memoar fenomena implementasi hukum di indonesia pada

77
Memoar Fenomena Implementasi Hukum Di Indonesia Pada Kumpulan Naskah Lakon Hakim Sarmin Presiden Kita Karya Agus Noor SKRIPSI diajukan untuk memenuhi salah satu syarat untuk memperoleh gelar Sarjana Sastra Indonesia oleh: Istiqbalul Fitriya 2111415012 JURUSAN BAHASA DAN SASTRA INDONESIA FAKULTAS BAHASA DAN SENI UNIVERSITAS NEGERI SEMARANG 2020

Upload: others

Post on 22-Mar-2022

16 views

Category:

Documents


0 download

TRANSCRIPT

Page 1: Memoar Fenomena Implementasi Hukum Di Indonesia Pada

Memoar Fenomena Implementasi Hukum Di Indonesia

Pada Kumpulan Naskah Lakon Hakim Sarmin Presiden Kita

Karya Agus Noor

SKRIPSI

diajukan untuk memenuhi salah satu syarat untuk

memperoleh gelar Sarjana Sastra Indonesia

oleh:

Istiqbalul Fitriya

2111415012

JURUSAN BAHASA DAN SASTRA INDONESIA

FAKULTAS BAHASA DAN SENI

UNIVERSITAS NEGERI SEMARANG

2020

Page 2: Memoar Fenomena Implementasi Hukum Di Indonesia Pada

i

Page 3: Memoar Fenomena Implementasi Hukum Di Indonesia Pada

ii

Page 4: Memoar Fenomena Implementasi Hukum Di Indonesia Pada

iii

Page 5: Memoar Fenomena Implementasi Hukum Di Indonesia Pada

iv

MOTO DAN PERSEMBAHAN

Moto:

“Ajarkanlah sastra kepada anak-anakmu, agar mereka berani melawan

ketidakadilan, berani menegakan kebenaran, serta jiwa-jiwa mereka hidup.

Ajarkanlah sastra kepada anak-anakmu.

Sebab sastra akan mengubah yang pengecut menjadi pemberani.”

(Umar Bin Khatab, Khalifah Islam ke-2 )

Persembahan:

Almamater Universitas Negeri Semarang, jajaran dosen, tenaga

kerja, serta kawan-kawan yang baik dengan semua pegetahuan dan

pengalaman

Kedua orang tua, dengan segala cinta kasih serupa tebing terang;

Semua keluarga, dan semua rumah yang nyaman.

Page 6: Memoar Fenomena Implementasi Hukum Di Indonesia Pada

v

PRAKATA

Puji syukur peneliti panjatkan kepada Allah Swt yang telah melimpahkan

rahmat dan hidayah-Nya, sehingga peneliti dapat menyelesaikan skripsi yang

berjudul Memoar Fenomena Implementasi Hukum di Indonesia Pada Kumpulan

Naskah Lakon Hakim Sarmin Presiden Kita Karya Agus Noor sebagai syarat gelar

sarjana sastra dengan lancar dan baik. Shalawat serta salam peneliti haturkan

kepada Nabi Muhammad Saw.

Peneliti menyadari bahwa skripsi ini tidak akan selesai tanpa bimbingan dan

bantuan dari berbagai pihak. Oleh karena itu, pada kesempatan ini peneliti dengan

tulus ingin menyampaikan rasa terima kasih dan rasa hormat kepada dosen

pembimbing skripsi, Mulyono S.Pd., M.Hum, yang tidak bosan memberikan

arahan, motivasi, dan saran maupun kritik perbaikan selama proses penyusunan

skripsi hingga akhirnya dapat selesai. Terima kasih serta rasa hormat juga tidak lupa

peneliti sampaikan kepada :

1. Dr. Sri Rejeki Urip, M.Hum., Dekan Fakultas Bahasa dan Seni,

Universitas Negeri Semarang yang telah memberikan kesempatan

untuk penelitian ini

2. Dr. Rahayu Pristiwati, S.Pd., M.Pd., Ketua Jurusan Bahasa dan Sastra

Indonesia yang telah memberikan kesempatan dan kemudahan dalam

penyelesaian skripsi ini

3. Sumartini, S.S., M.A., Ketua Prodi Sastra Indonesia yang turut

memberikan semangat motivasi serta memberikan kemudahan dalam

proses penyelesaian skripsi

4. Segenap dosen Jurusan Bahasa dan Sastra Indonesia yang telah

memberikan ilmu, juga pengalaman yang berharga kepada peneliti

5. Bapak dan Ibu atau orang peneliti, dengan segala cinta kasihnya

6. Semua keluarga, dan semua rumah yang nyaman

Page 7: Memoar Fenomena Implementasi Hukum Di Indonesia Pada

vi

7. Semua teman-teman Universitas Negeri Semarang yang baik.

Khususnya; Like, Riko, Diana, Zakia, yang berkenan meminjamkan

buku untuk keperluan penelitian

8. Teman-teman UKM Universitas Negeri Semarang, teman-teman teater,

teman-teman Kolektif Hysteria, Semarang, teman-teman Kelas Puisi

regional Jateng dan DIY, teman-teman KITA Jateng, serta para

alumnus Pondok Pesantren Sirojuttholibin, Pekalongan, yang memberi

banyak hal

9. Semua tempat; kamar kos, Rumah Cakra, Redaksi BP2M, Ruang Baca

Abdussalam, Markas Hysteria, burjo, bioskop, stasiun, dalam kereta,

Yogyakarta, dan semua tempat yang memberi banyak imajinasi dan

inspirasi

10. Semua pihak terkait yang turut membantu

Peneliti menyadari bahwa dalam penulisan skripsi ini masih jauh dari kata

sempurna. Semoga skripsi ini bermanfaat bagi semua pihak yang membutuhkan,

khususnya untuk Prodi Sastra Indonesia yang mengambil penelitian sejenis. Terima

Kasih.

Semarang, 20 Juni 2020

Peneliti

Page 8: Memoar Fenomena Implementasi Hukum Di Indonesia Pada

vii

SARI

Istiqbalul Fitriya. 2020. Memoar Fenomena Implementasi Hukum di Indonesia

Pada Kumpulan Naskah Lakon Hakim Sarmin Presiden Kita Karya Agus Noor.

Skripsi. Jurusan Bahasa dan Sastra Indonesia, Fakultas Bahasa dan Seni.

Universitas Negeri Semarang. Mulyono, S.Pd., M.Hum.

Kata Kunci: memoar, implementasi hukum di Indonesia, intertekstual Julia

Kristeva

Hukum memiliki garis persinggungan dengan sastra. Aristoteles pernah

menulis Politics dan Ethics (1803) sebagai perpaduan dari unsur-unsur sastra dan

hukum. Lebih jauh, dalam kumpulan The Law As Literature yang disunting oleh

Empraim London (1960), terdapat pula pertalian antara karya sastra dengan hukum

yang berisikan tentang putusan hakim, hukuman mati, pleidoi, hingga kesaksian

dan pendapat hakim yang berbeda. Sastra, kemudian tak bisa menghindar untuk

terlibat, secara praktis maupun konkret dalam persoalan sosial, politik, juga hukum

dan memiliki fungsi untuk memenuhi kebutuhan saling mengingatkan atau

memorial.

Dewasa ini, Indonesia—jika boleh dikatakan—sedang mengalami krisis

hukum. Indikasi tersebut terlihat dalam beberapa kasus suap yang tidak

diselesaikan tuntas, atau keputusan hakim yang cenderung berat sebelah.

Permasalahan memorial fenomena hukum dan implementasinya dalam

pemerintahan di Indonesia terdapat dalam kumpulan naskah lakon Hakim Sarmin

Presiden Kita karya Agus Noor.

Tujuan penelitian ini adalah; mendeskripsikan fenomena pelaksanaan

hukum di Indonesia dan intertekstualitas dengan problematika hukum di Indonesia

yang tercermin dalam kumpulan naskah lakon Hakim Sarmin Presiden Kita Karya

Agus Noor.

Penelitian ini menggunakan metode penelitian deskriptif kualitatif.

Pendekatan yang digunakan dalam penelitian ini adalah intertekstual Julia Kristeva.

Teknik pengumpulan data yang digunakan adalah teknik kepustakaan. Tahapan

analisis data yang dilakukan yaitu membaca cermat keseluruhan kumpulan naskah

lakon karya Hakim Sarmin, mencari dan menemukan teks-teks ataupun variabel

variabel yang ada dengan fenomena implementasi hukum di Indonesia, mencari dan

menemukan “teks” yang berkaitan dalam teks-teks yang referensial dan berkaitan

dengan masalah penelitian, melakukan pemilihn data terhadap bagian-bagian teks

menggunakan teori intertekstual Julia Kristeva, mendeskripsikan dan memberi

tafsiran terhadap bagian-bagian teks yang telah diklasifikasikan secara rasional

dengan teori yang digunakan, melakukan pemilihan data yang benar-benar

menunjang pebelitian mengaanalisis data,menyimpulkan hasil penelitian secara

keseluruhan sehingga menjadi hasil yang bersifat umum dan dapat menjadi rujukan

bagi penelitian lainnya.

Hasil dari penelitian ini adalah; terdapat cerminan fenomena pelaksanaan

hukum di Indonesia dan intertekstualitas dengan problematika hukum di Indonesia,

Page 9: Memoar Fenomena Implementasi Hukum Di Indonesia Pada

viii

diantaranya; (1) Penyelewengan praktik demokrasi, (2) Praktrik hegemoni kuasa,

(3) Praktik korupsi, kolusi, dan nepotisme (KKN), (4) Representasi persoalan

bangsa, dan (5) Representasi kasus hukum dan pemerintahan yang pernah terjadi

di Indonesia.

Saran dari hasil penelitian ini adalah (1) Penelitian ini diharapkan dapat

menjadi acuan untuk penelitian lanjutan, terutama yang berhubungan dengan

fenomena hukum dan, khususnya pada naskah lakon. (2) Saran saya, ketimpangan

hukum, bukan sekadar deretan data angka hasil riset yang ditayangkan media. Ada

nasib kita semua, menuju negara hukum yang lebih baik. Jadi, terus bergerak!

Page 10: Memoar Fenomena Implementasi Hukum Di Indonesia Pada

ix

DAFTAR ISI

PERSETUJUAN PEMBIMBING ........................................................................... 1

PERNYATAAN ..................................................................................................... iii

MOTO DAN PERSEMBAHAN ........................................................................... iv

PRAKATA .............................................................................................................. v

SARI ...................................................................................................................... vii

DAFTAR ISI .......................................................................................................... ix

DAFTAR BAGAN ............................................................................................... xii

DAFTAR GAMBAR ............................................................................................ xii

BAB I ...................................................................................................................... 1

PENDAHULUAN .................................................................................................. 1

1. 1 Latar Belakang Masalah ........................................................................... 1

1.2 Identifikasi Masalah ................................................................................ 13

1.3 Batasan Masalah ..................................................................................... 14

1.4 Rumusan Masalah ................................................................................... 15

1.5 Tujuan Penelitian .................................................................................... 15

1.6 Manfaat Penelitian .................................................................................. 15

1. 6. 1 Manfaat Teoritis ................................................................................. 15

1.6.2 Manfaat Praktis .................................................................................. 16

BAB II ................................................................................................................... 17

KAJIAN PUSTAKA, LANDASAN TEORI, ....................................................... 17

DAN KERANGKA BERPIKIR ........................................................................... 17

2.1 Kajian Pusta.ka ....................................................................................... 17

2.2 Landasan Teori........................................................................................ 35

2.2.1 Teater, Drama, dan Lakon Beserta Strukturnya ................................ 36

Drama ......................................................................................................... 36

Teater.......................................................................................................... 37

Lakon.......................................................................................................... 38

2.2.2 Struktur Naskah Drama dan Naskah Lakon ....................................... 41

2.2.3 Teori Intertektualitas Julia Kristeva ................................................... 43

Page 11: Memoar Fenomena Implementasi Hukum Di Indonesia Pada

x

2.2.4 Intertekstual Julia Kristeva Pada Analisis Naskah Drama ................ 51

2.2.5 Hubungan Karya Sastra dengan Hukum ............................................ 53

2.3 Kerangka Berpikir ................................................................................... 54

BAB III ................................................................................................................. 57

METOOLOGI PENELITIAN ............................................................................... 57

3.1 Pendekatan Penelitian ............................................................................. 57

3.2 Data dan Sumber Data ............................................................................ 58

3.3 Metode Dan Teknik Pengumpulan Data ................................................. 60

3.4 Teknik Analisis Data............................................................................... 61

3.5 Metode Penyajian Hasil Analisis Data ................................................... 62

BAB IV ................................................................................................................. 64

Memoar Fenomena Implementasi Hukum Di Indonesia ...................................... 64

Pada Kumpulan Naskah Lakon Hakim Sarmin Presiden Kita ............................. 64

Karya Agus Noor .................................................................................................. 64

4.1 Struktur Dominan Kumpulan Naskah Lakon Hakim Sarmin Presiden

Kita karya Agus Noor ............................................................................. 65

4.1.1 Tokoh dan Penokohan ........................................................................ 65

4.1.2 Alur Penceritaan ................................................................................. 87

4.2 Memoar Fenomena Implementasi Hukum di Indonesia Pada Kumpulan

Naskah Lakon Hakim Sarmin Presiden Kita Karya Agus Noor............ 90

4.2.1 Penyelewengan Praktik Demokrasi .................................................... 91

4.2.2 Praktik Hegemoni Kuasa .................................................................... 97

4.2.3 Praktik Korupsi, Kolusi, Dan Nepotisme (KKN) ............................ 106

4.2.4 Representasi Persoalan Bangsa ........................................................ 111

4.2.5 Representasi Kasus Hukum dan Pemerintahan Yang Pernah Terjadi di

Indonesia .......................................................................................... 121

BAB V ................................................................................................................. 129

PENUTUP ........................................................................................................... 129

5. 1 SIMPULAN .......................................................................................... 129

5.2 SARAN ................................................................................................. 130

DAFTAR PUSTAKA ......................................................................................... 131

Page 12: Memoar Fenomena Implementasi Hukum Di Indonesia Pada

xi

LAMPIRAN ........................................................................................................ 137

Page 13: Memoar Fenomena Implementasi Hukum Di Indonesia Pada

xii

DAFTAR BAGAN

Bagan 1. (Pengertian Intertekstualitas menurut Julia Kristeva) ............................ 45

Bagan 2. (Kerangka Berpikir Penelitian) .............................................................. 56

Bagan 3................................................................................................................ 109

DAFTAR GAMBAR

Gambar 1 ( Perbedaan Drama, Transkip, Teater dan Peristiwa ).......................... 39

Gambar 2. (Sumber: Tirto.id)................................................................................ 96

Page 14: Memoar Fenomena Implementasi Hukum Di Indonesia Pada

1

BAB I

PENDAHULUAN

1. 1 Latar Belakang Masalah

Hukum merupakan salah satu perangkat kerja sosial. Dalam sistem

sosial yang modern dan tersruktur dengan baik, terdapat tatanan hukum,

norma-norma, yang diciptakan dengan sengaja untuk menegakkan suatu

ketertiban jenis tertentu dan kontrol sosial dalam masyarakat. Theo Huijbers

(dalam Suryadi, 2010) berpendapat bahwa, hukum tidak hanya

memperhatikan hubungan dari aspek ketertibannya saja, akan tetapi hukum

harus mampu menentukan ukuran-ukuran atau parameter-parameter tertentu

yang dalam ilmu hukum sering disebut dengan nilai keadilan, bahkan hukum

harus digabungkan dengan keadilan supaya hukum sungguh-sungguh

mempunyai makna sebagai hukum.

