responsi sindrom nefrotik

Upload: felix3264harianto

Post on 05-Nov-2015

64 views

Category:

Documents


1 download

DESCRIPTION

Responsi Sindrom Nefrotik

TRANSCRIPT

BAB IPENDAHULUAN

Sindrom nefrotik (SN) merupakan salah satu manifestasi klinik glomerulonefritis (GN) yang ditandai dengan edema anasarka, proteinuria masif 3.5 g/dl/24 jam, hiperkolesterolemia (total kolesterol > 10 mmol/l), dan hipoalbunemia (serum albumin < 25 g/l). Pada proses awal atau SN ringan untuk menegakkan diagnosis tidak semua gejala tersebut harus ditemukan. Proteinuri masif merupakan tanda khas SN, tetapi pada SN yang berat yang disertai kadar albumin serum rendah, ekskresi protein dalam urin juga berkurang, proteinuria juga berkontribusi terhadap berbagai komplikasi yang terjadi pada SN. Hipoalbuminemia, hiperlipidemia dan lipiduria, gangguan keseimbangan nitrogen, hiperkoagulabilitas, gangguan metabolisme kalsium dan tulang serta hormon tiroid sering dijumpai pada SN. Umumnya pada SN fungsi ginjal normal kecuali sebagian kasus yang berkembang menjadi penyakit ginjal tahap akhir.1,2,3 Kondisi proteinuri yang berat, hematuri, hipoalbumniemia, hiperkolesterolemia, edema dan hipertensi yang tidak terdiagnosa atau tidak teratasi akan berkembang secara progresif menjadi kerusakan gromeruli yang akan menurunkan Laju Filtrasi Gromerulus (LFG) yang akhirnya menjadi gagal ginjal. Penyakit ini terjadi tiba - tiba terutama pada anak-anak, biasanya berupa oliguria dengan urin berwarna gelap, atau urin yang kental akibat proteinuria berat. Pada dewasa yang jelas terlihat adalah edema pada kaki dan genitalia.4 Di Amerika Serikat Insiden sindrom nefrotik dengan nefropati diabetik adalah yang paling umum dan sejak PGTA karena nefropati tersebut mencapai rata-rata 100 kasus perjuta populasi, kasus SN tersebut mencapai rata-rata 50 kasus perjuta populasi.5

BAB IITINJAUAN PUSTAKA

2.1 DefinisiSindrom Nefrotik (SN) merupakan salah satu gambaran klinik penyakit gromerular yang ditandai dengan proteinuri masif 3.5 g/dl/24 jam, disertai dengan edema anarsaka, hiperkolesterolemia (total kolesterol > 10 mmol/l), hipoalbunemia (serum albumin < 25 g/l), dan hiperkoagulabilitas.1,2,3

2.2 Klasifikasi dan EtiologiSindrom nefrotik pada anak-anak / infantil.Sindrom nefrotik infantil adalah sindrom nefrotik yang terjadi pada usia tiga bulan sampai satu tahun, sedangkan jika terjadi sebelum usia tiga bulan disebut sebagai sindrom nefrotik kongenital. Indonesia dilaporkan ada enam per 100.000 anak per tahun menderita sindrom nefrotik.a. Sindrom nefrotik infantilSangat jarang ditemukan, sindrom ini dapat disebabkan nail patella syndrome, pseudohermaphroditism, XY gonadal disgenesis, tumor Wilms, intoksikasi merkuri, sindrom hemolitik uremik, dan infeksi seperti sifilis, virus sitomegalo, hepatitis, rubela, malaria, dan toksoplasmosis. Prognosis sindrom nefrotik infantil umumnya buruk tetapi masih lebih baik daripada prognosis sindrom nefrotik kongenital.6b. Sindrom nefrotik kongenital.Merupakan penyakit familial, timbul dalam beberapa hari/ minggu setelah lahir. Biasa menimbulkan kematian sebelum bayi berusia satu tahun.6Sindrom nefrotik pada dewasa: a. Sindrom nefrotik primer (Sebagian besar tidak diketahui sebabnya). Glomerulopati membranosaJarang menjadi penyebab SN pada anak tetapi sering pada dewasa (30%-40%). Tipe ini bermanifestasi pada 75% pasien sebagai proteinuria dan pada 50% pasien dapat ditemukan hematuria mikroskopis. Pada biopsi renal, kelainan yang khas pada tipe ini ialah terlihat adanya penebalan membran basalis. Kelainan ini jarang memberikan respon terhadap steroid dan prognosis mortalitas lebih kurang 50%.6,7

Gambar 1: Histopatologi Glomerulonefritis Membranosa8 Glomerulopati kelainan minimalMerupakan penyebab utama SN anak-anak terutama pada usia 4 8 tahun (80%), Pada dewasa hanya 20%. Dengan mikroskop biasa tidak tampak kelainan yang jelas pada glomerulus sedangkan pada mikroskop elektron dapat dilihat penonjolan sel epitel kapiler glomerulus yang mengalami pendataran. Fungsi ginjal biasanya tidak banyak terganggu dan tidak ada hipertensi.6,7 Penampakan yang tidak biasa yaitu hipertensi (30% pada anak-anak dan50% pada dewasa), hematuri (20% pada anak-anak dan 30% pada dewasa) dan penurunan fungsi ginjal (kurang dari 5% pada anak-anak dan 30% pada dewasa). Prognosis kelainan ini relatif paling baik. Pengobatannya ialah dengan pemberian steroid. Sering mengalami remisi spontan, akan tetapi sering pula kambuh.4,6,7 Glomerulonefritis membranoproliferatifBiasa ditemukan pada anak besar dan orang dewasa muda. Perjalanan penyakit progresif lambat, tanpa remisi dan berakhir dengan payah ginjal. Tipe ini dapat bermanifestasi dengan komponen nefritik maupun nefrotik. Ciri khasnya adalah kadar komplemen serum yang rendah.6,7

Gambar 2: Glomerulonefritis membranoproliferatif, penipisan membran basal kapiler perifer telah ditandai dengan pewarnaan trichrome masson.8 Glomerulosklerosis fokal segmentalTipe ini terjadi pada sepertiga kasus sindrom nefrotik pada orang dewasa. Tipe ini bermanifestasi sebagai proteinuria, hipertensi, insufisiensi funsi ginjal, serta mungkin hematuria. Glomerulosklerosis fokal segmental secara klasik dideskripsikan sebagai suatu proses sklerosis yang mengenai kurang dari 50% bagian glomerulus.7b. Glomerulonefritis sekunder akibat: Infeksi: HIV, hepatitis virus B dan C, sifilis, malaria, skistosoma tuberkulosis, lepra. Keganasan Adenokarsinoma paru, kanker payudara, kolon, bronkus, limfoma hodgkin, myeloma multiple, dan karsinoma ginjal Penyakit jaringan penghubungLupus eritematosus sistemik, arthritis reumatoid, MCTD (Mixed connective tissue disease)

Efek Obat dan Toksin Obat Anti Inflamasi Non Steroid (OAIN), preparat emas, penisilamin, kaptopril, heroin Lain-lain: Diabetes mellitus, amiloidosis, pre-eklampsia, rejeksi. alograf kronik, refluks vesikoureter, atau sengatan lebah.1,7Sindrom nefrotik primer atau idiopatik merupakan penyebab yang paling sering. Perlu diingat bahwa penyakit-penyakit yang termasuk golongan nefrosis, yaitu penyakit yang terutama mengenai tubulus, tidak ada yang menyebabkan SN.1,7Tabel Frekwensi Relatif Penyakit Glomerular Primer pada Anak-anak dan Dewasa

