refleksi apologetis pada isu suap - sttb
TRANSCRIPT
STULOS 19/1 (JANUARI 2021) 32-64
REFLEKSI APOLOGETIS ETIS PADA ISU SUAP
DI KALANGAN ORANG KRISTEN
Vikalia Kaparang & Togardo Siburian
GKY Palembang; STT Bandung
[email protected]; [email protected]
Abstrak : Tulisan ini ini bertujuan untuk membahas isu suap di kalangan
orang Kristen dari perspektif iman injili. Praktik suap nyata dalam
berbagai aspek hidup, secara eksternal dan internal di dalam
gereja, sehingga memunculkan penilaian negatif tentang
kekristenan. Adapun riset yang dilakukan adalah studi literatur.
Melalui penilaian apologetis, mencoba menjernihkan worldview
Kristen yang secara tegas menolak semua bentuk praktik suap,
karena bertentangan dengan prinsip etis iman Kristen dalam
penggunaan uang sebagai mamonisme dan tidak bermuara kepada
Allah sebagai pemilik uang dan harta umat-Nya sendiri. Ini
bertentangan dengan karakter Allah, ketidakbergantungan kepada
Allah, dan menghina firman Allah.
Sejatinya, jaminan orang Kristen didasarkan pada pemeliharaan
Allah, sejalan dengan tanggung jawab pengelolaan kepemilikan
uang dalam hidup orang Kristen. Sehingga pada akhirnya, melalui
apologetika injili diharapkan dapat mengarahkan totalitas hidup
orang Kristen hanya dan bagi kemuliaan Allah.
Kata Kunci : apologetika, teisme, suap, uang, orang Kristen, iman.
Abstract : This paper aims to discuss the fact that bribery is corrupted among
Christians from an evangelical apologetic perspective. The practice
of bribery among Christians occurs in various aspects of life, both
externally and internally in the church. This condition gave rise to
negative reactions from non-Christians who stigmatized false
Christian teachings. The research conducted is literature study.
Evangelical apologetics is a means of solving the problem of bribery
among Christians, not just attacks or doctrinal deviations. Through
evangelical apologetics, clarifying the worldview that deviates from
the Christian faith which underlies the lifeview of bribery. Efforts to
affirm and proclaim the Christian faith which firmly reject all forms
of bribery, because it is contrary to the nature and character of
God, is independent of God and insults the Word of God. And
contrary to the principle of Christian life in the use of money, all of
which lead to the glory of God as the owner of money and the assets
STULOS: JURNAL TEOLOGI 33
of His own people. In fact, Christian life security is based on the
existence and care of God, in line with the responsibility of
managing the ownership of money in the Christian life. So, in the
end, through Evangelical Apologetics can direct the totality of
Christian life only and for the glory of God.
Keywords : apologetic, theism, bribery, money, Christian, faith
PENDAHULUAN
Suap merupakan salah satu bentuk tindakan korupsi yang telah menjadi
kultur etnik dan popular. Di mana praktik suap-menyuap bisa dengan
mudah dijumpai dalam kehidupan sehari-hari. Secara sederhana suap
dapat dikenal juga sebagai “sogok” atau “uang pelicin”.
Bukan hanya dalam dunia usaha, suap-menyuap terjadi juga di
dalam lingkungan orang beragama, misalnya seorang pengusaha yang
bergerak di bidang media televisi, sekaligus sebagai “senior pastor”
melakukan suap kepada dua pejabat publik komisioner Komisi
Pengawasan Persaingan Usaha (KPPU) untuk monopoli usaha.1 Kasus
suap juga terlihat pada seorang pengusaha Kristen yang memanipulasi
lahan milik Pemda, di mana KPK menemukan setumpuk bukti termasuk
penyogokan kepada hakim oleh pengacaranya.2 Di bidang hukum, suap
pun terjadi pada seorang pengacara Kristen di Medan. 3 Dalam dunia
politik, situasi ini lebih vulgar lagi; tim pemenangan caleg Kristen
menyiapkan “Uang atau barang sebagai uang panjar untuk memilih caleg
tersebut dan secara terang-terangan dibagi-bagikan di TPS, dengan
menggerakan para tokoh agama yang mempunyai basis massa besar.”4
Bahkan yang lebih ironi lagi, dalam kaitannya dengan peribadahan,
gereja harus melakukan suap kepada pihak tertentu demi melancarkan
1 Ini adalah percakapan informal dan informasi rinci disimpan penulis untuk
menghindari wasangka.
2 Lih.http://reformata.com/news/view/6116/orang-kristen-banyakterlibat
korupsi; (diakses 28 September 2015). 3 http://www.kompasiana.com/danielht/tragedi-o-c-kaligis-karena-ingkar-jan-
jinya-kepadaTuhan_55a5da5bb49373a41138eba (diakses 28 September 2015). 4 Patrick Jimrev Rimbing, “Money Politics Dalam Pemilihan Legislatif Di
Kota Manado,” Jurnal Politico (2015): 11 dalam ejournal.unsrat.ac.id.
34 REFLEKSI APOLOGETIS ETIS PADA ISU SUAP
peribadahan di hari Minggu. Berdasarkan hasil wawancara, gereja
memberikan sejumlah uang kepada oknum-oknum tertentu agar
peribadahan dapat berlangsung. Selain itu, dalam urusan internal gereja,
suap telah menjadi hal biasa untuk mendapatkan posisi struktural dalam
gereja lokal, seperti dalam pengangkatan penatua jemaat atau posisi
dalam kemajelisan gereja lokal.5
Fakta-fakta di atas memperlihatkan permasalahan suap di kalangan
orang Kristen merupakan perilaku akut dan “penyakit” kronis, yang telah
membudaya dalam kehidupan berbagai aspek sosial, politik, ekonomi.
Secara budaya ada tuntutan yang dianggap wajar dalam suap-menyuap
untuk memperoleh kuasa atau tuntutan survive dalam dunia kerja demi
kebutuhan hidup. Orang Kristen seakan-akan di tempatkan dalam
dilematis antara taat kepada Tuhan atau pada mamon. Untuk menghadapi
isu suap-menyuap ini dibutuhkan pertanggung jawaban iman Kristen
untuk menjernihkan ajaran dan mengatasi tuduhan “orang luar terhadap
kekristenan dan gereja-gereja.”
Pandangan dunia Kristen adalah suatu pola konseptual Kristen
untuk melihat apapun yang terjadi di depan mata dan kehidupan. Ia
adalah sudut pandang yang menyaring pemahaman seseorang pada
sesuatu pekerjaan dan tindakan, termasuk dalam bergereja. Teisme
Kristen memahami Allah adalah Penguasa ultima. Pandangan dunia
alkitabiah berkonflik terhadap pandangan dunia lain, misalnya: ateisme,
deisme, dan teisme terbuka sekalipun. Ajaran Kristen mendorong iman
Kristen untuk memilih taat kepada Allah atau takut kepada manusia;
percaya kepada Allah atau percaya kepada Mamon.
Dalam level worldview inilah apologetika Kristen kekinian harus
dilakukan dengan mengkaji suatu konsep filosofis, di mana pentingnya.
Studi apologetika adalah bentuk kajian pertangggunjawab iman Kristen
terhadap ideologi hidup tertentu, khususnya usaha menjernihkan
kesalahan cara pikir orang Kristen, sekaligus memproklamasikan ajaran
Kristen.
5 Percakapan personal secara tidak terstruktur kepada rekan hamba Tuhan di
suatu gereja pada 27 September 2015.
STULOS: JURNAL TEOLOGI 35
TERMINOLOGI “SUAP”
Secara umum, kata “suap” berasal dari kata Prancis, bribe yang berarti
bits, scraps, snatches, piecemeal.6 Secara literal berarti sedikit, potongan,
potongan-potongan. Dalam penggambaran metaforanya, memiliki makna
hal yang diberikan kepada pengemis atau memberikan sepotong roti
kepada pengemis.7 Sedangkan kamus yang lain menmberi arti “bribe”
sebagai ”a piece of bread given to a beggar; Picard brife, a fragment of
bread.” 8 Jadi, istilah suap ini memiliki makna suatu tindakan amal,
hadiah kecil, dimaksudkan kepada mereka yang kurang beruntung.
Sesuatu yang diberikan tanpa bermaksud untuk merusak, melainkan
mendukung yang lemah.9 Namun dalam perkembangannya, kata itu telah
bergeser maknanya menjadi memperoleh atau menawarkan sesuatu,
terutama uang untuk mendorong seseorang melakukan sesuatu yang
ilegal atau salah.10 Jika dibandingkan dengan pernyataan Samuel Johnson
yang memberi definisi, “bribe (French), “a reward given to pervert the
judgment or corrupt the conduct; bribery, the crime of giving or taking
rewards for bad practices; Bribe (v,a) to fee, hire, corrupt integrity, to
buy over, or gain by bribes; to give bribes, rewards, or hire, to bad
purpose.11 Dari definisi ini dapat dipahami bahwa suap adalah hadiah
yang diberikan untuk ‘memutarbalikan tindakan’, karena bentuk kata
kerjanya dinyatakan sebagai pembiayaan atau pembelian melebih-
lebihkan untuk mendapat keuntungan yang bertujuan buruk.
Pada abad ke 14, seorang penulis kontemporer Inggris bernama
Chaucher menggunakan kata “bribery” yang memiliki “ide pemerasan”
pada jumlah uang yang diminta. Oxford Advanced Learned Dictionary,
6 Coulin, Paperback French Dictionary (London: Collins, 1998), 49. 7 Dhirendra Verma, Word Origins: An Exhaustive Compilation of The Origin
of Familiar Words and Phrases (New Delhi: Sterling Paperbacks, 2008), 53. 8 Walter W. Skeat, The Concise Dictionary of English Etymology
(Cumberland: Wordsworth, 1993), 51. 9 Alexandra Addison Wrage, Bribery and Extortion (t.t.: Greerwood Pub.
