dermatitis atopik

24
4 BAB II TINJAUAN PUSTAKA A. Landasan Teori 1. Dermatitis Atopik 1.1. Sinonim Nama lain untuk dermatitis atopik adalah eksema atopik, eksema dermatitis, prurigo Besnier, dan neurodermatitis (Santosa, 2007). 1.2. Definisi Dermatitis atopik (DA) adalah penyakit kulit inflamasi yang khas, bersifat kronis dan sering terjadi kekambuhan (eksaserbasi) terutama mengenai bayi dan anak, dapat pula pada dewasa. Penyakit ini biasanya disertai dengan peningkatan kadar IgE dalam serum serta adanya riwayat rinitis alergika dan atau asma pada keluarga maupun penderita (Harijono, 2007). Istilah atopi menunjukkan adanya suatu predisposisi genetik bagi timbulnya DA, asma dan hay fever (Graham-Brown, 2005). Istilah atopi sejak lama telah diungkapkan oleh Coca dan Cooke (1923), kata tersebut berasal dari kata atopos (Yunani) yang berarti Out Of Place atau Strange Diseases (Zulkarnain, 2009). Konsep yang dianut sekarang, atopi meliputi gejala pada saluran napas seperti asma dan rinitis serta manifestasi pada kulit sebagai DA yang menunjukkan respons imun Th2 dengan predisposisi genetik dengan didapatkan hipereaktivitas organ (sasaran) terhadap agen farmakologi atau iritan disertai produksi IgE spesifik yang fakultatif dan aktivitas eosinofil (Harijono, 2007). DA adalah menifestasi penyakit atopi pertama yang timbul pada seorang anak (Siregar, 2002).

Upload: gesty-zenerra

Post on 06-Aug-2015

114 views

Category:

Documents


6 download

DESCRIPTION

Susu formula dengan dermatitis atopik

TRANSCRIPT

Page 1: Dermatitis Atopik

4

BAB II

TINJAUAN PUSTAKA

A. Landasan Teori

1. Dermatitis Atopik

1.1. Sinonim

Nama lain untuk dermatitis atopik adalah eksema atopik,

eksema dermatitis, prurigo Besnier, dan neurodermatitis (Santosa,

2007).

1.2. Definisi

Dermatitis atopik (DA) adalah penyakit kulit inflamasi yang

khas, bersifat kronis dan sering terjadi kekambuhan (eksaserbasi)

terutama mengenai bayi dan anak, dapat pula pada dewasa. Penyakit

ini biasanya disertai dengan peningkatan kadar IgE dalam serum serta

adanya riwayat rinitis alergika dan atau asma pada keluarga maupun

penderita (Harijono, 2007).

Istilah atopi menunjukkan adanya suatu predisposisi genetik

bagi timbulnya DA, asma dan hay fever (Graham-Brown, 2005). Istilah

atopi sejak lama telah diungkapkan oleh Coca dan Cooke (1923), kata

tersebut berasal dari kata atopos (Yunani) yang berarti Out Of Place

atau Strange Diseases (Zulkarnain, 2009).

Konsep yang dianut sekarang, atopi meliputi gejala pada

saluran napas seperti asma dan rinitis serta manifestasi pada kulit

sebagai DA yang menunjukkan respons imun Th2 dengan predisposisi

genetik dengan didapatkan hipereaktivitas organ (sasaran) terhadap

agen farmakologi atau iritan disertai produksi IgE spesifik yang

fakultatif dan aktivitas eosinofil (Harijono, 2007). DA adalah

menifestasi penyakit atopi pertama yang timbul pada seorang anak

(Siregar, 2002).

Page 2: Dermatitis Atopik

5

1.3. Epidemiologi

Sejak tahun 1960an, prevalensi DA naik tiga kali lebih besar.

Diperkirakan pada saat sekarang ini, DA merupakan problem

kesehatan masyarakat yang utama di dunia, dengan prevalensi pada

anak adalah 10-20% di Amerika Serikat, Eropa Utara dan Barat,

Afrika, Jepang, Australia dan negara industri lain (Leung, 2008). Di

negara agraris, misalnya Cina, Eropa Timur, Asia Tengah, prevalensi

DA jauh lebih rendah (Sularsito, 2007).

Penelitian pada tujuh rumah sakit besar di Indonesia, diperoleh

usia terbanyak menderita DA ialah 5-14 tahun (Siregar, 2002). Wanita

lebih banyak menderita DA daripada pria dengan rasio 1,3:1

(Sularsito, 2007).

1.4. Klasifikasi

Terdapat 2 tipe DA, yaitu:

1.4.1. Bentuk ekstrinsik/ alergik

Merupakan bentuk utama (70-80% pasien), terjadi

akibat sensitasi terhadap alergen lingkungan disertai dengan

peningkatan kadar IgE serum.

1.4.2. Bentuk intrinsik/ non alergik

Bentuk ini terdapat pada 20-30% pasien, dengan kadar

IgE rendah dan tanpa sensitasi alergen lingkungan (Soebaryo,

2009).

