pengkhianatan demokrasi ala orde baru

Download pengkhianatan demokrasi ala orde baru

If you can't read please download the document

Upload: pendidikan-pancasila-dan-kewarganegaraan

Post on 15-Apr-2017

57 views

Category:

Education


11 download

TRANSCRIPT

1

PENGKHIANATAN DEMOKRASI ALA ORDE BARU

BAB IMempertimbangkan Demokrasi: Tinjauan Pendahuluan

Sejak akhir dasa warsa 1980an, diskusi politik di Indonesia dipenuhi dengan perbincangan dengan mulai terbukanya pintu ke arah demokratisasi. Diskusi tentang ini dirangsang pertama kali oleh perbincangan di DPR RI yang kala itu dipromotori oleh Komisi II dan melibatkan Jenderal (purn.) Soemitro dan almarhum Dr. Alfian (21 Juni 1989), serta Mensesneg Moerdiono (29 Juni 1989). Dari ruang diskusi Senayan itu diintrodusir istilah keterbukaan publik yang kemudian menjadi istilah yang amat populer di ruang-ruang seminar dan media massa. Kolonel Roekmini Koesoemo Soedjono yang bersama-sama Mayjen Sjamsuddin dianggap sebagai penggagas diskusi yang strategis ini, mengemukakan bahwa keterbukaan politik merupakan kebutuhan objektif sistem politik saat ini mengingat telah berlangsungnya kemacetan dalam komunikasi politik selama sekian lama. Diskursus demokrasi Orde Baru mengedepan menjadi diskursus yang penting sejalan dengan mengemukanya agenda besar dalam pembangunan Orde Baru: transisi dari pembangunan jangka panjang pertama ke jangka panjang kedua. Kita dapat memahami keadaan ini setidaknya sebagai hasil resultan antara dua hal. Pertama, desakan kondisi objektif kepolitikan domestik. Kedua, hasil akomodasi sistem politik Orde Baru terhadap iklim politik internasional. Pembangunan Orde Baru selama lebih dari dua dasa warsa, sulit dibantah karena telah menghasilkan sejumlah prestasi konkret, terutama dalam hal pemacuan pertumbuhan ekonomi dan pemeliharaan stabilitas nasional. Namun demikian, prestasi pembangunan politik dinilai banyak kalangan belum menggembirakan, begitu pula halnya dengan prestasi program pemerataan ekonomi. Jika keadaan ini tidak memperoleh perhatian yang serius dan mendalam dalam 25 tahun kedua pembangunan Orde Baru, ia potensial menjadi kendala signifikan dan serius bagi upaya melanjutkan pembangunan yang akseleratif dan berkesinambungan yang telah sejak awal dicita-citakan Orde Baru. Demokratisasi dalam kerangka ini menjadi satu-satunya pilihan untuk berkelit dari kendala itu. Di penghujung periode 25 tahun pertama pembangunan Orde Baru, demokratisasi muncul sebagai satu kebutuhan politik objektif yang makin konkret.Kebutuhan yang dimunculkan secara objektif oleh perkembangan pembangunan tersebut didorong pula pemunculannya ke permukaan oleh oleh adanya pengaruh internasional yang amat kondusif karena pada akhir abad ke-20, demokratisasi telah menjadi agenda internasional yang penting. Pada masa ini kita menyaksikan berbagai perkembangan sejarah besar berlangsung. Beberapa fenomena besar itu adalah: runtuhnya berbagai pemerintahan otoriter dan munculnya pemerintahan yang mengagendakan demokratisasi; bertumbangannya negara-negara komunis yang diikuti oleh tumbuhnya pemerintahan-pemerintahan baru yang lebih pro-demokrasi; serta menggejala dan menguatnya gerakan pluralisme internasional yang mendesakkan agenda demokratisasi; hak asasi manusia dan lingkungan hidup yang secara gencar tidak saja telah menjadi sebuah kecenderungan intelektual namun juga sudah menjelma sebagai kecenderungan politik yang dianut para pengambil kebijakan di negara-negara utara. Perkembangan internasional ini berlangsung di tengah pengecilan dunia dan pemendekan jaran antar negara-bangsa akibat globalisasi. Demokrasi: Idea dan Praktek Politik Sejarah peristilahan demokrasi dapat ditelusuri jauh ke belakang. Konsep ini ditumbuhkan pertama kali dalam praktek negara-kota Yunani dan Athena (450 SM dan 350 SM). Dalam tahun 431 SM, Pericles, seorang negarawan ternama dari Athena, mendefinisikan demokrasi dengan mengemukakan beberapa kriteria: (1) pemerintahan oleh rakyat dengan partisipasi rakyat yang penuh dan langsung; (2) kesamaan di depan hukum; (3) pluralisme, yaitu penghargaan atas semua bakat, minat, keinginan, dan pandangan; dan (4) penghargaan terhadap suatu pemisahan dan wilayah pribadi untuk memenuhi dan mengekspresikan kepribadian individual. Dalam zaman yang sama kita pun dapat berkenalan dengan pemikiran politik Plato, Aristoteles, Polybius dan Cicero untuk menyebut sebagian di antara jajaran pemikiran masa itu yang juga meletakkan dasar-dasar bagi pengertian demokrasi. Dalam kerangka perkembangan demokrasi, kita dapat menelusuri pelbagai pendefinisian demokrasi sebagai sebuah idea politik modern melalui paparan berikut.Robert A. Dahl dalam studinya yang terkenal mengajukan lima kriteria demokrasi sebagai sebuah idea politik. Yaitu: (1) persamaan hak pilih dalam menentukan keputusan kolektif yang mengikat; (2) partisipasi efektif, yaitu kesempatan yang sama bagi semua warga negara dalam proses pembuatan keputusan secara kolektif; (3) pembeberan kebenaran, yaitu adanya peluang yang sama bagi setiap orang untuk memberikan penilaian terhadap jalannya proses politik dan pemerintahan secara logis; (4) kontrol terakhir terhadap agenda, yaitu adanya kekuasaan ekslusif bagi masyarakat untuk menentukan agenda mana yang harus dan tidak harus diputuskan melalui proses pemerintahan, termasuk mendelegasikan kekuasaan itu pada orang lain atau lembaga yang mewakili masyarakat; (5) pencakupan, yaitu terliputnya masyarakat mencakup semua orang dewasa dalam kaitannya dengan hukum. Dalam definisinya ini tampak bahwa Dahl mementingkan keterlibatan masyarakat dalam proses formulasi kebijakan, adanya pengawasan terhadap kekuasaan dan dijaminnya persamaan perlakuan negara terhadap semua warga negara sebagai unsur-unsur pokok demokrasi. Kriteria demokrasi yang lebih menyeluruh diajukan oleh Gwendolen M. Carter, John H. Herz dan Henry B. Mayo. Carter dan Herz mengkonseptualisasikan demokrasi sebagai pemerintahan yang dicirikan oleh dijalankannya prinsip-prinsip berikut. (1) Pembatasan terhadap tindakan pemerintah untuk memberikan perlindungan bagi individu dan kelompok dengan jalan menyusun pergantian pimpinan secara berkala, tertib, dan damai. (2) Adanya sikap toleransi terhadap pendapat yang berlawanan. (3) Persamaan di depan hukum yang diwujudkan dengan sikap tunduk kepada rule of law tanpa membedakan kedudukan politik. (4) Adanya pemilihan yang bebas dengan disertai adanya model perwakilan yang efektif. (5) Diberinya kebebasan berpartisipasi dan beroposisi bagi partai politik, organisasi kemasyarakatan, masyarakat dan perseorangan serta prasarana pendapat umum semacam pers dan media massa. (6) Adanya penghormatan terhadap hak rakyat untuk menyatakan padangannya betapapun tampak salah dan tidak populernya pandangan itu. (7) Dikembangkannya sikap menghargai hak-hak minoritas dan perorangan dengan lebih mengutamakan penggunaan cara-cara persuasi dan diskusi daripada koersi dan represi.Sementara itu, Henry B. Mayo menyebutkan nilai-nilai berikut ini sebagai nilai yang harus dipenuhi untuk mendefinisikan demokrasi. (1) Menyelesaikan pertikaian-pertikaian secara damai dan sukarela. (2) Menjamin terjadinya perubahan secara damai dalam suatu masyarakat yang selalu berubah. (3) Pergantian penguasa dengan teratur. (4) Penggunaan paksaan sedikit mungkin. (5) Pengakuan dan penghormatan terhadap nilai keanekaragaman. (6) Menegakkan keadilan. (7) Memajukan ilmu pengetahuan. (8) Pengakuan dan penghormatan terhadap kebebasan.Definisi lain dengan memfokuskan perhatian pada satu atau sejumlah kecil kriteria khusus diajukan oleh Alfian, Sundhaussen dan Neher.Alfian mendefinisikan demokrasi sebagai sebuah sistem politik yang memelihara keseimbangan antara konflik dan konsensus. Demokrasi, dengan demikian, memberikan peluang bagi perbedaan pendapat, persaingan dan pertentangan di antara individu, kelompok, atau di antara keduanya, di antara individu dengan pemerintah, dan di antara lembaga-lembaga pemerintahan sendiri. Namun demokrasi mensyaratkan bahwa segenap konflik itu berada dalam tingkatan yang tidak menghancurkan sistem politik. Sistem politik disebut demokrasi jika ia berkemampuan membangun mekanisme dan prosedur yang mengatur dan menyalurkan konflik menjadi konsensus.Sementara itu, Ulf Sundhaussen mensyaratkan demokrasi sebagai suatu sistem politik yang menjalankan tiga kriteria: (1) dijaminnya hak semua warga negara untuk memilih dan dipilih dalam pemilu yang diadakan secara berkala dan bebas yang secara efektif menawarkan peluang kepada penduduk untuk mengganti elit yang memerintah dengan yang lainnya; (2) semua warga negara menikmati kebebasan berbicara, berorganisasi dan memperoleh informasi, dan beragama; serta (3) dijaminnya hak yang sama di depan hukum.Clark D. Neher melihat demokrasi jadi sudut jaminan terhadap pluralisme. Bagi Neher, demokrasi adalah suatu sistem politik yang di dalamnya terdapat jaminan bagi setiap elemen pluralitas untuk mengekspresikan kepentingannya dengan disertai tetap terjaganya kestabilan dan kelangsungan sistem politik tersebut. Dalam kerangka ini, kita membutuhkan definsi yang operasional dan dapat menterjemahkan demokrasi sebagai ideologi politik ke dalam kriteria-kriteria praktek politik. Definisi operasional yang diajukan di sini meliputi empat kriteria pokok praktek politik demokrasi. Pertama, partisipasi politik yang luas dan otonom. Praktek politik demokrasi pertama-tama mensyaratkan adanya partisipasi politik yang otonom dari seluruh elemen masyarakat, perseorangan ataupun kelompok. Pembatasan partisipasi adalah sebuah praktek anti-demokrasi. Praktek politik demokrasi juga mensyaratkan adanya partisipasi politik yang luas, dalam arti tidak ada pembatasan dan eksklusivitas dalam penentuan sumber-sumber rekrutmen politik dan tidak ada pula eksklusivitas dalam formulasi kebijakan-kebijakan politik. Kedua, sirkulasi kepemimpinan politik secara efektif dan kompetitif. Praktek demokrasi mensyaratkan adanya jaminan mekanisme sirkulasi kepemimpinan politik yang diadakan secara berkala, selektif, kompetitif dan melibatkan keseluruhan elemen masyarakat dalam prosesnya. Baik keberkalaan, selektivitas maupun sifat kompetitif dari sirkulasi kepemimpinan politik merupakan kriteria-kriteria operasional yang amat penting. Namun, kriteria-kriteria tersebut hanya akan memenuhi persyaratan demokrasi apabila melibatkan semua warga negara dalam keseluruhan prosesnya.Ketiga, kontrol terhadap kekuasaan yang efektif. Persyaratan praktek demokrasi lain yang tidak kalah pentingnya adalah adanya kontrol yang efektif terhadap kekuasaan. Sentralisasi kekuasaan dan akumulasi yang senjang adalah kondisi anti-demokrasi. Kontrol terhadap kekuasaan ini dinilai efektif manakala ia dijalankan baik oleh kelembagaan formal di tingkat suprastruktur (semacam parlemen atau legislatif dan yudikatif), maupun kelembagaan politik di tingkat infrastruktur (semacam media massa, partai politik, organisasi sosial kemasyarakatan, dan lain-lain). Di samping itu, masyarakat secara perseorangan dan kelompok tak-terorganisasi juga diberikan keleluasaan untuk mengkontrol kekuasaan. Dalam kerangka ini, oposisi adalah prasyarat demokrasi yang penting. Pembatasan oposisi adalah sikap anti-demokrasi. Keempat, kompetisi politik yang leluasa dan sehat dalam suasana kebebasan. Kriteria terakhir dari demokrasi adalah adanya kompetisi antar-elemen masyarakat, elemen masyarakat dengan elemen negara, antar-elemen-elemen di dalam negara, secara leluasa dan sehat. Dalam kerangka ini, perbenturan kepentingan dan nilai politik dimungkinkan terjadi sejauh tidak menjadikan kehancuran bagi sistem politik. Suasana yang melingkupi kompetisi ini adalah suasana yang penuh kebebasan dan saling penghargaan, sehingga kompetisi meminjam istilah Lewis Cosser diposisikan sebagai konflik yang fungsional positif. Keempat kriteria operasional itulah yang dapat dijadikan ukuran minimal bagi praktek demokrasi. Dengan praktek politik yang menjamin terlaksananya keempat kriteria tersebut, maka apa yang disebut Dahl sebagai keunggulan proses demokrasi dapat terbentuk. Yaitu: (1) demokrasi meningkatkan kebebasan dalam bentuk yang tidak dapat dilakukan oleh alternatif lain manapun, yaitu penentuan kebebasan nasib sendiri secara individual maupun bersama, serta kebebasan dalam tingkat otonomi moral; (2) demokrasi meningkatkan pengembangan manusia, dalam hal kemampuannya untuk menentukan nasibnya sendiri, pemilikan otonomi moral dan pertanggungjawaban terhadap pilihan yang diambilnya; dan (3) demokrasi merupakan cara yang paling pasti yang dapat digunakan manusia untuk melindungi dan memajukan kepentingan dan kebaikan yang sama-sama mereka miliki dengan orang lain. Perkembangan Demokrasi Pra-Orde BaruDi Indonesia pemikiran tentang demokrasi telah menjadi salah satu topik penting sejarah pemikiran politik. Para pendiri Republik Indonesia seperti Soekarno, Hatta, Soepomo dan Natsir telah merumuskan berbagai model demokrasi yang diperuntukkan bagi praktek politik di Indonesia. Soekarno dengan falsafah sinkretismenya, Hatta dengan kekagumannya pada model sosialis-demokrasi, Soepomo dengan paham negara integralistiknya, dan Natsir dengan dasar-dasar ajaran Islamnya. Selain itu, berkembang pula pemikiran-pemikiran lain tentang demokrasi yang bervariasi sejalan dengan konteks historis yang dipakai dan melengkapi para tokoh zaman itu. Langsung maupun tidak langsung, keragaman pemikiran tentang demokrasi ini terefleksikan dalam eksperimen demokrasi yang dijalankan selama 20 tahun pertama masa kemerdekaan. Dalam kerangka ini terdapat perbedaan pendapat mengenai pemilahan yang tepat terhadap periode praktek politik demokrasi di Indonesia. Pemilahan yang umum dilakukan adalah membagi masa Indonesia merdeka ke dalam dua periode besar: Orde Lama dan Orde Baru. Pemilahan ini tidak memuasakan karena sifatnya yang menggeneralisir 20 tahun pertama masa kemerdekaan sebagai Orde Lama, padahal praktek politik pada masa ini ditandai terjadinya pasang surut dan dinamika politik yang amat kaya. Dalam tulisan ini, penyebutan Orde Lama jika digunakan hanya menunjuk pada masa Demokrasi Terpimpin Soekarno. Pemilahan yang digunakan oleh Feith, Castles, dan Deliar Noer yaitu masa Soekarno dan Soeharto sama kurang memuaskannya. Oleh karena itu, di sini akan digunakan pemilahan dengan meminjam periodisasi politik yang digunakan Wilopo, rentang waktu 1945-1957 dibagi menjadi periode Revolusi dan Demokrasi