no: 62/ tahun xxxii juni 2019 issn 0251-5168limnologi.lipi.go.id/doc/warlim/warta_no_62_2019.pdf ·...

32
Warta Limnologi – No. 62/Tahun XXXII Juni 2019 1 No: 62/ Tahun XXXII Juni 2019 ISSN 0251-5168 PUSAT PENELITIAN LIMNOLOGI-LIPI

Upload: others

Post on 06-Apr-2020

16 views

Category:

Documents


0 download

TRANSCRIPT

Warta Limnologi – No. 62/Tahun XXXII Juni 2019

1

No: 62/ Tahun XXXII Juni 2019 ISSN 0251-5168

PUSAT PENELITIAN LIMNOLOGI-LIPI

DAFTAR ISI

Keterangan Gambar/Cover: Gambar cover : D. Maninjau (M. S.

Syawal, Anugerah Nontji) Disain Cover : M. S. Syawal

Layout : M. S. Syawal

WL

Dewan Redaksi:

(Surat Keputusan Deputi IPK LIPI No. 33 /E/DK/2018)

Hadiid Agita Rustini M. Suhaemi Syawal

Riky Kurniawan Yovita Lambang Isti

Alamat Redaksi:

Puslit Limnologi-LIPI Cibinong Science Center

Jl. Raya Jakarta Bogor Km 46 Cibinong 16911-Bogor Jawa Barat-Indonesia

Telp. 021-8757071/ Fax. 021-8757076

E-mail: [email protected]

Penerbit: Puslit Limnologi-LIPI

WARTA LIMNOLOGI : Warta Limnologi, ISSN 0251-5168, terbit 6 (enam) bulan sekali, memuat makalah yang bersifat ilmiah semi populer, ulasan atau komentar, ringkasan hasil penelitian mutakhir, informasi tentang penelitian, buku, majalah, seminar, pelatihan, yang telah/akan dilakukan baik didalam lingkungan P2L maupun diluar P2L, nasional dan internasional. MAKALAH : Makalah diketik dengan Microsoft Word, Times News Roman, Fonts 12, ukuran kertas A4, tepi kiri dan atas 4 cm, kanan dan bawah 3 cm, dengan jarak 1 spasi, dalam bahasa Indonesia sesuai dengan EYD. Untuk makalah ilmiah semi populer, minimum 1,5 halaman dan maksimum 3 halaman. Untuk ringkasan maksimum 1,5 halaman.

Warta Limnologi – No. 62/Tahun XXXII Juni 2019

Artikel Utama: Peran Senyawaan

Humat dalam Ekosistem Perairan (Yustiawati)

Kajian Kinerja Instalasi Pengolahan Air Bersih di Pusat Penelitian Limnologi LIPI (Nurul Setiadewi dan Eka Prihatinningtyas) ….………… 6

Pengaruh Kondisi Fisik Sedimen pada Habitat Biota Akuatik (Fifia Zulti).. 12

Tinjauan Sebaran Ikan di Danau Tropis dan Faktor-faktor yang Mempengaruhinya (Sugiarti) ..…. 14

Penggunaan Mikrofosil Makro-invertebrata sebagai Pendekatan dalam Kajian Paleolimnologi (Imroatushshoolikhah) ..………….. 20

Sekilas Warta …………..……....... 23

Pojok Limno ………………..……... 26

Assalaamu’alaikum,

Pembaca yang budiman,

Alhamdulillaahi robbil ‘alamiin, Warta Limnologi dapat kembali menjumpai para

pembaca yang budiman melalui edisi perdana di 2019.

Pada edisi No. 62 Tahun XXXII ini, Dr. Yustiawati menyajikan artikel utama berjudul ‘Peran

Senyawaan Humat dalam Ekosistem Perairan’. Alumnus Hokkaido University ini

mendeskripsikan manfaat maupun masalah yang timbul dari eksistensi senyawaan humat di

lingkungan perairan. Artikel selanjutnya ditulis oleh duet Nurul Setiadewi dan Eka

Prihatinningtyas dengan judul ‘Kajian Kinerja Instalasi Pengolahan Air Bersih di Pusat

Penelitian Limnologi LIPI’. Artikel tersebut menyajikan evaluasi terhadap kinerja IPAB yang

memanfaatkan sumber air baku Situ Cibuntu. ‘Pengaruh Kondisi Fisik Sedimen pada

Habitat Biota Akuatik’ yang ditulis oleh Fifia Zulti menitikberatkan pada manfaat kajian

sedimentasi. Alumnus S2 Biofisika IPB ini menyoroti kaitan struktur sedimen dengan struktur

komunitas biota air, baik yang hidup di sedimen maupun biota yang lebih mobile seperti

ikan. Artikel berjudul ‘Tinjauan Sebaran Ikan di Danau Tropis dan Faktor-faktor yang

Mempengaruhinya’ yang ditulis oleh Sugiarti memberikan informasi lebih lanjut mengenai

factor biologi dan fisika yang kondusif bagi habitat ikan di danau. Peran mikrofosil yang

terdapat di sedimen dalam upaya memahami proses perubahan kondisi lingkungan di

masa lampau disajikan oleh Imroatushshoolikhah dalam artikel berjudul ‘Penggunaan

Mikrofosil Makroinvertebrata sebagai Pendekatan dalam Kajian Paleolimnologi’. Informasi

mengenai kegiatan pemasyarakatan hasil penelitian Puslit Limnologi yang dilakukan pada

periode Januari hingga Juni 2019 disajikan oleh Yovita Lambang Isti yang merupakan

pentolan humas dari Puslit Limnologi LIPI.

Akhir kata, kami mengucapkan selamat membaca dan terima kasih atas partisipasi Bapak

Ibu yang telah berkenan mengirim artikel untuk Warta Limnologi.

Wassalaamu’alaikum.

Dewan Redaksi

Dari Redaksi

Warta Limnologi – No. 62/Tahun XXXII Juni 2019

1

(Yustiawati-Puslit Limnologi LIPI)

[email protected]

enyawaan humat atau dikenal pula dengan sebutan “Humus”, sering dipakai

dan dimanfaatkan dalam bidang pertanian. Senyawaan ini mempunyai

peran penting dalam menjaga stabilitas lingkungan. Senyawaan humat

dapat ditemukan di seluruh permukaan bumi, baik di dalam tanah, air,

sedimen danau, gambut ataupun lapisan batubara. Senyawaan ini

merupakan senyawa organik makromolekular yang terbentuk melalui proses

dekomposisi tanaman dan hewan yang berlangsung selama bertahun-tahun. Ukuran

molekul, berat molekul, komposisi unsur, jumlah, dan posisi gugus fungsinya dapat

berbeda-beda tergantung dari asal dan umur bahan-bahan pembentuknya (Gaffney et

al. 1996).

Berdasarkan sifat kelarutan terhadap asam dan basa, senyawaan humat dapat

dibagi dalam tiga fraksi sebagai berikut (Schnitzer dan Khan, 1972):

1. Asam humat: tidak larut dan mengendap pada pH < 2, tetapi larut dalam pH

yang lebih tinggi atau basa.

2. Asam fulvat: larut di semua pH, pada kondisi asam maupun basa.

3. Humin: tidak larut dalam kondisi asam maupun basa.

Ketiga fraksi ini mempunyai komposisi unsur yang hampir sama, tetapi mempunyai

bobot molekul (Mr) dan kandungan gugus fungsi yang berbeda-beda. Asam fulvat

mempunyai bobot molekul lebih rendah daripada asam humat maupun humin, tetapi

mempunyai lebih banyak gugus fungsi yang mengandung oksigen. Komposisi unsur utama

senyawaan humat adalah karbon (40-60 %), oksigen (30-50 %), hidrogen (4-5 %),

nitrogen (1-4 %), sulfur (1-2 %), dan fosfor (0-0,3 %). Senyawaan humat mempunyai

komposisi unsur yang berbeda-beda tergantung asalnya, seperti pada Tabel 1.

Gugus fungsi utama yang terdapat pada struktur senyawaan humat terdiri dari

asam karboksilat, hidroksil fenol dan hidroksil alkohol, keton, dan gugus quinon. Struktur

molekul asam fulvat mempunyai lebih banyak rantai alifatik dan lebih sedikit rantai

aromatik dibandingkan dengan struktur asam humat, seperti terlihat pada gambar 1 dan

2. Asam fulvat mengandung banyak gugus karboksilat, fenolat, dan keton. Hal ini

menyebabkan tingkat kelarutannya dengan air tinggi pada semua pH. Dengan struktur

tersebut senyawaan humat dapat berfungsi sebagai surfaktan alami, yang mempunyai

kemampuan mengikat bahan-bahan hidrofobik maupun hidrofilik. Inilah peran penting

asam humat dan asam fulvat, sebagai agen yang kuat untuk mengikat dan memobilisasi

pencemar organik dan anorganik.

PERAN SENYAWAAN HUMAT

DALAM EKOSISTEM PERAIRAN

S

Warta Limnologi – No. 62/Tahun XXXII Juni 2019

2

Tabel 1. Komposisi unsur pada asam humat dari beberapa lokasi (Widarti, 2006;

Yustiawati, 2015)

Lokasi sampling

Jenis

sampel

Karbon

%

Hidrogen

%

Nitrogen

%

Sulfur

%

Oksigen

%

Danau Rengas

(KalimantanTengah) Sedimen 50,51 4,15 1,44 0,28 43,62

Desa Rengas

(Kalimantan Tengah

Tanah

gambut 48,01 4,66 1,74 0,32 45,27

Danau Lengkong

(Jawa Barat) Sedimen 46,28 6,13 5,14 1,54 40,91

Taman Nasional

Sebangau

(Kalimantan Tengah)

Tanah

gambut 48,5 5,2 1,7 - 43,60

Desa Kalampangan

(Kalimantan Tengah)

Tanah

gambut 52,4 4,7 1,8 - 41,1

Desa Kereng

(Kalimantan Tengah)

Tanah

gambut 54,6 4,3 0,9 - 39,8

Asam humat mempunyai kemampuan yang tinggi untuk mengikat ion-ion logam,

sekaligus menurunkan toksisitas logam-logam tersebut di lingkungan (Tanaka et al. 1997).

Selain itu asam humat pun dapat mempengaruhi proses elusi senyawa polycyclic aromatic

hydrocarbons (PAHs), khususnya pyrene (Fukushima et al. 1997).

Gambar 1. Struktur asam humat menurut Stevenson (1982)

Gambar 2. Struktur Asam Fulvat (Buffle et al, 1977)

Warta Limnologi – No. 62/Tahun XXXII Juni 2019

3

Pada ekosistem perairan senyawaan humat tersebar di sungai, danau, laut, dan

sedimen perairan. Menurut Frimmel (2001), senyawaan humat akuatik berasal dari dua

sumber utama, yang pertama berasal dari ekosistem terestrial seperti derivat tanaman,

hewan dan tanah yang masuk ke perairan (allochthonous) dan yang kedua sebagai hasil

aktivitas biologi/mikrobiologi dalam badan air itu sendiri (autochthonous). Pada perairan

alami, khususnya perairan gambut, total Dissolved Organic Carbon (DOC) mengandung 40-

70 % senyawaan humat.

Secara umum sungai-sungai dan danau di wilayah tropis, mempunyai konsentrasi

DOC yang tinggi, terutama di wilayah gambut. Hasil analisis DOC dari sampel air Danau

Rengas, Danau Takapan, Danau Hurung, Danau Batu, dan Danau Buntur di wilayah

Kalimantan Tengah berkisar antara 17,307 – 144,452 mg.L-1, sedangkan konsentrasi

asam humatnya berkisar antara 7,01- 28,38 mg.L-1. Korelasi antara asam humat dan DOC

di Danau Rengas, Danau Takapan, Danau Hurung, Danau Batu, dan Danau Bunter disajikan

pada Gambar 3, dan grafik tersebut menunjukan korelasi yang nyata antara konsentrasi

asam humat dan DOC (r2 = 0.83). Hal ini menunjukkan asam humat merupakan komponen

utama dalam DOC (Yustiawati dan Widarti, 2006).

Gambar 3. Hubungan asam humat dan DOC di Danau Rengas, D. Takapan, D. Hurung,

D. Batu, dan D. Bunter. (Yustiawati dan Widarti, 2006).

Keberadaan senyawaan humat mempengaruhi proses biokimia dan biogeokimia

pada organisme dan ekosistem perairan. Adanya senyawaan humat yang berwarna

coklat gelap menyebabkan penetrasi cahaya ke dalam perairan tertahan, sehingga photic

zone menurun, dan menghambat proses fotosintesa. Namun demikian, warna coklat

tersebut dapat melindungi biota dari radiasi cahaya UV yang dapat merusak (Sharma

dan Anthal, 2016). Terganggunya proses fotosintesa menyebabkan metabolisme perairan

berjalan lambat, kandungan nutrien pada kolom air rendah, sering disebut miskin unsur

hara. Akan tetapi pada sedimen dasar terdapat penumpukan bahan organik menjadi

habitat dan sumber nutrien bagi organisme bentik dan tanaman air.

Asam humat dan asam fulvat mempunyai banyak gugus karboksilat dan fenolat,

yang bermuatan negatif (Gambar 4). Interaksi dengan ion logam yang bermuatan positif

akan membentuk ikatan kompleks yang kuat, sehingga ion-ion logam dapat diimobilisasi

(diikat) oleh senyawaan humat. Dengan mekanisme ini organisme akuatik dapat terlindungi

dari dampak buruk toksisitas ion logam berat di perairan. Senyawa humat merupakan

pereduksi alami. Ketika bahan pencemar dari limbah industri yang bersifat oksidator

seperti permanganat atau perklorat masuk ke dalam perairan, maka dapat dinetralisir

Warta Limnologi – No. 62/Tahun XXXII Juni 2019

4

oleh gugus karboksil (-CO2H) yang banyak terkandung dalam senyawaan humat

(Manahan, 2010).

