ekologi benih

41
KARYA ILMIAH EKOLOGI BENIH Oleh: BUDI UTOMO NIP: 132 305 100 Staf Pengajar Departemen Kehutanan FAKULTAS PERTANIAN UNIVERSITAS SUMATERA UTARA MEDAN 2006 Budi Utomo : Ekologi Benih, 2006 USU Repository © 2006

Upload: lamkhanh

Post on 17-Jan-2017

229 views

Category:

Documents


0 download

TRANSCRIPT

Page 1: ekologi benih

KARYA ILMIAH

EKOLOGI BENIH

Oleh:

BUDI UTOMO NIP: 132 305 100

Staf Pengajar Departemen Kehutanan

FAKULTAS PERTANIAN UNIVERSITAS SUMATERA UTARA

MEDAN 2006

Budi Utomo : Ekologi Benih, 2006 USU Repository © 2006

Page 2: ekologi benih

KATA PENGANTAR

Puji syukur kehadirat Allah SWT yang mana atas rahmat-Nya penulis masih

diberi kesehatan sehingga dapat menyelesaikan tulisan yang sederhana ini.

Kerusakan hutan erat kaitannya dengan keberadaan benih. Benih merupakan

unsur penting yang berpotensi menggantikan tanaman dewasa yang mati.

Pengetahuan ekologi benih sangat penting untuk mempelajari macam-macam

benih, sifat-sifat, faktor-faktor yang mempengaruhi, proses-proses fisiologi yang

terjadi selama perkecambahan, dll, akan sangat membantu dalam memahami dan

mempelajarinya sehingga dapat ditentukan strategi penanganan yang terbaik.

Pada kesempatan ini penulis berhasrat ingin mengucapkan terima kasih

kepada semua pihak yang telah berpartisipasi dalam membantu penyediaan

literatur yang diperlukan.

Penulis menyadari bahwa karya ilmiah ini masih jauh dari sempurna,

karenanya kritik dan saran sangat diharapkan demi perbaikan tulisan-tulisan

berikutnya.

Akhir kata penulis berharap semoga karya ilmiah ini bermanfaat bagi kita

semua. Amien.

Medan, Agustus 2006

Budi Utomo

i

Budi Utomo : Ekologi Benih, 2006 USU Repository © 2006

Page 3: ekologi benih

DAFTAR ISI

Halaman KATA PENGANTAR i DAFTAR TABEL iiiDAFTAR GAMBAR iv I. PENDAHULUAN 1

II. BENIH HUTAN DAN PRODUKSI BIJI 3

2.1. Umur reproduktif 42.2. Pengaruh faktor luar terhadap produksi benih 5

2.2.1. Kegagalan penyerbukan dan pembuahan 62.2.2. Kerusakan pada produksi awal 7

III. PENANGANAN BENIH DAN PEMROSESAN 8

3.1. Penanganan benih 83.1.1. Mempertahankan viabilitas 93.1.2. Pengeringan 113.1.3. Penyimpanan lapangan sementara 133.1.4. Penyimpanan sementara di tempat pemrosesan benih 13

3.2. Pemrosesan 133.2.1. Kadar air benih dan prinsip pengeringan benih 133.2.2. Pemrosesan benih 173.2.3. Mengatur kadar air untuk penyimpanan 18

a. Benih ortodoks 18b. Benih rekalsitran dan menengah 19

3.2.4. Potensi kerusakan benih selama pemrosesan 203.2.5. Klasifikasi potensi penyimpanan benih 20

IV. DORMANSI DAN PEMATAHAN DORMANSI 23

4.1. Tipe dormansi 234.2. Priming 31

V. PERKECAMBAHAN DAN KONDISI LINGKUNGAN 325.1. Metabolisme perkecambahan biji 325.2. Penyerapan, mobilitas cadangan makanan dan pemunculan bakal akar 335.3. Kondisi lingkungan selama pertumbuhan 34

VI. PUSTAKA 36

ii

Budi Utomo : Ekologi Benih, 2006 USU Repository © 2006

Page 4: ekologi benih

DAFTAR TABEL

No. Teks Halaman

1. Ringkasan penanganan benih di lapangan 12

2. Ringkasan metode ekstraksi untuk bermacam-macam tipe buah 18

3. Klasifikasi fisiologis dalam hubungan dengan suhu dan kadar air 21

4. Beberapa sifat benih ortodoks dan rekalsitran 21

iii

Budi Utomo : Ekologi Benih, 2006 USU Repository © 2006

Page 5: ekologi benih

DAFTAR GAMBAR

No. Teks Halaman

1. Seed bank di padang rumput Wales. Grafik menunjukkan jumlah biji yang viable dari berbagai spesies pada berbagai kedalaman tanah

2

2. Hubungan antara suhu dan kelembaban udara 14

3. Keseimbangan kadar air pada berbagai tipe benih 16

4. (A) memperlihatkan prinsip konversi phytochrome Pr menjadi Pfr dan Pfr menjadi Pr di bawah 3 jenis cahaya; (B) menunjukkan konversi phytochrome pada berbagai kedalaman tanah

28

Iv

Budi Utomo : Ekologi Benih, 2006 USU Repository © 2006

Page 6: ekologi benih

I. PENDAHULUAN

Biji menurut dapat diartikan sebagai suatu ovule atau bakal tanaman yang

masak yang mengandung suatu tanaman mini atau embrio yang terbentuk dari

bersatunya sel-sel generatif yaitu gamet jantan dan gamet betina di dalam kandung

embrio, serta cadangan makanan yang mengelilingi embrio. Sedangkan benih

adalah merupakan biji tumbuhan yang digunakan oleh manusia untuk tujuan

penanaman atau budidaya.

Embrio yang terdapat dalam biji terbentuk dari enam fase yaitu:

a. Pembentukan benang sari dan putik di dalam kuncup bunga

b. Mekarnya bunga yang merupakan tanda bahwa organ ini telah siap

c. Persarian yakni perpindahan serbuk sari dari benang sari ke kepala putik,

perkecambahan serbuk sari dan pembentukan tabung sari

d. Pembuahan sel telur dan inti kutub oleh inti sperma ari tabung sari

e. Pertumbuhan sel telur yang telah dibuahi dan proses pembagian diri menjadi

embrio dan kulit pelindung

f. Pemasakan biji bersamaan dengan pengumpulan cadangan makanan.

Biji terdiri dari tiga bagian dasar yaitu:

a. Embrio, yaitu tanaman baru yang terbentuk dari bersatunya gamet jantan dan

betina pada suatu proses pembuahan. Embrio yang sempurna akan terdiri dari:

epikotil (bakal pucuk), hipokotil (bakal akar), dan kotiledon (bakal daun).

b. Jaringan penyimpan cadangan makanan. Cadangan makanan yang tersimpan

dalam biji umumnya terdiri dari karbohidrat, lemak, protein dan mineral

dengan komposisi yang berbeda tergantung jenis biji, misalnya biji bunga

matahari akan kaya akan lemak, biji legume kaya akan protein, biji padi kaya

akan karbohidrat, dll.

c. Pelindung biji, dapat terdiri dari kulit biji, sisa nucleus dan endosperm dan

kadang-kadang bagian dari buah. Namun umumnya kulit biji terbentuk dari

integument ovule yang mengalami modifikasi selama proses pembentukan

biji.

Secara umum terbentuknya vegetasi dapat melalui 2 cara yaitu melalui biji

atau pembiakan secara vegetatif. Beberapa spesies dapat berkembang melalui

Budi Utomo : Ekologi Benih, 2006 USU Repository © 2006

Page 7: ekologi benih

tunas-tunas yang tumbuh dari bulbus, dan tunas dari rhizome dan umbi seperti

kebanyakan dari family Liliaceae, Amaryllidaceae dan Oxalidaceae. Berbeda

dengan seed bank, bud bank biasanya telah ada secara genotip.

Seed bank atau seed reservoir adalah agregasi dari biji yang belum tumbuh

dan memiliki kemampuan potensial untuk menggantikan tanaman-tanaman

dewasa baik itu tanaman semusim atau tanaman tahunan yang dapat mati oleh

penyakit, atau gangguan lainnya. Walaupun biji-biji species tumbuhan hutan

memiliki ciri yang cepat tumbuh (rekalsitran), namun biji-biji yang mengalami

dormansi di dalam tanah tetap memiliki peran penting dalam regenerasi beberapa

species, khususnya bagi spesies pioneer (Allessio, et.al., 1989).

Gambar 1. Seed bank di padang rumput Wales. Grafik menunjukkan jumlah biji

yang viable dari berbagai spesies pada berbagai kedalaman tanah.

Input seed bank biasanya ditentukan oleh seed rain. Dalam komunitasnya

biji yang berasal dari daerah di sekitarnya akan mendominasi, namun dapat pula

berasal dari wilayah luar. Dari buah yang jatuh, akibat kebakaran, angin, air dan

oleh perantaraan hewan. Tiga agen terakhir ini sangat penting dalam penyebaran

biji ke luar wilayah. Seed rain bervariasi dan merupakan fungsi dari jarak dari

tumbuhan, angina dan faktor lain yang mempengaruhi penyebaran biji. Seed rain

berkontribusi terhadap seed bank yaitu populasi biji yang hidup tapi belum

tumbuh yang tersimpan dalam tanah (Kimmins, 1987).

Budi Utomo : Ekologi Benih, 2006 USU Repository © 2006

Page 8: ekologi benih

II. BENIH HUTAN DAN PRODUKSI BIJI

Menurut Schmidt (2000) beberapa ciri khas pada buah dan benih pada

lingkungan tropis dan subtropis masing-masing dijelaskan di bawah ini:

1. Mangrove

Mangrove atau hutan bakau tumbuh di lingkungan berair yang setiap hari

digenangi air laut. Benih bersifat sangat rekalsitran, tidak memiliki masa dormansi

dan biasanya berkecambah sejak masih berada di atas pohon. Benih ini sangat

sensitif terhadap pengeringan dan memiliki viabilitas yang sangat pendek. Benih

vivipar ini sebenarnya merupakan anakan yang secara khusus tersebat melalui air

pasang, contoh: Rhizophora, Sonneratia, Avicenia dan Bruguiera.

2. Hutan hujan tropis

Hutan hujan dicirikan oleh curah hujan tahunan yang tinggi, variasi iklim

yang kecil, lantai hutan lembab dengan variasi iklim mikro yang kecil.

