perkawinan

58
BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Masalah Al-Qur'an merupakan sumber paling utama dari segala sumber hukum yang ada, yang sudah tidak diragukan lagi kebeneran isi kandungannya. Karena ia adalah kalam ilahi yang telah difirmankan kepada Nabi Muhammad SAW, melalui perantaraan malaikat jibril untuk kepentingan ummat Nabi Muhammad SAW. Ia merupakan petunjuk/ hidayah bagi orang-orang yang taqwa (QS. 2 : 2). Artinya: "Kitab (Al-Qur'an) ini tiada keraguan di dalamnya; petunjuk bagi mereka yang taqwa". (QS. 2, Al-Baqarah : 2) (Depag RI, 1989, hal. 8). Artinya: "….Membenarkan apa (kitab-kitab) yang sebelumnya dan menjadi petunjuk serta berita gembira bagi orang-orang yang beriman". (QS. 2, Al-Baqarah : 97). "(Beberapa hari yang ditentukan itu ialah) bulan ramadlan, bulan yang didalamnya diturunkan (permulaan) Al-Qur'an sebagai petunjuk bagi manusia dan penjelasan-penjelasan mengenai petunjuk itu dan pembeda (antara yang hak dan yang bathil) ….." (QS. 2, Al-Baqarah : 185). "(Al-Qur'an)" ini adalah penerangan bagi seluruh manusia, dan petunjuk serta pelajaran bagi orang-orang yang taqwa". (QS. 3, Ali Imron : 138) 1

Upload: muhammad-ibrahim

Post on 14-Jun-2015

2.208 views

Category:

Documents


0 download

DESCRIPTION

just read key

TRANSCRIPT

Page 1: PERKAWINAN

BAB I

PENDAHULUAN

A. Latar Belakang Masalah

Al-Qur'an merupakan sumber paling utama dari segala sumber hukum

yang ada, yang sudah tidak diragukan lagi kebeneran isi kandungannya.

Karena ia adalah kalam ilahi yang telah difirmankan kepada Nabi Muhammad

SAW, melalui perantaraan malaikat jibril untuk kepentingan ummat Nabi

Muhammad SAW. Ia merupakan petunjuk/ hidayah bagi orang-orang yang

taqwa (QS. 2 : 2).

Artinya:

"Kitab (Al-Qur'an) ini tiada keraguan di dalamnya; petunjuk bagi mereka yang taqwa". (QS. 2, Al-Baqarah : 2) (Depag RI, 1989, hal. 8).

Artinya:

"….Membenarkan apa (kitab-kitab) yang sebelumnya dan menjadi petunjuk serta berita gembira bagi orang-orang yang beriman". (QS. 2, Al-Baqarah : 97).

"(Beberapa hari yang ditentukan itu ialah) bulan ramadlan, bulan yang didalamnya diturunkan (permulaan) Al-Qur'an sebagai petunjuk bagi manusia dan penjelasan-penjelasan mengenai petunjuk itu dan pembeda (antara yang hak dan yang bathil)….." (QS. 2, Al-Baqarah : 185).

"(Al-Qur'an)" ini adalah penerangan bagi seluruh manusia, dan petunjuk serta pelajaran bagi orang-orang yang taqwa". (QS. 3, Ali Imron : 138)(Depag RI, 1989, hal. 27, 45 dan 98)

Sebagai aturan hukum (QS. 13 : 37)

Artinya:

"Dan demikianlah, kami telah menurunkan al-qur'an itu sebagai peraturan (yang benar) dalam bahasa arab……" (QS. 13, ar-Rod : 37). (Depag RI, 1989, hal. 367)

1

Page 2: PERKAWINAN

Dan sebagai pedoman hidup (QS. 45 : 20)

Artinya:"Al-Qur'an ini adalah pedoman bagi manusia, petunjuk dan rahmat bagi kaum yang meyakini." (QS. 45, Al-Jatsiah : 20). (Depag RI, 1989, hal. 817)

Hal ini mengandung pengertian, bagi setiap hamba Allah SWT. Yang

setia kepada agamanya harus merasa terikat terhadap seluruh hukum (Islam)

yang terkandung di dalamnya.

Demikian pula tuntunan yang datangnya dari Rasulullah SAW. Sebab,

hadits nabi yang telah banyak diriwayatkan itu merupakan wahyu Allah juga

yang harus dijadikan landasan oleh ummat manusia.

Di samping itu juga, manusia harus taat dan patuh kepada pemerintah

(ulil-amri) sepanjang tidak bertentangan dengan aturan agama Islam. Sebab,

hal ini juga perintah Allah yang harus dilaksanakan keberadaannya oleh

hamba-Nya. (QS. 2 : 59):

Artinya:

"Hai orang-orang yang beriman, taatilah Allah dan taatilah Rasul (Nya), dan ulil amri diantara kamu. Kemudian kembalikanlah ia kepada Allah (Al-Qur'an) dan rasul (sunnahnya), jika kamu benar-benar beriman kepada allah dan hari kemudian. Yang demikian itu lebih utama (bagimu) dan lebih baik akibatnya." (QS. 4, An-Nisa' : 59). (Depag RI, 1989, hal. 128)

Di antara peraturan yang telah ditetapkan oleh pemerintah adalah

undang-undang nomor 1 tahun 1974 tentang hukum perkawinan di Indonesia

yang berlaku bagi semua warga nergara.

Dalam pasal 7 ayat (1) UU No. 1 tahun 1974 dinyatakan, bahwasanya

perkawinan yang belum mencapai usia 19 (sembilan belas) tahun bagi pria dan

16 (enam belas) tahun bagi wanita belum diizinkan. Sedangkan agama Islam

tidak menetapkan secara jelas (sorih) batas umur melaksanakan perkawinan.

Jadi, baik di dalam Al-Qur'an maupun Al-Hadits tidak ditetapkan secara jelas

adanya batasan tertentu untuk usia minimal dalam perkawinan. Dua hal inilah

yang menjadi permasalahan bagi penulis, satu sisi memberi batasan usia

minimal dalam perkawinan sedangkan di sisi lain tidak.

2

Page 3: PERKAWINAN

Berdasar praktek di masyarakat, banyak yang melaksanakan kawin

sebelum batas usia perkawinan sebagaimana ditetapkan dalam UU Nomor 1

tahun 1974 seperti di Desa Wonosari Kec. Tutur-Nongkojajar Kab. Pasuruan,

akan tetapi ditolak oleh pihak pegawai pencatat nikah (PPN) setempat

alasannya masih berusia muda.

Dari kenyataan di atas penulis tertarik untuk menulis dan meneliti

perkawinan pada usia muda itu yang dikaitkan dengan UU Nomor 1 tahun

1974 dengan berdasarkan ajaran agama Islam (hukum Islam).

B. Identifikasi Masalah

Dari paparan di atas dapat diketahui, bahwa masalah pokok yang ingin

penulis pelajari adalah mengenai perkawinan usia muda yang berdasarkan UU

Nomor 1 Tahun 1974 di Desa Wonosari Kec. Tutur-Nongkojajar Kab.

Pasuruan dalam tinjauannya dengan hukum Islam.

Dengan demikian, maka masalahnya menjadi jelas dan mudah dikenali.

C. Pembatasan Masalah

Masalah yang bertitik tolak pada identifikasi masalah di atas dirasa

masih cukup luas cakupannya/ ruang lingkupnya. Untuk itu, masalah tersebut

perlu dibatasi dari segi :

1. Subyek : - Para pihak yang melangsungkan perkawinan yang masih

berusia muda dan ber-Agama Islam dengan melalui dispensasi

kawin;

- Instansi terkait (Kepala Desa dan KUA).

2. Tempat : Desa Wonosari Kec. Tutur-Nongkojajar Kab. Pasuruan.

D. Perumusan Masalah

Agar lebih praktis dan operasional dalam penulisan skripsi ini, maka di

sini dibuat rumusan masalah sebagai berikut :

1. Motifasi apakah yang mendorong terjadinya perkawinan di bawah umur

yang terjadi di Desa Wonosari Kec. Tutur-Nongkojajar Kab. Pasuruan ?

3

Page 4: PERKAWINAN

2. Bagaimana tinjauan hukum Islam terhadap perkawinan usia muda/ di

bawah umur tersebut ?

3. Bagaimana perkawinana usia muda menurut hukum positif, adakah suatu

penyimpangan ?

E. Tujuan Studi

Sejalan dengan pertanyaan-pertanyaan di atas, maka tujuan studi ini

dapat diketahui dengan rumusan sebagai berikut:

1. Untuk mengetahui hal yang mendorong terjadinya perkawinan di bawah

umur yang terjadi di desa wonosari.

2. Untuk mengetahui, apakah perkawinan usia muda itu sesuai dengan

syari'at Islam atau tidak.

3. Untuk mengetahui, apakah perkawinan usia muda tersebut ada

penyimpangan dengan hukum positif atau tidak.

F. Kegunaan Studi

Signifikansi studi ini kiranya dapat dimanfaatkan untuk kepentingan

sebagai berikut :

1. Dapat dijadikan bahan untuk menyusun hipotesa bagi penelitian

berikutnya tentang faktor-faktor yang menyebabkan terjadinya perkawinan

usia muda, sehingga dapat diperkecil pelaksanaannya kalau memang tidak

ada penyimpangan.

2. Dapat dipergunakan untuk program binaan dan pemantapan kehidupan

beragama, khususnya yang berkenaan dengan perkara munakahat untuk

kalangan yang beragama Islam.