Gambar 4. Gugus karboksilat, fenolat, amino dan tipe muatannya pada struktur

asam humat dan asam fulvat. (Fukushima, 2011 unpublished)

Keberadaan senyawaan humat khususnya asam humat dan asam fulvat di

perairan mempunyai pengaruh yang signifikan pada mobilisasi dan keberadaan ion-ion

logam maupun senyawa organik pencemar di lingkungan. Melalui interaksi pertukaran ion,

pembentukan ikatan kompleks, ikatan hidrogen, reduksi-oksidasi, donor-acceptor interaksi,

dan interaksi hidrofobik, senyawaan humat dapat perperan dalam pengelolaan

lingkungan perairan secara alami, bahkan dapat digunakan dalam teknologi pengelolaan

lingkungan.

Selain memberikan banyak manfaat pada lingkungan, senyawaan humat juga

memberikan beberapa masalah, antara lain (Suffet dan Mac Carthy, 1989):

1. Warna coklat gelap yang berasal dari senyawaan humat dapat mengurangi nilai

estetika air.

2. Pada proses “water treatment” umumnya ditambah klorin sebagai desinfektan.

Pada proses klorinasi ini, dissolved organic matter (DOM), yang umumnya

didominasi oleh senyawaan humat, akan bereaksi dengan klorin dan berpotensi

membentuk senyawa trihalometan (THMs), haloacetic acid (HAAs) dan

haloacetonitriles (HANs) Senyawa THMs merupakan senyawa yang berbahaya

bagi kesehatan manusia, karena bersifat karsinogenik. Ketika terserap kedalam

tubuh dapat mengganggu stabilitas hormon, merusak DNA hingga menyebabkan

mutagenesis.

3. Dalam sistem distribusi air, membentuk senyawa organik biodegradable dan

meningkatkan pertumbuhan mikroorganisme.

Warta Limnologi – No. 62/Tahun XXXII Juni 2019

5

Daftar Pustaka:

Buffle, J., Greter, F.L. and Haerdi, W. 1977. Measurement of complexation properties of

humic and fulvic acids in natural waters with lead and copper ion selective electrodes.

Anal. Chem, 49: 216-222

Frimmel, H. F.2001. Aquatic humic substances. In Biopolimer. Lignin, Humic Substances and

Coal. Wiley-VCH, 303 p.

Fukushima, M., K. Oba, S.Tanaka, K. Nakayashu, H. Nakamura, and K. Hasebe. 1997.

Elution of pyrene from activated carbon into an aqueous system containing humic.

Environmental Science and Technology, 31:2218-2222.

Fukushima, Masaami. 2011. Biochemical resources, Lecture 10. Faculty of Engineering,

Hokkaido University. Pp 5.

Gaffney, J.S., N.A. Marley and S.B. Clarck. 1996. Humic acid and Fulvic acid and Organic

Colloidal Material in Environment. In: Humic acid and Fulvic acid. By J.S. Gaffney;

N.A.Marley and S.B. Clarck (Eds). American Chemical Society : 2-17

Manahan, E. S. 2010. Environmental Chemistry 9th edition. Taylor dan Franciss Press.

Schnitzer M., and S. U. Khan. 1972. Humic substances in the environment. Marcel Dekker, Inc.

USA. 323 pp.

Sharma, A., and R. Anthal. 2016. Humic substances in aquatic ecosystem: a review.

International Journal of Innovative Research in Science, Engineering and Technology and

Engineering, 5(10): 18462- 18470.

Stevenson, F.J. 1982. Humus Chemistry, Genesis, Composition, Reaction. Wiley and Sons,

New York, pp. 36-42.

Suffet, I. I. dan P. MacCarthy. 1989. Aquatic Humic substances: Influence on fate and

treatment of Pollutant. American Chemical Society. p xxiv – xxx.

Tanaka, S., K. Nakayasu and M.Fukushima 1997. Suppression effect of humic acid

substances on oxidation of Chromium (III) to Chromium (VI). Toxicological and

Environmental Chemistry, 58:17-23.

Widarti, Syari. 2006. Karakterisasi asam humat perairan: Ekstraksi dari Situ Lembang, Situ

Lengkong (Jawa Barat) dan Danau Rengas(Kalimantan Tengah). hal 23. FMIPA,

Jurusan Kimia, Universitas Pakuan, Bogor.

Yustiawati , Y. Kihara, K. Sazawa, H. Kuramitz, M. Kurasaki, T. Saito, T. Hosokawa, M.

Suhaemi Syawal, L. Wulandari, Hendri , S. Tanaka. 2015. Effects of peat fires on the

characteristics of humic acid extracted from peat soil in Central Kalimantan, Indonesia.

Journal of Environmental Science and Pollution Research centre, 22:2384–2395.

Yustiawati dan S. Widarti,. 2006. Characterization of aquatic humic acid:Extraction from

Lembang, Lengkong and Rengas Lakes. Presented in "JSPS-LIPI Core University

Program: International Symposium on Nature and Land Management of Tropical Peat

land in South East Asia", 20 September-Thursday 21 September 2006, Salak Hotel,

Bogor. (unpublished).

Warta Limnologi – No. 62/Tahun XXXII Juni 2019

7

(Nurul Setiadewi dan Eka Prihatinningtyas - Puslit

Limnologi LIPI) [email protected]

erairan darat merupakan salah satu komponen penting dari suatu daratan yang menunjang kehidupan manusia. Salah satu potensi

pemanfaatannya yakni untuk pemenuhan kebutuhan air bersih. Potensi tersebut perlu dikelola dengan tepat agar dapat dimanfaatkan secara optimal. Pengembangan teknologi tepat guna dapat menjadi solusi dalam mengatasi permasalahan lingkungan di Indonesia. Upaya pengembangan dan inovasi teknologi tepat guna perlu dilakukan secara terus menerus dan peran lembaga peneliti menjadi sangat vital (Samekto dan Sofian, 2016).

Pusat Penelitian (Puslit) Limnologi LIPI, dengan salah satu misinya yaitu mendukung pengembangan teknologi tepat guna dan ramah lingkungan untuk meningkatkan ketahanan air, respon hidrologi, dan ekosistem terhadap perubahan iklim, telah mengembangkan inovasi berupa Instalasi Pengolahan Air Bersih (IPAB). Dengan memanfaatkan Situ Cibuntu sebagai sumber air baku, IPAB menggunakan teknologi pengolahan air secara bertahap (konvensional). Sistem pengolahan air minum konvensional terdiri dari koagulasi, flokulasi, sedimentasi, dan filtrasi sebagai penyaringan terakhir (Ming Chew et al. 2016). Pada penelitian sebelumnya, sistem pengolahan air konvensional teruji efisien dalam mereduksi warna dan kekeruhan pada air, yakni sekitar 90% (Garcia, et al. 2014). Padatan tersuspensi dan koloid dalam air diendapkan secara bertahap melalui pengadukan cepat (koagulasi), pengadukan lambat (flokulasi), dan proses sedimentasi. Proses ini dilakukan secara efektif dengan

menggunakan sistem hidrolik. Kemudian, koloid dan sisa partikel lainnya yang lebih halus dapat dihilangkan melalui teknik filtrasi (Vigneswaran et al. 2017). Proses desinfeksi air juga dilakukan pada IPAB untuk membunuh bakteri, virus, dan mikroorganisme penyebab penyakit dengan menggunakan bahan kimia (CaOCl2 atau kaporit). Berdasarkan perhitungan dari data sekunder, IPAB dapat menyuplai air bersih sebesar 74,61% dari total kebutuhan rata-rata pegawai Puslit Limnologi LIPI. Akan tetapi, perlu dilakukan evaluasi terhadap kinerja IPAB dikarenakan operasional instalasi saat ini tidak berjalan dengan optimal sebagaimana mestinya. Evaluasi dapat dilakukan dengan melakukan analisis kualitas air, baik air baku maupun air produksi, serta analisis kinerja teknis proses dan operasionalnya.

Gambar 1. Metodologi Penelitian

Analisis Kualitas Air

Metode analisis kualitas air baku dan produksi dapat dilakukan dengan cara membandingkan data uji laboratorium yang dilakukan setiap bulan dengan peraturan yang berlaku (Hartono et al. 2010). Data kualitas air baku dibandingkan dengan standar Peraturan Pemerintah (PP) Nomor 82 Tahun 2001 tentang Pengelolaan Kualitas Air dan Pengendalian Pencemaran Air untuk kualitas mutu air kelas I (Peruntukannya digunakan sebagai air baku air minum). Data kualitas air produksi dibandingkan

KAJIAN KINERJA INSTALASI PENGOLAHAN AIR BERSIH DI

PUSAT PENELITIAN LIMNOLOGI LIPI

P

Warta Limnologi – No. 62/Tahun XXXII Juni 2019

8

dengan Peraturan Menteri Kesehatan (Permenkes) Nomor 492/MENKES/PER /IV/2010 tentang Persyaratan Kualitas Air Minum.

Kualitas air baku Situ Cibuntu masih memenuhi baku mutu kualitas air kelas I menurut PP No. 82 Tahun 2001, dimana dalam hal ini untuk diproses pada pengolahan air minum konvensional (Tabel 1). Nilai pH air Situ Cibuntu berkisar antara 6–9, dimana nilai pH tersebut masih diperbolehkan. Besaran pH pada perairan adalah indikator penting penentuan kualitas air dan pencemaran sungai (Fisesa et al. 2014). Apabila pH air rendah (kurang dari 5) atau tinggi (lebih dari 9), hal ini mengindikasikan bahwa perairan tersebut dalam kondisi tercemar. Tabel 1. Hasil Analisis Kualitas Air Baku dan Produksi IPAB

Parameter Satuan Air

Baku

Air

Produksi

Kekeruhan NTU 16,6 1,8

Warna TCU 60,1 3,3

pH 6,9 6,5

Nitrat mg.L-1 0,42 2,17

Nitrit mg.L-1 0,02 0,004

Ammonia mg.L-1 0,37 0,05

Total N mg.L-1 0,94 1,83

Total P mg.L-1 0,11 0,07

Organik Total

(TOM) % 9,32 8,38

Sulfat mg.L-1 25,71 15,24

Khlorida mg.L-1 18,75 12,77

Besi mg.L-1 0,1 0,07

Mangana mg.L-1 <0,03 <0,03

Alumuniuma mg.L-1 0,7 0,59

E. Coli Jml/100

ml 0,18 0

Total

Coliform

Jml/100

ml TBUD 0

Keterangan : a = Hasil uji laboratorium eksternal TBUD = Tidak Bisa Untuk Dihitung

Kualitas air produksi IPAB, baik dari

parameter kimia, fisika, dan biologi, masih memenuhi baku mutu yang

dipersyaratkan oleh Permenkes No. 492 Tahun 2010 (Tabel 1).

Selain itu, dilakukan pula perhitungan efisiensi removal untuk mengetahui efektivitas pengolahan air pada IPAB. Efektvitas pengolahan dapat dihitung dari kualitas input (air baku) dan output (air produksi). Berdasarkan penelitian sebelumnya, efektivitas pengolahan dapat diperoleh dari besarnya pengurangan konsentrasi bahan pencemar yang dapat dinyatakan dalam efisiensi removal (ER). Nilai ER dapat digunakan sebagai indikator kinerja unit pengolahan dari aspek kualitas (Hartono et al. 2010).

Nilai kekeruhan dan warna mengalami penurunan yang signifikan. Warna dan tingkat kekeruhan sangat berpengaruh terhadap kualitas air karena air yang berwarna dan keruh mengindikasikan adanya kandungan partikel-partikel koloid dan zat lainnya (Sutapa, 2014). Besar penyisihan kekeruhan dan warna secara berturut-turut adalah 89,45% dan 94,57%. Hal ini dipengaruhi oleh pemberian koagulan yang bertujuan untuk menurunkan kadar kekeruhan dan warna pada air. Penggunaan koagulan dengan dosis yang tepat mampu menurunkan kadar kekeruhan air karena kekeruhan memiliki pengaruh besar dibandingkan parameter lain (Chamdan dan Purnomo, 2013). Analisis Teknis Proses dan Operasi

Analisis teknis proses dan operasi dilakukan untuk mengetahui kesesuaian unit pengolahan. Analisis sistem operasional unit bangunan pengolahan dilihat dari perbandingan antara hasil perhitungan menurut kondisi eksisting IPAB mengenai parameter-parameter yang merupakan faktor penting dalam operasional bangunan dengan kriteria desain perencanaan bangunan tersebut.

IPAB menggunakan sistem pengolahan secara bertahap (konvensional). Unit pengolahan terdiri

Warta Limnologi – No. 62/Tahun XXXII Juni 2019

9

dari intake, koagulasi, flokulasi, sedimentasi, filtrasi, dan desinfeksi.