Sementara itu, dalam Pasal 1 Ayat (3) UUD 1945 menyebutkan,

“Indonesia adalah negara hukum berbangsa dan bernegara berada dalam

aturan-aturan”. Artinya, kehidupan Negara di Indonesia, siapapun warga

negara, baik memiliki kedudukan, jabatan, otoritas atau tidak, pejabat

maupun rakyat, presiden maupun buruh wajib tunduk dan patuh pada hukum.

Hal ini menunjukkan bahwa kehidupan kenegaraan didasarkan pada aturan-

aturan hukum, baik secara tertulis maupun tidak.

Page 15: Memoar Fenomena Implementasi Hukum Di Indonesia Pada

2

Suatu negara disebut sebagai negara hukum yang demokratis bila

memiliki kekuasaan kehakiman yang tidak saja independen, tetapi juga

akuntabel, bersih, dan berwibawa. Gambaran ideal kekuasaan kehakiman

tersebut, akan menciptakan peradilan yang bersih dan berwibawa, serta

merupakan pendukung tegaknya negara hukum (Komisi Yudisial Republik

Indonesia, 2014).

Dewasa ini, Indonesia—jika boleh dikatakan—sedang mengalami

krisis hukum. Indikasi tersebut terlihat dalam beberapa kasus suap yang tidak

diselesaikan tuntas, atau keputusan hakim yang cenderung berat sebelah.

Tentu, kita masih ingat dengan kasus pengadilan nenek tua yang terpaksa

mencuri singkong dan dituntut 2,5 tahun penjara (Republika, edisi 29

Desember 2013), sedangkan koruptor sekelas Gayus Tambunan, tetap bisa

jalan-jalan hingga ke Bali (Republika, edisi 09 November 2010), yang sempat

menjadi perbincangan publik. Kemudian, penyelesaian kasus pelanggaran

HAM pada Novel Baswedan yang memiliki daftar panjang (Tirto.id, edisi 7

Februari 2020). Dalam podcast asumsi.co edisi 30 Desember 2019, tercatat

sekurang-kurangnya ada 12 kasus ataupun isu isu hukum dalam kaleidoskop

dalam kurun satu tahun yang masih menjadi perbincangan.

Menurut World Justice Projrcet, (Dalam Harian Kompas, edisi 18

November 2019) pada kajian yang dilakukan sejak tahun 2014 hingga

November 2019, tetapi minus 2015, Skor Indeks Negara Hukum di Indonesia

cenderung pada posisi yang sama yaitu peringkat 62 dari 126 negara yang

dikaji. Pada variabel ketiadaan korupsi yang dirilis WJP juga masih sama

Page 16: Memoar Fenomena Implementasi Hukum Di Indonesia Pada

3

yaitu mandeg di skor 0,38 (peringkat ke-97 dari 126 negara). Stagnasi juga

terjadi pada indeks lainnya, seperti indeks Resiko Penyuapan yang dirilis oleh

TRACE Internasional dengan peringkat ke-90 dari 200 negara.

Sementara menurut Indonesia Legal Roundtable, yang dirilis di

databoks.katadata.co.id edisi Januari 2020, dalam rentang lima tahun, Indeks

Negara Hukum Indonesia (INHI) mengalami fluktuasi, tapi cenderung

meningkat. Pada 2014, INHI masih berada di titik 5,18 poin. Titik tertinggi

pada 2017 dengan 5,85 poin dari maksimal 10 poin. Keseluruhan INHI dalam

lima tahun masuk dalam kategori cukup baik. INHI pada 2018 menurun

dibanding tahun sebelumnya. Unsur yang menurunkan indeks tersebut adalah

ketaatan pemerintah terhadap hukum dan akses terhadap keadilan. Keduanya

mengalami penurunan masing-masing 0,11 poin dan 0,02 poin. Hal ini, dapat

dikonklusikan bahwa terdapat ketidakstabilan penegak hukum di Indonesia,

baik di kancah nasional, aplagi internasional.

Hukum memiliki garis persinggungan dengan sastra. Aristoteles

pernah menulis Politics dan Ethics (1803) sebagai perpaduan dari unsur-

unsur sastra dan hukum. Lebih jauh, dalam kumpulan The Law As Literature

yang disunting oleh Ephraim London (1960), terdapat pula pertalian antara

karya sastra dengan hukum yang berisikan tentang putusan hakim, hukuman

mati, pleidoi, hingga kesaksian dan pendapat hakim yang berbeda. Plato

menjelaskan, dalam karyanya yang berjudul Republic and Apology

(dipublikasikan oleh Benediction Classics, 2015) juga menjelaskan perihal

demokrasi dan keadilan secara estetis dan dalam banyak hal cukup legalitis.

Page 17: Memoar Fenomena Implementasi Hukum Di Indonesia Pada

4

Kemudian, dalam pidato kebudayaan panjangnya Sir Norman

Birket, seorang kawakan pada Bench dan Asosiasi Pengacara Inggris, pada

acara Asosiasi Pengacara Amerika dan Kanada, 1938 yangberjudul Law

and Literature (diterjemahkan oleh Iwan Nurdaya; 1992) dijelaskan bahwa

sastra memiliki daya tarik menarik dengan hukum. Pengalaman membaca

karya sastra memang tidak memberikan rumus-rumus berharga yang

intelek, atau pasal-pasal yang rumit, tetapi lebih menyarankan berbagai

kemungkinan sosial, psikologis, dan moral. Pengalaman membaca karya

sastra juga mendorong kemampuan berpikir untuk merenung, membawa

pikiran berbagai macam situasi, oleh pengalaman-pengalaman imajinatif,

sehingga mampu memberikan putusan-putusan hakim, membentuk sikap

yang umum dan adil terhadap kehidupan.

Sifat dulce et utile dalam karya sastra, (Aristoteles, dalam Renne

Wellek Austin Werren, 2016) mampu membidani lahirnya pakar-pakar

hukum yang tidak berdimensi tunggal.

Dengan bermedium bahasa, sastra menjadi karya seni yang dekat

dengan kehidupan manusia. Disadari ataupun tidak, manusia berhubungan

dengan beragam bentuk kehidupannya melalui bahasa—beribadah,

mencintai, bersosial, menulis hukum dan aturan-aturan, berpolitik, mengatur

pemerintahan, bahkan pembentukan perasaan pun disesuaikan dengan

bahasa.

Renne Wellek dan Austin Warren berpendapat (2016), bahwa sastra

merupakan replika dari kehidupan nyata. Segala hal yang menyakitkan, aneh,

Page 18: Memoar Fenomena Implementasi Hukum Di Indonesia Pada

5

dan ajaib dalam dunia nyata, dapat menjadi sesuatu hal yang pantas

direnungkan dan menjadi pembelajaran dalam sastra. Melalui karya sastra,

kita bisa mengulik kembali memoar atau ingatan-ingatan lama tentang

peristiwa-peristiwa termasuk fenomena hukum di masa lalu. Dari usaha ini,

akan terbaca letak patahan, sehingga dapat menjadi bahan pembelajaran

untuk diperbaiki di masa yang akan datang. Implementasinya, barangkali

dapat menjadi referensi tersendiri.

Pada praktiknya, karya sastra memang bekerja dengan memori.

Dalam Aliran Hegel dan Taire, sastra dianggap dokumen yang merupakan

monumen yang mengandung memori-memori. Oleh karenanya, kebesaran

sejarah dan sosial disamakan dengan kehebatan artistik. Seniman—juga

sastrawan—dianggap menyampaikan kebenaran sekaligus kebenaran dan

sosial. (Hegel dan Taire, dalam Renne Wellek Austin Warren, 2016).

Menurut Ensiklopedia Indonesia, memoar merupakan kenang-

kenangan sejarah atau catatan masa lampau menyerupai autobiografi, yang

ditulis menekankan pendapat, kesan, dan tanggapan pencerita atas peristiwa

yang dialami dan tentang tokoh yang berhubungan dengannya. (Ensiklopedi

Indonesia, 1997)

Memoar dekat dengan sejarah. Seperti yang telah diketahui, sejarah

erat dengan kekuasaan. Ada sejarah yang disembunyikan, sengaja dibesar-

besarkan, atau di-framming dengan biasa-biasa saja. Dengan demikian, sastra

dapat menjadi alternatif lain untuk menjelaskan memori-mermori di masa

lalu yang tidak terbaca. Seno Gumira Adjidarma menjelaskan—dalam

Page 19: Memoar Fenomena Implementasi Hukum Di Indonesia Pada

6

Trilogi Insiden (2010)—, kebenaran dalam sastra adalah sebuah perlawanan

historisme, sejarah yang diciptakan bagi pembenaran kekuasaan.

Sastra, kemudian tak bisa menghindar untuk terlibat, secara praktis

maupun konkret dalam persoalan sosial, politik, juga hukum—apabila politik

kekuasaan menjadi semakin tidak manusiawi—dan tentu memiliki fungsi

untuk memenuhi kebutuhan saling mengingatkan.

Salah satu cabang sastra adalah drama—atau ketika sudah

dipentaskan menjadi sebuah pertunjukan, merupakan teater. Knight (1957:

140-145) menyatakan bahwa ada keterkaitan antara drama dan teater dengan

kehidupan sosial. Ada keterkaitan antara drama dengan keyakinan, hukum

dan sifat sosial. Hal ini senada dengan Peter Wilson (2017). Dalam

penelitiannya yang dimuat di Journal Of Asian Studies, Wilson mengatakan

bahwa drama dan teater, secara konsisten sangat penting dalam institusi

politik yang berkaitan dengan demokrasi dan hukum.

Perlu diketahui, bahwa teater serius dan tak serius, sesungguhnya

merupakan bagian integral dari kehidupan sosial. Pentingnya tindakan sosial

dalam naskah lakon akan memperkaya kekuatan simbolik dan wacana puitik.

Oleh karenanya, menurut Burn (1973), bahasa dalam naskah lakon sering

berbeda dengan percakapan sehari-hari. Dengan demikian, perlu adanya

pancaran teks lain untuk memahaminya. (Elisabets dan Tom Burn, 1973

dalam Endaswara, 2014).

Jualia Kristeva (1960) menyebutnya sebagai teori intertekstual.

Dengan menekankan pada signifying system yang sangat berpengaruh pada

Page 20: Memoar Fenomena Implementasi Hukum Di Indonesia Pada

7

sistem penanda sebelumnya, karya sastra bukanlah hasil dari penulis tunggal,

melainkan hubungan “teks” lain yang membentuk struktur bahasa itu sendiri.

(Julia Kristeva, dalam Desire in Language: A Semiotic Approach to

Literature and Art, 1980).

Kristeva juga beranggapan bahwa teks adalah praktik dan

produktivitas. Oleh karena itu posisi intertekstualnya melambangkan

konfigurasi kata dan ucapan yang sudah ada sehingga membuat teks

“bersuara ganda.” Teks adalah produktivitas dalam hubungannya dengan

bahasa di mana ia redistributif (destructiveconstructive) dan akibatnya dapat

didekati dengan menggunakan kategori-kategori logis selain dari yang murni

linguistik; ini adalah permutasi teks, suatu intertekstualitas: dalam ruang teks,

banyak “teks” yang diambil dari teks lain bersilangan satu sama lain dan

menetralkan satu sama lain .

Teks merupakan persimpangan tekstualitas mensyaratkan

pengarang. Berbagai karakter hadir dalam karya sastra dan beragam cara

bicara yang diposisikan dalam periode tertentu secara artistik untuk

menjadikannya keseluruhan naratif. Seorang novelis, juga seorang penulis,

dengan demikian, melakukan dua peran oposisi, peran naratif dan peran

tekstual. Dua lipatan dinamika kreatif seorang penulis dapat dipahami

sebagai pola kerja atau struktur yang mendefinisikan makna tekstual yang

melibatkan kata dan tanda, elemen-elemen yang memiliki likuiditas

bergantung pada interkoneksi dengan elemen-elemen fungsional lainnya

dalam teks. Teks juga mewujudkan "agensi kegiatan penandaan" melalui

Page 21: Memoar Fenomena Implementasi Hukum Di Indonesia Pada

8

metafora sebagai "alat translinguistik" hanya untuk merealokasi tanda

linguistik yang berkaitan dengan artikulasi anterior dan sinkronis dan

menjadikan teks sebagai produktivitas terbuka .

Teori Intertekstual, berusaha untuk melihat intertekstualitas sebagai

transposisi-transposisi dari satu skema tanda ke yang lain serta merinci

bahwa peralihan dari satu sistem penandaan ke sistem penandaan lain

menuntut artikulasi etik baru — posisi -posisi yang dilambangkan dan

denotatif.

Menurut Marco De Marinis (1993), naskah lakon atau naskah drama

yang diposisikan menjadi objek materi analisis dapat disebut sebagai “teks”.

Tidak ada sebuah teks pun yang sungguh-sungguh mandiri, dalam arti bahwa

penciptaan dan pembacaannya tidak dapat dilakukan tanpa adanya teks lain.

Sehingga, De Marinis, menyatakan bahwa teks bersifat plural. Setiap teks

adalah suatu interteks. Teks yang lain hadir di dalamnya melalui beragam

tingkatan dengan bentuk lain, seperti teks budaya sebelumnya, atau teks di

sekitar budaya tersebut, bahkan sesudahnya. Teks dibaca dan harus dibaca

dengan latar belakang teks lain. Pada kesamaan dan pengaruh dari kutipan

acuan yang tidak disengaja antar teks estetis terjadi karena adanya budaya,

sosial dan politik sinkronis yang sama.

Hal ini diperkuat dengan teori wacana (temasuk wacana sastra,

dalam hal ini naskah lakon) seperti yang dikemukakan oleh Foucoult (1984)

tidak memandang wacana sebagai sesuatu yang bersifat otonom. Dalam

konteks ini, karya sastra tidak lain adalah produk dari aktivitas diskursif yang

Page 22: Memoar Fenomena Implementasi Hukum Di Indonesia Pada

9

sangat luas. Selanjutnya, hal ini dapat dianalisis secara terpisah dari

persoalan-persoalan lain. Wacana sendiri, dipandang sebagai kesatuan yang

terstruktur dari berbagai unsur yang penting.

Fakta lain menurut Derrida adalah, bahasa itu suatu proses temporal.

Dalam setiap tanda, terdapat jejak-jejak dari kata-kata yang lain yang

dieksekusikan oleh tanda itu agar ia dapat menjadi dirinya. Kata-kata

mengandung jejak dari kata yang sudah berlalu dari yang sebelumnya. (dalam

Faruk, 2014). Dengan demikian, menurut Kristeva, ada indentitas antara

tanda maupun kode bahasa “resmi” yang dipresentasikan menentang pejabat

dan hukum dalam karya sastra. (Kristeva, 1980)

Atas dasar hal tersebut, Kajian Intertekstual drama pun perlu

menukik seberapa jauh, teater dan drama dapat menjadi refleksi dari

kehidupan sosial politik melalui memori-memori yang terkandung dalam

karya sastra.