Penyakit

Anak-anakDewasa 60 tahunDewasa 60 tahun

Glomerulopati kelainan minimal762020

Glomerulosklerosis fokal segmental 8152

Glomerulopati membranosa74039

Glomerulonefritis membranoproliferatif4

70

Penyakit lain51839

Tabel 1. Tabel Frekwensi Relatif Penyakit Glomerular Primer pada Anak-anak dan Dewasa8

2.3 PatofisiologiSindrom nefrotik dapat terjadi karena perubahan struktur glomerulus yang dapat terjadi karena kerusakan permukaan endotel, kerusakan membrana basalis dan atau kerusakan podosit oleh beberapa faktor yang disebutkan diatas. Satu atau lebih mekanisme ini akan terjadi pada salah satu tipe SN.5

Gambar 3: Gambar Skematik Barier Glomeruler52.4 Manifestasi KlinisGejala utama yang ditemukan adalah:a. Proteinuria > 3.5 g/dl/24 jam hari pada dewasa atau 0.05 g/ kg BB/ hari pada anak-anak.b. Hipoalbuminemia < 25 g/ lc. Edema anarsaka, edema terutama jelas dikaki, namun dapat ditemukan edema muka, ascites dan efusi pleura.d. Hiperlipidemia. umumnya ditemukan hiperkolesterolemia (total kolesterol > 10 mmol/l).e. Hiperkoagulabilitas; yang akan meningkatkan risiko trombosis vena dan arteri.1,2,3Kadang-kadang tidak semua tidak semua gejala tesebut diatas ditemukan. Ada yang berpendapat bahwa proteinuria, terutama albuminuria yang masif serta hipoalbuminemia sudah cukup untuk menengakkan diagnosis SN.6a. ProteinuriaNefrotik diabetika adalah penyebab paling sering dari nefrotik proteinuria Proteinuria disebabkan peningkatan permeabilitas kapiler terhadap protein akibat kerusakan glomerulus. Dalam keadaan normal mambrana basalis glomerulus (MBG) mempunyai mekanisme penghalang untuk mencegah kebocoran protein. Mekanisme penghalang pertama berdasarkan ukuran molekul (size barrier) dan yang kedua berdasarkan muatan listrik (charge Barrier) pada SN keduanya terganggu. Proteinuria dibedakan menjadi proteinuria selektif dan non-selektif berdasarkan ukuran molekul protein yang keluar melalui urin. Proteinuri selektif apabila protein yang keluar terdiri dari molekul yang kecil misalnya albumin, sedangkan non-selektif apabila protein yang keluar terdiri dari molekul besar seperti immunoglobulin. Selektivitas proteinuri ditentukan oleh keutuhan struktur MBG.1,7,8b. Hipoalbuminemia Konsentrasi albumin plasma ditentukan oleh asupan protein, sintesis albumin hati dan kehilangan protein melalui urin. Pada SN hipoalbuminemia disebabkan oleh proteinuria masif dengan akibat penurunan tekanan onkotik plasma. Untuk mempertahankan tekanan onkotik plasma maka hati berusaha meningkatkan sintesis albumin. Peningkatan sintesis albumin hati tidak berhasil menghalangi timbulnya hipoalbuminemia. Diet tinggi protein dapat meningkatkan sintesis albumin hati, tetapi dapat mendorong peningkatan ekskresi albumin melalui urin. Hipoalbuminemia dapat juga terjadi akibat peningkatan reabsorbsi dan katabolisme albumin oleh tubulus proksimal.1,7c. EdemaEdema pada SN dapat diterangkan dengan teori underfill dan overfill. Teori underfill menjelaskan bahwa hipoalbuminemia merupakan faktor kunci terjadinya edema pada SN. Hipoalbuminemia menyebabkan penurunan tekanan onkotik plasma sehingga cairan bergeser dari intravaskuler ke jaringan intertisium dan terjadi edema. Akibat penurunan tekanan onkotik plasma dan bergesernya cairan plasma terjadi hipovolemi, dan ginjal melakukan kompensasi dengan meningkatkan retensi natrium dan air. Mekanisme kompensasi ini akan memperbaiki volume intravaskuler tetapi juga akan mengeksaserbasi terjadinya hipoalbuminemia sehingga edema semakin berlanjut.1,7Teori overfill menjelaskan bahwa retensi natrium adalah defek renal utama. Retensi natrium oleh ginjal menyebabkan cairan ekstraseluler meningkat sehingga terjadi edema. Penurunan LFG akibat kerusakan ginjal akan menambah retensi natrium dan edema. Kedua mekanisme tersebut ditemukan pada SN. Faktor seperti asupan natrium, efek diuretik atau terapi steroid, derajat gangguan fungsi ginjal, jenis lesi gromerulus, dan keterkaitan dengan penyakit jantung atau hati akan menentukan mekanisme mana yang lebih berperan.1,7,9Mekanisme underfill dapat dilihat pada gambar 4 dan Overfill pada gambar 5.

proteinuriaTekanan osmotik plasmaEDEMARetensi NaVolume plasmaSistem RAAhipoalbuminemiaADHRetensiANP N/Retensi air

Gambar 4: Skema mekanisme underfill 9

Defek tubulus primerRetensi NaVolume plasmaaldosteronTubulus resisten terhadap ANPANP ADH/NEDEMA

Gambar 5: Skema mekanisme Overfill 9

2.5 Komplikasia. Keseimbangan nitrogenProteinuri masif pada SN menyebabkan keseimbangan nitrogen menjadi negatif. Penurunan masa otot sering ditemukan (10% - 20%) tetapi gejala ini tertutup oleh gejala edema anasarka, dan baru tampak setelah edema menghilang.1b. Hiperlipidemia dan lipiduria Kadar kolesterol umumnya meningkat sedangkan trigliserid bervariasi dari normal sampai sedikit meninggi. Peningkatan kolesterol disebabkan peningkatan LDL ( Low Density Lipoprotein ), lipoprotein utama pangangkut kolesterol, LDL yang tinggi ini disebabkan gangguan pada homeostasis lipoprotein yang mengakibatkan peningkatan sintesis pada hati tanpa gangguan katabolisme. Lipiduria ditandai dengan akumulasi lipid pada debris sel cast seperti badan lemak berbentuk oval (Oval Fat Boddies) dan Fatty cast.1,7

