penolakan pengadilan terhadap gugatan …e-repository.perpus.iainsalatiga.ac.id/3113/1/skripsi...
TRANSCRIPT
i
PENOLAKAN PENGADILAN TERHADAP GUGATAN
PERCERAIAN DENGAN ALASAN KEKERASAN
DALAM RUMAH TANGGA
(STUDI ANALISIS PUTUSAN
NOMOR: 666/Pdt.G/2011/PA.Sal)
SKRIPSI
Diajukan untuk Memperoleh Gelar
Sarjana Hukum Islam
Oleh :
KHALIM MUDRIK MASRUHAN
NIM : 21208003
JURUSAN SYARIAH
PROGRAM STUDI AL-AHWAL AL-SYAKHSYIYYAH
SEKOLAH TINGGI AGAMA ISLAM NEGERI (STAIN)
SALATIGA
2012
ii
iii
iv
v
vi
MOTTO DAN PERSEMBAHAN
MOTTO
Katakanlah: Sekiranya lautan menjadi tinta untuk (menulis) kalimat-kalimat Tuhanku, sungguh
habislah lautan itu sebelum habis (ditulis) kalimat-kalimat Tuhanku, meskipun Kami datangkan
tambahan sebanyak itu (pula)" (Q.S al-Kahfi 109).
PERSEMBAHAN
Untuk ayahku Abdul Rosyad dan bundaku Khuzaemah yang telah dipanggil oleh-Nya, isteri dan buah hatiku yang tercinta Muhammad Jangki
Dausat, para guru dan dosen STAIN Salatiga, saudara-saudaraku, sahabat-sahabat
seperjuanganku, serta teman-teman yang selalu memotivasiku.
vii
KATA PENGANTAR
بسم اهلل انرحمه انرحيم
انحمد هلل رب انعانميه و بً وستعيه عهً امىراند ويا واند يه الحىل والقىة اال باهلل انعهي
انعظيم اشهد ان الانً االاهلل وحدي الشريل نً واشهد ان محمدا عبدي ورسىنً انههم صم وسهم
اما بعد.وبارك عهً سيد وا محمد وعهً انً واصحابً اجمعيه
Alhamdulillah puji syukur ke hadirat Allah SWT yang telah memberikan
rahmat dan taufiq serta hidayah-Nya, tak lupa shalawat serta salam saya
sampaikan kepada Nabi Muhammad SAW yang telah membawa kita dari jalan
yang gelap menuju ke jalan yang terang, sehingga penulis dapat menyelesaikan
skripsi yang berjudul : “Penolakan Pengadilan Terhadap Gugatan Perceraian
dengan Alasan Kekerasan dalam Rumah Tangga (Studi Analisis Putusan Nomor:
666/Pdt.G/2011/PA.Sal)”.
Skripsi ini disusun untuk memenuhi salah satu persyaratan dalam
menyelesaikan program S-1 Jurusan Syari‟ah, Program Studi Ahwal Al-
Syakhshiyyah, Sekolah Tinggi Agama Islam Negeri (STAIN) Salatiga.
Penulisan skripsi ini tidak akan selesai bila tanpa bantuan dari berbagai
pihak yang telah berkenan meluangkan waktunya guna memberikan bimbingan
dan petunjuk yang berharga demi terselesainya skripsi ini. Sehingga pada
kesempatan ini penulis menghaturkan terima kasih kepada:
vii
viii
1. Bapak Dr. Imam Sutomo, M. Ag selaku Ketua Sekolah Tinggi Agama Islam
Negeri (STAIN) Salatiga.
2. Bapak Drs. Mubasirun, M.Ag selaku Kepala Jurusan Syari‟ah Sekolah Tinggi
Agama Islam Negeri (STAIN) Salatiga.
3. Bapak Ilyya Muhsin, S.HI, M.Si selaku Kepala Program Studi Ahwal Al-
Syakhshiyyah (AHS) Sekolah Tinggi Agama Islam Negeri (STAIN) Salatiga,
yang telah memberikan kesempatan kepada penulis untuk menyusun dan
menyelesaikan skripsi.
4. Bapak Benny Ridwan, M. Hum selaku pembimbing yang telah memberikan
pengarahan dan bimbingan sehingga penulis dapat menyelesaikan skripsi ini.
5. Bapak Drs. H. Umar Muchlis selaku Ketua Pengadilan Agama Salatiga yang
telah memberikan ijin untuk melakukan penelitian dan bapak Hakim, bapak
Panitera, ibu Wakil Panitera dan seluruh pegawai, karyawan dan karyawati
Pengadilan Agama Salatiga yang telah membantu selama kegiatan penelitian
di Pengadilan Agama Salatiga.
6. Ayahanda Abdul Rosyad, Ibunda Khuzaemah (al marhum, al marhumah) dan
istri tercinta yang telah banyak memberi bantuan moral dan spiritual sehingga
penulis dapat menyelesaikan skripsi ini.
7. Teman-teman semuanya yang telah bersedia memberikan kritik, saran dan
dorongan kepada penulis dalam menyelesaikan skripsi ini.
viii
ix
8. Semua pihak yang tidak dapat disebutkan satu persatu yang telah membantu
dalam menyelesaikan skripsi ini.
Semoga amal kebaikannya mendapatkan imbalan setimpal dari Allah
SWT. Penulis menyadari bahwa dalam penyusunan skripsi ini banyak
kekurangannya, untuk itu diharapkan saran dan kritik untuk kesempurnaan skripsi
ini.
Akhir kata penulis mengharapkan semoga skripsi ini dapat berguna dan
bermanfaat khususnya bagi almamater dan semua pihak yang membutuhkannya.
Amiiin yaa rabbal „alamiin.
Salatiga, 5 September 2012
penulis,
Khalim Mudrik Masruhan
x
ABSTRAK
Masruhan, Khalim Mudrik. 2012. Penolakan Pengadilan Terhadap Gugatan
Perceraian dengan Alasan Kekerasan dalam Rumah Tangga (Studi
Analisis Putusan Nomor: 666/Pdt.G/2011/PA.Sal). Skripsi. Jurusan
Syari‟ah. Program Studi Ahwal Al-Syakhshiyyah. Sekolah Tinggi Agama
Islam Negeri Salatiga. Pembimbing: Benny Ridwan, M. Hum
Kata Kunci: Penolakan Pengadilan, Gugatan Perceraian, Kekerasan dalam
Rumah Tangga
Penelitian ini merupakan upaya menganalisis putusan Pengadilan Agama
Salatiga nomor: 0666/Pdt.G/2011/PA.Sal tentang pengajuan gugatan perceraian
dengan alasan kekerasan dalam rumah tangga tahun 2011, pertanyaan utama yang
ingin dijawab melalui penelitian ini adalah 1) Bagaimana Majelis Hakim dalam
menilai alat bukti yang diajukan Penggugat di persidangan yang telah dituangkan
dalam putusan tersebut. 2) Apa yang menjadi dasar pertimbangan Majelis Hakim
dalam putusan yang menolak gugatan Penggugat dengan alasan kekerasan dalam
rumah tangga tersebut.
Metode penelitian yang digunakan peneliti untuk menjawab rumusan
masalah tersebut diatas adalah menggunakan metode penelitian yurisprudensi
yang memfokuskan penelitian pada studi putusan. Adapun pendekatan yang
digunakan dengan pendekatan yuridis normatif yakni suatu analisis untuk
mengetahui apakah putusan tersebut sudah sesuai dengan undang-undang dan
peraturan lain yang berlaku. Teknik pengumpulan data dengan tiga cara, yang
pertama wawancara yakni tanya jawab secara lisan terhadap informan dengan
berhadapan secara langsung, kedua observasi yang diartikan sebagai pengamatan
dan pencatatan terhadap informasi yang didapat selama melakukan penelitian,
ketiga dokumentasi yakni pengumpulan, pemilihan, pengolahan, dan
penyimpanan informasi yang berupa catatan, transkip, buku, dan lain
sebagainya.
Pengajuan gugatan perceraian dengan alasan kekerasan dalam rumah tangga
ditolak oleh Majelis Hakim dengan alasan bahwa alat bukti yang diajukan
Penggugat tidak memenuhi syarat formil pembuktian, meskipun Penggugat sudah
mengajukan alat bukti yang sah, sehingga penilaian Majelis Hakim dalam
pembuktian ini bertentangan dengan pasal 5 (2) Undang-undang Nomor 14 Tahun
1970 yang diubah menjadi Undang-undang Nomor 48 Tahun 2009 pasal 4 (2)
Tentang Kekuasaan Kehakiman, pasal 132, 155, 119 HIR. Majelis Hakim dalam
pertimbangan hukumnya tidak mencantumkan sama sekali pasal-pasal tertentu
peraturan perundang-undangan, hukum kebiasaan, yurisprudensi atau doktrin
hukum. Hal ini bertentangan dengan pasal 25 (1), pasal 28 (1) Undang-undang
Nomor 4 Tahun 2004 Tentang Ketentuan-Ketentuan Pokok Kekuasaan
Kehakiman, pasal 14 (1) Undang-undang Nomor 14 Tahun 1970 Tentang
Ketentuan-Ketentuan Pokok Kekuasaan Kehakiman.
xi
DAFTAR ISI
HALAMAN JUDUL ……………………………………………………. i
HALAMAN LOGO STAIN SALATIGA...........………………………. ii
HALAMAN PERSETUJUAN PEMBIMBING...................................... iii
HALAMAN PENGESAHAN KELULUSAN …………………………. iv
HALAMAN PERNYATAAN KEASLIAN TULISAN ……………….. v
HALAMAN MOTTO DAN PERSEMBAHAN……......……………… vi
KATA PENGANTAR.......………………………………………………. vii
ABSTRAK.. ……….…………………………………………………….. x
DAFTAR ISI............................................................................................... xi
BAB I PENDAHULUAN
A. Latar Belakang Masalah …………………………………... 1
B. Rumusan Masalah ………………………………………… 5
C. Tujuan Penelitian. ………………………………………… 5
D. Kegunaan Penelitian …....................………………………. 6
E. Penegasan Istilah ………………………………………….. 7
F. Tinjauan Pustaka ………………………………………….. 8
G. Metode Penelitian …………………………………………. 10
H. Sistematika Penulisan ……………………………………... 14
BAB II PENERAPAN HUKUM ACARA PERDATA PERADILAN
AGAMA DALAM PEMERIKSAAN GUGATAN
PERCERAIAN
A. Hukum Acara Perdata Peradilan Agama …........………….. 16
B. Gugatan Perceraian …......................................................… 24
C. Hukum Acara Pemeriksaan Perkara Perceraian …......…… 34
D. Hukum Acara Pembuktian .................................................. 47
E. Putusan.................................................................................. 79
xii
BAB III
PRAKTIK PELAKSANAAN HUKUM ACARA
PERDATA PERADILAN AGAMA DI PENGADILAN
AGAMA SALATIGA DALAM MEMERIKSA DAN
MENGADILI PERKARA GUGATAN PERCERAIAN
A. Profil Pengadilan Agama Salatiga......................................... 90
B. Kewenangan Pengadilan Agama Salatiga ………………… 101
C. Administrasi Berperkara di Pengadilan Agama
Salatiga..............................................................................… 106
D. Proses Pemeriksaan pada Perkara Gugatan Perceraian ….... 122
E. Sikap Hakim Terhadap Dalil-dalil Gugatan Penggugat 136
BAB IV ANALISIS TERHADAP PUTUSAN PENGADILAN
AGAMA SALATIGA YANG MENOLAK GUGATAN
PERCERAIAN DENGAN ALASAN KEKERASAN
DALAM RUMAH TANGGA
A. Proses Pemeriksaan Perkara ...........................................….. 138
B. Dasar Hukum Majelis Hakim dalam Menetapkan Putusan 143
BAB V PENUTUP
A Kesimpulan ………………………………………………... 147
B Saran ………………………………………………………. 149
DAFTAR PUSTAKA
LAMPIRAN
1
BAB I
PENDAHULUAN
A. Latar Belakang Masalah
Tugas pokok Pengadilan Agama sebagaimana dalam Undang-
undang Nomor 14 Tahun 1970 pasal 2 adalah “menerima, memeriksa,
mengadili dan menyelesaikan setiap perkara yang diajukan kepadanya”.
Pengadilan Agama dalam memeriksa perkara di persidangan menghasilkan
tiga macam yaitu putusan, penetapan dan akta perdamaian. Selain itu, ada
pula produk Pengadilan Agama yang bukan merupakan produk sidang tetapi
mempunyai kekuatan hukum seperti putusan sebagai akta otentik yaitu akta
komparasi dan akta keahliwarisan.
Putusan adalah pernyataan Hakim yang dituangkan dalam bentuk
tertulis dan diucapkan oleh Hakim dalam sidang terbuka untuk umum,
sebagai hasil dari pemeriksaan perkara gugatan atau kontensius (Arto,
2007:251). Pengadilan Agama melalui Majelis Hakim dalam menerima,
memeriksa dan mengadili suatu perkara gugatan atau kontensius diakhiri
dengan suatu putusan. Putusan tersebut dapat berupa putusan akhir, putusan
sela, putusan gugur, putusan verstek, putusan tidak menerima, putusan
menolak gugatan Penggugat, putusan mengabulkan gugatan Penggugat
untuk sebagian dan menolak atau tidak menerima selebihnya dan lain
sebagainya.
Pengadilan Agama setelah memeriksa dan mengadili gugatan,
dapat menolak gugatan Penggugat apabila dalam pokok gugatan atau dalil-
2
dalil gugat tersebut tidak dapat dibuktikan oleh Penggugat dalam
persidangan. Tentunya Majelis Hakim dalam memeriksa dan mengadili
perkara tersebut harus sudah melalui semua tahap pemeriksaan persidangan.
Proses pemeriksaan perkara perdata dilakukan melalui beberapa tahap
dalam hukum acara perdata, setelah hakim terlebih dahulu berusaha dan
tidak berhasil mendamaikan para pihak berperkara. Berkaitan dengan hal
tersebut menurut Arto (2007:83), ”tahap-tahap pemeriksaan perkara perdata
dalam persidangan adalah pertama pembacaan gugatan, kedua jawaban
Tergugat, ketiga Replik Penggugat, keempat Duplik Tergugat, kelima
Pembuktian, keenam kesimpulan, dan yang ketujuh adalah putusan hakim”.
Pembuktian merupakan tahapan pemeriksaan persidangan yang kelima.
Pembuktian atau membuktikan adalah meyakinkan hakim tentang
kebenaran dalil atau dalil-dalil yang dikemukakan di persidangan dalam
suatu persengketaan. Sedangkan menurut Arto (2007:139), “membuktikan
artinya mempertimbangkan secara logis kebenaran suatu fakta atau
peristiwa berdasarkan alat-alat bukti yang sah dan menurut hukum
pembuktian yang berlaku”.
Berkaitan dengan hal-hal tersebut diatas, di Pengadilan Agama
Salatiga ada suatu pengajuan gugatan perceraian dengan alasan terjadinya
kekerasan dalam rumah tangga yang dilakukan oleh suami terhadap istrinya
yang diajukan pada tanggal 8-9-2011, nomor: 666/Pdt.G/2011/PA.Sal.
Namun pengajuan gugatan perceraian tersebut oleh Pengadilan Agama
Salatiga ditolak.
3
Pemeriksaan persidangan perkara tersebut mulai dari pembacaan
gugatan sampai pada tahap pembuktian, Tergugat tidak hadir setelah
dipanggil secara sah dan patut. Penggugat juga telah mengajukan alat-alat
bukti atau dalil-dalil gugatannya berupa seorang saksi dan salinan putusan
Pengadilan Negeri Salatiga nomor: 45/Pid.Sus/2011/PN.Sal, tanggal 12
Oktober 2011.
Disamping akta otentik berupa putusan dan saksi sebagai alat bukti
yang diajukan Penggugat, antara Penggugat dan Tergugat juga mengadakan
perjanjian perkawinan sebagaimana tercantum dalam Kutipan Akta Nikah
Nomor: 240/231/VIII/1996, tanggal 12 Agustus 1996 yang dikeluarkan oleh
Kantor Urusan Agama Kecamatan Suruh, Kabupaten Semarang, yang isinya
sebagai berikut:
Sewaktu-waktu saya:
a. Meninggalkan istri saya dua tahun berturut-turut;
b. Atau, saya tidak memberi nafkah wajib kepadanya tiga bulan
lamanya;
c. Atau, saya menyakiti badan/jasmani istri saya;
d. Atau, saya membiarkan (tidak meperdulikan) istri saya enam bulan
lamanya, kemudian istri saya tidak ridha dan mengadukan halnya
kepada Pengadilan Agama dan pengaduannya dibenarkan, serta
diterima oleh Pengadilan tersebut, dan istri saya membayar uang
sebesar Rp. 1000,00 (seribu rupiah) sebagai iwadl (pengganti)
kepada saya, maka jatuhlah talak saya satu kepadanya.
Dalam Undang-undang Nomor 1 Tahun 1974 Tentang Perkawinan
pasal 29 (1) menyebutkan:
Pada waktu atau sebelum perkawinan dilangsungkan, kedua
pihak atas persetujuan bersama dapat mengadakan perjanjian tertulis
yang disahkan oleh Pegawai Pencatat Perkawinan, setelah mana isinya
berlaku juga terhadap pihak ketiga sepanjang pihak ketiga tersangkut
(Direktorat Pembinaan Badan Peradilan Agama Islam, 2001:138).
4
Perjanjian perkawinan bukan sesuatu yang wajib ada dalam
perkawinan, namun apabila perjanjian taklik talak sudah dibuat maka
perjanjian tersebut tidak dapat dicabut kembali. Hal ini sesuai dengan pasal
46 (3) Kompilasi Hukum Islam yang isinya sebagai berikut, “Perjanjian
taklik talak bukan suatu perjanjian yang wajib diadakan pada setiap
perkawinan, akan tetapi sekali taklik talak sudah diperjanjikan tidak dapat
dicabut kembali” (Direktorat Pembinaan Badan Peradilan Agama Islam,
2001:328).
Mengenai Hukum Acara Perdata Islam, pengajuan alat bukti diatur
dalam al-Qur‟an surat al-Baqarah ayat 282 yang bunyinya :
Artinya, “Dan persaksikanlah dengan dua orang saksi dari orang-orang
lelaki (di antaramu) (Q.S, al-Baqarah:282)”.
Surat ath-Thalaq ayat 2 :
Artinya, Dan persaksikanlah dengan dua orang saksi yang adil di
antara kamu dan hendaklah kamu tegakkan kesaksian itu karena
Allah. Demikianlah diberi pengajaran dengan itu orang yang beriman
kepada Allah dan hari akhirat. Barangsiapa bertakwa kepada Allah
niscaya Dia akan mengadakan baginya jalan keluar. (Q.S Ath-
Thalaq:2)
5
Rasulullah SAW bersabda :
انبيىت : روي انبيهقي وانطبراوي باسىاد صحيح ان رسىل صهي اهلل عهيً وسهم قال
(رواي انبيهقي وانطبراوي )عهي انمدعي وانيميه عهي مه اوكر
Artinya, “Bayyinah itu diwajibkan kepada Penggugat dan sumpah itu
diwajibkan kepada orang yang mengingkari”. (H.R, Baihaqi dan Thabarani)
(Sabiq, 1987:42).
Secara bahasa lafal bayyinah dalam hadits tersebut berarti hujjah
(argumentasi), atau burhan (tanda bukti). Sedangkan menurut istilah para
fuqoha, bayyinah adalah segala sesuatu yang diusahakan oleh Penggugat
untuk membenarkan gugatannya dalam memperoleh keputusan yang
diharapkan, sehingga bayyinah itu merupakan syarat mutlak untuk
memperkuat suatu gugatan.
B. Rumusan Masalah
Bertolak dari latar belakang penelitian di atas, maka dapat
dirumuskan beberapa rumusan masalah pertama bagaimana Majelis Hakim
dalam menilai alat bukti yang diajukan Penggugat di persidangan yang telah
dituangkan dalam putusan tersebut ? Kedua apa yang menjadi dasar
pertimbangan Majelis Hakim dalam putusan yang menolak gugatan
Penggugat dengan alasan kekerasan dalam rumah tangga tersebut ?
C. Tujuan Penelitian
Berdasarkan latar belakang dan rumusan masalah yang telah
diuraikan, penelitian ini mempunyai tujuan yaitu:
6
1. Untuk mengetahui Majelis Hakim menilai alat bukti yang diajukan
Penggugat di persidangan yang telah dituangkan dalam sebuah putusan.
2. Untuk mengetahui dasar pertimbangan Majelis Hakim dalam putusan
yang menolak gugatan Penggugat dengan alasan kekerasan dalam rumah
tangga.
D. Kegunaan Penelitian
Agar tulisan ini dapat memberikan hasil yang berguna secara
keseluruhan, maka penelitian ini sekiranya dapat memberikan manfaat
diantaranya:
1. Teoritis
Memberikan sumbangsih terhadap kemajuan perkembangan
ilmu pengetahuan pada umumnya dan ilmu hukum pada khususnya yang
memiliki kaitan dengan gugatan perceraian sehingga dapat mengungkap
permasalahan-permasalahan yang saling berhubungan erat (inherent) di
dalam proses pembaharuan hukum.
2. Praktis
a. Bagi masyarakat
Memberi wawasan dan pemahaman kepada masyarakat
mengenai gugatan perceraian serta akan dapat menunjukkan ke
arah mana sebaiknya hukum dibina berhubung dengan perubahan-
perubahan masyarakat.
7
b. Bagi Pengadilan Agama
Memberi masukan tentang perkembangan aspirasi dan
kebutuhan hukum yang terus berkembang dalam masyarakat
tentang gugatan perceraian.
c. Bagi STAIN Salatiga
Memberi masukan kepada akademik tentang masalah
hukum kekeluargaan (ahwal al-syakhshiyyah) yang memiliki
banyak perkembangan dalam masyarakat sehingga menarik untuk
dimasukkan sebagai kurikulum yang nantinya dapat memenuhi
kebutuhan dalam masyarakat serta menunjang pembaharuan hukum
dari hasil penemuan-penemuan di lapangan.
d. Bagi Penulis
Menambah ilmu pengetahuan dan pembentukan pola
berpikir serta pemenuhan pra-syarat dalam menyelesaikan
pembelajaran ilmu hukum Islam dalam bidang hukum keluarga
(ahwal al-Syakhshiyyah) pada Sekolah Tinggi Agama Islam Negeri
(STAIN) Salatiga.
E. Penegasan Istilah
Untuk menghindari kemungkinan terjadinya penafsiran yang
berbeda dengan maksud utama penulis dalam penggunaan kata pada judul,
maka perlu penjelasan beberapa kata pokok yang menjadi inti penelitian.
Adapun yang perlu penulis jelaskan adalah sebagai berikut:
8
1. Penolakan pengadilan adalah gugatan yang diajukan oleh Penggugat ke
pengadilan dalam putusan akhir yang dijatuhkan setelah menempuh
semua tahap pemeriksaan, dalil-dalil gugat tidak terbukti (Mardani,
2009:120).
2. Gugatan Perceraian adalah surat-surat yang diajukan oleh Penggugat
kepada Ketua Pengadilan Agama yang berwenang yang memuat tuntutan
hak yang didalamnya mengandung suatu sengketa dan sekaligus
merupakan dasar pemeriksaan perkara dan pembuktian kebenaran suatu
hak yang berkaitan perceraian.
3. Kekerasan Dalam Rumah Tangga adalah suatu bentuk penganiayaan
(abuse) secara fisik maupun emosional atau psikologis yang merupakan
suatu cara pengontrolan terhadap pasangan dalam kehidupan rumah
tangga (Awwalin, 2005:21)
F. Tinjauan Pustaka
Penolakan Pengadilan Terhadap Gugatan Perceraian dengan
Alasan Kekerasan dalam Rumah Tangga (Studi Analisis Putusan Nomor:
666/Pdt.G/2011/PA.Sal) belum pernah diangkat menjadi skripsi. Meskipun
demikian peneliti menemukan judul skripsi yang memilki kaitan dengan
masalah gugatan perceraian yaitu :
1. Kekerasan terhadap Isteri Dalam Rumah Tangga Sebagai Alasan
Perceraian (Studi Kasus di Pengadilan Agama Salatiga Tahun 1999-
2001) yang diangkat oleh Siti Nakiyah fokus pembahasannya adalah
pengertian kekerasan dalam rumah tangga, bentuk dan motif kekerasan
9
terhadap istri dalam rumah tangga, pandangan Hukum Islam tentang
kekerasan terhadap istri dalam rumah tangga, data perkara perceraian
yang dikabulkan gugatannya di Pengadilan Agama Salatiga antara tahun
1999-2001 dengan alasan kekerasan terhadap istri dalam rumah tangga.
2. Khulu’ Sebagai Penyebab Putusnya Perkawinan (Studi Kasus di
Pengadilan Agama Salatiga 2004-2005) oleh Wiwien Tri Haryono
dengan fokus penelitian membahas tentang hukum dan syarat talak,
pengertian perceraian, macam-macam talak khulu‟, kasus perceraian dan
sebab khulu‟ di Pengadilan Agama Salatiga, putusnya perkawinan karena
khulu‟.
3. Kekerasan Terhadap Istri Dalam Rumah Tangga (Studi Komparatif
Terhadap Hukum Islam dengan Undang-undang Nomor 23 Tahun 2004)
oleh Fithri Awwalin fokus pembahasannya adalah pengertian kekerasan
dalam rumah tangga, latar belakang terjadinya kekerasan dalam rumah
tangga, bentuk-bentuk kekerasan dalam perspektif Undang-undang
Nomor 23 Tahun 2004 dan Hukum Islam, akibat hukum tindakan
kekerasan yang dilakukan.
4. Pelanggaran Sighot Taklik Talak dalam Pernikahan Sebagai Alasan
Perceraian (Studi Kasus di Pengadilan Agama Salatiga Tahun 2002-
2004) oleh Umi Masykuroh fokus pembahasannya adalah pengertian,
dasar hukum dan faktor-faktor perceraian, dasar hukum dan macam-
macam taklik talak, pelanggaran taklik talak sebagai alasan perceraian,
10
proses penyelesaian perkara dengan alasan pelanggaran taklik talak, data
perceraian yang disebabkan pelanggaran taklik talak.
Berbeda dengan skripsi-skripsi yang sudah ada, disini penulis
menfokuskan pada dasar hukum penolakan Pengadilan Agama terhadap
gugatan perceraian dengan alasan adanya kekerasan dalam rumah tangga,
membahas hukum acara peradilan Agama, tentang alat-alat bukti atau dalil-
dalil gugatan dan pertimbangan khusus apa yang digunakan oleh hakim
dalam menetapkan putusan.
G. Metode Penelitian
Untuk memperoleh data yang akurat, penulis menggunakan metode
penelitian yang diantaranya adalah:
1. Pendekatan dan Jenis Penelitian
a. Pendekatan
Penelitian ini mendasarkan pada penelitian hukum normatif
(yuridis normatif). Penelitian hukum normatif (yuridis normatif) yaitu
metode penelitian hukum yang dilakukan dengan meneliti bahan
pustaka atau data sekunder. Dalam penelitian ini yang akan dicari
terkait dengan putusan perceraian.
b. Jenis Penelitian
Jenis penelitian ini adalah penelitian kualitatif yang secara
umum bersifat deskriptif. Sifat deskriptif ini dimaksudkan untuk
mendapatkan gambaran yang baik, jelas, dan dapat memberikan data
secermat mungkin tentang obyek yang diteliti. Dalam hal ini untuk
11
menggambarkan semua hal yang berkaitan tentang penolakan
pengadilan terhadap gugatan perceraian di Pengadilan Agama Salatiga
2. Lokasi Penelitian
Penelitian ini dilakukan oleh penulis di Pengadilan Agama
Salatiga Jl. Lingkar Selatan, Kelurahan Cebongan, Kecamatan
Argomulyo, Kota Salatiga. Penulis memilih lokasi tersebut karena
Pengadilan Agama Salatiga yang dalam tugas pokoknya menerima,
memeriksa, mengadili dan menyelesaikan setiap perkara yang diajukan
kepadanya, termasuk di dalamnya gugatan perceraian. Disamping itu
penulis mempunyai pertimbangan lain penelitian ini dilakuan di
Pengadilan Agama Salatiga yaitu untuk mengatahui sejauh mana antara
teori dan praktik pelaksanaan undang-undang dan peraturan tentang
Peradilan Agama.
3. Sumber Data
Penelitian ini menggunakan dua sumber data, yaitu:
a. Informan
Informan adalah orang yang dapat memberikan informasi
atau orang yang menjadi sumber data dalam penelitian (Departemen
Pendidikan Nasional, 2002:432). Informan adalah mereka yang
mempunyai banyak pengalaman atau yang berhubungan tentang
masalah yang sedang diteliti. Informan diharapkan dapat memberikan
pandangan mengenai semua hal yang berkaitan dengan latar penelitian
12
setempat. Dalam penelitian ini yang menjadi informan adalah Ketua
Pengadilan Agama Salatiga, hakim, panitera.
b. Dokumen
Dokumen adalah surat yang tertulis atau tercetak yang dapat
dipakai sebagai bukti keterangan (Departemen Pendidikan Nasional,
2002:272):
1) Surat gugatan Penggugat
2) Salinan putusan
3) Buku-buku yang memiliki kaitan dengan penelitian ini
4) Artikel ilmiah
5) Arsip-arsip yang mendukung
6) Putusan Hakim
4. Prosedur Pengumpulan Data
Prosedur pengumpulan data adalah proses untuk menghimpun
data yang diperlukan, relevan serta dapat memberikan gambaran dari
aspek yang akan diteliti baik penelitian pustaka ataupun penelitian
lapangan.
Dalam mengumpulkan data, penulis menggunakan metodologi
penelitian lapangan (field research) yaitu penelitian yang dilakukan
dengan terjun langsung secara aktif ke lapangan.
Prosedur penelitiannya meliputi:
13
a. Wawancara
Wawancara adalah tanya jawab secara lisan terhadap
informan dengan berhadapan secara langsung. Wawancara dilakukan
penulis kepada Ketua Pengadilan Agama Salatiga, hakim, panitera.
b. Observasi
Kegiatan ini diartikan sebagai pengamatan dan pencatatan
terhadap informasi yang didapat selama melakukan penelitian.