Parlementer. Dan kemudian dipakai istilah umum Demokrasi Terpimpin untuk menunjuk masa 1957-1965, dan akhirnya Orde Baru untuk periode 1965 sampai dengan sekarang.Semenjak dikeluarkannya Maklumat Wakil Presiden No. X, 3 November 1945, yang menganjurkan pembentukan partai-partai politik, perkembangan demokrasi dalam masa revolusi dan demokrasi parlementer dicirikan oleh distribusi kekuasaan yang khas. Presiden Soekarno ditempatkan sebagai pemilik keuasaan simbolik dan ceremonial, sementara kekuasaan kekuasaan yang riil dimiliki oleh Perdana Menteri, kabinet dan parlemen. Partai politik memerankan peranan sentral dalam kehidupan politik dan proses pemerintahan. Kompetisi antar-kekuatan dan kepentingan politik mengalami masa keleluasaan terbesar sepanjang sejarah Indonesia merdeka. Pergulatan politik ditandai oleh tarik-menarik antarkekuatan partai di dalam lingkaran kekuasaan; dan tarik-menarik antara partai di dalam lingkaran kekuasaan dengan kekuatan politik di luar lingkaran kekuasaan: pihak kedua mencoba menarik pihak pertama keluar dari lingkaran kekuasaan.Kegiatan partisipasi politik di masa ini berjalan hingar bingar, terutama melalui saluran partai politik yang mengakomodasikan berbagai ideologi dan nilai-nilai primordialisme yang tumbuh di tengah masyarakat. Namun demikian, masa ini ditandai oleh terlokalisasinya proses politik dan formulasi kebijakan pada segelintir elit politik semata. Studi J. Eliseo Rocamora, misalnya menunjukkan bahwa masa 1945-1959 ditandai oleh tersentralisasinya kekuasaan pada tangan elit-elit partai dan masyarakat berada dalam keadaan terasingkan dari proses politik. Dalam keadaan ini, Presiden Soekarno yang amat tidak menyukai distribusi kekuasaan yang menempatkannya sebagai Presiden Simbolik, merupakan pihak yang merasa paling dirugikan dengan praktek politik masa itu. Selain itu, militer juga dalam posisi yang kurang lebih sama dengan Soekarno.Akhirnya, masa ini mengalami kehancuran setelah mengalami perpecahan antar-elit dan antarpartai politik di satu sisi; serta di sisi lain akibat sikap Soekarno dan militer yang menentang model demokrasi yang dijalankan. Menurut Rocamora, elit-elit partai mengalami perpecahan oleh dua sebab utama. Yakni terakumulasinya rasa permusuhan selama sekian lama telah menyebabkan memuncaknya permusuhan itu hingga berada dalam di atas titik toleransi; dan merebaknya frustasi terhadap kesulitan ekonomi dan mulai mengaburnya harapan-harapan revolusi. Masih dalam catatan Rocamora, pertentangan antar-elit partai tersebut kemudian merebak menjadi pertentangan politik yang bersifat luas. Sebabnya adalah; adanya kecenderungan partai untuk memperluas dukungan dengan memanfaatkan kesetiaan primordial dalam masyarakat agama-budaya Indonesia; dan pada saat yang sama pengaruh para pemimpin daerah terhadap partai-partai membesar sehingga dukungan terhadap partai pun meluas pula menjadi bersifat kedaerahan dan golongan.Perpecahan yang akut antarpartai politik yang diperparah oleh konflik tersembunyi antara kekuatan partai dengan Soekarno dan militer, serta adanya ketidakmampuan setiap kabinet dalam merealisasikan programnya dan mengatasi potensi perpecahan regional; telah membuat periode revolusi dan demokrasi parlementer ditandai oleh krisis integrasi dan stabilitas yang parah. Keadaan ini telah ikut memberikan peluang bagi Soekarno dan militer untuk membuka pintu baru perkembangan politik. Setelah sukses sosialisasi Konsepsi Presiden Soekarno tahun 1957, direalisasikannya nasionalisasi ekonomi, dan diberlakukannya UU darurat, maka pintu ke arah Demokrasi Terpimpin yang diidam-idamkan Soekarno pun terbuka lebar.Periode Demokrasi Terpimpin ini secara prematur telah dimulai dengan terbentuknya Zaken Kabinet pimpinan Ir. Juanda pada 9 April 1957, dan menjadi tegas setalah Dekrit Presiden 5 Juli 1959. Peralihan dari periode demokrasi parlementer ke demokrasi terpimpin ini ditandai oleh berubahnya peta distribusi kekuasaan. Kekuasaan menjadi tersentralisasi pada tangan Presiden, dan secara signifikan diimbangi oleh peran dan kekuasaan PKI dan Angkatan Darat. Periode ini dicirikan oleh tingginya mobilisasi politik atas nama revolusinya Soekarno. Seokarno sendiri menjadi figur sentral dalam lingkaran kekuasaan. Sementara masyarakat mengalami pengasingan dari kekuasaan, sekalipun di atas permukaan terdapat gairah besar untuk berperan serta dalam revolusi. Kekuatan-kekuatan suprastruktur dan infrasturktur politik dikendalikan secara danhampir penuh oleh Presiden. Dan dalam keadaan ini, PKI memakai berbagai cara untuk membangun basis massa secara besar-besaran dalam rangka tujuan jangka panjang mereka: menguasai sepenuhnya kekuasaan politik dan pemerintahan.Ambisi besar PKI itulah yang menjadi boomerang tidak saja bagi PKI melainkan juga, akhirnya, bagi Soekarno. Setelah kudeta PKI yang gagal di penghujung September 1965, maka kekuasaan dengan cepat bergeser ke arah terbentuknya peta baru. Orde Baru pun lahir.Menelaah keadaan praktek politik sepanjang 1945-1965 yang terpapar di atas, kita dapat mengajukan beberapa catatan penting. Pertama, stabilitas pemerintahan dalam rentang waktu 20 tahun itu berada dalam keadaan yang amat memprihatinkan. Dalam catatan Pinch dan Lev, sepanjang 1945-1965 sistem politik Indonesia mengalami 25 kali pergantian kabinet, dan tidak ada satupun kabinet yang bisa bertahan dalam waktu 2 tahun penuh. Gambaran yang sama diungkapkan oleh Hudson dan Taylor. Menurut Hudson dan Taylor sepanjang 1948-1967 telah terjadi 20 kali pergantian kekuasaan eksekutif di Indonesia, dengan rata-rata satu kali pergantian setiap tahun. Kedua, stabilitas politik secara umum juga memprihatinkan. Hal ini antara lain diperlihatkan oleh terjadinya konflik politik dalam kuantitas yang amat tinggi. Menurut catatan Hudson dan Taylor, sepanjang 1948-1967 telah terjadi 45 kali demonstrasi-protes, 82 kali kerusuhan, 7.900 kali serangan bersenjata, dan 615.000 orang terbunuh karena sebab kekerasan politik. Secara umum, konflik yang bersifat ideologis dan primordial memang mengalami puncak aktualisasinya dalam masa 20 tahun paska-kemerdekaan ini. Ketiga, krisis ekonomi adalah keadaan lain yang menjadi ciri periode 1945-1965. Dalam masa revolusi dan demokrasi parlementer, pergantian kekuasaan yang terus-menerus telah menyebabkan setiap kabinet tidak sempat merealisasikan program ekonomi dan sosial mereka. Akibatnya perekonomian terbengkalai. Begitu pula halnya dengan periode demokrasi terpimpin. Kegandrungan akan revolusi, perhatian berlebihan terhadap persoalan internasional, dan salah urus serta mismanajemen politik telah menyebabkan demokrasi terpimpin mengalami krisis ekonomi yang tak kalah parah. Keempat, pada saat yang sama, perangkat kelembagaan politik berada dalam keadaan yang memprihatinkan pula. Birokrasi dan elemen pemerintahan lainnya berada dalam keadaan yang tak terurus dan mengalami pembusukan. Akibatnya, proses politik dan pemerintahan tersendat karena ketidaksiapan dan ketidakmampuan aparatur. Keadaan-keadaan tersebutlah yang dapat kita catat sebagai hasil pergulatan politik dan praktek demokrasi sepanjang 1945-1965. Oleh karena itu, sekalipun kehidupan partai dan partisipasi politik pernah mengalami masa keemasan, namun efektifitas pemerintahan tidak dapat dicapai secara mengesankan. Demokrasi, dengan demikian, tidak dapat dikatakan terpraktekkan dengan baik dalam masa ini. Sebaliknya, konflik dan stabilitas politik berada dalam tingkatan paling memprihatinkan sepanjang sejarah Indonesia merdeka.Dalam kerangka inilah Orde Baru lahir dan ditumbuhkan. Demokrasi Orde BaruKeruntuhan Orde Lama dan kelahiran Orde Baru di penghujung tahun 1960-an menandai tumbuhnya harapan-harapan akan perbaikan keadaan sosial, ekonomi dan politik. Dalam kerangka ini, banyak kalangan berharap akan terjadinya akselerasi pembangunan politik ke arah demokratisasi. Salah satu harapan dominan yang berkembang saat itu adalah bergesernya power relationship antara negara dan masyarakat. Diharapkan kekuatan politik masyarakat menaik dan memperoleh tempat yang proporsional dalam proses politik dan pemerintahan, terutama dalam rangka formulasi kebijakan-kebijakan politik baru. Sebaliknya, akumulasi dan sentralisasi kekuasaan yang selama Orde Baru begitu jelas terkonstruksikan, diharapkan segera berganti dengan pluralisme kekuasaan. Dalam keadaan semacam itu, demokratisasi diharapkan tumbuh dan terwujud, tidak sekedar menjadi retorika politik pemerintah Orde Baru yang sedang menumbuhkan dirinya itu. Harapan akan tumbuhnya demokrasi tersebut adalah harapan yang memiliki dasar-dasar argumentasi empirik yang memadai, setidaknya menyangkut tiga hal berikut ini. Pertama, berbeda dengan Demokrasi Terpimpin-nya Soekarno yang lahir sebagai produk rekayasa elit, Orde Baru dilahirkan oleh gerakan massa yang mengalirkan arus keinginan dari bawah. Latar belakang ini menjadi dasar yang kuat bagi terjadinya pembesaran pluralisme dan penumbuhan demokrasi, mengingat sebagai sebuah pemerintahan yang tumbuh dari bawah Orde Baru seyogianya memberikan tempat bagi aktualisasi politik masyarakat.Kedua, rekrutmen elit politik di tingkat nasional yang dilakukan oleh pemerintah Orde Baru pada saat pembentukannya memperlihatkan adanya kesejajaran dengan gagasan Daniel Bell yang sangat populer saat itu. Yaitu: formulasi kebijakan-kebijakan politik tidak lagi diserahkan pada peran politisi dan ideology, melainkan kepada para teknokrat yang ahli. Perluasan dan reorientasi dalam rekrutmen politik yang mengintegrasikan kalangan teknokrat ke dalam struktur kekuasaan ini dianggap mengindikasikan akan terjadinya suatu reorientasi politik di kalangan penguasa sejalan dengan komitmen para teknokrat yang waktu itu, dikenal egaliter dan demokratis. Terintegrasinya kelompok teknokrasi ke dalam struktur kekuasaan diharapkan akan memberikan pengaruh kepada kinerja negara Orde Baru dan kebijakan-kebijakannya sehingga lebih mementingkan proses politik yang bottom up dan lebih berorientasi kepada publik. Ketiga, sejalan dengan dasar empirik kedua di atas, masa awal Orde Baru ditandai oleh terjadinya perubahan besar dalam perimbangan politik di dalam negara dan masyarakat. Tiga pusat kekuasaan Orde Lama yaitu Presiden, Militer (khususnya Angkatan Darat) dan PKI, digeser oleh pusat-pusat kekuasaan baru: militer dan teknokrasi, serta kemudian birokrasi. Kekuatan-kekuatan politik kemasyarakatan yang selama masa Orde Lama terhambat aktualisasinya juga muncul kembali ke permukaan. Sekalipun militer menjadi pilar utama kekuasaan, namun kekuatan-kekuatan egaliter juga tumbuh saat itu, dan kemudian dikenali sebagai terjadinya bulan madu yang singkat antara negara dengan kekuatan-kekuatan kemasyarakatan Orde Baru.Ketiga dasar empirik di atas, sekalipun masih bersifat tentatif, namun pada masa itu amatlah memadai untuk menjadi alasan tumbuhnya harapan demokratisasi. Lalu, bagaimanakah raut wajah demokrasi Orde Baru dalam kenyataannya kemudian? Apakah harapan tersebut tidak hanya menepuk angin?Wajah demokrasi Orde Baru mengalami pasang surut sejalan dengan tingkat perkembangan ekonomi, politik dan ideologi sesaat atau temporer. Tahun-tahun awal pemerintahan Orde Baru ditandai oleh adanya kebebasan politik yang besar. Masa ini dikenal sebagai bulan madu negara dengan masyarakat, atau disebut oleh Mochtar Loebis sebagai musim semi kebebasan. Dalam masa yang tidak lebih dari tiga tahun ini, kekuasaan seolah-olah akan didistribusikan kepada kekuatan kemasyarakatan. Oleh karena itu, pada kalangan elit perkotaan dan organisasi politik yang siap menyambut Pemilu 1971, tumbuh gairah besar untuk berpartisipasi mendukung program-program pembaharuan pemerintahan baru.Namun, prototipe demokrasi itu segera mengabur ketika bulan madu negara masyarakat juga mulai menghambar dan berakhir. Titik tolaknya adalah kemenangan Golkar dalam Pemilu 1971 dengan memperoleh suara mayoritas 62,8%. Pemerintahan Orde Baru yang ditulangpunggungi militer memperoleh legitimasi politik konkret melalui kemenangan ini, dan segera melakukan berbagai regulasi ekonomi dan politik secara ketat. Pada saat ini lah kesenjangan antara negara dan masyarakat mulai terbentuk, ditandai oleh maraknya gelombang demonstrasi dan protes terhadap kinerja negara Orde Baru dan kebijakannya, dan berpuncak pada terjadinya Malapetaka Lima Belas Januari (Malari). Para analis politik melihat kecenderungan pengetatan regulasi ekonomi dan politik yang dilakukan Orde Baru tersebut dibentuk oleh adanya kebutuhan jangka pendek untuk keluar dari krisis ekonomi dan politik warisan Orde Lama, serta oleh kebutuhan jangka panjang untuk menciptakan pemerintahan yang kuat dan berkemampuan menjalankan pembangunan yang sukses. Kebutuhan ini kemudian diterjemahkan oleh Orde Baru dengan lebih mengembangkan model rekayasa politik daripada model partisipatif. Perkembangan yang terlihat kemudian adalah semakin lebarnya kesenjangan antara kekuasaan negara dengan masyarakat. Negara Orde Baru mewujudkan dirinya sebagai kekuatan yang kuat dan relative otonom, sementara masyarakat semakin teralienasi dari lingkaran kekuasaan dan proses formulasi kebijakan. Keadaan ini adalah hasil penjumlahan dari berbagai faktor: (1) kemenangan mutlak demi kemenangan mutlak Golkar dalam Pemilu yang member legitimasi politik yang makin kuat kepada negara; (2) dijalankannya regulasi-regulasi politik semacam birokratisasi, depolitisasi, dan institusionalisasi; (3) dipakainya pendekatan keamanan; (4) intervensi negara terhadap perekonomian dan pasar yang memberikan keleluasaan kepada negara untuk mengakumulasikan modal dan kekuatan ekonomi; (5) tersedianya sumber pembiayaan pembangunan, baik dari eksploitasi minyak bumi dan gas serta dari komoditas nonmigas dan pajak domestik, maupun yang berasal dari bantuan luar negeri; dan akhirnya (6) sukses negara Orde Baru dalam menjalankan kebijakan pemenuhan kebutuhan pokok rakyat sehingga menyumbat gejolak masyarakat yang potensial muncul karena sebab struktural.Dalam kerangka ini, raut wajah demokrasi Orde Baru bukanlah sebuah raut wajah yang segar. Orde Baru sukses dalam pemacuan pertumbuhan ekonomi dan pemeliharaan stabilitas, namun sebagai biaya sosialnya, pemerataan dan pembangunan demokrasi tidak berhasil dicapai secara mengesankan. Berikut ini adalah tabel distribusi kekuasaan selama masa Orde Baru yang menggambarkan wajah muram demokrasi. Tabel 1 Konstelasi Kekuasaan Orde BaruPRESIDENMILITERBIROKRASIELIT SIPILMASYARAKAT

