makalah ok!

82
Penganta r Agama Islam II Hukum Islam Maulana arifin (1215086053 ) Esya wahyunie (1215086061) Sri astuti I (1215086065) Suhaibatul islamiah (1215086045)

Upload: maulanaarifin3

Post on 26-Jun-2015

531 views

Category:

Documents


4 download

TRANSCRIPT

Page 1: makalah ok!

Pengantar

Agama

Islam II

Hukum Islam

Maulana arifin (1215086053 )

Esya wahyunie (1215086061)

Sri astuti I (1215086065)

Suhaibatul islamiah

(1215086045)

Page 2: makalah ok!

Pengantar Agama Islam II

KATA PENGANTAR

Segala puji bagi Allah SWT yang telah melimpahkan Rahmat, Taufik dan

Inayah kepada semua hambaNya. Salawat dan salam selalu tercurah kepada

junjungan kita Nabi Muhammad saw beserta keluarga, sahabat dan kerabat

beliau hingga akhir jaman. Alhamdulillah karena berkat Rahmat Allah-lah kami

dapat menyelesaikan penulisan makalah ini yang berkaitan dengan “Hukum

Islam” sebagai tugas berstrutur mata kuliah Pengantar Agama Islam II.

Selama penyusunan makalah ini kami selaku penulis telah banyak mendapatkan

bantuan dari berbagai pihak Ucapan terima kasih tak lupa kami persembahkan

kepada semua pihak yang telah ikut andil dan terlibat baik secara langsung

maupun tidak langsung dalam membantu penulisan makalah ini, yang mana

tidak bisa kami sebutkan satu persatu.

Penulis menyadari adanya kekurangan dan kesalahan dalam makalah ini, oleh

karena itu saran dan kritik yang membangun sangat kami harapkan demi

kesempurnaan makalah ini.Akhirnya kami hanya berharap semoga makalah ini

dapat memberikan manfaat dan menambah wawasan bagi kita semua,

khususnya di bidang Studi Islam.

Jakarta, 19 september, 2010

Penulis

Page 2

Page 3: makalah ok!

Pengantar Agama Islam II

Daftar isi

Kata pengantar 2

Daftar isi 3

BAB I PENDAHULUAN

Latar belakang 4

BAB II PEMBAHASAN

Agama islam dan aspek yang terkandung di dalam nya 5

pengertian agama islam 5

arti kata islam 6

aspek ajaran islam 7

hukum islam 8

syari’ah dan fiqih 9

BAB III LAPANGAN HUKUM ISLAM

Pembagian lapangan hukum islam 17

Lapangan ibadah & muamalah 19

BAB IPage 3

Page 4: makalah ok!

Pengantar Agama Islam II

PENDAHULUAN

Islam sebagai agama yang dipeluk oleh mayoritas penduduk Indonesia, tentu

sangat berpengaruh terhadap pola hidup bangsa Indonesia. Perilaku pemeluknya

tidak lepas dari syari'at yang dikandung agamanya. Melaksanakan syari'at

agama yang berupa hukum-hukum menjadi salah satu parameter ketaatan

seseorang dalam menjalankan agamanya. Kata hukum yang dikenal dalam

bahasa Indonesia berasal dari bahasa Arab hukm yang berarti putusan

(judgement) atau ketetapan (Provision). Dalam buku Ensiklopedi Hukum Islam,

hukum berarti menetapkan sesuatu atas sesuatu atau meniadakannya. Sementara

dalam A Dictionary of Law dijelaskan tentang pengertian hukum sebagai

berikut

"Law is "the enforceable body of rules that govern any society or one of the

rules making up the body of law, such as Act of Parliament.

"Hukum adalah suatu kumpulan aturan yang dapat dilaksanakan untuk

mengatur/memerintah masyarakat atau aturan apa pun yang dibuat sebagai

suatu aturan hukum seperti tindakan dari Parlemen."

Bagi kalangan muslim, jelas yang dimaksudkan sebagai hukum adalah Hukum

Islam, yaitu keseluruhan aturan hukum yang bersumber pada AIquran, dan

untuk kurun zaman tertentu lebih dikonkretkan oleh Nabi Muhammad dalam

tingkah laku Beliau, yang lazim disebut Sunnah Rasul.

Sebagai negara berdasar atas hukum yang berfalsafah Pancasila, negara

melindungi agama, penganut agama, bahkan berusaha memasukkan hukum

agama ajaran dan hukum agama Islam dalam kehidupan berbangsa dan

bernegara, sebagaimana pernyataan the founding father RI, Mohammad Hatta,

Page 4

Page 5: makalah ok!

Pengantar Agama Islam II

bahwa dalam pengaturan negara hukum Republik Indonesia, syari'at Islam

berdasarkan AI-Qur'an dan Hadis dapat dijadikan peraturan perundang-

undangan Indonesia sehingga orang Islam mempunyai sistem syari'at yang

sesuai dengan kondisi Indonesia.7 Dekrit Presiden 5 Juli 1959 − dalam salah

satu konsiderannya − menyatakan bahwa PiagamJakarta tertanggal 22 Juni

1945 menjiwai Undang-Undang Dsar 1945, danadalah merupakan suatu

rangkaian kesatuan dengan konstitusi tersebut.

BAB II

Page 5

Page 6: makalah ok!

Pengantar Agama Islam II

PEMBAHASAN

A. Hukum Islam

Hukum Islam adalah hokum yang bersumber dan menjadi bagian dari agama

Islam. Dasar dan kerangka hukum Islam ditetapkan oleh Allah. Hukum ini mengatur

berbagai hubungan, yaitu hubungan manusia dengan Tuhan, hubungan manusia dengan

dirinya sendiri, hubungan manusia dengan manusia lain dan hubungan manusia dengan benda

dalam masyarakat serta alam sekitarnya (Mohammad Daud Ali, 1996: 39).

Hukum Islam mempunyai ciri-ciri sebagai berikut:

1. Merupakan bagian dan bersumber dari agama Islam;

2. Mempunyai hubungan yang erat dan tidak dapat dipisahkan dari iman atau akidah dan

kesusilaan atau akhlak Islam;

3. Mempunyai dua istilah kunci yakni: a. syari’at, dan b. fikih

Syari’at terdiri dari wahyu Allah dan sunnah Nabi Muhammad, sedangkan fikih adalah

pemahaman dan hasil pemahaman manusia tentang syari’ah;

4. Terdiri dari dua bidang utama yakni: a. ibadat, dan b. muamalat

Ibadat bersifat tertutup karena telah sempurna dan muamalat dalam arti yang luas bersifat

terbuka untuk dikembangkan oleh manusia yang memenuhi syarat dari masa ke masa;

5. Strukturnya berlapis, terdiri dari:

a. nas atau teks Al-Qur’an

b. sunnah Nabi Muhammad (untuk syari’at)

c. hasil ijtihad manusia yang memenuhi syarat tentang Al-Qur’an dan as-Sunnah

d. pelaksanaannya dalam praktek, baik (i) berupa keputusan hakim, maupun (ii) berupa

amalan-amalan umat Islam dalam masyarakat (untuk fikih);

6. Mendahulukan kewajiban dari hak, amal dari pahala;

7. Dapat dibagi menjadi:

Page 6

Page 7: makalah ok!

Pengantar Agama Islam II

a. hukum taklifi atau hukum taklif yakni al-ahkam al-khamsah yaitu lima kaidah, lima

jenis hukum, lima kategori hukum, lima penggolongan hukum yakni jaiz, sunnat,

makruh, wajib, dan haram.

b. hukum wadh’i yang mengandung sebab, syarat, halangan terjadi atau terwujudnya

hubungan hukum (M.D. Ali, 1996: 52-53).

Selain ciri-ciri di atas, menurut T.M. Hasbi Ash-Shieddieqy dalam bukunya Falsafah

Hukum Islam (1975: 156 - 212) sebagaimana dikutip oleh Mohammad Daud Ali (1996: 53),

hukum Islam juga mempunyai ciri-ciri khas sebagai berikut:

8. Berwatak universal, berlaku abadi untuk umat Islam di mana pun mereka berada, tidak

terbatas pada umat Islam di suatu tempat atau negara pada suatu masa saja;

9. Menghormati martabat manusia sebagai kesatuan jiwa dan raga, rohani dan jasmani serta

memelihara kemuliaan manusia dan kemanusiaan secara keseluruhan;

10. Pelaksanaannya dalam praktek digerakkan oleh iman dan akhlak umat Islam.

Adapun yang menjadi tujuan Hukum Islam secara umum sering dirumuskan untuk

mencapai kebahagiaan hidup manusia di dunia ini dan di akhirat kelak dengan jalan

mengambil (segala) yang bermanfaat dan mencegah atau menolak yang mudarat yaitu yang

tidak berguna bagi hidup dan kehidupan. Dengan kata lain, tujuan hukum Islam adalah

kemaslahatan hidup manusia, baik rohani maupun jasmani, individual dan sosial.

Kemaslahatan itu tidak hanya untuk kehidupan di dunia ini saja tetapi juga untuk kehidupan

yang kekal di akhirat kelak. Abu Ishaq al Shatibi merumuskan lima tujuan hukum Islam,

yakni memelihara (1) agama, (2) jiwa, (3) akal, (4) keturunan, dan (5) harta. Kelima tujuan

hukum Islam itu di dalam kepustakaan disebut al-maqasid al-khamsah atau al-maqasid al-

shari’ah (tujuan-tujuan hukum Islam) (M.D. Ali, 1996: 53-54).

B. Pengertian Syari’ah dan Fiqh

Pada mulanya para ahli berpendapat bahwa pengertian Syari’ah dan Fiqh itu adalah

sama yaitu paham tentang ajaran-ajaran Islam secara keseluruhan. Pendapat ini dalam

perkembangannya kemudian mengalami perubahan, yaitu mereka memberikan pengertian

yang berbeda antara Syari’ah dan Fiqh. Untuk lebih jelasnya di bawah ini akan dikemukakan

pengertian masing-masing dari Syari’ah dan Fiqh.

Page 7

Page 8: makalah ok!

Pengantar Agama Islam II

Syari’ah menurut istilah adalah hukum-hukum yang telah digariskan oleh Allah

kepada para hambanya agar mereka beriman dan mengamalkan hal-hal yang membawa

kebahagiaan di dunia dan akhirat. Menurut arti istilah ini, syari’ah terbagi atas tiga bagian,

yaitu:

- Bagian yang bertalian dengan aqidah. Bagian ini termasuk dalam Ilmu Kalam.

- Bagian yang bertalian dengan pendidikan dan perbaikan moral. Bagian ini termasuk dalam

Ilmu Akhlak.

- Bagian yang menjelaskan amal perbuatan manusia. Bagian ini termasuk dalam

Fiqh/Hukum Islam (Khozin Siraj : 2).

Fiqh menurut para Fuqaha, pengertiannya adalah Ilmu tentang hukum-hukum Syari’ah

yang berkenaan dengan perbuatan dan amalan manusia dan didasarkan pada dalil-dalil

yang terperinci.

Di samping pengertian seperti yang tersebut di atas ada beberapa ulama yang

memberi pengertian Fiqh dilihat dari mana Fiqh ini berasal. Kalau dilihat dari asalnya, maka

pengertian Fiqh ialah:

- Menurut Ibnu Khaldun dalam bukunya Al Muqaddamah Al Mubtada’ wal Khabar, yang

dimaksud Fiqh adalah ilmu yang menerangkan segala hukum Allah yang berhubungan

dengan perbuatan manusia baik yang wajib, haram, makruh atau yang mubah yang

diperoleh dengan jalan ijtihad dari Al-Qur’an maupun dari Sunnah Nabi.

- Menurut Al Jalalul Mahalli, yang dimaksud Fiqh adalah ilmu yang menerangkan segala

hukum Syara’ yang berhubungan dengan amalan dan perbuatan manusia yang dengan jelas

telah diatur dalam Al-Qur’an maupun Sunnah Nabi.

- Menurut Abdus Salam Al Qabani, yang dimaksud Fiqh adalah ilmu yang menerangkan

hukum-hukum mengenai amalan dan perbuatan manusia baik yang sudah jelas diatur dalam

Al-Qur’an maupun Sunnah Nabi, dan hukum-hukum yang diperoleh dengan jalan ijtihad.

Dari ketiga pendapat tersebut di atas yang berbeda satu dengan yang lainnya, Prof.

Hasby Ash Shiddieqy mengemukakan pendapat yang merupakan jalan tengah dari ketiga

pendapat di atas, yaitu Fiqh apabila ditinjau dari asalnya dapat dibedakan menjadi dua

macam, pertama, Fiqh yang sudah jelas dan tegas telah diatur dalam Al-Qur’an dan Sunnah

Page 8

Page 9: makalah ok!

Pengantar Agama Islam II

Nabi disebut Fiqh Nabawy. Kedua, Fiqh yang diperoleh/dihasilkan dengan jalan ijtihad

disebut Fiqh Ijtihadi.

Menurut Mohammad Daud Ali, yang dimaksud dengan syari’ah dalam pengertian

etimologis adalah jalan yang harus ditempuh (oleh setiap umat Islam). Sedangkan syari’ah

dalam arti teknis adalah seperangkat norma Ilahi yang mengatur hubungan manusia dengan

Allah, hubungan manusia dengan manusia lain dalam kehidupan sosial, hubungan manusia

dengan benda dan alam lingkungan hidupnya. Norma Ilahi yang mengatur tata hubungan itu

berupa (a) kaidah ibadah dalam arti khusus atau yang disebut juga kaidah ibadah murni yang

mengatur cara dan upacara hubungan langsung manusia dengan Tuhan, dan (b) kaidah

muamalah yang mengatur hubungan manusia dengan manusia lain dan benda dalam

masyarakat. Kaidah ibadah yakni norma yang mengatur cara dan tata cara manusia

berhubungan langsung dengan Tuhan tidak boleh ditambah-tambah atau dikurangi,

sedangkan kaidah muamalah hanya pokok-pokoknya saja yang ditentukan dalam Al-Qur’an

dan Sunnah Nabi Muhammad sehingga perinciannya terbuka bagi akal manusia yang

memenuhi syarat untuk berijtihad (berusaha sungguh-sungguh dengan mempergunakan

seluruh kemampuan) mengaturnya lebih lanjut dan menentukan kaidahnya menurut ruang

ruang dan waktu. Adapun Fiqh (fikih) adalah ilmu yang khusus memahami, mendalami

syari’ah untuk dapat dirumuskan menjadi kaidah konkrit yang dapat dilaksanakan dalam

masyarakat. Karena syari’ah itu dapat dikelompokkan ke dalam dua kategori yakni ilmu

syari’ah ibadah dan syari’ah muamalah, maka ilmu fikih yang mempelajari dan

mendalaminya pun dapat dibagi dua pula yakni ilmu fikih ibadah dan ilmu fikih muamalah.