Observasi penelitian ini dilakukan di Kantor Pengadilan Agama
Salatiga baik di luar maupun di dalam proses persidangan.
c. Dokumentasi
Dokumentasi adalah pengumpulan, pemilihan, pengolahan,
dan penyimpanan informasi yang berupa catatan, transkip, buku,
surat kabar, agenda, dan lain sebagainya. Salah dokumentasi yang
dilakukan dalam penelitian ini adalah berkas secara utuh gugatan
perceraian yang akan diteliti.
5. Analisis Data
Yang dimaksud dengan analisis data yaitu suatu cara yang
dipakai untuk menganalisa, mempelajari serta mengolah kelompok data
tertentu, sehingga dapat diambil suatu kesimpulan yang kongkret tentang
permasalahan yang diteliti dan dibahas. Dalam penelitian ini penulis
menggunakan analisa data deduktif yaitu cara dengan berpikir dan
bertolak dari pernyataan yang bersifat umum kemudian ditarik pada
persoalan yang berkaitan dengan penelitian (Nawawi, 1990:63). Metode
14
ini digunakan dalam rangka mengetahui bagaimana penerapan kaidah-
kaidah normative dan yuridis dalam perkara gugatan perceraian.
6. Pengecekan Keabsahan Data
Dalam suatu penelitian, keabsahan data mempunyai peranan
yang sangat besar, sehingga untuk mendapatkan data yang valid
diperlukan suatu pengecekan. Menurut Nawawi (1992:218), “hasil
penelitian sebelum atau sesudah tersusun sebagai laporan dan bahkan
penafsiran-penafsiran data, perlu dicek kebenarannya, agar waktu
didistribusikan tidak terdapat keragu-raguan.
7. Tahap-tahap Penelitian
Setelah peneliti menentukan tema yang akan diteliti, maka
penulis melakukan penelitian pendahuluan ke Pengadilan Agama
Salatiga guna mendapatkan data awal dengan bertanya kepada panitera
dan hakim sehingga menghasilkan sebuah catatan-catatan, kemudian
mencari permasalahan yang ada. Data awal dan masalah yang sudah
diperoleh kemudian dilanjutkan dengan proses observasi ke lapangan dan
melakukan wawancara-wawancara kepada informan. Setelah data dan
fakta telah didapatkan langkah selanjutnya adalah proses penyusunan.
H. Sistematika Penulisan
Dalam penelitian ini, sistematika penulisan dapat digambarkan
sebagai berikut:
Bab I, Pendahuluan yang meliputi: latar belakang masalah,
rumusan masalah, tujuan penelitian, kegunaan penelitian, penegasan istilah,
15
tinjauan pustaka, metode penelitian (pendekatan dan jenis penelitian, lokasi
penelitian, sumber data, prosedur pengumpulan data, analisis data,
pengecekan keabsahan data, tahap-tahap penelitian), dan sistematika
penulisan.
Bab II, Kajian Pustaka yang meliputi: hukum acara perdata
Pengadilan Agama, pembahasan tentang gugatan perceraian, hukum acara
pemeriksaan, hukum acara pembuktian, putusan.
Bab III, Hasil Penelitian dan Pembahasan yang meliputi: profil
Pengadilan Agama Salatiga, kewenangan Pengadilan Agama Salatiga,
administrasi berperkara di Pengadilan Agama Salatiga, proses pemeriksaan
gugatan dalam persidangan, sikap hakim terhadap dalil-dalil gugatan.
Bab IV, Analisis Data yang meliputi: Analisis putusan yang
meliputi proses pemeriksaan perkara, dasar hukum atau pertimbangan yang
dipakai majelis hakim dalam menetapkan putusan.
Bab V, Penutup yang meliputi: kesimpulan dan saran.
16
BAB II
PENERAPAN HUKUM ACARA PERDATA PERADILAN AGAMA
DALAM PEMERIKSAAN GUGATAN PERCERAIAN
A. Hukum Acara Perdata Peradilan Agama
1. Pengertian
Hukum Acara Peradilan Agama adalah peraturan hukum yang
mengatur bagaimana caranya menjamin ditaatinya hukum perdata
materiil Peradilan Agama dengan perantaraan hakim Peradilan Agama.
Sedangkan Hamami (2003:24) mengatakan bahwa Hukum
Acara Perdata Peradilan Agama adalah ketentuan-ketentuan yang
mengatur tentang bagaimana cara mengajukan tuntutan hak di pengadilan
di lingkungan Badan Peradilan Agama, bagaimana cara hakim
memeriksa dan memutus perkara yang ditanganinya, dan bagaimana cara
melaksanakan putusan yang dijatuhkan oleh pengadilan di lingkungan
Badan Peradilan Agama.
Hukum Acara Perdata Peradilan Agama termasuk dalam ruang
lingkup hukum prifat (privat law) disamping Hukum Perdata Materiil.
Hukum Acara Perdata disebut juga Hukum Perdata Formal, karena ia
mengatur tentang proses penyelesaian perkara melalui pengadilan sesuai
dengan norma-norma yang telah ditentukan secara formal sebagaimana
tercantum dalam pasal 54 Undang-undang Nomor 7 Tahun 1989 Tentang
Peradilan Agama Hukum Acara Perdata yang berlaku di Peradilan
17
Agama adalah hukum acara perdata yang berlaku pada Peradilan dalam
lingkungan Peradilan Umum, kecuali yang diatur secara khusus.
Adapun Hukum Acara Peradilan Agama yang diatur secara
khusus adalah pertama biaya perkara perceraian dibebankan kepada
penggugat, kedua saksi keluarga yang dihadirkan dalam persidangan,
ketiga sumpah li‟an, keempat perkara perceraian sidang dilaksanakan
dalam sidang tertutup untuk umum, kelima perkara perceraian dengan
harta bersama dalam satu gugatan atau perkara, keenam dalam perkara
perceraian gugatan diajukan di tempat penggugat, ketujuh khulu‟,
kedelapan panggilan tergugat yang ghaib dalam perkara perceraian.
2. Asas Hukum Acara Perdata Peradilan Agama
Pengadilan Agama dalam melaksanakan tugas-tugas
peradilannya harus berpijak pada berbagai asas yang dimilikinya.
Adapun asas-asas Hukum Acara Peradilan Agama sebagaimana
disebutkan dalam HIR, RBG, Rv, Undang-undang Nomor 14 Tahun
1970, Undang-undang Nomor 1 Tahun 1974, Undang-undang Nomor 7
Tahun 1989, yaitu:
a. Peradilan Agama adalah peradilan negara.
b. Peradilan Agama adalah peradilan bagi orang-orang yang beragama
Islam.
c. Peradilan Agama menetapkan dan menegakkan hukum dan keadilan
berdasarkan Pancasila.
18
d. Peradilan Agama memeriksa, memutuskan dan menyelesaikan perkara
berdasarkan hukum Islam.
e. Peradilan Agama dilakukan Demi Keadilan Berdasarkan Ketuhanan
Yang Maha Esa.
f. Peradilan dilakukan dengan sederhana, cepat dan biaya ringan.
g. Peradilan dilakukan menurut hukum dan tidak membedakan orang.
h. Peradilan dilakukan bebas dari pengaruh dan campur tangan dari luar.
i. Peradilan dilakukan dalam persidangan majelis dengan sekurang-
kurangnya 3 (tiga) orang hakim (ketua dan dua anggota) dengan
dibantu oleh panitera sidang.
j. Pihak yang diadili mempunyai hak ingkar terhadap hakim yang
mengadili.
k. Hakim bersifat menunggu.
Maksudnya yaitu tidak ada tuntutan hak maka tidak ada
hakim (nemo yudek sine aktore), hakim dianggap tahu (ius curia
novit), inisiatif mengajukan perkara ada pada pihak yang
berkepentingan (inde ne proeedat ex officio).
l. Hakim pasif.
Maksudnya yaitu para pihak yang wajib membuktikan
(verharlungs maxime), sedangkan hakim wajib mengumpulkan bahan
(untersiungs maxime).
m. Hakim aktif dalam memimpin persidangan.
n. Mendengar kedua belah pihak dan tidak memihak.
19
o. Pengajuan alat bukti harus dilakukan di muka sidang yang dihadiri
kedua pihak.
p. Hakim membantu para pihak.
q. Putusan harus disertai alasan dan memuat dasar hukum.
r. Hakim wajib mengadili setiap perkara yang diajukan kepadanya,
hakim tidak boleh menolak perkara dengan dalih bahwa hukum tidak
atau kurang jelas, melainkan wajib untuk memeriksa dan mengadili.
s. Rapat permusyawaratan hakim bersifat rahasia.
t. Setiap putusan atau penetapan dimulai dengan kalimat
Bismillahirrahmanirrahim diikuti dengan Demi Keadilan Berdasarkan
Ketuhanan Yang Maha Esa.
u. Terhadap setiap putusan atau penetapan diberikan jalan upaya hukum
menurut undang-undang.
3. Sumber Hukum
a. HIR (Herzeine Indlandsch Reglement) atau Reglement Indonesia yang
diperbaharui).
b. R.Bg (Rechtsreglement voor de Buitengewesten) atau Rechtsreglement
Buitengenwesten, Staatblad Tahun 1927 Nomor 227.
c. Rv (Reglement of de Burgelijke Rechsvordering) Staatblad Nomor 52,
63 Tahun 1849 apabila tidak ada dalam HIR dan R.Bg.
d. KUH (Kitab Undang-undang Hukum Acara) Perdata Buku III tentang
pembuktian dan daluarsa.
20
e. Undang-undang Nomor 1 tahun 1974 tentang Perkawinan dan
Peraturan Pemerintah Nomor 9 tahun 1975 tentang Pelaksanaan
Undang-undang Perkawinan.
f. Undang-undang Nomor 14 Tahun 1970, yang telah diubah dengan
Undang-undang Nomor 35 Tahun 1999 dan diubah lagi dengan
Undang-undang Nomor 4 Tahun 2004.
g. Undang-undang Nomor 14 Tahun 1985 tentang Mahkamah Agung
Republik Indonesia yang telah diubah dengan Undang-undang Nomor
5 Tahun 2004.
h. Undang-undang Nomor 7 Tahun 1989, yangg telah diubah denga
Undang-undang Nomor 3 Tahun 2006 Tentang Peradilan Agama dan
perubahan kedua dengan Undang-undang Nomor 50 Tahun 2009.
i. Undang-undang Nomor 41 Tentang Wakaf.
j. Undang-undang Nomor 13 Tahun 1985 Tentang Biaya Meterai.
k. Undang-undang Nomor 30 Tahun 2004 Tentang Jabatan Notaris.
l. Undang-undang Nomor 7 Tahun 1992 Tentang Perbankan.
m. Undang-undang Nomor 10 Tahun 1998 Tentang Perubahan Undang-
undang Nomor 7 Tahun 1992 Tentang Perbankan.
n. Undang-undang nomor 11 Tahun 1992 Tentang Dana Pensiun.
o. Undang-undang Nomor 21 Tahun 2008 Tentang Perbankan Syari‟ah.
p. Peraturan Pemerintah Nomor 28 Tahun 1977 Tentang Perwakafan
Tanah Milik.
21
q. Peraturan Pemerintah Nomor 39 Tahun 2008 Perubahan Kedua Atas
Peraturan Pemerintah Nomor 73 Tahun 1992 Tentang
Penyelenggaraan Perasuransian.
r. Peraturan Bank Indonesia dan Surat Edaran Gubernur Bank Indonesia.
s. Kompilasi Hukum Islam dan Kompilasi Hukum Ekonomi Islam.
t. Perma (Peraturan Mahkamah Agung).
u. Sema (Surat Edaran Mahkamah Agung).
v. Permenag (Peraturan Menteri Agama).
w. Kepmenag (Keputusan Menteri Agama).
x. Yurisprudensi Mahkamah Agung Republik Indonesia.
y. Fatwa Dewan Syariah Nasional.
z. Kitab-kitab fiqh Islam dan sumber hukum tidak tertulis lainnya.
4. Tugas Hakim
Peradilan Agama sebagai salah satu pelaksana kekuasaan
kehakiman mempunyai tugas pokok untuk menerima, memeriksa dan
mengadili serta menyelesaikan setiap perkara yang diajukan kepadanya
guna menegakkan hukum dan keadilan.
Hakim Peradilan Agama mempunyai tugas untuk menegakkan
Hukum Perdata Islam yang menjadi wewenangnya dengan cara-cara
yang diatur dalam Hukum Acara Peradilan Agama.
Tugas pokok hakim dibagi menjadi dua pertama tugas yustisial
dan kedua tugas bukan di bidang yustisial. Tugas hakim dibidang
yustisial yaitu:
22
a. Membantu pencari keadilan. Hal ini diatur dalam pasal 5 (2) Undang-
undang Nomor 14 Tahun 1970. Pemberian bantuan tersebut harus
dalam hal-hal yang dianjurkan oleh hukum acara perdata yaitu dalam
hal-hal sebagai berikut:
1). Membuat gugatan bagi yang buta huruf.
2). Memberi pengarahan tata cara berperkara secara prodeo.
3). Menyarankan penyempurnaan surat kuasa.
4). Menganjurkan perbaikan surat gugatan.
5). Memberi penjelasan tentang alat bukti yang sah.
6). Memberi penjelasan tentang cara mengajukan bantahan dan
jawaban.
7). Bantuan memanggil saksi secara resmi.
8). Memberi penjelasan tentang acara verzet dan rekonpensi.
9). Memberi penjelasan tentang upaya hukum.
10). Mengarahkan dan membantu menformulasikan perdamaian.
b. Mendamaikan pihak-pihak yang bersengketa.
Perdamaian adalah lebih baik daripada putusan yang
dipaksakan terutama dalam gugatan perceraian, maka hakim harus
lebih bersungguh-sungguh dalam upaya perdamaian.
c. Mengawasi pelaksanaan putusan.
Panitera dan Jurusita yang dipimpin Ketua Pengadilan
merupakan pelaksana putusan dalam perkara perdata. Hakim wajib
23
mengawasi pelaksanaan putusan tersebut agar putusan dapat
dilaksanakan dengan baik.
d. Memimpin persidangan.
Dalam memimpin persidangan hakim menetapkan hari
sidang, memerintahkan memanggil para pihak berperkara, mengatur
mekanisme sidang, mengambil prakarsa untuk kelancaran sidang,
melakukan pembuktian dan mengakhiri sengketa.
e. Meminutir berkas perkara.
Minutering yaitu tindakan yang menjadikan semua dokumen
perkara menjadi dokumen resmi dan sah.
f. Memberi pengayoman kepada pencari keadilan.
Hakim wajib memberi rasa aman dan pengayoman kepada
pencari keadilan melalui pendekatan secara manusiawi, sosiologi,
psikologi, dan filosofis yang relijius dan sekaligus yuridis.
g. Memeriksa dan mengadili perkara.
Dalam memeriksa dan mengadili perkara hakim harus
mengikuti prosedur hukum acara pemeriksaan.
h. Mengatasi segala hambatan dan rintangan.
Untuk tercapainya peradilan yang sederhana, cepat dan biaya
ringan, maka hakim wajib mengatasi segala rintangan baik yang
berupa tehnis maupun yuridis.
i. Menggali nilai-nilai hukum yang hidup dalam masyarakat.
24
Sebagaimana pasal 27 (1) Undang-undang Nomor 14 Tahun
1970 hakim sebagai penegak hukum dan keadilan wajib menggali,
mengikuti dan memahami nilai-nilai hukum yang hidup dalam
masyarakat.
j. Mengawasi penasehat hukum.
Pengawasan terhadap penasehat hukum bertujuan membantu
peradilan apabila terjadi pelanggaran kode etik dan hukum profesi
yang dilakukannya.
Sedangkan tugas hakim bukan dibidang yustisial adalah:
a. Tugas pengawasan sebagai hakim pengawas bidang.
b. Turut melaksanakan hisab, rukyat dan mengadakan kesaksian hilal.
c. Melayani riset untuk kepentingan ilmiah.
d. Sebagai rokhaniwan sumpah jabatan.
e. Memberikan penyuluhan hukum.
f. Tugas-tugas lain yang diberikan kepadanya.
B. Gugatan Perceraian
1. Pengertian
Gugatan pada prinsipnya didefinisikan sebagai tuntutan hukum
guna pemenuhan hak dan kewajiban tertentu, yang diajukan oleh
seseorang atau lebih (sebagai penggugat) terhadap seseorang atau suatu
badan hukum atau lebih (sebagai tergugat).
Gugatan adalah suatu surat yang diajukan oleh penggugat
kepada Ketua Pengadilan Agama yang berwenang, yang memuat
25
tuntutan hak yang di dalamnya mengandung suatu sengketa dan sekaligus
merupakan dasar landasan pemeriksaan perkara dan pembuktian
kebenaran suatu hak (Arto, 2007:36).
Dengan demikian dapat disimpulkan gugatan perceraian adalah
surat-surat yang diajukan oleh penggugat kepada Ketua Pengadilan
Agama yang berwenang yang memuat tuntutan hak yang didalamnya
mengandung suatu sengketa dan sekaligus merupakan dasar pemeriksaan
perkara dan pembuktian kebenaran suatu hak yang berkaitan dengan
perceraian.
2. Prinsip-prinsip Gugatan
Gugatan yang dibuat oleh penggugat atau kuasanya harus
memenuhi prinsip-prinsip gugatan perdata. Adapun prinsip-prinsip
tersebut adalah :
a. Ada dasar hukum yang jelas. Menurut pasal 118 HIR dan pasal 142
R.Bg, “siapa saja yang merasa hak pribadinya dilanggar oleh orang
lain sehingga mendatangkan kerugian, dan ia tidak mampu
menyelesaikan sendiri persoalan tersebut, maka ia dapat meminta
kepada pengadilan untuk menyelesaikan masalah itu sesuai dengan
hukum yang berlaku”.
Sehubungan dengan hal tersebut, maka para pihak yang
bermaksud mengajukan gugatan kepada pengadilan harus diketahui
lebih dahulu dasar hukumnya. Gugatan yang tidak ada dasar
hukumnya sudah pasti akan ditolak oleh hakim dalam sidang
26
pengadilan karena dasar hukum inilah yang menjadi dasar putusan
yang diambilnya.
b. Adanya kepentingan hukum. Suatu tuntutan hak yang akan diajukan
kepada pengadilan yang dituangkan dalam sebuah gugatan, pihak
penggugat harus mempunyai kepentingan hukum yang cukup. Orang
yang tidak mempunyai kepentingan hukum tidak dibenarkan untuk
menjadi para pihak dalam mengajukan gugatan, oleh karena itu syarat
mutlak untuk dapat mengajukan gugatan adalah kepentingan hukum
secara langsung yang melekat dari penggugat. Tidak setiap orang yang
mempunyai kepentingan dapat mengajukan gugatan, apabila
kepentingan itu tidak langsung dan melekat pada dirinya.
c. Dibuat dengan cermat dan terang. Pada prinsipnya semua gugatan
harus dibuat secara tertulis. Bagi penggugat yang tidak dapat
membaca dan menulis maka gugatan diajukan secara lisan kepada
Ketua Pengadilan Agama (Pasal 118, 120 HIR dan pasal 144 (1)
R.Bg).
Gugatan secara tertulis harus disusun dalam surat gugatan
yang dibuat secara cermat dan terang, jika tidak dilakukan secara
demikian maka akan mengalami kegagalan dalam sidang pengadilan.
Adapun gugatan yang diajukan secara lisan Ketua Pengadilan
Agama dapat menyuruh kepada hakim untuk mencatat segala sesuatu
yang dikemukakan oleh penggugat, maka gugatan tersebut
27
ditandatangani oleh Ketua Pengadilan atau hakim yang menerimanya
itu.
d. Memahami hukum formil dan materiil. Sebuah gugatan dikatakan
baik dan benar apabila orang yang membuat surat gugatan itu
mengetahui tentang hukum formal dan hukum materiil, sebab kedua
hukum tersebut berkaitan erat dengan seluruh isi gugatan yang akan
dipertahankan dalam sidang pengadilan.
e. Merupakan suatu sengketa. Gugatan yang diajukan kepada pengadilan
harus bersifat sengketa, dan persengketaan itu telah menyebabkan
kerugian dari pihak penggugat, sehingga perlu diselesaikan melalui
pengadilan sebagai instansi yang berwenang dan tidak memihak.
3. Susunan Gugatan Perceraian
Dalam HIR dan R.Bg tidak disebutkan secara tegas dan rinci
tentang bagaimana seharusnya gugatan itu disusun. Siapapun bebas
menyusun dan merumuskan surat gugatannya asal cukup memberikan
keterangan tentang kejadian materiil yang menjadi dasar gugatan.
Menurut pasal 8 (3) Rv menyebutkan, “surat gugat harus dibuat
secara sistematis dengan unsur-unsur identitas para pihak, dalil-dalil
kongkret tentang adanya hubungan hukum yang merupakan dasar dari
gugatan serta petitum atau apa yang diminta atau dituntut”.
a. Identitas para pihak berperkara (persona standi on judicio) yang
meliputi pertama nama lengkap beserta bin atau binti dan aliasnya,
kedua tempat dan tanggal lahir, ketiga agama, keempat pekerjaan,
28
kelima tempat tinggal atau domisili, keenam kedudukannya sebagai
pihak dalam perkara yang diajukan ke pengadilan. Bagi para pihak
dalam gugatannya memakai advokat, maka identitas advokat juga
dicantumkan dalam gugatan tersebut.
b. Posita atau fundamentum petendi. Posita merupakan dalil-dalil
kongkret tentang adanya hubungan hukum yang merupakan dasar
serta alasan-alasan daripada tuntutan. Posita terdiri dari dua bagian
yaitu pertama bagian yang menguraikan tentang kejadian atau
peristiwa hukum (feitelijke gronden).
Pasal 38 Undang-undang Nomor 1 Tahun 1974 menyebutkan
“Perkawinan dapat putus karena: a. kematian, b. perceraian, c. atas
keputusan pengadilan”. Sedangkan dalam pasal 116 Kompilasi
Hukum Islam menyebutkan bahwa alasan-alasan perceraian yaitu:
Salah satu pihak berbuat zina atau menjadi pemabuk,
pemadat, penjudi dan lain sebagainya yang sukar disembuhkan,
salah satu pihak meninggalkan pihak lain selama 2 (dua) tahun
berturut-turut tanpa izin pihak lain dan tanpa alasan yang sah
atau karena hal lain diluar kemampuannya, salah satu pihak
mendapat hukuman penjara 5 (lima) tahun atau hukuman yang
lebih berat setelah perkawinan berlangsung, salah satu pihak
melakukan kekejaman atau penganiayaan berat yang
membahayakan pihak lain, salah satu pihak mendapat cacat
badan atau penyakit dengan akibat tidak dapat menjalankan
kewajibannya sebagai suami atau isteri, antara suami dan isteri
terus menerus terjadi perselisihan dan pertengkaran dan tidak
ada harapan akan hidup rukun lagi dalam rumah tangga, suami
melanggar taklik talak, peralihan agama atau murtad yang
menyebabkan terjadinya ketidak rukunan dalam rumah tangga.
Erat kaitannya dengan posita atau fundamentum petendi yang
disebutkan dalam pasal 116 Kompilasi Hukum Islam yaitu tentang
29
alasan-alasan yang dapat diajukan oleh penggugat ke Pengadilan
Agama dalam gugatan perceraiannya dengan alasan kekerasan dalam
rumah tangga yang sampai saat ini persoalan tersebut sering muncul di
masyarakat. Persoalan tersebut sering dibawa ke Pengadilan Agama
sebagai dasar alasan gugatan perceraian.
a. Pengertian kekerasan dalam rumah tangga
Kata kekerasan mengingatkan penulis pada suatu keadaan,
situasi ataupun perlakuan yang menimbulkan rasa sakit, tidak
nyaman dan berbagai bentuk kerugian baik secara fisik maupun
emosional psikologis. Faqih (1997:17) mengatakan “kekerasan
adalah serangan atau invasi terhadap fisik maupun integritas
(keutuhan) mental psikologis seseorang”. Kekerasan dalam rumah
tangga (KDRT) adalah kekerasan yang dilakukan di dalam rumah
tangga baik oleh suami maupun oleh istri.
Menurut Pasal 1 Undang-undang Nomor 23 Tahun 2004
Tentang Penghapusan Kekerasan dalam Rumah Tangga pengertian
kekerasan dalam rumah tangga adalah
setiap perbuatan terhadap seseorang terutama perempuan, yang
berakibat timbulnya kesengsaraan atau penderitaan secara
fisik, seksual, psikologis, dan/atau penelantaran rumah tangga
termasuk ancaman untuk melakukan perbuatan, pemaksaan,
atau perampasan kemerdekaan secara melawan hukum dalam
lingkup rumah tangga.
b. Bentuk-bentuk kekerasan dalam rumah tangga
Berdasarkan pengertian kekerasan dalam rumah tangga
sebagaimana yang dinyatakan dalam pasal 1 Undang-undang
30
Nomor 23 Tahun 2004 Tentang Penghapusan Kekerasan dalam
Rumah Tangga, maka bentuk-bentuk kekerasan dalam rumah
tangga dapat berupa:
1) Kekerasan fisik
Yaitu bentuk yang paling nyata dan mudah
diidentifikasi. Serangan secara fisik ini berupa pemukulan
tangan, menampar, dibenturkan ke tembok, mendorong,
menjepit, mencekik, menendang, menempeleng dan lain-lain.
2) Kekerasan secara psikologis
Bentuk kekerasan ini berupa tindakan pengendalian,
manipulasi, eksploitasi, kesewenangan, perendahan dan
penghinaan dalam bentuk pelarangan, pemaksaan dan isolasi
sosial, tindakan dan atau ucapan yang merendahkan atau
menghina.
3) Kekerasan seksual
Kekerasan seksual dapat berupa kekerasan seksual
ringan dan kekerasan seksual berat. Kekerasan seksual ringan
berupa pelecehan seksual secara verbal misalnya: gurauan
porno, siulan, ejekan dan julukan dan atau secara non verbal,
seperti ekspresi wajah, gerakan tubuh atau pun perbuatan
lainnya yang meminta perhatian seksual yang tidak dikehendaki
korban bersifat melecehkan dan atau menghina korban.
31
Sedangkan kekerasan seksual berat berupa pelecehan
seksual dengan kontak fisik, seperti meraba, menyentuh organ
seksual, mencium secara paksa, merangkul serta perbuatan lain
yang menimbulkan rasa muak atau jijik, terteror, terhina dan
merasa dikendalikan.
4) Kekerasan secara ekonomis
Yaitu tindakan eksploitasi, manipulasi dan
pengendalian lewat sarana ekonomi misalnya: memaksa korban
bekerja dengan cara eksploitatif termasuk pelacuran, melarang
korban bekerja tetapi menelantarkannya, mengambil tanpa
sepengetahuan dan tanpa persetujuan korban, merampas dan
atau memanipulasi harta benda korban.
c. Motif Kekerasan Dalam Rumah Tangga
Ada beberapa hal penyebab atau motifasi tindakan
kekerasan dalam rumah tangga yaitu:
1) Laki-laki dan perempuan tidak dalam posisi yang setara.
2) Masyarakat menganggap laki-laki dengan menanamkan
anggapan bahwa laki-laki harus kuat, berani serta tanpa ampun.
3) Kekerasan dalam rumah tangga dianggap bukan sebagai
permasalahan sosial, tetapi persoalan pribadi terhadap relasi
suami istri, orang lain tidak boleh ikut campur.
4) Pemahaman keliru terhadap ajaran agama, sehingga timbul
anggapan bahwa laki-laki boleh menguasai perempuan.
32
Dengan demikian kekerasan dalam rumah tangga dapat
dikategorikan dalam pelanggaran taklik talak atau salah satu pihak
melakukan kekejaman atau penganiayaan berat yang membahayakan
pihak lain sehingga hal tersebut dapat dijadikan dasar dalam posita
gugatan perceraian.
Menurut Manan (2006:25), “cara menyusun gugatan dikenal
dua teori yaitu substantiering theorie dan individualisering theorie”.
Teori substansi yaitu merumuskan peristiwa hukum dengan
menjelaskan fakta-fakta yang mendahuluinya sebagai penyebab
timbulnya suatu peristiwa hukum.
Sedangkan teori individual yaitu merumuskan peristiwa
hukum dalam gugatan dengan memperlihatkan secara jelas hubungan
hukum yang menjadi dasar gugatan, tetapi tidak mengemukakan
secara rinci kronologi terjadinya hubungan hukum itu.
Bagian kedua menguraikan tentang dasar hukumnya
(rechtgronden) yaitu fakta-fakta dan dasar hukum dengan menunjuk
sifat melawan hukum, ketentuan hukum ataupun asas-asas hukum
mana saja yang sudah dilanggar berdasarkan fakta-fakta perbuatan
atau peristiwa.
c. Petitum.
Petitum adalah apa yang diminta atau diharapkan oleh
penggugat agar diputuskan oleh hakim dalam persidangan yang harus
dirumuskan secara jelas dan tegas.
33
Dalam praktik peradilan, petitum atau tuntutan dibagi tiga
bagian yaitu :
1). Tuntutan primer atau tuntutan pokok . Tuntutan ini merupakan
tuntutan yang sebenarnya, atau apa yang diminta oleh penggugat
sebagaimana yang dijelaskan dalam posita.
2). Tuntutan tambahan. Tuntutan tambahan merupakan tuntutan
pelengkap daripada tuntutan pokok.
3). Tuntutan subsider atau pengganti. Tuntutan subsider diajukan
untuk mengantisipasi barangkali tuntutan pokok dan tuntutan
tambahan tidak diterima oleh hakim.
4. Kumulasi Gugatan
Kumulasi gugatan yaitu gabungan beberapa gugatan hak atau
gabungan beberapa pihak yang mempunyai akibat hukum yang sama,
dalam satu proses perkara.
