referat lb - finish
TRANSCRIPT
BAB I
PENDAHULUAN
1.1 Latar Belakang
Limfoma merupakan penyakit keganasan terbanyak ketiga pada anak setelah leukemia dan
keganasan susunan syaraf pusat.Limfoma maligna adalah tumor ganas primer dari kelenjar limfe dan
jaringan limfatik diorgan lainnya. Penyakit ini dibagi dalam 2 golongan besar, yaitu penyakit
limfoma Hodgkin dan limfoma non Hodgkin (LNH).1
Limfoma Burkitt (LB) termasuk ke dalam subgroup limfoma non-Hodgkin agresif,
mempunyai daya gradasi tinggi dan terbentuk dari sel kecil, tidak membelah (noncleaved), tidak
berdiferensiasi, difus dan berasal dari limfosit B.1
Limfoma Burkitt memiliki peranan penting bagi para ahli dalam memahami
tumorigenesis.Limfoma Burkitt merupakan tumor pada manusia pertama yang berkaitan dengan
virus, salah satu dari tumor pertama yang terbukti memiliki translokasi kromosom yang
mengaktivasi onkogen, dan limfoma pertama yang dilaporkan berkaitan dengan infeksi
HIV.Limfoma Burkitt merupakan tumor yang tumbuh tercepat pada manusia dengan waktu
penggandaan sel (cell doubling time) 24-48 jam.2
Limfoma Burkitt jarang ditemukan pada anak, angka kematian pada kasus ini sangat
tinggi, biasanya pasien meninggal sangat cepat karena waktu penggandaan sel pada tumor ini
sangat cepat. Prognosis lebih baik jika diagnosis ditegakan pada saat ukuran tumor masih kecil
dan segera diberikan kemoterapi.3
Girls who develop secondary sexual characteristics but fail to achieve menarche by 16 years of
age should be evaluated for primary amenorrhea. In boys, delayed sexual development is defined
as no testicular enlargement by 14 years of age or the passing of five years between the initial
and complete development of the genitalia.I. 2 Batasan Masalah
1
Referat ini membahas mengenai definisi, epidemiologi, etiologi, factor risiko,
pathogenesis, manifestasi klinis, pemeriksaan penunjang, tatalaksana dan prognosis limfoma
burkitt pada anak.
I. 3 Tujuan Penulisan
Referat ini dibuat dengan tujuan untuk mengetahui definisi, epidemiologi, etiologi, factor
risiko, pathogenesis, manifestasi klinis, pemeriksaan penunjang, tatalaksana dan prognosis
limfoma burkitt pada anak.
I. 4 Metode Penulisan
Referat ini ditulis dengan menggunakan metode tinjauan pustaka yang merujuk dari
berbagai literatur.
I. 5 Manfaat Penulisan
Referat ini diharapkan dapat memberikan pengetahuan mengenai bagaimana
mendiagnosis dan menatalaksana limfoma burkitt pada anak, sehingga limfoma burkitt pada
anak dapat didiagnosis dan ditatalaksana dengan benar.
2
BAB II
TINJAUAN PUSTAKA
2.1. Definisi
Limfoma burkitt adalah neoplasma ganas yang terjadi pada sistem hematopoetik. Tumor
ini berasal dari pertumbuhan monoklonal limfosit B yang belum sempurna pembentukannya dan
menyebar kedarah diluar sistem getah bening.1
Awal abad ke 20, Sir Albert Cook, seorang dokter missioner di Uganda, dan staf medis
lain yang bekerja di Afrika mencatat banyaknya insiden tumor rahang dan limfoma pada anak.
Tahun 1958, Denis Burkitt, seorang ahli bedah Irlandia yang bekerja di Uganda, melaporkan
kasus seorang anak yang memiliki tumor rahang atau tumor abdominal yang tumbuh sangat
cepat. Burkitt menduga tumor ini adalah sarcoma sel bundar. Tahun 1960 George O’Connor,
seorang ahli patologi anatomi menyimpulkan bahwa tumor tersebut memiliki karakter limfoma.
Tahun 1964, 3 orang virologist; Michael Anthony Epstein, Yvonne Barr dan Bert Achong
mengidentifikasi partikel viral di dalam jaringan tumor, virus ini kemudian dikenali sebagai
Epstein-Barr virus (EBV). Sementara itu, Burkitt melakukan perjalanan di bagian timur dan
tengah afrika untuk menggambarkan penyebaran tumor dan menemukan data bahwasemua anak
yang terkena limfoma burkitt timggal di daerah endemis malaria. Keterkaitan tumor dengan
malaria dan EBV ini telah menginspirasi penelitian di seluruh dunia.3
3
Gambar 2.1 Sejarah pelaporan Limfoma Burkitt
Klasifikasi Limfoma Burkitt menurut WHO(World Health Organization) dibagi menjadi
tiga klinis yaitu endemis, sporadis (jenis utama yang ditemukan di daerah non malaria, dan
immunodefisiensi related.3ketiga jenis ini serupa dalam morfologi, immunofenotip dan fitur
genetiknya, tetapi berbeda secara epidemiologi dan gambaran klinis.3
Varian endemik hampir ditemukan disemua kasus, yang berhubungan dengan daerah
endemik malaria dan EBV .Jenis sporadis terutama terjadi di Amerika Utara dan Eropa.Jenis
sporadik pada limfoma dewasa terdapat 1-2 % kasus dan anak yang menderita Limfoma non-
Hodgkin terdapat 30-40% kasus.Limfoma burkitt yang terkaitimmunodefisiensi sering terlihat
pada pasien dengan infeksi HIV dan kurang dari 40% kasus di AS dan Eropa terkait dengan
EBV.
2.2. Epidemiologi
Epidemiologi berhubungan dengan faktor iklim seperti lingkungan yang lembab, suhu,
ketinggian dari permukaan laut dan curah hujan, sering di jumpai di daerah Afrika dan Amerika.
Kasus paling banyak terdapat di daerah endemik malaria, daerah ekuator Afrika, Brazil dan
Papua Nugini. Daerah penyebaran Limfoma Burkitt yang disebut juga dengan burkitt lymphoma
belt melintas sepanjang Afrika Tengah di kedua sisi khatulistiwa, dimana iklimnya panas dan
lembab (lebih dari 50 cm curah hujan per tahun).3
Dilaporkan 100 kasus baru per tahun di Amerika Serikat, sedangkan insidens di Afrika
berada di sekitar 100 per satu juta anak.Insiden pada anak laki-laki dibanding perempuan 2-3:1,
4
dan lebih sering pada anak-anak usia 7 tahun untuk kasus di Afrika, sementara di luar Afrika usia
rata-rata penderita berumur 11 tahun.4
Gambar 2.2 Insiden Limfoma Burkitt pada anak usia 0-14 tahun
Data mengenai limfoma Burkitt di Indonesia masih sangat sedikit.Hasil penelusuran
rekam medik periode Januari 2001sampai dengan Desember 2006 di RSUPN Cipto
Mangunkusumo Jakarta didapatkan 7 kasus yang diagnosis dengan Limfoma Burkitt, terdiri dari
6 laki-laki dan 1 perempuan.4
2.1 Etiologi dan Faktor Risiko
2.1.1 EBV (Epstein-Barr virus)
EBV adalah sebuah gamma limfotropik herpes virus yang secara luas terdapat pada
manusia. EBV merupakan virus pertama yang dihubungkan dengan kejadian tumor pada
manusia. Penularannya terjadi pada usia muda dan melalui interaksi dengan saliva manusia.5
Lebih dari 90% manusia di dunia terinfeksi EBV dalam siklus kehidupannya. Walaupun
kebanyakan individu yang terinfeksi tetap sehat, EBV dapat menyebabkan kondisi patologis dan
keganasan.6
5
Mekanisme yang mendasari hubungan EBV terhadap infeksi sel B hingga menjadi
keganasan masih belum diketahui secara pasti.3,5,6,7 Beberapa penelitian menghubungkan adanya
pengaruh langsung EBV terhadap Limfoma Burkitt Endemik. EBV menyebabkan terjadinya
perubahan limfosit B normal menjadi sel yang tidak dapat mati yang terus-menerus membelah
seperti sel Limfoma Burkitt dan sel limfoblastoid-B.6
Penelitian di Uganda mendapati bahwa anak dengan titer antibodi yang tinggi terhadap
antigen EBV memiliki resiko yang tinggi untuk berkembang menjadi Limfoma Burkitt. Titer
antibodi yang tinggi ini terdeteksi selama beberapa tahun sebelum anak didiagnosis Limfoma
Burkitt.5
2.1.2 Malaria
Insiden Limfoma Burkitt, terutama Limfoma Burkitt endemik telah lama dihubungkan
dengan peningkatan angka kejadian endemik malaria plasmodium falciparum pada suatu daerah,
seperti yang terjadi di Afrika tengah dan Papua Nugini. 3,6,7
Di Afrika tengah, infeksi P.falciparum terjadi sepanjang tahun. Infeksi ini pertama kali
terjadi pada tahun pertama kehidupan, mencapai puncaknya pada usia 5 tahun dan berkurang
setelah usia 10 tahun.5
Anak yang tinggal di daerah endemik malaria dan EBV memiliki titer antibodi malaria
dan EBV lebih tinggi dibandingkan anak yang tinggal di daerah dengan Limfoma Burkitt
sporadik. Penelitian di Malawi (daerah endemik malaria dan Limfoma Burkitt) menyatakan
bahwa anak dengan titer antibodi yang tinggi ini memiliki resiko 13 kali lipat untuk berkembang
menjadi Limfoma Burkitt endemik dibandingkan dengan anak dengan titer antibodi yang
rendah.6
Malaria akan menyebabkan hiperstimulasi sel B dan menekan aktivitas sel T sehingga
menyebabkan reaktivasi EBV pada sel B yang telah terinfeksi dan selanjutnya terjadi proliferasi
yang cepat.5
6
2.1.3 Infeksi HIV
Inveksi HIV dapat memperburuk patogenesis Limfoma Burkitt. Di negara barat, lebih
dari 20% kejadian Limfoma Burkitt pada Limfoma non Hodgkin dihubungkan dengan HIV.