Gambar 2. Sistem Pengolahan Air di Puslit Limnologi LIPI

Intake IPAB dibangun dengan desain

seperti sumur resapan, yang dilengkapi dengan pompa submersible sebagai penyadap air bakunya. Dari segi akses, intake IPAB mudah dijangkau (Kawamura, 1991), karena dekat dengan sumber air baku (Situ Cibuntu). Unit koagulasi IPAB menggunakan sistem pengadukan hidrolik dengan aliran bertekanan dalam pipa. Parameter sistem operasional pada koagulasi adalah gradien kecepatan (G) dan waktu detensi (td) (Chamdan dan Purnomo, 2013). Nilai G dan td yang tidak sesuai dengan kriteria desain dapat mengakibatkan pencampuran koagulan tidak homogen (Hermanto et al. 2013). Nilai G yang didapatkan dari perhitungan desain awal perencanaan adalah 519,133/detik.

Nilai ini memenuhi kriteria desain perencanaan unit koagulasi yakni 300-1.000/detik, dengan waktu detensi 20 detik (rentang kriteria desain sebesar 5-60 detik) (Reynolds, 1982). Nilai [G x td] juga memenuhi kriteria desain 5.000-18.000 (Reynolds, 1982), yakni sebesar 10.382,67. Unit flokulasi IPAB menggunakan sistem hidrolik dengan memanfaatkan beda elevasi. Unit flokulasi IPAB memiliki 6 (enam) bak berbentuk tabung. Nilai G yang didapatkan dari data perhitungan sekunder adalah 51,1/detik. Akan tetapi, nilai G tersebut hanya dihitung pada satu kompartemen (bak) saja. Sementara terdapat enam bak, dimana nilai G tiap kompartemennya harus menurun, yakni sekitar 60-5/detik (SNI, 2008). Untuk td, data perhitungan sebesar 750 detik atau 12,5 menit, jika dikalikan 6 kompartemen menjadi 75 menit, sehingga belum

memenuhi kriteria desain sebesar 30–45 (SNI, 2008).

Unit sedimentasi IPAB berbentuk segi empat (aliran horizontal) dengan menggunakan tube settler berbentuk hexagonal. Settler digunakan untuk meningkatkan efisiensi pengendapan (Darmasetiawan, 2001). Penggunaan tube settler berbentuk hexagonal memiliki efisiensi lebih baik dalam menyisihkan padatan, dikarenakan padatan dapat menempel pada bagian yang membentuk siku atau sudut (Crittenden et al., 2012). Sudut kemiringan settler yang terpasang adalah 600, sesuai dengan yang disarankan yakni 450 – 600, dengan tujuan agar endapan tidak tertahan (Schulz et al. 1984).

Parameter sistem operasional pada unit sedimentasi adalah waktu detensi (td) dan overflow rate (OFR) (Chamdan dan Purnomo, 2013). Overflow rate (OFR) adalah fungsi dari debit (Q) dibagi dengan luas permukaan, dimana semakin besar luas permukaan, maka OFR akan semakin kecil dan efisiensi pengendapan flok semakin baik (Kawamura, 1991). Akan tetapi, dengan penggunaan tube settler pada IPAB, seharusnya mampu meningkatkan nilai overflow rate tanpa harus menambah luasan bidang pengendapan. Di berbagai negara, nilai OFR dikenal sebagai surface loading dalam satuan m3/m2/jam. Besaran OFR IPAB atau dapat disebut beban permukaan, berdasarkan perhitungan desain awal rencana adalah 2,9 m3/m2/jam. Nilai tersebut belum memenuhi kriteria desain dalam rentang 0,8-2,5 m3/m2/jam (SNI, 2008).

Tipe unit filtrasi IPAB adalah rapid sand filter yang beroperasi secara gravitasi. Filtrasi tipe ini biasanya didahului dengan proses koagulasi – flokulasi – sedimentasi untuk memisahkan padatan tersuspensi (Droste, 1997), sesuai dengan yang digunakan pada IPAB. Laju filtrasi yang diperoleh berdasarkan perhitungan desain rencana adalah sebesar 120 m per hari, dimana nilai tersebut memenuhi kriteria desain filtrasi dengan tipe rapid sand filter sebesar 100 – 475 m per hari (Droste,

Warta Limnologi – No. 62/Tahun XXXII Juni 2019

10

1997). Media yang digunakan adalah pasir silika dengan ukuran 0,5 – 1,5 mm, memenuhi kriteria desain ≥ 0,45 mm (Droste, 1997). Unit filtrasi memerlukan proses pencucian (back wash) secara periodik setiap 12-72 jam sekali. Back wash bertujuan untuk menghilangkan penyumbatan atau clogging yang mungkin terjadi pada media filter. Penyumbatan disebabkan oleh partikel-partikel tersaring di media, yang semakin lama akan semakin banyak, dapat menyumbat pori-pori media.

Selanjutnya, proses desinfeksi merupakan tahapan akhir dari sistem pengolahan IPAB, yang bertujuan untuk membunuh bakteri, virus, mikroorganisme yang bersifat patogen (Droste, 1997). Proses desinfeksi harus dilakukan di bawah kondisi normal, guna menjaga agar air menjadi tidak beracun (Al-Layla et al. 1980). Dosis kaporit yang diberikan pada air olahan sebesar 5 mg.L-1, dimana pada prosesnya harus mampu menghasilkan sisa klor aktif. Sisa klor juga harus memenuhi syarat baku mutu agar air produksi saat didistribusikan tidak terkontaminasi mikroorganisme bila terjadi kebocoran pada pipa. Pada proses desinfeksi IPAB, perlu diketahui sisa klor pada pengolahannya. Sisa klor yang efektif yakni sebesar <0,5 mg.L-1, sedangkan jika melebihi 2 mg.L-1 akan menimbulkan bau klor pada air produksi (Masduqi dan Assomadi, 2012).

Secara keseluruhan, kinerja IPAB berdasarkan analisa melalui data sekunder, dapat dikategorikan cukup baik. Ditinjau dari kualitas air baku Situ Cibuntu termasuk dalam kelas I menurut PP No.. 82 Tahun 2001. Kualitas air produksi IPAB, terutama pada kekeruhan dan warna memenuhi baku mutu sesuai Permenkes No. 492 Tahun 2010. Dari segi operasional unit pengolahan, diperlukan evaluasi teknis pada unit flokulasi dan sedimentasi yang disesuaikan dengan kriteria desain. Daftar Pustaka Al-Layla, Anis, M., Ahmad, S.,

Middlebrooks, E. J. 1980. Water

Suppy Engineering Design. Utah. Ann Arbor Science. 284p.

Badan Standarisasi Nasional. 2008. SNI 6774 : 2008 Tata Cara Perencanaan Unit Paket Instalasi Pengolahan Air. Bandung: Badan Standarisasi Nasional.

Chamdan, A., Purnomo, A. 2013. Kajian Kinerja Teknis Proses dan Operasi Unit Koagulasi-Flokulasi-Sedimentasi pada Instalasi Pengolahan Air (IPA) Kedunguling PDAM Sidoarjo. Jurnal Tekniks POMITS, 2(2):118-123.

Crittenden, J. C., Trussell, R. R., Hand, D. W., Howe, K. J., Tchobanoglous, G. 2012. Water Treatment: Principles and Design, second edition. New Jersey. John Wiley dan Sons. 1901p.

Darmasetiawan, M. 2001. Teori dan Perencanaan Instalasi Pengolahan Air. Yayasan Suryono. 101 hal.

Droste, R. L. 1997. Theory and Practice of Water and Wastewater Treatment. New York. John Wiley dan Sons, Inc. 789p.

Fisesa, E. D., Setyobudiandi, I., Krisanti, M. 2014. Water Quality Condition and Community Structure of Macrozoobenthos in Belumai River, Deli Serdang District, North Sumatra Province. Depik. 3(1):1-9.

Garcia-Vaquero, N., Eunkyung, L., Jimenez C.R., Cho, J., Lopez-Ramirez, J.A., 2014. Comparison of Drinking Water Pollutant Removal using a Nanofiltration Pilot Plant Powered by Renewable Energy and a Conventional Treatment Facility. Desalination, 347:94-102.

Hartono, D., Gusniani, I., Sandyanto, R. M. 2010. Evaluation Optimization Performance of Citayam Drinking Water Treatment Plant, PDAM Tirta Kahuripan Toward Population Increase in Depok. Lingkungan Tropis, 4(2):81-82.

Hermanto, J., Yusuf, W., Jati, D. R. 2013. Evaluasi dan Optimalisasi Instalasi Pengolahan Air Minum (IPA I) Sungai Sengkuang PDAM Tirta Pancur Aji Kota Sangau. Jurnal Mahasiswa

Warta Limnologi – No. 62/Tahun XXXII Juni 2019

11

Teknik Lingkungan UNTAN, 2(1):1-10.

Kawamura, S. 1991. Integrated Design of Water Treatment Facilities. USA. John Wiley dan Sons Inc. 658p.

Masduqi, A., Assomadi, A. F. 2012. Operasi dan Proses Pengolahan Air. ITS Press. 355 hal.

Peraturan Menteri Kesehatan Republik Indonesia Nomor 907/Menkes/SK/VII/2002 Tentang Syarat-syarat dan Pengawasan Kualitas Air Minum.

Peraturan Menteri Kesehatan Republik Indonesia Nomor 492/Menkes/Per/IV/2010 tentang Persyaratan Kualitas Air Minum.

Ming Chew, C., Aroua, M. K., Hussain, M. A., Zamri, M. W., Ismail, W. 2016. Evaluation of Ultrafiltration and Conventional Water Treatment System for Sustainable Development: an Industrial Scale Case Study. Journal of Cleaner Production, 112:3152-3163.

Peraturan Pemerintah Republik Indonesia Nomor 82 Tahun 2001 tentang Pengelolaan Kualitas Air dan Pengendalian Pencemaran Air.

Reynolds. 1982. Unit Operation and Processes in Environmental Engineering. California: Texas Adan M University, Brook/Cole Engineering Division. 702p.

Samekto, C., Sofian, E. 2016. Potensi Sumber Daya Air di Indonesia, The University of Queensland, Australia. https://www.researchgate.net/publication/265151944_Potensi_Sumber_Daya_Air_di_Indonesia, diakses 20 Maret 2019

Schulz, C.R., Okun, D.A., Danalson, D., Austin, J. 1984. Surface Water Treatment for Communities in Developing Countries. USA: John Wiley dan Sons Inc. 300p.

Sutapa, I. D. A. 2014. Perbandingan Efisiensi Koagulan Poli Aluminium Khlorida dan Aluminium Sulfat dalam Menurunkan Turbiditas Air Gambut dari Kabupaten Katingan Provinsi Kalimantan Tengah. Jurnal RISET

Geologi dan Pertambangan, 24 (2):13-21.

Vigneswaran, H.H., Visvanathan, C., Sundaravadivel, M. 2017. Conventional Water Treatment Technologies. https://www.eolss.net/Sample-Chapters/C07/E2-14-03-02.pdf, diakses 26 Maret 2019

Warta Limnologi – No. 62/Tahun XXXII Juni 2019

12

(Fifia Zulti - Puslit Limnologi LIPI) [email protected]

erairan yang bersih dan jernih menjadi salah satu syarat habitat yang baik bagi makrofita, makro-zobentos dan ikan untuk hidup. Nilai turbiditas dan

konsentrasi total sedimen (total solid) menjadi salah satu parameter penentu dalam kejernihan suatu perairan.Besar kecilnya konsentrasi total solid dipengaruhi oleh laju endapan sedimen di perairan. Sedimen adalah material yang mengendap dalam suatu perairan berupa material organik dan anorganik yang berasal dari pelapukan batuan yang dibawa oleh air, angin, es, atau gletser. Material organik dan anorganik tersebut akan berpengaruh pada kualitas fisika dan kimia air terutama turbiditas, padatan tersuspensi dan konsentrasi unsur hara dalam suatu perairan. Peristiwa pengendapan material batuan yang telah diangkut oleh tenaga air atau angin disebut sedimentasi. Pada saat pengikisan terjadi, air membawa batuan mengalir ke sungai, danau, dan akhirnya sampai di laut. Pada saat kekuatan pengangkutannya berkurang atau habis, batuan diendapkan di daerah aliran air. Karena itu pengendapan ini bisa terjadi di sungai, danau, dan di laut (Khatib et al 2013). Laju sedimentasi bisa dijadikan suatu parameter untuk mengukur sejauh mana dampak sedimen terhadap habitat biota akuatik (Tjokrokusumo, 2008). Tipe dan ukuran sedimen

Sedimen dalam perairan umumnya lebih sering diklasifikasikan berdasarkan ukuran partikel hasil pengikisan bebatuan yang mengendap. Distribusi ukuran butir dan laju pengendapan sedimen adalah dua sifat sedimen yang harus diketahui di perairan karena berpengaruh pada habitat biota. Tipe sedimen yang berada pada suatu lokasi akan menjadi penentu

bagi keberadaan komunitas makrofita dan makrozoobentos. Berdasarkan metode Wentworth sedimen dapat diklasifikasikan berdasarkan ukuran partikel menjadi kerikil, pasir, lanau dan lempung. Tabel 1. Skala Wentworth untuk mengklasi- fikasi patikel-partikel sedimen

Kelas Ukuran Butir Diameter Butir

(mm)

Boulders (Kerikil besar) >256

Gravel (Kerikil kecil) 2-258

Very coarse sand (Pasir sangat kasar)

1-2

Coarse sand (Pasir kasar) 0,5 – 1

Medium sand (Pasir sedang) 0,25 – 0,5

Fine sand (Pasir halus) 0,125-0,25

Very fine sand (Pasir sangat halus)

0,0625 -0,125

Silt (Debu) 0,002 -0,0625

Clay (Lempung) 0,0005 – 0,002

Dissolved material (material terlarut)

<0,0005

Analisa ukuran butir sedimen dilakukan dengan metode pengayakan bertingkat yaitu ukuran 2 mm, 0,5 mm, 0,312 mm; 0,125 mm dan 63 µm, selanjutnya penamaan jenis sedimen sesuai skala wentworth dengan menggunakan segitiga triangular penamaan sedimen (Buchanan, 1979 dalam McIntyre and Holme, 1984)

Gambar 1. Diagram triangular penamaan sedimen (Folk, 1980).