Dan sebagai hasil pemikiran manusia, hasil pemahaman tentang syari’ah yang disebut fikih

atau hukum fikih itu dapat berbeda di suatu tempat dengan di tempat yang lain. Perbedaan

tersebut menimbulkan berbagai aliran pula baik di kalangan Ahlus sunnah wal jama’ah

(Sunni) maupun di kalangan Syi’ah (M.D. Ali, 1996: 30-34)

Dengan melihat uraian mengenai pengertian Syari’ah dan Fiqh di atas maka dapat

ditarik kesimpulan bahwa pengertian Syari’ah adalah lebih luas/umum dari pada Fiqh dan

Fiqh hanyalah bagian dari Syari’ah. Antara syari’ah dan fiqh mempunyai hubungan yang

erat, karena syari’ah adalah landasan fikih, fikih adalah pemahaman tentang syari’at.

Perkataan syari’ah dan fikih kedua-duanya terdapat di dalam al-Qur’an, syari’ah dalam surat

al-Jatsiah (45): 18, dan fikih dalam surat at-Taubah (9): 122 (M.D. Ali, 1996: 45).

Perbedaan pokok antara syari’ah dan fikih adalah sebagai berikut:

Page 9

Page 10: makalah ok!

Pengantar Agama Islam II

1. Syari’at terdapat di dalam Al-Qur’an dan kitab-kitab Hadis, sedangkan Fikih terdapat

dalam kitab-kitab fikih.

2. Syari’at bersifat fundamental dan mempunyai ruang lingkup yang lebih luas karena di

dalamnya, oleh banyak ahli, dimasukkan juga akidah dan akhlak; sedangkan Fikih bersifat

instrumental, ruang lingkupnya terbatas pada hukum yang mengatur perbuatan manusia,

yang biasanya disebut sebagai perbuatan hukum.

3. Syari’at adalah ketetapan Allah dan ketentuan Rasul-Nya, karena itu berlaku abadi;

sedangkan fikih adalah karya manusia yang tidak berlaku abadi, dapat berubah dari masa

ke masa.

4. Syari’at hanya satu; sedangkan fikih mungkin lebih dari satu seperti (misalnya) terlihat

pada aliran-aliran hukum yang disebut dengan istilah mazahib atau madzhab-madzhab.

5. Syari’at menunjukkan kesatuan dalam Islam, sedangkan fikih menunjukkan keragamannya

(Asaf A.A. Fyzee, 1955: 17, H.M. Rasjidi, 1958: 403, Ahmad Ibrahim, 1965: 2, M. Khalid

Masud, 1977: 22, S.H. Nasr, 1981: 60, Masjfuk Zuhdi, 1987: 1 sebagaimana dikutip oleh

Mohammad Daud Ali, 1996: 45-46).

Nilai Hukum di Dalam Fiqh

Menurut ajaran Islam semua tindakan manusia baik yang berupa perkataan maupun

perbuatan mempunyai ketentuan hukum. Ketentuan hukum inilah yang disebut dengan nilai

hukum di dalam Fiqh/Hukum Islam.

Di dalam Fiqh dikenal lima macam nilai hukum yang disebut Al-Ahkamal-Khamsah,

yaitu:

1. Wajib/Fardh (perintah mutlak)

2. Sunnah/Mandub (perintah tak mutlak)

3. Haram (larangan mutlak)

4. Makruh (larangan tak mutlak)

5. Mubah/Jaiz

B.1. Wajib/Fardh

Page 10

Page 11: makalah ok!

Pengantar Agama Islam II

Yang dimaksud wajib/fardh ialah suatu perintah yang harus dilaksanakan oleh setiap

orang Islam. Perbuatan ini apabila dilakukan diberi pahala dan apabila ditinggalkan berdosa

dan akan mendapat siksa. Wajib ini ada bermacam-macam, yaitu:

a. Ditinjau dari segi waktu untuk melaksanakannya, wajib dibagi dua, yaitu:

- Wajib yang Mutlak , yaitu perintah yang tidak ditentukan waktu tertentu untuk

melaksanakannya. Oleh karena itu untuk melaksanakannya dapat dilakukan kapan saja.

Misalnya ibadah haji, adalah diwajibkan atas orang Islam yang telah dewasa dan mampu

sekali seumur hidup untuk melaksanakannya tidak ditentukan waktunya/tahunnya.

- Wajib yang Muaqqat, yaitu yang ditentukan waktu untuk melaksanakannya. Oleh

karena itu orang tidak bebas melaksanakannya di luar waktu yang telah ditentukan.

Misalnya Puasa Ramadhan yang wajib dilaksanakan dalam bulan Ramadhan dan shalat

lima waktu yang wajib dilaksanakan pada waktu-waktunya yang telah ditentukan.

b. Ditinjau dari segi siapa yang wajib melaksanakan, wajib dibagi dua, yaitu:

- Wajib ‘aini, ialah perbuatan yang harus dilakukan oleh setiap orang yang sudah dewasa,

misalnya: Puasa Ramadhan, Shalat lima waktu.

- Wajib Kifayah, ialah perbuatan yang dapat dilaksanakan secara kolektif, apabila sebagian

dari mereka telah melaksanakan maka gugurlah tuntutan terhadap yang lainnya. Apabila

semua melakukannya maka masing-masing akan mendapat pahala, akan tetapi apabila

tidak seorang pun yang melaksanakannya maka mereka itu masing-masing berdosa

sebagai orang yang mengabaikan kewajiban. Misalnya: Shalat jenazah, mendirikan

rumah sakit, rumah sekolah, mendirikan tempat peribadatan.

c. Ditinjau dari segi qadarnya (kuantitas), wajib dibagi dua, yaitu:

- Wajib Muhaddad, yaitu kewajiban yang ditentukan batas kadarnya (jumlahnya)

misalnya: shalat lima waktu, zakat harta, kifarat, Puasa Ramadhan. Kewajiban ini kalau

tidak dilaksanakan pada waktunya, tetap menjadi tanggungan selamanya, sampai

kewajiban ditunaikan semuanya.

- Wajib ghairu Muhaddad , yaitu kewajiban yang tidak ditentukan batas kadarnya.

Misalnya: membelanjakan harta di jalan Tuhan, memberikan makan orang yang sedang

kelaparan, dan sebagainya. Adanya kewajiban-kewajiban tersebut adalah karena

Page 11

Page 12: makalah ok!

Pengantar Agama Islam II

perintah syara’ tetapi tentang berapa jumlahnya tergantung kepada keadaan. Kewajiban

ini kalau ditunaikan secukupnya pada waktunya, maka tidak menjadi tanggungan atau

hutang yang wajib dibayar kekurangannya (A. Hanafi M.A. : 22).

B.2. Sunnah/Mandub

Yang dimaksud sunnah/mandub adalah perbuatan yang diperintahkan untuk

dilakukan, namun perintah ini tidak mutlak, sebab perbuatan ini kalau dilakukan mendapat

pahala, tetapi bila ditinggalkan tidak berdosa sehingga tidak dikenakan siksa. Sunnah dapat

juga diartikan sebagai suatu anjuran untuk melakukan suatu perbuatan. Sunnah dapat dibagi

menjadi beberapa macam, yaitu:

a. Sunnah ‘amiyah, yaitu perbuatan yang dianjurkan untuk dilakukan oleh setiap orang Islam.

Misalnya: shalat sunat Ratibah/shalat sunat yang dikerjakan sebelum dan sesudah shalat

lima waktu.

b. Sunnah Kifayat, yaitu perbuatan yang dianjurkan untuk dilakukan cukup seorang saja dari

sejumlah orang. Misalnya: memberi salam, mendoakan orang bersin.

c. Sunnah Mu’akhadah, yaitu perbuatan tidak wajib yang selalu dikerjakan oleh Rasul, hanya

kadang-kadang saja ditinggalkannya. Misalnya: Shalat Witir, Shalat hari raya.

d. Sunnat Ghairu Mu’akhadah, yaitu segala perbuatan tidak wajib yang kadang-kadang

dikerjakan oleh Rasul, misalnya: Salat sunnat sebelum shalat Maghrib.

B.3. Haram

Yang dimaksud haram adalah suatu perbuatan yang dilarang, apabila ditinggalkan

akan diberi pahala dan apabila dilakukan akan mendapat siksa. Haram dibagi menjadi dua

yaitu:

a. Haram Lidzatihi, ialah perbuatan yang haram dengan sendirinya bukan karena hal-hal lain

hukumnya haram. Misalnya: berzina, mencuri, merampok, menipu.

b. Haram Li’aridi, ialah perbuatan yang hukumnya haram karena berbarengan dengan

perbuatan lain. Misalnya: jual beli pada saat adzan Jum’at telah diserukan. Dalam Al-

Qur’an Surat Jum’ah ayat 9 terdapat perintah meninggalkan jual beli apabila adzan Jum’at

Page 12

Page 13: makalah ok!

Pengantar Agama Islam II

telah diserukan. Ayat tersebut memberikan ketentuan hukum bahwa jual beli dilarang oleh

karena adanya seruan adzan Jum’at. Berjual beli itu sendiri adalah hal yang dibenarkan

Islam, tetapi bila diadakan pada waktu telah terdengar seruan adzan Jum’at itu menjadi

haram hukumnya. Hal-hal yang haram karena berbarengan dengan hal-hal yang

diharamkan tidak berakibat tidak sahnya perbuatan itu sendiri. Jadi jual beli tetap

dipandang sah, tetapi orangnya berdosa karena melanggar larangan/tidak taat perintah Al-

Qur’an (Ahmad Azhar : 25).

Berbeda halnya dengan perbuatan yang haram lidzatihi yang apabila dilanggar

mengakibatkan hal-hal yang merupakan hasil dari perbuatan itu sendiri tidak sah.

Misalnya: zina adalah haram lidzatihi, maka anak yang lahir karena perbuatan zina

dipandang sebagai anak yang tidak sah dan tidak mempunyai hubungan nasab dengan

ayahnya.

B.4. Makruh

Yang dimaksud makruh adalah perbuatan yang terlarang, bila ditinggalkan akan

diberi pahala tetapi bila dilakukan tidak berdosa dan tidak dikenakan siksa. Makruh dapat

dibagi menjadi tiga macam, yaitu:

a. Makruh tanzih, ialah perbuatan yang lebih baik ditinggalkan daripada dikerjakan. Bila

ditinggalkan berpahala dan bila dilaksanakan tidak berdosa meskipun tercela. Makruh

tanzih ini adalah kebalikan sunnah. Misalnya: makan minum dengan menggunakan

tangan kiri.

b. Makruh tahrim, ialah perbuatan yang dilakukan namun dasar hukumnya tidak pasti.

Misalnya: memakai cincin emas adalah dilarang menurut ulama madzab Hanafi.

c. Tarkul-aula, ialah meninggalkan perbuatan-perbuatan yang amat dianjurkan. Misalnya:

meninggalkan Shalat Witir.

B.5. Mubah/Jaiz

Yang dimaksud mubah/jaiz ialah perbuatan yang bila dilaksanakan tidak berpahala dan bila

ditinggalkan juga tidak berdosa dan tidak dikenakan siksa. Mubah dapat dibagi menjadi tiga

macam:

a. Dinyatakan dalam syara’ tidak berdosa untuk melakukannya.

Page 13

Page 14: makalah ok!

Pengantar Agama Islam II

b. Tidak ada dalil yang mengharamkan.

c. Yang dinyatakan dalam syara’ boleh memilih, kalau suka boleh dilakukan dan kalau tidak

suka boleh meninggalkan.

C. Perbedaan antara Hukum Islam dengan Hukum Umum

Ada beberapa perbedaan antara Hukum Islam dengan Hukum Umum, yaitu:

1. Ditinjau dari segi sumbernya/dasar hukumnya

Hukum Islam bersumber pada dua hal, yaitu: pertama, Wahyu/Firman Allah yang

tercantum di dalam Al-Qur’an dan dalam Sunnah Nabi sebagi penjelasannya. Kedua,

Ratio/akal manusia yaitu hasil ijtihad atau ra’yu. Sedangkan Hukum Umum bersumber

pada akal manusia saja.

2. Ditinjau dari segi obyek yang diaturnya

Hukum Islam mempunyai dua obyek hukum, yaitu: pertama, peraturan-peraturan/hukum-

hukum yang mengatur hubungan manusia dan Tuhan, yang disebut hukum Ibadah.

Kedua, peraturan-peraturan yang mengatur hubungan antara sesama manusia dalam hidup

bermasyarakat atau antara manusia dengan benda-benda di sekelilingnya, yang disebut

hukum Muammalah. Sedangkan Hukum Umum obyeknya hanyalah peraturan-peraturan

yang mengatur hubungan antara sesama manusia dalam hidup bermayarakat baik dalam

lingkungan yang sempit ataupun dalam lingkungan yang luas.

D. Ushul al Fiqh

Pengertian Ushul al Fiqh ialah

Ushul adalah sumber atau dalil

Fiqh adalah mengetahui hukum-hukum syara’ tentang amalan dan perbuatan, seperti hukum

wajib, haram, mubah, makruh dan lain-lain. Hukum-hukum itu ada sumbernya atau dalilnya

yaitu: Qur’an, Sunnah, Ijmak dan Qiyas.

Oleh karena itu yang dimaksud dengan Ushul al Fiqh adalah ilmu yang membicarakan

sumber-sumber hukum tersebut di atas dan bagaimana cara menunjukkan kepada suatu

Page 14

Page 15: makalah ok!

