larangan (mahram) dalam perkawinan

21
BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Perkawinan sangat penting dalam kehidupan manusia, perseorangan maupun kelompok. Dengan jalan perkawinan yang sah, pergaulan laki-laki dan perempuan terjadi secara terhormat sesuai kedudukan manusia sebagai makhluk yang berkehormatan. Pergaulan hidup berumah tangga dibina dalam suasana damai, tentram dan rasa kasih sayang antara suami dan istri. Anak keturunan dari hasil pernikahan yang sah menghiasi kehidupan keluarga dan sekaligus merupakan kelangsungan hidup manusia secara bersih dan berkehormatan. Oleh karena itu, pada tempatnyalah apabila islam mengatur masalah perkawinan dengan amat teliti dan terperinci. Untuk membawa umat manusia hidup berkehormatan sesuai dengan kedudukannya yang amat mulia di tengah-tengah makhluk Allah yang lain. Hubungan manusia laki-laki dan perempuan ditentukan agar didasarkan atas rasa pengabdian kepada Allah sebagai Al Khaliq ( Tuhan Maha Pencipta ) dan kebaktian kepada kemanusiaan guna melangsungkan kehidupan sejenisnya. 1

Upload: riki-riza-himawan

Post on 14-Jul-2016

50 views

Category:

Documents


3 download

DESCRIPTION

larangan mahram dalam perkawinan

TRANSCRIPT

BAB I

PENDAHULUAN

A. Latar Belakang

Perkawinan sangat penting dalam kehidupan manusia, perseorangan

maupun kelompok. Dengan jalan perkawinan yang sah, pergaulan laki-laki dan

perempuan terjadi secara terhormat sesuai kedudukan manusia sebagai makhluk

yang berkehormatan. Pergaulan hidup berumah tangga dibina dalam suasana

damai, tentram dan rasa kasih sayang antara suami dan istri. Anak keturunan dari

hasil pernikahan yang sah menghiasi kehidupan keluarga dan sekaligus

merupakan kelangsungan hidup manusia secara bersih dan berkehormatan.

Oleh karena itu, pada tempatnyalah apabila islam mengatur masalah

perkawinan dengan amat teliti dan terperinci. Untuk membawa umat manusia

hidup berkehormatan sesuai dengan kedudukannya yang amat mulia di tengah-

tengah makhluk Allah yang lain. Hubungan manusia laki-laki dan perempuan

ditentukan agar didasarkan atas rasa pengabdian kepada Allah sebagai Al Khaliq (

Tuhan Maha Pencipta ) dan kebaktian kepada kemanusiaan guna melangsungkan

kehidupan sejenisnya.

Selain itu, dalam berbangsa dan bernegara sebagai warga negara yang baik

kita harus taat dan patuh pada hukum yang berlaku. Untuk urusan perkawinan,

negara kita telah memiliki undang-undang perkawinan dan termuat juga dalam

Kompilasi Hukum Islam. Meskipun perkawinan telah memenuhi seluruh rukun

dan syarat perkawinan yang telah ditentukan, belum tentu perkawinan tersebut

sah. Ada satu hal yang masih menjadi halangan untuk sah atau tidaknya sebuah

perkawinan. Hal tersebuat adalah halangan perkawinan atau disebut juga dengan

mahram.

B. Rumusan Masalah

1. Apa yang dimaksud larangan perkawinan itu?

2. Apa yang dimaksud dengan mahram?

1

3. Bagaimana hubungan antara hukum di Indonesia dengan syariat islam?

BAB II

PEMBAHASAN

A. Larangan Perkawinan

Pada dasarnya laki-laki adalah pasangan bagi wanita. Allah menciptakan

tumbuh-tumbuhan, binatang maupun manusia secara berpasangan-pasangan.