P

PENGARUH KONDISI FISIK SEDIMEN PADA HABITAT BIOTA AKUATIK

Warta Limnologi – No. 62/Tahun XXXII Juni 2019

13

Tipe tekstur sedimen berdasarkan penamaan skala Wentworth dikelompok-kan menjadi tiga tipe utama yaitu pasir (sand), liat (clay) dan lumpur (silt) . Ketiga tipe tersebut menunjukkan tipe substrat dalam perarairan. Substrat yang berupa lumpur menunjukkan tingkat sedimentasi yang tinggi.

Mekanisme transpor sedimen di perairan, terutama sedimen tersuspensi ditentukan dengan menghitung laju pengendapan sedimen. Dengan menganggap butir tanah berbentuk bulat, maka kecepatan pengendapan dapat dihitung menggunakan hukum Stoke berikut ini:

dengan: D = diameter butir (mm) g = gravitasi V = Kecepatan mengendap butir-butir tanah (cm/detik)

s = berat isi butir (gram/cm3)

w = berat isi air (gram/cm3)

= kekentalan air (gram-detik/cm2) Dampak sedimentasi terhadap makrozobentos

Kandungan sedimen dan trasnpor sedimen yang berlangsung dalam jangka waktu lama dalam suatu perairan dapat menyebabkan perubahan permanen pada struktur komunitas, keragaman jenis, kerapatan jenis, biomasa, pertumbuhan, kecepatan reproduksi dan mortalitas organisme. Kerapatan dan keragaman makroinvertebrata secara langsung berhubungan dengan keragaman substrat. Dengan mengendapnya sedimen, ruang pori diantara partikel kasar pada substrat akan terisi yang tentunya akan mengurangi ketersediaan habitat untuk hidupnya makrozobentos. Peningkatan sedimen tersuspensi dalam suatu perairan akan menurunkan kelimpahan makrozo-bentos. Kelimpahan makrozobentos umumnya pada perairan dengan domnan substrat lempung berdebu seperti di Sungai Cantigi, Indramayu. Penurunan

kelimpahan makrozobentos menunjukkan penurunan kualitas suatu perairan (Yuniawati et al. 2012)

Dampak sedimentasi terhadap ikan

Sedimentasi juga berkontribusi terhadap menurunnya populasi diveristas dan biodiveristas salah satunya ikan. Kebanyakan species ikan akan mudah berpindah lokasi untuk mencari makan ketika muatan sedimen meningkat (Mishima et al. 2017). Menurut Birtwell, 1999 peningkatan sedimentasi dan turbiditas dapat mengurangi oksigen terlarut dalam kolom air, sehingga dapat menganggu respirasi ikan. Dengan terjadinya sedimentasi, habitat untuk bertelur juga mungkin akan terganggu khususnya untuk jenis ikan yang bertelur di substrat. Konsekuensinya, proses sedimentasi mengurangi ketersediaan habitat untuk bertelur, mengurangi aktivitas bertelur, dan meningkatkan kematian telur dan larva (anakan).

European Inland Fisheries Advisory Commission (EIFAC) telah menetapkan batas konsentrasi padatan tersuspensi sedimen untuk melindungi sumber daya perikanan sebagai berikut (Birtwell, 1999):

Sedimen tersuspensi lebih kecil dari 25 ppm tidak berbahaya pada ikan

Sedimen tersuspensi 25-80 ppm memungkinkan kondisi pemelihara-an perikanan yang baik hingga sedang.

Sedimen tersuspensi 80-400 ppm tidak mendukung untuk perikanan air tawar yang baik.

Dengan demikian, kondisi fisik dan laju

pengendapan sedimen menjadi faktor penentu populasi organisme terutama makroinvertebrata dan ikan. Untuk itu perlu dilakukan upaya pengendalian laju sedimen. Pembuatan jalur buffer (penyangga) disepanjang perairan merupakan salah satu cara sederhana untuk mengurangi input sedimen ke dalam perairan.

Warta Limnologi – No. 62/Tahun XXXII Juni 2019

14

DAFTAR PUSTAKA Birtwell, I.K. 1999. The effect of Sediment

on Fish and their habitat. Canadian Stock Assesment Secretariat Research Document.

Folk, R.L. 1980. Petrology of Sedimentary Rocks. Hemphill Publishing company, Austin Texas, 182 p.

Khatib, A., A. Yolly, dan E.W. Angga. 2013. Analisis Sedimentasi dan Alternatif Penanganannya di Pelabuhan Selat Baru Bengkalis. Prosiding Konferensi Nasional Teknik Sipil 7. Universitas Sebelas Maret (UNS) - Surakarta, 24-26 Oktober 2013

McIntyre, A.D and N.A. Holme. 1984. Methods for the Study of Marine Benthos. 2nd Ed. Blackwell Scientific Publication, Oxford. 387 pp.

Mishima K., T. Sumi T, Y. Takemon, S. Kobayashi. 2017. Estimation of the Suitable Sediment Load for Ayu Fish Habitat in the Kizu River. DPRI Annuals, 60 B: 841-852.

Tjokrokusumo S.W. 2008. Pengaruh Sedimentasi dan Turbidity pada Jejaring Makanan Ekosistem Air Mengalir (Lotik). J.Hidrosfir Indonesia. 3(3):137-148.

Yunitawati, Sunarto, Z. Hasan. 2012. Hubungan antara karakteristik Substrat dengn Struktur Komunitas Makrozoobenthos di Sungai Cantigi, Kabupaten Indramayu. Jurnal Perikanan dan kelautan, 3(2): 221-227.

(Sugiarti-Puslit Limnologi LIPI)

[email protected]

erairan danau merupakan salah satu bentuk ekosistem air tawar yang ada di permukaan bumi. Secara fisik, danau merupakan suatu

tempat yang luas yang mempunyai air yang tetap, jernih atau beragam dengan aliran tertentu (Jorgensen and Vollenweiden, 1989). Sementara itu, menurut Ruttner (1963) dan Satari (2001), danau adalah suatu badan air alami yang selalu tergenang sepanjang tahun dan mempunyai mutu air tertentu yang beragam dari satu danau ke danau yang lain serta mempunyai produktivitas biologi yang tinggi.

Klasifikasi danau berdasarkan luas dan volume serta berdasarkan kedalaman dapat dilihat pada Tabel 1 dan 2.

Tabel 1. Klasifikasi danau berdasarkan luas

dan volumenya

Klasifikasi Luas (km2) Volume (juta m3)

Besar 10.000 – 1.000.000 10.000– 1.000.000 Medium 100 – 10.000 100 – 10.000 Kecil 1 – 100 1 – 100 Sangat Kecil <1 <1

(Sumber : Straskraba and Tundisi, 1999) Tabel 2. Klasifikasi danau berdasarkan

kedalaman No Kategori Kedalaman (m)

1 Sangat Dangkal <10 2 Dangkal 10 – 50 3 Medium 50 – 100 4 Dalam 100 – 200 5 Sangat Dalam >200

(Sumber: Lehmusluoto dan Machbub, 1997)

Pola–pola persebaran dan jumlah

ikan sering dijelaskan dengan cara membuat perbandingan dengan komunitas-komunitas ikan iklim sedang yang sudah lebih dimengerti. Komunitas – komunitas ikan air tawar tropis memiliki karakteristik yang unik sebagai hasil

TINJAUAN SEBARAN IKAN DI DANAU

TROPIS DAN FAKTOR – FAKTOR YANG

MEMPENGARUHINYA

P

Warta Limnologi – No. 62/Tahun XXXII Juni 2019

15

adaptasi ikan dalam mencari makan dan berkembang biak. Faktor-faktor fisika yang dianggap memiliki dampak yang paling nyata terhadap persebaran ikan-ikan air tawar tropis adalah suhu, fluktuasi tingkat permukaan air, dan kejernihan air (Robert, 1972; Lowe-McConnel, 1975).

Suhu

Ikan berukuran besar yang hidup di danau dan sungai tropis hidup di dalam lingkungan yang bersuhu hangat sepanjang tahun dan memiliki fluktuasi suhu yang relatif kecil. Sebagai akibatnya, banyak dari ikan ini yang memiliki siklus hidup dan pertumbuhan yang berlangsung sangat cepat. Suhu bukan merupakan isyarat lingkungan yang penting terhadap pergerakan dan reproduksi. Suhu tinggi lebih memiliki dampak yang lebih besar terhadap pola-pola persebaran lokal. Di danau Victoria (Afrika), ikan muda dari dua genera ikan anggota familia Cichlidae, terdistribusi di perairan dangkal pada hari panas karena kemampuannya mentolerir suhu panas. Contoh ikan yang tahan hidup di suhu panas adalah Tilapia spp. yang ditemukan di perairan bersuhu 38°C (Lowe-McConnel,1975).

Fluktuasi tingkat permukaan air

Fluktuasi tahunan tingkat permukaan air berpengaruh terhadap ikan tropis. Pada saat musim hujan, sungai yang sebelumnya kering mulai mengalir lagi sehingga permukaan air di danau meningkat drastis. Sebagai akibat dari banjir di darat dan tersapunya zat hara yang berasal di daratan ke dalam perairan, habitat dan sumber makanan bagi ikan bertambah dengan pesat. Hal ini menyebabkan siklus reproduksi dan pertumbuhan sering kali memiliki kaitan yang kuat dengan peningkatan permukaan air. Perbedaan musiman dalam tingkat pertumbuhan sering kali cukup mencolok dan menyebabkan cincin tahunan terbentuk pada sisik dan bagian tubuh lain ikan yang mengandung tulang yang berguna untuk penghitungan umur ikan tersebut (Lowe-McConnel, 1975).

Ikan sungai tropis tidak hanya tumbuh dengan cepat pada musim hujan, tetapi banyak spesies ikan juga mengakumulasi persediaan lemak yang penting untuk bertahan hidup pada musim kemarau (Power, 1983).

Kejernihan air Kebanyakan danau dan sungai kecil di daerah tropik memiliki air jernih, sedangkan sungai besar biasanya memiliki air keruh penuh dengan material yang tersuspensi dan/atau larut dalam air. Salah satu dampak rendahnya tingkat kejernihan air adalah persebaran ikan yang tidak mengandalkan penglihatan untuk menangkap mangsa di sungai-sungai keruh ini, terutama ikan listrik (anggota familia Gymnotoidae di Amerika Selatan dan anggota familia Mormyridae di Afrika) dan ikan ordo Siluriformes. Ikan-ikan tersebut biasanya aktif di malam hari. Ikan Cyprinidae, Characidae dan ikan lain yang aktif di siang hari. Sebagian besar ikan tropis berwarna cerah sering ditemukan berasal dari danau dan sungai berair jernih (Robert, 1972).

Tiga faktor kimiawi yang dianggap memiliki dampak paling besar terhadap distribusi dan jumlah ikan di perairan tawar tropis adalah: kadar oksigen terlarut (DO – Dissolved Oxygen), pH dan unsur hara yang terlarut (Robert, 1972; Sioli, 1975). Faktor biologi yang mempengaruhi ikan air tawar, ditunjukkan oleh berbagai spesialisasi morfologis dan perilaku, yaitu: 1. Hubungan antara pemangsa dengan

mangsa Komunitas ikan air tawar tropis

seringkali bersifat kompleks, tingginya keanekaragaman spesies menimbulkan keharusan meningkatkan ketahanan setiap komunitas ikan tersebut. Struktur komunitas ikan air tawar tropis memiliki aturan-aturan yang serupa dengan komunitas ikan air tawar iklim sedang. Kegiatan manusia bisa memberi dampak buruk terhadap hubungan antara pemangsa dengan mangsa. Berkurangnya populasi ikan pemangsa di sebuah komunitas danau

Warta Limnologi – No. 62/Tahun XXXII Juni 2019

16

tropis dapat mengakibatkan ledakan populasi ikan-ikan pemakan plankton, seperti yang terjadi di Danau Tanganyika, di mana kenaikan biomassa spesies ikan Clupeidae setempat meningkat mengikuti penangkapan berlebih tiga populasi Lates spp. (familia Centropomidae). Di Danau Victoria, terjadi penurunan signifikan populasi ikan anggota familia Cichlidae pemakan plankton mengikuti introduksi ikan Lates spp. (Coulter, 1976).

Di perairan tawar iklim tropis, seperti di perairan tawar iklim lainnya, predasi dianggap sebagai penyebab utama kematian bagi sebagian besar ikan, dan juga dihipotesiskan bahwa predasi merupakan salah satu faktor utama yang menyebabkan banyaknya jumlah spesies yang berkembang di perairan tawar tropis terutama di danau. Predasi juga dapat meningkatkan proses isolasi dengan sulitnya ikan yang memiliki kebutuhan habitat tertentu untuk berpindah-pindah dari satu habitat ke habitat lainnya. Besarnya jumlah ikan pemangsa, yang biasa ditemukan di danau dan sungai tropis, diperkirakan juga memiliki peran terjadinya adaptasi untuk hidup bersama dengan spesies yang lain. Mereka saling bersaing dan memangsa secara selektif dengan spesies ikan yang memiliki keunggulan kompetitif (Lowe-McConnel, 1975).

