peta pemikiran fikih

39
PETA PEMIKIRAN FIKIH PADA ZAMAN SAHABAT DAN TABI’IN PENDAHULUAN Pada masa awal Islam, kata Fikih dipergunakan sebagai pemahaman terhadap hukum-hukum agama secara keseluruhan, baik hukum-hukum yang berkenaan dengan keyakinan (’aqa’id) maupun yang berkenaan dengan hukum praktis (amaliah) dan akhlak. 1 Kata Fikih sinonim dengan syari’ah atau din 2 yang berupa hukum-hukum kewajiban, perintah, larangan atau pilihan. Pemahaman Fikih semacam ini terus dipergunakan sampai pertengahan abad ke-2 Hijriyah kemudian setelah melalui masa-masa perkembangan formatifnya, pada abad ke dua hijriyyah, istilah Fikih mengalami pergeseran dan pembatasan sehingga terfokus pada masalah-masalah hukum saja, sejak terjadi perbedaan antara Syari’ah dan Fikih. 3 1 Juhaya S. Praja, Filsafat Hukum Islam, (Bandung : LPPM UNISBA, 1995), hal. 12 2 Sya’ban Muhammad Isma’il, Al Tasyri’ al Islam Mashadiruhu wa Atwaruhu, (Kairo : An-Nahdhah Al Misriyyah, 1985), hal. 11 3 Syari’at adalah ruang lingkup yang bersifat menyeluruh, baik berdimensi nilai-nilai ilahi, rabbani insani yang meliputi akidah ibadah dan muamalah (Fiqh) dan akhlak atau tasawuf, lihat : Rahmat Djatmiko, Sosiologi Hukum Islam di Indonesia dalam Kontroversi Pemikiran Islam di Indonesia, (Bandung : Rosdakarya, 1990), hal. 240. sedangkan Fikih bersifat instrumental, ruang lingkupnya terbatas pada hukum yang mengatur perbuatan manusia yang biasanya disebut dengan sebagai perbuatan hukum, lihat : Muhammad Daud Ali, Hukum Islam, (Jakarta : PT Raja Grafindo Persada, 2000), hal 45

Upload: aminuddin-b-manguluang

Post on 02-Dec-2015

76 views

Category:

Documents


1 download

DESCRIPTION

studi islam

TRANSCRIPT

PETA PEMIKIRAN FIKIH PADA ZAMAN

SAHABAT DAN TABI’IN

PENDAHULUAN

Pada masa awal Islam, kata Fikih dipergunakan sebagai pemahaman

terhadap hukum-hukum agama secara keseluruhan, baik hukum-hukum yang

berkenaan dengan keyakinan (’aqa’id) maupun yang berkenaan dengan hukum

praktis (amaliah) dan akhlak.1 Kata Fikih sinonim dengan syari’ah atau din2 yang

berupa hukum-hukum kewajiban, perintah, larangan atau pilihan. Pemahaman

Fikih semacam ini terus dipergunakan sampai pertengahan abad ke-2 Hijriyah

kemudian setelah melalui masa-masa perkembangan formatifnya, pada abad ke

dua hijriyyah, istilah Fikih mengalami pergeseran dan pembatasan sehingga

terfokus pada masalah-masalah hukum saja, sejak terjadi perbedaan antara

Syari’ah dan Fikih.3

Dengan demikian Fikih terus berkembang secara berangsur-angsur sejak

zaman Nabi seiring dengan berkembangnya masyarakat dalam rangka

menciptakan kemaslahatan-kemaslahatan yang baru dan mencegah bahaya dan

kerusakan yang terus bermunculan.4 Para sahabat yang merupakan penerus dari

para perjuangan Nabi telah melakukan dakwah jauh melampaui dakwah pada

masa Nabi, misalnya Persia, Irak, Syam dan Mesir.5 Pada saat itu Fikih sebagai

ajaran Islam harus berhadapan dengan masyarakat baru yang beragam dengan

berbagai persoalan yang komplek baik dari segi hukum, moral, kultural maupun

1 Juhaya S. Praja, Filsafat Hukum Islam, (Bandung : LPPM UNISBA, 1995), hal. 122 Sya’ban Muhammad Isma’il, Al Tasyri’ al Islam Mashadiruhu wa Atwaruhu, (Kairo : An-

Nahdhah Al Misriyyah, 1985), hal. 113 Syari’at adalah ruang lingkup yang bersifat menyeluruh, baik berdimensi nilai-nilai ilahi,

rabbani insani yang meliputi akidah ibadah dan muamalah (Fiqh) dan akhlak atau tasawuf, lihat : Rahmat Djatmiko, Sosiologi Hukum Islam di Indonesia dalam Kontroversi Pemikiran Islam di Indonesia, (Bandung : Rosdakarya, 1990), hal. 240. sedangkan Fikih bersifat instrumental, ruang lingkupnya terbatas pada hukum yang mengatur perbuatan manusia yang biasanya disebut dengan sebagai perbuatan hukum, lihat : Muhammad Daud Ali, Hukum Islam, (Jakarta : PT Raja Grafindo Persada, 2000), hal 45

4 Wahbah Zuhaili, Al Fiqh Al Islami wa Adillatuhu I, (Beirut : Dar Al Fikr, 1989), hal 18.5 Harun Nasution, Islam Ditinjau dari Berbagai Aspeknya, Jilid II, (Jakarta : UI Pers, 1986),

hal 60-61

1

ekonomi.6 Semua persoalan itu membutuhkan pemikiran yang dinamis dan

pemahaman yang mendalam untuk menyelesaikannya melalui Fikih.

METODE IJTIHAD SAHABAT DAN TABI’IN DALAM PENEGAKAN

FIKIH

Periode sahabat dimulai sejak meninggalnya Nabi saw. pada tanggal 8 Juni

632 M/ 11 H dan berakhir ketika Mu’awiyah bin Abi Sufyan menjabat sebagai

Khalifah pada tahun 41 H (660 M). Para sahabat dalam menghadapi masalah-

masalah tersebut selalu merujuk kepada Al Qur’an dan ketetapan Rasulullah

dalam As sunnah. Jika mereka menemukan nash baik dari Al Qur’an maupun as-

Sunnah untuk memecahkan masalah-masalah, maka keduanya menjadi rujukan

utama dan tidak menengok kesumber lainnya. Namun, seringkali permasalahan

yang muncul itu tidak disebutkan nashnya. Dalam hal ini, mereka terdorong untuk

menggali kandungan isi Al Qur’an dan As-Sunnah untuk menemukan etika-moral,

kaedah dasar dan esensi yang ada didalamnya. Temuan nilai-nilai itu sangat

berguna untuk menjawab masalah-masalah baru. Karena itu, perkembangan baru

yang mengiringi perluasan wilayah Islam sangat membantu memperkaya warisan

fikih sekaligus menantang para sahabat untuk bekerja lebih keras dalam

memahami kandungan nash Al Qur’an dan As-Sunnah.7

Mereka seringkali bermusyawarah dalam memecahkan masalah-masalah

yang muncul di masyarakat. Bila kesepakatan telah dicapai, maka barulah

diputuskan hukum dari masalah-masalah tersebut yang kemudian dikenal dengan

ijma’. Meskipun ijtihad biasanya rawan menimbulkan ikhtilaf, tetapi karena

sering dilakukan secara bersama dalam bentuk musyawarah disebabkan para

sahabat belum tersebar luas, maka ijtihad mereka seiring mengahsilkan suatu

ijma’.8 Pola ijtihad inilah yang dilakukan oleh Khalifah yang pertama yaitu, Abu

6 Mun’in A. Sirri, Sejarah Fiqih Islam, (Surabaya : Risalah Gusti, 1995), hal. 337 Ibid, hal 338 Ibid, hal 34

2

Bakar. Khalifah yang kedua Umar bin Khattab jalan ijtihadnya9 sama, hanya

dimasa Abu Bakar Ijma’ secara jama’i masih dapat dijalankan dengan mudah,

sedangkan dimasa khalifah Ummar mengadakan ijma’ jama’i sudah mulai sulit

karena para sahabat terpencar di daerah-daerah baru yang jatuh dibawah

kekuasaan negara Islam.