1.5. Etiopatogenesis

DA adalah penyakit peradangan kulit yang terjadi karena

interaksi yang kompleks antara faktor genetik terkait dengan kelainan

intrinsik sawar kulit, kelainan sistem imun bawaan, dan naiknya

respon terhadap alergi dan antigen mikroba (Leung, 2008). Beberapa

faktor yang berperan dalam DA:

1.5.1. Genetik

Terdapatnya atopi pada orangtua, terutama dermatitis,

berhubungan erat dengan manifestasi dan derajat keparahan

Page 3: Dermatitis Atopik

6

DA pada anak, sedangkan manifestasi atopi lain tidak terlalu

berpengaruh. Terdapat 2 kromosom yang berkaitan erat

dengan DA yaitu kromosom 1q21 dan kromosom 17q25,

meski masih paradoksal karena psoriasis juga terkait dengan

kromosom yang sama meski sajian klinis keduanya berbeda

dan kedua kromosom tersebut tidak terkait dengan penyakit

atopi lainnya. Juga ditemukan peran kromosom 5q31-33 yang

menyandi gen sitokin Th2 (Soebaryo, 2009).

Kromosom 5q31-33 mengandung kumpulan famili gen

sitokin IL-3, IL-4, IL-13, dan GM-CSF, yang diekspresikan

oleh sel Th2. Ekspresi gen IL-4 memainkan peranan penting

dalam ekspresi DA. Perbedaan genetik aktivitas transkripsi

gen IL-4 mempengaruhi predisposisi DA. Ada hubungan yang

erat antara polimorfisme spesifik gen kimase sel mast dan DA,

tetapi tidak dengan asma bronkial atau rinitis alergik. Varian

genetik kimase sel mast, yaitu serine protease yang disekresi

oleh sel mast di kulit, mempunyai efek spesifik pada organ,

dan berperan pada timbulnya DA (Sularsito, 2007).

1.5.2. Sawar kulit

DA ditandai dengan kulit kering, baik di daerah lesi

maupun non-lesi, dengan mekanisme yang kompleks dan

terkait erat dengan kerusakan sawar kulit. Hilangnya ceramide

di kulit, yang berfungsi sebagai molekul utama pengikat air di

ruang ekstraseluler stratum korneum, dianggap sebagai

penyebab kelainan fungsi sawar kulit. Bakteri pada pasien DA

mensekresi ceramidase yang menyebabkan metabolisme

ceramide menjadi sphingosine dan asam lemak, selanjutnya

semakin mengurangi ceramide di stratum korneum, sehingga

menyebabkan kulit semakin kering.

Page 4: Dermatitis Atopik

7

1.5.3. Autoalergen

Sebagian besar serum pasien DA mengandung antibodi

IgE terhadap protein manusia. Autoalergen tersebut

merupakan protein intraselular, yang dapat dikeluarkan karena

kerusakan keratinosit akibat garukan dan dapat memicu

respons IgE atau sel T (Soebaryo, 2009).

1.5.4. Faktor lingkungan

Faktor lingkungan disini yang dimaksud adalah faktor

dari luar. Beberapa peneliti menyebutkan alergen yang umum

antara lain, sebagai berikut:

1.5.4.1. Aeroalergen atau alergen inhalan: tungau debu

rumah (house dust mite), serbuk sari buah (polen),

bulu binatang (animal dander), jamur (molds) dan

kecoa.

1.5.4.2. Makanan : susu, telur, kacang, ikan laut, kerang laut

dan gandum.

1.5.4.3. Mikroorganisme : bakteri seperti Staphylococcus

aureus, Streptococcus species, dan ragi (yeast)

seperti Pityrosporum ovale, Candida albicans dan

Trichophyton species.

1.5.4.4. Bahan iritan atau alergen : wool, desinfektan, nikel,

Peru balsam dan sebagainya (Harijono, 2007).

1.5.5. Faktor psikologis

Pada orang yang normal, ketika stres didapatkan

kenaikan hormon kortisol. Namun pada anak-anak yang

hipersensitif terjadi hiporesponsif “HPA axis”,yaitu

menurunnya produksi kortisol sehingga tidak dapat menekan

reaksi inflamasi. Hal ini menyebabkan eksaserbasi DA. Pasien

DA mempunyai emosi yang berfluktuasi yang berhubungan

dengan berat/ringannya penyakit. Menarche memperberat DA

dan 1/3 dari wanita mengalami timbulnya gejala DA yang

Page 5: Dermatitis Atopik

8

lebih berat pada saat premenstrual, serta pada kehamilan

trimester awal (Mahdi, 2008).

1.6. Imunopatogenesis

Konsep dasar terjadinya DA adalah melalui reaksi

imunologik, yang diperantarai oleh sel-sel yang berasal dari sumsum

tulang (Sularsito, 2007). Konsep imunopatologi ini berdasarkan

bahwa pada pengamatan 75% penderita DA mempunyai riwayat

penyakit atopi lain pada keluarga atau dirinya. Selain itu, beberapa

parameter imunologi dapat ditemukan pada DA, seperti peningkatan

kadar IgE dalam serum pada 60-80% kasus, adanya IgE spesifik

terhadap bermacam aeroalergen dan eosinofilia.

Imunopatogenesis DA dimulai dengan paparan imunogen atau

alergen dari luar yang mencapai kulit, dapat melalui sirkulasi setelah

inhalasi atau secara langsung kontak dengan kulit. Pada pemaparan

pertama terjadi sensitasi, dimana alergen akan “ditangkap” oleh sel

penyaji antigen (antigen presenting cell = APC) untuk kemudian

diproses dan disajikan kepada sel limfosit T dengan bantuan molekul

MHC klas II. Hal ini menyebabkan sel T menjadi aktif dan mengenali

alergen tersebut melalui reseptor (T cell receptor = TCR). Setelah

paparan, sel T akan berdiferensiasi menjadi subpopulasi sel Th2

karena mensekresi IL-4 dan sitokin ini merangsang aktivitas sel B

untuk menjadi sel plasma dan memproduksi IgE (yang spesifik

terhadap alergen). Begitu ada di dalam sirkulasi, IgE segera berikatan

dengan sel mast (mast cell= MC) dan basofil. Pada paparan alergen

berikutnya, IgE telah tersedia pada permukaan sel mast, sehingga

terjadi ikatan antara alergen dengan IgE. Ikatan ini akan

menyebabkan degranulasi MC. Degranulasi MC akan mengeluarkan

mediator baik yang telah tersedia (preformed mediators) seperti

histamin yang akan menyebabkan reaksi segera, ataupun mediator

yang baru dibentuk (newly synthesized mediators) seperti leukotrien

C4 (LTC4), prostaglandin D2 (PGD2) dan lain sebagainya.

