id pada umumnya. Hanya saja tidak ada khutbah.

Cabang masalah Shalât 'Id menurut Empat mazhab:

No Cabang Masalah Hanafî/ ����ـــ�� Mâlikî/ ��ـــ� �� Syâfi’î/ ��ـــ� �� Hanbalî/ ������ـــ�

1 Hukum Shalât 'Id dan syaratnya

Fardlu 'Ain (dengan sya-rat-syarat se-perti pada shalât jum'at, seperti: ada Imam, Jama-ah, tempat dan waktu

Sunnah Muakkad

Fardlu Kifâyah (dihadiri minimal 40 orang jamaah shalât Jumat yang tetap tempat ting-galnya

2 Waktu Pelaksanaan Saat matahari setinggi 1 – 2 tumbak (30 menit setelah terbit mata-hari/Syuruq sampai-dhuhur (bila- sebelum itu :batal)

Saat matahari setinggi 1 – 2

tumbak sampai dhuhur

Sejak Matahari terbit hingga

dhuhur/ zawâl

sejak matahari setinggi 1 – 2

tumbak

3 Adzan/Iqâmat Tidak ada adzan dan Iqâmat 4 Niat)*dilanjut-kan

dengan Tak-biratul Ihrâm

Dalam hati dan dilafadz-kan

Dalam hati Dalam hati dan dilafadzkan

5 Tempat Pelaksanaan Di lapangan (lebih utama)

Di lapangan (lebih utama)

Di Masjid (lebih utama)

Di lapangan (lebih utama)

6 Khutbah 'Id Takbir 14 x (dibaca sebelum turun dari

mimbar)

Takbir 7x / 9x (Pada khutbah I)

dan Takbir 7x (khutbah II)

Takbir 9x (pada Khutbah I) dan

Takbir 7x (khutbah II)

)* menjelaskan/ta’yîn atas shalâtnya, sebagai Imam atau ma'mum

No Cabang Masalah Hanafî/ ����ـــ�� Mâlikî/ ��ـــ� �� Syâfi’î/ ��ـــ� �� Hanbalî/ ������ـــ�

7 Wanita/gadis yang pergi shalât 'Id

Tidak diperkenankan

Boleh

8 Untuk yang tidak sempat Shalât 'Id

Tidak perlu diqadla

Sunnah meng-qadla

9 Takbir hari raya Sunnah dan dengan suara pelan ketika

menuju tempat Shalât

Dibaca dengan keras ketika di rumah, jalan2,

masjid

Dibaca dengan keras ketika di rumah, jalan2,

masjid

Dibaca dengan keras ketika di rumah, jalan2,

masjid

Setelah melaksanakan Shalât ‘Id, boleh diteruskan dengan bersalaman, saling ber-maaf-maaf-an. Rasûlullâh menyatakan :

ا!لــه �لیــه وســل�م "مــا مــن مســلم@ن یلتقKــان، صل�ى قال: قال رسول ا!له رضي ا!له عنهماعن الLراء -ن �ازب قhل +ن یتفرقا".فKتصافwان الا غفر لهما

Dari Al Bara' Ibn Âzib � berkata, bahwa Rasûlullâh bersada, “Bila seorang muslim bertemu, kemudian ia mengucapkan salam dan berjabat tangan, maka Allâh akan mengampuni dosa kedua orang tersebut, hingga mereka berpisah.” (HR. Abû Dâwud, Tarmidzi, dan Ibn Abi Syaibah).

۞

Page 232: Ringkasan Fiqh shalât - MRKR

231

4. Shalât Istisqâ’ Secara bahasa, Istisqâ' ( اء

لاس8سق

."meminta air" (طلب السقيا) berarti (ا

وشرعا: طلب السقي من الله تعالى بمطر عند حاجــة العبــاد إليــه علــى صــفة مخصوصــة أي بصــلاة وخطبة واستغفار وحمد وثناء.

).93، مراقي الفلاح: ص74/1كشاف القناع:، 321/1، مغني المحتاج:537/1الشرح الصغير:(

Dan menurut istilah hukum Islam (syara'), Istisqâ’ berarti "meminta air hujan dari Allâh ketika sangat dibutuhkan oleh hamba-Nya dengan cara tertentu, berupa shalât, khutbah, istighfar dan pujian”.

Dalam Alquran kata Istisqâ’ terdapat dalam ayat yang menerangkan permohonan Nabi Mûsâ عليھ

:السلام

ذ 4 موسى لقومه فقلنا اضرب بعصاك الحجر فانفجرت م[ه اث1�ا عشرة عینا اسqسقىوا

"Dan (ingatlah) ketika Mûsâ memohon air untuk kaumnya, lalu Kami berfirman "Pukullah batu itu dengan tongkatmu. Lalu memancarlah dari padanya dua belas mata air... " (QS. Al Baqarah (2) : 60). Shalât Istisqâ’ mempunyai sebab Muqârin, juga karena jarangnya turun hujan sehingga sulit mendapatkan air untuk minum, menyirami tanaman dan membri minum binatang dan lain lain.

Kekeringan boleh jadi adalah cobaan dari Allâh , ketika manusia melupakan-Nya dan ma'siat ada di mana-mana. Oleh sebab itu, dalam situasi seperti itu segera wajib bertaubat, istigfar, tadhârru' (merendahkan diri) kepada Allâh . Apabila sikap seperti ini dilakukan oleh hamba-hamba-Nya, niscaya Allâh akan segera menurunkan karunia-Nya berupa hujan, sebagaimana yang disampaikan dalam alquran tentang permohonan hujan oleh Nabi Nuh, Mûsâ dan Hud م السلام��عل untuk kaum-kaumnya. Allâh melukiskan permohonan Nabi Nuh عليھ السلام:

�ه كان غف�ارا ن4تغفروا ر-�كم ا Dــماء �لــیكم مــدرارا) 10(فقلت اس ال وبنــ@ن ویجعــل ویمــددكم بــ�pمو )11( �رســل الس�

)12( لكم ج[�ات ویجعل لكم +�نهارا

"Maka aku katakan kepada mereka: "Mohonlah ampun kepada Tuhanmu, sesungguhnya Dia adalah Maha Pengampun. Niscaya Dia akan mengirimkan hujan kepadamu dengan lebat. Dan membanyak-kan harta dan anak- anakmu dan mengadakan untukmu kebun-kebun dan mengadakan (pula di dalamnya) untukmu sungai-sungai" (QS. Nuh (71) : 10-12).