Ada beberapa macam kumulasi gugatan yaitu:
a. Kumulasi suyektif yaitu penggabungan beberapa penggugat atau
tergugat dalam satu gugatan.
b. Kumulasi obyektif yaitu penggabungan beberapa tuntutan terhadap
beberapa peristiwa hukum dalam satu gugatan. Pasal 66 (5) dan pasal
86 (1) Undang-undang Nomor 7 Tahun 1989 mengatakan bahwa
gugatan masalah penguasaan anak, nafkah isteri, dan harta bersama
sumai isteri dapat diajukan bersama-sama dengan gugatan perceraian,
ataupun sesudah perceraian terjadi.
34
c. Intervensi yaitu ikut sertanya pihak ketiga dalam suatu proses perkara.
Intervensi ada 3 (tiga) macam yaitu:
1). Voeging yaitu masuknya pihak ketiga atas kehendaknya sendiri
untuk membantu salah satu pihak menghadapi pihak lawan.
2). Vrijwaring yaitu masuknya pihak ketiga ditarik oleh tergugat
dengan maksud agar ia menjadi penanggung bagi tergugat.
3). Tusencomst yaitu masuknya pihak ketiga dalam proses suatu
perkara yang sedang berjalan untuk membela kepentingannya
sendiri.
C. Hukum Acara Pemeriksaan Perkara Perceraian
1. Pemanggilan Para Pihak
Penyampaian surat panggilan kepada para pihak merupakan
tahap pertama pemeriksaan perkara yang diawali dengan ditetapkannya
pelaksanaan hari persidangan perkara oleh Ketua Majelis Hakim, yang
disingkat dengan PHS. Penetapan pelaksanaan sidang atas perkara
tersebut, jarak antara hari dan tanggal dibuatnya Penetapan Majelis
Hakim (PMH) dengan hari sidang disesuaikan dengan kondisi para pihak
berperkara (jarak jauh dekatnya).
Bagi para pihak yang diketahui alamatnya di wilayah Hukum
Republik Indonesia, selambat-lambatnya 30 (tiga puluh) hari sejak
perkara tersebut terdaftar di Kepaniteraan Pengadilan Agama. Sedangkan
bagi para pihak yang berdomisili di luar negeri, tenggang waktunya
sekurang-kurangnya 6 (enam) bulan, dan bagi para pihak yang tidak
35
diketahui tempat kediamannya yang jelas tenggang waktunya sekurang-
kurangnya 4 (empat) bulan sejak perkara tersebut terdaftar di
Kepaniteraan Pengadilan Agama. Hal ini diatur dalam pasal 68 (1), 80
(2), Undang-undang Nomor 7 Tahun 1989 dan pasal 27, 29 (30)
Peraturan Pemerintah Nomor 9 Tahun 1975.
Jurusita atau Jurusita Pengganti dalam menyampaikan surat
panggilan kepada para pihak berperkara harus disampaikan secara patut
dan resmi. Panggilan yang patut dan resmi sesuai dengan ketentuan pasal
26, 27 dan 28 Peraturan Pemerintah Nomor 9 Tahun 1975 dan pasal 390
HIR serta pasal 718 R.Bg yaitu:
a. Tenggang waktu antara diterimanya surat panggilan dengan hari dan
tanggal sidang sekurang-kurangnya 3 (tiga) hari.
b. Penyampaian surat panggilan dilakukan di tempat domisili para pihak
secara pribadi langsung. Apabila Jurusita atau Jurusita Pengganti tidak
bertemu yang bersangkutan, maka penyampaian surat panggilan
dilakukan melalui Kepala Desa atau Kepala Kelurahan tempat
kediaman yang dipanggil.
c. Untuk tergugat dalam surat panggilannya yang pertama dilampirkan
salinan surat gugatan yang dibuat penggugat.
Jurusita atau Jurusita Pengganti yang menyampaikan surat
panggilan kepada para pihak berperkara yang berdomisili di luar negeri
dilakukan melalui perwakilan Indonesia setempat. Tenggang waktu patut
dan resminya pemanggilan sekurang-kurangnya adalah 6 (enam) bulan.
36
Aturan dalam menyampaikan surat panggilan yang patut dan
resmi bagi pihak tergugat yang tidak diketahui alamatnya di wilayah
Hukum Republik Indonesia sesuai ketentuan pasal 27 (1), (2) dan (3)
Peraturan Pemerintah Nomor 9 Tahun 1975 yaitu:
a. Panggilan dilakukan sebanyak 2 (dua) kali dengan tenggang waktu 1
(satu) bulan antara panggilan pertama dengan panggilan yang kedua,
dan panggilan kedua dengan pelaksanaan hari dan tanggal persidangan
sekurang-kurangnya 3 (tiga) bulan.
b. Panggilan dilakukan dengan cara menempelkan salinan surat gugatan
pada papan pengumuman dan mengumumkannya melalui media masa.
Segala peristiwa yang ditemui oleh Jurusita atau Jurusita
Pengganti saat menyampaikan surat panggilan, apakah ia bertemu
langsung atau tidak dengan yang dipanggil, bagaimana cara ia
menyampaikannya, harus dicatat dalam berita acara panggilan.
Setelah Jurusita atau Jurusita Pengganti selesai
melaksanakannya, kemudian surat panggilan tersebut diserahkan kepada
Ketua Majelis Hakim yang akan memeriksa perkara tersebut sebagai
bukti bahwa para pihak telah dipanggil.
Setelah para pihak berperkara mendapatkan surat panggilan dari
pengadilan supaya datang menghadap di persidangan yang telah
ditentukan hari dan tanggalnya, maka dimulai sidang pertama
pemeriksaan perkara tersebut oleh Majelis Hakim.
37
Sidang pertama yaitu sidang yang ditunjuk atau ditetapkan
menurut yang tertera dalam Penetapan Hari Sidang (PHS) yang
ditetapkan oleh Ketua Majelis Hakim, atau juga dapat diartikan sidang
yang akan dimulai pertama kali menurut surat panggilan.
Dalam sidang pertama tersebut, para pihak yang telah dipanggil
untuk hadir dalam sidang ada beberapa kemungkinan yaitu:
a. Penggugat tidak hadir, sedangkan tergugat hadir, maka Majelis
Hakim dapat menyatakan gugatan dinyatakan gugur, atau menunda
persidangan sekali lagi untuk memanggil penggugat.
b. Tergugat tidak hadir, sedangkan penggugat hadir, maka Majelis
Hakim dapat menunda persidangan untuk memanggil tergugat sekali
lagi. Dalam hal ini, Arto (2007:87) menyatakan Majelis Hakim tidak
dapat menjatuhkan putusan verstek dalam perkara perdata perceraian,
karena menurut pendapat Mahkamah Agung terbaru, khusus perkara
perceraian hanya dapat dijatuhkan apabila dalil-dalil gugat telah
dibuktikan dalam persidangan.
c. Tergugat tidak hadir tetapi mengirim surat jawaban. Walaupun telah
dipanggil dengan patut dan resmi tergugat tetap tidak datang hanya
mengirimkan surat jawaban maka surat itu tidak perlu diperhatikan
dan dianggap tidak pernak ada, kecuali jika surat itu berisi tentang
perlawanan (eksepsi) tentang kewenangan relatif pengadilan maka hal
tersebut harus diperiksa oleh Majelis Hakim dan diputus setelah
mendengar dari penggugat (pasal 125 (2) HIR).
38
d. Penggugat dan tergugat tidak hadir dalam persidangan. Jika penggugat
dan tergugat tidak hadir dalam sidang pertama, maka sidang harus
ditunda dan atau para pihak berperkara dipanggil lagi sampai dapat
diajukan putusan gugur atau verstek atau perkara dapat diperiksa.
e. Penggugat dan tergugat hadir dalam persidangan. Jika para pihak
hadir semua dalam persidangan, maka Majelis Hakim sebelum
memulai memeriksa pokok perkaranya wajib berusaha mendamaikan
para pihak.
Dalam sengketa yang berkaitan dengan status seseorang
(perceraian) maka tindakan Majelis Hakim dalam mendamaikan para
pihak yang bersengketa untuk menghentikan persengketaannya adalah
mengupayakan tidak terjadinya perceraian.
2. Perdamaian
Asas umum sebelum memeriksa pokok perkara hakim harus
mengupayakan perdamaian bagi pihak-pihak yang bersengketa cukup
pada sidang pertama saja. Hal ini ditegaskan dalam pasal 130 HIR dan
pasal 154 R.Bg.
Berbeda dengan perkara perceraian yang merupakan perkara
khusus sebagaimana pasal 82 Undang-undang Nomor 7 Tahun 1989 dan
pasal 143 Kompilasi Hukum Islam, maka upaya mendamaikan
merupakan kewajiban hukum hakim untuk dilaksanakan usahanya
selama proses pemeriksaan sidang.
39
Usaha mendamaikan dapat dilakukan pada setiap sidang
pemeriksaan pada semua tingkat peradilan, yaitu tingkat pertama, tingkat
banding maupun kasasi selama perkara belum diputus dan mempunyai
kekuatan hukum tetap pada tingkat tersebut, jadi tidak hanya dalam
ringkat pertama sebagaimana lazimnya perkara perdata.
Apabila upaya perdamaian yang dilakukan hakim tidak tercapai,
selama proses pemeriksaan perkara dalam persidangan, maka
pemeriksaan pokok perkara diteruskan sampai selesai. Namun apabila
upaya tersebut berhasil, maka dibuatkanlah akta perdamaian di muka
pengadilan.
Para pihak yang bersengketa mohon kepada Majelis Hakim agar
persetujuan perdamaian itu dikukuhkan dalam suatu keputusan dan
disebut dengan putusan perdamaian. Formulasi isi dan perjanjian
perdamaian itu dibuat sendiri oleh para pihak yang berperkara yang
dituangkan dalam suatu akta, para pihak yang bersengketa
menandatangani akta perdamaian tersebut. Atas dasar akta perdamaian
tersebut Majelis Hakim menjatuhkan putusan perdamaian sesuai isi
persetujuan dengan diktum menghukum kepada pihak-pihak untuk
mentaati dan melaksanakan isi perjanjian tersebut.
Suatu persetujuan disebut berbentuk akta perdamaian, jika
persetujuan perdamaian terjadi tanpa campur tangan hakim. Akta
perdamaian kekuatan hukumnya sama dengan putusan dan tidak dapat
diajukan gugatan cerai berdasarkan alasan yang sama.
40
3. Pembacaan Gugatan
Pembacaan gugatan dilakukan oleh penggugat langsung atau
kuasanya yang sah, kecuali kalau penggugat buta huruf maka pembacaan
gugatan diserahkan kepada panitera sidang.
Pada dasarnya menurut asas hukum acara perdata persidangan
harus dalam keadaan terbuka untuk umum, untuk pemeriksaan sengketa
perkawinan persidangan harus dalam keadaan tetutup untuk umum (pasal
68 (2), pasal 80 (2) Undang-undang Nomor 7 Tahun 1989, pasal 33
Peraturan Pemerintah Nomor 9 Tahun 1975). Pelanggaran atas asas ini
berakibat putusannya batal demi hukum.
Pada tahap pembacaan gugatan terdapat beberapa kemungkinan
dari penggugat pertama mencabut gugatan, kedua mengubah gugatan,
ketiga mempertahankan isi gugatan.
Perubahan gugatan berupa menambah, melengkapi atau
memperbaiki gugatan diperbolehkan selama tidak merugikan
kepentingan penggugat dalam menyampaikan pembelaannya, tidak
melampaui batas-batas materi pokok gugatan yang dapat merugikan pada
hak pembelaan tergugat.
Dalam praktik pelaksanaan atas kebolehan penggugat merubah
gugatannya dimaksudkan untuk membantu masyarakat yang awam
tentang hukum. Sebagaimana tugas hakim membantu para pihak
berperkara, apabila masih merasa bahwa surat gugatan masih perlu
dilengkapi dan diperjelas. Majelis Hakim akan memberikan pertanyaan-
41
pertanyaan kepada penggugat, dan jawaban-jawaban penggugat atas
pertanyaan Majelis Hakim tersebut dicatat dalam berita acara
persidangan serta dianggap sebagai perbaikan, penambah atau perubahan
gugatan.
Dalam hal akan memberikan pertanyaan-pertanyaan kepada
pihak penggugat, sebelumnya Majelis Hakim harus mengingatkan
kepada tergugat agar jawaban-jawaban penggugat disimak dan dicatat,
sebagai bahan bagi tergugat dalam menyampaikan pembelaan atau
jawabannya.
4. Jawaban
Dalam pasal 121 (2), 132 (1) HIR, pasal 154 (2), 158 (1) R.Bg,
menyebutkan tergugat dapat mengajukan jawaban baik secara tertulis
maupun lisan. Tergugat harus hadir secara pribadi atau diwakilkan dalam
memberikan jawaban tersebut.
Apabila tergugat atau kuasanya tidak hadir dalam sidang
meskipun mengirim surat jawabannya, tetap dinilai tidak hadir dan
jawabannya itu tidak perlu diperhatikan, kecuali dalam hal jawaban yang
berupa eksepsi.
Pada tahap jawaban ada beberapa kemungkinan yang dilakukan
tergugat yaitu eksepsi, mengakui semua isi gugatan, membantah semua
isi gugatan, mengakui dengan klausul, berbelit-belit (referte) dan gugat
balik (rekonpensi).
42
Eksepsi adalah sanggahan terhadap gugatan yang tidak
mengenai pokok perkara dengan maksud menghindari gugatan dengan
cara agar Majelis Hakim menetapkan gugatan tidak dapat diterima atau
ditolak.
Eksepsi dapat dilakukan dalam jawaban tergugat baik eksepsi
formil maupun eksepsi materiil. Eksepsi formil yaitu eksepsi yang
berdasarkan hukum formil yang meliputi:
a. Nebis in idem yaitu eksepsi terhadap suatu perkara tidak dapat diputus
dua kali, sehingga suatu perkara yang sama antara pihak-pihak yang
sama di pengadilan yang sama pula, tidak dapat diputus lagi.
b. Diskualifikator yaitu eksepsi yang menyatakan bahwa penggugat tidak
mempunyai hak untuk mengajukan gugatan atau penggugat salah
menentukan tergugat baik tentang orangnya maupun identitasnya.
c. Obscuurlibel yaitu karena gugatan kabur, tidak jelas dan tidak dapat
dipahami, baik mengenai susunan kalimatnya, formatnya atau
hubungan satu sama lain yang tidak saling mendukung atau
bertentangan.
d. Eksepsi tidak berwenang secara absolut, yaitu Pengadilan Agama
tidak berwenang memeriksa dan mengadili perkara yang diajukan oleh
penggugat tetapi menjadi wewenang Pengadilan lain.
e. Eksepsi tidak berwenang secara relatif, yaitu Pengadilan Agama yang
dituju tidak berwenang mengadili gugatan penggugat tetapi menjadi
wewenang Pengadilan Agama lain.
43
Eksepsi materiil yaitu eksepsi berdasarkan hukum materiil yang
terdiri dari:
a. Dilatoir exceptie yaitu eksepsi yang menyatakan bahwa gugatan
penggugat tidak dapat dikabulkan karena belum memenuhi syarat
secara hukum.
b. Peremtoir exceptie yaitu eksepsi yang dilakukan tergugat karena
penggugat terlambat mengajukan gugatan yang bertujuan unutk
menghalangi dikabulkannya tuntutan penggugat.
Apabila tergugat dalam jawabannya itu mengakui seluruh dalil
gugatan secara bulat, maka perkara dianggap telah terbukti dan gugatan
dapat dikabulkan seluruhnya, kecuali dalam perceraian.
Khusus dalam perceraian, meskipun tergugat mengakui, hakim
harus berusaha menemukan kebenaran materiil alasan cerai dengan alat
bukti yang cukup, sebab Undang-undang Perkawinan mempunyai prinsip
mempersulit perceraian, karena berdampak berat bagi kedua belah pihak
dan anak-anak mereka.
Namun apabila tergugat membantah semua isi gugatan, maka
pemeriksaan perkara dilanjutkan pada tahap berikutnya sampai dapat
dibuktikan atau tidaknya dalil-dalil gugat.
Pengakuan tergugat harus diterima seutuhnya dan tidak boleh
dipisahkan, apabila tergugat mengakui isi gugatan dengan syarat-syarat
(klausula) serta pemeriksaan perkara dilanjutkan sampai semua tahap
pemeriksaan dilakukan.
44
Tergugat kadang-kadang dalam jawabannya berbelit-belit
(referte) atau menyerahkan kepada kebijaksanaan Majelis Hakim, pasrah
atau tidak membantah dan tidak pula membenarkan, maka pemeriksaan
dilanjutkan seperti biasa.
Ada kalanya tergugat mengajukan gugat balik (rekonpensi) yaitu
gugatan yang diajukan oleh tergugat terhadap penggugat bukan kuasanya
dalam sengketa antara keduanya dalam segala hal. Rekonpensi diajukan
sebagaimana disebutkan dalam pasal 132 (2) HIR dan pasal 158 (2) R.Bg
bersamaan dengan jawaban tergugat sampai sebelum tahap pembuktian.
5. Replik
Dalam tahap ini Majelis Hakim memberi kesempatan kepada
penggugat untuk menanggapi jawaban tergugat sesuai dengan
pendapatnya, apakah mempertahankan isi gugatannya, menambah
keterangan yang dianggap perlu untuk memperjelas dalil-dalinya, atau
mungkin penggugat merubah sikap karena adanya jawaban tersebut
dengan membenarkan atau membantahnya.
6. Duplik
Setelah penggugat menyampaikan repliknya, kemudian Majelis
Hakim memberi kesempat pula kepada tergugat untuk menanggapinya
sesuai dengan pendapatnya. Dalam tahap ini mungkin juga tergugat
bersikap seperti penggugat dalam repliknya tersebut.
Acara replik dan duplik (jawab-menjawab) dapat diulangi
sampai ada titik temu antara penggugat dan tergugat dengan maksud
45
untuk mengetahui dan menentukan pokok perkara, dan atau dianggap
cukup oleh Majelis Hakim.
Apabila acara jawab-menjawab ini dianggap telah cukup namun
masih ada hal-hal yang tidak disepakati oleh penggugat dan tergugat
sehingga perlu dibuktikan kebenarannya, maka acara dilanjutkan ke
tahap pembuktian.
7. Pembuktian
Pembuktian adalah suatu tindakan atau perbuatan untuk
meyakinkan Majelis Hakim tentang kebenaran dalil-dalil yang
dikemukakan oleh masing-masing pihak yang bersengketa.
Pembuktian ini bertujuan untuk menetapkan hukum diantara
para pihak berperkara yang menyangkut suatu hak, sehingga diperoleh
suatu kebenaran yang memiliki nilai keadilan. Tentang kebenaran
tersebut dalam acara perdata Peradilan Agama yang dicari adalah
kebenaran formil, yakni hakim dilarang melampaui batas yang diajukan
oleh pihak yang berperkara (pasal 178 (3) HIR, pasal 189 (3) R.Bg).
Disebabkan pembuktian itu ditujukan untuk menetapkan hukum
diantara kedua belah pihak yang bersengketa, mengacu pada pasal 163
HIR, pasal 283 R.Bg, maka setiap orang yang mendalilkan bahwa ia
mempunyai hak atau guna meneguhkan haknya sendiri atau membantah
suatu hak orang lain menunjuk pada suatu peristiwa diwajibkan
membuktikan adanya hak atau peristiwa tersebut. Dalam proses gugatan
perceraian, beban pembuktian dapat ditujukan kepada penggugat,
46
tergugat, maupun pihak ketiga yang melakukan intervensi. Prinsip
dasarnya siapa yang mendalilkan maka ia wajib membuktikannya.
8. Kesimpulan
Pada tahap kesimpulan atau konklusi, baik penggugat maupun
tergugat diberikan kesempatan yang sama untuk mengajukan pendapat
akhir yang merupakan kesimpulan hasil pemeriksaan perkara selama
sidang berlangsung, menurut pandangan masing-masing.
Kesimpulan dalam hal ini adalah uraian akhir yang memaparkan
suatu konklusi dari seluruh pemeriksaan perkara dimaksudkan agar
Majelis Hakim pemeriksa perkara akan lebih mudah dalam memahami
pokok perkaranya, sebelum mengambil putusan akhir. Pembuktian
kesimpulan akhir bukanlah sesuatu yang wajib, karena hal itu lahir dari
kebiasaan disamping memang tidak ada ketentuan hukum yang
mengaturnya.
9. Musyawarah Majelis Untuk Mengambil Putusan
Musyawarah Majelis Hakim merupakan perundingan yang
dilaksanakan untuk mengambil keputusan terhadap suatu perkara yang
diajukan kepadanya dan sedang diproses dalam persidangan Pengadilan
Agama yang berwenang. Musyawarah Majelis Hakim dilaksanakan
secara rahasia, maksudnya apa yang dihasilkan dalam rapat Majelis
Hakim tersebut sampai putusan diucapkan dalam sidang terbuka untuk
umum. Tujuan diadakannya musyawarah majelis ini adalah untuk
menyamakan persepsi agar terhadap perkara yang sedang diadili dapat
47
dijatuhkan putusan yang seadil-adilnya sesuai dengan ketentuan hukum
yang berlaku.
Musyawarah Majelis Hakim merupakan tahap akhir persidangan
yang bersifat menyimpulkan dari hasil tindakan sebelumnya, yakni acara
jawab menjawab dan pembuktian. Tujuan disamping untuk menyamakan
persepsi, juga bertujuan untuk menentukan peraturan hukum apakah yang
menguasai atau yang paling tepat atas sengketa kedua belah pihak.
Majelis Hakim dalam acara ini harus menemukan hukumnya.
Dalam mengemukakan hukumnya, yang tertuang dalam
putusan, Majelis Hakim dalam mempertimbangkan putusannya, oleh
karena jabatannya wajib menyertakan alasan-alasan hukumnya, bukan
hanya yang yang disebutkan oleh para pihak, namun Majelis Hakim juga
harus menambah dasar-dasar hukum yang tidak dikemukakan oleh para
pihak berperkara, hal ini diatur dalam pasal 189 R.Bg, pasal 178, 179
HIR.
D. Hukum Acara Pembuktian
1. Pengertian Pembuktian
Pembuktian dalam arti luas adalah kemampuan penggugat atau
tergugat memanfaatkan hukum pembuktian untuk mendukung dan
membenarkan hubungan hukum dan peristiwa peristiwa yang didalilkan
atau dibantah dalam hubungan hukum yang diperkarakan. Sedangkan
dalam arti sempit, pembuktian hanya diperlukan sepanjang mengenai hal-
48
hal yang dibantah atau hal-hal yang masih disengketakan atau hanya
sepanjang yang menjadi perselisihan di antara pihak yang beperkara.
Sehubungan dengan hal ini Manan (2006:227) memberi batasan
tentang pengertian pembuktian yaitu upaya para pihak yang berperkara
untuk meyakinkan hakim akan kebenaran peristiwa atau kejadian yang
diajukan oleh para pihak yang bersengketa dengan alat-alat bukti yang
telah ditetapkan oleh undang-undang.
Sedangkan R. Subekti yang dikutip Manan (2006)
mendefinisikan pembuktian adalah suatu daya upaya para pihak
berperkara untuk meyakinkan hakim tentang kebenaran dalil-dalil yang
dikemukakannya di dalam suatu perkara yang sedang dipersengketakan
di muka pengadilan, atau yang diperiksa oleh hakim.
Dengan demikian pembuktian artinya mempertimbangkan
secara logis kebenaran suatu fakta atau peristiwa berdasarkan alat-alat
bukti yang sah dan menurut hukum pembuktian yang berlaku.
2. Asas-Asas Pembuktian
Asas-asas Hukum Pembuktian Perdata yang terpenting ada 10
(sepuluh) macam, semuanya erat kaitannya dengan sifat khas dari
Hukum Acara Perdata selaku induk dari Hukum Pembuktian Perdata.
Oleh Karena itu asas-asas Hukum Pembuktian Perdata ini tidak bisa
dilepaskan dari asas-asas Hukum Acara Perdata pada umumnya.
49
a. Asas Audi Et Alteram Partem
Asas yang paling utama dari Hukum Pembuktian adalah asas
Audi Et Alteram Partem yaitu asas kesamaan prosesuil dari para pihak
yang berperkara. Berdasarkan asas ini Majelis Hakim tidak boleh
menjatuhkan putusan sebelum memberi kesempatan untuk
mendengarkan kedua pihak. Dalam hal putusan verstek, dianggap
Majelis Hakim sudah memberi kesempatan kepada kedua pihak, tetapi
kesempatan itu tidak digunakan oleh tergugat.
b. Asas Ius Curia Novit
yaitu asas dimana hakim selalu difiksikan mengetahui akan
hukumnya dari setiap kasus yang diadilinya. Menurut asas ini, Majelis
Hakim sama sekali tidak boleh menolak untuk memeriksa perkara
hingga putus dengan alasan tidak mengetahui hukumnya, atau
hukumnya belum ada. Dalam hal hukumnya jelas belum ada, Hakim
harus menggunakan metode Analog dan Argumentum A Contrario.
Oleh katrena itu maka para pihak berperkara yang wajib untuk
membuktikan peristiwanya, sedang Majelis Hakim hanya
membuktikan masalah hukumnya.
c. Asas Nemo Testis Indoneus In Propria Causa
Asas ini menganut ajaran bahwa tidak seorangpun yang dapat
menjadi saksi atas perkaranya sendiri. Sehingga berdasarkan asas ini,
baik pihak penggugat atau pun pihak tergugat tidak mungkin tampil
sebagai saksi dalam persengketaan antara mereka.
50
Dengan perkataan lain, saksi harus orang lain yang akan
memberikan keterangan kesaksian tentang apa yang dilihat, didengar
dan dialaminya.
Sehubungan dengan saksi ini, ada asas khusus yang bunyinya
unus testis nullus testis (satu saksi bukan saksi). Dan biasanya asas
inipun diterapkan alat bukti persangkaan-persangkaan.
d. Asas Ne Ultra Petita
Yaitu asas yang membatasi hakim sehingga hakim hanya
boleh mengabulkan sesuai yang dituntut. Hakim dilarang
mengabulkan lebih daripada yang dituntut. Sehubungan dengan
pembuktian, maka ini berarti hakim tidak boleh membuktikan lebih
daripada apa yang dituntut oleh penggugat.
Jika tergugat telah mengakui secara penuh dengan pengakuan
murni atas gugatan penggugat, maka sekalipun pengakuan tergugat itu
diketahui oleh Majelis Hakim sebagai tidak benar, tetapi hakim
berdasarkan asas Ne Ultra Petita harus menerima pengakuan murni
tergugat itu sebagai sesuatu yang benar.
e. Asas Nemo Plus Juris Transferre Potest Quam Ipse Habet
Asas ini menentukan bahwa tidak ada orang yang dapat
mengalihkan lebih banyak hak daripada apa yang dimilikinya.
51
f. Asas Negativa Non Sunt Probanda
Asas ini menyatakan bahwa sesuatu yang bersifat negatif itu
tidak dapat dibuktikan. Yang dimaksud sebagai sesuatu yang bersifat
negatif adalah yang menggunakan perkataan tidak.
Sehubungan dengan asas ini, penulis ingin menjelaskan,
bahwa sesuatu yang bersifat negatif tidaklah berarti mustahil untuk
dibuktikan, hanya saja sulit untuk dibuktikan secara langsung. Dengan
perkataan lain, dapat dibuktikan secara tidak langsung.
g. Asas Actori Incumbit Probatio
Asas ini dikenal juga sebagai asas beban pembuktian (the
burden of proof) yang dalam Hukum Positip di Indonesia diatur dalam
pasal 163 HIR, pasal 283 R.B.g. Berdasarkan asas ini berarti bahwa
barang siapa yang mempunyai suatu hak atau menyangkal adanya hak
orang lain, harus membuktikannya. Hal ini berarti bahwa dalam hal:
1). Pembuktian yang diajukan oleh penggugat dan tergugat sama-
sama kuat, atau;
2). Pembuktian yang diajukan penggugat dan tergugat sama sekali
tidak ada, maka baik penggugat maupun tergugat ada
kemungkinan dibebani dengan pembuktian oleh Majelis Hakim.
Bagi pihak yang dibebani pembuktian, kemudian ternyata
tidak mampu untuk membuktikannya, harus dikalahkan dalam perkara
itu. Inilah yang dinamai sebagai resiko pembuktian.
52
h. Asas Yang Paling Sedikit Dirugikan
Asas ini menyatakan bahwa Majelis Hakim harus membebani
pembuktian bagi pihak yang paling sedikit dirugikan jika harus
membuktikan. Asas ini jika dalam Hukum Pidana sebenarnya
merupakan perwujudan dan the presumption of innocence (praduga
tak bersalah).
i. Asas Bezitter Yang Beritikat Baik
Itikat baik selamanya harus dianggap ada pada setiap orang
yang menguasai sesuatu benda dan barang siapa menggugat akan
adanya itikat buruk bezittter itu harus membuktikannya.
Jadi dengan asas ini telah ditentukan bahwa jika penggugat
dalam gugatannya menyatakan adanya itikat buruk kepada tergugat
yang merupakan bezitter dari barang yang digugat, maka
penggugatlah yang harus dibebani dengan pembuktian.
j. Asas Yang Tidak Biasa Harus Membuktikan
Asas ini ditemui dalam putusan Mahkamah Agung, sehingga
merupakan asas yang lahir dari Yurisprudensi, bahwa barangsiapa
yang menyatakan sesuatu yang tidak biasa, harus membuktikan
sesuatu yang tidak biasa itu.
3. Tujuan Pembuktian
Tujuan pembuktian yaitu untuk memperoleh kepastian bahwa
suatu peristiwa atau fakta yang di ajukan kepada Majelis Hakim benar-
benar terjadi, guna mendapatkan putusan yang benar dan adil. Majelis
53
Hakim tidak dapat menjatuhkan perkara suatu putusan sebelumnya
baginya bahwa fakta atau peristiwa yang diajukan itu benar terjadi, yakni
dibuktikan kebenarannya, sehingga nampak adanya hubungan hukum
antara para pihak.
Kebenaran yang dicari oleh Majelis Hakim adalah kebenaran
formal. Sedangkan dalam hukum pidana, kebenaran yang dicari oleh
hakim adalah kebenaran materiil. Dalam praktik peradilan, sebenarnya
seorang hakim dituntut mencari kebenaran materiil terhadap perkara
yang sedang diperiksanya.