Group, 2007), 8. 10 Dhirendra Verma, Word Origins: An Exhaustive Compilation of The
Origin of Familiar Words and Phrases, 53. 11 Samuel Johnson, The Synonymus Etymological And Pronouncing English
Dictionary (London: Walker, 1805), 47.
36 REFLEKSI APOLOGETIS ETIS PADA ISU SUAP
mengkategorikan “bribe” menjadi dua bentuk kata: noun, “a sum of
money or something valuable that you give or offer to somebody to
persuade them to help you especially by doing something dishonest” dan
verb: somebody (with something)-somebody (into doing something) to
give somebody money or something valuable in order to persuade them
to help you, especially by doing something dishonest. 12 Seiring
perkembangannya pada abad ke-16 M, arti suap telah terbalik berarti
menuntut uang, bukan orang yang memberikannnya. Tuntutan ini
berubah dari bujukan yang seharusnya sukarela untuk sesuatu yang
diminta menjadi ancaman atau kekerasan. 13 Jadi, adanya kandungan
ancaman atau kekerasan dari orang yang menuntut uang, bukan orang
yang memberikannya. Oleh karena itu, pengertian suap sekarang dibagi
menjadi dua istilah dalam bahasa Inggris, yaitu: a mouthful: mencari
sesuap nasi (figurative) to earn a living –to eat with the hand. Dan bribe:
dia mencoba menyuap seorang pejabat pemerintah.14
Dalam KBBI kata “suap” dimengerti secara literal berarti sesuatu
yang dipakai untuk memasukan makanan; namun secara legal
disetarakan dengan “sogok” yang bermakna digunakan untuk menyogok,
dalam hal ini ‘uang’.15 Namun, dalam Kamus Inggris-Indonesia makna
“legal” bribe sangat kuat dengan diterjemahkan sogok dalam arti: uang
sogok, suap, uang semir.16 Berdasarkan pengertian ini, maka dapat dilihat
bahwa dalam bentuk kata benda suap menunjuk pada benda bernilai yang
dipakai secara figuratif, sedangkan bentuk kata kerja menunjuk pada
tindakan yang melibatkan seseorang yang memberi dan menerima suap.
Kedua bentuk kata itu berfokus pada sifat legalnya yang berkonsekuensi
hukum dan kejahatan kriminal.
12 Hornby, Oxford Advanced Learned Dictionary (New York: University
Press, 2000), 145. 13 Roger W. Shuy, The Language Bribery Case (oxford: Oxford University
Pres, 2013), 13-14. Lih. juga Lindsay Johnston, Business Law and Ethics: Concepts,
Methodologies, Tools, and Applications (Hershey: IGI Global, 2010), 147. 14 Peter Salim, The Contemporary Indonesian-English Contemporary
Dictionary (Jakarta: Modern English Press, t.t.), 1113. 15 Kamus Besar Bahasa Indonesia (Jakarta: Balai Pustaka, 1988), 861. 16 John Echols, Kamus Inggris-Indonesia (Jakarta: Gramedia, 1967), 81.
STULOS: JURNAL TEOLOGI 37
SUAP-MENYUAP DAN GEREJA
Dalam Sejarah Gereja
Stowckell mengatakan bahwa suap adalah cara umum untuk
pengangkatan paus, setidaknya 40 paus diketahui telah melakukan suap.
Symmachus (498-514) memenangkan pertempuran suap untuk menjadi
Paus terhadap anti-paus saingan Lawrence.17 Gereja Nestorian pada abad
ke-9 melaporkan terjadi penyalahgunaan uang gereja dalam hierarki
gereja, di mana sistem sogokan dipakai sebagai jalan untuk memperoleh
jabatan uskup atau mendalangi urusan gereja.18 Di samping itu juga, suap
dilakukan agar terbebas dari penganiayaan Kaisar. Hal ini terjadi pada
masa pemerintahan Kaisar Decius (249-251). Kondisi yang megharuskan
orang Kristen mencoba memberikan uang suap kepada imam-imam kafir,
agar mereka mendapat sepucuk surat kesaksian bahwa mereka telah
mempersembahkan korban dupa di atas mezbah kaisar. Jika tidak maka
akibatnya akan dianiaya dan disiksa, sebab itu melakukan suap adalah
satu-satunya pilihan agar tetap hidup.19
Dalam Gereja Masa Kini
Pada masa kini pun suap dalam gereja tetap terjadi, menurut pengamatan
Makow bahwa: “Banyak dari gereja yang anda lihat sebenarnya
merupakan kantor bagi liberalisme. Merupakan sesuatu yang sulit bagi
pemuka agama untuk menolak setengah juta dolar jika itu disodorkan
sebagai sogokan, dan mereka bisa mendapatkan lebih banyak.
Sebenarnya, satu gereja yang saya ketahui mendapatkan sepuluh juta
dolar setahun! Jadi, mereka menerima sejumlah uang.”20
17 Antony Stockwell, A Corrupt Tree: an Encyclopaedia of Crimes
Committed by the Church of Rome Against Humanity and The Human Spirit, Vol. 1
(t.p.: Xlibris Corporation, 2013), 103. 18 Anne Ruck, Sejarah Gereja Asia (Jakarta: BPK Gunung Mulia, 2008), 71. 19 H. Berkhof & I. H. Enklaar, Sejarah Gereja (Jakarta: BPK Gunung Mulia,
2009), 47-48. 20 Henry Makow, Illuminati: Dunia Dalam Genggaman Perkumpulan Setan
(Jakarta: Ufuk Publishing House, 2015), 144..
38 REFLEKSI APOLOGETIS ETIS PADA ISU SUAP
Isu suap khususnya pada gereja di Indonesia pada masa kini, yaitu
suap demi izin membangun gereja dan beribadah. Dalam konteks
masyarakat Indonesia yang multi religi, di mana sikap superior dari
mayoritas pemeluk agama tertentu menimbulkan kesulitan untuk
meminta izin membangun tempat ibadah, sehingga tindakan suap
diperlukan, di kedua belah pihak. Fakta di lapangan, melakukan suap
agar dapat mendirikan gedung gereja dengan cara membuat surat
pernyataan persetujuan warga untuk mendapatkan tanda tangan dan KTP
sebagai tanda pernyataan persetujuan warga.21 Bukan hanya itu, faktanya
banyak suap kecil-kecilan bagi keamanan, untuk mempercepat proses
pembangunan termasuk untuk maintenance gedung gereja, bahkan “uang
keamanan” tertentu ketika beribadah di hari Minggu atau hari raya.
Namun, ternyata praktek suap ada juga dalam kehidupan internal
berjemaat. Ini melalui persembahan kepada gereja, misalnya dengan
memberikan persembahan persepuluhan, maka Tuhan akan segera
membalas dengan berkat materi yang berkelimpahan kepada jemaat.
Pemahaman ini diajarkan melalui khotbah-khotbah mimbar ataupun
pengajaran-pengajaran yang selama ini dikenal dengan teologi sukses.22
Dengan dasar argumentasi alkitabiah, “memberi” maka akan “diberi”
“menabur banyak akan menerima banyak”.
Penglihatan secara khasat mata di dalam gereja tertentu,
persembahan khusus jemaat (buat pembangunan gereja ataupun pribadi
bagi pemimpin gereja), maka orang yang memberi banyak dapat
“mengatur apa yang dimauinya atas pemimpin gereja. Bahkan dapat
mengatur materi kotbah apa yang perlu dan patut disampaikan di
mimbar. Ada adagium bergereja lokal yang sering kita dengar adalah
“nyumbang sedikit mau ngatur banyak”. Perilaku ini merupakan bentuk
suap demi kekuasaan dalam kehidupan internal gereja yang terselubung.
21 www.voa-islam.com/.../insiden-ciketing-dipicu-pemals; Internet; diakses
29 November 2020. Uang suap yang diberikan berkisar dari Rp 100.000 hingga 1
juta rupiah. 22Lih. Herlianto, Teologi Sukses: Antara Allah dan Mamon (Jakarta: BPK
Gunung Mulia, 2006), 190.
STULOS: JURNAL TEOLOGI 39
Akibat Praktik Suap
Secara Personal. Ini soal integritas yang menggambarkan banyak
dimensi keberadaan pribadi orang Kristen yang harus selaras satu sama
lain. Antara keinginan dan tindakan selaras dengan arah pilihannya
sekalipun dalam situasi rumit. Sehingga kejujuran dan integritas yang
sungguh-sungguh perlu bagi orang Kristen.23 Namun, fenomena yang ada
di dunia sekarang, orang Kristen lebih menonjolkan nilai-nilai baru,
sikap mementingkan diri sendiri, garang, memberontak, cabul, dan kasar
yang mengacu pada degradasi moral,24 dan kasus suap di antara sekian
banyak kasus lain yang melibatkan orang Kristen. 25 Tentu hal ini
berdampak pada rusaknya integritas orang Kristen. Orang Kristen tidak
lagi hidup sesuai dengan firman Tuhan, sebab apa yang ada dibibirnya
tidak sama dengan apa yang ada dihatinya. Orang Kristen sering
menetapkan aturan main sendiri tentang bagaimana seharusnya
kehidupan Kristen.26
Bartono dalam bukunya Today’s Business Ethics mengatakan
bahwa para pelaku suap telah mengabaikan pentingnya etika dan
moralitas dalam kehidupan sehari-hari. Tidak bisa dipungkiri bahwa
praktek suap mengakibatkan kualitas mental dan moral yang rusak. 27
Situasi ini semakin diperparah jika moralitas gereja atau Kristen yang
diwarisi bukanlah merupakan moralitas kristiani yang alkitabiah28 tetapi
moralitas keduniawian.
Secara Komunal. Dalam kehidupannya, gereja menjadi sebuah
tanda dan melalui kehadirannya Allah dimuliakan dalam dunia.