G. Pelaksanaan Penelitian

Penelitian untuk karya ini akan dilaksanakan disebuah desa terpencil dan

berbukit-bukit, karena memang terletak di suatu daerah pegunungan yang

tinggi dan berhawa dingin. Dari desa tersebut menuju Gunung Bromo kearah

timur sekitar + 7 km. jadi, di lokasi itulah akan dilaksanakan penelitian.

4

Page 5: PERKAWINAN

Adapun alasan pemilihan lokasi ini didasarkan atas pertimbangan

sebagai berikut :

1. Obyek Penelitian :

- Masyarakat Islam yang masih berusia muda sangat dominan yang

melangsungkan perkawinan;

- Daerah tersebut merupakan daerah pedesaan semi kota (kecamatan);

- Juga merupakan daerah teladan di antara desa-desa lainnya.

2. Subyek Penelitian

Pada pelaksanaan penelitian nanti dibutuhkan subyek penelitian, di

antaranya adalah para pihak yang akan melaksanakan perkawinan, akan

tetapi ditolah oleh pihak PPN dan KUA dimana para pihak yang akan

melaksanakan perkawinan di tempat itu.

3. Data yang akan digai

Berdasarkan perumusan masalah, seperti telah dikemukakan dahulu,

data-data yang akan dihimpun meliputi :

- Data tentang frekuensi perkawinan usia muda ;

- Data tentang faktor-faktor yang mendorong terjadinya perkawinan usia

muda ;

- Data tentang perekonomian, pendidikan, keagamaan, dan keadaan

sosial (penduduk) ;

- Data-data lainnya. (jika dibutuhkan)

4. Sumber data

Sumber data untuk seluruh data di atas terdiri dari :

- Sumber utama (pokok) yakni, pesponden yang memberikan pernyataan

tentang hal atau yang berkenaan dengan dirinya sendiri ;

- Sumber tambahan (pelengkap) yakni, informan yang memberikan

pernyataan tentag hal atau yang berkenaan dengan orang/ pihak lain ;

seperti pegawai KUA, kepala desa, masyarakat dan lain-lain.

5. Tehnik penggalian data

Data-data di atas akan digali dari sumber datanya masing-masing,

sebagai berikut :

5

Page 6: PERKAWINAN

- Penggalian dari sumber data utama akan menggunakan tehnik

pengamatan terlibat, yakni penulis akan berwawancara langsung

dengan responden/ informan.

- Penggalian data dari sumber tambahan akan menggunakan pengamatan

(observasi) secara langsung terhadap peristiwa, keadaan atau hal lain

yang menjadi keperluan dalam penggalian data ini.

6

Page 7: PERKAWINAN

BAB II

BEBERAPA HAL TENTANG PERKAWINAN

A. Pengartian Perkawinan

Pengertian perkawianan dapat ditinjau dari dua unsur yaitu pengertian

menurut bahasa dan pengertian menurut istilah.

Menurut bahasa, perkwianan adalah 'bersetubuh' dan 'berkumpul'

( ). (Taqiyuddin, tt., II, hal. 36).

Hal ini senada dengan pendapat Imam Muhammad Bin Isma'il Kahlani

As-Shon'ani. Beliau mendefinisikan perkawinan sebagai berikut:

Artinya: Bersetubuh/berkumpul dan memasukkan dipakai dalam pengertian bersetubuh. (As-Shon'ani, tt., III : 109)

Sedangkan menurut seorang ahli bahasa Indonesia dalam kamusnya

menyebutkan pengertian perkawinan sama dengan pengertian pernikahan,

karena kata perkawinana berasala dari kata 'kawin' yang berarti 'nikah'. Beliau

mengatakan dalam bukunya, bahwa arti nikah adalah :

"Perjanjian antara laki-laki dan perempuan untuk bersuami istri (dengan resmi)." (W.J.S. Poerwadarminta, 1985, hal. 676)

Pengertian perkawinan menurut istilah, dalam hal ini para ahli fiqih

memberikan batasan sesuai dengan tujuan peninjauan mereka, atnara lain :

1. Menurut syekh Muhammad As-Syarbini Al-Khotib dalam kitabnya Al-

Iqna', menyebutkan :

Artinya: (Aqad (perjanjian) yang dapat membolehkan bersetubuh sebab mengucapkan lafadz 'inkah' atau 'tazwij' atau terjemahnya). (As-Syarbini, tt., II : 115)

7

Page 8: PERKAWINAN

2. Menurut Al-Imam Taqiyuddin Abu Bakar dalam kitabnya Kifayatul-

Ahyar, menyebutkan :

Artinya: (…….adalah suatu ungkapan dari aqad yang masyhur yang mempergunakan syarat dan rukun). (Taqiyuddin, tt., II hal. 36)

3. Menurut abu thoyyib Muhammad Syamsul Haq dalam kitabnya 'Awanul-

Ma'bud', Syarah Sunan Abu Dawud, telah dinyatakan :

(Aqad antara suami istri yang menghalalkan wathi' (bersetubuh), dan pada hakikatnya aqad itu merupakan majaz dalam persetubuhan). (Abu Thuyyib, tt., II : 39)

Dari beberapa definisi di atas, baik menurut bahasa maupun istilah

(syara') terdapat sedikit perbedaan di antara mereka, namun satu sama lainnya

saling melengkapi dan menyempurnakan jika kita ambil kesimpulan

sementara di antar definisi-definisi di atas.

Dan dari beberapa pendapat tersebut dapat ditarik suatu kesimpulan,

bahwa perkawinan adalah aqad (perjanjian suci) yang menghalalkan hubungan

kelamin antara seorang laki-laki dengan seorang perempuan yang bukan

mahromnya, dimana hal ini merupakan kebutuhan biologis manusia untuk

memenuhi kebutuhan jasmani dan rohani manusia yang bertujuan membentuk

keluraga bahagia dan sejahtera serta melanjutkan keturunan sebagai

perwjudan melaksanakan dan mencontoh sunnah Nabi SAW.

Pernyataan di atas sesuai dengan pengertian perkawinan pada UU

Nomor 1 tahun pasal 1 yang berbunyi :

"Perkawinan ialah ikatan lahir bathin antara seorang pria dengan seorang wanita sebagai suami istri dengan tujuan membentuk keluarga (rumah tangga) yang bahagia dan kekal berdasarkan Ketuhanan Yang Maha Esa." (UU. No. 1/ 1974. 1978 : 6)

Pasal 1 Undang-Undang perkawinan di atas merupakan rumusan 'arti'

dan 'tujuan' perkawinana.

8

Page 9: PERKAWINAN

Yang dimaksud dengan arti perkawinana ialah "ikatan lahir bathin antara

seorang pria dengan seorang wanita sebagai suami istri".

Sedangkan tujuan perkawinan adalah "membentuk keluarga (rumah tangga)

yang bahagia dan kekal berdasarkan ke-Tuhanan Yang Maha Esa". Artinya,

tuntunan agama harus menceraikan dan menjiwai keseluruhan peraturan dan

perundang-undangan yang berkenaan dengan perkawinan, bahkan norma

agama menentukan sah tidaknya suatu aqad perkawinan, sebagaimana

termaktub dalam pasal 2 ayat (1) UU perkawinan.

B. Tujuan Perkawianan

Sementara ini, menurut kebanyakan orang (orang awam) tujuan

perkawinana ialah menghalalkan hubungan kelamin antara pria dengan

wanita. Anggapan itu bukanlah merupakan tujuan perkawinan yang sempurna

menurut Islam, sebab masih ada tujuan perkawinan yang utama yang

terkandung dalam ajaran Islam, diantaranya.

1. Untuk melanjutan keturunan yang merupakan sambungan hidup dan

penerus cita-cita, juga membentuk keluarga dan dari keluarga-keluarga itu

membentuk umat, yaitu umat Nabi Muhammad SAW.

Pernyataan di atas sesuai dengan firman Allah :

Artinya :"Allah menjadikan bagi kamu istri-istri dari jenis kamu sendiri dan menjadikan bagimu dari istri-istri kamu itu, anak-anak dan cucu, dan memberimu rizki dari yang baik-baik". (QS. 16, An-Nahl : 72). (Depag RI, 1989 : 412)

Juga nabi sendiri telah menjelaskan tentang tujuan nikah ini, di

antaranya :

9

Page 10: PERKAWINAN

Artinya :"Kawinlah dengan perempuan pencinta lagi bisa banyak anak, agar nanti aku dapat membanggakan jumlahmu yang banyak di hadapan para Nabi pada hari qiamat nanati". (Sayyid Sabiq, 1983, jilid II : 11)

Banyaknya jumlah keturunan mempunyai dampak positif, secara

umum dan khusus. Sehingga beberapa bangsa ada yang berkeinginan

keras untuk memperbanyak jumlah rakyatnya dengan memberikan iming-

iming melalui pemberian upah bagi orang yang beranak banyak.

2. Untuk memelihara naluri keibuan dan kebapakan, sehingga tumbuh saling

melengkapi dalam suasana hidup dengan anak-anak dan akan tumbuh pula

perasaan-perasaan ramah, cinta dan kasih sayang.