Namun demikian, menurut hukum Islam tidak setiap laki-laki dibolehkan kawin

dengan setiap perempuan. Ada di antara perempuan yang tidak boleh dinikahi

oleh laki-laki tertentu  karena antara keduanya terdapat penghalang perkawinan

yang dalam fiqh munakahat disebut dengan mawani’ an-nikah. Dimaksud dengan

penghalang perkawinan atau mawani’ an-nikah yaitu hal-hal, pertalian-pertalian

antara seorang laki-laki dengan seorang perempuan yang menghalangi terjadinya

perkawinan dan diharamkan melakukan akad nikah antara keduanya.1

Dalam hal ini larangan yang dimaksud adalah perempuan-perempuan

mana saja yang tidak boleh dinikahi oleh seorang laki-laki karena adanya

hubungan mahram atau sebaliknya. Berkata Imam Ibnu Qudamah rahimahullah,

“Mahrom adalah semua orang yang haram untuk dinikahi selama-lamanya karena

sebab nasab, persusuan dan pernikahan.” [Al-Mughni 6/555]

Berkata Imam Ibnu Atsir rahimahullah, ” Mahrom adalah orang-orang yang

haram untuk dinikahi selama-lamanya seperti bapak, anak, saudara, paman, dan

lain-lain”.[An- Nihayah 1/373]

Berkata Syaikh Sholeh Al-Fauzan, “Mahrom wanita adalah suaminya dan semua

orang yang haram dinikahi selama-lamanya karena sebab nasab seperti bapak,

1 M Idris Ramulyo, Hukum Perkawinan Islam, (Jakarta : CV. Sinar Grafika, Jakarta, 1995), hal. 45

2

anak, dan saudaranya, atau dari sebab-sebab mubah yang lain seperti saudara

sepersusuannya, ayah atau pun anak tirinya”.2

B. Macam-macam Larangan Perkawinan Dalam Kompilasi Hukum islam

dan Dikuatkan Oleh Syariat Islam

Menurut buku fiqih munakahat oleh Abdul rahman secara garis besar,

larangan kawin antara seorang pria dan seorang wanita menurut syara’ dibagi

menjadi dua, yaitu Larangan Sementara dan Larangan Selamanya. Di antara

larangan-larangan selamanya ada yang telah di sepakati dan ada pula yang tidak

disepakati. Yang disepakati ada tiga, yaitu : 3

1. Nasab ( keturunan )

2. Pembesanan ( karena pertalian kerabat semenda )

3. Sesusuan

Sedangkan yang diperselisihkan ada dua, yaitu :

1. Zina

2. Li’an

Larangan-larangan sementara ada sembilan, yaitu :

1. Larangan bilangan

2. Larangan mengumpulkan

3. Larangan kehambaan

4. Larangan kafir

5. Larangan ihram

Secara garis besar larangan perkawinan itu ada dua macam yaitu :

2Tanbihat 'ala Ahkam Takhtashu bil mu'minat hal ; 673Abdul Rahman, Fiqih Munakahat, (Jakarta: Kencana Prenada Media Group, jakarta, 2010), hal110

3

Pertama: Larangan perkawinan untuk selamanya dalam arti sampai kapanpun dan

dalam keadaan apapun laki-laki dan perempuan itu tidak boleh melakukan

perkawinan. Larangan dalam bentuk ini disebut mahram muabbad.

Kedua: larangan perkawinan berlaku untuk sementara waktu tertentu; suatu ketika

bila keadaan dan waktu tertentu itu sudah berubah ia sudah tidak lagi menjadi

haram, yang disebut mahram muaqqat.4

Dalam Kompilasi Hukum Islam Pasal 39 yang berisi tiga ayat menjelaskan bahwa Dilarang melangsungkan perkawinan antara seorang pria dengan seorang wanita. Hal ini sama dengan Mahram muabbad, yaitu orang yang haram melakukan pernikahan untuk selamanya ada tiga kelompok. Larangan perkawinan itu berlaku untuk :

a. Disebabkan oleh adanya hubungan kekerabatan.