Pada masa khalifah yang ketiga, Usman ibnu Affan ikhtilaf merupakan suatu

kegiatan yang sulit dihindari dan mulai tumbuh dengan subur karena Usman ibnu

Affan merupakan khalifah pertama yang mengizinkan para sahabat untuk

meninggalkan Madinah dan menyebar ke berbagai daerah. Saat itu, lebih dari 300

sahabat pergi ke daerah-daerah di luar Madinah seperti Kufah, Basrah, Mesir dan

Syam. Penyebaran sahabat ke berbagai tempat ini memiliki pengaruh yang besar

terhadap perkembangan fiqh. Hal ini terutama disebabkan perbedaan situasi, adat

kebiasaan dan kebudayaan disatu sisi dan perbedaan pemahaman para ulama

sahabat terhadap Al Qur’an dan As Sunnah serta perbedaan pendapat dalam

penggunaan ra’yu dalam menyikapi berbagai permasalahan yang muncul, disisi

yang lain.10 Keadaan inilah yang mendorong timbulnya ijtihad sahabat11 (Ro’yu),

sehingga sumber fikih pada periode ini adalah Al Qur’an, As Sunnah, Ijma dan

Qiyas (ro’yu).12

Ikhtilaf kemudian semakin berkembang biak ketika terjadi berbagai

pergolakan politik di wilayah-wilayah Islam. Kekacauan politik sejak

terbunuhnya Khalifah Utsman dan dilanjutkan dengan diangkatnya Ali ibnu Abi

Thalib menjadi khalifah ke empat kemudian berpindahnya pusat pemerintahan

Islam dari Madinah ke Irak dan dilanjutkan dengan konfrontasi antara khalifah Ali

9 Ijtihad ini kemudian disebut Fatwa, yaitu suatu pendapat yang muncul karena adanya peristiwa yang terjadi. Umar bin Khattab dicatat sebagai tokoh pembaharu (mujaddid) karena Umar berani berbeda pendirian dengan Nabi, ketika Nabi masih hidup misalnya masalah tawanan perang dan perlakuan terhadap jenazah Abdullah bin Ubay bin Salul. Adapun setelah Nabi wafat Umar mengambil beberapa kebijakan yang yang berbeda dengan kebijakan Nabi dan Abu Bakar misalnya, ghonimah, zakat untuk mualaf, talak, penjualan Ummu al Walad, hukuman bagi pencuri, pezina dan ta’zir, lihat : Munawir Sadzali, Ijtihad kemanusiaan, (Jakarta : Para Madina, 1997), hal. 41

10 Thaha Jabir Fayyadh al-Ulwani, Adab al-ikhtilaf fi al-Islam (Etika Berpendapat Dalam Islam), terj. Ija Suntana, (Bandung : Pustaka Hidayah, 2001), hal 38

11 Hasbi Ash-Shiddieqy, Pengantar Hukum Islam, (Jakarta : Bulan Bintang, 1976), hal 6912 Hudhari Bik, Tarikh Tasyrik al Islam, (Surabaya : Al Hidayah, tt) hal 116

3

dengan Muawiyah, semakin memperuncing ikhtilaf yang sudah ada, bahkan telah

menimbulkan aliran-aliran dan sekte-sekte baru, seperti Syi’ah, Khawarij,

Jahmiyyah, Mu’tazilah dan sebagainya yang memecah kesatuan umat Islam.

Meskipun aliran-aliran ini bersifat teologis, namun memiliki pengaruh yang cukup

besar terhadap perkembangan fiqh. Misalnya, ulama Syi’ah hanya mau menerima

hadits jika diriwayatkan oleh imam mereka sendiri.13 Sumber fikih pada periode

ini masih sama dengan sebelumnya, yaitu Al Qur’an, As Sunnah, Qiyas (ro’yu)

dan Ijma’.14 Namun produk hukumnya yang berbeda-beda.

Perkembangan fikih selanjutnya adalah pada masa shighar sahabat dan

tabi’in (41-100 H / 661 – 750 M). Periode ini bermula pada saat pemerintahan

ummat Islam diambil alih oleh Mu’awiyah bin Abi Sofyan (41 H) setelah melalui

pergumalan politik yang panjang antara Mu’awiyah dan Ali bin Abi Thalib yang

berakhir dengan terbunuhnya Ali bin Abi Thalib dan penyerahan pemerintahan

dari Hasan bin Ali kepada Muawiyah.15

Ibn al-Qayyim mencatat bahwa fiqh masa sahabat kecil dan tabi’in ini

disebarkan oleh para pengikut 4 sahabat terkemuka yaitu Ibn Mas’ud, Zaid ibn

Tzabit, Abdullah ibn Umar dan Abdullah ibn Abbas. Orang Madinah mengambil

fiqh dari Zaid ibn Tsabit dan Abdullah ibn Umar, orang Mekah diwarisi oleh fikih

Abdullah ibn Abbas dan orang Irak diwarisi oleh fikih Abdullah ibnu Mas’ud.

Sedangkan ulama dari kalangan tabi’in bisa dicatat beberapa tokoh utamanya

yaitu Atha ibn Rubah, Amr ibn Dinar, Ubaidah ibn Umair dan Ikrimah di

Mekkah, Amr ibn Salamah, Hasan Bashri, Sakhtayani dan Abdullah ibn Auf di

Bashrah, Alqamah ibn Qais an-Nakha’i, Syuraih ibn Haris dan Ubadah ibn

Salmani di Kufah, Yazid ibn Abi Habib dan Bakir ibn Abdullah di Mesir, Hisyam

ibn Yusuf dan Abdurrazaq ibn Hammam di Yaman dan banyak lagi fuqaha di

Irak.16 Mereka menjadi guru-guru yang terkenal di daerah masing-masing dan

mengikuti metode ijtihad sahabat yang ada di daerah mereka. Dari perbedaan

metode yang dikembangkan, maka munculah dalam peta pemikiran fikih dengan

13 Mun’im A Sirri, Sejarah Fiqih Islam, hal 5414 Moh. Hudari Bik, hal 11715 Muhammad Khudori Bik, op.cit, hal 133-13716 Ibn al-Qoyyim al Jauziyyah, I’lam al Muwaqqi’in, Jilid I, (Beirut : Dar al Fikr, tt) hal 21

4

Aliran Hijaz (Madrasah al Hadits) dan Aliran Kufah (Madrasah al Ra’yu). Kedua

aliran ini menganut prinsip yang berbeda dalam metode ijtihad. Aliran Hijaz

dikenal sangat kuat berpegang pada hadits karena mereka banyak mengetahui

hadits-hadits Rasulullah saw, disamping kasus-kasus yang mereka hadapi bersifat

sederhana dan pemecahannya tidak memerlukan logika dalam berijtihad. Adapun

Aliran Kufah dalam menjawab hukum lebih banyak menggunakan logika dalam

berijtihad. Berijtihad menggunakan logika terus berkembang dalam rangka

menjawab persoalan-persoalan baru yang terjadi sehingga lahirlah madzab-

madzab awal dalam perkembangan fikih.

MADZHAB-MADZHAB AWAL DALAM PERKEMBANGAN FIKIH

Madzab pertama terbentuk mula-mula dari beberapa pemikiran mandiri

(ra’y) dari ulama secara perorangan secara tidak resmi, tapi lama kelamaan ia

makin mendapat pengabsahan yang kokoh dari masyarakat, akhirnya secara

bertahap tumbuh kesepakatan pendapat antara para ulama di tempat tertentu

mengenai himpunan doktrin tertentu.

