perbaikan fix etiologi dermatitis eksfoliativa revisi
DESCRIPTION
kulitTRANSCRIPT
PENDAHULUAN
Dermatitis eksfoliativa adalah istilah yang biasa dipakai untuk setiap inflamasi
pada penyakit kulit yang mempengaruhi >90% permukaan tubuh. Penyakit ini
merupakan suatu kelainan kulit yang ditandai dengan proses inflamasi yaitu
eritema yang terjadi hampir di seluruh permukaan tubuh. Kejadian dermatitis
ekfoliativa atau yang disebut eritroderma paling sering menyerang laki-laki
daripada perempuan yaitu 4:1 dengan usia rata-rata penderita 40-60 tahun.
Eritroderma yang diketahui penyebabnya memiliki angka kejadian yang lebih
tinggi dibandingkan yang penyebabnya tidak diketahui.1,6
Berdasarkan penyebabnya dermatitis eksfoliativa dibagi menjadi dua yaitu
dermatitis eksfoliativa primer dan sekunder. Dermatitis eksfoliativa neonatorum
merupkan jenis dermatitis eksfoliativa sekunder. Sedangkan dermatitis
eksvoliativa akibat alergi obat secara sistemik, akibat perluasan penyakit kulit,
keganasan dan penyebab lainnya dikelompokkan sebagai dermatitis eksfoliativa
sekunder. Karena memiliki etiologi yang berbeda-beda, penatalaksanaan
dermatitis eksfoliativa harus dilakukan dengan sangat terliti karena kekeliriuan
penanganan awal akan sangat berpengaruh terhadap kehidupan pasien.4
Di dalam referat ini akan dibahas mengenai etiologi dan penatalaksanaan
dermatitis eksfoliativa.
ETIOLOGI DERMATITIS EKSFOLIATIVA
Dermatitis eksfoliativa adalah istilah yang biasa dipakai untuk setiap
inflamasi pada penyakit kulit yang mempengaruhi >90% permukaan tubuh.
Eritroderma merupakan sinonim yang biasa digunakan.1,2 Sebuah studi dari
Belanda memperkirakan kejadian eritroderma tiap tahun adalah 0,9 per 90.000
penduduk.1 Pada studi lain didapatkan dari 51 anak dengan eritroderma, 30%
terdiagnosis dengan imunodefisiensi. Angka kematian berjumlah 13% dan
biasanya terkait dengn imunodefisiensi. Pada perbandingan pasien dengan dan
tanpa infeksi HIV, eritroderma pada HIV (+) paling sering berhubungan dengan
reaksi obat (40,6%), pada HIV (-) reaksi obat hanya berpengaruh sebanyak
22,6%.2 Prevalensi etiologi eritroderma sebagai berikut:1,3
No Etiologi Prevalensi (%)
2
1 Ekzema 40,0
2 Psoriasis 25,0
3 Limfoma dan leukemia 8,0
4 Obat (penicilin dan barbiturat) 9,0
5 Tidak diketahui 8,0
6 Kelainan herediter 1,0
7 Pemphigus 0,5
8
Penyakit kulit lain:
- Lichen planus
- Dermatophytosis
- Skabies krusta
- Dermatomyositis
0,5
Tabel 1. Prevalensi etiologi eritroderma
Patogenesis terjadinya dermatitis eksfoliativa tergantung penyakit yang
mendasari. Hasil penelitian menunjukkan bahwa pada dermatitis eksfoliativa
terdapat teori imunopatogenesis yang melibatkan Staphylococcus dengan
mengkode superantigen dari toksin tersebut. Toksin ini akan menyebabkan
timbulnya toxic shock syndrome dan staphylococcal scalded skin syndrome.4
Teori lain juga mengatakan bahwa tingginya kadar imunoglobulin E (IgE)
dapat ditemukan pada dermatitis eksfoliativa dan untuk masing-masing tipenya
memiliki kadar yang berbeda-beda. Misalnya, pada teori dikatakan bahwa
tingginya kadar IgE pada eritroderma karena psoriasis mungkin disebabkan
karena perubahan Th1 menjadi Th2 dengan memproduksi sitokin-sitokin yang
bersifat toksik. Mekanisme lain juga bisa terjadi karena adanya overproduksi
