pendahuluan ekologi perairan

22
1. PENDAHULUAN Latar Belakang Proses interaksi atau hungan timbal balik anatara manusia dengan lingkungan, manusia dengan makhliuk lain, ataupun makhluk lain dengan makhluk lainnya disebut ekosistem (Siahaan,2004) . Ekosistem sungai merupakan suatu kumpulan integral dari berbagai komponen abiotik (fisika-kimia) dan biotik (organisme hidup) yang berkaitan satu sama lain dan saling berinteraksi membentuk suatu unit fungsional. Perairan sungai merupakan tempat yang memiliki peran penting bagi makhluk hidup. Keberadaan ekosistem sungai dapat memberikan manfaat bagi makhluk hidup, baik yang hidup di dalam sungai maupun yang ada di sekitarnya (Salmin,2005). Sungai serayu merupakan salah satu sungai terbesar di pulau jawa terletak dibagian tengah pulau. Sungai serayu melintasi beberapa kabupaten di Provinsi Jawa Tengah yang melalui kabupaten Wonosobo, Banjarnegara, Purbalingga, Banyumas, Cilacap (Junardi,2014). Daerah sungai merupakan air yang mengalir dan membawa berbagai kebutuhan hidup manusia dan mahluk lainnya yang merupakan bagian dari ekosistem air tawar. Meski luasan sungai dan jumlah air yang mengalir yang didalamnya sangat sedikit, jika dibandingkan dengan luas dan jumlah air laut, namun sungai mempunyai peranan penting secara langsung bagi kehidupan manusia dan mahluk hidup di sekitarnya. Sungai terbagi menjadi tiga bagian yaitu hulu, tengah, dan hilir (Odum, 1973). Pola longitudinal sungai merupakan pola aliran sungai serayu yang searah dari hulu ke hilir, dimana terdapat beberapa faktor fisikokimia air yang dapat mempengaruhi kehidupan biota (ikan) di dalamnya. Perubahan dari pola longitudinal ekosistem sungai dari hulu kehilir sangat dipengaruhi oleh suhu, kecepatan arus, dan pH. Pola longitudinal adalah pola memanjang dari bagian hulu, tengah dan hilir sungai. Pola ini digunakan di suatu perairan yang mengalir seperti sungai dan berfungsi untuk mengetahui perubahan faktor fisika kimia suatu lingkungan perairan dan mengetahui organisme yang hidup di perairan tersebut (Odum, 1996). Oleh karena itu, untuk mengetahui pola longitudinal dari sungai serayu maka perlu diketahui atau diamati faktor-faktor

Upload: pt-sasa

Post on 17-Jan-2017

30 views

Category:

Education


0 download

TRANSCRIPT

Page 1: Pendahuluan ekologi perairan

1. PENDAHULUAN

Latar Belakang

Proses interaksi atau hungan timbal balik anatara manusia dengan lingkungan, manusia dengan makhliuk lain, ataupun makhluk lain dengan makhluk lainnya disebut ekosistem (Siahaan,2004) . Ekosistem sungai merupakan suatu kumpulan integral dari berbagai komponen abiotik (fisika-kimia) dan biotik (organisme hidup) yang berkaitan satu sama lain dan saling berinteraksi membentuk suatu unit fungsional. Perairan sungai merupakan tempat yang memiliki peran penting bagi makhluk hidup. Keberadaan ekosistem sungai dapat memberikan manfaat bagi makhluk hidup, baik yang hidup di dalam sungai maupun yang ada di sekitarnya (Salmin,2005).

Sungai serayu merupakan salah satu sungai terbesar di pulau jawa terletak dibagian tengah pulau. Sungai serayu melintasi beberapa kabupaten di Provinsi Jawa Tengah yang melalui kabupaten Wonosobo, Banjarnegara, Purbalingga, Banyumas, Cilacap (Junardi,2014). Daerah sungai merupakan air yang mengalir dan membawa berbagai kebutuhan hidup manusia dan mahluk lainnya yang merupakan bagian dari ekosistem air tawar. Meski luasan sungai dan jumlah air yang mengalir yang didalamnya sangat sedikit, jika dibandingkan dengan luas dan jumlah air laut, namun sungai mempunyai peranan penting secara langsung bagi kehidupan manusia dan mahluk hidup di sekitarnya. Sungai terbagi menjadi tiga bagian yaitu hulu, tengah, dan hilir (Odum, 1973).

Pola longitudinal sungai merupakan pola aliran sungai serayu yang searah dari hulu ke hilir, dimana terdapat beberapa faktor fisikokimia air yang dapat mempengaruhi kehidupan biota (ikan) di dalamnya. Perubahan dari pola longitudinal ekosistem sungai dari hulu kehilir sangat dipengaruhi oleh suhu, kecepatan arus, dan pH. Pola longitudinal adalah pola memanjang dari bagian hulu, tengah dan hilir sungai. Pola ini digunakan di suatu perairan yang mengalir seperti sungai dan berfungsi untuk mengetahui perubahan faktor fisika kimia suatu lingkungan perairan dan mengetahui organisme yang hidup di perairan tersebut (Odum, 1996). Oleh karena itu, untuk mengetahui pola longitudinal dari sungai serayu maka perlu diketahui atau diamati faktor-faktor fisikokimia air dari hulu sampai ke hilir. Perlu juga mengamati skor fisik habitatnya (Odum, 1996).