Page 6: Dermatitis Atopik

9

Sel Langerhans epidermal (LC) berperan penting pula di

dalam patogenesis DA oleh karena mengekspresikan reseptor pada

permukaan membrannya yang dapat mengikat molekul IgE (Fc RI),

serta mensekresi berbagai sitokin. Apabila ada alergen masuk akan

diikat dan disajikan pada sel T dengan bantuan molekul MHC klas II

dan sel T akan mensekresi limfokin dengan profil Th2 yaitu IL-4, IL-

5, IL-6 dan IL-10. IL-5 secara fungsional bekerja mirip ECF-A

sehingga sel eosinofil ditarik dan berkumpul di tempat lesi, menjadi

aktif dan akan mengeluarkan granula protein yang akan membuat

kerusakan jaringan (Harijono, 2007).

1.7. Manifestasi Klinis

Manifestasi klinis DA berbeda pada setiap tahapan atau fase

perkembangan kehidupan, mulai saat bayi hingga saat dewasa

(Zulkarnain, 2009).

Menurut Roesyanto (2000), terdapat tiga bentuk klinis DA,

yaitu tipe infantil, tipe anak, dan tipe dewasa.

1.7.1. Tipe infant (<2 tahun)

Lesi berupa eritema, papulo vesikel miliar yang sangat

gatal, karena garukan terjadi erosi, ekskoriasi dan eksudasi

atau krusta, tidak jarang mengalami infeksi. Predileksi tipe ini

pada kulit kepala, muka, daerah popok dan daerah ekstensor

ekstrimitas.

1.7.2. Tipe Anak (2-12 tahun)

Dapat berupa kelanjutan dari bentuk infantil atau

timbul sendiri (de novo). Lesi kering, likenifikasi, batas tidak

tegas, karena garukan terlihat pula ekskoriasi memanjang dan

krusta. Predileksi tipe ini pada lipat siku, lipat lutut, leher,

pergelangan tangan, kaki, jarang mengenai muka.

1.7.3. Tipe Dewasa (> 12 tahun)

Predileksi tipe ini pada muka (dahi, kelopak mata,

perioral), leher, dada bagian atas, lipat siku dan biasanya

Page 7: Dermatitis Atopik

10

simetris. Gejala utamanya adalah pruritus, kelainan kulit

berupa likenifikasi, papul, ekskoriasi dan krusta. Umumnya

berlangsung lama, tetapi intensitas cenderung menurun setelah

usia 30 tahun. Sebagian kecil dapat terus berlangsung sampai

tua.

Selain gejala utama yang telah diterangkan, juga ada gejala lain

yang tidak selalu terdapat, yang dikenal dengan kriteria minor, seperti

pada kriteria diagnosis Hanifin dan Rajka (tabel 1) (Harijono, 2007).

1.8. Diagnosis

Untuk menegakkan diagnosis DA, pada tahun 1980 telah dibuat

kriteria oleh Hanifin dan Rajka (Roesyanto, 2000). Kriteria ini yang

sampai sekarang masih digunakan (Harijono, 2007). Kriteria tersebut

dapat dilihat pada tabel 1. Diagnosis DA harus mempunyai tiga kriteria

mayor dan tiga kriteria minor (Sularsito, 2007).

Kriteria Mayor Kriteria Minor

Pruritus

Klinis dan distribusi yang

khas.

-Dewasa: Lipatan mengalami

likenifikasi yang linear.

-Bayi dan anak: Muka dan

bagian ekstensor.

Kronis dan sering kambuh

Adanya riwayat atopik

(asma, DA, rinitis/

konjungtivitis) pada

penderita maupun

keluarganya.

Kulit kering(Xerosis)

Iktiosis/ palmar hiperlinear/

keratosis pilaris

Reaktivitas uji kulit tipe I (dijumpai

80% penderita)

Kadar IgE meningkat (bila kadarnya

> 2000 IU dapat menyokong

diagnosis DA, 20% penderita

kadarnya normal)

Dimulai pada usia dini (biasanya

usia 3-6 bulan)

Kecenderungan mendapat infeksi

kulit (infeksi stafilokokus dan

herpes simplek), gangguan imunitas

seluler)

Kecenderungan menderita dermatitis

pada tangan dan kaki yang tidak

spesifik

Dermatitis pada puting susu

Cheilitis

Konjungtivitis yang berulang- ulang

Lipatan Dennie-Morgan pada infra

Tabel 1. Kriteria Diagnosis dari Hanifin dan Rajka untuk DA

Page 8: Dermatitis Atopik

11

orbitalis

Keratokonus

Katarak subkapsuler anterior

Hiperpigmentasi infra orbita

Muka pucat/ muka merah

Pitiriasis Alba

Lipatan pada leher bagian depan

Gatal bila berkeringat

Intoleran terhadap wol dan larutan

lemak

Aksentuasi perifolokular

Intoleran terhadap makanan

Perjalanan penyakit dipengaruhi

oleh faktor lingkungan/ emosi

Dermografi putih/ delayed blanch

(Roesyanto, 2000)

1.9. Pemeriksaan Penunjang

Pada kasus yang sulit dibedakan dengan dermatitis lainnya

diperlukan pemeriksaan uji kulit, kadar IgE total dan IgE spesifik

(RAST) serta uji tempel dengan tungau debu rumah (Siregar, 2002).