primer dari IgE pada dermatitis atopic. Hyper IgE syndrome dihubungkan dengan
kejadian eritroderma, dimana produksi IgE yang berlebih juga akan mensekresi
interferon-ˠ secara berlebih.4
Pada eritroderma dapat ditemukan adanya respon metabolik, dimana terjadi
kehilangan panas dalam jumlah besar akibat dilatasi (pelebaran) pembuluh darah
kapiler dan juga terjadi kehilangan cairan tubuh melalui proses konveksi. Pada
eritroderma kronis juga dapat terjadi gagal jantung dan hipotermia akibat
3
peningkatan perfusi kulit. Penguapan cairan yang makin meningkat dapat
menyebabkan dehidrasi. Kehilangan cairan tubuh sampai 9 gr/m2 dari jumlah
cairan tubuh total per hari sehingga keadaan ini dapat menyebabkan kehilangan
albumin serum. Akibatnya, akan terjadi hipoproteinemia yang menyebabkan
timbulnya edema pada ektremitas bagian bawah karena disebabkan oleh
pergeseran cairan ke ruang ekstravaskular.5
Dermatitis eksfoliativa berdasarkan penyebabnya dibagi dalam 2
kelompok yaitu dermatitis eksfoliativa primer dan sekunder. Dermatitis
eksfoliativa primer penyebabnya tidak diketahui pasti dan yang termasuk
dermatitis eksfoliativa primer adalah dermatitis eksfoliativa neonatorum.
Dermatitis eksfoliativa sekunder disebabkan oleh penggunaan obat secara
sistemik yaitu penicilin dan derivatnya, sulfonamid, analgetik/antipiretik dan
tetrasiklin. Dermatitis yang disebabkan oleh perluasan dermatosis ke seluruh
tubuh dapat terjadi pada liken planus, psoriasis, pitiriasis rubra pilaris, pemflagus
foliaseus, dermatitis seboroik dan dermatitis atopik. Keganasan seperti limfoma
juga dapat menjadi penyebab dermatitis eksfoliativa.6,7 Sumber lain mengatakan
selain obat-obatan diatas, antiepilepsi, calcium channel blocker, dan bahan topikal
juga dapat menjadi penyebab reaksi hipersensitivitas pada eritroderma.7,8,9
Jenis-jenis eritroderma berdasarkan penyebabnya
Eritroderma akibat alergi obat secara sistemik
Erupsi obat adalah perubahan-perubahan pada kulit dan membran-
membran mukosa yang terjadi sebagaimana efek-efek samping yang tidak
digunakan setelah pemberian obat dengan dosis yang normal dan biasa yakni
setelah pemberian oral, intrakutan, subkutan, intramuskular, intravena dan juga
setelah intralesi atau absorpsi obat-obatan melalui kulit dan membran mukosa.10
Keadaan ini banyak ditemukan pada dewasa muda. Obat yang dapat
menyebabkan eritroderma adalah arsenik organik, emas, merkuri (jarang),
penisilin, barbiturat. Insiden ini dapat lebih tinggi karena kebiasaan masyarakat
sering melakukan pengobatan sendiri dan pengobatan secara tradisional.11 Waktu
mulainya obat ke dalam tubuh hingga timbul penyakit bervariasi, dapat terjadi
segera sampai 2 minggu. Gambaran klinisnya adalah eritema universal. Bila ada
4
obat yang masuk lebih dari satu ke dalam tubuh, dapat diduga obat tersebut
sebagai penyebab terjadinya alergi.6,12
Eritroderma akibat reaksi obat terjadi sekitar 9% dari semua jenis
eritroderma. Jenis obat yang diduga menjadi penyebab terjadinya efek samping
obat pada kulit yaitu obat antibiotika (52,6%), obat analgesik antipiretik (9,5 %),
anti inflamasi non steroid (9,5%), dan lain-lain. Setelah mengkonsumsi beberapa
jenis obat, reaksi petologis dimulai dengan papul eritem. Eritema menyebar sangat
cepat sampai menyebabkan permukaan kulit menjadi berwarna merah terang.