Pasien dengan HIV dipercaya memiliki resiko 200-1000 kali lipat berkembang menjadi Limfoma
Burkitt dibandingkan dengan pasien tanpa HIV. Dipercaya bahwa imunodefisiensi pada pasien
terinfeksi HIV bertanggung jawab terhadap reaktivasi sel B laten yang terinfeksi EBV dan
berkembang menjadi Limfoma Burkitt. Penelitian terbaru mengatakan bahwa penurunan
aktivitas sel T CD8+ dapat meningkatkan reaktivasi sel B laten yang terinfeksi EBV. Penurunan
aktivitas sel T CD8+ ini terjadi akibat berkurangnya sel T CD4+ pada pasien HIV.5
2.1.4 Faktor resiko lainnya
a. Faktor sosial ekonomi
Pengaruh sosial ekonomi pada ditribusi dan karakter klinis pada Limfoma Burkitt
masih belum jelas. Diduga kemiskinan dapat menurunkan ambang infeksi EBV.
Kemiskinan dihubungkan dengan respon pertahanan tubuh yang lemah akibat kekurangan
nutrisi dan kebersihan yang kurang. Terinfeksi EBV lebih awal dapat memicu
perkembangan Limfoma Burkitt.5
Hubungan sosioekonomi terhadap penyakit limfoma di Nigeria tidak begitu jelas.
Sedangkan Limfoma Burkitt yang terjadi pada populasi modern dan kaya di negara Ghana
lebih sering mengenai daerah abdomen dibandingkan rahang.5
b. Terpajan tanaman
Getah tanaman (Euphorbia tirucalli) dan spesies Euphorbiaceae lainnya dapat
menjadi faktor lingkungan yang mengaktivasi siklus replikasi virus pada fase sel B laten
yang terinfeksi EBV. Tanaman ini banyak tumbuh sebagai semak berlukar atau pohon yang
kecil di berbagai tempat di Afrika tengah dan banyak digunakan dalam acara-acara adat
seperti acara agama, pernikahan, perayaan bayi kembar, pengobatan (untuk mengobati
muntah, sakit kepala, diare dan luka), racun ikan, dan dalam permainan anak-anak.5
7
Ekstrak Euphorbiaceae mengandung minyak Croton. Minyak Croton menyebabkan
peningkatan transformasi sel limfoma yang telah terinduksi EBV menjadi keganasan.5
Gambar 2.3 Euphorbia tirucalli
2.4 Patogenesis
Patogenesis Limfoma Burkit secara keseluruhan masih belum diketahui secara pasti.
Penjelasan mengenai patogenesis penyakit ini pada beberapa literatur hanya terbatas pada kasus-
kasus Limfoma Burkitt endemik. Hanya sedikit literatur yang memuat tentang patogenesis
penyakit Lmfoma Burkitt pada kasus sporadik dan terkait infeksi HIV.
Limfoma Burkitt berasal dari daerah limfonodus germinativum sentral. Sel yang berperan
adalah sel B. EBV diketahui dapat mengubah sel B normal menjadi sel limfoblastoid laten yang
terinfeksi EBV dan bertransformasi menjadi Limfoma Burkitt ganas atau DLBCL (Diffuse Large
B cell Lymphoma). 3,6
Keadaan infeksi laten sel B oleh EBV dibuktikan dengan terdapatnya protein laten yang
terdiri dari 6 antigen nukleus EBV (EBNA 1, 2, 3A, 3B, 3C dan LP) dan tiga protein membran
laten (LMP 1, 2A dan 2B). Ekspresi EBNA1 selalu terlihat pada tumor Limfoma Burkitt endemik,
sedangkan yang lainnya tidak. EBNA1 ini menyebabkan Limfoma Burkitt menjadi resisten
terhadap apoptosis. 3,6
Menurut literatur terbaru, pada kajian biologi molekuler menunjukkan adanya peran
sentral dari deregulasi c-myc pada pada patogenesis Limfoma Burkitt. Lebih dari 80% kasus
Limfoma Burkitt menunjukkan translokasi gen c-myc di ikatan q24 pada kromosom 8 dengan
8
gen imunoglobulin (Ig) pada kromosom 14. Hanya sedikit translokasi yang terjadi dengan
kromosom 2 atau 22. 5,6,7 Translokasi ini menyebabkan terjadinya perubahan dalam regulasi
siklus sel, diferensiasi sel, apoptosis sel, adhesi seluler, dan metabolisme sel.3,5
Keadaan imunodefisiensi yang disebabkan oleh gangguan genetik, transplantasi organ,
atau penyakit infeksi (contohnya malaria dan HIV) dapat meningkatkan resiko terjadinya
translokasi c-myc dan mutasi lainnya pada sel B laten yang terinfeksi EBV.5 Akibatnya akan
terjadi proliferasi sel yang tidak terkendali (keganasan). Hubungan antara EBV, infeksi malaria
dan perubahan genetik yang menyebabkan perkembangan sel B menjadi Limfoma Burkitt
Endemik diperlihatkan pada gambar 2.4.5,6
Gambar 2.4 Patogenesis Limfoma Burkitt endemik
9
2.5 Manifestasi Klinis
Limfoma Burkitt dapat ditemukan pada hampir semua organ tubuh. Daerah kepala dan
leher merupakan lokasi terbanyak pada Limfoma Burkitt . Data American Burkitt’s Lymphoma
menunjukkan bahwa penyakit ini cenderung muncul pada organ yang sedang mengalami
pertumbuhan, yaitu rahang pada anak, payudara serta ovarium pada wanita di usia awal pubertas.
Limfoma Burkitt sporadik paling banyak mengenai daerah abdomen, yaitu sekitar 60-
80%. Gejala yang timbul berupa nyeri perut (25% pasien menderita gangguan ileosekal akibat
massa pada kuadran kanan bawah maupun nyeri karena intususepsi), distensi, mual dan muntah
dan perdarahan gastrointestinal. Lokasi umum lainnya yaitu kepala dan leher, mencakup
limfadenopati serta keterlibatan rongga hidung, orofaring, tonsil, dan sinus, sedangkan rahang
jarang terkena. Keterlibatan sumsum tulang terjadi pada 20% pasien. Beberapa kasus
diklasifikasikan sebagai leukemia Burkitt dan ditandai dengan infiltrasi sumsum tulang yang luas
(lebih dari 25% sel blast) disertai gejala berupa nyeri tulang. Lokasi yang jarang terlibat limfoma
Burkitt antara lain mediastinum, sistem saraf pusat, kulit, testis, payudara, dan kelenjar tiroid.3
Limfoma Burkitt endemik menunjukkan gejala klinis berupa pembengkakan pada rahang
dan periorbital maupun massa pada abdomen (jaringan retroperitoneal, usus, ovarium, atau
ginjal). Lima belas persen pasien menderita paraplegia yang mendadak serta inkontinensia.