Tujuan

Tujuan praktikum ekologi perairan Pola Longitudinal Sungai adalah sebagai berikut :

1. Mengetahui kandungan oksigen terlarut, kecepatan arus, konduktivitas, pH, temperatur, BOD, kejernihan air, substrat dasar.

2. Mengetahui faktor fisikokimia yang mana yang menunjukkan pola longitudinal.

 

 

 

Page 2: Pendahuluan ekologi perairan

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

1. TINJAUAN PUSTAKA o Ekosistem

Ekosistem adalah kumpulan dari komunitas beserta faktor biotik (tumbuhan, hewan dan manusia) dan abiotik (suhu, iklim, senyawa-senyawa organik dan anorganik). Menurut Undang-Undang Lingkungan Hidup (UULH) tahun 1982 ekosistem adalah tatanan kesatuan secara utuh menyeluruh antara segenap unsur lingkungan hidup yang saling mempengaruhi. Ekosistem merupakan tingkat yang lebih tinggi dari komunitas atau merupakan kesatuan dari suatu komunitas dengan lingkungannya di mana terjadi hubungan antar keduanya (Irwan, 1992).

Sungai

Sungai adalah aliran air yang mengalir di permukaan bumi yang berasal dari air hujan, mata air yang berkumpul pada satu jalur kemudian mengalir ke tempat yang lebih rendah sampai menuju laut. Mengalirnya air menuju laut dipengaruhi oleh beberapa faktor, seperti bentuk topografi dari sungai tersebut, kecepatan arus, kedalaman dan kelebaran. Perubahan dari pola longitudinal ekosistem sungai dari hulu kehilir sangat dipengaruhi oleh suhu, kecepatan arus, dan pH (Odum, 1996).

Sungai memiliki dua daerah (zona) utama, yaitu:

Page 3: Pendahuluan ekologi perairan

1. Zona Air Deras:   Daerah yang dangkal di mana kecepatan arus cukup tinggi untuk menyebabkan dasar sungai bersih dari endapan dan materi lainnya, sehingga dasarnya padat, zona ini dihuni oleh benthos yang beradaptasi khusus atau organisme perifitik yang dapat melekat atau berpegangan kuat pada dasar sungai dan ikan perenang kuat.

2. Zona Air Tenang: Bagian air yang dalam dimana kecepaan arus telah berkurang, maka lumpur dan materi yang berada dalam air cenderung mengendap pada dasar perairan, sehingga dasarnya lunak dan tidak sesuai untuk benthos permukaan tapi cocok untuk penggali nekton dan beberapa plankton (Odum, 1996)

Parameter Fisikokimia Perairan Sungai o Oksigen terlarut (DO)

Oksigen terlarut yang terkandung di dalam air, berasal dari udara dan hasil proses fotosintesis tumbuhan air. Oksigen diperlukan oleh semua mahluk yang hidup di air seperti ikan, udang, kerang dan hewan lainnya termasuk mikroorganisme seperti bakteri. Kadar oksigen yang terlarut bervariasi tergantung pada suhu, salinitas, turbulensi air, dan tekanan atmosfer. Peningkatan suhu sebesar 1oC akan meningkatkan ,konsumsi oksigen sekitar 10. Menurut Suharsono (1990 dalam Lisanty, 2000) kadar oksigen terlarut minimum yang dibutuhkan untuk mendukung kehidupan organisme akuatik secara normal adalah 2 ppm dengan catatan di dalam perairan tidak terdapat persenyewaan beracun.

Biological Oxygen Demand (BOD)

BOD sebagai suatu ukuran jumlah oksigen yang digunakan oleh populasi mikroba yang terkandung dalam perairan sebagai respon terhadap masuknya bahan organik yang dapat diurai. Dari pengertian-pengertian ini dapat dikatakan bahwa walaupun nilai BOD menyatakan jumlah oksigen, tetapi untuk mudahnya dapat juga diartikan sebagai gambaran jumlah bahan organik mudah urai (biodegradable organics) yang ada di perairan (Mays, 1996).

Temperatur

Suhu merupakan faktor pembatas terhadap pertumbuhan dan penyebaran suatu spesies, karena suhu mempengaruhi metabolisme dalam tubuh spesies tersebut. Suhu optimum untuk pertumbuhan organisme berkisar antara 26-27oC (Methew, 1975 pada Fitri 2006 ).

Derajat keasaman air (pH)

Menurut Sukmeri (2002) derajat keasaman menunjukkan konsentrasi ion H+dalam larutan. pH air yang memenuhi syarat untuk kehidupan organisme berkisar antara 6,5-8. Perubahan pH badan air sangat menganggu kehidupan tumbuhan, hewan dan organisme pengurai yang hidup di dalam badan air tersebut (Moersidik, 1998). pH optimum untuk kehidupan plankton berkisar antara 5,5-8,5 (Welch, 1980).

