referat fix

27
BAB I PENDAHULUAN Bell’s palsy adalah suatu kelumpuhan saraf fasialis perifer yang bersifat unilateral, penyebabnya tidak diketahui (idopatik), akut dan tidak disertai oleh gangguan pendengaran, kelainan neurologi lainnya atau kelainan lokal. Diagnosis biasanya ditegakkan bila semua penyebab yang mungkin telah disingkirkan. (1) Sir Charles Bell (1774-1842) adalah orang pertama yang meneliti tentang sindroma kelumpuhan saraf fasialis dan sekaligus meneliti tentang distribusi dan fungsi saraf fasialis. Oleh karena itu nama Bell diambil untuk diagnosis setiap kelumpuhan saraf fasialis perifer yang tidak diketahui penyebabnya. (1) Saraf fasialis (N.VII) mengandung sekitar 10.000 serabut saraf yang terdiri dari 7.000 serabut saraf motorik untuk otot-otot wajah dan 3.000 serabut saraf lainnya membentuk saraf intermedius (Nerve of Wrisberg) yang berisikan serabut sensorik untuk pengecapan 2/3 anterior lidah dan serabut parasimpatik untuk kelenjer parotis, submandibula, sublingual dan lakrimal. Saraf fasialis terdiri dari 7 segmen yaitu segmen supranuklear, segmen batang otak, segmen meatal, segmen labirin, segmen timpani, segmen mastoid, segmen ekstra temporal. (1) Selain itu bells palsy juga terjadi pada herpes zoster oftalmikus terjadi infeksi cabang pertama nervus trigeminus yang menimbulkan kelainan pada mata serta cabang kedua dan 1

Upload: arya-saputra-perdana

Post on 06-Aug-2015

68 views

Category:

Documents


4 download

TRANSCRIPT

BAB I

PENDAHULUAN

Bell’s palsy adalah suatu kelumpuhan saraf fasialis perifer yang bersifat unilateral,

penyebabnya tidak diketahui (idopatik), akut dan tidak disertai oleh gangguan pendengaran,

kelainan neurologi lainnya atau kelainan lokal. Diagnosis biasanya ditegakkan bila semua

penyebab yang mungkin telah disingkirkan.(1)

Sir Charles Bell (1774-1842) adalah orang pertama yang meneliti tentang sindroma

kelumpuhan saraf fasialis dan sekaligus meneliti tentang distribusi dan fungsi saraf fasialis.

Oleh karena itu nama Bell diambil untuk diagnosis setiap kelumpuhan saraf fasialis perifer

yang tidak diketahui penyebabnya.(1)

Saraf fasialis (N.VII) mengandung sekitar 10.000 serabut saraf yang terdiri dari 7.000

serabut saraf motorik untuk otot-otot wajah dan 3.000 serabut saraf lainnya membentuk saraf

intermedius (Nerve of Wrisberg) yang berisikan serabut sensorik untuk pengecapan 2/3

anterior lidah dan serabut parasimpatik untuk kelenjer parotis, submandibula, sublingual dan

lakrimal. Saraf fasialis terdiri dari 7 segmen yaitu segmen supranuklear, segmen batang otak,

segmen meatal, segmen labirin, segmen timpani, segmen mastoid, segmen ekstra temporal.(1)

Selain itu bells palsy juga terjadi pada herpes zoster oftalmikus terjadi infeksi cabang

pertama nervus trigeminus yang menimbulkan kelainan pada mata serta cabang kedua dan

ketiga yang menyebabkan kelainan kulit pada daerah persarafannya. Sindrom Ramsay Hunt

diakibatkan gangguan nervus fasialis dan otikus sehingga memberikan gejala paralisis otot

muka (Paralisis Bells). (2)

Insiden Bell’s palsy dilaporkan sekitar 40-70% dari semua kelumpuhan saraf fasialis

perifer akut. Prevalensi rata-rata berkisar antara 10–30 pasien per 100.000 populasi per tahun

dan meningkat sesuai pertambahan umur. Insiden meningkat pada penderita diabetes dan

wanita hamil. Sekitar 8-10% kasus berhubungan dengan riwayat keluarga pernah menderita

penyakit ini.(1)

1

Gambar 1 : Perjalanan saraf fasialis yang memperlihatkan distribusi motorik, sensorik dan

parasimpatis 8.(1)

Gejala Bell’s palsy dapat berupa kelumpuhan otot-otot wajah pada satu sisi yang

terjadi secara tiba-tiba beberapa jam sampai beberapa hari (maksimal 7 hari). Pasien juga

mengeluhkan nyeri di sekitar telinga, rasa bengkak atau kaku pada wajah walaupun tidak ada

gangguan sensorik. Kadang- kadang diikuti oleh hiperakusis, berkurangnya produksi air

mata, hipersalivasi dan berubahnya pengecapan. Kelumpuhan saraf fasialis dapat terjadi

secara parsial atau komplit. Kelumpuhan parsial dalam 1–7 hari dapat berubah menjadi

kelumpuhan komplit.(1)

Dalam mendiagnosis kelumpuhan saraf fasialis, harus dibedakan kelumpuhan sentral

atau perifer. Kelumpuhan sentral terjadi hanya pada bagian bawah wajah saja, otot dahi

masih dapat berkontraksi karena otot dahi dipersarafi oleh kortek sisi ipsi dan kontra lateral

sedangkan kelumpuhan perifer terjadi pada satu sisi wajah. Derajat kelumpuhan saraf fasialis

dapat dinilai secara subjektif dengan menggunakan sistem House-Brackmann dan metode