KHI telah mengatur larangan perkawinan karena hubungan kekerabatan yang tertera pada pasal 39 ayat 1 berbunyi :

(1) Karena pertalian nasab :a. dengan seorang wanita yang melahirkan atau yang menurunkannya

atau keturunannya;b. dengan seorang wanita keturunan ayah atau ibu;c. dengan seorang wanita saudara yang melahirkannya

Di dalam ayat di atas telah jelas disebutkan bahwa perempuan-perempuan

yang haram dikawini oleh laki-laki untuk selamanya disebabkan oleh hubungan

kekerabatan atau Nasab adalah sebagai berikut:

Ibu

Anak

Saudara

Saudara ayah

Saudara ibu

Anak dari saudara laki-laki; dan

Anak dari saudara perempuan5

4Prof. Dr. Amir Syarifuddin, HUKUM PERKAWINAN ISLAM DI INDONESIA, (Jakarta: Kencana Prenada Media Group, Jakarta, 2006) , Hal. 1105 ibid

4

Sesuai dengan yang berbunyi dalam surat an-Nisa ayat 23:

23. diharamkan atas kamu (mengawini) ibu-ibumu; anak-anakmu yang

perempuan saudara-saudaramu yang perempuan, saudara-saudara bapakmu yang

perempuan; saudara-saudara ibumu yang perempuan; anak-anak perempuan dari

saudara-saudaramu yang laki-laki; anak-anak perempuan dari saudara-saudaramu

yang perempuan; ibu-ibumu yang menyusui kamu; saudara perempuan

sepersusuan; ibu-ibu isterimu (mertua); anak-anak isterimu yang dalam

pemeliharaanmu dari isteri yang telah kamu campuri, tetapi jika kamu belum

campur dengan isterimu itu (dan sudah kamu ceraikan), Maka tidak berdosa

kamu mengawininya; (dan diharamkan bagimu) isteri-isteri anak kandungmu

(menantu); dan menghimpunkan (dalam perkawinan) dua perempuan yang

bersaudara, kecuali yang telah terjadi pada masa lampau; Sesungguhnya Allah

Maha Pengampun lagi Maha Penyayang.

b. Larangan Perkawinan Karena Adanya Hubungan Perkawinan yang Disebut

Hubungan Mushaharah.

Selanjutnya mengenai ayat dua dalam pasal 39 yang mengatur larangan

perkawinan karenan adanya hubungan perkawinan atau disebut juga dengan

kerabat semenda yang berbunyi :

(2) Karena pertalian kerabat semenda :a. dengan seorang wanita yang melahirkan isterinya atau bekas

isterinya;b. dengan seorang wanita bekas isteri orang yang menurunkannya;c. dengan seorang wanita keturunan isteri atau bekas isterinya,

kecuali putusnya hubungan perkawinan dengan bekas isterinya itu qobla al dukhul;

d. dengan seorang wanita bekas isteri keturunannya.

5

Fiqih menyebut hubungan perkawinan atau disebut juga dengan kerabat

semenda dengan hubungan Mushaharah yang berarti hubungan antara perempuan

dengan kerabat dari laki-laki yang telah menikahinya. Dengan adanya hubungan

mushaharah ini, maka timbul pula larangan perkawinan.

Perempuan-perempuan yang tidak boleh dinikahi oleh seorang laki-laki

untuk selamanya karena hubungan mushaharah itu adalah sebagai berikut:

a. Perempuan yang telah dikawini oleh ayah atau ibu tiri.

b. Perempuan yang telah dinikahi oleh anak laki-laki atau menantu.

c. Ibu istri atau mertua.

d. Anak dari istri dengan ketentuan istri itu telah digauli.6

Empat perempuan yang telah dilarang untuk dinikahi sebagaimana

disebutkan di atas sesuai dengan petunjuk Allah SWT dalam Surat an-Nisa ayat

22 dan 23:

22. dan janganlah kamu kawini wanita-wanita yang telah dikawini oleh ayahmu, terkecuali

pada masa yang telah lampau. Sesungguhnya perbuatan itu Amat keji dan dibenci Allah dan

seburuk-buruk jalan (yang ditempuh).

c. Karena Hubungan Sepersusuan

Ayat ketiga pasal 39 menyebutkan bahwa salah satu larangan perkawinan

disebabkan adanya hubungan sepersusuan. Ayat itu berbunyi :

(3) Karena pertalian sesusuan :a. dengan wanita yang menyusui dan seterusnya menurut garis lurus

ke atas;b. dengan seorang wanita sesusuan dan seterusnya menurut garis

lurus ke bawah;c. dengan seorang wanita saudara sesusuan, dan kemanakan sesusuan

ke bawah;

6 Ibid hal. 112

6

d. dengan seorang wanita bibi sesusuan dan nenek bibi sesusuan ke atas;

e. dengan anak yang disusui oleh isterinya dan keturunannya.

Bila seorang anak menyusu kepada seorang perempuan, maka air susu

tersebut menjadi darah daging dan pertumbuhan bagi si anak sehingga perempuan

tersebut sudah menjadi seperti ibunya. Sedangkan perempuan itu menghasilkan

ASI karena mempunyai anak dari hubungan dengan suaminya maka suaminya

tersebut telah seperti ayah dari anak yang menyusu tersebut. Demikan pula anak

dari perempuan itu sudah seperti saudara bagi anak yang menyusu tersebut.

Apabila seorang perempuan menyusukan seorang anak yang belum sampai

umurnya dua tahun, maka menurut hukum seperti anak perempuan itu.7Hal ini

juga tertera dalam surat an-Nisa ayat 23. Terdapat perbedaan faham diantara

ulama, apakah muhrim dengan jalan persusuan itu, bercabang juga terhadap

muhrim dengan jalan perkawinan atau tidak? Sebagian ulama berpendapat, tidak!

Mazhab yang empat berpendapat, ia bercabang pula kepada muhrim sebab

perkawinan, maka haram atas seorang suami menikah ibu persusuan istrinya,8

Syarat-syarat yang menjadikan muhrim adalah sebagai berikut :

1. Umur anak sewaktu menyusu kurang dari dua tahu.

Firman Allah SWT :

233. Para ibu hendaklah menyusukan anak-anaknya selama dua tahun penuh, Yaitu bagi

yang ingin menyempurnakan penyusuan. dan kewajiban ayah memberi Makan dan

pakaian kepada Para ibu dengan cara ma'ruf. seseorang tidak dibebani melainkan menurut

7 H. Sulaiman Rasyid, FIQIH ISLAM, (Jakarta: ATTAHIRIYAH, jakarta, 1976), hal. 4018 Ibid hal 402.

7

kadar kesanggupannya. janganlah seorang ibu menderita kesengsaraan karena anaknya

dan seorang ayah karena anaknya, dan warispun berkewajiban demikian. apabila

keduanya ingin menyapih (sebelum dua tahun) dengan kerelaan keduanya dan

permusyawaratan, Maka tidak ada dosa atas keduanya. dan jika kamu ingin anakmu

disusukan oleh orang lain, Maka tidak ada dosa bagimu apabila kamu memberikan

pembayaran menurut yang patut. bertakwalah kamu kepada Allah dan ketahuilah bahwa

Allah Maha melihat apa yang kamu kerjakan.