4. Teori Pembuktian
Pada umumnya, sepanjang undang-undang tidak mengatur
sebaliknya, Majelis Hakim bebas untuk menilai pembuktian. Berhubung
Majelis Hakim dalam menilai pembuktian dapat bertindak bebas atau
terikat oleh undang-undang, sebagaimana yang dikatakan Mertokusumo
(2002:133) maka tentang hal tersebut terdapat 3 (tiga) teori pembuktian
yaitu:
a. Teori pembuktian bebas, teori ini tidak menghendaki adanya
ketentuan-ketentuan yang mengikat hakim, sehingga penilaian
pembuktian seberapa dapat diserahkan kepada hakim.
b. Teori pembuktian negative, teori ini mengemukakan hakim terikat
dengan ketentuan-ketentuan yang bersifat negatif sehingga membatasi
hakim untuk melakukan sesuatu kecuali yang diijinkan oleh undang-
undang.
54
c. Teori pembuktian positif, dalam teori ini Majelis Hakim diwajibkan
untuk melakukan segala tindakan dalam pembuktian, kecuali yang
dilarang dalam undang-undang.
5. Hukum Pembuktian
Dalam acara perdata pembuktian harus mengikuti Hukum
Pembuktian, maka pembuktiannya adalah:
a. Bersifat mencari kebenaran formil.
Dari setiap peristiwa yang harus dibuktikan adalah
kebenarannya. Dalam acara perdata, kebenaran yang dicari adalah
kebenaran yang bersifat formil. Mencari kebenaran formil berarti
bahwa hakim tidak boleh melampaui batas-batas yang diajukan oleh
pihak-pihak yang berperkara. Jadi jika melihat kepada bobot atau isi,
akan tatapi melihat kepada luas dari pada pemeriksaan oleh hakim.
Sehingga karenanya, hakim dilarang untuk mengajukan putusan atas
perkara yang tidak dituntut, atau meluluskan lebih dari yang dituntut.
Hal ini berbeda dengan acara pidana yang mengharuskan hakim
mencari kebenaran materiil.
b. Tidak disyaratkan adanya keyakinan hakim.
Dalam pembuktian dibedakan antara perkara pidana dan
perdata. Pembuktian dalam perkara pidana mensyaratkan adanya
keyakinan hakim, sedang dalam perkara perdata tidak secara tegas
mensyaratkan adanya keyakinan.
55
c. Alat bukti harus mememiliki syarat formil dan materiil.
Hukum acara sebagai hukum formil mempunyai unsur
materiil dan unsur formil. Unsur materiil yaitu yang mengatur tentang
wewenang, misalnya ketentuan tentang hak dari pihak yang
dikalahkan, sedangkan unsur formil mengatur tentang bagaiman
caranya menggunakan wewenang tersebut.
Dalam hukum pembuktian pun, terdiri dari unsur materiil dan
unsur formiil. Hukum pembuktian materiil mengatur tentang dapat
tidaknya diterima pembuktian dengan alat-alat bukti tertentu
dipersidangan serta kekuatan pembuktiannya, sedang hukum
pembuktian formil mengatur cara mengadakan pembuktian.
d. Hakim wajib menerapkan hukum pembuktian.
Hakim wajib mengikuti ketentuan-ketentuan yang
mengatur hukum pembuktian, baik tentang alat bukti, menerima atau
menerim atau menolak alat bukti dalam pemeriksaan.
6. Beban Pembuktian
Pasal 163 HIR, pasal 283 R.Bg dan pasal 1865 BW.
Menyatakan bahwa barang siapa yang mengaku mempunyai sesuau hak,
atau mengemukakan suatu peristiwa (keadaan) untuk menguatkan
haknya, atau membantah hak orang lain, maka ia harus membuktikan
adanya hak atau peristiwa itu.
Rasulullah SAW bersabda :
: روي انبيهقي وانطبراوي باسىاد صحيح ان رسىل صهي اهلل عهيً وسهم قال
56
(رواي انبيهقي وانطبراوي )وانيميه عهي مه اوكر انبيىت عهي انمدعي
Artinya, “Bayyinah itu diwajibkan kepada Penggugat dan sumpah itu
diwajibkan kepada orang yang mengingkari”. (H.R, Baihaqi dan
Thabarani, Sabiq, 1987:42).
Secara bahasa lafal bayyinah dalam hadits tersebut berarti hujjah
(argumentasi), atau burhan (tanda bukti). Sedangkan menurut istilah para
fuqoha, bayyinah adalah segala sesuatu yang diusahakan oleh penggugat
untuk membenarkan gugatannya dalam memperoleh keputusan yang
diharapkan, sehingga bayyinah itu merupakan syarat mutlak untuk
memperkuat suatu gugatan.
Berdasarkan hal-hal tersebut, maka yang wajib membuktikan
atau dibebani pembuktian adalah para pihak yakni pihak yang
berkepentingan dalam suatu perkara, terutama penggugat yang
mengajukan dalil-dalil gugatannya, sedangkan tergugat hanya wajib
membuktikan bantahannya. Penggugat tidak diwajibkan membuktikan
kebenaran bantahan tergugat, demikian pula sebaliknya tergugat tidak
diwajibkan membuktikan kebenaran peristiwa yang diajukan penggugat.
Dalam hal ini Majelis Hakim yang wajib menetapkan kepada
siapa dibebankan pembuktian dengan membagi beban pembuktian
berdasarkan kesamaan kedudukan para pihak dengan pembuktian secara
seimbang dan patut. Pihak yang dibebankan wajib bukti mengandung
resiko bahwa jika tidak berhasil maka ia akan dikalahkan.
57
7. Hal-hal yang Harus Dibuktikan
Yang harus dibuktikan adalah adanya peristiwa atau hak yang
menjadi sengketa dan relevan dengan pokok perkara, sehingga
diketemukan adanya hubungan hukum antara dua pihak.
Oleh karena itu tidak semua peristiwa yang dikemukakan harus
dibuktikan. Peristiwa-peristiwa itu masih disaring oleh hakim, harus
dipisahkan mana yang penting (relevant material) bagi hukum dan mana
yang tidak penting (irrelevant immaterial). Peristiwa yang relevan itulah
yang harus dibuktikan. Peristiwa atau hak yang tidak disengketakan juga
tidak perlu dibuktikan, kecuali mengenai alasan perceraian.
8. Hal-hal yang Tidak Perlu Dibuktikan
Dalam pemeriksaan perkara perdata, ada beberapa yang menurut
hukum pembuktian dalam acara perdata tidak perlu di buktikan atau di
ketahui oleh hakim, yaitu:
a. Dalam hal dijatuhkan putusan verstek.
Dalam hal dijatuhkan putusan verstek dengan tidak hadirnya
tergugat setelah dipanggil secara resmi dan patut, maka segala
peristiwa yang didalilkan oleh penggugat harus dianggap benar.
Kecuali dalam perkara perceraian, dimana hakim masih harus
membuktikan dalil-dalil gugat (alasan-alasan perceraian), sesuai
dengan Hukum Acara Islam.
58
b. Dalam hal tergugat mengakui gugatan penggugat.
Pengakuan merupakan alat bukti yang menentukan, sehingga
tidak memerlukan pembuktian lain lebih lanjut kecuali dalam perkara
perceraian di mana hakim harus pula melengkapi dengan bukti-bukti
lain.
c. Telah dilakukan sumpah decissoir.
Sumpah decissoir adalah sumpah yang menentukan, oleh
karena itu jika sumpah ini telah dilaksanakan oleh salah satu pihak
yang berperkara, maka pembuktian lebih lanjut tidak perlu lagi.
Segala peristiwa dan kejadian yang menjadi pokok sengketa dianggap
telah terbukti pembuktian lain lebih lanjut.
d. Dalam hal tergugat referte.
Jika tergugat tidak mengakui dan juga tidak membantah dalil-
dalil gugat yang diajukan penggugat, atau mengakui tidak
menyanggah juga tidak, segala gugatan penggugat diserahkan
sepenuhnya kepada Majelis Hakim, maka dalam hal seperti ini tidak
perlu diadakan pembuktian lagi.
e. Hakim secara ex officio telah dianggap mengetahui atau mengenal
peristiwanya, sehingga peristiwa atau kejadian-kejadian yang menjadi
dasar gugatan tidak perlu dibuktikan lebih lanjut, misalnya fakta-fakta
yang dianggap diketahui umum, sering juga disebut pengetahuan
umum, maka tidak perlu adanya pembuktian lagi (notoir feiten).
Contoh kedua adalah pernyataan yang bersifat negatif. Suatu peristiwa
59
yang negatif, pada umumnya tidak mungkin dibuktikan (negatif non
sunt probanda).
9. Alat Bukti dan Kekuatan Pembuktiannya serta Dasar Hukumnya
Alat bukti yang diakui oleh peraturan perundang-undangan
yang berlaku diatur dalam Pasal 164 HIR, Pasal 284 R.Bg, dan Pasal
1866 KUH Perdata, sebagai berikut:
a. Alat Bukti Surat
Alat bukti surat adalah segala sesuatu yang memuat tanda-
tanda bacaan yang dimaksudkan untuk mencurahkan isi hati atau
untuk menyampaikan buah pikiran seseorang dan di pergunakan
sebagai pembuktian.
Dasar hukum penggunaan surat atau tulisan sebagai alat
bukti adalah pasal 138, 165, 167 HIR, pasal 164, 285 sampai 305
R.Bg, pasal 138 sampai 147 Rv, Stbl. 1867 No. 29, dan pasal 1867
sampai 1894 BW.
Surat sebagai alat terbuki tertulis dapat dibedakan dalam
akta dan surat bukan akta. Akta dapat dibedakan menjadi akta
autentik dan akta di bawah tangan. Dalam Hukum Pembuktian ini
dikenal paling tidak tiga jenis surat yaitu:
1). Akta autentik.
Yaitu akta yang dibuat oleh atau di hadapan pejabat
yang diberi wewenang untuk itu, baik dengan mapun tanpa
60
bantuan dari yang berkepentingan ditempat dimana pejabat
berwenang menjalankan tugasnya.
Pejabat yang dimaksud antara lain Notaris, hakim,
panitera, jurusita, pegawai pencatat sipil, pegawai pencatat
nikah, pejabat pembuat akta tanah dan lain sebagainya.
Syarat-syarat formil dan materiil akta autentik yaitu:
a). Pada prinsipnya bersifat partai, maksudnya akta tersebut
dibuat dan atas kehendak sekurang-kurangnya dua pihak.
b). Dibuat oleh atau dihadapan pejabat umum yang berwenang.
c). Memuat tanggal dan tahun pembuatan.
d). Ditandatangani yang membuat.
e). Isi yang tertuang berhubungan langsung dengan hal-hal
yang diperkarakan.
f). Isi akta tidak bertentanagan dengan hukum, kesusilaan,
agama dan ketertiban umum.
g). Pembuatan sengaja untuk dipergunakan sebagai alat bukti.
Kekuatan pembuktian akta autentik disamping
merupakan bukti yang mempunyai kekuatan lahir artinya akta
tersebut memenuhi syarat-syarat yang telah ditentukan, juga
mempunyai kekuatan bukti formil dan materiil.
Jika satu pihak menyangkal kebenaran suatu bukti
akta autentik ini, maka Pengadilan Agama dapat mengadakan
penyelidikan tentang hal itu dan kemudian menentukan apakah
61
surat itu boleh atau tidak untuk dipergunakan dalam perkara
itu.
2). Akta dibawah tangan.
Yaitu akta yang dibuat oleh para pihak dengan
sengaja untuk pembuktian, tetapi tanpa bantuan oleh seorang
pejabat.
Syarat-syarat formil dan materiil akta dibawah
tangan yaitu:
a). Besifat partai.
b). Pembuatannya tidak dihadapan pejabat yang berwenang.
c). Harus bermeterai.
d). Ditandatangani oleh kedua belah pihak.
e). Isi yang tertuang berhubungan langsung dengan hal-hal
yang diperkarakan.
f). Isi akta tidak bertentanagan dengan hukum, kesusilaan,
agama dan ketertiban umum.
g). Pembuatan sengaja untuk dipergunakan sebagai alat bukti.
Akta dibawah tangan baru mempunyai kekuatan
bukti materiil jika telah dibuktikan kekuatan formilnya, dan
kekuatan formilnya baru terjadi setelah para pihak yang
bersangkutan mengakui kebenaran isi dan cara pembuatan akta
tersebut.
62
Jika terjadi bantahan dari pihak lawan yang
menyatakan bahwa akta tersebut adalah palsu, maka pihak
yang mengajukan akta dibawah tangan itu dapat meminta
Pengadilan Agama untuk memeriksa keabsahan akta tersebut
kepada Laboratorium Kriminologi dan Pusat Identifikasi
Markas Besar POLRI.
Berdasarkan pasal 154 (4) HIR Ketua Pengadilan
atau hakim yang menyidangkan perkara tersebut sama sekali
tidak perlu terikat dengan hasil tes tersebut jika terjadi
perlawanan dengan keyakinannya.
3). Surat secara sepihak. Bentuk surat ini berupa pengakuan yang
berisi pernyataan akan kewajiban sepihak dari yang membuat
surat bahwa ia akan membayar sejumlah uang atau akan
menyerahkan sesuatu atau akan melakukan sesuatu kepada
seseorang tertentu hal ini diatur dalam pasal 1875 KUH
Perdata dan pasal 291 R.Bg.
Jika akta sepihak tanda tangan dan tulisan tidak
diakui oleh pihak lawan, maka nilai kekuatan pembuktian sama
dengan bukti permulaan. Dan jika dijadikan alat bukti maka
harus ditambah dengan bukti lain.
Surat bukan akta sebagaimana yang diatur dalam pasal
294 (2) R.Bg dan pasal 1881 (2) KUH Perdata bentuknya dapat
berupa surat biasa koresponden, catatan harian dan sebagainya.
63
Surat-surat tersebut tidak sengaja dibuat sebagai surat bukti atau
tidak sengaja dibuat untuk alat bukti.
Nilai kekuatan pembuktiannya tergantung pada penilaian
hakim jika isinya mengandung fakta maka dapat dipergunakan
sebagai bukti permulaan atau sebagai surat keterangan yang
memerlukan dukungan alat bukti lain.
Berdasarkan pasal 301 R.Bg, pembuktian dari surat atau
alat bukti terletak pada keasliannya. Salinan atau fotokopi suatu
akta mempunyai kekuatan sepanjang sesuai dengan aslinya.
Dalam praktik Peradilan Agama apabila bukti tertulis yang
diserahkan kepada Majelis Hakim dalam bentuk turunan atau
fotokopi, menurut peraturan perundang-undangan uang berlaku,
hakim harus memerintahkan kepada pihak yang berperkara untuk
menunjukkan akta yang asli guna dicocokkan dengn fotokopi yang
telah diserahkan kepada hakim untuk dijadikan alat bukti.
Jika fotokopi atau salinan itu sudah sesuai dengan aslinya,
maka Hakim Ketua Majelis memberikan catatan pada lembar
fotokopi dengan kata-kata; ”setelah isi fotokopi atau salinan ini
dicocokkan dengan aslinya ternyata fotokopi ini sesuai dengan
aslinya”.
b. Alat Bukti Saksi
Saksi adalah orang yang memberikan keterangan di muka
sidang, dengan memenuhi syarat-syrat tertentu, tentang suatu
64
peristiwa atau keadaan yang dilihat, didengar dan dialami sendiri,
sebagai bukti terjadinya peristiwa atau keadaaan tersebut.
Bukti saksi diatur dalam pasal 168 sampai 173 HIR, pasal
306 sampai 309 R.Bg. Pembuktian dengan saksi pada dasarnya
diperbolehkan dalam segala hal kecuali jika undang-undang
menentukan lain.
Tentang alat bukti saksi al-Qur‟an, surat kedua
menyebutkan:
Artinya, Dan persaksikanlah dengan dua orang saksi dari
orang-orang lelaki (diantara kamu), jika tak ada dua oang
lelaki, maka (boleh) seorang lelaki dan dua orang perempuan
dari saksi-saksi yang kamu ridhai, supaya jika seorang lupa
maka yang seorang mengingatkannya...., (Q.S, al-
Baqarah:282).
Ditinjau dari segi kejelasan lafal ayat (nash) tersebut
menerangkan tentang jumlah minimal saksi yang sah dan dapat
diterima sebagai alat bukti. Dua orang laki-laki atau seorang laki-
laki bersama dua orang perempuan adalah syarat minimal yang
diperbolehkan. Atau dengan kata lain saksi laki-laki satu kekuatan
pembuktiannya sama dengan dua orang saksi perempuan. Oleh
karena itu apabila para pihak mau mendatangkan saksi perempuan
jumlah minimal adalah 4 (empat) orang perempuan.
65
Pembuktian dengan saksi diperlukan apabila bukti dengan
surat atau tulisan tidak dapat atau kurang lengkap untuk
mendukung dan menguatkan kebenaran dalil-dalil yang menjadi
dasar pendiriannya para pihak masing-masing.
Tentang keterangan saksi yang dapat dijadikan alat bukti
yang sah menurut hukum sebagaimana yang disebutkan dalam
pasal 164 HIR dan pasal 284 R.Bg harus terbatas pada peristiwa-
peristiwa yang dialami, dilihat atau didengar sendiri, dan harus pula
disertai alasan-alasan bagaimana diketahuinya peristiwa yang
diterangkan oleh saksi-saksi tersebut. Pendapat dan kesimpulan
dari buah pikiran bukan merupakan kesaksian (pasal 171 HIR dan
pasal 308 R.Bg).
Supaya saksi-saksi yang diajukan oleh para pihak dapat
didengar sebagai alat bukti, maka harus memenuhi syarat-syarat
formil dan materiil. Syarat-syarat formil saksi yaitu:
1). Memberikan keterangan di depan sidang pengadilan.
2). Bukan orang yang dilarang untuk didengar sebagai saksi.
3). Mengangkat sumpah menurut agama yang dipeluknya.
4). Bagi kelompok yang berhak mengundurkan diri, menyatakan
kesediannya untuk diperiksa sebagai saksi.
5). Berjumlah sekurang-kurangnya 2 (dua) orang untuk kesaksisan
suatu peristiwa, atau dikuatkan dengan alat bukti lain (pasal
169 HIR), kecuali mengenai perzinahan.
66
6). Memberikan keterangan secara lisan (pasal 147 HIR).
Adapum syarat-syarat materiil saksi yaitu:
1). Menerangkan apa yang dilihat, didengar dan dialami sendiri
(pasal 171 HIR, pasal 308 R. Bg).
2). Keterangan yang diberikan harus mempunyai sumber
pengetahuan yang jelas, bukan merupakan pendapat atau
kesimpulan saksi sendiri.
3). Keterangan yang diberikan bersesuaian satu dengan yang lain
atau alat bukti yang sah sebagaimana dijelaskan dalam pasal
172 HIR dan pasal 309 R.Bg.
Berdasarkan pasal 76 Undang-undang Nomor 7 Tahun
1989 tentang Peradilan Agama, dalam perkara perceraian
berdasarkan alasan cekcok terus menerus (syiqaq) diperkenankan
membawa saksi dari keluarga. Hal ini merupakan lex spesialis dari
ketentuan umum yang dimiliki oleh Peradilan Agama.
Saksi yang tidak beragama Islam dapat diterima di
Pengadilan Agama sepanjang penyaksiannya menyangkut peristiwa
atau kejadian untuk memperjelas duduknya perkara. Hal-hal yang
disaksikan itu adalah hal yang bersifat qadhaan, bukan hal yang
bersifat diyanatan atau yang telah diatur oleh aturan agama Islam
seperti peristiwa pernikahan harus disaksikan oleh yang beragama
Islam. Jika saksi yang tidak beragama Islam kehadirannya di dalam
sidang Peradilan Agama untuk menjadi saksi dalam suatu
67
peristiwa, maka saksi tersebut harus memenuhi syarat formil dan
materiil.
Apabila saksi telah mempunyai syarat formil dan materiil,
maka ia mempunyai nilai pembuktian bebas. Hakim bebas untuk
menilai kesaksian itu sesuai dengan murninya. Hakim tidak terikat
dengan keterangan saksi. Hakim dapat menyingkirkan asal
dipertimbangkan dengan cukup berdasarkan argumentasi yang
kuat.
Jika kesaksian itu terdiri dari beberapa orang, tentang
beberapa kejadian dapat menguatkan satu perkara yang tertentu
oleh karena kesaksian itu bersesuaian dan dan saling berhubungan,
maka diserahkan pada pertimbangan hakim (pasal 170 HIR).
c. Alat Bukti Persangkaan
Persangkan adalah suatu kesimpulan yang diambil dari
suatu peristiwa yang sudah terang dan nyata. Dari peristiwa yang
terang dan nyata ini ditarik kesimpulan bahwa suatu peristiwa lain
yang dibuktikan juga telah terjadi.
Tentang alat bukti persangkaan diatur dalam Pasal 1915
KUH Perdata, pasal 173 HIR dan Pasal 310 R.Bg, namun tidak
diterangkan secara rinci. Pasal-pasal ini hanya memberikan
petunjuk bagi hakim tentang tatacara menggunakan persangkaan.
Bukti persangkaan masih diperselisihkan oleh para ahli
hukum tentang bukti atau bukan. Sebagian dari mereka mengatakan
68
bahwa persangkaan itu bukan alat bukti, tetapi merupakan
kesimpulan belaka, dalam hal ini yang dipakai sebagai alat bukti
sebenarnya buka persangkaan itu, melainkan alat-alat bukti lain,
misalnya alat bukti persaksian, surat-surat pengakuan satu pihak
demikian dikatakan R. Subekti yang dikutip Manan (2006).
Sebagian yang lain mengatakan bahwa persangkaan
adalah alat bukti yang bersifat tidak langsung, misalnya
pembuktian daripada ketidakhadiran seseorang pada suatu waktu
ditempat tertentu dengan membuktikan kejadiannya pada waktu
yang sama di tempat lain. Dengan demikian, maka setiap alat bukti
dapat menjadi persangkaan. Bahkan hakim dapat menggunakan
peristiwa prosesuil mapun peristiwa notoir sebagai persangkaan
(Manan, 2006).
Berdasarkan pasal 1915 KUH Perdata, ada 2 (dua) macam
persangkaan yaitu:
1). Persangkaan yang ditetapkan oleh undang-undang, yaitu
persangkaan oleh undang-undang dihubungkan dengan
perbuatan-perbuatan tertentu, atau peristiwa-peristiwa tertentu
sebagaimana yang disebutkan dalam pasal 1916 KUH Perdata,
misalnya, adanya tiga kwitansi pembayaran sewa rumah yang
berturut-turut. Menurut undang-undang menimbulkan suatu
persangkaan, bahwa uang sewa untuk waktu yang sebelumnya
juga telah dibayar olehnya.
69
2). Persangkaan yang ditetapkan oleh hakim, yaitu kesimpulan
yang ditarik oleh hakim berdasarkan peristiwa atau kejadian
tertentu yang terungkap melalui bukti-bukti yang diajukan oleh
para pihak.
Kekuatan bukti persangkaan hakim berdasarkan
kenyataannya kekuatan pembuktiannya diserahkan kepada
pertimbangan hakim. Sedangkan kekuatan bukti persangkaan
berdasarkan undang-undang kekuatan pembuktiannya bersifat
memaksa, hakim terikat pada ketentuan undang-undang, kecauali
jika dilumpuhkan oleh bukti pihak lawan.
d. Alat Bukti Pengakuan
Pengakuan adalah keterangan sepihak dari salah satu
pihak dalam suatu perkara, dimana ia mengakui apa-apa yang
dikemukakan oleh pihak lawan.
Sebagai alat bukti, Pengakuan mempunyai dasar hukum
sebagaimana diatur dalam pasal 174,175 dan 176 HIR, pasal
311,312 dan 313 R.Bg dan pasal 1923-1928 BW.
Pengakuan masih diperselisihkan oleh para ahli hukum
sebagai alat bukti. R. Subekti yang dikutip Manan (2006)
mengatakan bahwa tidak tepat memasukkan pengakuan sebagai
alat bukti, karena justru apabila dalil-dalil yang dikemukakan oleh
pihak lain, maka yang mengemukakan dalil itu dibebaskan dari
pembuktian, sedangkan Prof. Schoeten dan Load Enggens
70
berpendapat bahwa pengakuan sebagai alat bukti merupakan hal
yang tepat, karena suatu pengakuan di muka hakim bersifat suatu
pernyataan oleh salah satu pihak yang berperkara dalam proses
persidangan. Pengakuan merupakan pernyataan kehendak
(wisverlaring) dari salah satu pihak yang berperkara.
Dengan demikian semua pernyataan hakim merupakan
suatu perbuatan hukum dan setiap perlawanan hukum itu
merupakan suatu hal yang bersifat menentukan secara mutlak.
Demikian juga dengan pengakuan yang diucapkan oleh salah satu
pihak dalam persidangan, misalnya terhadap hal-hal kebendaan
dilakukan sendiri olehnya.
Pengakuan sebagai alat bukti dibagi dalam tiga bentuk
sebagai berikut:
1). Pengakuan murni dan bulat (aveu pur et simple).
Yaitu pengakuan yang sesungguhnya terhadap
semua dalil gugat yang diajukan oleh penggugat. Murni artinya
sunguh-sungguh sesuai dengan keadaan yang sebenarnya,
sedangkan bulat artinya pengakuan yang tidak disertai dengan
keterangan tambahan yang membebaskan.
2). Pengakuan berkualifikasi (gequalificeerde bekentenis, aveu
qualifie).
Pengakuan berkualifikasi adalah pengakuan
terhadap dalil gugat yang dibarengi dengan syarat. Jadi pada
71
pengakuan berkualifikasi pihak yang mengakui menambahkan
sesuatu terhadap inti persoalan yang diakuinya berupa syarat.
3). Pengakuan berklausula (geclausuleerde bekentenis, aveu
complexe).
Yaitu pengakuan yang disertai dengan keterangan
tambahan yang bersifat membebaskan. Dengan kata lain
pengakuan merupakan pengakuan tentang hal pokok yang
diajukan penggugat, namun diiringi dengan bantahan terhadap
gugatan yang diajukan oleh penggugat.
Permulaan salah satu pihak yang berperkara dapat
dijadikan alat bukti, maka harus memenuhi syarat-syarat formil dan
materil yaitu:
1). Syarat formil pengakuan:
a. Pengakuan disampaikan dalam proses pemeriksaan
persidangan. Pengakuan diluar sidang tidak bernilai
sebagai alat bukti.
b. Pengakuan diberikan oleh pihak materil atau kuasanya.
Pengakuan tersebut dapat disampaikan dalam bentuk lisan
atau bisa dituangkan secara tertulis dalam replik, duplik
atau kesimpulan. Namun apabila disampaikan oleh kuasa
harus dengan surat kuasa khusus yang dibuat untuk
keperluan tersebut.
72
2). Syarat materiil pengakuan:
a. Pengakuan yang diberikan tersebut langsung berhubungan
dengan pokok perkara.
b. Pengakuan tidak merupakan kebohongan atau kepalsuan
yang nyata dan terang.
c. Pengakuan tidak bertentangan dengan hukum, susila,
agama dan ketertiban umum.
Nilai pembuktian pengakuan murni dan bulat dalam
persidangan mengandung nilai pembuktian yang sempurna (tidak
memerlukan bukti tambahan), mengikat (pembuktian antara para
pihak bahwa pada tanggal dan waktu tersebut di dalam akta yang
bersangkutan telah menghadap kepada pegawai dan menerangkan
apa yang telah tertulis di dalam akta tersebut), dan menentukan
atau memaksa. Oleh karena itu, alat bukti pengakuan murni dan
bulat, dapat berdiri sendiri sebagai alat bukti, dan tidak
memerlukan tambahan atau dukungnan dari alat bukti yang lain.
Nilai pembuktian pengakuan bersyarat tidak mempunyai
nilai yang sempurna, mengikat dan menentukan, tidak dapat berdiri
sendiri, harus dibantu sekurang-kurangnya dengan salah satu alat
bukti yang lain. Maka nilai kekuatan pembuktiannya menjadi
bersifat pembuktian bebas.
73
e. Alat Bukti Sumpah
Alat bukti sumpah diatur dalam pasal 177 HIR, pasal 182
sampai 185 dan pasal 314 R.Bg dan pasal 1929 sampai 1945 KUH
Perdata.
Sumpah adalah suatu pernyataan yang khidmat yang
diberikan atau diucapkan pada waktu memberi janji atau
keterangan dengan mengingat sifat Maha Kuasa Tuhan, dan
percaya siapa yang memberi keterangan atau janji akan dihukum
oleh-Nya.
Dalam praktik Peradilan Agama dikenal beberapa macam
sumpah sebagai alat bukti, yaitu:
1). Sumpah pelengkap (suppletoireed).
Yaitu sumpah yang diperintahkan oleh hakim karena
jabatannya kepada salah satu pihak yang berperkara untuk
melengkapi pembuktian peristiwa atau hak yang menjadi
sengketa sebagai dasar putusannya. Jenis sumpah ini diatur
dalam pasal 155 HIR, pasal 182 R.Bg dan pasal 1945 KUH
Perdata.
Dari ketentuan-ketentuan pasal tersebut bahwa
sumpah tambahan dapat dibebankan dalam hal salah satu pihak
telah mempunyai bukti permulaan, namun belum mencukupi
serta tidak terdapat alat bukti lainnya. Terhadap pihak yang
oleh hakim tidak diperintahkan untuk bersumpah pelengkap,
74
maka ia tidak boleh mengembalikan sumpah pelengkap
tersebut kepada pihak lawan.
Agar sumpah pelengkap dapat dijadikan alat bukti,
maka harus memenuhi syarat-syarat formil dan materiil
sebagai berikut:
a). Sumpah tersebut untuk melengkapi atau menguatkan
pembuktian yang sudah ada, tetapi belum mencapai batas
minimal pembuktian.
b). Bukti yang sudah ada baru bernilai bukti permulaan.
c). Para pihak sudah tidak mampu lagi menambah alat bukti
yang ada dengan alat bukti yang lain.
d). Sumpah yang dibebankan atas perintah hakim dan
diucapkan di depan sidang Majelis Hakim secara
langsung.
e). Isi lafal sumpah harus mengenai perbuatan yang dilakukan
sendiri oleh pihak yang berperkara.
f). Isi sumpah harus berkaitan langsung dengan pokok
perkara dan tidak bertentangan dengan agama, moral dan
kesusilaan.