Sebenarnya, pada masa tabi’in terdapat 3 bagian geografis yang besar dalam

dunia Islam, yaitu Irak, Hijaz dan Mesir. Irak sendiri memiliki 2 madzab yaitu

Bashrah dan Kufah. Perkembangan pemikiran hukum di Kufah lebih dikenal dari

pada di Bashrah. Hijaz juga memiliki 2 pusat kegiatan hukum yaitu Makkah dan

Madinah. Namun, Madinah lebih menonjol dari pada Makkah. Madzab Syiria

kurang tercatat dalam teks-teks buku awal. Mesir tidak dimasukkan dalam peta

madzab-madzab hukum awal karena ia tidak mengembangkan pemikiran

hukumnya sendiri.17 Dengan demikian, madzab yang akan dikaji di sini adalah

Madzab Kufah dan Madzab Madinah.

Para fuqaha yang berdomisili di Irak (Kufah) cenderung untuk

menggunakan rasio dalam skala yang cukup luas dan memandang hukum syariat

dalam takaran rasionalitas. Mereka gemar menyelami nash-nash yang ada dalam

rangka menemukan ’illah, hikmah dan tujuan-tujuan moral yang berada dibalik

hukum yang tampak. Kecenderungan baru ini mendapatkan tanggapan kritis dari 17 Ahmad Hasan, The Early Development of Islamic Jurisprudence (Pintu Ijtihad sebelum

tertutup), terj. Agah Garnadi, (Bandung : Pustaka, 1984), hal. 19

5

para fuqaha yang tinggal di Hijaz (Madinah) yang memandang hukum sebagai

ketentuan Allah yang wajib diikuti. Mereka lebih memilih memahami nash secara

tekstual dan menganggap fatwa sahabat sebagai sumber hukum setelah Al Qur’an

dan As Sunnah. Perkembangan lebih lanjut dari 2 kecenderungan ini melahirkan

dua aliran dalam fiqh masa awal yaitu ahl al-ra’y di Kufah dan ahl al-hadits di

Madinah.18

Dengan demikian, cara melakukan ijtihad pada masa tabi’in mengarah

kepada 2 bentuk, yaitu :

Pertama, lebih banyak menggunakan hadits atau sunnah dibandingkan dengan

ra’yu. Cara ijtihad ini berkembang dikalangan ulama Madinah dengan tokohnya

1) Sa’id ibn al Musayyab, 2) ’Urwah Ibn Az-Zubair, 3) Abu Bakar Ibn ’Abd

Rahman Al-Harits Ibn Hisyam Al-Makhzumi, 4) ’Ubaid Allah Ibn ’Abdullah Ibn

’Utbah Ibn Mas’ud, 5) Kharijah Ibn Zaid Ibn Tsabit, 6) Al-Qasim Ibn Muhammad

Ibn Abi Bakr, 7) Sulaiman Ibna I-Yasar, Fuqaha Tujuh merupakan thabaqah

pertama dalam madrasah Madinah. Thabaqah keduanya adalah : 1) ’Abd Allah

Ibn ’Abd Allah Ibn ’Umar, 2) Salim Ibn ’Abd Allah Ibn ’Umar, 3) Aban ibn

Utsman Ibn ’Affan, 4) Abu Salamah Ibn ’Abdurrahman Ibn ’Auf, 5) ’Ali Ibn Al-

Husain Ibn ’Ali Ibn Abi Thalib, 6) Nafi’ Maula Ibn ’Umar. Diantara ulama

thabaqah ketiga Aliran Madinah adalah : 1) Abu Bakr Muhammad Ibn ’Amr Ibn

Hazm, 2) Muhammad Ibn Abu Bakr, 3) ’Abd Allah Ibn Abu Bakr, 4) ’Abdullah

Ibn Utsman Ibn ’Affan, 5) Ja’far Ibn Muhammad Ibn ’Ali Ibn Al-Husain, 6)

’Abdullah Ibn Al-Qasim Ibn Muhammad Ibn Muhammad Ibn Abi Bakr Ash-

Shiddiq, 7) Muhammad Ibn Muslim Ibn Syihab Az-Zuhri. Cara ini lebih dikenal

dengan sebutan ”Aliran Madinah”.

Kedua, lebih banyak menggunakan ra’yu dibandingkan dengan penggunaan

sunnah. Cara ijtihad ini berkembang dikalangan ulama Kufah dengan tokoh 1)

Ibrahim an-Nakha’i, 2) ’Alqamah Ibn Qais An Nakha’i, 3) Al-Aswad Ibn Yazid

An-Nakha’i, 3) Abu Maisarah ’Amr Ibn Syarahil Al-Hamdani, 4) Masruq Ibn Al-

Ajda’ Al-Hamdani, 5) ’Ubaidah As-Salmani, 6) Syuraih Ibn Al-Harits Al-Kindi,

mereka adalah thabaqah pertama Madrasah Kufah, sedangkan diantara ulama

18 Mun’im A. Sirri, Sejarah Fiqih Islam, hal 54

6

thabaqah keduanya adalah : 1) Hamad Ibn Abi Sulaiman, 2) Manshur Ibn Al-

Mu’tamir As-Salami, 3) Al-Mughirah Ibn Muqsim Adh-Dhabbi, 4) Sulaiman Ibn

Mahran Al-A’masy, cara ini lebih dikenal dengan sebutan ”Aliran Kufah”.19

Ada 2 kecenderungan penting pada kedua madzab itu. Pertama, lahir metode

deduksi-logis dalam bentuk qiyas. Namun karena cara berfikir analogis ini

terkesan kaku, maka ditemukan metode berfikir yang lebih longgar, sebagai

pengembangan dari qiyas, yaitu istihsan. Ini menunjukkan kembalinya kebebasan

berpendapat dalam bentuk baru. Kedua, makin diperkokohnya konsep sunnah

yang cenderung mengklaim generasi pendahulu sebagai sumber dalam rangka

mengkokohkan tradisi. Kesamaan keduanya terletak pada metode dan garis

perkembangan yang sama, yakni meninjau praktek hukum dan politik setempat

dari sudut pandang kaidah tingkah laku dalam Al Qur’an. Namun sistem hukum

mereka berbeda jauh yang disebabkan perbedaan ruang. Kebebasan pendapat

yang dinikmati ulama Kufah membuahkan perbedaan pendapat yang tidak

sedikit.20

Secara geografis dan psikologis madzab Kufah lebih terbuka terhadap sistem

hukum dari luar. Hal ini berbeda dengan situasi Madinah yang lebih homogen.

Kemudian muncul oposisi terhadap metode hukum yang sudah mapan diterima

oleh madzab-madzab pertama. Cirinya, dogmatis, ketat dan kaku. Mereka

menuntut ketaatan yang lebih kuat terhadap norma-norma Al Qur’an. Namun

mereka sepakat dengan madzab-madzab pertama dalam memproyeksikan sunnah

ke belakang yang menjadikan Nabi Muhammad sebagai sumber utama hukum Al

Qur’an. Oposisi ini lama-kelamaan mendorong madzab-madzab pertama untuk

memodifikasi sistem hukumnya. Banyak aturan ketat yang dianjurkan oposan

akhirnya diterima secara umum. Yang penting adalah meningkatkanya

penerimaan Nabi sebagai sumber ajaran, dengan menyatakan ajaran tersebut

dalam bentuk hadits. Sejalan dengan perkembangan tulis menulis dibidang

hukum, terjadi perubahan pada tubuh madzab-madzab pertama. Ide keterkaitan

tempat kemudian digantikan dengan keterkaitan pada tokoh penyusun buku

19 Amir Syarifuddin, Ushul Fiqh, Jilid II, (Jakarta : Logos, 2001), hal 24520 Noel. J. Coulson, The History of Islamic Law (Hukum Islam dalam Prespektif Sejarah),