Hal ini sesuai dengan firman Allah SWT :

Artinya :"Dan di antara tanda-tanda kekuasaan-Nya ialah dia menciptakan untukmu istri-istri dari jenismu dari jenismu sendiri, supaya kamu cenderung dan tenteram kepadanya, dan dijadikan-Nya di antar kamu rasa kasih dan sayang. Sesungguhnya pada yang demikian itu benar-benar terdapat tanda-tanda bagi kaum yang berfikir". (QS. 30, Ar-Rum : 21). (Depag RI, 1989 : 644)

3. Untuk menjaga diri dari perbuatan-perbuatan yang dilarang Allah SWT.

Mengerjakannya, sebagaimana sabda Nabi SAW :

Artinya : "Hai, golongan pemuda ! bila di antara kamu ada yang mampu kawin hendaklah kawin, karna nanti matanya akan lebih terjaga dan kemaluannya akan lebih terpelihara. Dan bilamana ia belum

10

Page 11: PERKAWINAN

mampu kawin hendaklah ia berpuasa, karena puasa itu dapat menurunkan syahwat". (HR. Jama'ah) (Sayyid Sabiq, 1983, jilid II: 13)

4. Untuk melaksanakan sunnah rasul, maksudnya adalah :

"Rasulullah SAW. Sebagai panutan orang-orang Islam hendaknya menjadi uswatun hasanah dalam segala gerak-geriknya. Oleh karena itu, Rasulullah juga melaksanakan perintah kawain maka hal ini juga berlaku untuk seluruh umatnya". (Drs. Irfan Sidqon, 1978, I : 3)

5. Sebagai bentang untuk dirinya sendiri demi memelihara moral dan

kesucian. Sebab : perkawinana menyediakan untuk diri seseorang satu

benteng pertahanan yang dibangun bagi kepuasan seksual sekligus sebagai

kubu perlindungan moral bagi dirinya. (Achmad Rais, 1990 : 14)

Dalam hal ini Allah telah menyatakan :

Artinya :

"Dan (diharamakan juga kamu mengawini) wanita yang bersuami, kecuali budak-budak yang kamu miliki, (Allah telah menetapkan hukum itu) sebagai ketetapannya atas kamu. Dan dihalalkan bagi kamu selain yang demikian (yaitu) mencari istri-istri dengan hartamu untuk dikawini bukan untuk berzina". (QS. 4, an-nisa' : 24) (Depag RI, 1989 : 121)

Jika kita teliti secara cermat ayat di atas, maka menjadi jelas.

Bahwasanya menurut pandangan Islam, yang paling penting di antara

suami istri adalah perlindungan moral dan kesucian yang hakiki. Ini

merupaka tujuan utama yang harus dicapai, bahkan kalau boleh dikatakan,

inilah semua tujuan perkawinan. Tidak ada tujuan lain yang harus dicapai

dalam hal ini.

11

Page 12: PERKAWINAN

Berdasarkan tujuan-tujuan perkawinan di atas, maka dengan

perkawinan seseorang dapat memenuhi hajat hawa nafsunya yang bersifat

tahji'I dengan aman dan tenang dalam suasana cinta mesra. Sehingga

dengan demeikian dapat memperoleh keputusan dengan sangat sempurna

dan ketenangan lahir bathin. Semua itu merupakan sendi-sendi

kesejahteraan keluarga dan masyarakat.

Dari uraian di atas dapat dipahami, bahwa dalam pandangan Islam

bukanlah halalnya hubunga kelamin saja yang menjadi tujuan dalam

perkawinan. Tetapi juga bertujuan untuk meendapatkan keturunan yang

sah dalam rangka melanjutkan generasi, disamping supaya suami istri

dapat membina kehiudpan keluraga yang tentram lahir dan bathin atas

dasar saling mencintai dalam suatu ruamh tangga bahagia.

Muhammad Abu Zahroh mencoba mengemukakan pengertian nikah

yang juga dapat menggabarkan tujuan perkawinan. Menurutnya,

perkawinana adalah "suatau akad (perjanjian) yang menghalalkan

hubungan kelamin antara seorang pria dengan wanita, saling membantu

dan masing-masing mempunyai hak dan kewajiban yang harus dipenuhi".

(Muhammad Abu Zahroh, 1957 : 19)

Sedangkan yang menentukan hak dan kewajiban suami istri adalah agama

dan norma hukum lainnya.

Sejalan dengan pendapat Abu Zahroh, terdapat pula dalam Undang-

Undang Nomor 1 Tahun 1974, yakni perkawinan bertujuan membina

rumah tangga bahagia, dan dicantumkan pula tentang hak dan kewajiban

suami istri dengan rinci.

C. Hak dan Kewajiban Suami Istri

Hubungan antara suami dan istri berpijak pada hubungan timbul balik.

Hubungan saling menerima dan memberi. Karena itu, sering kali digunakan

istilah 'hak istri adalah kewajiban suami, begitu juga sebaliknya, hak suami

adalah kewajiban istri'.

12

Page 13: PERKAWINAN

Seorang laki-laki yang kemudian memperoleh sebutan suami,

merupakan pemimpin puncak dari struktur rumah tangga atau keluarga baru.

Suami mempunyai wewenang atau otoritas dalam membina dan mengatur

rumah tangga. Dia adalah manajer umum dari organisasi itu. Selanjutnya,

seorang istri/ perempuan yang kemudian memperoleh status sebagai istri, akan

memperoleh peran sebagai manajer pelaksana dalam struktur organisasi

tersebut.

Kekuatan struktur bangunan keluarga baru itu amat tergantung pada

pondasinya. Agama adalah sebaik-baik pondasi suatu struktur bangunan

keluarga.

Secara normatif dan tidak langsung, seorang lelaki yang menikah juga

telah berjanji kepada Allah SWT. Untuk memperlakukan istrinya dengan baik,

menjaga kemuliaannya serta tidak menganiaya.

Jika dirinci, kewajiban suami atas istrinya terdiri dari:

1. Nafkah: setiap suami wajib memenuhi nafkah bagi keluarganya sesuai

dengan kesanggupannya. Namun, seorang suami dilarang memberikan

nafkah secara berlebihan, karena hal ini akan berdampak negatif. Dalam

Al-Qur'an telah dinyatakan:

……….

…………

Artinya:"…..Dan kewajiban ayah memberi makan dan pakaian kepada para ibu dan cara yang ma'ruf. Seseorang tidak dibebani melainkan menurut kadar kesanggupannya. Janganlah seorang ibu menderita kesengsaraan karena anaknya dan juga seorang ayah karena anaknya, dan warispun berkewajiban demikian…." (QS. 2, Al-Baqarah : 233) (Depag RI, 1989, hal. 57 dan 225)

2. Tempat tinggal: struktur keluarga baru yang masih menumpang di

kerluarga induk, apakah itu berada di pihak laki-laki atau perempuan,

13

Page 14: PERKAWINAN

menimbulkan banyak dampak psikologis. Lahirnya problem-problem

psikologis membuat kekuatan struktur bangunan keluarga baru menjadi

mudah goyah.

Sejumlah ulama' menafsirkan, seorang suami berkwajiban

memberikan papan (tempat tinggal) bagi istrinya secara layak dan sesuai

dengan kemampuannya. Di dalam rumah itulah seorang istri mampu

dengan sepenuhnya menempatkan diri sebagai pemimpin rumah tangga.

Bahkan sejumlah ulama' menafsirkan, tidak ada seorang sauamipun boleh

mengizinkan salah satu keluarganya sendiri ikut menumpang di dalam

rumahnya tanpa seizin istri.

3. Mahar: salah satu usaha Islam memperhatikan dan menghargai kedudukan

wanita. Yaitu memberi hak mahar. Dan kepada suami diwajibkan

memberikan maharnya kepada istri. Bukan kepada ayahnya, dan kepada

orang yang paling dekat kepadanya, karena tidak dibenarkan ikut campur

atau menjamah harta bendanya, kecuali ada izin dan kerelaannya.

Pernyataan di atas sesuai dengan firman Allah:

Artinya:"Berikan mas kawin (mahar)" kepada wanita (yang kamu nikahi) sebagai pemberian dan penuh kerelaan. Kemudian jika mereka menyerahkan kepada kamu sebagian dari mas kawin itu dengan senang hati, maka makanlah (ambillah) pemberian itu (sebagai makanan) yang sedap lagi baik akibatnya. (QS. 4, An-Nisa' : 4) (Depag RI, 1989, hal. 115)

4. Rohaniah: seorang suami wajib memberikan hak-hak istrinya secara adil,

lebih-lebih jika seorang suami berpoligami, semua istrinya harus dipenuhi

hak-haknya secara merata; dan tidak boleh membahayakannya. Jadi, bagi

suami wajib memperlakukan istrinya secara baik, sehingga dapat

mewujudkan kemesraan dan kedamain.

Hal ini senada dengan firman Allah SWT:

……… .……………

Artinya:

14

Page 15: PERKAWINAN

"……Dan pergauilah mereka (istri) dengan baik……." (QS. 4, An-Nisa' : 19). (Depag RI, 1989, hal. 119)

5. Memelihara istrinya yang sakit: perikatan agama mempunyai nilai yang

utuh. Tidak semata-mata berpijak pada cara-cara berpikir fomalistik.

Seringkali timbul persoalan dalam masalah kewajiban memelihara

istri yang sakit. Seseorang yang berpijak pada kaidah hukum formal akan

berpendapat: seorang suami tidak wajib lagi melaksanakan kewajibannya

secara penuh jika istrinya sakit-sakitan dan tidak mampu lagi

melaksanakan kewajibannya sebagai istri secara penuh.

Pandangan formalistik semacam itu tidaklah patut dilaksanakan

dalam pernikahan. Akan tetapi, selayaknya kita berpijak pada asas

'istihsan' (prinsip moral baik). Sebab pernikahan bukan hanya mempunyai

implikasi dari sebuah kontrak seorang laki-laki dan perempuan menurut

hukum. Tapi juga menyatunya mereka dalam sebuah struktur keluarga.

Oleh karena itu, struktur keluarga yang dibangun dengan prinsip

moral agama itu tidak dapat dibatasi dengan hak dan kewajiban secara

formalitas semata. Mereka telah menyatu, baik dalam keadaaan suka

maupun duka.