Obat yang menyebabkan eritroderma harus dihentikan. Steroid oral dan terapi
denyut efektif pada fase akut. Meskipun pada kebanyakan kasus keluhan relatif
segera berubah setelah obat kausatif dihentikan. Likenifikasi juga dapat terjadi
akibat keluhan yang berlangsung lama. Drug induced hypersensitivitas syndrome
(DIHS) adalah erupsi obat yang persisten dengan gagal organ yang juga
merupakan penyebab eritroderma.9,13
Eritroderma akibat alergi obat mempunyai gambaran klinis eritema universal
(>90 % luas kulit). Skuama terlihat pada tahap penyembuhan, timbulnya akut,
keluhan lebih gatal dibandingkan eritroderma penyebab lain.2
Tabel 2. Obat yang tersering menyebabkan eritroderma9
No Obat No Obat
1 Antibiotik 7 Karbamazepin
2 OAINS 8 Simetidin
3 Allopuronil 9 Quinidine
4 Lithium 10 Dan lain-lain
5 Phenytoin
6 Kalsium chanel bloker
Eritroderma akibat perluasan penyakit kulit
a. Eritroderma karena psoriasis
Eritroderma yang disebabkan psoriasis, merupakan eritroderma yang paling
banyak ditemukan dan dapat disebabkan oleh penyakit psoriasis maupun akibat
pengobatan psoriasis yang terlalu kuat.6 Gejala dermatitis eksfoliativa karena
5
psoriasis didapati eritema yang tidak merata. Pada tempat predileksi psoriasis
ditemukan kelainan yang lebih eritematosa dan agak meninggi dari pada
sekitarnya, skuama ditempat itu juga lebih tebal. Pada kuku dilihat apakah ada
pitting nail berupa lekukan miliar, tetapi tanda ini hanya penyokong dan tidak
patognominis psoriasis. Sebagian pasien tidak menunjukkan gejala seperti itu,
hanya terlihat eritem yang universal. Pada pasien seperti itu untuk mengetahui
bahwa penyebabnya adalah psoriasis yaitu dengan cara diberikan kortikosteroid.
Setelah eritrodermanya berkurang maka tanda-tanda psoriasis akan terlihat.6
b. Penyakit Leiner
Dermatitis seboroik pada bayi juga dapat menyebabkan eritroderma atau
dikenal sebagai penyakit Leiner. Etiologinya belum diketahui pasti. Usia penderita
berkisar 4-20 minggu. Keadaan umum pasien biasanya baik dan tanpa keluhan.
Kelainan kulit berupa eritema universal disertai skuama kasar. Pitiriasis rubra
pilaris yang berlangsung selama beberapa minggu dapat pula menjadi eritroderma.
Selain itu yang dapat menyebabkan eritroderma adalah pemfigus foliaseus,
dermatitis atopik dan liken planus.6,11
c. Eritroderma ekzema
Eritroderma ekzema didapatkan pada sekitar 50% dari semua kasus
eritroderma. Walaupun frekuensi terbanyak didapatkan pada pria dengan usia tua,
sebenarnya dapat ditemukan jugs pada semua umur dengan dermatitis atopik.