Infiltrasi dari sumsum tulang jarang terjadi. Keterlibatan rahang sering terjadi pada anak (puncak
insiden terjadi pada usia 3-7 tahun). Dalam suatu penelitian terhadap 84 anak Malawi dengan
Limfoma Burkitt, 26 anak (31%) muncul dengan keterlibatan wajah saja, sedangkan 52 anak
(62%) dengan keterlibatan abdomen, dan 58 anak (69%) menderita stadium III atau IV menurut
klasifikasi St Jude. Umumnya, pasien menderita malnutrisi saat diagnosis ditegakkan.3
Sebagian besar Limfoma non-Hodgkin sel B merupakan tumor ekstranodal. Karena
Limfoma sel-B pada anak dan remaja sulit untuk dibedakan berdasarkan lokasi tumornya saja,
maka gejala klinis memiliki peranan penting. Gejala yang paling banyak ditemukan adalah
penyakit intraabdominal, sedangkan nodus limfe perifer relatif jarang terlibat. Enam puluh
persen anak dengan Limfoma Burkitt di Afrika (puncak insiden usia 3-4 tahun) menunjukkan
gejala berupa tumor pada rahang, disertai longgarnya gigi atau erupsi gigi dini. Erupsi ini
10
biasanya terjadi pada gigi molar dan di sekitar tumor yang akan tumbuh. Selain itu juga
ditemukan massa multipel pada beberapa segmen rahang. Tumor pada orbital dapat
menyebabkan kompresi saraf-saraf kranial (III, IV, VI) yang melewati bola mata. Oftalmoplegi
dapat timbul timbul tanpa ada massa yang terlihat di orbital atau intrakanial. Lima belas persen
pasien di Afrika menderita paraplegi yang disebabkan oleh massa ekstradural. Gejala seperti ini
sangat jarang terjadi di Amerika Serikat maupun di Eropa. Massa ekstradural menyebabkan
paraplegi baik karena kompresi medula spinalis, oklusi arteri spinalis, maupun keduanya. Infark
pada medula spinalis dapat menyebabkan paraplegia permanen, akan tetapi banyak pasien dapat
sembuh sebagian atau sembuh sempurna apabila kompresi medula spinalis ditangani lebih awal.8
Gejala lain yang jarang ditemukan antara lain intususepsi pada usus halus. Massa
abdominal juga dapat dicurigai jika muncul gejala lokal pada abdomen maupun gejala akibat
kompresi pada struktur traktus biliaris, ureter, traktus gastrointestinal, vena kava inferior atau
pleksus sakroiliaka. Asites jarang ditemukan pada Limfoma Burkitt. Kelenjar di daerah
mesentrium sering terkena, dan pada wanita saja dapat ditemui massa tumor pada ovarium.8
Tumor primer pada toraks dan mediastinum jarang ditemukan. Gejala yang muncul dapat
berupa gangguan pleura dan efusi serosa, tetapi gangguan pada parenkim paru sangat jarang
ditemukan. Tumor pada otot jantung juga sangat jarang, tetapi dapat ditemukan pada pasien
imunokompeten.8
Tumor pada kepala dan leher pada Limfoma Burkitt di luar Afrika dapat bermanifestasi
sebagai hipertrofi tonsil unilateral, sinus nasal, KGB, kelenjar ludah dan tiroid. Secara klinis,
tumor rahang pada Limfoma Burkitt sporadik berbeda dari Limfoma Burkitt di Afrika. Limfoma
Burkitt sporadik tidak memiliki predileksi pada gigi molar yang sedang tumbuh, tetapi sering
ditemukan tumor sumsum tulang generalisata dan lokasi multipel pada penyakit tulang.
Parasellar atau massa ektradura intrakranial atau paraspinal lainnya dapat ditemukan. Gejala
yang muncul berupa gangguan nervus kranialis, seperti parestesis daerah dagu akibat terkenanya
nervus mentalis. Limfadenopati generalisata sering ditemukan pada diffuse large B-cell
lymphoma dan Burkitt-like Lymphoma.8
11
Lokasi lain yang sering terkena termasuk meningen (tampak dengan pleositosis di LCS ),
testis, payudara, kulit, uterus, empedu, tulang dan otak, meskipun tumor intraserebral jarang
ditemukan pada Limfoma Burkitt tanpa infeksi HIV atau keterlibatan kronis meningen
kraniospinal. Keterlibatan payudara terutama ditemukan pada wanita pubertas, hamil, atau
menyusui.8
2.6 Pemeriksaan Penunjang
2.6.1 Pemeriksaan darah
Beberapa pemeriksaan sebaiknya dilakukan pada pasien yang diduga limfoma
Burkitt, seperti pemeriksaan darah rutin, hitung jenis, laju endap darah, pemeriksaan
elektrolit, fungsi hati, waktu pembekuan (PT, APTT, D-dimer) untuk menilai keterlibatan
atau disfungsi hati dan ginjal, serum lactate dehydrogenase dan pemeriksaan asam urat serta
status EBV.3
2.6.2 Pemeriksaan radiologi
Pemeriksaan radiologi memiliki peranan yang sangat penting dalam menentukan
stadium penyakit dan tatalaksana lebih lanjut karena pemeriksaan klinis dan pemeriksaan
patologi saja tidak dapat menentukan metastasis penyakit ini. Pemeriksaan radiologi
digunakan untuk mengetahui lokasi tumor primer di daerah kepala, leher, dada, abdomen,
atau paling sering adalah ekstremitas.9
Dua faktor yang menjadi pertimbangan dalam menentukan pemeriksaan yang akan
digunakan, yaitu:8
a. Evaluasi komplikasi yang dapat menimbulkan kegawatan atau yang berpotensi
menimbulkan kegawatan, seperti kompresi trakea atau gagal ginjal yang disebabkan oleh
massa atau kompensasi metabolik akibat adanya suatu tumor besar.
b. Menentukan perluasan penyakit.
Pemeriksaan radiologi juga digunakan selama dan setelah terapi untuk menilai respon
terhadap terapi dan mendeteksi progresifitas penyakit.8
12
1) Ultrasonography (USG)
Pemeriksaan USG berguna untuk mendeteksi massa intraabdominal, namun pada
beberapa keadaan, USG tidak efektif yaitu saat daerah abdomen terhalang oleh gas usus.8
2) Computed Tomography (CT) Scan
Mengingat tingginya angka kejadian keterlibatan intraabdomen, American Burkitt’s
lymphoma menganjurkan pemeriksaan CT scan pada setiap pasien yang dicurigai menderita
Limfoma Burkitt. Pemeriksaan radiologi harus dilakukan secepat mungkin karena neoplasma
ini memiliki doubling time yang singkat. Beberapa pemeriksaan pencitraan diperlukan untuk
menilai perluasan penyakit intraabdomen secara keseluruhan. Selain radiografi rutin,
scanning gallium, sonografi, scanning hati dan limpa, scanning tulang dan scanning ginjal
juga sangat berguna. CT memberikan keuntungan karena dapat menggambarkan keadaan
beberapa sistem organ dengan cepat dan langsung memvisualisasikan masa limfoma.8
Secara umum, temuan CT scan sejajar dengan radiografi rutin, namun massa
tumor dan hubungannya dengan organ sekitar lebih baik dinilai dengan CT scan. Schaner
dkk. menemukan bahwa CT scan lebih akurat dalam mengidentifikasi metastasis.
menggambarkan perluasan penyakit daripada pemeriksaan lain. Lee dkk. menyatakan bahwa
CT merupakan pemeriksaan yang informatif dalam mengevaluasi stastus klinis 26 dari 27
pasien. Selain itu, pemeriksaan CT dapat menentukan ukuran dan posisi tumor dengan jelas
dan menentukan keputusan untuk melakukan pembedahan.8
3) Magnetic Resonance Imaging (MRI)
MRI yang digunakan seluruh tubuh menggunakan fast spin-echo (FSE) short time
inversion recovery (STIR). Pemeriksaan ini merupakan pemeriksaan skrining yang lebih
sensitif daripada pencitraan konvensional dalam mengidentifikasi seluruh lokasi tumor,
termasuk keterlibatan tulang dan sumsum tulang.8
4) Scanning Galium
Skrining seluruh tubuh juga dapat menggunakan kedokteran nuklir yang memberikan
keuntungan tambahan dan informasi fungsional. Sebagian besar limfoma sel B akan
13
menangkap Galium-67 yang diangkut secara intraseluler melalui reseptor transferin dan
dipresentasikan pada permukaan sel yang berproliferasi dengan cepat. Beberapa peneliti
menyatakan fungsi skintigrafi Galium pada seluruh tubuh adalah untuk mengidentifikasi
lokasi tumor yang tidak diketahui dan untuk menindaklanjuti pasien.8
2.6.3 Aspirasi Sumsun Tulang (BMP)
Aspirasi sumsum tulang harus dilakukan pada setiap pasien limfoma Burkitt karena
sering keterlibatan sumsum tulang yang tidak terduga memberikan implikasi yang penting
dalam perencanaan pengobatan. Bila terdapat sel limfoma pada aspirat, pemeriksaan flow-
cytometry/imunofenotipe harus dilakukan untuk menggolongkan penyakit ini lebih jauh.