23 John W. De Gruchy, Agama Kristen dan Demokrasi: Suatu Teologi Bagi
Tata Dunia yang Adil (Jakarta: BPK Gunung Mulia, 2008), 198. 24 John MacArthur, Kitab Kepemimpinan: 26 Karakter Pemimpin Sejati
(Jakarta: BPK Gunung Mulia, 2004), 206. 25 Ibid. 26 Sinclair B. Ferguson, Hati yang Dipersembahkan Kepada Allah (Surabaya:
Momentum, 2002), 2. 27 Bdk. Bartono dkk., Today’s Business Ethics (Jakarta: Gramedia, 2005),
vii. 28 Eka Darmaputera, Pergulatan Kehadiran Kristen di Indonesia: Teks-teks
Terpilih Eka Darmaputera, L. Sinaga dkk, ed. (Jakarta: BPK Gunung Mulia, 2005),
576.
40 REFLEKSI APOLOGETIS ETIS PADA ISU SUAP
Pengorbanan gereja hanya sah apabila kesaksiaannya itu otentik menurut
kehendak Tuhan. Karena gereja bukan eksis untuk dirinya sendiri, tetapi
untuk dunia, maka gereja harus menjadi gereja yang sesungguhnya.
Gereja tidak boleh menjadi seperti dunia. Salah satu fungsi dan tugas
gereja menjadi kesaksian bagi dunia29 ternodai dengan perilaku-perilaku,
baik pemimpin ataupun orang Kristen yang terlibat dalam kasus suap.
Akibat perilaku suap dari beberapa orang Kristen, setidaknya
merusak kesaksian gereja. Pelaku suap dari orang Kristen memang
bersifat perorangan, tetapi kenyataannya tidak bisa dipungkiri setiap
orang Kristen disebut sebagai gereja, sekaligus paralel secara komunal
orang Kristen adalah gereja. Ini sangat merusak kesaksian gereja secara
keseluruhan.30
TERMA “SUAP” DAN PRAKTIK SUAP-MENYUAP DALAM
ALKITAB SEBAGAI PENYIMPANGAN IMAN
Istilah “Suap”dalam Alkitab
Di dalam Alkitab, kata ‘menyuap’ atau ‘penyuapan’ dapat ditemukan
lebih dari dua puluh lima kali dalam Perjanjian Lama. Namun, di dalam
Perjanjian Baru tidak ditemukan kata suap ataupun penyuapan dan juga
tidak ada peringatan langsung melarang suap kecuali kasus menyiratkan
perilaku suap itu sendiri.31 Berikut kata “suap” dalam Perjanjian Lama:
Kata Ibrani Arti Teks Suap32
Natan
Mattanah
Hadiah Amsal 15:27 dan
Pkh 7:7
Terumah Persembahan Amsal 29:4
Shillum Konsep Perdamaian Mikah 7:3
29 Lih. Koerniatmanto Soetoprawiro, Bukan Kapitalisme, Bukan Sosialisme:
Memahami Keterlibatan Sosial Gereja (Yogyakarta: t.p., 2003), 53. 30 Bdk.D. J. Wyrtzen, “Meditations on Bribery,” Jurnal Stulos Vol 13/1
(April 2005), 5-17. 31 Michael A. Rynkiewich, “Bribery,” dalam Joel B. Green, Ed., Dictionary
of Scripture and Ethics (Grand Rapids: Baker Academic, 2011), 109. 32 James Strong, The New Strong’s Exhaustive Concordance of The Bible
(Nashville: Thomas Nelson Pub., 1978), 37.
STULOS: JURNAL TEOLOGI 41
Basa, Besa Memotong Keluaran 18:21
Kopher Tebusan, terkait dengan
menenangkan dengan
hadiah
Amsal 6:35, 1
Samuel 12:3,
Amos 5:12
Shohad Hadiah-Suap Amsal 17:8,
17:23, 21:14,
Kel 23:8, Ul 10:17,
16:19, 27:25,
Ayub 6:22, 15:34,
Mzm 15:5, 26:10,
Yes 1:23, 5:23,
33:15, Mikha 3:11,
1 Sam 8:3,
2 Taw 19:7,
Yeh 16:33, 22:12,
1 Raj 15:18-20, 2
Raj 16:8
Dari fakta di atas, penggunaan kata-kata Ibrani yang diterjemahkan
suap, yaitu: mattana, terumah, shillum, besa dan, kopher
mengindikasikan bahwa suap terkait dengan hadiah, persembahan,
imbalan, keuntungan, dan tebusan. Sedangkan kata yang selalu
diterjemahkan suap atau hadiah adalah shohad. Hal ini dipandang untuk
mencegah konflik yang tidak diinginkan. Oleh sebab itu, orang Israel
kuno mungkin melihat suap sebagai sesuatu hadiah rahasia untuk
mencegah kemarahan, murka (Amsal 21:14), dan memberikan sesuatu
yang berharga.33 Itu dapat dikatakan bahwa tindakan penyuapan adalah
pemberian uang atau nikmat kepada orang yang berada dalam posisi
kepercayaan (misalnya hakim atau pemerintah resmi), untuk
memutarbalikkan penilaiannya atau rusak tindakannya. Hal ini
merupakan suatu tindakan yang dimaksudkan untuk membuat orang
bertindak secara ilegal, tidak adil, atau tak bermoral.34Singkatnya, “suap”
diartikan memberikan sesuatu yang berharga kepada seseorang yang
memiliki otoritas untuk mempengaruhi keputusan atau tindakan orang
33 Lih. Richard L. Langston, Bribery and The Bible (Singapore: Campus
Crusade Asia, 1991). 34 L. Morris, “Bribery” dalam R. K. Harrison, ed. Encyclopedia of Biblical
and Christian Ethics, (Nashville: Thomas Nelson, 1798).
42 REFLEKSI APOLOGETIS ETIS PADA ISU SUAP
itu. 35 Jadi, suap merupakan sebuah bujukan yang tidak sesuai untuk
mempengaruhi fungsi pejabat publik tanpa alasan. Dengan demikian,
tindakan suap mencoba mempengaruhi seseorang yang memiliki kuasa
untuk melakukan sesuatu yang melanggar norma.
Praktik dalam Perjanjian Lama
Praktik suap sudah terjadi sejak jaman Perjanjian Lama. Allah melarang
suap sangat awal dalam sejarah Israel. Selama Ia membentuk Israel
menjadi suatu bangsa, Allah memberikan perintah untuk tidak
melakukan suap terkait dengan hak-hak manusia, secara hukum didalam
pengadilan, seperti berikut, “Suap janganlah kauterima, sebab suap
membuat buta mata orang-orang yang melihat dan memutarbalikkan
perkara orang-orang yang benar” (Keluaran 23:8). Hal ini terjadi karena
praktek suap dalam bentuk “pemberian hadiah” merupakan hal yang
memiliki kekuatan yang dapat mempengaruhi keputusan yang adil pada
zaman itu. 36 Salomo tidak bermaksud bahwa praktek suap dapat
dilakukan, tetapi dia sedang mengkontraskan dengan intisari dari
pandangan dunia yang benar, “Siapa loba akan keuntungan gelap,
mengacaukan rumah tangganya, tetapi siapa membenci suap akan hidup”
(Amsal 15:27). Salomo menggambarkan bahwa praktik suap merupakan
hal yang umum dilakukan pada masa itu, maka tidak heran ketiga bagian
Amsal berikut sering dipakai sebagai ayat yang “seolah-olah” menyetujui
praktek suap, seperti yang tertulis di bawah:
Hadiah suapan adalah seperti mestika di mata yang memberinya, ke
mana juga ia memalingkan muka, ia beruntung, Amsal 17:8
Hadiah memberi keluasan kepada orang, membawa dia menghadap
orang-orang besar. Amsal 18:16
35 Lihat juga, Walter A. Elwell, Encyclopedia of the Bible. (Grand Rapids:
Baker Book House, 1988), I:380. 36 Walter C. Kaiser, Ucapan-ucapan yang Sulit dalam Perjanjian Lama, terj.
(Malang: Literatur SAAT, 2007), 195.
STULOS: JURNAL TEOLOGI 43
Pemberian dengan sembunyi-sembunyi memadamkan marah, dan
hadiah yang dirahasiakan meredakan kegeraman yang hebat. Amsal
21:14. 37
Dalam berita Nabi, umat Israel ditegur keras karena telah
menyimpang dari maksud Allah, salah satu bentuk penyimpangannya
adalah praktik suap, misalnya, “nubuat nabi Yesaya yang secara khusus
menegur kondisi para pemimpin bangsa Israel pada zamannya yang suka
dengan menerima suap dan mengejar sogok (Yesaya 1:23).” 38 Allah
mengirimkan para nabi untuk memberikan peringatan dan
memberitahukan kesalahan yang telah dilakukan umat Israel demikian,
“Padamu orang menerima suap untuk mencurahkan darah, engkau
memungut bunga uang atau mengambil riba dan merugikan sesamamu
dengan pemerasan, tetapi Aku kau lupakan, demikianlah firman Tuhan
ALLAH” (Yeh 22:12). Bahkan, kondisi kehidupan umat Israel begitu
bobrok di hadapan TUHAN, baik para nabi maupun imam melakukan
dan menerima suap untuk kepentingan mereka, seperti berikut:
“Para kepalanya memutuskan hukum karena suap, dan para imamnya
memberi pengajaran karena bayaran, para nabinya menenung karena
uang, padahal mereka bersandar kepada TUHAN dengan berkata:
“Bukankah TUHAN ada di tengah-tengah kita! Tidak akan datang
malapetaka menimpa kita.” (Mikha 3:11)
Sesungguhnya, dari yang kecil sampai yang besar di antara mereka,
semuanya mengejar untung, baik nabi maupun imam semuanya
melakukan tipu. (Yer 6:13).
37 Andreas Scherer, “Is the Selfish Man Wise?: Considerations of Context in
Proverbs 10:1-22:16 with Special Regard to Surety, Bribery and Friendship,”
Journal for the Study of The Old Testament Issue (76 Des 1997): 59-70. Scherer
menjelaskan bahwa kelihatannya Amsal 17:8, 18:16, 21:14, jika keadaan
memungkinkan, maka suap dapat diberlakukan. Di mana 17:8 merupakan janji
sukses dari suap, 18:16 mengarah pada suatu hadiah besar, 21:14 hadiah yang
sembunyi memadamkan marah. Namun, maksud dalam ayat tersebut tidak permisif
terhadap perilaku suap. 38 Lih. David F. Hinson, Sejarah Israel Pada Zaman Alkitab, terj. (Jakarta:
BPK Gunung Mulia, 2004), 1.