Dermatitis atopik dan variasi tipe dari ekzema generalisata menjadi eritroderma
yang dipengaruhi oleh faktor intrinsik dan ekstrinsik. Faktor intrinsik meliputi
disfungsi dari sel T, liver atau ginjal, paranephrotik dan distonia autonomik.1
Faktor instrinsik yaitu pengobatan ekzema yang tidak sesuai dengan
perubahan lingkungan. Kemerahan, edema dan bersisik merupakan gambaran
klinik yang lebih tampak di kulit. Gejala sistemik yang muncul seperti demam,
dehidrasi, kekurangan protein, instabilitas suhu tubuh dan infeksi oportunistik.
Atrofi kulit, pigmentasi, skuama halus dan kulit terang menjadi gambaran erupsi
dan menjadi kronik. 1
Eritroderma ekzema biasanya disebabkan oleh dermatitis atopik, dermatitis
kontak, dermatitis seboroik dan dermatitis autosensitisasi. Steroid topikal
merupakan pengobatan yang efektif. 1
6
Eritroderma akibat penyakit keganasan
Berbagai penyakit atau kelainan alat dalam dapat memberi kelainan kulit
berupa eritroderma. Jadi setiap kasus eritroderma yang tidak termasuk akibat
alergi obat dan akibat perluasan penyakit kulit harus dicari penyebabnya, yang
berarti perlu pemeriksaan menyeluruh (termasuk pemeriksaan laboratorium dan
sinar X toraks). 6
T-cells lymphoma (seperti mycosis fungoides, Sezary syndrome), T-cell
leukemia pada dewasa, Hodgkin’s disease, leukemia limfositik kronik merupakan
penyakit primer dari eritroderma akibat penyakit keganasan. Gejala yang
ditemukan berupa eritema disertai rasa gatal yang hebat di seluruh tubuh dan
terdapat pembesaran kelenjar getah bening. Penyakit primer ini dapat
diidentifikasi dan diobati.10
Penyakit Sindrom Sezary ini termasuk limfoma, diduga merupakan stadium
dini mikosis fungoides. Penyebabnya belum diketahui, diduga berhubungan
dengan infeksi virus HTLV-V dan dimasukkan ke dalam CTCL (Cutaneous T
Cell Lymphoma). Sering menyerang orang dewasa, pada pria usia rata-rata 64
tahun sedangkan wanita 53 tahun. Manifestasi klinis subyektif berupa rasa sangat
gatal. Secara obyektif terdapat eritema berwarna merah membara menyeluruh
disertai skuama kasar dan berlapis, terdapat infiltrasi pada kulit dan edema. Dapat
ditemukan splenomegali, limfadenopati superfisial, alopesia, hiperpigmentasi,
hiperkeratosis palmaris dan plantaris, serta kuku yang distrofik. Pada pemeriksaan
laboratorium terdapat leukositosis, dapat timbul eosinofilia dan limfositosis.
Terdapat limfosit atipik (sel Sezary) dalam darah, kelenjar getah bening, dan kulit.
Pada ditemukan infiltrat pada dermis bagian atas dan sel Sezary. Disebut sindrom
Sezary jika jumlah sel Sezary yang beredar 1000/mm3 atau lebih. Bila di bawah
1000/mm3 disebut sindrom pre Sezary.6
Eritroderma penyebab lain6
a. Dermatosis bullous, pemfhigus foliaceus,dan dermatitis herpetiformis bisa
berkembang menjadi eritroderma. Pemeriksaan histopatologi dan tes antibodi
dengan imunofloresensi langsung dapat digunakan untuk menegakkan diagnosis
penyakit ini.
7
b. Keratosis herediter, nonbullous congenital ichthyosiform erythroderma,
diffuse erythema, scaling dan hyperkeratosis terjadi pada saat kelahiran atau
beberapa minggu setelah lahir.
c. Penyakit infeksi, eritroderma pada pasien-pasien immunocompromised
seperti AIDS. Scabies, tinea, candidiasis dan infeksi virus seperti campak dan
rubella bisa menjadi eritroderma.Sedangkan pada anak-anak Staphylococcal
scalded-skin syndrome (SSSS) dapat berkembang menjadi eritroderma.