Hukum Shalât Istisqâ’ Jumhur Fuqâhâ’, berpendapat, shalât Istisqâ’ adalah Sunnah Muakkad, baik orang berada di tempat tinggalnya atau sedang dalam perjalanan, ketika sangat membutuhkan air (hujan), berdasarkan sunnah Nabi dan para sahabat م� Bahkan jika hari pertama belum .ر�ـ�� اللـھ عـ<

saja diturunkan hujan, hendaknya shalât Istisqâ’ terus dikerjakan kembali pada hari kedua, ketiga dan seterusnya sampai Allâh menurunkannya, sebab Dia sangat mencintai orang yang berdoa terus menerus.(Para Imam Mazhab mempunyai pandangan perihal hukum shalât ini, lihat tabel)

Apabila masyarakat sedang ber-siap melaksanakan shalât Istisqâ’ namun lebih dulu turun hujan dan menyirami mereka, maka menurut mazhab Mâlikî, shalât tetap dilaksanakan. Dan menurut mazhab Syâfi’î, hendaklah mereka berkumpul untuk bersyukur dan berdoa serta melaksanakan shalât Istisqâ’ sebagai tanda syukur juga. Bahkan menurut pendapat yang lebih Shahîh, hendaknya imam berkhutbah meskipun di tengah-tengahnya hujan turun. Sedangkan menurut mazhab Hanbalî, ketika itu mereka tidak perlu pergi shalât, tetapi bersyukurlah atas nikmat Allâh dan mohonlah kepada- Nya atas segala karunia-Nya.

Syarat, tempat dan waktu pelaksnaan Shalât Istisqâ’

Page 233: Ringkasan Fiqh shalât - MRKR

232

Menurut Abû Hanifah (Hanafî), dalam shalât Istisqâ’, tidak perlu ada izin dari imam/pemimpin, sebab tujuannya adalah berdoa. Namun menurut mazhab Syâfi’î, izin itu merupakan syarat. Sedangkan dari Imam Ahmad (Hanbalî) ada dua riwayat, yaitu tidak perlu izin dan perlu izin dari pemimpin.

Dianjurkan shalât Istisqâ’ diselenggarakan di lapangan terbuka kecuali di Mekkah, di Madinah, Baitul Muqaddas, Mesjidil Haram, Mesjid Nabawi dan Mesjid Aqsha'.

Hendaklah masyarakat keluar lapang selama tiga hari dengan berjalan kaki, berpakaian lusuh, mengakui diri merasa hina, khusus' kepada Allâh , menundukkan kepala, mendahulukan atau menyegerakan sedekah pada setiap hari sebelum keluar menuju lapangan, selalu bertaubat dan memintakan hujan (air) buat orang- orang lemah, kakek-kakek, nenek-nenek dan anak-anak.

Shalât Istisqâ’ menyerupai shalât Id dalam segi tempat dan sifat-sifatnya, termasuk dalam masalah waktunya, dimana waktunya tidak ditentukan sama seperti shalât Id, namun tetap keduanya tidak boleh dilaksanakan pada waktu yang dilarang. Sebab waktu shalât Istisqâ’ sangat luas sehingga tidak perlu dilaksanakan pada waktu yang dilarang. Akan tetapi sunnah dilaksanakan pada awal siang sebagaimana shalât Id berdasarkan hadîts :

�م �@ن بدا � قالت �اÎشة فخرج رسول ا!ل�ه صل�ى مس ا!له �لیه وسل اجب الش�Dari ‘Âisyah ــا�ــھ ع<

� الل berkata:Nabi pergi shalât Istisqâ’ ketika mentari telah terang ر�ــ�

benderang. (Sunan Abû Dâwud)

Namun tidak terikat oleh tergelincirnya matahari sehingga boleh saja dilaksanakan sesudahnya sebagaimana shalât-shalât sunnah lainnya. Apabila shalât Istisqâ’ dilaksanakan sehabis shalât fardlu atau dalam khutbah Jum'at maka cara inipun sesuai dengan sunnah.

وان اسqسقى الناس عقب صلواتهم +و فــي خطبــة الجمعــة، +صــابوا الســDنة، فKجــوز الاسqســقاء Mلــد�اء مــن �@ــر صــلاة :یث عمر رضي ا!له عنه +نه خرج rسqسقي، فصعد المنLر فقاللwد

ماء �لیكم مدرارا لیه �رسل الس� 4تغفروا ر-�كم ثم� توبوا ا Dات ویجعــل ، اس�موال وبن@ن ویجعل لكم ج[�pویمددكم ب

تغفروا ر ، لكم +�نهارا Dارا اس�ه كان غف� ن4 ،-�كم ا

التــي rســDت�زل بهــا م�ــادیح الســماءثم 6زل، فقKل: o +م@ــر المــؤم[@ن، لــو اسqســقKت؟ فقــال: لقــد طلبــت ب ) .رواه البیهقي عن الشعب(ي( »القطر

Juga meminta hujan tersebut boleh hanya melalui doa saja tanpa shalât berdasarkan hadîts Umar � bahwa ia pergi meminta hujan lalu naik mimbar dan berkata: "Mohonlah ampun kepada Tuhanmu. Sesungguhnya Dia adalah Maha Pengampun. Niscaya Dia akan mengirimkan hujan kepadamu dengan lebat, membanyakkan harta dan anak-anakmu, mengadakan untukmu kebun-kebun dan mengadakan pula untukmu sungai-sungai. Mohonlah ampun kepada Tuhanmu. Sesungguhnya Dia Maha Pengampun. Kemudian dia turun dari mimbarnya lalu ditanya orang: "Hai Amirul Mukminin, apakah tuan telah berIstisqâ’? Umar � menjawab: "Saya telah memintanya dengan kunci langit yang akan menyebabkan turunnya hujan". (HR. Baihaqî) (Fiqh Islam wa Adillatuhu-Shalât Istisqâ’)

Yang diperintahkan untuk shalât Istisqâ’ adalah kaum lelaki yang mampu berjalan kaki. Kaum wanita dan anak-anak yang belum dewasa (tamyîz) tidak diperintahkan, demikian menurut pendapat masyhur/terkenal di kalangan Mâlikîyah.