hal 42

7

hukum pertama. Madzab Madinah menjadi Madzab Malik, sedangkan madzab

Kufah menjadi Madzab Hanafi.21

Selanjutnya, pertentangan antara madzab-madzab pertama yang mapan, dan

kaum oposisi yang dogmatis kini mengkristal menjadi konflik antara penganut

kelonggaran pendapat pribadi (ahl al-Ra’y) dan penganjur penggunaan hadits

Nabi semata secara ketat (ahl al-hadits). Lebih jauh perbedaan pendapat tidak

hanya terjadi antara satu madzab dengan madzab yang lain, tetapi juga didalam

masing-masing madzab. Hal ini menjadikan tidak adanya keseragaman hukum

merupakan ciri utama hukum di masa itu.22

Kesimpulannya, meskipun ulama tabi’in dalam berijtihad mengikuti

petunjuk dari cara berijtihad ulama sahabat di masing-masing kota, namun dalam

beberapa hal mereka berbeda pendapat dengan ulama sahabat, bahkan berebada

dengan apa yang berlaku pada zaman Nabi. Qadi Syuraih dan beberapa ulama

tabi’in, misalnya berfatwa tidak menerima kesaksian salah seorang suami-istri

terhadap yang lain di peradilan dan kesaksian orang tua terhadap anaknya dan

anak-anak terhadap orang tuanya. Fatwa tersebut berebeda dengan ketetapan

khalifah Ali bin Abi Thalib. Alasan yang dikemukakan Qadi Syuraih adalah

adanya unsur tuhmah dan kecintaan yang akan mempengaruhi mereka dalam

kesaksiannya. Demikian pula, ulama tabi’in menetapkan ketidak bolehan

perempuan keluar rumah untuk pergi ke masjid karena pada masa itu banyak

orang yang usil dan fasik yang selalu mengganggu perempuan. Padahal hal itu

diperbolehkan pada masa Rasulullah asalkan tidak memakai wewangian.23

Sumber fikih pada periode ini selain Al Qur’an dan As Sunnah, Ijma’ dan

Qiyas, muncul beberapa metode istinbath hukum, yaitu : istidlal, istihsan, istishab,

fatwa sahabat, urf, mashalih al mursalah, saddu adz-dzari’ah dan syari’at sebelum

Islam.24

HUBUNGAN FIQH DENGAN KEKUASAAN KHILAFAH

21 Ibid, hal 57-5822 Ibid, hal 5923 Amir Starifudin, Ushul Fiqh, Jilid II, hal 24624 Dedi Supriyadi, Sejarah Hukum Islam, (Bandung : Pustaka Setia, 2007, hal 87

8

Walaupun benih-benih tatanan Islam baru telah ditanamkan pada masa Nabi

Muhammad, namun kematangan sepenuhnya menuntut karya-karya generasi

muslim masa-masa berikutnya. Pembentukan pemerintahan Islam sebagian besar

merupakan prestasi dinasti kekhalifahan yang pertama, yaitu kekhalifahan

Umayyah, yang memapankan diri di Damaskus pada tahun 661 M segera setelah

perang-perang sipil yang telah mengotori tahun-tahun berikutnya dari

pemerintahan yang berbasis di Madinah yang berumur pendek yang dipimpin oleh

para khalifah awal-awal. Dinasti Umayyah secara serius menangani visi sosial

yang telah diwartakan oleh Nabi dan melihat diri mereka sebagai eksekutornya,

menjuluki diri mereka sebagai : ”Khalifah-khalifah Tuhan”.25

Dalam lapangan hukum, konstribusi besar dinasti Umayyah adalah

pembentukan sistem peradilan kekhalifahan barunya. Para hakim di dalam sistem

ini diberi gelar Qadi, yang mengkhususkan mereka sebagai pembawa otoritas

khalifah di dalam wilayah peradilan. Para Qadi, dalam makna yang paling ketat,

merupakan wakil khalifah atau gubernur propinsi dan bisa diangkat atau

diberhentikan sekehendak penguasa mereka. Oleh karena para gubernur tunduk

dalam kewenangan kepada khalifah, maka seluruh sistem berbentuk piramida,

dengan khalifah duduk diatas singgasana sebagai sumber semua otoritas hukum,

administrasi dan legislatif. Program Umayyah menuntut pendekatan otokrasi yang

tersentralisasi untuk mengimplementasikan visi sosial Islam.26

Para Qadi, melalui putusan-putusan kasus perkasusnya, meletakkan dasar-

dasar yang penting bagi perkembangan hukum Islam selanjutnya. Keadilan yang

diusung para Qadi memiliki otoritas sebagai hukum khalifah. Seiring berjalannya

waktu, khususnya pada perempat abad terakhir pemerintahan Umayyah, putusan-

putusan para Qadi memiliki efek komulatif dalam menghasilkan himpunan besar

preseden-preseden hukum yang oleh para sejarawan hukum Islam, mengikuti

Joseph Schacht, disebut praktek hukum Umayyah.27

25 Bernard Weiss, The Spirit of Islamic Law, (London : The Universitas og Georgia Press, 1998), hal 5

26Ibid, hal 627 Ibid, hal 6

9

Namun, terlepas dari aspirasi-aspirsai sosio-regligius dari khalifah umayyah,

hukun Islam sebagaimana kita ketahui saat ini tidak ditakdirkan untuk muncul

secara langsung dari praktek hukum Umayyah atau dari lingkungan-lingkungan

kekuasaan. Bukan para hakim, tetapi para ulama yang tidak memiliki hubungan-

hubungan resmi dengan rezim khalifah adalah pemegang peran kunci dalam

perkembangan hukum yang disesuaikan dengan pemerintahan Islam. Para ulama

tersebut tentu saja tidak bekerja dalam ruang kosong. Praktek para Qadi adalah

titik tolak mereka. Namun hal itu hanya merupakan titik tolak, sesuatu yang

dikritik sebagai langkah pertama menuju formulasi dan sistematisasi yang

meliputi banyak hal dan tidak mengekang secara politis terhadap hukum Tuhan

yang ideal. Para ulama diasyikkan, sekurang-kurangnya, dengan hukum

sebagaimana adanya secara aktual sampai taraf bahwa hal iini dapat ditentukan

berdasar praktek hukum, dari pada dengan hukum sebagaimana seharusnya

terjadi.28

Seiring dengan semakin meningkatnya barisan para ulama, rezim khalifah

mendapatkan dirinya berkompetisi dengan komunitas ulama dalam membentuk

Islam dan hukum Islam. Para Qadi mempresentasikan diri sebagai pegawai

khalifah, sementara para ulama duduk di luar wilayah kepegawaian formal.

Kenyataan bahwa para qadi kadang-kadang direkrut dari barisan ulama bukan

berarti tidak berlakunya garis pembatas yang penting ini. Jika orang-orang

semacam ini berpengaruh dalam proses yang dapat membangkitkan hukum Islam,

mereka dapat menerapkan pengaruh ini pada kapasitas mereka sebagai ulama,

bukan sebagai qadi. Sebab, dalam masyarakat Islam yang berkembang, otoritas

cepat menjadi terikat dengan pengetauan religius dan kesalehan individual, tidak

dengan kekuasaan. Perkembangan ini memiliki akarnya pada masa-masa Islam

paling awal dan mendapatkan momentumnya selama penaklukan-penaklukan,

ketika kaum Arab-Muslim mendapatkan dirinya membentuk komunitas dalam

setiap wilayah utama, seiring dengan beralihnya keyakinan non Arab kepada

Islam, komunitas-komunitas religius yang masih belum berpengalaman yang

28 Ibid, hal 7

10

mengejar ketinggalan dalam tugas berfikir yang mendesak implikasi-implikasi

dari keyakinan yang baru mereka temukan.29

Dalam situasi semacam ini, kekhalifahan tidak dapat berharap untuk

mengontrol perkembangan kepemimpinan spiritual akar rumput. Para ulama

membentuk kepemimpinan semacam ini dan bertindak secara sangat spontan dan

independen terhadap rezim penguasa dan aspirasi-aspirasinya. Dalam

kenyataannya, mereka lebih dari para ahli hukum dalam arti biasa istilah tersebut