Pengantar Agama Islam II

hukum dengan secara ijmal (garis besar) (A. Hanafi : 12). Oleh karena itu Ushul al Fiqh

tidak membicarakan dalil hukum tiap persoalan satu per satu, tetapi hanya membicarakan

dalil-dalil hukum secara garis besar. Misalnya, di dalam Al-Qur’an terdapat perintah

menunaikan zakat, perintah berbuat baik kepada orang lain, perintah menyampaikan amanat

dan perintah-perintah lainnya.

Ilmu Ushul Fiqh tidak mengatakan bahwa zakat itu hukumnya wajib. Yang menjadi

perhatian Ilmu Ushul Fiqh adalah apabila kita menjumpai bentuk perintah dalam Al-Qur’an

yang merupakan sumber utama dan pertama hukum syara’ itu harus kita artikan bagaimana.

Para ulama setelah membahas perintah-perintah Al-Qur’an mengambil kesimpulan bahwa

perintah-perintah itu pada umumnya menunjukkan hukum wajib. Akhirnya dibuat suatu

kaidah ushul fiqh yang mengatakan “pada dasarnya tiap-tiap perintah menunjukkan hukum

wajib”.

Contoh lain misalnya Al-Qur’an melarang berjudi, melarang berbuat zina, melarang

berbuat aniaya, dan lain-lain. Ilmu Ushul Fiqh membicarakan dan membahas bagaimana

mengartikan larangan-larangan itu. Setelah diselidiki secara mendalam diperoleh kesimpulan

bahwa pada dasarnya larangan-larangan itu menunjukkan hukum haram. Akhirnya dibuat

suatu kaidah Ushul Fiqh yang mengatakan “pada dasarnya tiap-tiap larangan menunjukkan

hukum haram” (A. Azhar Basyir, 1972 : 6).

Mempelajari Ushul Fiqh mempunyai beberapa faedah yaitu:

1. Dengan mempelajari Ushul Fiqh kita akan mengetahui dalil-dalil hukum syara’ dan cara

mengambil ketentuan-ketentuan hukum dari padanya. Dengan demikian kita akan mampu

melakukan sendiri mengambil kesimpulan-kesimpulan hukum syara’ dari sumber-sumber

asli, Al-Qur’an dan Sunnah Rasul.

2. Dengan mempelajari ushul fiqh kita dapat mengembalikan kesimpulan-kesimpulan hukum

syara’ yang kita jumpai kepada sumber-sumber pengambilannya. Dengan demikian kita

akan dapat mengamalkan hukum syara tidak hanya sebagai orang yang bertaqlid kepada

orang lain tanpa mengetahui sumber pengambilannya.

BAB III

Page 15

Page 16: makalah ok!

Pengantar Agama Islam II

LAPANGAN-LAPANGAN HUKUM ISLAM

A. Pembagian Lapangan Hukum Islam

Fiqh Islam atau Hukum Islam merupakan kumpulan tata aturan yang mencakup

semua perbuatan hukum yang dilakukan oleh manusia baik dalam hubungannya dengan

Tuhan sebagai Khaliqnya, maupun yang menyangkut hubungan antar manusia di dalam

lingkungan yang terbatas maupun dengan manusia di luar lingkungannya.

Secara garis besar para fuqaha membagi lapangan hukum Islam menjadi dua, yaitu

Ibadat dan Mu’amalat. Lapangan Ibadat adalah lapangan yang mengatur hubungan manusia

dengan Tuhannya dengan tujuan untuk mendekatkan diri kepada Allah dan mendaptkan

pahala di akherat. Lapangan Mu’amalat adalah lapangan yang mengatur hubungan antara

manusia baik dalam golongannya maupun di luar golongannya, atau dengan kata lain

Mu’amalat adalah bidang yang mengatur kepentingan-kepentingan duniawi.

Dari dua bidang ini para fuqaha masih membagi-bagi lagi menjadi beberapa lapangan,

dimana masing-masing tidak sama banyak dalam membaginya. Di bawah ini akan

dikemukakan pembagian lapangan Hukum Islam oleh beberapa fuqaha.

1. Ulama-ulama Syafi’iyah membagi lapangan Hukum Islam menjadi empat bagian, yaitu:

Ibadat, Mu’amalat, Munakahat dan Uqubat yaitu hal-hal yang berhubungan dengan

pidana.

2. Prof. M. Hasby Ash-Shiddieqy membagi lapangan Hukum Islam menjadi delapan bidang,

yaitu:

a. Sekumpulan hukum yang digolongkan dalam bidang ibadat. Misalnya: shalat, puasa,

zakat, haji, jihad, dan nazar.

b. Sekumpulan hukum yang berhubungan dengan kekeluargaan, misalnya: perkawinan,

wasiat, dan waris.

c. Sekumpulan hukum yang berhubungan dengan mu’amalat madaniyah, misalnya: jual

beli, sewa menyewa, hutang piutang, gadai, dan lain sebagainya.

Page 16

Page 17: makalah ok!

Pengantar Agama Islam II

d. Sekumpulan hukum yang mengenai harta peninggalan yaitu soal-soal yang menjadi

urusan baitulmal, penghasilannya, macam-macam harta yang ditempatkan dalam

baitulmal dan tempat-tempat pembelanjaannya.

e. Sekumpulan hukum yang digolongkan dalam bidang uqubat, yaitu hukum-hukum yang

berhubungan dengan usaha memelihara keselamatan jiwa, kehormatan dan akal

manusia. Dengan kata lain hukum-hukum yang berhubungan dengan pidana dan

perbuatan pidana.

f. Sekumpulan hukum yang berhubungan dengan hukum acara, yaitu hukum-hukum yang

berhubungan dengan proses berperkara di Pengadilan.

g. Sekumpulan hukum yang berhubungan dengan bidang hukum tata negara, misalnya:

soal kepaala negara, hak-hak penguasa dan rakyat, badan permusyawaratan dan lain-

lainnya.

h. Sekumpulan hukum yang berhubungan dengan bidang hukum internasional, misalnya:

hukum perang, perdamaian antar negara, perjanjian antar negara dan lain-lainnya.

3. Para fuqaha masa kini membagi lapangan Hukum Islam selain bidang Ibadah menurut

sistem pembagian hukum Barat. Dalam hal ini lapangan Hukum Islam dibagi dua bagian,

yaitu:

a. Hukum Privat (al Qanunul Khas), bidang ini meliputi:

- Hukum Perdata (Muamalat)

- Hukum Dagang (At Tijarah)

- Hukum Acara (Al Murafaat)

- Hukum Privat Internasional (Ad-Dauliyul Khas)

b. Hukum Umum (Al Qanunul Aam) ini meliputi:

- Hukum Pidana (Jinayat)

- Hukum Ketatanegaraan, Administrasi dan Keuangan

- Hukum Pidana Internasional

Page 17

Page 18: makalah ok!

Pengantar Agama Islam II

Dengan melihat pembagian lapangan Hukum Islam menurut para fuqaha masa kini,

maka sesuai dengan kepribadian Hukum Islam dan dapat mencakup seluruh bidang Hukum

Islam, maka pembagian lapangan Hukum Islam penulis susun secara berturut-turut sebagai

berikut:

1. Ibadah

2. Hukum Keluarga, meliputi:

a. Perkawinan

b. Waris

c. Wasiat

3. Mu’amalat, meliputi

a. Hukum Perdata

b. Hukum Dagang

c. Hukum Acara

4. Hukum Pidana (Jinayat)

5. Siyasah Syari’iyah, meliputi:

a. Hukum Tata Negara

b. Administrasi dan Keuangan

6. Hukum Internasional, meliputi:

a. Hukum Perdata Internasional

b. Hukum Pidana Internasional

B. Lapangan Ibadah

Bidang Ibadah adalah kumpulan aturan yang mengatur hubungan manusia dan Tuhan.

Hukum-hukum Ibadah bersumber pada Al-Qur’an dan Sunnah Rasul, yang pada dasarnya

Page 18

Page 19: makalah ok!

Pengantar Agama Islam II

hukum-hukum ini mempunyai sifat yang kekal (qot’i), tidak berubah-ubah sepanjang masa

dan tidak terpengaruh oleh perkembangan zaman dan masyarakat dan tempat dimana hukum

ini berlaku. Oleh karena itu pada umumnya hukum-hukum ibadah ini sudah diterangkan

secara jelas dan terperinci.

Karena sifatnya qot’i maka mengubah dan menambah hukum-hukum Ibadah tidak

dibolehkan. Mengubah atau menambah aturan-aturan ibadah yang tidak sesuai dengan

tuntunan yang sudah diatur dalam Al-Qur’an atau Sunnah Rasul disebut bid’ah.

Hal-hal yang dibicarakan dalam bidang Ibadah ini meliputi Thaharah, Shalat, Zakat,

Haji, Jihad, Sumpah, Aqiqah, Makanan dan Minuman.

C. Lapangan Mu’amalah

Lapangan/bidang Mu’amalah adalah bidang yang terdiri atas kumpulan aturan yang

mengatur hubungan manusia dan manusia dalam hidup bermasyarakat baik dalam lingkungan

yang terbatas maupun lingkungan yang lebih luas. Dapat juga dikatakan bahwa bidang

Mu’amalah adalah bidang hukum yang mengatur hubungan hubungan dan kepentingan

manusia dalam hidup di dunia.

Hukum-hukum Mu’amalah bersumber pada Al-Qur’an, Sunnah Rasul dan Ijtihad.

Sifat Hukum Mu’amalah pada dasrnya sesuai dengan obyek yang diaturnya yaitu manusia

dalam hidup bermasyarakat, maka hukum ini mempunyai sifat yang memungkinkan untuk

berkembang ataupun berubah (dhanni), seperti halnya masyarakat itu sendiri yang selalu

berubah dan berkembang sesuai dengan perkembangan dan perubahan jaman.

Bidang Mu’amalah ini terbagi atas beberapa bidang hukum, yaitu:

1. Hukum Keluarga

2. Hukum Privat (Mu’amalah)

3. Hukum Pidana (Jinayat)

4. Hukum Tata Negara (Siyasah Syar’iyyah)

5. Hukum Internasional.

Page 19

Page 20: makalah ok!

Pengantar Agama Islam II

1. Hukum Keluarga

Hukum keluarga adalah kumpulan aturan-aturan yang mengatur hubungan hukum

antara seorang pria sebagai suami dengan seorang wanita sebagai isteri dan keluarganya.

Hukum Keluarga ini terdiri atas beberapa bidang hukum, yaitu:

a. Hukum Perkawinan (Munakahat)

b. Hukum Waris (Faraid)

c. Hukum Wasiat

d. Hukum Wakaf

Hukum waris erat kaitannya dengan hukum keluarga sebab pembagian warisan dalam

Hukum Islam itu yang utama adalah berdasarkan pertalian keluarga baik karena hubungan

darah maupun karena hubungan perkawinan. Demikian juga mengenai hubungan wasiat

dengan hukum keluarga juga sangat erat terutama hubungannya dengan hukum waris, sebab

harta yang diwasiatkan untuk orang lain atau untuk keluarga diambilkan dari harta

peninggalan pewaris.

Mengenai hukum wakaf yang erat hubungannya dengan hukum keluarga adalah

wakaf untuk keluarga/keturunan, sedangkan wakaf yang diperuntukkan bagi kepentingan

umum masuk di dalam bidang ibadah.

a. Hukum Perkawinan (Munakahat)

Hal-hal yang diatur di dalam hukum perkawinan antara lain adalah mengenai:

(1). Kedudukan hukum perkawinan di dalam agama Islam

(2). Prinsip-prinsip perkawinan

(3). Pengertian dan Tujuan Perkawinan

(4). Rukun dan syarat-syarat perkawinan

(5). Larangan-larangan perkawinan

(6). Hak-hak dan kewajiban suami isteri di dalam perkawinan

(7). Putusnya perkawinan

Page 20

Page 21: makalah ok!

Pengantar Agama Islam II

(1). Kedudukan Hukum Perkawinan di dalam Agama Islam

Hukum perkawinan di dalam Agama Islam mempunyai kedudukan yang

sangat penting, sebab perkawinan itu mempunyai arti penting bagi kehidupan manusia.

Oleh karena itu peraturan-peraturan tentang perkawinan ini diatur dan diterangkan dengan

jelas dan terperinci.

Hukum perkawinan pada dasarnya tidak hanya mengatur tatacara pelaksanaan

perkawinan saja melainkan mengatur juga segala persoalan yang erat hubungannya

dengan perkawinan, misalnya: hak dan kewajiban suami isteri, pengaturan harta kekayaan

dalam perkawinan, cara-cara untuk memutuskan perkawinan, biaya hidup yang harus

diadakan sesudah putusnya perkawinan dan lain-lain.

Adapun arti pentingnya perkawinan bagi kehidupan manusia pada umumnya

dan khususnya bagi orang Islam adalah sebagai berikut:

(a). Dengan melaksanakan perkawinan yang sah dapat terlaksana pergaulan hidup

manusia baik secara individual maupun kelompok antara pria dan wanita secara

terhormat dan halal, sesuai dengan kedudukan manusia sebagai makhluk yang

terhormat di antara makhluk-makhluk Tuhan yang lain.

(b). Dengan melaksanakan perkawinan dapat terbentuk satu rumah tangga dimana

kehidupan dalam rumah tangga dapat terlaksana secara damai dan tenteram serta

kekal dengan disertai rasa kasih sayang antara suami isteri.

(c). Dengan melaksanakan perkawinan yang sah dapat diharapkan memperoleh keturunan

yang sah dalam masyarakat sehingga kelangsungan hidup dalam keluarga dan

keturunannya dapat berlangsung terus secara jelas dan bersih.

(d). Dengan terjadinya perkawinan maka timbullah sebuah keluarga yang merupakan inti

dari hidup bermasyarakat, sehingga dapat diharapkan timbulnya satu kehidupan

masyarakat yang teratur dan berada dalam suasana damai.

(e). Melaksanakan perkawinan dengan mengikuti ketentuan-ketentuan yang telah diatur di

dalam Al-Qur’an dan Sunnah Rasul adalah merupakan salah satu ibadah bagi umat

Islam (Sumiyati, 1982 : 4).

(2). Asas-asas dan Prinsip-prinsip Perkawinan Menurut Hukum Islam

Page 21

Page 22: makalah ok!