6. Bersikap, berkata dan berpenampilan menyenangkan: hubungan yang

berpijak pada rasa kasih dan sayang, dibangun berdasarkan saling

memberi dan melengkapi satu sama lain.

Suami tidak hanya memberi nafkah berupa kebutuhan lahiriah, tetapi

juga kebutuhan bathiniah. Kebuuthan bathiniah yang dimaksud, bukan

hanya kewajiban memberikan kepuasan seksual semata. Melainkan juga

sikap, perkataan dan penampilan sedap dalam pandangan mata istri.

Rasulullah SAW. Bersabda:

Artinya:

15

Page 16: PERKAWINAN

"Dari Abu Hurairah ra., berkata: Rasulullah SAW. Bersabda: orang mukmin yang paling sempurna imannya adalah orang yang paling baik akhlaqnya. Dan orang yang paling baik diantara kamu yaitu orang yang sangat baik kepada istrinya". (HR. At-Turmudzi dia berkata, hadits ini hasan, shohih) (Muhyiddin, tt., hal. 151)

Kemudian untuk hak dan kewajiban istri atas suaminya teridir dari:

1. Seorang istri tidak boleh menerima laki-laki lain di rumahnya, atau

menerima pemberian laki-laki lain tanpa seijin suaminya. Ia juga tidak

boleh meminjamkan atau membelanjakan harta milik suaminya tanpa

kerelaan suami.

Dalam sebuah hadits, Nabi telah menyatakan:

Artinya:"Sebaik-baik perempuan ialah bila engkau pandang menyengakan engkau, bila engkau perintah ia taat kepadamu dan jika engkau tinggal di belakang, ia menjagamu dalam hal dirinya dan hartanya". (Al-Hadits). (Sayyid Sabiq, 1983, jilid II : 172)

2. Seorang istri tidak boleh keluar rumah tanpa seijin suaminya dan wajib

membatasi dirinya dari segala kegiatan. Meskipun kegitan itu dilakukan

demi keuntungan rumah tangga, misalnya. Tapi jika pekerjaan yang

dilakukannya tidak mengurangi hak suaminya dan tidak merugikannya,

maka suami tak ada alasan untuk melarangnya.

Begitu juga, seyogyanya suami tidak melarang istrinya keluar rumah

untuk melakukan kewajiban kifayat tertentu yang berkenaan dengan

urusan kewanitaan (hak istri), seperti:

3. Menuntut ilmu: jika ilmu yang dituntut oleh istrinya itu menjadi

kewajibannya, maka suami wajib mengajarnya. Jika ia tidak mampu

mengajar sendiri, maka istri wajib pergi keluar mencari guru atau ke

majlis ta'lim untuk belajar agama, sekalipun tanpa ijin suaminya.

4. Seorang istri wajib berhias dan tampil menarik serta lemah lembut di

hadapan suaminya. Adalah dipandang baik dan terpuji jika istri berhias

16

Page 17: PERKAWINAN

denga celak, pacar, wangi-wangian dan bersolek untuk suami. Namun, di

masa sekarang nyaris terbalik. Seorang perempuan yang sudah bersuami

pun cenderung berhias dan bersolek saat akan keluar rumah. Dia

mengenakan pakaian yang bagus, perhiasan, bersolek dan memakai

wangi-wangian. Tetapi, saat berada di dekat suaminya justru malah tampil

apa adanya.

Ahmad meriwayatkan dari Karimahbinti Hamam ia berkata kepada

Siti Aisyah ra.:

Artinya:"Bagaimana pendapat anda, wahai Ummul-Mu'minin tentang pemakain pacar?" jawabnya: "adalah kekasihku Nabi SAW. Menyukai warnanya tapi membenci baunya. Dan beliau tidak mengharamkan kamu pakai antara dua masa haid atau setiap waktu haid". (HR. Ahmad). (Sayyid Sabiq, 1983, jilid II : 180)

5. Seorang istri wajib mengatur rumah tangga sebaik-baiknya. Rasulullah

menegaskan, …seorang istri itu pemimpin dari rumah tangga suaminya

dan anak-anaknya, dan akan dimintai pertanggungjawaban atas

kepemimpinannya.

Berarti, dalam melaksanakan kewajiban ini, seorang istri

bertanggung jawab kepada suami berikut kepada Allah SWT. Bukan saja

mengatur rumah tangga sebaik-baiknya, berarti juga mengatur dan

menjaga harta kekayaan suaminya.

Selanjutnya untuk berikutnya adalah "hak dan kewajiban suami istri

bersama-sama", terdiri atas:

1. Halal saling bergaul dan mengadakan hubungan kenikmatan seksual.

Perbuatan ini dihalalkan bagi suami istri secara timbale balik. Hal ini

merupakan hak suami-istri dan tidak boleh dilakukan jika tidak

bersamaan, juga tidak dapat dilakukan secara sepihak saja.

17

Page 18: PERKAWINAN

2. Haram melakukan perkawinan: bahwasanya istri haram dinikahi ayah

suaminya, datuknya, anmaknya dan cucu-cucunya. Begitu juga ibu

istrinya, anaknya dan seluruh cucunya tidak boleh dinikahi oleh

suaminya.

3. hak saling mendapat waris akibat dariikataan perkawinan yang sah.

Bilamana salah seorang meninggal dunia setelah sempurnanya ikatan

perkawinan, maka yang lain dapat mewarisi hartanya. Meskipun belum

pernah bersetubuh.

4. Sahnya menasabkan anak kepada suami yang telah menjadi teman

tidur.

5. Berlaku baik: wajib bagi suami-istri memeperlakukan pasangannya

dengan baik sehinga daapt melahirkan kemesraan dan kedamaian

bersama.

Prof. Subekti, SH dalam bukunya pokok-pokok hokum perdata,

juga telah menyatakan hak dan kewajiban suami iistri secara bersama-

sama sebagai berikut :

"Suami istri harus setia satu sama lain, Bantu membantu, berdiam bersama-sama, saling memberikan nafkah dan bersama-sama mendidik anak-anak." (Subekti, 1989, cet. XXII, : 28)

Bahkan dalam UU. Nomor 1 tahun 1974 yang mengatur tentang

oerkawinan juga menerangkan tentang hak dan kewajiban suami istri yang

disebutkan secara rinci pada bab VI dari pasal 30 sampai pasal 34, dan

masing-masing pasal mempunyai ayat di dalamnya. (Lihat UU.

Perkawinan, 1987, cet. X: 14)

Dari beberapa uraian menenai hak dan kewajiban suamii istri di atas,

dapat diambil suatu kesimpulan, bahwa hak dan kewajiaban suami istri

kedudukan masing-msing seimbang. Sebagai kepada keluarga, suami

wajib memberi nafkah lahir bathin kpada istri dan keluarga. Begitu pula

sebaliknya, ….karena tanggung jwab suami sudah begitu berat….maka

istri juga wajib bertanggung jawab terhadap urusan rumah tangga serta

harus patuh.

18

Page 19: PERKAWINAN

D. Batas Kedewasan dalam Perkawinan

1. Menurut Hukum Islam

Salah satu faktor terpenting dalam persiapan perkawinan adalah

factor usia. Karena seseorang akan dapat ditentukan, apakah ia cukup

dewasa dalam bersikap dan berbuat atau belum.

Dalam perkawinan dituntut adanya sikap dewasa dan matang dari

masing-masing calon. Sebagaimana diungkapkan oleh Drs. Irfan Sidqon

dalam bukunya "Fiqh Munakahat":

"Apabila ditinjau perkawinan dan tugas-tugas yang dibebankan kepada istri, ujpama ibu sebagai pendidik, teman jelalah mengurus rumah tangga dan sebagainya, maka jelaslah bahwa tugas tersebut beraneka ragam dan sangat berat. Maka penderitaan sewaktu hamil sampai melahirkan kandungan bagi calon istri, tentu membutuhkan tenaga dan kekuatan jasmani dan rohaninya yang lebih baik lagi." (Drs. Irfan Sidqon, 1987, II: hal. 33)Di dalam islam mengenai batas usia seseorang untuk melangsungkan

perkawinan tidak disebutkan secara jelas, akan tetapi hanya menyebutkan

dengan lafadz : "balaghunnikahi", sebagaimana difirmankan Allah pada

surat an-Nisa' ayat 6 :

Artinya :

"Dan ujilah anak yatim itu sampai mereka cukup umur untuk kawin. Kemudian jika menurut pendapatmu mereka telah cerdas (pandai memellihara harata), maka serahkanlah kepada mereka harta-hartanya…….." (QS. 4, an-Nisa' : 6) (Depag RI, 1989: 1154)

Terhadap lafadz balaghun-nikahi itu Syekh Muhammad Rasyid

Ridlo memberikan tafsiran sebagai berikut:

19

Page 20: PERKAWINAN

Artinya :

"Meraka mencapai umur dewasa yaitu bnilaman sudah mencapai umur yang menyebabkan seseorang sanggup jelaksnakan perkawinan, yaitu sudah mengalami ihtilam (bermimpi keluar mani)." (Rosyid Ridlo, IV: 387)

Dengan demikian seseorang dianggap dewasa (akil baligh) apabila

pernah bermimpi yang menyebabkan keluar mani (bagi pria), dan pernah

mengalami haid bagi waniata. Sedangkan mengenai umur kedewasan bagi

masing-masing pria/wanita tidaklah masa, ada yang telah cepat ada yang

lambat. Keadaan tersebut tergantung pada keadaan kesehatan fisik

seseorang, pengaruh biologis, iklim lingkungn, keadaan kehidupan sosial

ekonomi dan adat kebiasaan.