Pembukaan kanopi merubah secara drastis iklim mikro demikian pula dengan pola

regenerasinya. Regenerasi dan tipe benihnya dapat dikelompokkan ke dalam jenis

hutan klimaks dan jenis pionir

Jenis hutan klimaks memiliki benih yang beradaptasi untuk perkecambahan

di lantai hutan lembab. Umumnya jenis ini sangat rekalsitran (sensitif terhadap

pengeringan dan memiliki viabilitas yang sangat pendek) dan berkecambah sangat

cepat pada kondisi pencahayaan yang rendah. Benih umumnya berukuran besar,

sebagian besar jenis-jenis di hutan klimaks memiliki produksi benih yang tidak

menentu dan tidak terduga dan hanya pada saat tertentu. Jenis-jenis tersebut

biasanya berbuah hanya pada umur yang lanjut.

Jenis pionir beradaptasi terhadap permudaan pada pembukaan tajuk yang

terjadi setelah pohon tumbang. Benih biasanyatermasuk tipe ortodoks dan

memiliki dormansi. Stimulasi cahaya atau suhu yang berfluktuasi dapat

mematahkan dormansi semai yang membutuhkan cahaya. Jenis pionir biasanya

berumur pendek dan berbuah teratur dan banyak pada umur muda. Beberapa jenis

memiliki pembungaan dan pembuahan yang panjang dan terjadi setiap saat

Budi Utomo : Ekologi Benih, 2006 USU Repository © 2006

Page 9: ekologi benih

sepanjang tahun, diduga sering mendapat stimulir dari kondisi lingkungan di

sekitarnya, misalnya kekeringan sesaat. Benih umumnya tersebar melalui angin

atau binatang. Banyak jenis pionir yang rawan terhadap pemangsa sebelum ia

tersebar. Beberapa genus pionir hutan hujan adalah: Paraserianthes (Pasifik),

Albizia, Afzelia (Afrika), Caliandra, Sesbana, Leucaena (Amerika), Deris,

Gmelina (Asia Selatan), Grevilla, Acacia, Eucalyptus (Australia).

3. Savana dan hutan musim lainnya

Di sebagian besar daerah subtropis terdapat perbedaan yang tegas dalam

perubahan curah hujan dan suhu. Curah hujan merupakan faktor terpenting dan

selain musim kering yang teratur pada banyak daerah rawan terhadap kekeringan

yang panjang. Kebanyakan jenis pada daerah kering memiliki tipe benih ortodoks

dan dormansi fisik. Pembuahan umumnya terjadi sebelum musim hujan. Kondisi

lingkungan seperti kekeringan yang panjang sering memicu pembungaan. Banyak

hutan semusim rawan terhadap kebakaran. Beberapa jenis umumnya

melangsungkan permudaan setelah kebakaran, seperti Banksia dan beberapa jenis

Eucalyptus. Benih yang gagal berkecambah selama musim hujan pertama dapat

tetap dorman di dalam tanah selama beberapa tahun. Dormansi fisik dipatahkan

oleh skarifikasi mekanis. Genus pada hutan semusim antara lain adalah: Acacia,

Albizia, Eucalyptus, Pinus, Casuarina, dll.

4. Jenis pada dataran tinggi

Banyak jenis pada dataran tinggi memiliki kesamaan dengan jenis pada

daerah beriklim sedang, tetapi berbeda dengan daerah beriklim sedang, panjang

pencahayaan dan suhu dalam satu tahun memiliki variasi yang kecil, akibatnya

dormansi karena suhu (thermo dormancy), tidak umum ditemukan pada kelompok

jenis ini. Musim bunga yang teratur juga tidak umum pada jenis dataran tinggi.

Genus pada hutan dataran tinggi antara lain: Alnus, Brachystegia, Podocarpus,

Populus, Juniperus, Betula, Castanopsis, Quercus, Eucalyptus, pinus, dll.

2.1. Umur reproduktif

Umur pohon mulai bereproduksi sangat bervariasi dan dipengaruhi faktor

genetik dan lingkungan. Faktor genetik menunjukkan strategi permudaan jenis

Budi Utomo : Ekologi Benih, 2006 USU Repository © 2006

Page 10: ekologi benih

tertentu pada komunitas tanaman: jenis pionir memiliki siklus hidup pendek dan

bereproduksi sejak umur muda, sedangkan jenis pada hutan klimaks memiliki

siklus hidup yang panjang dan umur reproduksi agak lambat.

Jenis hutan klimaks mulai bereproduksi lebih lambat. Contoh Swietenia

macrophylla mulai berbunga dan berbuah secara teratur pada umur 10-15 tahun,

beberapa Dipterocarpaceae pada umur 20-30 atau bahkan 45 tahun.

Kondisi fisik lingkungan sangat kuat mempengaruhi umur reproduksi.

Apabila pohon tumbuh pada kondisi sesuai untuk pertumbuhan vegetatif, maka

tahap pertumbuhan awal (juvenile) akan berlangsung lebih cepat dibandingkan

bila tumbuh pada tanah yang kurang sesuai. Perubahan intensitas cahaya yang

tiba-tiba di dalam hutan hujan tropis, misalnya karena pohon tumbang, dapat

memacu pembungaan pohon-pohon muda yang biasanya belum saatnya berbunga.

Pohon yang dikembangkan dikembangbiakkan seara vegetatif, misalnya dari

stek, grafting atau cangkok seringkali melakukan reproduksi pada umur yang

lebih muda daripada yang berasal dari semai, karena dihasilkan dari materi yang

secara fisiologis telah dewasa. Sebagai contoh, pada kebun benih Auracaria

cunninghamii, umur produksi kerucut jantan lebih pendek, dari 22-27 tahun

menjadi 5 tahun, dan kerucut betina dari 12 tahun menjadi 2-3 tahun dengan

menggunakan materi grafting dari masing-masing pohon induk yang

menghasilkan kerucut jantan dan betina yang secara fisiologis telah dewasa.

2.2. Pengaruh faktor luar terhadap produksi benih.

Setiap bunga memiliki potensi untuk berkembang menjadi buah dan benih,

tetapi hasil pengamatan menunjukkan bahwa meskipun pembungaan merupakan

syarat untuk pembuahan, namun pembungaan yang banyak terkadang

menghasilkan produksi benih yang rendah. Pada kenyataannya hanya sebagian

dari bunga yang berkembang menjadi buah dan benih yang baik walaupun pada

musim benih yang baik. Hal ini terutama tampak jelas pada jenis-jenis

Angiosperma dengan bunga yang kecil dan buah yang besar. Beberapa faktor

yang sering dijumpai dapat meliputi kegagalan penyerbukan dan pembuahan,

serta kerusakan produksi awal.

Budi Utomo : Ekologi Benih, 2006 USU Repository © 2006

Page 11: ekologi benih

2.2.1. Kegagalan penyerbukan dan pembuahan.

Kegagalan ini dapat disebabkan oleh beberapa faktor:

a. Rendahnya produksi tepung sari

Pada jenis dioecious, rendahnya produksi tepungsari dapat disebabkan

karena gugurnya bunga jantan hutan atau tanaman yang digunakan sebagai area

produksi benih atau kebun benih. Kondisi cuaca dan terbukanya areal dapat

mempengaruhi produksi tepungsari pada jenis-jenis monocious. Kekeringan,

kondisi terbuka juga duketahui menguntukngkan bunga betina dan membatasi

bunga jantan.

b. Rendahnya transfer tepung sari.

Kegagalan penyerbukan disebabkan oleh kurangnya agen penyerbukan atau

kondisi yang tidak menguntungkan bagi penyerbukan pada masa reseptifitas

bunga betina. Penyerbukan angin sangat tergantung pada kecepatan dan arah

angin agar transfer tepungsari menjadi efesien. Kecepatan angin dapat merupakan

faktor pembatas bagi penyerbukan jarak jauh, seperti: penyerbukan antar pohon

dengan jarak yang berjauhan, tetapi mungkin tidak berlaku di dalam suatu

tegakan. Penyerbukan dengan angin kemungkinan besar dihambat oleh

kelembaban cuaca yang dapat membatasi penyebaran tepungsari.

Cuaca dingin dan lembab juga dapat membatasi aktivitas hewan penyerbuk,

terutama serangga. Terbatasnya agen penyerbuk dalam kasus tertentu dianggap

sebagai pembatas. Contoh pada kelapa sawit, jumlah buah dan bijinya sangat

tergantung ketersediaan jumlah kumbang penyerbuk.

Hewan penyerbuk memerlukan perpindahan ke sumber makanan lain bila

pembungaan dari suatu jenis mulai terhenti. Penyerbuk tersebut memerlukan jenis

lainnya atau tumbuhan yang lebih muda atau lebih tua untuk berlindung, kawin,

dan lain-lain. Dengan demikian populasi penyerbuk mungkin terbatas karena

faktor-faktor luar.

c. Bunga atau kerucut yang tertutup.

Cuaca dingin dan lembab dapat menyebabkan bunga atau kerucut tetap

tertutup pada saat harus diserbuki, dan penyerbukan akhirnya menjadi gagal.

Budi Utomo : Ekologi Benih, 2006 USU Repository © 2006

Page 12: ekologi benih

d. Kawin kerabat (inbreeding).

Kebanyakan jenis memiliki mekanisme fisiologis untuk mengurangi

terjadinya inbreeding. Inbreeding merupakan fenomena umum pada pohon.

Inbreeding sering menyebabkan tekanan fisiologis dan bunga atau kerucut yang

diserbuki sendiri sering gugur. Resiko inbreeding lebih tinggi pada tanaman yang

terisolir dibandingkan dengan tanaman pada populasi campuran.

2.2.2. Kerusakan pada produksi awal

Pada saat penyerbukan berlangsung efektif, buah dan benih yang dihasilkan

mungkin rusak selama awal perkembangannya. Hal ini dapat disebabkan karena

beberapa hal, seperti:

a. Kondisi cuaca yang buruk.

Cuaca dapat memiliki pengaruh langsung terhadap produksi buah dan benih.

Kekeringan atau suhu rendah selama perkembangan buah dapat berpengaruh

langsung terhadap produksi buah. Bunga juga dapat rusak karena hujan batu atau

angin yang kencang, misalnya pada Dipterocarpaceae.

b. Pemangsaan.

Kerusakan bunga oleh pemangsa telah dilaporkan dalam Shorea, di mana

kumbang dari famili Chrysolemidae dan Scarabaciae memangsa stamen dan

corolla.

Budi Utomo : Ekologi Benih, 2006 USU Repository © 2006

Page 13: ekologi benih

III. PENANGANAN BENIH DAN PEMROSESAN

3.1. Penanganan benih

Buah dan benih yang baru saja dikumpulkan sangat rentan terhadap

kerusakan, kerena biasanya memiliki kadar air yang sangat tinggi. Oleh karena itu

penanganan pasca panen harus dilakukan secara benar untuk menghindari

penurunan mutu (deterioration). Kerentanan dan kecepatan penurunan mutu akan

sangat tergantung pada:

a. Jenis

b. Kondisi benih pada saat pengumpulan

c. Keadaan lingkungan.