PENATALAKSANAAN DERMATITIS EKSFOLIATIVA
GENERALISATA
Perawatan intensif di rumah sakit atau rawat inap merupakan salah satu
pengobatan untuk pasien dengan dermatitis eksfoliativa generalisata akut. Terapi
inisial pada dermatitis eksfoliativa generalisata adalah penilaian nutrisi, koreksi
balans cairan dan elektrolit, mencegah hipotermi dan terjadinya infeksi sekunder.
Pada neonatus dan anak-anak koreksi balans cairan dan elektrolis sangat penting
untuk mencegah terjadinya dehidrasi hipernatremi.17,18
Terapi umum pada dermatitis eksfoliativa generalisata adalah sebagai
berikut :17
1. Menghentikan pemakaian obat yang diduga menjadi penyebab dan terapi
untuk penyakit penyebab dermatitis eksfoliativa generalisata
2. Mecegah pasien dari hipotermi
3. Memberi penjelasan mengenai pemakaian pelembab dan lotion
4. Menyarankan untuk diet tinggi protein dengan suplemen asam folat
Terapi cairan yang diberikan pada orang dewasa adalah 30-40 mL/kgBB
dalam 24 jam. Pada anak-anak dihitung berdasarkan berat badan, 10 kg berat
badan pertama dikalikan 4, 10 kg berat badan kedua dikalikan 2 dan sisa berat
badan selanjutnya dikalikan 1, selanjutnya dijumlahkan dan diberikan dalam 24
jam. Kebutuhan elektrolit juga dihitung terutama natrium dan kalium. Kebutuhan
natrium harian yaitu 2-4 mEq/kgBB/hari dan kebutuhan kaliun adalah 1-2
mEq/kgBB/hari.25
Penggunaan obat antihistamin sedatif berguna untuk pasien pruritus, karena
dapat membantu pasien untuk tidur di malam hari, sehingga membatasi pasien
8
untuk menggaruk dan mencegah terjadinya ekskoriasi. Antibiotik juga sering
digunakan jika infeksi dicurigai dapat mempercepat atau menjadi penyebab
komplikasi dermatitis eksfoliativa generalisata. Obat lain khusus juga dapat
diindikasikan untuk pengelolaan penyebab yang mendasari dermatitis eksfoliativa
generalisata mungkin diperlukan. Pada pasien dermatitis eksfoliativa generalisata
untuk terapi diet dapat dilakukan dengan memastikan nutrisi yang cukup dengan
asupan protein, karena pada pasien dermatitis eksfoliativa generalisata terjadi
kehilangan banyak protein melalui deskuamasi yang berlebihan dan dapat
menunjukkan kecenderungan terjadi hipoalbuminemia. Selain itu mengubah diet
yang diperlukan jika konsumsi dari makanan tertentu diduga sebagai salah satu
penyebab dermatitis eksfoliativa generalisata.19
Pengobatan dermatitis eksfoliativa generalisata sesuai dengan penyebabnya,
yaitu:
Dermatitis eksfoliativa generalisata akibat alergi obat biasanya secara
sistemik,
Pada kasus dermatitis eksfoliativa generalisata yang disebabkan erupsi
obat, dapat dilakukan penghentian seluruh obat yang diduga menjadi penyebab
dari dermatitis eksfoliativa generalisata. Obat yang dapat digunakan adalah steroid
sistemik, seperti kortikosteroid (dosis prednison 4 x 10 mg) atau pemberian
injeksi immunoglobulin dapat digunakan dalam kasus yang berat. Penyembuhan
terjadi cepat, umumnya dalam beberapa hari sampai beberapa minggu.19,20
Penelitian Tri SL tahun 2014 pada pasien yang mengalami dermatitis
eksfoliativa generalisata akibat alergi obat dapat diterapi dengan memberikan diet
tinggi protein, memantau tanda vital dan mencegah hipotermi, menjaga
kelembaban kulit dan dapat mengonsultasikan penanganan medikamentosa pada
dokter spesialis kulit dan kelamin.21
Dermatitis eksfoliativa generalisata akibat perluasan penyakit
Dermatitis eksfoliativa generalisata dapat disebabkan oleh berbagai
penyebab, salah satunya akibat perluasan penyakit dari psoriasi. Hal-hal yang
harus diketahui dalam prinsip pengobatannya adalah sebagai berikut, terapi yang
dapat digunakan adalah tirah baring, menghindari sinar UV, kompres burrow,
penggunaan emolien, meningkatkan konsumsi protein dan cairan melalui
9
intravena, dapat juga diberikan anti histamin sedatif untuk gatal. Selain itu,
methotrexat, cyclosporin atau aciretin dapat digunakan jika pengontrolan yang
cepat tidak diperoleh dengan terapi topikal. Penggunaan tar dan anthralin juga
harus dihindari karena dapat menyebabkan eksaserbasi dari penyakit tersebut.