44 REFLEKSI APOLOGETIS ETIS PADA ISU SUAP
Hal yang sama pun juga terjadi di peradilan yang melibatkan para
Hakim, 39 sehingga keadilan terdistorsi. Seharusnya seorang hakim
memiliki tanggung jawab yang besar untuk mengadili sebab ia adalah
seorang wasit yang adil. Seorang hakim menerima “hadiah” atau “suap”
yang mengacu pada pembayaran pribadi, bukan gaji yang didanai publik
atau gaji reguler. Craigie mengungkap secara lugas bahwa alasan yang
penting suap dilarang karena bentuk dari ketidakjujuran (1 Sam. 8:3) dan
merusakkan hati (Pkh. 7:7); dan bahwa penghasilan yang didapat secara
tidak jujur atau curang merupakan bentuk ketidakbergantungan diri
bahwa Allah sanggup mencukupkan.40 Inilah yang ditentang oleh para
nabi terutama adalah ketimpangan sosial pada ketamakan para elit untuk
memperluas dan memperbesar penguasaan mereka terhadap kepemilikan
tanah yang dilakukan, baik secara halus maupun paksa. 41 Dengan
kekuatan uang untuk menindas kaum miskin. Ada tekanan yang konstan
dalam kenabian Perjanjian Lama tentang bahaya suap dan efeknya yang
menghancurkan keadilan dan rasa adil yang sering terjadi pada orang-
orang miskin, demikian:42
“Janganlah memutarbalikkan keadilan, janganlah memandang bulu
dan janganlah menerima suap, sebab suap membuat buta mata orang-
orang bijaksana dan memutarbalikkan perkataan orang-orang yang
benar” Ulangan 16:19.
“Yang membenarkan orang fasik karena suap dan yang memungkiri
hak orang benar. “ (Yes 5:23)
Sebab Aku tahu bahwa perbuatanmu yang jahat banyak dan dosamu
berjumlah besar, hai kamu yang menjadikan orang benar terjepit, yang
menerima uang suap dan yang mengesampingkan orang miskin di
pintu gerbang.” (Amos 5:12)
39 William Dyrness, Tema-tema dalam Teologi Perjanjian Lama. Terj.,
(Malang: Gandum Mas, 1990), 115. 40 Lihat Peter C. Craigie, The Book of Deuteronomy, The New International
Commentary on The Old Testament, R. K. Harrison, ed., (Grand Rapids: Wm. B.
Eerdmans, 1976), 98. 41 D. N. Premnath, Eight Century Prophets: A Socio-Analysis (St. Louis,
Missouri: Chalice Press, 2003), 20-21. 42 A. J. Gamble, “Justice” Encyclopedia of Biblical and Christian Ethics
(Nashville: Thomas Nelson Pub., 1987), 217.
STULOS: JURNAL TEOLOGI 45
Ironisnya, praktik suap bukan hanya terjadi antara manusia tetapi
juga antara manusia dan Allah. Umat Israel mengira bahwa dapat
menyuap Allah dengan segala tindakan mereka. Allah dengan tegas
menunjukkan bahwa Ia tidak dapat disuap, “Sebab TUHAN, Allahmu lah
Allah segala allah dan Tuhan segala tuhan, Allah yang besar, kuat dan
dahsyat, yang tidak memandang bulu ataupun menerima suap” (Ulangan
10:17) dan “Sebab itu kiranya kamu diliputi oleh rasa takut kepada
TUHAN. Bertindaklah dengan seksama, karena berlaku curang,
memihak ataupun menerima suap tidak ada pada TUHAN, Allah kita” (2
Tawarikh 19:7). Singkatnya, Allah sangat menolak suap kepada-Nya.
Dalam Perjanjian Baru
Ide suap dalam PB lebih menyoroti bagaimana orang-orang yang
memberi dan menerima suap itu sangat bergantung pada uang. Seorang
bernama Noonan pernah menyoroti Perjanjian Baru, mengatakan
“bribery is a subject on which the stories and images and moral
exhortation and theology of the New Testament bear only indirectly. The
word is not used. The idea is at most implicit.” 43
Narasi Injil-Injil yang mengindikasikan kasus suap dalam
Perjanjian Baru terdapat dalam Matius 26:14-16, Markus 14:10-11, dan
Lukas 22:3-5. Ketiga narasi ini mengisahkan Yudas yang menjual Tuhan
Yesus. Perikop itu berisi ide tentang penyuapan para imam kepada
Yudas. Dalam Markus 14:10-11 terkesan inisiatif untuk menyuap datang
dari imam-imam besar, tetapi dalam Matius 26:15, Yudas yang
menawarkan suap dengan mengatakan “Apa yang hendak kamu berikan
kepadaku, supaya aku menyerahkan Dia kepada kamu?” Demi uang
Yudas mau disuap oleh para imam untuk menyerahkan Tuhan Yesus.
Senada dengan apa yang dikatakan Gundry bahwa cerita ini berbicara
tentang pemberian uang sebagai alat untuk menyuap penjaga makam
43 Lih. John T. Noonan, Jr, Bribes: The Intellectual History of a Moral Idea
(California: University of California, 1984), 55.
46 REFLEKSI APOLOGETIS ETIS PADA ISU SUAP
dengan tujuan memanipulasi kebenaran tentang kebangkitan Tuhan
Yesus.44
Dalam kitab Kisah Para Rasul ada dua peritiwa yang
mengindikasikan praktik suap-menyuap, misalnya, percobaan suap yang
dilakukan oleh Simon, si tukang sihir, (Kisah Rasul 8:18-22).45 Dalam
peristiwa suap ini Simon menawarkan sejumlah uang untuk memperoleh
kuasa ilahi. Pemikiran Simon bahwa hal-hal supranatural dari Tuhan bisa
didapatkan dengan uang sogok. Selanjutnya, ada juga Gubernur bernama
Felix yang digambarkan sebagai seorang yang kejam dan sangat suka
uang. Dia mengharapkan uang sogok untuk menangani kasus hukum
Paulus (Kisah Rasul 24:26).46
Suap yang dikehendaki Felix menunjukkan pada sifat tamak dalam
dirinya dan memanfaatkan jabatan atau wewenang yang dimilikinya.
FAKTOR KRITIS DALAM SUAP-MENYUAP
DI KALANGAN KRISTEN
Sisa-sisa Paganisme Budaya Pop
Di Indonesia, Timo dalam Jurnal Teologi Interdisipliner mengatakan
bahwa budaya sebagai faktor pertama dengan ide bahwa orang yang
mempunyai kekuasaan seharusnya menerima hadiah dan dia harus
melakukan seperti yang dikehendaki si pemberi hadiah. Hal ini bukanlah
sebagai sebuah pelanggaran hukum adat, dan dianggap sebagai hal yang
lumrah.47 Pola ini dikenal luas di kalangan masyarakat Indonesia sebagai
44 Robert H. Gundry, Matthew: Commentary on His Handbook for a Mixed
Church under Persecution (Grand Rapids: W B. Eerdmans Pub., 1994), 582. 45 T. Hoogsteen, Covenant Works: The Biblical Way (Eugene: Wipf and
Stock Publisher, 2015), 441. Lih. Juga Tom Wright, Kisah Para Rasul untuk Semua
(Jakarta: Perkantas, 2011), 200. Guthrie, Teologi Perjanjin Baru. 46 Dianne Bergant & Robert J. Karris, Tafsir Alkitab Perjanjian Baru
(Yogyakarta: Kanisius, 2002), 246. 47 Ebenhaizer Nuban Timo, “KKN dan Upaya Penanganannya: Sebuah
Kajian Kultural-Religius,” Jurnal Teologi Interdisipliner, Vol. I, No. 1 (Februari,
2014): 4.
STULOS: JURNAL TEOLOGI 47
budaya “upeti”48 yang telah berlangsung lama berabad-abad. Berpijak
dari budaya upeti ini, maka sistem birokrasi publik modern di Indonesia
masih mengikuti atau mengadopsi sistem kerajaan pada masa lampau, di
mana upeti merupakan tanda kesetiaan yang dipahami dalam arti
“simbiosis mutualisme”.49 Disini disebut oleh beberapa orang sebagai
“birokrasi patrimonial” 50 yang diartikan sebagai upaya menjadikan
seseorang sebagai bapanya, namun dalam arti negatif. Faktor budaya
upeti inilah yang mempengaruhi perilaku suap di kalangan orang Kristen
dalam membuat keputusan yang didasarkan pada pola-pola pemikiran
pandangan dunia non Kristen. Lingkungan sekitar banyak mendorong
orang Kristen melakukan hal-hal yang tidak sesuai dengan kejujuran,
moral dan etika Kristen, karena telah digantikan dengan budaya
masyarakat.51
Mental Materialisme Ekonomis, Konsumerisme, Hedonisme
Ada beberapa sebab faktor ekonomi, antara lain ketamakan uang. Para
pelaku suap pada umumnya bukanlah dari kalangan orang yang tidak
mampu atau kaum miskin, tetapi orang yang memiliki kekayaan yang
cukup melimpah, dan semakin ingin memperkaya diri didorong oleh sifat
tamak.52 Secara etis, sifat tamak seseorang termanifestasi dalam upaya
untuk mengumpulkan harta benda dengan menghalalkan segala cara dan
menggunakannya sebagai alat berkuasa dan menindas. Menurut
Scoulgal, banyak orang Kristen yang hanya mengatakan diri Kristen
41 Bdk. P. J. Suwarno, Pancasila Budaya Bangsa Indonesia: Penelitian
Pancasila dengan Pendekatan Historis, Filosofis & Sosio-Yuridis Kenegaraan
(Yogyakarta: Kanisius, 1993), 24. 49 Bdk. Lih. Agus Dwiyanto, Mengembalikan Kepercayaan Publik Melalui
Reformasi Birokrasi (Jakarta: Gramedia, 2011), 1. 50 H. A. Braz, “Beberapa Catatan Mengenai Sosiologi Korupsi,” dalam
Bunga Rampai Korupsi, ed. Mochtar Lubis dan James C. Scott (Jakarta: Lp3ES,
1985), 7. 51 Bdk. Jerry White, Kejujuran, Moral dan Hati Nurani (Jakarta: BPK
Gunung Mulia, 2000), 5. 52 Lih. Verne H. Fletcher, Lihatlah Sang Manusia: Suatu Pendekatan Pada
Etika Kristen Dasar (Jakarta: BPK Gunung Mulia, 2007), 252.