Umumnya lebih cepat benih diproses, akan lebih baik, sehingga benih harus

diangkut secepat mungkin ke tempat pemrosesan beih, tempat dilakukannnya

penanganan selanjutnya. Jika pengumpulan dilakukan di daerah yang berdekatan

dengan tempat pemrosesan, maka benih tidak dapat diangkut setiap hari, dan

prosedur penanganan di lapangan tidak diperlukan.

Ekstraksi benih dari buah dehiscent seperti kebanyakan jenis polong-

polongan, Myrtaceae dan Conifer sering sangat mudah dan cepat di lapangan

ketika kondisi cuaca cerah dan kering. Buah masak jenis ini umumnya akan

membuka dan mengeluarkan benih ketika dikeringkan dan terkadang diperlukan

sedikit perlakuan mekanis. Jika benih sudah terlepas, buah kosong dan kotoran

dapat disingkirkan.

Perlu tidaknya benih dari buah indehiscent untuk diekstraksi sangat

tergantung pada kemudahannya. Buah indehiscent yang memerlukan prosedur

ekstraksi khusus, seperti suhu tinggi atau pengeringan, umumnya tetap menempel

setelah pengeringan dan ekstraksi dapat dilakukan di pusat pemrosesan.

Pengurangan campuran pada buah berdaging dapat dilakukan dengan membuang

serat daging buah, prosedur ini juga berfungsi untuk menghindari terjadinya

fermentasi pada serat daging buah yang menyebabkan penurunan viabilitas.

Banyak jenis benih yang lebih mudah rusak jika diekstraksi, misalnya benih

rekaslitran dan benih berkulit tipis yang mudah sobek. Penurunan berat dengan

ekstraksi harus dilakukan secara hati-hati untuk menghindari hilangnya viabilitas.

Budi Utomo : Ekologi Benih, 2006 USU Repository © 2006

Page 14: ekologi benih

Buah yang akan diperam jangan diekstraksi, namun dipertahankan lembab selama

penanganan di lapangan.

3.1.1. Mempertahankan viabilitas

Kebanyakan kerusakan pada benih karena perlakuan awal di lapangan

sangat erat kaitannya dengan kandungan kadar air. Sehingga penanganan kadar air

benih yang benar dapat membatasi terjadinya kerusakan.

Kandungan kadar air 10-20% pada waktu pengumpulan adalah normal pada

kebanyakan benih jenis ortodoks. Benih ortodoks yang belum masak pan benih

rekalsitran yang masak, kandungan kadar airnya sangat tinggi, dapat mencapai 30-

40%. Kadar air, baik pada serat daging buah, pada buah kering yang belum masak

buah yang dikumpulkan ketika cuaca lembab, atau benih yang secara alami

berkadar air tinggi pada saat masak (rekalsitran) sangat beresiko untuk mengalami

kerusakan. Kadar air tinggi merupakan lingkungan ideal bagi pertumbuhan jamur

dan bakteri. Buah dan benih yang lembab melakukan respirasi, menimbulkan

panas dan membutuhkan oksigen. Jika oksigen berkurang karena aerasi tidak

mencukupi timbul fermentasi. Persamaan biokimia dua proses yang

disederhanakan disajikan sebagai berikut:

Respirasi: C6H12O6 + 6 O2 6 CO2 + 6 H2O + energi

Fermentasi: C6H12O6 2 C2H5OH + 2 CO2 + energi

Proses biokimia respirasi dan fermentasi menghasilkan panas. Karena suhu

tinggi yang berkaitan dengan kandungan lembab cenderung meningkatkan

respirasi atau fermentasi, proses tersebut dapat meningkat cepat dengan

sendirinya, sehingga menyebabkan pembakaran semua buah atau benih. Daun,

tanah atau kotoran lain yang berkadar lembab tinggi akan mempercepat proses

tersebut.fermentasi serat mungkin tidak berpengaruh pada benihnya, tetapi panas

yang ditimbulkan dari proses tersebut dapat berpengaruh. Selanjutnya jamur yang

mulai tumbuh pada buah kering dapat menghambat kelanjutan proses ekstraksi

sehingga selama penyimpanan yang lama di lapangan harus dibuat ventilasi yang

mencukupi dan kadar air dikurangi sebanyak mungkin. Benih harus dikeringkan

Budi Utomo : Ekologi Benih, 2006 USU Repository © 2006

Page 15: ekologi benih

serendah mungkin agar penyimpanan aman dan kelembaban dapat dipertahankan

selama penyimpanan.

Toleransi terhadap suhu sangat erat kaitannya dengan kadar air. Benih

berkadar air tinggi lebih sensitive terhadap suhu tinggi atau rendah daripada benih

yang kering. Benih lembab Eucalyptus oblique hilang viabilitasnya dalam

beberapa menit jika dipanaskan pada suhu 55oC sementara suhu tersebut kurang

berpengaruh bila benih dalam keadaan kering. Suhu 55oC sangat mudah dicapai

pada kondisi pengeringan di bawah sinar matahari daerah tropis. Benih rekalsitran

yang tidak menghendaki pengeringan selalu sensitif terhadap suhu ekstrim.

Beberapa benih jenis tanaman hutan hujan tropis tidak toleran terhadap suhu di

atas 35oC atau di bawah 20oC. Potensi kerusakan karena suhu segera setelah

pemanenan tergantung jenis dan kondisi benihnya. Benih yang sangat rekalsitran

dan benih berkadar air tinggi adalah yang paling sensitif.

Kebanyakan benih ortodoks kering toleran terhadap suhu yang umumnya

ditemui di lapangan. Tetapi untuk jenis yang sensitif terhadap suhu rendah yang

dialami ketika atau setelah melewati satu malam di daerah tinggi akan dapat

berakibat fatal. Suhu tinggi dapat berakibat fatal jika benih diletakkan di bawah

sinar matahari langsung. Over heating dapat membunuh organisme mikro seperti

mikoriza dan rhizobia yang seringkali berkumpul bersama benih.

Pada kebanyakan buah berdaging basah, daging buah yang ada harus

dubuang untuk menghindari fermentasi. Namun penyimpanan jangka pendek buah

berdaging basah yang prematur (belum masak) atau buah berdaging relatif kering

seperti Ziziphus mucronata dan Grewia spp mungkin tidak memerlukan depulping

(pembuangan pulp, daging buah berserat).

Benih rekalsitran sangat rentan terhadap suhu dan pengeringan ekstrim.

Tingkat rekalsitran bervariasi dan tergantung jenis. Benih rekalsitran dapat berasal

dari buah kering dan buah berdaging. Pengeringan berlebihan tidak diperkenankan

dan benih tidak boleh dikenakan di bawah sinar matahari langsung. Di sisi lain

kalau benih tidak mengalami dormansi, kandungan lembab yang terlalu tinggi

dapat menyebabkan benih berkecambah. Keseimbangan umumnya sangat sulit

dicapai, khususnya di bawah kondisi lapangan. Solusi terbaik adalah mengurangi

periode transit semaksimal mungkin atau jika perkecambahan tidak dapat

Budi Utomo : Ekologi Benih, 2006 USU Repository © 2006

Page 16: ekologi benih

dihindarkan, untuk mempertahankannya, benih dapat dipindahkan ke persemaian

secara langsung.

Sangat penting bagi pengumpul benih untuk mengetahui dasar fisiologi

benih yang dikumpulkan dan mengambil langkah cepat memelihara viabilitasnya,

mulai dari tempat pengumpulan sampai benih diserahkan ke pemrosesan.

3.1.2. Pengeringan

Pengeringan yang lebih cepat dan merata dilakukan dengan cara menebar

buah atau kerucut di atas lantai semen atau lembaran bahan, atau untuk

memperbaiki sirkulasi udara dengan mengeringkannya pada lembaran atau

nampan yang ditinggalkan. Agar pengeringan berjalan cepat dan seragam, lapisan

buah harus ditata tipis dan buah diputar secara teratur. Peningkatan suhu udara

bersamaan dengan penurunan kelembaban relatif dapat diperoleh dengan menutup

nampan tempat pengeringan dengan lapisan lembar plastic transparan tipis. Ini

akan menimbulkan efek rumah kaca, namun lembar plastik tidak boleh diletakkan

langsung di atas benih karena dapat menghambat sirkulasi udara.

Karena benih berkadar air tinggi lebih mudah rusak karena panas, maka

pengeringan di bawah sinar matahari langsung harus dicegah. Sebaiknya

dilakukan pemanasan awal di bawah naungan dan setelah kadar air menurun,

benih dapat dikeringkan di bawah sinar matahari penuh. Buah jenis rekalsitran

tidak boleh dikeringkan dengan sinar matahari langsung. Dalam keadaan

kelembaban tinggi, pengeringan di bawah naungan agak sulit dilakukan dan akan

tergantung pada sirkulasi udara yang memadai. Jika angin tidak memadai, kipas

angin dapat digunakan untuk meningkatkan sirkulasi udara.

Pengeringan di luar akan beresiko benih menjadi basah karena hujan rintik-

rintik yang dapat dating tiba-tiba, terhembus angin atau dimakan burung atau

hewan lainnya. Pada malam hari, dengan meningkatnya kelembaban udara, maka

benih harus ditutup untuk mencegah penyerapan kelembaban kembali.

Buah dehiscent harus diperiksa dan dibuang bila terbukti kosong. Kotoran

benih besar dapat dibersihkan secara manual.

Budi Utomo : Ekologi Benih, 2006 USU Repository © 2006

Page 17: ekologi benih

Benih pada kebanyakan buah indehiscent kering umumnya tidak diekstraksi

di lapangan, tetapi dikeringkan sampai kandungan airnya aman, kemudian

disimpan dalam karung atau kantong berventilasi cukup.

Buah masak berdaging seperti jenis beri atau drupe harus dihilangkan

daging buahnya sebagian atau seluruhnya sebelum dikeringkan. Pada kebanyakan

buah berdaging, cara termudah adalah dengan merendam buah ke dalam air

semalam, agar daging buahnya mudah dilepas dengan meniriskan misalnya diatas

kawat kasa dan mencucinya dengan air untuk membuang daging buah sebanyak

mungkin. Alternatifnya buah yang melunak ketika direndam, dengan secara

perlahan dipukul dengan mortar (tanpa memecah benih). Jika buah yang sudah

direndam dibiarkan dalam air yang banyak, benih cenderung berada pada bagian

dasar, sementara daging buah yang lunak cenderung mengambang dan dapat

disingkirkan.