1.9.1. Uji kulit

Uji kulit dapat dilakukan dengan cara uji gores (scratch

test), uji tusuk (prick test), dan uji suntik intradermal

(intradermal test) (Harsono, 2007). Uji kulit dilakukan untuk

mengetahui IgE pada kepekaan alergi terhadap alergen yang

menimbulkan reaksi cepat, misalnya inhalan, makanan dan

penisilin (Garna, 2002).

1.9.2. IgE total dan IgE spesifik

Pemeriksaan IgE total dengan PRIST (paper

radioimmunosorbent test) atau yang sepadan, berguna untuk

menentukan status alergi penderita. Harga normal adalah 100

µ/ml sampai umur 20 tahun. Kadar IgE lebih dari 300 µ/ml

pada umumnya menunjukkan bahwa penderita adalah atopi,

atau mengalami infeksi parasit, atau keadaan depresi imun

seluler.

Page 9: Dermatitis Atopik

12

Pemeriksaan IgE spesifik biasanya dilakukan dengan

RAST (radio allergosorbent test). IgE spesifik terhadap

makanan tertentu dapat dipakai sebagai prediksi adanya reaksi

alergi tipe cepat dan lambat terhadap makanan tersebut

(Harsono, 2007).

1.9.3. Uji tempel tungau debu rumah

Pada pemeriksaan ini, alergen yang kemungkinan

menjadi penyebab, dalam hal ini ekstrak tungau debu rumah,

dilarutkan dalam media yang sesuai. Bahan-bahan tes

ditempatkan pada lempengan- lempengan tipis yang

ditempelkan pada kulit (biasanya di daerah punggung) selama

48 jam (Graham-Brown, 2005).

1.10. Komplikasi

Komplikasi DA dapat berupa infeksi virus, jamur, bahkan

bakteri Staphilococcus aureus pada 90% kasus DA (Mahdi, 2008).

Infeksi virus yang paling parah adalah Herpes simpleks dimana

dapat menyerang pasien DA semua umur, disebut Eksema

herpetikum. Sedangkan infeksi virus smallpox yang disebut

eksema vaksinatum ini sudah jarang dijumpai, biasanya terjadi

pada pemberian vaksin varisela, baik pada keluarga maupun

penderita. lnfeksi Herpes simplex terjadi akibat tertular oleh salah

seorang anggota keluarga. Terjadi vesikel pada daerah dermatitis,

mudah pecah dan membentuk krusta, kemudian terjadi penyebaran

ke daerah kulit normal (Leung, 2008).

Pada anak penderita DA, 75% akan disertai penyakit alergi

lain di kemudian hari (Santosa, 2007). Anak yang menderita DA

pada saat awal kehidupan mempunyai risiko terjadinya rinitis

alergik dan asma bronkial di kemudian hari. Kecenderungan ini

disebut Allergic March (Liu, 2006).

Page 10: Dermatitis Atopik

13

1.11. Diagnosis Banding

1.11.1. Dermatitis Seboroik

Dermatitis seboroik ditandai oleh suatu erupsi

berskuama, salmon-colored atau kuning berminyak yang

mengenai kulit kepala, pipi, badan, ekstrimitas dan diaper

area. Gambaran utama yang membedakan antara lain:

awitan yang lebih awal, lesi yang berwarna kekuningan,

berminyak, atau salmon-colored. Di daerah intertriginosa

lesi berupa erupsi sirkumkripta, berbatas tegas, relatif

tidak ada rasa gatal.

1.11.2. Dermatitis Kontak

Dermatitis kontak dapat dibagi menjadi dermatitis

kontak iritan dan dermatitis kontak alergi. Dermatitis

kontak iritan sering terjadi pada bayi dan anak-anak muda.

Pada penyakit ini, tempat erupsi bervariasi tergantung dari

bahan penyebab. Biasanya terlihat pada pipi dan dagu

(berhubungan dengan sekresi ludah dan gesekan pada

daerah yang terkena), sisi ekstensor ekstrimitas (akibat

pajanan terhadap tinja, air seni, sabun, deterjen, dan

preparat bedak kasar).

Kelainan pada dermatitis iritasi primer biasanya

lebih lembut, derajat gatal ringan dan tidak berbentuk

eczematozoid seperti erupsi yang terlihat pada DA.

1.11.3. Dermatitis Numularis

Dermatitis numularis (numularis berasal dari kata

Latin yang artinya “seperti koin”) adalah suatu penyakit

yang ditandai oleh lesi yang berbentuk koin.

1.11.4. Psoriasis

Secara keseluruhan lesi psoriasis berwarna merah

dan skuama seperti perak micaceous (seperti mika).

Predileksi lesi psoriasis adalah pada permukaan ekstensor,

Page 11: Dermatitis Atopik

14

terutama pada siku dan lutut, kulit kepala dan daerah

genital.

1.11.5. Skabies

Diagnosis skabies ditegakkan dengan adanya

riwayat rasa gatal di malam hari, distribusi lesi yang khas,

dengan lesi primer yang patognomonik berupa adanya

burrow, identifikasi positif ditemukan adanya kutu pada

pemeriksaan mikroskopik dari kikisan kulit, dan adanya

infestasi di antara anggota keluarga pasien.

