referat fix
TRANSCRIPT
BAB I
PENDAHULUAN
Bell’s palsy adalah suatu kelumpuhan saraf fasialis perifer yang bersifat unilateral,
penyebabnya tidak diketahui (idopatik), akut dan tidak disertai oleh gangguan pendengaran,
kelainan neurologi lainnya atau kelainan lokal. Diagnosis biasanya ditegakkan bila semua
penyebab yang mungkin telah disingkirkan.(1)
Sir Charles Bell (1774-1842) adalah orang pertama yang meneliti tentang sindroma
kelumpuhan saraf fasialis dan sekaligus meneliti tentang distribusi dan fungsi saraf fasialis.
Oleh karena itu nama Bell diambil untuk diagnosis setiap kelumpuhan saraf fasialis perifer
yang tidak diketahui penyebabnya.(1)
Saraf fasialis (N.VII) mengandung sekitar 10.000 serabut saraf yang terdiri dari 7.000
serabut saraf motorik untuk otot-otot wajah dan 3.000 serabut saraf lainnya membentuk saraf
intermedius (Nerve of Wrisberg) yang berisikan serabut sensorik untuk pengecapan 2/3
anterior lidah dan serabut parasimpatik untuk kelenjer parotis, submandibula, sublingual dan
lakrimal. Saraf fasialis terdiri dari 7 segmen yaitu segmen supranuklear, segmen batang otak,
segmen meatal, segmen labirin, segmen timpani, segmen mastoid, segmen ekstra temporal.(1)
Selain itu bells palsy juga terjadi pada herpes zoster oftalmikus terjadi infeksi cabang
pertama nervus trigeminus yang menimbulkan kelainan pada mata serta cabang kedua dan
ketiga yang menyebabkan kelainan kulit pada daerah persarafannya. Sindrom Ramsay Hunt
diakibatkan gangguan nervus fasialis dan otikus sehingga memberikan gejala paralisis otot
muka (Paralisis Bells). (2)
Insiden Bell’s palsy dilaporkan sekitar 40-70% dari semua kelumpuhan saraf fasialis
perifer akut. Prevalensi rata-rata berkisar antara 10–30 pasien per 100.000 populasi per tahun
dan meningkat sesuai pertambahan umur. Insiden meningkat pada penderita diabetes dan
wanita hamil. Sekitar 8-10% kasus berhubungan dengan riwayat keluarga pernah menderita
penyakit ini.(1)
1
Gambar 1 : Perjalanan saraf fasialis yang memperlihatkan distribusi motorik, sensorik dan
parasimpatis 8.(1)
Gejala Bell’s palsy dapat berupa kelumpuhan otot-otot wajah pada satu sisi yang
terjadi secara tiba-tiba beberapa jam sampai beberapa hari (maksimal 7 hari). Pasien juga
mengeluhkan nyeri di sekitar telinga, rasa bengkak atau kaku pada wajah walaupun tidak ada
gangguan sensorik. Kadang- kadang diikuti oleh hiperakusis, berkurangnya produksi air
mata, hipersalivasi dan berubahnya pengecapan. Kelumpuhan saraf fasialis dapat terjadi
secara parsial atau komplit. Kelumpuhan parsial dalam 1–7 hari dapat berubah menjadi
kelumpuhan komplit.(1)
Dalam mendiagnosis kelumpuhan saraf fasialis, harus dibedakan kelumpuhan sentral
atau perifer. Kelumpuhan sentral terjadi hanya pada bagian bawah wajah saja, otot dahi
masih dapat berkontraksi karena otot dahi dipersarafi oleh kortek sisi ipsi dan kontra lateral
sedangkan kelumpuhan perifer terjadi pada satu sisi wajah. Derajat kelumpuhan saraf fasialis
dapat dinilai secara subjektif dengan menggunakan sistem House-Brackmann dan metode
Freyss. Disamping itu juga dapat dilakukan tes topografi untuk menentukan letak lesi saraf
fasialis dengan tes Schirmer, reflek stapedius dan tes gustometri.(1)
2
BAB II
TINJAUAN PUSTAKA
II. 1 Definisi
Bell's Palsy (BP) ialah paresis nervus fasialis perifer yang akut yang penyebabnya
tidak diketahui/idiopatik. Pada tahun 1821 Sir Charles Bell mempelajari persarafan otot
wajah secara luas dan menyebut saraf motorik wajah dengan nama nervus fasialis. Sebagai
penghormatan atas pekerjaannya maka kemudian semua penyakit-penyakit dari n.fasialis
diberi nama dengan Bell’s Palsy. Tetapi dengan berlalunya waktu, banyak penyebab dari
paralisis tersebut telah dapat diketahui dan akhirnya Bell’s Palsy hanya digunakan untuk
menyatakan kasus kelumpuhan fasialis yang idiopatik saja.(3)
II. 2 Anatomi nervus Fasialis
Nervus fasialis bersifat somatomotorik, viseromotorik dan somatosensorik. Serat-serat
UMN dari nervus fasialis berasal dari korteks serebri hingga nucleus N. fasialis. Daerah
motorik pertama berasal dari sepertiga bawah girus presentralis, serat-serat ini berjalan
kebawah melalui genu dari kapsula interna (sebagai traktus pontes) ke basis pedunkuli dan
berakhir pada N.VII kontralateral. Komponen dari N.VII yang menginervasi bagian atas
wajah berasal dari korteks yang kontra lateral saja. Daerah motorik kedua terletak di lobus
temporalis.(4)
Serat-serat LMN berasal dari nucleus N.VII kebawah. Serabut N. Fasialis
meninggalkan batang otak bersama N. Oktavus dan N. Intermedius masuk ke dalam os
petrosum melalui meatus akustikus internus, sampai di kavum timpani bergabung dengan
ganglion genikulatum sebagai induk sel pengecap 2/3 bagian depan lidah. Dari ganglion ini
N.VII bercabang ke ganglion optikum dan ganglion pterigopalatinum yang menghantarkan
impuls sekretomotorik untuk kelenjar salivarius dan kelenjar lakrimalis N. fasialis keluar dari
tengkorak melaui foramen stilomastoidium memberikan cabang untuk mempersarafi otot-otot
wajah mulai dari M. frontalis sampai M. platisma. (4)
3
Vaskularisasi nervus fasialis
Dalam perjalanannya melalui os temporalis, saraf fasialis mendapatkan darah dari 3
arteri yaitu : (4)
Arteri serebelli inferior anterior yang memberi perdarahan pada saraf pada fossa
posterior. Cabang pembuluh darah ini yaitu arteri auditori interna, memberi darah pada
nervus fasialis di dalam kanalis auditori interna. Ujung dari cabang arteri ini memberikan
aliran darah pada saraf sampai ganglion genikulatum.