2. Kompetisi

Interaksi kompetitif di antara ikan tropis terjadi akibat perkenalan spesies asing. Hal ini tidak terjadi dalam sungai dan danau tropis yang bebas dari gangguan (Lowe-McConnel, 1975).

3. Simbiosis

Sebagian kecil contoh interaksi simbiosis antara ikan air tawar tropis, karena perilaku ikan tropis secara umum tidaklah begitu dimengerti. Hubungan mutualistis antara ikan yang

mengelompok pada ikan Characidae kecil di Amerika Selatan ditemukan hidup bersama. Campuran spesies ikan di Amerika Tengah, ikan Cichlidae diamati ketika menjaga kelompok anak-anak mereka terlihat mengadopsi anak ikan dari spesies Cichlidae lainnya dengan cara mengurangi predasi terhadap anakan mereka, selain itu memberikan perlindungan dan kesempatan untuk tumbuh dengan cepat bagi anak adopsi mereka (McKaye, 1977).

Distribusi keberadaan ikan di danau dapat dibagi menjadi dua, yaitu: 1. Distribusi spasial, yaitu penyebaran

ikan berdasarkan tempat, baik horizontal maupun vertikal

2. Distribusi temporal, yaitu berdasarkan waktu (Rahardjo et al. 2011).

Gambar 1. Zonasi danau (Sumber: Effendi, 2003)

Kedalaman dan luas danau

merupakan faktor utama yang menentukan kondisi abiotik yang dialami oleh ikan. Secara spasial, danau memiliki zonasi: litoral, pelagik dan profundal. Litoral adalah wilayah pinggir danau yang dangkal dengan batuan berukuran relatif besar dan cahaya matahari mencapai dasar perairan tersebut. Zona pelagik adalah wilayah perairan yang tidak banyak mendapatkan pengaruh dari tepian dasar danau. Zona profundal adalah wilayah paling dalam dengan suhu rendah dan intensitas cahaya matahari sedikit atau tidak sama sekali (Effendi, 2003).

Ekosistem danau termasuk habitat air tawar yang memiliki perairan tenang dengan adanya arus yang sangat lambat sekitar 0,1–1 cm/detik atau tidak ada arus sama sekali. Oleh karena itu,

Warta Limnologi – No. 62/Tahun XXXII Juni 2019

17

residence time (waktu tinggal) air bisa berlangsung lebih lama. Menurut Wetzel (2001), perairan danau biasanya memiliki stratifikasi vertikal kualitas air yang bergantung pada kedalaman dan musim.

Di daerah litoral yang dangkal ada dua bentuk tubuh ikan yang menonjol. Kedua bentuk tersebut untuk menghadapi air yang bergerak pelan dari sungai genangan. Banyak spesies mempunyai tinggi badan (jarak dari punggung ke perut ikan) yang tinggi dengan sirip pektoral dan atau sirip ventral yang berkembang baik sebagai suatu bentuk tubuh yang memudahkan untuk bermanuver, contohnya adalah ikan gurami (Osphronemous gouramy). Bentuk tubuh yang memanjang yang disesuaikan dengan akselerasi cepat, misalnya ikan gabus (Channa striata). Di perairan limnetik yang terbuka spesies ikan cenderung lebih ramping dengan batang ekor yang sempit, gambaran karakteristik ikan yang baik dalam menjelajah contohnya ikan hampal (Hampala macrolepidota). Ikan dasar seperti lele, tagih (Hemibagrus nemurus), kebogerang (Mystus nigriceps) mempunyai bentuk tubuh yang memanjang dengan kepala datar dan melebar. Ikan ini menerkam mangsanya, sambil menyandarkan diri pada kemampuannya untuk berakselerasi dengan cepat pada jarak yang pendek. Sebagian besar jenis ikan memusat di daerah litoral dan sisanya mendiami bagian limnetik (Rahardjo et al. 2011).

Di danau yang luas komunitas ikan dasar dan pelagik sangat berbeda. Pada danau yang sempit, perbedaan distribusi ikan di bagian dasar dan pelagik tidak banyak berbeda (Wellcomme, 2001). Menurutnya, jumlah spesies yang membentuk populasi di danau dapat dirumuskan sebagai berikut:

N= 5.9 A 0.2684 Dengan A=luas area (km2)

Pada danau dalam terjadi stratifikasi vertikal kolom air (thermal stratification) sehingga terbentuk lapisan: epilimnion,

termoklin, dan hipolimnion (Gambar 2.) Epilimnion merupakan lapisan atas perairan, merupakan bagian yang hangat dengan suhu relatif konstan atau perubahan suhu secara vertikal sangat kecil. Termoklin merupakan lapisan di bawah epilimnion, perubahan suhu dan panas secara vertikal relatif besar, setiap penambahan kedalaman 1 m terjadi penurunan 1°C. Hipolimnion merupakan lapisan di bawah termoklin, memiliki suhu yang lebih dingin. Massa air di lapisan ini bersifat stagnan, tidak mengalami percampuran dan memiliki densitas yang lebih besar (Effendi, 2003).

Gambar 2. Stratifikasi termal danau

(Sumber: Effendi, 2003)

Keragaman ikan di danau cenderung

meningkat dengan meningkatnya luasan area, kedalaman perairan dan indeks produktivitas. Di danau dangkal, turbulensi yang disebabkan oleh angin biasanya cukup untuk mengaduk kolom air dari permukaan sampai ke dasar sehingga tidak ditemukan adanya gradien suhu maupun oksigen. Semakin dalam perairan, suhu maupun oksigen terlarut akan menurun. Fenomena ini akan memberi efek terhadap distribusi ikan, semakin dalam danau maka ikan makin jarang baik dalam spesies maupun jumlah (Rahardjo et al. 2011)

Secara temporal distribusi ikan di danau umumnya terjadi stratifikasi suhu karena adanya perbedaan kepadatan (berat jenis) air yang disebabkan perbedaan suhu sehingga terjadi stratifikasi (lapisan massa air) yang akan mempengaruhi pola sirkulasi air. Pada wilayah trofik, danau memiliki stratifikasi suhu dan oksigen, sedangkan di wilayah temperate tidak ada, karena adanya sirkulasi air dan karena pengaruh angin. Pada musim panas sirkulasi air terjadi

Warta Limnologi – No. 62/Tahun XXXII Juni 2019

18

pada zona photic sampai dengan termoklin, karena adanya perbedaan tekanan yang lebih tinggi di zona aphotic, maka sirkulasi tidak sampai ke zona profundal. Selanjutnya pada musim semi dan gugur, sirkulasi air di danau hampir terjadi pada keseluruhan zona. Sirkulasi terjadi dari zona photic sampai ke aphotic, sehingga keadaan suhu dan oksigen tidak banyak mengalami perubahan di dalam setiap zona. Selanjutnya pada musim dingin, tidak terjadi sirkulasi. Namum terdapat perbedaan suhu dan oksigen. Suhu dan oksigen pada zona photic lebih kecil dibandingkan dengan zona aphotic (Goldman and Horne, 1983).

Salah satu ciri umum yang sering terlihat dari penelitian yang baru-baru ini dilakukan adalah bahwa dalam sistem danau dan sungai tropis, faktor-faktor biologis biasanya memiliki pengaruh lebih besar bila dibandingkan dengan faktor-faktor fisika dan kimiawi dalam menentukan persebaran dan jumlah populasi ikan. Namun, faktor-faktor fisika dan kimiawi masih memiliki peran penting dalam menjelaskan pola-pola per-sebaran dalam skala yang lebih luas. Alasan utama dari pentingnya faktor-faktor biologis adalah kestabilan iklim secara umum di daerah tropis. Suhu hangat sepanjang tahun dan produksi makanan, paling tidak di daerah hutan hujan, biasanya berlangsung secara berkelanjutan. Di banyak daerah, pergantian musim hujan dan kemarau menyebabkan fluktuasi lingkungan yang cukup besar, tetapi fluktuasi ini lebih bersifat reguler dan biasanya tidak bersifat ekstrim seperti fluktuasi yang terjadi di daerah beriklim sedang. Berkaitan dengan stabilitas iklim ini adalah stabilitas geologis, sehingga banyak dari danau dan sungai di daerah tropis berumur cukup tua, memberi kesempatan yang cukup bagi spesies yang sangat terspesialisasi untuk berevolusi dan mengambil keuntungan dari berbagai kondisi fisika, kimiawi dan jaring-jaring makanan yang ada (Lowe-McConnel, 1975).

Aktivitas ruaya kelompok ikan di danau akan mempengaruhi pula pola distribusi spasial dan temporal dalam hubungannya dengan perkembangan ontogenetik, reproduksi serta pencarian makanan (Effendi, 2002). Aktifitas ruaya tersebut biasanya dapat dipengaruhi oleh tingkat kematangan gonad. Kematangan gonad diduga merupakan salah satu pendorong bagi ikan untuk melakukan migrasi, meskipun bisa terjadi ikan tersebut melakukan migrasi sebagai proses untuk melakukan pematangan gonad. Insting juga dapat menjadi faktor internal ikan melakukan ruaya dimana ikan mampu menemukan kembali daerah asal mereka meskipun sebelumnya ikan tersebut menetas dan tumbuh di daerah yang sangat jauh dari tempat asalnya dan belum pernah melewati daerah tersebut. Kemampuan ini diduga berasal dari faktor insting yang kuat yang dimiliki oleh ikan yang memiliki kemampuan beruaya serta aktifitas renang, dimana aktifitas berenang pada ikan meningkat pada malam hari. Kebanyakan ikan bertulang rawan (elasmobranch) dan ikan bertulang keras (teleost) lebih aktif berenang pada malam hari daripada di siang hari.

Selanjutnya, aktivitas ruaya kelompok ikan di danau yang akan mempengaruhi pola distribusi spasial dan temporal ikan yang dilakukan ikan dalam hubungannya dengan tingkah laku reproduksi ikan adalah tipe ruaya pemijahan (Effendi, 2002). Tipe ruaya ini dilakukan untuk kepentingan pemijahan. Sebagai contoh, ikan lakustrin (ikan perairan tergenang /lentik) yang mengadakan ruaya pemijahan, walaupun tidak semuanya bahkan sedikit sekali dari ikan lakustrin (penghuni danau selama hidupnya) tersebut yang mengadakan ruaya pemijahan. Ikan Genus Tilapia yang hidup di bagian dalam/bentik dari suatu danau melakukan ruaya pemijahan ke bagian pinggir yang dangkal. Beberapa ikan lakustrin akan beruaya ke pinggir danau/litoral kalau terjadi peninggian air danau, misalnya ikan mas (Cyprinus carpio) di dalam suatu danau yang besar

Warta Limnologi – No. 62/Tahun XXXII Juni 2019

19

akan beruaya ke bagian pinggir danau untuk memijah. DAFTAR PUSTAKA Coulter, G.W. 1976. The Biology of Lates

Species (Nile Perch) in Lake Tangayika, and The Status of The Pelagic Fishery for Lates Species and Luciolates stappersii (Blgr.). Journal of Fish Biology. 9(3): 235 – 259.

Effendi, H. 2003. Telaah Kualitas Air Bagi Pengelolaan Sumberdaya dan Lingkungan Perairan. Kanisius. 258 hal.

Effendi, M.I. 2002. Biologi Perikanan. Pustaka Nusatama.163 hal.

Goldman, C.R., and A.J. Horne. 1983. Limnology. McGraw Hill Company. 464pp.

Jorgensen, S.E., and R.A. Vollenweider. 1989. Guidelines of Lake Management, I: Principles of Lake Management. International Lake Environment Comittee (ILEC). United Nations Environment Programme (UNEP). 199pp.

Lehmusluoto, P. and B. Machbub. 1997. National Inventory of The Major Lakes and Reservoirs in Indonesia: General Limnology. Research Institute for Water resources Development. Ministry Of Public Works. Agency for Research and Development. 76pp.

Lowe-McConnel, R.H. 1975. Fish Communities in Tropical Freshwater. Longman. 337pp.

McKaye, K.R. 1977. Competition for Breeding Sites Between The Cichlid Fishes of Lake Jiloa, Nicaragua. Ecology, 58 (2): 291 – 302.

Power, M.E. 1983. Grazing Ecology of Tropical freshwater Fishes to Different Scale of Variation in Their Food Environment. Biol. Fish. 9: 103 – 115.

Rahardjo, M.F, D.S. Sjafei, R. Affandi dan Sulistiono. 2011. Iktiology. CV Lubuk Agung. 396 hal.

Robert, T.R. 1972. Ecology of Fishesin The Amazon and Congo Basins. Bull. Mus. Comp. Zool. 143 (2): 117 – 147.

Ruttner. 1963. Fundamental of Limnology. Canada. University of Toronto Press. 295pp.

Satari, G. 2001. Pengelolaan dan Pemanfaatan Danau dan Waduk. Hal 3-41 – 3-47. Dalam Prosiding Semiloka Nasional. Universitas Padjadjaran Bandung, 7 Nopember 2000.

Sioli, H. 1975. Tropical Rivers as an Expression of Their Terrestrial Environment. In Tropical Ecological System. F.B. Golly and E. Medina (editors). Springer Verlag: 275 – 268.

Straskraba, M and J.G. Tundisi. 1999. Guidelines of Lake Management. Volume 9. International Lake Environment Committe Foundation. 229p.

Wellcomme, R.L. 2001. Inland Fisheries Ecology and Management. FAO of United Nations. Fishing News Book. Blackwell Science. 358p.