Pengantar Agama Islam II

Di dalam Hukum Islam perkawinan mempunyai beberaapa asas dan prinsip,

yaitu:

(a). Pada dasarnya setiap perkawinan harus ada persetujuan secara suka rela dari pihak-

pihak yang melaksanakan perkawinan. Caranya ialah dengan diadakan peminangan

terlebih dahulu untuk mengetahui apakah kedua belah pihak sudah setuju untuk

melaksanakan perkawinan atau belum.

(b). Pada dasrnya seorang pria tidak dapat mengawini setiap wanita, sebab ada ketentuan

larangan-larangan perkawinan antara pria dan wanita yang harus diindahkan.

(c). Perkawinan harus dilaksanakan dengan memenuhi persyaratan-persyaratan tertentu,

baik yang menyangkut kedua belah pihak maupun yang berhubungan dengan

pelaksanaan perkawinan itu sendiri.

(d). Perkawinan pada dasarnya adalah untuk membentuk satu keluarga/rumah tangga

yang tenteram, damai dan kekal untuk selama-lamanya.

(e). Hak dan kewajiban suami isteri adalah seimbang dalam rumah tangga, dimana

tanggung jawab pimpinan keluarga ada pada suami.

(3). Pengertian dan Tujuan Perkawinan

Perkawinan yang dalam istilah Agama Islam disebut Nikah, pengertiannya

adalah “melaksanakan suatu aqad atau perjanjian untuk mengikatkan diri antara seorang

pria dan wanita untuk menghalalkan hubungan kelamin antara kedua belah pihak, dengan

dasar suka rela dan keridhoan kedua belah pihak untuk mewujudkan suatu kebahagiaan

hidup berkeluarga yang diliputi oleh rasa kasih sayang dan ketenteraman dengan cara-

cara yang diridhoi Allah (Ahmad Azhar Basyir, 1977: 10).

Melihat rumusan perkawinan seperti tersebut di atas maka pada dasarnya

nikah itu merupakan suatu perjanjian perikatan antara seorang pria dan seorang wanita.

Walaupun nikah ini merupakan salah satu bentuk perjanjian perikatan, namun perjanjian

ini berbeda dengan perjanjian-perjanjian perdata yang lainnya, misalnya: jual beli, sewa

menyewa, dan lain-lainnya.

Beberapa hal yang merupakan ciri khusus dalam perjanjian perkawinan yang

membedakan dengan perjanjian yang lainnya antara lain ialah:

Page 22

Page 23: makalah ok!

Pengantar Agama Islam II

(a). Perjanjian perkawinan adalah merupakan perjanjian suci untuk membentuk keluarga

yang bahagia dan kekal untuk selama-lamanya.

(b). Isi dari perjanjian perkawinan itu sudah ditentukan terlebih dahulu di dalam agama

Islam, sehingga pihak-pihak yang melaksanakan perjanjian itu tidak dapat dengan

bebas menentukan sendiri sesuai kehendaknya masing-masing.

(c). Cara-cara pemutusan perjanjian perkawinan ini ketentuannya juga sudah ditentukan

terlebih dahulu, sehingga para pihak tidak dapat menentukan sendiri secara bebas.

Tujuan perkawinan menurut Hukum Islam pada dasarnya dapat diperinci

sebagai berikut:

(a). Menghalalkan hubungan kelamin antara seorang pria dan wanita untuk memenuhi

tuntutan hajat tabiat kemanusiaan.

(b). Membentuk/mewujudkan satu keluarga yang damai, tenteram dan kekal dengan dasar

cinta dan kasih sayang.

(c). Memperoleh keturunan yang sah yang akan melangsungkan keturunan serta

memperkembangkan suku-suku bangsa manusia.

(4). Rukun dan Syarat-syarat Perkawinan

Perkawinan supaya sah hukumnya harus memenuhi beberapa persyaratan

tertentu baik yang menyangkut kedua belah pihak yang hendak melaksanakan perkawinan

maupun yang berhubungan dengan pelaksanaan perkawinan itu sendiri.

Adapun persyaratan ini terdiri atas rukun dan syarat-syarat perkawinan. Yang

dimaksud dengan rukun dari perkawinan ialah hakekat dari perkawinan itu sendiri. Jadi

tanpa adanya salah satu rukun, perkawinan itu tidak dapat dilaksanakan.

Yang termasuk rukun perkawinan ialah:

(a). Pihak-pihak yang melaksanakan perkawinan atau aqad nikah yaitu mempelai pria dan

wanita.

(b). Wali

(c). Saksi

Page 23

Page 24: makalah ok!

Pengantar Agama Islam II

(d). Akad nikah

Yang dimaksud dengan syarat-syarat perkawinan ialah sesuatu yang harus ada

dalam perkawinan tetapi tidak termasuk hakekat dari perkawinan. Kalau salah satu dari

syarat-syarat perkawinan tidak dipenuhi maka perkawinan itu tidak sah. Misalnya,

syarat-syarat yang harus dipenuhi oleh masing-masing rukun perkawinan. Jadi supaya

perkawinan itu dapat dilaksanakan dan sah hukumnya maka rukun perkawinan itu harus

ada dan memenuhi syarat-syarat tertentu.

Di bawah ini akan diberikan beberapa contoh mengenai syarat-syarat

perkawinan, misalnya:

(a). Adanya unsur kesukarelaan dari pihak-pihak yang hendak melaksanakan perkawinan.

(b). Untuk dapat menjadi wali syaratnya adalah muslim laki-laki, berakal sehat dan lain-

lainnya.

(c). Jumlah saksi dalam perkawinan paling sedikit dua orang laki-laki.

(d). Adanya mahar dalam perkawinan.

(e). Ijab dan qabul harus dilaksanakan dalam satu majelis, tidak boleh dibatasi waktunya

dan lain-lainnya.

(5). Larangan-larangan Perkawinan

Di dalam agama Islam ada ketentuan-ketentuan tentang larangan perkawinan

bagi pria dan wanita. Ketentuan tentang larangan perkawinan ini ada yang sifatnya

sementara dan ada yang sifatnya tetap.

Yang dimaksud dengan larangan perkawinan yang sifatnya tetap ialah bahwa

seorang pria dilarang mengawini seorang wanita untuk selama-lamanya. Hal-hal yang

menyebabkan seorang pria dilarang menikah dengan seorang wanita untuk selama-

lamanya ialah:

(a). Karena adanya hubungan darah, yaitu: ibu, nenek, saudara kandung, kemenakan dan

bibi.

Page 24

Page 25: makalah ok!

Pengantar Agama Islam II

(b). Karena hubungan susuan, yaitu: ibu susuan, nenek susuan, bibi susuan, dan

kemenakan susuan.

(c). Karena hubungan semenda, yaitu: mertua, menantu, anak tiri dan ibu tiri.

(d). Karena sumpah li’an, yaitu suami isteri yang putus perkawinannya karena sumpah

li’an, kedua belah pihak dilarang menjadi suami isteri kembali untuk selama-

lamanya.

Yang dimaksud dengan larangan perkawinan yang sifatnya sementara ialah

bahwa seorang pria dilarang menikah dengan seorang wanita pada saat ada halangan-

halangan tertentu yang menyebabkan keduanya dilarang untuk menikah, tetapi apabila

halangan-halangan ini hilang, maka keduanya dimungkinkan untuk menikah/boleh

menikah.

Hal-hal yang menyebabkan seorang pria dilarang menikah dengan seorang

wanita yang sifatnya sementara antara lain ialah:

(a). Mengumpulkan dua orang wanita yang masih bersaudara, baik saudara kandung,

saudara seayah, atau saudara seibu maupun saudara sesusuan, kecuali secara

bergantian, misalnya kawin dengan kakaknya kemudian dicerai/meninggal kemudian

ganti mengawini adiknya.

(b). Mengawini lebih dari empat orang wanita, kecuali salah satu dari yang empat itu

sudah ditalak/dicerai atau meninggal dunia.

(c). Mengawini wanita yang sedang menjalani masa ‘iddah baik ‘iddah karena kematian

maupun karena talak kecuali masa ‘iddahnya sudah habis (Sumiyati, 1982: 32 - 36).

(6). Hak dan Kewajiban Suami Isteri dalam Perkawinan

Perkawinan adalah suatu perjanjian perikatan antara suami isteri yang sudah

barang tentu akan mengakibatkan timbulnya hak-hak dan kewajiban-kewajiban bagi

kedua belah pihak.

Yang dimaksud dengan hak ialah suatu yang merupakan milik atau dapat

dimiliki oleh suami atau isteri yang diperolehnya dari hasil perkawinannya. Adapun yang

Page 25

Page 26: makalah ok!

Pengantar Agama Islam II

dimaksud dengan kewajiban ialah hal-hal yang wajib dilakukan atau diadakan oleh salah

seorang dari suami isteri untuk memenuhi hak dari pihak lain.

Hak dan kewajiban suami isteri dalam perkawinan itu ada hak dan kewajiban

yang bersifat kebendaan dan ada hak dan kewajiban yang bersifat bukan kebendaan.

Hak dan kewajiban yang bersifat kebendaan antara lain ialah:

(a). Suami wajib memberi mahar kepada isterinya.

(b). Suami wajib memberi nafkah kepada isterinya yaitu segala kebutuhan isteri yang

meliputi makanan, pakaian, tempat tinggal dan lain-lain kebutuhan rumah tangga

pada umumnya. Dan di samping itu suami wajib memberikan biaya untuk

pemeliharaan dan pendidikan anak-anak.

(c). Isteri wajib mengatur dan mengelola rumah tangga dengan baik.

(d). Isteri wajib mendidik dan mengurus anak-anaknya dengan sebaik-baiknya.

Hak dan kewajiban suami isteri yang bersifat bukan kebendaan antara lain ialah:

(a). Suami isteri harus saling menjaga pergaulan yang baik dalam rumah tangga termasuk

saling menjaga rahasia masing-masing.

(b). Suami isteri harus saling menghormati dan menghargai satu sama lain.

(c). Suami isteri harus menciptakan pergaulan dalam rumah tangga yang diliputi rasa

saling cinta mencintai.

(d). Suami isteri harus saling menciptakan pergaulan yang saling membela dan

memerlukan di masa tua (Sumiyati, 1982 : 87 - 92).

(7). Putusnya Perkawinan

Walaupun melakukan perkawinan itu pada dasarnya dengan tujuan untuk

selama-lamanya, namun adakalanya ada sebab-sebab tertentu yang mengakibatkan

perkawinan tidak dapat diteruskan. Jadi harus diputuskan di tengah jalan atau terpaksa

putus dengan sendirinya, dengan kata lain terjadi perceraian antara suami isteri.

Page 26

Page 27: makalah ok!

Pengantar Agama Islam II

Perceraian dalam istilah Fiqh disebut Talak atau Furqah. Yang dimaksud

dengan talak ialah membuka ikatan atau membatalkan perjanjian. Sedangkan Furqah

artinya adalah bercerai yaitu lawan kata dari berkumpul.

Kemudian dua kata itu dipakai oleh ahli Fiqh sebagai satu istilah yang berarti

perceraian antara suami isteri. Perkataan talak dalam istilah fiqh mempunyai arti yang

umum dan arti yang khusus.

Talak menurut arti yang umum ialah segala macam bentuk perceraian baik

yang dijatuhkan oleh suami, yang ditetapkan oleh hakim, maupun perceraian yang jatuh

dengan sendirinya atau perceraian karena meninggalnya salah seorang dari suami atau

isteri.

Talak menurut arti yang khusus ialah perceraian yang dijatuhkan oleh pihak

suami. Karena salah satu bentuk perceraian antara suami isteri itu ada yang disebabkan

karena talak, maka untuk selanjutnya istilah talak di sini dimaksudkan sebagai talak

dalam arti yang khusus.

Di atas telah diterangkan bahwa tujuan melaksanakan perkawinan yang

diperintahkan oleh agama Islam ialah perkawinan yang dimaksudkan untuk selama-

lamanya atas dasar saling cinta mencintai antara suami isteri. Akan tetapi dalam

melaksanakan kehidupan berumah tangga suami isteri tentu saja tidak selamanya berada

dalam suasana yang damai dan tenteram, adakalanya terjadi salah paham antara suami

isteri yang disebabkan oleh beberapa hal, misalnya salah satu pihak melalaikan

kewajiban, tidak percaya mempercayai satu sama lain, dan lain sebagainya.

Dalam keadaan timbul ketegangan seperti ini kadang-kadang dapat diatasi

sehingga antara kedua pihak menjadi baik kembali, tetapi ada kalanya kesalahpahaman

ini menjadi berlarut sehingga antara suami isteri terus menerus terjadi pertengkaran.

Apabila perkawinan yang demikian itu dilanjutkan maka tujuan utama dari perkawinan

tidak akan tercapai.

Keadaan seperti ini dapat juga menyebabkan keretakan antara keluarga kedua

belah pihak. Maka dari itu untuk menghindari hal-hal yang demikian tadi, maka agama

Islam memberi jalan keluar yang terakhir bagi suami isteri yang telah gagal dalam

membina rumah tangganya yaitu dengan perceraian.

Page 27

Page 28: makalah ok!

Pengantar Agama Islam II

Meskipun agama Islam membolehkan perceraian tetapi bukan berarti bahwa

agama Islam menyukai terjadinya perceraian dari suatu perkawinan. Perceraian

walaupun dibolehkan tetapi agama Islam tetap memandang bahwa perceraian itu

bertentangan dengan asas-asas Hukum Islam.

Dalam salah satu hadisnya Rasulullah bersabda:

“Yang halal yang paling dibenci oleh Allah ialah talak/perceraian”

(H.R. Abu Daud dan dinyatakan shahih oleh Al Hakim).

Demikian juga bagi orang yang melakukan perceraian tanpa alasan, Rasulullah

SAW bersabda:

“Apakah yang menyebabkan salah seorang dari kamu mempermainkan hukum Allah,

ia mengatakan ‘aku sesungguhnya telah mentalak isteriku dan aku sungguh telah

merujuknya” (H.R. An Nasa’i dan Ibnu Huban).

