dermatitis atopik
DESCRIPTION
Susu formula dengan dermatitis atopikTRANSCRIPT
4
BAB II
TINJAUAN PUSTAKA
A. Landasan Teori
1. Dermatitis Atopik
1.1. Sinonim
Nama lain untuk dermatitis atopik adalah eksema atopik,
eksema dermatitis, prurigo Besnier, dan neurodermatitis (Santosa,
2007).
1.2. Definisi
Dermatitis atopik (DA) adalah penyakit kulit inflamasi yang
khas, bersifat kronis dan sering terjadi kekambuhan (eksaserbasi)
terutama mengenai bayi dan anak, dapat pula pada dewasa. Penyakit
ini biasanya disertai dengan peningkatan kadar IgE dalam serum serta
adanya riwayat rinitis alergika dan atau asma pada keluarga maupun
penderita (Harijono, 2007).
Istilah atopi menunjukkan adanya suatu predisposisi genetik
bagi timbulnya DA, asma dan hay fever (Graham-Brown, 2005). Istilah
atopi sejak lama telah diungkapkan oleh Coca dan Cooke (1923), kata
tersebut berasal dari kata atopos (Yunani) yang berarti Out Of Place
atau Strange Diseases (Zulkarnain, 2009).
Konsep yang dianut sekarang, atopi meliputi gejala pada
saluran napas seperti asma dan rinitis serta manifestasi pada kulit
sebagai DA yang menunjukkan respons imun Th2 dengan predisposisi
genetik dengan didapatkan hipereaktivitas organ (sasaran) terhadap
agen farmakologi atau iritan disertai produksi IgE spesifik yang
fakultatif dan aktivitas eosinofil (Harijono, 2007). DA adalah
menifestasi penyakit atopi pertama yang timbul pada seorang anak
(Siregar, 2002).
5
1.3. Epidemiologi
Sejak tahun 1960an, prevalensi DA naik tiga kali lebih besar.
Diperkirakan pada saat sekarang ini, DA merupakan problem
kesehatan masyarakat yang utama di dunia, dengan prevalensi pada
anak adalah 10-20% di Amerika Serikat, Eropa Utara dan Barat,
Afrika, Jepang, Australia dan negara industri lain (Leung, 2008). Di
negara agraris, misalnya Cina, Eropa Timur, Asia Tengah, prevalensi
DA jauh lebih rendah (Sularsito, 2007).
Penelitian pada tujuh rumah sakit besar di Indonesia, diperoleh
usia terbanyak menderita DA ialah 5-14 tahun (Siregar, 2002). Wanita
lebih banyak menderita DA daripada pria dengan rasio 1,3:1
(Sularsito, 2007).
1.4. Klasifikasi
Terdapat 2 tipe DA, yaitu:
1.4.1. Bentuk ekstrinsik/ alergik
Merupakan bentuk utama (70-80% pasien), terjadi
akibat sensitasi terhadap alergen lingkungan disertai dengan
peningkatan kadar IgE serum.
1.4.2. Bentuk intrinsik/ non alergik
Bentuk ini terdapat pada 20-30% pasien, dengan kadar
IgE rendah dan tanpa sensitasi alergen lingkungan (Soebaryo,
2009).
1.5. Etiopatogenesis
DA adalah penyakit peradangan kulit yang terjadi karena
interaksi yang kompleks antara faktor genetik terkait dengan kelainan
intrinsik sawar kulit, kelainan sistem imun bawaan, dan naiknya
respon terhadap alergi dan antigen mikroba (Leung, 2008). Beberapa
faktor yang berperan dalam DA:
1.5.1. Genetik
Terdapatnya atopi pada orangtua, terutama dermatitis,
berhubungan erat dengan manifestasi dan derajat keparahan
6
DA pada anak, sedangkan manifestasi atopi lain tidak terlalu
berpengaruh. Terdapat 2 kromosom yang berkaitan erat
dengan DA yaitu kromosom 1q21 dan kromosom 17q25,
meski masih paradoksal karena psoriasis juga terkait dengan
kromosom yang sama meski sajian klinis keduanya berbeda
dan kedua kromosom tersebut tidak terkait dengan penyakit
atopi lainnya. Juga ditemukan peran kromosom 5q31-33 yang
menyandi gen sitokin Th2 (Soebaryo, 2009).
Kromosom 5q31-33 mengandung kumpulan famili gen
sitokin IL-3, IL-4, IL-13, dan GM-CSF, yang diekspresikan
oleh sel Th2. Ekspresi gen IL-4 memainkan peranan penting
dalam ekspresi DA. Perbedaan genetik aktivitas transkripsi
gen IL-4 mempengaruhi predisposisi DA. Ada hubungan yang
erat antara polimorfisme spesifik gen kimase sel mast dan DA,
tetapi tidak dengan asma bronkial atau rinitis alergik. Varian
genetik kimase sel mast, yaitu serine protease yang disekresi
oleh sel mast di kulit, mempunyai efek spesifik pada organ,
dan berperan pada timbulnya DA (Sularsito, 2007).