Imam Syâfi’î dan Hanbalî berpendapat, adalah dianjurkan Istisqâ’ dihadiri oleh anak-anak, kakek-kakek, nenek-nenek, wanita yang tidak menarik perhatian orang serta banci yang biasa- biasa rupanya, sebab orang dewasa itu lebih halus hatinya dan anak- anak belum punya dosa. Nabi pernah bersabda:

Page 234: Ringkasan Fiqh shalât - MRKR

233

�ه عنه +�ن� له فضلا �لى من دونه فقــال الن�بــ(ي� صــل�ى عن طلwة عن مصعب -ن سعد قال ر+�ى سعد رضي ا!للا� بضعفا¬كم

4�م هل تنصرون و�رزقون ا ا!له �لیه وسل

Dari Thalhah �, dari Mushab bin Sa'di � sesungguhnya ada padanya kemuliaan atas sahabat yang lainnya, beliau berkata "Hendaklah kalian mendapatkan rizki dan kemenangan kecuali atas bantuan mereka yang lemah".(Shahîh Bukhârî – رب (

aا QR

ن aا اء والص

عف بالض

عانباب من است

Para pemudi, wanita dan gadis-gadis yang banyak tingkah, makruh keluar karena khawatir timbul fitnah. Tata Cara Shalât Istisqâ’ Jumhur, selain mazhab Hanafî berpendapat, shalât Istisqâ’ adalah dua rakaat dengan berjamaah, di mushalla, di lapangan terbuka, tanpa adzan dan Iqâmat dan hanya diserukan kalimat: »

جامعـة

ة

ـلا لص

»ا "mari kita shalât berjamaah", sebab Rasûlullâh hanya melaksanakan

shalât Istisqâ’ di lapangan terbuka, dengan bacaan yang nyaring (sesuai hadîts dari hadîts Abdullâh bin Zaid) seperti dalam shalât Id, yang menurut mazhab Syâfi’î dan Hanbalî, didahului oleh takbir (setelah doa iftitah sebelum ta'awudz) tujuh kali pada rakaat pertama dan lima kali pada rakaat kedua dengan mengangkat kedua tangan dan berhenti sejenak pada tiap-tiap dua kali takbir. Ibnu ‘Abbâs � berkata: "Sunnah Istisqâ’ itu seperti shalât sunnah dua hari raya". Yakni sunnah dilaksanakan di lapangan terbuka, bertakbir, tanpa adzan dan iqamat, sebab shalât Istisqâ’ merupakan shalât sunnah yang dianjurkan ada khutbahnya dan berjamaah.

Menurut mazhab Mâlikî dan sebagaian Ulama pengikut Hanafî: "istighfar itu sebagai pengganti takbir, sebab dalam shalât Istisqâ’ tidak ada takbir."

Tertib Shalâtnya 1. Berniat dengan lafadz niat :

ن�ة Dي س �ه تعالىركعت الاسqسقاء +kصل ماما(مp>موما) !ل4تقhل القhلة +�دائا ا Dر - @ن مسLه +�ك� ا!ل

Usallî sunnatal Istisqâ’ rak‘ataini mustaqbilal qiblati adâ-an imâman (ma’mûman) lillâhi ta‘âlâ- Allâhu Akbar. Saya berniat shalât Istisqâ’ dua Rakaat dengan menghadap kiblat , ada' dan sebagai (Imam/Ma'mum) karena Allâh Ta’âlâ

3. Dilanjutkan dengan rincian sebagai berikut:

No Cabang Masalah Hanafî/ ����ـــ�� Mâlikî/ ��ـــ� �� Syâfi’î/ ��ـــ� �� Hanbalî/ ������ـــ�

1 Rakaat I (sebe-lum Al Fâtihah) Tidak ada Takbir (selain takbir seperti shalât biasa)

Takbir 7x

2 Membaca Ta'-awudz sebelum Al Fâtihah

dianjurkan membaca: جKم یطان الر� �Dله من الش!M عود+ 3 Surat yang di-baca sesudah Al

Fâtihah (rakaat I) Boleh surat apa saja dari Alquran

Surat Al A'la (QS no. 87)

Surat Qaf (QS no.50)

Surat Al A'la (QS no. 87)

4 Rakaat II (sebe-lum membaca Al Fâtihah)

Tidak ada Takbir (selain takbir seperti shalât biasa)

Takbir 5x (selain takbir Intiqal)

5 Surat yang di-baca sesudah Al Fâtihah (rakaat II)

Boleh surat apa saja dari Alquran

Surat As Syams (QS no 91)

Surat Al Qamar (QS no. 54)

Surat Al Ghasiyah (QS no. 88)

3. Dilanjutkan dengan dua Khutbah Disunnahkan (mandub) untuk berkhutbah dua kali seperti halnya khubah Id, namun tidak perlu bertakbir dalam kedua khutbah itu melainkan ber-istighfar kepada Allâh sebanyak 9 (Sembilan) kali sebelum memulai khutbah pertama; dan pada khubah kedua membaca istighfar sebanyak sembilan kali juga. Bentuk bacaan istighfar yang sempurna adalah:

تغفر ا!له ا Dوم واتوب الیه اسKهو الحي� الق �ذى لا اله الا� 9× لعظیم ال

Page 235: Ringkasan Fiqh shalât - MRKR

234

Aku memohon ampunan dariNya Yang Maha Agung yang fiada Tuhan selain Allâh Yang Hidup Kekal dan Yang terus menerus mengurus (makhluq-Nya) dan aku betaubat kepada-Nya.