Freyss. Disamping itu juga dapat dilakukan tes topografi untuk menentukan letak lesi saraf

fasialis dengan tes Schirmer, reflek stapedius dan tes gustometri.(1)

2

BAB II

TINJAUAN PUSTAKA

II. 1 Definisi

Bell's Palsy (BP) ialah paresis nervus fasialis perifer yang akut yang penyebabnya

tidak diketahui/idiopatik. Pada tahun 1821 Sir Charles Bell mempelajari persarafan otot

wajah secara luas dan menyebut saraf motorik wajah dengan nama nervus fasialis. Sebagai

penghormatan atas pekerjaannya maka kemudian semua penyakit-penyakit dari n.fasialis

diberi nama dengan Bell’s Palsy. Tetapi dengan berlalunya waktu, banyak penyebab dari

paralisis tersebut telah dapat diketahui dan akhirnya Bell’s Palsy hanya digunakan untuk

menyatakan kasus kelumpuhan fasialis yang idiopatik saja.(3)

II. 2 Anatomi nervus Fasialis

Nervus fasialis bersifat somatomotorik, viseromotorik dan somatosensorik. Serat-serat

UMN dari nervus fasialis berasal dari korteks serebri hingga nucleus N. fasialis. Daerah

motorik pertama berasal dari sepertiga bawah girus presentralis, serat-serat ini berjalan

kebawah melalui genu dari kapsula interna (sebagai traktus pontes) ke basis pedunkuli dan

berakhir pada N.VII kontralateral. Komponen dari N.VII yang menginervasi bagian atas

wajah berasal dari korteks yang kontra lateral saja. Daerah motorik kedua terletak di lobus

temporalis.(4)

Serat-serat LMN berasal dari nucleus N.VII kebawah. Serabut N. Fasialis

meninggalkan batang otak bersama N. Oktavus dan N. Intermedius masuk ke dalam os

petrosum melalui meatus akustikus internus, sampai di kavum timpani bergabung dengan

ganglion genikulatum sebagai induk sel pengecap 2/3 bagian depan lidah. Dari ganglion ini

N.VII bercabang ke ganglion optikum dan ganglion pterigopalatinum yang menghantarkan

impuls sekretomotorik untuk kelenjar salivarius dan kelenjar lakrimalis N. fasialis keluar dari

tengkorak melaui foramen stilomastoidium memberikan cabang untuk mempersarafi otot-otot

wajah mulai dari M. frontalis sampai M. platisma. (4)

3

Vaskularisasi nervus fasialis

Dalam perjalanannya melalui os temporalis, saraf fasialis mendapatkan darah dari 3

arteri yaitu : (4)

Arteri serebelli inferior anterior yang memberi perdarahan pada saraf pada fossa

posterior. Cabang pembuluh darah ini yaitu arteri auditori interna, memberi darah pada

nervus fasialis di dalam kanalis auditori interna. Ujung dari cabang arteri ini memberikan

aliran darah pada saraf sampai ganglion genikulatum.

Cabang petrosal dari arteri meningea media memasuki kanalis falopi pada ganglion

genikulatum dan bercabang menjadi cabang-cabang asendens dan desendens. Cabang

desendens berjalan ke distal bersama saraf ke foramen stilomastoideus, sedangkan cabang

asendens memberi perdarahan daerah proksimal dari ganglion genikulatum

Cabang stilomastoideus dari aurikulatus posterior memasuki kanalis fasialis melalui

foramen stilomastoideus dan segera bercabang menjadi cabang asendens dan desendens.

Cabang asendens berjalan bersama nervus fasialis sampai ke batas ganglion genikulatum.

Cabang desendens memberi perdarahan pada saraf ke bawah foramen stilomastoideus dan

bersamaan dengan nervus aurikularis posterior.

II.3 Etiologi

Karena proses yang dikenal awam sebagai ‘masuk angin’ atau dalam bahasa inggris

‘cold’,N. fasialis bisa sembab sehingga ia terjepit di dalam foramen stilomastoideus dan

menimbulkan kelumpuhan fasialis tipe lower motor neuron (LMN). Kelumpuhan tersebut

dinamakan Bell’s Palsy. Walaupun etiologinya tidak diketahui ada 4 teori yang diajukan

sebagai penyebab Bell’s Palsy yaitu : (4)

Teori iskemik vaskuler.

Teori ini sangat popular dan banyak yang menerimanya sebagai penyebab dari Bell’s

Palsy. Menurut teori ini terjadi gangguan regulasi sirkulasi darah ke N.VII. terjadi

vasokonstriksi arteriole yang melayani N.VII sehingga terjadi iskemik, kemudian diikuti oleh

dilatasi kapiler dan permeabilitas kapiler meningkat, dengan akibat terjadi transudasi. Cairan

transudat yang keluar akan menekan dinding kapiler limfe sehingga menutup. Selanjutnya

akan menyebabkan keluar cairan lagi dan akan lebih menekan kapiler dan venule dalam

kanalis fasialis sehingga terjadi iskemik. Dengan demikian akan terjadi keadaan/circulus

vitiosus. Pada kasus berat hal ini dapat menyebabkan saraf mengalami nekrosis dan

kontinuitas yang terputus.

4

Teori infeksi virus.