1.5.2. Sawar kulit
DA ditandai dengan kulit kering, baik di daerah lesi
maupun non-lesi, dengan mekanisme yang kompleks dan
terkait erat dengan kerusakan sawar kulit. Hilangnya ceramide
di kulit, yang berfungsi sebagai molekul utama pengikat air di
ruang ekstraseluler stratum korneum, dianggap sebagai
penyebab kelainan fungsi sawar kulit. Bakteri pada pasien DA
mensekresi ceramidase yang menyebabkan metabolisme
ceramide menjadi sphingosine dan asam lemak, selanjutnya
semakin mengurangi ceramide di stratum korneum, sehingga
menyebabkan kulit semakin kering.
7
1.5.3. Autoalergen
Sebagian besar serum pasien DA mengandung antibodi
IgE terhadap protein manusia. Autoalergen tersebut
merupakan protein intraselular, yang dapat dikeluarkan karena
kerusakan keratinosit akibat garukan dan dapat memicu
respons IgE atau sel T (Soebaryo, 2009).
1.5.4. Faktor lingkungan
Faktor lingkungan disini yang dimaksud adalah faktor
dari luar. Beberapa peneliti menyebutkan alergen yang umum
antara lain, sebagai berikut:
1.5.4.1. Aeroalergen atau alergen inhalan: tungau debu
rumah (house dust mite), serbuk sari buah (polen),
bulu binatang (animal dander), jamur (molds) dan
kecoa.
1.5.4.2. Makanan : susu, telur, kacang, ikan laut, kerang laut
dan gandum.
1.5.4.3. Mikroorganisme : bakteri seperti Staphylococcus
aureus, Streptococcus species, dan ragi (yeast)
seperti Pityrosporum ovale, Candida albicans dan
Trichophyton species.
1.5.4.4. Bahan iritan atau alergen : wool, desinfektan, nikel,
Peru balsam dan sebagainya (Harijono, 2007).
1.5.5. Faktor psikologis
Pada orang yang normal, ketika stres didapatkan
kenaikan hormon kortisol. Namun pada anak-anak yang
hipersensitif terjadi hiporesponsif “HPA axis”,yaitu
menurunnya produksi kortisol sehingga tidak dapat menekan
reaksi inflamasi. Hal ini menyebabkan eksaserbasi DA. Pasien
DA mempunyai emosi yang berfluktuasi yang berhubungan
dengan berat/ringannya penyakit. Menarche memperberat DA
dan 1/3 dari wanita mengalami timbulnya gejala DA yang
8
lebih berat pada saat premenstrual, serta pada kehamilan
trimester awal (Mahdi, 2008).
1.6. Imunopatogenesis
Konsep dasar terjadinya DA adalah melalui reaksi
imunologik, yang diperantarai oleh sel-sel yang berasal dari sumsum
tulang (Sularsito, 2007). Konsep imunopatologi ini berdasarkan
bahwa pada pengamatan 75% penderita DA mempunyai riwayat
penyakit atopi lain pada keluarga atau dirinya. Selain itu, beberapa
parameter imunologi dapat ditemukan pada DA, seperti peningkatan
kadar IgE dalam serum pada 60-80% kasus, adanya IgE spesifik
terhadap bermacam aeroalergen dan eosinofilia.
Imunopatogenesis DA dimulai dengan paparan imunogen atau
alergen dari luar yang mencapai kulit, dapat melalui sirkulasi setelah
inhalasi atau secara langsung kontak dengan kulit. Pada pemaparan
pertama terjadi sensitasi, dimana alergen akan “ditangkap” oleh sel
penyaji antigen (antigen presenting cell = APC) untuk kemudian
diproses dan disajikan kepada sel limfosit T dengan bantuan molekul
MHC klas II. Hal ini menyebabkan sel T menjadi aktif dan mengenali
alergen tersebut melalui reseptor (T cell receptor = TCR). Setelah
paparan, sel T akan berdiferensiasi menjadi subpopulasi sel Th2
karena mensekresi IL-4 dan sitokin ini merangsang aktivitas sel B
untuk menjadi sel plasma dan memproduksi IgE (yang spesifik
terhadap alergen). Begitu ada di dalam sirkulasi, IgE segera berikatan
dengan sel mast (mast cell= MC) dan basofil. Pada paparan alergen
berikutnya, IgE telah tersedia pada permukaan sel mast, sehingga
terjadi ikatan antara alergen dengan IgE. Ikatan ini akan
menyebabkan degranulasi MC. Degranulasi MC akan mengeluarkan
mediator baik yang telah tersedia (preformed mediators) seperti
histamin yang akan menyebabkan reaksi segera, ataupun mediator
yang baru dibentuk (newly synthesized mediators) seperti leukotrien
C4 (LTC4), prostaglandin D2 (PGD2) dan lain sebagainya.
9
Sel Langerhans epidermal (LC) berperan penting pula di
dalam patogenesis DA oleh karena mengekspresikan reseptor pada
permukaan membrannya yang dapat mengikat molekul IgE (Fc RI),
serta mensekresi berbagai sitokin. Apabila ada alergen masuk akan
diikat dan disajikan pada sel T dengan bantuan molekul MHC klas II
dan sel T akan mensekresi limfokin dengan profil Th2 yaitu IL-4, IL-
5, IL-6 dan IL-10. IL-5 secara fungsional bekerja mirip ECF-A
sehingga sel eosinofil ditarik dan berkumpul di tempat lesi, menjadi
aktif dan akan mengeluarkan granula protein yang akan membuat
kerusakan jaringan (Harijono, 2007).