Bila ia hanya membaca: ( فر اللھ

غ

ست

.saja, maka dianggap itu cukup( ا

Bagi khatib disunnahkan untuk membalik kain surban-nya walaupun hanya berupa kain yang (dililitkan di atas bahunya ataupun kain yang diselimutkan di atas bajunya) Adapun cara membalik adalah hendaknya bagian yang di sebelah kanan dipindahkan ke sebelah kirinya dan bagian atasnya dipindah ke bawah; dengan cara tangan kanannya mengambil ujung serban bagian bawah dari arah kiri dan menyangkutkannya di atas bahu kanannya; sedang tangan kirinya mengambil ujung serban bagian kanan serta menyangkutkannya diatas bahu kirinya. Hal tersebut dilakukan setelah melewati sepetiga dari khutbah kedua. Maka bila ia telah selesai melakukan sepertiga dari khutbah kedua disunnahkan baginya untuk menghadap Kiblat kemudian membalik serbannya sesuai dengan cara tersebut di atas. Bila imam telah membalik serbannya maka disunnahkan bagi para ma'mum yang duduk untuk membalik serban mereka sebagaimana yang dilakukan oleh imam, sedangkan mereka tetap dalam posisi duduk.

Disunnahkan banyak berdoa dengan samar maupun keras, dan membaca doa untuk menghibur hati yang sedang sedih:

لا� ا!ل�ه العظیم الwلیم ،4له ا

4لا� ا!ل�ه رب� لا ا

4له ا

4لا� ا!ل�ه رب� العرش العظیم، لا ا

4له ا

4موا لا ا ت ورب� ا�رض الس�

ورب� العرش الكریم Tidak ada Tuhan Selain Allâh Yang Maha Agung lagi Maha Penyantun, Tidak ada Tuhan Selain Allâh yang memiliki Arasy yang Agung, Tidak ada Tuhan Selain Allâh Tuhan pemilik langit dan Tuhan pemilik bumi dan yang memiliki Arasy yang Mulia (Shahîh Bukhârî dan Muslim).

Demikian juga disunnahkan bagi imam untuk banyak membara Istighfar dan dilanjutkan membaca ayat:

ماء �لیكم مدرارا ویمدد �ه كان غف�ارا �رسل الس� ن4تغفروا ر-�كم ا Dات ویجعــل اس�موال وبن@ن ویجعل لكم ج[�pكم ب

لكم +�نهارا'Mohonlah ampun kepada Tuhanmu, sesungguhnya dia adalah Maha Pengampun-,niscaya dia akan mengirimkan hujan kepadamu dengan lebat, Dan membanyakkan harta dan anak-anakmu, dan mengadakan untukmu kebun-kebun dan mengadakan (pula di dalamnya) untukmu sungai-sungai.

Khatib disunnahkan membaca doa yang dibaca oleh Nabi yaitu:

�هــم� �لــى الــزراب وم[ابــت ا!ل�هم� اجعلها رحمة لا سقKا �ذاب، ولا محق، ولا بلاء، ولا هــدم، ولا غــ رق؛ ا!ل�هــم� +�ســق[ا غیثــا مغیثــا هن@Æــ جر، وبطون ا��ودیة، ا!ل�هم� حوالینا ولا �لینا، ا!ل ســwا �امــا؛ -ا مریئــا مریعــا الش�

4ن� Mلعبــاد والــبلاد مــن الجهــد �دقا، طبقا، م�ل�لا، دائما، ا!ل� �هــم� ا هم� +�سق[ا الغیث ولا تجعلنا من القانط@ن، ا!لرع، و+�6 رع، و+�در لنا الض� �هم� +�نLت لنا الز� لیك، ا!ل

4لا� ا

4نك ولا �شكو ا ــماء، زل � والجوع والض� لینا من -ركات الس�

� ��4�ــك كنــت و +�نLت لنا من -ركات ا��رض، واكشف عن�ا من البلاء مــا لا �كشــفه �@ــرك، ا!ل�هــم� ا ن

4تغفرك ا Dســ

ماء �لینا مدرارا". غف�ارا، ف�pرسل الس�"Ya Allâh, jadikanlah ia sebagai rahmat (bagi kami), bukan sebagai siraman adzab, bukanpula kebinasaan, bala', kerusakan dan bencana yang menenggelamkan. Ya Allâh, (turunkanlah hujan) untuk memenuhi saluran air, menyiram tempat tumbuhnya pohon dan memenuhi jurang-jurang lembah. Ya Allâh, kami memohon rahmat-Mu atas diri kami, bukan petaka atas kami Ya Allâh siramilah kami dengan air hujan yang dapat menolong kami dari kepedihan, membawa kemudahan dan kesenangan, menyuburkan, tertumpah, menyeluruh, banyak (lebat), merata dan terus-menerus. Ya Allâh, siramilah kami dengan air hujan dan janganlah Engkau jadikan kami termasuk golongan orang-orang yang putus asa (terhadap rahmat-Mu). Ya Allâh, sesungguhnya hamba-Mu dan negeri-Mu mengalami kepayahan, kelaparan dan kesempitan, dan tidaklah kami mengadu kecuaali kepada-Mu. Ya Allâh, tumbuhkanlah tanaman bagi kami, karuniakanlah

Page 236: Ringkasan Fiqh shalât - MRKR

235

kepada kami susu binatang, turunkanlah kepada kami karunia langit, tumbuhkanlah bagi kami dari karunia bumi, bebaskanlah kami dari bala' dimana tidak ada yang sanggup membebaskannya selain Engkau. Ya Allâh, kami memohon ampunanMu, karena sesungguhnya Engkaulah Yang Maha Pengampun, maka siramilah kami dengan hujan yang lebat."

Hal-hal yang disunnahkan dalam Shalât Istisqâ’ Hal-hal yang sunnah dilakukan Imam sebelum melaksanakan Shalât Istisqa' antara lain: 1. Sebelum keluar untuk melaksanakan shalât, hendaklah ia menyuruh orang-orang untuk

bertaubat dan bershadaqah serta tidak melakukan kedhaliman, sesuai dengan kesepakatan seluruh imam mazhab.