Berdasarkan uraian di atas, maka dapat diketahui batas usia seorang

untuk kawin bagi pria jika sudah mengalami keluar mani dan bagi wanita

jika sudah mengalami menstrusi (haid).

Namun demikian, karena pada umumnya datangnya masa ihtilam

dan haid bagi pria dan wanita berkisar pada usia 12 (dua belas) atau 13

(tiga belas) tahun. Sedangkan anak pada usia tersebut masih belum bisa

atau belum mampu menanggung beban dan tanggung jawab berat dalam

melaksanakan perkawinan. Maka dalam perkawinan kiranya perlu

dipertimbangkan adanya kemampuan dan kematangan, baik fisik mapun

mental serta mampu berpenghasilan.

Oleh sebab itu, dalam menentukan masa perkawianan, Islam tidak

menitik beatkan pada usia, tetapi lebih manekankan pada faktor

kemampuan seseorang.

Pernyatan tersebut sesuai sebagaimana dijelaskan dalam hadits :

20

Page 21: PERKAWINAN

Artinya :"Wahai sekalian pemuda. Barang siapa diantara kamu sudah berkemamuan untuk kawin maka hendaklah kamu kawin, karena akan lebih memelihara pandangan mata dan lebih membentangi kemaluan. Dan barang siapa yang tidak mampu, hendaklah berpuasa. Karena sesungguhnya puasa dapat menahan nafsunya." (HR. Al-Bukhori) (Al-Bukhori, tt., III: 238)

Hadits di atas memberi petunjuk bahwa uantuk melaksanakan

perkawinan disyaratkan adanya "kemampuan". Dan yang belum untuk itu

dianjurkan supaya menunda dengan puasa, sampai mempunyai

kemampuan.

Sejalan dengan hal ini adalah firman Allah SWT :

Artinya "Dan orang-orang yang tidak mapu kawin hendaklah menjaga kesucian (diri) nya, sehingga alah memampukan dengan karunia-Nya…." (QS. 24,. An-Nur: 33)

Pengertian 'mampu' dalam ayat dan hadits di atas tidak ditegaskan

secara jelas mengenai batasan umur dalam perkawinan, namun

demikianbila di lihat dari segi adaanya hak dan kewajiban suami istri,

sebagaimana telah dijelaskan pada uraian di atas, maka dapat di ambio

pengertian bahwa yang harus di miliki oleh seseorang yang akan

melaksanakan perkawinan adalah meliputi pengertian mamapu psikis,

biologis dan mampu dalam bidang ekonomi (penghasilan).

Dengan demikian, islam tidak menghendaki adanya perkawinan

ketika usia masih muda. Sebab anak yang berusia muda pada dasarnya

masih belum matang dan mampu, baik fisik dan mental, untuk

melaksanakan perkawinan.

Adapun mengenai perkawinan Nabi Saw.dengan Siti Aisyah

sebagaimana hadits di bawah :

21

Page 22: PERKAWINAN

Artinya :

"Dari Aisyah ra. Bahwasanya nabi Saw. Mengawininya (Aisyah) sejak umur 6 tahun. Dan ia di kumpuli serta tinggal bersama Rasul Saw. Semasa ia berumur 9 tahun." (HR.Al-bukhori). (al-bukhori, tt., III : 249)

Memang berlangsung ketika siti aisyah berumur 6 (enam) tahun, akan

tetapi ia tinggal dan dikumpuli nabi setalah berumur 9 (sembilan) tahun.

Hal ini berarti, nabi mengadakan hubungan kelamin dengan siti aisyah

masih menunggu saat fisik aisyah mencapai pertumbuhan yang sempurna,

sehingga memungkinkan untuk dikumpuli, yaitu ketika aisyah telah

mencapai usia 9 (sembilan) tahun.

Umur 9 tahun semasa nabi bisa diartikan atau dikategorikan

dewasa. Karena pertumbuhan biologis orang arab lebuh subur dari pada

orang asia tenggara, termasuk Negara Indonesia.

Namun demikian, umur 9 tahun ini tidak dipakai sebagaiukuran

yang pasti untuk menentukan kedewasaan pada masa sekarang. Karena

perbedaan lingkungan, iklim, menjadikan kondisi setiap orang berbeda-

beda. Oleh karena itulah islam sangat bijaksana sekali, tidak membatasi

tanda-tanda dewasa itu dengan ukuran umur. Juga hadits diatas tidak bisa

dijadikan landasan hokum, karena perkawinan nabi saw. Dengan siti

aisyah ini termasuk khususiah bagi beliau, sebagaimana kekhususan nabi

boleh beristri lebih dari empat orang. (Lihat: Fiqh Munakahat, Drs. Irfan

Sidqon, 1987, II 52)

Jadi hadits tersebut pada dasarnya tidak dapat dijadikan hujjah atau

dasar hukum untuk memperolehkan kawin pada usia dini.

Dari uraian di atas, jika ditinjau dari segi sosiologois, psiologis dan

media, perkawinan pada usia dini/di bawah umur akan jelas sekali

membawa kemudaratan. Sedangkan setiap kemudaratan tidak

diperbolehkan (bisa jadi diharamkan) oleh syara'. Sebagaimana hadits

Rasul SAW :

22

Page 23: PERKAWINAN

Artinya :Dari ibn abbas bin as-shomit ra. Berkata, rasulullah SAW bersabda: tidak boleh mebahayakan diri sendiri dan tidak oleh membahayakan orang lain. (HR. Malik, Ibn Majah, Al-Hakim, Al-Baihaqi dan Daru Qutni)

Hadits di atas juga sesuai dengan kaidah fiqhiah :

Artinya :Menolak kemafsadatan (kerusakan) lebih utama dari pada menarik (mengambil) kemaslahatan. (As-Suyuti, tt hal. 62)

2. Menurut UU Perkawinan Nomor 1 Tahun 1974

Pemerintah dalam usahanya untuk menghindari pelaksanaan

perkawinan usia muda/bawah umur telah menentukan batas minimal

daslam usia perkawinan bagi seseorang yang akan melaksanakan

perkawinan.

Pernyataan di atas sebagaimana telah ditegaskan dalam undang-

undang perkawinan nomor1 tahun 1974 pasal 7 ayat (1) yang berbunyi :

"Perkawinan hanya diizinkan jika pihak pria sudah mencapai umur 19 (sembilan belas) tahun dan pihak wanita sudah mencapai umur 16 (enam belas) tahun." (pradnya paramita, 1987: 8)

Jadi pada prinsipnya UU. Nomor 1 tahun 1974 menentukan bahwa

untuk dapat melangsungkan perkawinan, maka pihak pria harus berumur

19 (sembilan belas) tahun, sebab pada usia sekian pada umumnya

seseorang sudah bias dianggap dewasa, baik secara fisik maupun mental.

Begitu juga bagi pihak wanita harus berumur 16 (enam belas) tahun.

Adanya batas minimal untuk dapat melaksanakan perkawinan itu

adalah diharapkan dapat menghilangkan atau menghapuskan pelaksanan

perkawinan di bawah umur. Sehingga dengan demikian akan lebih

terjamin keturunan yang semakin baik, dapat mengendalikan pertumbuhan

23

Page 24: PERKAWINAN

penduduk yang pesat serta keabadian keluarga dan kebahagiaan keluarga

lebih terjamin juga.

Undang-undang perkainan nomor 1 tahun 1974 menganut prinsip,

bahwa calon suami istri harus telah matang jiwa dan raganya untuk dapat

melangsungkan perkawinan. Agar dapat mewujudkan tujuan perkawinan

yang baik. Tanpa berakhir dengan perceraian dan mempunyai keturunan

yang baik dan sehat.

Untuk itu perkawinan di bawah umur harus sedapat mungkin

dicegah. Sebab dapat dibayangkan, apabila seseorang anak muda yang

masih belum cukup umur, belum mengerti seluk-beluk kehidupan rumah

tangga, tidak akan dapat melaksanakan serta mewujudkan rumah tangga

yang bahagia dan sejahtera sesuai dengan tujuan perkawinan yang hakiki.

Dari uraian di atas dapat dimengerti, bahwa adanya batas minimal

dalam usia perkawinan pada UU perkawinan ersebut adalah untuk

membnerikan kemaslahatan bagi masyarakat. Dalam hal ini, mengingat

kondisi anak yang masih di bawah umur belum mampu dan matang, baik

mental maupun fisik untuk menjalani akibat perkawinan. Sperti hamil dan

kelahirkan, dan membiayai rumah tangga bagi pria. Elum lagi dihapkan

masa depan dan pendidikan anak-anaknya. Serta bagaimana membina

keluarga dengan baik dan bahagia tanpa berakhir dengan perceraian.

Anak yang masih mentah mental dan fisiknya sulit menciptakan

perkwinan yang sukses., padahal perkawinan menuntut tanggung jawab

dan kedewasaan alam membina rumah tangga. Di mana hal ini sulit

diemban oleh anak usia muda. Karena sifat-sifatnya yang mudah

tersinggung, mau menang sendiri dan selalu tidak puas. Keadaan semacam

ini amat sulit diharapkan dapat memikul tanggung jawab rumah tangga

yang memerlukan tenggang rasa, kesabaran dan lapang dada.

Melihat tanggung jawab yang dipikul dalam rumah tangga tersebut,

maka sudah sewajarnya jika pihak-pihak yang akan melaksanakan

perkawinan harus mencapai umur dewasa, di mana keadaan fisik dan

mentalnya sudah mencapai taraf kematangan, berikut jiwa dan atau

24

Page 25: PERKAWINAN

rohaninya jugfa sudah mencapai titik pertumbuhan yang mayang dan

bertanggung jawab. Oleh karena itu, sudah sepatutnya undang-undang

perkawinan, yaitu bagi pria sudah mencapai 19 tahun dan bagi perempuan

harus sudah mencapai umur 16 tahun.