digunakan, sebab mereka tidak hanya menangani hukum, tetapi juga banyak sisi

lainnya. Horizon mereka sangat luas jangkaunnya, meliputi keseluruhan cara

hidup yang memasukkan banyak detail kehidupan sehari-hari yang melampaui

wilayah yang biasannya disebut ’hukum’. Pada beberapa masa berikutnya,

pemakaian Islam mendapatkan suatu kata untuk mengungkapkan totalitas norma-

norma hukum, moral dan ritual yang oleh para ulama saleh coba artikulasikan

dengan kata ”syari’ah”. Oleh karena syari’ah mencakup norma-norma melampaui

norma-norma yang merupakan hukum dalam arti sempit, maka tidaklah tepat

untuk menyamakan syari’ah dan hukum sederhana yang sering dilakukan. Disisi

lain, hukum jelas merupakan bagian dari syari’ah, dalam pikiran muslim dan

memang harus difahami seperti ini.30

Tidak dapat dielakkan bahwa hukum yang dipandang sebagai himpunan

norma-norma yang bisa dipaksakan akan menjadi perhatian utama para ulama

saleh setelah periode Umayyah berikutnya dan selanjutnya, karena Islam yang

mereka upayakan untuk diartikulasikan, adalah Islam yang tumbuh di dalam

konteks kekaisaran yang meluas. Para ulama sangat menyadari kehidupan di

dalam suatu pemerintahan yang harus digabungkan dengan impian mereka

mengenai tatanan masyarakat Islam yang ideal. Meskipun para ulama itu pada

umumya bukan merupakan bagian dari pegawai khalifah, mereka sebenarnya

adalah orang-orang yang tidak mampu memimpikan Islam tanpa pemerintahan

Islam dan hukum Islam. Mereka bersama dengan rezim Umayyah berkeyakinan

bahwa ekspansi Islam melalui alat kekaisaran khalifah disahkan oleh Tuhan dan

kenyataannya hal itu merupakan misi Islam untuk mengganti kekaisaran-29 Ibid, hal 730 Ibid, hal 8

11

kekaisaran yang telah jatuh dengan tatanan politik baru. Tidak dapat dielakkan

bahwa mereka seharusnya mengerahkan bagian utama dari kemampuan-

kemampuan reflektif mereka pada subyek-subyek pemerintahan dan hukum dan

bahwa praktek hukum Umayyah tentu saja merupakan obyek utama dari perhatian

mereka.31

Para ulama saleh yang mengajukan konsep-konsep tandingan terhadap

pemerintahan Umayyah tentang patokan tingkah laku yang mencerminkan seluruh

etika Islam itu kemudian mengelompokkan menjadi beberapa madzab. Itulah

madzab-madzab hukum pertama dalam Islam. Selanjutnya Umayyah

ditumbangkan oleh 2 kekuatan besar, yaitu kaum ulama sebagai perancang pola

negara dan masyarakat dan dinasti Abbasiyah yang berjanji akan melaksanakan

rancangan ini. Di bawah sokongan politik, kemudian madzab-madzab hukum

berkembang pesat. Namun, pendekatan hukum mereka bersifat religius-idealistik-

akademistik yang lebih tertarik mengembangkan ”sistem ibadah” dalam dunia

hukum. Hal ini bertentangan dengan pragmatisme dalam tradisi Umayyah yang

memfokuskan pada analisa hukum terhadap praktek peradilan. Akibatnya, timbul

kesenjangan antara konsep hukum yang dikemukakan kaum ulama dan praktek di

peradilan. Inilah yang menjadi ciri utama hukum Islam masa itu.32

SEJARAH PERADILAN PADA MASA SAHABAT DAN TABI’IN

Sistem peradilan pada masa Khulafa’ al Rasyidin masih sangat sederhana,

misalnya belum diadakan penitera dan buku register untuk mencatat putusan-

putusan yang telah dilakukan. Pengangkatan hakim oleh Khalifah, bahkan

Khalifah Abu Bakar belum mengangkat hakim, hanya menugaskan Umar

bertindak sebagai Kepala Pengadilan (bukan hakim). Khalifah Umar mengangkat

Abu Darda’ untuk menjadi hakim di Madinah, Syuraih di Basrah, Abu Musa Al-

Asy’ari di Kufah, Utsman Ibnu Qais ibnu Abil ’Ash di Mesir. Umarlah yang

mula-mula memisahkan kekuasaan yudikatif dan eksekutif dan membuat dustur33

31 Ibid 32Noel.J.Coulson, The Historis of Islamic Law (Hukum Islam dalam Perpektif Sejarah),

terj, Hamid Ahmad, (Jakarta : P3M, 1987), hal 4233 TM Hasbi Ash Shiddieqy, Peradilan dan Hukum Acara Islam, (Semarang : PT Pustaka

Rizki Putra, 1997), hal 16

12

yang harus dipegangi oleh hakim. Pada masa itu, hakim disamping bertindak

sebagai pemutus perkara, juga bertindak sebagai pelaksana hukum, agar dijalani.

Kebanyakan para hakim pada waktu itu duduk dirumahnya menerima dan

memutuskan perkara dan kadang-kadang mereka memutuskan perkara di masjid.

Khalifah Usman yang pertama kali membangun gedung pengadilan. Para khalifah

baik Abu Bakar, Umar, Utsman dan Ali menggaji para hakim dari kekayaan baitul

mal.34

Pada masa tabi’in khalifah mengangkat hakim Ibu Kota dan menyerahkan

kepada hakim-hakim itu kekuasaan mengangkat hakim-hakim daerah. Akan tetapi

masing-masing hakim tidak mempunyai hak untuk mengawasi putusan-putusan

hakim yang lain. Hakim Ibu Kota tidak bisa membatalkan hakim daerah.

Kekuasaan pembatalan keputusan hanya dipegang oleh khalifah atau wakilnya.

Tugas hakim hanyalah mengeluarkan vonis dalam perkara-perkara yang

diserahkan kepadanya. Pada masa itu belum ada hakim khusus yang memutuskan

perkara pidana dan hukuman penjara. Kekuasaan ini masih dipegang oleh khalifah

sendiri. Adapun ciri peradilan pada masa ini adalah :

- Hakim memutuskan perkara menurut hasil ijtihadnya sendiri dalam hal-hal

yang tidak ada nash atau ijma’.

- Lembaga peradilan pada masa itu belum dipengaruhi oleh penguasa. Putusan-

putusan mereka berlaku untuk rakyat biasa dan penguasa. Khalifah selalu

mengawasi gerak-gerik hakim dan memecat hakim-hakim yang menyeleweng

dari garis-garis yang sudah ditentukan.

- Putusan-putusan hakim belum lagi disusun dan dibukukan secara sempurna

dan permulaan hakim yang mencatat putusannya dan menyusun yurisprudensi

adalah hakim Mesir dimasa Pemerintahan Mu’awiyyah.35

34 Ibid, hal 1835 Pernah pada pemerintahan Muawiyah hakim Mesir yang bernama Salim Ibnu Ataz

memutuskan masalah pembagian harta warisan. Kemudian orang yang bersangkutan berbeda

13

KELEMBAGAAN DAN SISTEM QADHA

Bagian ini mengkaji sejauh mana pemerintahan Islam menopang doktrin

syari’ah yang punya wewenang keagamaan. Organisasi negara Islam di bawah

dinasti Umayyah tidak secara tegas memisahkan antara fungsi eksekutif dan

fungsi legislatif, karena keduanya berada di bawah genggaman khalifah. Dan

melalui pendelegasian otoritasnya, para pejabat di bawahnya memiliki wewenang

yudikatif dalam batas-batas perkara-perkara perdata didelegasikan kepada para

qadi.36

Ketika pemerintahan Umayyah berakhir, mereka telah menjadi alat negara

yang sentral dalam menangani perkara-perkara, akan tetapi mereka tidak

independen, karena keputusan mereka dapat ditinjau kembali oleh penguasa yang

mengangkat mereka dan tergantung dukungannya. Naiknya Abbasiyah membawa

angin segar, karena tekadnya untuk menerapkan sistem hukum Islam yang

disusun para ulama sehingga status qadi meningkat jauh lebih tinggi. Para qadi,

yang dipimpin kepala qadi (qadi al-qudat) bukan lagi sebagai juru bicara hukum

dari penguasa, akan tetapi lebih memperlihatkan kesetiaan dan pengabdian pada

hukum Tuhan semata.37

Apa yang dilakukan Abbasiyah secara konkrit adalah menuntut peradilan

untuk menerapkan syari’ah sebagaimana dikembangkan para perumus teori yang

saleh, sebuah gerakan yang mereka upayakan untuk diimplementasikan dengan

membujuk para perumus itu sendiri untuk bertindak sebagai qadi.38 Akibatnya,

kemudian bahtera negara Islam tetap dipegang erat oleh pemerintah Abbasiyah

dan peradilan syari’ah tak pernah tampil pada oposisi yudikatif tertinggi yang

bebas dari control politik. Sifat kedudukan mereka menjadi terbatas. Mereka

mengalami kesuitan dalam menangani tuntutan yang diajukan terhadap pejabat

tinggi negara. Pejabat eksekutif seringkali menjadikan dirinya sebagai pengadilan

tentang putusan yang dijatuhkan hakim, maka mereka semua kembali lagi ke Hakim. Sesudah hakim memutuskan sekali lagi perkara itu, maka putusan itu dibukukan, lihat : Hasbi Ash Shiddiqy, Peradilan dan Hukum Acara Islam, (Semarang : PT Pustaka Rizki Putra, 1997), hal 21