Sumsum tulang terlibat pada 20% kasus sporadik dan 8% kasus limfoma Burkitt endemik.
Sebelumnya, keterlibatan sumsum tulang pada tipe sporadik didiagnosis sebagai mature B-
cell acute lymphoblastic leukemia (ALL) atau ALL tipe L3. Namun, menurut klasifikasi
WHO terbaru ALL tipe L3 dipertimbangkan sebagai gambaran leukemia pada Limfoma
Burkitt.10
Gambar 2.5 Gambaran aspirasi sumsum tulang pada Limfoma Burkitt
2.6.4 Biopsi dan Pemeriksaan Histopatologi
Diagnosis limfoma Burkitt dikonfirmasi melalui pemeriksaan mikroskopis.
Pendekatan yang digunakan yaitu mengangkat dan memeriksa jaringan tumor yang paling
mudah dijangkau. Sampel sebaiknya adalah nodus limfe superfisial atau cairan pleura ganas.
14
Biopsi eksisi nodus limfe lebih dianjurkan daripada aspirasi jarum halus karena jaringan yang
disediakan tidak mencukupi untuk semua pemeriksaan yang dibutuhkan.3
Limfoma Burkitt merupakan limfoma non Hodgkin sel B yang sangat agresif dan
ditandai dengan sel monomorfik berukuran sedang dengan derajat proliferasi yang tinggi. Sel
ini berukuran sedang dengan kromatin kasar dan nukleoli basofilik yang menonjol. Beberapa
plasmacytoid dan jenis atipikal menunjukkan adanya beberapa inti pleomorfik. Pada
potongan jaringan, tampak sel terlihat tercetak dan sitoplasma sangat basofilik dengan tepi
sitoplasma membentuk persegi. Proliferasi dan apoptosis sangat tinggi hingga hampir
mencapai 100%.3
Gambar 2.6 Limfoma Burkitt klasik (pewarnaan hematoxylin dan eosin) dengan gambaran “starry sky” dibawah mikroskop
Pemeriksaan sediaan dibawah mikroskop ditemukan tanda khas limfoma Burkitt
berupa ”starry sky appearance”, yang dibentuk oleh debris sel yang difagosit makrofag dan
sel apoptosis (tingible body macrophages). Sel tersebut merupakan turunan sel B. jumlah sel
T sangat sedikit disekitarnya. Namun, gambaran “starry sky” tidak patognomonik pada
limfoma Burkitt dan dapat diamati pada limfoma proliferatif lain seperti pada precursor B-
lymphoblastic lymphoma.3
2.6.5 Pemeriksaan Molekuler
15
Spesimen sitologi diperoleh menggunakan teknik yang telah distandardisasi. Usapan
difiksasi dengan alkohol untuk Papanicolaou (Pap), diwarnai, dan dikeringkan untuk
pewarnaan Diff-Quik (Richard-Allen Scientific; Kalamazoo, MI) (Gambar 1). Bahan pemblok
sel dipersiapkan dengan proses pemindahan menggunakan media RPMI-1640 yang disentrifus
dengan kecepatan 220 ppm selama 10 menit (pada langkah kedua sentrifus dilakukan fiksasi
dengan menambahkan formalin, jika dibutuhkan), dan memindahkan bahan endapan ke kertas
lensa. Kemudian kertas lensa yang telah dilipat, dipindahkan ke kaca objek dan difiksasi dengan
formalin dan diproses secara rutin. Bahan aspirasi dimasukkan untuk analisis FISH dan/atau
flow-cytometry.11
Gambar 2.7 (A) Limfoma Burkitt dengan pewarnaan Diff-Quik; (B) Limfoma Burkitt dengan pewarnaan Papanicolau; (C) Monomorphic posttransplant lymphoproliferative disorder dengan pewarnaan Diff-Quik; (D) Atypical Burkitt’s Lymphoma dengan pewarnaan Papanicolau
Dengan pemeriksaan Polymerase Chain Reaction (PCR) dan Southern blothing ataupun
Fluorescence in situ Hibridization (FISH) dapat dideteksi adanya proliferasi klonal sel-sel
limfosit B maupun adanya abnormalitas kromosom. Pada 70 – 95% kasus follicular lymphoma
dijumpai abnormalitas sitogenetik pada t(14;18)q(32;21) yang melibatkan rearrangement gen
Bcl-2. Enampuluh persen kasus extranodal marginal zone B cell lymphoma menunjukkan
16
trisomi 3 dan abnormalitas kromosom pada t(11;18) q(21;21) dijumpai pada 25 – 50% kasus.
Namun demikian, pemeriksaan PCR, southern blothing dan FISH memerlukan peralatan dan
biaya yang mahal. Pada laboratorium patologi yang relatif sederhana, pemeriksaan
imunohistokimia dapat berperan sebagai pengganti pemeriksaan sitogenetik dan molekular ini.12
2.6.6 Pemeriksaan Imunohistokimia
Pemeriksaan imunohistokimia yang dapat digunakan untuk membedakan adanya
keganasan dengan proses reaktif pada nodus limfa meliputi pemeriksaan imunohistokimia
dengan antibodi spesifik terhadap rantai ringan immunoglobulin kappa ataupun lambda serta
protein Bcl-2. Secara random dalam sekumpulan sel-sel limfoid B jinak, pada duapertiga dari
seluruh jumlah sel dijumpai rantai ringan immunoglobulin kappa dan sepertiganya merupakan
immunoglobulin dengan rantai ringan lambda. Dengan pemeriksaan imunohistokimia
menggunakan antibodi terhadap rantai ringan immunoglobulin kappa, pada jaringan limfoid
tersebut dijumpai kurang lebih duapertiga dari seluruh sel akan terpulas positif. Sebaliknya,
dengan pemeriksaan imunohistokimia menggunakan antibodi terhadap rantai ringan
immunoglobulin lambda, kurang lebih sepertiga sel akan terpulas positif.12
Sebagai salah satu jenis neoplasma ganas, limfoma non-Hodgkin sel B terdiri dari
sekumpulan sel-sel limfoid yang bersifat monoklonal. Oleh karena itu, pada sel-sel limfoid
tersebut hanya dijumpai satu jenis molekul permukaan immunoglobulin baik berupa rantai
ringan kappa maupun lambda saja. Dengan pulasan imunohistokimia, sel-sel tersebut hanya
menunjukkan positivitas terhadap salah satu jenis rantai ringan immunoglobulin dan tidak
dijumpai campuran antara kappa dengan lambda seperti pada proses reaktif non neoplastik.12
Limfoma Burkitt memiliki imunofenotipe yang terdiri dari ekspresi antigen sel B
CD19, dan CD20, ekspresi CD10, kurangnya Bcl-2 atau Terminal deoxynucleotid Transferase
(TdT), dan fraksi pertumbuhan yang tinggi. Translokasi c-myc juga sangat penting untuk
menentukan diagnosis. Translokasi t(8;14) umumnya melibatkan lokus rantai berat
immunoglobulin (Ig), sedangkan translokasi lainnya yang mencakup t(2;8) atau t(8;22)
melibatkan lokus rantai ringan immunoglobulin.12
Disamping deteksi klonalitas berdasarkan rantai ringan immunoglobulin kappa atau
lambda, pemeriksaan imunohistokimia terhadap protein Bcl-2 dapat digunakan pula untuk
membedakan proses reaktif non neoplastik pada limfonodi dengan follicular lymphoma. Secara
17
histopatologi rutin, follicular lymphoma kadang-kadang sulit dibedakan dengan hiperplasi
folikel limfoid pada proses reaktif non neoplastik. Pada sentrum germinativum folikel limfoid
non neoplastik, tidak dijumpai positivitas protein Bcl-2, sedangkan pada follicular lymphoma,
pemeriksaan imunohistokimia dengan antibodi Bcl-2 menunjukkan hasil positif.12
Secara garis besar, limfoma non Hodgkin sel B dibedakan dalam 2 kelompok besar,
precursor B-lymphoblastic lymphoma dan limfoma sel B matur. Precursor B-lymphoblastic
lymphoma terjadi pada usia muda dan pada pemeriksaan histopatologi menunjukkan sel-sel
berukuran kecil sampai besar yang kadang-kadang memperlihatkan gambaran starry sky.