1.11.6. Penyakit Lettere-Siwe

Biasanya terjadi pada tahun pertama dari

kehidupan. Pada penyakit ini, erupsi kulit biasanya mulai

dengan skuama, eritematosa, seborrhea-like pada kulit

kepala, di belakang telinga, dan pada daerah intertriginosa.

Pada pemeriksaan yang cermat, ditemukan lesi warna

cokelat kemerah-merahan atau purpuric papul atau

vesikular atau crusted papules (pada bayi). Bila diagnosis

sulit ditegakkan, biopsi kulit dapat mengkorfimasikan asal

erupsi sebenarnya.

1.11.7. Acrodermatitis enteropathica

Acrodermatitis enteropathica adalah suatu penyakit

herediter yang ditandai dengan lesi vesikulobullous

eczematoid di daerah akral dan periorifisial, kegagalan

pertumbuhan, diare, alopesia, kekurangan gizi, dan infeksi

kandida atau sering disebabkan disertai infeksi sekunder

akibat bakteri.

1.11.8. Sindroma Wiskott-Aldrich

Sindroma Wiskott-Aldrich adalah suatu penyakit X-

linked resesif yang jarang ditemukan, hanya ditemukan

pada anak-anak lelaki muda, ditandai dengan dermatitis

eksematosa rekalsitrant, disfungsi platelet, trombositopeni,

Page 12: Dermatitis Atopik

15

infeksi piogenik rekuren, dan otitis media supurativa

(Zulkarnain, 2009).

1.12. Penatalaksanaan

Sampai saat ini pengobatan DA bersifat simptomatik, oleh

karena etiologi belum diketahui dan pemahaman patogenesis

belum terungkap secara tuntas (Harijono, 2007). Penatalaksanaan

DA terutama ditujukan untuk mengurangi tanda dan gejala

penyakit, mencegah atau mengurangi kekambuhan sehingga dapat

mengatasi penyakit dalam jangka waktu lama, serta mengubah

perjalanan penyakit (Sugito, 2009).

Menurut Harijono (2007), pengobatan DA dapat dibagi

berdasar kondisi penyakit, yaitu pengobatan pada kekambuhan

akut, pengobatan untuk maintenance dan pengobatan pada DA

berat dan sulit diobati (severe and refractory).

1.12.1. Pengobatan DA akut (Accute Flare Treatment)

Setelah diagnosis DA ditegakkan diberikan

pengobatan non-farmacological lebih dahulu, yaitu:

1.12.1.1. Penderita diberi edukasi tentang penyakitnya.

1.12.1.2. Pemakaian moisturizer: digunakan pada seluruh

tubuh dua kali sehari kecuali pada lesi akut,

dipilih bentuk water in oil, hindari produk

dengan bahan pengawet dan parfum.

1.12.1.3. Mencegah faktor pemicu: identifikasi alergen

dengan anamnesis yang cermat dan tes alergi

(skin prick test) kemudian nasihat untuk

menghindari alergen makanan.

Kemudian diberikan pengobatan dengan obat-

obat (pharmacological-treatment), antara lain:

1.11.1.1. Topikal kortikosteroid

1.11.1.2. Calcineurin inhibitor (topikal)

1.11.1.3. Antibiotika oral atau topikal

Page 13: Dermatitis Atopik

16

1.11.1.4. Antihistamin (oral)

1.11.2. Pengobatan maintenance, pada penderita yang

penyakitnya terus menerus atau sering kambuh:

1.11.2.1. Non-pharmacological treatment (seperti di

atas) dilanjutkan.

1.11.2.2. Pharmacotherapy:

1.11.2.2.1. Topikal calcineurin inhibitor,

dimulai bila ada tanda dini

kekambuhan.

1.11.2.2.2. Kortikosteroid topikal untuk

pemakaian jangka panjang, dapat

dikombinasi secara selang seling

(intermitten) dengan calcineurin.

1.11.2.2.3. Antihistamin, terutama bila ada

gangguan tidur.

1.11.2.2.4. Bila ada infeksi sekunder diberikan

antibiotik, antivirus, atau antifungal.

1.11.3. Pengobatan DA bentuk berat dan refractory

Dianjurkan untuk dirujuk dan dipertimbangkan

untuk psikoterapi atau psychopharmacological disamping

pengobatan seperti berikut:

1.11.3.1. Non-pharmacological treatment (seperti di atas)

dilanjutkan dan bila perlu diberi fototerapi.

1.11.3.2. Pharmacotheraphy :

1.11.3.2.1. Kortikosteroid topikal golongan kuat

(poten)

1.11.3.2.2. Kortikosteroid oral

1.11.3.2.3. Immunosupressent (oral):

1.11.3.2.3.1. Ciclosporin

1.11.3.2.3.2. Azanthioprine

Page 14: Dermatitis Atopik

17

1.13. Prognosis

Dengan pengendalian faktor- faktor yang cukup diketahui

memicu gatal, pengobatan lokal yang tepat dan dukungan

pengertian dari orangtua anak yang padanya tidak ada obat yang

dapat cepat diharapkan, pengendalian DA yang masuk akal,

biasanya mungkin. Perbaikan biasanya terjadi dalam 5 tahun (Sly,

2000).

DA akan berkurang pada usia 12 tahun akan tetapi ada

kemungkinan organ sasaran berpindah karena 50-80% anak ini

akan mengalami rinitis alergika dan asma (Harsono, 2007).