48 REFLEKSI APOLOGETIS ETIS PADA ISU SUAP
tetapi tidak hidup secara Kristen, karena diperbudak oleh cinta kepada
uang.53
Penghasilan kurang adalah satu dalih yang membuat orang Kristen
menjadi kuatir untuk dapat memenuhi kebutuhan hidup. Hal ini
menyebabkan pemenuhan kebutuhan hidup dengan segala cara, sehingga
memungkinkan perilaku yang tidak benar atau tindakan suap terjadi.54
Keterdesakan dalam kebutuhan ekonomi membuka pintu untuk
melakukan jalan pintas untuk menerima suap. Pengakuan seorang warga
jemaat kepada pendetanya adanya keinginan tidak mau ikut arus suap-
menyuap, tetapi jika diperhadapkan dengan persoalan ekonomi agar bisa
survive, maka slogan yang muncul “yang jujur hancur, sebaliknya yang
tak jujur malah mujur.” Dalih pun diciptakan untuk mengaburkan batasan
antara yang baik dan jahat. Ini memang soal integritas Kristen. Bridges
mengatakan bahwa “hidup yang tidak berintegritas dalam iman
merupakan bentuk ketidakpercayaan kepada Allah”. Sebab hidup dengan
percaya berarti mentaati-Nya; dan jika tidak mentaati-Nya berarti
meragukan kekuasaan-Nya, dan mempertanyakan kebaikan-Nya.55
Gaya hidup Konsumtif adalah salah satu dorongan untuk suap
menyuap. Gaya hidup juga melibatkan beberapa filsafat hidup tertentu,56
yang menghasilkan gaya hidup konsumerisme dan hedonisme juga.
Dalam buku Skandal Hati Nurani Kaum Injili, dituliskan bahwa ekonomi
pasar dalam menghasilkan produk dan terobosan teknologi telah semakin
maju, untuk dinikmati sebagai kepuasan yang terus meningkat teramat
merajalela. 57 Akibatnya, orang Kristen menggunakan uang dengan
53 Henry Scoulgal, Hidup yang Berlimpah di Dalam Allah (Surabaya:
Momentum, 2005). 6-7. 54 B. D. Bartruff, Menjadi Pribadi yang Dikehendaki Tuhan (Jakarta: BPK
Gunung Mulia, 2003), 98. 55 Lih. Jerry Bridges, Berserah Kepada Tuhan (Jakarta: BPK Gunung Mulia,
1991), 11. 56 Jerry White, Kejujuran, Moral dan Hati Nurani (Jakarta: BPK Gunung
Mulia, 2000), 53. Bdk. J. Milburn Thompson, Keadilan & Perdamaian: Tanggung
Jawab Kristiani dalam Pembangunan Dunia (Jakarta: BPK Gunung Mulia, 2009),
345. 57 Lih. Ronald, J. Sider, Skandal Hati Nurani Kaum Injili (Surabaya:
Perkantas, 2005), 135-137.
STULOS: JURNAL TEOLOGI 49
leluasa untuk membeli barang-barang yang diinginkan untuk bersenang-
senang. Hal ini berdampak pada hasrat konsumtif yang memicu perilaku-
perilaku menyimpang, yaitu suap-menyuap. Filsafat hidup konsumerisme
dan pasangannya Hedonisme adalah manifestasi pemberhalaan terhadap
uang dalam mamonisme.
Penggunaan Politikisme Rendah
Secara umum, berpolitik berarti pengaturan hidup bersama untuk
mencapai cita-cita bersama. Politik itu sendiri dapat dipergunakan untuk
menyengsarakan rakyat atau sebaliknya mendorong terjadinya keadilan
sosial. Penyimpangan dan penyelewangan dalam pengaturan hidup
bersama demi tujuan individual inilah yang menjadi masalah dalam
politik praktis.
Walau asalnya “politik” adalah baik bagi manusia untuk
mensejahterakan masyarakat dengan adil, tetapi ekses penyimpangan
kuasa sangat rawan perbuatan jahat. Salah satu manifestasi adalah
perilaku suap demi merebut kuasa atau mempertahankan kuasa semata-
mata. Hal ini terlihat dalam dalil kontestan pemilu, “Apapun halal demi
kemenangan.” Belum lagi faktor penyalanggunaan kuasa yang tidak
dapat dipisahkan dari seorang pemimpin publik.
Di kalangan orang Kristen pun hal ini terjadi. Fakta di lapangan,
ditemukan begitu banyak orang Kristen di dunia politik dengan
menawarkan sejumlah barang dan uang untuk mencari dukungan.
Penyimpangan jabatan, khususnya terlihat dalam kasus-kasus kepala
daerah, termasuk di kantong-kantong Kristen banyak terjadi kasus suap-
menyuap, menurut Veldhuis, karena “manipulasi serta memburu
kekuasaan politik sebagai bentuk penyalahgunaan jabatan untuk
mendapatkan keuntungan dari jabatan publik.” 58 Warga gereja harus
berani mengkonstatir penyalahgunaan jabatan, termasuk orang Kristen
yang bertekuk lutut atas godaan ini.59
58 Henri Veldhuis, Kutahu Yang Kupercaya: Sebuah Penjelasan Tentang
Iman Kristen (Jakarta: BPK Gunung Mulia, 2010), 120. 59 J. L. Ch. Abineno, Pokok-pokok Penting Dari Iman Kristen (Jakarta: BPK
Gunung Mulia, 2008), 54.
50 REFLEKSI APOLOGETIS ETIS PADA ISU SUAP
Paham Transaksionalisme Religius
Praktek traksaksional ala suap ini juga ada dalam aspek ibadah,
khususnya soal persembahan yang dilakukan jemaat terdapat prinsip do
ut des, yaitu “aku memberi supaya aku diberi.” Dengan kata lain,
terdapat unsur sogok atau suap kepada Allah, secara tidak disadari telah
mengakar dalam gereja.60
Fenomena persembahan transaksional ini dikumandangkan melalui
pembicara-pembicara populer yang menekankan keharusan memberi
persepuluhan, maka Tuhan akan segera membalas dengan berkat materi
yang berkelimpahan. Pemahaman ini diajarkan melalui khotbah-khotbah
mimbar ataupun pengajaran-pengajaran yang selama ini dikenal dengan
teologi sukses.61 Dengan dasar argumentasi pada teks Alkitab tertentu
sebagai dasar pijakan konseptual, yaitu “memberi” maka akan “diberi.”
Semua hal traksaksionalisme ekonomis 62 dan paganisme serta
konsumerisme itu menuju pada satu hal, yaitu mamonisme, sebagai
pandangan hidup “deisme terapeutik” 63 bahkan “ateisme praktis di
kalangan Kristen gerejawi.64
PENTINGNYA IMAN APOLOGETIS DALAM
PEMAHAMAN MAMON
Kajian apologetika iman tidak sama dengan polemika agama atau
elenktika penyiaran agama. Sekarang ini apologetika sudah dipakai
sebagai sarana berdebat kusir secara polemika. Apologetika yang
berkeadaban harus dikerjakan pada level intelektual dalam worldview
filosofis, sampai menemukan ideologi-ideologi isme apa dibalik
pandangan Kristen atau serangan tehadap Kristen. Kajian worldview
60 Andar Ismail, Selamat Berbakti (Jakarta: BPK Gunung Mulia, 2008), 118. 61 Lih. Herlianto, Teologi Sukses: Antara Allah dan Mamon (Jakarta: BPK
Gunung Mulia, 2006), 190. 62 Lih. David Wells, Tiada tempat bagi Kebenaran, Terj. (Surabaya:
Momentum, 2004) 63 Thomas Horton, Kekristenan tanpa Kristus (Surabaya: Momentum, 2008)
deisme terapeutik sebagai ibadah kepada Allah dalam langkah-langkah metodik
yang tansaksional. 64 Lih. Craig Groschel, Ateism Kristen, terj, (Batam: Bananiah, 2008)
STULOS: JURNAL TEOLOGI 51
dalam apologetika, merupakan analisis filosofis mengungkapkan elemen-
elemen pandangan dunia pada lapisan ontologis, epistemologis, dan
etisnya.
Konsep Iman Apologetis
Dalam kekristenan pengakuan iman terkait kepercayaan pada level
ontologis sebagai lapisan terdalam (inti) yang mengandung
keagamaannya sendiri. Teori tentang keberadaan metafisika umum,
apakah realitas atau pengetahuan tentang sesuatu tersebut sebagai yang
ultimat? Ontologi menaruh perhatian pada soal “ada”, artinya apa yang
menjadi realitas ultimat atau realitas tertinggi. Ontologi ini menjadi
persoalan teologi, segala sesuatu yang membicarakan tentang Allah,
manusia, dan dunia dalam kawasan “ada”. Jawaban atas pertanyaan ini
mengarahkan pada arah teologi yang antroposentris atau teologi yang
bersifat teosentris. Jadi, pentingnya aspek ontologis mengarahkan pada
pemikiran tentang realitas ultimat, apakah Allah menjadi realitas ultimat
dan bagaimana orang Kristen berpikir tentang hakekat Allah atau
“sesuatu lain” yang diciptakan menjadi allah.65
Epistemologis merupakan elemen penting dalam kajian filosofis
pendirian seseorang atas kepercayaan. Epistemologi kadang juga disebut
“teori pengetahuan”. Istilah “epistemologi” berasal dari kata Yunani
episteme berarti pengetahuan dan logos berarti perkataan, pikiran, ilmu.