Menurut teori ini bell’s palsy disebabkan oleh virus, dengan bukti secara tidak

langsung adanya riwayat penyakit virus yang terjadi sebelum Bell’s Palsy. Juga dikatakan

perjalanan klinis BP sangat menyerupai ‘viral neuropathy’ pada saraf perifer lainnya.

Walaupun etiologi dari Bell’s Palsy tidak diketahui, penyakit ini dipercaya

disebabkan oleh infeksi virus yang melibatkan ganglia genikulatum. Adalah mungkin bahwa

beberapa kasus Bell’s Palsy disebabkan oleh infeksi herpers simpleks yang laten. Teori virus

ini didukung oleh adour dkk. Dikatakan bahwa BP terjadi karena proses reaktivasi dari virus

herpes. Sesudah suatu infeksi akut primer, virus herpes simpleks tipe 1 dalam jangka waktu

cukup lama dapat berdiam didalam ganglion sensoris. Reaktifasi ini dapat terjadi jika daya

tahan tubuh menurun, sehingga terjadi neuritis/neuropati dengan proses keradangan/edema.

Menurut Adour, lokasi nyeri dapat sepanjang kanalis fasialis, sebaliknya sebagian ahli

berpendapat bahwa lokasi primer dari edema N.VII pada BP adalah disekitar foramen

stilomastoideum. Walaupun penyebab virus dicurigai ternyata beberapa studi prospektif

untuk membuktikan peranan infeksi virus sebagai etiologi Bell’s Palsy adalah negative,

berarti ini dapat mendukung teori infeksi virus.

Teori herediter.

Willbrand, 1974 mendapatkan 6% penderita Bell’s Palsy yang kausanya herediter,

yaitu autosomal dominan. Ini mungkin karena kanalis falopi yang sempit pada keturunan atau

keluarga tersebut menyebabkan predisposisi untuk terjadinya paresis fasialis.

Teori imunologi.

Dikatakan bahwa BP terjadi akibat imunologi terhadap infeksi virus yang timbul

sebelumnya setelah pemberian imunisasi. Berdasarkan teori ini maka penderita Bell’s Palsy

diberikan pengobatan kortikosteroid dengan tujuan untuk mengurangi inflamasi dan edema di

dalam kanalis fasialis falopi dan juga sebagai imunosupresor.

II. 4 Patogenesis

Proses akhir yang dianggap bertanggung jawab atas segala gejala klinik Bell’s Palsy

adalah proses edema yang menyebabkan kompresi N.VII. Pulec memandang BP sebagai

suatu sindroma kompresi saraf fasialis atau sebagai suatu ‘ entrapment syndroma’. Hingga ini

belum ada persesuaian pendapat tentang pathogenesis Bell’s Palsy, oleh George A Gates,

membagi pathogenesis Bell;s Palsy menjadi 3 tipe yaitu : (4)

5

Tipe 1.

Pada tipe 1 mengalami paresis ringan dan sebagian mengalami kelumpuhan komplit.

Paresis maupun paralisis ini dapat mengalami penyembuhan yang baik. Blok konduksi saraf

yang reversible adalah akibat dari kompresi yang mendadak oleh karena edema disekitar

saraf dan disebabkan oleh adanya spasme pembuluh darah, namun teori ini belum dapat

dibuktikan.

Teori lain yang menjelaskan adanya kerusakan endotel kapiler oleh radang virus yang

menyebabkan kebocoran cairan masuk kedalam jaringan sekitarnya. Bila cairan ini terkumpul

didalam endoneurium maka konduksi saraf menjadi terhambat.

Tipe II

Pada tipe ini ditandai dengan timbulnya sinkinesis dan gejala sisa lain yang mungkin

akibat dari degenerasi saraf, sinkinesis ini terjadi karena impuls dari satu akson dapat

menyebar ke akson yang berdekatan dan berakibat kontraksi otot-otot lain juga. George A

Gates menjelaskan akan terjadi penjalaran listrik pada waktu terjadi ‘saltatory movement’

kepada saraf yang berdekatan yang mengalami kerusakan myelin sehingga terjadi konduksi

pada dua saraf dan kontraksi dua otot pada saat bersamaan.

Tipe 3

Pada tipe ini penyebabnya dimulai dengan degenerasi Wallerian yang terjadi akibat

cedera akson dalam segmen labirintin dari nervus fasialis. Ini terjadi akibat kerusakan yang

ditimbulkan oleh virus zoster dalam ganglion genikulatum dan berakibat sensori 2/3 anterior

lidah terganggu. Selanjutnya dapat menyebar korda timpani, saraf ekustik dan vestibuler dan

menyebabkan hambatan pengantar akson, kemudian terjadi paralisis dan degenerasi.

Menurut Adour dkk, yang terkenal dengan konsep teori virusnya menerangkan virus

akan mempengaruhi saraf pada sel shwan’s menyebabkan peradangan dan virus

menyebabkan bertumpuknya lapisan protein dari sel saraf, melalui membrane, merusak reaksi

autoimun untuk sel membrane saraf.(4)

II. 5 Patologi

Apabila kita melihat Bll’s Palsy sebagai suatu entrapment syndrome atau sindroma

kompressi saraf timbul pertanyaan : mengapa timbulnya mendadak dan cepat ? maka kita

dapat membandingkan dengan sindroma carpal tunnel sindroma pada pergelangan tangan.