Karya sastra dengan kehidupan nyata adalah dua hal yang saling

berkaitan. Banyak pengarang, mengaplikasikan fenomena pada kehidupan

nyata pada karya sastra dengan berbagai bentuk, pandangan, serta

representasi. Salah satu pengarang yang suka mengaplikasikan hal tersebut

adalah Agus Noor.

Dewasa ini, Agus Noor dikenal sebagai pengarang yang sering

mengangkat tema permasalahan sosial politik dalam karya-karyanya. Cerita-

cerita yang diangkat pun, dikemas dalam bentuk berbagai macam model.

Page 23: Memoar Fenomena Implementasi Hukum Di Indonesia Pada

10

Mulai dari cerpen, hingga naskah drama. Selain itu, hampir dari seluruh

karyanya penuh dengan satir.

Seperti halnya pada cerpen yang berjudul Lelucon Para Koruptor,

cerpen yang menceritakan tokoh Otok, napi koruptor yang gelisah karena

tidak bisa membuat lelucon rutinan di dalam sel, kemudian cerpen Bapak

Presiden yang Terhormat, yang menceritakan tentang usaha Peang (yang

hanya seorang anakkecil dari golongan rakyat biasa) untuk bertemu presiden,

dan memprotes semua kebijakan yang dibuat pemerintah, terutama proyek

penggusuran yang menggusur rumah kecilnya. Kemudian pada cerpen Hakim

Sarmin yang menceritakan proses pengadilan pembunuhan berencana,

korban pemerkosaan.

Selain itu, banyak karya Agus Noor yang menyuguhkan realitas

sosial dalam fiksi yang seolah-olah nyata. Dengan cara yang sama, Agus

Noor membuat dan membangun tokoh dari berbagai sisi, seakan dengan

begitu, dunia fiksi yang dibuat oleh Agus Noor adalah masyarakat yang

penuh dengan tipu muslihat, masyarakt yang tersakiti, masyarakat yang tidak

percaya dengan pemerintah, juga masyarakat yang termarginalkan.

Apabila kita simak lebih seksama, beberapa penokohan dibuat

dengan latar belakang yang jelas, serta identitas yang sangat jelas, yang pada

kesemua itu dapat menjadi simbol-simbol, dan interteks yang mewakili latar

belakang pengarang.

Pada cerpen Pesan Seorang Pembunuh misalnya, kita disuguhkan

terror dingin yang dilakukan oleh seorang pembunuh bayaran. Peristiwa-

Page 24: Memoar Fenomena Implementasi Hukum Di Indonesia Pada

11

peristiwa dan ancaman pembunuhan dipaparkan begitu saja, seolah telah

menjadi hal lumrah. Kemudian dlam cerpen Musuh, tergambar peristiwa yang

jamak terjadi berkaitan dengan rencana pembangunan atau skenario politik

yang mengorbankan rakyat biasa. Hal yang sama juga muncul dalam cerpen

Cerpen “Bapak Termangu di Beranda” secara berhasil menggambarkan

keadaan psikologi korban paska peristiwa 1965.

Begitu pun dalam kumpulan naskah dramanya, salah satunya pada

naskah Hakim Sarmin serta pada naskah Presiden Kita Tercinta yang

terhimpun dalam satu antologi. Dalam kumpulan naskah lakon Hakim Sarmin

Presiden Kita karya Agus Noor, menjadi objek yang menarik dalam perspektif

Intertekstualitas. Bahasanya yang komikal namun mengandung banyak satir

dengan penyuguhan humoris membuat banyak macam “kode” yang berkenaan

dengan fenemona hukum di pemerintahan.

Hal terpenting yang akan dikaji dalam karya sastra ini adalah memorial

fenomena hukum dan implementasinya dalam pemerintahan di Indonesia,

seperti realitas kehidupan bernegara, ketimpangan jalannya sistem peradilan,

persekongkolan hukum dan kekuasaan, kasus hakim yang disuap, intrik-intrik

politik untuk mendapartkan kekuasaan, dan lain-lain. Naskah kumpulan lakon

Hakim Sarmin Presiden Kita dapat menjadi “mesin pengingat” perihal isu-isu

yang terjadi di pemerintahan, disesuaikan dengan konteks sosial dan kasus-

kasus pada fenomena hukum di Indonesia. Dalam kumpulan naskah lakon ini,

Agus Noor mengangkat tema yang merupakan wujud dari realitas kehidupan

Page 25: Memoar Fenomena Implementasi Hukum Di Indonesia Pada

12

yang ada dalam suatu masyarakat, yakni ingatan-ingatan tentang fenomena

hukum di pemerintahan.

Penulisan skripsi ini mengambil kumpulan naskah lakon Hakim Sarmin

Presiden Kita karya Agus Noor sebagai objek penelitian dengan alasan, peneliti

ingin mengetahui ingatan yang menjadi sejarah fenomena hukum serta

impelementasi di pemerintah Indonesia, lewat tokoh-tokoh dan peristiwa-

peristiwa yang tersirat didalamnya, dimana peristiwa-peristiwa itu terjadi,

bagaimana watak tokoh-tokoh itu yang merepresentasikan konteks hukum dan

politik di Indonesia.

Kumpulan naskah lakon Hakim Sarmin Presiden Kita, memuat dua

naskah. Dilihat dari pemilihan judulnya saja, Agus Noor seperti ingin kembali

mengingatkan perihal kuasa hakim juga presiden serta permasalahan hukum

dan politik yang melingkupinya. Lewat jalinan tokoh dan penokohannya beserta

dialog-dialog dalam kumpulan naskah lakon tersebut, Agus Noor dapat

menggambarkan permasalahan kasus hukum serta politik di pemerintahan,

khususnya pemerintahan Indonesia.

Selain itu, pemilihan nama-nama tokoh yang unik dalam kumpulan

naskah lakon ini, seperti memiliki ciri khas tersendiri dengan penggunaan

bahasa jawa setiap tokoh. Seperti halnya terlihat dalam naskah lakon Hakim

Sarmin, terdapat nama-nama Dokter Menawi Diparani, Mangkane Laliyan,

sebagai pemimpin kota, Bung Kusana Kabotan, sebagai politikus muda,

Paringan Paringin-angin, sebagai aktivis hukum muda dan pengacara, Kunjaran

Page 26: Memoar Fenomena Implementasi Hukum Di Indonesia Pada

13

Manuke sebagai komandan keamanan, serta nama-nama hakim yang unik

lainnya.

Beberapa kiasan-kiasan juga dapat dipresentasikan sebagai sebuah

peristiwa di suatu masa. Seperti halnya istilah “Apel Wasington”, dan juga

“Janur Kuning” yang dapat menjadi refleksi permasalahan hukum yang pernah

ada.

Sementara itu, dalam naskah lakon Presiden Kita Tercinta, terdapat pula

istlah istilah seperti “korban petrus” dan salah satu tokoh yang mengandalkan

koin keberuntungan, juga kata “konstitusi” yang sering ditekankan dalam

dialog-dialog antar tokoh.

1.2 Identifikasi Masalah

Berdasarkan latar belakang yang telah dijabarkan di atas, penelitian ini

akan membahas mengenai memoar fenoemena hukum dan implementasinya di

pemerintahan Indonesia dalam kumpulan naskah lakon Hakim Sarmin Presiden

Kita karya Agus Noor. Fenomena hukum yang dimaksud mencangkup realitas

kehidupan bernegara, ketimpangan jalannya sistem peradilan, persekongkolan

hukum dan kekuasaan, kasus hakim yang disuap, serta intrik-intrik untuk

mendapatkan kekuasaan yang menjadi satu pembahasan. Kumpulan naskah

Hakim Sarmin Presiden Kita terdiri dari dua naskah lakon, Hakim Sarmin, dan

Presiden Kita Tercinta. Naskah lakon Hakim Sarmin berlatar sebuah zaman

yang dilanda wabah kegilaan dan semua hakim memilih untuk masuk rumah

sakit jiwa. Pada saat itu, sulit membedakan antara kegilaan dan keadilan.

Page 27: Memoar Fenomena Implementasi Hukum Di Indonesia Pada

14

Sedangkan Presiden Kita Tercinta menceritakan intrik-intrik untuk menguasai

pemerintahan yang berakhir dengan kudeta, atau lebih tepatnya, penyelewengan

praktik demokrasi.

Dalam hal ini peneliti akan menggunakan metode analisis Intertekstual

Julia Kristeva yang kemudian dikaitkan dengan hubungan antar elemen “teks”.

Hubungan antar elemen “teks” ini memuat beberapa teks sosial, budaya, juga

peristiwa ataupun kaleidoskop isu-isu hukum .

1.3 Batasan Masalah

Pada penelitian ini kumpulan naskah lakon Hakim Sarmin Presiden

Kita dianalisis menggunakan teori Intertekstual Julia Kristeva. Intertekstual

merupakan sebuah kajian “teks” yang menyatakan bahwa teks bukanlah

objek individual yang terisolasi tetapi kompikasi teks budaya. Kristeva

menguraikan, terdapat kata sastra dalam hal sumbu horizontal dan vertikal.

Dalam dimensi horizontal, komunikasi terjadi antara penulis dan pembaca

dan dalam dimensi vertikal, teks berkomunikasi dengan corpus sastra

frontal dan sinkronis.

Pada penelitian kali ini, peneliti memberi batasan pada analisis

dimensi vertikal teks, yaitu berfokus pada teks yang berkomunikasi dengan

cospus sastra frontal dan sinkronis, sehingga dapat berkenaan dengan teks

budaya yang melatarbelakangi munculnya “teks”, yang juga sangat

berkaitan erat dengan situasi sosial—termasuk di dalamnya situasi politik,

Page 28: Memoar Fenomena Implementasi Hukum Di Indonesia Pada

15

hukum, psikologi. Teks tidak dapat dipisahkan dari tekstual budaya atau

pun sosial dari mereka dibangun.

1.4 Rumusan Masalah

Berdasarkan pembatasan masalah yang telah dijabarkan, maka masalah yang

akan dikaji dapat dirumuskan dalam pertanyaan berikut: Bagaimana fenomena

pelaksanaan hukum dan intertekstualitasnya dengan problematika hukum di

Indonesia yang tercermin dalam kumpulan naskah lakon Hakim Sarmin Presiden

Kita Karya Agus Noor?

1.5 Tujuan Penelitian

Berdasarkan rumusan masalah di atas, maka tujuan penelitiannya adalah;

mendeskripsikan fenomena pelaksanaan hukum di Indonesia dan intertekstualitas

dengan problematika hukum di Indonesia yang tercermin dalam kumpulan naskah

lakon Hakim Sarmin Presiden Kita Karya Agus Noor.

1.6 Manfaat Penelitian

Penelitian ini diharapkan memiliki manfaat teoritis dan manfaat praktis.

1. 6. 1 Manfaat Teoritis

Manfaat dari penelitian ini secara teoritis diharapkan dapat

memberikan kontribusi bagi khasanah penelitian sastra, khususnya model

telaah karya sastra dari presfektif hukum, juga memberikan kontribusi

Page 29: Memoar Fenomena Implementasi Hukum Di Indonesia Pada

16

terhadap studi analisis intertekstual Julia Kristeva dalam karya fiksi

kumpulan naskah lakon.

1.6.2 Manfaat Praktis

Diharapkan dapat menjadi perenungan tentang sisi kemanusian

dalam kehidupan hukum dan bernegara. Selain itu, Penelitian ini juga

bermanfaat untuk menguak informasi-informasi sebagai memori-memori

atau ingatan-ingatan dalam kumpulan naskah drama yang pantas kita

renungkan, tentunya dipengaruhi dengan aspek referensial di luar teks

(interteks) yang relevan.

Page 30: Memoar Fenomena Implementasi Hukum Di Indonesia Pada

17

BAB II

KAJIAN PUSTAKA, LANDASAN TEORI,

DAN KERANGKA BERPIKIR

2.1 Kajian Pustaka

Ada beberapa penelitian yang relevan yang telah dilakukan

sebelumnya. Penelitian yang relevan tersebut disusun oleh Peter Wilson

(2017), John Story (2003), Gary Minda (2019), Susan F. Appleton dan Susan

E. Striritz (2016), Maria A. Stefanelli (2019), Tatit Haryanti (2013), Birul

Sinari Adi (2016), D. Nasri (2017), Megi Tri Utami, I Wayan Wendra, I

Nyoman Yasa (2019), Charles L. Briggs (2015), Matsuha Sam dan Vijila

(2018), P. Prayer Elmo Raj (2015), serta Inas S. Nabilah (2019).

Penelitian yang disusun Peter Wilson (2017), berjudul A Potted

Political Hystory of Sicilian Theater. Penelitian ini mengkaji tentang

hubungan kehidupan negara dengan teater dengan objek kelompok teater di

Sicilian dalam buku Politics And Performance in Western Greece. Ia

beranggapan bahwa:

“..Theater was a considerably more important

primary political institution for Sicilian tyrans

than it was for Athenian democracy...”.

Page 31: Memoar Fenomena Implementasi Hukum Di Indonesia Pada

18

Ia menambahkan bahwa lebih dari empat puluh tahun penelitian yang

mengekpolrasi politik, ideologi, struktur dan ekonomi, teater dapat

menjadi alternatif dalam demokrasi di Athena.

Penelitian ini memiliki relevansi dengan penilitian yang akan

dilakukan, karena memiliki persamaan dalam kajiannya, yaitu teater

secara utuh—termasuk pada konsep naskah lakon, pementasan, hingga

pasca pementasan. Meskipun, penilitian ini berfokus pada ilmu politik

dan pemerintahan. Penelitian ini menggunakan teori Analisis Hystoris

yang berkaitan dengan pula dengan penelitian yang akan dilakukan, yaitu

mencoba membeberkan kembali ingatan-ingatan atau memori-memori

yang bersifat sejarah.

Kemudian, penelitian yang dilakukan oleh John Story di

Journal Of Asian Studies, yang berjudul The Articulation Of Memory

and Desaire: From Vietnam to The War in The Persian Gulf (2003).

Artikel yang mengambil objek film America’s War In Vietnam yang

membahas tentang konteks kultur dan kekuatan yang komplek pada

hubungan antara memori dan keinginan dalam sebuah karya. Film

tersebut kemudian dapat menjadi “kebenaran rezim” tentang perang dan

menjadi bagian dari “pengetahuan” yang khusus.

Relevansi penelitian ini dengan penelitian yang akan dilakukan

adalah metode teoritis penelitiannya yang sama, yaitu menggunakan

teori sosiologi sastra. Peristiwa sosial politik menjadi ruh utama dalam

Page 32: Memoar Fenomena Implementasi Hukum Di Indonesia Pada

19

membaca cerita yang disuguhkan dalam film. Fokus penelitian yang

dikaji adalah aktivitas politik yang dieksplorasi dari efektivitasnya.

Perbedaan penelitian John Story dengan penelitian yang akan dilakukan

adalah bentuk mediumnya. Penelitian ini mengkaji film dan

implementasinya, sedangkan penelitian yang akan dilakukan mengaji

pada kumpulan naskah lakon beserta implementasinya juga

representasinya.