POLITIKPROFESIONAL

+++++- -+- -

Keterangan: ++ = berperan besar + = berperan, meski tidak dominan - - = tidak berperanKesenjangan kekuasaan tersebut mengkonstruksikan sebuah keadaan yang berbeda dengan harapan yang tumbuh pada awal kelahiran Orde Baru. Namun, dalam perkembangan politik yang dapat kita amati saat ini, harapan terhadap tumbuhnya demokrasi kembali muncul ke permukaan sebagai sebuah kecenderungan umum. Harapan ini tampaknya dimekarkan oleh beberapa faktor berikut ini:Pertama, terjadinya perbaikan struktur sosial-ekonomi masyarakat sebagai hasil konkret pembangunan Orde Baru dalam kerangkan stabilitas. Dalam kerangka ini, muncul kantong-kantong kritisme baru di tengah masyarakat, terutama yang terbentuk oleh komunitas kelas menengah yang semakin menguat secara ekonomi, sekalipun tidak demikian halnya secara politik. Kedua, pembangunan Orde Baru yang menghasilkan disparitas ekonomi dan politik, secara ironis berperan pula menumbuhkan kesadaran baru pada masyarakat bawah yang termarjinalisasi oleh proses pembangunan beserta hasilnya. Akibatnya, dari komunitas ini juga muncul kantong-kantong kritisme baru, sekalipun kekuatan politiknya belum terlalu signifikan. Ketiga, adanya perimbangan dan komposisi baru dalam tataran politik elit negara, potensial menyegarkan pendekatan negara terhadap masyarakat dan kantong-kantong oposisi di dalamnya. Dalam kerangka ini kita bisa memahami adanya sikap-sikap negara yang lebih akomodatif, terutama semenjak akhir tahun 1980-an. Keempat, pembangunan beserta transformasi struktural di bidang sosial dan ekonomi, telah pula berperan dalam melakukan pendewasaan budaya politik dalam tataran negara dan, terutama masyarakat. Gejala ini terutama ditandai oleh terjadinya peningkatan keberanian masyarakat dalam melakukan penilaian terhadap kinerja negara dan kebijakannya. Jika hal ini berjalan konsisten, maka ia potensial mendorong pergeseran persepsi masyarakat tentang kekuasaan dan negara ke arah persepsi yang lebih objektif dan rasional. Akhirnya, keempat, terjadinya perubahan-perubahan besar dalam politik internasional pada gilirannya ikut membantu mendesakkan agenda demokratisasi bagi masyarakat-masyarakat domestik, termasuk Indonesia.