Wetzel, R. G. 2001. Limnology: Lake and River Ecosystems. Academic Press. 1006pp.

Warta Limnologi – No. 62/Tahun XXXII Juni 2019

20

(Imroatushshoolikhah- Puslit Limnologi LIPI)

[email protected]

ajian terkait sedimen dalam pengelolaan dan restorasi danau sudah dimanfaatkan secara luas. Sedimen danau merupakan salah satu media yang dapat digunakan

dalam kajian paleolimnologi karena dapat merekam perubahan kondisi lingkungan dalam jangka panjang termasuk perubahan iklim dan menurunnya keanekaragaman hayati. Sedimen menjadi tempat hewan-hewan terawetkan sebagai fosil. Saat ini, kajian paleolimnologi umumnya meng-gunakan beberapa pendekatan atau disebut juga multiproxy, sehingga kondisi paleolimnologi dapat diketahui lebih mendalam (Luoto and Salonen, 2010), contoh multiproxy dari aspek biotik yang umum digunakan diantaranya mikrofosil invertebrata, diatom, dan polen. Makroinvertebrata yang lazim ditemukan di dalam lapisan sedimen danau adalah moluska dan insekta. Tulisan ini akan menginformasikan penggunaan makro-invertebrata dalam bidang paleo-limnologi, khususnya fokus pada kajian fosil insekta seperti Chironomid. Penggunaan mikrofosil invertebrata sebagai salah satu proxy dalam paleolimnologi semakin meningkat sejak 20 tahun terakhir (Birks and Birks, 2006). Kenapa Menggunakan Mikrofosil Insekta Akuatik?

Menurut Cohen (2003), Insekta dapat terawetkan dengan baik di dalam sedimen karena rangka tubuhnya mengandung kitin. Bagian-bagian tubuh insekta yang sering ditemukan sebagai fosil antara lain:

1. Penutup sayap 2. Mandibula atau bagian rahang

bawah

3. Bagian lain dari kepala, dan 4. Anggota gerak.

Fosil insekta yang umum ditemukan

pada sedimen danau adalah Diptera (Chironomid), Trichoptera, dan Coleoptera namun studi terkait fosil Trichoptera masih terbatas. Mikrofosil Chironomid adalah salah satu fosil yang paling sering digunakan dalam kajian paleolimnologi karena Chironomid sendiri bersifat kosmopolit di perairan airtawar. Mikrofosil bagian tubuh Chironomid yang umum ditemukan adalah selongsong kepala (Walker and Mathewes, 1988; Cohen, 2003; Hamerlik et al. 2018). Aplikasi Mikrofosil Chironomid dalam Paleolimnologi

Studi mikrofosil Chironomid secara kuantitatif digunakan secara luas dalam studi paleolimnologi untukmerefleksikan kondisi perubahan iklim, perubahan tinggi muka air, asidifikasi, dan tingkat tropik pada perairan darat.

1. Perubahan Temperatur/ Iklim

Mikrofosil Chironomid dikenal sebagai salah satu proxy dalam kajian paleotemperatur. Hal ini didasarkan pada siklus hidupnya yang pendek sehingga, mampu merespon perubahan iklim sekitarnya dengan cepat (Mihindukulasooriya, 2014). Contohnya pada masa transisi Pleistosen-Holosen dimana banyak ditemukan Microtendipes, Microspectra, Tanytarsus lugens yang bersifat mampu beradaptasi pada kondisi temperatur lebih hangat dengan kenaikan 3°- 4°C (Chase et al. 2008).

2. Tingkat Tropik Perairan

Mikrofosil Chironomid juga merupakan paleoindikator untuk produktivitas danau. Tingkat tropik danau ditentukan dengan metode Benthic Quality Index (k indeks) yang berkisar antara 1 (Ultra-Oligotropik) sampai 5 (Eu-Hipertropik) (Brodensen and Quinlan, 2006). BQI ini biasanya menggunakan Chironomid dari zona profundal. Tujuh taksa Chironomid yang

K

PENGGUNAAN MIKROFOSIL MAKROINVERTEBRATA

SEBAGAI PENDEKATAN DALAM KAJIAN PALEOLIMNOLOGI

Warta Limnologi – No. 62/Tahun XXXII Juni 2019

21

digunakan sebagai indikator tingkat tropik perairan:

Adapun tipe Chironomid indikator eutrofikasi pada danau tanpa zona profundal (termasuk danau-danau dangkal), adalah Procladius, Ablabesmyia, Endochironomus, Dicrotendipes, Microtendipes, Cricotopus, Glyptotendipes, Microchironomus, Pseudochironomus, dan Chironomus tipe plumosus. 3. Hipolimnetik Oksigen

Oksigen terlarut dalam perairan merupakan regulator terhadap struktur komunitas dan kelimpahan Chironomid.

Metode Kerja Menggunakan Mikrofosil

Secara umum, prosedur kerja menggunakan mikrofosil chironomid terdiri dari dua proses: 1. Pengambilan Sampel Sedimen

(Sediment Core)

- Pengambilan sampel sedimen dapat dilakukan dengan menggunakan beberapa alat baik seperti Piston Corer (Holmes, 2014), Mackereth Corer (Holmes, 2014), Gravity Corer (Holmes, 2014), Livingstone Sediment Corer (Bitusik et al. 2009; Antipushina et al. 2012), modifikasi corer (Gunther, 1983), atau Ekman Birge Bottom Sampler (Hamerlik et al. 2018). Biasanya, jenis corer yang digunakan disesuaikan dengan panjang atau pendeknya sekuen sedimen yang akan diambil. Untuk analisis mikrofosil Chironomid, umumnya hanya diambil dari satu kali pengambilan karena lamanya waktu yang dibutuhkan untuk analisa. Sampel sedimen yang masih basah kemudian dibungkus dan disimpan pada suhu 4°C (Holmes, 2014). Sampel juga dapat disimpan pada lingkungan yang dingin dan kering apabila sebelumnya telah melalui proses pengeringan dengan oven atau freeze dried (Holmes, 2014).

- Sediment slicing atau pemotongan lapisan sedimen sesuai tujuan penelitian.

2. Analisis Laboratorium (Brooks, 2007

dalam Holmes, 2014)

- Preparasi sampel sedimen: a. Sampel sedimen yang sudah

diketahui volume basah atau berat kering kemudian di-deflokulasi dalam larutan KOH 10% pada suhu 75°C selama 15 menit

b. Penyaringan, dengan mengguna-kan satu atau dua saringan berpori (90 µm dan 180 µm atau 212 µm). Sampel kemudian disimpan dalam botol vial kemudian kumpulan sampel diambil menggunakan pipet

c. Pemilahan, dilakukan dengan menggunakan mikroskop stereo dengan perbesaran 20-25x

- Penutupan sampel kepala Chironomid menggunakan slide-microscope dan larutan khusus seperti Hydro-matic atau lebih dikenal dengan istilah Mounting

- Pengamatan dan identifikasi dengan menggunakan mikroskop perbesaran 40x.

Bagaimana Merekonstruksi Lingkungan Masa Lampau?

Terdapat beberapa pendekatan yang digunakan untuk merekonstruksi kondisi masa lampau menurut Birks and Birks (2006).

1. Indicator Species

Rekonstruksi dapat dilakukan dengan menggunakan satu taksa yang toleransi biologi dan ekologinya sudah diketahui

Taksa K Indeks

Heterotrissocladius subpilosus (Kieffer)

k = 5

Micropsectra spp. k = 4

Paracladopelma spp. k = 4

Sergentia coracina (Zetterstedt)

k = 3

Stictochironomus rosenschoeldi (Zetterstedt)

k = 3

Chironomus anthracinus (Zetterstedt)

k = 2

Chironomus plumosus (Linnaeus)

k = 1

Spesies indikator absen k = 0

Warta Limnologi – No. 62/Tahun XXXII Juni 2019

22

secara jelas. Taksa tersebut sebagai indikator untuk rekonstruksi habitat, komunitas, lingkungan, bahkan kondisi iklim.

2. Assemblage Approach - The Mutual

Climatic Range Method (MCRM) Rekonstruksi juga dapat dilakukan

dengan menggunakan gabungan beberapa taksa, jika gabungan beberapa taksa tersebut memiliki kemiripan dengan taksa-taksa yang hidup pada masa sekarang yang sudah diketahui kondisi ekologinya, maka kemiripan ini dapat digunakan untuk menyimpulkan kondisi ekologi pada masa lampau.

3. Transfer Function Approach

Pendekatan dengan pemodelan secara numerik berdasarkan adanya korelasi, yakni hubungan antara kejadian yang diamati dan kelimpahan organisme dalam sampel sedimen-permukaan dan variabel lingkungan yang terukur saat ini. Pendekatan ini menunjukkan performa yang baik jika perubahan yang terjadi pada suatu variabel lingkungan cukup besar namun dalam jangkauan observasi. Pendekatan ini juga memiliki kelemahan dan tidak sensitif jika dalam observasi terdapat taksa yang mendominasi dengan toleransi ekologi yang terlalu luas dan taksa yang toleransinya juga terlalu sempit.

DAFTAR PUSTAKA Antipushina, Z., K. Szeroczyñska, and E.

Zawisza. 2012. Algal and Invertebrate Microfossil Assemblages From Lake Sediments In The Reconstruction Of Past Community Dynamics– Preliminary Information. Studia Quaternaria, 29: 53–58.

Birks, H. H. and H. J. B. Birks. 2006. Multi-proxy studies in palaeolimnology. Veget Hist Archaeobot, 15: 235–251.

Bitusik, P., V. Kubovcik, E. Stefkova, P. G. Appleby, and M. Svitok. 2009. Subfossil diatoms and chironomids along an altitudinal gradient in the High Tatra Mountain lakes: a multi-proxy record of past environmental trends. Journal Hydrobiologia, 631 (1): 65–85.

Brodensen, K. P. and R. Quinlan. 2006. Midges as Paleoindicators of Lake Productivity, Eutrophication, and Hypolymnetic Oxygen. Quartenary Science Review, 25: 1995-2012.

Chase, M., C. Bleskie, I. R. Walker, D. G. Gavin, and F. S. Hu. 2008. Midge-inferred Holocene summer temperatures in Southeastern British Columbia, Canada. Palaeogeography, Palaeoclimatology, Palaeoecology, 257: 244–259.

Cohen, A. S. 2003. Paleolimnology: The History and Evolution of Lakes System. Oxford University Press. New York.

Gunther, J. 1983. Development of Grossensee (Holstein: Germany): Variation in Tropic Status from the Analysis Subfossil Microfauna. Hydrobiologia 103: 231-234.

Hamerlik, L., F. L. D. Silva, and M. Wojewódka. 2018. Sub-fossil Chironomidae (Diptera) from lake sediments in Central America: a preliminary inventory. Zootaxa, 4497 (4): 559–572.

Holmes, N. 2014. Chironomid Analysis: Background, Method and Geomorphological Applications. Geomorphological Techniques, Chap. 4, Sec. 1.3.

Luoto, T. P. and V. P. Salonen. 2010. Fossil Midge Larvae (Diptera: Chironomidae) as Quantitative Indicators of Late- Winter Hypolimnetyc Oxygen In Southern Finland: A Calibration Model, Case Studies and Potentialities. Boreal Environment Research, 15: 1-8.

Mihindukulasooriya, L. N. 2014. A Multi-Proxy Reconstruction Of Paleolake Productivity and Paleoclimatic Variability Using Authigenic Lake Carbonates From Cleland Lake British Columbia. [Dissertation]. Kent State University.

Walker, I. R. and R. W. Mathewes. 1988. Late-Quaternary Fossil Chironomidae (Diptera) From Hippa Lake, Queen Charlotte Islands, British Columbia, With Special Reference To Corynocera zett. The Canadian Entomologist, 120(8-9): 739- 751.

Warta Limnologi – No. 62/Tahun XXXII Juni 2019

23

Bupati Kab. Tanggamus Provinsi Lampung, Dewi Handajani beserta jajarannya berkunjung ke Pusat Penelitian Limnologi Lembaga Ilmu Pengetahuan Indonesia (LIPI) pada Kamis, 28 Februari 2019. Rombongan yang dipimpin langsung oleh Bupati Kab. Tanggamus dan beranggotakan Sekda, Kadis PU, Bapeda BPBD dan Balitbangda Prov Lampung ini diterima langsung oleh Deputi Bidang Jasil LIPI, Dr. Mego Pinandito dan Kepala Pusat Penelitian Limnologi LIPI, Dr. Fauzan Ali. Pertemuan ini berkaitan dengan permasalahan banjir di Kabupaten Tanggamus. Kekhawatiran Pemda Tanggamus meliputi penanganan banjir yang berkaitan dengan kondisi alam, ekologi, dan sosial masyarakat. Dewi mengharapkan dapat terjalin kerjasama dengan LIPI, terkait dengan SDM khusus di bidang penelitian, dalam rangka mewujudkan harapan masyarakat Kabupaten Tanggamus. Kerjasama dengan LIPI diharapkan dapat mengatasi banjir, pembangunan irigasi, pemanfaatan sungai untuk pembangkit listrik sehingga Kabupaten Tanggamus menjadi destinasi wisata, tutur Dewi.

“Hasil kajian LIPI nantinya menjadi acuan kami dalam mengatasi masalah yang selama ini dihadapi Kabupaten Tanggamus Lampung, sehingga dalam membuat kebijakan dapat berguna bagi masyarakat Kabupaten Tanggamus”, tutup Bupati dalam pertemuan tersebut.