36 Noel.J.Coulson, op.cit, hal 13937 Ibid 38 Marshal G.S. Hodgson, The Venture of Islam : Iman dan Sejarah dalam Peradaban

Dunia, (Jakarta : Paramadina, 2002), hal 146

14

dan mengambil alih yuridiksi para qadi guna mendengarkan kasus-kasus

pengaduan terhadap kesalahan-kesalahan pejabat yang berwenang (mazalim).

Dalam pengadilan dan mazalim, wazir atau hakim yang mewakilinya dapat

mengambil langkah-langkah yang dipandang perlu untuk menyelenggarakan

keadilan tanpa memperhatikan peraturan-peraturan dari proses yudisial syari’ah

yang sebenarnya. Sesungguhnya, syari’ah harus diataati sedapat mungkin, tetapi

tidak demikian jika ternyata menjadi perintang.39

Penerapan peradilan Mazalim ini menunjukkan bahwa tata-tertib hukum

dibagi menjadi 2 sektor yang masing-masing disahkan dengan cara-cara saling

tertutup. Pertama, pada tingkat kota, putusan-putusan hukum dapat diterima

sejauh sejalan dengan norma-norma syari’ah. Kedua pada tingkat pemerintahan

pusat, putusan-putusan hukum bersandar pada norma-norma yang lebih sejalan

dengan kebudayaan aristokratik istana dan keluarga tuan tanah agraris.40

Semua ini menunjukkan bahwa kekuasaan yudikatif tertinggi dipegang oleh

penguasa politik. Situasi ini tentu membuat marah sebagian ulama, yang

menyebabkan mereka enggan diangkat sebagai qadi. Yang mereka kritisi bukan

tingkat yurisdiksi qadi, tetapi posisi putusannya yang lemah. Disayangkan,

mereka tidak pernah menggugat hak penguasa untuk mengadakan pembatasan-

pembatasan yang ada sejak mula terhadap wilayah yurisdiksi peradilan.41

Praktek peradilan saat itu bersifat dualisme yaitu yurisdiksi peradilan

mazalim yang luas wewenangnya ditentukan oleh penguasa dan yuridiksi

peradilan qadi. Bahkan dalam hirarki peradilan, peradilan qadi berada dibawah

peradilan mazalim. Keputusan peradilan mazalim merupakan pernyataan

gabungan antara kekuasaan yudikatif tertinggi dan kekuasaan eksekutif yang

sama-sama dipunyai oleh penguasa politik. Namun yurisdiksi yang diberikan

kepada peradilan mazalim memiliki arti penting mengingat doktrin syari’ah telah

menjadi semacam perabot yang tercetak secara kaku. Ia berfungsi sebagai alat

pengembangan hukum.42

39 Ibid, hal 14940 Ibid41 Noel.J.Coulson, The History of Islamic Law (Hukum Islam dalam Perspektif Sejarah),

hal 14142 Ibid, hal 151

15

Coulson mencatat 2 faktor yang membuat peradilan syari’ah tidak efisien.

Pertama, doktrin syari’ah hakikatnya berfungsi memberikan gambaran ideal

tentang hubungan antara manusia dan Penciptanya. Ini menyebabkan aturan

mengenai kedudukan orang perorang vis-a-vis penguasa duniawi dalam suatu

negara kebanyakan berada di luar kerangka acuan yang dirumuskan negara.

Lantaran terbatasnya runag lingkup syari’ah, maka kasus-kasus tertentu berada di

luar wewenang peradilan qadi. Perkara keuangan diajukan ke muka pejabat bait

al-mal. Masalah pengawasan pasar dan moral public dilakukan oleh pejabat

hisbah (muntasib). Ia adalah pejabat yang diharapkan oleh para pedagang kecil,

ibu-ibu rumah tangga dan para pengrajin untuk mengatur masalah sehari-hari dari

hubungan kota. Ia memperoleh wewenang itu dari qadi, semakin syari’ah

berkembang, semakin aktivitas-aktivitasnya mencerminkannya. Sementara itu,

masalah penyelidikan atas kejahatan, penangkapan, pemeriksaan dan hukuman

bagi terhukum dilakukan oleh Sahib al-Syurtah, ia terutama bertugas memantau

apakah perintah-perintah sang muhtasib betul-betul dilaksanakan atau tidak.

Faktor kedua, sistem hukum acara dan sistem pembuktian yang diterapkan

peradilan syari’ah amat formalistik dan mekanistik sehingga hanya menyisakan

sedikit ruang bagi qadi untuk menerapkan kebijaksanaannya dalam rangka

memeriksa perkara-perkara yang diajukan kepadanya. Pemberlakuan patokan-

patokan pembuktian yang kaku terhadap semua kasus malahan menciptakan

ketidak adilan.43

Kesimpulannya, peradilan qadi, yang menangani masalah-masalah perdata

bukanlah satu-satunya peradilan yang ada dalam realitas umat. Sebab masih ada

beberapa bentuk peradilan lain yang pernah hidup dan melayani umat Islam.

PERKEMBANGAN GOLONGAN TEOLOGI ISLAM

Tumbuh dan berkembangnya golongan-golongan teologi Islam, muncul

setelah peran kepemimpinan (kekhalifahan) dalam Islam pindah dari Rasulullah

saw. ke para Sahabat (Khulafaur Rasyidin). Dan perkembangannya semakin

bertambah besar setelah terbunuhnya Ali bin Abi Thalib dan pindahnya

43 Ibid, 142-143

16

kepemimpinan kepada Muawiyyah (yang menerapkan sistem kepemimpinan

dengan model monarkhi/kerajaan).

Theologi merupakan usaha pemahaman yang dilakukan para ulama (teolog

muslim) tentang akidah Islam yang terkandung dalam naqli (Al-Qur’an dan As-

Sunnah). Tujuan usaha pemahaman tersebut adalah menetapkan, menjelaskan atau

membela akidah Islam, serta menolak akidah yang salah dan atau betentangan

dengan akidah Islam. Dengan demikian fungsi Teologi adalah bertugas

menjelaskan dan memberikan pemahaman terhadap kebenaran parrenial Islam

dengan bahasa Kontekstual.

Adapun aliran-aliran Teologi Islam dapat dijabarkan antara lain sebagai

berikut :

a. Golongan Khowarij (Teologi Eksklusif)

Khowarij ini muncul setelah perang Siffin antara Ali dan Mu’awiyyah.

Inti dari pokok pikirannya adalah : (1) Bahwa, Ali, Usman dan orang-orang

yang turut dalam peperangan Jamal dan orang-orang yang setuju adanya

perundingan antara Ali dan Muawiyyah, semua dihukumkan orang-orang

”Kafir”, (2) Bahwa, setiap umat Muhammad yang terus menerus membuat

dosa besar, hingga matinya belum taubat, orang itu dihukumkan kafir dan

akan kekal di neraka, dan (3) Bahwa, boleh keluar dan tidak mematuhi aturan-

aturan kepala negara, bila ternyata kepala negara itu seorang yang zalim atau

khianat.