c. HiperkoagulasiKelainan ini disebabkan oleh perubahan tingkat dan aktifitas berbagai faktor koagulasi intinsik dan ekstrinsik. Mekanisme hiperkoagulasi pada SN cukup komplek meliputi peningkatan fibrinogen, hiperagregasi trombosit dan penurunan fibrinolisis. Pada orang dewasa, trombosis pada vena lebih lebih sering terjadi sedangkan pada anak anak, trombosis lebih umum terjadi pada arteri.1,7d. Metabolism kalsium dan tulangVitamin D merupakan unsur yang penting dalam metabolisme kalsium dan tulang pada manusia. Vitamin D yang terikat protein akan diekresikan melalui urin sehingga menyebabkan penurunan kadar plasma. Kadar 25(OH)D dan 1,25 (OH)2D plasma juga ikut menurun sedangkan kadar vitamin D bebas tidak mengalami gangguan. Karena fungsi ginjal pada SN umumnya normal maka osteomalasi dan hipoparatiroidisme yang tak terkontrol jarang dijumpai.1e. InfeksiInfeksi pada SN terjadi akibat defek imunitas humoral, selular dan gangguan sistem komplemen. Penurunan kadar IgG, IgA, dan Gamma Globulin sering ditemukan pada pasien SN oleh karena sintesis yang menurun atau katabolisme yang meningkat dan bertambah banyaknya yang terbuang melalui urin. Jumlah sel T dalam sirkulasi berkurang yang menggambarkan gangguan imunitas seluler. Hal ini dikaitkan dengan keluarnya transferin dan Zinc yang dibutuhkan oleh sel T agar dapat berfungsi dengan normal.1,7f. Gangguan fungsi ginjalPenurunan volume plasma dan atau sepsis sering menyebabkan timbulnya nekrosis tubuler akut, mekanisme lain yang menjadi penyebab gagal ginjal akut adalah edema intrarenal yang menyebabkan kompresi pada tubulus ginjal.1

g. AnemiaPasien dengan proteinuria memiliki kemungkinan untuk kehilangan berbagai jenis protein, termasuk di antaranya protein pengikat. Dengan hilangnya transferrin melalui proteinuria dapat mengakibatkan anemia hipokromik mikrositer. Sedangkan dengan gangguan fungsi ginjal yang progresif dapat mengakibatkan anemia sebagai hasil dari sintesis eritropoetin yang menurun.7h. Komplikasi lainMalnutrisi kalori protein dapat terjadi pada pasien SN dewasa terutama apabila disertai proteinuri masif, asupan oral yang kurang dan proses katabolisme yang tinggi. Hipertensi tidak jarang ditemukan sebagai komplikasi SN terutama dikaitkan dengan retensi natrium dan air.1

2.6 Diagnosaa. Anamnesis:Bengkak seluruh tubuh, buang air kecil berbusa, lemas, kehilangan nafsu makan, identifikasi kemungkinan paparan toksin atau medikasi, faktor resiko paparan infeksi HIV atau hepatitis viral, riwayat diabetes, SLE (systemic lupus erithematosus), atau penyakit sistemik lainnya.b. Pemeriksaan fisik: Edema anasarka, hipertensi, Muehrckes band, dan asitesc. Laboratorium:Proteinuria masif 3.5 g/dl/24 jam, hiperlipidemia (total kolesterol > 10 mmol/l), hipoalbunemia (serum albumin < 25 g/l), lipiduria (oval fat bodies dan fatty cast).d. Pemeriksaan penunjangUrinalisis, ureum, creatinin, tes fungsi hati, profil lipid, elektrolit, gula darah, hemostasis, pemeriksaan imunologi, biopsi ginjal, protein urin kuantitatif.10,11Pada pemeriksaan analisis darah, kadar BUN dan kreatinin mungkin bisa atau tidak naik. Jika BUN dan kreatinin meningkat berarti pasien mempunyai penyakit gagal ginjal dan prognosisnya buruk. Biasanya ditemukan penurunan kalsium plasma. Diagnosis pasti melalui biopsi ginjal. Walaupun SN merupakan indikasi utama biopsi ginjal, namun ada pengecualian: anak berusia 1 tahun pubertas, biasanya jenis perubahan minimal dan responsif terhadap steroid. Biopsi perlu dilakukan untuk sindrom nefrotik kongenital.10,11

2.7 Diagnosa Bandinga. Edema non-renal : gagal jantung kongestif, gangguan nutrisi, edema hepatal, edema Quincke.b. Glomerulonefritis akutc. Lupus sistemik eritematosus.

2.8 Penatalaksanaana. Penatalaksanaan dietBelum ada konsensus yang mengatur diet yang optimal bagi pasien SN. Disarankan pemberian suplemen vitamin D bila dijumpai bukti defisiensi vitamin D. Pada SN dilakukan restriksi protein dengan diet protein 0,8 gram/kgBB ideal/hari + ekskresi protein urin dalam 24 jam. Bila fungsi ginjal menurun, diet disesuaikan hingga 0,6 gram/kgBB ideal/hari + ekskresi protein urin 24 jam. Diet rendah garam (Na < 2 g/hari) dan restriksi cairan pada edema. Diet rendah kolesterol < 600 mg/hari. Pasien diharuskan berhenti merokok.10,11b. Penatalaksanaan edemaDianjurkan tirah baring dan memakai stocking yang menekan, terutama untuk pasien usia lanjut. Hati-hati dalam pemberian diuretik karena adanya proteinuria berat dapat menyebabkan gagal ginjal atau hipovolemik. Harus diperhatikan dan dicatat keseimbangan cairan pasien, biasanya diusahakan penurunan berat badan dan cairan 0.5-1 kg/ hari. Dilakukan pengawasan terhadap kalium plasma, natrium plasma, kreatinin dan ureum. Bila perlu diberikan tambahan kalium. Diuretik yang biasa diberikan adalah diuretik ringan, seperti tiazid dan loop diuretiks (bumetanide, furosemid) dosis rendah dan dosisnya dapat ditingkatkan sesuai kebutuhan.10,11 c. Pengobatan proteinuria dengan penghambat ACE dan/ atau antagonis reseptor Angiotensin II. Penggunaan obat ini juga terbukti mengurangi resiko progresivitas kerusakan fungsi ginjal.10,11d. Pengobatan dislipidemia dengan obat golongan statin dengan kerja menurunkan kolesterol darah, misalnya lovastatin dengan indikasi pemberian obat seperti pasien dislipidemia pada umumnya.10,11e. Mencegah infeksiTidak ada data dari uji klinis mengenai pencegahan dan tatalaksana infeksi pada pasien dengan sindrom nefrotik. Namun, biasanya diberikan antibiotik profilaksis untuk menghindari infeksi, terutama terhadap infeksi pneumokokal.11f. Pertimbangkan obat anti koagulasiDilakukan pada pasien dengan sindrom nefrotik berat kecuali bila terdapat kontra indikasi. Terapi (biasanya warfarin) dipertahankan sampai penyakitnya sembuh. Terapi profilaksis dianjurkan pada pasien dengan resiko tinggi untuk mengalami tromboemboli.11g. Terapi untuk beberapa penyakit glomerulus primer yang menyebabkan SN sebagai berikut: Glomerulopati membranosaTerapi inisial selama 6 bulan dengan memberikan kortikosteroid (IV dan IO) dan agen alkil oral (siklofosfamid atau klorambusil) bergantian selang 1 bulan.10 Glomerulopati kelainan minimalPrednison atau prednisolon 1 mg/kgBB/hari (maksimal 80 mg) atau 2 mg/kgBB/2hari (maksimal 120 mg). Regimen diberikan selama minimal 4 minggu apabila remisi komplit tercapai. Apabila tidak tercapai dapat diberikan maksimal 16 minggu. Apabila remisi komplit tercapai lakukan tapering off kortikosteroid selama 6 bulan.10 Glomerulosklerosis fokal segmentalPrednison 1 mg/kgBB/hari (maksimal 80 mg) atau 2 mg/kgBB/2hari (maksimal 120 mg). Regimen diberikan minimal 4 minggu sampai maksimal 16 minggu atau sampai remisi komplit tercapai. Apabila remisi komplit tercapai lakukan tapering off kortikosteroid selama 6 bulan.10 Glomerulonefritis membranoproliferatifKortikosteroid dosis rendah (harian atau selang sehari) ditambah dengan siklofosfamid oral atau mycophenolate mofetil oral. Terapi ini diberikan selama 6 bulan.10Penatalaksanaan dengan penggunaan kortikosteroid masih kontroversial, namun direkomendasikan pada pasien yang tidak merespon terhadap terapi konservatif. 11