BAB 2Kepemimpinan Politik:Paralelisme Historis Masa Lalu dan Masa KiniKepemimpinan Politik Raja JawaBerkaitan dengan penempatan posisi dan peran politik Raja, perspektif peran politik Jawa mendasarkan diri pada dua landasan. Pertama, dalam pemikiran Jawa diakui adanya paralelisme antara makro kosmos dengan mikro kosmos. Antara dunia para dewa atau dunia Tuhan dengan dunia tempat manusia hidup. Kedua, ada kebutuhan interaksi antara makro kosmos dan mikro kosmos itu. Dua kosmos itu dianggap menyatu secara interaksionis. Berlandaskan landasan tersebut Raja ditempatkan sebagai pusat mikro kosmos, pusat kerajaan manusia di dunia. Secara hierarkis, Raja berada dalam hierarki puncak mikro kosmos. Ia dipercaya sebagai satu-satunya medium yang menghubungkan dunia mikro kosmos dengan alam makro kosmos. Ia dipandang sebagai mediator antara manusia dengan Tuhan; dan ia juga menjadi refleksi Tuhan. Posisi Raja sebagai refleksi Tuhan ini dicerminkan dalam pemikiran politik Jawa melalui konsep wenang murba wisesa. Pada puncak hierarki kerajaan, Raja duduk sendiri. Raja berhak atas kehormatan dan menuntut pengabdian segenap rakyat-nya, tak terkecuali pada abdinya dalam birokrasi kerajaan. Dalam formasi ini, unsur-unsur penguasa kerajaan lain diposisikan sedemikian rupa sehingga mereka memiliki orientasi peran yang tersentralisasi kepada Raja. Para pembantu Raja meliputi anggota keluarga Raja, mantri atau mandarin yaitu para pejabat istana tingkat tinggi dari kalangan militer, sipil dan pejabat kehakiman atau peradilan didudukkan dalam status dan peran sebagai abdi Raja. Sebagaimana ditunjukkan Soemarsaid, birokrasi pemerintahan pun menjadi perluasan kekuasaan Raja belaka. Karena kedudukan sentral raja maka seluruh aparat pemerintahan tidak boleh tidak adalah perpanjangan kekuasaan Raja; dan kekuatan apapun yang mereka miliki dianggap berasal dari Raja.Kekuasaan Raja Jawa juga ditandai oleh amat lemahnya kontrol (eksternal) terhadap kekuasaan. Hal ini dapat ditelusuri dengan memandangnya dari dua jurusan. Pertama, fungsi kontrol dianggap kontradiktif dan melawan posisi alamiah dan bersifat ascribed yang yang diduduki Raja sebagai refleksi Tuhan dan satu-satunya medium untuk berhubungan dengan makro kosmos. Maka Raja memiliki kekuasaan mutlak tanpa batas sebagai konsekuensi sifat numinus dan abdikodrati yang melekat pada kekuasaan Raja. Kedua, kontrol terhadap pembesar, apalagi Raja dalam kultur masyarakat Jawa bertentangan dengan keharusan setiap orang untuk menghindari memberikan penilaian terhadap orang lain, terlebih-lebih menyinggung orang yang bersangkutan, demi terciptanya harmoni sosial. Kepemimpinan Politik Orde BaruKajian terhadap hal ini akan dilakukan dengan memakai tolak ukur yang telah dipakai untuk memahami karakter kepemimpinan politik Raja Jawa.Hierarki serta pengaturan posisi dan peran para pembantu. Secara struktural, Presiden adalah orang yang duduk dalam hierarki tertinggi pemerintahan. Selain dijamin oleh konstitusi, kedudukan hierarkis ini juga dibentuk oleh praktek politik yang dijalankan (di negara manapun) yang menempatkan eksekutif sebagai pengendali operasi roda pemerintahan dan pemilik kekuasaan riil. Eksekutif, bagaimanapun adalah care of government. Presiden Orde Baru, dalam kedudukannya sebagai Kepala Negara dan Kepala Pemerintahan, tak pelak lagi menjadi pengisi kursi puncak hierarki politik dan kekuasaan.Dalam praktek politik Orde Baru, posisi puncak hierarki yang diduduki Presiden tersebut praktis ditempatinya sendiri. Hal ini dimungkinkan paling tidak, oleh dua hal. Pertama, sistem politik Indonesia masa Orde Baru pada dasarnya tidak menempatkan Wakil Presiden sebagai pemegang posisi kunci dalam pemerintahan yang memiliki kekuasaan riil dan prinsipil. Wapres dalam praktek politik Orde Baru hanya ditempatkan sebagai ban serep semata, untuk meminjam istilah yang digunakan majalah Tempo. Wapres diberi tugas sebagai pembantu presiden dalam menjalankan tugas politik dan pemerintahan sehari-hari. Kalaupun kini Wapres dibebani tugas pengawasan pembangunan, pemberian tugas khusus ini tidak dilengkapi dengan pemilikan kewenangan atau otoritas menentukan dan memberikan sanksi eksekutif secara leluasa apalagi otonom. Kedua, kesendirian Presiden dalam hierarki puncak dibentuk pula oleh keberhasilan Presiden dalam mengatur tatakerja para pembantunya, dari tingkat Menteri sampai eselon terbawah. Hal ini sebagaimana diakui oleh Presiden Soeharto dalam otobiografinya, dilandasi oleh dua faktor. Yaitu: (1) secara yuridis formal konstitusi memang menempatkan Menteri dan aparat pemerintahan lainnya sebagai pembantu Presiden dan bertanggungjawab kepada Presiden; dan (2) Presiden Soeharto berhasil menempatkan dan mengatur para pembantunya (entah itu teknokrat maupun militer) dengan sistem kerja yang ketat dan terkendali.Pengendalian dalam proses pengambilan keputusan, Struktur dan proses pengambilan keputusan sebagai salah saru bagian dan karakter kepemimpinan politik di masa Orde Baru tentu saja amat berkaitan dengan sifat kekuasaan Presiden yang digambarkan di depan. Studi Alfian, misalnya menggambarkan pengambilan keputusan-keputusan politik di masa Orde Baru boleh dikatakan hampir sepenuhnya tidak bisa keluar dari jangkauan peran penting Presiden Soeharto. Menurut Alfian, keadaan ini terbentuk oleh tiga faktor. Pertama, Presiden Soeharto telah mampu memanfaatkan progam pembangunan ekonominya sebagai simbol politik baru efektif sekaligus sebagai legitimasi paling penting terhadap pemerintahannya. Kedua, terjadinya disintegrasi terus-menerus di antara kekuatan-kekuatan politik sipil telah memberikan kepada Presiden Soeharto (dan ABRI) ruang kebebasan bergerak yang luas. Ketiga, falsafah jalan tengah dan falsafah sentrisme yang dimiliki Presiden Soeharto yang menandainya sebagai pemimpin yang mengutamakan kestabilan daripada perubahan radikal telah membantu Presiden Soeharto menjalankan tugas dan fungsi politiknya. Keempat, keberhasilan pemerintahan melalui Presiden Soeharto dalam memobilisasikan kekuatan ekonomi nasional atau kerap disebut sebagai borjuasi nasional ke dalam struktur persekutuan dengan negara, telah membantu mengefektifkan penyelenggaraan kekuasaan. Kelima, terbatasinya arus dan mobilitas partisipasi politik massa telah pula memberikan keleluasaan kepada Presiden Soeharto dan pemerintahannya untuk merealisasikan progam-progam tanpa kendala politik yang berarti.Paralelisme HistorisTulisan ini berangkat dengan pertanyaan: Asakah persamaan esensial antara karakter kepemimpinan politik Raja Jawa dengan Presiden Soeharto? Mereka yang melihat sepintas tampaknya segera akan sampai pada jawaban bahwa sulit menemukan perbedaan esensial anatara karakter dua kepemimpinan politik yang dipisahkan oleh kurun waktu yang panjang itu.Dalam tataran umum, sulit dibantah bahwa sejumlah ciri identik dan persamaan esensial muncul dalam perbandingan di atas. Pertama, baik pemimpin politik Jawa masa lampau maupun politik Orde Baru menduduki puncak hierarki kekuasaan dalam kesendirian. Kedua, struktur dan proses pengambilan keputusan politik dalam kedua masa yang dibandingkan memiliki ciri identik: tersentralisasi pada peran pemimpin politik. Ketiga, kontrol terhadap kekuasaan pemimpin politik pada dua masa yang dibandingkan memiliki ciri idenrik namun dengan gradasi yang berbeda: pada Raja Jawa kontrol tersebut sama sekali tiak dimungkinkan secara epistimologis dan praktis, sementara di masa Orde Baru kontrol dimungkinkan secara epistimologis namun tidak efektif dalam tingkat praktis. Formasi kekuasaan Raja Jawa dan Presiden Soeharto dilekati perbedaan-perbedaan mendasar dalam hal sifat kekakuan dan dasar pembentuknya. Tabel 2. Perbandingan Karakter Kepemimpinan PolitikKERAJAAN JAWAORDE BARUPerbedaan:Formasi kekuasaan bersifat kaku.Formasi kekuasaan lebih dibentuk secara kulturalAkumulasi kekuasaan bersifat totalTidakmempersoalkan keabsahanKekuasaan lebih bersifat moral

Perbedaan:Formasi kekuasaan bersifat leluasa dan longgar.Formasi kekuasaan lebih dibentuk secara struktural.Akumulasi kekuasaan dilekati sifat distributifDibentuk dengan keabsahanKekuasaan lebih bersifat alternatif.

Persamaan:Struktur dan proses politik terkendalikan secara leluasa oleh pemimpin.Kepemimpinan patrenalistik.Kekuasaan untuk harmonisasi kosmos.

Persamaan:Struktur dan proses politik terkendalikan secara leluasa oleh pemimpin.Kepemimpinan paternalistik.Kekuasaan untuk harmonisasi sosial pembangunan dan stabilitas.

Sekalipun demikian, dalam formasinya masing-masing, baik Raja Jawa maupun Presiden Soeharto benar-benar memiliki kekuasaan politik rill. Peran struktur pada kasus ini adalah terbatas melanggengkan norma, nilai, kepercayaan dan sikap politik itu bukan memproduksinya. Amat berbeda dengan hal ini, formasi kekuasaan Presiden Soeharto lebih dibentuk secara struktural. Rekayasa struktur politik sepanjang lebih dari dua dasawarsa yang telah berperan menempatkan Presiden dalam kekuasaan yang luas.Disamping berbagai perbedaan spesifik tersebut, karakter kepemimpinan Raja Jawa dan presiden orde baru menampilkan pula sejumlah persamaan spesifik. Persamaan pertama diperlihatkan oleh terjadinya pengendalian proses dan struktur politik yang memusat pada figur dan peran pemimpin. Baik pada masa kerajaan Jawa maupun pada praktek politik Orde Baru, pemimpin politik menjadi pengendali sesunggughnya dari proses formulasi kebijakan politik. Persamaan kedua ditunjukkan oleh adanya ciri kepemimpinan paternalistik pada dua masa itu. Kepemimpinan politik dipandang sebagai proses vertikal dan direktif sehingga tidak mengakomodasikan dialog antara struktur dan pelaku politik di satu tempat dalam lingkaran kekuasaan dengan struktur dan pelaku lain yang ada dibawahnya.Dua persamaan tersebut berimplikasi pada terbentuknya corak politik patron-client pada kedua masa yang berbeda. Jika pada masa kerajaan patron client tersebut terbentuk secara konsensual dan moral, maka pada masa Orde baru hal itu terbentuk oleh power imbalance yang tercipta ditengah kehidupan politik.Kemudian persamaan ketiga dimunculkan oleh adanya kesamaan nilai akhir yang ingin dicapai oleh kepemimpinan politik di dua masa. Keduanya sama-sama bertujuan menciptakan harmonisasi. Kepemimpinan Raja Jawa bertujuan untuk menciptakan harmoniasasi kosmos; kepemimpinan Presiden Soeharto ditunjuukkan untuk menciptkan harmonisasi sosial, berupa berjalannya pembangunan dalam suasana tertib politik dan stabilitas yang terjaga.Perbandingan yang dipaparkan di atas telah cukup memadai untuk mengkonstruksikan bahwa sekalipun terdapat sejumlah perbedaan spesifik sampai batas tertentu, terjadinya paralelisme historis anatara kepemimpinan politik masa lampau dengan kepemimpinan politik masa kini.