Lebar Sungai

Page 4: Pendahuluan ekologi perairan

Lebar adalah jarak antara sisi yang kiri dengan sisi yang kanan. Lebar sungai sangatlah dipengaruhi oleh riparian vegetation yang menjaga terjadinya pengikisan Konduktivitas air yang baik bagi kehidupan suatu mahluk hidup di perairan  yaitu di bawah 400μs. Konduktivitas perairan yang melebihi atau diatas 400μs mahluk hidup atau organisme yang hidup di perairan akan stress dan akan mati. Jika di perairan sungai terdapat banyak partikel maka hantaran listrik tinggi (Ewuise, 1990).

Kejernihan Air

Kejernihan merupakan faktor yang penting dalam suatu perairan. Kecerahan menunjukan suatu tingkat kejernihan aliran air yang diakibatkan oleh unsur-unsur sedimen baik yang bersifat mineral atau organik. Kejernihan air digunakan sebagai indikator kemampuan air dalam meloloskan cahaya yang jatuh diatas badan air. Semakin besar tingkat kejernihan suatu perairan, semakin besar kemampuan bagi vegetasi akuatik untuk melakukan fotosintesis (Asdak, 2007).

KecepatanArus

Kecepatan arus merupakan faktor yang sangat penting karena sebagai faktor pembatas utama pada aliran arus deras. Kecepatan aliran arus tergantung pada kecuraman gradient, halus kasarnya dasar sungai, lebarnya perairan, kedalaman perairan, kemiringan, kekasaran, kedalaman, kelebaran sungai dan suply air.Kecepatan arus pada sungai dikelompokkan atas tiga kategori, yaitu cepat, bila kecepatan arus berkisar antara 0,5-1 m/dt, sedang bila kecepatan arus berkisar antara 0,25-0,49 m/dt dan lambat bila kecepatan arus berkisar antara 0,1-24 m/dt (Welch, 1980).

Substart Dasar

Substrat dasar adalah kondisi dasar dari perairan yang menjadi tempat tinggal bagi benthos dan menjadi kisaran toleransi bagi beberapa makhluk hidup. Setiap ekosistem tergantung dan dapat dipengaruhi oleh faktor-faktor tempat, waktu dan masing-masing membentuk basis-basis perbedaan diantara ekosistem itu sendiri sebagai pencerminan sifat-sifat yang khas (Odum, 1996). Substrat dasar termasuk faktor yang mempengaruhi keberadaan organisme. Substrat ini merupakan bagian dasar perairan yang terdiri dari batuan besar, kerikil lumpur, tanah liat berpasir. Substrat dasar berupa batu besar, kerikil biasanya banyak ditemukan didaerah hulu yang ditempati oleh banyak organisme. Hal ini disebabkan oleh bentuk topografi dari sungai tersebut, dimana arus deras biasanya membawa endapan-endapan pada dasar sungai. Sedangkan substrat dasar yang berupa lumpur, tanah liat berpasir biasanya ditemukan didaerah hilir yang ditempati oleh sedikit organisme (Hawkins, 1979).

Konduktivitas

Konduktivitas air yang baik bagi kehidupan suatu mahluk hidup di perairan yaitu di bawah 400μs. Konduktivitas perairan yang melebihi atau diatas 400μs mahluk hidup atau organisme yang hidup di perairan akan stress dan mati. Jika di perairan sungai terdapat banyak partikel maka hantaran listrik tinggi (Ewuise, 1990).

Page 5: Pendahuluan ekologi perairan

Skor Fisik Habitat

Skor fisik habitat adalah nilai dari kondisi yang terdapat pada suatu lingkungan habitat sungai tertentu. Dari nilai fisik tersebut dapat diperoleh bagaimana kondisi pada lingkungan tersebut, apakah lingkungan tersebut dalam keadaan Sub optimal, optimal, marginal atau poor (buruk) bagi organisme yang hidup didalamnya maupun yang ada disekitar sungai tersebut (Efendie, 2003)

MATERI DAN METODE o Materi

Alat

Alat yang digunakan dalam praktikum ini adalah botol winkler, termometer, kertas pH, tongkat penduga, pipet tetes, spluit, labu erlenmeyer, gelas ukur, keping secchii, tali rafia, Konduktivitimeter, dan tabel Barbour dan Stribling, dan alat tulis.

Bahan

Bahan yang digunakan dalam praktikum ini adalah air sungai yang diukur kondisi fisikokimia beberapa stasiun sungai, akuades, MnSO4, KOH-KI, H2SO4 pekat, dan Na2S2O3.

Metode o Dissolved Oxygen (DO)

Sampel air diambil menggunakan botol wingkler sebanyak 250ml tanpa ada gelembung. Tambahkan larutan MnSO4, KOH-KI masing-masing 1 ml menggunakan pipet tetes, biarkan hingga terbentuk endapan. Tambahkan larutan H2SO4 ke dalam botol kemudian dikocok sampai endapan larut. Kemudian di ambil sebanyak 100ml dan masukan ke labu Erlenmeyer. Setelah itu di titrasi dengan larutan Na2S2O3 (0,025n) sampai larutan berwarna kuning muda. Selanjutnya tambahkan indikator amilum 3 tetes hingga berwarna biru. Kemudian di titrasi kembali dengan larutan Na2S2O3 (0,025n) hingga warna biru hilang.