Gambaran tersebut menyerupai Burkitt Lymphoma, salah satu jenis limfoma sel B matur.
Untuk membedakan precursor sel limfosit dengan limfosit matur dapat digunakan pemeriksaan
imunohistokimia dengan antibodi TdT (terminal deoxynucleotidyl transferase). Dari penelitian,
terdahulu dikemukakan bahwa 80% precursor B-lymphoblastic lymphoma menunjukkan
ekspresi TdT positif. Disamping itu, Burkitt Lymphoma merupakan jenis limfoma dengan
indeks proliferasi tinggi. Pada pemeriksaan imunohistokimia terhadap indeks proliferasi sel
dengan antibodi Ki-67 atau MIB-1. Burkitt Lymphoma menunjukkan nilai 100% dan precursor
B-lymphoblastic lymphoma hanya menunjukkan nilai sekitar 80%.12
Jenis-jenis limfoma dengan tipe sel kecil dijumpai dari kelompok limfoma non
Hodgkin sel B matur, diantaranya meliputi small lymphocytic lymphoma, mantle cell
lymphoma marginal zone B cell lymphoma dan lymphoplasmacytic lymphoma. Dengan
pemeriksaan histopatologi rutin, jenis-jenis limfoma tersebut kadang-kadang sulit dibedakan
karena semuanya terdiri dari sel-sel tumor limfoid berukuran kecil. Walaupun secara umum,
limfoma dengan tipe sel kecil memiliki prognosis lebih baik dibandingkan dengan tipe sel
besar, mantle cell lymphoma diketahui memiliki prognosis lebih buruk dari limfoma tipe sel
kecil lain. Oleh karena itu, diagnosis pasti dan klasifikasi yang sesuai dari jenis-jenis limfoma
tersebut sangat penting pada pengelolaan penderita dan penentuan prognosis. Diagnosis
molekular mantle cell lymphoma meliputi translokasi kromosom t(11;14)q(13;32). Translokasi
tersebut melibatkan penyusunan ulang protoonkogen Bcl-1 dari kromosom 11 pada rantai berat
immunoglobulin kromosom 14, mengakibatkan ekspresi berlebih protein cyclin D1. Ekspresi
cyclin D1 bukan merupakan marker spesifik untuk mantle cell lymphoma. Ekspresi protein
cyclin D1 dapat pula dijumpai pada plasmacytoma/myeloma, beberapa kasus B-cell chronic
18
lymphocytic leukemia dan hairy cell leukemia. Meskipun demikian, kadar kadar ekspresi
protein cyclin D1 jenis-jenis limfoma lain. Selain menyingkirkan diagnosis banding limfoma
tipe sel kecil lain, ekspresi cyclin D1 dapat digunakan untuk membedakan varian blastoid
mentle cell lymphoma dengan B-lymphoblastic lymphoma.12
Dalam kelompok limfoma non Hodgkin sel B matur berdasarkan klasifikasi WHO,
dijumpai pula limfoma tipe sel kecil yang dikenal sebagai Waldenstrom macroglobulinemia
atau lymphoplasmacytic lymphoma. Pada pemeriksaan histopatologi rutin, lymphoplasmacytic
lymphoma kadang-kadang sulit dibedakan dengan small lymphocytic lymphoma. Dengan
pemeriksaan imunohistokimia, rendahnya ekspresi CD5 serta tingginya intensitas ekspresi
immunoglobulin pada sitoplasma sel dapat digunakan untuk membedakan lymphoplasmacytic
lymphoma dengan small lymphocytic lymphoma.12
Selain tipe sel kecil, jenis limfoma sel B matur lain yang lebih sering dijumpai adalah
limfoma dengan tipe sel besar atau diffuse large B cell lymphoma. Diffuse large B cell
lymphoma merupakan tumor ganas jaringan limfoid yang paling sering dijumpai dan meliputi
30 – 40% dari seluruh limfoma non Hodgkin. Sebagian besar diagnosis kasus diffuse large B
cell lymphoma dapat ditegakkan dengan pemeriksaan histopatologi rutin. Walaupun demikian
kadang-kadang jenis limfoma tersebut sulit dibedakan dengan neoplasma ganas epithelial
terutama jenis karsinoma sel skuamosa diferensisasi buruk atau undifferentiated carcinoma.
Untuk menyingkirkan diagnosis karsinoma dapat digunakan pemeriksaan imunohistokimia
LCA (Leucocyte common Antigen). Sebagian besar limfoma dan leukemia menunjukkan
ekspresi LCA positif. Walaupun demikian salah satu jenis limfoma sel B matur, yang dikenal
sebagai plasma cell neoplasms dan sel-sel Reed Stenberg pada Hodgkin Lymphoma biasanya
tidak menunjukkan hasil positif terhadap pemeriksaan imunohistokimia tersebut.12
2.7 Stadium Limfoma Burkitt
Klasifikasi stadium pada limfoma Burkitt digunakan untuk menentukan derajat
keparahan dan untuk menentukan prognosis. Beberapa sistem staging telah dikembangkan
untuk Limfoma non Hodgkin anak, baik limfoma Burkitt Afrika ataupun limfoma Burkitt
pada umumnya. Kedua klasifikasi ini cukup mirip. Klasifikasi Limfoma non Hodgkin
berbeda dalam batasan penyakit, dimana pada limfoma non Hodgkin Afrika biasanya pada
19
daerah muka (tumor rahang atau orbital). Dalam sistem staging Limfoma Burkitt (tabel 2.1),
batasan penyakit dibagi antara tumor tunggal dan tumor multiple di wajah.3
Selanjutnya, sistem staging yang mirip dengan sistem yang digunakan di Afrika telah
dikembangkan di Amerika Serikat yang dikenal dengan klasifikasi Wollner dan St. Jude
(tabel 2.1). Meskipun memiliki beberapa kekurangan, sistem staging ini terus digunakan
hingga sekarang dan diterima secara universal. Sistem ini digunakan untuk seluruh limfoma
non Hodgkin meskipun keterlibatan organ dan jaringan pada setiap subtipe limfoma berbeda.