Namun demikian, meskipun undang-undang nomor 1 tahun 1974

menentukan batas usia minimal perkawina, sebgaimana tersebnut pada

pasal 7 ayat (1), akan tetapi pasal tersebut dapat dilakukan adanya

penyimpangan denan meminta dispensasi kawin ke pengadilan agama. Hal

ini sesuai sebagaiman tersebut dalam pasal 7 ayat (2), yaitu:

Dalam hal penyimpangan terhadap ayat (1) pasal ini dapat meminta dispensasi kepada pengadilan atau pejabat lain yang ditunjuk oleh kedua orang tua pihak pria maupun pihak wanita.

Berdasarkan pasal di atas, bukan berarti UU nomor 1 tahun 1974

terjadinya perkawinan yang belum mencapai umur sebgaimana yang

ditetapkan dalam pasal 7 ayat (1) secara mutlak. Namun bagi para pihak

yang belum mencapai batas usia tersebut masih bisa dimungkinkan adanya

perkawinan dengan meminta dispensasi ke pengadilan agama.

Berpihak pada uraian tentang batas kedewasan dalam perkawinan,

baik menurut hukum islam maupun UU nomor 1 tahun 1974, maka dapat

disimpulkan bahwa batas minimal usia perkawinan sebgaimana ditentukan

UU perkawinan itu adalah tidak bertentangan dengan hukum islam. Sebab,

meskipun didalam hukum islam tidak ditegaskan secara kongkirt namun

memberikan batasan, bahwasanya untuk dapat melangsungkan disyaratkan

adanya kemampuan bagi calon suami dan istri dalam hal fisik, mental dan

ekonomi. Sedangkan batas usia minimal dalam perkawinan yang

ditentukan UU. Perkawinan, yakni 19 (sembilan belas) tahun bagi pria

dan 16 (enam belas) tahun bagi wanita, secara layak dianggap sudah cukup

dewasa dan mampu untuk memikul tanggung jawab dalam rumah tangga.

Di samping itu, adanya batas usia minimal dalam perkawinan

tersebut adalah bertujuan untuk memberikan kemaslahatan bagi

masyarakat. Sebagaimana yang ditegaskan dalam penjelasan Undang-

25

Page 26: PERKAWINAN

Undang Nomor 1 Tahun 1974, yaitu untuk menjaga kesehatan suami istri

dan akan keturunannya. Padahal islam menghendaki kemaslahatan bagi

umatnya. Oleh karena itulah, kiranya patut sekali jika UU. Perkawinan itu

memberikan batas usia minimal dalam perkawinan sebagaimana

disebutkan dalam pasal 7 ayat (1).

Adapun adanya penyimpangan terhadap pasal 7 ayat (1), karena

dimungkinkan adanya perkawinan yang belum mencapai batas usia

tersebut. Sebab, dalam hal ini pengadilan agama tidak sewenang-sewenang

mengabulkan setiap dispensasi kawin yang diajukan kepadanya. Akan

tetapi pihak pengadilan agama dengan mempertimbangkan segala

konsekuensinya antara keuntungan yang akan mereka peroleh dengan

kerugian yang akan menimpa dirinya. Jika anak tersebut seandainya tidak

dikawinkan akan lebih besar mafsadatnya, maka dalam hal pengadilan

agama mengabulkan permohonan dispensasi. Hal ini sesuai dengan kaidah

ushul fiqh yang berbunyi:

Artinya:"Menolak kerusakan (mafsadah) lebih utama dari pada menarik (mengambil) kemaslahatan". (As-Suyuti, tt. : hal. 62).

E. Penentuan umur dalam perkawinan

Memang, dalam Al-Qur'an maupun Al-Hadits tidak dijumpai secara

jelas penentuan batas usia minimal dalam pelaksanaan perkawinan. Hal ini

dimaksudkan antara lain untuk menjaga kestabilan kondisi biologis setiap

orang, psikis, kedewasaan pribadinya, dan sebagainya.

Bila ditinjau kelanjutan dari setelah melaksanakan perkawinan (akad)

dan tugas-tugas yang harus dilaksanakan oleh suami istri, --misalnya si ibu

sebagai teman hidup, pengurus rumah tangga, mendidik anak, dan sebagainya;

sedang suami sebagai kepala keluarga, pencari nafkah dan sebagainya--maka

jelaslah beban yang harus dipikulnya beraneka ragam dan amat berat. Selain

beban dan tugas yang banyak itu, penderitaan si ibu di kala hamil hingga

26

Page 27: PERKAWINAN

melahirkan kandungannya, tentu membutuhkan tenaga dan kekuatan jasmani

dan rohani yang lebih mumpuni.

Jadi, soal fisik dan psikis sangat besar artinya untuk menentukan

kesanggupan dan menetapkan kematangan calon suami dan istri yang akan

melangsungkan perkawinana. Dari san menjadi jelaslah, bahwa hal ini

berkaitan sekali dengan masalah usia/ umur.

Berkenaan dengan itu, penetapan umur yang baik dan ideal untuk

memulai jenjang perkawinan bagi calon suami istri, minmal harus

dipertimbangkan dari empat segi:

a. Segi Biologis

Bagi wanita dikatakan sudah siap kawin bilamana sudah mengalami

haid dan rahimnya sudah siap menumbuhkan anak. Rata-rata wanita

Indonesia sudah mulai haid pada usia 13 (tiga belas) sampai 15 (lima

belas) tahun. Sedangkan bagi pria, bila sudah bermimpi dan pernah

mengeluarkan mani. Seorang pria yang mengalami seperti itu diperkirakan

berumur 17 (tujuh belas) tahun.

b. Segi Ekonomi

Dalam rumah tangga membutuhkan pembiayaan yang tidak sedikit

dan harus rutin. Pada umumnya, suami yang bekerja untuk memenuhi

kebutuhan kehiudpan rumah tangga sehari-hari. Demikian juga istri, harus

bisa mengatur perputaran ekonomi rumah tangga secara keseluruhan dan

efektif.

c. Segi Pendidikan

Pria diciptakan Allah sebagai pemimpin wanita (istri) berdasar akal

dan pikiran yang tidak mudah panic dan emosi. Bagi wanita diciptakan

Allah sebagai manusia yang halus dan lembut penuh perasaan, mudah

tersinggung sehingga tidak mudah menahan emosi.

Sebenarnya, masing-masing keduanya itu saling mengisi antara satu

dengan lainnya. Akl pikiran dapat mempertimbangkan perasaan, dan

perasaan sapat dikenalikan oleh akal. Maka di sinilah peran pendidikan

sangat dibutuhkan.

27

Page 28: PERKAWINAN

Dengan mendapatkan pendidikan yang cukup, perasaan seorang istri

akan dipergunakan sebaik-baiknya untuk mencintai suaminya, dan dengan

akal pikirannya seorang suami bertanggung jawab terhadap istri dan anak-

anaknya.

d. Segi Kemasyarakatan

Kehidupan manusia saling membuthkan satu sama lainnya. Suami

istri hidup dalam suatu rumah tangga yang merupakan masyarakat terkecil.

Mereka saling menbutuhkan untuk berfgaul, saling berkunjung dari

keluarga atu ke keluarga lain, dan sebagainya. Hal ini tidak dapat dihindari

oleh salah satu keluarga manapun.

Melihat beban yang harus dipikul dalam suatu rumah tanggapun

uraian dari masing-masing segi di atas, maka seyogyanya bagi calon suami

dan istri yang akan menglangsungkan perkawinan haruslah sampai umur.

Di mana keadaan fisik dan mental dari masing-masing pihak harus

mencapai kematangan serta kemampuan berumah tangga.

Para fuqaha' ada yang berpendapat, bahwa soal umur itu termasuk al

yang boleh diatar manusia sendiri, dengan hrus memperhatikan segi

manfaat dan kemaslahatannya kepada masyarakat. Seagaimana sabda

Rasulullah SAW yang menerangkan, bahwa kamu lebih tahu urusan

duniamu (masyarakat).

Lagi pula sudah banyak buktinya, ibu-ibu muda yang belum cukup

umur untuk melaksanakan perkawinan, amat menderita dan bekeluh kesah

dalam menjalankan tugasnya dalam rumah tangga, belum lagi ditambah

dengan urusan di luar rumah.

Berdasar peristiwa di atas maka jelaslah, bahwa para orang tua tidak

boleh menjerumuskan anaknya ke dalam kesengsaraan dan bahaya.

Larangan ini telah jelah sekali dinyatakan dalam surat Al-Baqarah ayat

286:

Artinya;

28

Page 29: PERKAWINAN

"Allah tidak membebani seseorang melainkan sesuai dengan kesanggupannya". (QS. 2, Al-Baqarah : 226).

Dalam ayat yang sama juga disebutkan:

Artinya:"….Ya tuhan kami, janganlah engkau pikulkan kepada kami apa yang tak sanggup kami memikulnya…." (QS. 2, Al-Baqarah : 286).

Juga firman Allah dalam surat Al-Baqarah:

Artinya:"…,dan janganlah kamu menjatuhkan dirimu sendiri ke dalam kebinasaan,….." (QS. 2, Al-Baqarah : 195). (Depag RI, 1989 : 72, 74 dan 47)

Dari pembahasan di atas, maka dapat ditarik suatu kesimpulan

bahwa masalah penetapan umur dalam perkawinan itu dapat diserahkan

kepada masyarkat, ulama' dan pemerintah di Negara masing-masing.