BAB 4Pembangunan dan Pelaksanaan Hak Asasi Manusia

Upaya mengaitkan hak asasui manusia (HAM) dengan pembangunan bukanlah sebuah kecenderungan yang baru berkembang. Dalam perkembangan politik mutakhir, pengaitan HAM dengan pembangunan menjadi isu yang makin berkembang karena beberapa alasan berikut. Pertama, akhir dekade 1980-an dan awal 1990-an bisa dikatakan sebagai era meningkatnya harapan demokrasi. Era ini terbentuk melalui bertumbanganya rezim-rezim militer dan sipil otoriter diberbagai belahan dunia muncul rezim-rezim baru yang menjanjikan demokratisasi. Kedua, tak dapat disangkal bahwa persoalan-persoalan pembangunan yang berkaitan dengan penegakan HAM merupakan persoalan yang dirasakan makin serius dan mendesak, tidak saja di negara-negata Asia-Sfrika-Amerika latin, namun juga negara-negra industri maju semacam Amerika Serikar dan negara-negara Eropa Barat. Penindasan terjadi dalam berbagai aspek termasuk penindasan dalam hal keagamaan. Pembahasan mengenai konteks ini dalam Indonesia masa Orde Baru tidak dapat melepaskan diri dari kerangka berpikir ini, oleh karenanya ada kebutuhan untuk terlebih dahulu memperjelas aliran-aliran pikiran yang berkembang dalam diskusi internasional dan nasional tentang HAM dan pembangunan.Dua Tema Perdebatan InternasionalTerdapat sekurang-kurangnya dua tema dan pendektaan yang terjadi dalam masyarakat internasional dalam memahami pelaksanaan HAM dalam pembangunan. Pertama, perdebatan antara faham universialisme versus relativisme kultural. Kedua, perdebatan antara kecenderungan pelaksanaan hak-hak kolektif versus pelaksanaan hak-hak individual. Kedua tema ini saling kait-mengait. Perdebatan dalam tema pertama dapat dielaborasi sebagai berikut. Pendekatan universalisme berpendapat bahwa karena HAM menyangkut martabat manusia yang universal makan pelaksanaan HAM dalam pembangunan pun bersifat universal pula.Dalam era perang dingin (Cold War) pendekatan ini disuarakan secara keras oleh negara-negara komunis untuk menjawab kecaman negara-negara barat bahwa mereka mengabaikan hak-hak politik rakyat.Kenyataan ini tampak jelas dalam perdebatan yang terjadi dalam perumusan Undang-undang Internasional mengenai Hak-Hak Asasi Manusia di PBB pada tahun 1940-an hingga tahun 1960-an. Umumnya negara berkembang juga menganut pendekatan ini sebagai sikap resmi pemerintahanya. Butir-butir Jakarta Message mengenai hak asasi manusia yang dihasilkan oleh KTT Non Blok ke-X, menunjukkan penganutan relativisme kultural oleh negara-negara berkembang yang bergabung dalam gerakan Non Blok.Universalisme kerapkali dipakai sebagai senjata negara-negara Barat untuk melakukan tekanan politik terhadap negara lain, sehingga pendekatan universialisme potensial menjadi tameng bagi kejahatan politik internasional. Sebaliknya pendekatan relativisme kultural kerapkali dipakai oleh negara-negara komunis dalam perang dunia untuk menutup-nutupi otoriterisme dan penindasan politik yang dilakukannya di dalam negeri. Dalam perkembanganya kemudian, negara-negara berkembang entah cenderung ke kiri, ke kanan atau tidak kedua-duanya kerap pula memakai pendekatan partisipasi dan hak-hak politik rakyat secara umum di dalam negeri.Dalam perkembangan kontemporer, dikenal adanya tiga generasi HAM. Generasi pertama, adalah hak-hak sipil dan politik yang sudah lama dikenal dan disosialisasikan oleh negara-negara industri maju. Generasi kedua, adalah hak-hak ekonomi dan sosial yang dalam sejarah perdebatan internasional tentang HAM disuarakan secara keras oleh negara-negara komunis dan didukung oleh negara-negara berkembang. Generasi ketiga, adalah hak-hak atas pembangunan dan perdamaian yang berkembang belakangan dan dipengaruhi oleh kepentingan negara-negara Dunia Ketiga.Perdebatan ini menyebabkan terjadinya tarik-ulur anatara negara maju dna negara berkembang dalam pergulatan politik internasional. Tarik ulur ini tidak hanya berwujud dalam kegiatan diplomasi yang bersifat halus, namun acapkali mewujud pula dalam pertentangan dan konflik internasional dengan atau tanpa penggunaan kekerasan. Dalam prakteknya perdebatan dalam tema kedua ini sebenarnya tidak sepenuhnya dapat dilihat sebagai diskusi internasional dalam topik HAM yang murni. Di balik perdebatan tersebut tersembunyi kepentingan politik, ekonomi dan bisnis yang dimiliki aktor-aktor politik internasional, negara maupun non-negara.Dua Aliran di IndonesiaKeberadaan dua tema perdebatan di atas pada akhirnya memberikan pengaruh besar terhadap terbentuknya dua aliran pemikiran tentang HAM yang berkembang di Indonesia. yaitu: (1) aliran pemikiran yang cenderung anti-komparasi akibat sikapnya yang inward looking oriented; dan (2) aliran yang menyarankan komparasi ke model Barat atau internasional secara umum.Aliran pemikiran yang pertama beranggapan bahwa konsep HAM, sebagaimana konsep Pancasila, adalah hasil galian atas sejarah kehidupan bangsa. Bagi bangsa Indonesia dan tidak perlu dibandingkan dengan HAM model Barat atau model manapun. Aliran kedua, sebaliknya menganut pandangan yang cenderung melakukan komparasi dengan perumusan HAM model Barat yang menonjolkan jaminan atas hak-hak sipil dan politik.Siapa yang paling arif yang dapat kita ambil adalah dengan tetap memperhatikan rumusan HAM yang dianut secara internasional, mengakomodasi opini masyrakat internasional, menyadari secara lapamg dan terbuka segenap kekurangan-kekurangan kita dalam menegakkan HAM di tengah pembangunan, berupaya memperbaikinya sebagai perwujudan komitmen negara terhadap desakan objektif masyarakat domestik, sambil tetap menjaga integritas dan kehormatan bangsa dalam menghadapi potensi kejahatan internasional yang mengancam yurisdiksi domestik. Dalam kerangkap siap inilah tulisan ini melakukan pembahasan retrospektif terhadap pelaksaan HAM dalam pembangunan Orde Baru.Pembangunan Orde Baru dan HAM: Regangan Teroritis.Kebijakan ekonomi yang kondusif bagi penegakan HAM adalah kebijakan ekonomi yang berorientasi pada kepentingan ekonomi rakyat. Mochtar masoed menyebutkan sebagai pendekatan pronasionalisme ekonomi, yaitu pendekatan yang memanifestaskan diri dalam kebijakan: (1) melindungi wiraswasta pribumi dari kemusnahan dan membantu mereka menjadi pelaku pembangunan ekonomi yang kuat dan otonom; (2) mobilisasi dana invetasi asing yang disertai penyediaan jaring-jaring penyelamat untuk menghindarkan kemungkinan dominasi pelaku ekonomi asing, serta diiringi pula oleh pembatasan sektor-sektor yang bisa dimasuki investor asing agar sektor-sektor yang telah dikelola pelaku ekonomi pribumi tidak terdesak.Kebijakan ekonomi kerakyatan yang berpadu dengan stabilitas konsensual akan melahirkan negara (Orde Baru) yang akomodatif dan responsif. Negara menjadi wahana artikulasi dan agregasi nilai dan kepentingan politik masyarakat, dan negara menjadi lembaga bertanggung jawab atas nilai dan kepentingan politiknya akibat sikap akomodatifnya. Keadaan-keadaan inilah yang menyebabkan hak-hak sipil politik dan sosial ekonomi masyarakat terjamin dalam hubungan kekuasaan negara masyarakat secara vertikal maupun hubungan-hubungan kekuasaan di dalam masyarakat secara horizontal. Dengan kata lain masyatakat yang maju secara ekonomi dan aktif secara politik, yang ketika mereka berinterkasi dengan negara mewujudkan keadaan demokrasi ekonomi dan politik.Pengembangan Orde Baru: Kebijakan dan KonsekuensiSejak awal kelahiranya, Orde Baru mengobsesikan berjalannya sebuah pengembangan ekonomi dalam suasana tertib politik. Dalam rangka inilah Orde Baru menjalankan strategi memaksimalisasi produktivitas ekonomi dan minimalisasi konflik politik. Rancangan bangun pembangunan ekonomi Orde Baru adalah kebijakan-kebijakan ekonomi pragmatis dalam rangka dari krisis ekonomi parah warisan. Orde Lama dan untuk mencapai pertumbuhan ekonomi yang tinggi secara cepat dan konstan. Sementara rancang bangun pembangunan politik Orde Baru adalah kebijakan-kebijakan yang diarahkan pada terpolanya struktur politik yang berdaya dukung terhadap penciptaan stabilitas. Maka pembangunan Orde baru secara umum dapat digambarkan sebagai memprioritaskan pertumbuhan ekonomi dengan berpagarkan stabilitas politik.Sementara itu, stabilitas politik otokratis dijalankan melalui rekayasa struktur politik. Secara struktural, yang dilakukan adalah menyediakan kerangka struktur politik yang menutup peluang bagi terjadinya gangguan-gangguan politik terhadao pembangunan. Sementara secara kultural, yang dipolakan adalah tranformasi dari pementingan indeologi-ideologi informal masyarakat ke tranformasi ke arah penganutan satu ideologi formal negara (asas tunggal).Jalan yang ditempuh dalam mengamankan kedua pilar di atas adalah mengakumulasikan kekuasaan pada negara dan mengoptimalkan kekuasaan aparatur negara baik aparatur represif maupun ideologis sambil melakukan disakumulasi kekuasaan elemen-elemen sipil. Langkah disakumulasi dibentuk oleh pembatasan patisipasi politik dan pemabatasan keleluasaan kontrol politik.Selain pertumbuhan Zonder pemerataan, terbentuk pula model mobiliasasi politik dalam format politik Orde Baru. Partipasi politik tidak berkembangan dengan luas, sekurang-kurangnya ditandai oleh beberapa hal dibawah ini. Pertama ,sebagaimana hasil penelitian Karl D.Jacson, kepolitikan Orde Baru ditandai oleh domonopolinya kekuasaan dan partisipasi politik oleh level-level teratas dalam birokrasi sipil dan militer. Kedua, lebih lanjut penelitian McDoygall menunjukkan bahwa dalam keadaan yang diilustrasikan Jacksob militer menjadi pengendali utama birokrasi pusat dan berperan paling menentukan dalam proses politik dan pemerintahan. Ketiga, penelitian Liddle mengenai Pemilu-Pemilu Orde Baru menunjukkan bahwa sekalipun angka partisipasi politik dalam pemilu-pemilu Orde Bary senatiasa tinggi (di atas 90%) namun keadaan itu tercipta sebagai hasil represi, tekanan dan mobilisasi politik yang dilakukan negara melalui peran birokrasi sipil dan militer dari tingkat pusat sampai ke tingkat lokal yang terendah. Keempat, hasil pengamatan Sigit Pitranto Kusumowidagdo mennggambar terjadinya kecenderungan ke arah krisis partisipasi politik di masa Orde Baru, berupa terhambatnya aktualisasi nilai dan kepentingan politik masyarakat, baik dalam dimensi prganisasi, dimensi legalitas, dimensi gerakan dan isu-isu yang mendasari gerakan.Terjadinya ketidakpastian hukum sebagai konsekuensi lain dari kebijakan pembangunan. Hukum dalam masa Orde Baru membentuk dirinya menjadi apa yang disebut Urgen sebagai hukum birokratik, Hukum menjadi alat untuk melancarkan kerja biroKrasi negara, dan konsekuensinya menjadi kurang mengabdi pada kepentingan pengayiman keadilan masyarakat.Penegakan HAM: Masalah Aktual dan Tantangan BaruSejauh ini penegakan HAM di Indonesia dicirikan oleh adanya persepsi negara dan masyarakat yang keliru. Penegakan HAM lebih dikonotasikan sebagai pemberi negara banding hasil perjuangan masyarakat. Sebagaimana diidentifikasikan Arbi Samit, hal ini tampak dari diperginakannya secara luas terminologi penghargaan HAM dan Perlindungan HAM. Konsekuensinya, masyarajat ditempatkan sebagai objek dalam upaya penegakan HAM, dan tidaj sebagai subjek. Dalam posisi ini, kemungkinan terjadinya pelanggaran terhadap hak-hak asasi yang dimiliki masyarakat baik secara individual maupun secara kolektif menjadi relatif terbuka dan leluasa.Persoalan muncul tatkala terjadinya kesenjangan antara produk hukum tersebut dengan praktek politik. Dalam kerangka itu, setidaknya terdapat tiga bentuk umum praktek pelanggran HAM yang dapat kita temui dalam praktek Orde Baru. Pertama, masih cukup populernya praktek represi politik oleh aparat negara, sekalipun intensitasnya belakangan ini mengalami kecenderungan menyurut. Kedua, praktek pembahasan partisispasi politik atau apa yang dikenal sebagai depolitisasi. Praktek ini merupakan satu bentuk pelanggaran HAM karena cenderung mengingkari hak yang dimiliki warga negara untuk berserikat, berkumpul dan mengeluarkan pendapat. Ketiga, praktek eksploitasi ekonomi beserta implikasi sosialnya merupakan pelanggaran HAM yang masih kerap temui di tengah masyarakat.Ketiga, bentuk umum tersebut memiliki implikasi luas terhadap keseluruhan praktek pelaksanaan HAM selama Orde baru pada giliranya melahirkan pula bentuk-bentuk pelanggaran yang lebih spesifik. Transformasi kultural masyarakat tersebut, terlihat pula dalam kasus buruh. Pengetahuan dan kesadaran buruh mengalami kenaikan, setidaknya diperlihatkan oleh pelonjakan jumlah unjuk rasa buruh bersamaan dengan makin bervariasi dan berbobotnya isu-isu yang diangkat oleh unjuk rasa. PenutupTampaknya pengalaman pembangunan dua dasawarsa lebih di masa Orde Baru lebih menunjukkan hubungan yang cenderung dikotomis antara penegakan HAM dengan pembangunan. Kurang tegaknya HAM menjadi salah satu boaya sosial yang amat mahal yang harus dibayarkan untuk teralisasinya upaya-upaya pembangunan ekonomi menegjar pertumbuhan yang tinggi dan cepat dan pembangunan politik yang tergesa-gesa menciptakan stabilitas instan.Dalam bahasa teoritis Arief Budiman, yang diperlukan adalah transisi dari sebuah negara birokratik otoriter rente sekurang-kurangnya ke arah negara negara birokratik otoriter pembangunan. Atau dalam bahasa Soedjatmoko, agenda yang ditawarkan adalah mentransisikan sistem politik orde baru ke dalam bentuk negara birokratik moderis. Apapun bahasa teroris yang dipakai untuk menggambarkan kebutuhan transisi itu, sebuah pernyataan yang sudah menjadi klise tampaknya dapat menggambarkan secara umum kebutuhan itu: demokratisasi ekonomi dan demokratisasi politik sambil tetap kritis mencermati permainan 3 in 1 dalam pergaulan politik internasional.