2. Menyusunya anak itu lima kali sampai kenyang dan waktu yang terpisah.

Mahram muaqqat adalah larangan kawin yang berlaku untuk sementara

waktu disebabkan oleh hal-hal tertentu. Bila hal tersebut sudah tidak ada, maka

larangan itu tidak berlaku lagi.9hal ini bisa dijadikan acuan pada KHI pasal 40

sampai pasal 44. Larangan kawin sementara itu berlaku dalam hal sebagai

berikut :

a. Mengawini Dua Orang Saudara dalam Satu Masa

Pasal 41 mengatur larangan mengawini dua orang saudara sekaligus. Yaitu

dua perempuan yang ada hubungan mahram, seperti dua perempuan yag

bersaudara, atau seorang perempuan di permadukan dengan saudara perempuan

bapaknya, atau anak perempuan saudaranya, da seterusnya menurut pertalian

mahram. Pasal itu berbunyi :

Pasal 41

(1) Seorang pria dilarang memadu isterinya dengan seoarang wanita yang mempunyai hubunganpertalian nasab atau sesusuan dengan isterinya;

a. saudara kandung, seayah atau seibu atau keturunannya;b. wanita dengan bibinya atau kemenakannya.

(2) Larangan tersebut pada ayat (1) tetap berlaku meskipun isteri-isterinya telah ditalak raj`i, tetapi masih dalam masa iddah.

9Prof. Dr. Amir Syarifuddin, HUKUM PERKAWINAN ISLAM DI INDONESIA, (Jakarta: Kencana Prenada Media Group, Jakarta, 2006) , Hal.124

8

Hal ini juga telah di jelaskan Allah SWT dalam Surat an-Nisa ayat 23. Hukum dari perkawinan kedua itu adalah haram sesuai dengan pangkal ayat ini yang berbunyi : yang artinya “diharamkan atasmu mengawininya”. Hikmah dari perkawinan ini adalah merusak silaturahmi antara orang yang seharusnya menjaga silaturahmi. Jika istrinya sudah diceraikan maka, penghalang perkawinan itu hilang dan dia boleh menikahi saudara perempuannya.

b. Poligami di luar batas

Dalam pasal 42 mengatur tentang poligami diluar batas. Ayat tersebut

berbunyi :

Pasal 42

Seorang pria dilarang melangsungkan perkawinan dengan seorang wanita apabila pria tersebut sedang mempunyai 4 (empat) orang isteri yang keempat-empatnya masih terikat tali perkawinan atau masih dalam iddah talak raj`i ataupun salah seorang diantara mereka masih terikat tali perkawinan sedang yang lainnya dalam masa iddah talak raj`i.

Poligami adalah seorang suami yang beristri lebih dari seorang, tetapi

dibatasi paling banyak adalah empat orang. 10 Maka, jika seorang lelaki telah

memiliki empat orang istri, haram baginya untuk menikah lagi, kecuali dia telah

menceraikan salah satu istrinya dan telah melewati masa iddah. Seperti yang

tertera pada surat an-Nisa ayat 3 :

Artinya: dan jika kamu takut tidak akan dapat Berlaku adil terhadap (hak-hak) perempuan yang

yatim (bilamana kamu mengawininya), Maka kawinilah wanita-wanita (lain) yang kamu senangi :

dua, tiga atau empat. kemudian jika kamu takut tidak akan dapat Berlaku adil, Maka (kawinilah)

seorang saja, atau budak-budak yang kamu miliki. yang demikian itu adalah lebih dekat kepada

tidak berbuat aniaya.

10 H. Hasbiyallah, M.Ag., Masail Fiqhiyah, (Jakarta :Direktorat jenderal pendidikan islam, jakarta, 2009) hal. 90

9

c. Larangan karena ikatan perkawinan

Seorang wanita yang berada dalam ikatan perkawinan tidak boleh

dinikahi siapapun. Hal ini berlaku sampai suaminya meninggal maupun setelah

dicerai dan habis masa iddahnya. Seperti yang tercantum dalam pasal 40 poin a

dan b yang berbunyi :

Pasal 40Dilarang melangsungkan perkawinan antara seorang pria denagn seorang wanita karena keadaantertentu:

a. karena wanita yang bersangkutan masih terikat satu perkawinan dengan pria lain;

b. seorang wanita yang masih berada dalam masa iddah dengan pria lain;

Hal ini juga di jelaskan dalam surat an-Nisa ayat 24 :