Kekuatan pembuktian sumpah pelengkap bersifat
menyelesaikan perkara, memiliki kekuatan pembuktian
sempurna, masih memungkinkan adanya bukti lawan, dapat
dibatalkan oleh putusan hakim yang lebih tinggi, apabila
75
sumpah itu terbukti palsu, maka dapat dijadikan alasan mohon
peninjauan kembali kepada Mahkamah Agung.
2). Sumpah pemutus (decissoireed).
Yaitu sumpah yang dibebankan atas permintaan salah
satu pihak berperkara kepada lawannya. Sumpah pemutus atau
yang juga disebut sumpah yang menentukan diatur dalam pasal
156 HIR, pasal 183 R.Bg dan pasal 1930 KUH Perdata.
Pihak yang meminta lawannya mengucapkan sumpah
disebut defferent sedangkan pihak yang diminta untuk
mengucapkan sumpah disebut delaat. Jika pihak lawan
tersebut mengembalikan sumpah kepada pihak yang meminta
sumpah pihak semula disebut relaat.
Pembebanan sumpah pemutus ini atas inisiatif dari
salah satu pihak kepada pihak lain dan sumpah dapat dilakukan
selama pemeriksaan perkara sedang berjalan. Sumpah ini dapat
diperintahkan untuk segala persengketaan, kecuali atas hal-hal
yang oleh para pihak tidak berkuasa mengadakan perdamaian,
atau dimana pengakuan mereka tidak akan diperhatikan.
Sebagaimana dalam sumpah pelengkap, sumpah
pemutus apabila akan dijadikan alat bukti maka harus dipenuhi
syarat-syarat formil dan materiil yaitu:
a). Berperkara apabila sama sekali tidak ada bukti-bukti yang
diajukan oleh kedua belah pihak, dalam hal proses
76
pemeriksaan hanya berupa replik-duplik tanpa disertai alat
bukti lain.
b). Pembebanan sumpah pemutus harus atas permintaan salah
satu pihak yang berperkara.
c). Sumpah pemutus diucapkan di depan sidang Majelis
Hakim secara in person atau oleh kuasanya dengan surat
kuasa istimewa.
d). Isi sumpah harus mengenai perbuatan yang dilakukan
sendiri atau yang dilakukan bersama-sama oleh kedua
belah pihak yang bersengketa.
e). Isi sumpah harus mempunyai hubungan langsung dengan
pokok perkara yang sedang disengketakan.
Tujuan dari pelaksanaan sumpah pemutus adalah
untuk menyelesaikan perkara, oleh karena itu pihak yang telah
mengucapkan sumpah tidak boleh lagi diperintahkan
memberikan bukti-bukti lagi untuk membenarkan apa yang
dinyatakan dengan sumpahnya itu.
Jika sumpah pemutus telah dilaksanakan dan pihak
lawan menyangkal dan menyatakan sumpah itu palsu, maka
sanggahan itu tidak lagi mempengaruhi kekuatan pembuktian
sumpah pemutus yang telah dilakukan itu.
77
3). Sumpah penaksir (aestimatoir, schattingseed).
Yaitu sumpah yang diperintahkan oleh hakim karena
jabatannya kepada penggugat untuk menentukan uang ganti
kerugian. Dasar pengaturan sumpah penaksir pasal 155 (2)
HIR, pasal 182 R.Bg dan pasal 1940 KUH Perdata.
Sumpah ini dibebankan oleh hakim kepada penggugat
dan hanya dalam perkara ganti kerugian saja. Sebelum hakim
menetapkan beban sumpah penaksir, penggugat harus terlebih
dahulu membuktikan bahwa ia telah mempunyai hak atas ganti
kerugian dari suatu yang dituntut.
Nilai pembuktian sumpah penaksir adalah sama
dengan sumpah pemutus dan sumpah penambah. Nilai
pembuktiannya sangat kuat dan mutlak yaitu sempurna,
mengikat dan menentukan.
4). Sumpah li‟an.
Li‟an merupakan acara khusus di Pengadilan Agama
yang diatur dalam pasal 87 sampai 88 Undang-undang Nomor
7 Tahun 1989 tentang Peradilan Agama kemudian pasal 43,
70, 101, 125, 126, 127, 128, 155, 162, 163 Kompilasi Hukum
Islam.
f. Pemeriksaan Setempat (Descente)
Pemeriksaan setempat atau descente yaitu pemeriksaan
mengenai perkara, oleh hakim karena jabatannya yang dilakukan di
78
luar tempat kedudukan pengadilan, agar hakim dengan melihat
sendiri memperoleh gambaran atau keterangan yang memberi
kepastian tentang peristiwa-peristiwa yang menjadi sengketa.
Ketentuan mengenai pemeriksaan setempat diatur dalam
pasal 153 HIR, pasal 180 R.Bg, pasal 211 Rv. Dalam peraturan ini
dikemukakan bahwa apabila Ketua Majelis Hakim menganggap
perlu dapat mengangkat seorang atau dua orang hakim dari majelis
tersebut dengan bantuan panitera pengadilan yang akan melihat
langsung keadaan setempat dan melakukan pemeriksaan yang
dapat memberikan keterangan kepada hakim. Adapun inisiatif
untuk mengadakan pemeriksaan setempat dapat timbul dari para
pihak yang berkepentingan atau atas inisiatif hakim karena
jabatannya.
Meskipun pemeriksaan setempat tidak dimuat dalam pasal
164 HIR, 184 R.Bg dan pasal 1866 KUH Perdata sebagai alat
bukti, tetapi oleh karena tujuan pemeriksaan setempat adalah agar
hakim memperoleh gambaran yang jelas tentang peristiwa yang
menjadi sengketa, maka fungsi pemeriksaan setempat pada
hakekatnya sebagai alat bukti. Tentang kekuatan pembuktiannya
diserahkan kepada pertimbangan hakim.
79
g. Keterangan Ahli (Expertise)
Keterangan ahli atau expertise yaitu keterangan pihak
ketiga yang obyektif yang bertujuan untuk membantu hakim dalam
pemeriksaan guna menambah pengetahuan hakim sendiri.
Keterangan ahli juga sering disebut saksi ahli yang diatur
dalam pasal 154 HIR, pasal 181 R.Bg, dan pasal 215 Rv. Dalam
peraturan perundang-undangan tersebut ditentukan bahwa
pengadilan dalam perkara yang sedang diperiksa dapat dijelaskan
oleh seorang ahli, maka atas permintaan salah atu pihak atau hakim
karena jabatannya, dapat mengangkat seorang ahli untuk didengar
keterangannya, pengangkatan itu berlaku hanya pada saat
pemeriksaan pemeriksaan sidang.
Dalam praktik Peradilan Agama, apabila Majelis Hakim
memutuskan perkara berdasarkan keterangan seorang ahli, maka
keterangan itu sama kekuatannya dengan pembuktian saksi, jadi
kedudukannya sama sebagai alat bukti.
Suatu hal yang harus diketahui dalam saksi ahli adalah
sebagaimana yang tersebut dalam pasal 154 HIR tidak disebutkan
sebenarnya yang disebut ahli itu. Sehubungan dengan hal ini ahli
tidaknya seseorang tidak ditentukan oleh pengetahuannya atau
keahliannya yang khusus, tetapi sangat ditentukan oleh
pengangkatannya berdasarkan oleh penunjukan Majelis Hakim,
80
para pihak tidak ada kewajiban secara mutlak menerima atau
memenuhi penunjukan oleh Majelis Hakim tersebut.
E. Putusan
1. Pengertian Putusan
Setelah pemeriksaan perkara yang meliputi proses mengajukan
gugatan penggugat, jawaban tergugat, replik penggugat, duplik tergugat,
pembuktian dan kesimpulan yang diajukan baik oleh penggugat maupun
oleh tergugat selesai dan pihak-pihak yang berperkara sudah tidak ada
lagi yang ingin dikemukakan, maka hakim akan menjatuhkan putusan
terhadap perkara tersebut.
Penjelasan pasal 60 Undang-undang Nomor 7 Tahun 1989
bahwa, “putusan adalah keputusan pengadilan atas perkara gugatan
berdasarkan adanya suatu sengketa”. Sedangkan Manan (2006:292)
mengatakan, “putusan ialah suatu pernyataan oleh hakim sebagai pejabat
negara yang diberi wewenang untuk itu dan diucapkan dalam
persidangan yang terbuka untuk umum dengan tujuan untuk
menyelesaikan suatu perkara atau sengketa antara pihak yang
berperkara”.
Dari dua pengertian tersebut dapat diambil kesimpulan putusan
adalah pernyataan hakim yang dituangkan dalam bentuk tertulis dan
diucapkan oleh hakim dalam sidang terbuka untuk umum, sebagai hasil
dari pemeriksaan perkara gugatan.
81
2. Asas-Asas Putusan
Asas sebuah putusan pengadilan harus memenuhi hal-hal
sebagaimana dalam pasal 178 HIR, pasal 189 R.Bg dan Undang-undang
Nomor 4 Tahun 2004 adalah sebagai berikut:
a. Memuat dasar alasan yang jelas dan rinci.
Menurut asas ini, putusan yang dijatuhkan harus berdasarkan
pertimbangan yang jelas dan cukup. Putusan yang tidak memenuhi
ketentuan ini dikategorikan putusan yang tidak cukup pertimbangan
(onvoldoende gemotiveerd). Alasan-alasan hukum yang menjadi dasar
pertimbangan bertitik tolak dari ketentuan pasal 25 Undang-undang
Nomor 4 Tahun 2004 dan pasal 178 (1) HIR, pasal-pasal tertentu
peraturan perundang-undangan, hukum kebiasaan, yurisprudensi dan
doktrin hukum.
b. Wajib mengadili seluruh bagian gugatan.
Asas ini diatur dalam pasal 178 (2) HIR, pasal 189 (2) R.Bg
dan Pasal 50 Rv. Menurut ketentuan ini, putusan yang dijatuhkan
pengadilan harus secara total dan menyeluruh memeriksa dan
mengadili setiap gugatan yang diajukan. Majelis Hakim tidak boleh
hanya memeriksa dan memutus sebagian saja, dan mengabaikan
gugatan selebihnya.
c. Tidak boleh mengabulkan melebihi tuntutan.
Pasal 178 (3) HIR, Pasal 189 (3) R.Bg dan Pasal 50 Rv.
memberi ketentuan, putusan yang dijatuhkan pengadilan tidak boleh
82
mengabulkan melebihi tuntutan yang dikemukakan dalam gugatan
(ultra petitum partium). Hakim yang memutus melebihi tuntutan
merupakan tindakan melampaui batas kewenangan (beyond the
powers of this authority), sehingga putusannya cacat hukum.
Larangan hakim menjatuhkan putusan melampaui batas
wewenangnya ditegaskan juga dalam Surat Keputusan MA Nomor
1001 K/Sip/1972. Dalam putusan mengatakan bahwa hakim dilarang
mengabulkan hal-hal yang tidak diminta atau melebihi dari apa yang
diminta.
d. Diucapkan dalam sidang terbuka untuk umum
Menurut Pasal 20 UU Nomor 4 Tahun 2004, semua putusan
pengadilan hanya sah dan mempunyai kekuatan hukum apabila
diucapkan dalam sidang terbuka untuk umum. Tujuan dari ketentuan
ini untuk menghindari putusan pengadilan yang anfair trial. Selain itu,
menurut SEMA Nomor 04 Tahun 1974, pemeriksaan dan pengucapan
putusan hanya sah dan mempunyai kekuatan hukum apabila dilakukan
dalam sidang pengadilan.
3. Susunan dan Isi Putusan Pengadilan
Pengadilan dalam mengambil suatu putusan diawali dengan
uraian mengenai asas yang mesti ditegakkan, agar putusan yang
dijatuhkan tidak mengandung cacat. Asas tersebut dijelaskan dalam pasal
178 HIR, Pasal 189 R.Bg, dan pasal 19 UU No. 4 Tahun 2004. Menurut
83
ketentuan undang-undang ini, setiap putusan harus memuat hal-hal
sebagai berikut :
a. Judul dan nomor putusan.
SEMA NO. 32/TUADA – AB/III/-UM/IX/93 tanggal 11
September 1993 menyebutkan bahwa setiap putusan produk Peradilan
Agama memuat judul dan nomor putusan.
b. Tanggal putusan.
Yaitu saat hari dan tanggal pengucapan putusan dalam sidang
yang dinyatakan pada akhir putusan.
c. Nama dan tingkat peradilan yang memutus perkara.
d. Kepala putusan.
Suatu putusan harus mempunyai kepala pada bagian atas
putusan sebagaimana yang tercantum dalam pasal 57 (1,2) Undang-
undang Nomor 7 Tahun 1989 berbunyi” Bismillahirrahmanirrahim
diikuti dengan Demi Keadilan Berdasarkan Ketuhanan Yang Maha
Esa”. Kepala putusan ini memberi kekuatan eksekutorial pada putusan
apabila tidak dibubuhkan maka hakim tidak dapat melaksanakan
putusan tersebut.
e. Identitas pihak yang berperkara.
Didalam putusan harus dimuat identitas dari pihak: nama,
umur, pekerjaan, pendidikan, alamat tempat tinggal, dan nama dari
kuasanya kalau para pihak menguasakan kepada orang lain.
84
f. Pertimbangan atau alasan-alasan.
Pertimbangan atau alasan putusan hakim terdiri atas dua
bagian yaitu pertimbangan tentang duduk perkara dan pertimbangan
tentang hukumnya. Pasal 184 HIR, pasal 195 R.Bg, pasal 23 Undang-
undang Nomor 14 Tahun 1970 menentukan bahwa setiap putusan
dalam perkara perdata harus memuat ringkasan gugatan dan jawaban
dengan jelas, alasan dan dasar putusan, pasal-pasal serta hukum tidak
tertulis, pokok perkara, biaya perkara serta hadir tidaknya pihak-pihak
yang berperkara pada waktu putusan diucapkan.
g. Amar atau diktum putusan.
Dalam amar putusan dimuat suatu pernyataan hukum,
penetapan suatu hak, lenyap atau timbulnya keadaan hukum dan isi
putusan yang berupa pembebanan suatu prestasi tertentu. Dalam
diktum itu ditetapkan siapa yang berhak atau siapa yang benar atau
pokok perselisihan.
h. Mencantumkan biaya perkara.
Pencantuman biaya perkara dalam putusan diatur dalam pasal
184 (1) HIR dan pasal 187 R.Bg, bahkan dalam 183 (1) HIR dan pasal
194 R.Bg. dinyatakan bahwa banyaknya biaya perkara yang
dijatuhkan kepada pihak yang berperkara harus dicantumkan dalam
amar putusan.
85
4. Macam-Macam Putusan Hakim
Dilihat dari segi fungsinya dalam mengakhiri suatu perkara
putusan hakim dapat dibedakan menjadi 2 (dua) macam yaitu:
a. Putusan sela (tussen vonnis).
Putusan sela adalah putusan yang dijatuhkan sebelum
putusan akhir yang diadakan dengan tujuan untuk memungkinkan atau
mempermudah kelanjutan pemeriksaan perkara.
Dalam hukum acara Peradata dikenal macam putusan sela
yaitu:
1). Putusan praeparatoir.
Yaitu putusan persiapan mengenai jalannya
pemeriksaan untuk melancarkan segala sesuatu guna
mengadakan putusan akhir.
2). Putusan interlocutoir.
Yaitu putusan yang isinya memerintahkan pembuktian
karena putusan ini menyangkut pembuktian maka putusan ini
akan mempengaruhi putusan akhir.
3). Putusan incidentiel.
Yaitu putusan yang berhubungan dengan insiden yaitu
peristiwa yang menghentikan prosedur peradilan biasa.
4). Putusan provisional.
Yaitu putusan yang menjawab tuntutan provisi yaitu
permintaan pihak yang berperkara agar diadakan tindakan yang
86
pendahuluan guna kepentingan salah satu pihak sebelum
putusan akhir dijatuhkan.
b. Putusan akhir.
Putusan akhir adalah putusan yang mengakhiri perkara pada
tingkat pemeriksaan pengadilan, meliputi pengadilan tingkat pertama,
pengadilan tinggi dan Mahkamah Agung.
Macam-macam putusan akhir yaitu:
1). Putusan condemnatior.
Yaitu putusan yang bersifat menghukum pihak yang
kalah untuk memenuhi prestasi.
2). Putusan declaratoir.
Yaitu putusan yang amarnya menyatakan suatu keadaan
sebagai keadaan yang sah menurut hukum.
3). Putusan konstitutif.
Yaitu putusan yang amarnya menciptakan suatu
keadaan baru. Dari ketiga sifat putusan diatas maka putusan
yang memerlukan pelaksanaan (eksekusi) hanya yang bersifat
condemnatior.
Dilihat dari segi isi putusan atau perkaranya dibagi menjadi 4
(empat) macam, yaitu:
a. Putusan tidak menerima gugatan penggugat.
Yaitu putusan yang menyatakan bahwa hakim tidak
menerima gugatan penggugat karena gugatan tidak memenuhi syarat
87
hukum, baik syarat secara formil maupun materiil.
b. Putusan menolak gugatan penggugat seluruhnya.
Yaitu putusan akhir yang dijatuhkan setelah menempuh
semua tahap pemeriksaan, dimana ternyata dalil-dalil gugat tidak
terbukti. Dalam memeriksa pokok gugatan (dalil gugatan) maka
Majelis Hakim harus terlebih dahulu memeriksa apakah syarat-syarat
gugat telah terpenuhi, agar pokok gugatan dapat diperiksa dan diadili.
c. Putusan mengabulkan gugatan penggugat untuk sebagian dan menolak
selebihnya.
Putusan ini merupakan putusan akhir, dalil gugat yang
dikemukakan ada yang terbukti dan ada yang tidak terbukti atau
memenuhi syarat-syarat.
d. Putusan mengabulkan gugatan penggugat seluruhnya.
Putusan ini dijatuhkan apabila syarat-syarat gugat telah
terpenuhi dan seluruh dalil-dalil gugat yang mendukung petitum
ternyata terbukti.
Dilihat dari segi hadir tidaknya para pihak berperkara mulai dari
awal pemeriksaan sampai kepada pembacaan putusan dibagi 3 (tiga)
macam yaitu:
a. Putusan gugur.
Yaitu putusan yang menyatakan bahwa gugatan gugur karena
penggugat tidak pernah hadir, meskipun telah dipanggil secara resmi
dan patut, sedang tergugat hadir dan mohon putusan.
88
b. Putusan verstek.
Yaitu putusan yang dijatuhkan karena tergugat tidak pernah
hadir meskipun telah dipanggil secara resmi dan patut, sedang
penggugat hadir dan mohon putusan.
c. Putusan kontradiktoir.
Yaitu putusan akhir yang saat dijatuhkan dalam sidang tidak
dihadiri salah satu pihak atau para pihak.
5. Kekuatan Putusan Hakim
Pasal 1917 dan 1918 KUH Perdata menyebutkan kekuatan suatu
putusan hakim yang telah memperoleh kekuatan mutlak juga diatur
dalam pasal 21 Undang-undang No. 14 Tahun 1970 adanya putusan
pengadilan yang telah memperoleh kekuatan hukum yang tetap.
Putusan hakim yang telah mempunyai kekuatan hukum yang
tetap adalah putusan yang menurut undang-undang tidak ada kesempatan
lagi untuk menggunakan upaya hukum biasa melawan putusan itu.
Macam-macam putusan yang telah mempunyai kekuatan hukum yang
tetap yaitu:
a. Kekuatan pembuktian mengikat.
Putusan ini sebagai dokumen yang merupakan suatu akta
autentik menurut pengertian undang-undang sehingga tidak hanya
mempunyai kekuatan pembuktian mengikat antara pihak yang
berperkara, tetapi membuktikan bahwa telah ada suatu perkara antara
pihak-pihak yang disebut dalam putusan itu.
89
b. Putusan eksekutorial.
Yaitu kekuatannya untuk dapat dipaksakan dengan bantuan
aparat keamanan terhadap pihak yang tidak menaatinya dengan
sukarela
c. Kekuatan mengajukan eksepsi.
Yaitu kekuatan untuk menangkis suatu gugatan baru
mengenai hal yag sudah pernah diputus atau mengenai hal-hal yang
sama berdasarkan asas nebis inidem (tidak boleh dijatuhkan putusan
lagi dalam perkara yag sama).
90
BAB III
PRAKTIK PELAKSANAAN HUKUM ACARA PERDATA
PERADILAN AGAMA DI PENGADILAN AGAMA SALATIGA DALAM
MEMERIKSA DAN MENGADILI PERKARA GUGATAN PERCERAIAN
A. Profil Pengadilan Agama Salatiga
1. Sejarah
a. Masa Sebelum Penjajah Masuk di Indonesia
Peradilan Agama, setidaknya telah hadir dan eksis sejak
Islam menginjak bumi Indonesia (nusantara). Peradilan Agama telah
tumbuh dan melembaga di Indonesia sejak agama Islam dianut oleh
penduduk, tumbuh dan berkembangnya Peradilan Agama karena
kebutuhan dan kesadaran hukum sesuai dengan keyakinan. Hal ini
dapat dipahami mengingat jabatan dan fungsi hakim atau qadli
merupakan alat kelengkapan dalam pelaksanaan syara‟.
Ketika kelompok-kelompok masyarakat muslim mulai
berkembang, fungsi hakim atau qadli semakin dibutuhkan. Bahkan
dalam keadaan tidak ada qadli, proses penyelesaian suatu sengketa
yang terjadi di kalangan umat Islam, dilakukan secara tahkim yakni
penyerahan kedua belah pihak yang berselisih kepada pihak ketiga
(muhakkam) untuk memutus perkaranya.
Penyelesaian perkara secara sederhana melalui tahkim yang
dilakukan oleh muhakkam berlangsung selama beberapa waktu hingga
91
mengambil bentuk yang lebih teratur dan sistematis pada masa
kesultanan Islam, seperti kesultanan Malaka, Aceh, Banten dan
Mataram. Tradisi hukum Islam, termasuk tradisi tahkim, mengalami
institusionalisasi dalam bentuk pranata-pranata sosial. Salah satu dari
pranata itu adalah Peradilan Agama.
Peradilan Agama Salatiga merupakan salah satu lembaga
qadli yang ada di Salatiga yang tumbuh karena adanya tradisi tahkim
yang ada bersama dengan perkembangan kelompok masyarakat yang
beragama Islam di Salatiga dan Kabupaten Semarang. Para qadli yang
ada di Salatiga diangkat oleh sultan atau raja, yang kekuasaannya
merupakan tauliyah dari waliyul amri yakni penguasa tertinggi. Qadli
yang diangkat oleh sultan adalah alim ulama yang ahli di bidang
agama Islam.
b. Masa Penjajahan Belanda dan Jepang
Pada saat penjajah Belanda masuk ke pulau Jawa khususnya
di Salatiga, masyarakatnya sudah memeluk agama Islam dan
menjalankan syari'atnya, termasuk di dalamnya melaksanakan
syari‟at agama tentang peradilan Islam. Untuk menyelesaikan
berbagai persoalan yang berhubungan dengan syari‟at Islam, mereka
menyerahkan keputusannya kepada para ulama, sehingga sulit bagi
Belanda menghilangkan atau menghapuskan persoalan ini. Oleh
karena pemerintah Kolonial Belanda kesulitan untuk menghapus
pegangan hidup masyarakat Islam yang sudah mendarah daging di
92
Indonesia pada umumnya dan khususnya di Salatiga, maka kemudian
pemerintah Kolonial Belanda menerbitkan sebuah peraturan yaitu
Raad Agama atau IS (Indische Staatsregaling) pasal 134 ayat 2
sebagai landasan formil untuk mengawasi kehidupan masyarakat
Islam di bidang peradilan. Disamping itu pemerintah Kolonial
Belanda menginstruksikan kepada para Bupati yang termuat dalam
Staatblad tahun 1820 Nomor 22 yang menyatakan bahwa perselisihan
mengenai pembagian warisan di kalangan rakyat hendaknya
diserahkan kepada ulama.
Perkembangan Peradilan Agama Salatiga terus berjalan
sampai pada tahun 1940, kantor yang ditempati masih menggunakan
serambi masjid al-Atiiq, Kauman, Salatiga dengan ketua dan hakim
anggotanya diambil dari para ulama. Pegawai yang ada pada waktu
itu 4 (empat) orang yaitu Kyai Salim sebagai ketua dan Kyai Abdul
Mukti sebagai hakim anggota dan Sidiq sebagai sekretaris merangkap
bendahara dan seorang pesuruh.
Perkara yang ditangani dan diselesaikan Peradilan Agama
Salatiga yaitu perkara waris, perkara gono-gini, gugat nafkah dan
cerai gugat.
Pada masa penjajahan Jepang keadaan Peradilan Agama
Salatiga atau Raad Agama Salatiga belum ada perubahan yang berarti
ketua beserta stafnya juga masih sama, hal ini terjadi mulai tahun
93
1942 sampai dengan tahun 1945 karena pemerintahan Jepang hanya
sebentar dan dihadapkan dengan berbagai pertempuran.
c. Masa Kemerdekaan
Indonesia memproklamirkan kemerdekaanya pada tanggal 17
Agustus 1945. Peradilan Agama Salatiga tetap ada dan berjalan
sebagaimana biasa. Pada tahun 1949 jabatan ketua Pengadilan Agama
Salatiga diganti oleh Kyai Irsyam yang dibantu oleh 7 (tujuh) orang
pegawai. Kantor yang ditempati masih menggunakan serambi masjid
al-Atiiq, Kauman, Salatiga dan bersebelahan dengan Kantor Urusan
Agama Kecamatan Salatiga yang sama-sama mengunakan serambi
masjid sebagai kantor. Oleh karena keadaan di masjid al-Atiiq
Kauman, Salatiga sudah tidak memungkinkan lagi untuk ditempati
sebagai kantor maka para pegawai Pengadilan Agama Salatiga
berusaha mencari kantor sendiri. Dengan mengajukan permohonan
kepada Kodim Salatiga yang pada saat itu Kodim menguasai
bangunan-bangunan peninggalan pemerintahan Kolonial Belanda.
Kodim memberikan ijin kepada Pengadilan Agama Salatiga untuk
menempati gedung peninggalan Belanda yang berada di Jl.
Diponegoro No. 72 Salatiga.
Akhirnya pada tahun 1951 kantor Pengadilan Agama
Salatiga yang semula di serambi masjid al-Atiiq, Kauman, Salatiga
pindah ke gedung baru peninggalan Kolonial Belanda yang berlokasi
di Jl. Diponegoro No. 72 Salatiga.
94
d. Masa Berlakunya Undang-undang Nomor 1 Tahun 1974
Mulai berlakunya Undang-undang Nomor 1 Tahun 1974
tentang Perkawinan, maka kedudukan dan posisi Peradilan Agama
semakin jelas dan mandiri termasuk Pengadilan Agama Salatiga,
namun umat Islam Indonesia masih harus berjuang karena belum
mempunyai undang-undang yang mengatur tentang keluarga muslim.
Melalu proses kehadirannya pada akhir tahun 1973 membawa
suhu politik naik. Para ulama dan umat Islam di Salatiga juga
berjuang ikut berpartisipasi, akan terwujudnya undang-undang
perkawinan, maka akhirnya terbitlah Undang-undang Nomor 1
Tahun 1974 yang diundangkan pada tanggal 2 Januari 1974.
Efektif berlakunya undang-undang tersebut setelah terbitnya
Peraturan Pemerintah Nomor 9 Tahun 1975. Pengadilan Agama
Salatiga dilihat dari fisiknya masih tetap seperti dalam keadaan
sebelumnya, namun fungsi dan peranannya semakin mantap karena
banyak perkara yang harus ditangani oleh Peradilan Agama.
Volume perkara yang naik yaitu perkara Cerai Talak
disamping Cerai Gugat dan juga banyak masuk perkara Isbat Nikah
(pengesahan nikah), karena di Pengadilan Agama Salatiga yang
wilayahnya sangat luas yaitu meliputi daerah Kota Salatiga dan
Kabupaten Semarang yaitu: Kecamatan Sidorejo, Kecamatan
Sidomukti, Kecamatan Argomulyo, Kecamatan Tingkir, Kecamatan
95
Bringin, Kecamatan Bancak, Kecamatan Tuntang, Kecamatan
Getasan
Kecamatan Tengaran, Kecamatan Susukan, Kecamatan Suruh,
Kecamatan Pabelan, Kecamatan Kaliwungu.
e. Masa Berlakunya Undang-undang Nomor 7 Tahun 1989
Sejak Undang-undang Nomor 7 Tahun 1989 Tentang
Peradilan Agama disahkan, posisi Pengadilan Agama Salatiga
semakin kuat, Peradilan Agama berwenang menjalankan
keputusannya sendiri tidak perlu lagi melalui Peradilan Umum, selain
itu hukum acara yang berlaku di Peradilan Agama sama dengan
hukum acara yang berlaku di Peradilan Umum. Untuk melaksanakan
tugas pemanggilan dan pemberitahuan, sudah ada petugas Jurusita.
Untuk menyesuaikan dengan Undang-undang Peradilan
Agama ini, Pengadilan Agama Salatiga mendapatkan bimbingan dan
pembinaan dari Departemen Agama RI dan secara teknis yustisial
mendapatkan pembinaan dari Mahkamah Agung Republik Indonesia
dan Pengadilan Tinggi Agama. Struktur organisasi Peradilan Agama
juga disesuaikan dengan Peradilan Umum dan peradilan lainnya,
sehingga status kedudukannya menjadi sederajat dengan Peradilan
lain yang ada di Indonesia, dari segi fisik dan jumlah personil
Pengadilan Agama Salatiga masih ketinggalan dari Peradilan Umum,
hal ini disebabkan karena dana yang tersedia untuk sarana fisik kurang
96
memadai, namun kwalitas sumber daya manusia, Pegawai Pengadilan
Agama Salatiga sama dan sejajar dengan Peradilan Umum.