1.7. Manifestasi Klinis
Manifestasi klinis DA berbeda pada setiap tahapan atau fase
perkembangan kehidupan, mulai saat bayi hingga saat dewasa
(Zulkarnain, 2009).
Menurut Roesyanto (2000), terdapat tiga bentuk klinis DA,
yaitu tipe infantil, tipe anak, dan tipe dewasa.
1.7.1. Tipe infant (<2 tahun)
Lesi berupa eritema, papulo vesikel miliar yang sangat
gatal, karena garukan terjadi erosi, ekskoriasi dan eksudasi
atau krusta, tidak jarang mengalami infeksi. Predileksi tipe ini
pada kulit kepala, muka, daerah popok dan daerah ekstensor
ekstrimitas.
1.7.2. Tipe Anak (2-12 tahun)
Dapat berupa kelanjutan dari bentuk infantil atau
timbul sendiri (de novo). Lesi kering, likenifikasi, batas tidak
tegas, karena garukan terlihat pula ekskoriasi memanjang dan
krusta. Predileksi tipe ini pada lipat siku, lipat lutut, leher,
pergelangan tangan, kaki, jarang mengenai muka.
1.7.3. Tipe Dewasa (> 12 tahun)
Predileksi tipe ini pada muka (dahi, kelopak mata,
perioral), leher, dada bagian atas, lipat siku dan biasanya
10
simetris. Gejala utamanya adalah pruritus, kelainan kulit
berupa likenifikasi, papul, ekskoriasi dan krusta. Umumnya
berlangsung lama, tetapi intensitas cenderung menurun setelah
usia 30 tahun. Sebagian kecil dapat terus berlangsung sampai
tua.
Selain gejala utama yang telah diterangkan, juga ada gejala lain
yang tidak selalu terdapat, yang dikenal dengan kriteria minor, seperti
pada kriteria diagnosis Hanifin dan Rajka (tabel 1) (Harijono, 2007).
1.8. Diagnosis
Untuk menegakkan diagnosis DA, pada tahun 1980 telah dibuat
kriteria oleh Hanifin dan Rajka (Roesyanto, 2000). Kriteria ini yang
sampai sekarang masih digunakan (Harijono, 2007). Kriteria tersebut
dapat dilihat pada tabel 1. Diagnosis DA harus mempunyai tiga kriteria
mayor dan tiga kriteria minor (Sularsito, 2007).
Kriteria Mayor Kriteria Minor
Pruritus
Klinis dan distribusi yang
khas.
-Dewasa: Lipatan mengalami
likenifikasi yang linear.
-Bayi dan anak: Muka dan
bagian ekstensor.
Kronis dan sering kambuh
Adanya riwayat atopik
(asma, DA, rinitis/
konjungtivitis) pada
penderita maupun
keluarganya.
Kulit kering(Xerosis)
Iktiosis/ palmar hiperlinear/
keratosis pilaris
Reaktivitas uji kulit tipe I (dijumpai
80% penderita)
Kadar IgE meningkat (bila kadarnya
> 2000 IU dapat menyokong
diagnosis DA, 20% penderita
kadarnya normal)
Dimulai pada usia dini (biasanya
usia 3-6 bulan)
Kecenderungan mendapat infeksi
kulit (infeksi stafilokokus dan
herpes simplek), gangguan imunitas
seluler)
Kecenderungan menderita dermatitis
pada tangan dan kaki yang tidak
spesifik
Dermatitis pada puting susu
Cheilitis
Konjungtivitis yang berulang- ulang
Lipatan Dennie-Morgan pada infra
Tabel 1. Kriteria Diagnosis dari Hanifin dan Rajka untuk DA
11
orbitalis
Keratokonus
Katarak subkapsuler anterior
Hiperpigmentasi infra orbita
Muka pucat/ muka merah
Pitiriasis Alba
Lipatan pada leher bagian depan
Gatal bila berkeringat
Intoleran terhadap wol dan larutan
lemak
Aksentuasi perifolokular
Intoleran terhadap makanan
Perjalanan penyakit dipengaruhi
oleh faktor lingkungan/ emosi
Dermografi putih/ delayed blanch
(Roesyanto, 2000)
1.9. Pemeriksaan Penunjang
Pada kasus yang sulit dibedakan dengan dermatitis lainnya
diperlukan pemeriksaan uji kulit, kadar IgE total dan IgE spesifik
(RAST) serta uji tempel dengan tungau debu rumah (Siregar, 2002).
1.9.1. Uji kulit
Uji kulit dapat dilakukan dengan cara uji gores (scratch
test), uji tusuk (prick test), dan uji suntik intradermal
(intradermal test) (Harsono, 2007). Uji kulit dilakukan untuk
mengetahui IgE pada kepekaan alergi terhadap alergen yang
menimbulkan reaksi cepat, misalnya inhalan, makanan dan
penisilin (Garna, 2002).