Penelitian selanjutnya adalah penelitian yang dilakukan oleh

Gary Minda, dengan judul Law and Literature (2019). Penelitian ini

menjelaskan tentang studi sastra yang memiliki keterkaitan dengan ilmu

hukum. Klaim ini didasari oleh, bahwa studi sastra berguna untuk

mempelajari etika hukum, menawarkan pada cara membaca dan menulis,

dan berbicara yang melibatkan penafsiran serupa pada kehidupan

manusia.

Selain itu, sastra juga memiliki hermenutika hukum serta

sosiologi hukum. Sebagai ilmu interpretasi, sastra juga menjadi kegiatan

interpraktik sebagai bentuk yurisprudensi.

Dalam konsekuensi pragmatik, gaya dan paradigma digunakan

dalam hukum, serta sastra dapat mengaplikasikan gaya dari argumen

yang digunakan dalam hukum. Hukum dan sastra secara praktis dapat

memperluas dan mendiversifikasi studi yurisprudensi melalui kritik

sastra dalam analisis hukum.

Page 33: Memoar Fenomena Implementasi Hukum Di Indonesia Pada

20

Penelitian Minda, tentu memiliki relevansi dengan penelitian

yang akan dilakukan. Penelitian yang akan dilakukan merupakan

kumpulan naskah lakon, yang dalam analisis hukum memiliki hubungan

dengan kritik hukum yang ada di Indonesia.

Penelitian ini memberikan gambaran bahwa sastra memang

memiliki keterkaitan dan kesinambungan dengan hukum dan ilmu

hukum. Perbedaan penelitian ini dengan penelitian yang akan dilakukan

terletak pada objek penelitiannya. Penelitian yang dilakukan oleh Minda

menggunakan objek karya sastra dalam analisis hukum secara luas.

Sedangkan, penelitian yang akan dilakukan memiliki pengembangan

fokus pada objek kajian, berupa kumpulan naskah lakon Hakim Sarmin

Presiden Kita karya Agus Noor.

Penelitian selanjutnya adalah penilitian yang dilakukan oleh

Susan F. Appleton dan Susan E. Striritz, yang berjudul Going Wild : Law

and Literature and Sex (2016). Penelitian ini mengkesplorasi dari empat

karya fiksi kontemporer untuk studi seks yang “baik”. Penelitian ini

menggunakan metode langsung pada pengaruh siswa yang membaca

karya sastra. Seks, fokus trandsisipliner yang esensial, melintasi

kemanusiaan, hukum, politik, sosial dan lain-lain. Kemungkinan

transformatif yang dapat dilihat dalam karya fiksi yang dibaca oleh siswa

akan sedikit mengubah pemikiran atau mindset “seks” juga hukum yang

melingkupinya.

Page 34: Memoar Fenomena Implementasi Hukum Di Indonesia Pada

21

Penelitian ini relavan dengan penilitian yang akan dilaksanakan

karena membahas tentang pengaruh dan representasi karya pada

pemikiran hukum. Meskipun, hukum yang dimaksud bukanlah ilmu

hukum secara umum, namun hukum alam, atau hukum yang diartikan

secara tradisional dalam masyrakat yang berkenaan dengan aturan-

aturan tentang seks dan hal-hal lain yang melingkupinya. Perbedaan

penelitian ini dengan penelitian yang akan dilakukan terletak pada

metode dan teori yang digunakan. Metode penelitian yang digunakan

pada penelitian ini lebih menekankan pada metode tringulasi:

wawancara, observasi, dan riset dari empat fiksi kontemporer.

Penelitian sebelumnya yang lain yang relevan dengan penelitian

yang akan dilakukan adalah penelitian yang dilakukan oleh Maria A.

Stefanelli, yang berjudul Human Into Birds: Italian Interpretation of

Gender In Canadian Theatre (2019). Penelitian ini bertujuan untuk

menunjukan bagaimana sebuah drama yang berfokus pada retorika dapat

menjadi alat untuk mengkritik realitas ketidakadilan gender terutama

dalam “perang” hari ini.

Dengan pendekatan drama adaptasis kontemporer dari naskah

lakon Metamoposhes Karya Erin Shield, yang terdiri dari kombinasi alat

filologis, linguistik, dan wacana kritis untuk menentukan fungsi bahasa

dan untuk menginterpretasi antar dan infra tekstualitas.

Page 35: Memoar Fenomena Implementasi Hukum Di Indonesia Pada

22

Penelitian ini memiliki relevansi dengan penelitian yang akan

dilakukan karena menggunakan metode dan teori yang sama, serta objek

penelitian yang sama, yaitu naskah drama adaptasis kontemporer dari

naskah lakon. Perbedaan penelitian Stefanelli dengan penelitian yang

akan dilakukan adalah terlihat pada teori yang digunakan. Jika, penelitian

Stefanelli menggunakan teori analisis tekstual pertunjukan, dan

berpendapat bahwa kesetaraan gender harus ada dalam hubungan

manusia, penelitian yang akan dilakukan menggunakan teori

intertekstualitas Julia Kristeva.

Kemudian, penelitian yang dilakukan oleh Tatit Haryanti, yang

berjudul The Contribution Of Literature To The Humanization Of Law

In Indonesia (2013). Penelitian ini membahas tentang kontibusi sastra

dalam pemahaman dan pembentukan teks hukum yang lebih humanistik

di tata aturan hukum Indonesia. Dengan metode heruistik, karya sastra

kemudian dapat menjadi sumber pembelajaran dan pemahaman hukum

di Indonesia, dan teori sastra dapat diterapkan dalam pembuatan teks

hukum, pledoi-pledoi serta pemahamannya yang lebih manusiawi.

Dengan membaca karya sastra, pembuat hukum dapat mengerti

tentang keberadaan dan implementasi hukum beserta respon masyarakat

pada aspek-aspek hukum tertentu di kehidupan sehari-hari. Membaca

karya sastra yang bernuansa dengan hukum dari periode yang berbeda

akan membantu melacak sejarah hukum. Di atas segalanya, karya-karya

Page 36: Memoar Fenomena Implementasi Hukum Di Indonesia Pada

23

sastra regional maupun internasional dapat memberikan inspirasi untuk

memperbaiki hukum yang dianggap tidak berlaku dan tidak berguna

dalam masyarakat.

Teks hukum adalah karya sastra, untuk menjadi humanistik,

teks-teks hukum perlu mencerminkan karakter humanistiknya dengan

mempertimbangkan dinamika dalam masyarakat sebagai objek. Subjek

teks hukum terletak di masyarakat, sebagai ekspresi realitas, yang dapat

direvisi, diperbaiki atau diubah total.

Relevensi penelitian ini dengan penelitian yang akan dilakukan

adalah sama-sama mencoba menghubungkan antara karya sastra dengan

fenomena hukum di Indonesia. Hanya saja, penelitian ini menggunakan

objek teks hukum secara umum dan mencoba menganilisis kontribusi

karya sastra pada teks hukum tersebut. Sementara itu, penelitian yang

akan dilakukan menggunakan objek kumpulan naskah lakon dan

menganalisis fenomena hukum di dalam karya sastra berserta

intertekstualitasnya.

Kemudian penelitian yang dilakukan oleh Birul Sinari Adi, yang

berjudul Absurditas Dalam Drama Les Mouches Karya Jean Paul Sarte

Sebuah Pendekatan Semiotik (2016). Penelitian ini membahas tentang

eksistensi Jean Paul Sarte, pasca perang dunia ke II. Dengan pendekatan

semiotik, namun tanpa mengabaikan kenyataan bahwa karya sastra juga

merupakan satu sistem yang mandiri.

Page 37: Memoar Fenomena Implementasi Hukum Di Indonesia Pada

24

Penelitian ini menggunakan data utama yang diambil dari teks

pokok yang dibahas, yaitu naskah drama Les Mouches, yang lantas

dipahami sebagai struktur makna. Dengan membeberkan kembali

fenomena sosial masyarakat dan kebudayaan sebagai tanda-tanda,

sehingga menarik dan kompleks, karena sastra sendiri merupakan

eksplorasi dan perenungan terus menerus tentang pemberian makna

dengan segala bentuknya, penafsiran pengalaman.

Hasilnya, naskah drama Les Mouches merupakan gambaran dari

persoalan kehidupan manusia itu sendiri yang utuh dengan

kemungkinan-kemungkinan. Pada teks- teks, Les Mouches merupakan

struktur yang hubungan unsur-unsurnya membentuk suatu pemaknaan

dalam fungsi sebagai gejala kemasyarakatan dan merupakan suatu tindak

komunikasi budaya.

Relevansi penelitian ini dengan penelitian yang akan dilakukan

adalah metode dan objek yang digunakan sama, meskipun objek naskah

lakonnya berbeda. Hal yang berbeda, fokus penelitian ini merupakan

tataran makna dengan teori semiotika.

Penelitian selanjutnya adalah penilitian yang dilakukan oleh D.

Nasri, yang berjudul Opisisi Teks Anak dan Kemenakan Karya Marah

Rusli : Kajian Intertekstual Julia Kristeva(2016). Penelitian ini

membahas tentang teks Anak dan Kemenakan karya Marah Rusli dalam

konsep oposisi Julia Kristeva. Oposisi adalah sesuatu yang tidak dapat

Page 38: Memoar Fenomena Implementasi Hukum Di Indonesia Pada

25

tukar-menukar dan mutlak di antara dua kelompok yang kompetitif tidak

pernah rukun, tidak pernah saling melengkapi, dan tidak pernah bisa

didamaikan dalam relasinya pada teori intertekstualitas.

Tujuan dari penelitian ini yaitu untuk melihat oposisi teks Anak

dan Kemenakan. Metode analisis data yang digunakan dalam penelitian

ini adalah metode analisis suprasegmental dan intertekstual.

Dari analisis yang dilakukan, oposisi teks Anak dan Kemenakan

terlihat pada aspek pendidikan, perkawinan, kelas sosial, dan peran

mamak dan ayah dalam kekerabatan matrilineal Minangkabau. Kesemua

aspek tersebut beroposisi dalam ranah pemikiran, sikap, dan tingkah laku

di antara kaum tua dan muda. Hal ini menggambarkan bahwa masyarakat

Minangkabau ketika itu mulai dimasuki pembaruan yang ditandai

dengan munculnya lembaga pendidikan. Sementara itu, kebaruan

tersebut belum sepenuhnya dapat diterima oleh masyarakatnya. Oleh

karena itu, pertentangan antara kaum tua dan muda tidak bisa dicegah.

Relevensi penelitian ini dengan penelitian yang akan dilakukan

adalah teori yang digunakan. Teori intertekstual Julia Kristeva

merupakan teori yang akan digunakan oleh peneliti dalam menyusun

penelitian yang akan dilakukan. Perbedaannya terletak pada objek dan

batasan penelitiannya. Objek penelitiaan yang dilakukan oleh D. Nasri

menggunkan novel sedangkan objek penelitian yang akan dilakukan

Page 39: Memoar Fenomena Implementasi Hukum Di Indonesia Pada

26

adalah naskah lakon. Sementara itu, batasan masalah pada penelitian ini

adalah teori oposisi teks pada intertekstual Julia Kristeva.

Penelitian selanjutnya adalah penilitian yang dilakukan oleh

Megi Tri Utami, I Wayan Wendra, I Nyoman Yasa, yang berjudul

Representasi Hukum Dalam Cerpen Hakim Sarmin Karya Agus Noor:

Konflik Sosial Lewis A. Coser (2019). Penelitian ini bertujuan untuk

mendeskripsikan gambaran konflik hukum di Indonesia, representasi

hukum dalam cerpen Hakim Sarmin, juga relevansinya pada

pembelajaran teks cerpen di SMA. Dalam penelitian ini, naskah cerpen

merupakan objek penelitian.

Hasilnya, berita-berita terkait konflik hukum di Indonesia

tercermin melalui putusan hakim yang cenderung berat sebelah dan

dicurigui memiliki kepentingan-kepentingan tertentu. Dengan metode

teoritis konflik sosial Lewis A. Coser, hal ini tergambar pada munculnya

konflik realitis dan konfilk nonrealistis.

Cerpen Hakim Sarmin karya Agus Noor secara implisit

mempresentasikan fenomena ketidakadilan di Indonesia. Fenomena

hukum yang tergambar dalam cerpen tersebut sangat cocok digunakan

sebagai bahan ajar teks cerpen siswa kelas IX di SMA karena

mencangkup aspek bahasa, aspek psikologi dan aspek sosial budaya

yang melatar-belakanginya.

Page 40: Memoar Fenomena Implementasi Hukum Di Indonesia Pada

27

Penelitian ini jelas memiliki relevansi dengan penelitian yang

akan dilakukan. Penelitian ini menggunakan objek dan penulis serta

judul karya yang sama dengan penelitian yang akan dilakukan meskipun

menggunakan versi cerpennya. Agus Noor merupakan salah satu penulis

yang suka membuat karya dengan judul dan konsep yang sama namun

beragam versi. Sementara itu, representasi hukum merupakan hal yang

sama-sama dibahas baik dalam penelitian ini, maupun penelitian yang

akan dilakukan.

Perbedaan penelitian ini dengan penelitian yang akan dilakukan

terletak pada metode teoritis yang digunakan. Penelitian ini

menggunakan metode analisis kritik sosial Lewis A. Coser, sedangkan

penelitian yang akan dilakukan menggunakan metode teoritis

Intertekstualitas Julia Kristeva.

Penelitian selanjutnya adalah penelitian yang dilakukan oleh

Charles L. Briggs dengan judul Rethinking Psychoanalysis, Phoetics,

and Performance (2015). Penelitian ini bertujuan untuk menjembatani

kesenjangan lama antara pendekatan yang berakar pada psikoanalisis

versus yang terkait dengan puisi dan teater. Dengan motode observasi

ke lapangan yaitu ‘menghadiri’ lokasi puisi Freud di jantung proses

psikis yang muncul dalam karyanya Lelucon dan Mimpi, kemudian

menggabungkan karya psikoanalis tokoh setelahnya— Melanie Klein,

Jacques Lacan, Julia Kristeva, dan Jean Laplanche — dalam membangun

Page 41: Memoar Fenomena Implementasi Hukum Di Indonesia Pada

28

foloritik psikoanalitik baru. Menyandingkan Freud "Mourning and

Melancholia" dengan penelitian tentang keluhan, merefleksikan epidemi

rabies Venezuela, menunjukkan bagaimana elemen puitis, akustik,

referensial, material, dan tubuh dari ratapan bersinggungan dengan cara

yang tidak sesuai dengan model cerita rakyat sebagai tidak sadar dan

penuh teka-teki, atau sebagai refleksif dan strategis.

Penelitian ini menghasilkan perihal pertanyaan mendasar yang

bersembunyi di balik folkloristics tetapi jarang diatasi. Folklorists telah

mengidentifikasi berbagai fitur puitis, memetakan bagaimana mereka

membentuk genre dan berubah dari ruang dan waktu. Tetapi mengapa

dimensi estetika dari komunikasi sehari-hari diinvestasikan dengan

kekuatan kondensasi, perpindahan, dan representasi seperti itu?