2. Menyuruh mereka agar supaya damai dengan musuh-musuh mereka, sesuaidengan kesepakatan tiga imam mazhab. Namun Mâlikî berpendapat bahwa yang demikian itu tidaklah mandub/disunnahkan.

3. Menyuruh mereka agar supaya berpuasa selama tiga hari, kemudian keluar bersama-sama mereka di hari ke-empat dengan berjalan kaki pada jam berapasaja di hari itu, sesuai dengan kesepakatan pendapat mazhab Hanafî dan Syâfi’î. Mazhab Hanbalî berpendapat bahwa bagi imam tidak disunnahkan untuk keluar bersama mereka pada hari keempat melainkan merekalah yang disunnahkan untuk keluar bersama imam pada hari yang telah ia tentukan. Mazhab Mâlikî berpendapat bahwa yang disunnahkan (mandub) untuk keluar adalah pada waktu Dhuhâ di hari keempat, kecuali bagi yang rumahnya jauh, maka hendaklah ia berangkat pada waktu yang memungkinkan baginya untuk mengikut shalât bersama imamnya.

4. Hendaklah imam keluar bersama mereka dengan menggunakan pakaian yang sudah lapuk dengan sikap rendah, sesuai dengan kesepakatan pendapat tiga imam mazhab. Namun mazhab Hanbalî berpendapat bahwa untuk melaksanakan shalât Istisqâ’ itu hendaklah(keluar) dengan menggunakan pakaian bagus sebagaimana untuk melaksanakan shalât 'Id.

5. Menyuruh mereka/jamaah agar supaya keluar bersama anak-anak kecil, orang-orang tua, orang-orang lemah dan hewan-hewan ternak; serta menjauhkan anak dari susuan ibunya agar supaya banyak menjerit/menangis, sehingga yang demikian itu akan lebih mendekatkan (mereka) kepada Allâh . (Hanafî dan Syâfi’î).

Antara mazhab Mâlikî dan Hanbalî ada perbedaan pendapat: Mâlikî berpendapat bahwa yang disunnahkan (mandub) adalah mengajak anak-anak kecil yang telah mumayyiz yang shalât mereka itu sah. Sedangkan selain mereka yang telah mumayyiz, maka makruh diajak, sebagaimana juga dimakruhkan untuk mengeluarkan (membawa) binatang. Hanbalî berpendapat bahwa mengajak anak kecil yang telah mumayyiz untuk melaksanakan shalât Istisqâ’, hukumnya sunnah sebagaimana yang dikatakan oleh Mâlikî. Sedangkan selain anak kecil yang telah mumayyiz, seperti membawa hewan ternak dan rnengajak orang orang yang lemah, maka yang demikian itu hukumnya mubah.

Cabang masalah shalât Istisqâ’ menurut Empat mazhab

No Cabang Masalah Hanafî/ ����ـــ�� Mâlikî/ ��ـــ� �� Syâfi’î/ ��ـــ� �� Hanbalî/ ������ـــ�

1 Hukum Shalât Istisqâ’ Mandub/ sunnah biasa

Sunnah Muakkad

2 Waktu Pelaksanaan Saat dibolehkannya shalât sunnah

Sama dengan shalât Id (Dhuhâ hingga za-wal)

Boleh kapan saja (meski-pun waktu tahrîm)

Saat diboleh-kannya shalât sunnah

3 Dikerjakan ber-ulang-ulang hingga hujan turun

Mandub/ sunnah biasa

Sunnah

4 Khutbah shalât Istisqâ’ Tidak perlu cukup ber-doa dan ber-istighfar

Sunnah dan di awali dengan Istighfar (berbeda dengan khutbah 'Id –yang diawali dengan Takbir)

Tidak perlu cukup ber-doa dan ber-istighfar

5 Memindahkan Surban, saat Khutbah kedua (baik untuk I-mam atau ma'-mum)

Tidak Sunnah Sunnah

Page 237: Ringkasan Fiqh shalât - MRKR

236

6 Khatib /Imam menghadap ke Kiblat ketika berdoa

Ketika berdoa Mulai sepertiga-nya khutbah ke-dua

Ketika berdoa

Mengangkat tangan ketika berdoa dalam Shalât Istisqâ’ Mengangkat tangan ketika berdoa, bila berdoa memohon sesuatu kebaikan kedua telapak tangan menadah ke langit, namun bila memohon dijauhkan dari bala' atau keburukan maka punggung tapak tangan yang dihadapkan ke langit, sebagaimana hadîts:

ائب ا�� د -ن الس� ذا نصاري +�ن� الن�ب(ي� صل�ىعن Xلا�4لیــه وا

4ذا ســ�pل جعــل Mطــن كف�Kــه ا

4�م كــان ا ا!له �لیــه وســل

لیه 4تعاذ جعل ظاهرهما ا Dاس

Dari Khallâd bin Sâib Al-Anshârî � "Sesungguhnya Nabi apabila beliau meminta, beliau hadapkan kedua tapak tangannya ke langit. Dan apabila beliau meminta perlindungan dari suatu keburukan beliau hadapkan punggung kedua tangannya ke langit." (Musnad Ahmad).

ماء ا!له �لیه وسل�م اسqس عن +��س -ن ما!ك +�ن� الن�ب(ي� صل�ى لى الس�4 قى ف�pشار بظهر كف�Kه ا

Dari Anas bin Mâlik �, "Sesungguhnya Nabi telah berdoa meminta hujan, beliau isyaratkan punggung tangannya ke langit." (Shahîh Muslim).

Menyapu /mengusap muka ketika selesai berdoa Disunnahkan menyapu muka dengan kedua tangan ketika selesai berdoa.

�ه عنه قال كان رسول ا!ل�ه صل�ى اب رضي ا!ل �اء لــم عن عمر -ن الخط� ذا رفــع یدیــه فــي الــد�4�م ا ا!لــه �لیــه وســل

هما ح1�ى یمسح بهما وجهه یحط�Dari Umar bin Khathab �, "Rasûlullâh apabila menadahkan kedua tangan- nya dalam berdoa, tidak mengembalikannya hingga beliau menyapukan keduanya ke muka beliau." (At Tirmidzî).