1.9.2. IgE total dan IgE spesifik
Pemeriksaan IgE total dengan PRIST (paper
radioimmunosorbent test) atau yang sepadan, berguna untuk
menentukan status alergi penderita. Harga normal adalah 100
µ/ml sampai umur 20 tahun. Kadar IgE lebih dari 300 µ/ml
pada umumnya menunjukkan bahwa penderita adalah atopi,
atau mengalami infeksi parasit, atau keadaan depresi imun
seluler.
12
Pemeriksaan IgE spesifik biasanya dilakukan dengan
RAST (radio allergosorbent test). IgE spesifik terhadap
makanan tertentu dapat dipakai sebagai prediksi adanya reaksi
alergi tipe cepat dan lambat terhadap makanan tersebut
(Harsono, 2007).
1.9.3. Uji tempel tungau debu rumah
Pada pemeriksaan ini, alergen yang kemungkinan
menjadi penyebab, dalam hal ini ekstrak tungau debu rumah,
dilarutkan dalam media yang sesuai. Bahan-bahan tes
ditempatkan pada lempengan- lempengan tipis yang
ditempelkan pada kulit (biasanya di daerah punggung) selama
48 jam (Graham-Brown, 2005).
1.10. Komplikasi
Komplikasi DA dapat berupa infeksi virus, jamur, bahkan
bakteri Staphilococcus aureus pada 90% kasus DA (Mahdi, 2008).
Infeksi virus yang paling parah adalah Herpes simpleks dimana
dapat menyerang pasien DA semua umur, disebut Eksema
herpetikum. Sedangkan infeksi virus smallpox yang disebut
eksema vaksinatum ini sudah jarang dijumpai, biasanya terjadi
pada pemberian vaksin varisela, baik pada keluarga maupun
penderita. lnfeksi Herpes simplex terjadi akibat tertular oleh salah
seorang anggota keluarga. Terjadi vesikel pada daerah dermatitis,
mudah pecah dan membentuk krusta, kemudian terjadi penyebaran
ke daerah kulit normal (Leung, 2008).
Pada anak penderita DA, 75% akan disertai penyakit alergi
lain di kemudian hari (Santosa, 2007). Anak yang menderita DA
pada saat awal kehidupan mempunyai risiko terjadinya rinitis
alergik dan asma bronkial di kemudian hari. Kecenderungan ini
disebut Allergic March (Liu, 2006).
13
1.11. Diagnosis Banding
1.11.1. Dermatitis Seboroik
Dermatitis seboroik ditandai oleh suatu erupsi
berskuama, salmon-colored atau kuning berminyak yang
mengenai kulit kepala, pipi, badan, ekstrimitas dan diaper
area. Gambaran utama yang membedakan antara lain:
awitan yang lebih awal, lesi yang berwarna kekuningan,
berminyak, atau salmon-colored. Di daerah intertriginosa
lesi berupa erupsi sirkumkripta, berbatas tegas, relatif
tidak ada rasa gatal.
1.11.2. Dermatitis Kontak
Dermatitis kontak dapat dibagi menjadi dermatitis
kontak iritan dan dermatitis kontak alergi. Dermatitis
kontak iritan sering terjadi pada bayi dan anak-anak muda.
Pada penyakit ini, tempat erupsi bervariasi tergantung dari
bahan penyebab. Biasanya terlihat pada pipi dan dagu
(berhubungan dengan sekresi ludah dan gesekan pada
daerah yang terkena), sisi ekstensor ekstrimitas (akibat
pajanan terhadap tinja, air seni, sabun, deterjen, dan
preparat bedak kasar).
Kelainan pada dermatitis iritasi primer biasanya
lebih lembut, derajat gatal ringan dan tidak berbentuk
eczematozoid seperti erupsi yang terlihat pada DA.
1.11.3. Dermatitis Numularis
Dermatitis numularis (numularis berasal dari kata
Latin yang artinya “seperti koin”) adalah suatu penyakit
yang ditandai oleh lesi yang berbentuk koin.
1.11.4. Psoriasis
Secara keseluruhan lesi psoriasis berwarna merah
dan skuama seperti perak micaceous (seperti mika).
Predileksi lesi psoriasis adalah pada permukaan ekstensor,
14
terutama pada siku dan lutut, kulit kepala dan daerah
genital.
1.11.5. Skabies
Diagnosis skabies ditegakkan dengan adanya
riwayat rasa gatal di malam hari, distribusi lesi yang khas,
dengan lesi primer yang patognomonik berupa adanya
burrow, identifikasi positif ditemukan adanya kutu pada
pemeriksaan mikroskopik dari kikisan kulit, dan adanya
infestasi di antara anggota keluarga pasien.
1.11.6. Penyakit Lettere-Siwe
Biasanya terjadi pada tahun pertama dari
kehidupan. Pada penyakit ini, erupsi kulit biasanya mulai
dengan skuama, eritematosa, seborrhea-like pada kulit
kepala, di belakang telinga, dan pada daerah intertriginosa.
Pada pemeriksaan yang cermat, ditemukan lesi warna
cokelat kemerah-merahan atau purpuric papul atau
vesikular atau crusted papules (pada bayi). Bila diagnosis
sulit ditegakkan, biopsi kulit dapat mengkorfimasikan asal
erupsi sebenarnya.