Rumus perhitungannya:

Oksigen terlarut = 1000/100 x p x q x 8

p : volume larutan Na2s2O3

q : normalitas larutan

8 : bobot setara larutan

Pengukuran Biological Oxygen Demand (BOD)(MetodeWinkler)

Pengukuran BOD dilakukan berdasarkan metode Winkler (APHA, 1985) yaitu sampel dimasukkan ke dalam dua botol Winkler volume 250 ml sampai penuh. Botol Winkler pertama

Page 6: Pendahuluan ekologi perairan

segera diperiksa kandungan oksigennya (DOo hari), sedangkan botol Winkler kedua diinkubasi selama 5 hari pada suhu 20 oC. Setelah inkubasi 5 hari, diperiksa kandungan oksigennya (DO5 hari). Untuk pengukuran blanko, prosedur kerja sama seperti pada sampel.

Kandungan BOD dapat dihitung dengan rumus :

Keterangan :

A0 : Oksigen terlarut sampel pada nol hari

A5 : Oksigen terlarut sampel pada lima hari

S0 : Oksigen terlarut blanko pada nol hari

S5 : Oksigen terlarut blanko pada lima hari

T   : persen perbandingan antara A0 : S0

P   : derajat pengenceran

Pengukuran Temperatur

Pengukuran temperatur dilakukan dengan cara mencelupkan termometer pada perairan, tunggu sampai beberapa menit sampai pengukuran pada termometer stabil dan tidak berubah-ubah, pengukuran ini dilakukan di tiga titik (pinggir, tengah, pinggir). Hasil temperatur dari ke tiga titik tersebut dirata- ratakan.

Pengukuran Derajat keasaman air (pH)

Pengukuran pH pada air sungai yaitu dengan mengabil sampel air sungai pada botol, selanjutnya memasukan kertas pH pada botol sempel air. Perubahan warna yang terjadi pada kertas lakmus kemudian disamakan dengan warna skala pH yang tercantum.

Pengukuran Lebar Sungai

Lebar sungai diukur dengan menggunakan alat rolling meter. Apabila pengukuran lebar sungai tidak memungkinkan maka dilakukan estimasi.

Pengukuran Kedalaman Sungai

Kedalaman sungai diukur dengan dilakukan pengukuran pada tiap 2 m lebar sungai dengan tongkat penduga yang telah diberi skala panjang.

Pengukuran Kejernihan air

Page 7: Pendahuluan ekologi perairan

Masukkan Keping Secchii ke dalam air. Ukurlah kedalaman samapai batas antara hitam dan putih tak dapat dibedakan. Jika sampai dasar sungai masih dapat dibedakan, catatlah kedalaman sampai dasar tersebut.

Pengukuran Kecepatan Arus

Pengukuran kecepatan arus menggunakan metode apung. Botol yang berisi air setengah atau sepertiga dari ukuran botol kemudian di ikat dengan tali rafia sepanjang 10 meter. Setelah diikat botol tersebut dilemparkan ke sungai. Catat waktu yang dibutuhkan botol tersebut untuk hanyut dibawa oleh arus sungai sejauh 10 meter.

Pengukuran Substart Dasar

Pengukuran kecepatan arus menggunakan metode apung. Botol yang berisi air setengah atau sepertiga dari ukuran botol kemudian di ikat dengan tali rafia sepanjang 10 meter. Setelah diikat botol tersebut dilemparkan ke sungai. Catat waktu yang dibutuhkan botol tersebut untuk hanyut dibawa oleh arus sungai sejauh 10 meter (lihat tabel kategori).

Pengukuran Konduktivitas dan Salinitas

Dengan menggunakan conductivitymeter ukurlah daya hantar listrik dan salinitas perairan

Pengukuran Skor Fisik Habitat

Dengan menngunakan Tabel Barbour dan Stribling, lakukan perhitungan skor fisik habitat tiap stasiun pengamatan:

Tabel 1.Kriteria Penilaian Kondisi Fisik Habitat Barbour danStribling

Habitat parameter

Optimal

SKOR: 20

Suboptimal

SKOR: 15

Marginal

SKOR: 10

Poor

SKOR: 5

Substrat dasar

Lebih dari 60% dasar perairan terdiri atas kerikil, batu, cadas dengan porsi yang kurang lebih sama.

30-60% dari dasar perairan berupa bebatuan atau cadas didominasi oleh salah satu kelas ukuran tersebut.

10-30% merupakan salah satu materi yang besar tetapi lumpur atau pasir

70-90% mendominasi substrat dasar.

Substrat didominasi oleh lumpur dan pasir kerikil dan materi yang besar <10%.

Kekomplek

kan habitat

Berbagai macam tipe kayu pohon, cabang, tumbuhan

Substrat cukup bervariasi. Segmen sungai

Habitat didominasi 1 atau 2 macam

Habitat monoton pasir dan lumpur

Page 8: Pendahuluan ekologi perairan

akuatik, terdapat pada segmen sungai membentuk habitat yang bervariasi. Segmen sungai tertutup kanopi.

cukup terlindungi.

substrat, Tumbuhan tepi yang dinaungi segmen sungai sedikit.

menyebabkan habitat tidak bervariasi.