۞

5.Shalât Kusûf dan Khusûf Istilah Kusûf dan Khusûf adalah satu pengertian sehingga sering dipakai istilah Kusûf ani dan Khusûf ani. Namun yang terkenal di kalangan Fuqâhâ’ ' istilah kusûf untuk matahari (gerhana matahari) dan khusûf untuk bulan (gerhana bulan). Kusûf (

سـوف

ك

ل

artinya terhalangnya sinar matahari atau sebagainya oleh gelapnya bulan yang (ا

berada antara matahari dan bumi di siang hari. Khusûf (

سـوف

y

a

artinya hilangnya cahaya bulan atau sebagaiannya pada malam hari sehingga (ا

timbul kegelapan bumi antara matahari dan bulan.

Hukum Shalât Gerhana Shalât gerhana matahari dan bulan adalah sunnah mu'akkad menurut para Fuqâhâ’ berdasarkan firman Allâh :

مس ولا !لقمر واس�دوا !ل�ه مس والقمر لا ¦س�دوا !لش� oته ا!ل�یل والن�هار والش� ن كنتم ومن +4�ذي Xلقهن� ا ال

ه تعبدون �o 4 ا

Dan di antara tanda-tanda kekuasaan-Nya ialah malam, siang, matahari dan bulan. Janganlah (kamu) sembah matahari maupun bulan, tapi sembahlah Allâh yang menciptakannya, jika ialah yang kamu hendak sembah. (QS. Fushshilat (41) :37).

Maksud ayat di atas, shalâtlah ketika terjadi gerhana matahari dan bulan. Nabi bersabda,

dari Abû Bakar �:

ذا ر+�یتموهما فصل�وا وادعوا4مس والقمر لا ینكسفان لموت +��د فا ن� الش� 4

ح1�ى �كشف ما -كم ا"Sesungguhnya matahari dan bulan merupakan sebagian dari tanda-tanda kekuasaan Allâh. Gerhana matahari dan bulan tidak terjadi lantaran mati atau hidupnya seseorang. Akan tetapi apabila kalian melihat gerhana, lakukanlah shalât dan berdoa sehingga hilang kegelapan yang menyelimutimu" (Shahîh Bukhârî- Bab Shalât ketika Gerhana Matahari)

Page 238: Ringkasan Fiqh shalât - MRKR

237

Shalât sunnah gerhana dianjurkan bagi setiap orang yang mempunyai kewajiban shalât wajib, laki-laki atau perempuan, baik sedang berada di tempat maupun tengah dalam perjalanan, sebab Rasûlullâh melaksanakan shalât gerhana matahari berdasarkan riwayat Syaikhani (Bukhârî dan Muslim) dan shalât gerhana bulan menurut riwayat Ibnu Hibbân dalam Kitâb nya, al-Tsiqat. Shalât gerhana hendaknya dihadiri pula oleh anak-anak dan orang yang sudah tua. Bahkan orang sudah wajib Jum'at diperintahkan agar menghadirinya, sebagaimana terhadap shalât Jum'at dan kedua hari raya saja.

Shalât gerhana tanpa adzan dan Iqâmat, dianjurkan menyuarakan: » جامعة

ة

لا لص

»ا "mari

shalât berjamaah."

Shalât gerhana dilaksanakan secara berjamaah atau perorangan, baik dengan suara rendah atau nyaring, disertai khutbah atau tidak. Akan tetapi lebih baik bila shalât gerhana itu dilaksanakan di masjid dan berjamaah sebagaimana yang dilakukan Nabi .

Shalât gerhana tidak perlu ada izin dari imam/pemimpin, sama halnya dengan shalât Istisqâ’.

Sebelum shalât, di-sunnahkan untuk mandi sebagaimana untuk shalât Jum'at dan kedua hari raya., sebab shalât gerhana merupakan shalât sunnah yang diperintahkan agar dilaksanakan secara berjamaah, disertai khutbah menurut mazhab Syâfi’î atau disertai nasihat menurut Mâlikî.

Pada masa Rasûlullâh , pernah terjadi gerhana matahari dan bertepatan dengan kematian putera beliau, Ibrâhîm. Masyarakat berkomentar dan menghubungkan gerhana tersebut dengan kematian Ibrâhîm tersebut. Kerana pendapat yang keliru itu, maka Rasûlullâh bersabda:

-راهیم فقال سمعت المغ@رة - 4-راهیم فقال الن�اس ا6كسفت لموت ا

4مس یوم مات ا ن شعبة یقول ا6كسفت الش�

�ه صل�ى �ه لا ینكســفان لمــو رسول ا!ل مس والقمر +یتان من +oت ا!ل 4ن� الش��م ا ت +��ــد ولا لحیاتــه ا!له �لیه وسل

�ه وصل�وا ح1�ى ین�لي ذا ر+�یتموهما فادعوا ا!ل4 فا

Saya mendengar dari Mughîrah bin Syu'bah � yang bercerita mengenai gerhana matahari ketika meninggalnya Ibrâhîm bin Muhammad , maka orang-orang berkata: gerhana ini karena meninggalnya Ibrâhîm (bin Muhammad ) !, maka Rasûlullâh bersabda: "Sesungguhnya matahari dan bulan itu kedua-duanya adalah sebagian dari tanda-tanda kebesaran Allâh. Tidaklah terjadi gerhana karena matinya seseorang dan tidak pula kerana lahirnya. Apabila kamu telah menyaksikannya maka berdoa-lah kepada Allâh dan shalâtlah kamu hingga cuaca telah terang kembali."(Shahîh Bukhârî – Bab Doa dalam shalât gerhana) Waktu Pelaksanaan Shalât Gerhana Shalât gerhana dilaksanakan ketika terjadi gerhana matahari atau gerhana bulan. Bagaimana hukumnya shalât gerhana dilakukan pada waktu-waktu yang dilarang untuk melaksanakan shalât? Jumhur mengatakan tidak boleh, sebab waktu-waktu tersebut merupakan ketentuan untuk semua jenis shalât.