1.11.7. Acrodermatitis enteropathica
Acrodermatitis enteropathica adalah suatu penyakit
herediter yang ditandai dengan lesi vesikulobullous
eczematoid di daerah akral dan periorifisial, kegagalan
pertumbuhan, diare, alopesia, kekurangan gizi, dan infeksi
kandida atau sering disebabkan disertai infeksi sekunder
akibat bakteri.
1.11.8. Sindroma Wiskott-Aldrich
Sindroma Wiskott-Aldrich adalah suatu penyakit X-
linked resesif yang jarang ditemukan, hanya ditemukan
pada anak-anak lelaki muda, ditandai dengan dermatitis
eksematosa rekalsitrant, disfungsi platelet, trombositopeni,
15
infeksi piogenik rekuren, dan otitis media supurativa
(Zulkarnain, 2009).
1.12. Penatalaksanaan
Sampai saat ini pengobatan DA bersifat simptomatik, oleh
karena etiologi belum diketahui dan pemahaman patogenesis
belum terungkap secara tuntas (Harijono, 2007). Penatalaksanaan
DA terutama ditujukan untuk mengurangi tanda dan gejala
penyakit, mencegah atau mengurangi kekambuhan sehingga dapat
mengatasi penyakit dalam jangka waktu lama, serta mengubah
perjalanan penyakit (Sugito, 2009).
Menurut Harijono (2007), pengobatan DA dapat dibagi
berdasar kondisi penyakit, yaitu pengobatan pada kekambuhan
akut, pengobatan untuk maintenance dan pengobatan pada DA
berat dan sulit diobati (severe and refractory).
1.12.1. Pengobatan DA akut (Accute Flare Treatment)
Setelah diagnosis DA ditegakkan diberikan
pengobatan non-farmacological lebih dahulu, yaitu:
1.12.1.1. Penderita diberi edukasi tentang penyakitnya.
1.12.1.2. Pemakaian moisturizer: digunakan pada seluruh
tubuh dua kali sehari kecuali pada lesi akut,
dipilih bentuk water in oil, hindari produk
dengan bahan pengawet dan parfum.
1.12.1.3. Mencegah faktor pemicu: identifikasi alergen
dengan anamnesis yang cermat dan tes alergi
(skin prick test) kemudian nasihat untuk
menghindari alergen makanan.
Kemudian diberikan pengobatan dengan obat-
obat (pharmacological-treatment), antara lain:
1.11.1.1. Topikal kortikosteroid
1.11.1.2. Calcineurin inhibitor (topikal)
1.11.1.3. Antibiotika oral atau topikal
16
1.11.1.4. Antihistamin (oral)
1.11.2. Pengobatan maintenance, pada penderita yang
penyakitnya terus menerus atau sering kambuh:
1.11.2.1. Non-pharmacological treatment (seperti di
atas) dilanjutkan.
1.11.2.2. Pharmacotherapy:
1.11.2.2.1. Topikal calcineurin inhibitor,
dimulai bila ada tanda dini
kekambuhan.
1.11.2.2.2. Kortikosteroid topikal untuk
pemakaian jangka panjang, dapat
dikombinasi secara selang seling
(intermitten) dengan calcineurin.
1.11.2.2.3. Antihistamin, terutama bila ada
gangguan tidur.
1.11.2.2.4. Bila ada infeksi sekunder diberikan
antibiotik, antivirus, atau antifungal.
1.11.3. Pengobatan DA bentuk berat dan refractory
Dianjurkan untuk dirujuk dan dipertimbangkan
untuk psikoterapi atau psychopharmacological disamping
pengobatan seperti berikut:
1.11.3.1. Non-pharmacological treatment (seperti di atas)
dilanjutkan dan bila perlu diberi fototerapi.
1.11.3.2. Pharmacotheraphy :
1.11.3.2.1. Kortikosteroid topikal golongan kuat
(poten)
1.11.3.2.2. Kortikosteroid oral
1.11.3.2.3. Immunosupressent (oral):
1.11.3.2.3.1. Ciclosporin
1.11.3.2.3.2. Azanthioprine
17
1.13. Prognosis
Dengan pengendalian faktor- faktor yang cukup diketahui
memicu gatal, pengobatan lokal yang tepat dan dukungan
pengertian dari orangtua anak yang padanya tidak ada obat yang
dapat cepat diharapkan, pengendalian DA yang masuk akal,
biasanya mungkin. Perbaikan biasanya terjadi dalam 5 tahun (Sly,
2000).
DA akan berkurang pada usia 12 tahun akan tetapi ada
kemungkinan organ sasaran berpindah karena 50-80% anak ini
akan mengalami rinitis alergika dan asma (Harsono, 2007).
2. Susu Formula
2.1. Definisi
Susu adalah cairan putih dihasilkan oleh hewan ternak
mamalia dan diperoleh dengan cara pemerahan (Saleh, 2004).
Sedangkan susu formula adalah cairan atau bubuk dengan formula
tertentu yang diberikan kepada bayi dan anak-anak (Akib cit
Hikmawati, 2008).