Masalah lainnya adalah perbedaan dalam penentuan pasien limfoma non Hodgkin
berdasarkan keterlibatan sumsum tulang kurang dari 25% (jika begitu, diagnosis leukemia
pantas ditegakkan). Hal ini membuat subdivisi artifisial antara limfoma limfoblastik dan
leukemia limfoblastik akut. Padahal sebagian besar ahli onkologi anak merujuk limfoma
Burkitt atau Burkitt-like lymphoma dengan keterlibatan melebihi 25% sumsum tulang seperti
pada leukemia sel B akut. Istilah ini tidak dapat dimasukkan dalam klasifikasi WHO.3
Tabel 2.1 Stadium klinis Limfoma Burkitt berdasarkan Ziegler di Uganda
Stadium
Klasifikasi
I Tumor tunggal wajah
II Dua atau lebih massa tumor wajah yang terpisah
III Intrathorak, intraabdomen, paraspinal, atau tumor osseus (selain tulang wajah)
IV SSP (sel ganas pada CSS) atau sumsum tulang
Tabel 2.2 Sistem staging St. Jude untuk Limfoma non Hodgkin anak
Stadium
Klasifikasi
I Tumor tunggal (ekstranodal) atau daerah anatomik tunggal (nodal), selain mediastinum
20
atau abdomen
II
Tumor tunggal (ekstranodal) dengan keterlibatan limfe regional
Salah satu sisi diafragma:
a) Dua atau lebih nodusb) Dua tumor tunggal (ekstranodal)
dengan/tanpa keterlibatan limfe regionalTumor primer pada saluran pencernaan (biasanya ileosekal) dengan/tanpa keterlibatan nodus mesentrikus
III
Kedua sisi diafragma:
a) Dua tumor tunggal (ekstranodal)b) Dua atau lebih daerah nodul
Semua perluasan tumor primer intraabdomen yang tidak bisa direseksiSemua tumor paraspinal/epidural yang tidak berhubungan dengan tempat lain
IVSetiap poin diatas dengan keterlibatan SSP atau sumsum tulang (<25%)
2.8 Diagnosis Diferensial
Diagnosis diferensial Limfoma Burkitt yang utama adalah limfoma sel B high-grade
lainnya, terutama diffuse large B-cell lymphoma (lihat Gambar 4). Gambaran limfoma
Burkitt terdiri dari infiltrat sel limfoid atipikal difus dengan mitosis dan pola starry sky
yang menonjol karena adanya badan makrofag multipel serta imunotipe CD20+, CD10+,
Bcl-6+, Bcl-2-, TdT- dan monotype sIg+, dengan Ki67+ pada hampir semua sel
(proliferasi) dan translokasi yang melibatkan c-myc dan IgH atau IgL, tanpa translokasi
yang melibatkan gen Bcl-2 atau Bcl-6. Ekspresi protein c-myc telah dipikirkan untuk
mendukung limfoma Burkitt dibandingkan dengan diffuse large B-cell lymphoma, tapi
pada penelitian berbeda, diffuse B-cell lymphoma juga mengekspresikan protein c-myc.13
21
Gambar 2.8 Limfoma Burkitt (kiri) dan diffuse large B-cell lymphoma (kanan)
Limfoma pada anak dengan morfologi limfoma Burkitt muncul seragam dengan
imunofenotipe dan sitogenetik yang diharapkan. Pada penelitian diffuse large B-cell
lymphoma dan Limfoma Burkitt yang bersubjek pada panel imunofenotipe, mencakup
petanda germinal center (GC) (CD10,Bcl-6) dan activated B-cell (ABC)(Bcl-2, CD44,
CD138, MUM1), pengelompokkan jenis diferensiasi menghasilkan 2 kelompok besar,
yaitu: satu kelompok dengan GC tinggi/ABC rendah yang cenderung memasukkan
interpretasi limfoma Burkitt secara mofologi, dan kelompok kedua dengan GC
rendah/ABC tinggi yang memasukkan diffuse large B-cell lymphoma. Bagaimanapun
juga terdapat continuum ekspresi petanda GC dan ABC tanpa pemisahan yang berbeda
antara kedua kelompok, mengesankan bahwa terdapat hubungan biologi yang cocok
antara limfoma Burkitt dan diffuse large B-cell lymphoma. Sama halnya, dimana semua
limfoma Burkitt menunjukkan adanya translokasi myc, tetapi terdapat 5 – 15% diffuse
large B-cell lymphoma yang juga menggambarkan adanya penyusunan ulang myc.
Translokasi myc jarang ditemukan pada limfoma folikular, mantle cell lymphoma, dan
plasma-cell myeloma. Translokasi c-myc pada beberapa kasus dipertimbangkan sebagai
proses sekunder. Limfoma Burkitt dilaporkan memiliki frekuensi mutasi area somatik
IgH yang rendah daripada diffuse large B-cell lymphoma, padahal analisis ini tidak
tersedia dalam kecukupan kerangka rapid time untuk membantu diagnosis banding.13
2.9 Penatalaksanaan
2.9.1 Terapi Terdahulu
22
Penelitian mengenai penggunaan kemoterapi untuk Limfoma Burkitt berawal di
Afrika. Penggunaan kemoterapi dilakukan karena tidak tersedianya fasilitas
radioterapi serta sangat sedikit pasien yang memungkinkan untuk dilakukan reseksi
komplit. Kemoterapi yang pertama digunakan adalah Methotreksat dosis tunggal
dilakukan oleh Dr. Burkitt pada 2 pasien anak. Kedua pasien memiliki respon yang
sangat cepat dan nyata setelah diberikan dosis tunggal MTX, meskipun kemudian
anak pertama mengalami relaps dan anak kedua mengalami remisi yang lama. Pada
dasarnya semua pasien yang diterapi sebelum ditemukannya kemoterapi meninggal
dunia (sangat sedikit pengecualian dimana terjadi remisi spontan). Selain MTX,
beberapa obat tercatat menunjukkan hasil pengecilan ukuran tumor yang nyata, remisi
klinis komplit, dan waktu survival yang lebih lama. Obat – obat ini adalah
siklofosfamid (CPA), metrotreksat (MTX) dan vincristine (VCR). 14
Peneliti di Afrika mempercayai bahwa respon imun anti-tumor merupakan elemen
yang sangat penting pada pasien yang sembuh. Selain itu, peneliti ini juga
menghindari durasi terapi yang panjang (contohnya lebih dari satu atau dua dosis
obat) karena mereka khawatir efek kemoterapi yang merusak sel dapat menyebabkan
imunosupresi. Meskipun pemikiran ini berdasarkan informasi yang terbatas dan jika
ditinjau kembali saat ini hal tersebut mungkin tidak benar, terapi jangka lama (lebih
dari beberapa bulan) terbukti tidak menguntungkan. Durasi terapi optimal tergantung
pada perluasan penyakit yang bervariasi antara satu pasien dan lainnya.14
2.9.2 Terapi Modern
Limfoma Burkitt memiliki karakteristik tingkat proliferasi yang tinggi dan
doubling time yang pendek, sehingga biasanya Limfoma Burkitt didiagnosis saat
tumor sudah besar dengan stadium tingkat lanjut. Kemoterapi yang diberikan
haruslah intesif, sesuai dengan tingkatan besar tumor, mengkombinasikan beberapa
obat dan diberikan dalam beberapa siklus. Obat yang paling umum digunakan adalah
siklofosfamid (CPA), methotreksat (MTX) dosis tinggi, dan cytarabine (ARA-C). Obat
lain yang efektif adalah doxorubicin, vincristine, VP16 (etoposide), ifosfamide dan
kortikosteroid. Profilaksis CNS sangatlah penting. Dalam hal ini diberikan injeksi
23
intratekal MTX dan/atau ARA-C dan dengan MTX dosis tinggi ± ARA-C dosis tinggi.
Radioterapi kranial diduga tidak efektif pada Limfoma Burkitt, oleh karena itu terapi
ini tidak perlu dilakukan. Terapi dilakukan dalam durasi singkat, biasanya
berlangsung selama beberapa bulan. Relaps pada Limfoma Burkitt biasanya terjadi
dalam tahun pertama terapi. Sehingga, pada pasien yang bertahan hidup pada remisi
komplit pertama setelah satu tahun dapat dikategorikan sebagai ‘sembuh’. Dengan
protokol LMB yang dikembangkan oleh the Societe dan protokol the Berlin-
Frankfurt-Munster (BFM) di jerman, angka survival mencapai rata-rata 90%. 16
Terdapat perbedaan tatalaksana Limfoma Burkitt pada negara dengan pendapatan
per kapita tinggi dan negara dengan pendapatan per kapita rendah terkait dengan
biaya dan fasilitas pelayanan kesehatan. Pada negara dengan pendapatan per kapita
tinggi, tatalaksana Limfoma Burkitt pada sebagian besar pusat pelayanan kesehatan
berpedoman pada penelitian FAB LMB (penelitian kerjasama antara Children’s
Cancer Group, the Société Française d’Oncologie Pédiatrique, dan the UK
Children’s Cancer Study Group) atau Berlin–Frankfurt–Münster protokol. Protokol
FAB LMB terdiri dari sitoreduksi dengan siklofosfamid, prednisolon, dan vincristin
yang kemudian diikuti dengan kemoterapi yang lebih intensif dengan kombinasi yang
bervariasi. Risiko sindrom lisis tumor sangat tinggi pada beberapa hari pertama
terapi, tetapi penggunaan ureum oksidase dapat menurunkan risiko ini secara
bertahap. Karena efek toksik dari protokol ini, dibutuhkan perawatan suportif yang
memadai. Hal ini tidak tersedia di negara dengan pendapatan per kapita rendah,
seperti di negara berkembang.3
Secara garis besar, terapi Limfoma Burkitt dapat dibagi atas 3 kelompok besar
pasien. Anak dengan penyakit terlokalisir dimana tumor telah diangkat sepenuhnya
dengan tindakan bedah hanya membutuhkan dua siklus kemoterapi intensif dengan
level medium seperti siklofosfamid, vincristine, prednisolone, dan doxorubicin. Anak
dengan gejala residu atau penyakit stadium III membutuhkan setidaknya empat siklus
kemoterapi dosis intensif, seperti dua siklus siklofosfamid, vincristine, prednisolone,
doxorubicin, dan methotreksat dosis tinggi diikuti oleh dua siklus cytarabine dan
methotreksat dosis tinggi dengan pengobatan intratekal. Anak dengan keterlibatan
24
sumsum tulang diberikan tatalaksana yang serupa dengan kelompok kedua, namun
pasien ini menerima tatalaksana dosis intensif hingga 8 siklus. Terapi ini secara
umum meliputi dua siklus siklofosfamid, vincristine, prednisolone, doxorubicin, dan
methotreksat dosis tinggi yang diikuti oleh dua siklus cytarabine dosis tinggi dan
rendah dan etoposide, dan empat siklus maintenance dengan kombinasi yang
bervariasi antara vincristine, prednisolone, methotreksat dosis tinggi, siklofosfamid,
doxorubicin, cytarabine, dan etoposide. Terapi intratekal juga diberikan bersamaan
dengan kemoterapi sistemik.1
Pada negara dengan pendapatan per kapita rendah, Terapi harus dimodifikasi
berdasarkan kondisi setempat untuk menghindari tingkat mortalitas terkait terapi.