Cabang petrosal dari arteri meningea media memasuki kanalis falopi pada ganglion
genikulatum dan bercabang menjadi cabang-cabang asendens dan desendens. Cabang
desendens berjalan ke distal bersama saraf ke foramen stilomastoideus, sedangkan cabang
asendens memberi perdarahan daerah proksimal dari ganglion genikulatum
Cabang stilomastoideus dari aurikulatus posterior memasuki kanalis fasialis melalui
foramen stilomastoideus dan segera bercabang menjadi cabang asendens dan desendens.
Cabang asendens berjalan bersama nervus fasialis sampai ke batas ganglion genikulatum.
Cabang desendens memberi perdarahan pada saraf ke bawah foramen stilomastoideus dan
bersamaan dengan nervus aurikularis posterior.
II.3 Etiologi
Karena proses yang dikenal awam sebagai ‘masuk angin’ atau dalam bahasa inggris
‘cold’,N. fasialis bisa sembab sehingga ia terjepit di dalam foramen stilomastoideus dan
menimbulkan kelumpuhan fasialis tipe lower motor neuron (LMN). Kelumpuhan tersebut
dinamakan Bell’s Palsy. Walaupun etiologinya tidak diketahui ada 4 teori yang diajukan
sebagai penyebab Bell’s Palsy yaitu : (4)
Teori iskemik vaskuler.
Teori ini sangat popular dan banyak yang menerimanya sebagai penyebab dari Bell’s
Palsy. Menurut teori ini terjadi gangguan regulasi sirkulasi darah ke N.VII. terjadi
vasokonstriksi arteriole yang melayani N.VII sehingga terjadi iskemik, kemudian diikuti oleh
dilatasi kapiler dan permeabilitas kapiler meningkat, dengan akibat terjadi transudasi. Cairan
transudat yang keluar akan menekan dinding kapiler limfe sehingga menutup. Selanjutnya
akan menyebabkan keluar cairan lagi dan akan lebih menekan kapiler dan venule dalam
kanalis fasialis sehingga terjadi iskemik. Dengan demikian akan terjadi keadaan/circulus
vitiosus. Pada kasus berat hal ini dapat menyebabkan saraf mengalami nekrosis dan
kontinuitas yang terputus.
4
Teori infeksi virus.
Menurut teori ini bell’s palsy disebabkan oleh virus, dengan bukti secara tidak
langsung adanya riwayat penyakit virus yang terjadi sebelum Bell’s Palsy. Juga dikatakan
perjalanan klinis BP sangat menyerupai ‘viral neuropathy’ pada saraf perifer lainnya.
Walaupun etiologi dari Bell’s Palsy tidak diketahui, penyakit ini dipercaya
disebabkan oleh infeksi virus yang melibatkan ganglia genikulatum. Adalah mungkin bahwa
beberapa kasus Bell’s Palsy disebabkan oleh infeksi herpers simpleks yang laten. Teori virus
ini didukung oleh adour dkk. Dikatakan bahwa BP terjadi karena proses reaktivasi dari virus
herpes. Sesudah suatu infeksi akut primer, virus herpes simpleks tipe 1 dalam jangka waktu
cukup lama dapat berdiam didalam ganglion sensoris. Reaktifasi ini dapat terjadi jika daya
tahan tubuh menurun, sehingga terjadi neuritis/neuropati dengan proses keradangan/edema.
Menurut Adour, lokasi nyeri dapat sepanjang kanalis fasialis, sebaliknya sebagian ahli
berpendapat bahwa lokasi primer dari edema N.VII pada BP adalah disekitar foramen
stilomastoideum. Walaupun penyebab virus dicurigai ternyata beberapa studi prospektif
untuk membuktikan peranan infeksi virus sebagai etiologi Bell’s Palsy adalah negative,
berarti ini dapat mendukung teori infeksi virus.