Pada dermatitis eksfoliativa generalisata yang akibat ter pada terapi psoriasis,
maka obat harus dihentikan.6
Pemberian obat sistemik seperti kortikosteroid, dosis awal prednison 4 x
10 mg sampai 4 x 15 mg sehari. Jika setelah beberapa hari tidak tampak adanya
perubahan, dosisprednison dapat dinaikkan, dan setelah ada perbaikan dosis dapat
diturunkan perlahan-lahan. Pengobatan pada Leiner dengan kortikosteroid
memberi hasil yang baik. Dosis prednison 3 x 1-2 mg sehari. Lama penyembuhan
lebih lama dari dermatitis eksfoliativa generalisata penyebab alergi obat, yaitu
beberapa minggu hingga beberapa bulan.20
Dermatitis eksfoliativa generalisata pada penyakit sezary
Pemberian kortikosteroid (prednisod 30 mg sehari) atau metilprednisolon
yang equivalen dengan sitostatik, biasanya digunakan klorambusil dengan dosis 2-
6 mg sehari.20 Pada pengobatan kortikosteroid jangka panjang (long term), yaitu
penggunaan lebih dari 1 bulan, lebih baik menggunakan metilprednisolon dari
pada prednison dengan dosis ekuivalen karena efeknya lebih sedikit. Melakukan
diet tinggi protein pada dermatitis eksfoliativa generalisata kronis, karena
terlepasnya skuama mengakibatkan kehilangan protein. Pemberian emolien untuk
mengurangi radiasi akibat vasodilatasi oleh eritema misalnya dengan salap lanolin
10% atau krim urea 10%.22
Pada dermatitis eksfoliativa generalisata dengan penyebab yang tidak
diketahui dapat digunakan steroid dengan potensi ringan dan antihistmain. Pada
kasus reftrakter penggunaan cyclosporin telah terbukti bermanfaat dengan
pemberian dosisi inisial 5 mg/kgBB /hari dan dilanjutkan dengan penurunan dosis
sebesar 1-3 mg/kgBB/hari.23
Berdasarkan penelitian Erlia dkk tahun 2009 dari 30 penderita dermatitis
eksfoliativa generalisata di Instalasi Rawat Inap Kesehatan Kulit dan Kelamin
RSUD Dr. Soetomo, diterapi dengan kortikosteroid sistemik, adapun
10
kortikosteroid sistemik yang paling banyak dipakai adalah deksametason oral 27
penderita (90%) karena merupakan kasus yang berat dan menetap.24
PENUTUP
Dermatitis eksfoliativa generalisata merupakan kelainan pada kulit yang
dapat disebabkan oleh alergi obat secara sistemik, perluasan penyakit kulit,
penyakit keganasan maupun penyebab lainnya seperti dermatitis hipertiformis,
keratosis herediter dan pasien dengan immunocompromised. Terapi awal pada
pasien yang menderita dermatitis eksfolativa generalisata adalah penilaian nutrisi,
koreksi balans cairan dan elektrolit, mencegah hipotermi dan terjadinya infeksi
sekunder. Pada dermatitis eksfoliativa generalisata akibat alergi obat dapat
dilakukan penghentian penggunaan obat yang menjadi pencetus dermatitis
eksfoliativa generalisata serta digantikan dengan pemberian steroid sistemik. Pada
penderita dermatitis eksfoliativa generalisata akibat perluasan penyakit, mengatasi
keluhan penyakit kulit yang diderita serta menghindari faktor pencetus penyakit
kulit terlebih dahulu dilakukan sebelum terapi menggunakan steroid sistemik.