24. dan (diharamkan juga kamu mengawini) wanita yang bersuami, kecuali budak-budak

yang kamu miliki.

d. Larangan karena talak tiga

Dalam pasal 43 menjelaskan tentang seorang suami yang menceraikan

istrinya dengan tiga talak baik sekaligus maupun bertahap, mantan suaminya itu

haram mengawininya sampai mantan istri itu dikawini lalu diceraikan oleh laki-

laki lain dan habis masa iddahnya. Pasal 43 itu berbunyi :

Pasal 43

(1) Dilarang melangsungkan perkawinan antara seorang pria :a. dengan seorang wanita bekas isterinya yang ditalak tiga kali;b. dengan seorang wanita bekas isterinya yang dili`an.

(2) Larangan tersebut pada ayat (1) huruf a. gugur, kalau bekas isteri tadi telah kawin dengan pria lain, kemudian perkawinan tersebut putus ba`da dukhul dan telah habis masa iddahnya.

Hal ini dinyatakan Allah dalam surat al-Baqarah ayat 230.

10

230. kemudian jika si suami mentalaknya (sesudah Talak yang kedua), Maka perempuan itu tidak

lagi halal baginya hingga Dia kawin dengan suami yang lain.

e. Larangan karena beda agama

Dalam KHI pasal 44 dan pasal 40 point c dijelaskan bahwa perkawinan

beda agama itu dilarang. Baik dari pihak laki-laki maupun pihak

perempuan dilarang menikah dengan orang yang tidak beragama islam.

Bunyi dari pasal 44 dan pasal 40 point c:

Pasal 44

Seorang wanita Islam dilarang melangsungkan perkawinan dengan seorang pria yang tidakberagama Islam.

Pasal 40

Dilarang melangsungkan perkawinan antara seorang pria denagn seorang wanita karena keadaan tertentu:c. seorang wanita yang tidak beragama islam.

221. dan janganlah kamu menikahi wanita-wanita musyrik, sebelum mereka beriman.

Sesungguhnya wanita budak yang mukmin lebih baik dari wanita musyrik, walaupun Dia menarik

hatimu. dan janganlah kamu menikahkan orang-orang musyrik (dengan wanita-wanita mukmin)

sebelum mereka beriman. Sesungguhnya budak yang mukmin lebih baik dari orang musyrik,

walaupun Dia menarik hatimu. mereka mengajak ke neraka, sedang Allah mengajak ke surga dan

ampunan dengan izin-Nya. dan Allah menerangkan ayat-ayat-Nya (perintah-perintah-Nya) kepada

manusia supaya mereka mengambil pelajaran.

Dan dengan adanya ayat di atas telah jelas bahwa perkawinan beda agama

itu dilarang baik secara hukum maupun secara syariat. Halangan ini dapat gugur

11

apabila calon istri maupun suami yang mau menikah telah beriman kepada Allah

SWT.

f. Larangan karena ihram

Wanita yang sedang melakukan ihram. Hal ini tidak berlaku lagi setelah

berakhir masa ihramnya. Berdasarkan hadits Nabi SAW. yang diriwayatkan oleh

Imam Muslim dan Utsman bin Affan: “Orang yang sedang ihram tidak boleh

menikah, tidak boleh menikahkan, dan tidak boleh pula meminang.”

g. Larangan karena perzinahan

Pembahasan berkenaan dengan pezina ini dijelaskan olehProf. Dr. Amir

Syarifuddin menyangkut dua hal yaitu :

1. Kawin dengan pezina

Perempuan pezina haram dinikahi laki-laki baik (bukan pezina),

sebaliknya perempuan baik-baik tidak boleh kawin dengan laki-laki

pezina.11Setelah dia bertaubat, maka dia boleh dinikahi. Keharaman

mengawini pezina ini di dasarkan pada firman Allah SWT dalam surat an-

Nur ayat 3 :