Deputi Bidang Jasil LIPI menyampaikan bahwa hasil penelitian dapat diimplemen-tasikan untuk penanganan kebencanaan di Kabupaten Tanggamus. Mego menambahkan bahwa ini merupakan tantangan yang harus diselesaikan LIPI, tentunya dengan peran aktif dari Litbang Pemprov Lampung. Pengumpulan data yang kemudian dianalisis secara bersama-sama dengan satuan kerja yang ada di LIPI, serta informasi lokasi yang berbahaya dari masyarakat sangat diperlukan ungkap Mego.

Hasil riset LIPI dari segi pangan sekarang sudah dikemas dalam makanan

kaleng yang merupakan solusi apabila terjadi banjir dan dapat menambahkan ekonomi masyarakat melalui UKM. Kepala Pusat Penelitian Limnologi LIPI, mengungkapkan permasalahan DAS dan ekosistem darat adalah bagian dan pekerjaan dari Puslit Limnologi sehingga kunjungan Bupati beserta jajaran Kabupaten Tanggamus sudah sangat sesuai. Hasil dari kajian dapat menjadi warning untuk perhatian Pemda dan pusat, tutur Fauzan. Berdasarkan kajian ekosistem ini dapat disusun rekomendasi di berbagai sektor yang akhirnya menjadi suatu rambu-rambu di daerah, tutup Fauzan. (KSM&nidejovi)

Puslit Limnologi LIPI menyelenggarakan One Day seminar yang bertema Spatial Connectivity of Stream Food Web pada 26 April 2016. Seminar ini sebagai persiapan Workshop International Field Biological Course pada acara Troplimno, Agustus 2018 yang merupakan kerjasama antara Center for Ecological Research (CER) dan Puslit Limnologi LIPI (P2L-LIPI). Puslit Limnologi-LIPI mengundang para peneliti di Kawasan Cibinong Science Center untuk hadir pada acara ini dan Prof. Hiromi Uno akan menyampaikan presentasi tentang Spatial Connectivity of Stream Food Web. (nidejovi).

Sekilas Warta

Kunjungan Bupati Kabupaten Tanggamus, Lampung ke LIPI

One Day Seminar Towards

International Conference Troplimno

Warta Limnologi – No. 62/Tahun XXXII Juni 2019

24

Masyarakat Limnologi Indonesia (MLI) akan mengadakan Pertemuan Ilmiah Tahunan ke 4-Masyarakat Limnologi bertema “Penguatan Peran Limnologi dalam Pemulihan Fungsi Ekosistem Perairan Darat” pada 30 Agustus 2019 di Gedung Koesnoto-LIPI. Pada acara ini diharapkan akan menghasilkan ide dan strategi untuk pemulihan fungsi ekosistem perairan darat di Indonesia dan sebagai media tukar informasi, pengetahuan limnologi terkini diantara peneliti, pengambil kebijakan, masyarakat pemerhati dan praktisi terkait kondisi ekosistem perairan darat. Pada acara ini akan hadir dua pembicara utama Dr. Evi Irawan, M.Sc dari Balai Penelitian dan Pengembangan Teknologi Pengelolaan Daerah Aliran Sungai dan Chaerudin, Sang pendekar Sungai Pesanggrahan.

Fungsi perairan darat di Indonesia memiliki peran penting dalam memasok kebutuhan air bersih, pertanian, energi listrik, transportasi, pariwisata dan perikanan, maka keberlajutan dari sumber daya perairan darat dalam mendukung pembangunan mutlak harus dilakukan. Namun pada kenyataannya dalam pemanfaatan sumber daya perairan seringkali dapat menimbulkan akses negatif bagi lingkungan misalnya pencemaran, pendangkalan, oleh proses sedimentasi, eutrofikasi maupun punahnya biota asli atau endemic. Sehingga peran ahli limnolog diperlukan dan perlu dikuatkan kembali dalam memberikan solusi terhadap pemulihan fungsi ekosistem darat yang telah mengalami penurunan dan permasalahan. Melalui kearifan dan kajian ilmiah secara komprehensif, yang dibantu peran serta masyarakat dalam menjaga kelestarian sumberdaya perairan diharapkan mampu menyelamatkan ekosistem perairan. (yovita)

Pusat Penelitian Limnologi LIPI mengadakan Forum Discussion Group tentang Penyusunan Konsep Pertanian sehat di Kawasan Danau Toba pada 20 Mei 2019 di Puslit Limnologi LIPI. Kegiatan yang dihadiri oleh Kepala Puslit Limnologi LIPI, Ketua Kelompok Penelitian, Peneliti Puslit Limnologi, dan tim Peneliti Puslit Biologi –LIPI ini bertujuan untuk menjabarkan dan memperkaya konsep pertanian sehat yang akan diimplementasi-kan di lapangan. Kebijakan Program Nasional Pengembangan Kawasan Strategi Pariwisata Nasional (KSPN) Danau Toba, menargetkan satu juta wisatawan asing yang datang ke kawasan Danau Toba pada 2019. Oleh karena itu perlu dipersiapkan penyediaan makanan sehat serta kelestarian Danau Toba tetap terjaga dari pencemaran. (Yovita)

Pelaksana Tugas Kepala Bapelitbang Bupati Kabupaten Rote Ndao, Dra. Endang Pristiwati, M.Si beserta jajarannya berkunjung ke Pusat Penelitian Limnologi Lembaga Ilmu Pengetahuan Indonesia (LIPI) pada Jumat, 10 April 2019. Kunjungan ini diterima langsung oleh Kepala Pusat Penelitian Limnologi- LIPI, Dr. Fauzan Ali. Pertemuan ini berkaitan dengan inisiasi potensi kerjasama Pemerintah Kabupaten Rote Ndao dengan LIPI. Fauzan mengatakan bahwa Puslit Limnologi-LIPI siap menjalin

Pertemuan Ilmiah Tahunan ke-4 Masyarakat Limnologi Indonesia

FGD Penyusunan Konsep Pertanian Sehat di Kawasan Danau Toba

Kunjungan Badan Perencanaan Penelitian dan Pengembangan (Bapelitbang) Kabupaten Rote

Ndao ke LIPI

Warta Limnologi – No. 62/Tahun XXXII Juni 2019

25

kerjasama dengan Pemkab Rote untuk mengembangkan potensi yang ada disana dan mengharapkan Pemkab Rote Ndao berkomitmen pada kerjasama ini sehingga dapat berjalan dengan baik sesuai tujuan. Endang mengharapkan LIPI dapat membantu mengeksplorasi tiga sektor penting yang dimiliki Kabupaten Rote Ndao yaitu pariwisata, pertanian, dan perikanan. Endang menambahkan bahwa kepulauan Rote Ndao memerlukan supply air bersih, sehingga ke depannya dapat bekerjasama dalam bidang teknologi air bersih. Fauzan menambahkan bahwa Pemkab Rote dapat menentukan potensi utama yang dapat mendongkrak kemajuan sektor lainnya. (nidejovi)

Warta Limnologi – No. 62/Tahun XXXII Juni 2019

26

DANAU TOBA Anugerah Nontji

Pemerhati Limnologi

anau Toba terletak di pegunungan Bukit Barisan Propinsi Sumatra Utara, dengan posisi geografis antara 2o 21’32” – 2o 56’ 28” Lintang Utara dan 98o26’ 35” – 99o 15’ 40” Bujur Timur. Jaraknya

kurang lebih 176 km arah selatan kota Medan, ibukota Propinsi Sumatra Utara. Danau ini berbatasan dengan tujuh wilayah administratif kabupaten yakni kabupaten Samosir, Toba Samosir, Simalungun, Tapanuli Utara, Humbang Hasundutan, Dairi dan Karo. Luas permukaan air Danau Toba adalah 1.124 km2 yang merupakan danau terbesar di Asia Tengara. Luas daratan DTA (Daerah Tangkapan Air) nya adalah 2.486 km2. Permukaan danau berada pada ketinggian 903 m dpl (di atas permukaan laut). Panjang maksimumnya kurang lebih 50 km dan lebar maksimumnya sekitar 27 km.

Gambar 1. Panorama Danau Toba

(paketwisatadanautoba.net)

Karakteristik morfologi dasar Danau Toba yang membentang dari barat-laut ke tenggara membentuk dua cekungan besar yakni cekungan utara dan cekungan selatan yang dipisahkan oleh adanya Pulau Samosir. Kedalaman maksimum Danau Toba adalah 508 m (yang merupakan danau terdalam ke-9 di dunia) terdapat di cekungan utara, sedangkan di cekungan selatan kedalaman maksimumnya mencapai 420 m. Kedalaman rata-ratanya adalah 228 m. Volume air keseluruhan danau diperkirakan 256,2 km3. Di tengah Danau Toba terdapat Pulau

Samosir dengan luas 630 km2, yang merupakan pulau terbesar di dunia yang berada di dalam suatu pulau. Debit keluaran (outflow) adalah sekitar 100 m3/dt, hingga dapat diperkirakan waktu tinggal (retention time) atau waktu yang diperlukan untuk membilas seluruh volume danau adalah sekitar 81 tahun, yang cukup panjang dibandingkan dengan danau-danau lain di Indonesia.

Gambar 2. Citra satelit Danau Toba dan Pulau

Samosir

Gambar 3. Peta batimetri (kedalaman air) Danau

Toba (Lukman dan Ridwansyah, 2010) Tabel 1. Karakter morfometri Danau Toba (Lukman dan Ridwansyah, 2010)

Dilihat dari proses pembentukannya, Danau Toba tergolong danau vulkano-tektonik. Sejarah Danau Toba dimulai sekitar 75.000 tahun lalu, yang dari sudut geologi masih termasuk resen (recent). Sesar Semangko yang dalam, mendorong magma (molten material) mencuat ke permukaan bumi. Hal ini

Pojok Limno

D

Warta Limnologi – No. 62/Tahun XXXII Juni 2019

27

menimbulkan tekanan yang sangat besar yang membentuk gunung api maha besar (super volcano) yang dikenal sebagai Tumor Batak. Kemudian gunung api raksasa ini erupsi dengan dahsyat. Sekitar 1.500 hingga 2.000 km3 material yang dimuntahkan.

Dengan sedemikian banyaknya material yang dimuntahkan dari kantong magma, puncak gunung api itu pun runtuh dan membentuk danau kawah. Beberapa seri erupsi lebih kecil menyusul kemudian yang membentuk gunung api kedua di dalam kawah, dan ketika ini pun kemudian runtuh, gunung api itu pun terpecah menjadi dua bagian, yang sebelah barat membentuk Pulau Samosir, dan lereng sebelah timur kemudian membentuk semenanjung antara Parapat dan Porsea. Erupsi kedua itu terjadi sekitar 30.000 tahun lalu.

Gambar 4. Sejarah terjadinya Danau Toba. (a). Setelah tekanan besar mendorong kerak bumi mencuat ke atas, celah utama terbuka dan letusan maha dahsyat terjadi. (b) Hilangnya magma yang demikian besar menyebabkan kerucut vulkanik runtuh dan danau purba (ancient lake) terbentuk. Tekanan meningkat lagi dan kerucut vulkanik tua dipaksa naik kembali, dan letusan lebih kecil terjadi. (c) Kerucut kedua pecah menjadi dua bagian membentuk Pulau Samosir

dan Semenanjung Parapat (Hehuwat, 1982).

Dilihat dari proses pembentukannya, Danau Toba tergolong danau vulkano-tektonik. Sejarah Danau Toba dimulai sekitar 75.000 tahun lalu, yang dari sudut geologi masih termasuk resen (recent). Sesar Semangko yang dalam, mendorong magma (molten material) mencuat ke permukaan bumi. Hal ini menimbulkan tekanan yang sangat besar yang membentuk gunung api maha besar (super volcano) yang dikenal sebagai Tumor Batak. Kemudian gunung api raksasa ini erupsi dengan dahsyat. Sekitar 1.500 hingga 2.000 km3 material yang

dimuntahkan. Dengan sedemikian banyaknya material yang dimuntahkan dari kantong magma, puncak gunung api itu pun runtuh dan membentuk danau kawah. Beberapa seri erupsi lebih kecil menyusul kemudian yang membentuk gunung api kedua di dalam kawah, dan ketika ini pun kemudian runtuh, gunung api itu pun terpecah menjadi dua bagian, yang sebelah barat membentuk Pulau Samosir, dan lereng sebelah timur kemudian membentuk semenanjung antara Parapat dan Porsea. Erupsi kedua itu terjadi sekitar 30.000 tahun lalu.

Kejadian erupsi Gunung Toba purba itu dinyatakan sebagai erupsi gunung berapi terdahsyat di bumi yang pernah diketahui. Debu yang disemburkan pada kejadian erupsi menyebar ke seluruh bumi. Ketebalan debu yang mengendap di India mencapai 15 cm dan di sebahagian Malaysia bahkan mencapai ketebalan 9 m. Curah hujan tahunan yang terdapat di kawasan Daerah Tangkapan Air Danau Toba berkisar antara 1.700 sampai dengan 2.400 mm/tahun, sedangkan puncak musim hujan terjadi pada bulan November – Desember dengan curah hujan antara 190 – 320 mm/bulan dan puncak musim kemarau terjadi selama bulan Juni – Juli dengan curah hujan berkisar 54 – 151mm/bulan. Hujan yang jatuh di daratan diterima di Daerah Tangkapan Air (DTA) di atas Danau Toba yang seluruhnya mempunyai luas 4.311 km2.