BAB IIILAPORAN KASUS

3.1 Identitas PasienNama : RMSUmur : 20 tahun Jenis Kelamin : Laki - lakiSuku : JawaBangsa : IndonesiaAgama : HinduPendidikan : Tamat SMAStatus Pernikahan : Belum MenikahPekerjaan : PelukisAlamat : Jalan Tukad Baru Timur No 17 DenpasarTanggal MRS : 9 Mei 2015Tanggal Pemeriksaan : 21 Mei 2015

3.2 AnamnesisKeluhan Utama : Bengkak di seluruh tubuhRiwayat Penyakit SekarangPasien datang ke UGD RSUP Sanglah Denpasar pada 9 Mei 2015 dengan keluhan bengkak di seluruh tubuh 1 hari sebelum masuk rumah sakit. Bengkak dikatakan timbul secara mendadak, diawali bengkak di area sekitar kelopak mata dan pipi kemudian diikuti bengkak di perut dan kedua kaki. Bengkak pertama kali diketahui timbul pada pagi hari sesaat setelah pasien bangun tidur (8 Mei 2015) dan semakin lama semkain meluas. Bengkak yang timbul tidak dirasakan nyeri, panas maupun terdapat kemerahan. Pasien mengatakan bengkak seperti ada air di dalamnya. Bengkak dikatakan tidak menghilang dengan aktivitas, perubahan posisi maupun istirahat dan cenderung bertambah berat pada pagi hari. Saat pemeriksaan pada tanggal 21 Mei 2015, keluhan bengkak pada seluruh tubuh tidak ditemukan pada pasien, hanya ditemukan adanya bengkak pada kedua kelopak mata pasien yang dikatakan oleh pasien sudah membaik. Selain keluhan bengkak pada seluruh tubuh, pasien mengeluhkan kencing sedikit sedikit dan berbuih tidak seperti biasanya sejak sejak 1 minggu sebelum timbul keluhan bengkak. Kencing dikatakan 3 4 kali dalam sehari dengan volume tidak lebih dari segelas AQUA setiap kencingnya. Warna kencing dikatakan kuning dan lebih pekat dari biasanya disertai dengan buih. Warna kemerahan pada kencing, nyeri daerah pinggang disangkal oleh pasien. Saat pemeriksaan, pasien mengatakan volume kencing sudah banyak dari sebelumnya, dengan frekuensi berkemih dan warna kencing sudah seperti normal. Keluhan bengkak seluruh tubuh dan kencing berwarna pekat serta berbuih dialami oleh pasien setahun sebelumnya. Dalam tahun terakhir, pasien mengatakan sudah sebanyak lima kali mengalami keluhan serupa. Pasien juga dikatakan sering mengeluh lemas sejak 1 minggu sebelum MRS. Keluhan lemas dikatakan dirasakan terus menerus dan tidak menghilang walaupun pasien telah beristirahat. Keluhan ini dikatakan dirasakan di seluruh bagian tubuh dan semakin memberat dari hari ke hari hingga akhirnya sehari sebelum MRS pasien kesulitan melakukan aktivitas sehari-hari. Pasien juga dikatakan sering mengeluh nyeri pada ulu hati yang memberat 1 minggu SMRS. Nyeri ulu hati dikatakan seperti ditusuk-tusuk dan terus-menerus dirasakan oleh pasien sepanjang hari. Tidak terdapat riwayat penjalaran nyeri ulu hati ke lengan sebelah kiri, leher, maupun punggung. Riwayat nyeri ulu hati ini juga tidak disertai dengan keluhan sesak nafas baik saat sedang atau tidak beraktivitas, sesak yang timbul pada malam hari, maupun sesak yang mereda dengan penggunaan bantal kepala saat tidur. Keluhan nyeri ulu hati ini dikatakan tidak membaik ataupun memburuk dengan makanan. Pasien juga menyangkal sering terbangun dini hari karena keluhan nyeri yang dideritanya. Keluhan ini dikatakan tidak diikuti dengan adanya mual namun tidak sampai muntah. Saat pemeriksaan, pasien mengatakan nyeri perut yang dialaminya telah membaik.Keluhan demam, sesak nafas dan keluhan lainnya disangkal oleh pasien.

Riwayat Penyakit DahuluPasien mengatakan sudah pernah mengalami keluhan yang sama seperti yang dirasakan sekarang. Keluhan serupa dirasakan terakhir kali setahun lalu dan pasien dirawat inap karena keluhan yang sama. Pasien mengatakan telah didiagnosis dengan sindrom nefrotik sejak tiga tahun lalu dan rutin berobat ke poliklinik RSUP Sanglah sejak saat itu. Dalam lima tahun sejak didiagnosis sindrom nefrotik, pasien mengatakan sudah sebanyak lima kali mengalami keluhan serupa. Riwayat penyakit lain seperti diabetes mellitus, hipertensi, kanker, infeksi kronis atau penyakit jantung disangkal oleh pasien. Riwayat dan gejala infeksi sebelum diagnosis sindrom nefrotik tiga tahun lalu seperti halnya demam, nyeri menelan, sakit tenggorokan, batuk dan pilek, sakit kuning disangkal oleh pasien. Riwayat adanya kemerahan terutama pada daerah pipi dan memburuknya gejala bengkak serta lainnya saat terkena matahari disangkal.Pasien mengatakan mendapat riwayat trauma, yakni terkena bola kaki saat sedang berlatih futsal tiga tahun lalu di daerah dada. Saat itu pasien mengatakan terdapat nyeri di daerah dada dan pasien segera dibawa di salah satu RS Swasta di Yogyakarta. Pasien mengatakan tidak ingat nama penyakit yang dikatakan oleh dokter pada saat itu. Oleh dokter pasien diberikan 2 macam obat, namun pasien mengatakan lupa nama obatnya. Satu jenis obat tersbut dikatakan diminum selama seminggu. Setelah meminum obat tersebut selama seminggu, pasien mengatakan muncul gejala bengkak dan kencing berbusa seperti saat ini. Pasien tidak ingat nama obat tersebut. Setelahnya pasien dibawa ke RS lain dan didiagnosis dengan sindrom nefrotik. Oleh dokter dikatakan, bengkak muncul karena meminum obat tersebut melebihi dosis yang seharusnya.Pasien mengatakan keluhan bengkak kambuh ketika pasien stres dan lupa meminum obat.

Riwayat PengobatanPasien saat ini mengkonsumsi obat obatan yang diberikan oleh dokter di poli RSUP Sanglah. Tiga tahun lalu, pasien mengatakan mengkonsumsi prednison saat muncul pertama kali, pasien lupa dosisnya, namun pasien mengatakan meminum selama 4 bulan yang mana terdapat penurunan dosis namun pasien lupa pada bulan keberapa, kemudian dihentikan oleh dokter. Sejak dua tahun lalu saat gejala nya kumat lagi hingga saat ini, pasien mengkonsumsi metilprednisolon dan siklosporin 1 x 100 mg (Sandimun ).