3. laki-laki yang berzina tidak mengawini melainkan perempuan yang berzina, atau perempuan

yang musyrik; dan perempuan yang berzina tidak dikawini melainkan oleh laki-laki yang berzina

atau laki-laki musyrik, dan yang demikian itu diharamkan atas oran-orang yang mukmin

2. Kawin dengan perempuan hamil karena zina

Dalam hal ini sudah jelas hukumnya, karena wanita hamil itu sedang

menjalani masa iddah hamil. Setelah wanita tersebut melahirkan dan

11Prof. Dr. Amir Syarifuddin, HUKUM PERKAWINAN ISLAM DI INDONESIA, (Jakarta: Kencana Prenada Media Group, Jakarta, 2006) , Hal.130

12

selesai nifasnya maka bolehlah ia dikawini oleh seorang laki-laki. Seperti

diterangkan dalam hadist :

حتى تضع وال غير ذات حمل حتى تحيض حيضة

ال توطأ حامل“Wanita yang hamil tidak boleh digauli (jima’) sampai ia melahirkan, dan yang tidak

hamil tidak boleh digauli sampai setelah datangnya satu kali haid.” (HR. Abu Daud :

2159, Di shahihkan oleh Syaikh Al-Albani di dalam Irwa’ : 7/214 no : 2138)

BAB III

KESIMPULAN

Bila diperhatikan UU perkawinan dan KHI yang mengatur tentang

perkawinan kelihatannya hampir semua ketentuan terdapat dalam fiqih telah

diakomodir dalam peraturan perundangan yang berlaku di Indonesia. Bahkan

ketentuan dalam perundangan tersebut hampir seluruhnya berasal dari fiqih yang

bersumber langsung pada Al-Qur’an.

Menurut ajaran agama islam larangan perkawinan itu memang ada, bahkan

sudah sangat jelas diatur dalam al-qur’an, hadist dan sunah. Jadi bagi umat

muslim wajib untuk mematuhinya. Ada 2 hal tentang larangan perkawinan

tersebut yaitu : larangan sementara dan larangan selamanya.

Larangan sementara adalah larangan perkawinan hanya dalam waktu

sementara tidak untuk selamanya. Contoh dari larangan sementara adalahWanita

13

yang sedang dalam masa ‘iddah, baik masa i’ddah cerai maupun masa ‘iddah

ditinggal mati berdasarkan firman Allah dalam surat Al-Baqarah ayat 228 dan

234.

Larangan selamanya adalah larangan perkawinan dalam waktu yang lama

atau selama-lamanya contoh nya wanita yang mempunyai hubungan darah dalam

garis lurus ke bawah, yakni anak perempuan, cucu perempuan , baik dari anak

laki-laki maupun anak perempuan ke bawah haram untuk dinikahi.

Namun, ada dua point yang belum terdapat dalam KHI yaitu hukum

tentang menikahi wanita yang sedang berihram dan menikahi pezina. Semoga hal

ini dapat menjadi acuan bagi kita untuk lebih menyempurnakan Hukum

perkawinan di Indonesia.

DAFTAR PUSTAKA

M Idris Ramulyo, Hukum Perkawinan Islam, (Jakarta : CV. Sinar Grafika,

Jakarta, 1995)

Tanbihat 'ala Ahkam Takhtashu bil mu'minat

Abdul Rahman, Fiqih Munakahat, (Jakarta: Kencana Prenada Media Group,

jakarta, 2010)

Prof. Dr. Amir Syarifuddin, HUKUM PERKAWINAN ISLAM DI INDONESIA,

(Jakarta: Kencana Prenada Media Group, Jakarta, 2006)

H. Sulaiman Rasyid, FIQIH ISLAM, (Jakarta: ATTAHIRIYAH, jakarta, 1976)

H. Hasbiyallah, M.Ag., Masail Fiqhiyah, (Jakarta :Direktorat jenderal pendidikan

islam, jakarta, 2009)

KOMPILASI HUKUM ISLAM

14

UNDANG UNDANG PERKAWINAN

15