Sedangkan Mazhab Syâfi’î mengatakan shalât gerhana matahari atau bulan dapat dilaksanakan pada semua waktu, sebab shalât gerhana termasuk shalât yang mempunyai sebab. Shalât gerhana matahari berakhir apabila seluruh yang menyelimuti matahari telah hilang, atau matahari itu sendiri telah terbenam atau boleh melaksanakan shalât pada waktu-waktu tersebut, sebab hadîts yang menerangkan tidak bolehnya shalât pada lima waktu tersebut khusus menyangkut shalât nâfilah.

Menurut Hanafî dan Hanbalî, waktu shalât gerhana matahari adalah setiap waktu yang dianjurkan untuk dilaksanakannya seluruh shalât selain waktu makruh, sebab melaksanakan shalât sunnah atau wajib pada waktu makruh adalah makruh. Dan mereka berpendapat diganti dengan membaca tasbîh.

Page 239: Ringkasan Fiqh shalât - MRKR

238

Mazhab Mâlikî mempunyai 3 (tiga) pendapat : 1. Shalât dilaksanakan pada waktu selain pada waktu yang dimakruhkan atau waktu yang

diperboleh kan untuk shalât nâfilah/sunnah demikian riwayat yang dimuat dalam Kitâb al-Mudawwanah (Syarh Kitâb Al Muwattha').

2. Shalât tidak boleh dilaksanakan sesudah matahari tergelincir (zawâl) ke barat, karena disamakan dengan shalât Id

3. Shalât pada segala waktu (kapanpun gerhana itu terjadi), menurut riwayat di luar al-Mudawwanah, sekalipun sudah tergelincir, shalât gerhana tetap dilaksanakan ketika itu dan dapat pula dilaksanakan setelah Ashar.

Shalât gerhana bulan (Khusûf ), sunnah diulang-ulang sehingga bulan kelihatan terang benderang atau bersembunyi di balik ufuk atau hingga terbit fajar. Apabila salah satu dari ketiga batas tersebut sudah terlihat, maka shalât tidak perlu lagi.

Tata cara Shalât Gerhana Membaca basmalah dan berniat dengan lafadz : (Niat Shalât Gerhana Matahari)

ن�ة Dي س مس) +kصل �ه تعالى ركعت@ن الكسوف(الش� ماما(مp>موما) !ل4تقhل القhلة +�دائا ا Dر - مسLه +�ك� ا!ل

Usallî sunnatal kusûfis syamsi rak‘atain mustaqbilal qiblati adâ-an imâman (ma’mûman) lillâhi ta‘âlâ- Allâhu Akbar. Saya berniat shalât Kusûf (gerhana matahari) dua Rakaat dengan menghadap kiblat, ada' dan sebagai (Imam/Ma'mum) karena Allâh Ta’âlâ.

(Niat Shalât Gerhana Bulan)

ن�ة Dي س �ه تعالى الخسوف(القمر) +kصل ماما(مp>موما) !ل4تقhل القhلة +�دائا ا Dه - ركعت@ن مس�ر ا!لLك�+

Usallî sunnatal khusûfil qamari rak‘atain mustaqbilal qiblati adâ-an imâman (ma’mûman) lillâhi ta‘âlâ- Allâhu Akbar.

Saya berniat shalât Khusûf (gerhana bulan) dua Rakaat dengan menghadap kiblat , ada' dan sebagai (Imam/Ma'mum) karena Allâh Ta’âlâ

Kemudian dilanjutkan dengan shalât dua rakaat dengan salah satu cara berikut (sesuai dengan pendapat para Imam Mazhab, pilih yang sesuai untuk anda): 1. Dikerjakan dengan dua rakaat sebagaimana shalât sunnah biasa. 2. Dikerjakan dua rakaat, yang pada setiap rakaat ruku'nya dilakukan dua kali, yaitu sesudah

membaca Al Fâtihah dan surat, kemudian ruku', bangun i'tidal, membaca Al Fâtihah dan membaca surat lagi, kemudian ruku' yang kedua. Kemudian i'tidal lagi dengan thuma'ninah, kemudian sujud yang pertama, duduk antara dua sujud, lalu sujud yang kedua, kemudian bangkit berdiri untuk rakaat yang kedua. Pada rakaat yang kedua, ruku' dilakukan dua kali seperti pada rakaat yang pertama. Kemudian diakhiri dengan tahiyyat dan salam.

3. Dikerjakan dengan dua rakaat, tetapi pada tiap-tiap rakaat dilakukan 3 (tiga) kali ruku dan dua kali sujud.

4. Dikerjakan dua rakaat, tetapi tiap-tiap rakaatnya dilakukan empat kali ruku dan 2(dua) kali sujud.

Setelah shalât dilakukan khutbah seperti pada shalât hari raya (sebagaimana pendapat tiga imam mazhab selain Hanafî). Isinya adalah hal-hal yang bermanfaat, seperti anjuran ber-taubat, sedekah, persatuan, amar ma'ruf nahi munkar; dan juga mengenai gerhana itu sendiri.

ا كسف �ه قال لم� �ــه صــل�ىعن عبد ا!ل�ه -ن عمرو +�ن ــمس �لــى عهــد رســول ا!ل 4ن� ت الش��م نــودي ا ا!لــه �لیــه وســل

لاة Uامعة فركع الن�ب(ي� صل�ى ا!له �لیه وسل�م ركعت@ن في س�دة ثم� قام فركع ركعت@ن فــي ســ�دة ثــم� Uلــس الص� �ه عنها ما س�دت سجودا قط� كان +�طول م[هاثم� Uل مس قال وقالت �اÎشة رضي ا!ل ي عن الش�

Dari Abdullâh bin Amr bin Ash �. berkata; "Ketika terjadi gerhana di masa Rasûlullâh maka diserukan: "Ash-shalâtu jâmi'ah (mari shalât berjamaah)". Kemudian (di dalam shalât) Nabi

Page 240: Ringkasan Fiqh shalât - MRKR

239

Muhammad ruku' dua kali dalam satu rakaat. Pada rakaat kedua Nabi Muhammad ruku' dua kali pula. Kemudian duduk dan selesai. Matahari sudah terang kembali. ‘Âisyah berkata: "Belum pernah saya sujud lama, seperti lamanya sujud shalât gerhana itu." (Shahîh Bukhârî dan Muslim).