Dengan melihat isi kedua hadis Nabi tersebut di atas dapat ditarik kesimpulan

bahwa talak itu walaupun dibolehkan oleh agama, tetapi pelaksanaannya harus

berdasarkan alasan yang kuat dan merupakan jalan yang terakhir yang ditempuh oleh

suami isteri, apabila cara-cara yang lain yang telah diusahakan sebelumnya tetap tidak

dapat mengembalikan keutuhan kehidupan rumah tangga suami isteri tersebut.

Perkawinan dapat putus karena beberapa sebab, yaitu antara lain ialah:

(a). Talak, ialah perceraian yang dijatuhkan oleh pihak suami.

(b). Khuluk, ialah perceraian atas persetujuan suami isteri. Caranya yaitu suami

menjatuhkan talak satu kepada isterinya namun dengan syarat isteri harus memberi

tebusan harta atau uang kepada suaminya. Tebusan yang diberikan isteri kepada

suaminya disebut ‘iwald.

(c). Syiqaq, yaitu perceraian yang dijatuhkan oleh hakam dari kedua belah pihak suami

dan isteri karena antara suami dan isteri terus menerus terjadi pertengkaran yang

harus diselesaikan supaya tidak berlarut-larut dan menambah penderitaan kedua

belah pihak suami isteri tersebut.

Page 28

Page 29: makalah ok!

Pengantar Agama Islam II

(d). Fasakh, ialah perkawinan yang diputuskan oleh Pengadilan Agama atas permintaan

salah satu pihak. Biasanya yang menuntut fasakh di Pengadilan adalah isteri, sebab

kalau suami yang menginginkan perkawinannya putus, ia dapat langsung

mengajukan permohonan ke Pengadilan untuk menjatuhkan talaknya pada isterinya

(Sumiyati, 1982: 103 - 113).

b. Hukum Waris

Di samping Hukum Perkawinan maka Hukum Waris merupakan bagian dari hukum

keluarga yang memegang peranan penting bahkan menentukan dan mencerminkan sistem dan

bentuk hukum yang berlaku dalam masyarakat itu (Hazairin, 1964: 9).

Hukum waris itu sangat erat kaitannya dengan ruang lingkup kehidupan manusia,

bahwa setiap manusia akan mengalami peristiwa yang merupakan peristiwa hukum dan

lazim disebut meninggal dunia. Apabila ada suatu peristiwa hukum, yaitu meninggalnya

seseorang sekaligus menimbulkan akibat hukum, yaitu tentang bagaimana pengurusan dan

kelanjutan hak-hak dan kewajiban seseorang yang meninggal dunia itu.

Penyelesaian hak-hak dan kewajiban sebagai akibat adanya peristiwa hukum karena

meninggalnya seseorang diatur oleh Hukum Waris. Dengan demikian Hukum Waris dapat

dikatakan sebagai himpunan peraturan-peraturan hukum yang mengatur hak-hak dan

kewajiban seseorang yang meninggal dunia oleh ahli waris atau badan hukum lainnya (M.

Idris Romulyo, 1984: 1).

Beberapa hal yang diatur dalam Hukum Waris antara lain ialah:

(1). Kedudukan Hukum Waris di dalam Hukum Islam

(2). Sumber-sumber Hukum Waris Islam

(3). Prinsip-prinsip Hukum Waris Islam

(4). Hak-hak yang berhubungan dengan harta peninggalan

(5). Syarat-syarat dan rukun kewarisan

(6). Penghalang-penghalang warisan

(7). Golongan-golongan ahli waris

Page 29

Page 30: makalah ok!

Pengantar Agama Islam II

(1). Kedudukan Hukum Waris Dalam Hukum Islam

Hukum waris mempunyai kedudukan yang sangat penting di dalam Hukum Islam

sehingga ayat-ayat Al-Qur’an mengatur hukum waris dengan jelas dan terinci. Hal ini dapat

dimengerti sebab masalah warisan pasti dialami oleh setiap orang, di samping itu hukum

waris langsung menyangkut harta benda yang apabila tidak diberikan ketentuan-ketentuan

pasti amat mudah menimbulkan sengketa di antara ahli waris.

Beberapa hadis nabi di bawah ini mengajarkan bahwa hukum waris mempunyai

kedudukan yang sangat penting dalam Hukum Islam.

(a). Hadis Nabi Riwayat Ibnu Majjah dan Addaraquthni mengajarkan:

“Pelajarilah faraidl dan ajarkanlah kepada orang banyak, karena faraidl adalah separuh

ilmu yang mudah dilupakan serta merupakan ilmu yang pertama kali hilang dari

umatku”.

(b). Hadis Nabi Riwayat Ahmad bin Hambal, memerintahkan:

“Pelajarilah Al-Qur’an dan ajarkanlah kepada orang banyak, karena aku adalah manusia

yang pada suatu ketika mati dan ilmu pun akan hilang; hampir-hampir dua orang

bersengketa dalam faraidl dan masalahnya, maka mereka tidak menjumpai orang yang

memberi tahu bagaimana penyelesaiannya”.

Karena ada perintah khusus untuk mempelajari dan mengajarkan faraidl maka para

ulama menjadikannya sebagai salah satu cabang ilmu yang berdiri sendiri yang disebut Ilmu

Faraidl, ilmu tentang pembagian harta warisan (Ahmad Azhar Basyir, 1980: 7).

(2). Sumber-sumber Hukum Waris Islam

Hukum Waris Islam bersumber kepada tiga sumber hukum, yaitu:

(a). Al-Qur’an

Page 30

Page 31: makalah ok!

Pengantar Agama Islam II

Ayat-ayat Al-Qur’an yang mengatur pembagian harta warisan terdapat dalam beberapa

ayat di dalam Surat An Nisa, yaitu ayat 1, ayat 7 sampai dengan 13, ayat 176 dan Surat

Al Anfal ayat 75.

Ayat-ayat tersebut di atas mengatur antara lain:

- Kuatnya hubungan kerabat karena pertalian darah.

- Anak laki-laki dan perempuan sama-sama berhak atas harta warisan orang tuanya.

- Agar orang berhati-hati dalam memelihara harta warisan anak yatim.

- Bahwa bagian anak laki-laki adalah dua kali bagian anak perempuan.

- Menentukan tentang bagian-bagian tertentu kepada golongan ahli waris tertentu.

(b). Hadis Nabi

Meskipun Al-Qur’an mengatur secara terinci ketentuan-ketentuan tentang bagian ahli

waris namun ada hal-hal yang belum diatur di dalam Al-Qur’an yang kemudian

ketentuannya diatur di dalam Sunnah Nabi. Hal-hal yang tidak diatur di dalam Al-

Qur’an antara lain, yaitu:

- Hadis riwayat Bukhari dan Muslim mengajarkan bahwa ahli waris laki-laki yang lebih

dekat kepada pewaris, lebih berhak atas sisa harta warisan setelah diambil bagian ahli

waris yang mempunyai bagian-bagian tertentu.

- Hadis riwayat Ahmad dan Abu Daud mengajarkan bahwa harta warisan orang yang

tidak meninggalkan ahli waris adalah menjadi milik Baitulmal.

- Hadis riwayat Malik dan Ibnu Majjah mengajarkan bahwa pembunuh tidak berhak

waris atas harta orang yang dibunuhnya.

- Hadis riwayat Ahmad mengajarkan bahwa anak dalam kandungan berhak waris setelah

dilahirkan dalam keadaan hidup yang ditandai dengan tangisan kelahiran.

(c). Ijtihad

Meskipun Al-Qur’an dan Sunnah Rasul telah memberikan ketentuan terinci tentang

pembagian harta warisan, tetapi dalam hal-hal yang tidak ada aturannya dalam kedua

Page 31

Page 32: makalah ok!

Pengantar Agama Islam II

sumber hukum di atas perlu ditentukan aturannya dengan jalan ijtihad. Misalnya

mengenai hal-hal sebagai berikut:

- Aturan mengenai bagian warisan orang banci.

- Aturan mengenai harta warisan yang tidak habis terbagi, kepada siapa sisanya harus

dibagikan.

- Aturan mengenai bagian ibu apabila hanya bersama-sama dengan ayah dan suami atau

isteri.

(3). Prinsip-prinsip Hukum Waris Islam

Hukum waris Islam mempunyai prinsip-prinsip yang dapat disimpulkan sebagai

berikut:

(a). Hukum waris Islam menempuh jalan tengah antara memberi kebebasan penuh kepada

seseorang untuk memindahkan harta peninggalannya dengan jalan wasiat kepada orang

yang dikehendaki seperti yang berlaku pada sistem keapitalisme, dan melarang sama

sekali pembagian harta peninggalan seperti yang menjadi prinsip komunisme yang tidak

mengakui hak milik perorangan, yang dengan sendirinya tidak mengenal sistem warisan.

(b). Warisan adalah ketetapan hukum, sehingga yang mewariskan tidak dapat menghalangi

ahli waris dari haknya atas harta warisan, dan ahli waris berhak atas harta warisan tanpa

perlu membuat pernyataan menerima secara suka rela atau atas keputusan hakim. Tetapi

tidak berarti bahwa dengan demikian ahli waris dibebani melunasi hutang-hutang si

pewaris.

(c). Warisan terbatas pada lingkungan keluarga karena hubungan perkawinan atau karena

hubungan nasab/keturunan yang sah. Keluarga yang lebih dekat hubungannya dengan si

pewaris lebih diutamakan daripada yang lebih jauh.

(d). Hukum waris Islam lebih cenderung untuk membagikan harta warisan kepada sebanyak

mungkin ahli waris. Misalnya: ahli waris terdiri dari ayah, ibu, suami dan anak-anak,

mereka semua berhak atas harta warisan.

(e). Hukum waris Islam tidak membedakan hak anak-anak atas harta warisan orang tuanya

baik anak yang sudah besar maupun yang masih kecil, laki-laki ataupun wanita bahkan

Page 32

Page 33: makalah ok!

Pengantar Agama Islam II

yang masih dalam kandungan berhak atas harta warisan orang tuanya. Tetapi perbedaan

besar kecil bagian diadakan sejalan dengan perbedaan besar kecil beban kewajiban yang

harus ditunaikan dalam keluarga.

(f). Hukum waris Islam membedakan besar kecil bagian-bagian tertentu ahli waris

diselaraskan dengan kebutuhan dalam hidup sehari-hari, dan di samping itu juga

ditentukan berdasarkan jauh dekatnya hubungan ahli waris dengan pewaris. Bagian

tertentu dari harta warisan itu adalah: 2/3; 1/2; 1/3; 1/4; 1/6; dan 1/8. Ketentuan tersebut

termasuk hal yang sifatnya ta’abbudi yang wajib dilaksanakan oleh karena telah telah

menjadi ketentuan Al-Qur’an (lihat S. An Nisa ayat 13). Adanya ketentuan-ketentuan

ahli waris yang bersifat ta’abbudi itu merupakan salah satu ciri hukum waris Islam (A.

Azhar Basyir, 1980: 11).

(4). Hak-hak Yang Berhubungan Dengan Harta Peninggalan

Sebelum harta peninggalan menjadi hak para ahli waris, lebih dahulu harus

diperhatikan hak-hak yang menyangkut harta peninggalan itu yang harus dibayarkan terlebih

dahulu.

Hak-hak yang berhubungan dengan harta peninggalan secara berturut-turut adalah

sebagai berikut:

(a). Hak-hak yang menyangkut kepentingan dari si pewaris sendiri, yaitu penyelenggaraan

jenazahnya sejak dimandikan sampai dimakamkan.

(b). Hak-hak yang menyangkut kepentingan para kreditur, yaitu pelunasan hutang-hutang

dari si pewaris.

(c). Hak-hak yang menyangkut kepentingan orang-orang yang menerima wasiat.

(d). Hak-hak ahli waris.

(5). Syarat-syarat dan Rukun Kewarisan

Page 33

Page 34: makalah ok!

Pengantar Agama Islam II

Masalah kewarisan baru ada apabila memenuhi syarat-syarat dan rukun kewarisan

sebagai berikut:

(a). Harus ada Muwarits (pewaris) yang telah meninggal dunia dan meninggalkan harta

peninggalan. Pewarisan hanya berlangsung karena kematian dan ini dapat bermacam-

macam bentuknya, antara lain:

1. Mati Haqiqi (mati sejati) ialah hilangnya nyawa seseorang dari jasadnya, yang

dibuktikan oleh panca indera atau pembuktian menurut ilmu kedokteran.

2. Mati Hukmy (mati yang dinyatakan menurut keputusan hakim). Pada hakekatnya

orang itu masih hidup, atau dua kemungkinan antara hidup dan mati tetapi menurut

hukum telah dianggap mati.

(b). Harus ada Mauruts (Budel) atau Tirkah. Tirkah/budel ialah apa yang ditinggalkan oleh

muwarits baik hak-hak kebendaan berwujud maupun tak berwujud, bernilai atau tak

bernilai, misal:

1. Benda-benda yang berwujud dan bernilai, benda tetap, benda-benda bergerak,

piutang-piutang.

2. Hak-hak kebendaan, misalnya hak monopoli untuk mendaya- gunakan, menarik

hasil dari sumber irigasi, pertanian, perkebunan, dan lain sebagainya.

3. Hak-hak yang bukan kebendaan, misalnya: hak syuf’ah atau hak optie yaitu hak

membeli kembali terhadap suatu benda.

4. Hak-hak yang bersangkutan dengan orang lain di luar kategori tersebut di atas,

misalnya: maskawin yang belum dibayar.

(c). Harus ada Warits (ahli waris).

Ahli waris adalah orang yang berhak dan akan menerima harta benda peninggalan dari si

pewaris. Ahli waris dapat dibagi menjadi tiga macam:

1. Ahli waris karena adanya hubungan perkawinan, yaitu suami atau isteri.

Page 34

Page 35: makalah ok!

Pengantar Agama Islam II

2. Ahli waris Nasabiyah, yaitu ahli waris karena adanya hubungan kerabat (darah), baik

bertalian lurus ke atas dan ke bawah maupun pertalian ke cabang, misalnya:

paman, bibi dan lain-lainnya.

3. Ahli waris karena hubungan Wala’ (karena pembebasan budak), yaitu seseorang yang

telah membebaskan budak berhak terhadap peninggalan budak itu, dan sebaliknya

orang yang membebaskan budak apabila tidak ada ahli waris yang lain (M. Idris

Romulyo, 1984: 38 - 40).