Sejak Peradilan Agama mendapatkan pembinaan dari
Mahkamah Agung Republik Indonesia mulai diadakan pemisahan
jabatan antara pejabat Kepaniteraan dan dan pejabat Kesekretariatan
begitu juga rangkap jabatan antara Jurusita dan Panitera Pengganti,
bagi para hakim juga diberi tugas pengawasan bidang-bidang. Upaya
pembenahan di Pengadilan Agama Salatiga selalu ditingkatkan.
f. Masa Berlakunya Undang-undang Nomor 4 Tahun 2004
Sebelum Undang-undang Nomor 4 Tahun 2004
diberlakukan, Peradilan Agama secara administratif dan finansial
berada di bawah Departemen Agama. Akan tetapi sejak undang-
undang tersebut diberlakukan, Peradilan Agama mendapatkan
pembinaan langsung dari Mahkamah Agung Republik Indonesia baik
secara administratife maupun secara finansial dan yudisial. Maka
sesuai dengan petunjuk Mahkamah Agung, mulai diadakan pemisahan
jabatan antara kepaniteraan dan kesekretariatan begitu juga rangkap
jabatan antara jurusita dan panitera pengganti, hakim juga diberi
tugas pengawasan bidang-bidang.
g. Masa Berlakunya Undang-undang Nomor 3 Tahun 2006 Tentang
Perubahan Atas Undang-undang Nomor 7 Tahun 1989
97
Berdasarkan UUD 1945 pasal 24 (2) “bahwa Peradilan
Agama merupakan salah satu lingkungan peradilan yang berada di
bawah Mahkamah Agung bersama badan peradilan lainnya”.
Di lingkungan Peradilan Umum, Peradilan Tata Usaha Negara, dan
Peradilan Militer, Peradilan Agama merupakan salah satu badan
peradilan pelaku kekuasaan kehakiman untuk memnyelenggarakan
penegakan hukum dan keadilan bagi rakyat percari keadilan dalam
perkara tertentu antara orang-orang yang beragama Islam di bidang
perkawinan, waris, hibah, wakaf, infaq, shadaqah, dan ekonomi
syari‟ah.
Dengan penegasan kewenangan Peradilan Agama tersebut
dimaksudkan untuk memberikan dasar hukum kepada Peradilan
Agama dalam menyelesaikan perkara tertentu. Termasuk
penyelenggaraan atas Undang-undang Perkawinan, dan peraturan
pelaksanaannya serta memperkuat landasan hukum Mahkamah
Syar’iyah dalam melaksanakan kewenangannya di bidang jinayat.
Dengan undang-undang ini kewenangan Peradilan Agama
diperluas. Dalam hal ini sesuai dengan perkembangan hukum dan
kebutuhan hukum masyarakat, khusunya masyarakat muslim.
Perluasan tersebut meliputi ekonomi syari‟ah. Dalam kaitannya
perubahan undang-undang ini pula, kalimat yang terdapat dalam
penjelasan umum Undang-undang Nomor 7 Tahun 1989 Tentang
Peradilan Agama yang menyatakan “para pihak sebelum berperkara
98
dapat mempertimbangkan untuk memilih hukum apa yang akan
digunakan dalam pembagian warisan” dinyatakan dihapus.
Dalam usaha memperkuat prinsip kekuasaan kehakiman yang
merdeka, sesuai dengan tuntutan reformasi di bidang hukum, telah
dilakukan perubahan terhadap Undang-undang Nomor 14 Tahun
1970 Tentang Ketentuan Pokok Kekuasaan Kehakiman sebagaimana
telah diubah dengan Undang-undang Nomor 35 Tahun 1999 Tentang
Perubahan Atas Undang-undang Nomor 14 Tahun 1970 Tentang
Ketentuan Pokok Kekuasaan Kehakiman. Sebagaimana telah diganti
menjadi Undang-undang Nomor 4 Tahun 2004 Tentang Kekuasaan
Kehakiman. Demikian pula harus dilakukan perubahan Nomor 14
Tahun 1985 Tentang Kekuasaan Kehakiman.
2. Visi dan Misi
a. Visi
Mewujudkan Pengadilan Agama Salatiga sebagai salah satu
pelaku kekuasaan kehakiman yang mandiri, bersih, bermartabat, dan
berwibawa.
b. Misi
1) Mewujudkan rasa keadilan masayarakat sesuai dengan peraturan
perundang-undangan yang berlaku dan jujur sesuai dengan hati
nurani.
2) Mewujudkan Peradilan yang mandiri dan independen, bebas dari
campur tangan pihak lain.
99
3) Meningkatkan pelayanan di bidang peradian kepada masyarakat
sehingga tercapai peradilan yang sederhana,cepat dan biaya
ringan.
4) Meningkatkan kwalitas sumber daya manusia aparat peradilan
sehingga dapat melakukan tugas dan kewajiban secara profesional
dan proposional.
5) Mewujudkan institusi peradilan yang efektif, efisien dan
bermartabat dalam melaksanakan tugas.
3. Susunan Organisasi
Susunan Pengadilan Agama terdiri dari Pimpinan, Hakim,
Panitera Sekretaris dan Jurusita. Pimpinan Pengadilan Agama terdiri dari
seorang Ketua dan seorang Wakil Ketua. Hakim adalah pejabat yang
melaksanakan kekuasaan kehakiman (pasal 9, 10 dan 11 Undang-undang
Nomor 7 Tahun 1989).
Tugas dan tanggung jawab serta tata kerja Kepaniteraan
Pengadilan Agama Salatiga diatur lebih lanjut oleh Mahkamah Agung,
atau dengan dengan kata lain pembinaan tehnis peradilan, organisasi,
administrasi dan finansial Pengadilan Agama Salatiga dilakukan
langsung oleh Mahkamah Agung (pasal 5 (1) Undang-undang Nomor 3
Tahun 2006).
100
Struktur Organisasi Pengadilan Agama Salatiga
Ketua
Drs.H.Umar Mukhlis
Wakil Ketua
HM. Ali Syarifuddin.M.Lc,SH
Panitera
Drs. H. Jamali
Wakl Sekretaris
HM.Nur Agus A. SH
Wakil Panitera
Hj. Robikah. M, SH
Hakim
Drs. Nur Hadi. MH
Drs. Jaenuri
Drs.H.Macmud, SH
Dra..Hj.Farida, MH
H. Suyanto, SH, MH
Muhsin, SH
Kaur Kepegawaian
Mir‟atul Hidayah, SHI
Panmud Hukum
Dra. Widad
Kaur Keuangan
Siti Hindunyati
Panmud Gugatan
Mamnuhin, SH
Kaur Umum
M. Azim Rozi. MS
Panmud Permohonan
Handayani, SH
Panitera Pengganti
H. Fadlan Hasyim S.Ag
Miftah Jauhhara SH
Imam Yaskur BA
Hj. Wasilatun SH
Fitri Ambarawati SH
Mir‟atul Hidayah,SHI
Jurusita Pengganti
M. Nawal Annaji
Jurusita Pengganti
Danang. PN
101
B. Kewenangan Pengadilan Agama Salatiga
Tugas pokok dan fungsi dari Peradilan Agama Salatiga adalah
melaksanakan peraturan perundangan yang sudah ditentukan dalam pasal
2 dan pasal 49 Undang-undang Nomor 3 Tahun 2006 tentang Perubahan
Peradilan Agama dan Undang-undang Nomor 7 Tahun 1989 Tentang
Peradilan Agama yaitu memeriksa, memutus, dan menyelesaikan perkara
tertentu antara orang-orang yang beragama Islam.
Peradilan Agama yang dulunya di bawah payung Departemen
Agama, sekarang sudah berubah menjadi satu atap dengan peradilan-
peradilan yang lain di bawah Mahkamah Agung Republik Indonesia.
Kewenangan Pengadilan Agama dibagi menjadi 2 (dua) yaitu:
1. Kewenangan Absolut
Kewenangan absolut adalah suatu wewenang yang berkaitan
dengan pembagian kekuasaan antar badan-badan peradilan.
Kewenangan absolut meliputi perkara-perkara yang menjadi
tanggungjawab Pengadilan Agama Salatiga yaitu:
a. Perkawinan
b. Waris
c. Wasiat
d. Hibah
e. Wakaf
f. Zakat
g. Infaq
102
h. Shadaqah
i. Ekonomi Syari'ah
Perkara perkawinan adalah hal-hal yang diatur berdasarkan
undang-undang mengenai perkawinan yang berlaku yang dilakukan
menurut syari'ah Islam, antara lain:
a. Izin beristri lebih dari seorang.
b. Izin melangsungkan perkawinan bagi orang yang belum berusia
21 tahun.
c. Dispensasi Kawin.
d. Pencegahan Perkawinan.
e. Penolakan Perkawinan oleh Pegawai Pencatat Nikah.
f. Pembatalan Perkawinan.
g. Gugatan Kelalaian atas Kewajiban Suami dan Istri.
h. Perceraian karena Talak.
i. Gugatan Perceraian.
j. Penyelesaian Harta Bersama.
k. Penguasaan Anak.
l. Ibu dapat memikul biaya pemeliharaan dan pendidikan anak
bilamana bapak yang seharusnya bertanggung jawab tidak
mematuhinya.
m. Penentuan kewajiban memberi biaya penghidupan oleh suami
kepada bekas istri atau penentuan suatu kewajiban bagi bekas istri.
n. Putusan tentang sah tidaknya seorang anak.
103
o. Putusan tentang pencabutan kekuasaan orang tua.
p. Pencabutan kekuasaan wali.
q. Penunjukan orang lain sebagai wali oleh pengadilan dalam
hal kekuasaan seorang wali dicabut.
r. Penunjukan seorang wali dalam hal seorang anak yang belum cukup
umur 18 tahun yang ditinggal kedua orang tuanya.
s. Pembebanan kewajiban ganti kerugian atas harta benda anak
yang ada di bawah kekuasaannya.
t. Penetapan asal-usul seorang anak dan penetapan pengangkatan anu
v. Putusan tentang hal penolakan pemberian keterangan
untuk melakukan perkawinan campuran.
w. Pernyataan tentang sahnya perkawinan yang terjadi sebelum
Undang- undang Nomor 1 Tahun 1974 tentang Perkawinan dan
dijalankan menurut peraturan yang lain.
Waris adalah penentuan siapa yang berhak menjadi ahli waris,
penentuan mengenai harta peninggalan, penentuan bagian masing-
masing ahli waris, dan melaksanakan pembagian harta
peninggalan tersebut, serta Penetapan Pengadilan Agama atas
permohonan seseorang tentang penentuan siapa yang menjadi ahli
waris, penentuan bagian masing- masing ahli waris.
Wasiat adalah perbuatan seseorang memberikan suatu benda
atau manfaat kepada orang lain atau lembaga atau badan hukum, yang
berlaku setelah yang memberi tersebut meninggal dunia.
104
Hibah adalah pemberian suatu benda secara sukarela dan
tanpa imbalan dari seseorang atau badan hukum kepada orang lain
atau badan hukum untuk dimiliki.
Wakaf adalah perbuatan seseorang atau sekelompok
orang (wakif) untuk memisahkan dan atau menyerahkan sebagian
harts benda miliknya untuk dimanfaatkan selamanya atau untuk
jangka waktu tertentu sesuai dengan kepentingannya guna
keperluan ibadah dan atau kesejahteraan umum menurut syari'ah.
Zakat adalah harta yang wajib disisihkan oleh seorang
muslim atau badan hukum yang dimiliki oleh orang muslim sesuai
dengan ketentuan syari'ah untuk diberikan kepada yang berhak
menerimanya.
Infaq adalah perbuatan seseorang memberikan sesuatu
kepada orang lain guna menutupi kebutuhan, baik berupa
makanan, minuman, mendermakan, memberikan rezeki (karunia),
atau menafkahkan sesuatu kepada orang lain berdasarkan rasa
ikhlas dan karena Allah SWT.
Shadaqah adalah perbuatan seseorang memberikan
sesuatu kepada orang lain atau lembaga atau badan hukum secara
spontan dan sukarela tanpa dibatasi oleh waktu dan jumlah tertentu
dengan mengharap ridha Allah SWT dan pahala semata.
Ekonomi Syari'ah adalah perbuatan atau kegiatan usaha yang
dilaksanakan menurut prinsip syari'ah, antara lain meliputi:
105
a. Bank Syari'ah.
b. Lembaga Keuangan Mikro Syari'ah.
c. Asuransi Syari'ah.
d. Reasuransi Syari'ah.
e. Reksa Dana Syari'ah.
f. Obligasi Syari'ah dan Surat Berharga Berjangka Menengah Syari'ah.
g. Sekuritas Syari'ah.
h. Pembiayaan Syari'ah.
i. Pegadaian Syari'ah.
j. Dana Pensiun Lembaga Keuangan Syari'ah.
k. Bisnis Syari'ah.
2. Kewenangan Relatif
Kewenangan relatif adalah kewenangan pengadilan menyangkut
tempat terjadinya suatu perkara. Dalam hal ini setiap perkara yanag
terjadi di wilayah hukum Pengadilan Agama Salatiga menjadi wewenang
dan tanggungjawab Pengadilan Agama Salatiga untuk menyelesaikannya.
Adapun wilayah hukum Pengadilan Agama Salatiga adalah
sebagai berikut:
a. Seluruh wilayah Kota Salatiga yang terdiri dari 4 (empat) kecamatan,
sebagai berikut:
1) Kecamatan Sidorejo.
2) Kecamatan Argomulyo.
3) Kecamatan Tingkir.
4) Kelurahan Sidomukti.
106
b. Sebagian wilayah Kabupaten Semarang, yang terdiri dari 9 (sembilan)
kecamatan, sebagai berikut:
1) Kecamatan Bringin.
2) Kecamatan Bancak.
3) Kecamatan Suruh.
4) Kecamatan Tuntang.
5) Kecamatan Getasan.
6) Kecamatan Pabelan.
7) Kecamatan Tengaran.
8) Kecamatan Susukan.
9) Kecamatan Kaliwungu.
C. Administrasi Berperkara di Pengadilan Agama Salatiga
1. Administrasi Perkara pada Peradilan Tingkat Pertama
Administrasi Peradilan Agama adalah suatu proses
penyelenggaraan oleh seorang administratur secara teratur dan diatur
guna melakukan perencanaan, pelaksanaan dan pengawasan untuk
mencapai tujuan pokok.
Sedangkan yang dimaksud dengan diatur adalah seluruh
kegiatan itu harus disusun dan disesuaikan satu sarana lainnya supaya
terdapat keharmonisan dan kesinambungan tugas. Adapun yang
dimaksud dengan teratur adalah kegiatan perencanaan, pelaksanaan dan
pengawasan yang di1aksanakan secara terus menerus dan terarah
sehingga tidak terjadi tumpang tindih (overlap) dalam melaksanakan
107
tugas, sehingga akan mencapai penyelesaian tugas pokok secara
maksimal. Peradilan Agama, sebagaimana ditegaskan dalam pasal 2
Undang-undang Nomor 3 Tahun 2006, adalah salah satu pelaku
kekuasaan kehakiman bagi rakyat pencari keadilan yang beragama Islam
mengenai perkara tertentu.
Untuk melaksanakan kekuasaan kehakiman tersebut, Panitera
adalah yang melaksanakan tugas-tugas administrasi dalam rangka
mencapai tugas pokok tersebut, sebagaimana tercantum dalam pasal 26
Undang-undang Nomor 7 Tahun 1989 dan Undang-undang Nomor 3
Tahun 2006.
Sehubungan dengan peraturan perundangan tersebut, penulis
melakukan wawancara terhadap Widad, Panitera Muda Hukum
Pengadilan Agama Salatiga pada tanggal 13-8-2012 dan memberikan
beberapa penjelasan mengenai administrasi berkperkara di Pengadilan
Agama Salatiga.
Sebagaimana yang disampaikan oleh Informan bahwa Panitera
sebagai pelaksana kegiatan administrasi pengadilan memiliki 3 (tiga)
macam tugas:
a) Pelaksana administrasi perkara Pola Bindalmin.
b) Pendamping hakim dalam persidangan.
c) Pelaksana putusan atau penetapan.
Da1am rangka untuk melaksanakan tugas pokok pengadilan,
Panitera menerima perkara yang diajukan kepada Peradilan Agama untuk
108
diproses lebih lanjut. Prosedur penerimaan perkara di Peradilan Agama
melalui beberapa meja, yaitu meja I, meja II dan meja III.
Pengertian meja tersebut adalah merupakan kelompok pelaksana
teknis yang harus dilalui oleh suatu perkara di Peradilan Agama, mulai
dari penerimaan sampai perkara tersebut di selesaikan.
a. Meja I
Meja I mempunyai tugas:
1) Menerima gugatan, permohonan, perlawanan (verzet), pernyataan
banding, kasasi, permohonan peninjauan kembali, eksekusi,
penjelasan dan penaksiran biaya perkara dan biaya eksekusi.
2) Membuat surat kuasa untuk membayar (SKUM) rangkap tiga dan
menyerahkan SKUM tersebut kepada calon penggugat.
3) Menyerahkan kembali surat gugatan kepada calon penggugat.
4) Menaksir biaya perkara sebagaimana ditetapkan dalam pasal 121
HIR yang kemudian dinyatakan dalam SKUM.
5) Penerimaan perkara perlawanan (verzet) hendaknya dibedakan
antara perlawanan (verzet) terhadap putusan verstek dengan
perlawanan pihak ketiga (darden verzet).
6) Penerimaan verzet terhadap putusan verstek tidak diberi nomor
baru, sedang perlawanan pihak ketiga (darden verzet) dicatat
sebagai perkara baru dan mendapat nomor baru sebagai perkara
gugatan.
109
7) Dengan demikian penerimaan perkara oleh Meja I secara
keseluruhan meliputi: perkara permohonan, perkara gugatan,
perkara banding, perkara kasasi, perkara peninjauan kembali,
perkara eksekusi.
Selain tugas-tugas penerimaan perkara seperti tersebut
di atas, Meja I juga berkewajiban memberi penjelasan-penjelasan
yang dianggap perlu berkenaan dengan perkara yang diajukan.
8) Menerima berkas perkara banding.
9) Menerima memori, kontra memori banding yang langsung
dikirim ke Pengadilan Tinggi Agama, yang disampaikan oleh
pembanding atau terbanding.
Pemegang Kas merupakan bagian dari Meja I yang menerima
pembayaran uang panjar perkara sebagaimana tersebut dalam SKUM
melakukan penerimaan uang panjar perkara atau biaya eksekusi dan
membukukan dalam buku jumal yang terdiri dari:
1) KI. PA. l/p untuk perkara permohonan.
2) KI. PA. l/g untuk perkara gugatan.
3) KI. PA. 2 untuk perkara banding.
4) KI. PA. 3 untuk perkara kasasi.
5) KI. PA. 4 untuk perkara peninjauan kembali.
6) KI. PA. 5 untuk permohonan eksekusi.
Seluruh kegiatan pengeluaran biaya perkara harus melalui
Pemegang Kas dan dicatat secara tertib dalam Buku Induk yang
110
bersangkutan. Dengan demikian pada Pemegang Kas harus tersedia
uang kontan dan materai putusan.
Untuk pengeluaran biaya materai dan redaksi dicatat dalam
Buku Jurnal sesuai dengan tanggal diputusnya perkara tersebut.
Khusus bagi pengadilan Tinggi Agama, Buku Jurnal terdiri atas
sebuah buku jurnal, yaitu KII. PAl dan membukukan uang panjar
perkara banding yang diterima dari Pengadilan Agama hanya
dilakukan apabila berkas perkara banding yang bersangkutan sudah
diterima oleh Pengadilan Tinggi Agama.
Disamping itu Pemegang Kas menandatangani SKUM,
penerimaan perkara dalam SKUM dan dalam surat gugatan
sebagaimana tersebut dalam buku jurnal yang berkaitan dengan
perkara yang diajukan.
Mengembalikan asli serta tindasan pertama SKUM beserta
surat gugatan kepada calon penggugat. Terhadap perkara prodeo
tetap dibuatkan SKUM sebesar Rp.0,- (nol rupiah) dan SKUM
tersebut didaftarkan pada Pemegang Kas sebagaimana tersebut di
atas.
b. Meja II
Meja II mempunyai tugas:
1) Menerima surat gugatan atau perlawanan dari calon pengggat atau
pelawan dalam rangkap sebanyak jumlah tergugat atau terlawan
ditambah 2 (dua) rangkap.
111
2) Menerima tindasan pertama SKUM dari calon penggugat atau
pelawan.
3) Mendaftar surat gugatan dalam register yang bersangkutan serta
memberi nomor register pada surat gugatan tersebut.
4) Nomor register diambil dan nomor pendaftaran yang diberikan
oleh Pemegang Kas (kasir).
5) Menyerahkan kembali satu rangkap surat gugatan yang telah
diberi nomor register kepada penggugat.
6) Surat gugatan yang asli dimasukkan dalam sebuah map khusus
dengan melampirkan tindasan pertama SKUM dan surat-surat
yang berhubungan dengan gugatan, disampaikan kepada wakil
panitera, untuk selanjutnya berkas gugatan tersebut disampaikan
kepada Ketua Pengadilan Agama melalui Panitera.
7) Mendaftar putusan Pengadilan Agama atau Pengadilan Tinggi
Agama atau Mahkamah Agung dalam semua buku register yang
bersangkutan.
Kepaniteraan gugatan mempelajari kelengkapan persyaratan
dan mencatat semua data-data perkara, yang baru diterimanya dalam
buku penerimaan tentang perkara, kemudian menyampaikannya
kepada Panitera dengan melampirkan semua formulir-formulir yang
berhubungan dengan pemeriksaan perkara.
Panitera sebelum meneruskan berkas-berkas yang baru
diterimanya itu kepada Ketua Pengadilan Agama, terlebih dahulu
112
menyuruh petugas yang bersangkutan untuk mencatatnya dalam buku
register perkara yang nomornya diambil dari SKUM. Paling lambat
pada hari kedua setelah surat gugatan diterima di bagian Kepaniteraan
Pengadilan, Panitera harus sudah menyerahkan kepada Ketua
Pengadilan Agama yang selanjutnya Ketua Pengadilan Agama
mencatat dalam buku ekspedisi yang ada padanya dan
mempelajarinya, kemudian menyampaikan kembali berkas perkara
tersebut kepada Panitera dengan disertai penetapan Penunjukan
Majelis Hakim (PMH) yang harus dilakukannya dalam waktu
selambat-lambatnya 10 (sepuluh hari) sejak gugatan didaftarkan.
Panitera menyerahkan berkas perkara yang diterimanya dari
Ketua atau Wakil Ketua Pengadilan Agama kepada Majelis Hakim
yang bersangkutan, kemudian menunjuk seorang atau lebih Panitera
Pengganti untuk membantu kepada Majelis Hakim yang bersangkutan.
Setelah Majelis Hakim menerima berkas perkara tersebut, maka Ketua
Majelis Hakim harus membuat Penetapan Hari Sidang (PHS).
Setelah Majelis Hakim membuat Penetapan Hari Sidang
(PHS) kemudian Ketua Majelis Hakim memerintahkan kepada
Jurusita atau Jurusita Pengganti untuk melaksanakan pemanggilan
dalam wilayah yurisdiksi dilaksanakan secara resmi dan patut.
c. Meja III
Meja III mempunyai tugas:
113
1) Menyerahkan salinan putusan Pengadilan Agama atau Pengadilan
Tinggi Agama atau Mahkamah Agung kepada yang
berkepentingan.
2) Menyerahkan salinan penetapan Pengadilan Agama atau kepada
pihak yang berkepentingan.
3) Menerima memori atau kontra memori banding, memori atau
kontra memori kasasi, jawaban atau tanggapan peninjauan
kembali dan lain-lain.
4) Menyusun dan mempersiapkan berkas.
2. Administrasi Perkara Banding
a. Prosedur Pengajuan Banding
Bagi para pihak yang merasa tidak puas terhadap putusan
Pengadilan Agama dapat mengajukan permohonan banding ke
Pengadilan Tinggi Agama melalui Panitera Pengadilan Agama yang
memutuskan perkara. Batas waktu pengajuan banding tersebut adalah
14 (empat belas) hari setelah putusan Pengadilan Agama diumumkan
atau diberitahukan secara sah kepada para pihak yang tidak hadir
ketika putusan itu diucapkan.
Terhadap permohonan banding yang diajukan melewati
batas waktu 14 (empat belas) hari Panitera wajib pula menerima dan
mencatatnya dan tidak diperkenankan kepadanya untuk menolak
permohonan banding itu dengan alasan waktu banding itu telah lewat
sebelum permohonan banding dicatat, pemohonan banding harus
114
sudah melunasi panjar biaya banding yang dibuktikannya dengan
SKUM yang dibuat oleh kasir. Tidak diperkenankan pembayaran
banding ini dengan sistem cicilan.
Pengajuan permohonan banding bagi orang yang tidak
mampu (prodeo), Pengadilan Agama terlebih dahulu memeriksa
ketidakmampuan orang tersebut dan selanjutnya berita acara
pemeriksaan dan berkas bendel A dikirim ke Pengadilan Tinggi
Agama untuk diperiksa dan diputus tentang prodeonya.
Selanjutnya apabila Pengadilan Tinggi Agama telah selesai
memeriksanya, membuat penetapan yang mengabulkan atau menolak
prodeonya, berkas dikirim kembali ke Pengadilan Agama. Sekiranya
prodeo ditolak maka pemohon banding diwajibkan membayar ongkos
perkara, sebaliknya apabila dikabulkan maka diproses secara prodeo.
Permohonan Banding yang telah memenuhi syarat
administrasi harus pula dibuatkan akta permohonan banding. Dalam
waktu 7 (tujuh) hari setelah permohonan banding diterima, kepada
pihak lawan harus diberitahukan adanya permohonan banding itu,
yang dinyatakan dengan akta pemberitahuan permohonan banding.
Apabila para pihak membuat memori banding atau kontra
memori banding harus dicatat tanggal penerimaannya, dan selanjutnya
salinannya disampaikan kepada pihak lawannya masing-masing yang
dinyatakan dengan akta penyerahan atau pemberitahuan memori atau
kontra memori banding.
115
Sebelum berkas banding itu dikirim ke Pengadilan Tinggi
Agama, kepada kedua belah pihak diberikan kesempatan untuk
membaca atau mempelajari (inzage) berkas perkara yang akan
dikirim ke Pengadilan Tinggi Agama.
Dalarn waktu satu bulan sejak permohanan banding diterima,
berkas perkara banding harus sudah dikirim kepada Pengadilan Tinggi
Agama. Berkas perkara banding yang dikirim melalui pos dikirim
dengan pos tercatat, sedangkan yang diantar langsung ke Pengadilan
Tinggi Agama harus disampaikan dengan ekspedisi atau tanda bukti
penerimaan, untuk menghindari hilangnya berkas perkara.
Biaya pemeriksaan perkara banding ke Pengadilan Tinggi
Agama harus disampaikan melalui Bank Pemerintah atau Wesel Pos
bersamaan dengan pengiriman berkas perkara.
Berkas perkara banding yang dikirirn ke Pengadilan Tinggi
Agama dijilid atau disusun dengan baik. dalam bentuk dan urutan
bendel A dan bendel B.
b. Tertib Berkas Perkara Banding
Bendel A (Arsip Pengadilan Agama) terdiri dari:
1) Surat gugatan penggugat atau surat perrnohonan pemohon.
2) Penetapan Penunjukan Majelis Hakim (PMH).
3) Penetapan Hari Sidang (PHS).
4) Relaas-relaas panggilan.
116
5) Berita Acara Sidang (jawaban, replik, duplik, pihak-pihak
dimasukkan dalarn kesatuan berita acara).
6) Surat Kuasa dari kedua belah pihak (bila memakai kuasa).
7) Penetapan Sita Conservotoir atau Revendicatoir (bila ada).
8) Berita Acara Sita Conservatoir atau Revindicatoir (bila ada).
9) Lampiran-lampiran surat-surat yang diajukan oleh kedua belah
pihak bila ada.
10) Surat-surat bukti penggugat, surat-surat bukti tergugat.
11) Tanggapan bukti-bukti tergugat dari penggugat (bila ada),
tanggapan bukti-bukti dari tergugat (bila ada).
12) Berita Acara Pemeriksaan Setempat (bila ada).
13) Gambar situasi (bila ada).
14) Surat-surat lainnya (bila ada).
Sedangkan Bendel B (untuk arsip Pengadilan Tinggi Agama)
terdiri dari :
1) Salinan Resmi Putusan Pengadilan Agama.
2) Akta Permohonan Banding.
3) Akta Pemberitahuan Banding.
4) Akta Pemberitahuan memori banding atau kontra memori
banding.
5) Akta Pemberitahuan memberi kesempatan pihak-pihak untuk
melihat, membaca dan memeriksa (inzage) berkas perkara, Surat
Kuasa Khusus (kalau ada).
6) Tanda bukti ongkos perkara banding.
117
3. Administrasi Perkara Kasasi
a. Prosedur Kasasi
Kasasi adalah upaya hukum para pihak berperkara karena
merasa tidak puas dengan putusan pengadilan tingkat banding yang
diajukan ke Mahkamah Agung yang melalui Kepaniteraan peradilan
tingkat pertama, diberi kesempatan waktu selama 14 (empat belas)
hari untuk menyatakan kasasi ke Mahkamah Agung Republik
Indonesia dihitung setelah para pihak yang berperkara menerima
pemberitahuan putusan dari Pengadilan Tinggi Agama.
Apabila diantara pihak akan menyatakan kasasi, maka kepada
pemohon kasasi membayar biaya kasasi sesuai dengan keputusan
Mahkamah Agung Republik Indonesia Nomor: KMA
l017/SK/VI/1992 Tanggal 10 Juni 1992.
Panitera yang menangani perkara kasasi, barn menerima
perkara tersebut apabila masih dalam tenggang waktu 14 hari dan
telah melunasi biaya perkara kasasi. Selanjutnya Panitera
memberitahukan secara tertulis kepada pihak lawan selambat-
lambatnya 7 (tujuh) hari sejak diterimanya permohonan kasasi
tersebut.