Tabel tertib (Tata Cara) Shalât Sunnah Gerhana

#1

(berdiri) Niat, Takbiratul Ihrâm

Berniat untuk shalât Sunnah Kusûf atau Khusûf

Doa Iftitah, Al Fâtihah (ةwسورة الفات), م@ن+ - -, Surat Al 'Ala ( ح اســم ب Dســك ا���لى - (رب ا!ل�ه +�كLر

Ruku' ي العظیم وبحمده) بwان رب Dس(3x) I'tidal ه لمن حمده� ــماوات ومــلء ا��رض , سمع ا!ل �نا !ك الحمــد مــلء الس� رب

- ن شيء بعد م وملء ما ش�ت Berdiri lagi

Al Fâtihah (ةwسورة الفات), مــ@ن+ - -, Surat Al Ghâsyîyah ( هــل +��ك �ــدیثیة Dالغاش ) - �ه +�كLر - ا!ل

Ruku' lagi ي العظیم وبحمده) بwان رب Dس(3x) I'tidal lagi ه لمن حمده� ــماوات ومــلء ا��رض , سمع ا!ل �نا !ك الحمــد مــلء الس� رب

- من شيء بعد وملء ما ش�ت Sujud ي ا���لى وبحمده) بwان رب Dس(3x) - رLه +�ك� ا!لDuduk رنــي وارزق[ــي وارفعLUواهــدني و�ــاف[ي نــيرب اغفــر لــي وارحمنــي وا

�ه +�كLر - واعف عني -ا!لSujud ي ا���لى وبحمده) بwان رب Dس(3x) - رLه +�ك� -ا!ل

#2

(berdiri untuk Rakaat ke 2) Al Fâtihah (ةwسورة الفات), م@ن+ - -, Surat As-Syams ( اهاwــمس وضــ - (والش�

ه +�كLر ا!ل� - Ruku' ي العظیم وبحمده) بwان رب Dس(3x) I'tidal ه لمن حمده� ــماوات ومــلء ا��رض , سمع ا!ل �نا !ك الحمــد مــلء الس� رب

�ه +�كLر -من شيء بعد وملء ما ش�ت ا!لBerdiri lagi

Al Fâtihah (ةwسورة الفات), م@ن+ - -, Surat Al Insyirah

- (ألم نشرح لك صدرك ) ا!ل�ه +�كLر - Ruku'lagi ي العظیم وبحمده) بwان رب Dس(3x) I'tidal lagi ه لمن حمده� ــم , سمع ا!ل �نا !ك الحمــد مــلء الس� اوات ومــلء ا��رض رب

�ه +�كLر -من شيء بعد وملء ما ش�ت ا!لSujud ي ا���لى وبحمده) بwان رب Dس(3x) - رLه +�ك� -ا!لDuduk رنــي وارزق[ــي وارفعنــيLUاف[يواهــدني و�ــ رب اغفــر لــي وارحمنــي وا

�ه +�كLر -واعف عني -ا!ل

Page 241: Ringkasan Fiqh shalât - MRKR

240

Sujud ي ا���لى وبحمده) بwان رب Dس(3x) - رLه +�ك� -ا!لDuduk Tasyahhud بــ(ي��هــا الن� لام �لیــك +�ی بات !ل�ه الس� ی لوات الط� الت�حی�ات المباركات الص�

ــالw@ن +�شــهد +�ن ورحمة ا!ل� لام �لینا و�لى عباد ا!ل�ه الص� ه و-ركاته الس��ــه, ا!ل�هــم� صــل دا رســول ا!ل لا� ا!ل�ه و+�شهد +�ن� محم�

4له ا

4ید� �لــىلا ا Dســ

د و د ، �لى محم� ید� محم� Dل س§ -ــراهیم و صل�یت كما+4ید� ا Dلــى ســ�

-راهیم، وMرك �لى4ید� ا Dل س§ ــد �لى+ ید� محم� Dید� �لــى و س Dل ســ§ +

د ، -راهیم و �لىMركت كمامحم�4ید� ا Dراهیم فــى �لى س-

4ید� ا Dل س§ +

�ك ن4 .حمید مجید العالم@ن ا

Salam ه�لام �لیكم ورحمة ا!ل الس�Dilanjutkan dengan Khutbah (kecuali mazhab Hanafî, tidak men-sunnahkan khutbah pada shalât gerhana)

Cabang masalah Shalât Gerhana menurut Empat mazhab:

No Cabang Masalah Hanafî/ ����ـــ�� Mâlikî/ ��ـــ��� Syâfi’î/ ��ـــ� �� Hanbalî/ ������ـــ�

1 Hukum Shalât gerhana Sunnah Muakkad (secara berjamaah atau munfarid)

2 Jumlah Rakaat/ Kaifiyah/ tata-cara Shalât

dua Rakaat seperti shalât Shubuh

dua Rakaat dimana setiap rakaat dua kali berdiri, dua kali ruku' dan dua kali sujud

3 Surat dibaca secara Sirr/-berbisik atau Jahr/keras

Sirr (suara berbisik) seperti Shalât Sunnah Rawâtib Jahr (dengan keras) seperti shalât shubuh

4 Sunnah dengan Khutbah atau tidak ?

Tidak Sunnah Sunnah dengan dua khutbah (Pendapat Hanbalî juga ada yang mengatakan –tidak sunnah)

5 Waktu Pelaksanaan Saat diboleh-kannya shalât sunnah

Sama dengan shalât Id (Dhuhâ hingga zawal) lihat: dua pendapat lainnya

Boleh kapan saja (meski-pun waktu tahrîm)

Saat diboleh-kannya shalât sunnah

6 Bila ada gempa, petir, angin ribut dll. Perlu shalât atau tidak?

Tidak disunnahkan Perlu dan hendaknya dengan ber-jamaah

۞