Riwayat KeluargaKeluarga pasien mengatakan tidak ada anggota keluarga yang mengalami keluhan yang sama seperti pasien. Di keluarga juga tidak ditemukan adanya riwayat penyakit lain seperti kencing manis, hipertensi, penyakit hati, ginjal, dan sakit jantung.

Riwayat SosialPasien saat ini belum menikah dan bekerja sebagai seorang pelukis di rumah kontrakannya di Denpasar. Pasien tinggal bersama ayahnya. Riwayat merokok dan mengkonsumsi alkohol dibantah oleh pasien.

3.3 Pemeriksaan FisikStatus PresentKeadaan Umum: Sakit sedangKesadaran: Compos MentisGCS: E4VMTekanan darah: 120/70 mmHg Nadi: 78 x/mntRespirasi: 1 8 x/mntSuhu aksila: 37,0 CBerat badan: 64 kgTinggi badan: 170 cmBMI: 22,8 kg/m2

Status GeneralMata:Konjungtiva pucat (-/-), Ikterus (-/-) , Reflek pupil (+/+), Edema palpebra (+/+) THTTelinga: Bentuk normal, Sekret tidak adaHidung: Bentuk normal, Sekret tidak adaTenggorokan: Tonsil T1/T1, Hiperemis (-), Faring hiperemis (-)

LeherJVP : PR + 0 cmH2OKelenjar getah bening: Tidak ditemukan pembesaranKelenjar parotis &tiroid : Tidak ditemukan pembesaran

Thorax: Simetris, retraksi (-)Jantung Inspeksi: Pulsasi iktus kordis tidak terlihatPalpasi: Iktus kordis tidak terabaPerkusi: Batas Kanan: Parasternal line dekstra Batas Kiri: Midclavicular line sinistra ICS V Batas Atas : Intercostal space II Auskultasi: S1 S2 tunggal, regular, murmur (-)Paru-paruInspeksi: Simetris saat statis dan dinamis, Palpasi: Vokal fremitus N/NPerkusi: Sonor +/+ +/+ +/+Auskultasi: Vesikuler +/+, Ronkhi -/-, Wheezing -/- +/+ -/- -/- +/+ -/- -/-

AbdomenInspeksi: Distensi (-), Auskultasi: Bising usus (+) Normal Palpasi: Hepar lien tidak teraba, ballottement ginjal (-), undulasi (-) Perkusi: Shifting dullness (-)Ekstremitas:Akral hangat + + Edema- - + + - -CRT < 2 detik

3.4Pemeriksaan PenunjangHasil Pemeriksaan Darah Lengkap (09-5-2015)TESHASILUNITNORMALKETERANGAN

WBC7,76x103/L4.10 11.00

%NE73,9%47.00 80.00

%LY16,6%13.00 40.00

%MO8,74%2.00 11.00

%EO0.164%0.00 5.00

%BA0,552%0.00 2.00

#NE5,24x103/L2.50 7.50

#LY1,18x103/L1.00 4.00

#MO0,620x103/L0.10 1.20

#EO0,012x103/L0.00 0.50

#BA0,039x103/L0.00 0.10

RBC5,27x106/L4.50 5.90

HGB15,4g/dL13.50 17.50

HCT45,0 %41.00 53.00

MCV85, 3fL80.00 100.00

MCH29,2Pg26.00 34.00

MCHC34,0g/dL31.00 36.00

RDW12,90 %11.60 14.80

PLT 392x103/L150.00 440.00

MPV\8,25fL6.80 10.00

Hasil Pemeriksaan Kimia Darah (09-5-2015)TESHASILUNITNORMALKETERANGAN

SGOT13,5 U/L11.00 33.00

SGPT15,9 U/L11.00 50.00

Albumin1,79g/dL3.40 4.80Rendah

Bun8,6mg/dL8.00 23.00

Creatinin0,74mg/dL0.70 1.20

Glukosa Darah Sewaktu87mg/dL70.00 140.00

Natrium144mmol/L136 -145

Kalium4,84mmol/L3,5 5, 1

Hasil Pemeriksaan Analisa Gas Darah (09-5-2015)PARAMETERNILAINILAI NORMALREMARKS

pH7,247,35 7,45Rendah

pCO24135 45 mmHgNormal

pO29580 100 mmHgNormal

HCO3-17,622 26 mmol/LRendah

TCO218,924,00-30,00 mmol/LRendah

BEecf(-)9,8(-)2,00-(+)2,00Rendah

SO2c96,0095 100%Normal

Hasil Pemeriksaan Urinalisis (09-5-2015)PARAMETERNILAISATUANREMARKSNILAI NORMAL

URINE LENGKAP

pH7-Normal5-8

Leukocyte25Leu/uL1+Negatif

NitriteNegative-NormalNegatif

Protein500,00mg/dL4+Negatif

Glucosemg/dLNormal

KetoneNegatifmg/dLNegatif

UrobilinogenNormalmg/dL1 mg/dL

BilirubinNegatifmg/dLNegatif

Erythrocyte250,00ery/uL5+Negatif

Specific Gravity1,0101,005-1,020

ColourBrownp.yellow-yellow

SEDIMEN URINE--

Leukosit4 6/lp = 1Non Reaktif

ASTO (Kualitatif)Negatif 2 g/dl

Rencana Diagnosis: Rencana Monitoring: Tanda tanda vital. Keluhan. Cairan keluar dan cairan masuk, UL @ 3 hari sekali, kimia klinik (natrium, kalium, albumin) @ 3 hari sekali, Darah lengkap, Lipid profileKIEDiet rendah garam dan rendah lemak

BAB IVPEMBAHASAN

Sindrom nefrotik adalah penyakit ginjal yang ditandai dengan adanya edema, proteinuria lebih dari 3 3, 5 gram/dl/24 jam atau pemeriksaan urin spot > 300 350 mg/mmol, hipoalbuminemia yang ditandai dengan adanya < 25 g/l dan adanya hiperlipidemia (kolesterol total > 10 mmol/l). Terdapat beberapa penyebab spesifik dari sindrom nefrotik, diantaranya penyebab primer yakni adanya kelainan spesifik yang terdapat pada ginjal dan penyebab sekunder yakni disebabkan karena penyebab sistemik lainnya di luar ginjal yang memiliki renal manifestasi. Secara keseluruhan, abnormalitas yang disebutkan di atas menghasilkan tanda dan gejala esensial dari cedera pada ginjal. Berikut pada pembahasan, akan dibahas lebih lanjut mengenai anamnesis terkait etiologi dan gejala, hasil pemeriksaan fisik dan hasil pemeriksaan penunjang, serta penatalaksanaan.