Kualitas bagian menggenang

25% dari bagian yang menggenang sama atau lebih lebar dari setengah lebar sungai, kedalaman >1m.

<5% bagian yang menggenang kedalamannya >1m dan lebih ½ lebar sungai. Umumnya bagian yang dalam ini lebih kecil dari setengah sungai dan kedalamannya > 1m.

<1% bagian yang menggenang kedalamannya >1m dan lebih lebar sungai bagian yang menggenang ini mungkin sangat dalam/ dangkal. Habitat tidak bervariasi.

Bagian yang menggenang kecil dan dangkal bahkan mungkin tidak terdapat bagian yang menggenang.

Kestabilan tepi sungai

Tidak pernah ada bukti-bukti bahwa tempat tersebut pernah terjadi erosi atau berpotensi erosi.

Jarang terjadi bagian tepi yang gugur, kemungkinan gugur ada tetapi rendah.

Bagian tepi ada ynag mengalami erosi pada saat banjir.

Bagian tepi tidak stabil, sering terjadi erosi.

 

Waktu dan Tempat Praktikum

Praktikum ini dilaksanakan pada hari Minggu – Senin, tanggal 2-3 Nopember 2014 di sepanjang daerah aliran sungai (DAS) Serayu dari hulu ke hilir.

Analisis Data

Analisis yang dilakukan menggunakan perbandingan hasil dari sungai-sungai tersebut. Penyajian data dari tiap parameternya ditunjukkan dengan grafik.

 

 

 

 

Page 9: Pendahuluan ekologi perairan

 

 

 

 

 

1. HASIL DAN PEMBAHASAN o Hasil Pengamatan KondisiFisikokimiaEkosistem Sungai (Pola Longitudinal

Das Serayu)

 

Tabel 2. KondisiFisikokimiaEkosistem Sungai (Pola Longitudinal DAS Banjaran)

FaktorFisiko Kimia

StasiunTemperatur

(˚C)

Kecatan

Arus

Konduk

tivity

(mmhos)

pH

Lebar

Sungai

(m)

Oksigen BOD

Tipe

Subs-

trat

Skor

Fisik

habitat

Kedalaman

(cm)Kecerahan

Kejajar 24 0,63-0,77 97 7 6,5 7 2,2Pasir, Krikil, Batu

65 23 8,30

Garung 22 0,625- 0,714 99 7 17 5 1,9 Batu 80 60 22,5

Prigi 27 0,303- 1,66 102 6 32 6,5 1,3

Pasir, Krikil, Batu

55 35,67 34

Singomerto 26,3 0,2985 116 7 50 7 2,1 Ber-batu 65 50,8 50,8

Mrican 26 0,357 160 6 18 5,3 3,4 Batu , Krikil 60 88,3 41

Mandiraja 28,3 0,67 – 1,67 114 7 85 6 1,9

Krikil,

Batu55 40 28,5

Kembangan 27,2 0,595 110 7 44 5,6 2,7Ber-

Batu63 50,9 50,9

Cowakan semar

29 0,1-0,2 124 7 32 5,2 2,6 Lump-ur ,

50 45,5 20

Page 10: Pendahuluan ekologi perairan

Pasir

 

 

 

 

 

Pembahasan

Dissolved Oxygen (DO)

Hasil praktikum pada pengukuran DO di sungai dapat dilihat pada grafik dibawah ini

Gambar 1. Grafik DO

Dari hasil pengukuran oksigen terlarut diberbagai stasiun hasilnya bervariansi. Kandungan oksigen tertinggi terdapat di Stasiun Singomerto, dan Kejajar yaitu 7. Kandungan oksigen terendah terdapat di Stasiun Garung yaitu 5. Ketidakstabilan oksigen disetiap sungai atau stasiun disebabkan karena perbedaan temperatur dan rendah tingginya curah hujan. Kandungan oksigen yang terlarut yang paling rendah pada ke empat Stasiun adalah 5ppm. Hal ini menunjukan bahwa sungai-sungai tersebut belum tercemar. Sesuai dengan pernyataan (Swingle, 1968) bahwa kandungan oksigen terlarut (DO) minimum adalah 2 ppm dalam keadaan normal dan tidak tercemar oleh senyawa beracun (toksik).

Biological Oxygen Demand (BOD)

Hasil praktikum pada pengukuran BOD di sungai dapat dilihat pada grafik dibawah ini :

Gambar 2. Grafik BOD

Hasil pengukuran BOD pada grafik diatas mendapatkan hasil Sungai kejajar 2,2 mg/l, Garung 1,9 mg/l, Prigi 1,3 mg/l, Singomerto 2,1 mg/l, Mrican 3,4 mg/l, Mandiraja 1,9 mg/l, Kembangan 2,7 mg/l, Cowakansemar 2,6 mg/l. Stasiun yang memiliki nilai BOD tertinggi adalah Stasiun Mrican yaitu 3,4, dan Stasiun yang memiliki nilai BOD terendah adalah Stasiun Prigi yaitu 1,3.