Fungsionalisme Honko, yang menggambarkan puisi dan drama sebagai

mekanisme kontrol sosial, terlalu tumpul instrumen untuk memberikan

penjelasan. Cerita rakyat psikoanalitik Dundes akan memposisikan puisi

sebagai membantu menyediakan "kerangka kerja yang disetujui secara

sosial untuk mengekspresikan masalah-masalah kritis yang

menimbulkan kecemasan" (1980: 9). Dengan demikian, drama

tampaknya akan menciptakan ruang untuk mengatasi represi dan

memproduksi konten yang seharusnya dapat ditekan.

Sebaliknya, Bauman menempatkan puisi sebagai bentuk

refleksivitas klasik: “drama atau teater karenanya memunculkan

Page 42: Memoar Fenomena Implementasi Hukum Di Indonesia Pada

29

perhatian khusus dan meningkatkan kesadaran akan tindakan ekspresi”

(1977: 11 ). Narasi tentang lelucon praktis, misalnya, tidak hanya

menceritakan peristiwa tetapi memungkinkan narator untuk memeriksa

ekonomi daya saing dan solidaritas pria dan membangun diri mereka

sebagai licik, olahragawan yang baik, dan narator yang baik (1986).

Dalam analisis ahli narasi penduduk asli Meksiko tentang pembunuhan

putranya, Jane Hill (1995: 98) berpendapat bahwa "strategi retorika"

yang terungkap di dalamnya membangun "sistem suara ... di mana

kesadaran penulis berusaha untuk mendominasi dan membentuk teks

melalui suara yang dipilih. "

Pada dimensi verbal, akustik, musikal, tubuh, visual, dan

material dari berbagai aspek melibatkan proses psikis dengan cara yang

kompleks dan heterogen. Orang-orang dengan mudah mengingat gambar

puitis ratapan dan bagaimana mereka mengkritik mereka yang berkuasa

dan menuntut bentuk tindakan tertentu; Ratapan dapat mengulangi

banyak baris yang mereka nyanyikan bertahun-tahun kemudian. Akustik

yang kuat yang mewujudkan memengaruhi dan merupakan karya

gerakan berkabung di antara suara, telinga, otak, dan tubuh dengan cara-

cara rumit yang dirasakan dengan jelas tetapi seringkali tidak

diartikulasikan dengan jelas. Dalam penjajaran referensi, puisi, suara,

dan tubuh yang rumit inilah subjektivitas dan hubungan sosial dibuat

kembali, bahwa masa lalu dan masa depan yang baru diproduksi secara

kolektif.

Page 43: Memoar Fenomena Implementasi Hukum Di Indonesia Pada

30

Dengan demikian, kontribusi besar yang dapat diberikan oleh

cerita rakyat psikoanalitik adalah dengan melihat, seperti yang Freud

coba lakukan, bagaimana kekuatan puisi dalam membuat dan mengubah

subjek dan hubungan muncul bukan dengan cara tunggal, terbatas, dan

transparan tetapi dalam mengubah konfigurasi fragmen teks yang rentan

terhadap berbagai tingkat dan jenis aksesibilitas psikis. Kita sudah lama

tahu bahwa cerita rakyat itu kompleks, sehingga bisa dipelajari dari

berbagai perspektif. Menghargai secara analitis bagaimana berbagai

modalitas beroperasi pada subjektivitas dan hubungan budaya-alam

dengan cara yang heterogen dapat memberi kita cara yang lebih memadai

untuk mendokumentasikan dan menafsirkan bagaimana, sebagaimana

Susan Stewart (1994: 133) —dalam dialog dengan Lacan dan Freud —

menulis, “estetika , tentu saja, menjadi ruang paling tepat menandakan

hubungan antara materialitas, temporalitas, dan identitas. " Karya

psikoanalis terkemuka Jean Laplanche dapat membantu kita

mempertajam fokus cerita rakyat psikoanalitik.

Dalam hal ini, puisi secara serius memerlukan, melampaui biner

yang sadar / tidak sadar ini untuk melihat bagaimana cerita rakyat

menempati batas antara individu dan kolektif, referensial dan non-

referensial, refleksif dan indera tetapi tidak dirumuskan secara eksplisit

(Williams 1977). Karya terbaru tentang karakter multisensor folklor juga

menunjukkan beberapa cara yang melibatkan pertunjukan drama dan

Page 44: Memoar Fenomena Implementasi Hukum Di Indonesia Pada

31

teater kami, menghindari binari yang mudah seperti itu (Bendix 2000;

Stewart 2002).

Penelitian ini relevan dengan penelitian yang akan dilakukan

karena fokus penelitiannya terletak pada bagaimana hubungan antara

psikoanalisis, puisi, dan juga drama. Pada poin drama inilah yang

kemudian peneliti pelajari bahwa munculnya sebuah drama yang

berasalah dari naskah lakon memiliki keterkaitan erat dengan latar

belakang budaya, konteks sosial politik, yang kemudian mempengaruhi

psikologi kolektif. Hal ini kemudian dapat dibangkitkan kembali pada

pertunjukan teater ataupun pembacaan pada naskah lakon.

Perbedaan penelitian ini dengan penelitian yang akan dilakukan

terletak pada luasnya bahasan dan juga objek penelitian. Penelitian ini

membahas tentang relevansi psikoanalitik, puisi, dan drama, dengan

objek puisi Freud juga karya psikologi Freud yang lain yang membahas

tentang lelucon dan mimpi, kemudian menggabungkan karya psikoanalis

tokoh setelahnya— Melanie Klein, Jacques Lacan, Julia Kristeva, dan

Jean Laplanche — dalam membangun foloritik psikoanalitik baru, lalu

menyandingkannya dengan fenomena sosial politik yang terjadi.

Sementara itu, penelitian yang akan dilakukan menggunakan

objek kumpulan naskah lakon Hakim Sarmin Presiden Kita karya Agus

Noor dengan metode teoritis Intertekstualitas Julia Kristeva.

Page 45: Memoar Fenomena Implementasi Hukum Di Indonesia Pada

32

Kemudian penelitian yang dilakukan oleh Matsuha Sam dan

Vijila yang berjudul Conseptualitation Of Intertextuality With Referece

to Julia Kristeva(2018). Penelitian ini bertujuan mengungkap konsep

Intertextualitas dan fitur-fiturnya diikuti oleh berbagai contoh.

Istilah intertekstualitas diciptakan oleh Julia Kristeva yang ingin

mensintesis semiotika Ferdinand de Saussure. Hampir setiap karya

seorang penulis memiliki pengaruh dari beberapa wacana lain. Bisa jadi

disengaja atau tidak disadari. Konsep intertekstualitas awalnya disusun

untuk menganalisis argumen analisis wacana sebagai bagian dari analisis

tekstual sistematis. Menyandingkan atau menghubungkan satu atau

banyak karya dapat menyebabkan banyak kesamaan atau pemahaman

yang lebih baik tentang teks tertentu. Menjajarkan atau menghubungkan

atau menggabungkan memunculkan intertekstualitas.

Hasil dari penelitian ini yaitu adanya kasamaan konsep cerita,

juga proses hukuman yang mirip tanpa disengaja pada objek penelitian

berupa foklore Mahabarata, Rayuan Helen Of Troy, dan Para Penari

di surga.

Relevansi penelitian ini dengan penelitian yang akan dilakukan

terletak pada konsep intertektualitasnya dan metode penelitiannya.

Konsep dan metode penelitian sama-sama menggunakan teori

intertekstual Julia Kristeva yang kemudian digunakan untuk

menganalisis hubungan antar elemen teks yang melatar belakangi

Page 46: Memoar Fenomena Implementasi Hukum Di Indonesia Pada

33

konteks budaya untuk menganalisis kontekstual pada penelitian yang

akan dilakukan.

Penelitian selanjutnya adalah penelitian yang dilakukan oleh P.

Prayer Elmo Raj, yang berjudul Text/Texts: Interrogating Julia

Kristeva's Concept of Intertextuality (2015). Penelitian ini bertujuan

untuk memberikan resuman dan juga konklusi tentang konsep

intertektual yang pertama kali dicetuskan oleh Julia Kristeva.

Kontribusi Julia Kristeva pada gagasan intertekstualitas sangat

besar. Dia tidak hanya menciptakan kata intertekstualitas tetapi secara

substansial menekankan pentingnya dinamika potensial yang ada di

dalam teks. Teks bukan entitas yang tidak berurutan tetapi kombinasi

teks yang heterogen. Teks apa pun sekaligus sastra dan sosial, kreatif dan

budaya. Mereka secara budaya dan kelembagaan dibentuk. Sebagian

besar gagasan yang dikemukakan Kristeva adalah pengerjaan ulang atau

revisi gagasan Bakhtinian tentang intertekstual. Bakhtin juga

berpendapat bahwa teks tidak dapat dilepaskan dari sosio-budaya

tekstualitas yang merupakan latar belakang di mana sebuah teks dibuat.

Makalah ini merupakan upaya untuk melacak dan menginterogasi

berbagai gagasan dan gagasan yang berkaitan dengan intertekstualitas

dalam pemikiran Kristeva.

Relevansi penelitian Elmo Raj dengan penelitian yang akan

dilakukan terletak pada semua gagasan yang disampaikan. Dengan

Page 47: Memoar Fenomena Implementasi Hukum Di Indonesia Pada

34

metode penelitian library resech, Elmo Raj mampu memberikan sedikit

konklusi perihal pemikiran intertekstual Julia Kristeva.

Perbedaan penelitian Elmo Raj dengan penelitian yang akan

dilakukan terletak pada metode yang digunakan. Metode penelitian yang

akan dilakukan menggunakan metode diskriptif kualitatif dengan teori

intertekstualitas Julia Kristeva pada objek penelitian kumpulan naskah

lakon Hakim Sarmin Presiden Kita karya Agus Noor.

Penelitian selanjutnya adalah penilitian yang dilakukan oleh

Inas S. Nabilah yang berjudul Nilai Politik Dalam Naskah Drama Hakim

Sarmin Presiden Kita Karya Agus Noor: Analisis Semiotika (2019).

Penelitian ini bertujuan untuk menemukan nilai politik yang terkandung

dalam struktur drama pada naskah Hakim Sarmin Presiden Kita karya

Agus Noor beserta memberikan makna terhadap nilai-nilai politik

tersebut.

Penelitian ini mengkaji dua naskah drama, yaitu Hakim Sarmin

dan Presiden Kita Tercinta dengan menjadikannya satu pembahasan.

Nilai-nilai politik kemudian dikaji menggunakan alur dramatik dan

penokohan. Nilai politik yang ditemukan akan dijadikan sebagai tanda

yang dimaknai menggunakan metode donasi dan konotasi dengan

memanfaatkan pendekatan semiotik Roland Barthes.

Hasil penelitian ini menunjukan kajian struktur teks drama

memiliki tujuh nilai politik, yaitu kritis terhadap realitas sosial, teguh

Page 48: Memoar Fenomena Implementasi Hukum Di Indonesia Pada

35

terhadap ideologi kekuasaan, serta sarkastik dengan sistematis suatu

masalah. Nilai-nilai politik ini kemudian dijadikan tanda dan dianalisis

menggunakan metode teoritis semiotik Roland Bharters. Berdasarkan

akan hal itu, ketujuh tanda tersebut memiliki makna yaitu usaha mencari

peraturan sebagai bentuk pembenaran penawaran, hadirnya propaganda,

hadirnya adu domba, penghadiran sarana kebencian, strandar sansi gaya

hidup, dan standarisasi akal sehat logika yang digunakan sebagai bentuk

latar belakang dalam menyelesaikan masalah. Selain itu, naskah drama

Hakim Sarmin Presiden Kita juga merupakan representasi nilai politik

yang melintasi zaman.

Relevansi penelitian ini dengan penelitian yang akan dilakukan

adalah sama-sama menggunakan objek penelitian kumpulan naskah

lakon Hakim Sarmin Presiden Kita karya Agus Noor. Perbedaannya,

fokus penelitian ini lebih kepada nilai politik yang kemudian dianalisis

menggunakan metode semiotik Roland Bharters dan dikaitkan dengan

fenomena politik yang ada.

Sementara itu, penelitian yang akan dilakukan lebih berfokus

pada representasi hukum dan implementasinya pada praktik-praktik di

pemerintahan Indonesia, dengan menggunakan metode teoritis

Intertektualitas Julia Kristeva.

2.2 Landasan Teori

Page 49: Memoar Fenomena Implementasi Hukum Di Indonesia Pada

36

Berdasarkan permasalahan yang muncul dalam penelitian ini,

maka ada beberapa pembagian teori yang akan digunakan sebagai

kombinasi alat pembedah serta analisis dalam penelitian, antara lain:

2.2.1 Teater, Drama, dan Lakon

Drama

Secara umum, sastra terbagi menjadi tiga dimensi ataupun tiga

genre, antara lain, puisi, prosa dan drama. Aristoteles membedakan dua

wilayah kajian drama, yaitu drama sebagai naskah yang ditulis, dan drama

yang ditampilkan di atas panggung. Hal ini diperjelas kembali oleh Richard

Schechner, yang membedakan antara, drama, transkip, teater, dan

pertunjukan (dalam Yudiaryani, 2015).

Drama merupakan wilayah penulis, komposer, skenaris, saman.

Transkip adalah wilayah guru, empu. Teater adalah wilayah penampil, dan

pertunjukan adalah wilayah penonton. Dengan demikian, naskah pertama

yang dibuat disebut naskah drama atau naskah lakon, sedangkan

tampilannya disebut teater. Drama tertulis ditransformasikan ke dalam

pertunjukan teater. Ringkasnya, Teater adalah pertunjukan dari drama,

sedangkan drama merupakan naskah yang akan dipentaskan, serta lakon

merupakan cerita sandiwara untuk dipentaskan.

Aristoteles menyebutkan, bahwa drama adalah esensi teater yang

memiliki struktur peristiwa yang bergerak dari awal, tengah, dan akhir.

Page 50: Memoar Fenomena Implementasi Hukum Di Indonesia Pada

37

Drama merupakan karya sastra. Drama adalah hal yang dituliskan yang

kemudian menjadikan teater bergerak sebagai suatu pertunjukan.

Teater

Kata “teater” berasal dari kata Theatron, dalam bahasa Yunani

berarti seeing place, atau tempat menonton. Theatron digunakan untuk

menggambarkan bangku-bangku yang berputar setengah lingkaran mendaki

ke arah lereng bukit yang berfungsi sebagai tempat duduk penonton ketika

drama Yunani Klasik berlangsung.

Roberth Cohen, dalam Theathere, Nine Edition (1938)

menjelaskan tentang teater sebagai berikut:

Today we ushe the word theatre in many ways. We

use it to describe the building where plays are put on: the

architecture, the structure, the space for dramatic

performance—the place “something is seen.” We use the

term to indicate whre film are shown, as in “movie

theatre.” And use it metaphorically to refers to a place

where wars and sugeries occur: the “theatre operations”

and the “operating theatre.” Those are “hardware”

definition of theatre. And the “software” definition theatre

also refers to players ( and owners, managers, and

technicians) who perform in such a space and to the plays

that such a company produces.