Kata episteme berarti menundukkan, menempatkan, meletakkan. Secara
harfiah episteme berarti pengetahuan sebagai upaya intelektual “untuk
menempatkan sesuatu dalam kedudukan setepatnya.” Ini adalah unsur
kajian filosofis yang membuat telaah kritis dan analitis pada dasar-dasar
teoritis pengetahuan. Kajian epistemologis adalah mengidentifikasi
metodologi logis yang berkenaan dengan bagaimana membenarkan apa
yang saya anggap benar atau bagaimana melogiskan apa yang sungguh-
sungguh benar tersebut. Dalam kajian apologetika kontemporer66 elemen
epistemologis sangat penting, untuk mengidentifikasi apa yang menjadi
65 Siburian, “Apologetika [Kontemporer],”22; Bdk. Lih. Hoffecker,
“Pendahuluan” dalam Membangun Wawasan, 5. 66 Lih. Siburian, “Apologetika [Kontemporer]”, 22.
52 REFLEKSI APOLOGETIS ETIS PADA ISU SUAP
cara berpikir orang Kristen untuk membenarkan praktik suap, dengan
kata lain bagaimana praktik suap dapat dibenarkan sebagai sungguh-
sungguh benar? Itu berarti dalih suap-menyuap di kalangan orang Kristen
didasarkan pada cara berpikir yang seperti apa, sehingga dapat
membenarkan ataupun mengijinkan perilaku suap tersebut secara dalil-
dalilnya.
Aspek aksiologis-etis menelusuri bagaimana penggunaan
pengetahuan dari perspektif nilai-nilai kehidupan. Mengapa nilai itu
bernilai penting?67 Dengan demikian, nilai-nilai dari segi etis ditinjau
dari aspek nilai-nilai moral dalam kaitannya dengan perbuatan-perbuatan
konkrit tentang kebajikan. Artinya, sikap dan perilaku pelaku suap dilihat
dari perspektif nilai-nilai moral iman Kristen. Jika melanggar norma
Kristen maka otomatis pertanyaannya adalah nilai-nilai apa yang menjadi
penting, sehingga praktik suap terjadi di kalangan orang Kristen. Pada
aksiologi-etis tersebut fokus upaya apologetik ini dilakukan dalam upaya
untuk mengidentifikasikan cara tindak atau cara bersikap dalam
kehidupan yang nyata, meskipun ketiga elemen itu terintegrasi pada
worldview, satu dengan yang lainnya.
Wawasan dunia teisme Kristen, pada aspek aksiologis-etis secara
niscaya bersifat antitesis terhadap pandangan dunia non Kristen.
Pandangan dunia Kristen isinya mutlak berdasarkan prinsip-prinsip iman
Kristen. Perilaku etis orang Kristen berdasarkan pada kehendak Allah,68
anti terhadap … egoisme, utilitarianisme, materialisme, mamonisme dll.
John Frame mengatakan, “in Christian ethics the normative ultimately
comes from God, for only He has the authority to define ethical norms
for human beings”.69 Hal ini paralel pada keyakinan terhadap Alkitab
yang berotoritas mutlak dan tertinggi bagi hidup orang percaya, bukan
sikap yang antinomianisme. Walaupun demikian, tidak berarti perilaku
etis orang Kristen terjebak dalam legalisme, sebagai suatu sistem
kepercayaan yang menjadikan seseorang keras mentaati hukum-hukum
tambahan agama. Sekaligus menawarkan sikap altruisme pada level etis
67 Ibid. , 22. 68 Lih. Norman Geisler, Christian Ethics (Surabaya: SAAT, 2010), 13-15. 69 John Frame, The Doctrine of the Word of God (New Jersey: Presbyterian
and Reformed Publising , 2010), 231.
STULOS: JURNAL TEOLOGI 53
dapat mencerminkan cara hidup kristiani yang rela berkorban bagi orang
lain, kontras dengan cara hidup mengorbankan orang lain.
Altruisme adalah watak yang memperhatikan dan mengutamakan
kepentingan orang lain secara berkorban, sampai pada menganggap
kepentingan orang lain lebih utama dari kepentingan diri sendiri.
Altruisme Kristen sikap yang sangat terpuji dari perspektif moral Kristen.
Belajar dari Richard M. Gula yang mengungkap ada beberapa indikator
altruisme mencakup: a) bisa didekati dan bersedia membantu orang lain:
b) melayani tanpa diskriminasi, c) mendahulukan keperluan-keperluan
orang lain dan bagaimana orang lain akan dipengaruhi oleh tindakan-
tindakan orang itu sendiri; d) memiliki dengan pilihan-pilihan yang tidak
masuk akal bagi kepentingan-kepentingan orang lain daripada untuk diri
sendiri; e) berbagi kekayaan, kemampuan, dan waktu; f) aktif terlibat
untuk melindungi keadilan. 70 Ini adalah inti sikap etis Kristen di
kehidupan sehari-hari, yaitu altruitisme Kristen yang dicontohkan oleh
Yesus sendiri dalam Alkitab.
Dalam kaitan dengan sikap kebajikan Kristen di atas, perspektif
Kristen mengenai uang adalah “berasal dari Tuhan merupakan kredo atas
keberadaan Allah sebagai pemilik segala sesuatu, karena apapun yang
ada di dunia berawal dari Tuhan yang mengadakannya.71 Sehingga segala
barang materi (uang) harus dilihat sebagai karunia Allah yang baik.
Sekalipun uang sendiri sebagai alat transaksi legal yang dibuat manusia,
tetapi secara logis ide yang mencetuskannya bersumber dari Tuhan,
karena manusia dicipta menurut gambar Allah yang memiliki rasio dan
kemampuan berkarya. Itulah sebabnya, pengakuan uang bersumber dari
Tuhan adalah merupakan inferensi logis. 72 Sekalipun uang dihasilkan
dari hasil pekerjaan orang percaya, tetapi secara apriori diyakini bahwa
70 Richard M. Gula, Etika Pastoral Dilengkapi Dengan Kode Etik
(Yogyakarta: Kanisius, 2009), 84-85. 71 Cornelius Platinga Jr., Jaminan Iman (Surabaya: Momentum, 2010), 226-
227. 72 Tidak diragukan lagi, orang Kristen menekankan bahwa Tuhan adalah
sumber dari semua berkat. Lih. Joseph Tong, “Mengenai Persembahan Kristen (I):
Memikirkan Kembali Tradisi dan Penggunaan Uang dan Harta dalam Perspekstif
Kristen,” Stulos Jurnal Teologi Vol 8/no. 1 (April 2009): 11.
54 REFLEKSI APOLOGETIS ETIS PADA ISU SUAP
Tuhan yang memberkati pekerjaan, sehingga uang tetap diaksiomakan
berasal dari Tuhan.
Dalam Alkitab, kekayaan dan uang tidaklah jahat. Kekayaan dan
kepemilikan itu dinilai, apakah kita sebagai pengelola mengurus
kekayaan dan uang secara baik, serta sadar atas panggilan kita untuk
melayani Allah dan sesama, dengan segala apa yang telah kita terima. Ini
seperti yang dijelaskan Amerding bahwa uang bukan sesuatu yang
atasnya kita mempunyai kekuasaan penuh; kita hanyalah penatalayan
kekayaan Allah. 73 Oleh Karena itu, pengelolaan keuangan merupakan
implementasi terhadap memposisikan Allah sebagai sumber dari
keuangan, sekaligus memandang uang sebagai sarana untuk menopang
pelayanan terhadap sesama. Fakta di lapangan, ternyata membuktikan
bahwa teologi Alkitab mengenai pengelolaan kekayaan (material
possession) tidak terlalu sering dibicarakan di atas mimbar. Menanggapi
kenyataan tersebut, menurut penulis sungguh ironis, padahal
sebagaimana dikatakan relasi uang dan prinsip penatalayan sangat
signifikan. Dalam hal ini, Piper mengatakan bahwa apa yang anda
lakukan dengan uang atau ingin lakukan dengannya, dapat membuat atau
menghancurkan kebahagaiaan anda, karena “Mereka yang ingin kaya
terjatuh dalam pencobaan ke dalam jerat dan ke dalam berbagai-bagai
nafsu yang hampa dan yang mencelakakan, yang menenggelamkan
manusia ke dalam keruntuhan dan kebinasaan” (1 Tim. 6:9). 74
Sebagai “alat” transaksi legal uang tidak menjadi tuan dalam hidup
orang Kristen. Uang hanya menjadi sarana menopang hidup, bukan
memperbudak manusia. Pemahaman ini sejalan dengan pernyataan Yesus
mengenai pilihan mengabdi kepada Mamon atau Tuhan. Meskipun upaya
mensejajarkan Tuhan dengan Mamon tersebut mustahil, tetapi itu
kenyataan cara pikir yang menyimpang dari semestinya pijakan iman
Kristen. Secara ontologis uang tidaklah berkuasa dan tidak boleh
berperan sebagai Allah. Karena uang bukanlah Allah, meskipun uang
sangat berperan dalam kehidupan manusia. Memang uang bukan hanya
73 Hudson T. Armerding, “Pandangan Kristen tentang Uang,” dalam Pola
Hidup Kristen (Malang: Gandum Mas, 2016), 917. 74 John Piper, Mendambakan Allah (Surabaya: Momentum, 2008), 203.