Oleh karena itu pada CTS lokasi jepitan dibangun oleh struktur tulang dibagian dasarnya saja,

sisanya jaringan lunak, sedangkan pada bell’s palsy, kanalis fasialis lokasi tempat jepitan

6

dibentuk seluruhnya tulang, maka dapat dipahami pada CTS prosesnya berjalan lambat,

sedangkan pada Bell’s palsy berjalan akut. (4)

Dan pada pemeriksaan mikroskopis ditemui adanya edema dari saraf dan gangguan

vaskuler. Willbrand mendapatkan pada keluarga yang menderita BP, kanali fallopinya

sempit.(4)

Kerentanan serabut saraf terhadap kompresi bervariasi tergantung pada ukuran dan

topografi infrafasikuler sehingga pada tiap saraf yang mengalami trauma kompresi

menunjukkan lesi campuran dari berbagai derajat kerusakan yang dialami sejumlah saraf.

Walaupun demikian masih dirasakan perlu untuk mengemukakan batasan dari stadium

trauma kompressi saraf berdasarkan pada gangguan fungsional dan kecepatan pemulihan

fungsionalnya. Stadium kompresi saraf dibagi menjadi 3 yaitu : (4)

Neuropraksis. Neuropraksis merupakan jenis lain dari hambatan konduksi local dimana

kontinuitas akson masih utuh dan tidak terdapat degenerasi, tetapi konduksi pada saraf yang

tertekan pulih kembali setelah beberapa minggu atau bulan, istilah ini dikemukakan oleh

Saddon, lesi jenis ini dianggap akibat akut dari kerusakan myelin local di nodus ranvier

seperti yang telah dilaporkan oleh Deny-Brown serta Ocboa dkk. Hambatan masih ada

sampai perbaikan myelin local memulihkan eksibilitas local, suatu proses yang biasanya

perlu waktu beberapa minggu atau bulan. Karena serabut besar biasanya rentan terhadap

kompresi daripada serabut yang kecil, maka neuropraksis yang sesungguhnya biasanya

merupakan lesi campuran. Sesuai dengan pengamatan seddon, biasanya pada neuropraksis

didapatkan paralisis motorik total tetapi fungsi sensorik dan simpatik dihantarkan oleh

serabut saraf kecil yang tidak bermielin.

Aksomotmesis. Aksomotmesis berarti hilangnya kontiniutas akson, tetapi tabung

endoneurium tetap utuh. Lesi ini akibat dari kompresi yang lanjut atau trauma yang cukup

berat sehingga menganggu kontinuitas akson. Karena tabung endoneurium masih utuh maka

pemulihan fungsi mencerminkan waktu yang diperlukan oleh akson untuk regenerasi dalam

tabung endoneurium tersebut. Dan karena pertumbuhan akson dituntun oleh tabung aslinya

maka prognosisnya baik sebab regenerasi mengarah kesasaran yang tepat. Pembedahan tidak

diperlukan sepanjang tidak didapatkan proliferasi jaringan ikat intraneural yang hebat.

Neurotmesis. Neurotmesis menunjukkan hilangnya kontinuitas akson, demikian pula

perangkat batang sarafnya ( termasuk tabung endoneuroium, perineurium dan epineurium).

Menurut Seddon, neurotmesis adalah keadaan dimana saraf rusak total atau sedemikian

rusaknya sehingga terbentuk jaringan ikat oleh karena itu pemulihan spontan tidak dapat

7

diharapkan. Maka neurotmesis memerlukan pembedahan bila pemulihan fungsionalnya

masih diharapkan.

Proses patologi pada gangguan system saraf perifer berdasarkan mekanisme

patofisiologinya neuropati perifer dibagi 4 kelompok utama yaitu : (4)

Mielinopati. Gangguan pada myelin memberikan gambaran berupa demielinisasi

segmental, terjadi degenerasi selubung myelin pada segmen intermodal tertentu. Bila terjadi

regenerasi selubung myelin sering tampak tipis dan jaraknya internodalnya memendek. Bila

terjadi degenerasi dan regenerasi berulang-ulang beberapa kali terjadinya hipertrofi dari

selubung myelin dan memberikan gambaran ‘Onion bulb’, mekanisme imunologis sering

terlibat dalam kelainan ini. Pada kelainan ini diharapkan penyembuhan kerusakan akson

secara sekunder.

Aksonopati. Diawali oleh degenerasi akson terminal yang progresif ke proksimal.

Hal ini terjadi bila patologisnya mengenai akson langsung atau mengenai badan sel/ sering

disebabkan oleh kelainan metabolik atau toksis. Prognosisnya jelek dan perjalanan

penyakitnya dapat berlarut-larut.

Neuropati. Sel kornu anterior atau sel ganglia radiks dorsalis langsung terlibat,

seperti amiotropik lateral sklerosis dan poliomyelitis pada neuropati motorik. Neuropati

sensorik meliputi herpes zoster, neuropati sensorik karsinomatous, ataksia Fredreich dan

neuropati karena toksin tertentu. Penyembuhan pada umumnya sangat jelek.

Degenerasi wallerian. Adalah kerusakan akson dan myelin bagian distal yang terjadi

karena saraf yang sehat mengalami desakan atau terputus. Derajat penyembuhannya

tergantung pada beratnya kekacauan anatomis, bila aposis segmen distal dan proksimal dapat

dipertahankan serta tidak ada barier mekanis yang cukup besar akibat perdarahan atau

jaringan yang rusak, maka akson akan tumbuh kembali dengan kecepatan sekitar 1 mm

perhari. Degenerasi wallerian dan aksonal berhubungan dengan penurunan amplitude aksi

potensial dan aktivitas listrik denervasi, sedangkan demielinisasi mempunyai cirri khas

berupa penurunan hantaran saraf. Perubahan patologi yang ditemukan pada Bell’s Palsy

adalah terdiri dari inflamasi dan edema dari N.VII di dalam kanalis fasialis, dimana hal ini

menimbulkan peningkatan tekanan pada N.VII dengan paralisis fungsinya dan dapat diikuti

oleh degenerasi wallerian dari akson-aksonnya.