BAB 5Peningkatan Keadilan Sosial: Kendala-Kendala Kultur

Model pembangunan yang selama ini berpusat pada peran rekayasa negara atau disebut dalam terminologi ilmu sosial sebagai model state centered development akan mengalami penentangan yang serius. Pada saat yang sama, pembangunan membutuhkan pula reformulasi berbagai kebijakan. Sementara itu kondisi sosial yang harus diakomodasikan oleh pembangunan juga semakin kompleks dan pernah persoalan dan tantangan berat. Soedjatmoko, misalnya pernah mengingatkan mengenail hal ini. Ledakan penduduk yang akan diamlami selam 25 tahun kedua pembangunan Orde Baru, menurut Soedjatmoko, akan menjadi tantangan baru yang berat, mengingat penduduk Indonesia diestimasikan akan mencapai 200-an juta. Dalam diskusi masyarakat internasional, saat ini populer pemikiran-pemikiran tentang perlunya reformasi sistem manajemen sosial, ekonomi dan politik. Pemikiran tersebutlah yang sekarang ini membentuk gerakan pluralisme internasional, yaitu gerakan yang menyuarakan secara keras tuntunan demokratisasi, pemeliharaan lingkungan hidup dan penegakan hak asasi manusia.Implikasi politik dari semua itu setidaknya terlihat tiga hal. Pertama, sistem politik internasional berkecenderungan untuk mengalami pergeseran ke arah terbentuknya nutual independency models. Satu negara berdaulat semakin saling tergantung dengan negara berdaulat lainya. Kedua, interaksi masyarakat internasional ditandai oleh semakin pentingnya peranan opini internasional. Ketiga, dalam saat bersamaan terjadi pula pergeseran dalam cara mendefinisikan sebagai persoalan yang dihadapi warga masyarakat dunia. Dalam tingkatan domestik, persoalan peningkatan keadilan sosial tidak kalah konkret dan memperhatikan. Dalam sebuah kesempatan, Mensesneg Moerdiono mengatakan bahwa dalam era tinggal landas yang bertumpu pada kreativitas dan prakasa manusia, masalah, keadlian sosial akan menjadi masalah sentral.Keadilan SosialMenurut Nurcholish Madjid, persoalan keadilan sosial merupakan persoalan pokok yang telah disadari umat manusia sejak mereka mulai berpikir; dan telah menjadi bahan pemikiran yang dipersoalkan oleh para pemikir bangsa Sumeria di Lembah Mesopotamia. Maka boleh jadi sejarah persoalan keadilan sosial sama tuanya dengan sejarah terbentuknya pola kehidupan bernegara di dunia ini.Murtadla Muthahhari, seorang pemikiran muslim Iran, yang memberikan pengertian keadilan secara memuaskan. Menurut Muthahhari, keadilan mengandung empat pengertian pokok. Pertama, keadilan dalam pengertian keseimbangan, yaitu keadaan seimbang, tidak pincang, masing-masing bagian memiliki ukuran yang tepat dan berada dalam kaitan yang tepat antara satu dengan yang lain dan diantara setiap bagian itu dengan keseluruhan kesatuan. Kedua, keadilan dalam pengertian persamaa. Yaitu perlakukan yang sama terhadap semua orang yang memiliki hak yang sama karena kesamaan, kemampuan, tugas dan fungsi orang-orang tersebut. Pengertian ini tidak mengandung arti memperlakukan semua orang sama tanpa peduli perbedaan kemampuan, tugas dan fungsinya. Ketiga, keadilan dalam pengertian pemberian kepada hak-hak pribadi dan oenunaian hak kepada siapa saja yang berhak. Dalam pengertian ini konsep keadilan menentang perampasan hak dari orang yang berhak dan pelanggaran hak oleh orang yang tak berhak. Keempat, keadilan Tuhan, yaitu kemurahan-Nya melimpahkan rahmat kepada sesuatu atau seseorang setingkat dengan kesediaanya untuk menerima eksistensi dirinya sendiri dan pertumbuhannya ke arah kesempurnaan.

Pembangunan dan Kebutuhan Peningkatan Keadilan Sosial.Sebagimaana diikhtisarkan oleh Sjahrir, berbagai bentuk transformasi struktural di bidang ekonomi telah berhasil dilakukan sepanjang dua dasawarsa pembangunan Orde Baru. Indonesia saat ini telah menjadi salah satu negara di kawasan Asia Pasifik yang berhasil mencapai pertumbuhan ekonomi yang pesat.Secara umum dapat diaktakan bahwa pembangunan Orde Baru telah berhasil melewati stagnasi ekonomi dalam jangka pendek, dan sukses meningkatkan produktivitas ekonomi dalam jangka pendek dan sukses meningkatkan produktivitas ekonomi di dalam kerangka pembangunan berorientasikan pertumbuhan dalam jangka panjang. Sementara itu, pembangunan Orde Baru juga ditandai oleh berkembangnya komunitas kelas menengah, sekalipun masih terdapat persoalan batasan definit dalam mengidentifikasi kelas ini.Dengan demikian, yang kita lihat sebagai hasil pembangunan dan pemacuan pertumbuhan adalah terbentuknya sebuah formasi struktur ekonomi yang timpang. Di mana negara dan kekuatan-kekuatan kliennya melakukan akumulasi dan eksploitasi ekonomi secara mengesahkan dan masyarakat bahwa tidak ikut terangkat ke dalam lingkaran akumulasi itu.Formasi struktur politik yang terbentuk kemudian adalah sebuah struktur yang senjang negara beserta elemen-elemen di dalamnya menjadi pemilik kekuasaan yang sangat konkret dan luas, sementara masyarakat beserta elemen-elemen yang berada di dalamnya mengalami disakumulasi kekuasaan perlahan-lahan. Dalam kerangka perkembangan sosial, ekonomi dan politik yang diurai di atas itulah Richard Robison mengemukakan bahwa perkembangan politik di Indonesia ditandai oleh dihasilkannya kesenjangan sejumlah kecil orang kaya dengan sejumlah besar orang miskin serta kesenjangan antara sejumlah kecil orang berkuasa dengan sejumlah besar orang yang dikuasai.Kendala-kendala KulturalKebutuhan peningkatan keadilan sosial tersebut di atas terasa sederhana dan mudah dirumuskan, namun dalam prakteknya merupakan sebuah agenda pembangunan yang tidak sederhana dan mudah. Tidak sederhana dan mudah karena kesemua kondisi kekurangadilan yang terpapar di bagian depan adalah produk rekayasa jalannya pembangunan Orde Baru. Dalam kerangka ini, realisasi peningkatan keadilan sosial akan terkendalai oleh beberapa kendala kultural berikut.Pertama, pertama kultur melihat manusia tidak hakikatnya sebagai manusia. Kultur ini terpola manakala seseorang atau sekelompok orang meletakkan seseorang atau kelompok orang meletakkan seseorang atau kelompok lain tidak dalam kesamaan nilai dan martabat sebagai manusia, melainkan dikelaskan berdasarkan perbedaan-perbedaan lahiriah. Kultur ini mereduksi kemanusian seseorang atau sekelompok orang sehingga manusia hanya diwakili oleh sejumlah atribut artifial yang melekat padanya. Kedua, adanya corak budaya dan tingkah laku politik yang khas pada kalangan elite strategis dan massa di Indonesia, sebagaimana diidentifikasi Alfian. Pada sebagian penting elite strategis tumbuh budaya dan sikap dan tingkah laku yang mau memonopoli kebenaraan yang menjurus kepada kemungkinan lahirnya mentalitas otoriter bahkan totaliter.Ketiga, masih bertahannya budaya warisan feodal dalam kehidupan Indonesia modern, terutama dalam wujud budaya paternalistik serta hubungan patronkilen yang mengikutinya.kultur paternalistik memposisikan hubungan antarmanusia secara vertikal sesuai dengan status sosial yang membedakan antara satu manusia dengan manusia lainya. Keempat, adanya kultur pernikahan politik birokrasi. Dalam masyarakat modern birokrasi biasaanya disyaratkan memiliki realistas secara politik, sehingga ia bisa aplikasi kebijakan dengan tetap berorientasi pada pelayanan publik. Dalam praktek politik Orde Baru, birokrasi dikooptasi oleh negara sehingga menjadi perpanjangan tangan negara dan berorientasi pada kepentingan sekelompok elit politik dan satu kekuatan politik, PenutupSemata-mata mengkonstruksikan kendala-kendala kultural sebagai penghampat peningkatan keadilan sosial, bukan berarti bahwa semata-mata disanalah letak soal keterhambatan upaya mewujudkan keadilan sosial dalam pembangunan Orde Baru. Selain faktor kultural tentu saja tersedia pula hambatanya struktural. Dalam beberapa segi, faktor struktural bahkan lebih berperanan dalam mengkonstruksikan pembangunan Orde baru beserta hasil-hasilnya.