Dengan demikian dapt disimpulkan bahwa teologi golongan khowarij

bahwa orang yang berdosa besar sebagai orangkafir, lawan dari orang kafir

adalah orang yang beriman, orang yang beriman wajib berjihad memerangi

orang kafir, karena orang kafir halal darahnya. (yang disebutkan orang kafir

disini adalah sebagaimana disebutkan diatas).

b. Golongan Murji’ah (Teologi Inklusif)

Aliran ini timbul di Damaskus pada akhir abad pertama Hijrah. Aliran

ini berpendapat bahwa, orang-orang yang sudah mukmin yang berbuat dosa

besar, hingga matinya tidak juga taubat, orang itu belum dapat dihukum

sekarang. Terserah atau ditunda serta dikembalikan saja urusannya kepada

17

Allah kelak setelah hari kiamat. Pendapat ini adalah kebalikan dari faham

Khawarij. Selain itu faham ini berpendapat bahwa ”Tidak akan memberi

bekas dan memudaratkan perbuatan maksiat itu terhadap keimanan.

Demikian pula sebaliknya, Tidaklah akan memberi manfa’at dan memberi

faedah ketaatan seseorang terhadap kekafirannya” (artinya : tidaklah akan

berguna dan tidaklah akan memberi pahala perbuatan baik yang dilakukan

oleh orang yang telah kafir).

c. Golongan Khowarij (Teologi Rasional)

Tokohnya adalah Abu Huzdaifah washil bin ’Atha Al-Ghazali. Aliran ini

berpendapat bahwa, manusia adalah merdeka dalam segala perbuatan dan

bebas bertindak. Sebab itu mereka diazab atas perbuatan dan tindakanya.

Tentang ketauhidan, mereka ”menafikan” dan meniadakan sifat-sifat Allah.

Artinya Tuhan itu ada bersifat. Karena seandainya bersifat yang bermacam-

macam, nisacaya Allah Ta’ala berbilang (lebih dari satu). Inilah yang

dimaksud mereka Ahli Tauhid, menafikan sifat-sifat Allah.

d. Golongan Asy’ariyah

Golongan ini muncul pada abad ke 11, yang berkembang di Baghdad

dengan salah satu tokohnya adalah : Hakim al-Baqailani dan al-Juwaini.

Pokok pemikirannya cenderung pada pemikiran Rasional, hampir sama

dengan pemikiran golongan Mu’tazilah.

Perkembangan Teologi Islam ini besar pengaruhnya dalam pemikiran fikih.

PERKEMBANGAN PEMIKIRAN FILSAFAT ISLAM (TOKOH-TOKOH

FILSAFAT ISLAM)

a. Pemikiran Filsafat Al-Ghazali / 1050-1111 M (Tahafutu al-Falasifah)

Pokok pemikiran dari Al-Ghozali adalah tentang Tahafutu al-falasifah

(keracuan berfilsafat) dimana al-Ghazali menyerang para filosof-filosof Islam

18

berkenaan dengan kerancuan berfikir mereka. Tiga diantaranya, menurut al-

Ghazali menyebabkan mereka telah kufur, yaitu tentang : Qadimnya Alam,

Pengetahuan Tuhan dan Kebangkitan Jasmani.

b. Pemikiran Fisafat Ibn Rusyd 520 H/1134 M (Teori Kebenaran Ganda)

Pokok pemikiran Ibn Rusyd adalah ia membela para filosof dan

pemikiran mereka dan menundukkan masalah-masalah tersebut pada posisinya

dari serangan al-Ghazali. Untuk itu ia menulis sanggahan berjudul Tahafut al-

Tahafut. Dalam buku ini Ibn Rusyd menjelaskan bahwa sebenarnya al-Ghazali

yang kacau dalam berfikirnya.

c. Pemikiran Filsafat Suhrawardi /1158-1191 M (Isyraqiyah / Illuminatif)

Pokok pemikiran Suhrawardi adalah tentang teori emanasi, ia

berpendapat bahwa sumber dari segala sesuatu adalah Nuur An-Nuur (Al-Haq)

yaitu Tuhan itu sendiri. Yang kemudian memancar menjadi Nuur al-Awwal,

kemudian memancarkan lagi menjadi Nuur kedua dan seterusnya hingga yang

paling bawah (Nur yang semakin tipis) memancar menjadi Alam (karena

semakin gelap suatu benda maka ia semakin padat).

Pendapatnya yang kedua adalah bahwa sumber dari ilmu dan kebenaran

adalah Allah, alam dan wahyu bisa dijadikan sebagai perantara (ilmu) oleh

manusia untuk mengetahui keberadaan Allah. Sehingga keduanya, antara

Alam dan Wahyu adalah sama-sama sebagai ilmu.

d. Pemikiran Filsafat Islam Lainnya

Disamping ketiga tokoh pemikir filsafat Islam tersebut diatas, berikut

tokoh-tokoh pemikir filsafat Islam lainnya, antara lain :

1) Al-Kindi (806-873 M)

Pemikiran filsafatnya berkisar tentang masalah : Relevansi agama dan

filsafat, fisika dan metafisika (hakekat Tuhan bukti adanya Tuhan dan

sifat-sifatNya), Roh (Jiwa), dan kenabian.

2) Abu Bakar Ar-Razi (856-925 M)

19

Pemikiran filsafatnya berkisar tentang masalah : Akal dan agama

(penolakan terhadap kenabian dan wahyu), prinsip lima yang abadi dan

hubungan jiwa dan materi.

3) Al-Farabi (870-950 M)

Pemikiran filsafatnya berkisar tentang masalah : kesatuan fisafat,

metafisika (hakekat Tuhan), teori emanasi, teori edea, Utopia jiwa (akal)

dan teori kenabian.

4) Ibnu Maskawaih (932-1020 M)

Pemikiran filsafatnya berkisar tentang masalah : filsafat akhlaq dan filsafat

jiwa.

5) Ibnu Shina (980-1036 M)

Pemikiran filsafatnya berkisar tentang masalah : fisika dan metafisika,

filsafat emanasi, filsafat jiwa 9akal) dan teori kenabian.

6) Ibnu Bajjah (1082-1138)

Pemikiran filsafatnya berkisar tentang masalah : metafisika, teori

pengetahuan, filsafat akhlaq dan Tadbir al-mutawahhid (mengatur hidup

secara sendiri).

7) Ibnu Yaufal (1082-1138 M)

Pemikiran filsafatnya berkisar tetang masalah : percikan filsafat dan kisah

hay bin yaqadhan.44

Perkembangan pemikiran filsafat ini menjadi dasar dalam perkembangan

pemikiran fikih.

PERKEMBANGAN PEMIKIRAN FIQH MODERN

1. Islam Tekstual

Corak pemikirannya masih bersifat fundamental, tekstualis dan skeptis. Dalam

hal ini antara Islam dengan Modernitas masih dipertentangkan belum ada titik

temu dan modernitas belum bisa menyatu dengan Islam.

44 http://nashir6768.multiply.com/journal/item/9, diakses tanggal 5 Januari 2009

20

2. Islam Revivalism

Pemikir Islam Revivalism sudah mengkombinasikan antara Islam dengan

Modernitas walau masih sedikit dan masih dikuatkan nilai-nilai ke-

Islamannya.

3. Islam Modern

Corak pemikiran dari tokoh Islam modern sudah memasukkan lebih banyak

modernitas kedalam nilai-nilai Islam. Sehingga pemikirannya sudah dapat

dikatakan liberal walaupun masih ada kendali Fundamentalisnya (Ke-

Islamannya). Tokohnya antara lain Nurcholis Madjid, Abdurrahman Wahid,

dan lain-lain.