STULOS: JURNAL TEOLOGI 55
sebagai alat transaksi atau alat yang dapat dipakai untuk memenuhi
kebutuhan hidup manusia. Uang juga dipakai sebagai saluran untuk
memberkati orang lain, “sehingga mereka mengalami kedamaian dan
kepuasan, menjadikan mereka sebagai saluran berkat bagi orang lain.”75
Catatan Alkitab mengenai orang Samaria yang murah hati dalam Lukas
10:25-37 merupakan teladan yang tepat mengenai esksistensi uang
sebagai media untuk menolong sesama dan membantu saudara,
“Haruslah engkau membuka tangan lebar-lebar bagi saudaramu, yang
tertindas dan miskin di negerimu (Ul.15:11); seperti membagi-bagi
kebaikan-kebaikan TUHAN ini adalah kekhasan dari tanda pengenal
Perjanjian Allah.76 Jadi, uang sebagai sarana untuk memberkati sesama
merupakan implementasi kasih orang Kristen kepada sesamanya. Uang
tidak boleh dijadikan sebagai objek kasih. Artinya, hanya Allah dan
sesama sebagai objek kasih, sebagaimana Platinga mengatakan, bahwa
cara pikir yang menjadikan uang sebagai objek kasih maka menempatkan
sesama lebih rendah dari uang.77 Jadi, kehidupan yang bergantung pada
uang termanifestasikan dalam kekuatiran manusia akan uang. Kekuatiran
akan uang dapat menjadi lebih besar dari pada iman kepada Allah.
Dengan demikian, uang telah menjadi berhala.78
Pentingnya apologetika wawasan dunia pada level nilai-nilai etis
dapat dinyatakan sebagai berikut.
75 Lih. Tong, “Mengenai Persembahan Kristen,” 113. 76 Conrad Boerma, Dapatkah Orang Kaya Masuk Sorga? – Usaha
Memerangi Kemiskinan Berdasarkan Alkitab (Jakarta: BPK Gunung Mulia, 1999),
105. 77 Cornelius Platinga Jr., Not the Way It’s Supposed to Be (Surabaya:
Momentum, 2004), 39. 78 Lih. Hudson T. Armerding, “Pandangan Kristen tentang Uang,” dalam
Pola Hidup Kristen (Malang: Gandum Mas, 2016), 916.
56 REFLEKSI APOLOGETIS ETIS PADA ISU SUAP
PENJERNIHAN IMAN TERHADAP MAMONISME
SUAP-MENYUAP
Suap-menyuap Berkonflik dengan Wawasan Dunia Etis Kristen
Selanjutnya secara etis, bribery dimengerti sebagai “is understood the act
or practice receiving or giving bribery. A bribe is an inducement
improperly influencing the performance of a public function meant to be
gratuitously exercised”79 Singkatnya, suap dilarang dalam iman Kristen.
Larangan untuk melakukan suap secara eksplisit dinyatakan dalam
Alkitab. Bentuk imperatif terhadap suap ini menjadi acuan normatif bagi
orang Kristen pada masa kini. Dalam relasinya dengan kekuasaan,
wewenang ataupun jabatan, memungkinkan disalahgunakan demi
kepentingan ataupun keuntungan diri sendiri. Dengan mengorbankan
norma etis, maka eksistensi sesama terkorbankan juga, melalui praktek
suap. Sebab suap memutarbalikan keadilan. Kejahatan dibidang hukum,
terjadinya penyimpangan dan pemutarbalikan keadilan disebabkan oleh
suap. Didasari cara pikir yang menghalalkan segala cara demi tujuan
tertentu, sehingga keadilan terdistorsi dalam penegakannya. Hal benar
79 John T. Noonan, “bribe” dalam The Westminster Dictionary of Christian
Ethics, ed James F. Childress (Philadelphia: The Westminster Press, 1967).
STULOS: JURNAL TEOLOGI 57
menjadi salah dan salah dibenarkan, sehingga norma hukum bersifat
relatif dan subjektif bahkan menjadi ambigu dalam terapannya. Di sinilah
letaknya suap mendistorsi keadilan, sekaligus menjadi dasar argumentasi
sikap menolak praktik suap itu sendiri.
Suap juga merupakan bentuk kebergantungan pada uang. Pada titik
kulminasinya iman Kristen menolak suap didasarkan pada tesis bahwa
suap bentuk ketidakpercayaan kepada Allah. Sebaliknya suap merupakan
bentuk ketergantungan manusia pada harta, kekayaan, dan uang. Pelaku
suap menempatkan uang di atas segala-galanya, menaruh percaya dan
total bergantung pada uang sekaligus koheren dengan orientasi dan
tujuan hidupnya. Di sinilah letak pandangan hidup yang disebut dengan
mamonisme yang mempengaruhi dasar pikir para pelaku suap.
Suap-menyuap sebagai Kontras terhadap Karakter Allah:
Klarifikasi Iman Apologetis
Suap kontras dengan karakter Allah sebagai dasar pikir iman Kristen
yang menolak praktik suap. Suap merupakan perilaku yang bertentangan
dengan sifat moral Allah. Di mana nilai-nilai yang terkandung dalam
suap jauh dari kebaikan, kesucian, dan kebenaran yang secara per se
semestinya melekat kepada manusia sebagai imago dei yang mewarisi
karakter Allah. 80 Di sinilah letaknya suap itu bertentangan dengan
karakter Allah. Hakekat ataupun natur Allah, khususnya atribut-atribut
yang tidak dimiliki oleh ciptaan-Nya penting dipahami orang Kristen
secara porporsional sebagai pijakan doktrinal agar jemaat menghindari
perbuatan suap-menyuap itu sendiri. Beberapa atribut Allah tersebut
dipaparkan sebagai berikut. Allah Sebagai yang Mutlak. Kemutlakan
Allah menyatakan keistimewaan-Nya sebagai Allah yang berbeda dari
apapapun, siapapun, dan juga tidak bisa dipengaruhi serta tidak terikat
oleh apapun di luar diri-Nya, bahkan segala sesuatu berasal dari diri-Nya
atau Allah menjadi Penyebab Pertama. Bavink mengatakan dalam
bukunya Dogmatika Reformed bahwa: “Para filsuf cenderung berbicara
tentang Allah sebagai Yang Mutlak, dalam teologi Kristen atribut ini
80 Lih. Togardo Siburian, “Etika Kristen Bagian Sosial Politik”, Bahan
Kuliah STT Bandung, 3.
58 REFLEKSI APOLOGETIS ETIS PADA ISU SUAP
disebut sebagai independensi.”81 Senada dengan apa yang dikatakan oleh
Van Till bahwa Allah yang independen adalah Allah yang berdaulat dan
tidak bisa dipengaruhi oleh apapun di luar diri-Nya82 Pemahaman ini
penting untuk menjernihkan pemahaman, khususnya tentang hal
memberi atau pemberian manusia yang mempengaruhi Allah membalas
jasa manusia dengan memberikan kekayaan atau uang.
Keberadaan dari diri-Nya sendiri dimaknai sebagai aseitas, artinya
bermula dari diri-Nya sendiri atau Allah ada dari diri-Nya sendiri.
Keberadaan ini menyatakan independentia Allah dari apapupun diluar
diri-Nya sekaligus menyatakan ketergantungan segala sesuatu pada diri-
Nya. Berdasarkan keberadaan diri Allah yang sempurna dan kekal serta
segala sesuatu bergantung pada diri-Nya, maka prinsip give and take
dalam konsep persembahan yang terjebak dalam falsafah suap
merupakan perbuatan yang absurd.
Ketidakberubahan Allah. Ketidakberubahan Allah menyatakan
kemutlakan-Nya. Ketidakberubahan sebagai inferensi logis dari self
existence yang tidak disebabkan atau dipengaruhi oleh apapun di luar
diri-Nya sendiri. Menurut Bavink bahwa ketidakberubahan Allah artinya
Allah sama dari dulu, sekarang, dan sampai selama-lamanya, baik esensi,
atribut, keberadaan, kesempurnaan, tujuan dan janji-Nya. 83
Ketidakberubahan ini sekaligus juga menyatakan pemberian ataupun
persembahan yang dilakukan orang Kristen tidak mempengaruhi ataupun
mengubah kehendak-Nya dan tindakan-Nya untuk memberkati melalui
berkat materil. Ketidakterbatasan Allah lagi-lagi menyatakan bahwa Ia
sebagai “Yang Mutlak” dalam frase “Maha” yang menyatakan bahwa
Allah melampaui batasan-batasan yang ada, baik ruang dan waktu. Allah
yang tidak terbatas adalah yang tidak dibatasi oleh apapun. Allah mampu
menolong manusia dengan uang atau tanpa uang.
81 Herman Bavinck, Dogmatika Reformed Jilid 2: Allah dan Penciptaan
(Surabaya: Momentum, 2012), 180. 82 Cornelius van Till, Pengantar Teologi Sistematik (Surabaya: Momentum,
2010), 382. 83 Herman Bavink, Reformed Dogmatics, God and Creation (Grand Rapids:
Baker Academics, 2003), II: 38.
STULOS: JURNAL TEOLOGI 59
Di dalam prinsip pemeliharaan Allah bagi orang percaya
meniscayakan orang Kristen dependen sepenuhnya kepada Allah dalam
totalitas hidupnya. Perilaku suap hanya mengkonfirmasikan hidup dalam
keraguan terhadap pemeliharaan-Nya, tetapi bersandar atau bergantuang
pada uang dan kekayaan. Hal ini menegaskan jaminan hidup orang
Kristen terletak pada providensi Allah bukan pada suap yang merupakan
perilaku menyimpang.
Uang bukanlah Tujuan Hidup: Afirmasi Iman Praktis
Secara praktis ini terkait dengan relasi-relasi Kristen dalam kaitannya
dengan kepemilikan dan kekayaan. Joseph Tong meliputnya dalam tiga
relasi: hubungan perwalian, hubungan pengurus, dan penatalayanan.84 Di
samping itu, uang bukanlah tujuan hidup orang Kristen. Hubungan
perwalian ini spesifik, terbatas, dan temporal. Kita harus menjaga dengan
hati-hati dan siap sedia ketika Allah meminta pertanggungjawaban.
Hubungan perwalian ini menyatakan bahwa orang Kristen itu sebagai
wakil Allah dipercayakan dan selalu siap sedia ketika diminta
pertanggungjawaban dari Allah mengenai kekayaan atau uang.