Teori herediter.
Willbrand, 1974 mendapatkan 6% penderita Bell’s Palsy yang kausanya herediter,
yaitu autosomal dominan. Ini mungkin karena kanalis falopi yang sempit pada keturunan atau
keluarga tersebut menyebabkan predisposisi untuk terjadinya paresis fasialis.
Teori imunologi.
Dikatakan bahwa BP terjadi akibat imunologi terhadap infeksi virus yang timbul
sebelumnya setelah pemberian imunisasi. Berdasarkan teori ini maka penderita Bell’s Palsy
diberikan pengobatan kortikosteroid dengan tujuan untuk mengurangi inflamasi dan edema di
dalam kanalis fasialis falopi dan juga sebagai imunosupresor.
II. 4 Patogenesis
Proses akhir yang dianggap bertanggung jawab atas segala gejala klinik Bell’s Palsy
adalah proses edema yang menyebabkan kompresi N.VII. Pulec memandang BP sebagai
suatu sindroma kompresi saraf fasialis atau sebagai suatu ‘ entrapment syndroma’. Hingga ini
belum ada persesuaian pendapat tentang pathogenesis Bell’s Palsy, oleh George A Gates,
membagi pathogenesis Bell;s Palsy menjadi 3 tipe yaitu : (4)
5
Tipe 1.
Pada tipe 1 mengalami paresis ringan dan sebagian mengalami kelumpuhan komplit.
Paresis maupun paralisis ini dapat mengalami penyembuhan yang baik. Blok konduksi saraf
yang reversible adalah akibat dari kompresi yang mendadak oleh karena edema disekitar
saraf dan disebabkan oleh adanya spasme pembuluh darah, namun teori ini belum dapat
dibuktikan.
Teori lain yang menjelaskan adanya kerusakan endotel kapiler oleh radang virus yang
menyebabkan kebocoran cairan masuk kedalam jaringan sekitarnya. Bila cairan ini terkumpul
didalam endoneurium maka konduksi saraf menjadi terhambat.
Tipe II
Pada tipe ini ditandai dengan timbulnya sinkinesis dan gejala sisa lain yang mungkin
akibat dari degenerasi saraf, sinkinesis ini terjadi karena impuls dari satu akson dapat
menyebar ke akson yang berdekatan dan berakibat kontraksi otot-otot lain juga. George A
Gates menjelaskan akan terjadi penjalaran listrik pada waktu terjadi ‘saltatory movement’
kepada saraf yang berdekatan yang mengalami kerusakan myelin sehingga terjadi konduksi
pada dua saraf dan kontraksi dua otot pada saat bersamaan.
Tipe 3
Pada tipe ini penyebabnya dimulai dengan degenerasi Wallerian yang terjadi akibat
cedera akson dalam segmen labirintin dari nervus fasialis. Ini terjadi akibat kerusakan yang
ditimbulkan oleh virus zoster dalam ganglion genikulatum dan berakibat sensori 2/3 anterior
lidah terganggu. Selanjutnya dapat menyebar korda timpani, saraf ekustik dan vestibuler dan
menyebabkan hambatan pengantar akson, kemudian terjadi paralisis dan degenerasi.
Menurut Adour dkk, yang terkenal dengan konsep teori virusnya menerangkan virus
akan mempengaruhi saraf pada sel shwan’s menyebabkan peradangan dan virus
menyebabkan bertumpuknya lapisan protein dari sel saraf, melalui membrane, merusak reaksi
autoimun untuk sel membrane saraf.(4)
II. 5 Patologi
Apabila kita melihat Bll’s Palsy sebagai suatu entrapment syndrome atau sindroma
kompressi saraf timbul pertanyaan : mengapa timbulnya mendadak dan cepat ? maka kita
dapat membandingkan dengan sindroma carpal tunnel sindroma pada pergelangan tangan.
Oleh karena itu pada CTS lokasi jepitan dibangun oleh struktur tulang dibagian dasarnya saja,
sisanya jaringan lunak, sedangkan pada bell’s palsy, kanalis fasialis lokasi tempat jepitan
6
dibentuk seluruhnya tulang, maka dapat dipahami pada CTS prosesnya berjalan lambat,
sedangkan pada Bell’s palsy berjalan akut. (4)
Dan pada pemeriksaan mikroskopis ditemui adanya edema dari saraf dan gangguan
vaskuler. Willbrand mendapatkan pada keluarga yang menderita BP, kanali fallopinya
sempit.(4)
Kerentanan serabut saraf terhadap kompresi bervariasi tergantung pada ukuran dan
topografi infrafasikuler sehingga pada tiap saraf yang mengalami trauma kompresi
menunjukkan lesi campuran dari berbagai derajat kerusakan yang dialami sejumlah saraf.