II. 6 Gambaran klinik

Manifestasi klinik BP khas dengan memperhatikan riwayat penyakit dan gejala

kelumpuhan yang timbul. Pada anak 73% didahului infeksi saluran napas bagian atas yang

8

erat hubungannya dengan cuaca dingin. Perasaan nyeri, pegal, linu dan rasa tidak enak pada

telinga atau sekitarya sering merupakan gejala awal yang segera diikuti oleh gejala

kelumpuhan otot wajah berupa Dahi tidak dapat dikerutkan atau lipat dahi hanya terlihat pada

sisi yang sehat, kelopak mata tidak dapat menutupi bola mata pada sisi yang lumpuh

(lagophthalmus), gerakan bola mata pada sisi yang lumpuh lambat, disertai bola mata

berputar ke atas bila memejamkan mata, fenomena ini disebut Bell's sign, Sudut mulut tidak

dapat diangkat, lipat nasolabialis mendatar pada sisi yang lumpuh dan mencong ke sisi yang

sehat. Selain gejala-gejala diatas, dapat juga ditemukan gejala lain yang menyertai antara lain

gangguan fungsi pengecap, hiperakusis dan gangguan lakrimasi.(3)

Gambaran klinik biasanya timbul mendadak hampir selalu unilateral, sering kali

waktu bangun tidur pagi penderita baru mengetahui kelumpuhan otot wajah atau

diberitahukan teman bahwa salah satu sudut mulutnya rendah. Tetapi dapat juga berkembang

kurang dari 4 hari pertama masih mungkin terjadi proses kearah paralisis total karena proses

denervasi terjadi dalam waktu 4 hari pertama. Kurang lebih separuh kasus mencapai

kelemahan maksimum dalam 48 jam dan secara praktis semua kasus mencapai klinisnya

dapat berupa nyeri didalam atau dibelakang telinga ipsilateral sering mendahului paralisis

fasialis tersebut 1 atau 2 hari sebelumnya. Hilangnya semua gerakan volunter pada

kelumpuhan total. Pada sisi wajah yang terkena, ekspresi akan menghilang sehingga lipatan

nasolabialis akan menghilang, sudut mulut menurun, kelopak mata tidak bisa dipejamkan

sehingga fisura palpebra melebar serta kerut dahi menghilang. Bila penderita disuruh

memejamkan matanya, maka kelopak mata pada sisi yang terkena akan tetap terbuka disebut

lagoftalmus dan bola mata berputar keatas. Keadaan ini dikenal dengan tanda dari Bel.

Karena kedipan mata yang berkurang maka akan terjadi iritasi oleh debu dan angin, sehingga

menimbulkan epifora. Pada waktu bernafas maka pipi sisi yang lumpuh akan menggembung,

hal ini disebabkan karena kelumpuhan dari otot buccinators, disamping itu makanan

cendrung terkumpul diantara pipi dan gusi. Pada sejumlah kecil penderita ditemui hipestesi

pada salah satu percabangan N.V dan mekanisme terjadinya keadaan ini tidak jelas.(4)

Penurunan pengecapan sampai beberapa tingkatan terdapat pada hampir semua

pasien, tetapi jarang bertahan melebihi minggu kedua dari paralisis. Walaupun Bell’s Palsy

sering disertai dengan hilangnya rasa pengecapan dengan kelumpuhan wajah menunjukkan

keterlibatan dari bagian nervus intermedius dari N.VII dan berarti lesi tersebut telah meluas

sampai atau di atas titik dimana serabut-serabut khorda timpani bergabung dengan N.VII di

dalam kanalis fasialis.(4)

9

Hiperakusis sering dan ditandai oleh sensitivitas yang meningkat dan tidak

menyangkut terhadap suara. Hiperakusis ini terutama terlihat bila pasien menggunakan

telepon. Ia akan memegang gagang telpon jauh dari telinganya. Hiperakusis dalam telinga

ipsilateral tersebut menunjukkan paralisis dari musculus stapedius akibat keterlibatan dari N.

Stapedius.(4)

Pada kasus yang lebih berat akan terjadi gangguan produksi air mata berupa

pengurangan atau hilangnya produksi air mata. Ini menunjukkan terkenanya ganglion

genikulatum dan dapat diperiksa dengan pemeriksaan tes Schimer.(4)

Kekambuhan Bell’s Palsy terjadi pada kurang-lebih 10% dari pasien yang mempunyai

riwayat keluarga Bell’s Palsy, menderita diabetes. (4)

II. 7 Diagnosis dan diagnosis banding

Anamnesa yang baik, pemeriksaan fisik yang teliti sangat penting dalam penilaian

penderita Bell’s Palsy. Pada setiap paresis fasialis pertama kali harus ditentukan apakah lesi

tersebut UMN atau LMN dan hal ini akan jelas pada gambar dibawah ini. (4)

Gambar 2. Lesi UMN dan LMN dari saraf fasialis.