Relasi pengurus dalam kepemilikan adalah menunjukan tujuan
yang disengaja yang harus dilakukan atau digunakan. Dalam relasi
seperti itu, amanat pengurus perlu mengacu pada keinginan dan
kehendak yang mempercayakan. Kepengurusan ini juga harus selalu
mencari kehendak Allah dalam Alkitab dan doa untuk menggunakan
kekayaan dan uang sesuai dengan keinginan Allah yang
mempercayakannya. Ini menyatakan aspek ketundukan dan
kebergantungan kepada Allah di dalam penggunaan uang dan kekayaan.
Sikap ini mencerminkan rasa takut dalam penggunaan apa yang telah
Allah percayakan. Penyelewengan uang dan kekayaan adalah
pengingkaran atas fungsi dan tugas dari seorang pengurus.
Relasi penatalayanan dengan kekayaan seperti orang yang
diberikan kepercayaan atau kuasa secara umum, di mana Allah memiliki
84 Joseph Tong, “Rethinking The Tradition And The Use Of Wealth And
Money In Christian Perspective: On Christian Tithing,” Stulos Theological Jurnal
Vol. 16/ No. 2 (November 2008): 74.
60 REFLEKSI APOLOGETIS ETIS PADA ISU SUAP
kepercayaan mutlak dalam memberikan kekayaan untuk dipergunakan.
Dengan mempercayai bahwa kita akan menggunakan dengan hati nurani
dan kebijaksanaan dalam terang kebenaran, iman dalam tindakan praktis
untuk menjadi baik dan murah hati, sepanjang itu bertanggung jawab dan
dapat diterima.
Relasi antara orang Kristen dan kekayaan atau uang, bukan
merupakan relasi kepemilikan mutlak umat Tuhan terhadap kekayaan
dan uang. Relasi yang semestinya hanya mencakup kepercayaan yang
Allah berikan dengan tuntutan pertanggungjawaban dibaliknya. Oleh
karena itu, penyimpangan dan penyalahgunaan uang melalui suap
bukanlah relasi yang dikehendaki Allah bagi orang Kristen. Karena itu,
Uang bukanlah tujuan hidup orang Kristen. Uang tidak pernah
menggantikan tujuan hidup orang Kristen. Jadi, cara pikir menjadi absurd
ketika menjadikan uang sebagai tujuan hidup manusia. Hal ini
merupakan manifestasi cinta uang yang dikatakan dalam surat rasul
Paulus kepada Timotius (I Timotius 6:10).
KESIMPULAN
Di kalangan orang Kristen, suap merupakan sebuah fakta yang buruk
bagi perilaku etis. Suap mengancam iman Kristen karena pada satu sisi
dalam relasinya dengan orang non Kristen, seolah-olah kekristenan
permisif terhadap praktik suap.
Demi keuntungan pribadi maka baik penyogok atau yang disogok
telah mengabaikan standar moral. Perbuatan suap sebagai korupsi
merupakan bentuk pelanggaran kemanusiaan. Di mana pelaku suap
dengan mudahnya mengorbankan orang lain, demi dan melalui uang
yang dimiliki ataupun yang akan diperoleh. Hal ini termanifestasi melalui
pelanggaran hukum, penyelewengan kekuasaan dan jabatan, serta
penyalahgunaan uang.
Praktik suap di kalangan orang Kristen justru menghina firman
Allah, tidak percaya anugerah Allah, menyangkali kedaulatan Allah, dan
tidak percaya pemeliharaan-Nya. Bahkan suap terjebak pada
antroposentrisme yang termanifestasi melalui bentuk hidup yang
bergantung kepada diri manusia dan uang. Bukan bergantung kepada
STULOS: JURNAL TEOLOGI 61
Tuhan dan pemeliharaan-Nya. Apologetika sebagai cara untuk
menghadapi suap di kalangan orang Kristen. Apologetika bukan hanya
berlaku dibidang atau area doktrinal (teologi sistematika) semata, tetapi
juga pada area perilaku etis orang Kristen yang menyimpang.
Apologetika etis merupakan sebuah pertanggungjawaban iman
dalam totalitas hidup orang Kristen, termasuk kehidupan praktis. Di
dalam fungsinya, berupaya menjernihkan penyimpangan cara pikir
(worldview) yang mempengaruhi cara tindak (lifeview). Keniscayaan
penelanjangan worldview yang mendasari perilaku suap. Di samping itu,
apologetika etis memproklamasikan relasi semestinya, antara
kepemilikan uang dengan orang Kristen yang menyatakan bahwa Allah
pemilik mutlak uang dan kekayaan. Secara koheren mengacu bahwa
orang Kristen adalah sebagai penatalayanan. Semuanya itu bermuara
pada teisme Kristen, dari Allah, oleh Allah, dan bagi atau untuk Allah, di
dalam keabsolutan diri Allah sendiri. Inilah yang semestinya
mempengaruhi cara hidup kristiani. Cara hidup yang bertendensi pada
kerelaan berkorban tanpa pamrih kepada orang lain, sebab keseluruhan
hidup kristiani didasarkan pada anugerah Allah. Reafirmasi prinsip
memberi dan menerima dalam kerangka pikir iman Kristen yang bertitik
tolak pada anugerah-Nya, mendorong setiap orang Kristen dan gereja
memiliki motivasi yang murni, didasarkan pada kehendak dan ketaatan
pada perintah Allah. Bukan pada semangat humanisme yang
menempatkan manusia seolah-olah sebagai pemilik “mutlak” uang
ataupun kekayaan.
DAFTAR PUSTAKA
Adeney, Bernard T. Etika Sosial Lintas Budaya. Yogyakarta: Kanisius,
2000.
Armerding, Hudson T. Pola Hidup Kristen. Malang: Gandum Mas, 2016.
Bloesch, Donald G. God The Almighty, Power, Wisdom, Holiness, Love.
Downers Grove: InterVarsity Press, 1995.
Boettner, Loraine Iman Reformed. Surabaya: Momentum, 2000.
62 REFLEKSI APOLOGETIS ETIS PADA ISU SUAP
Bahnsen, Greg L. Van Til’s Apologetics: Reading and Analysis.
Phillipsburg: Presbyterian & Reformed, 1998.
________. Dogmatika Reformed: Allah dan Penciptaan. Surabaya:
Momentum, 2012.
Bertens, K. Etika. Jakarta: Gramedia, 2007.
Blomberg, Craig L. Tidak Miskin Tetapi Juga Tidak Kaya – Teologi
Alkitab Tentang Kepemilikan. Jakarta: BPK Gunung Mulia, 2011.
Boice, James Montgomery. Dasar-dasar Iman Kristen. Surabaya:
Momentum, 2011.
Boerma, Conrad. Dapatkah Orang Kaya Masuk Sorga? – Usaha
Memerangi Kemiskinan Berdasarkan Alkitab. Jakarta: BPK
Gunung Mulia, 1999.
Braz, H. A. “Beberapa Catatan Mengenai Sosiologi Korupsi.” Dalam
Bunga Rampai Korupsi. Diedit oleh Mochtar Lubis dan James C.
Scott. Jakarta: Lp3ES, 1985.
________. Etika Sederhana Untuk Semua: Bisnis, Ekonomi dan
Penatalayanan. Jakarta: BPK Gunung Mulia, 2001.
Elwell, Walter A. Encyclopedia of the Bible Vol I. Michigan: Baker Book
House, 1988.
Ferguson, Sinclair. B. Hati yang Dipersembahkan Kepada Allah.
Surabaya: Momentum, 2002.
Fletcher, Verne H. Lihatlah Sang Manusia: Suatu Pendekatan Pada
Etika Kristen Dasar. Jakarta: BPK Gunung Mulia, 2007.
Fortman, Bas de Gaay. Allah dan Harta Benda: Ekonomi Global dalam
Perspektif Peradaban. Jakarta: BPK Gunung Mulia, 2001.
Frame, John. Apologetika Bagi Kemuliaan Allah. Surabaya: Momentum,
2011.
Geisler, Norman. Christian Ethics. Surabaya: SAAT, 2010.
STULOS: JURNAL TEOLOGI 63
Getz, Gene A. A Biblical Theology of Material Possession. Chicago:
Moody, 1990.
Harrison, R. K. Encyclopedia of Biblical and Christian Ethics. Nashville:
Thomas Nelson, 1998.
Herlianto. Teologi Sukses: Antara Allah dan Mamon. Jakarta: BPK
Gunung Mulia, 2006.
Hoffecker, W. Andrew. Membangun Wawasan Dunia Kristen, Vol 1:
Allah, Manusia dan Pengetahuan. Surabaya: Momentum, 2011.
Langston, Richard L. Bribery in The Bible. Singapore: Campus Crusade
Asia, 1991.
Naugle, David K. Wawasan Dunia. Surabaya: Momentum, 2010.
Noonan, John T. Bribes: The Intellectual History of a Moral Idea.
California: University of California, 1984.
Piper, John. Mendambakan Allah. Surabaya: Momentum, 2008.
Platinga, Cornelius.Jr. Jaminan Iman. Terj. Surabaya: Momentum, 2010.
_______. Not the Way It’s Supposed to Be. Surabaya: Momentum, 2004.
Scherer, Andreas. “Issue: Is the Selfish Man Wise?: Considerations
of Context in Proverbs 10:1-22:16 with Special Regard to Surety,
Bribery and Friendship.” Journal for the Study of the Old
Testament. 76 (Des 1997).
Shuy, Roger W. The Language Bribery Case. US: Oxford University
Pres, 2013.
Siburian, Torgardo. “Mencermati Gagasan “Membuat Allah” pada Masa
Kini dan Reafirmasi Allah Tritunggal.” Soli Deo Gloria dan
Pergumulannya Masa Kini. Bandung: STT Bandung, 2010.
Stassen, Glen H. Etika Kerajaan Allah. Surabaya: Momentum, 2013.
Tong, Joseph. “Analisis Ontologis Mengenai Pemikiran Teologis: Suatu
Studi Perbandingan Antara Teologi Antroposentris dan
Teosentris.” Jurnal Teologi Stulos Vol. 6/No.1 (April 2007).
64 REFLEKSI APOLOGETIS ETIS PADA ISU SUAP
Wrage, Alexandra A. Bribery and Extortion. Greerwood Pub. Group,
2007.