2. Susu Formula

2.1. Definisi

Susu adalah cairan putih dihasilkan oleh hewan ternak

mamalia dan diperoleh dengan cara pemerahan (Saleh, 2004).

Sedangkan susu formula adalah cairan atau bubuk dengan formula

tertentu yang diberikan kepada bayi dan anak-anak (Akib cit

Hikmawati, 2008).

2.2. Jenis Susu Formula

Berdasarkan jenis dan sifat kandungan protein, susu

formula dapat diklasifikasikan ke dalam tiga kategori besar yaitu:

2.2.1. Formula dengan Bahan Dasar Susu Sapi

Susu sapi murni, maupun bentuk modifikasinya

merupakan dasar pada kebanyakan formula (Barness,

2000). Formula susu sapi yang belum diolah mengandung

sekitar 19% whey (sapi) dan sekitar 82% casein (sapi),

sedangkan formula yang sudah „humanized‟

(dimanusiawikan) mengandung sekitar 60% whey (sapi)

dan sekitar 40% casein.

Page 15: Dermatitis Atopik

18

2.2.2. Formula dengan Bahan Dasar Protein Kedelai

Kedelai adalah sumber protein komersial kedua

yang digunakan dalam formula bayi. Protein kedelai adalah

jenis protein ketiga tersering yang dijumpai dalam formula

bayi, dua yang lainnya adalah casein dan whey.

2.2.3. Formula Hidrolisat Protein

Formula hidrolisat protein semula dikembangkan

bagi bayi yang tidak dapat mencerna protein utuh atau

sangat alergi terhadap formula protein utuh. Formula-

formula ini mengandung protein yang dihidrolisis terutama

menjadi peptida dengan panjang bervariasi dan sebagian

asam amino bebas. Tidak semua formula hidrolisat protein

sama. Berbagai formula yang saat ini tersedia berbeda

dalam sumber protein dan derajat hidrolisis proteinnya

(Leleiko, 2006).

2.3. Komposisi Susu Formula

Komposisi beberapa produk susu formula dapat dilihat

pada tabel 2.

Tabel 2. Komposisi Beberapa Macam Susu Formula

Susu

Formula

Energi

(kcal)

Protein

(g)

Lemak

(g)

Karbo-

hidrat

(g)

Kalsium

(mg)

Fosfat

(mg)

Zat

Besi

(mg)

Similac

(Ross)

676 14.0 36.6 73.0 528 284 12.2

Enfamil

(Mead

Johnson)

670 14 35.3 72.7 520 287 12.1

Lactofree

(Mead

Johnson)

670 14.0 35.3 72.7 546 369 12.0

Good

Start

Supreme

(Nestle)

670 14.7 34.2 75 429 241 10.1

(Trahms and McKean, 2008)

Page 16: Dermatitis Atopik

19

2.4. Kebaikan dan Keburukan Susu Formula

2.4.1. Kebaikan

2.4.1.1. Susu merupakan bahan makanan yang perlu untuk

manusia (Tirtawinata, 2006), sebagaimana

diisyaratkan dalam Q.S An-Nahl (16):66.

Dan sesungguhnya pada binatang ternak

itu terdapat suatu pelajaran. Dari sela-sela

tubuhnya, antara kotoran dan darah, Kami

keluarkan untuk minumanmu, susu murni dan

mudah dicerna bagi mereka yang meminumnya.

2.4.1.2. Membantu ibu pada kondisi kontraindikasi untuk

menyusui, misal: produksi ASI kurang memadai

(Hassan, 2005).

2.4.1.3. Susu formula dapat sebagai suplemen apabila ASI

tidak praktis untuk disimpan (Leleiko, 2006).

2.4.2. Keburukan

2.4.2.1. Susu formula menurunkan hubungan kejiwaan

antara ibu dan anak (FK USU, 2009).

2.4.2.2. Susu formula meningkatkan risiko terjadinya

penyakit atopi, yaitu DA, asma bronkial dan rinitis

alergika. Risiko tinggi pada bayi dan anak yang

memiliki riwayat atopi di keluarga (Yeung et al,

2001).

2.4.2.3. Kandungan protein dan beberapa mineral susu

sapi yang tinggi menyebabkan meningkatnya

beban osmolar pada ginjal bayi (Khomsan, 2003).

2.4.2.4. Bayi lebih mudah terkena infeksi saluran cerna

dan pernapasan, kurang gizi, mudah terkena alergi

dan intoleransi laktosa serta kelebihan berat badan

(Matondang, 2007).

Page 17: Dermatitis Atopik

20

2.4.2.5. Protein susu sapi sebagai zat asing bisa

merangsang proses autoimmune di dalam sel

pankreas. Bila kelenjar pankreas rusak, penyakit

diabetes mellitus berisiko muncul saat anak

dewasa kelak (Rosita, 2009).

2.4.2.6. Bagi ibu, meningkatkan risiko kanker, kelebihan

berat badan dan osteoporosis, meningkatkan stres

dan kecemasan serta mengurangi jarak alami

kelahiran anak. Ibu yang menyusui bayinya,

mengalami “lactational amenorrheoa” yaitu

periode tidak menstruasi, yang lebih lama,

dibandingkan dengan yang tidak (INFACT, 2006).

2.5. Keunggulan ASI Dibanding Dengan Susu Formula

2.5.1. ASI merupakan makanan pertama dan juga makanan utama

untuk bayi (Tirtawinata, 2006). Betapa pentingnya ibu

menyusui bagi bayinya, dapat dirujuk dari Q.S Al-Baqarah

(2): 233 yang artinya sebagai berikut:

Dan para ibu hendaklah menyusukan anak-anak

mereka selama dua tahun penuh bagi yang ingin

menyempurnakan penyusuan itu. Dan kewajiban pihak

ayah untuk menanggung segala nafkah (rizki), makanan

dan pakaian mereka dengan cara yang patut.