Begitu juga pada penderita dermatitis eksfoliativa generalisata akibat keganasan,
tirah baring dan penggunaan emolien serta pemberian kortikosteroid sistemik
menjadi pilihan terapi.
DAFTAR PUSTAKA
1. Burns T, Breathnach S, Cox N, Griffiths C. Rook’s text book of
dermatology. Vol.1; 8th ed. Singapore; Willey Blackwell,2010. 23:46-
49
2. James W, Berger T, Elston D. Andrws’ disease of the skin clinical
dermatology. 10th ed. Saunders Elsevier,2006. 226-227.
3. Wolff K, Johnson RA. Mites bites and infestations. Fitzpatrick’scolor
atlas & synopsis of clinical dermatology. 6th ed. Mcgraw hill: New
York; 2009.
4. Wolf K, Goldsmith LA, Katz SI, Gilchrest BA, Paller AS, Leffel DJ.
Arthropod bites and stings. Fitzpatrick's dermatology in general
medicine. 7th ed. Mcgraw hill: New York; 2008. p.225-7
11
5. Weller R, Hunter J, Savin J, Dahl M. Infestations. Clinical
dermatology. 4th ed. Blackwell Publishing: Australia; 2008. p.357
6. Djuanda A. Ilmu Penyakit Kulit dan Kelamin. Edisi ke 5. Jakarta:
Fakultas Kedokteran Universitas Indonesia. 2007.
7. Grant-Kels JM, Bernstein ML, Rothe MJ. Exfoliative Dermatitis In:
Wolff K, Goldsmith LA, Katz SI, Gilchrest BA, Paller AS, leffell DJ,
editors. Fitzpatrick’s Dermatology in General Medicine. 7th ed. New
York: McGraw-Hill Book Co; 2008. 225–32.
8. Tri SL. A 47 years old women with eritrodermaec. Drug alergy
[jurnal]. JurnalMadulaUnila: FakultasKedokteranUniversitas
Lampung; 2014.
[Diambil pada tanggal 7 Agustus 2014] Diakses dari
http://www.journal.unila.ac.id/index.php/medula/article/download/.../
463
9. Earlia N, Nurharini F, Jatmiko CA, Ervianti E. Penderita Eritroderma
di Instalasi Rawat Inap Kesehatan Kulit dan Kelamin RSUD Dr.
Soetomo Surabaya Tahun 2005-2007. Departemen/ staf Medik
Fungsional Ilmu Kesehatan Kulit dan Kelamin Fakultas Kesokteran
Universitas Airlangga/Rumah sakit Umum Daerah Dr. Soetomo.
Surabaya; 2009. 21: 93-101
10. Shimizu H. Erythroderma. Textbook of dermatology. Nakayama
Shoten Publishers: Japan; 2007. 122-5
11. Champion RH. Eczema, Lichenification, prurigo and erythroderma.
In: Champion RH eds. Rokk’s textbook of dermatology, 5th ed.
Washington; Blackwell Scientific Publication. 1992. 17.48-17.52.