Intensitas terapi ditentukan berdasarkan jumlah fasilitas perawatan suportif yang
tersedia, toleransi anak terhadap kemoterapi, dan tingkat komorbiditas. Contohnya di
Malawi, tatalaksana limfoma burkitt untuk semua stadium adalah siklofosfamid
intravena ( 40 mg/kg pada hari pertama dan siklofosfamid oral 60 mg/kg pada hari 8,
18, dan 28). Hidrokortison intratekal (12.5 mg) dan methotreksat (12.5 mg) diberikan
pada setiap siklus kemoterapi. Total biaya dari siklus kemoterapi selama 28 hari ini
adalah kurang dari USD 50. Dilakukannya terapi intensif dengan methotreksat dosis
tinggi mengakibatkan meningkatnya mortalitas terkait-terapi (11 dari 42 partisipan).3
Menurut penelitian prospektif multisentris yang dilakukan oleh French African
Pediatric Oncology Group (GFAOP), untuk tatalaksana dengan biaya yang
terjangkau bagi negara-negara berkembang, monoterapi siklofosfamid
direkomendasikan untuk tatalaksana limfoma burkitt stadium 1 dan 2 karena rasio
cost/benefit yang optimal. 16
Perawatan suportif yang adekuat sangatlah penting meskipun tidak dilakukan
secara intensif seperti pada negara maju. Perawatan suportif ini mencakup langkah-
langkah untuk mencegah dan mentatalaksana sindrom lisis tumor, asupan nutrisi
(malnutrisi sering berkaitan dengan neutropenia terkait kemoterapi), anti emetik,
dukungan transfusi, dan penanggulangan demam. Pada negara berkembang, banyak
pasien tidak sanggup menyelesaikan seluruh siklus terapi akibat kurangnya biaya,
jauhnya tempat pelayanan kesehatan dan rendahnya pengetahuan akan kesehatan. 3
25
Protokol kemoterapi yang digunakan di Indonesia merujuk kepada protokol yang
digunakan Divisi Hemato-Onkologi Departemen IKA FKUI. Protokol ini terdiri dari
prednisolon (60 mg/m2/hari) selama 4 hari, Ara-C 250 mg/m2/hari melalui infus
terus menerus pada hari 7, 8 dan 9. Metotreksat + Ara-C + Deksametason secara
intratekal pada hari 1, 4, 14, 17 dan 28. Siklofosfamid I.V dosis 1000 mg/m2
diberikan pada hari 1, 14 dan 28. Vinkristin 1.4 mg/m2 I.V pada hari 1, 14, 28.
Metotreksat 500 mg/m2 I.V hari 2, 3, 15, 16, 29 dan 30.2
2.9.3 Kemoterapi
1) Siklofosfamid (CPA)
Siklofosfamid adalah agen antineoplastik yang dimetabolisme untuk mengaktivasi
metabolit teralkilasi yang memiliki komponen mirip dengan chlormethine. Siklofosfamid
juga memiliki komponen imunosupresan. Penggunaan CPA sangat luas, sering digunakan
dalam kombinasi dengan agen lain sebagai terapi penyakit keganasan.17
CPA tergolong dalam golongan agen peng-alkil. Kelompok alkil adalah struktur
kimia yang terbentuk ketika hidrokarbon aromatik atau analifatik kehilangan salah satu
atom hidrogennya. Kelompok alkil yang paling sederhana memiliki rumus kimia CH2.
Prinsip kerja dari agen peng-alkil sitotoksik adalah untuk menyerang atom nitrogen pada
posisi N7 dari basa purin dan guanin pada DNA dan RNA. 18
Efek samping
Efek samping CPA yang umum ditemukan adalah toksisitas pada sumsum tulang,
infeksi oportunistik, sistitis hemoragik, infertitilitas sementara, mual, muntah, dan rambut
rontok. Sedangkan, pneumonia, toksisitas pada hati ataupun jantung jarang ditemukan.
Pemberian CPA dapat meningkatkan risiko terjadinya tumor, sindrom mielodiplastik
(MDS) dan toksisitas pada gonad. Penggunaan CPA jangka panjang menunjukkan
peningkatan insidensi malignansi pada buli-buli, sistem hematopoetic dan kulit.19
2) Methotreksat (MTX)
Methotreksat (MTX) adalah agen kemoterapi yang bekerja dengan menghambat
proliferasi sel ganas, terutama dengan menghambat sintesis de novo purin dan
26
pirimidin.21 Mekanisme kerja MTX lainnya adalah supresi reaksi transmetilasi dengan
cara akumulasi poliamino, reduksi proliferasi sel T antigen-dependen, dan peningkatan
pelepasan adenosin dengan supresi inflamasi termediasi adenosin. Kombinasi dari
mekanisme inilah yang menyebabkan efek antiinflamasi pada MTX. 20
Efek Samping
Toksisitas methotreksat berkaitan dengan sifat antagonis folat. Efek samping MTX
antara lain anemia, neutropenia, stomatitis, dan ulkus oral, yang dapat dicegah atau
dikurangi dengan suplementasi folat. Toksisitas MTX yang tidak berkaitan dengan
supresi asam folat termasuk nodulosis, fibrosis hepatik, fibrosis paru, letargi, fatigue, dan
insufisiensi renal.21 Selain itu,MTX memiliki efek neurotoksik, salah satu diantaranya
adalah leukoensefalopati.22
3) Vincristine
Vincristine adalah alkaloid vinca yang digunakan sebagai kombinasi dengan agen
antineoplastik lainnya pada kemoterapi tumor padat, limfoma, dan leukimia. Obat ini
termasuk dalam golongan anti-mikrotubuli sitotoksik. Selama metafase pada mitosis,
kromosom akan tersusun pada gelondong sel sebelum berpisah untuk membentuk dua sel
baru. Gelondong sel ini dibentuk oleh protein tubulin. Obat anti-mikrotubuli sitotoksik
bereaksi dengan tubulin dalam satu dari dua cara : 1) alkaloid vinca mencegah
terbentuknya gelondong atau 2) taxane menstabilisasi, atau membekukan gelondong
tersebut sehingga proses mitosis tidak dapat dilanjutkan, dimana pada akhirnya akan
terjadi kematian sel. 25
Efek Samping
Vincristine dapat mengakibatkan konstipasi, poliuria, disuria, fatigue, neutropenia.
Obat ini juga dapat menyebabkan neuropati kranial seperti kelemahan anggota gerak
bawah, palsi nervus kranial, transient cortical blindness, disfungsi nervus okulomotorius,
nyeri pada rahang, facial palsy tuli sensorineural dan paresis nervus faringeal.25 Rashi
Upmanyu et al menyatakan dalam penelitiannya bahwa vincristine memiliki efek
hepatotoksik. 26
27
4) Cytarabine
Cytarabine, umum dikenal dengan nama Ara-C, adalah agen kemoterapi yang
terutama digunakan dalam terapi kanker hematologi seperti limfoma non hodgkin dan
leukimia mieloid akut. Cytarabine bekerja dengan cara merusak DNA selama fase S
dalam siklus sel, juga menghambat polimerase DNA dan RNA dan enzim nukleotida
reduktase yang dibutuhkan untuk sintesis DNA.