10

Tabel 1. Sifat klinis yang membedakan kelemahan fasialis UMN dan LMN : (4)

Sifat lesi UMN Sifat lesi LMN

Paresis unilateral dari gerakan volunter wajah

bagian bawah dengan perkecualian m.

frontalis

Paresis unilateral dari semua otot-otot wajah

Kelemahan otot wajah kurang nyata pada

gerakan emosional daripada gerakan volunter

Derajat kelemahan wajah serupa pada

gerakan emosional dengan gerakan volunter

Fasial reflexes : terpelihara atau meningkat Fasial reflexes : tertekan

Pengecapan 2/3 bagian anterior lidah :

terpelihara

Lakrimasi : normal

Pengecapan : mungkin menurun

Lakrimasi : mungkin terganggu

Diagnosis

Umumnya diagnosis dapat ditegakkan berdasarkan gejala klinik adanya kelumpuhan

n. fasialis perifer diikuti pemeriksaan untuk menyingkirkan penyebab lain dari kelumpuhan n.

fasialis perifer. (3)

Beberapa pemeriksaan penunjang yang penting untuk menentukan letak lesi dan

derajat kerusakan n. fasialis sbb : (3)

Uji kepekaan saraf (nerve excitability test). Pemeriksaan ini membandingkan

kontraksi otot-otot wajah kiri & kanan setelah diberi rangsang listrik. Perbedaan rangsang

lebih 3,5 mA menunjukkan keadaan patologik dan jika lebih 20 mA menunjukkan kerusakan

n. fasialis ireversibel.

Uji konduksi saraf (nerve conduction test). Pemeriksaan untuk menentukan derajat

denervasi dengan cara mengukur kecepatan hantaran listrik pada n. fasialis kiri dan kanan.

Elektromiografi. Pemeriksaan yang menggambarkan masih berfungsi atau tidaknya

otot-otot wajah.

Uji fungsi pengecap 2/3 bagian depan lidah. Gilroy dan Meyer (1979)

menganjurkan pemeriksaan fungsi pengecap dengan cara sederhana yaitu rasa manis (gula),

rasa asam dan rasa pahit (pil kina).

Elektrogustometri membandingkan reaksi antara sisi yang sehat dan yang sakit

dengan stimulasi listrik pada 2/3 bagian depan lidah terhadap rasa kecap pahit atau metalik.

11

Gangguan rasa kecap pada BP menunjukkan letak lesi n. fasialis setinggi khorda timpani atau

proksimalnya.

Uji Schirmer. Pemeriksaan ini menggunakan kertas filter khusus yang diletakkan di

belakang kelopak mata bagian bawah kiri dan kanan. Penilaian berdasarkan atas rembesan air

mata pada kertas filter berkurang atau mengeringnya air mata menunjukkan lesi n. fasialis

setinggi ggl. Genikulatum.

Berikut ini adalah penyakit lain yang dapat menyebabkan paresis fasialis perifer : (4)

Otitis media suppurativa dan mastoiditis. Disamping kemungkinan adanya paresis

fasialis, maka ditemukan adanya rasa nyeri di dalam atau dibelakang telinga. Pada foto

mastoid ditemukan gambaran infeksi. Pada otitis media terjadi proses radang di dalam cavum

timpani, sehingga dinding tulang kanalis fasialis ikut mengalami kerusakan sehingga terjadi

paresis fasialis.

Kolesteatoma. Merupakan komplikasi dari otitis media kronika. Koleastoma akan

menyebabkan erosi tulang, kemudian akan mengikis rongga dan akhirnya mengelilingi N.VII

sehingga menyebabkan iskemia dan paresis.

Herpes zoster otitis. Terjadi infeksi herpes zoster pada ganglion genikulatum.

Disamping adanya paresis fasialis juga ditemui adanya tuli perseptif dan tampak vesikel-

vesikel yang terasa amat nyeri di daun telinga. Karena adanya proses inflamasi maka akan

menimbulkan pembengkakan, timbunan metabolit didalam kanalis fasialis dan selanjutnya

menyebabkan iskemik di paresis fasialis.

Sindroma Guillain Bare dan Miastenia Gravis. Pada kedua penyakit ini, perjalanan

dan gambaran penyakitnya khas dan paresis fasialis hampir selalu bilateral.

Trauma. Paresis fasialis dapat terjadi pada trauma kapitis atau karena operasi N.

Fasialis merupakan saraf yang paling sering mengalami lesi setelah N.1. pada cedera kepala

sering terjadi fraktur os temporal pars petrosum yang tidak selalu terlihat pada foto Roentgen

Penyakit-penyakit sistemik seperti : (4)

Diabetes melitus. Tidak diketahui dengan pasti bagaimana mekanisme terjadinya

paresis N.VII pada DM. kemungkinan terjadi mikroangiopati pembuluh darah yang melayani

N.VII.

Hipotiroid. Komplikasi neurologi yang timbul pada hipotiroidi dengan miksedema

pada seluruh tubuh termasuk juga disekitar N.VII.

II. 8 Diagnosis topik

12

Menentukan diagnosis topik ini penting untuk mengetahui seberapa luasnya gangguan

pada saraf dan selanjutnya berguna untuk menentukan prognosisnya dan tindakan operatif

seandainya dibutuhkan. Kemungkinan letak lesi N.VII adalah : (4)

Lesi setinggi foramen stilomastoideus. Timbulnya tanda paresis fasialis perifer berupa

hilangnya kerutan dahi, kelopak mata tidak dapat menutup dengan rapat, pada saat senyum

sudut mulut tertinggal dan bibir tidak dapat mencucu.