4.1Diskusi terkait EtiologiSecara garis besar penyebab dari sindrom nefrotik terbagi menjadi 2 yakni penyakit glomerular primer yang dikategorikan sebagai penyebab primer dan penyakit sistemik lain dan penyebab lain seperti halnya penggunaan obat obatan tertentu dalam jangka waktu tertentu.Terdapat beberapa penyebab utama dari sindrom nefrotik akibat kelainan primer pada ginjal yakni minimal change disease, focal segmental glomerulosclerosis (FSGS), membranous glomerulopathy dan membranoproliferative glomerulonephritis. Minimal changes disease adalah kelainan yang sering ditemukan pada anak anak, sedangkan membranous glomerulopathy paling sering ditemukan pada orang dewasa. Penyebab primer dari sindrom nefrotik hanya dapat ditegkkan berdasarkan diagnosis histopatologi, yakni melalui biopsi ginjal. Penyebab sekunder dari sindrom nefrotik yang paling sering ditemukan yakni penyakit sistemik berupa diabetic nefropati dan amiloidosis. Selain itu penggunaan obat obatan tertentu juga dikaitkan sebagai penyebab sekunder sindrom nefrotik.Tabel 2. Etiologi Sindrom Nefrotik oleh Penyebab Primer dan Sekunder Penyebab PrimerPenyebab Sekunder

Minimal Change Diseases Focal Segmental Glomerulosclerosis Membranous Glomerulopathy Membranoproliferative Glomerulonephritis Diabetes Mellitus Systemic Lupus Erythematosus Amyloidosis Kanker (myeloma dan limfoma) Obat obatanAntibiotik (Penisilinamine)NSAIDLithiumTamoxifen HIVHepatitis B dan CMicoplasmaSifilisMalariaInfeksi parasit (schistosomiasis, filariasis dan toxoplasmosis) Penyebab kongenitalSindrom AlportSindrom Kartegener

Pada kasus ini dari anamnesis dengan pasien didapatkan bahwa pasien dengan riwayat trauma akibat terkena bola di daerah dada lima tahun sebelumnya dan pasien mendapat dua jenis obat yang mana salah satu obat dikonsumsi selama seminggu. Setelah itu pasien mengeluh bengkak di seluruh tubuh dan kencing berbusa, dan oleh dokter di rumah sakit swasta di Yogyakarta dikatakan karena meminum obat tersbut muncul gejala bengkak dan kencing berbusa. Dalam hal ini terdapat beberapa obat obbatan yang diketahui dapat menyebabkan terjadinya sindrom nefrotik. Diantaranya adalah NSAID, penisilinamin dan obat obatan lain seperti tercantum pada tabel. Namun etiologi secara jelas belum dapat diketahui, dikarenakan penulis tidak mendapatkan data lebih rinci terkait riwayat trauma dan pengobatan saat itu, seperti halnya jenis obat dan dosis obat yang dikonsumsi. Selain hal tersebut, berdasarkan anamnesis yang dilakukan, pasien menyangkal adanya riwayat sistemik lain dan riwayat infeksi yang terkait dengan penyebab sekunder sindrom nefrotik. Pemeriksaan penunjang serologi HbsAg dan ASTO juga menyingkirkan adanya kemungkinan infeksi hepatitis B dan infeksi oleh bakteri jenis streptokokus. Untuk menyingkirkan penyakit lain yang menyebabkan sindrom nefrotik pada laki laki dewasa muda, usulan pemeriksaan lainnya dapat dilaksanakan.Untuk mengetahui etiologi pasti dari sindrom nefrotik dikaitkan dengan penatalaksanaan khusu terhadap penyakit yang mendasarinya. Mengacu pada tipe histopatologi yang paling sering pada orang dewasa adalah glomerulopati membranosa dan glomerulosklerosis fokal segmental, namun diperlukan pemeriksaan melalui tipe histopatologi untuk mengetahui jenis pastinya. Pada pasien ini sindrom nefrotik idiopatik (karena penyebab primer) maupun sekunder masih perlu digali lagi.

4.2Manifestasi KlinisGejala sindrom nefrotik yang khas ditemukan pada sebagian besar kasus adalah adanya edema, baik edema yang terlokalisir pada ekstrimitas bawah, pada daerah periorbital ataupun edema anarsaka. Edema pada pasien dengan sindrom nefrotik biasanya berawal dari adanya keluhan bengkak di daerah periorbital atau genital yang selanjutnya semakin meluas dan bermanifestasi menjadi ascites hingga yang paling berbahaya adanya efusi pleural hingga efusi pericardial. Karakteristik edema di daerah periorbital pada pasien sindrom nefrotik adalah semakin memberat saat pasien berbaring.. Selain keluhan edema, keluhan lain yang cukup khas untuk sindrom nefrotik adalah kencing berbusa / berbuih. Kondisi ini dikaitkan dengan adanya proteinuria. Keluhan lain yang mengikuti selain dua hal tersbut diatas adalah adanya penurunan nafsu makan dan pasien cenderung merasa kelelahan.Pada kasus ini, keluhan utama pasien yang menyebabkan pasien datang ke UGD RSUP Sanglah adalah keluhan bengkak pada seluruh tubuh, dimana pasien mengatakan bengkak terdapat pada kedua kaki, perut dan wajah. Bengkak dikatakan awalnya muncul di sekitar kelopak mata kemudian meluas ke perut dan kaki. Bengkak dikatakan sangat mengganggu dan membuat pasien kesulitan melakukan aktivitas. Bengkak juga disertai dengan kencing berbusa dan keluhan pasien merasakan sering kelelahan. Adanya keluhan bengkak saja belum dapat menegakkan diagnosis sindrom nefrotik. Anamnesis terkait keluhan bengkak pada pasien harus mampu mengeksklusi keluhan bengkak oleh karena penyebab lain, yakni bengkak yang disebabkan karena kelainan jantung (gagal jantung kanan), penyakit hati (sirosis heatis), infeksi dan malignansi lainnya, walaupun pada pasien keluhan bengkak periorbital terutama memberat pada pagi hari dapat menjadi gejala tipikal bengkak pada sindrom nefrotik. Pemeriksaan penunjang memegang peranan penting dalam diagnosis sindrom nefrotik.Pada pemeriksaan fisik ditemukan adanya edema periorbital kanan dan kiri serta tidak ditemukannya edema pada daerah lain. Tidak ditemukannya peningkatan JVP, tanda tanda penyakit liver kronis dapat mengeksklusi bengkak karena penyebab lain.Edema pada pasien ini dikaitkan dengan adanya hipoalbunemia, yakni kadarnya hanya dalam darah sebanyak 1,79 g/dl. Edema diketahui lebih parah terutama saat pasien baru bangun di pagi hari. Edema pada sindrom nefrotik merupakan manifestasi dari adanya hipoalbuminemia karena adanya protein loss dengan peningkatan retensi cairan dan garam yang juga dikaitkan dengan adanya mekanisme underfill dan overfill. Selain itu defek primer pada nefron dikaitkan dengan penyebab peningkatan retensi cairan dan sodium yang mengakibatkan terjadinya edema