Efek Samping
Beberapa efek toksik dari cytarabine adalah leukopenia, trombositopenia, anemia,
gangguan saluran pencernaan, demam, konjungtivitis dan pneumonitis. 23
2.9.4 Terapi terbaru Limfoma Burkitt
Penggunaan rituximab (anti-CD20) pada Limfoma Burkitt sebagai kemoterapi
masih dalam proses penelitian. Rituximab adalah antibodi monoklonal anti-CD20
yang menyebabkan apoptosis sel B. Rituximab telah ditambahkan pada regimen
hyper-CVAD (siklofosfamid dosis tinggi, doxorubicin, vincristine dan dexamethasone
bergantian dengan methotreksat dan cytarabine, CHOP (siklofosfamid, doxorubicin,
vincristine dan prednisone), dan EPOCH (etoposide, prednisone, vincristine,
siklofosfamid, doxorubicin) dengan hasil uji pendahuluan yang memuaskan. Fayad et
al melaporkan bahwa penambahan rituximab ke dalam protokol Hyper-CVAD
meningkatkan angka bertahan hidup 3 tahun sebesar 89% pada pasien limfoma
burkitt.3
Agen terapeutik lain yang sedang dikembangkan adalah Epratuzumab yang
merupakan antibodi monoklonal anti-CD22 yang secara in vitro menunjukkan
mekanisme yang berbeda tetapi sinergis dalam menyebabkan apoptosis limfoma sel B
(seperti halnya rituximab). Penelitian mengenai rituximab, epratuzumab dan agen
lainnya sedang dilakukan. Hasil yang memuaskan diharapkan dari aksi sinergis antara
imunoterapi dan kemoterapi pada Limfoma Burkitt. Terapi dengan target molekular
saat ini sedang diteliti, termasuk histone deacetylase inhibitors, selective serotonin
28
reuptake inhibitors, antisense oligonucleotides terhadap Myc, proteasome
inhibitors,dan cyclin-dependent kinase inhibitors. Semua agen ini telah digunakan
pada sel burkitt secara in vitro, tetapi belum teruji secara klinis.10
2.9.5 Peran tindakan bedah
Tindakan bedah, baik reseksi komplit maupun inkomplit terutama pada limfoma
intra-abdominal masih menjadi perdebatan. Reseksi komplit dilakukan pada
gangguan saluran cerna ringan (sering pada ileum terminal) untuk menanggulangi
kasus emergency atau pada massa yang besar, misalnya pada tumor ovarium (tanpa
tumor di tempat lain) atau dengan massa tunggal intra abdomen yang tidak menempel
pada struktur jaringan di sekitarnya, terutama di retroperineum. Pasien dengan tumor
berukuran relatif kecil yang telah direseksi seluruhnya diberikan kemoterapi
sederhana dan memiliki prognosis yang lebih baik.8
2.9.6 Peran radioterapi
Saat ini, radioterapi memiliki peran terbatas dalam tatalaksana limfoma sel B pada
anak. Berdasarkan penelitian Glatstein et al, didapatkan bahwa terapi radioterapi saja
merupakan modalitas terapi yang buruk jika dibandingkan dengan kemoterapi.
Meskipun pada beberapa pasien, terutama pada stadium awal yang masih terbatas,
prognosis dapat lebih baik. Kegagalan radioterapi disebabkan oleh kembali
tumbuhnya tumor yang berada di luar lapangan radioterapi, terutama pada sumsum
tulang.
Seperti halnya pada leukemia limfoblastik akut, radioterapi kranial awalnya
digunakan untuk profilaksis CNS pada anak dengan limfoma non Hodgkin, termasuk
limfoma sel B, pada beberapa institusi dan lembaga. Di USA dan Eropa, penggunaan
radioterapi neuraxis untuk pencegahan penyakit CNS masih dilakukan. Penelitian
non-random dari Memorial Sloan Kettering Hospital dan CCSG membuktikan bahwa
radioterapi kranial tidak lebih menguntungkan dibandingkan dengan terapi intratekal
(dengan atau tanpa MTX dosis tinggi dan/atau ARA-C dosis tinggi) sebagai
profilaksis CNS. Sehingga pada saat ini, radioterapi kranial tidak digunakan lagi
29
seiring dengan diperkenalkannya MTX dosis tinggi dan/atau ARA-C dosis tinggi
yang lebih efektif dengan prognosis yang lebih baik.8
2.9.7 Follow up
Follow up dilakukan setiap bulan selama 6 bulan pertama, sekali 2 bulan selama 6
bulan berikutnya, sekali 4 bulan selama setahun berikutnya dan setelahnya dilakukan
sekali setahun, dimana harus diperhatikan efek jangka panjang dari kemoterapi. Pasien
wanita biasanya tetap subur setelah menggunakan CODOX-M/IVAX (cyclophosphamide,
vincristine, doxorubicin, methotrexate/ifosfamide dosis tinggi, etoposide, cytarabine
dosis tinggi) tetapi fertilitas pada pria post-pubertas masih belum diketahui.24
2.10 Prognosis
Faktor-faktor yang mempengaruhi prognosis limfoma burkitt berupa usia, besar massa,
lokasi tumor dan lama kemoterapi. Usia 7-14 tahun prognosisnya bagus jika cepat dilakukan
pemberian kemoterapi. Kemoterapi memiliki banyak pilihan salah satunya terapi agresif.4
Banyak pasien yang dapat mencapai respons sempurna, sebagian diantaranya dengan
limfoma sel besar difus, dapat berada dalam keadaan bebas gejala dalam periode waktu yang
lama dan dapat pula disembuhkan. Pemberian regimen kombinasi kemoterapi agresif berisi
doksorubisin mempunyai respons sempurna yang tinggi berkisar 40-80%.1
Tabel 2.3 Prognosis Limfoma Burkitt berdasarkan stadium
Stadium Penyebaran Penyakit Kemungkinan untuk sembuh (selama 15 tahun tanpa penyakit
lebih lanjut)
I Terbatas ke kelenjar getah bening dari satu bagian tubuh
(misalnya leher bagian kanan)Lebih dari 95%
II Mengenai kelenjar getah bening dari 2 atau lebih daerah pada sisi yang sama dari diafragma, diatas atau dibawahnya (misalnya pembesaran kelenjar getah bening di leher
90%
30
dan ketiak)
III Mengenai kelenjar getah bening diatas & dibawah diafragma(misalnya pembesaran kelenjar getah bening di leher dan selangkangan)
80%
IV Mengenai kelenjar getah bening dan bagian tubuh lainnya (misalnya sumsum tulang, paru-paru atau hati
60-70%
BAB III
PENUTUP
3.1 Kesimpulan
Limfoma Burkitt adalah neoplasma ganas pada sistem hematopoeitik yang berasal dari
pertumbuhan monoklonal limfosit B dan menyebar di luar sistem getah bening. Menurut
teori, Penyakit ini terjadi akibat infeksi sel B oleh EBV. Infeksi ini menyebabkan sel B
normal berubah menjadi Sel B laten terinfeksi dan pada keadaan imunodefisiensi seperti pada
gangguan genetik, transplantasi organ atau penyakit infeksi (malaria dan HIV) akan
menyebabkan diferensiasi sel menjadi Limfoma Burkitt ganas atau DLBCL (Diffuse Large B
cell Lymphoma). Diduga adanya keterlibatan translokasi c-myc yang terdapat pada 31
kromosom 8 dengan gen imunoglobulin (Ig) pada kromosom 2, 14, 22 sehingga
menyebabkan sel B menjadi resisten terhadap apoptosis. Untuk mendiagnosis Limfoma
Burkitt dapat dilakukan dengan pemeriksaan molekuler, histopatologi dan imunohistokimia,
yang sediaannya dapat diambil dari nodus limfe. Tanda khas Limfoma Burkitt berupa ”starry
sky appearance”. Tatalaksana Limfoma Burkitt terutama kemoterapi. Agen kemoterapi yang
sering digunakan termasuk siklofosfamid, vincristine, cytarabine, dan methotreksat.
Radioterapi tidak digunakan karena tidak efektif sedangkan terapi bedah berupa reseksi
komplit ataupun inkomplit dapat dilakukan pada Limfoma Burkitt jenis tertentu saja.
3.2 Saran
Mengingat sifat penyakit Limfoma Burkitt yang sangat agresif dan angka mortalitas yang
tinggi, diperlukan adanya deteksi dini dan pemeriksaan penunjang yang tepat agar dapat
dilakukan tatalaksana penyakit secara optimal sehingga angka survival rate dapat
ditingkatkan.
32