Biological Oxigen Demand (BOD) adalah suatu karakteristik yang menunjukkan jumlah oksigen terlarut yang diperlukan oleh mikroorganisme (biasanya bakteri) untuk mengurai atau mendekomposisi bahan organik dalam kondisi aerob. Kadar BOD untuk mendukung kehidupan ikan air tawar berkisar 3 – 6 ppm (Milan, 2009). Faktor-faktor yang mempengaruhi BOD adalah jumlah senyawa organik yang diuraikan, tersedianya mirkoorganisme aerob dan tersedianya sejumlah oksigen yang dibutuhkan dalam proses penguraian tersebut (Barus, 2002).

Page 11: Pendahuluan ekologi perairan

Temperatur

Hasil praktikum pada pengukuran temperatur di sungai dapat dilihat pada grafik dibawah ini :

Gambar 3. Grafik Temperatur

Pengukuran temperatur pada beberapa stasiun memiliki hasil yang berbeda-beda. Hasil pengukuran temperatur Berdasarkan grafik diatas adalah Stasiun Kejajar (24˚C), Garung (22˚C), Prigi (27˚C), Mrican (26˚C), Singomerto (26,3˚C), Mandiraja (28,3˚C), Kembangan (27,2˚C), Cawakansemar (29˚C). Dari data tersebut data dilihat bahwa stasiun yang memiliki temperatur tertinggi adalah Stasiun Cawakansemar mencapai 29˚C, dan temperatur terendah adalah Stasiun Garung sekitar 22˚C. Temperatur air yang berada hulu sungai lebih rendah karena berada didaratan tinggi yang suhunya dingin, dari pada suhu air di hilir sungai yang sangat tinggi karena berada didaratan rendah yang suhunya panas.

Pola temperature ekosistem air dipengaruhi oleh berbagai faktor seperti intensitas cahaya matahari, pertukaran panas antara air dengan udara sekelilingnya, ketinggian geografis dan juga oleh faktor kanopi (penutup oleh vegetari) dari pepohonan yang tumbuh sel tepi . Temperatur yang stabil dalam perairan adalah 25°C- 30°C. Temperatur optimum yang layak untuk kehidupan organisme yaitu 25°C-28°C (Barus, 2002).

Derajat keasaman air (pH)

Hasil praktikum pada pengukuran pH di sungai dapat dilihat pada grafik dibawah ini :

Gambar 4. Grafik pH

Berdasarkan hasil dari grafik pengukuran pH di sungai, ke delapan Stasiun tersebut memperoleh nilai pH yaitu 6 dan 7. Stasiun Kejajar, Garung, Singomerto, Mandiraja, Kembangan, Cowakensemar ber-pH 7 dan Sungai Prigi, dan Kembangan ber-pH 6. Berarti stasiun tersebut memiliki sifat netral, tidak terlalu asam dan tidak terlalu basa. Dengan demikian ke empat stasiun tersebut dapat dinyatakan normal sehingga dapat memungkinkan ikan untuk hidup, Semakin tinggi nilai pH, semakin tinggi pula nilai alkalinitas dan semakin rendah kadar karbondioksida bebasnya (Effendi, 2003).

Lebar Sungai

Hasil praktikum pada pengukuran lebar sungai di sungai dapat dilihat pada grafik dibawah ini :

Gambar 5. Grafik Lebar Sungai

Pada pengukuran lebar sungai memperoleh hasil Stasiun Mandiraja memiliki ukuran stasiun yang paling lebar, sedangkan stasiun yang kurang lebar adalah Stasiun Garung. Lebar bagian hulu sungai sempit dan melebar pada bagian hilir sungai. Semakin panjang dan lebar ukuran sungai semakin banyak pula jumlah biota yang menempatinya.Keanekaragaman dan kelimpahan biota juga ditentukan oleh karakteristik habitat perairan (Kottelat et al, 1996).

Page 12: Pendahuluan ekologi perairan

Kedalaman Sungai

Hasil praktikum pada pengukuran kedalaman sungai dapat dilihat pada grafik dibawah ini :

Gambar 6. Grafik Kedalaman Sungai

Berdasarkan grafik hasil pengukuran kedalaman sungai adalah, stasiun yang paling dalam yaitu Stasiun Mrican dengan kedalaman 88,3 cm. Dan Stasiun yang dangkal adalah Stasiun Kejajar yaitu 23 cm. Kondisi kedalaman sungai apabila semakin ke daerah hilir maka kedalaman sungai tersebut semakin dalam, karena kedalam daerah hilir di pengaruhi oleh beberapa faktor seperti, daerah hilir merupakan tempat dilaluinya tampungan air dari daerah hulu serta substrat di daerah hilir sudah mulai terkikis (Efendie, 2003). Kedalaman suatu perairan dapat mempengaruhi kelimpahan atau kehidupan organisme. Jika perairan kedalaman nilainya kecil berarti kelimpahan sepesies rendah dan tinggi, tetapi jika kedalaman nilainya sedang kelimpahan organisme banyak (Asdak, 2007).