12. Gupta S, Singh M M, Prabhu S, Prabhu M, Mishra P. Allergic Contact
Dermatitis With Exfoliation Secondary To
Calamine/Diphenhydramine Lotion In A 9 Year Old Girl. Journal of
Clinical and Diagnostic Research [serial online] 2007 June
[diambil pada tanggal 9 Agustus 2015]
12
Diakses dari http://www.jcdr.net/back_issues.asp?issn=0973-
709x&year=2007&month=June&volume=1&issue=3&page=147-
150&id=72
13. Amiruddin D. Ilmu Penyakit Kulit. Makassar; Bagian Ilmu Penyakit
Kulit dan Kelamin FK UNHAS: 2003. p:
14. Habif PT. Clinical dermatology: a color guide to diagnosis and
therapy. Edisi 5. London: British library catalogumg in publication
data; 2010. 269.
15. Sterry W, Marcus JM. Erythroderma. Dalam Horn TD, Mascaru JM,
Macini AJ, Salasche SI, Hilaire JS, Stingl G. Dermatology. London:
British library catalogumg in publication data; 2004. 165-74.
16. Erlia N, Nurharini F, Catur AJ, Ervianti E. Penderita eritroderma di
Instalasi Rawat Inap Kesehatan Kulit dan Kelamin RSUD Dr.
Soetomo Surabaya Tahun 2005-2007 [jurnal]. Surabaya:
FakultasKedokteranUniversitasAirlangga; 2009. [Diambil pada
tanggal 7 Agustus 2015]
Diakses dari http://www.journal.unair.ad.id/filerPDF/art%201.pdf.
17. Eid MP. Exfoliative Dermatitis .Virginia Dermatology and Skin
Surgery Center
[diambil pada pada 11 agustus 2015]
Diakses dari http://emedicine.medscape.com/article/762236-treatment
18. Habif PT. Clinical dermatology: a color guide to diagnosis and
therapy. Edisi 5. London: British Library Catalogue in publication
data: 2010. 269.
19. Umar SH. Generalized exfoliative dermatitis. Department of
Dermatology, Charles R Drew/MLK Medical Center Erythroderma.
[diambil pada pada 11 agustus 2015]
diakses dari http://emedicine.medscape.com/article/1106906-treatment
20. Djuanda A. Dermatosis eritroskuamosa. Ilmu penyakit kulit dan
kelamin. Edisi ke 5 Jakarta: Fakultas Kedokteran Universitas
Indonesia. 2007. 197-200
13
21. Tri SL. A 47 years old women with eritrodermaec. Drug alergy
[jurnal]. Jurnal MadulaUnila: FakultasKedokteranUniversitas
Lampung; 2014. [Diambil padatanggal 7 Agustus 2014]
Diakses dari
http://www.journal.unila.ac.id/index.php/medula/article/download/.../
463.
22. GulizKarakayll, Grant Beckham, MD, Ida Orengo, MD, et al.
Exfoliative Dermatitis. Am FamPhys 1999. 59: 1–12.
23. Sterry W, Marcus JM. Erythroderma. Dalam Horn TD, Mascaru JM,
Macini AJ, Salasche SI, Hilaire JS, Stingl G. Dermatology. London:
British library catalogumg in publication data; 2004.165-74.
24. Erlia N, Nurharini F, Catur AJ, Ervianti E. Penderitaeritroderma di
Instalasi Rawat Inap Kesehatan Kulit dan Kelamin RSUD Dr.
Soetomo Surabaya Tahun 2005-2007 [jurnal]. Surabaya: Fakultas
Kedokteran Universitas Airlangga; 2009. [Diambil pada tanggal 7
Agustus 2015]
Diakses dari http://www.journal.unair.ad.id/filerPDF/art%201.pdf
25. Hardiono, Hanindito E, Rahardjo P, Rahardjo E. Keseimbangan
cairan, elektrolit dan asam-basa. Dalam Sjamsuhidajat R,
Karnadihardja W, Prasetyono TOH, Rudiman R, editor. Buku ajar
ilmu bedah sjamsuhidayat-de jong. Ed.3. Jakarta: EGC; 2010.166-175.
14