Walaupun demikian masih dirasakan perlu untuk mengemukakan batasan dari stadium
trauma kompressi saraf berdasarkan pada gangguan fungsional dan kecepatan pemulihan
fungsionalnya. Stadium kompresi saraf dibagi menjadi 3 yaitu : (4)
Neuropraksis. Neuropraksis merupakan jenis lain dari hambatan konduksi local dimana
kontinuitas akson masih utuh dan tidak terdapat degenerasi, tetapi konduksi pada saraf yang
tertekan pulih kembali setelah beberapa minggu atau bulan, istilah ini dikemukakan oleh
Saddon, lesi jenis ini dianggap akibat akut dari kerusakan myelin local di nodus ranvier
seperti yang telah dilaporkan oleh Deny-Brown serta Ocboa dkk. Hambatan masih ada
sampai perbaikan myelin local memulihkan eksibilitas local, suatu proses yang biasanya
perlu waktu beberapa minggu atau bulan. Karena serabut besar biasanya rentan terhadap
kompresi daripada serabut yang kecil, maka neuropraksis yang sesungguhnya biasanya
merupakan lesi campuran. Sesuai dengan pengamatan seddon, biasanya pada neuropraksis
didapatkan paralisis motorik total tetapi fungsi sensorik dan simpatik dihantarkan oleh
serabut saraf kecil yang tidak bermielin.
Aksomotmesis. Aksomotmesis berarti hilangnya kontiniutas akson, tetapi tabung
endoneurium tetap utuh. Lesi ini akibat dari kompresi yang lanjut atau trauma yang cukup
berat sehingga menganggu kontinuitas akson. Karena tabung endoneurium masih utuh maka
pemulihan fungsi mencerminkan waktu yang diperlukan oleh akson untuk regenerasi dalam
tabung endoneurium tersebut. Dan karena pertumbuhan akson dituntun oleh tabung aslinya
maka prognosisnya baik sebab regenerasi mengarah kesasaran yang tepat. Pembedahan tidak
diperlukan sepanjang tidak didapatkan proliferasi jaringan ikat intraneural yang hebat.
Neurotmesis. Neurotmesis menunjukkan hilangnya kontinuitas akson, demikian pula
perangkat batang sarafnya ( termasuk tabung endoneuroium, perineurium dan epineurium).
Menurut Seddon, neurotmesis adalah keadaan dimana saraf rusak total atau sedemikian
rusaknya sehingga terbentuk jaringan ikat oleh karena itu pemulihan spontan tidak dapat
7
diharapkan. Maka neurotmesis memerlukan pembedahan bila pemulihan fungsionalnya
masih diharapkan.
Proses patologi pada gangguan system saraf perifer berdasarkan mekanisme
patofisiologinya neuropati perifer dibagi 4 kelompok utama yaitu : (4)
Mielinopati. Gangguan pada myelin memberikan gambaran berupa demielinisasi
segmental, terjadi degenerasi selubung myelin pada segmen intermodal tertentu. Bila terjadi
regenerasi selubung myelin sering tampak tipis dan jaraknya internodalnya memendek. Bila
terjadi degenerasi dan regenerasi berulang-ulang beberapa kali terjadinya hipertrofi dari
selubung myelin dan memberikan gambaran ‘Onion bulb’, mekanisme imunologis sering
terlibat dalam kelainan ini. Pada kelainan ini diharapkan penyembuhan kerusakan akson
secara sekunder.
Aksonopati. Diawali oleh degenerasi akson terminal yang progresif ke proksimal.
Hal ini terjadi bila patologisnya mengenai akson langsung atau mengenai badan sel/ sering
disebabkan oleh kelainan metabolik atau toksis. Prognosisnya jelek dan perjalanan
penyakitnya dapat berlarut-larut.
Neuropati. Sel kornu anterior atau sel ganglia radiks dorsalis langsung terlibat,
seperti amiotropik lateral sklerosis dan poliomyelitis pada neuropati motorik. Neuropati
sensorik meliputi herpes zoster, neuropati sensorik karsinomatous, ataksia Fredreich dan
neuropati karena toksin tertentu. Penyembuhan pada umumnya sangat jelek.
Degenerasi wallerian. Adalah kerusakan akson dan myelin bagian distal yang terjadi
karena saraf yang sehat mengalami desakan atau terputus. Derajat penyembuhannya
tergantung pada beratnya kekacauan anatomis, bila aposis segmen distal dan proksimal dapat
dipertahankan serta tidak ada barier mekanis yang cukup besar akibat perdarahan atau
jaringan yang rusak, maka akson akan tumbuh kembali dengan kecepatan sekitar 1 mm
perhari. Degenerasi wallerian dan aksonal berhubungan dengan penurunan amplitude aksi
potensial dan aktivitas listrik denervasi, sedangkan demielinisasi mempunyai cirri khas
berupa penurunan hantaran saraf. Perubahan patologi yang ditemukan pada Bell’s Palsy
adalah terdiri dari inflamasi dan edema dari N.VII di dalam kanalis fasialis, dimana hal ini
menimbulkan peningkatan tekanan pada N.VII dengan paralisis fungsinya dan dapat diikuti
oleh degenerasi wallerian dari akson-aksonnya.