4.3Pemeriksaan PenunjangPemeriksaan penunjang utama yang dapat menegakkan diagnosis sindrom nefrotik adalah pemeriksaan laboraorium diantaranya : urinalisi (urine dipstick) sebagai pemeriksaan semikuantitatif untuk mengetahui ada atau tidaknya proteinuria, tes esbach, pemeriksaan dengan urine spot untuk menghitung rasio kreatinin atau albumin dan kreatinin rasio, serum albumin untuk mengetahui ada atau tidaknya hipoalbuminemia dan mengetahui derajat hipoalbuminemia serta lipid panel untuk mengetahui ada tidaknya hiperlipidemia. Selain itu pemeriksaan lain yang cukup penting dilakukan diantaranya tes fungsi ginjal termasuk plasma kreatinin dan estimasi GFR untuk mengetahui fungsi ginjal dan skrining ada tidaknya penurunan fungsi terkait dengan komplikasi dari sindrom nefrotik, sedimen urin untuk melihat adanya sel atau cast), darah lengkap dan skrining koagulasi, elektrolit, tes fungsi hati untuk ekslusi adanya kelainan di hati, gula darah acak atau puasa, serologi HBV, HCV, HIV (skrining dan dilakukan sesuai indikasi) , profil imunologis terkait dengan penyakit penyakit autoimun yang sering menyebabkan sindrom nefrotik (ANA), USG ginjal dan biopsi ginjal. Pada kasus didapatkan dari hasil urinalisis pada awal MRS (9-5-2015), pasien dengan dipstick protein +4 dan dari hasil pemeriksaan protein esbach didapatkan adanya protein dalam urin sebanyak 3 g/dl, yang mana diinterpretasikan sebagai adanya proteinuria dan memenuhi kriteria untuk urin 24 jam sebanyak 3 3, 5gram/ 24 jam untuk sindrom nefrotik. Dari hasil kimia klinik ditemukan rendahnya kadar albumin dalam darah sebanyak 1,79 g/dl yakni adanya hipoalbuminemia. Dari hasil profile lipid didapatkan adanya peningkatan dari kolesterol total (534 g/dL), HDL (26 mg/dl), LDL (350 mg/dl) dan trigliserida (670 mg/dl). Adanya gambaran proteinuria lebih dari 3 3, 5gram/ 24 jam hipoalbuminemia yang ditandai dengan adanya < 25 g/l dan adanya hiperlipidemia (kolesterol total > 10 mmol/l) ditambah dengan adanya gejala bengkak dan didapatkannya edema periorbital dari pemeriksaan fisik sudah dapat menegakkan diagnosis sindrom nefrotikSelain pemeriksaan penunjang berupa laboratorium, pemeriksaan penunjang lainnya yang dilaksanakan adalah pemeriksaan radiologi berupa foto toraks dan abdomen dan USG abdomen khususnya jika ditemukan kelainan fungsi ginjal. Tujuan dilaksanakannya penunjang radiografi ini adalah untuk eksklusi adanya efusi pleura dan ascites. Pemeriksaan berupa biopsi ginjal masih menjadi kontroversi terkait kapan indikasi yang tepat untuk dilaksanakan biopsi. Karena biopsi dianggap diperlukan untuk mengetahui tipe histopatologis terhadap sensitivitas penggunaan steroid. Pemeriksaan foto thoraks dilaksanakan pada pasien ini dengan tujuan untuk mengeksklusi adanya efusi pleura.

4. 4 PenatalaksanaanPenatalaksanaan sindrom nefrotik hingga saat ini belum mempunyai guideline atau pedoman yang dapat diterapkan secara klinis. Penatalaksanaan didasarkan pada penelitian observasional terdahulu dan telaah kasus terdahulu. Hingga saat ini, penatalaksanaan sindrom nefrotik bertujuan untuk mengurangi edema yang timbul akibat adanya hipoalbuminemia, dengan penatalaksanaan farmakologis yang meliputi penggunaan diuretik, ACE inhibitors ; penggunaan obat obat penurun kolesterol seperti halnya statin, pengobatan dengan kortikosteroid dan terapi non farmokologis berupa retriksi cairan dan asupan sodium.Pada kasus ini, pasien diberikan penatalaksanaan berupa metilprednisolon 2 x 8 mg p.o, yang mana tujuan pemberian dari pengobatan steroid ini adalah untuk memperbaiki proteinuria yang timbul dan meningkatkan fungsi ginjal. Beberapa penelitian menyatakan penggunaan kortikosteroid dapat menginduksi remisi pada pasien dengan sindrom nefrotik terutama tipe minimal change disease yang paling responsive terhadap penggunaan kortikosteroid. Dalam kasus ini pasien telah menggunakan kortikosteroid hampir selama lima tahun setiap kambuh, awalnya pasien menggunakan prednison kemudian berpindah menjadi metilprednisolon. Dalam literatur lamanya waktu pemberian kortikosteroid tidak dijelaskan secara pasti, namun dikatakan lama penggunaannya minimal 12 20 minggu sejak awal keluhan, ada juga yang menyatakan selama 8 minggu setelah awal diketahui dengan sindrom nefrotik. Monitoring yang harus dilaksanakan pada pasien ini, dimana terkait dengan penggunaan kortikosteroid berulang dan dalam jangka waktu yang cukup panjang diantaranya monitoring terhadap tekanan darah (resiko hipertensi), Monitoring terhadap peningkatan berat badan, resiko katarak, resiko terjadinya infeksi termasuk di dalam resiko terjadinya gastropati karena penggunaan kortikosteroid yang mana terjadi pada pasien ini. Terapi imunosupresif lainnya yang diberikan pada pasien ini adalah berupa siklosporin. Penggunaan siklosporin sesungguhnya digunakan jika terapi dengan cyclosphospamide sebagai imunosupresif selain steroid gagal. Namun mengingat efek samping yang cukup besar dalam penggunaan cyclosphospamide terutama bagi pasien laki laki di usia pubertas (infertil dan azospermi), alopesia dan terjadinya neutropenia serta anemia maka bagi pasien yang ketergantungan kortikosteroid digunakan siklosporin. Dosis siklosporin pada pasien ini adalah 200 mg yang terbagi menjadi 2 kali pemberian. Sesuai telaah literature, dosis pemberian siklosporin yang dapat diberikan pada pasien dengan sindrom nefrotik adalah tiga mg/kg bb selama 8 minggu. Setelah itu pemberian harus dihentikan. Mengingat siklosporin adalah salah satu obat immunosupresan, monitoring terhadap kondisi tubuh pasien terhadap gejala lainnya diperlukan.Penggunaan diuretik berupa furosemid dalam kasus ini diperuntukkan untuk mengurangi edema yang terjadi. Pemberian sudah sesuai dengan teori yakni secara intravena mengingat absorpsi yang susah karena adanya intestinal edema. Spironolakton juga diberikan pada kasus ini dengan tujuan untuk meningkatkan kinerja loop diuretik yang terkadang dengan penggunaan tunggal nya tidak mampu untuk mengurangi edema. Monitoring hematokrit perlu dilaksanakan untuk mencegah adanya kemungkinan hemokonsentrasi akibat hilangnya banyak cairan. Selain itu monitoring terhadap urin output juga diperlukan. Secara sinergis kedua diuretik ini berfungsi menghambat reabsorpsi natrium di distal. Pemberian albumin pada pasien ini terkait dengan kondisi hipoalbuminemia yang bermanifestasi pada terjadinya edema karena tekanan onkotik yang rendah. Angiotensin receptor II antagonist yakni Inbersatrtan dalam hal ini diberikan dengan tujuan untuk mengurangi proteinuria tanpa memberikan efek menurunkan tekanan darah pasien. Penggunaan agen agen untuk mengurangi proteinuri berdasarkan litreratur biasanya digunakan secara kombinasi untuk dapat mencapai efektivitasnya. Selain penatalaksanaan terkait edema dan proteinuri, pemberian statin pada pasien ini ditujukan untuk pencegahan terjadinya resiko penyakit kardiovaskular.Diet yang disarankan pada pasien adalah diet rendah sodium, dimana asupan sodium dikurangi untuk mencegah retensi sodium lebih lanjut dengan retriksi satu hingga dua gram per hari. Pasien di berikan KIE untuk tidak mengkonsumsi makanan yang mengandung kandungan garam terlalu berlebihan, diet lemak juga perlu dilaksanakan untuk mencegah peningkatan kadar kolesterol terkait dengan resiko kardiovaskular yang mungkin terjadi. Asupan lemak diharapkan kurang dari 400 mg/ hari, pasien diharuskan untuk tidak mengkonsumsi makanan dengan bahan utama telur, mentega dan makanan berminyak dalam jumlah yang banyak. Retriksi cairan, maksimal 1500 ml/ hari untuk mencegah edema terutama pada saat edema fase akut.