(6). Penghalang-penghalang Warisan

Ada beberapa macam penghalang seseorang menerima warisan, antara lain ialah:

(a). Karena pembunuhan. Ketentuan ini didasarkan pada hadits nabi yang mengajarkan

bahwa pembunuh tidak berhak mewaris atas harta peninggalan orang yang

dibunuhnya. Yang dimaksud dengan pembunuhan ialah pembunuhan dengan

sengaja yang mengandung unsur pidana, bukan karena membela diri dan sebagainya.

Demikian juga percobaan pembunuhan belum dipandang sebagai penghalang

warisan.

(b). Karena berlainan agama antara si pewaris dan ahli waris. Adapun alasan penghalang

ini adalah Hadis Nabi yang mengajarkan bahwa orang muslim tidak berhak waris

atas orang kafir dan sebaliknya orang kafir tidak berhak waris atas harta orang

muslim. Misalnya: antara suami yang beragama Islam dan isteri beragama Keristen,

apabila suami menghendaki isterinya dapat menikmati harta peninggalannya dapat

dilakukan dengan jalan wasiat.

(7). Golongan Ahli Waris

Ahli waris dapat digolongkan menjadi beberapa golongan bila ditinjau dari segi

kelaminnya dan dari segi haknya atas harta warisan.

Dari segi jenis kelaminnya ahli waris dapat dibagi menjadi dua golongan yaitu ahli

waris laki-laki dan ahli waris perempuan.

Page 35

Page 36: makalah ok!

Pengantar Agama Islam II

Dari segi haknya atas harta warisan ahli waris dibagi menjadi tiga golongan, yaitu:

(a). Ahli waris Dzawil-furudl, yaitu ahli waris yang mempunyai bagian-bagian tertentu

sebagaimana disebutkan di dalam Al-Qur’an atau Sunnah Rasul. Bagian-bagian tertentu

itu ialah: 2/3, 1/2, 1/3, 1/4, 1/6, 1/8.

Bagian 2/3 disebut di dalam Al-Qur’an menjadi hak dua orang saudara perempuan

kandung atau seayah dan dua anak perempuan.

Bagian 1/2 disebut di dalam Al-Qur’an menjadi hak seorang anak perempuan, seorang

saudara perempuan kandung atau seayah dan suami bila pewaris tidak meninggalkan

anak yang berhak waris.

Bagian 1/3 disebut di dalam Al-Qur’an menjadi hak ibu apabila pewaris tidak

meninggalkan anak atau lebih dari seorang saudara dan saudara-saudara seibu jika lebih

dari seorang.

Bagian 1/4 disebut dalam Al-Qur’an menjadi hak suami jika pewaris meninggalkan

anak yang berhak waris dan isteri apabila pewaris tidak meninggalkan anak yang berhak

waris.

Bagian 1/6 disebut di dalam Al-Qur’an menjadi hak ayah dan ibu jika pewaris

meninggalkan anak yang berhak waris, juga ibu bila pewaris meninggalkan saudara lebih

dari seorang dan seorang saudara ibu. Hadis Nabi menyebutkan juga bahwa bagian 1/6

menjadi hak cucu perempuan (dari anak laki-laki) bersama-sama dengan seorang anak

perempuan , saudara perempuan seayah bersama-sama dengan seorang saudara

perempuan kandung dan kakek apabila pewaris meninggalkan anak yang berhak waris.

Bagian 1/8 disebutkan dalam Al-Qur’an menjadi hak isteri apabila pewaris

meninggalkan anak yang berhak waris.

Ahli waris Dzawil furudl itu ada 12 orang, yaitu: suami, isteri, ayah, ibu, anak

perempuan, cucu perempuan (dari anak laki-laki), saudara perempuan kandung, saudara

perempuan seayah, saudara perempuan seibu, kakek dan nenek.

(b). Ahli waris Ashabah ialah ahli waris yang tidak ditentukan bagiannya tetapi akan

menerima seluruh harta warisan jika tidak ada ahli waris dzawil furudl, berhak atas

Page 36

Page 37: makalah ok!

Pengantar Agama Islam II

sisanya jika bersisa dan apabila tidak ada sisa sama sekali maka mereka tidak akan

mendapat bagian apapun.

Ahli waris ashabah ini ada tiga macam, yaitu:

1. Yang berkedudukan sebagai waris ashabah dengan sendirinya, tidak karena ditarik

oleh waris ashabah lain atau tidak karena bersama-sama dengan waris lain, disebut

ashabah binnafsi. Misalnya: anak laki-laki, cucu laki-laki (dari anak laki-laki),

saudara laki-laki kandung atau seayah dan lain sebagainya.

2. Yang berkedudukan sebagai waris ashabah karena ditarik oleh waris ashabah lain, ini

disebut ashabah bil ghairi. Misalnya: anak perempuan ditarik menjadi ashabah oleh

anak laki-laki, cucu perempuan ditarik menjadi ashabah oleh cucu laki-laki dan lain

sebagainya.

3. Yang berkedudukan sebagai waris ashabah karena bersama-sama dengan waris lain,

ini disebut ashabah ma’al ghairi. Misalnya: saudara perempuan kandung atau seayah

menjadi waris ashabah karena bersama-sama dengan anak perempuan.

(c). Ahli waris Dzawil-arham, ialah ahli waris yang mempunyai hubungan famili dengan

pewaris, tetapi tidak termasuk golongan waris dzawil-furudl atau ashabah. Misalnya:

cucu laki-laki dari anak perempuan, kemenakan laki-laki atau perempuan dari saudara

perempuan, bibi, dan lain-lainnya (A. Azhar Basyir, 1981 : 24 - 27).

c. Wasiat

1. Pengertian Wasiat

Kata wasiat berasal dari bahasa Arab washiyyah yang berarti pesan atau weling

(jawa). Menurut istilah Fiqh Islam ada bermacam-macam pengertian yang diberikan. Di

antara sekian banyak pengertian tentang wasiat maka yang amat sederhana dan tepat ialah

yang dicantumkan dalam Pasal 1 Undang-Undang Wasiat Mesir no. 71/1946, sebagai berikut:

“Wasiat adalah tindakan seseorang terhadap harta peninggalannya yang disandarkan kepada

keadaan setelah meninggal”.

Page 37

Page 38: makalah ok!

Pengantar Agama Islam II

Dengan pengertian seperti tersebut di atas, maka dapat mencakup segala macam

bentuk wasiat. Untuk memberi gambaran yang jelas mengenai bentuk-bentuk wasiat di

bawah ini diberikan beberapa contoh, yaitu:

(a). Wasiat yang memberikan sebagian harta peninggalan kepada orang tertentu, misalnya:

seseorang berwasiat bila ia meninggal nanti sepeda miliknya harap diberikan kepada

temannya yang bernama Ali.

(b). Seseorang berwasiat apabila ia meninggal nanti sebagian dari harta peninggalannya

supaya dibelikan tanah dan membangun sebuah gedung untuk balai pertemuan

kampungnya. Wasiat seperti ini berbentuk memberikan sebagian harta peninggalannya

bukan kepada seseorang tertentu, tetapi untuk kepentingan umum. Wasiat seperti ini

dapat berkedudukan sebagai harta wakaf.

(c). Seseorang berwasiat apabila ia meninggal nanti piutangnya pada seseorang tertentu

supaya dibebaskan saja. Wasiat semacam ini berbentuk melepaskan hak untuk orang

lain.

(d). Seseorang berwasiat menunjuk seseorang yang dipercaya bertindak sebagai wali atas

anak-anaknya dan harta warisan yang jatuh pada mereka sesudah ia meninggal nanti.

Wasiat semacam ini berbentuk minta kepada seseorang untuk melakukan suatu

perbuatan.

2. Dasar-dasar Hukum Wasiat

Hukum wasiat berdasarkan pada Al-Qur’an, Sunnah Rasul dan Ijtihad.

(a). Al-Qur’an

Ayat-ayat Al-Qur’an yang memberi ketentuan wasiat antara lain:

(1). S. Al-Baqarah 180, yang mengajarkan bila seseorang mendekati ajalnya padahal ia

memiliki harta banyak hendaklah ia berwasiat untuk ibu, bapak, dan kerabat-

kerabatnya secara adil dan baik.

Page 38

Page 39: makalah ok!

Pengantar Agama Islam II

(2). S. An Nisa 12, memberikan ketentuan bahwa bagian ahli waris dari harta warisan

adalah setelah diambil untuk membayar hutang pewaris dan melaksanakan

wasiatnya.

(b). Sunnah Rasul

Dari beberapa Sunnah Rasul dapat diperoleh beberapa ajaran tentang wasiat antara lain:

(1). Hadis Nabi SAW riwayat Ad Daraquthni dari Mu’adz bin Jabal mengajarkan bahwa

wasiat amat penting artinya bagi orang yang berwasiat karena akan menjadi

tambahan amal kebajikannya di akhirat kelak.

(2). Hadis Nabi riwayat Al Jama’ah dari Sa’ad ibn Abi Waqqash, yang mengajarkan

bahwa berwasiat itu dibenarkan dan juga memberi ketentuan bahwa memberi wasiat

yang menyangkut harta jangan melebihi sepertiga dari harta peninggalan. Atau

dengan kata lain berwasiat itu maksimum sampai dengan sepertiga dari seluruh

harta peninggalan.

3. Hukum Wasiat

Wasiat dapat dihukumkan: wajib, haram, makruh, dan mubah.

(a). Wasiat wajib hukumnya dalam hal-hal yang menyangkut hak Allah seperti Zakat,

Kifarat, Fidyah puasa dan lain-lainnya yang merupakan hutang yang wajib ditunaikan

bagi Allah. Di samping itu juga dapat berupa hak-hak sesama manusia yang tidak

mungkin diketahui adanya bila tidak diwasiatkan seperti titipan barang, hutang-hutang,

dan sebagainya. Bila seseorang tidak berwasiat dalam hal-hal tersebut hingga tidak

terpenuhi oleh ahli waris dari harta peninggalannya, orang itu berdosa dan bertanggung

jawab di hadapan Allah.

(b). Wasiat sunnah hukumnya apabila ditujukan untuk amal kebajikan dan hanya

mengharapkan keridlaan Allah semata-mata.

(c). Wasiat haram hukumnya apabila mewasiatkan barang-barang yang dengan jelas

diharamkan agama, seperti berwasiat harta benda untuk membangun tempat perjudian

atau tempat-tempat maksiat yang lainnya.

Page 39

Page 40: makalah ok!

Pengantar Agama Islam II

(d). Wasiat makruh hukumnya apabila seseorang berwasiat memberikan sebagian hartanya

kepada seseorang diluar ahli waris, sedangkan hartanya sedikit tetapi ahli warisnya

banyak dan dalam keadaan kekurangan.

(e). Wasiat mubah hukumnya apabila tidak terdapat hal-hal tersebut pada empat macam

hukum wasiat terdahulu, serta yang diberi wasiat tidak memerlukannya karena sudah

berkecukupan. Sehingga wasiat ini dilakukan hanya sebagai tanda persahabatan atau

sebagai balas jasa tanpa disertai niat untuk beribadat kepada Allah dengan wasiatnya itu.

4. Unsur-unsur Wasiat dan Persyaratannya

Unsur-unsur yang terdapat dalam wasiat itu ada empat macam:

(a). Orang yang berwasiat (mushi)

(b). Orang yang menerima wasiat (mushalahu)

(c). Sesuatu yang diwasiatkan (musha-bihi)

(d). Sighat / ikrar

(a). Syarat-syarat Mushi

Untuk sahnya wasiat mushi harus memenuhi syarat-syarat sebagai berikut:

(1). Dewasa / baligh

(2). Berakal sehat

(3). Atas kehendak sendiri secara bebas

Berwasiat adalah tindakan tabarru’ (derma) dari harta bendanya, maka memerlukan

pertimbangan akal yang baik, pertimbangan dipandang ada kalau mushi telah dewasa

dan berakal sehat. Disamping itu karena berwasiat itu diperlukan adanya pertimbangan

akal sehat, maka apabila mushi membuat wasiat di luar kehendaknya karena adanya

unsur paksaan maka wasiat itu dianggap tidak sah.

(b). Syarat-syarat Mushalahu

Page 40

Page 41: makalah ok!

Pengantar Agama Islam II

Mushalahu adalah orang yang dituju dalam suatu wasiat, supaya wasiat itu sah maka

mushalahu harus memenuhi syarat-syarat sebagai berikut:

(1). Harus dapat diketahui dengan jelas

(2). Telah wujud ketika wasiat dinyatakan

(3). Bukan tujuan kemaksiatan

(4). Mushalahu tidak membunuh mushi.

(c). Syarat-syarat Musha-bihi

Supaya wasiat itu sah maka musha-bihi atau sesuatu yang diwasiatkan harus memenuhi

syarat-syarat sebagai berikut:

(1). Dapat berlaku sebagai harta warisan atau dapat menjadi obyek perjanjian

(2). Sudah wujud/ada bentuknya waktu wasiat dinyatakan

(3). Milik mushi

(4). Jumlahnya tidak melebihi sepertiga dari harta peninggalan.

(d). Sighat wasiat

Untuk sahnya wasiat dapat dipakai segala cara yang memberi pengertian adanya wasiat.

Jadi wasiat dapat diucapkan dengan lisan, dapat pula berbentuk tulisan dan dapat

berbentuk isyarat yang dapat dimengerti oleh orang yang tidak dapat berbicara atau

menulis.

Sighat wasiat hanya diperlukan pernyataan dari mushi saja (ijab) dan pada prinsipnya

pernyataan menerima dari mushalahu (qabul) tidak diperlukan.

Sighat wasiat dapat disertai dengan syarat-syarat tertentu asalkan syarat-syarat itu tidak

bertentangan dengan hukum wasiat, tidak merusak kemungkinan menikmati barang

wasiat dan tidak bertentangan dengan ketentuan-ketentuan agama Islam pada umumnya.

5. Batalnya Wasiat

Page 41

Page 42: makalah ok!