Kejernihan Air

Hasil praktikum pada pengukuran kejernihan air di sungai dapat dilihat pada grafik dibawah ini :

Gambar 7. Grafik Kejernihan Air

Hasil dari pengukuran kejernihan air adalah, stasiun yang miliki tingkat kejernihan yang paling tinggi adalah Stasiun Singomerto dan Kembangan. Kedua sungai tersebut memiliki kejernihan yang baik, karena masih terlihat sampai dasar sungai. Stasiun yang tingkat kejernihan air yang rendah adalah Stasiun Kejajar.

Tingkat kecerahan disebabkan oleh kandungan substrat dasar yang berupa kerikil, batu-batuan, dan memiliki arus yang cukup deras untuk membawa materi dan endapan-endapan yang berada pada dasar sungai. Tingkat kekeruhan air yang rendah disebabkan oleh kandungan substrat dasar yang berupa lumpur, partikel yang mengendap dan arus yang rendah kecerahan. Pengukuran kejernihan sebaiknya dilakukan pada saat cuaca cerah agar hasilnya akurat. Kecerahan air tergantung pada warna dan kekeruhan. Kecerahan merupakan ukuran transparansi perairan yang ditentukan secara visual dengan menggunakan secchi disk. Kekeruhan pada perairan yang tergenang (lentik), misalnya danau, lebih banyak disebabkan oleh bahan tersuspensi yang berupa koloid dan partikel – partikel halus. Sedangkan kekeruhan pada sungai yang sedang banjir lebih banyak disebabkan oleh bahan-bahan tersuspensi yang berukuran lebih besar yang berupa lapisan permukaan tanah yang terletak oleh aliran air pada saat hujan (Efendie, 2003).

KecepatanArus

Hasil praktikum pada pengukuran kecepatan arus di sungai dapat dilihat pada grafik dibawah ini :

Gambar 8. Grafik Kecepatan Arus

Page 13: Pendahuluan ekologi perairan

Grafik kecepatan arus menunjukan bahwa, kecapatan arus yang menujukan angka paling tinggi ialah Stasiun Mandiraja, dan yang menunjukan kecepatan arus yang paling rendah adala Stasiun Cowakansemar. Semakin dalam suatu perairan maka kecepatan arusnya semakin berkurang (Siregar, 2004). Arus merupakan faktor pembatas yang mempunyai peranan sangat penting dalam hal perairan, baik pada ekosistem mengalir (lotik) maupun ekosistem menggenang (lentic). Hal ini disebabkan karena adanya arus akan mempengaruhi distribusi organisme, gas-gas terlarut, dan mineral yang terdapat di dalam air (Barus, 2002).

SubstartDasar

Substrat merupakan faktor yang berpengaruh terhadap penyebaran organisme di suatu peraian. Jenis substrat dasar dapat di bedakan menjadi 6 yaitu lumpur, pasir, tanah liat, kerikil, batu dan tanah liat berlumpur. Perubahan komunitas organisme di peraian mengalir terjadi apabila terdapat penambahan endapan substrat (Hawkins,1979).

Hasil dari pengamatan substrat dasar Sungai Serayu di beberapa stasiun mendapatkan hasil yang bervarisi. Stasiun Kejajar dan Prigi bersubstart dasar pasir, batu, krikil. Stasiun Merican dan Mandarija bersubstrat dasar batu, krikil. Stasiun Garung, Singomerto, Kembangan bersubstrat batu dan krikil.

Setiap sungai memiliki substrar dasar yang berbeda-beda yaitu batu, krikil, lumpur, pasir. Substrat tersebut sebagai tempat menempelnya organisme yang hidup di sungai (Hawkins, 1979). Sungai pada daerah hilir substat dasrarnya didominasi oleh lumpur dan pasir. Sedangkan pada daerah hulu substrat dasaranya didominasi oleh batu cadas, batu kerikil dan pasir.( Hawkins,1979)

Konduktivitas

Hasil praktikum pada pengukuran konduktivitas arus di sungai dapat dilihat pada grafik dibawah ini :

Gambar 9. Grafik Konduktivitas

Hasil dari pengukuran konduktivitas mendapatkan hasil yang berbeda- beda tiap stasiun. Stasiun yang memiliki nilai kunduktivitas paling tinggi adalah Stasiun Mrican yang mencapai 160, dan stasiun yang memiliki konduktivitas paling rendah adalah Stasiun Kejajara yaitu 97. Konduktivitas air yang baik bagi kehidupan suatu makhluk hidup di perairan  yaitu di bawah 400μs. Konduktivitas bertambah dengan jumlah yang sama dengan bertambahnya salinitas sebesar 0,01, temperatur sebesar 0,01 dan kedalaman sebesar 20 meter. Secara umum, faktor yang paling dominan dalam perubahan konduktivitas di air adalah temperatur (Efendie, 2003).

Skor Fisik Habitat

Gambar 10. Grafik Skor Fisik Habitat

Page 14: Pendahuluan ekologi perairan

Skor fisik habitat adalah nilai dari kondisi yang terdapat pada suatu lingkungan habitat sungai tertentu. Dari nilai fisik tersebut dapat diperoleh bagaimana kondisi pada lingkungan tersebut, apakah lingkungan tersebut dalam keadaan Sub optimal, optimal, marginal atau poor (buruk) bagi organisme yang hidup didalamnya maupun yang ada disekitar sungai tersebut (Efendie, 2003). Hasil dari grafik diatas dapat disimpulkan bahya stasiun yang memiliki skor habita paling tinggi adalah Stasiun Garung, dan sungai yang memiliki skor habita paling rendah adalah Stasiun Cowakansemar.