2.2. Jenis Susu Formula
Berdasarkan jenis dan sifat kandungan protein, susu
formula dapat diklasifikasikan ke dalam tiga kategori besar yaitu:
2.2.1. Formula dengan Bahan Dasar Susu Sapi
Susu sapi murni, maupun bentuk modifikasinya
merupakan dasar pada kebanyakan formula (Barness,
2000). Formula susu sapi yang belum diolah mengandung
sekitar 19% whey (sapi) dan sekitar 82% casein (sapi),
sedangkan formula yang sudah „humanized‟
(dimanusiawikan) mengandung sekitar 60% whey (sapi)
dan sekitar 40% casein.
18
2.2.2. Formula dengan Bahan Dasar Protein Kedelai
Kedelai adalah sumber protein komersial kedua
yang digunakan dalam formula bayi. Protein kedelai adalah
jenis protein ketiga tersering yang dijumpai dalam formula
bayi, dua yang lainnya adalah casein dan whey.
2.2.3. Formula Hidrolisat Protein
Formula hidrolisat protein semula dikembangkan
bagi bayi yang tidak dapat mencerna protein utuh atau
sangat alergi terhadap formula protein utuh. Formula-
formula ini mengandung protein yang dihidrolisis terutama
menjadi peptida dengan panjang bervariasi dan sebagian
asam amino bebas. Tidak semua formula hidrolisat protein
sama. Berbagai formula yang saat ini tersedia berbeda
dalam sumber protein dan derajat hidrolisis proteinnya
(Leleiko, 2006).
2.3. Komposisi Susu Formula
Komposisi beberapa produk susu formula dapat dilihat
pada tabel 2.
Tabel 2. Komposisi Beberapa Macam Susu Formula
Susu
Formula
Energi
(kcal)
Protein
(g)
Lemak
(g)
Karbo-
hidrat
(g)
Kalsium
(mg)
Fosfat
(mg)
Zat
Besi
(mg)
Similac
(Ross)
676 14.0 36.6 73.0 528 284 12.2
Enfamil
(Mead
Johnson)
670 14 35.3 72.7 520 287 12.1
Lactofree
(Mead
Johnson)
670 14.0 35.3 72.7 546 369 12.0
Good
Start
Supreme
(Nestle)
670 14.7 34.2 75 429 241 10.1
(Trahms and McKean, 2008)
19
2.4. Kebaikan dan Keburukan Susu Formula
2.4.1. Kebaikan
2.4.1.1. Susu merupakan bahan makanan yang perlu untuk
manusia (Tirtawinata, 2006), sebagaimana
diisyaratkan dalam Q.S An-Nahl (16):66.
Dan sesungguhnya pada binatang ternak
itu terdapat suatu pelajaran. Dari sela-sela
tubuhnya, antara kotoran dan darah, Kami
keluarkan untuk minumanmu, susu murni dan
mudah dicerna bagi mereka yang meminumnya.
2.4.1.2. Membantu ibu pada kondisi kontraindikasi untuk
menyusui, misal: produksi ASI kurang memadai
(Hassan, 2005).
2.4.1.3. Susu formula dapat sebagai suplemen apabila ASI
tidak praktis untuk disimpan (Leleiko, 2006).
2.4.2. Keburukan
2.4.2.1. Susu formula menurunkan hubungan kejiwaan
antara ibu dan anak (FK USU, 2009).
2.4.2.2. Susu formula meningkatkan risiko terjadinya
penyakit atopi, yaitu DA, asma bronkial dan rinitis
alergika. Risiko tinggi pada bayi dan anak yang
memiliki riwayat atopi di keluarga (Yeung et al,
2001).
2.4.2.3. Kandungan protein dan beberapa mineral susu
sapi yang tinggi menyebabkan meningkatnya
beban osmolar pada ginjal bayi (Khomsan, 2003).
2.4.2.4. Bayi lebih mudah terkena infeksi saluran cerna
dan pernapasan, kurang gizi, mudah terkena alergi
dan intoleransi laktosa serta kelebihan berat badan
(Matondang, 2007).
20
2.4.2.5. Protein susu sapi sebagai zat asing bisa
merangsang proses autoimmune di dalam sel
pankreas. Bila kelenjar pankreas rusak, penyakit
diabetes mellitus berisiko muncul saat anak
dewasa kelak (Rosita, 2009).
2.4.2.6. Bagi ibu, meningkatkan risiko kanker, kelebihan
berat badan dan osteoporosis, meningkatkan stres
dan kecemasan serta mengurangi jarak alami
kelahiran anak. Ibu yang menyusui bayinya,
mengalami “lactational amenorrheoa” yaitu
periode tidak menstruasi, yang lebih lama,
dibandingkan dengan yang tidak (INFACT, 2006).
2.5. Keunggulan ASI Dibanding Dengan Susu Formula
2.5.1. ASI merupakan makanan pertama dan juga makanan utama
untuk bayi (Tirtawinata, 2006). Betapa pentingnya ibu
menyusui bagi bayinya, dapat dirujuk dari Q.S Al-Baqarah
(2): 233 yang artinya sebagai berikut:
Dan para ibu hendaklah menyusukan anak-anak
mereka selama dua tahun penuh bagi yang ingin
menyempurnakan penyusuan itu. Dan kewajiban pihak
ayah untuk menanggung segala nafkah (rizki), makanan
dan pakaian mereka dengan cara yang patut.