Table 1. Ringkasan penanganan benih di lapangan

Tipe benih Tipe buah Penjagaan viabilitas Pengurangan berat (ekstraksi)

Ortodoks Dehiscent kering Pengeringan (matahari) Pengeringan-goyang-saring atau penyisihan manual bagian buah

Indehiscent kering Pengeringan (matahari) Pemukulan, pengirikan saring atau buang bagian buah secara manual

Buah berdaging serat Pengeringan (matahari) Pemanggangan-goyang-saring

Buah berdaging Kupas daging tipis: pengeringan (matahari) Lain: penghilangan daging cara dipukul atau pencucian

Penghilangan daging

Tidak masak (semua tipe)

Penyimpanan lembab Tidak dapat dilakukan

Rekalsitran Buah kering Penyimpanan lembab Pengeringan sampai membuka, saring atau buang manual bagian buah

Buah berdaging Penghilangan daging, penyimpanan lembab

Penghilangan daging

Buah batu atau drupe umumnya tidak mudah rusak karena proses

penghilangan daging buah mekanis, tetapi beberapa beri dan buah lunak lainnya

lebih sensitif. Daging buah yang masih sedikit menempel pada benih biasanya

tidak dihiraukan karena akan mongering setelah kulit exocarp dan kebanyakan

Budi Utomo : Ekologi Benih, 2006 USU Repository © 2006

Page 18: ekologi benih

daging buahnya disingkirkan. Pembersihan yang lebih seksama dapat dilakukan

pada pemrosesan berikutnya.

3.1.3. Penyimpanan lapangan sementara

Penyimpanan di lapangan umumnya terbatas untuk jangka pendek yakni

selama pengumpulan benih dan pemrosesan awal. Di bawah kondisi lembab tidak

dimungkinkan mengurangi kadar air benih ortodoks agar kurang dari 10-15%.

Benih ini masih rentan atau tidak tahan terhadap kerusakan karena panas. Suhu

dalam wadah juga harus diperhatikan. Jika suhu meningkat lebih dari 5-8oC di

atas suhu luar, disarankan untuk membuka wadah dan mencampurnya.

3.1.4. Penyimpanan sementara di tempat pemrosesan benih

Buah yang sampai di tempat pemrosesan umumnya disimpan untuk

beberapa waktu tertentu menunggu diproses. Ruangan, tenaga, keterbatasan

peralatan atau kapasitas pemrosesan merupakan penghambat spesifik.

Penyimpanan sementara di tempat pemrosesan sering berjangka waktu lebih lala

daripada di lapangan, namun mingkungan penyimpanan lebih mudah diatur.

Jika keseluruhan lot benih belum masak ketika dikumpulkan, benih harus

diperam. Sering sebagian buah akan tetap tidak masak. Karena buah yang belum

masak dari jenis buah kering berkadar air tinggi, mungkin dapat berpengaruh

negatif terhadap viabilitas keseluruhan lot benih, karenanya perlu dilakukan

pemilahan. Jika buah tersebut secara biologis mampu diperam dan fasilitasnya

tersedia, maka dapat dilakukan proses pemeraman, namun jika tidak, maka buah

yang belum masak dapat dibuang.

3.2. Pemrosesan

3.2.1. Kadar air benih dan prinsip pengeringan benih

Hubungan antara kadar air benih, suhu dan kelembaban relatif merupakan

dasar pengeringan benih.

Budi Utomo : Ekologi Benih, 2006 USU Repository © 2006

Page 19: ekologi benih

1. suhu dan kelembaban.

Jumlah maksimum air yang dapat tahan udara tergantung pada suhu, yaitu

makin tinggi suhu makin tinggi kadar air. Jika udara mengandung uap air

maksimum pada suhu tertentu, maka dikatakan menjadi jenuh. Hubungan suhu

dan kejenuhan tidak linier, tetapi mengikuti kurva seperti yang ditunjukkan pada

gambar 2.

Gambar 2. Hubungan antara suhu dan kelembaban udara

Biasanya udara dalam kondisi tidak jenuh, tetapi mengandung air lebih

sedikit daripada yang memungkinkan. Kadar air sebenarnya disebut kelembaban

relative (RH). RH menunjukkan kadar air sebenarnya yang merupakan persentase

dari udara jenuh pada suhu yang sama. Contoh, jika udara pada suhu 20oC berisi

10 g air/kg udara kering di mana kapasitas sebenarnya (udara jenuh) adalah 15

g/kg udara kering. RH-nya adalah 10/15 x 100% = 67%.

Jika suhu udara meningkat atau menurun dan mengandung jumlah uap air

yang sama, RH-nya akan berubah juga. Contoh, jika udara pada kelembaban

tertentu (misalnya 70%) dipanaskan (missal dari 20oC menjadi 35oC), RH-nya

menurun (dalam contoh sampai 30% RH). Sebaliknya jika suhu udara menurun

(missal pada malam hari), RH meningkat. Jika RH awal tinggi atau penurunan

suhu cukup tinggi, udara dapat mencapai titik jenuh, sehingga RH = 100%. Ini

Budi Utomo : Ekologi Benih, 2006 USU Repository © 2006

Page 20: ekologi benih

disebut titik embun karena penurunan suhu selanjutnya menyebabkan kondensasi

uap air menjadi titik-titik embun.

2. Kadar air benih dan kelembaban relatif.

Air dalam benih (kadar air/moisture conten/m.c.) cenderung dalam keadaan

seimbang dengan kelembaban udara (RH) di sekitar benih. Jika udara kering dan

benih lembab, air akan cenderung bergerak dari benih ke udara; benih mongering

dan udara disekitarnya menjadi lembab. Jika udara lembab dan benih kering, air

akan cenderung berpindah berlawanan arah sehingga benih menjadi lembab.

Makin besar perbedaan RH dan kadar air benih pada suhu yang sama, lebih

cepat perpindahan air kea rah keseimbangan. Oleh karenanya lebih rendah RH

pada udara kering, maka lebih cepat benih mongering sehingga aliran udara

hangat ber-RH rendah adalah yang paling efektif untuk pengeringan.

Keseimbangan akan muncul segera di sekitar benih. Jika udara di sekeliling

benih digantikan dengan cara ventilasi, aka akan tercapai keseimbangan baru

dengan udara yang mengelilingi benih. Makin cepat udara lembab dibuang dan

diganti dengan udara kering, makin cepat benih dapat mengering. Karena itu

sirkulasi udara oleh angin alami atau ventilasi buatan akan mempercepat

pengeringan.

3. Kelembaban benih dan suhu.

Suhu mempengaruhi kelembaban benih melalui dua cara. Sebagian lewat

hubungan dengan RH seperti di atas, sebagian langsung melalui penguapan.

Ketika suhu meningkat maka cairan air akan menguap dari benih.

Absorpsi dan desorpsi (pengeluaran) air dipengaruhi oleh benih atau ukuran

buah, dan struktur buah atau kulit benih. Benih dan buah kecil menyerap atau

melepaskan air lebih cepat dari pada yang lebih besar, karena luas permukaannya

relatif besar dibanding volumenya, dan jarak bagi perpindahan air lebih pendek.

Anatomi benih akan menentukan seberapa cepat air dapat berpindah dari bagian

dalam ke bagian luar selama proses pengeringan. Struktur yang tebal atau padat

akan menghambat pergerakan air.

Pada benih legum, kulit benih berubah menjadi impermeable karena sel-sel

mengerut selama pengeringan sehingga pergerakan air menjadi terbatas yang

Budi Utomo : Ekologi Benih, 2006 USU Repository © 2006

Page 21: ekologi benih

mengakibatkan pengerasan (case hardening) buah kerucut, di mana bagian dalam

kerucut dan benih tetap lembab disebabkan pengeringan yang terlalu cepat.

Bagian luar sel buah kerucut rusak dan menjadi penghalang pengeringan

selanjutnya.

Dengan pengeringan yang dilakukan terus menerus, daya yang menahan

pengeringan sel meningkat. Karena kadar air menurun, air yang tersisa diikat ke

bagian sel dan molekul makro di dalam sel sehingga praktis tidak dapat bergerak.

Karena pengeringan untuk menurunkan kadar air menjadi rendah cukup sulit,

maka perlu suhu tinggi dan penurunan kelembaban udara.

Gambar 3. Keseimbangan kadar air pada berbagai tipe benih.

Grafik absorpsi dan desorpsi pada gambar 3 tampak berbeda. Ini berarti

benih relatif mudah kehilangan air pada suhu tinggi dan RH rendah, namun

absorbsinya lebih lambat. Dengan kata lain benih lebih mudah kehilangan air

Budi Utomo : Ekologi Benih, 2006 USU Repository © 2006

Page 22: ekologi benih

selama kondisi lingkungan kering daripada menarik air di bawah kondisi

lingkungan lembab. Pada biji legum terdapat struktur hilum yang memudahkan air

meninggalkan benih, namun air tidak dapat masuk kembali sehingga benih

cenderung membentuk keseimbangan dengan atmosfir terkering tempat benih

berada.

3.2.2. Pemrosesan benih

Tujuan pemrosesan buah atau benih adalah untuk mendapatkan benih

bersih, murni dengan kualitas fisiologi yang dapat disimpan dan mudah ditangani

selama proses berlangsung, seperti perlakuan awal, pengangkutan dan

penyemaian. Pemrosesan meliputi tujuh prosedur sebagai berikut:

1. Pembersihan awal, untuk buah atau lot benih yang berisi kotoran yang lebih

besar, bagian daun, ranting, buah kosong, dll.

2. Perawatan awal (pre-curing), untuk buah yang harus diperam (after ripening)

dalam kondisi setelah masak, atau bila pengeringan yang terlalu cepat akan

menyulitkan proses ekstraksi.

3. Ekstraksi, untuk jenis yang buahnya dikumpulkan tetapi hanya benih yang

disimpan dan disemaikan.

4. Pelepasan sayap benih, untuk buah dan benih bersayap termasuk pembuangan

bagian lain yang tidak berfungsi seperti duri, arilus dan bulu.

5. Pembersihan, untuk buah atau benih yang tercampur dengan bagian buah,

daun, ranting, benih kosong, benih jenis lain dan bagian benih yang tidak

berfungsi.

6. Pemilahan (grading), untuk benih atau lot benih yang variasi ukuran dan

beratnya besar.

7. Penyesuaian kadar air, untuk benih yang setelah melalui prosedur lain masih

memiliki kadar air lebih tinggi atau lebih rendah daripada jenis tertentu yang

dianggap optimal untuk disimpan dalam jangka waktu yang diinginkan.