Berkenaan dengan ini maka pemerintah RI melalui UU.

Perkawinannya Nomor 1 Tahun 1974 menetapkan batas umur dalam

perkawinan, sebagaimana termaktub pada pasal 7 (1):

"Perkawinana hanya diizinkan jika pihak pria sudah mencapai umur

19 (sembilan belas) tahun dan pihak wanita sudah mencapai umur 16

(enam belas) tahun".

29

Page 30: PERKAWINAN

BAB II

PERKAWINAN USIA MUDA DI DESA WONOSARI

KEC.TUTURNONGKOJAJAR

KABUPATEN PASURUAN

A. Keadaan Perkawinan Usia Muda

Sebelum diuraikan mengenai keadaan perkawinan usia muda di desa

wonosari, terlebih dahulu akan dijelaskan tentang 'perkawinan usia muda'.

Terlebih dahulu perlu diketahui, bahwa perkawinan usia muda maksudnya

identik dengan perkawinan di bawah umur.

Mengenai usia yang masih muda (di bawah umur) adalah sangat relatiff.

Namun yang dimaksud dengan pengertian perkawinan usia muda di sini

adalah di bawah usia sebagai mana yang telah ditentukan dalam pasal 7 ayat

(1) UU. Nomor 1 Tahun 1974 yang berbunyi:

"Perkawinan hanya diizinkan jika pihak pria sudah mencapai umur 19

(sembilan belas) tahun dan pihak wanita sudah mencapai umur 16 (enam

belas) tahun". (Pradnya Paramita, 1987. Cet. X : 8).

Dengan adanya ketentuan pada pasal 7 ayat (1) di atas maka jelas dapat

dimengerti bahwa yang dimaksud dengan 'perkawinan usia muda' adalah

perkawinan yang akan dilakukan oleh calon pria yang belum mencapai umur

19 tahun atau calon wanita yang belum mencapai umur 16 tahun.

Berdasarkan adanya batasan umur minimal dalam perkawinan, maka

pada asasnya pelaksanaan perkawinan hanya diperbolehkan bagi calon yang

sudah berumur di atas 19 tahun bagi pria dan 16 tahun bagi wanita. Akan

tetapi, meskipun demikian, pelaksanaan perkawinan bagi calon yang belum

mencapai umur yang telah ditetapkan masih dimungkinkan dapat

dilangsungkan, setelah mendapat dispensasi dari pengadilan agama setempat.

Pelaksanaan perkawinan yang masih berusia muda memang masih

banyak terjadi pada masyarakat desa, termasuk Desa WonoSari Kec. Tutur-

Nongkojajar. Perkawinan semacam ini termasuk yang dominan di desa

30

Page 31: PERKAWINAN

tersebut. Karena banyak faktor dan alasan yang mendorong mereka untuk

melaksanakan hal itu, terutama faktor ekonomi.

Desa Wonosari Kec. Tutur-Nongkojajar Kab. Pasuruan terletak di

daerah pegunungan yang tinggi dan suhu udara sangat dingin sekitar 30o C ke

bawah. Untuk menunju ke sana bisa melalui purwodadi (pasar) pasuruan, terus

menanjak ke arah timur, satu jurusan dengan arah ke Gunung Bromo. Dari

Desa Wonosari ke Gunung Bromo sekitar 15 km ke arah timur.

Perkawinan di kala berusia muda di desa tersebut memang selalu ada/

terjadi dari bulan ke bulan, dari tahun ke tahun hingga tahun 1991 (terhitung

dari 1987 hingga 1991). Akan tetapi calon yang belum sampai umur, baik

salah satu calon atau kedua-duanya, tidak akan diterima pelaksanaan

perkawinannya oleh pihak PPN atau pembantunya.

Jika calon yang belum sampai umur tersebut memaksa untuk

melaksanakannya dengan alasan-alasan yang dapat diterima –misalnya sudah

terlanjur hamil --maka pihak PPN akan menyerahkan hal ini sepenuhnya

kepada pihak PA (Pengadilan Agama).

Jika ada dispensasi dari pengadilan agama, pihak PPN akan mengoreksi

ulang surat-surat keputusan hamil dari persidangan di pengadilan agama

setempat, kemudian akan melangsungkan pelaksanaan perkawinannya.

(wawancara dengan Ketua KUA tutur, Bpk. Arbai Anwar; Rabu, 17 Pebruari

1993).

Selanjutnya Bapak Arbai Anwar memberikan saran-saran sebagaimana

yang telah diprogramkan K.B, yang bunyinya sebagai berikut:

"Seyogyanaya bagi calon suami yang akan melaksanakan perkawinan

sudah mencapai umur 25 (dua puluh lima) tahun dan calon istri sudah

mencapai umur 20 (dua puluh) tahun".

Namun demikian, hingga sekarang keadaan perkawinan yang berusia

muda di wonosari sudah mengalami penurunan. Perubahan yang telah

berangsur ini disebabkan adanya faktor sebagai berikut:

1. Adanya kesadaran masyarakat, dikarenakan adanya penyuluhan-

penyuluhan dan pengarahan-pengarahan dari berbagai lembaga, baik dari

31

Page 32: PERKAWINAN

Departemen Agama maupun BKKBN, serta lembaga lainnya. Dan

biasanya, kegiatan seperti ini dikoordinasi oleh Mudin (Kesra). Kesadaran

masyarakat seperti inilah yang sangat penting.

2. Faktor tata cara/ proses pelaksanaan perkawinan di kala usia muda lebih

sulit, jika dibandingkan dengan pelaksanaan perkawinan sebelum

berlakunya UU. Nomor 1 Tahun 1974. kesulitan proses ini dapat dilihat,

bahwa perkawinan di kala usia muda harus ada dispensasi dari Pengadilan

Agama (di Bangil).

3. Fator biaya. Pada umunya, seseorang yang belum dewasa belum mampu

mencari atau menciptakan pekerjaan sebagai lahan untuk mendapatkan

bekal guna persiapan berumah tangga nanti, oleh karena biaya ini, mereka

yang akan melaksanakan perkawinan harus berpikir dua kali, karena

persiapan fisik maupun mental dalam menghadapi kehidupan rumah

tangga mendatang harus lebih matang. (wawancara dengan Bpk. Fadillah,

staf bag. Administrasi; Jum'at, 19 Pebruari 1993).

B. Faktor-faktor yang mendorong terjadinya perkawinan

Mengenai perkawinan yang tergolong masih di bawah batas usia

minimal di Indonesia bukan merupakan hal yang baru. Dan pada umumnya,

hal ini banyak terjadi di pelosok-pelosok desa, masyarakat yang belum maju

yang pendidikannya tergolong rendah. Dari sana dapat disaksikan banyak pria

dan wanita yang masih berusia muda telah melangsungkan perkawinan.

Alasan mereka yang ingin melaksanakan perkawinan akan tetapi tidak

diterima oleh pihak PPN adalah:

1. Kehendak orang tua, karena ingin cepat-cepat ingin punya menantu dan

cucu;

2. Karena malu/ gengsi kepada tetangga sebelah yang sudah punya menantu

dan cucu;

3. Kurangnya pendidikan, baik bagi orang tua maupun anaknya sendiri;

4. Karena unsur materi, sehingga anak/ menantunya nanti akan hidup bahagia

jika sudah kawin;

32

Page 33: PERKAWINAN

5. Dari mereka sendiri yang ingin kawin, karena ingin seger bebas dari orang

tua dan mengira akan lebih tenang dan nikmat;

6. Karena malu, teman sebaya sudah menikah;

7. Orang tua khawatir anak perempuannya menjadi perawan tua atau bujang

tak laku;

8. Karena ekonomi; orang tua mereka mengharap anaknya yang sudah kawin

nanti akan dapat membantu pekerjaan sehari-hari dan akan lebih

meringankan beban. Faktor inilah yang paling dominan.

(Wawancara dengan Bpk. Bambang Hermanto; kamis, 18 Pebruari 1993 dan

dengan responden).

Sedangkan alasan mereka yang memaksa dan ada dispensasi dari

pengadilan agama untuk melaksanakan perkawinan adalah:

1. Karena sudah terlanjur hamil akibat pergaulan yang bebas;

2. Karena sudah kadung terlalu cintanya, sehingga harus segera. Jika tidak,

khawatir akan terjadi hal-hal yang tidak diinginkan.

(Wawancara dengan Bpk. Bambang Hermanto; waka KUA; kamis, 18

Pebruari 1993).

Selanjutnya, komentar Bapak Bambang lagi, untuk kasus seperti di atas

pihak PPN harus lebih teliti dan berhati-hati dalam memproses langkah-

langkah pelaksanaan perkawinan mereka, apakah mereka itu benar-benar

begitu keadaannya, atau cuma sekedar menutup-nutupi saja agar terlaksana

keinginannya. Jika pihak PPN tidak bertindak seperti ini, perkawinan mereka

yang sudah dilangsungkannya bisa jadi akan lebih menyalahi peraturan atau

ketentuan yang ada, malah menyalahi dua kali. Hal ini yang tidak kami

inginkan, katanya.

Sedangkan alasan mereka yang mendorong terjadinya perkawinan di

kala masih berusia muda --berdasarkan wawancaara langsung dengan para

responden-- adalah sebagai berikut:

1. Faktor moral atau biologis

Pada faktor ini, antara pria dan wanita sebelumnya sudah saling kenal dan

bergaul dengan akrab, sehingga dikhawatirkan akan terjadi pelanggaran

33

Page 34: PERKAWINAN

yang lebih besar lagi terhadap norma-norma agama dan asusila. Maka

sebagai tindaka preventif mereka adalah segera kawin.