Pihak pemohon kasasi membuat memori kasasi sebanyak tiga
rangkap dalam tenggang waktu 14 (empat belas hari) sejak
permohonan kasasi dicatat dan didaftar. Panitera membuat tanda
terima atas penerimaan memori kasasi dan menyampaikan salinan
118
memori kasasi tersebut kepada pihak lawan dalam waktu paling
lambat 30 (tiga puluh hari) dengan membuat tanda terima penyerahan.
Pihak lawan diberi kesempatan untuk membuat jawaban
(konta memori kasasi) dalam waktu 14 (empat belas hari) sejak
diterimanya memori kasasi tersebut.
Panitera menerima kontra memori kasasi dengan bukti tanda
terima. Selanjutnya Panitera mengirimkan berkas pemohonan kasasi
ke Mahkamah Agung selambat lambatnya 30 (tiga puluh) hari.
Adapun berkas yang dikirim tersebut terdiri dari bundel A dan B.
b. Tertib Berkas Perkara Kasasi
Bendel A (untuk arsip Pengadilan Agama) Susunan dan
aturan bendel A ini adalah sama dengan susunan dan aturan pada
bendel A permohonan banding. Bendel B (untuk arsip Mahkamah
Agung Republik Indonesia) terdiri dari:
1) Relas-relas pemberitahun ini putusan banding kepada kedua belah
pihak.
2) Akte permohonan kasasi.
3) Surat kuasa khusus dari pemohon kasasi (bila ada).
4) Memori kasasi (bila ada) atau surat keterangan apabila pemohon
kasasi tidak mengajukan memori kasasi.
5) Tanda terima memori kasasi.
6) Relas pemberitahuan kasasi kepada pihak lawan.
119
7) Relas pemberitahun memori kasasi kepada pihak lawan dan
kontra memori kasasi (bila ada).
8) Relas pemberitahuan kontra memori kasasi kepada pihak lawan,
relaas memberikan kesempatan pihak-pihak, membaca dan
memeriksa berkas (inzage).
9) Salinan resmi putusan Pengadilan Agama. Salinan resmi putusan
Pengadila Tinggi Agama. Tanda bukti setoran biaya yang sah dari
bank. Surat-surat lain yang sekiranya ada.
4. Administrasi Perkara Peninjauan Kembali
a. Prosedur Peninjauan Kembali
Permononan peninjauan kembali atas suatu putusan
Pengadilan Agama yang telah mempunyai kekuatan hukum tetap
hanya dapat diajukan ke Mahkamah Agung Republik Indonesia
berdasarkan alasan sebagaimana diatur dalam pasal 67 Undang-
undang Nomor 5 Tahun 2004 tentang Perubahan Atas Undang-undang
Nomor 14 Tahun 1985 tentang Mahkamah Agung.
Permohonan peninjauan kembali harus diajukan sendiri oleh
para pihak yang berperkara atau ahli warisnya atau seorang wakilnya
yang secara khusus dikuasakan untuk itu. Apabila selama proses
peninjauan kembali pemohon meninggal dunia, permohonan tersebut
dapat dilanjutkan oleh ahli warisnya yang masih hidup.
Permohonan peninjauan kembali hanya dapat diajukan satu
kali saja. Permohonan peninjauan kembali dalam waktu 180 hari
120
setelah putusan atau penetapan mempunyai kekuatan hukum tetap,
atau sejak ditemukan bukti-bukti baru atau bukti-bukti adanya
penipuan.
Pemohon peninjauan kembali harus membayar biaya kepada
Panitera Pengadilan Agama sesuai dengan Keputusan Ketua
Mahkamah Agung Republik Indonesia Nomor: K-lA/017/SK/VI/l992
Tanggal 10 Juni 1992 dan selanjutnya Panitera mengirimkannya ke
Mahkamah Agung Republik Indonesia. Panitera setelah menerima
peninjauan kembali beserta biayanya maka kemudian membuat akta
peninjauan kembali serta memasukkan dalam buku register.
Selambat-lambatnya dalam waktu 14 (empat belas) hari
Panitera memberitahukan tentang permohonan peninjauan kembali
kepada pihak lawan dengan mengirimkan salinan permohonan
peninjauan kembali serta alasan-alasannya kepada pihak lawan. Pihak
lawan dapat mengajukan jawabannya dalam tenggang waktu 30 hari
setelah tanggal diterimanya salinan permohonan peninjauan kembali
tersebut.
Setelah jawaban diterima oleh Pengadilan Agama Panitera
wajib membubuhi stempel, tanggal, hari diterimanya jawaban
peninjauan kembali tersebut diatas surat jawaban.
Berkas perkara peninjauan kembali dan bukti pembayaran
biayanya oleh Panitera dikirim ke Mahkamah Agung Republik
Indonesia dalam waktu 30 (tiga puluh) hari. Berkas perkara
121
peninjauan kembali yang disampaikan ke Mahkamah Agung Republik
Indonesia disusun dengan baik, dalam bentuk bendel A dan bendel B.
b. Tertib Berkas Peninjauan Kembali
Bendel A (untuk arsip Pengadilan Agama Salatiga), susunan
dan aturan bendel A adalah sama dengan susunan dan aturan pada
bendel A permohonan banding dan kasasi. Bendel B (untuk arsip
Mahkamah Agung Republik Indonesia) terdiri dari:
1) Relas pemberitahuan isi putusan Mahkamah Agung (terutama
kepada pemohon peninjauan kembali) atau relaas pemberitahuan
isi putusan banding.
2) Permohonan peninjauan kembali diajukan atas putusan
Pengadilan Tinggi Agama yang telah mempunyai kekuatan
hukum tetap dalam hal putusan diucapkan diluar hadir pihak
berperkara.
3) Akta peninjauan kembali.
4) Surat permohonan peninjauan kembali yang dilampiri dengan
surat bukti.
5) Tanda terima surat permohonan peninjauan kembali dan surat
kuasa khusus bila ada.
6) Surat pemberitahuan dan penyerahan salinan permohonan
peninjauan kembali kepada pihak lawan.
7) Jawaban surat permohonan peninjauan kembali.
122
8) Salinan resmi Putusan Pengadilan Agama atau fotokopi yang
dilegalisir oleh Panitera.
9) Salinan resmi Putusan Pengadilan Tinggi Agama atau foto copi
yang dilegalisir oleh Panitera.
10) Salinan Putusan Mahkamah Agung Republik Indonesia atau
fotokopi yang dilegalisir oleh Panitera.
11) Tanda bukti setoran biaya dari bank.
12) Surat-surat lain yang mungkin ada.
D. Proses Pemeriksaan pada Perkara Gugatan Perceraian
1. Kelengkapan Berkas
Penulis melakukan penelitian terhadap berkas perkara yang akan
diperiksa melalui persidangkan dengan nomor perkara:
666/Pdt.G/2011/PA.Sal tanggal 8 September 2011. Dalam penelitian
tersebut ada beberapa hal yang harus dipenuhi atau hal-hal yang harus
ada dalam berkas sebelum berkas tersebut diperiksa.
Hal-hal yang berkaitan dengan berkas tersebut harus dilakukan
baik oleh para pihak perkara, maupun oleh Kepaniteraan Pengadilan
Agama Salatiga. Dalam berkas tersebut pihak sudah membuat surat
gugatan perceraian dan tidak menggunakan jasa Advokat ataupun Kuasa
Insidentil yang kemudian oleh pihak sendiri pula surat gugatan
perceraian tersebut diajukan ke Kepaniteraan Pengadilan Agama
Salatiga. Oleh Meja I diberi penjelasan-penjelasan yang dianggap perlu
berkenaan dengan perkara yang diajukan dan dibuatkan Surat Kuasa
123
Untuk Membayar (SKUM) rangkap tiga dan menyerahkan SKUM
tersebut kepada calon penggugat.
Dalam SKUM tersebut tercantum nomor perkara, nama pihak
penggugat, jumlah biaya, tanggal pembayaran, tanda tangan Pemegang
Kas, stempel Pengadilan Agama Salatiga dan stempel tanda lunas.
Dengan SKUM ini pula para pihak membayar biaya perkaranya langsung
melalui Bank BNI Cabang Salatiga, hal ini sesuai dengan pasal 89
Undang-undang Nomor 7 Tahun 1989.
Setelah adanya bukti para pihak membayar perkaranya,
kemudian Ketua Pengadilan Agama Salatiga membuat surat Penetapan
Majelis Hakim (PMH) sebagaimana yang tercantum dalam pasal 11
Undang-undang Nomor 48 Tahun 2009 Tentang Kekuasaan Kehakiman
dan pasal 93 Undang-undang Nomor 7 Tahun 1989. Dengan dasar PMH
ini kemudian Ketua Majelis Hakim membuat surat Penetapan Hari
Sidang (PHS) dan Panitera Pengadilan Agama Salatiga membuat surat
Penunjukan Panitera Sidang.
Ketua Majelis Hakim setelah membuat PHS kemudian
memerintahkan Jurusita atau Jurusita Pengganti untuk menyampaikan
surat panggilan (relaas) kepada para pihak baik penggugat maupun
tergugat.
Dengan demikian hal-hal yang harus ada dalam berkas sebelum
berkas tersebut diperiksa sebagaimana yang ditemukan Penulis yaitu
surat gugatan perceraian, SKUM dan Kwitansi dari Bank BNI Cabang
124
Salatiga, PMH, PHS, Penunjukan Panitera Sidang dan Surat Panggilan
(relaas).
2. Pemeriksaan dalam Persidangan
a. Pemeriksaan Perkara Gugatan Perceraian
Disamping melakukan penelitian terhadap kelengkapan
berkas sebelum perkara tersebut diperiksa di persidangan, penulis
juga melakukan penelitian terhadap berkas perkara selama proses
persidangan berlangsung, mulai dari persidangan pertama sampai
Majelis Hakim mengambil suatu keputusan, dimana selama proses
persidangan tersebut dicatat oleh Panitera Sidang dan dibendel dalam
satu berkas Berita Acara Persidangan (BAP). BAP merupakan
gambaran semua proses pemeriksaan perkara gugatan perceraian
dilaksanakan.
Pemeriksaan persidangan pertama Pengadilan Agama
Salatiga yang memeriksa dan mengadili perkara perdata gugatan
perceraian dengan Nomor: 666/Pdt.G/2011/PA.Sal pertama kali
dilaksanakan pada tanggal 28 September 2012. Dalam persidangan
tersebut Penggugat datang sendiri menghadap di persidangan, dan
Tergugat tidak datang menghadap ataupun menyuruh orang lain untuk
hadir dalam persidangan meskipun telah dipanggil secara resmi dan
patut sebagaimana yang tercantum dalam surat panggilan.
Pemeriksaan diawali dengan memeriksa identitas Penggugat
dan Tergugat yang ada dalam surat gugatan perceraian, dan Penggugat
125
membenarkan identitas tersebut. Disamping itu Penggugat juga
menerangkan kepada Ketua Majelis Hakim bahwa Tergugat sekarang
berada di Lembaga Pemasyarakatan Salatiga karena kasus Kekerasan
Dalam Rumah Tangga (KDRT). Oleh karena Tergugat tidak hadir,
maka pemeriksaan persidangan ditunda untuk memanggil Tergugat
kembali.
Persidangan lanjutan dilaksanakan pada tanggal 19 Oktober
2011. Penggugat datang sendiri menghadap di persidangan, sedangkan
Tergugat tidak hadir dan tidak menyuruh orang lain untuk hadir dalam
persidangan meskipun telah dipanggil secara resmi dan patut
sebagaimana yang tercantum dalam surat panggilan.
Oleh karena Tergugat tidak hadir 2 (dua) kali berturut-turut,
maka Ketua Majelis Hakim menyatakan antara Penggugat dan
Tergugat tidak dapat dimediasi, dan mediasi dianggap gagal.
Kemudian Majelis Hakim melanjutkan persidangan dengan
membacakan surat gugatan perceraian Penggugat, setelah sebelumnya
Ketua Majelis Hakim menasehati kepada Penggugat untuk tidak
bercerai.
Atas pertanyaan Ketua Majelis Hakim Penggugat
membenarkan bahwa surat gugatan perceraian yang dibacakan dalam
persidangan adalah gugatan Penggugat, dan Penggugat tidak akan
merubah gugatan tersebut dan tetap mempertahankan isinya.
126
Selanjutnya Ketua Majelis Hakim menunda pemeriksaan gugatan
perceraian untuk mendengar jawaban Tergugat.
Persidangan berikutnya dilaksanakan pada tanggal 9
Nopember 2011. Pada tahap persidangan ini Penggugat datang sendiri
menghadap di persidangan, sedangkan Tergugat tidak hadir dan tidak
menyuruh orang lain untuk hadir dalam persidangan meskipun telah
dipanggil secara resmi dan patut sebagaimana yang tercantum dalam
surat panggilan.
Ketua Majelis Hakim dalam persidangan ini tetap
memberikan nasehat kepada Penggugat supaya tidak bercerai dengan
Tergugat, namun Penggugat tetap bersikukuh untuk bercerai. Oleh
karena Tergugat tidak hadir di persidangan yang sedianya untuk
mendengar jawabannya, kemudian Ketua Majelis melanjutkan
persidangan dengan acara pembuktian.
Dalam persidangan ini Penggugat mengajukan alat bukti
yaitu alat bukti saksi, alat bukti surat berupa fotokopi putusan
Pengadilan Negeri Salatiga Nomor: 45/Pid.Sus/2011/PN.Sal yang
amar putusannya berbunyi:
a. Menyatakan Terdakwa Bambang Triyono bin Ngadiyono telah
terbukti secara sah dan meyakinkan bersalah melakukan tindak
pidana “Kekerasan Fisik dalam Rumah Tangga yang tidak
menimbulkan halangan untuk menjalankan pekerjaan mata
pencaharian”.
b. Menjatuhkan pidana terhadap Terdakwa tersebut dengan
Pidana Penjara Selama : 1 (satu) bulan dan 15 (lima belas)
hari.
c. Menetapkan masa penahanan yang telah dijalani Terdakwa
dikurangkan seluruhnya dari pidana yang dijatuhkan.
127
d. Memerintahkan agar Terdakwa tetap dalam tahanan.
e. Membebankan biaya perkara kepada Terdakwa sebesar Rp.
1.000,00 (seribu rupiah).
Kemudian fotokopi KTP Penggugat Nomor: 33733046508780002,
fotokopi Kutipan Akta Nikah Nomor: 240/231/VIII/1996. Alat-alat
bukti tersebut setelah dicocokkan sesuai dengan aslinya.
Alat bukti saksi adalah orang tua kandung Penggugat yang
memberikan kesaksian dalam persidangan dan memberikan
keterangan dalam beberapa hal yaitu:
a. Bahwa Setelah menikah Penggugat dan Tergugat tinggal di rumah
orang tua Tergugat di Klaseman Salatiga selama 15 (lima belas)
tahun.
b. Bahwa Penggugat dikembalikan kepada orang tuanya dan telah
berpisah rumah selama 4 (empat) bulan. Adapun alasan
dikembalikannya Penggugat kepada orang tuanya karena mereka
sering bertengkar sampai Tergugat menyakiti badan jasmani
Penggugat.
c. Bahwa Tergugat pernah dilaporkan ke Polisi karena kasus KDRT,
sehingga Tergugat sempat dipenjara di Lembaga Pemasyarakatan
Salatiga.
d. Bahwa selama pisah Tergugat tidak pernah memberi ataupun
mengirim sesuatu apapun sebagai nafkah kepada Penggugat.
e. Bahwa orang tua Penggugat sudah tidak sanggup lagi
mendamaikan keduanya dan lebih baik mereka diceraikan saja.
128
Selanjutnya Ketua Majelis Hakim menunda pemeriksaan
gugatan perceraian untuk pembuktian lanjutan.
Pelaksanaan sidang lanjutan dilaksanakan pada tanggal 23
Nopember 2011. Penggugat datang sendiri menghadap di persidangan,
sedangkan Tergugat tidak hadir dan tidak menyuruh orang lain untuk
hadir dalam persidangan meskipun telah dipanggil secara resmi dan
patut sebagaimana yang tercantum dalam surat panggilan.
Ketua Majelis Hakim dalam persidangan untuk pembuktian
lanjutan masih memberi nasehat kepada Penggugat untuk tidak
bercerai dengan Tergugat, namun Penggugat tetap bersikukuh untuk
bercerai dengan Tergugat. Atas pertanyaan Ketua Majelis Hakim
perihal kesiapan Penggugat untuk mengajukan alat bukti saksi yang
lain, Penggugat menyatakan belum siap mengajukan alat bukti saksi
yang lain.
Oleh karena persidangan pada tanggal 23 Nopember 2011
dianggap cukup maka Ketua Majelis menunda kembali persidangan
untuk pembuktian lanjutan.
Persidangan dibuka kembali pada tanggal 7 Desember 2011.
Dalam persidangan ini Penggugat datang sendiri menghadap di
persidangan, sedangkan Tergugat tidak hadir dan tidak menyuruh
orang lain untuk hadir dalam persidangan meskipun telah dipanggil
secara resmi dan patut sebagaimana yang tercantum dalam surat
panggilan.
129
Sebagaimana sidang-sidang sebelumnya Ketua Majelis
Hakim masih tetap memberi nasehat kepada Penggugat untuk tidak
bercerai dengan Tergugat, namun Penggugat tidak mau dan tetap
bersikukuh dengan pendiriannya untuk bercerai dengan Tergugat.
Ketua Majelis Hakim kemudian memberikan pertanyaan
perihal kesiapan Penggugat untuk mengajukan alat bukti saksi yang
lain selain orang tuanya. Atas pertanyaan Ketua Majelis Hakim ini,
Penggugat menyatakan tidak akan menambah alat bukti lain baik alat
bukti surat maupun saksi-saksi dan mohon kepada Ketua Majelis
Hakim untuk segera menjatuhkan putusan.
Oleh Ketua Majelis Hakim persidangan diskors untuk
musyawarah Majelis Hakim dan Penggugat diperintahkan untuk
meninggalkan ruang persidangan.
Setelah Majelis Hakim selesai bermusyawarah, kemudian
Ketua Majelis Hakim menyatakan sidang dibuka kembali dan terbuka
untuk umum dan memerintahkan Penggugat untuk memasuki
persidangan kembali, selanjutnya Ketua Majelis Hakim membacakan
putusan perkara gugatan perceraian ini yang amar putusannya sebagai
berikut:
a. Menyatakan Tergugat yang telah dipanggil dengan resmi dan
patut untuk menghadap di persidangan, tidak hadir.
b. Menolak gugatan Penggugat.
c. Menghukum Penggugat untuk membayar biaya perkara
sebesar Rp. 441.000,00 (empat ratus empat puluh satu ribu
rupiah).
130
b. Putusan
1) Pertimbangan Hukum dalam Putusan
Putusan adalah pernyataan Hakim yang dituangkan dalam
bentuk tertulis dan diucapkan oleh Hakim dalam sidang terbuka
untuk umum, sebagai hasil dari pemeriksaan perkara gugatan atau
kontensius.
Dalam setiap putusan terdapat pertimbangan atau alasan
putusan hakim yang terdiri dari pertimbangan tentang duduk
perkara dan pertimbangan tentang hukumnya. Perkara nomor:
666/Pdt.G/2011 PA.Sal pertimbangan tentang duduk perkaranya
menyatakan sebagai berikut:
Bahwa Penggugat telah melaksanakan pernikahan
dengan Tergugat pada tanggal 11 Agustus 1996 di hadapan
Pegawai Pencatat Nikah (PPN) KUA Kecamatan Suruh,
Kabupaten Semarang sebagaimana ternyata dalam Kutipan
Akta Nikah nomor: 240/VIII/1996 tertanggal 12 Agustus 1996.
Bahwa setelah pernikahan tersebut Penggugat dan
Tergugat hidup rukun sebagaimana layaknya suami isteri
dengan baik, telah berhubungan badan (ba‟da dukhul) dan
keduanya bertempat tinggal bersama di rumah orang tua
Penggugat di Suruh selama 3 bulan, terakhir bertempat tinggal
di rumah pemberian orang tua Tergugat di Salatiga selama 14
tahun 7 bulan, dan sudah diakruniai 3 orang anak masing-
masing bernama Andika Gilang Pangestu (lahir 7 Agustus
1997), Bramantya Restu Putra (lahir 7 Juni 2003), dan
Cassanova Satria Pamungkas (lahir 1 Juni 2007).
Bahwa kehidupan rumah tangga Penggugat dan
Tergugat mulai goyah dan terjadi perslisihan dan pertengkaran
secara terus menerus yang sulit diatasi sejak bulan Agustus
1998.
Bahwa sebab-sebab terjadinya perselisihan dan
pertengkaran tersebut karena Tergugat sering menganiaya
Penggugat hingga memar, misalnya dipukul dan ditampar.
Bahwa karena Penggugat sudah tidak kuat lagi
dengan sikap Tergugat, kemudian pada tanggal 9 Juni 2010,
131
antara Penggugat an Tergugat berpisah tempat tinggal yang
sampai saat ini sudah selama 3 bulan, karena Tergugat
mengusir Penggugat.
Bahwa saat ini Penggugat dan Tergugt berpisah
tempat tinggal, yaitu Penggugat bertempat tinggal di rumah
orang tuanya di Jl. Soekarno Hatta, dan Tergugat bertempat
tinggal di rumah orang tunya di Jl. Cendrawasih.
Bahwa selama pisah rumah tersebut, Tergugat tidak
pernah memberi nafkah kepada Penggugat bahkan Tergugat
sudah mengembalikan Penggugat ke rumah orang tua
Penggugat.
Bahwa berdasrkan sebab-sebab tersebut di atas,
maka Penggugat merasa rumah tangga antara Penggugat dan
Tergugat tidak dapat dipertahankan lagi, karena perselisihan
dan pertengkaran secara terus menerus yang berkepanjangan
dan sulit di atasi dan tidak ada harapan untuk rukun lagi, telah
sesuai dengan pasal 9 huruf (f) PP No. 9 Tahun 1975 jo. Pasal
116 huruf (f) Kompilasi Hukum Islam.
Bahwa berdasarkan alasan-alasan tersebut diatas,
Penggugat mohon kepada Bapak Ketua Pengadilan Agama
Salatiga c.q Majelis Hakim untuk menjatuhkan putusan yang
amarnya berbunyi sebagai berikut:
Primer:
Mengabulkan gugatan Penggugat.
Menjatuhkan talak satu ba‟in sughra Tergugat terhadap
Penggugat.
Membebankan biaya perkara ini sesuai dengan peraturan
perundang-undangan yang berlaku.
Subsider:
Dan atau jika pengadilan berpendapat lain, mohon putusan
yang seadil-adilnya.
Menimbang bahwa pada hari sidang yang telah
ditetapkan Penggugat datang menghadap sendiri sedangkan
Tergugat tidak pernah datang menghadap di persidangan
meskipun telah dipanggil secara resmi dan patuat.
Menimbang bahwa Majelis tidak bisa
mengupayakan mediasi maupun mendamaikan Penggugat dan
Tergugat, karena Tergugat tidak datang di persidangan,
selanjutnya dibacakan gugatan Penggugat yang isinya tetap
dipertahankan oleh Penggugat.
Menimbang bahwa untuk meneguhkan dali-dalil
gugatannya, Penggugat mengajukan bukti berupa:
Bukti Surat fotokopi KTP Penggugat Nomor:
33733046508780002, tanggal 25 Agustus 2011 yang diberi
tanda P.1, fotokopi Kutipan Akta Nikah Nomor:
240/231/VIII/1996 tanggal 12 Agustus 1996 yang dikeluarkan
132
oleh KUA Kecamatan Suruh, yang diberi tanda P.2, fotokopi
salinan putusan Pengadilan Negeri Salatiga Nomor:
45/Pid.Sus/2011/PN.Sal, tanggal 12 Oktober 2012 yang
bermeterai cukup dan setelah dicocokkan ternyata sesuai
dengan aslinya selanjutnya diberi tanda P.3.
Bukti Saksi yang bernama Kasmin bin Marto Kasmin yang
memberikan keterangan:
a. Bahwa Setelah menikah Penggugat dan Tergugat tinggal di
rumah orang tua Tergugat di Klaseman Salatiga selama 15
(lima belas) tahun.
b. Bahwa Penggugat dikembalikan kepada orang tuanya dan telah
berpisah rumah selama 4 (empat) bulan. Adapun alasan
dikembalikannya Penggugat kepada orang tuanya karena
mereka sering bertengkar sampai Tergugat menyakiti badan
jasmani Penggugat.
c. Bahwa Tergugat pernah dilaporkan ke Polisi karena kasus
KDRT, sehingga Tergugat sempat dipenjara di Lembaga
Pemasyarakatan Salatiga.
d. Bahwa selama pisah Tergugat tidak pernah memberi ataupun
mengirim sesuatu apapun sebagai nafkah kepada Penggugat.
e. Bahwa orang tua Penggugat sudah tidak sanggup lagi
mendamaikan keduanya dan lebih baik mereka diceraikan saja.
Menimbang bahwa selanjutnya Penggugat tidak
mengajukan apapun lagi dan Pengadilan Agama Salatiga
segera menjatuhkan putusan.
Sedangkan dalam pertimbangan tentang hukumnya
menyatakan sebagai berikut:
Menimbang, bahwa maksud dan tujuan gugatan Penggugat
adalah sebagaimana telah diuraikan diatas.
Menimbang, bahwa Penggugat datang menghadap
sendiri di persidangan, sedangkan Tergugat tidak hadir sendiri
di persidangan dan tidak menyuruh orang lain sebagai
wakilnya.
Menimbang, bahwa Majelis tidak dapat
mengupayakan mediasi maupun mendamaikan Penggugat
dengan Tergugat, karena Tergugat tidak datang di persidangan.
Menimbang, bahwa untuk meneguhkan gugatannya,
Penggugat telah mengajukan bukti surat berupa fotokopi KTP
dan Kutipan Akta Nikah dan Salinan Putusan Pengadilan
Negeri Salatiga, oleh karena dibuat oleh pejabat yang
berwenang serta bermeterai cukup, maka telah diterima
sebagai alat bukti yang sah.
133
Menimbang, bahwa salinan putusan Pengadilan
Negeri Salatiga, meskipun telah bermeterai cukup, namun
karena tidak dicantumkan tentang berkekuatan hukumnya,
maka salinan putusan tersebut dianggap tidak bernilai.
Menimbang, bahwa bukti saksi yang diajukan
Penggugat terdiri dari Kasmin bin Marto Kasmin dan tidak ada
yang lain, dan Penggugat tidak akan mengajukan saksinya lagi,
maka oleh Majelis Hakim saksi yang hanya satu, tidak
dianggap sebagai saksi.
Menimbang, bahwa berdasarkan pasal 89 (1)
Undang-undang Nomor 7 Tahun 1989 yang telah diubah
dengan Undang-undang Nomor 3 Tahun 2006 dan diubah lagi
dengan Undang-undang Nomor 50 Tahun 2009 Tentang
Peradilan Agama, maka kepada Penggugat dihukum untuk
membayar biaya perkara.
Dengan pertimbangan hukum tersebut kemudian Majelis
Hakim menjatuhkan putusan sebagai berikut:
mengadili
a. Menyatakan Tergugat yang telah dipanggil dengan resmi
dan patut untuk menghadap di persidangan, tidak hadir.
b. Menolak gugatan Penggugat.
c. Menghukum Penggugat untuk membayar biaya perkara
sebesar Rp. 441.000,00 (empat ratus empat puluh satu
ribu rupiah).
Setiap putusan pengadilan harus memuat dasar alasan
yang jelas dan rinci. Menurut asas ini, putusan yang dijatuhkan
harus berdasarkan pertimbangan yang jelas dan cukup. Putusan
yang tidak memenuhi ketentuan ini dikategorikan putusan yang
tidak cukup pertimbangan (onvoldoende gemotiveerd). Alasan-
alasan hukum yang menjadi dasar pertimbangan bertitik tolak dari
ketentuan pasal 25 Undang-undang Nomor 4 Tahun 2004 dan pasal
134
178 (1) HIR, pasal-pasal tertentu peraturan perundang-undangan,
hukum kebiasaan, yurisprudensi dan doktrin hukum.
Pasal 184 HIR, pasal 195 R.Bg, pasal 23 Undang-undang
Nomor 14 Tahun 1970 menentukan bahwa setiap putusan dalam
perkara perdata harus memuat ringkasan gugatan dan jawaban
dengan jelas, alasan dan dasar putusan, pasal-pasal serta hukum
tidak tertulis, pokok perkara, biaya perkara serta hadir tidaknya
pihak-pihak yang berperkara pada waktu putusan diucapkan.
Berhubungan dengan hal-hal tersebut diatas setelah
meneliti dengan seksama putusan nomor: 0666/Pdt.G/2011/PA.Sal,
penulis hanya menemukan dasar pertimbangan hukum Majelis
Hakim yaitu pasal 89 (1) Undang-undang Nomor 7 Tahun 1989
yang telah diubah dengan Undang-undang Nomor 3 Tahun 2006
dan diubah lagi dengan Undang-undang Nomor 50 Tahun 2009
Tentang Peradilan Agama, maka kepada Penggugat dihukum untuk
membayar biaya perkara.
Adapun dasar hukum tentang pertimbangan hukum yang
lain tidak disebutkan dalam putusan tersebut misalnya dasar hukum
alat bukti yang sah, dasar hukum alat bukti putusan pengadilan
yang sah dijadikan sebagai alat bukti, dasar hukum mediasi, dasar
hukum tentang satu saksi bukan saksi.
135
2) Asas Membantu Para Pihak
Asas ini diatur dalam pasal 5 (2) Undang-undang Nomor
14 Tahun 1970 yang diubah menjadi Undang-undang Nomor 48
Tahun 2009 pasal 4 (2), dan pasal 119 HIR. Pemberian bantuan
tersebut harus dalam hal-hal yang dianjurkan oleh hukum acara
perdata salah satunya adalah memberi penjelasan tentang alat bukti
yang sah.
Penjelasan yang diberikan oleh Majelis Hakim tersebut
hanya sebatas prosedur alat bukti yang sah dan hanya yang bersifat
formilnya saja, adapun penjelasan tentang materil alat bukti tidak
diperkenankan karena hal ini sudah dianggap sebagai intervensi
Majelis Hakim terhadap perkara yang sedang diperiksanya
(wawancara dengan HM. Ali Syarifuddin. M, Hakim Pengadilan
Agama Salatiga, tanggal 13-8-2012).