Kebanyakan buah dapat diklasifikasikan ke dalam buah berdaging dan buah

kering. Selama proses ekstraksi, pengeringan pertama untuk menurunkan kadar

lembabnya, terakhir diekstraksi dalam keadaan basah dan seringkali setelah

Budi Utomo : Ekologi Benih, 2006 USU Repository © 2006

Page 23: ekologi benih

direndam kedalam air. Beberapa tipe benih dapat diekstraksi baik dalam kondisi

basah maupun kering.

Tabel 2. Ringkasan metode ekstraksi untuk bermacam-macam tipe buah

Tipe buah Prosedur ekstraksi Buah kering merekah, seperti polong, follicles,

kapsul dan kerucut. Contoh: pinus, eukaliptus

dan kebanyakan leguminosa

Pengeringan → diayak dalam drum/silinder

Buah kering tidak merekah, yaitu polong

Acacia nilotica dan A. siberiana yang tidak

merekah

Pengeringan → pemukulan untuk melepas

benih

Buah serotinous (berserat keras) seperti buah

kerucut, kapsul dan beberapa buah berkompon

kering

Pemanasan dalam tanur/oven → pemutaran

dalam drum

Pembakaran permukaan buah → pemutaran

dalam drum

Buah berdaging lunak mengandung serat tipis

seperti Vitex spp dan Ziziphus spp

Pengeringan

Perendaman → sampai jenuh → pencucian

Buah berdaging lunak mengandung serat lunak

seperti Prunus, Ole, Ficus

Perendaman → fermentasi → pencucian

Perendaman → sampai jenuh → pencucian

Buah lunak mengandung bahan berserat lunak

seperti Gmelina

Perendaman → sampai jenuh → pencucian →

diampelas/digosok

Buah berdaging mengandung jalinan serat

seperti Tectona grandis, Sclerocarya spp dan

Vitex spp

Perendaman → diampelas/digosok

3.2.3. Mengatur kadar air untuk penyimpanan

a. Benih ortodoks

Kebanyakan benih ortodoks dapat disimpan aman selama paling tidak 1-2

tahun pada kadar air 8-1% atau di bawahnya. Periode penyimpanan yang potensial

diperpanjang dengan penyimpanan dingin. Penyimpanan jangka panjang pada

suhu di bawah nol dikehendaki kadar air 2-4%. Pengeringan dilakukan dengan

cara alamiah sinar matahari atau pemanasan buatan menggunakan aliran udara

panas yang biasa menggunakan peralatan elektronik. Benih lembab kurang toleran

terhadap panas daripada benih kering. Jika kadar air semula cukup tinggi, misal

setelah ekstraksi cara lembab atau pembersihan, harus diperhatikan tidak

Budi Utomo : Ekologi Benih, 2006 USU Repository © 2006

Page 24: ekologi benih

memadasi benih terlalu tinggi selama tingkat pengeringan pertama. Disarankan

menggunakan suhu pengeringan berikut:

1. Suhu udara 30-35oC sampai kadar air mencapai 10-12%

2. Suhu udara 35-45oC sampai kadar air mencapai 5-10%

3. Suhu udara 45-55oC sampai kadar air mencapai 3-5%

Sekali benih dikeringkan sampai kadar air penyimpanan sesuai, dapat

kemudian disimpan dalam wadah kedap udara sesegara mungkin untuk

menghindari penyerapan kelembaban kembali udara luar.

b. Benih rekalsitran dan menengah

Meskipun benih ini memiliki kadar air tinggi ketika menyebar, kebanyakan

jenis mengalami semacam pengeringan agar masak. Pada beberapa benih

rekalsitran, laju pengurangan kelembaban mempengaruhi penyimpanan

selanjutnya. Pada benih Triplochiton scleroxylon, yang umumnya benih hilang

viabilitasnya dalam hitungan minggu, toleran pada pengeringan sampai kadar air

8% bila kadar air diturunkan 1% setiap jam. Benih lalu dapat disimpan pada suhu

rendah dan viabilitasnya (>> 60%) setelah 6 minggu penyimpanan bila benih

dikeringkan menggunakan sinar matahari selama 2-3 hari. Lama pengeringan

pendek (1 hari) dan lebih lama (7 hari) menghasilkan perkecambahan yang jelek.

Tidak ada perbedaan dalam penyimpanan di mana setelah 8 minggu, penyimpanan

mengikuti alternatif metode pengeringan dan lajunya.

Benih-benih sensitif mungkin dapat rusak karena pengeringan yang tidak

disengaja disebabkan pemrosesan. Kerusakan seperti ini dapat diperbaiki dengan

melembabkan kembali benih, tetapi pengeringan dapat dikurangi dengan

menyimpan benih pada kadar air aman dan pada lingkungan di mana dihindarkan

pengeringan lanjutan. Pelembaban kembali secara teknis berlawanan dengan

pengeringan, namun untuk benih rekalsitran sangat rumit karena harus

dipertahankan adanya kondisi keseimbangan di mana kadar air yang ditingkatkan

sampai level yang dikehendaki tanpa terjadi penyerapan air dan perkecambahan.

Pelembaban dengan cara absorpsi dari udara mungkin lebih mudah dikontrol

daripada dengan cara merendam benih dalam air.

Budi Utomo : Ekologi Benih, 2006 USU Repository © 2006

Page 25: ekologi benih

3.2.4. Potensi kerusakan benih selama pemrosesan

Pemrosesan benih bertujuan memperoleh keseimbangan di antara

memaksimalkan evektivitas (ekstraksi, pembersihan, proteksi terhadap penurunan

viabilitas) dan kerusakan pada benih. Dalam praktek, pemrosesan selalu

mengimplikasikan resiko kerusakan pada benih. Kerusakan dapat terjadi dengan

berbagai cara:

a. Kerusakan mekanis. Biasanya pada kulit benih, namun kadang pada embrio

yang kotiledonnya sudah terbentuk lengkap. Umumnya benih berbentuk bulat

dan benih kecil cenderung sedikit mengalami kerusakan daripada benih

berbentuk panjang dan tidak beraturan.

b. Kerusakan karena panas. Sering terjadi karena pemanasan oven suhu tinggi

untuk mengekstraksi benih dari buah kerucut, atau pembakaran untuk

menghilangkan bulu buah atau benih. Suhu tinggi yang fatal dapat juga timbul

selama fermentasi daging buah. Benih yang lembab kurang tahan terhadap

panas daripada benih kering dan benih rekalsitran juga sensitif terhadap panas.

c. Kerusakan karena bahan kimia. Terkadang timbul selama pemisahan

dengan cara pengapungan dalam cairan organik. Sumber potensial merusak

adalah fungisida.

d. Air. Perendaman dalam air yang terlalu lama, misalnya untuk melunakkan

daging buah, dapat menghambat proses respirasi benih. Perendaman terlalu

lama dapat juga menyebabkan penyerapan air dan mulai berkecambah pada

benih yang tidak memerlukan dormansi.

3.2.5. Klasifikasi potensi penyimpanan benih

Meskipun kata ortodoks dan rekalsitran relatif jelas perbedaannya, fisiologi

penyimpanan benih meliputi spektrum yang luas, bervariasi dari sangat

rekalsitran, yang viabilitasnya hilang dalam beberapa hari, sampai yang sangat

ortodoks di mana dalam kondisi optimal benih tetap hidup setelah berpuluh-puluh

tahun bahkan berabad-abad.

Budi Utomo : Ekologi Benih, 2006 USU Repository © 2006

Page 26: ekologi benih

Tabel 3. Klasifikasi fisiologis dalam hubungan dengan suhu dan kadar air

Benih Ortodoks

Benih intermediate

Suhu rekalsitran iklim sedang

Benih rekalsitran iklim sedang

Kadar air penyimpanan Rendah Rendah Tinggi Tinggi Suhu penyimpanan Rendah Tinggi Rendah Tinggi

Tabel 4. Beberapa sifat benih ortodoks dan rekalsitran

Ortodoks Rekalsitran Keadaan alami Dominan di lingkungan arid

dan semi arid serta pionir di iklim basah, juga banyak ditemui di iklim sedang dan dataran tinggi tropis

Banyak ditemui di iklim panas dan lembab khususnya hutan klimaks dari hutan tropika basah dan mangrove, juga ditemui di daerah iklim sedang dan beberapa jenis daerah kering

Famili dan genus dengan sifat-sifat penyimpanan tertentu

Myrtaceae, Leguminosae, Pinaceae, Casuarinaceae

Dipterocarpaceae, Rhizophoraceae, Meliaceae, Artocarpus, Araucaria, Triplochiton, Agathis, Syzgium, Quercus

Kadar air benih dan suhu penyimpanan

Toleran terhadap pengeringan dan suhu rendah, kadar air penyimpanan 5-7% dengan suhu 0-20oC, sedangkan untuk cryopreservasi kadar air 2-4% dan suhu -15 sampai -20oC

Tidak toleran terhadap pengeringan dan suhu rendah (kecuali pada beberapa jenis rekalsitran iklim sedang). Tingkat toleransi tergantung jenis, biasanya 20-35% dan 12-15oC untuk jenis tropis

Potensi waktu penyimpanan Dengan kondisi penyimpanan optimal beberapa tahun untuk kebanyakan jenis hingga puluhan tahun untuk yang lainnya

Dari beberapa hari untuk rekalsitran ekstrim sampai beberapa bulan untuk yang lebih toleran

Karakteristik benih Kecil hingga medium seringkali dengan kulit biji keras

Umumnya medium hingga besar dan berat

Karakteristik kemasakan Penambahan berat kering berhenti sebelum masak. Kadar air turun hingga 6-10% saat masak dengan variasi kecil di antara individu benih

Penambahan berat kering terjadi sampai saat benih jatuh. Kadar air pada saat masak 30-70% dengan variasi besar di antara individu benih

Dormansi Dormansi sering terjadi Tidak ada dormansi atau lemah. Kemasakan dan perkecambahan terjadi dalam selang waktu yang singkat

Metabolisme pada saat masak

Tidak aktif Aktif

Suatu group jenis yang dapat dikeringkan sampai kadar air cukup rendah

sesuai klasifikasi ortodoks, namun peka pada suhu rendah sebagai ciri benih

ortodoks disebut intermediate, contoh Swietenia macrophylla. Kelompok transisi

lain di dalam kelompok tersebut sering disebut sub-ortodoks dan sub-rekalsitran.

Budi Utomo : Ekologi Benih, 2006 USU Repository © 2006

Page 27: ekologi benih

Benih ortodoks biasanya responsif terhadap penurunan kadar air dengan

penambahan viabilitasnya (setiap penurunan 1% kadar air daya simpan meningkat

2 kali pada rentang kadar air hingga 4-5% tergantung jenisnya. Pengeringan

lanjutan tidak akan menambah daya simpan, namun pada beberapa ortodoks tidak

dapat bertahan di bawah kadar air minimum tertentu pada semua suhu

penyimpanan. Contoh kadar air kritis untuk Agathis australis dan A macrophylla

masing-masing 5% dan 7% (di bawah kadar tersebut viabilitasnya menurun).