II. 6 Gambaran klinik
Manifestasi klinik BP khas dengan memperhatikan riwayat penyakit dan gejala
kelumpuhan yang timbul. Pada anak 73% didahului infeksi saluran napas bagian atas yang
8
erat hubungannya dengan cuaca dingin. Perasaan nyeri, pegal, linu dan rasa tidak enak pada
telinga atau sekitarya sering merupakan gejala awal yang segera diikuti oleh gejala
kelumpuhan otot wajah berupa Dahi tidak dapat dikerutkan atau lipat dahi hanya terlihat pada
sisi yang sehat, kelopak mata tidak dapat menutupi bola mata pada sisi yang lumpuh
(lagophthalmus), gerakan bola mata pada sisi yang lumpuh lambat, disertai bola mata
berputar ke atas bila memejamkan mata, fenomena ini disebut Bell's sign, Sudut mulut tidak
dapat diangkat, lipat nasolabialis mendatar pada sisi yang lumpuh dan mencong ke sisi yang
sehat. Selain gejala-gejala diatas, dapat juga ditemukan gejala lain yang menyertai antara lain
gangguan fungsi pengecap, hiperakusis dan gangguan lakrimasi.(3)
Gambaran klinik biasanya timbul mendadak hampir selalu unilateral, sering kali
waktu bangun tidur pagi penderita baru mengetahui kelumpuhan otot wajah atau
diberitahukan teman bahwa salah satu sudut mulutnya rendah. Tetapi dapat juga berkembang
kurang dari 4 hari pertama masih mungkin terjadi proses kearah paralisis total karena proses
denervasi terjadi dalam waktu 4 hari pertama. Kurang lebih separuh kasus mencapai
kelemahan maksimum dalam 48 jam dan secara praktis semua kasus mencapai klinisnya
dapat berupa nyeri didalam atau dibelakang telinga ipsilateral sering mendahului paralisis
fasialis tersebut 1 atau 2 hari sebelumnya. Hilangnya semua gerakan volunter pada
kelumpuhan total. Pada sisi wajah yang terkena, ekspresi akan menghilang sehingga lipatan
nasolabialis akan menghilang, sudut mulut menurun, kelopak mata tidak bisa dipejamkan
sehingga fisura palpebra melebar serta kerut dahi menghilang. Bila penderita disuruh
memejamkan matanya, maka kelopak mata pada sisi yang terkena akan tetap terbuka disebut
lagoftalmus dan bola mata berputar keatas. Keadaan ini dikenal dengan tanda dari Bel.
Karena kedipan mata yang berkurang maka akan terjadi iritasi oleh debu dan angin, sehingga
menimbulkan epifora. Pada waktu bernafas maka pipi sisi yang lumpuh akan menggembung,
hal ini disebabkan karena kelumpuhan dari otot buccinators, disamping itu makanan
cendrung terkumpul diantara pipi dan gusi. Pada sejumlah kecil penderita ditemui hipestesi
pada salah satu percabangan N.V dan mekanisme terjadinya keadaan ini tidak jelas.(4)
Penurunan pengecapan sampai beberapa tingkatan terdapat pada hampir semua
pasien, tetapi jarang bertahan melebihi minggu kedua dari paralisis. Walaupun Bell’s Palsy
sering disertai dengan hilangnya rasa pengecapan dengan kelumpuhan wajah menunjukkan
keterlibatan dari bagian nervus intermedius dari N.VII dan berarti lesi tersebut telah meluas
sampai atau di atas titik dimana serabut-serabut khorda timpani bergabung dengan N.VII di
dalam kanalis fasialis.(4)
9
Hiperakusis sering dan ditandai oleh sensitivitas yang meningkat dan tidak
menyangkut terhadap suara. Hiperakusis ini terutama terlihat bila pasien menggunakan
telepon. Ia akan memegang gagang telpon jauh dari telinganya. Hiperakusis dalam telinga
ipsilateral tersebut menunjukkan paralisis dari musculus stapedius akibat keterlibatan dari N.
Stapedius.(4)
Pada kasus yang lebih berat akan terjadi gangguan produksi air mata berupa
pengurangan atau hilangnya produksi air mata. Ini menunjukkan terkenanya ganglion
genikulatum dan dapat diperiksa dengan pemeriksaan tes Schimer.(4)
Kekambuhan Bell’s Palsy terjadi pada kurang-lebih 10% dari pasien yang mempunyai
riwayat keluarga Bell’s Palsy, menderita diabetes. (4)
II. 7 Diagnosis dan diagnosis banding
Anamnesa yang baik, pemeriksaan fisik yang teliti sangat penting dalam penilaian
penderita Bell’s Palsy. Pada setiap paresis fasialis pertama kali harus ditentukan apakah lesi
tersebut UMN atau LMN dan hal ini akan jelas pada gambar dibawah ini. (4)
Gambar 2. Lesi UMN dan LMN dari saraf fasialis.
10
Tabel 1. Sifat klinis yang membedakan kelemahan fasialis UMN dan LMN : (4)
Sifat lesi UMN Sifat lesi LMN
Paresis unilateral dari gerakan volunter wajah
bagian bawah dengan perkecualian m.
frontalis
Paresis unilateral dari semua otot-otot wajah
Kelemahan otot wajah kurang nyata pada
gerakan emosional daripada gerakan volunter
Derajat kelemahan wajah serupa pada
gerakan emosional dengan gerakan volunter
Fasial reflexes : terpelihara atau meningkat Fasial reflexes : tertekan
Pengecapan 2/3 bagian anterior lidah :
terpelihara
Lakrimasi : normal
Pengecapan : mungkin menurun
Lakrimasi : mungkin terganggu
Diagnosis
Umumnya diagnosis dapat ditegakkan berdasarkan gejala klinik adanya kelumpuhan
n. fasialis perifer diikuti pemeriksaan untuk menyingkirkan penyebab lain dari kelumpuhan n.
fasialis perifer. (3)
Beberapa pemeriksaan penunjang yang penting untuk menentukan letak lesi dan
derajat kerusakan n. fasialis sbb : (3)
Uji kepekaan saraf (nerve excitability test). Pemeriksaan ini membandingkan
kontraksi otot-otot wajah kiri & kanan setelah diberi rangsang listrik. Perbedaan rangsang
lebih 3,5 mA menunjukkan keadaan patologik dan jika lebih 20 mA menunjukkan kerusakan
n. fasialis ireversibel.