Lesi pada saraf di dalam kanalis fasialis, proksimal dari cabang khorda timpani.

Tandanya sama dengan diatas disertai dengan hilangnya rasa pengecapan lidah 2/3 bagian

depan.

Lesi pada saraf didalam kanalis fasialis proksimal dari saraf yang menuju ke M.

stapedius. Tandanya sama dengan no.2 ditambah dengan adanya hiperakusis

Lesi setinggi atau proksimal ganglion genikulatum. Tandanya seperti no.3 ditambah dengan

produksi air mata yang berkurang atau hilang sama sekali.

Kerusakan N. fasialis pada Pons. Biasanya inti N.VI juga ikut terganggu, sehingga

akan timbul kelumpuhan N.VI disamping kelumpuhan fasialis.

Tabel 2. Diagnosis topik (4)

Letak lesi Kelainan

motorik

Gangguan

pengecapan

Gangguan

pendengaran

Hiposekresi

lakrimasi

Supra genikuli + + + +

Genikuli + + + +

Supra stapedial + + + _

Infra stapedial + + _ _

Infra kordal + _ _ _

II. 9 Penatalaksanaan

Istirahat terutama pada keadaan akut

Medikamentosa

Prednison : pemberian sebaiknya selekas-lekasnya terutama pada kasus BP

yang secara elektrik menunjukkan denervasi. Tujuannya untuk mengurangi udem dan

mempercepat reinervasi. Dosis yang dianjurkan 3 mg/kg BB/hari sampai ada

perbaikan, kemudian dosis diturunkan bertahap selama 2 minggu

Fisioterapi

13

Sering dikerjakan bersama-sama pemberian prednison, dapat dianjurkan pada

stadium akut. Tujuan fisioterapi untuk mempertahankan tonus otot yang lumpuh. Cara

yang sering digunakan yaitu : mengurut/massage otot wajah selama 5 menit pagi-sore

atau dengan faradisasi.

Operasi. Tindakan operatif umumnya tidak dianjurkan pada anak-anak karena

dapat menimbulkan komplikasi lokal maupun intracranial. Tindakan operatif

dilakukan apabila :

Tidak terdapat penyembuhan spontan

Tidak terdapat perbaikan dengan pengobatan prednison

Pada pemeriksaan elektrik terdapat denervasi total.

Beberapa tindakan operatif yang dapat dikerjakan pada BP antara lain

dekompresi n. fasialis yaitu membuka kanalis fasialis pars piramidalis mulai dari

foramen stilomastoideum nerve graft, operasi plastik untuk kosmetik (muscle sling,

tarsoraphi). (3)

II. 10 Prognosis

Kira-kira 75% Bell’s Palsy mengalami penyembuhan sempurna, kebanyakan dalam 2

sampai 3 minggu, 15% lainnya mengalami penyembuhan yang memuaskan tetapi mungkin

menderita asimetris wajah ringan,suatu gangguan sisa yang dapat diperlihatkan pada

pengujian klinis, atau reinervasi yang abnormal. lima sampai sepuluh persen pasien

menderita penyembuhan yang buruk pada 4 bulan, dengan gangguan neurologis yang

menetap dan bentuk kosmetik yang jelek. Beberapa pasien ini mengalami perbaikan progresif

lambat. Disamping kelemahan sisa, bentuk penyembuhan buruk lainnya adalah reinervasi

nervus fasialis aberrant, yang mengakibatkan synkenesis wajah yang ditandai dengan aktivasi

ainvolunter serangkaian otot wajah pada waktu dilakukan aktivasi otot-otot wajah lainnya.

Contohnya antara lain adanya kontraksi semua atau banyak otot fasial ipsilateral kalau

pasiennya mencoba memoncongkan bibirnya, atau gerakan wajah bawah tanpa sadar ketika

mengedipkan mata. Jenis reinervasi aberan lain mengakibatkan lakrimasi ketika sedang

makan yang diperkirakan disebabkan regenerasi serat yang ditujukan ke kelenjar ludah yang

menjadi salah menginervasi kelenjar air mata.(4)

Menurut Pieterson dari 1011 orang penderita yang tanpa terapi medika mentosa

ataupun operasi yang diikuti selama 1 tahun, terlihat gambaran remisi spontan sebagai berikut

yaitu 85% penderita menunjukkan tanda kemajuan pertama pada tonus dan gerak otot

14

didalam 3 minggu pertama. 15% sisanya dengan degenerasi komplit yang terdiri dari 11%

tanda perbaikan setelah 3 bulan, 3% pada bulan ke-4 sisanya 1% pada bulan ke 5. (4)

Walaupun tidak absolute, banyak faktor telah dikaitkan dengan prognosis yang

buruk ,meliputi : (4)

Saat pertama kali timbul penyembuhan. Bila penyembuhan dimulai pada hari ke

10-3 minggu maka penyembuhan sempurna bila penyembuhannya baru terjadi setelah 2

bulan, maka hanya terjadi penyembuhan parsial, sedangkan bila sampai 2-6 bulan tidak

terjadi penyembuhan maka penyembuhan kalaupun terjadi akan sangat jelek.

Usia lanjut ( lebih 55-60 thn) prognosisnya kurang baik. Anak-anak mempunyai

prognosisnya yang paling baik, dimana kesembuhan terjadi pada 90%. Tetapi menurut May

dkk faktor usia ini tidak mempunyai nilai prognostic.

Penyakit-penyakit yang melatarbelakangi seperti : diabetes mellitus, hipertensi dan

kehamilan memperlambat penyembuhan.