Kedua jenis ini disebut sub-ortodoks.

Di daerah tropis dan subtropis, rekalsitran biasanya berhubungan dengan

iklim basah dan strategi regenerasi jenis-jenis non pionir. Famili yang hanya

terdapat di hutan tropis basah klimaks seperti Dipterocarpaceae, terdiri dari

hampir seluruhnya rekalsitran atau intermediate. Hanya sedikit jenis rekalsitran di

daerah kering tropis kecuali Dobera glabra dan Azadachta indica, meskipun jenis

terakhir menjadi lebih ortodoks di daerah kering. Famili Leguminosae terutama

menguasai daerah kering atau jenis pionir di daerah tropis lembab. Karenanya

hampir seluruhnya ortodoks (Spurr and Barnes, 1980).

Budi Utomo : Ekologi Benih, 2006 USU Repository © 2006

Page 28: ekologi benih

IV. DORMANSI DAN PEMATAHAN DORMANSI

Dormansi benih menunjukkan suatu keadaan di mana benih-benih sehat

(viable) gagal berkecambah ketika berada dalam kondisi yang merata normal baik

untuk perkecambahan, seperti kelembaban yang cukup, dan cahaya yang sesuai.

Dormansi merupakan strategi untuk mencegah perkecambahan di bawah kondisi

di mana kemungkinan hidup kecambah atau anakan rendah.

4.1. Tipe dormansi

1. Embrio yang belum berkembang

Benih dengan pertumbuhan embrio yang belum berkembang pada saat

penyebaran tidak akan dapat berkecambah pada kondisi perkecambahan normal

dan karenanya tergolong kategori dorman yang disebut dengan dormansi

morfologis. Ini perlu dibedakan dari embrio yang belum masak karena

pengunduhan yang terlalu awal walaupun perbedaannya tidak selalu jelas dan

metode perlakuan awalnya serupa, contoh pada benih Arecaceae (palm) Ginko

biloba.

Agar terjadi perkecambahan, embrio harus tumbuh maksimal, ini

dimungkinkan oleh perlakuan lembab dan panas yang disebut after ripening.

Dormansi yang disebabkan oleh embrio yang belum masak seringkali bercampur

dengan tipe dormansi lainnya, misalnya dormansi suhu pada Fraxinus spp.

2. Dormansi mekanis.

Dormansi ini menunjukkan kondisi di mana pertumbuhan embrio secara

fisik dihalangi karena struktur penutup yang keras. Imbibisi dapat terjadi namun

radikula tidak dapat membelah atau menembus penutupnya (buah atau bagian

buah). Hampir semua benih dormansi mekanis mengalami keterbatasan dalam

penyerapan air.

Dormansi mekanis umumnya dijumpai pada beberapa genera tropis dan

subtropis seperti: Pterocarpus (P. indicus, P. Angolensis, dll), Terminalia (T.

brownie, T. tomentosa, T. superba) dan Melia (Melia volkensis), Eucalyptus

delegatensis dan E. pauciflora.

Budi Utomo : Ekologi Benih, 2006 USU Repository © 2006

Page 29: ekologi benih

Pelunakan pericarp atau kulit biji terjadi selama perlakuan awal yang

lembab dan benih diberi perlakuan awal dengan stratifikasi lembab untuk

mengatasi musalnya dormansi suhu, umumnya dapat mengatasi dormansi

mekanis. Lama stratifikasi tergantung suhu, jenis dan tingkat dormansi, namun

umumnya berkisar antara tiga hingga lima minggu. Perlakuan awal larutan asam

umumnya dilakukan pada benih yang memiliki dormansi ganda (dormansi fisik

dan mekanis) misalnya pada Pterocarpus angolensis, di mana kecepatan

perkecambahan meningkat secara nyata dibanding dengan control dengan

perlakuan perendaman selama 12 menit dalam larutan asam sulfat.

Karena perlindungan terhadap benih seluruhnya dilakukan oleh penutup

buah yang keras, pericarp yang keras selalu berkaitan dengan benih yang mudah

rusak.

3. Dormansi fisik

Dormansi fisik disebabkan oleh kulit buah yang keras dan impermeable atau

kulit penutup buah yang menghalangi imbibisi dan pertukaran gas. Fenomena ini

sering disebut sebagai benih keras, meskipun istilah ini biasanya digunakan untuk

benih Leguminosae yang kedap air.Selain itu dormansi ini juga ditemui pada

beberapa anggota famili Myrtaceae (Eucalyptus dan Malaleuca), Cupressaceae

(Juniperus procera) dan Pinaceae (Pinus spp). Dormansi ini disebabkan pericarp

atau bagian pericarpnya. Dormansi ini paling umum ditemukan di daerah tropis

khususnya daerah arid.

Semua metode menggunakan prinsip yang sama yakni melubangi kulit biji

hingga air dapat masuk dan penyerapan dapat berlangsung, kecuali jika dormansi

fisik dan mekanis terjadi bersamaan, penembusan pada suatu titik sudah cukup

memadai untuk peresapan air. Perlakuan awal secara manual terhadap individu

benih misalnya pengikisan atau pembakaran sangat efesien untuk mengatasi

dormansi tanpa merusak benih. Perlakuan awal terhadap benih individu yang

berbeda tingkat dormansinya pada suatu lot benih juga dapat menyebabkan

kerusakan pada benih dengan kulit tipis yang disebut over treatment. Bila

dormansi berhubungan dengan genotip, perlakuan dapat menyebabkan akibat-

Budi Utomo : Ekologi Benih, 2006 USU Repository © 2006

Page 30: ekologi benih

akibat genetik. Beberapa perlakuan untuk mematahkan dormansi ini dapat

dilakukan dengan:

a. Skarifikasi mekanis, yakni melalui penusukan, penggoresan, pemecahan,

pengikiran atau pembakaran dengan bantuan pisau, jarum, kikir, pembakar,

kertas gosok atau lainnya, yang merupakan cara paling efektif untuk

mengatasi dormansi fisik. Permasalahan utama dalam skarifikasi manual

adalah perlu tenaga yang banyak, namun dengan alat pembakar, seseorang

dapat menyelesaikan lebih dari 100 benih/menit.

b. Air panas, mematahkan dormansi fisik pada Leguminosae melalui tegangan

yang menyebabkan pecahnya lapisan macrosclereid, atau merusak tutup

strophiolar. Metode ini paling efektif bila benih direndam dalam air panas.

Pencelupan juga baik untuk mencegah kerusakan embrio. Perubahan suhu

yang cepat menyebabkan perbedaan tegangan, bukan karena suhu tinggi, bila

perendaman terlalu lama panas dapat diteruskan ke dalam embrio sehingga

dapat menyebabkan kerusakan. Cara umum dilakukan adalah dengan

menuangkan benih dalam air mendidih dan membiarkannya untuk mendingin

dan menyerap air selama 12-24 jam. Suhu air menurun dengan cepat sehingga

tidak merusak embrio, contoh pada Cassia siamea. Kepekaan terhadap suhu

bervariasi di antara maupun di dalam jenis, demikian pula pada beberapa jenis

Acacia yang lebih baik diberi perlakuan di bawah titik didih, sedangkan benih

kering yang masak atau kulit bijinya relatif tebal, toleran terhadap perendaman

sesaat dalam air mendidih. Namun jenis berkulit sangat keras seperti Acacia

dari Afrika terbukti tidak terpengaruh perlakuan air mendidih.

c. Pemanasan atau pembakaran. Suhu panas kering berpengaruh sama dengan air

mendidih terhadap kulit biji buah kering: ketegangan dalam sel bagian luar

menyebabkan keretakan sehingga gas dan air dapat menembus. Efektifitas

suhu panas kering dan pembakaran ditingkatkan dengan perubahan suhu yang

cepat, misalnya setelah beih diberi perlakuan panas segera dipindahkan ke air

dingin, hal ini juga akan mengurangi resiko kerusakan embrio karena panas.

Pada Acacia mangium, pengeringan oven pada suhu 100oC selama 10 menit

diikuti perendaman dalam air dingin sangat efektif.. Panas kering oleh

Budi Utomo : Ekologi Benih, 2006 USU Repository © 2006

Page 31: ekologi benih

pembakaran rumput dapat diterapkan pada beberapa jenis, contoh pada

Aleurites moluccana, Enterolobium cyclocarpum, dll.

d. Perlakuan dengan asam. Larutan asam seperti H2SO4 menyebabkan kerusakan

pada kulit biji dan dapat diterapkan baik pada legum maupun non legum.

Namun tidak sesuai untuk benih yang mudah menjadi permeable karena asam

akan masuk dan merusak embrio. Metode ini paling efektif digunakan untuk

benih berkulit keras seperti Acacia nilotica, A. bidwillii, dll. Perlakuan ini

umum digunakan pada jenis Acacia dari Afrika dan legum lainnya.

e. Bahan kimia lain. Sejumlah bahan kimia alternative telah dicoba, namun

belum memberikan hasil yang memuaskan. Dari 66 perlakuan Selain H2SO4

hanya ethanol yang memberikan hasil cukup memuaskan. Hidrogen peroksida

(H2O2) juga diketahui dapat meningkatkan perkecambahan, namun

mekanismenya tidak dipahami sepenuhnya.

f. Metode biologi. Metode seperti pencernaan binatang besar, pengaruh serangga

atau mikroba jarang digunakan, namun sering dapat meningkatkan

permeabilitas benih. Benih Acacia yang diambil dari kotoran kambing sering

berdormansi lebih rendah daripada benih yang tidak dicerna, walau

pengaruhnya tergantung jenisnya, walaupun banyak benih yang telah

melewati system pencernaan jumlah yang sama juga rusak karena dimakan.

4. Zat-zat penghambat

Sejumlah jenis mengandung zat-zat penghambat dalam buah atau benih

yang mencegah perkecambahan, misalnya dengan menghalangi proses

metabolisme yang diperlukan untuk perkecambahan. Gula dan zat lain dalam buah

berdaging mencegah perkecambahan karena tekanan osmose yang menghalangi

penyerapan. Selain gula banyak buah yang mengandung senyawa penghambat

seperti coumarin. Untuk mematahkan dormansi ini zat penghambat harus

dihilangkan. Dalam kondisi alami pembusukan atau pencucian oleh air hujan

secara bertahap mematahkan dormansi, namun proses alami ini berlangsung lama

dan menghasilkan perkecambahan yang tidak seragam. Pada benih Gmelina

arborea pencucian dalam air mengalir untuk membersihkan zat penghambat dapat

meningkatkan perkecambahan hingga 50-90%. Zat penghambat perkecambahan

Budi Utomo : Ekologi Benih, 2006 USU Repository © 2006

Page 32: ekologi benih

lebih sulit dihilangkan setelah buah disimpan beberapa lama. Dengan demikian

pengupasan dini perlu dilakukan secepatnya untuk menghindari dormansi yang

lebih panjang.