2.5.2. ASI secara bermakna akan mengurangi sakit yang berat.

Bayi susu formula kemungkinan dirawat di rumah sakit

karena infeksi bakteri hampir empat kali lebih sering

dibanding bayi ASI eksklusif (Roesli, 2000).

2.5.3. Secara alami komposisi ASI berubah- ubah dari jam ke

jam. Di ujung porsi ASI, kandungan lemak ASI lebih pekat

sehingga memberi sensasi kenyang pada bayi, lalu bayi

secara naluri akan menghentikan sendiri kegiatan

menyusunya (Rosita, 2008).

Page 18: Dermatitis Atopik

21

2.5.4. Menyusui meningkatkan jalinan kasih sayang antara ibu

dan bayi (Roesli, 2000).

2.5.5. Ibu yang menyusui bayinya, kemungkinan untuk

mengalami perdarahan rahim pasca persalinan lebih kecil.

Fenomena aktualnya adalah memperpendek masa nifas,

sehingga pemulihan kesehatan ibu lebih cepat (Tirtawinata,

2006).

2.5.6. Kandungan ASI dibanding dengan susu formula

2.5.6.1. Lemak

Lemak ASI akan mudah dicerna dan

diserap oleh bayi, karena ASI juga mengandung

enzim lipase yang mencerna lemak. Lemak utama

ASI adalah lemak ikatan panjang (omega-3,

omega-6, DHA, arachidonic acid) suatu asam

lemak esensial yang merupakan komponen

penting untuk myelinisasi. Lemak ini sedikit atau

tidak ada pada susu sapi (Roesli, 2000).

2.5.6.2. Protein

Kandungan protein ASI lebih rendah,

sesuai dengan kebutuhan bayi yang tidak

membutuhkan banyak protein. Kandungan casein

ASI lebih sedikit dan kandungan whey ASI

mengandung protein anti-infektif (Rosita, 2008).

Protein ASI terdiri atas semua asam amino

esensial yang lengkap, sehingga protein score-

nya mendekati 100. Demikian juga mudah

dicerna dengan derajat cerna 100% (Tirtawinata,

2006).

Page 19: Dermatitis Atopik

22

2.5.6.3. Karbohidrat

ASI mengandung banyak laktosa sehingga

rasanya sudah manis tanpa harus ditambah gula

atau pemanis buatan.

2.5.6.4. Vitamin

Kandungan vitamin A dan C pada ASI lebih

tinggi.

2.5.6.5. Mineral

Lima puluh persen zat besi dalam ASI dapat

diserap bayi, sementara hanya sepuluh persen zat

besi dalam susu bayi yang bisa diserap.

2.5.6.6. Zat hidup

ASI mengandung sel- sel darah putih,

sejumlah faktor infektif dan berbagai antibodi

terhadap infeksi yang pernah dialami ibu di masa

lampau (Rosita, 2008). Imunoglobulin yang utama

pada ASI adalah Ig-A secretory (SIgA). SIgA

pada kolostrum dan ASI matur selain bekerja

sebagai antibakteri juga mencegah terabsorbsinya

makromolekul asing, sehingga bayi yang

mendapat kolostrum dan ASI jarang terkena alergi

(Soetjiningsih, 1997).

2.5.6.7. Enzim

ASI mengandung kadar lisozim yang ribuan

kali lebih banyak dibanding susu sapi. Enzim ini

bersifat bakteriostatik. Ada pula enzim

lactoperoksidase si pembunuh kuman. Faktor

bifidus yang 40 kali lebih banyak dari yang

terkandung dalam susu sapi, bertugas mematikan

kuman perut (Rosita, 2000).

Page 20: Dermatitis Atopik

23

3. Mekanisme Terjadinya Dermatitis Atopik yang Disebabkan Susu

Formula

Tonsil, bersama dengan Peyer’s patch, nodus limfatik pada

appendiks dan saluran napas merupakan bagian dari sistem imun mukosa

(Pinchuk, 2002). Sistem ini dikenal dengan sebutan mucosal-associated

lymphoid tissues (MALT) (Chaplin, 2003). MALT berfungsi memberikan

respon imunologik lokal pada permukaan mukosa. Karena jaringan limfoid

ini selain berisi limfosit juga berisi fagosit, MALT mampu memberikan

respon nonspesifik maupun spesifik. Di dalam jaringan limfoid sepanjang

saluran cerna dan saluran napas dibentuk secretory IgA (sIgA) dan IgE

yang disekresikan untuk mempertahankan tubuh terhadap antigen yang

masuk melalui mukosa (Kresno, 2001).

Peyer’s patch adalah nodus limfatik yang terdapat di sepanjang

permukaan mukosa usus halus (Chaplin, 2003). Epitel usus (foleicle

associated epithelium-FAE) dijumpai sepanjang Peyer’s patch yang

mengandung sel M (microfold cell) yang akan membawa patogen ke

jaringan limfoid (Roesyanto, 2009). Sel M adalah sel epitel saluran cerna

yang pinositik aktif, berperan dalam mengantarkan antigen (Kuby, 1997).

Sel M tersebar di antara sel usus karena sel ini mengandung banyak

microfold pada permukaan lumennya. Di bawah sel M ada daerah yang

disebut dome, berbentuk kantongan yang mengandung limfosit B dan

limfosit T, sel dendrit dan makrofag (Roesyanto, 2009).