BAB 6Dwi Fungsi ABRI dan Demokratisasi :Masalah dan Prospek

Dwi Fungsi ABRI : Terbentuknya Sebuah IdeologiSeperti ditunjukkan oleh Kim (Kim,1985:2), perlmutter (Perlmutter,1984: 141 ff) dan Clark (Clark, 1989:153), keterlibatan militer dalam politik merupakan gejala yang umum di Dunia Ketiga. Dalam kerangka ini, keterlibatan militer dalam politik di Indonesia dapat dipahami sebuah kecenderungan politik yang khas Dunia Ketiga.Sulit disangkal bahwa di Indonesia, militer sampai batas tertentu telah memainkan peranannya di lapangan politik semenjak awal pembentukan nation-state Indonesia di pertengahan dekade 1940-an. Oleh karena itu, ideologi dwi fungsi ABRI yang diintrodusir, disosialisasikan dan dimapankan oleh Orde Baru bukanlah sebuah ideologi yang terbentuk begitu saja, melainkan melalui proses sejarah yang cukup panjang. Studi Salim Said, misalnya, sampai kesimpulan bahwa keterlibatan militer dalam politik sama tuanya dengan sejarah republik (Salim, 1985:96). Dalam substansi sama, studi Sundhaussen menunjukkan dengan tegas bahwa keterlibatan militer dalam politik setidaknya sudah terlihat nyata di tahun 1946, tatkala militer mulai mempertanyakan kemampuan dan supremasi pemerintahan sipil (Sundhaussen, 1986:463). Sekalipun secara de facto dwi fungsi ABRI telah dijalankan bersamaan dengan sejarah awal terbentuknya republik, namun perumusan dwi fungsi sebagai sebuah konsepsi dan ideologi politik baru terjadi dalam akhir dekade 1950-an. Jalan ke arah formulasi dwi fungsi sebagai sebuah ideologi formal yang melegitimiasikan peranan politik militer secara luas, terbuka pada saat Presiden Soekarno membentuk Dewan Nasional pada 6 Mei 1957, yaitu setelah partai-partai politik dengan PKI sebagai pengecualian dilumpuhkan dan Undnag-Undang Darurat diberlakukan (Leo, 1992:10). Pembentukan Dewan Nasional ini tampaknya menjadi satu peristiwa penting bagi dilakukannya penerjemahan peran politik militer ke dalam suatu ideologi yang legitimated. Maka A.H. Nasution mengintrodusir konsepsi jalan tengah melalui pidato tanpa teksnya dalam Dies Natalis Akademi Militer Nasional di Magelang, 11 November 1958.Nasution tidak menginginkan ABRI dalam posisi dan peran militer model Barat yang hanya menjadi kekuatan Hankam, dan tidak pula dalam posisi militer model negara-negara junta militer sebagai diktator. Menurut Nasution, ABRI harus mengambil jalan tengah (The Armies middle way), yaitu dengan menjalankan fungsi sosial politik dalam kemitraan dengan kekuatan sosial politik lain sambil tetap menghindari terbentuknya dominasi politik militer atas sipil (Nasution, 1971:19). Maka, menurut Yahya Muhaimin, dan diikuti kemudian oleh M. Rusli Karim, setelah itu peranan politik militer pun memperoleh legitimasi formal dalam Sidang Dewan Nasional, 21-23 November 1958, tatkala militer diakui sebagai golongan fungsional (Yahya, 1983:30).Dalam perkembangan politik kemudian, konsepsi jalan tengah Nasution diberi baju baru oleh rezim Orde Baru di penghujung tahun 60-an, setelah Soekarno dan Demokrasi Terpimpinnya mengalami kejatuhan sebagai akibat lanjut dari kup PKI yang gagal di akhir tahun 1965. Baju baru itu berupa konsep dwi fungsi ABRI yang dihasilkan melalui Seminar AD II di tahun 1966- melegitimasikan tidak saja peran politik militer secara terbatas, melainkan dalam prakteknya: sebuah kekuasaan politik militer yang amat luas.Dilihat dari sisi pertarungan pemikiran politik, ideologi dwi fungsi yang kemudian disosialisasikan dan dimapankan dalam praktek politik Orde Baru adalah hasil pergulatan dari tiga versi pemikiran tentang peranan militer dalam politik, yang berkembang di awal kelahiran Orde Baru. Yaitu: versi Soeharto-Ali Moertopo, versi A.H. Nasution, dan versi Mohammad Hatta. Sekalipun ketiga versi ini sama-sama merespon kondisi kepolitikan baru setelah kejatuhan Soekarno, namun ketiganya saling berbeda dalam memandang peran militer di tengah kepolitikan baru itu.Soeharto (Soeharto, 1985) dan Ali Moertopo (Ali, 1974:92 ff) menginginkan peran militer yang besar untuk melakukan stabilitasi kehidupan politik. Nasution (Nasution, 1980) juga menginginkan peran militer yang besar namun kemudian segera dikurangi dari waktu ke waktu sejalan dengan berkurangnya tingkat krisis sosial, ekonomi dan politik warisan Orde Lama. Berbeda dengan keduanya, Hatta malah menyarankan militer untuk kembali ke tangsi untuk membuka jalan bagi Orde baru merealisasikan janji-janji demokratisasi dan keadilan sosialnya (Deliar, 1989:617-618). Maka, dwi fungsi ABRI dalam persepsi penguasa Orde Baru adalah melibatkan militer dalam proses politik dan pemerintahan baik di tingkat lokal maupun nasional secara luas. Elemen-elemen yang terlibat dalam proses politik dan pemerintahan, seperti birokrasi, partai politik, parlemen dan badan eksekutif secara umum, hampir tidak ada satupun yang steril dari penetrasi militer.Dengan demikian, diterimanya versi Soekarno-Ali, dan tergesernya versi Nasution dan Hatta, tidak saja menyebabkan Nasution harus terdepak dari lingkaran kekuasaan dan Hatta dibatasi peranannya dalam pemerintahan Soeharto, namun lebih jauh telah membuka jalan bagi akumulasi kekuasaan ekonomi dan politik militer.Pemaparan Peran Politik Militer Orde BaruMasa Orde Baru adalah puncak keterlibatan militer dalam politik sepanjang sejarah kemerdekaan. Dalam masa ini militer terlibat secara jauh di dalam birokrasi, partai massa dominan (mass-dominant pary: Golkar), legislatif, praktek ekonomi dan bisnis, realisasi program pembangunan yang memungkinkan militer bersentuhan dengan rakyat banyak, dan praktek-praktek keamanan dan intelejen dalam rangka pengamanan pembangunan.Militer dan Birokrasi. Sejak awal pembentukannya, Orde Baru berkecenderungan untuk menciptakan model pembangunan yang bercorak teknokratis dan birokratis. Kecenderungan ini tampaknya dibentuk secara sekaligus oleh kebutuhan objektif berupa krisis ekonomi, politik dan sosial yang ada saat itu, dan kebutuhan subjektif penguasa untuk melanggengkan kekuasaan rezim.Salah satu konsekuensi dari penciptaan model pembangunan semacam itu adalah terjadinya pembesaran birokrasi. Birokrasi menjadi alat pembangunan yang penting, tidak saja untuk tujuan teknis membantu formulasi dan realisasi kebijakan pembangunan- namun terutama untuk tujuan politik: menjaga stabilitas kekuasaan negara secara internal dan melakukan penguasaan terhadap masyarakat secara eksternal. Untuk tujuan ini, terdapat sekurang-kurangnya ada tiga bentuk birokratisasi khas Orde Baru: (1) melakukan pembesaran jumlah anggota birokrasi secara kuantitatif, (2) memberikan kewenangan besar kepada birokrasi untuk menjadi perpanjangan tangan negara dalam mengonrol masyarakat; dan yang terpenting (3) memasukkan kekuatan militer ke dalam birokrasi, baik di pusat maupun daerah.Maka masa Orde Baru ditandai oleh terjadinya pembesaran peran kuantitatif dan kualitatif militer dalam birokrasi, terbesar sepanjang sejarah Indonesia merdeka. Kenyataan ini bisa dipahami mengingat beberapa alasan ini. Pertama, sebagaimana fenomena umum Dunia Ketiga (Herman:7-10) militer Orde Baru adalah kekuatan sosial-politik yang paling siap dalam hal organisasi dan skill untuk memasuki birokrasi yang mendekati kriteria teknis Weber (Blau, 1987:27-31 atau Albrow, 1989:33-34). Kedua, keadaan awal Orde Baru dan dalam beberapa segi masih bertahan sampai sekarang ditandai kecurigaan penguasa terhadap politisi sipil yang umumnya berbasiskan partai. Orde Baru (baca: militer) memiliki trauma sejarah yang dalam tentang ketidakmampuan-ketidakmampuan politisi sipil dalam hal: mengambil kebijakan diplomatik yang tepat dengan tuntutan strategi perang (di masa revolusi); dan mengelola sistem politik selama Demokrasi Parlementer yang dianggap militer gagal menciptakan stabilitas.Ketiga, penetrasi, atau malah penguasaan, militer terhadap birokrasi dianggap sebagai strategi yang paling tepat dalam rangka mengamankan pembangunan dan kelangsungan kekuasaan. Dan keempat, sebagaimana diungkapkan Catles, penetrasi militer ke dalam birokrasi menjadi leluasa karena tiadanya hambatan yang berarti dari masyarakat (awal) Orde Baru yang memang terbukti tidak memiliki kekuatan yang cukup untuk ikut campur dalam pengaturan birokrasi dan mempengaruhi jalannya kebijakan-kebijakan birokratis (Castles, 1982:17-18). Penetrasi dan penguasaan militer atas birokrasi terlihat melalui penelitian MacDougall (1982) yang menggambarkan bahwa presentase pejabat militer lebih dominan dibanding sipil dalam jajaran birokrasi pusat yang tertinggi. Dengan menganatomi personalia tertinggi seluruh departemen yang ada dari mulai Menko hingga Dirjen MacDougall menemukan fakta bahwa pada departemen-departemen strategis jumlah personalia militer dominan. Malah secara keseluruhan, penelitian MacDougall juga menunjukkan betapa militer telah begitu besar peranannya dalam birokrasi yang merupakan urusan sipil.Selain melalui jabatan Bupati dan Gubernur, peranan besar militer dalam birokrasi lokal juga diperlihatkan melalui keterlibatan pimpinan militer lokal dalam pengelolaan daerah, yaitu melalui Musyawarah Pimpinan Daerah (Muspida) di tingkat Kabupaten dan Musyawarah Pimpinan Kecamatan (Muspika) di tingkat Kecamatan. Pimpinan Angkatan Darat dan Kepolisian di daerah terlibat dalam banyak aspek pengendalian kehidupan masyarakat di daerah, terutama dalam praktek-praktek politik yang penting seperti mobilisasi rakyat untuk pembangunan dan untuk Pemilu (Liddle, 1992:1 ff). Militer dan Golkar. Sedari awal terdapat kesadaran di kalangan militer bahwa peranan politik mereka, bagaimanapun, dibatasi oleh ketidakmungkinan mereka membangun basis massa secara langsung. Kesadaran inilah yang mendorong militer untuk membangun satu kekuasaan politik yang berwajah sipil di bawah kendali mereka, yang mampu membina basis massa rakyat. Dalam kerangka inilah kita dapat memahami hubungan militer dan Golkar.Keinginan militer untuk memiliki saluran pembinaan basis massa kemudian benar-benar terwujud secara konkret ketika Golkar memperoleh kemenangan mutlak (62,8%) dalam Pemilihan Umum 1971. Beriringan dengan kebijakan depolitisasi dan instutisionalisasi yang dijalankan Orde baru, kemenangan Golkar ini menyebabkan militer memiliki organisasi korporasi yang berbentuk partai massa dominan (mass dominant party); dan pada saat yang bersamaan partai-partai politik terus-menerus mengalami kemunduran peran.Hubungan korporatis antara militer dan Golkar dijamin dengan adanya kedudukan Panglima ABRI sebagai pimpinan jalur A di dalam Golkar satu diantara tiga jalur yang ada (Boileau, 1983). Reorganisasi Golkar melalui Musyawarah Nasional II (1978) dengan memperkenalkan organ baru, Dewan Pembina, dengan ketuanya (Presiden) yang memiliki kekuasaan terbesar dalam Golkar, tidak mengubah hubungan korporasi militer-Golkar. Malah dapat dikatakan bahwa posisi kekuatan militer di dalam Golkar justru makin terlembagakan melalui Hasil Munas itu, mengingat kedudukan Ketua Dewan Pembina (Presiden) sebagai Pangti ABRI.Secara umum, seperti diungkapkan Boileau (1983:91), militer mempergunakan Golkar sebagai basis untuk meluaskan pengaruhnya melalui tiga cara. Pertama, menenggelamkan sistem kepartaian dan sebaliknya menumbuhkan daya tawar menawar militer vis a vis partai-partai politik; cara ini sukses setelah Pemilu 1971 memberi jalan bagi militer melakukan dominasi dalam DPR secara langsung melalui F-ABRI dan secara tidak langsung melalui FKP. Kedua, Golkar juga dipakai oleh militer untuk memperkenalkan seperangkat simbol-simbol baru atas nama modernisasi dan pembangunan. Ketiga, militer menggunakan Golkar untuk membangun dukungan rakyat bagi mereka dan menyempurnakan kontrol administratif mereka.Militer dan Legislatif. Keterlibatan militer dalam proses politik dan pemerintahan tidak saja terjadi dalam sektor eksekutif, melainkan juga dalam badan legislatif. Sekalipun militer bukan kekuatan politik yang ikut serta dalam Pemilu, namun mereka memiliki wakil dalam jumlah besar dalam DPR dan MPR melalui Fraksi Karya ABRI.Keberadaan militer dalam DPR terbukti efektif dalam rangka mengamankan kebijakan eksekutif dan meminimalisasi kekuatan kontrol DPR terhadap eksekutif. Efektivitas ini diperoleh melalui: (1) adanya hubungan duet F-ABRI dan Fraksi Karya Pembangunan dalam proses kerja DPR sementara keduanya merupakan representasi eksekutif yang tentunya membawa nilai dan kepentingan eksekutif; dan (2) adanya perangkat aturan kerja DPR yang dalam batas tertentu, membatasi aktualisasi anggota melalui mekanisme Fraksi; dan membatasi peran satu fraksi secara otonom.Militer dan Praktek Ekonomi-Bisnis. Bagian yang tidak terpisahkan dari peran sosial-politik militer adalah keterlibatan mereka dalam praktek ekonomi dan bisnis secara luas (Editor, 1992:30). Hal ini bukan semata fenomena perluasan peran militer di masa Orde Baru, melainkan sudah terlihat terutama semenjak tahun 1957 segera setelah pemerintah Indonesia saat itu melakukan nasionalisasi ekonomi. Sebagian perusahaan yang dinasionalisasi didistribusikan kepada kalangan militer.Dalam masa Orde Baru, sebagaimana ditunjukkan Robison (Robison, 1990:11-13), praktek ekonomi-bisnis oleh militer ini semakin meluas. Banyak perusahaan yang didirikan oleh dan atas nama militer: seperti PT Tri Usaha Bhakti milik Dephankam; Induk-induk koperasi milik komando-komando militer dari semua angkatan dan kepolisian; Yayasan Dharma Putra milik Kostrad; PAN Group, Pakarti Group dan Berkat Group milik kelompok Opsus; dan PT Propelat miliki Divisi Siliwangi. Selain itu, sebagai BUMN yang strategis juga didistribusikan kepemimpinannya entah itu di level komisaris atau direksi- kepada perwira-perwira militer. Hal ini terjadi, baik itu karena kualifikasi perwira bersangkutan maupun karena perwira tersebut adalah pejabat birokrasi departemen tertentu sehingga secara ex officio ia ditempatkan dalam struktur kepemimpinan BUMN.Praktek ekonomi-bisnis militer Orde Baru tersebut dapat dipahami sekurang-kurangnya melalui tiga sudut pandang.Pertama, sebagaimana diungkapkan Liddle (Liddle, 1983), Orde Baru melakukan strategi pemberian ganjaran atau insentif material kepada para loyalis rezim untuk mengamankan dan melanggengkan loyalitas dan komitmen mereka. Pemberian akses kepada militer untuk terlibat jauh dalam praktek ekonomi dan bisnis merupakan salah satu cara dalam kerangka strategi itu. Dan tampaknya ini merupakan satu model khas manajemen politik Soeharto yang telah dicobanya, dan terbukti efektif, ketika ia masih menjadi komandan militer di tingkat lokal (Malley:106).Kedua, menurut Robison (Robison:10), kedudukan militer yang dominan dalam birokrasi membuat mereka dapat memanfaatkan kekuasaan birokrasi untuk membuka askes ke dalam lingkungan ekonomi dan bisnis. Praktek inilah yang kemudian menegaskan kemunculan secara kuat kelompok borjuasi birokrasi militer dalam masa Orde Baru.Ketiga, keterlibatan militer dalam praktek ekonomi dan bisnis, menurut Muhaimin (Muhaimin, 1990:189), merupakan satu konsekuensi dari tekad Orde Baru untuk mendorong dan memajukan sektor-sektor usaha swasta. Dalam rangka ini militer memang dimobilisasi untuk memainkan peranan dominan dalam perusahaan-perusahaan negara; dan kemudian ternyata meluas pula ke sektor-sektor usaha swasta.Militer dan Rakyat Banyak. Berbeda dengan anggapan banyak analis luar negri bahwa dwi fungsi ABRI sepenuhnya berwajah keras, dalam kenyataannya masyarakat di level terbawah justru melihat dwi fungsi ABRI dalam wajah yang cukup akrab dan ramah. Pandangan masyarakat ini terutama terbentuk mulai akhir tahun 1970-an ketika ABRI berada di bawah kepemimpinan Pangab yang dikenal sangat populis, Jenderal M. Jusuf.M. Jusuf mengintrodusir program kemanunggalan ABRI dan rakyat yang kemudian dikonkretisasi melalui ABRI Masuk Desa (AMD). Dalam perkembangannya kemudian, dijalankan pula operasi-operasi teritorial yang memberi wadah kepada militer untuk ikut serta membantu realisasi program pembangunan, langsung di tingkat bawah dan operasional. Pendekatan militer kepada rakyat banyak tersebut, dapat dikatakan sukses setidaknya dalam beberapa hal ini. Pertama, program-program pendekatan tersebut telah memberikan pengertian kepada masyarakat bawah tentang peran kemasyarakatan militer secara konkret. Kedua, terjadi perapatan jarak sosial antara militer dan masyarakat yang terbukti kemudian sangat bermanfaat dalam mobilisasi pembangunan dan kepatuhan. Ketiga, praktek-praktek koersi yang dilakukan militer dalam menangani berbagai konflik politik, setidaknya terimbangi oleh pendekatan persuasif yang diperlihatkan melalui program-program tersebut, sehingga citra diri militer di mata masyarakat pun menjadi lebih ramah. Keempat, dalam proses jangka panjang program pendekatan tersebut bermanfaat untuk melegitimasikan dwi fungsi ABRI secara berakar.Prospek Dwi Fungsi dan Tuntutan DemokratisasiKeterlibatan militer yang amat luas dalam lapangan politik, ekonomi dan sosial yang direkonstruksi di bagian depan tentu saja membawa konsekuensi politik tersendiri. Secara positif, peran militer telah mewarnai sukses program modernisasi Orde Baru sampai dengan batas-batas tertentu. Modernisasi yang disimplikasi oleh Orde Baru menjadi kebijakan-kebijakan ekonomi pragmatis melibatkan peran militer yang besar terutama dalam rangka menggalang massa rakyat. Segenap kebijakan ekonomi pragmatis yang dirancang kelompok teknokrasi melalui BAPPENAS tidaklah mungkin terealisasi di level terbawah tanpa berjalannya strategi mobilisasi yang digerakkan militer. Mobilisasi militer ini efektif karena tidak saja menimbulkan kepatuhan sekalipun dalam beberapa hal bersifat semu namun lebih jauh juga menimbulkan ketakutan beroposisi di kalangan massa rakyat.Penetrasi militer yang besar dalam birokrasi, Golkar dan elemen supra struktur politik terbukti pula telah mengamankan stabilitas kekuasaan dari waktu ke waktu. Stabilitas kekuasaan dengan militer sebagai penopangnya yang utama ini, kemudian diluaskan pula ke dalam wujud stabilitas nasional (Maswadi, 1988:81) sekalipun bersifat semu dan otokratis.Sumbangan terbesar militer dalam penciptaan stabilitas ini adalah pada kemampuannya dalam melakukan manajemen konflik. Sekalipun konflik-konflik politik yang mengkonfrontasikan negara dengan masyarakat terjadi berkali-kali selama pemerintahan Orde Baru, namun kemampuan militer mengendalikan konflik-konflik politik itu telah meminimalisasi efektivitasnya dalam menggoyahkan kekuasaan negara. Pendekatan keamanan yang dipakai militer terbukti efektif mengamankan keberlangsungan Orde Baru dan pembangunan yang dijalankannya, dan lebih jauh terbukti efektif pula sebagai garansi bagi masuknya bantuan dan inventasi asing. Maka strategi yang dicanangkan Orde Baru sejak awal yaitu memaksimalisasi produktivitas ekonomi dan meminimalisasi konflik politik (Mochtar:23) berhasil diamankan militer secara mengesankan.Dalam kerangka itu, lambat laun keterlibatan militer dalam politik akan dianggap sebagai disfungsional secara etis, sebagaimana kini menjadi gejala di Thailand. Keberadaan militer dalam parlemen, dominasi mereka dalam birokrasi pusat dan lokal, korporatisasi atas Golkar, dan penggunaan cara-cara tekanan dan kekerasan akan menghadapi tantangan yang makin serius. Sulit dihindarkan bahwa reformulasi kebijakan dwi fungsi akan menjadi satu paket penting dalam demokratisasi.Sementara itu, secara empirik kita juga menemukan setidaknya tiga gejala politik yang pada gilirannya akan berpengaruh terhadap masalah status quo dominasi militer dalam politik. Yaitu: adanya respon baru di kalangan elit terhadap praktek dwi fungsi, adanya gejala kenaikan kekuatan masyarakat vis a vis negara; dan adanya dukungan masyarakat global terhadap arus demokratisasi di wilayah-wilayah domestik.Respon baru di kalangan elit ditunjukkan oleh sikap beberapa mantan elit militer dan kalangan cendekiawan yang mempertanyakan praktek dwi fungsi saat ini. Nasution, mendiang T.B. Simatupang dan Soemitro, dapat disebut untuk mewakili kalangan purnawirawan militer yang menginginkan reformulasi kebijakan dwi fungsi (Nasution, 1991:103). Sementara Arbi Sanit, Prof. Miriam Budiardjo, dan Arief Budiman, adalah beberapa saja kalangan cendekiawan yang memiliki aspirasi kurang lebih serupa (Arief, 1992:12).Respon baru ini bertitik tolak dari satu atau dua beberapa argumen berikut ini. (1) Praktek dwi fungsi yang luas saat ini sudah keluar dari ide dasar keterlibatan militer yang dirumuskan secara ideal oleh Nasution; (2) krisis ekonomi dan politik yang melegitimasikan peranan politik militer Orde Baru saat ini sudah lewat, sehingga sudah sepantasnya jika terjadi pula penurunan kualitas peranan politik militer; dan (3) dalam beberapa hal, praktek dwi fungsi ternyata terbukti berbenturan dengan upaya penumbuhan demokrasi.Sementara yang dimaksudkan dengan gejala kenaikan kekuatan masyarakat adalah tumbuhnya komunitas-komunitas kritis baru di dalam masyarakat Orde Baru. Secara amat kasar kita dapat memilah komunitas ini ke dalam dua kelompok besar: masyarakat periferal, dan kelas menengah baru. Kritisme komunitas ini ditumbuhkan oleh satu atau beberapa sebab berikut ini: ketertekanan sosial, ekonomi dan ideologi yang mereka terima selama dua dasa warsa lebih pemerintahan Orde Baru; naiknya taraf kehidupan ekonomi mereka sebagai salah satu hasil pembangunan Orde Baru yang konkret; dan makin tumbuhnya kesadaran politik mereka dalam kaitan dengan dua faktor terdahulu. Sebagaiman ditunjukkan oleh Arief Budiman (Arief, 1992:4), komunitas ini memiliki tuntutan yang sama: demokratisasi.Regenerasi dalam Tubuh MiliterDiskusi tentang prospek dwi fungsi ABRI, selain melibatkan faktor menaiknya tuntutan demokratisasi yang dibahas di depan, juga dapat dikaitkan dengan terjadinya regenerasi di kalangan militer. Sejak pertengahan dekade 1980-an regenerasi di kalangan militer memang berjalan dengan sangat intensif, sehingga keseluruhan kepemimpinan militer mulai saat ini telah diisi oleh militer pasca angkatan 45. Regenerasi ini benar-benar tuntas tatkala pada 19 Desember 1988, para perwira terakhir dari militer angkatan 45 dipurnakaryakan di Lembah Tidar (Julius, 1992:1-16).Terdapat perbedaan latar belakang kultural dan pengalaman sosial yang tegas antar militer generasi 45 dengan militer angkatan baru. Militer generasi 45 yang terdiri dari bebas tentara KNIL, bekas tentara PETA dan para pemuda dan pelajar yang menggabungkan diri dalam tentara-tentara pelajar umumnya berasal dari kelompok masyarakat priyayi. Secara kultural mereka sangat dipengaruhi oleh patrimonialisme dan paternalisme (Yahya, 1988:104). Latar belakang kultural semacam ini terutama sangat terlihat pada kalangan perwira. Lebih jauh, militer generasi 45 ini juga dibentuk oleh pengalaman sosial mereka yang khas; berupa pengalaman revolusi fisik di awal kemerdekaan yang mengesankan secara sangat kuat dan konkret kemanunggalan antara pejuang tentara-tentara dengan rakyat.Secara umum, militer generasi 45 ini dilingkupi oleh pengalamannya yang sangat khas. Mereka mengabdikan dirinya kepada angkatan bersenjata bukan sebagai sebuah badan militer profesional, melainkan sebagai sebuah badan perjuangan. Kenseukensinya, mereka secara intens terlibat dalam persoalan-persoalan politik semenjak kemerdekaan, dan persoalan-persoalan ekonomi terutama semenjak tahun 1957 (Crouch, 1980:20).Berbeda dengan militer generasi 45, militer pascagenerasi 45 berasal dari latar belakang sosial yang lebih heterogen. Unsur kepriyayian tidak lagi signifikan untuk menandai perwira militer generasi baru ini, sehingga secara teoritis, mereka memiliki sikap kultural yang beragam. Dari sudut pengalaman sosial, generasi baru ini juga tidak menjadi saksi sejarah kemanunggalan pejuang-tentara dengan rakyat di masa revolusi. Mereka lebih dibentuk oleh pengalaman pendidikan militer yang mengarah pada pengenalan profesionalisme militer (Muhaimin:104-105).Mencermati keadaan peralihan generasi seperti itu, maka secara teoritis (Huntington, 1985:133-134), latar belakang kultural, interaksional dan konteks sejarah yang melekat pada dan melingkupi generasi baru militer semestinya membawa pula persepsi peran dan sikap terhadap persoalan kemasyarakatan yang berbeda dengan generasi pendahulu mereka. Hal inikah yang kita lihat dalam kenyataan empirik?Tampaknya tidak mudah untuk menjawab ya. Peralihan generasi di kalangan militer tentu saja tidak bisa dilihat hanya dari konteks perbedaan sosial dan historis antargenerasi, sebagaimana seringkali dilakukan untuk memahami regenerasi di kalangan sipil. Peralihan generasi dalam tubuh militer juga melibatkan faktor identitas kolektif militer sebagai sebuah organisasi yang kaku, tersentralisasi dan direktif.