Benih dapat diletakkan pada air mengalir selama 24 jam atau direndam

dalam air berganti-ganti. Setelah zat penghambat diencerkan secukupnya benih

mampu berkecambah. Pada Tectona grandis, perendaman dan pengeringan yang

dilakukan bergantian dapat menurunkan dormansi kimia secara perlahan dan pada

saat bersamaan dapat mematahkan dormansi fisik. Demikian pula stratifikasi yang

merupakan cara utama mematahkan dormansi suhu dapat mengurangi zat

penghambat.

5. Dormansi cahaya.

Sebagian besar benih dengan dormansi cahaya hanya berkecambah pada

kondisi terang sehingga benih tersebut disebut peka cahaya. Dormansi cahaya

umumnya ditemui pada pohon-pohon pionir. Ini dikendalikan melalui mekanisme

phytochrome biokimia.

Phytochrome muncul dalam dua bentuk Pr dan Pfr (r berarti merah/red, dan

fr berarti merah jauh/far red) yang dapat dirubah secara bolak balik melalui radiasi

dengan panjang gelombang berbeda. Perkecambahan ditentukan berdasarkan

jumlah Pfr terhadap jumlah total phytochrome. Phytochrome dalam bentuk Pr

menghambat perkecambahan, sedangkan Pfr memungkinkan terjadinya

perkecambahan. Benih dorman memiliki jumlah Pr yang sangat banyak, pada

benih yang tidak dorman phytochrome muncul terutama dalam bentuk Pfr.

Dormansi dalam benih dorman cahaya dapat dipatahkan dengan meletakkan di

bawah cahaya dengan rasio antara merah dengan merah jauh yang tinggi,

misalnya cahaya putih. Sebaliknya benih tidak dorman dapat berubah menjadi

dorman (dorman rangsangan atau sekunder) bila diletakkan di bawah cahaya yang

memiliki panjang gelombang merah jauh yang relatif tinggi, misalnya ketika

cahaya melalui tajuk yang rapat atau benih terbungkus dalam daging buah yang

kaya klorofil (hijau) atau kulit biji. Bila benih diletakkan pada kondisi gelap

(misalnya dikubur atau disimpan dalam kondisi gelap), dormansi akan

berkembang secara bertahap karena Pfr dirubah menjadi Pr.

Budi Utomo : Ekologi Benih, 2006 USU Repository © 2006

Page 33: ekologi benih

Gambar 4. (A) memperlihatkan prinsip konversi phytochrome Pr menjadi Pfr dan

Pfr menjadi Pr di bawah 3 jenis cahaya; (B) menunjukkan konversi phytochrome pada berbagai kedalaman tanah

Beberapa tingkat mekanisme dormansi phytchrome tampaknya dipengaruhi

suhu. Suhu yang tinggi atau berfluktuasi dapat mengatasi dormansi cahaya. Di

alam, suhu dan cahaya saling terkait.

6. Dormansi suhu

Dormansi ini mencakup semua tipe dormansi di mana suhu berperan dalam

perkembangan atau pelepasan dormansi. Benih dengan dormansi suhu sering

memerlukan suhu yang berbeda dengan yang diperlukan untuk proses

perkecambahan. Dormansi ini ditemui pada kebanyakan jenis beriklim sedang,

seperti Fagus, Quercus, Pinus, Abies, dan beberapa jenis tropis dataran tinggi

seperti Pinus dan Eucalyptus. Benih ini memerlukan perlakuan dingin dan lembab

untuk mematahkan dormansi yang disebut chilling. Eucalyptus dataran tinggi

(alpin) seperti E. delegatensis, E. pauciflora dan E. glaucescens memerlukan

perlakuan pendahuluan lembab dingin untuk mengatasi dormansi.

Untuk mengatasi dormansi suhu melalui perlakuan lembab dingin, benih

harus dapat menyerap. Karena itu penyimpanan dingin dari benih kering

umumnya tidak menggantikan stratifikasi kerena benih hanya bereaksi bila

lembab. Dibanding tipe dormansi lain, dormansi suhu memerlukan periode

perlakuan yang lebih panjang.

Budi Utomo : Ekologi Benih, 2006 USU Repository © 2006

Page 34: ekologi benih

7. Dormansi gabungan

Bila dua atau lebih tipe dormansi ada dalam jenis yang sama, dormansi

harus dipatahkan baik melalui metode beruntun yang bekerja pada tipe dormansi

yang berbeda atau melalui metode dengan pengaruh ganda. Ini biasa diterapkan

pada kombinasi dormansi fisik dan mekanis. Bila dua tipe dormansi terjadi

bersama, beberapa metode yang bertujuan mematahkan dormansi fisik juga

dijalankan pada dormansi mekanis.

Fraxunis spp umumnya dikenal memiliki dua tipe dormansi yaitu dormansi

embrio yang sedang berkembang dan dormansi suhu. Dormansi embrio

dipatahkan dengan stratifikasi lembab panas, sedangkan dormansi suhu melalui

serangkaian stratifikasi lembab dingin. Pada Tectona grandis, dormansi fisik

bergabung dengan zat-zat penghambat dalam buah, selain itu benih memerlukan

suatu periode setelah pematangan yang harus dilakukan sebelum benih bereaksi

terhadap prosedur perlakuan lain. Jadi perlakuannya adalah perendaman dan

pengeringan bergiliran di tambah pemanasan matahari dengan jumlah siklus yang

bervariasi sebagai berikut:

a. Empat kali perendaman dan tiga kali pengereingan, masing-masing 30-35

menit untuk benih yang diskarifikasi

b. 5-10 siklus perendaman 1 hari dan penjemuran 3-5 hari

c. Bergiliran perendaman 24 jam dan pengeringan 24 jam selama 2 minggu.

Perendaman yang berlangsung lama dalam air mengalir berfungsi mencuci zat-zat

penghambat dan melunakkan kulit biji.

a. Perendaman dalam air

Perendaman dalam air tergenang atau mengalir merupakan metode

pencucian zat-zat yang menghambat dalam buah dan benih. Perendaman dalam air

selama 6 hari ditemukan cocok untuk alternative perendaman dan pengeringan

untuk mengatasi dormansi fisik dalam Tectona grandis. Meskipun

perkecambahan tertunda setelah perendaman yang berlangsung lama, jumlah

perkecambahan sendiri akan berimbang. Perendaman merupakan prosedur yang

sangat lambat untuk mengatasi dormansi fisik, namun banyak jenis tanpa

dormansi atau dormansinya telah dipatahkan memperoleh manfaat dari

Budi Utomo : Ekologi Benih, 2006 USU Repository © 2006

Page 35: ekologi benih

perendaman dalam air (12-24 jam sebelum tanam). Perendaman lebih dari 1 hari

sebaiknya dihindari karena dapat menyebabkan anoksia. Bila perlu perendaman

lebih lama, air sebaiknya diganti teratur.

b. Perlakuan hormon atau kimia

b.1. Zat pengatur tumbuh

Asam giberellic (GA) adalah kelompok hormone tanaman yang ada secara

alami. Ia berperan dalam proses awal perkecambahan melalui aktivitas produksi

enzim dan pengangkutan cadangan makanan. Dalam hubungannya dengan

dormansi GA mengatur pengaruh zat-zat penghambat seperti coumarin, atau

ABA. Penggunaan asam giberelline (biasanya GA3) berpengaruh mengatasi

dormansi suhu, dormansi cahaya dan dormansi yang diakibatkan oleh zat

penghambat. GA juga berpengaruh positif dalam perkembangan tunas dan vigor.

Benzyl adenine (BA), adalah hormone tanaman sintetik dari kelompok

sitokinin. Sitokinin penting dalam pembelahan sel. Interaksi antara sitokinin dan

hormon tanaman lain, auksin berpengaruh bagi perbanyakan tanaman yaitu: ratio

auksin/sitokinin yang tinggi mendukung perkembangan akar dan perkembangan

pucuk. Penggunaan sitokinin juga mendorong perkecambahan, namun karena

pengaruh perkembangan pucuk sangat spesifik, perkecambahan dan pertumbuhan

semai menjadi abnormal, di mana benih yang diberi perlakuan sitokinin kadang

berkecambah dengan pucuk sebelum akar. Sitokinin juga mampu mengatasi

dormansi suhu tanaman.

Senyawa nitrogen. Potasium nitrat (KNO3) merupakan salah satu

perangsang perkecambahan yang sering digunakan. KNO3 digunakan baik dalam

hubungannya dengan pengujian, dan dalam operasional perbanyakan tanaman.

Thiourea, memiliki pengaruh merangsang terhadap pematahan dormansi

melalui pengaktifan kembali pengaruh zat penghambat, contoh ABA. Thiourea

efektif dalam mengatasi dormansi cahaya dalam sejumlah benih yang peka

cahaya. Pada iklim sedang ia biasa digunakan untuk jenis Quercus, Larix dan

Picea menggantikan stratifikasi.

Budi Utomo : Ekologi Benih, 2006 USU Repository © 2006

Page 36: ekologi benih

b.2. Priming

Priming merupakan metode mempercepat dan menyeragamkan

perkecambahan, melalui pengontrolan penyerapan sehingga perkecambahan dapat

terjadi, namun tidak mencukupi untuk munculnya akar. Priming membuat

perkecambahan lebih dari sekedar imbibisi, yakni sedekat mungkin pada fase

ketiga yakni fase pemanjangan akar pada perkecambahan. Selama priming

keragaman dalam tingkat penyerapan awal dapat diatasi.

Jenis priming yang sangat umum adalah osmo priming di mana benih

direndam dalam larutan dengan tekanan osmosis tinggi biasanya polyethylene

glycol (PEG). Lama priming bervariasi tergantung jenis. Rentang kondisi

potensial osmosis dari -5 sampai -15 bar, suhu dari 10 hingga 25oC dan lamanya

waktu perlakuan dari 1-15 hari. Kondisi priming yang umum adalah 15oC selama

5–10 hari. Selama priming baik dilakukan pengadukan agar perlakuan seragam

dan menjamin aerasi yang baik. Setelah priming selesai, lot benih dicuci,

dikeringkan segera dan dilapisi dengan lapisan, misalnya sodium alginate

(Schmidt, 2000).