2. Faktor hamil sebelum nikah/ malu

Karena ini diakibatkan dari pergaulan bebas dari masing-masing calon

sebelum pelaksanaan perkawinan. Karena keterlanjutan ini, maka orang

tua masing-masing dan yang bersangkutan menanggung malu. Untuk

menutupi rasa malu ini, kedua pasang tersebut terpaksa harus segera

kawin.

3. Faktor ekonomi

Karena orang tua sudah tidak mampu dan agar lebih meringankan beban,

anaknya segera dikawinkan. Alasan mereka, jika anaknya sudah

berkeluarga yang bertanggung jawab dalam hal biaya adalah anak laki-laki

(suami). Jika anak laki-laki (suami) nya sudah dapat membiayai rumah

tangga sendiri, beban orang tua akan terkurangi.

4. Faktor lingkungan/ adat masyarakat

Kebanyakan masyarakat desa beranggapan jika anak gadisnya tidak segera

dikawinkan akan tidak laku yang pada akhirnya jadi perawan tua. Begitu

juga kepada anak laki-lakinya. Jika hal ini tidak dilaksanakan akan

menimbulkan beban bathin bagi orang tua.

Berdasarkan beberapa uraian/ alasan di atas maka dapat diambil suatu

kesimpulan, bahwa fackor yang menyebabkan terjadinya perkawinan masih

berusia muda di desa wonosari adalah:

1. Kurangnya pendidikan/ kesadaran, baik dari pihak orang tua dari masing-

masing calon maupun dari pihak calon itu sendiri.

2. Kurangnya ekonomi.

3. Karena beban sosial atau malu.

4. Karena pergaulan yang terlalu bebas (fair) yang tidak terarah dan

terkendalikan.

5. Karena lingkungan atau adat.

Namun demikian --hasil dari wawancara dengan bapak Fadilla-- faktor

yang sangat dominan di antara lima kesimpulan di atas adalah faktor ekonomi.

34

Page 35: PERKAWINAN

Mengingat desa wonosari merupakan daerah pengunungan yang mayoritas

penduduknya berprofesi sebagai tani dan berpenghasilan tidak tetap.

C. Pertimbangan hukum PPN di KUA Kecamat Tutur-Nongkojajar dalam

menolak perkawinan usia muda

Sebagaimana dijelaskan pada sub judul pada bab ini, bahwa dengan

berlakunya Undang-Undang Nomor 1 Tahun 1974 tentang perkawinan, maka

pada prinsipnya perkawinan yang hanya boleh dilakukannya jika telah

mencapai umur 16 (enam belas) tahun bagi wanita dan 19 (sembilan belas)

tahun bagi pria. Dengan demikian, jika ada salah satu atau kedua calon yang

akan melaksanakan perkawianan masih di bawah usia minimal tidak akan

diperkenankan pelaksanaannya.

Di Desa Wonosari banyak yang ingin melaksankan perkawinan dan

setelah diadakan pemeriksaan nikah, ternyata ada yang belum terpenuhi

syarat-syaratnya sebagaiman yang telah ditentukan. Maka pihak PPN atau

PPPN tidak menerima pelaksanaan perkawinannya. (wawancar dengan Bapak

Fadillah, staf bag. administrasi).

Persyaratan-persyaratan mereka yang belum terpenuhi di antaranya

adalah:

1. Belum sampai umur 19 (sembilan belas) tahun bagi pria.

2. Belum sampai umur 16 (enambelas) tahun bagi wanita.

3. Surat-surat dari desa kurang lengkap.

Sedangkan persyaratan belum sampai umur ini, baik bagi si pria maupun

wanitanya, sangat banyak di desa tersebut. Sehingga mereka yang ingin

melaksanakan perkawinan banyak juga yang tidak diterima/ ditolak. Ada juga

yang diterima pelaksanaan perkawinannya, tetapi dengan alasan-alasan

tertentu yang dapat diterima dan melalui pengadilan agama untuk meminta

dispensai. Tetapi pelaksanaan yang seperti ini sedikit.

Kebijasanaan PPN atau PPPN di KUA tersebut ternyata sama dan sesui

dengan apa yang telah ditulis dalam buku 'pedoman pegawai pencatat nikah'

yang berbunyi:

35

Page 36: PERKAWINAN

"Apabila setelah diadakan pemerikasaan nikah, ternyata tidak memenuhi

persyaratan-persyaratan yang telah ditentukan --baik persyaratan menurut

hukum munakahat maupun persyaratan menurut peraturan perundang-

undangan yang berlaku--, maka PPN atau P3NTR harus menolak

pelaksanaan pernikahan itu,…. " (Depag, 19832, Cet. III : 25)

Kemudian untuk mereka yang merasa keberatan terhadap penolakan

pernikahan itu, maka pertimbangan PPN selanjutnya adalah menyuruh dan

menyerahkan mereka sepenuhnya ke pengadilan agama (di Bangil).

Setelah perkara penolakan itu diperikasa sedangkan pihak pengadilan

agama memberikan ketetapan menguatkan penolakannya, maka pihak PPN

atau pembantunya harus menolak pelaksanaan perkawinan mereka. Dan jika

pihak pengadilan agama memberikan ketetapan memerintahkan

melangsungkannya maka pihak PPN atau pembantunya harus melangsungkan

pelaksanaan perkawinannya.

Pernyataan yang telah dikemukakan oleh Bapak Fadilla di atass ternyata

sesuai denga apa yang dikemukakan oleh Bapak Arbai Anwar, kepala KUA.

Juga identik dengan ketentuan yang telah ditetapkan dalam buku pedoman

pegawai pencatat nikah yang termaktub sebagai berikut:

"Setelah memerikasa perkara penolakan itu dengan acara singkat (sumir),

pengadilan agama memberikan ketetapan menguatkan penolakan atau

memerintahkan agar pernikahan itu dalangsungkan".

"Apabila pengadilan agama memerintahkan agar pernikahan itu

dilangsungkan, maka PPN/ P3NTR harus melangsungkan pernikahan itu".

(Depag , 1982, Cet. III : 26)

36

Page 37: PERKAWINAN

BAB IV

PENUTUP

A. Simpulan

1. Terjadinya perkawinan berusia muda di Desa Wonosari Kecamatan Tutur-

Nongkojajar Kab. Pasuruan adalah karena faktor pendidikan --terutama

pendidikan agama islam-- yang rendah, pergaulan bebas yang tidak

terarah, menaggung rasa malu, pengaruh lingkuangan dan ekonomi.

Adanya faktor-faktor tersebut adakalanya dari pihak orang tua mereka.

2. Perkawinan berusia muda ditinjau dari segi hukum islam adalah tidak

boleh, kecuali telah mendapat dispensasi dari pengadilan agama (PA) atas

dasar pertimbangan-pertimbangan yang obyektif.

3. Jika ditinjau dari pada Undang-Undang Nomor 1 Tahun 1974 tidak ada

penyimpangan, karena sudah ada dispensasi dari pengadilan agama (PA).

B. Saran-saran

1. Hendaknya para orang tua lebih sadar akan pentingnya pendidikan --lebih-

lebih pendidikan agama islam--, baik untuk dirinya sendiri maupun untuk

anak-anaknya. Dengan pendidikan, orang tua akan anak akan lebih

memahami akibat yang baik dan buruk dari pergaulan dengan lain jenis.

Memang pada biasanya, pergaulan anak dengan lain jenisnya cenderung

berakibat buruk. Akan tetapi tidak selamnaya demikian, asal saja tahu

aturan dan wajar-wajar saja. Di sinilah pendidikan berperan paling utama.

Juga, dengan pendidikan, orang tua dan anak tidak akan mudah

terpengaruh lingkungan/ masyarkat yang kurang baik; seperti

mengawinkan ankanya yang belum cukup dewasa, misalnya. Bahkan

orang tua dan anak yang berpendidikan akan dapat meluruskannya dan

mengarahkannnya. Selanjutnya, juga dengan pendidikan dan ditambah

pula dengan keterampiilan yang memadai, kehidupan mereka akan lebih

layak dan sejahtera dari pada mereka yang tidak punya pendidikan sama

sekali.

37

Page 38: PERKAWINAN

2. Bagi lembaga-lembaga departemen agama maupun BKKBN hendaknya

lebih meningkatkan kegiatannya dalam memberikan penyuluhan-

penyuluhan dan pengarahan-pengerahan kepada masyarakat mengenai

dampak negatif dari pada perkawinan usia muda dan dampak positif dari

pada perkawinan usia dewasa.

3. Bagi lembaga-lembaga yang menangi masalah perkawinan, khusunya

pegawai pencatat nikah (PPN) atau pembantu pegawai pencatat nikah

(P3N), hendaknya tetap lebih teliti dan lebih selektif dalam memberikan

pelayanan kepada calon suami/ istri yang akan melaksanakan perkawinan,

agar tidak terjadi perkawinan yang tidak kita inginkan.

38

Page 39: PERKAWINAN

DAFTAR PUSTAKA

Anshari Thoyib, Struktur Rumah Tangga Muslim, Surabaya Risalah Gusti, 1992, cet. I

Abul A' La Al Maududi, Maulana, The Laws Of Marriage And Divorce In Islam. Achmad Rais, Jakarta, Gema Insani Press, 1990, cet. I

Abdullah Nasikh "Ulwan, Dr. Aqabatuz Zawwaj Wa Thuruqu Mu'ajalatiha 'Ala Dloil Islam. Drs. Moh Nur Hakim, Jakarta, Gema Insani Press

Aisyah Dahlan, Hj. Nasehat Perkawinan dan Keluarga, Majalah BP4. No. 129, 1968

39