4. Islam Neo-Modernis

Dalam hal ini tokoh pemikir Islam, pemikirannya sudah mengarah kepada

Liberalis, Kontekstual dan Substantive. Tokoh Pemikir Islam Neo-Modernis

antara lain : Ulil Absor Abdala, Shahrur, Arkoun dan Aljabiri. Shahrun

berpendapat bahwa Al Qur’an bukan teks mati, tetapi dapat berkembang

cara memahaminya, metode ijtihadnya : analisis linguistik semantik,

penerapan ilmu-ilmu eksakta modern (Matematika analitik, teknik analitik dan

teori himpunan). Nabi Muhammad saw. merupakan mujtahid pertama,

demikian pula tentang sunnah Nabi tidak merupakan wahyu yang kedua

melainkan hanya sebagai pemahaman awal terhadap At Tamzil al Hakim (Al

Qur’an), dalam arti bahwa ia bersifat terbatas dan relatif.45 Demikian pula Ar

Koun memahami Al Qur’an dengan ; 1) Pendekatan Hermeneutik, 2)

Memandang tidak ada nash Qoth’iy bersifat subyektif-relatif, 4) Redefinisi

terhadap nash qath’iy, 5) Nash Qathiy menjadi wilayah ijtihad. Dalam

masalah ijtihad mengadakan pembaharuan antara lain ; 1) Tidak ada standar

baku syarat-syarat ijtihad, 2) Syarat-syarat ijtihad bersifat elastis.46 Dengan

demikian Neo-Modernisme ini sudah tidak ada pemisahannya artinya sudah

menyatu.

45 Muhammad Shahrun, Metodologi Fiqh Islam Kontemporer, Yogyakarta : ELSAQ Press, 2004) hal. 4-5

46 Ilyas Supeno, Dekonstruksi dan Rekonstruksi Hukum Islam, (Yogyakarta : Gema Media, 2002), hal. 255-260

21

Untuk menjawab tantangan modernitas, Jabiri menyerukan untuk membangun

epistemologi nalar Arab yang tangguh. Sistem yang menurut skema Jabiri

hingga saat ini masih beroperasi, yaitu : pertama, sistem epistemologi indikasi

serta eksplikasi. (’ulum al-bayan) merupakan sistem epistemologi yang paling

awal muncul dalam pemikiran Arab. Ia menjadi dominan dalam bidang

keilmuan pokok (indiginus), seperti filologi, yurisprudensi, ilmu hukum

(fikih) serta ’ulum al-Qur’an, teologi dialektis (kalam) dan teori sastra

nonfilosofis. Sistem ini muncul sebagai kombinasi dari pelbagai aturan dan

prosedur untuk menafsirkan sebuah wacana (interpreting of discourse). Sistem

ini didasarkan pada metode epistemologis yang menggunakan pemikiran

analogis dan memproduksi pengetahuan secara epistemologis pula dengan

menyandarkan apa yang tidak diketahui dengan yang telah diketahui, apa yang

belum tampak dengan apa yang sudah tampak. Kedua, disiplin gnotisisme

(’ulum al-’irfan) yang didasarkan pada wahyu dan ”pandangan dalam” sebagai

metode epistemologinya, dengan memasukkan sufisme, pemikiran Syi’i,

penafsiran esoterik terhadap Al-Qur’an dan orientasi filsafat illuminasi.

Ketiga, disiplin-disiplin bukti ”eferensial” (’ulum al-burhan) yang didasarkan

atas pada metode epistemologi melalui observasi empiris dan inferensiasi

intelektual. Jika disingkat, metode bayani adalah rasional, metode ’irfani

adalah intuitif, dan metode burhani adalah empirik, dalam epistemologi

umumnya.

Jabiri tidak melihat ketiga sistem epistemologi ini – pada bentuknya yang

ideal – hadir dalam setiap figur pemikir. Masing-masing sistem selalu hadir

dalam bentuk yang lebih kurang telah mengalami kontaminasi.

Diantara ide Al Jabiri adalah : 1) Mengubah masyarakat klan menjadi

masyarakat madani yang multipartai, mempunyai asosiasi-asosiasi profesi,

organisasi-organisasi independen dan lembaga konstitusi, 2) Mengubah

ekonomi al-ghanimah yang bersifat konsumerisme dengan sistem ekonomi

produksi. Serta membangun kerjasama dengan ekonomi antarnegara Arab

untuk memperkuat independensi, 3) Mengubah sistem ideologi (al-aqidah)

yang fanatis dan tertutup dengan pemikiran inklusif yang bebas dalam mencari

22

kebenaran. Serta membebaskan diri dari akal sektarian dan dogmatis,

digantikan dengan akal yang berijtihad dan kritis.47

PENUTUP

Demikianlah fikih selalu berkembang seiring kemajuan ilmu pengetahuan

dan perubahan zaman, mulai dari zaman klasik sampai dengan modern. Tentunya

membutuhkan kemampuan daya pikir dan nalar untuk menggunakan metode

istimbath al ahkam melalui pendekatan Ushul Fikih, Sociohistorical dan Ilmu

Modern yang lain. Dan semoga dengan ini kita dapat gambaran tentang peta

pemikiran fikih.

DAFTAR PUSTAKA

Ash-Shiddieqy, Hasbi, Pengantar Hukum Islam, (Jakarta : Bulan Bintang, 1976)

Ash Shiddieqy, TM Hasbi, Peradilan dan Hukum Acara Islam, (Semarang : PT Pustaka Rizki Putra, 1997)

47 http://kemonbaby.multiply.com/journal/item/5, diakses tanggal 5 Januari 2009

23

A. Sirri, Mun’in, Sejarah Fiqih Islam, (Surabaya : Risalah Gusti, 1995)

Daud Ali, Muhammad, Hukum Islam, (Jakarta : PT Raja Grafindo Persada, 2000)

Djadmiko, Rahmat, Sosialisasi Hukum Islam di Indonesia dalam Kontroversi Pemikiran Islam di Indonesia, (Bandung : Rosdakarya, 1990)

G.S. Hodgson, Marshal, The Venture of Islam : Iman dan Sejarah dalam Peradaban Dunia, (Jakarta : Paramadina, 2002)

Hasan, Ahmad, The Early Development of Islamic Jurisprudence (Pintu Ijtihad Sebelum Tertutup), terj. Agah Garnadi, (Bandung : Pustaka, 1984)

Al Janziyyah, Ibnu al Qayyim, I’lam al Muwaqqi’in, Jilid I, (Beirut : Dar Al Fikr, tt)

J. Coulson, Noel, The History of Islamic Law (Hukum Islam dalam Perspektif Sejarah)

Khudori Bik, Muhammad, Tarikh Tasyrik al Islami, (Surabaya : Al Hidayah, tt)

Muhammad Isma’il, Sya’ban, Al Tasyrik al Islamy Mashadiruhu wa Atwaruhu, (Kairo : An Nahdhah al Misriyyah, 1985)

Nasution, Harun, Islam ditinjau dari berbagai Aspeknya, Jilid II, (Jakarta : UI Pers, 1986)

Sadzali, Munawir, Ijtihad Kemanusiaan, (Jakarta : Paramadina, 1997)

Shahrun, Muhammad, Metodologi Fiqh Islam Kontemporer, Yogyakarta : ELSAQ Press, 2004)

S. Praja, Filsafat Hukum Islam, (Bandung : LPPM UNISBA, 1995)

Syarifudin, Amir, Ushul Fiqih, Jilid II, (Jakarta : Logos, 2001)

Supeno, Ilyas, Dekonstruksi dan Rekonstruksi Hukum Islam, (Yogyakarta : Gema Media, 2002)

Supriyadi, Dedi, Sejarah Hukum Islam, (Bandung : Pustaka Setia, 2007)

24

Weis, Bernard, The Spirit of Islamic Law, (London : The University of Georgia Press, 1998)

Zuhaili, Wahbah, Al Fiqh Al Islami Wa Adillatahu, Jilid I, (Beirut : Dar Al Fikr, 1989)

http://nashir6768.multiply.com/journal/item/9, diakses tanggal 5 Januari 2009

http://kemonbaby.multiply.com/journal/item/5, diakses tanggal 5 Januari 2009

25