Budi Utomo : Ekologi Benih, 2006 USU Repository © 2006

Page 37: ekologi benih

V. PERKECAMBAHAN DAN KONDISI LINGKUNGAN

Perkecambahan merupakan batas antara benih yang masih tergantung pada

sumber makanan dari induknya dengan tamanan yang mampu berdiri sendiri

dalam mengambil hara. Oleh karenanya perkecambahan juga merupakan mata

rantai terakhir dalam proses penanganan benih. Banyak benih relatif tahan

terhadap pengaruh lingkungan, sementara benih yang berkecambah dan anakan

sangat mudah rusak. Segera setelah perkecambahan dimulai, stres karena

kurangnya air, suhu dan cahaya dapat menyebabkan kematian.

Perkecambahan ditentukan oleh kualitas benih (vigor dan kemampuan

berkecambah), perlakuan awal (pematahan dormansi) dan kondisi perkecambahan

seperti air, suhu, media, cahaya dan bebas dari hama dan penyakit. Cahaya, suhu

dan kelembaban merupakan tiga faktor utama yang mempengaruhi

perkecambahan selama pertumbuhan anakan kondisi media pertumbuhan seperti

pH, salinitas dan draenase menjadi penting. Selama perkecambahan dan tahap

awal pertumbuhan benih dan anakan sangat rentan terhadap tekanan fisiologis,

infeksi dan kerusakan mekanis, karenanya tujuan lain penyediaan kondisi

lingkungan yang optimal adalah untuk mempercepat perkecambahan hingga

anakan dapat melalui tahapan ini dengan cepat.

5.1. Metabolisme perkecambahan biji

Proses perkecambahan benih merupakan suatu rangkaian kompleks dari

perubahan-perubahan morfologi, fisiologi dan biokimia. Tahap pertama

perkecambahan benih dimulai dari proses penyerapan air oleh benih diikuti

melunaknya kulit benih dan hidrasi dari protoplasma. Setelah biji menyerap air,

maka biji akan menghasilkan hormone tumbuh: giberellic acid (GA) yang

berfungsi untuk menstimulir kegiatan enzim-enzim di dalam biji. Tahap kedua

dimulai dengan kegiatan sel-sel dan enzim serta naiknya respirasi benih. Tahap

ketiga merupakan terjadinya peruraian bahan-bahan seperti karbohidrat, lemak

dan protein menjadi bentuk-bentuk melarut dan ditranslokasikan ke titik tumbuh.

Tahap ke empat merupakan asimilasi dari bahan yang telah diuraikan tadi ke

daerah merismatik untuk menghasilkan energi bagi kegiatan pembentukan

Budi Utomo : Ekologi Benih, 2006 USU Repository © 2006

Page 38: ekologi benih

komponen dan pertumbuhan sel-sel baru. Tahap kelima merupakan pertumbuhan

dari kecambah melalui proses pembelahan, pembesaran dan pembagian sel pada

titik-titik tumbuh. Proses pertumbuhan dan perkembangan emrio diawali dari

ujung ujung titik tumbuh akar yang diikuti oleh titik tumbuh tunas. Sementara

daun belum dapat berfungsi optimal sebagai organ fotosintetis, pertumbuhan

kecambah sangat tergantung pada persediaan makanan yang ada dalam biji.

5.2. Penyerapan, mobilitas cadangan makanan dan pemunculan bakal akar

Penyerapan adalah kondisi awal proses metabolisme yang mengarah pada

penyelesaian proses perkecambahan. Walau demikian penyerapan merupakan

proses fisik murni yang terjadi baik pada benih dorman atau tidak, viable atau

tidak, karena itu benih dorman atau mati dapat secara normal menyerap air tanpa

menyebabkan perkecambahan. Secara fisik benih dorman tidak akan menyerap

kecuali kulit benihnya dibuat permeable melalui perlakuan awal atau proses

alami. Sekalipun benih viable telah menyerap, perkecambahan dapat terhenti atau

tertunda oleh keberadaan tipe dormansi lain atau oleh tidak adanya suhu

perkecambahan yang memadai.

Kecepatan penyerapan air tergantung pada potensial air benih dan tanah.

Potensi air (Ψ) menggambarkan keadaan energi air. Air akan cenderung mengalir

dari tempat yang potensi airnya tinggi ke tempat yang potensi airnya rendah, dan

makin besar perbedaan, makin tinggi kecepatan mengalir. Ini menunjukkan bahwa

air akan mengalir dari media lembab ke media kering. Makin tinggi potensial air

tanah (makin lembab tanah), makin cepat biji menyerap air. Makin kering biji,

makin cepat pula ia menyerap air, sehingga penyerapan berlangsung cepat pada

awalnya untuk selanjutnya menurun.

Kecepatan penyerapan juga bergantung pada ukuran, morfologi dan struktur

dalam benih dan suhunya. Benih kecil dan benih berkulit relatif halus cenderung

lebih efisien dalam menyerap air karena singgungannya dengan tanah makin besar

dan perbandingan luas permukaan dan volume semakin besar. Kecepatan

penyerapan juga makin meningkat dengan meningkatnya suhu.

Setelah penyerapan selesai, benih mengalami fase penyerapan lambat.

Selama fase ini aktivitas metabolic mulai berlangsung. Benih dorman dan tidak

Budi Utomo : Ekologi Benih, 2006 USU Repository © 2006

Page 39: ekologi benih

dorman secara metabolic aktif, yakni aktivitas dehydrogenase, yakni enzim yang

menjadi dasar uji viabilitas tetrazolium. Selama fase ini benih memindahkan

cadangan makanan yang tersimpan seperti protein, pati dan enzim metabolik

menjadi aktif. Karena proses metabolik memerlukan oksigen, kelebihan

kelembaban dak kadar oksigen yang rendah di sekitar benih dapat menghambat

proses perkecambahan dan perkecambahan benih akan terlambat atau benih

membusuk.

Setelah fase masa proses yang berjalan lambat, benih memasuki

pemanjangan dan mitosis sel pertama selagi menghasilkan penonjolan bakal akar,

kemudian timbul epikotil, hipokotil, dan kotiledon. Pada benih yang mengering,

penyerapan awal dikaitkan dengan kebocoran hidrolit (gula, asam amino, dll) dari

benih yang disebabkan pecahnya membran sel dalam benih yang mengering. Pada

benih yang sehat kebocoran berlangsung singkat karena selaput sel cepat

memperbaiki diri. Diferensiasi morfologi embrio umumnya berlangsung selama

pematangan. Pada saat perkecambahan dimulai semua struktur penting dalam

embrio tumbuh dan perkembangan struktur tersebut sebagian besar terjadi melalui

pembelahan dan pembesaran sel. Perkecambahan normal di mulai dengan

penonjolan akar, diikuti pemanjangan bagian sumbu embrio yang berkembang

menjadi batang utama. Terdapat dua tipe perkecambahan awal dari suatu

kecambah tanaman yaitu:

a. Tipe epigeal (epigeous) di mana munculnya radikula diikuti dengan

pemanjangan hipokotil secara keseluruhan dan membawa serta kotiledon dan

plumula ke atas permukaan tanah, contoh kacang merah (Phaseolus vulgaris),

pinus (Pinus spp), dll.

b. Tipe hypogeal (hypogeous), di mana munculnya radikula diikuti dengan

pemanjangan plumula, hipokotil tidak memanjang ke atas permukaan tanah,

sedangkan kotiledon tetap tinggal di dalam kulit biji di bawah permukaan

tanah, contoh: jagung (Zea mays), dll.

5.3. Kondisi lingkungan selama pertumbuhan

Benih yang berkecambah mudah rusak, khususnya pada fase akhir

perkecambahan. Karena penyerapan perupakan proses fisik, benih dapat

menyerap air dan mongering tanpa mengalami kerusakan.

Budi Utomo : Ekologi Benih, 2006 USU Repository © 2006

Page 40: ekologi benih

Kelembaban

Air mutlak diperlukan untuk perkecambahan, walau demikian air berlebihan

hampir selalu merusak karena air cenderung menggantikan udara tanah dan

menyebabkan kepadatan yang pada akhirnya membatasi respirasi. Kelebihan air

juga dapat mendorong perkembangan penyakit akibat jamur (damping off).

Tekstur tanah yang baik, sangat penting untuk keseimbangan udara dan air.

Aerasi

Aerasi yang baik penting untuk mempermudah akar melakukan respirasi.

Aerasi sangat erat kaitannya dengan struktur dan kondisi kelembabantanah.

Kelebihan air menyebabkan buruknya aerasi yang mengakibatkan kerusakan

tanaman. Pemadatan permukaan tanah dapat juga mengurangi pertukaran udara.

Cahaya

Benih dengan dormansi cahaya akan berkecambah dalam cahaya pada

kondisi cahaya antara merah dan merah jauh, seperti sinar matahari langsung. Di

alam rangsangan cahaya untuk mengatasi dormansi selalu tersedia selama

perkecambahan yakni dengan mengecambahkan benih yang peka cahaya dalam

media cahaya. Dormansi cahaya dapat timbulhanya setelah terjadi periode

penyimpanan gelap yang lama dan ini hanya terjadi jika benih telah menyerap air.

Media

Struktur fisik media di mana benih berkecambah adalah sangat penting

untuk proses perkecambahan dan pertumbuhan awal anakan. Struktur tanah yang

remah akan menjamin hubungan yang baik antara benih dan tanah sehingga air

dapat tersedia, struktur juga harus dapat menyediakan aerasi yang cukup untuk

respirasi akar. Pada waktu yang sama struktur harus dapat mempermudah akar

melakukan penetrasi. Tekstur tanah liat medium, tidak terlalu berpasir dan tidak

terlalu halus menghasilkan kondisi perkecambahan yang terbaik

Budi Utomo : Ekologi Benih, 2006 USU Repository © 2006

Page 41: ekologi benih

VI. PUSTAKA

Allessio, M. Leck, V. Thomas Parker, R.L. Simpson. 1989. Seed Banks: General Concepts and Methodological Issues. Ecology of Soil Seed Banks. Academic Press Inc. San Diego California. USA. pp 3-21.

Kimmins. J.P., 1987. Forest Ecology. The University of British Columbia. Macmillan publishing Company. New York. Collier Macmillan publisher. London. 531 p.

Schmidt. L., 2000. Guide to Handle of Tropical and Subtropical Forest Seed.

Danida Forest Seed Centre. Denmark. 511 p. Spurr S.H. and B.V. Barnes, 1980. Forest Ecology. John Wiley and Sons, Third

edition. 686 p. Sutopo. L., 1985. Teknologi Benih. Fakultas Pertanian Universitas Brawijaya.

CV. Rajawali. Jakarta. 247 hal.Inc.USA.

Budi Utomo : Ekologi Benih, 2006 USU Repository © 2006