2.5.2. ASI secara bermakna akan mengurangi sakit yang berat.
Bayi susu formula kemungkinan dirawat di rumah sakit
karena infeksi bakteri hampir empat kali lebih sering
dibanding bayi ASI eksklusif (Roesli, 2000).
2.5.3. Secara alami komposisi ASI berubah- ubah dari jam ke
jam. Di ujung porsi ASI, kandungan lemak ASI lebih pekat
sehingga memberi sensasi kenyang pada bayi, lalu bayi
secara naluri akan menghentikan sendiri kegiatan
menyusunya (Rosita, 2008).
21
2.5.4. Menyusui meningkatkan jalinan kasih sayang antara ibu
dan bayi (Roesli, 2000).
2.5.5. Ibu yang menyusui bayinya, kemungkinan untuk
mengalami perdarahan rahim pasca persalinan lebih kecil.
Fenomena aktualnya adalah memperpendek masa nifas,
sehingga pemulihan kesehatan ibu lebih cepat (Tirtawinata,
2006).
2.5.6. Kandungan ASI dibanding dengan susu formula
2.5.6.1. Lemak
Lemak ASI akan mudah dicerna dan
diserap oleh bayi, karena ASI juga mengandung
enzim lipase yang mencerna lemak. Lemak utama
ASI adalah lemak ikatan panjang (omega-3,
omega-6, DHA, arachidonic acid) suatu asam
lemak esensial yang merupakan komponen
penting untuk myelinisasi. Lemak ini sedikit atau
tidak ada pada susu sapi (Roesli, 2000).
2.5.6.2. Protein
Kandungan protein ASI lebih rendah,
sesuai dengan kebutuhan bayi yang tidak
membutuhkan banyak protein. Kandungan casein
ASI lebih sedikit dan kandungan whey ASI
mengandung protein anti-infektif (Rosita, 2008).
Protein ASI terdiri atas semua asam amino
esensial yang lengkap, sehingga protein score-
nya mendekati 100. Demikian juga mudah
dicerna dengan derajat cerna 100% (Tirtawinata,
2006).
22
2.5.6.3. Karbohidrat
ASI mengandung banyak laktosa sehingga
rasanya sudah manis tanpa harus ditambah gula
atau pemanis buatan.
2.5.6.4. Vitamin
Kandungan vitamin A dan C pada ASI lebih
tinggi.
2.5.6.5. Mineral
Lima puluh persen zat besi dalam ASI dapat
diserap bayi, sementara hanya sepuluh persen zat
besi dalam susu bayi yang bisa diserap.
2.5.6.6. Zat hidup
ASI mengandung sel- sel darah putih,
sejumlah faktor infektif dan berbagai antibodi
terhadap infeksi yang pernah dialami ibu di masa
lampau (Rosita, 2008). Imunoglobulin yang utama
pada ASI adalah Ig-A secretory (SIgA). SIgA
pada kolostrum dan ASI matur selain bekerja
sebagai antibakteri juga mencegah terabsorbsinya
makromolekul asing, sehingga bayi yang
mendapat kolostrum dan ASI jarang terkena alergi
(Soetjiningsih, 1997).
2.5.6.7. Enzim
ASI mengandung kadar lisozim yang ribuan
kali lebih banyak dibanding susu sapi. Enzim ini
bersifat bakteriostatik. Ada pula enzim
lactoperoksidase si pembunuh kuman. Faktor
bifidus yang 40 kali lebih banyak dari yang
terkandung dalam susu sapi, bertugas mematikan
kuman perut (Rosita, 2000).
23
3. Mekanisme Terjadinya Dermatitis Atopik yang Disebabkan Susu
Formula
Tonsil, bersama dengan Peyer’s patch, nodus limfatik pada
appendiks dan saluran napas merupakan bagian dari sistem imun mukosa
(Pinchuk, 2002). Sistem ini dikenal dengan sebutan mucosal-associated
lymphoid tissues (MALT) (Chaplin, 2003). MALT berfungsi memberikan
respon imunologik lokal pada permukaan mukosa. Karena jaringan limfoid
ini selain berisi limfosit juga berisi fagosit, MALT mampu memberikan
respon nonspesifik maupun spesifik. Di dalam jaringan limfoid sepanjang
saluran cerna dan saluran napas dibentuk secretory IgA (sIgA) dan IgE
yang disekresikan untuk mempertahankan tubuh terhadap antigen yang
masuk melalui mukosa (Kresno, 2001).
Peyer’s patch adalah nodus limfatik yang terdapat di sepanjang
permukaan mukosa usus halus (Chaplin, 2003). Epitel usus (foleicle
associated epithelium-FAE) dijumpai sepanjang Peyer’s patch yang
mengandung sel M (microfold cell) yang akan membawa patogen ke
jaringan limfoid (Roesyanto, 2009). Sel M adalah sel epitel saluran cerna
yang pinositik aktif, berperan dalam mengantarkan antigen (Kuby, 1997).
Sel M tersebar di antara sel usus karena sel ini mengandung banyak
microfold pada permukaan lumennya. Di bawah sel M ada daerah yang
disebut dome, berbentuk kantongan yang mengandung limfosit B dan
limfosit T, sel dendrit dan makrofag (Roesyanto, 2009).