Uji konduksi saraf (nerve conduction test). Pemeriksaan untuk menentukan derajat
denervasi dengan cara mengukur kecepatan hantaran listrik pada n. fasialis kiri dan kanan.
Elektromiografi. Pemeriksaan yang menggambarkan masih berfungsi atau tidaknya
otot-otot wajah.
Uji fungsi pengecap 2/3 bagian depan lidah. Gilroy dan Meyer (1979)
menganjurkan pemeriksaan fungsi pengecap dengan cara sederhana yaitu rasa manis (gula),
rasa asam dan rasa pahit (pil kina).
Elektrogustometri membandingkan reaksi antara sisi yang sehat dan yang sakit
dengan stimulasi listrik pada 2/3 bagian depan lidah terhadap rasa kecap pahit atau metalik.
11
Gangguan rasa kecap pada BP menunjukkan letak lesi n. fasialis setinggi khorda timpani atau
proksimalnya.
Uji Schirmer. Pemeriksaan ini menggunakan kertas filter khusus yang diletakkan di
belakang kelopak mata bagian bawah kiri dan kanan. Penilaian berdasarkan atas rembesan air
mata pada kertas filter berkurang atau mengeringnya air mata menunjukkan lesi n. fasialis
setinggi ggl. Genikulatum.
Berikut ini adalah penyakit lain yang dapat menyebabkan paresis fasialis perifer : (4)
Otitis media suppurativa dan mastoiditis. Disamping kemungkinan adanya paresis
fasialis, maka ditemukan adanya rasa nyeri di dalam atau dibelakang telinga. Pada foto
mastoid ditemukan gambaran infeksi. Pada otitis media terjadi proses radang di dalam cavum
timpani, sehingga dinding tulang kanalis fasialis ikut mengalami kerusakan sehingga terjadi
paresis fasialis.
Kolesteatoma. Merupakan komplikasi dari otitis media kronika. Koleastoma akan
menyebabkan erosi tulang, kemudian akan mengikis rongga dan akhirnya mengelilingi N.VII
sehingga menyebabkan iskemia dan paresis.
Herpes zoster otitis. Terjadi infeksi herpes zoster pada ganglion genikulatum.
Disamping adanya paresis fasialis juga ditemui adanya tuli perseptif dan tampak vesikel-
vesikel yang terasa amat nyeri di daun telinga. Karena adanya proses inflamasi maka akan
menimbulkan pembengkakan, timbunan metabolit didalam kanalis fasialis dan selanjutnya
menyebabkan iskemik di paresis fasialis.
Sindroma Guillain Bare dan Miastenia Gravis. Pada kedua penyakit ini, perjalanan
dan gambaran penyakitnya khas dan paresis fasialis hampir selalu bilateral.
Trauma. Paresis fasialis dapat terjadi pada trauma kapitis atau karena operasi N.
Fasialis merupakan saraf yang paling sering mengalami lesi setelah N.1. pada cedera kepala
sering terjadi fraktur os temporal pars petrosum yang tidak selalu terlihat pada foto Roentgen
Penyakit-penyakit sistemik seperti : (4)
Diabetes melitus. Tidak diketahui dengan pasti bagaimana mekanisme terjadinya
paresis N.VII pada DM. kemungkinan terjadi mikroangiopati pembuluh darah yang melayani
N.VII.
Hipotiroid. Komplikasi neurologi yang timbul pada hipotiroidi dengan miksedema
pada seluruh tubuh termasuk juga disekitar N.VII.
II. 8 Diagnosis topik
12
Menentukan diagnosis topik ini penting untuk mengetahui seberapa luasnya gangguan
pada saraf dan selanjutnya berguna untuk menentukan prognosisnya dan tindakan operatif
seandainya dibutuhkan. Kemungkinan letak lesi N.VII adalah : (4)
Lesi setinggi foramen stilomastoideus. Timbulnya tanda paresis fasialis perifer berupa
hilangnya kerutan dahi, kelopak mata tidak dapat menutup dengan rapat, pada saat senyum
sudut mulut tertinggal dan bibir tidak dapat mencucu.
Lesi pada saraf di dalam kanalis fasialis, proksimal dari cabang khorda timpani.
Tandanya sama dengan diatas disertai dengan hilangnya rasa pengecapan lidah 2/3 bagian
depan.
Lesi pada saraf didalam kanalis fasialis proksimal dari saraf yang menuju ke M.
stapedius. Tandanya sama dengan no.2 ditambah dengan adanya hiperakusis
Lesi setinggi atau proksimal ganglion genikulatum. Tandanya seperti no.3 ditambah dengan
produksi air mata yang berkurang atau hilang sama sekali.