Peraturan ini ditujukan bagi orang-orang yang mencari
keadilan yang tidak mempunyai pengetahuan tentang hukum dan
tidak mengetahui tentang pemeriksaan perkara perdatanya dan juga
tidak mampu untuk membayar kepada penasehat hukum.
Baik dalam BAP maupun putusan tersebut Penulis tidak
menemukan adanya usaha Majelis Hakim memberi petunjuk
kepada Penggugat untuk mengatasi segala hambatan dan rintangan
dalam persidangan untuk dapat tercapainya peradilan yang
sederhana, cepat dan biaya ringan.
136
E. Sikap Hakim Terhadap Alat-alat Bukti Gugatan Penggugat
Penulis pada tanggal 13-8-2012 melakukan wawancara sehubungan
dengan putusan perkara gugatan perceraian Nomor: 666/Pdt.G/2011/PA.Sal
terhadap H. Noerhadi salah satu anggota Majelis Hakim yang memeriksa dan
mengadili perkara tersebut.
Dalam wawancara tersebut Informan memberikan penjelasan
mengenai sikap Majelis Hakim terhadap alat-alat bukti gugatan Penggugat
dalam pemeriksaan persidangan sebagai berikut:
Pertama bahwa Penggugat diperintahkan oleh Majelis Hakim untuk
mendatangkan satu saksi lagi perihal tentang penganiayaan Tergugat terhadap
Penggugat, Penggugat tidak bersedia mendatangkan saksi lagi, karena
penganiayaannya yang harus dibuktikan.
Kedua bahwa alat bukti yang diajukan oleh Penggugat berupa salinan
putusan Pengadilan Negeri Salatiga Nomor: 45/Pid.Sus/2011/PN.Sal diterima
oleh Majelis Hakim sebagai alat bukti yang sah namun dianggap tidak bernilai
karena dalam salinan putusan tersebut tidak menyebutkan tulisan yang
menerangkan bahwa salinan putusan tersebut telah berkekuatan hukum tetap.
Ketiga bahwa Penggugat diperintahkan oleh Majelis Hakim untuk
mendatangkan alat bukti lain di persidangan, tidak mendatangkan alat bukti
lain tersebut.
Dengan alasan-alasan tersebut diatas maka Majelis Hakim berpendapat
bahwa dalil-dalil gugatan yang diajukan oleh Penggugat di persidangan tidak
terbukti, maka gugatan Penggugat harus ditolak.
137
BAB IV
ANALISIS TERHADAP PUTUSAN PENGADILAN AGAMA SALATIGA
YANG MENOLAK GUGATAN PERCERAIAN DENGAN ALASAN
KEKERASAN DALAM RUMAH TANGGA
A. Proses Pemeriksaan Perkara
Sebagaimana telah dibahas oleh penulis pada bab II bahwa Hukum
Acara Perdata Peradilan Agama adalah peraturan hukum yang mengatur
bagaimana caranya menjamin ditaatinya hukum perdata materiil Peradilan
Agama dengan perantaraan hakim Peradilan Agama.
Pasal 54 Undang-undang Nomor 7 Tahun 1989 Tentang Peradilan
Agama menyebutkan bahwa Hukum Acara Perdata yang berlaku di
Peradilan Agama adalah Hukum Acara Perdata yang berlaku pada peradilan
dalam lingkungan Peradilan Umum, kecuali yang diatur secara khusus.
Gugatan perceraian merupakan salah satu perkara yang diatur
secara khusus oleh undang-undang, oleh karena itu untuk memeriksa dan
mengadili perkaranya juga diatur secara khusus pula. Proses pemeriksaan
perkara gugatan perceraian tersebut dilakukan melalui tahap-tahap yang
harus dilalui dalam persidangan.
Pada bab III penulis memaparkan bagaimana Majelis Hakim dalam
memeriksa dan mengadili perkara gugatan perceraian Nomor:
666/Pdt.G/2011/PA.Sal. Proses pemeriksaan gugatan tersebut dilakukan
melalui tahapan-tahapan yang telah diatur dalam Hukum Acara
138
Pemeriksaan Perkara Perdata, mulai dari tahap pembacaan gugatan sampai
kepada tahap putusan hakim. Namun dalam proses pemeriksaannya penulis
menemukan beberapa hal yang tidak diperhatikan dan tidak dilakukan oleh
Majelis Hakim, pertama, Majelis Hakim tidak berusaha memberi petunjuk
kepada pihak untuk mengatasi segala hambatan dan rintangan dalam
persidangan supaya dapat tercapainya peradilan yang sederhana, cepat dan
biaya ringan sebagaimana diatur dalam pasal 5 (2) Undang-undang Nomor
14 Tahun 1970 yang diubah menjadi Undang-undang Nomor 48 Tahun
2009 pasal 4 (2) dan pasal 119 HIR.
Pasal 132 HIR menyebutkan “Ketua Fihak, memberi penerangan
kepada kedua fihak dan akan menunjukkan supaya hukum dan keterangan
yang mereka dapat dipergunakan jika ia menganggap perlu, supaya perkara
berjalan baik dan teratur”. Pasal ini mengatur tentang penjelasan alat bukti
yang sah kepada para pihak.
Kedua, alat bukti saksi orang tua kandung Penggugat dan alat bukti
surat yang diajukan Penggugat berupa fotokopi putusan Pengadilan Negeri
Salatiga Nomor: 45/Pid.Sus/2011/PN.Sal, fotokopi KTP Penggugat Nomor:
33733046508780002, fotokopi Kutipan Akta Nikah Nomor:
240/231/VIII/1996. Alat-alat bukti surat tersebut setelah dicocokkan sesuai
dengan aslinya. Alat bukti berupa fotokopi putusan Pengadilan Negeri
Salatiga Nomor: 45/Pid.Sus/2011/PN.Sal, oleh Majelis Hakim dianggap alat
bukti yang sah namun tidak bernilai.
139
Cukup atau tidaknya alat bukti yang diajukan Penggugat memang
terserah Penggugat, karena Penggugatlah yang membuktikan perihal
gugatannya, karena hakim bersifat pasif. Hakim tidak dibenarkan membantu
pihak manapun untuk melakukan sesuatu kecuali sepanjang hal yang
ditentukan oleh undang-undang. Namun dalam pasal 139 HIR Hakim
karena jabatannya (ex officio) dapat memerintahkan kepada jurusita untuk
memanggil saksi-saksi apabila saksi yang bersangkutan relevan, sedangkan
Penggugat tidak dapat menghadirkan sendiri saksi tersebut secara sukarela.
Harahap (2005:500), mengatakan “Hakim bukan aantreanenimes
(tidak berjiwa) yang tidak mempunyai hati nurani dan kesadaran moral”.
Oleh karena itu pasif bukan hanya sekedar menerima apa-apa yang
diajukan para pihak, tetapi tetap berperan dan berwenang di dalam
persidangan.
Ketiga, alat bukti surat berupa fotokopi putusan Pengadilan Negeri
Salatiga Nomor: 45/Pid.Sus/2011/PN.Sal yang dianggap Majelis Hakim
sebagai alat bukti yang sah namun tidak bernilai, secara materiil merupakan
bukti permulaan bahwa dalam rumah tangga Penggugat dan Tergugat sudah
tidak ada keharmonisan lagi, karena salah satu penyebabnya adalah adanya
tindakan kekerasan yang dilakukan Tergugat terhadap Penggugat yang tidak
sesuai dengan tujuan perkawinan yang diamanatkan dalam Undang-undang
Nomor 1 Tahun 1974 Tentang Perkawinan.
Alat bukti surat tersebut dikuatkan dengan alat bukti saksi yang
memberikan penjelasan bahwa rumah tangga Penggugat dan Tergugat sudah
140
tidak harmonis lagi dan lebih baik diceraikan saja untuk mencegah
terjadinya kerusakan dan kemadharatan yang lebih berat sebagaimana dalam
kaidah ushul fiqh درء المفاسد مقدم على جلب المصالح
(mencegah kerusakan didahulukan daripada mencari kemaslahatan)
(A.Rahman, 1976:57).
Dari kedua alat bukti tersebut dapat ditarik kesimpulan bahwa
rumah tangga Penggugat dan Tergugat sudah tidak mungkin diteruskan dan
dipertahankan lagi dan ini merupakan bukti permulaan yang dapat
dijadikan dasar Majelis Hakim untuk mengangkat sumpah pelengkap
(suppletoireed).
Berkaitan dengan hal tersebut, pasal 155 HIR menyatakan sebagai
berikut,
Jika kebenaran gugatan atau kebenaran pembelaan atas itu
tidak cukup terang, akan tetapi ada juga kebenarannya, dan sekali-kali
tidak ada jalan lagi akan menguatkannya dengan upaya keterangan-
keterangan yang lain, maka Ketua Pengadilan Negeri dapat karena
jabatannya menyuruh salah satu fihak bersumpah, baik oleh karena itu
untuk memutuskan perkara itu atau untuk menentukan jumlah uang
yang akan diperkenankan.
Berdasarkan pasal tersebut Hakim karena jabatannya (ex officio)
dapat memerintahkan kepada Penggugat untuk mengangkat sumpah
pelengkap karena alat bukti yang disampaikan Penggugat belum mencukupi
batas minimal alat bukti yang sah serta tidak terdapat alat bukti lainnya.
Keempat, Tergugat yang telah dipanggil secara sah dan patut
sebanyak 5 (lima) kali berturut-turut untuk menghadap di persidangan tidak
hadir, dan tidak pula menyuruh orang lain untuk mewakilinya serta
141
Tergugat tidak mengemukakan alasan ketidakhadirannya. Majelis Hakim
tidak dapat menjatuhkan putusan tanpa hadirnya Tergugat (verstek) dalam
perkara perdata perceraian. Khusus perkara perceraian hanya dapat
dijatuhkan putusan apabila dalil-dalil gugat telah dibuktikan dalam
persidangan, dan menunda atau mengundurkan persidangan.
Dalam pasal 125 HIR menyebutkan bahwa Majelis Hakim dapat
memutus tanpa hadirnya Tergugat (verstek) setelah dipanggil secara sah dan
patut, akan tetapi berdasarkan pertimbangan prinsip fair trial sesuai dengan
audi alteram pertem, jika Tergugat tidak hadir memenuhi pemeriksaan
sidang pertama maka kurang layak langsung menghukumnya dengan
putusan verstek.
Sedangkan pasal 126 HIR menyebutkan bahwa Majelis Hakim
dapat menunda atau mengundurkan persidangan. Pasal tersebut tidak
mengatur batas toleransi atau batas kebolehan pengunduran sidang apabila
Tergugat tidak hadir. Jika semata-mata bertitik tolak dari ketentuan pasal ini
maka dapat dianggap bercorak anarkis dan sewenang-wenang terhadap
Penggugat, juga bertentangan dengan asas peradilan sederhana, cepat dan
biaya ringan (pasal 4 (2) Undang-undang Nomor 4 Tahun 2004).
Sebagaimana yang disampaikan Harahap (2005:390), secara moral
pengunduran sidang batas minimalnya adalah 2 (dua) kali dan batas
maksimalnya adalah 3 (tiga) kali, memberikan toleransi beberapa kali
pengunduran dianggap terlalu memanjakan dan memihak serta mengandung
sikap parsialitas terhadap Tergugat.
142
Bertitik tolak dari patokan pembatasan tersebut, sifat fakultatif
yang digariskan pasal 125 (1) juga pasal 126 HIR, diubah menjadi imperatif,
sehingga Majelis Hakim dapat menjatuhkan putusan verstek, apabila pada
pengunduran yang ketiga, Tergugat tetap tidak datang menghadiri sidang
tanpa alasan yang sah. Apabila Majelis Hakim tidak berani menerapkan
acara verstek dalam kasus yang demikian, dianggap tidak peka menjawab
panggilan rasa keadilan.
B. Dasar Hukum Majelis Hakim dalam Menetapkan Putusan
Putusan adalah pernyataan Hakim yang dituangkan dalam bentuk
tertulis dan diucapkan oleh Hakim dalam sidang terbuka untuk umum,
sebagai hasil dari pemeriksaan perkara gugatan atau kontensius.
Putusan Hakim yang baik yaitu putusan yang memenuhi 3 (tiga)
unsur atau aspek sekaligus secara berimbang, yaitu memberikan:
1. Kepastian hukum.
2. Rasa keadilan.
3. Manfaat bagi para pihak dan masyarakat.
Untuk memenuhi ketiga unsur tersebut Majelis Hakim dalam
mengambil keputusan harus memperhatikan etika dan kaidah-kaidah yang
sudah digariskan dalam undang-undang dan peraturan lainnya, karena salah
satu tugas yustisial hakim adalah memberikan pengayoman kepada
masyarakat pencari keadilan.
Ada beberapa asas yang harus dipenuhi dalam sebuah putusan,
salah satu asas putusan adalah harus memuat dasar alasan yang jelas dan
143
rinci. Putusan yang tidak memenuhi ketentuan ini dikategorikan putusan
yang tidak cukup pertimbangan.
Alasan-alasan yang menjadi pertimbangan bertitik tolak dari
ketentuan pasal-pasal tertentu peraturan perundang-undangan, hukum
kebiasaan, yurisprudensi atau doktrin hukum.
Hal ini diatur dalam pasal 25 (1) Undang-undang Nomor 4 Tahun
2004 yang menyatakan” Segala putusan pengadilan selain harus memuat
alasan dan dasar putusan tersebut, memuat pula pasal tertentu dari peraturan
perundang-undangan yang bersangkutan atau sumber hukum tak tertulis
yang dijadikan dasar untuk mengadili”. Dan pasal 178 (1) HIR yang
menyatakan”Hakim karena jabatannya waktu bermusyawarah wajib
mencukupkan segala alasan hukum, yang tidak dikemukakan oleh kedua
belah fihak”.
Kemudian dalam pasal 28 (1) Undang-undang Nomor 4 Tahun
2004 yang menyatakan”Hakim wajib menggali, mengikuti, dan memahami
nilai-nilai hukum dan rasa keadilan yang hidup dalam masyarakat”. Pasal ini
menjelaskan bahwa hakim berperan dan bertindak sebagai perumus dan
penggali nilai-nilai hukum yang hidup di kalangan masyarakat.
Hakim tidak hanya berfungsi dan berperan memimpin jalannya
persidangan yang telah digariskan dalam hukum acara, tetapi hakim juga
berfungsi dan bahkan berkewajiban mencari dan menemukan hukum
objektif atau materiil yang akan diterapkan dalam memutus perkara.
144
Disamping itu hakim juga dianggap mengetahui semua hukum atau
curia novit jus. Prinsip ini diatur dalam pasal 14 (1) Undang-undang Nomor
14 Tahun 1970 menyatakan”Pengadilan tidak boleh menolak untuk
memeriksa dan mengadili suatu perkara yang diajukan dengan dalih bahwa
hukum tidak ada atau kurang jelas, melainkan wajib memeriksa atau
mengadilinya”.
Hakim dalam menjatuhkan putusan, upaya mencari dan
menemukan hukum obyektif yang hendak diterapkan harus berasal dari
sumber hukum yang dibenarkan ketentuan peraturan perundang-undangan.
Namun demikian terdapat kelemahan dari sistem ini, karena kalau
hanya statute law sytem yang dianut, maka perilaku hukum menjadi kaku,
statis, dan cenderung bersifat konservatif, sebab hukum selalu berubah
sesuai dengan keadaan, waktu, dan tempat. Hakim seakan-akan menjadi
makhluk yang tidak berjiwa, dan sekedar cerobong undang-undang dan
pertanggungjawaban penegakan keadilan hanya dipikulkan kepada pembuat
undang-undang.
Dengan demikian fungsi dan kewenangan pengadilan hanya
sekedar menegakkan hukum berdasarkan undang-undang, bukan
berdasarkan kebenaran dan keadilan, padahal tujuan utama lembaga
peradilan untuk menegakkan kebenaran dan keadilan.
Berdasarkan dari uraian tersebut diatas, yang erat kaitannya dengan
analisis putusan Nomor: 666/Pdt.G/2011/PA.Sal, tanggal 7-12-2011 dimana
dalam pertimbangan hukumnya hanya mencantumkan pasal 89 (1) Undang-
145
undang Nomor 7 Tahun 1989 yang telah diubah dengan Undang-undang
Nomor 3 Tahun 2006 dan diubah lagi dengan dengan Undang-undang
Nomor 50 Tahun 2009 Tentang Peradilan Agama yang menyatakan “Biaya
perkara dalam bidang perkawinan dibebankan kepada penggugat atau
pemohon”, maka putusan tersebut tidak cukup dalam pertimbangan
hukumnya yang merupakan jiwa dan intisari putusan.
146
BAB V
PENUTUP
A. Kesimpulan
Pembahasan mengenai penolakan pengadilan terhadap gugatan
perceraian dengan alasan kekerasan dalam rumah tangga telah penulis
uraikan mulai dari bab I sampai dengan bab IV, maka penulis mengambil
kesimpulan sebagai berikut:
1. Majelis Hakim menilai bahwa alat bukti yang diajukan Penggugat berupa
salinan putusan Pengadilan Negeri Salatiga Nomor:
45/Pid.Sus/2011/PN.Sal tidak memenuhi syarat formil, karena alat bukti
tersebut tidak menerangkan secara tertulis dari lembaga terkait tentang
berkekuatan hukum tetapnya, sehingga walaupun alat bukti tersebut
dianggap sebagai alat bukti yang sah namun tidak bernilai. Disamping itu
Penggugat hanya mengajukan alat bukti lain di persidangan berupa satu
orang saksi saja, sehingga Majelis Hakim berkesimpulan bahwa gugatan
Penggugat tidak terbukti. Padahal dalam pasal 5 (2) Undang-undang
Nomor 14 Tahun 1970 yang diubah menjadi Undang-undang Nomor 48
Tahun 2009 pasal 4 (2) Tentang Kekuasaan Kehakiman dan pasal 119
HIR yang menjelaskan bahwa Majelis Hakim berusaha memberi
petunjuk untuk mengatasi segala rintangan dalam persidangan, supaya
dapat tercapai peradilan yang sederhana, cepat dan biaya ringan,
kemudian pasal 155 HIR menjelaskan bahwa Hakim karena jabatannya
dapat memerintahkan kepada Penggugat untuk mengangkat sumpah
147
pelengkap (suppletoiret) karena alat bukti yang diajukan Penggugat
belum memenuhi batas minimal, kemudian pasal 132 HIR yang
mengatur tentang penjelasan alat bukti yang sah kepada para pihak,
kemudian dalam kaidah ushul fiqh درء المفاسد مقدم على جلب المصالح
(mencegah kerusakan didahulukan daripada mencari kemaslahatan) yang
selama ini kaidah tersebut sering dijadikan dasar pertimbangan hakim
dalam mengambil putusan. Dengan demikian seharusnya Majelis Hakim
dalam memeriksa perkara nomor: 666/Pdt.G/2011/PA.Sal, harus
memperhatikan dan melakukan hal-hal yang telah diatur dalam Hukum
Acara Perdata Peradilan Agama tersebut. Sehingga Majelis Hakim terlalu
dini dalam mengambil keputusan menolak gugatan Penggugat dengan
alasan kekerasan dalam rumah tangga, dan belum memenuhi rasa
keadilan dan kebenaran.
2. Dasar pertimbangan Majelis Hakim dalam putusan yang menolak
gugatan Penggugat dengan alasan kekerasan dalam rumah tangga tidak
mencantumkan sama sekali pasal-pasal tertentu peraturan perundang-
undangan, hukum kebiasaan, yurisprudensi atau doktrin hukum. Padahal
dalam pasal 25 (1) Undang-undang Nomor 4 Tahun 2004 Tentang
Ketentuan-Ketentuan Pokok Kekuasaan Kehakiman yang menjelaskan
bahwa segala putusan pengadilan harus memuat segala alasan dan dasar
putusan, memuat pasal-pasal tertentu dari peraturan perundangan, atau
sumber hukum tidak tertulis yang dijadikan dasar untuk mengadili,
kemudian pasal 28 (1) Undang-undang Nomor 4 Tahun 2004 Tentang
148
Ketentuan-Ketentuan Pokok Kekuasaan Kehakiman yang menjelaskan
bahwa hakim wajib menggali nilai-nilai hukum yang berkembang di
masyarakat, kemudian prinsip curia novit jus (hakim dianggap
mengetahui semua hukum) yang diatur dalam pasal 14 (1) Undang-
undang Nomor 14 Tahun 1970 Tentang Ketentuan-Ketentuan Pokok
Kekuasaan Kehakiman. Dengan demikian seharusnya Majelis Hakim
dalam pertimbangan hukumnya harus mencantukan pasal-pasal tertentu
peraturan perundang-undangan, hukum kebiasaan, yurisprudensi atau
doktrin hukum dalam mengadili. Oleh karena itu putusan nomor:
666/Pdt.G/2011/PA.Sal dimana tidak mencantumkan sama sekali
pertimbangan hukumnya, merupakan putusan yang cacat yuridis,
sehingga putusan tersebut dapat dibatalkan pada tingkat banding atau
kasasi.
B. Saran
Berkaitan dengan masalah tersebut di atas, penulis akan
memberikan saran-saran sebagai berikut:
1. Pengadilan Agama hendaknya selalu meningkatkan kualitas sumber daya
manusia aparat peradilan, sehingga dapat melakukan tugas dan
kewajibannya secara profesional dan proporsional. Dengan demikian
diharapkan akan mewujudkan lembaga Peradilan Agama sebagai salah
satu pelaku kekuasaan kehakiman yang mandiri, bersih, bermartabat, dan
berwibawa.
149
2. Mahkamah Agung sebagai salah satu Lembaga Kekuasaan Kehakiman
tingkat pusat hendaknya selalu mengadakan bimbingan dan pengawasan
langsung terhadap lembaga-lembaga yang berada di bawahnya, dengan
adanya bimbingan dan pengawasan langsung tersebut diharapkan mampu
menjadikan lembaga peradilan tingkat pertama sebagai ujung tombak
dari Lembaga Kekuasaan Kehakiman di Indonesia mampu mewujudkan
rasa keadilan masyarakat sesuai dengan peraturan perundang-undangan
yang berlaku jujur sesuai dengan hati nurani dan mampu mewujudkan
peradilan yang mandiri dan independen, bebas dari campur tangan pihak
lain.
3. Pemerintah dan lembaga terkait memberikan penyuluhan hukum kepada
masyarakat luas, sehingga dengan adanya penyuluhan hukum ini
masyarakat akan mengetahui dan memahami bagaimana beracara dengan
baik dan benar di lembaga peradilan khusunya di lembaga Peradilan
Agama.
i
DAFTAR PUSTAKA
Ahmed, Leila. 2005. Wanita & Gender Dalam Islam. Jakarta: Lentera.
Arto, H.A. Mukti. 2007. Praktek Perkara Perdata Pada Pengadilan Agama.
Yogyakarta: Pustaka Pelajar Offset.
Awwalin, Fithri. 2005. Kekerasan Terhadap Istri Dalam Rumah Tangga (Studi
Komparatif Terhadap Hukum Islam dengan Undang-undang No. 23
Tahun 2004). Skripsi tidak diterbitkan. Salatiga: Jurusan Syari‟ah STAIN
Salatiga.
Departemen Agama RI. 1971. Al-Qur’an dan Terjemahnya.
Departemen Agama RI. 1995. Buku Nikah.
Departemen Pendidikan Nasional. 2002. Kamus Besar Bahasa Indonesia. Jakarta.
Dewan Riset Daerah Jawa Tengah. UU RI No. 23 Tahun 2002 Tentang
Perlindungan Anak dan UU RI No. 23 Tahun 2004 Tentang Penghapusan
Kekerasan Dalam Rumah Tangga. Semarang.
Direktorat Pembinaan Badan Peradilan Agama Islam. 2001. Himpunan Peraturan
Perundang-undangan Dalam Lingkungan Peradilan Agama. Jakarta:
Departemen Agama RI.
Faqih, Mansur. 1997. Analisis Gender dan Transformasi Sosial. Yogyakarta:
Pustaka Pelajar.
Habibah, Neneng. 2000. Kekerasan Terhadap Perempuan Dalam Rumah Tangga.
Yogyakarta: Pustaka Pelajar.
Hamami, Taufiq. 2003. Kedudukan dan Eksistensi Peradilan Agama Dalam
Sistem Tata Hukum di Indonesia. Bandung: Alumni.
Harahap, Yahya. 2005a. Hukum Acara Perdata. Jakarta: Sinar Grafika.
_____________. 2007b. Kedudukan Kewenangan dan Acara Peradilan Agama
UU No. 7 Tahun 1989. Jakarta: Sinar Grafika.
Haryono, Wiwien Tri. 2006. Khulu’ Sebagai Penyebab Putusnya Perkawinan
(Studi Kasus di Pengadilan Agama Salatiga 2004-2005). Skripsi tidak
diterbitkan. Salatiga: Jurusan Syari‟ah STAIN Salatiga.
ii
M. Fauzan. 2005. Pokok-pokok Hukum Acara Perdata Peradilan Agama dan
Mahkamah Syar’iyah di Indonesia. Jakarta: Kencana.
Mahkamah Agung RI. 2010. Himpunan Peraturan Perundang-undangan Tentang
Peradilan Agama, Jakarta: Direktorat Jenderal Badan Peradilan Agama
Mahkamah Agung RI. 2010. Pedoman Pelaksanaan Tugas dan Administrasi
Peradilan Agama Buku II. Jakarta: Direktorat Jenderal Badan Peradilan
Agama.
Makarao, Moh.Taufik. 2004. Pokok-pokok Hukum Acara Perdata. Jakarta: PT.
Rineka Cipta.
Manan, Abdul. 2006. Penerapan Hukum Acara Perdata di Lingkungan Peradilan
Agama. Jakarta: Kencana.
Manan, Bagir. 2004. Hukum Positif Indonesia (Satu Kajian Teoritik). Yogyakarta:
FH UII Press.
Mardani. 2009. Hukum Acara Perdata Peradilan Agama & Mahkamah Syar’iyah.
Jakarta: Sinar Grafika.
Masykuroh, Umi. 2006. Pelanggaran Sighot Taklik Talak dalam Pernikahan
Sebagai Alasan Perceraian (Studi Kasus di Pengadilan Agama Salatiga
Tahun 2002-2004). Skripsi tidak diterbitkan. Salatiga: Jurusan Syari‟ah
STAIN Salatiga.
Merokusumo, Sudikno. 2002. Hukum Acara Perdata Indonesia. Yogyakarta:
Liberty.
Mono, Henny. 2007. Praktik Berperkara Perdata. Malang: Bayumedia.
Mu‟in, Asymuni Rahman, Tolchah Mansur, Kamal Muchtar, Marzuki Rasyid &
Dahwan. 1986. Ushul Fiqh Qaidh-Qaidah Istinbath dan Ijtihad (Metode
Penggalian Hukum Islam. Jakarta: Direktorat Jenderal Pembinaan
Kelembagaan Agama Islam Departemen Agama.
Nakiyah, Siti. 2002. Kekerasan terhadap Isteri Dalam Rumah Tangga Sebagai
Alasan Perceraian (Studi Kasus di Pengadilan Agama Salatiga Tahun
1999-2001). Skripsi tidak diterbitkan. Salatiga: Jurusan Syari‟ah STAIN
Salatiga.
Nawawi, Hadari. & Martin Hadari. 1992. Instrumen Penelitian Bidang Sosial.
Yogyakarta: Gadjah Mada University.
iii
Nawawi, Hadari. 1990. Metode Penelitian Bidang Sosial. Yogyakarta: Gadjah
Mada University.
R.Soesilo. 1978. RIB/HIR dengan Penjelasan. Bogor: Politeia.
Rahardjo, Satjipto. 2007. Membedah Hukum Progresif. Jakarta: Kompas.
Rahman, Asjmuni. A. 1976. Qa’idah-qa’idah Fiqih. Jakarta: Bulan Bintang.
Rahman, Fatchur. 2005. Hadits-hadits Tentang Peradilan Agama. Jakarta: Bulan
Bintang.
Rasyid, Chatib & Syaifuddin. 2009. Hukum Acara Perdata dalam Teori dan
Praktik Pada Peradilan Agama.Yogyakarta: UII Press.
Rasyid, Roihan. A. 2010. Hukum Acara Peradilan Agama. Jakarta: PT.Raja
Grafindo Persada.
Sabiq, Sayyid. 1987. Fikih Sunnah. Terjemahan oleh Mahyudin Syaf Bandung:
PT. Al-Ma‟arif.
Soimin, Soedaryo. 2007. Kitab Undang-undang Hukum Perdata. Jakarta: Grafika.
Supramono, Gatot. 1993. Hukum Pembuktian di Pengadilan Agama. Bandung:
Alumni.
Sutantio, Retnowulan & Iskandar Oeripkartawinata. 1997. Hukum Acara Perdata
dalam Teori dan Praktek. Bandung: Mandar Maju.
Tresna, Mr.R. 2005. Komentar HIR. Jakarta: PT. Pradnya Paramita.
iv
RIWAYAT HIDUP
Khalim Mudrik Masruhan, lahir di Desa Tengaran, Kecamatan Tengaran,
Kabupaten Semarang, 6 Juli 1977 anak kelima dari enam bersaudara, pasangan
dari Abdul Rosyad dan Khuzaemah, yang sekarang bertempat tinggal di Kaliwaru
RT. 27, RW. V, Desa Tengaran, Kecamatan Tengaran, Kabupaten Semarang.
Setelah menyelesaikan Madrasah Ibtidaiyah Tengaran pada tahun 1990
kemudian melanjutkan ke Madrasah Tsanawiyah Susukan tamat tahun 1993, dan
meneruskan ke Madrasah Aliyah Negeri Salatiga lulus tahun 1996.
Kemudian menempuh Sarjana lengkap (S1) di Sekolah Tinggi Agama
Islam Negeri (STAIN) Salatiga pada jurusan Syari‟ah dan meraih gelar Sarjana
Hukum Islam pada tahun 2012.