Antigen yang masuk melalui sel M akan ditangkap oleh sel dendrit
dan makrofag, kemudian disajikan ke sel T yang akan mengaktivasi sel B.
Selanjutnya kedua sel ini akan menuju mucosal lymph node (MLN) dan
masuk ke sirkulasi darah melalui duktus torasikus. Alergen ini cepat
tersebar ke sel mast di kulit melalui aliran darah. Bergeraknya limfosit
menembus endotel usus karena adanya molekul adesi (MadCAM-1) dan
kemokin. Sel B akan menyebar dan mengalami diferensiasi, kemudian
kembali ke lamina propria usus (Roesyanto, 2009). Sel B berdiferensiasi
menjadi sel plasma yang mensekresi IgA. Kemudian, IgA ini melintasi sel
24
epitel dan disekresikan ke dalam lumen sehingga sIgA ini akan
berinteraksi dengan antigen yang dipresentasikan ke dalam lumen (Kuby,
1997).
Alergen makanan cepat diabsorbsi dan melewati sawar mukosa
gastrointestinal melalui aliran darah, kemudian dibawa ke seluruh tubuh
dan menyebar ke sel mast di kulit sehingga menimbulkan rasa gatal dan
menyebabkan lesi DA (Roesyanto, 2009). Pada pemaparan pertama terjadi
sensitasi, dimana alergen akan “ditangkap” oleh sel penyaji antigen
(antigen presenting cell = APC) untuk kemudian diproses dan disajikan
kepada sel limfosit T dengan bantuan molekul MHC klas II. Hal ini
menyebabkan sel T menjadi aktif dan mengenali alergen tersebut melalui
reseptor (T cell receptor = TCR). Setelah paparan, sel T akan
berdiferensiasi menjadi subpopulasi sel Th2 karena mensekresi IL-4 dan
sitokin ini merangsang aktivitas sel B untuk menjadi sel plasma dan
memproduksi IgE (yang spesifik terhadap alergen). Begitu ada di dalam
sirkulasi, IgE segera berikatan dengan sel mast (mast cell= MC) dan
basofil. Pada paparan alergen berikutnya, IgE telah tersedia pada
permukaan sel mast, sehingga terjadi ikatan antara alergen dengan IgE.
Ikatan ini akan menyebabkan degranulasi MC. Degranulasi MC akan
mengeluarkan mediator baik yang telah tersedia (preformed mediators)
seperti histamin yang akan menyebabkan reaksi segera, ataupun mediator
yang baru dibentuk (newly synthesized mediators) seperti leukotrien C4
(LTC4), prostaglandin D2 (PGD2) dan lain sebagainya (Harijono, 2007).
Secara mekanik, integritas mukosa usus dan peristaltik merupakan
pelindung masuknya alergen ke dalam tubuh. Secara kimiawi, asam
lambung dan enzim pencernaan menyebabkan denaturasi alergen. Secara
imunologik, sIgA pada permukaan mukosa dan limfosit pada lamina
propria dapat menangkal alergen masuk dalam tubuh. Pada usus imatur
sistem pertahanan tubuh masih lemah dan gagal berfungsi sehingga
memudahkan alergen masuk ke dalam tubuh (Harsono, 2007).
25
Susu sapi adalah protein asing utama yang diberikan kepada
seorang bayi. Susu sapi mengandung sedikitnya 20 komponen protein
yang dapat merangsang produksi antibodi manusia. Protein susu sapi
terdiri dari 2 fraksi yaitu casein dan whey. Fraksi casein yang membuat
susu berbentuk kental (milky) dan merupakan 76% sampai 86% dari
protein susu sapi. Fraksi casein dapat dipresipitasi dengan zat asam pada
pH 4,6 yang menghasilkan 5 casein dasar yaitu α, αδ, β, k dan γ. Beberapa
protein whey mengalami denaturasi dengan pemanasan ekstensif (albumin
serum bovin, gamaglobulin bovin, dan α- laktoglobulin (Munasir, 2007).
Pada penelitian, diperoleh fraksi alergenik susu sapi adalah β-
lactoglobulin, diikuti oleh casein dan α-lactoglobulin. Albumin dan
globulin merupakan komponen alergenik paling sedikit. Reaksi alergik
susu sapi kemungkinan disebabkan oleh substansi asing pada susu
dibandingkan kandungan susunya. Substansi asing itu diperoleh pada saat
pengambilan dan pada saat susu tersebut diproses.
Reaksi yang tidak diinginkan terhadap susu dapat terjadi secara
imunologik dan non-imunologik. Pada 29% pasien yang mengalami reaksi
yang diperantarai IgE akan menjadi toleran, sedangkan 74% yang non-
imunologik akan menjadi toleran (Roesyanto, 2009).
26
B. Kerangka Berpikir
Gambar 1. Kerangka Berpikir
C. Hipotesis
Lingkungan
SIgA <<
Th1 , Th2
IgE
Dermatitis Atopik
Kerang laut
Ikan laut
Telur
Gandum
Kacang
Genetik
Autoalergen
Sawar kulit
Psikologis
Susu formula
Bahan dasar susu sapi
Mikroorganisme
Bahan iritan
Aeroalergen
Mukosa usus halus
Makanan
Susu
27
Ada hubungan antara konsumsi susu formula dengan kejadian DA anak.