Pengantar Agama Islam II

Wasiat dianggap batal apabila terdapat hal-hal sebagai berikut:

(a). Mushi menarik wasiatnya

(b). Mushi kehilangan kecakapan melakukan tindakan hukum karena gila atau rusak akal

(c). Mushi ketika meninggal mempunyai hutang yang menghabiskan harta peninggalannya

(d). Musha-lahu meninggal sebelum mushi

(e). Musha-lahu membunuh mushi

(f). Musha-lahu menolak wasiat

(g). Musha-bihi binasa

(h). Musha-bihi diputuskan hakim menjadi hak orang lain

(i). Musha-bihi mengalami perubahan bentuk

(j). Habis waktu wasiatnya

(A. Azhar Basyir, 1979: 30 - 45).

d. Wakaf

1. Pengertian Wakaf

Wakaf berasal dari kata Arab waqf yang artinya menahan. Menurut istilah, wakaf

berarti “menahan harta yang dapat diambil manfaatnya tanpa mengalami musnah seketika

dan untuk penggunaan yang mubah, serta dimaksudkan untuk mendapatkan keridlaan Allah

SWT”.

2. Dasar-dasar Amalan Wakaf

Amalan wakaf ini dasarnya ada dua macam, yaitu dasar umum dan dasar khusus.

(a). Dasar Umum

Page 42

Page 43: makalah ok!

Pengantar Agama Islam II

Yang menjadi dasar umum dari amalan wakaf ini adalah ayat-ayat Al-Qur’an yang

memerintahkan agar orang berbuat kebaikan sebab amalan wakaf adalah termasuk salah

satu macam berbuat kebaikan. Di antara ayat-ayat yang memerintahkan berbuat

kebaikan itu antara lain:

(1). Al-Qur’an S. Al Hajj 77 memerintahkan “Berbuatlah kebaikan agar kamu bahagia”.

(2). Al-Qur’an S. Al-Baqarah 267 memerintahkan “Belanjakanlah sebagian harta yang

kamu peroleh dengan baik-baik”.

(3). Al-Qur’an S. Ali Imran 92 mengajarkan “Sekali-kali kamu tidak akan memperoleh

kebaikan hingga kamu belanjakan sebagian harta yang kamu senangi”.

(b). Dasar Khusus

Dasar khusus amalan wakaf ialah Hadits Nabi riwayat Bukhari, Muslim dari Ibnu Umar

r.a. yang menceritakan bahwa pada suatu hari sahabat Umar datang menghadap Nabi

untuk minta nasehat tentang penggunaan tanah yang diperolehnya di Khaibar.

Kemudian Nabi memberikan nasehat sebagai berikut:

“Bila kamu mau tahanlah pokoknya dan sedekahkanlah hasilnya”.

Nasehat itu kemudian diikuti oleh sahabat Umar yaitu tanahnya disedekahkan dengan

ketentuan:

- tidak boleh dijual pokoknya

- tidak boleh diwaris

- tidak boleh dihibahkan

- sedekahnya diperuntukkan bagi fakir miskin, sanak kerabat, untuk memerdekakan

budak, sabilillah dan tamu

- pengawas harta wakaf boleh menikmati hasilnya sekedarnya namun tidak boleh

berlebih-lebihan.

Dari hadis tentang wakaf Umar tersebut diperoleh ketentuan umum tentang wakaf yaitu:

Page 43

Page 44: makalah ok!

Pengantar Agama Islam II

(1). Harta wakaf tidak dapat dipindahkan kepada orang lain baik dengan jalan

dijualbelikan, diwariskan, atau dihibahkan.

(2). Harta wakaf terlepas dari milik wakif (orang yang berwakaf).

(3). Tujuan wakaf harus jelas dan termasuk amal kebaikan menurut ajaran Islam.

(4). Harta wakaf dapat dikuasakan kepada pengawas yang mempunyai hak ikut

menikmati harta wakaf sekedar yang diperlukan, tidak boleh berlebih-lebihan.

(5). Harta wakaf dapat berupa benda-benda tidak bergerak, misalnya tanah, gedung dan

sebagainya, yang dapat tahan lama dan tidak musnah seketika setelah dipergunakan.

(6). Harta wakaf berlaku untuk selama-lamanya.

3. Unsur-unsur Wakaf dan Persyaratannya

Unsur-unsur (rukun) wakaf itu ada empat macam, yaitu:

(a). Orang yang berwakaf (Wakif)

(b). Harta yang diwakafkan (Maukuf)

(c). Tujuan wakaf (Maukuf ‘alaih)

(d). Pernyataan wakaf (Sighat)

(a). Syarat-syarat orang yang berwakaf (wakif)

Untuk sahnya wakaf, maka orang yang berwakaf harus memenuhi syarat-syarat sebagai

berikut:

(1). Mempunyai kecakapan melakukan tabarru’, yaitu mempunyai pertimbangan akal

yang sempurna bagi orang yang telah baligh (dewasa). Jadi dengan kata lain orang

itu sudah dewasa dari segi umur dan mempunyai kecakapan bertindak.

(2). Berakal sehat.

(3). Tidak terpaksa.

Page 44

Page 45: makalah ok!

Pengantar Agama Islam II

(b). Syarat-syarat harta wakaf

Wakaf dipandang sah apabila harta wakaf (maukuf) memenuhi syarat-syarat sebagai

berikut:

(1). Harta wakaf merupakan harta yang bernilai.

(2). Harta wakaf milik wakif.

(3). Harta itu tahan lama dalam penggunaannya.

Selain tanah atau gedung maka harta wakaf dapat pula berupa modal uang yang

diperdagangkan atau berupa saham pada perusahaan dagang dan sebagainya.

(c). Syarat-syarat tujuan wakaf

Sesuai dengan sifat amalan wakaf sebagai salah satu macam ibadah yaitu merupakan

salah satu amalan sadaqah, maka tujuan wakaf harus memenuhi syarat-syarat sebagai

berikut:

(1). Tujuan wakaf tidak boleh bertentangan dengan nilai-nilai ibadah.

(2). Tujuan wakaf harus merupakan hal-hal yang termasuk dalam kategori ibadah pada

umumnya, sekurang-kurangnya merupakan hal yang mubah menurut ajaran Islam.

(3). Tujuan wakaf harus jelas, baik yang ditijukan kepada kelompok orang-orang tertentu

atau badan-badan tertentu.

(d). Syarat-syarat Sighat Wakaf

Sighat wakaf atau pernyataan mewakafkan sesuatu dapat dilakukan:

(1). Dengan lisan atau tulisan, hal ini dapat dinyatakan kepada siapapun juga

(2). Dengan isyarat, hal ini hanya ditujukan kepada orang yang tidak mampu

menggunakan cara lisan atau tulisan.

4. Macam-macam Wakaf

Wakaf dapat dibagi menjadi dua macam, yaitu:

Page 45

Page 46: makalah ok!

Pengantar Agama Islam II

(a). Wakaf Ahli atau wakaf keluarga atau dapat juga dikatakan sebagai wakaf khusus, ialah

wakaf yang ditujukan kepada orang-orang tertentu seorang atau lebih, baik masih

keluarga atau orang lain. Wakaf khusus ini dipandang sah dan yang berhak

menikmati harta wakaf itu adalah mereka yang ditunjuk dalam pernyataan wakaf.

Sebagai contoh wakaf ahli ini misalnya: seseorang mewakafkan buku-bukunya untuk

anak-anaknya yang mampu menggunakannya, kemudian diteruskan kepada cucunya

dan seterusnya.

(b). Wakaf Khairi (umum), ialah wakaf yang sejak semula ditujukan untuk kepentingan

umum tidak dikhususkan untuk orang-orang tertentu. Wakaf khairi inilah yang pada

dasarnya sejalan dengan jiwa amalan wakaf yang amat dianjurkan dalam ajaran Islam,

yang dinyatakan bahwa pahalanya akan terus mengalir sekalipun wakif telah

meninggal dunia selagi harta wakaf itu masih tetap dapat diambil manfaatnya. Wakaf

khairi inilah yang hasilnya benar-benar dapat dinikmati oleh masyarakat secara luas

dan merupakan salah satu sarana untuk menyelenggarakan kesejahteraan masyarakat

baik dalam bidang sosial, ekonomi, pendidikan, kebudayaan maupun keagamaan.

2. Hukum Prifat (Mu’ammalat)

Yang dimaksud dengan hukum prifat disini ialah apa yang disebut oleh fuqaha dengan

nama Fiqh Mu’ammalat dalam artinya yang khusus, yaitu menyangkut hukum benda

(kebendaan).

Hal-hal yang dibicarakan dalam fiqh mu’ammalat dalam arti yang khusus ini

hanyalah mengenai hak-hak manusia dalam hubungannya dengan manusia lain, misalnya:

hak penjual untuk menerima uang penjualan dan hak pembeli untuk menerima barang yang

dibelinya, hak penyewa untuk menempati rumah yang disewanya dan hak pemilik rumah

sewa untuk mendapatkan uang sewa dari penyewa, dan lain sebagainya.

Para ahli fiqih pada umumnya tidak memisahkan pembicaraan antara asas-asas

mu’ammalat di satu pihak dengan hukum mu’ammalat di lain pihak, sehingga semua

persoalan dari kedua bidang tersebut dibicarakan bersama dalam bab mu’ammalat.

Page 46

Page 47: makalah ok!

Pengantar Agama Islam II

Kalau dibandingkan dengan Kitab Undang-Undang Hukum Perdata, maka para ahli

fiqih hanya membicarakan satu bidang saja yaitu bidang/bab perikatannya saja, tetapi tidak

membicarakan secara khusus mengenai hukum kebendaan.

Apabila dilihat secara keseluruhan dan juga untuk bahan perbandingan dengan hukum

perdata barat maka bidang mu’ammalat ini dapat dibagi menjadi empat bagian, yaitu:

a. Asas-asas hukum mu’ammalat

b. Hukum Perdata

c. Hukum Dagang

d. Hukum Acara Perdata

a. Asas-asas Mu’ammalat

Disini akan dikemukakan secara garis besar hal-hal apa yang dibicarakan di dalam

asas-asas mu’ammalat yaitu antara lain:

(1). Teori-teori tentang hak milik, cara-cara untuk memperoleh hak milik dan macam-macam

hak milik.

(2). Perikatan (perjanjian), pembentukan perikatan, akibat-akibat adanya perikatan, hapusnya

perikatan dan macam-macam perikatan.

(3). Kecakapan bertindak, pengertian dan tingkat-tingkat kecakapan, halangan-halangan

kecakapan dan pengampuan.

(4). Hak dan kewajiban: sumber-sumber hak, macam-macam hak, misalnya hak kebendaan,

hak milik, hak gadai, hak guna pakai dan lain sebagainya.

(5). Tanggungan, sumber-sumber tanggungan, obyek tanggungan dan syarat-syarat adanya

tanggungan.

(6). Badan-badan hukum dalam fiqh dan segi-segi perbedaannya dengan manusia.

b. Hukum Perdata

Page 47

Page 48: makalah ok!

Pengantar Agama Islam II

Yang dibicarakan dalam bidang hukum perdata terutama mengenai bentuk-bentuk

perikatan tertentu yaitu antara lain:

(1). Jual beli, gadai/hipotik

(2). Jaminan hutang (Al-Kafalah)

(3). Pemindahan hutang (Hiwalah)

(4). Kepailitan (At-Taflis)

(5). Perseroan dagang (As-Syarikah)

(6). Sewa menyewa (Al-Ijar)

(7). Penggarapan tanah (Al-Muzara’ah)

(8). Pembagian milik bersama (Al-Qismah)

(9). Dan lain-lainnya.

c. Hukum Dagang

Walaupun sudah sejak jaman dulu orang-orang Islam terutama orang-orang Arab

terkenal sebagai pedagang yang telah mengadakan hubungan dagang dengan berbagai bangsa

di dunia ini, dari Afrika, Eropa, sampai ke India, Cina, namun dalam kenyataannya orang

Islam belum mempunyai peraturan-peraturan yang mengatur tentang perdagangan dan seluk

beluknya yang terpisah atau berdiri sendiri. Tetapi peraturan-peraturan mengenai hukum

dagang ini secara garis besar masih diatur di dalam hukum perdata.

Salah satu bentuk perikatan dagang yang dibicarakan secara tersendiri yaitu

perserikatan dagang yang disebut Mudharabah atau Qirald. Mudharabah ialah suatu

perjanjian dagang bersama dimana modal ditanggung oleh seseorang sedang pihak yang

satunya mempunyai tugas menjalankan modal itu untuk berdagang kemudian keuntungannya

dibagi antara kedua orang tersebut menurut perjanjian yang telah ditentukan bersama.

Page 48

Page 49: makalah ok!

Pengantar Agama Islam II

Mengenai pembukuan yang dapat dipakai sebagai alat bukti tertulis juga tidak

dibicarakan oleh para fuqaha. Hal ini mungkin disebabkan karena alat bukti yang memegang

peranan penting dalam hukum Islam hanyalah keterangan-keterangan saksi.

d. Hukum Acara Perdata

Hal-hal yang dibicarakan dalam hukum acara perdata secara garis besar terbagi atas

tiga bidang, yaitu: Peradilan (Al-Qadli), Gugatan (Ad-Da’wa), dan Persaksian (As-

Syahadah). Dari ketiga bidang ini dirinci sebagai berikut:

(1). Syarat-syarat seorang hakim

(2). Cara memeriksa perkara

(3). Gugatan, obyek gugatan dan cara mengajukan gugatan

(4). Penggugat dan tergugat

(5). Alat-alat pembuktian, bukti tertulis, saksi, pengakuan, sumpah, dan lain-lain

(6). Pelaksanaan keputusan hakim.

3. Hukum Pidana Islam (Al-Jinayah)

a. Pengertian Jinayat dan Jarimah

Hukum Pidana Islam dalam Fiqh Islam disebut dengan istilah Al-Jinaayat, yang

artinya adalah perbuatan dosa, kejahatan atau pelanggaran.

Semua perbuatan dosa, kejahatan dan pelanggaran adalah perbuatan yang termasuk

dalam perbuatan pidana (jarimah). Dengan demikian maka Al-Jinaayat atau Hukum Pidana

Islam adalah bidang hukum yang membicarakan macam-macam perbuatan pidana (jarimah)

dan hukumnya.