Adanya rasa nyeri hebat

Derajat kelumpuhan pada awal sakit, bila paresis inkomplit maka prognosisnya

baik.

Hiperakusis, hilangnya rasa kecap pada 2/3 anterior lidah yang lebih lama dari 2

minggu prognosisnya kurang baik tetapi ini dibantah oleh May.

Terdapat kesepakatan bahwa temuan-temuan klinis saja hanya memberikan informasi

prognosis terbatas, sedangkan hasil tes elekrrodiagnostik pada nadir dari keterlibatannya

merupakan indicator prognosis buruk yang paling dapat dipercaya. Prognosis tergantung pada

hasil tes elektrofisiologik yang ditujukan untuk menentukan derajat degenerasi aksonal. Bukti

elektrofisiologik dari degenerasi aksonal yang luas/komplit berkaitan dengan prognosis yang

buruk.

II. 11 Komplikasi

Beberapa komplikasi yang sering terjadi akibat Bell’s Palsy :

Kontraktur otot wajah. Kontraktur ini tidak tampak pada waktu wajah dalam

keadaan istirahat tetapi akan terlihat jelas waktu wajah berkontaksi, dan keadaan in ditandai

dengan lebih dalamnya lipatan nasolabialis dan alis mata tampak lebih rendah dibandingkan

dengan alis mata tampak lebih rendah di bandingkan dengan sisi yang sehat.

Crocodile Phenomenon. Crocodile tears yaitu keluarnya air mata secara involunter

dari mata sisi yang terkena pada saat penderita mengunyah makanan. Disini terdapat

regenerasi saraf otonom yang salah, menimbulkan hubungan fisiologis antara fleksus sampai

15

yang mensarafi kelenjar ludah dan N. petrosus superfisialis mayor yang mensarafi kelenjar

lakrimal. Letak kelainan pada daerah sekitar ganglion genikuli

Sinkinesis. Adanya gerakan asosiasi karena regenerasi serabut saraf mencapai serabut

otot yang salah.

Spasme oto wajah. Terjadi bila penyembuhan yang terjadi inkomplit dapat timbul

dalam beberapa bulan sampai 1-2 tahun setelah awitan Bell’s Palsy

Neuralgia genikulatum. Neuralgia genikulatum berasal dari N. intermedius dan

ditandai dengan rasa nyeri paroksismal didalam dan disekitar telinga. (4)

BAB III

RINGKASAN

Bell's Palsy (BP) ialah paresis nervus fasialis perifer yang akut yang penyebabnya

tidak diketahui/idiopatik. Pada tahun 1821 Sir Charles Bell mempelajari persarafan otot

wajah secara luas dan menyebut saraf motorik wajah dengan nama nervus fasialis. (4)

Karena proses yang dikenal awam sebagai masuk angina tau dalam bahasa inggris

‘cold’, nervus fasialis bisa sembab. Karena itu ia terjepit di dalam foramen stilomastoideus

dan menimbulkan kelumpuhan fasialis LMN. Kelumpuhan tersebut dinamakn Bells palsy.

Bagian atas dan bawah dai otot wajah seluruhnya lumpuh. Dahi tidak dapat dikerutkan.

Fissure palpebral tidak dapat ditutup dan pada usaha untuk memejam dianggkat. Bibir tidak

bisa dicucurkan dan platisma tidak bisa digerakkan. Karena lagoftalmus, maka air mata tidak

bisa disalurkan secara wajar sehingga tertimbn disitu. Gejala pengiring seperti ageusia dan

hiperakusis tidak ada karena bagian nervus fasialis yang terjepit di foramen stilomastoideus

sudah tidak mengandung lagi serabut korda timpani dan serabut yang menyarafi muskulus

stapedius.

16

Umumnya diagnosis dapat ditegakkan berdasarkan gejala klinik adanya kelumpuhan

n. fasialis perifer diikuti pemeriksaan untuk menyingkirkan penyebab lain dad kelumpuhan n.

fasialis perifer. (3)

Beberapa pemeriksaan penunjang yang penting untuk menentukan letak lesi dan

derajat kerusakan n. fasialis yaitu Uji kepekaan saraf (nerve excitability test), Uji konduksi

saraf (nerve conduction test), Elektromiografi, Uji fungsi pengecap 2/3 bagian depan lidah,

Elektrogustometri, Uji Schirmer.

DAFTAR PUSTAKA

1. Munilson Jacky, Edward Yan, Triana Wahyu. Diagnosis dan penatalaksanaan Bell’s

Palsy. Bagian Telinga Hidung Tenggorok Bedah Kepala Leher. Fakultas Kedokteran

Universitas Andalas/RSUP. Dr.M. Djamil Padang.

2. Mansjoer Arif, Suprohaita, dkk. Kapita Selekta Kedokteran. Edisi ketiga. Jakarta:

Media Aesculapius, 2000:128.

3. Sukardi. Bell’s Palsy. http://www. kalbe.co.id/cdk/Spalsy.Pdf/spalsy.html

4. Wayan I Subagiartha. Gambaran elektromiografi sebagai faktor penentu prognosis

Bell’s Palsy. Thesis. Bagian SMF ilmu penyakit saraf Fakultas Kedokteran

Universitas Diponegoro. Semarang. 2001

5. Mahar Mardjono. NeurologiKiinik Dasar Cetakan ke-4 Jakarta; PT. Dian Rakyat

1978. 160 - 163.

17