Antigen yang masuk melalui sel M akan ditangkap oleh sel dendrit

dan makrofag, kemudian disajikan ke sel T yang akan mengaktivasi sel B.

Selanjutnya kedua sel ini akan menuju mucosal lymph node (MLN) dan

masuk ke sirkulasi darah melalui duktus torasikus. Alergen ini cepat

tersebar ke sel mast di kulit melalui aliran darah. Bergeraknya limfosit

menembus endotel usus karena adanya molekul adesi (MadCAM-1) dan

kemokin. Sel B akan menyebar dan mengalami diferensiasi, kemudian

kembali ke lamina propria usus (Roesyanto, 2009). Sel B berdiferensiasi

menjadi sel plasma yang mensekresi IgA. Kemudian, IgA ini melintasi sel

Page 21: Dermatitis Atopik

24

epitel dan disekresikan ke dalam lumen sehingga sIgA ini akan

berinteraksi dengan antigen yang dipresentasikan ke dalam lumen (Kuby,

1997).

Alergen makanan cepat diabsorbsi dan melewati sawar mukosa

gastrointestinal melalui aliran darah, kemudian dibawa ke seluruh tubuh

dan menyebar ke sel mast di kulit sehingga menimbulkan rasa gatal dan

menyebabkan lesi DA (Roesyanto, 2009). Pada pemaparan pertama terjadi

sensitasi, dimana alergen akan “ditangkap” oleh sel penyaji antigen

(antigen presenting cell = APC) untuk kemudian diproses dan disajikan

kepada sel limfosit T dengan bantuan molekul MHC klas II. Hal ini

menyebabkan sel T menjadi aktif dan mengenali alergen tersebut melalui

reseptor (T cell receptor = TCR). Setelah paparan, sel T akan

berdiferensiasi menjadi subpopulasi sel Th2 karena mensekresi IL-4 dan

sitokin ini merangsang aktivitas sel B untuk menjadi sel plasma dan

memproduksi IgE (yang spesifik terhadap alergen). Begitu ada di dalam

sirkulasi, IgE segera berikatan dengan sel mast (mast cell= MC) dan

basofil. Pada paparan alergen berikutnya, IgE telah tersedia pada

permukaan sel mast, sehingga terjadi ikatan antara alergen dengan IgE.

Ikatan ini akan menyebabkan degranulasi MC. Degranulasi MC akan

mengeluarkan mediator baik yang telah tersedia (preformed mediators)

seperti histamin yang akan menyebabkan reaksi segera, ataupun mediator

yang baru dibentuk (newly synthesized mediators) seperti leukotrien C4

(LTC4), prostaglandin D2 (PGD2) dan lain sebagainya (Harijono, 2007).

Secara mekanik, integritas mukosa usus dan peristaltik merupakan

pelindung masuknya alergen ke dalam tubuh. Secara kimiawi, asam

lambung dan enzim pencernaan menyebabkan denaturasi alergen. Secara

imunologik, sIgA pada permukaan mukosa dan limfosit pada lamina

propria dapat menangkal alergen masuk dalam tubuh. Pada usus imatur

sistem pertahanan tubuh masih lemah dan gagal berfungsi sehingga

memudahkan alergen masuk ke dalam tubuh (Harsono, 2007).

Page 22: Dermatitis Atopik

25

Susu sapi adalah protein asing utama yang diberikan kepada

seorang bayi. Susu sapi mengandung sedikitnya 20 komponen protein

yang dapat merangsang produksi antibodi manusia. Protein susu sapi

terdiri dari 2 fraksi yaitu casein dan whey. Fraksi casein yang membuat

susu berbentuk kental (milky) dan merupakan 76% sampai 86% dari

protein susu sapi. Fraksi casein dapat dipresipitasi dengan zat asam pada

pH 4,6 yang menghasilkan 5 casein dasar yaitu α, αδ, β, k dan γ. Beberapa

protein whey mengalami denaturasi dengan pemanasan ekstensif (albumin

serum bovin, gamaglobulin bovin, dan α- laktoglobulin (Munasir, 2007).

Pada penelitian, diperoleh fraksi alergenik susu sapi adalah β-

lactoglobulin, diikuti oleh casein dan α-lactoglobulin. Albumin dan

globulin merupakan komponen alergenik paling sedikit. Reaksi alergik

susu sapi kemungkinan disebabkan oleh substansi asing pada susu

dibandingkan kandungan susunya. Substansi asing itu diperoleh pada saat

pengambilan dan pada saat susu tersebut diproses.

Reaksi yang tidak diinginkan terhadap susu dapat terjadi secara

imunologik dan non-imunologik. Pada 29% pasien yang mengalami reaksi

yang diperantarai IgE akan menjadi toleran, sedangkan 74% yang non-

imunologik akan menjadi toleran (Roesyanto, 2009).

Page 23: Dermatitis Atopik

26

B. Kerangka Berpikir

Gambar 1. Kerangka Berpikir

C. Hipotesis

Lingkungan

SIgA <<

Th1 , Th2

IgE

Dermatitis Atopik

Kerang laut

Ikan laut

Telur

Gandum

Kacang

Genetik

Autoalergen

Sawar kulit

Psikologis

Susu formula

Bahan dasar susu sapi

Mikroorganisme

Bahan iritan

Aeroalergen

Mukosa usus halus

Makanan

Susu

Page 24: Dermatitis Atopik

27

Ada hubungan antara konsumsi susu formula dengan kejadian DA anak.