BAB 7Transisi Pembangunan dan Masa Depan Kemanunggalan ABRI-Rakyat

Dinamika MasyarakatTransisi dan masa depan pembangunan pertama-tama akan ditandai oleh terjadinya dinamika kultur dan struktur masyarakat. Dalam kaitan dengan diskursus mengenai masa depan kemanunggalan ABRI dengan rakyat, sekurang-kurangnya, ada empat wujud dinamika masyarakat yang harus dicermati. Yaitu: (1) terjadinya transisi demografi beserta dampak-dampak sosial, politik, dan ekonomi yang menyertainya: (2) terjadinya transformasi struktural di bidang ekonomi, pendidikan dan konsumsi informasi; (3) semakin menggejalanya industrialisme; dan (4) semakin konkretnya persoalan dan tantangan urbanisme.Transformasi Struktural di Bidang Ekonomi, Pendidikan dan Konsumsi Informasi. Masa depan pembangunan juga akan ditandai oleh makin mengesankannya transformasi struktural di bidang ekonomi, pendidikan dan konsumsi informasi sebagai hasil konkret pembangunan yang sudah dijalankan selama ini.Di bidang ekonomi (Sjahrir, 1992), prestasi Orde Baru dalam menggerakkan laju pertumbuhan ekonomi, meningkatkan pendapatan per kapita penduduk, dan mengurangi (presentase) penduduk miskin merupakan beberapa catatan yang dapat sedikit banyak menggambarkan berjalannya transformasi struktural.Laju pertumbuhan ekonomi yang berhasil dicapai selama lebih dari dua dasa warsa Orde Baru merupakan angka yang relatif menggembirakan: rata-rata 6,02% dalam lima Pelita yang sudah dan sedang berjalan (Soemitro, 1989). Hampir semua kalangan sepakat bahwa dengan memperhitungkan kapabilitas pengambil kebijakan ekonomi Orde Baru yang didukung kenyataan-kenyataan objektif perkembangan perekonomian laju pertumbuhan yang relatif tinggi tersebut akan dapat dipertahankan secara konsisten di masa depan.Proyeksi data pendapatan per kapita penduduk adalah sama menggembirakannya. Dalam rentang waktu 24 tahun dari 1967-1991 pendapatan per kapita penduduk beranjak dari US $ 75 menjadi US $ 570 (Soemitro, 1989:66), maka menurut proyeksi Bank Dunia angka itu akan makin beranjak di tahun 2000 hingga menjadi US $ 1.000 (Swa Sembada, 1993:4).Perkembangan progresif dalam kualitas perekonomian masyarakat juga terlihat melalui pengurangan penduduk miskin dari waktu ke waktu. Pada tahun 1976 masih terdapat 40,09% penduduk miskin dari total sekitar 135 juta penduduk; pad