Berdasarkan data dari Badan Pelaksana Kordinasi Pengelolaan Ekosistem Kawasan Danau Toba, dalam wilayah DTA Danau Toba terdapat 205 sungai yang bermuara ke Danau Toba. Dari daratan Sumatra terdapat 142 sungai sedangkan Daratan Samosir menyumbang 63 sungai. Sementara itu satu-satunya pintu keluar (outlet) air dari Danau Toba hanyalah melalui Sungai (Sei) Asahan yang bermuara di pantai timur Sumatra.

Di pintu keluar (outlet) di Siruar, telah dibangun bendung untuk mengendalikan tinggi muka air Danau Toba. Dengan adanya bendung pengendali Siruar itu maka Danau Toba sudah tidak lagi berfungsi sepenuhnya sebagai danau alami. Tinggi muka air Danau Toba dikendalikan secara mekanis oleh Bendung Siruar. Dengan demikian Danau Toba menjadi satu-satunya bendungan alami terluas di dunia. Bendung Siruar itu semula dimaksud untuk mendukung Pembangkit Listrik Tenaga Air (PLTA) Asahan di Sigura-gura dengan kapasitas 4 x 73,2 MW dan PLTA Tangga 4 x 81,1 MW (total kapasitas

Warta Limnologi – No. 62/Tahun XXXII Juni 2019

28

terpasang 617,2 MW) yang mulai beroperasi tahun 1983 oleh PT Indonesia Asahan Aluminium (Inalum).

Gambar 6. Bendung pengendali Siruar, mengendalikan aliran keluar (outflow) dari Danau Toba ke Sungai Asahan, hingga Danau Toba tidak lagi berfungsi sepenuhnya sebagai danau alami.

Kualitas air Danau Toba dipengaruhi oleh berbagai faktor antara lain limbah domestik/pemukiman, pertanian, perikanan, industri, pelayaran dan pariwsisata, baik yang berasal dari daratan (land based) maupun yang berasal dari kegiatan di perairan danau. Dengan makin pesatnya pertumbuhan penduduk yang bermukim di sekitar danau berikut beragam kegiatannya maka kualitas air cenderung menurun.

Kajian Lukman (2010) mengenai kualitas air di Danau Toba menunjukkan suhu yang berkisar 26,4 - 27,4 oC, pH cenderung basa (>7,3), kecerahan 6,0 – 11,5 m, konduktivitas antara 0,160 – 0,166 mS/cm, kadar oksigen terlarut cukup tinggi (> 7,0 mg/l), kadar Total N antara 0,163 – 0,840 mg/l dan Total P antara 0,015 – 0,399 mg/l sedangkan kadar Ortho P < 0,04 mg/l.

Penelitian fitoplankton di Danau Toba oleh Lukman (2010) menemukan 28 genus fitoplankton dari empat kelas yaitu Bacillariophyta (7 genus), Chlorophyta (12 genus), Cyanophyta (6 genus) dan Phyrophyta (3 genus) dengan kelimpahan berkisar antara 53 – 622 indiv./l. Secara keseluruhan kelimpahan fitoplankton tersebut sangat rendah dan mencirikan perairan yang miskin atau oligotrofik.

Mengenai keanekaragaman hayati di perairan Danau Toba dapat disebutkan bahwa di danau ini terdapat hewan endemik yang hanya terdapat di danau ini yakni ikan Neolissochilus thienemanni sumtranus dan kerang Corbicula tobae. Ikan Neolissochilus thienemanni sumatranus yang oleh penduduk setempat disebut “ihan” sudah terancam

punah dan masuk dalam Red List Status di IUCN (International Union for Conservation of Nature and Natural Resources) sejak tahun 1996. Ikan ini sering juga disebut “ikan batak”, namun istilah “ikan batak” digunakan pula untuk beberapa jenis ikan lainnya dari genus Tor yang tampilan morfologinya memang mirip karena berada di bawah familia yang sama yakni Cyprinidae.

Gambar 7. Ikan batak ihan, Neolissochilus thienemanni sumtranus, ikan endemik di Danau Toba yang terancam punah.

Ikan batak dari genus Tor sering disebut sebagai jurung-jurung, lazim digunakan dalam prosesi adat Batak sebagai simbol kesuburan. Selain ikan yang memang asli sebagai penghuni danau ini, terdapat juga beberapa jenis ikan pendatang atau diintroduksi ke danau ini. Beberapa jenis asli di Danau Toba antara lain Aplochilus panchax, Nematochellus pfeifferae, Homaloptera gymnogaster, Channa gachua, Channa striata, Clarias batrachus, Barbonymus gonionotus, B. schwanenfeldii, Danio albolineatus, Osteochilus vittatus, Puntius binotatus, Rasbora jacobsoni, Tor tambra, Betta imbellis, Betta taeniata dan Monopterus albus. Jenis ikan asli lain yang populasinya menurun adalah ikan pora-pora atau undalap (Puntius binotatus).

Ikan yang diintroduksi misalnya Cyprinus carpio (ikan mas) dan Oreochromis niloticus (ikan nila). Kedua jenis ikan introduksi itu kini banyak dimanfaatkan dalam pembudidaya-an ikan di danau dengan menggunakan Karamba Jaring Apung (KJA) di Danau Toba. Budidaya ikan dengan menggunakan KJA telah berkembang sangat pesat di Danau Toba hingga cenderung ke tingkat ekploitasi lebih (over exploitation) yang akhirnya tidak lagi memberikan keuntungan per unit usaha. Pertumbuhan jumlah unit KJA yang tak terkendali bahkan telah pula menimbulkan masalah lingkungan yang parah.

Sementara itu korban karena kematian massal ikan di KJA masih sering terjadi. Kasus mutakhir di Haranggaol, pantai sebelah utara Danau Toba, pada pekan pertama bulan Mei 2016, terjadi kematian massal

Warta Limnologi – No. 62/Tahun XXXII Juni 2019

29

ikan dalam KJA yang mengakibatkan sekitar 1.500 ton ikan mati dan menimbulkan kerugian pada para nelayan hingga miliaran Rupiah. Diperkirakan jumlah KJA di Danau Toba saat itu mencapai sekitar 7.000 unit (Gambar 8 dan 9).

Gambar 8. Budidaya ikan dengan Keramba Jaring Apung (KJA) yang sangat intensif di perairan Haranggaol, Danau Toba.

Gambar 9. Kematian massal ikan di KJA (Karamba Jaring Apung) di Danau Toba pada pekan pertama bulan Mei 2016 mengakibatkan lebih 1500 ton ikan mati. (horasnews.com)

Bencana ini diakibatkan karena lapisan

air di bagian bawah yang telah kehabisan oksigen (anoksik) terangkat ke permukaan (over turn) hingga menimbulkan kematian massal ikan. Sumber utama peristiwa ini adalah karena pemberian pakan berlebihan (over feeding) pada ikan dalam KJA, hingga banyak pakan tersisa yang mengendap ke lapisan bawah, ditambah pula feses (kotoran) ikan yang menyebabkan terakumulasinya bahan organik di lapisan bawah permukaan. Apabila terjadi perubahan cuaca yang mengakibatkan turunnya suhu air permukaan maka air tanpa oksigen di lapisan bawah ini akan naik ke permukaan hingga meneyebabkan musibah matinya ikan secara massal di permukaan. Eutrofikasi atau penyuburan perairan terjadi hingga memicu makin berkembanganya gulma air eceng gondok (Eichornia crassipes) di beberapa wilayah. Selain itu, pertumbuhan jumlah unit KJA yang sedemikian pesat telah mengurangi nilai

estetika lingkungan yang merupakan nilai penting untuk pengembangan pariwisata Danau Toba.

Gambar 10. Danau Toba merupakan kawasan pariwisata penting di Indonesia

Salah satu fungsi penting Danau Toba adalah sebagai kawasan pariwisata. Kota Parapat merupakan pusat pariwisata Danau Toba. Dari sini berbagai lokasi wisata di kawasan pantai Danau Toba dapat dicapai lewat transportasi air. Berbagai jenis objek wisata terdapat di Danau Toba dan sekitarnya antara lain wisata alam, wisata budaya, wisata olah raga dan alam, wisata

religi, dan wisata sejarah.

Gambar 11. Peta distribusi kawasan wisata dan potensi wisata Danau Toba (Lukman, 2013)

Lokasi pariwisata di wilayah Danau Toba hampir tersebar disepanjang danau, baik yang bersentuhan dengan perairan maupun tidak (Gambar 11). Tercatat 15 dusun/desa yang menunjang pariwisata, bahkan Parapat, Balige dan Pangururan selain lokasi wisata juga merupakan pusat-pusat bisnis. Selain itu terdapat 12 lokasi yang memiliki potensi yang belum dikembangkan. Dikutip dari Buku Danau-danau Alami Nusantara: Penulis: DR. Anugerah Nontji

Warta Limnologi – No. 62/Tahun XXXII Juni 2019

30

PEDOMAN PENULISAN Warta Limnologi – ISSN 0251-5168

Warta Limnologi terbit enam (6) bulan sekali, memuat makalah yang bersifat ilmiah semi popular, ulasan atau komentar, ringkasan hasil penelitian mutakhir, informasi tentang penelitian, buku, majalah, seminar, pelatihan, yang telah/akan dilakukan baik di dalam lingkungan P2L maupun di luar P2L, nasional dan internasional.

FORMAT Makalah diketik dengan Microsoft Word, Times New Roman, Font 12, ukuran kertas A4, tepi kiri dan atas 4 cm, kanan dan bawah 3 cm, dengan jarak 1 spasi, dalam Bahasa Indonesia sesuai EYD. Batasan untuk makalah ilmiah semi populer adalah 4-8 halaman, sedangkan untuk ringkasan tidak lebih dari 4 halaman. Contoh penulisan judul, nama penulis, dan lembaga afiliasi penulis:

PERAN PUSAT PENELITIAN LIMNOLOGI-LIPI DALAM MENCERDASKAN KEHIDUPAN

BANGSA: SEBUAH OTOKRITIK DARI DIMENSI MODAL SOSIAL

(Dede Irving Hartoto-Puslit Limnologi LIPI) [email protected]

Penulisan satuan menggunakan Standar Internasional (SI). Exponen negatif digunakan untuk menyatakan satuan penyebut. Contoh: mg.L-1, bukan mg/L. Satuan ditulis menggunakan spasi setelah angka, kecuali untuk menyatakan persen. Contoh: 37 oC, bukan 37oC; 0,8%, bukan 0,8 %. Penulisan desimal menggunakan koma. Penulisan ribuan dipisahkan oleh tanda titik. Seluruh tabel dan gambar harus dirujuk dalam teks.

Daftar pustaka ditulis berdasarkan urutan abjad dari nama akhir penulis pertama. Pustaka dengan nama penulis (kelompok penulis) yang sama diurutkan secara kronologis. Apabila ada lebih dari satu pustaka yang ditulis penulis (kelompok penulis) yang sama pada tahun yang sama, maka huruf ’a’, ’b’ dan seterusnya ditambahkan setelah tahun. Beberapa contoh penulisan datar pustaka adalah sebagai berikut: Jurnal Tang, C., X.Z. Han, Y.F. Qiao, S.J. Zheng. 2009. Phosphorus deficiency does not enhance proton release by roots of soybean

[Glycine max (L.) Murr.]. Environ. Exp. Bot., 67:228-234. Nasution, S.H., Sulistiono, D. S. Sjafei, dan G. S. Haryani. 2007. Distribusi Spasial dan Temporal Ikan Endemik Rainbow Selebensis (Telmatherina celebensis Boulenger) di Danau Towuti, Sulawesi Selatan. Jurnal Penelitian Perikanan Indonesia. Edisi Sumber Daya dan Penangkapan, 13(2):95-104.

Buku Bowie, G.L, W.B. Mills, D.B. Porcella, C.L. Campbell, J.R. Pagenkopf, G.L. Rupp, K.M. Johnson, P.W.H. Chan, S.A. Gherini, and C.E. Chamberlin. 1985. Rates, Constants, and Kinetics Formulations in Surface Water Quality Modeling (Second Ed.). U.S. Environmental Protection Agency. 471p. Nasution, S. H. 2000. Ikan Hias Air Tawar RAINBOW. Penebar Swadaya. 96 hal.

Buku dengan editor Nasution, S.H. 2013. Ekobiologi Sebagai Dasar Konservasi dan Pengelolaan Ikan Endemik Paratherina striata di Danau Towuti, Sulawesi Selatan. hal. 261-284. Dalam H. Z. Anwar dan H. Harjono (Ed.) Perspekstif terhadap Kebencanaan dan Lingkungan di Indonesia, Studi kasus dan pengurangan dampak risikonya. Buku Bunga Rampai. Prosiding Radjagukguk, B. 1990. Pengelolaan produktivitas lahan sawah gambut. hal. 217-235. Dalam A. Agusli, M.H. Abas, Yurnalis (Eds.). Prosiding Pengelolaan Sawah Bukaan Baru Meningkatkan Swasembada Pangan dan Program Transmigrasi. Padang, 17-18 September 1990. [AVRDC] Asian Vegetable Research and Development Center. 1992. Vegetable Soybean Production. Proceedings of a Training Course. Chiang May. Thailand, 18-24 February 1991

Disertasi/Tesis Crowe, S.A. 2008. Biogeochemical cycling in iron-rich Lake Matano, Indonesia: An early ocean analogue [Dissertation]. Montreal: McGill Univ. 165pp.

Internet Anonim. 2015. TWA Danau Matano. Balai Besar KSDA Sulawesi Selatan. http://www.ksda-sulsel.org/kk/kpa/twadm, diakses 22 Mei 2016