1. KESIMPULAN DAN SARAN

 

Kesimpulan

Berdasarkan dari hasil pengamatan pola longitudinal ekosistem Sungai Serayu, perubahan faktor fisikokimia dari hulu ke hilir, dapat disimpulkan bahwa:

1. Faktor fisika kimia (kandungan oksigen terlarut, kecepatan arus, konduktivitas, pH, temperatur, BOD, kejernihan air, substrat dasar) pada tiap- tiap pengamatan dari hulu sampai hilir sungai mempadatkan hasil yang bervariansi.

2. Faktor fisika kimia yang menunjukan pola lonngitudinal Sungai Serayu dilihat dari kandungan oksigen terlarut, kecepatan arus, konduktivitas, pH, temperatur, BOD, kejernihan air, substrat dasar.

 

Saran

Saran yang dapat diberikan adalah praktikum ini tetap berjalan agar kita dapat memantau perubahan-perubahan yang terjadi di Sungai serayu. Pada praktikum ini, selain dilakukan pemantauan pada Sungai Serayu juga diadakan penyuluhan pada masarakat sekitar serayu yaitu tentang keadaan yang terjadi pada sungai serayu agar masyarakat ikut memantau dan menjaga Sungai Serayu.

 

 

 

 

 

 

Page 15: Pendahuluan ekologi perairan

 

 

 

 

 

 

DAFTAR PUSTAKA

Asdak, chay. 2007. Hidrologi dan Pengelolaan Daerah Aliran Sungai. Gadjah Mada University Press : Yogyakarta.

Barus, T. A. 2002. Pengantar Limnologi. Medan : Universitas Sumatera Utara.

Effendi, Hefni. 2003. Telah Kualitas Air bagi Pengelolaan Sumberdaya dan Lingkungan Perairan. Kanisius. Yogyakarta.

Ewuise. Y.J. 1990. Pengantar Ekologi Tropika.Bandung: ITB.

Fitri, Y. 2006. Komposisi Fytoplankton di Batang Agam Kota Payakumbuh. Skripsi Sarjana Pendidikan Biologi PMIPA STKIP PGRI Sumatrea Barat, Padang

Hawkins, H.A.1979. Invertebrates an Indikator Of River Water Quality. In James, A. And L. Erison, ED. Biology Indikator Of Water Quality. Jon Willey Sons, Toronto.

Junardi.2014. Sungai Serayu. http://jogjatrip.com/id/256/Sungai-Serayu. Diakses tanggal 8 November 2014.

Kottelat, M. 1989. Zoogeography of the fishes from Indochinese inland waters with an annotated check-list. Bulletin Zoologisch Museum Universiteit van Amsterdam. 12(1): 1-54.

Lisanti. 2000. Distribusi Plankton Disungai Jujuhan Desa Batu Kangkung Taman Nasional Kerinci Seblat Kabupaten Sawahlunto Sijunjung Propinsi Sumatera Barat. Skripsi Fakultas Perikanan Universitas Bung Hatta Padang.

Mays, L.W. 1996. Water resources handbook. McGraw-Hill. New York. p: 8.27-8.28

Milan, Kale, M., Indu Mehrotra. 2009. Rapid Determination of Biochemical Oxygen Demand. Journal of Civil Environment and Engineering. Volume 1.

Moersidik, S. dan Hardjojo, 1998. Analisa dan Kualitas Air. Karunika. Jakarta

Page 16: Pendahuluan ekologi perairan

Odum, E.P. 1973. Fundamental of Ecology. W.B.Sounders. Co. Philadelphia.

Odum, E.P. 1996. Dasar-Dasar Ekologi. Diterjemahkan oleh Thahmosamingan. Gadjah Mada Press. Yogyakarta.

Salmin. 2005. Oksigen Terlarut (DO) dan Kebutuhan Oksigen Biologi (BOD) Sebagai Salah Satu Indikator Untuk Menentukan Kualiatas Perairan. Bidang Dinamika Laut Pusat Penelitian Oseanografi-LIPI, Jakarta.

Siahaan,N. H.T. 2004. Hukum Lingkungan dan Ekologi Pembangunan. Erlangga. Jakarta.

Siregar, A. S. Toni, P. S. Setijanto. 2001. Studi Ekologi Fauna Benthik (Macrobrachidium) di Sungai Banjaran, Pelus dan Logawa, Kabupaten Banyumas. Biosfera. 18 (1)

Sukmerri. 2002. Penuntun Praktikum Pemeriksaan Kwalitas Air. Politeknik Kesehatan. Padang

Swingle,H.S. 1968. Standardization of Chemical Analysis for Water and Pond Muds.F.A.O. Fish, Rep. 44, 4 , 379 – 406 pp.

Welch, E 1980. Limnology. Mc. Graw-Hill. Book Company. New York.