BAB VKESIMPULAN

Sindrom Nefrotik (SN) merupakan salah satu gambaran klinik penyakit gromerular yang ditandai dengan proteinuria masif disertai hipoalbuminemia, edema anasarka, hiperlipidemia, lipiduria dan hiperkoagulabilitas. Pada pasien didapatkan adanya proteinuria. hipoalbuminemia. hiperlipidemia ditambah dengan adanya gejala bengkak dan didapatkannya edema periorbital dari pemeriksaan fisik sudah dapat menegakkan diagnosis sindrom nefrotik.Secara garis besar penyebab dari sindrom nefrotik terbagi menjadi 2 yakni penyakit glomerular primer yang dikategorikan sebagai penyebab primer dan penyakit sistemik lain dan penyebab lain seperti halnya penggunaan obat obatan tertentu dalam jangka waktu tertentu. Pasien ini mengkonsumsi beberapa obat obatan yang diketahui dapat menyebabkan terjadinya sindrom nefrotik. Diantaranya adalah NSAID dan penisilinamin. Namun etiologi secara jelas belum dapat diketahui, dikarenakan penulis tidak mendapatkan data lebih rinci terkait riwayat trauma dan pengobatan saat itu, seperti halnya jenis obat dan dosis obat yang dikonsumsi. Selain hal tersebut, berdasarkan anamnesis yang dilakukan, pasien menyangkal adanya riwayat sistemik lain dan riwayat infeksi yang terkait dengan penyebab sekunder sindrom nefrotik. Pemeriksaan penunjang utama yang dapat menegakkan diagnosis sindrom nefrotik adalah pemeriksaan laboraorium diantaranya: urinalisis (urine dipstick), tes esbach, pemeriksaan dengan urine spot, serum albumin serta lipid panel. Selain itu pemeriksaan lain yang cukup penting dilakukan diantaranya tes fungsi ginjal termasuk plasma kreatinin dan estimasi GFR, sedimen urin untuk melihat adanya sel atau cast), darah lengkap dan skrining koagulasi, elektrolit, tes fungsi hati untuk ekslusi adanya kelainan di hati, gula darah acak atau puasa, serologi HBV, HCV, HIV (skrining dan dilakukan sesuai indikasi), profil imunologis (ANA), USG ginjal dan biopsi ginjal. Pada kasus telah dilakukan urinalisis pada awal MRS (9-5-2015), pemeriksaan protein esbach, pemeriksaan kimia klinik, pemeriksaan profil lipid, serta pemeriksaan radiologi berupa foto toraks dan abdomen dan USG abdomen khususnya jika ditemukan kelainan fungsi ginjal. Tujuan dilaksanakannya penunjang radiografi ini adalah untuk eksklusi adanya efusi pleura dan ascites. Pemeriksaan berupa biopsi ginjal masih menjadi kontroversi terkait kapan indikasi yang tepat untuk dilaksanakan biopsi. Karena biopsi dianggap diperlukan untuk mengetahui tipe histopatologis terhadap sensitivitas penggunaan steroid. Pemeriksaan foto thoraks dilaksanakan pada pasien ini dengan tujuan untuk mengeksklusi adanya efusi pleura.Karena banyak komplikasi yang dapat timbul dari keadaan ini, misalnya penurunan massa otot karena gangguan keseimbangan nitrogen, hiperkoagulasi, osteoporosis, infeksi karena defek faktor - faktor imunologi, dan gangguan ginjal yang dapat berakhir menjadi penyakit ginjal tahap akhir (PGTA) maka penatalaksanaan secara dini akan sangat berguna untuk mencegah gagal ginjal. Penatalaksanaannya meliputi pemberian obat imunosupresif, penatalaksanaan edema, kortikosteroid, diuretik ringan, seperti tiazid dan furosemid dosis rendah, pemberian albumin intravena, antibiotik profilaksis, obat anti koagulasi, nutrisi tinggi kalori dan rendah garam, berhenti merokok. Pada kasus ini, pasien diberikan penatalaksanaan berupa metilprednisolon 2 x 8 mg p.o, terapi imunosupresif berupa siklosporin, diuretik berupa furosemid dan spironolakton, pemberian albumin, angiotensin receptor II antagonist yakni Inbersatrtan, serta diet rendah sodium dan retriksi cairan maksimal 1500 ml/ hari.

DAFTAR PUSTAKA

1. Prodjosudjadi W., 2006. Sindrom Nefrotik dalam Aru W.S., Bambang S., Idrus A., Marcellius S.K., Siti S. (Ed).Buku Ajar Ilmu Penyakit Dalam. Jilid III. Edisi IV. Jakarta, Pusat Penerbit Departemen Ilmu Penyakit Dalam FKUI. Hal. 1174 812. National Institute of Diabetes and Digestive and Kidney Disease., 2012. Nephrotic Syndrome in Adults. NIH3. Hull R.P., Goldsmith D.J.A., 2008. Nephrotic Syndrome in Adults. BMJ. Volume 336. Hal 1185-94. Braunwald E., 2008. Sindrom Nefrotic dalam Anthony S.F., Eugene B., Dennis L., Kasper S.L. H., Don L.L., Joseph L.,(Eds). Principles of Internal Medicine. Edisi 17, Volume II. Mc Graw Hill Companies Inc.1874-755. Cohen E.P., et al. 2015. Nephrotic Syndrome. www.emidicine.com. Akses: 20 Mei 2015.6. Himawan S., 1979. Patologi Anatomi . Jakarta. Balai Penerbit FKUI. Hal. 264-657. Keddis M.T., Karnath B.M., 2007. The Nephrotic Syndrome. Hospital Physician. Hal 25-30 8. Orth S.R.& Berhard E., 1998. The Nephrotic Syndrome. NEJM. Volume 338. No.17. Hal 1202-11.9. Effendi I.& Pasaribu R., 2006. Edema Patofisiologi dan Penanganan dalam Aru W.S., Bambang S., Idrus A., Marcellius S.K., Siti S. (Ed).Buku Ajar Ilmu Penyakit Dalam. Jilid III. Edisi IV. Jakarta, Pusat Penerbit Departemen Ilmu Penyakit Dalam FKUI. Hal.513-1510. Tanto C., Hustrini N.M., 2014. Sindrom nefrotik dalam Kapita Selekta Kedokteran Edisi Keempat Jilid II. Jakarta. Penerbit Media Aesculapius FKUI. Hal. 649-5111. Kodner C., 2009. Nephrotic Syndrome in Adults: Diagnosis and Management. AFP. Volume 80. No 10. Hal 1129-34

36