Teater juga berarti seni drama; sandiwara; pertunjukandrama yang

diperlakukan sebagai suatu karya seni atau profesi. Istilah seni teater

digunakan untuk menyebut beragam ketrampilan seni yang terlibat dalam

pertunjukan teater. Makna penting teater adalah pengelolaan pertunjukan

dramatik melalui tampilam spektakel.

Page 51: Memoar Fenomena Implementasi Hukum Di Indonesia Pada

38

Teater menjadi sebuah seni pertunjukan seni jika mengikutsertakan

peran penonton. Kehadiran penonton tersebut, menjadikan pertunjukan teater

menyediakan ruang-ruang kosong yang akan ditanggapi penonton secara

estetis (Richard Schechner, 1988).

Stanislavski ( dalam N. Riantiarno, 2011) menyebutkan bahwa unsur

teater ada tiga, yaitu bersama, saat, dan tempat. Bersama meliputi, aktor,

penonton, juga para kru tim. Saat, berkenaan dengan waktu, dan tempat

adalah panggung dari sebuah pertunjukan.

Lakon

Richard Schechner (1988) menyebutkan bahwa lakon merupakan

naskah pertama yang dibuat sebelum direpresentasikan oleh sutradara dalam

proses menuju pertunjukan.

Secara harfiah, lakon juga dapat diartikan sebagai cerita sandiwara

yang akan dipentaskan, drama berupa teks atau naskahnya, teater

merupakan pementasannya. Dalam hal ini naskah drama dan naskah lakon

memiliki arti yang sama dan bersinonim.

Richard Schechner, dalam Performance Theory (1988)

menggambarkannya dalam bentuk sebagai berikut:

Drama : Lingkaran terkecil, paling intensif. Teks yang tertulis,

skenario, instruksi, rancangan, atau peta.

Page 52: Memoar Fenomena Implementasi Hukum Di Indonesia Pada

39

Transkip merupakan segala hal yang dapat ditansmisikan dari

waktu ke waktu dan dari tempat ke tempat, atau aturan dasar

peristiwa pertunjukan.

Teater yaitu, peristiwa yang digelar oleh sekelompok pemain

tertentu, yang mencangkup kegiatan produksi. Teater tampil secara

konkret dan langsung. Kadang-kadang merupakan manifestasi dari

drama atupun transkip yang dipentaskan.

Gambar 1 ( Perbedaan Drama, Transkip, Teater dan Peristiwa )

Page 53: Memoar Fenomena Implementasi Hukum Di Indonesia Pada

40

Teater yaitu, peristiwa yang digelar oleh sekelompok pemain

tertentu, yang mencangkup kegiatan produksi. Teater tampil

secara konkret dan langsung. Kadang-kadang merupakan

manifestasi dari drama atupun transkip yang dipentaskan.

Peristiwa Pertunjukan merupakan lingkaran terluar yang

paling sulit untuk didefinisikan. Seluruh konstalasi peristiwa,

sebagian besar muncul tak terduga, baik penonton maupun

pemain pada saat masuk wilayah pertunjukan.

Jadi, antara teater, drama, dan lakon serta peristiwa sangatlah saling

berkelindan, berhubungan erat, dan saling mendukung satu dengan yang

lain. Hal ini dapat ditarik kesimpulan secara keseluruhan, bahwa

definisinya menjadi seperti ini, drama tergolong sebagai salah satu bagian

teater yang mengutamakan akting, dialog, dan gerak. Ketiga hal tersebut

akan dipentaskan melalui cerita sandiwara lakon hingga akhir cerita, yang

membuat penonton semakin penasaran. Dalam pembuatan teks drama,

tak jarang penulis mendapatkan inspirasi dari peristiwa yang melatar-

belakanginya. Baik itu bersifat konteks budaya, sosial, politik, hukum,

psikologi, maupun hal-hal lain yang berhubungan erat dengan kehidupan

manusia.

Page 54: Memoar Fenomena Implementasi Hukum Di Indonesia Pada

41

2.2.2 Struktur Naskah Drama dan Naskah Lakon

Menurut Suwardi Endaswara (2014), struktur naskah drama atau

naskah lakon merupakan unsur-unsur struktural yang ikut membangun

lakon (cerita sandiwara ) menjadi semakin menarik. Di bawah ini, beberapa

perlengkapan-perlengkapan struktur baku sebuah drama;

Pertama, tema. Tema merupakan gagasan utama dalam suatu karya

sastra. Tema, juga bisa dikatakan dasar cerita atau gagasan utama yang

berkenaan dengan pokok permasalahan yang mendominasi suatu karya

sastra. Artinya gagasan atau topik yang diungkapkan dalam karya sastra

disejawentahkan melalui permasalahan yang berada di sekitar tokoh dalam

cerita fiksi. Lebih lanjut, permasalahan ini merupakan cara pengarang dalam

mengungkapkan titik tolak dalam penyusunan cerita fiksi mengenai konflik

dalam jalinan karyanya.

Kedua, babak. Jika di dalam karya prosa kita mengenal episode, dalam

drama dikenal sebagai babak. Setiap babak akan membentuk keutuhan kisah

– kisah kecil. Babak merupakan gabungan peristiwa-peristiwa yang terjadi

pada satu tempat dan satu waktu dalam satu kesatuan. Dengan kata lain, satu

babak merupakan bagian-bagian dari naskah drama atau naskah lakon yang

merangkum semua peristiwa yang terjadi di suatu tempat pada urutan waktu

tertentu.

Ketiga, adegan. Adegan merupakan bagian dari babak. Satu babak

biasanya terdiri lagi dalam adegan-adegan. Satu adegan adalah bagian dari

Page 55: Memoar Fenomena Implementasi Hukum Di Indonesia Pada

42

babak yang batasnya ditentukan oleh peristiwa terhubung datangnya atau

perginya satu tokoh atau lebih dalam pementasan. Misalnya, tampak tokoh

A sedang berbicara dengan tokoh B. Adegan ini selesai dan cerita memasuki

adegan baru, jika tokoh C ikut bergabung. Begitu juga sebaliknya, dan

seterusnya dengan keadaan dan suasana yang berubah-ubah.

Keempat, dialog. Bagian ini sangat penting dan menjadi pembeda

lahiriyah genre sastra drama dengan genre sastra lain, seperti puisi maupun

prosa. Dialog adalah bagian dari naskah drama yang berupa percakapan-

percakapan antar tokoh satu dengan tokoh yang lain.

Kelima, tokoh dan penokohan. Tokoh merupakan manusia dalam

gelembung-gelembung dunia fiksi. Tanpa adanya tokoh, suatu fiksi tidak

dapat dikatakan cerita yang utuh—ibarat suatu alam tanpa adanya makhluk

yang menghuninya. Seorang tokoh bergerak dari satu dunia imajiner ke dua

imajiner yang lainnya. Sementara itu, penokohan merupakan perwatakan

yang melekat kuat pada tokoh. Hal ini juga bisa dikatakan sebagai karakter

tokoh.

Keenam, alur. Alur merupakan rangkaian peristiwa yang saling

berkaitan karena hubungan sebab akibat (Suyanto, 2012:49). Dengan

menganalisis hubungan antar peristiwa dengan peristiwa yang saling terkait,

Alur terdiri atas permulaan kemudian melalui suatu pertengahan dengan

munculnya konflik menuju akhir dengan penyelesaian.

Page 56: Memoar Fenomena Implementasi Hukum Di Indonesia Pada

43

Stanislavski ( dalam N. Riantiarno, 2011) menyebutkan bahwa unsur

teater ada tiga, yaitu bersama, saat, dan tempat. Bersama meliputi, aktor,

penonton, juga para kru tim. Saat, berkenaan dengan waktu, dan tempat

adalah panggung dari sebuah pertunjukan.

2.2.3 Teori Intertektualitas Julia Kristeva

Pada praktiknya, sastra dibangun oleh tiga hal; system, code, dan

tradition yang berkaitan dengan konteks budaya pada umumnya. Menurut

Graham Allen, dalam Intertextuality (2000) bahwa makna menjadi sesuatu

diantara sebuah teks dan semua teks lain membuatnya menjadi rujukan dan

saling berhubungan dari sifat teks yang independen ke dalam jaringan hub-

tekstual. Teori Intertekstual, pertama kali diperkenalkan oleh Julia Kristeva

dengan berangkat dari teori signifying sytem. Kata intertekstualitas berasal

dari bahasa latin, yaitu intertexto yang memiliki arti, bergaul sambil

menenun. Intertekstualitas adalah seperangkat hubungan antar teks yang

mencangkup kutipan langsung, alusi, konvensi literasi, imitasi, parodi, dan

sumber tak sadar lain.

Intertekstualitas sebagai sebuah istilah pertama kali digunakan dalam

Word, Dialoge, and Novel karya Julia Kristeva (1966) dan kemudian dalam

The Bounded Text (1966), esai yang ia tulis tak lama setelah tiba di Paris

dari Bulgaria. Dua konsep intertekstualitas yang diprakarsainya

mengusulkan teks sebagai situs dinamis di mana proses dan praktik

relasional menjadi fokus analisis alih-alih struktur dan produk statis.

Page 57: Memoar Fenomena Implementasi Hukum Di Indonesia Pada

44

Intertekstualitas, adalah persimpangan permukaan tekstual daripada titik

(makna tetap), sebagai dialog di antara beberapa tulisan (Julia Kristeva,

1980).

Selalu ada kata lain dalam sebuah kata, teks lain dalam sebuah teks.

Oleh karena itu, konsep interteksualitas mengharuskan kita memahami teks

bukan sebagai sistem yang berdiri sendiri tetapi sebagai diferensial dan

historis, sebagai jejak dan penelusuran dari keberbedaan, karena mereka

dibentuk oleh pengulangan dan transformasi struktur teks lainnya.

Menolak prinsip kritis otonomi tekstual, teori intertekstualitas

menegaskan bahwa teks tidak dapat eksis sebagai keseluruhan yang

mandiri, dan karenanya, tidak berfungsi sebagai sistem tertutup. (Kristeva,

dalam P. Prayer Elmo Raj, 2015).

Dengan menggabungkan pendapat ilmuan sebelumnya, yaitu

Ferdinan De Saussure (1857) dan Mikhail Bakhtin (1895), Kristeva

menuculkan teori intertekstualitas (1960). Saussure menekankan pada

sistematika bahasa yang kemudian menciptakan rasional makna dan teks.

Disempurnakan oleh Bakhtin, yang lebih menekankan pada hubungan

antara penulis, pembaca, dan karyanya, termasuk hubungannya dengan

kekuatan sosial, dan sejarah yang mengelilingi.

Menurut Kristeva, konsep dialogisme Mikhail Bakhtin adalah sesuatu

hal yang dinamis bahkan revolusioner. Dalam Pandangannya, apa yang

Page 58: Memoar Fenomena Implementasi Hukum Di Indonesia Pada

45

dicoba untuk merevolusi secara dinamis bukan hanya model struktural yang

statis, tetapi juga politik budaya sosial secara umum.

Intertekstualitas memandang teks atau komponennya sebagai

ideologisme yang menyelesaikan dinamika semiotika yang menempatkan

teks dalam teks masyarakat dan sejarah. Ideologiasme suatu teks adalah

pusat di mana rasionalitas yang memahami bergulat dengan perubahan

ucapan di mana teks menjadi totalitas yang mencakup teks historis dan

sosial. Intertekstual lahir pada transisi strukturalisme dan post

strukturalisme. Menurut Kristeva, hal ini dapat dilihat dari strukturalisme

Saussure yang berpijak pada analsisis semua teks termasuk juga aspek

komunikasi, dasar analisis semiologi yang bersifat objektif berpadu pada

post strukturalisme yang memiliki sifat makna yang tidak mutlak benar dan

tidak stabil, semua teks memiliki multi makna, dan kritik is unstable,

membuat intertekstual lahir.

Berikut bagan singkat tentang pengertian intertekstual menurut Julia

Kristeva :

Bagan 1. (Pengertian Intertekstualitas menurut Julia Kristeva)

Intertextuality Intertex toMeaning

minle while weaving

Page 59: Memoar Fenomena Implementasi Hukum Di Indonesia Pada

46

Pada Bagan di atas dijelaskan bahwa, intertekstual merupakan intertext

to atau bidang umum anonym yang asalnya tidak ditemukan yang kemudian

menjadi beberapa kutipan yang tidak sadar dan dibuat secara otomatis

diberikan tanpa adanya tanda kutip. Maksudnya, Tidak ada teks yang lahir

secara senidrian. All texts relate to one anathore.

Teks adalah praktik dan produktivitas. Oleh karena itu posisi

intertekstualnya melambangkan konfigurasi kata dan ucapan yang sudah ada

sehingga membuat teks “bersuara ganda.” Teks adalah produktivitas dalam

hubungannya dengan bahasa di mana ia “redistributif

(destructiveconstructive) dan akibatnya dapat didekati dengan menggunakan

kategori-kategori logis selain dari yang murni linguistik; ini adalah permutasi

teks, suatu intertekstualitas: dalam ruang teks, banyak ucapan yang diambil

dari teks lain bersilangan satu sama lain dan menetralkan satu sama lain

(Kristeva, 1980).

Teks itu menyelimuti proses reverbratif yang juga merupakan bagian

dari disposisi bahasa itu sendiri, dari pergulatan dan ketegangan ideologis

yang sedang berlangsung. Makna bahwa teks mewujudkan tidak konstan dan

jelas karena teks melambangkan konflik masyarakat atas makna kata-kata.

Intertekstualitas berkaitan dengan materialisasi teks dari teks sosial dan

eksistensinya yang abadi dalam masyarakat dan sejarah. Teks, dengan

sendirinya, tidak memiliki kesatuan atau makna yang disatukan 'tetapi bagian

dari proses sosial-budaya yang sedang berlangsung.

Page 60: Memoar Fenomena Implementasi Hukum Di Indonesia Pada

47

Kristeva kemudian melanjutkan dengan menggabungkan ide-ide dari

filsafat (Huseel atau Derrida), ilmu politik (Marxis atau Althusser), dan

psikoanalisis (Freud dan Lacan) dengan prosedur struktural linguistik dan

logika formal. Mengikuti Bakhtin, kristeva berupaya merevisi semiotika

menjadi translinguistik dan memunculkan teori intertekstualitas.

Kristeva menguraikan kata sastra dalam hal sumbu horizontal dan

vertikal. Dalam dimensi horizontal, komunikasi terjadi antara penulis dan

pembaca dan dalam dimensi vertikal, teks berkomunikasi dengan corpus

sastra frontal dan sinkronis. Kristeva menjelaskan gagasan ini dengan

menafsirkan kembali teori Bhaktin tentang teks dialogis: Sumbu horizontal

(subjek-penerima) dan sumbu vertikal (konteks teks) bertepatan, menjelaskan

fakta penting: setiap kata (teks) adalah persimpangan kata (teks) di mana

setidaknya satu kata lain (teks) dapat dibaca.