Kerusakan N. fasialis pada Pons. Biasanya inti N.VI juga ikut terganggu, sehingga
akan timbul kelumpuhan N.VI disamping kelumpuhan fasialis.
Tabel 2. Diagnosis topik (4)
Letak lesi Kelainan
motorik
Gangguan
pengecapan
Gangguan
pendengaran
Hiposekresi
lakrimasi
Supra genikuli + + + +
Genikuli + + + +
Supra stapedial + + + _
Infra stapedial + + _ _
Infra kordal + _ _ _
II. 9 Penatalaksanaan
Istirahat terutama pada keadaan akut
Medikamentosa
Prednison : pemberian sebaiknya selekas-lekasnya terutama pada kasus BP
yang secara elektrik menunjukkan denervasi. Tujuannya untuk mengurangi udem dan
mempercepat reinervasi. Dosis yang dianjurkan 3 mg/kg BB/hari sampai ada
perbaikan, kemudian dosis diturunkan bertahap selama 2 minggu
Fisioterapi
13
Sering dikerjakan bersama-sama pemberian prednison, dapat dianjurkan pada
stadium akut. Tujuan fisioterapi untuk mempertahankan tonus otot yang lumpuh. Cara
yang sering digunakan yaitu : mengurut/massage otot wajah selama 5 menit pagi-sore
atau dengan faradisasi.
Operasi. Tindakan operatif umumnya tidak dianjurkan pada anak-anak karena
dapat menimbulkan komplikasi lokal maupun intracranial. Tindakan operatif
dilakukan apabila :
Tidak terdapat penyembuhan spontan
Tidak terdapat perbaikan dengan pengobatan prednison
Pada pemeriksaan elektrik terdapat denervasi total.
Beberapa tindakan operatif yang dapat dikerjakan pada BP antara lain
dekompresi n. fasialis yaitu membuka kanalis fasialis pars piramidalis mulai dari
foramen stilomastoideum nerve graft, operasi plastik untuk kosmetik (muscle sling,
tarsoraphi). (3)
II. 10 Prognosis
Kira-kira 75% Bell’s Palsy mengalami penyembuhan sempurna, kebanyakan dalam 2
sampai 3 minggu, 15% lainnya mengalami penyembuhan yang memuaskan tetapi mungkin
menderita asimetris wajah ringan,suatu gangguan sisa yang dapat diperlihatkan pada
pengujian klinis, atau reinervasi yang abnormal. lima sampai sepuluh persen pasien
menderita penyembuhan yang buruk pada 4 bulan, dengan gangguan neurologis yang
menetap dan bentuk kosmetik yang jelek. Beberapa pasien ini mengalami perbaikan progresif
lambat. Disamping kelemahan sisa, bentuk penyembuhan buruk lainnya adalah reinervasi
nervus fasialis aberrant, yang mengakibatkan synkenesis wajah yang ditandai dengan aktivasi
ainvolunter serangkaian otot wajah pada waktu dilakukan aktivasi otot-otot wajah lainnya.
Contohnya antara lain adanya kontraksi semua atau banyak otot fasial ipsilateral kalau
pasiennya mencoba memoncongkan bibirnya, atau gerakan wajah bawah tanpa sadar ketika
mengedipkan mata. Jenis reinervasi aberan lain mengakibatkan lakrimasi ketika sedang
makan yang diperkirakan disebabkan regenerasi serat yang ditujukan ke kelenjar ludah yang
menjadi salah menginervasi kelenjar air mata.(4)
Menurut Pieterson dari 1011 orang penderita yang tanpa terapi medika mentosa
ataupun operasi yang diikuti selama 1 tahun, terlihat gambaran remisi spontan sebagai berikut
yaitu 85% penderita menunjukkan tanda kemajuan pertama pada tonus dan gerak otot
14
didalam 3 minggu pertama. 15% sisanya dengan degenerasi komplit yang terdiri dari 11%
tanda perbaikan setelah 3 bulan, 3% pada bulan ke-4 sisanya 1% pada bulan ke 5. (4)
Walaupun tidak absolute, banyak faktor telah dikaitkan dengan prognosis yang
buruk ,meliputi : (4)
Saat pertama kali timbul penyembuhan. Bila penyembuhan dimulai pada hari ke
10-3 minggu maka penyembuhan sempurna bila penyembuhannya baru terjadi setelah 2
bulan, maka hanya terjadi penyembuhan parsial, sedangkan bila sampai 2-6 bulan tidak
terjadi penyembuhan maka penyembuhan kalaupun terjadi akan sangat jelek.
Usia lanjut ( lebih 55-60 thn) prognosisnya kurang baik. Anak-anak mempunyai
prognosisnya yang paling baik, dimana kesembuhan terjadi pada 90%. Tetapi menurut May
dkk faktor usia ini tidak mempunyai nilai prognostic.
Penyakit-penyakit yang melatarbelakangi seperti : diabetes mellitus, hipertensi dan
kehamilan memperlambat penyembuhan.
Adanya rasa nyeri hebat
Derajat kelumpuhan pada awal sakit, bila paresis inkomplit maka prognosisnya
baik.