Al-Mawardi dalam kitabnya Al-Ahkaam As-Sulthaaniyah memberikan definisi

Jarimah sebagai berikut:

“Jarimah adalah larangan-larangan Syara’ yang diancam dengan hukuman Hadd atau Ta’zir”.

Page 49

Page 50: makalah ok!

Pengantar Agama Islam II

Hukuman Hadd adalah hukuman yang telah dipastikan ketentuannya dalam nash Al-

Qur’an dan Sunnah Rasul.

Hukuman Ta’zir adalah hukuman yang ketentuannya tidak dipastikan dalam nash Al-

Qur’an dan Sunnah Rasul tetapi ketentuannya menjadi wewenang penguasa.

Larangan-larangan Syara’ yang disebut jarimah itu dapat berupa pelanggaran

terhadap hal-hal yang dilarang, misalnya: melanggar larangan zina, minum-minuman keras

dan dapat juga berupa meninggalkan hal-hal yang diperintahkan, misalnya: mengabaikan

kewajiban zakat.

Perbuatan-perbuatan yang jika dikerjakan atau ditinggalkan dipandang sebagai

jarimah ialah perbuatan yang mempunyai akaibat merugikan perseorangan atau masyarakat

dalam aqidah, harta benda, harga diri, ketenteraman jiwa dan sebagainya yang berhak

memperoleh perlindungan (A. Azhar Basyir, 1982: 1).

b. Unsur-unsur Jarimah dan Macam-macam Jarimah

(1). Unsur-unsur Jarimah

Sesuatu perbuatan dapat dipandang sebagai jarimah jika memenuhi unsur-unsur sebagai

berikut:

(a). Unsur formal, yaitu adanya nash atau dasar hukum yang menunjuknya sebagai

jarimah. Unsur ini sesuai dengan prinsip yang menyatakan bahwa jarimah dianggap

tidak ada sebelum dinyatakan dalam nash. Alasan bahwa jarimah harus memenuhi

unsur formal adalah firman Allah dalam Kitab Suci Al-Qur’an S. Al-Isra’ 15 yang

mengajarkan bahwa Allah tidak akan menyiksa hambanya sebelum mengutus

utusannya. Ajaran ini berisi ketentuan bahwa hukuman akan dijatuhkan kepada

mereka yang membangkang ajaran Rasul Allah. Untuk dinilai bahwa seseorang

telah membangkang ajaran Rasul Allah harus terlebih dahulu diketahui adanya

ajaran Rasul Allah yang dituangkan dalam nash.

(b). Unsur material, yaitu adanya perbuatan melawan hukum yang benar-benar telah

dilakukan. Alasan bahwa jarimah harus memenuhi unsur material ialah Hadis Nabi

riwayat Bukhari-Muslim dari Abu Hurairah yang mengajarkan bahwa “Allah

Page 50

Page 51: makalah ok!

Pengantar Agama Islam II

melewatkan hukuman untuk umat Nabi Muhammad atas sesuatu yang masih

terkandung dalam hati selagi ia tidak mengatakan dengan lisan atau

mengerjakannya dengan nyata”.

(c). Unsur moral, yaitu adanya niat atau kesengajaan pelaku untuk berbuat jarimah.

Unsur ini menyangkut tanggung jawab yang hanya dikenakan terhadap orang yang

telah dewasa/baligh, sehat akalnya dan tidak terpaksa dalam melakukannya.

Dengan kata lain unsur moral ini berhubungan dengan tanggung jawab pidana yang

hanya dibebankan terhadap orang mukallaf yang bebas dari paksaan. Unsur ini

didasarkan kepada Hadis Nabi riwayat Ibnu Majjah dan Abu Dzarr yang

mengajarkan bahwa “Allah melewatkan hukuman terhadap umat Nabi Muhammad

karena salah, lupa dan sesuatu yang dipaksakan” (A. Azhar Basyir, 1981: 4).

(2). Macam-macam Jarimah

Dilihat dari berat ringannya macam hukuman yang diancamkan, Hukum Pidana Islam

mengenal empat macam Jarimah, yaitu:

(a). Jarimah Qishash, yaitu jarimah yang diancam dengan hukuman qishash yaitu

hukuman yang sama dengan jarimah yang dilakukan. Yang termasuk jarimah ini

ialah:

1. Pembunuhan dengan sengaja, ini ancaman hukumannya adalah pidana mati

2. Penganiayaan dengan sengaja yang mengakibatkan terpotong atau terlukanya

anggota badan, ini ancaman hukumannya adalah sama yaitu dipotong atau

dilukai anggota badannya.

(b). Jarimah Diyat, yaitu jarimah yang diancam dengan hukuman diyat, yaitu hukuman

ganti rugi atas penderitaan yang dialami si kurban atau keluarganya. Yang termasuk

jarimah ini adalah:

1. Pembunuhan tidak sengaja (pembunuhan karena alpa), hukuman dari jarimah ini

adalah membayar diyat/ganti rugi. Dan ganti rugi ini dapat berupa:

- Kifarat/pembebasan hamba sahaya yang beriman

- pembayaran ganti rugi kepada keluarganya

Page 51

Page 52: makalah ok!

Pengantar Agama Islam II

- puasa dua bulan berturut-turut

- jika dimaafkan maka bebas untuk tidak membayar ganti rugi

2. Penganiayaan tidak sengaja, ancaman hukumannya adalah membalas melukai

anggota badan orang yang menganiaya atau membayar diyat/ganti rugi sesuai

dengan permintaan penderita atau keluarganya.

(c). Jarimah Hudud, ialah jarimah yang diancam dengan hukuman hadd yaitu hukuman

yang telah ditentukan oleh Allah dalam nash Al-Qur’an atau Sunnah Rasul.

Hukuman ini tidak dapat diganti dengan macam hukuman lain atau dibatalkan oleh

manusia. Yang termasuk jarimah ini ialah:

1. Pencurian, yaitu mengambil harta milik orang lain dengan cara sembunyi dari

tempat simpanan dengan maksud untuk dimiliki. Ancaman hukuman pencurian

adalah potong tangan, namun harus memenuhi syarat-syarat tertentu yaitu:

- pencurinya harus dewasa, berakal sehat dan tidak terpaksa

- harta itu milik orang lain

- pencuri mengambil harta dari tempat simpanan yang semesti- nya, sesuai

dengan macam harta yang dicuri

- harta yang dicuri memenuhi nishab, yaitu seharga emas minimal 1,62 gram

- pencurian tidak terjadi karena daya paksa, misalnya orang yang kelaparan

mencuri untuk menyelamatkan jiwanya.

2. Perampokan, yaitu kejahatan merampas harta di jalan umum dengan cara

kekerasan. Jarimah perampokan disebut Hirabah. Ancaman hukumannya

adalah dihukum mati dan disalib, dihukum mati saja, dipotong tangan atau

kakinya atau diasingkan.

3. Pemberontakan, jarimah ini ancaman hukumannya adalah diperangi kembali.

4. Zina, ialah hubungan kelamin antara pria dan wanita yang tidak dihalalkan oleh

syara’. Ancaman hukumannya adalah didera/dicambuk seratus kali. Ancaman

hukuman ini dapat diterapkan apabila ada bukti yang kuat yaitu:

Page 52

Page 53: makalah ok!

Pengantar Agama Islam II

- persaksian empat orang laki-laki yang dengan mata kepala sendiri menyaksikan

perbuatan zina itu

- pengakuan dari pelakunya yang benar-benar dapat meyakin-kan kebenarannya.

5. Menuduh zina, ancaman hukumannya adalah delapan puluh kali cambukan dan

ditambah pidana tambahan yaitu tidak boleh menjadi saksi.

6. Minum minuman keras, perbuatan ini dianggap sebagai jarimah karena dapat

merusak akal pikiran. Larangan ini ditujukan kepada setiap minuman keras

yang potensial dapat memabukkan. Ukurannya adalah tidak tergantung banyak

atau sedikit yang diminum, mabuk atau tidak, tetapi kalau minum minuman yang

potensial dapat memabukkan dapat dihukum. Hukumannya adalah empat puluh

kali cambukan atau dapat ditambah sampai dengan delapan puluh kali cambukan.

7. Riddah, ialah keluar dari agama Islam untuk pindah agama atau tidak beragama

sama sekali. Ancaman hukumannya siksa neraka di akhirat nanti.

(d). Jarimah Ta’zir, ialah semua jarimah yang dilarang syara’ tetapi tidak diancam

dengan sesuatu macam hukuman di dalam Al-Qur’an atau Sunnah Rasul. Dapat

dipandang sebagai jarimah ta’zir jika merugikan pelakunya atau orang lain.

Mengenai ancaman hukumannya ditentukan dengan besar kecilnya kerugian

masyarakat sebagai akibat dari jarimah yang dilakukan, dan dapat pula ditentukan

oleh penguasa. Macam-macam jarimah ta’zir antara lain:

1. Riba

2. Menyuap

3. Berjudi

4. Pelanggaran lalu lintas

5. Menipu takaran/timbangan

6. Pelanggaran terhadap peraturan bea cukai

(A. Azhar Basyir, 1981: 4 - 28).

Page 53

Page 54: makalah ok!

Pengantar Agama Islam II

4. Hukum Tatanegara (Siasah Syar’iyyah)

Dalam soal ketatanegaraan Fiqh Islam mempunyai dua kumpulan aturan yaitu: al-

fiqhul-dasturi (Hukum Ketatanegaraan) dan al-fiqhul-idari (Hukum Administrasi dan

Keuangan).

a. Hukum Ketatanegaraan mengatur secara garis besar persoalan-persoalan sebagai berikut:

(1). Pimpinan negara/kepala negara

(2). Menegakkan pemerintahan Islam

(3). Teori-teori tentang timbulnya negara

(4). Negara dan syarat yang harus dipenuhi untuk membentuk suatu negara

(5). Hak dan kewajiban negara

(6). Hubungan penguasa dengan warga negara dalam berbagai lapangan hidup.

b. Yang dimaksud dengan hukum administrasi ialah kumpulan aturan yang mengatur

kegiatan penguasa eksekutif termasuk di dalamnya kegiatan penguasa dalam bidang

keuangan.

5. Hukum Internasional

Hukum Internasional dalam Islam dibagi menjadi dua bidang, yaitu: Hukum Perdata

Islam Internasional dan Hukum Pidana/Publik IslamInternasional.

a. Hukum Perdata Islam Internasional

Hukum Perdata Islam Internasional terdiri atas kumpulan aturan yang mengatur

tentang “hukum mana yang berlaku apabila ada hubungan hukum perdata antara orang-

orang Islam dengan orang-orang yang bukan Islam di negara Islam”.

Orang-orang yang bukan Islam dibagi menjadi tiga golongan yaitu:

(1). Harbi yaitu penduduk negara musuh.

(2). Dzimmi ialah orang yang bukan Islam yang menetap di negara Islam.

Page 54

Page 55: makalah ok!

Pengantar Agama Islam II

(3). Musta’min adalah orang yang bukan Islam yang menetap di negara Islam untuk satu

maksud tertentu.

Dalam hubungannya dengan ketiga golonganorang bukan Islam tersebut di atas,

diatur juga mengenai beberapa hal, antara lain:

(1). Hukum Islam mana yang berlaku atas mereka.

(2). Hukum yang berlaku apabila terjadi sengketa antara golongan-golongan itu sendiri,

atau antara orang Islam dengan salah satu golongan tersebut di atas yang menyangkut

harta benda.

(3). Hukum pernikahan antara orang Islam dengan Ahli Kitab (orang Yahudi/Nasrani)

mengenai:

(a). Hukum pernikahan mana yang harus dilaksanakan dan cara-cara pelaksanaannya.

(b). Ketentuan-ketentuan hukum yang timbul dari pernikahan tersebut seperti hak dan

kewajiban suami isteri, pemutusan perkawinan, warisan, wasiat, dan sebagainya.

b. Hukum Publik Islam Internasional

Hukum Publik Islam Internasional mengatur hubungan hukum antara Negara Islam

dengan negara lain atau negara-negara Islam dengan warga negara lain di luar lapangan

keperdataan.

Mengenai hubungan antar negara maka salah satu hal yang diatur ialah masalah-

masalah yang menyangkut hubungan dan suasana perang (bab Jihad). Hal-hal yang

dibicarakan dalam bab Jihad itu antara lain:

(1). Dasar hukum perang

(2). Orang-orang yang terkena kewajiban berperang

(3). Peraturan-peraturan yang berlaku dalam suasana perang dan di medan perang

(4). Kedudukan harta benda dari musuh

(5). Pengakhiran perang dan perjanjian damai.

Page 55

Page 56: makalah ok!

Pengantar Agama Islam II

Mengenai hubungan antara negara Islam dengan warga negara asing, hal-hal yang

diatur antara lain:

(1). Prinsip-prinsip teritorialitas dan nasionalitas serta pengaruhnya terhadap perbuatan-

perbuatan negeri Islam atau warga negara lawan.

(2). Penyerahan orang yang melakukan perbuatan pidana atau pengusiran dari suatu negara.

(3). Perbuatan-perbuatan pidana yang dilakukan oleh orang asing, seperti: minum minuman

keras, pencurian, dan sebagainya serta hukum mana yang berlaku atas mereka.

DAFTAR PUSTAKA

• Abdullah,Sulaiman. 1995. Sumber Hukum Islam. Jambi : Sinar Grafika.

• As-Sayis, Syekh Muhammad Ali. 1996. Sejarah Pembentukan dan Perkembangan

Hukum Islam. Jakarta : Akademi Pressindo

• Nata, Abuddin. 1992. Al-Quran dan Hadits. Jakarta : PT Raja Grafindo Persada

• Muhammad Syah, Ismail. 1991. Filsafat Hukum Islam. Jakarta : Bumi Aksara

• Abdurrahman, Asmuni. 1985. Filsafat Hukum Islam. Jakarta : Logos Wacana Ilmu.

Page 56

Page 57: makalah ok!

Pengantar Agama Islam II

• Djamil Faturrahman. 1997. Filsafat Hukum Islam. Jakarta : Logos Wacana Ilmu

• http://mandikopa.multiply.com

• http://hikmatun.wordpress.com

• http://www.pengobatan.com/ajaran_islam/perbedaan_quran&hadits.htm

Page 57