Kristeva juga memperkenalkan konsep subjek pelafalan dan subjek

ujaran untuk menjelaskan peran penulis. Perbedaan penting antara

pengucapan dan ucapan adalah bahwa pengucapan berkonotasi dengan asal-

usul ucapan dan ucapan terkait dengan sifat verbal. Ucapan adalah produksi

kata-kata oleh subjek manusia dan pengucapan adalah bentuk kata-kata yang

tetap independen dari subjek manusia. Ketika kata yang diucapkan

disampaikan kepada pendengar, posisi subyektif dari pembicara

dipertahankan tetapi ketika pembaca membaca kata-kata yang diucapkan

Page 61: Memoar Fenomena Implementasi Hukum Di Indonesia Pada

48

bertahun-tahun kemudian, posisi subyektif dari pengarang terlewatkan atau

tidak lagi menjadi bagian dari kata tersebut.

Lebih dari itu, Kristeva berusaha untuk melihat intertekstualitas sebagai

transposisi, transposisi dari satu skema tanda ke yang lain yang merinci

bahwa peralihan dari satu sistem penandaan ke sistem penandaan lain

menuntut artikulasi etik baru — posisi posisi yang dilambangkan dan

denotatif.

Posisi seperti itu memungkinkan ekspresi segar memposisikan sistem

tanda dalam proses relasional. Dia berpendapat bahwa: "Jika seseorang

memberikan bahwa setiap praktik penandaan adalah bidang transposisi dari

berbagai sistem penandaan (antar-tekstualitas), orang kemudian memahami

bahwa" tempat "pengucapannya dan" objek "yang dilambangkannya tidak

pernah tunggal, lengkap dan identik dengan diri mereka sendiri, tetapi selalu

jamak, hancur, mampu ditabulasi. Dengan cara ini, polisemi [berbagai tingkat

atau macam makna] juga dapat dilihat sebagai hasil dari polivalensi semiotik

— kepatuhan terhadap sistem tanda yang berbeda (Kristeva, 1980).

Teks sebagai persimpangan tekstualitas mensyaratkan pengarang,

berbagai karakter hadir dalam karya sastra dan beragam cara bicara yang

diposisikan dalam periode tertentu secara artistik untuk menjadikannya

keseluruhan naratif. Seorang novelis, juga seorang penulis, dengan demikian,

melakukan dua peran oposisi, peran naratif dan peran tekstual. Dua lipatan

dinamika kreatif seorang penulis dapat dipahami sebagai pola kerja atau

Page 62: Memoar Fenomena Implementasi Hukum Di Indonesia Pada

49

struktur yang mendefinisikan makna tekstual yang melibatkan kata dan tanda,

elemen-elemen yang memiliki likuiditas bergantung pada interkoneksi

dengan elemen-elemen fungsional lainnya dalam teks. Teks juga

mewujudkan "agensi kegiatan penandaan" melalui metafora asal-asalan

sebagai "alat translinguistik" hanya untuk merealokasi tanda linguistik yang

berkaitan dengan artikulasi anterior dan sinkronis dan menjadikan teks

sebagai produktivitas terbuka (Kristeva, 1980).

Kristeva membuat regenerasi metodologis mengandaikan interkoneksi

antara subjek dan wacana dalam teks dari sudut pandang sosial-budaya.

Kristeva juga menekankan bahwa teks menghasilkan makna pada tingkat

sinkronis yang dapat diidentifikasi dengan hubungan antara teks dan

kumpulan teks yang sudah ada. Oleh karena itu makna menjadi fleksibel dan

intersubjektif dalam teks. Dia menekankan pada pengaturan linguistik yang

memungkinkan posisi subjek hanya melalui konfigurasi teks yang mengambil

isyarat dari deposit budaya teks.

Teks memiliki koordinat historis dan sosialnya yang dimasukkan

melalui referensi praktik semiotik pada tingkat struktural yang berbeda dari

setiap teks. Praktik semiotik yang mencakup dalam teks tidak lebih dari

struktur linguistik tetap menurut kode yang menghasilkan makna.

Kristeva memandang teks sebagai interaksi teks bukan sebagai entitas

tunggal. Keterbukaan yang dimungkinkan oleh teks yang terkandung di

dalamnya membuka kemungkinan untuk melihat teks dari berbagai purviews.

Page 63: Memoar Fenomena Implementasi Hukum Di Indonesia Pada

50

Klaim bahwa penulis ketika menyusun sebuah teks terlibat dalam wacana

dengan teks-teks lain menunjukkan dinamika kreativitas yang melampaui

subjek kreatif. Percakapan yang dilakukan penulis ini adalah dialog kreatif di

mana makna disusun atau disusun alih-alih dibuat. Oleh karenanya itu apa

yang kita sebut sebagai makna teks menemukan karakterisasi yang lebih luas

dan kompleks di luar apa yang tertulis dalam sebuah teks. 'Teks yang ada'

adalah 'teks di dalam' dan 'makna yang ada' adalah 'makna di luar.' Ini

mengubah hermeneutika teks dan mengambil tugas menafsirkan teks sebagai

intervensi terampil ke dalam sejarah, budaya, sosial dan kelembagaan. alam.

Interpretasi tidak dapat lagi dilakukan dalam postulat akademis tetapi harus

memperhitungkan hubungan antara teks dengan masyarakat dan budaya.

Oleh karena itu, interpretasi menjadi proses yang mirip dengan proses

menyusun teks. Tidak ada makna independen, tidak ada teks independen dan

tidak ada interpretasi independen. Singularitas adalah ilusi. Teks akan

menjadi teks untuk membuka dinamika intertekstualitas di dalam dan di luar

teks. Intertekstualitas mengasumsikan pemeriksaan interkoneksi antara teks-

teks yang menempatkan pembuatan makna di dalam dan melalui proses

dialogis yang terjadi antara teks dan audiens. Proses ini memperluas bidang

apa teks dari menjadi bentuk tertulis untuk mencakup budaya dan sejarah.

Otonomi teks menjadi dipertanyakan dengan membuatnya permeabel melalui

proses inter-koherensi di mana teks menghasilkan koneksi struktural antara

dirinya dan teks lainnya.

Page 64: Memoar Fenomena Implementasi Hukum Di Indonesia Pada

51

Seperti halnya teori intertekstual Kristeva, tori teks Barthes juga

menjelaskan tentang kerja “bukan batas” wilayah analisis. Teks menjadi

plural dan menjadi paradigma “bahasa” yang ditempatkan dalam suatu

presfektif “bahasa-bahasa.” (Barthes, 1981).

Praktik tekstual di atas mempersiapkan subvensi pada teks. Akibatnya,

suatu diskursus baru pun akan hadir, yaitu suatu bahasa underground yang

memproduksi pengetahuan yang selama ini tidak disuarakan dan dipikirkan

(Barthes, 1981). Pengetahuan ini memunculkan teori pertunjukan teatrikal

secara diskursif dan a priori yang menemukan cara bagaimana teks menyebar

dan menanamkan pengaruhnya.

2.2.4 Intertekstual Julia Kristeva Pada Analisis Naskah Drama

Teori intertekstualitas mempunyai dasar bahwa setiap teks

merupakan suatu produksi dan produktivitas. Teks merupakan satu

permutasian teks-teks lain. Intertekstual merupakan suatu metode

pemaknaan yang bekerja dengan menggabungkan dua wilayah yang selama

ini dianggap bertentangan, yaitu antara wilayah yang selama ini dianggap

bertentangan, yaitu wilayah struktur dan wilayah kolaborasi teks yang tidak

terbatas.

Sebuah teks mendistribusikan kembali bahasa. Setiap teks adalah

suatu interteks. Teks lain hadir di dalamnya melalui beragam tingkatan

Page 65: Memoar Fenomena Implementasi Hukum Di Indonesia Pada

52

dengan bentuk yang kurang dikenal seperti teks dari budaya yang ada

sebelumnya dan teks yang ada di sekitar budaya tersebut. Oleh karena itu,

teks dibaca dan harus dibaca dengan latar belakang teks lain. Tidak ada

sebuah teks yang sungguh-sungguh mandiri, dalam arti penciptaan dan

pembacaannya tidak dilakukan tanpa adanya teks lain, sebagai contoh

referensi, ataupun kerangka. Teks yang menjadi latar belakang penciptaan

karya baru disebut hypogram dan teks yang baru menyerap dan

mentrasformasikan hypogram disebut teks transformasi. (Michael

Riffaterre, 1978).

Setiap teks merupakan suatu jaringan baru yang berasal dari kutipan

masa lalu. Julia Kristeva menganggap praktik tekstual penyebaran bahasa

dan pengucapan sebagai cara translinguistik. (Julia Kristeva dalam Roland

Barthes, 1981).

Intertekstual di dalam naskah drama atau naskah lakon, merupakan

praktik pembacaan teatrikal. Praktik tekstual dipastikan menjadi suatu kerja

interteks karena setiap teks merupakan suatu jejaring baru yang berasal dari

kutipan teks yang lalu atau teks yang lain. Teks lain tidak otomatis menjadi

sumber, sedangkan kehadiran teks baru tidak juga karena adanya pengaruh

(Marco De Marinis, 1993). Keduanya hadir secara interteks, dalamsuatu

wilayah yang murni yang muncul otomatis tanpa adanya yang

dipertanyakan penyebabnya dan ternayata keduanya dapat disandingkan.

Page 66: Memoar Fenomena Implementasi Hukum Di Indonesia Pada

53

Teks-teks tersebut kemudian memproduksi jejaring atau rajutan baru

(Marco De Marinis, 1993).

Prinsip praktik tekstual menunjukan gambaran teks bahwa teks

adalah suatu yang terajut. Teori teks kemudian menjadi suatu pembacaan

terhadap rajutan tekstur, rajutan-rajutan kode-kode, dan penciptaan serta

pembaca. Hal itu dapat digambarkan seperti halnya laba-laba yang

menenggelamkan dirinya sendiri dalam jaring yang dibuatnya. Teori teks

dianggap menjadi hipologi. Hypos adalah rajutan, tenunan, jejaring. Barthes

menyebut teori teks adalah teori tentang jejaring (Barthes, 1981).

2.2.5 Hubungan Karya Sastra dengan Hukum

Menurut Gary Minda (2019), studi sastra sebenarnya memiliki

keterkaitan dengan ilmu hukum. Klaim ini didasari oleh, bahwa studi sastra

berguna untuk mempelajari etika hukum, menawarkan pada cara membaca dan

menulis, dan berbicara yang melibatkan penafsiran serupa pada kehidupan

manusia. Selain itu, sastra juga memiliki hermenutika hukum serta sosiologi

hukum. Sebagai ilmu interpretasi, sastra juga menjadi kegiatan interpraktik

sebagai bentuk yurisprudensi.

Dalam konsekuensi pragmatik, gaya dan paradigma digunakan dalam

hukum, serta sastra dapat mengaplikasikan gaya dari argumen yang digunakan

dalam hukum. Hukum dan sastra secara praktis dapat memperluas dan

Page 67: Memoar Fenomena Implementasi Hukum Di Indonesia Pada

54

mendiversifikasi studi yurisprudensi melalui kritik sastra dalam analisis

hukum.

Dalam pidato kebudayaan panjangnya Sir Norman Birket, seorang

kawakan pada Bench dan Asosiasi Pengacara Inggris, pada acara Asosiasi

Pengacara Amerika dan Kanada, 1938 yangberjudul Law and Literature

(diterjemahkan oleh Iwan Nurdaya; 1992) dijelaskan bahwa sastra memiliki

daya tarik menarik dengan hukum. Pengalaman membaca karya sastra

memang tidak memberikan rumus-rumus berharga yang intelek, atau pasal-

pasal yang rumit, tetapi lebih menyarankan berbagai kemungkinan sosial,

psikologis, dan moral. Pengalaman membaca karya sastra juga mendorong

kemampuan berpikir untuk merenung, membawa pikiran berbagai macam

situasi, oleh pengalaman-pengalaman imajinatif, sehingga mampu

memberikan putusan-putusan hakim, membentuk sikap yang umum dan adil

terhadap kehidupan.

2.3 Kerangka Berpikir

Kerangka berpikir adalah sebuah cara karja yang dilakukan peneliti

untuk menyelesaikan suatu permasalahan yang akan diteliti. Penelittian ini

berjudul “Memoar Fenomena Implementasi Hukum di Indonesia Pada

Kumpulan Naskah Lakon Hakim Sarmin Presiden Kita Karya Agus Noor.” Di

dalam kumpulan naskah lakon ini terdapat fenomena pelaksanaan hukum di

Indonesia yang sedikit banyak menyinggung problematika hukum. Kumpulan

naskah lakon ini akan diteliti menjadi satu pembahasan.

Page 68: Memoar Fenomena Implementasi Hukum Di Indonesia Pada

55

Kumpulan naskah lakon tersebut dianalisis menggunakan teori

Intertekstual Julia Kristeva, dengan batasan analisis dimensi vertikal teks,

yaitu berfokus pada teks yang berkomunikasi dengan cospus sastra frontal dan

sinkronis, sehingga dapat berkenaan dengan teks budaya yang

melatarbelakangi munculnya “teks”, yang juga sangat berkaitan erat dengan

situasi sosial—termasuk di dalamnya situasi politik, hukum, psikologi. Teks

tidak dapat dipisahkan dari tekstual budaya atauopun sosial dari mereka

dibangun.

Penelitian ini merupakan penelitian deskristif kualitatif. Pengumpulan

data dalam penelitian ini dilakukan dengan metode membaca secara

keseluruhan teks dalam kumpulan naskah lakon Hakim Sarmin Presiden Kita

karya Agus Noor yang merupakan data dan sumber data utama. Dalam

melakukan pengumpulan data, peneliti menggunakan studi pustaka. Studi

pustaka dilakukan untuk mendapatkan bahan-bahan dan informasi yang

berhubungan dengan mendeskripsikan objek penelitian sebagai sumber data,

disamping itu juga didukung oleh data-data lain atau peristiwa-peristiwa di

luar teks yang bersifat sebagai penunjang sehingga relevan dengan hasil yang

diterapkan.

Hasil penelitian ini adalah ditemukannya persoalan fenomena

pelaksanaan hukum di Indonesia yang menjadi memoar atau ingatan karena

dalam kumpulan naskah lakon ini merepresentasikan persoalan hukum politik

yang melintasi zaman.

Page 69: Memoar Fenomena Implementasi Hukum Di Indonesia Pada

56

Berikut adalah bagan kerangka berpikir yang digunakan

pada penelitian ini:

Bagan 2. (Kerangka Berpikir Penelitian)

Memoar Fenomena Implementasi Hukum di Indonesia

DalamKumpulan Naskah Lakon Hakim Sarmin Presiden Kita

Karya Agus Noor

Page 70: Memoar Fenomena Implementasi Hukum Di Indonesia Pada

129

BAB V

PENUTUP

5. 1 SIMPULAN

Dalam penelitian ini dapat disimpulkan hal yang merupakan jawaban

dari rumusan masalah yang telah dipaparkan sebelumnya. Berikut merupakan

simpulan dari penelitian ini. :

1. Dari hasil analisis pada naskah lakon Hakim Sarmin Presiden Kita

menggunakan teori Intertekstual Julia Kristeva, terdapat cerminan

fenomena pelaksanaan hukum di Indonesia dan intertekstualitas

dengan problematika hukum di Indonesia, diantaranya; (1)

Penyelewengan praktik demokrasi, (2) Praktrik hegemoni kuasa, (3)

Praktik korupsi, kolusi, dan nepotisme (KKN), (4) Representasi

persoalan bangsa, dan (5) Representasi kasus hokum dan

pemerintahan yang pernah terjadi di Indonesia. Persoalan tersebut

dapat menjadi memoar atau ingatan karena dalam kumpulan naskah

lakon ini merepresentasikan persoalan hukum politik yang melintasi

zaman.