Hiperakusis, hilangnya rasa kecap pada 2/3 anterior lidah yang lebih lama dari 2
minggu prognosisnya kurang baik tetapi ini dibantah oleh May.
Terdapat kesepakatan bahwa temuan-temuan klinis saja hanya memberikan informasi
prognosis terbatas, sedangkan hasil tes elekrrodiagnostik pada nadir dari keterlibatannya
merupakan indicator prognosis buruk yang paling dapat dipercaya. Prognosis tergantung pada
hasil tes elektrofisiologik yang ditujukan untuk menentukan derajat degenerasi aksonal. Bukti
elektrofisiologik dari degenerasi aksonal yang luas/komplit berkaitan dengan prognosis yang
buruk.
II. 11 Komplikasi
Beberapa komplikasi yang sering terjadi akibat Bell’s Palsy :
Kontraktur otot wajah. Kontraktur ini tidak tampak pada waktu wajah dalam
keadaan istirahat tetapi akan terlihat jelas waktu wajah berkontaksi, dan keadaan in ditandai
dengan lebih dalamnya lipatan nasolabialis dan alis mata tampak lebih rendah dibandingkan
dengan alis mata tampak lebih rendah di bandingkan dengan sisi yang sehat.
Crocodile Phenomenon. Crocodile tears yaitu keluarnya air mata secara involunter
dari mata sisi yang terkena pada saat penderita mengunyah makanan. Disini terdapat
regenerasi saraf otonom yang salah, menimbulkan hubungan fisiologis antara fleksus sampai
15
yang mensarafi kelenjar ludah dan N. petrosus superfisialis mayor yang mensarafi kelenjar
lakrimal. Letak kelainan pada daerah sekitar ganglion genikuli
Sinkinesis. Adanya gerakan asosiasi karena regenerasi serabut saraf mencapai serabut
otot yang salah.
Spasme oto wajah. Terjadi bila penyembuhan yang terjadi inkomplit dapat timbul
dalam beberapa bulan sampai 1-2 tahun setelah awitan Bell’s Palsy
Neuralgia genikulatum. Neuralgia genikulatum berasal dari N. intermedius dan
ditandai dengan rasa nyeri paroksismal didalam dan disekitar telinga. (4)
BAB III
RINGKASAN
Bell's Palsy (BP) ialah paresis nervus fasialis perifer yang akut yang penyebabnya
tidak diketahui/idiopatik. Pada tahun 1821 Sir Charles Bell mempelajari persarafan otot
wajah secara luas dan menyebut saraf motorik wajah dengan nama nervus fasialis. (4)
Karena proses yang dikenal awam sebagai masuk angina tau dalam bahasa inggris
‘cold’, nervus fasialis bisa sembab. Karena itu ia terjepit di dalam foramen stilomastoideus
dan menimbulkan kelumpuhan fasialis LMN. Kelumpuhan tersebut dinamakn Bells palsy.
Bagian atas dan bawah dai otot wajah seluruhnya lumpuh. Dahi tidak dapat dikerutkan.
Fissure palpebral tidak dapat ditutup dan pada usaha untuk memejam dianggkat. Bibir tidak
bisa dicucurkan dan platisma tidak bisa digerakkan. Karena lagoftalmus, maka air mata tidak
bisa disalurkan secara wajar sehingga tertimbn disitu. Gejala pengiring seperti ageusia dan
hiperakusis tidak ada karena bagian nervus fasialis yang terjepit di foramen stilomastoideus
sudah tidak mengandung lagi serabut korda timpani dan serabut yang menyarafi muskulus
stapedius.
16
Umumnya diagnosis dapat ditegakkan berdasarkan gejala klinik adanya kelumpuhan
n. fasialis perifer diikuti pemeriksaan untuk menyingkirkan penyebab lain dad kelumpuhan n.
fasialis perifer. (3)
Beberapa pemeriksaan penunjang yang penting untuk menentukan letak lesi dan
derajat kerusakan n. fasialis yaitu Uji kepekaan saraf (nerve excitability test), Uji konduksi
saraf (nerve conduction test), Elektromiografi, Uji fungsi pengecap 2/3 bagian depan lidah,
Elektrogustometri, Uji Schirmer.
DAFTAR PUSTAKA
1. Munilson Jacky, Edward Yan, Triana Wahyu. Diagnosis dan penatalaksanaan Bell’s
Palsy. Bagian Telinga Hidung Tenggorok Bedah Kepala Leher. Fakultas Kedokteran
Universitas Andalas/RSUP. Dr.M. Djamil Padang.
2. Mansjoer Arif, Suprohaita, dkk. Kapita Selekta Kedokteran. Edisi ketiga. Jakarta:
Media Aesculapius, 2000:128.
3. Sukardi. Bell’s Palsy. http://www. kalbe.co.id/cdk/Spalsy.Pdf/spalsy.html
4. Wayan I Subagiartha. Gambaran elektromiografi sebagai faktor penentu prognosis
Bell’s Palsy. Thesis. Bagian SMF ilmu penyakit saraf Fakultas Kedokteran
Universitas Diponegoro. Semarang. 2001
5. Mahar Mardjono. NeurologiKiinik Dasar Cetakan ke-4 Jakarta; PT. Dian Rakyat
1978. 160 - 163.
17