Page 71: Memoar Fenomena Implementasi Hukum Di Indonesia Pada

130

5.2 SARAN

Berdasarkan hasil penelitian ini, penulis memberikan saran agar penelitian ini

dapat dimanfaatkan oleh beberapa kalangan. Diantaranya:

1. Penelitian ini diharapkan dapat menjadi acuan untuk penelitian lanjutan,

terutama yang berhubungan dengan fenomena hukum dan, khususnya

pada naskah lakon.

2. Dari hasil penelitian ini, saya menemukan masih banyak ketimpangan

hukum yang terjadi di Indonesia, dan sastra dapat menjadi medium yang

“halus” untuk perlawanan. Saran saya, ketimpangan hukum, bukan

sekadar deretan data angka hasil riset yang ditayangkan media. Ada nasib

kita semua, menuju negara hukum yang lebih baik. Jadi, terus bergerak!

Page 72: Memoar Fenomena Implementasi Hukum Di Indonesia Pada

131

DAFTAR PUSTAKA

.1997. Ensiklopedi Indonesia. Jakarta: Penerbit Van Hoeve

.2017. Undang-undang Dasar 1945, dan Amandemen untuk Pelajar dan Umum.

Jakarta:Tim Grasindo

.2018. Indeks Persepsi Korupsi di Indonesia Masih Rendah.

https://databoks.katadata.co.id/datapublish/2018/12/26/indeks-

persepsi-korupsi-indonesia-masih-rendah diakses pada 10 Februari

2020.

.2019. Perbaiki Sistem Antisuap. Jakarta:Harian Kompas, edisi 18 November

2019. Hal. 1 bersambung hal. 15

Adjidarma, Gumira Seno. 2010. Trilogi Insiden.Yogyakarta: Bentang Pustaka

Appleton F., Susan dan Striritz E., Susan. 2016. Going Wild: Law and Literature

and Sex. Emerald Jornal. 08 May 2016; 11-62.

Aziz, Abdul. 2016. Dibalik Vonis Bebas Para Koruptor. https://tirto.id/di-balik-

vonis-bebas-para-koruptor-bB3a . diakses pada 9 Februari 2020.

Bariroh, Laili. 2012. Politik Hukum Nasional dan Hegemoni Globalisasi

Ekonomi. Jurnal Riview Politik, November 2012. Vol. 02, No.02;

196-218

Benediction Classics. 2015. Plato, The Republic Apology.

Birket, Norman Sir.1992. Law and Literatur. Pidato Asosiasi Pengacara Amerika

dan Kanada, tahun 1938. Bandung:Penerbit Pustaka (diterjemahkan

oleh Iwan N. Djafar)

Briggs, L. Charles. 2015. Rethinking Psychoanalisis, Poetics, and Performance.

Jurnal Western Folklore, Vol. 74.3/4; 245-274

Bariroh, Laili. 2012. Politik Hukum Nasional dan Hegemoni Ekonomi.Jurnal

Riview Politik Vol. 02 No. 2

Cohen, Roberh. 1938. Theatre, Ninth Edition. (copyriht 2011, ed.) New York: MC

Graw Hill

De Marinis, Marco. 1993. The Semiotic Of Performance.Blomington and

Indianopolis: Indiana University Pers.

Page 73: Memoar Fenomena Implementasi Hukum Di Indonesia Pada

132

Elmo Raj, P. Prayer. (2015). Text/Texts: Interrogating Julia Kristeva's Concept of

Intertextuality. Journal Of Asian Studies.

Endaswara, Suwardi. 2014. Metode Pembelajaran Drama: Apresiasi, Ekspresi,

dan Pengkajian. Yogyakarta: Caps Publishing

Ephraim London. ed. 1960. The Law As Literature.New York, Simon and

Schuster.

Faruqi, El Andri. 2016. Pemerintah Pelanggar Konstitusi Terbanyak.

https://nasional.tempo.co/read/741015/pemerintah-pelanggar-

konstitusi-terbanyak-ini-temuannya/full&view=ok diakses pada 9

Februari 2020.

Fida Ul Haq, Muhammad. 2016. Masih Ada Alih Fungsi Lahan Pertanian Berbau

Korupsi. https://news.detik.com/berita/d-3342381/masih-ada-alih-

fungsi-lahan-pertanian-berbau-korupsi-ini-strategi-kpk. diakses pada

10 Februari 2020.

Foucault, Michael. 1984. The Order Of Discourse. Dalam Shapiro, Michael J.

(ed.) Language and Politic. New York: New York University Pers.

Harahap, M. Yahya, S,H. 2017. Hukum Acara Perdata, tentang; Gugatan,

Persidangan, Penyitaan, Pembuktian, dan Putusan Pengadilan.

Jakarta: Sinar Grafika

____________________. 1993. Beberapa Permasalahan Hukum Acara Perdata

pada Pengadilan Agama. Jakarta: Al-Hikmah

____________________.1995. Ruang Lingkup Permasalahan Eksekusi Bidang

Perdata. Jakarta: Gramedia.

Haryanti, Tatit. 2013. The Contribution Of Literature To The Humanization Of

The Law in Indonesia. Jurnal Humaniora. Vol. 25, No. 2 Juni

2013;117-128.

Hasan, Zulkifli. 2018. Memori Krisis Moneter 1997 dan

1998.https://news.detik.com/kolom/d-4032343/memori-krisis-

moneter-19971998. diakses pada 11 Februari 2020.

Humas KPK. 2020. KPK-MPR Perkuat Komitmen Pembertantasan Korupsi.

https://www.kpk.go.id/id/berita/berita-kpk/1453-kpk-mpr-perkuat-

komitmen-berantas-korupsi. diakses pada 7 Februari 2020.

Inayah. 2019.Kesantunan Berbahasa dalam Tuturan Film My Stupid Bos

1.Skripsi. Universitas Negeri Semarang

Page 74: Memoar Fenomena Implementasi Hukum Di Indonesia Pada

133

Juwono, Vishnu dan Mayasari, Ima. 2019. Pola Korupsi Pemerintah Daerah dan

Pimpinan Transformasional. https://www.kpk.go.id/id/berita/publik-

bicara/782-pola-korupsi-pemerintah-daerah-dan-pimpinan-

transformasional. diakses pada 11 Februari 2020.

Kartika, Illa. 2013. Ketika Peradilan Menjadi Unik.

https://republika.co.id/berita/senggang/unik/13/12/29/mykgft-ketika-

peradilan-menjadi-unik. diakses pada 12 Maret 2019

Komisi Yudisial Republik Indonesia. 2014. Problematika Hukum dan Peradilan

di Indonesia. Jakarta:Pusat Data dan Informasi Republik Indonesia

Kristeva, Julia. 1980. Desire In Language: A Semiotic Approach to Literature and

Art. Trans. Leon S. Roudiez. Oxford: Blackwell

____________. 2019.

https://books.google.co.id/books?hl=en&lr=&id=a4eTDwAAQBAJ&

oi=fnd&pg=PA133&dq=Intertextuality+Theory+Of+Julia+Kristeva&

ots=dO1OgO9vo-

&sig=QAHJ9JXOu9iN5t3BWKwrQtNYjZU&redir_esc=y#v=onepag

e&q=Intertextuality%20Theory%20Of%20Julia%20Kristeva&f=false.

diakses pada 19 November 2019.

L.C Knight. 1957. Drama and Society In The Age Of Johnson.London: Pengulin

Books

Lane, Max. 2019. Tragedi 1965?. https://historia.id/politik/articles/tragedi-1965-

DAEgD. diakses pada 11 Februari 2020.

Mahfud MD, Moh. Politik Hukum di Indonesia. Jakarta: PT RajaGrafindo

Persada

Mashabi, Sania dan Erdianto, Kristian. 2020. Indeks Persepsi Korupsi Indonesia

pada 2019 Naik Jadi 40.

https://nasional.kompas.com/read/2020/01/23/16565951/indeks-

persepsi-korupsi-indonesia-pada-2019-naik-jadi-40?page=all. diakses

pada 10 Februari 2020.

Mihnea. 2018. What Is Intertextuality? (ed.) Literary Teory Course. Up Live.

London. 18 menit

_______.2018. Literary Teory Course (semua edisi). Up Live. London. 1 jam

Minda, Gary. 2019. Law and Literature. Jornal Of Asian Studies( ed.). New York:

New York University Pers, 1995.

Page 75: Memoar Fenomena Implementasi Hukum Di Indonesia Pada

134

Mukthi, M. F. 2019. Related Lima Jedral Yang “Dimatikan” Oleh Soeharto.

https://historia.id/politik/articles/tragedi-1965-DAEgD. diakses pada 1

Maret 2020.

Nabilah, S. Inas. 2019. Nilai Politik Dalam Naskah dalam Hakim Sarmin

Presiden Kita Karya Agus Noor (Analisis Semiotik). Skripsi.

Surabaya: Unair.

Nasri, D. 2017. Oposisi Teks “Anak Kemenakan” Karya Marah Rusli Kajian

Intertekstual Julia Kristeva. Jurnal Kandai. Nov 2017. Vol. 13; 205-

222

Noor, Agus. 2017. Hakim Sarmin Presiden Kita.Yogyakarta: Penerbit Basa-basi

Nurdaya, Iwan dan Lubis, Mulya T. Hukum dan Susastra. Bandung: Penerbit

Pustaka

Oktavianda, Pramudya.2019. Kaleidoskop Isu-isu Hukum di 2019. Edisi 49.

Asumsi Bersuara. Jakarta. 1 jam 12 menit.

Pam. 2019. Fakta Sehajarah VS Propaganda Film Janur Kuning.

https://www.wjtoday.com/berita/2144/fakta-sejarah-vs-propaganda-

film-janur-kuning. diakses pada 10 Februari 2020.

Pramono, Agung. 2020. Wadah Tunggal dan Mitos Negara Hukum.

https://www.hukumonline.com/berita/baca/lt5e6086d7f0aed/wadah-

tunggal-dan-mitos-negara-hukum-oleh--agung-pramono?page=all.

diakses pada 29 Maret 2020.

Prasetiyo, Aji. 2019. Taken Aja Ini? Kalimat Hakim Yang Membuka Peluang

Korupsi.

https://www.hukumonline.com/berita/baca/lt5c3d8effb72d8/teken-aja-

kita-ini--kalimat-hakim-yang-membuka-peluang-korupsi/ diakses

pada 10 Februari 2020.

Prof. Dr. Faruk. 2014. Metode Penelitian Sastra, Sebuah Penjelajahan

Awal.Yogyakarta: Pustaka Pelajar

Pusparisa, Yoshepa dan Fitra Safrezi. 2020. Ketidakstabilan Penegakan Hukum di

Indonesia.

https://databoks.katadata.co.id/datapublish/2020/01/17/ketidakstabilan

-penegakan-hukum-di-indonesia. diakses pada 7 Februari 2020

Putri, D. Restu. 2020. Novel Baswedan Permasalahan Waktu Rekontruksi

Kasusnya. https://tirto.id/novel-baswedan-permasalahkan-waktu-

rekonstruksi-kasusnya-exug. diakses pada 7 Februari 2020

Page 76: Memoar Fenomena Implementasi Hukum Di Indonesia Pada

135

Riantiarno, N. 2011. Kitab Teater, Tanya Jawab Seputar Seni

Pertunjukan.Jakarta: Pernerbit Grasindo

Sam, Matsuha dan Vijilia. 2018. Conseptualisation Of Intertextuality With

Reference To Julia Kristeva. Journal India’s Higher Education

Authority UGC. November 2018, Vol. 18:11, No. 49042; 95-97

Saputra, Andi. 2016. Daftar Panjang Hakim dan Pejabat Pengadulan Yang

Terseret Skandal Korupsi. https://news.detik.com/berita/d-

3207478/daftar-panjang-hakim-dan-pejabat-pengadilan-yang-terseret-

skandal-korupsi. diakses pada 9 Februari 2020

Schechner, Richard . 1988. Performance Theory. New York and London

(Routledge)

Shihab, Najwa. 2014. Hukum Salah Alamat. (Full ed. ). Mata Najwa. Jakarta. 49

menit

____________. 2019. Kasta Hukuman (Part 1-7). Mata Najwa. Jakarta: 1 Jam 43

menit.

____________. 2020. Hukum Pilah-Pilih (Full Version). Mata Najwa. Jakarta. 1

jam 24 menit.

Sinari Adi, Birul. 2016. Absurditas Dalam Naskah Drama Les Mouches Karya

Jean-Paul Sarte (Sebuah Pendekatan Semiotik). Jurnal Dharmasarti.

Oktober 2018, Vol. XV, No. 28; 1-138)

Soesilo, R. 1985. RIB/HIR. dengan Komentar-Komentarnya. Bogor: Politera

________.1983. KUHP beserta Komentar-Komentarnya.Bogor: Politera

Stefaneli, A. Maria. 2019. Human Into Birds: Italian Interpretation Of Gender In

Canadian Theatre. Emerald Journal. Vol. 23, 219-230.

Story, John. 2003. The Articulation of Memory and Desire: From Vietnam to The

War In Their Person. Dalam Memory and Popular Film (ed.) Jornal

Of Asian Studies.

Supriyadi. 1989. Fungsi Hukum dalam Masyarakat yang Sedang Membangun

(dalam Buku Filsafat Hukum Mazhab dan Refleksinya).Bandung :

Remaja Karya.

Suryadi. 2010. Fungsi Hukum Sebagai Alat dan Cermin Perubahan Masyarakat.

Journal of Rural and Development Volume I No. 2 Agustus

Theo Huijbers. 1995. Filsafat Hukum. Yogyakarta: Kanisius

Page 77: Memoar Fenomena Implementasi Hukum Di Indonesia Pada

136

Utami Tri Megi, Wendra I Wayan, dan Yasa I Nyoman. 2019. Representasi

Hukum dalam Cerpen Hakim Sarmin Karya Agus Noor: Analisis

Konflik Sosial Lewis A. Coser. Jurnal Pendidikan Bahasa dan Sastra

Indonesia Undiksha. Agustus 2019. Vol. 9, No. 2

Wellek, Rene dan Warren, Austin. 2016. Teori Kesusastraan. Jakarta:Gramedia

Pustaka

Wikipedia. Dwi Fungsi Abri. https://id.wikipedia.org/wiki/Dwifungsi. diakses

pada 12 Februari 2020.

Wilson, Peter. 2017. A Potted Political History Of Sicilian Theattre. Journal

Asian Studies.

Wulandari, Indah dan Raharjo, Budi. 2010. Gayus Ketahuan Jalan-jalan di Bali,

ICW Minta Diselediki.

https://nasional.republika.co.id/berita/nasional/politik/147977/breakin

g-news/hukum/10/11/09/145337-gayus-ketahuan-jalan-jalan-ke-bali-

icw-minta-diselidiki. diakses pada 12 Maret 2019

Yudiaryani. 2015. WS. Rendra dan Teater Mini Kata.Yogyakarta: Percetakan

Galangpress