mekanisme penyakit ,rasa nyeri neuropatik sebuah perspektif klinis

21
Mekanisme Penyakit: nyeri neuropatik – sebuah perspektif klinis RANGKUMAN Sindrom nyeri neuropatik, nyeri setelah luka atau penyakit perifer atau sistem saraf pusat secara klinis ditandai dengan jenis rasa nyeri yang muncul secara spontan, yang didukung oleh berbagai mekanisme patofisiologis yang berbeda dalam perifer dan sistem saraf pusat. Pada beberapa pasien, nyeri saraf memicu perubahan molekul di neuron nosiseptif, yang kemudian menjadi peka secara tidak normal dan mengembangkan aktivitas spontan secara patologis. Reaksi inflamasi dari batang saraf yang rusak dapat menimbulkan aktivitas nosiseptor ektopik, yang menyebabkan rasa nyeri secara spontan. Hiperaktivitas pada nosiseptor menimbulkan perubahan sekunder dalam pemprosesan neuron-neuron di sumsum tulang belakang dan otak, sehingga masukan dari mekanoreseptor serat-A dianggap sebagai rasa nyeri. Perubahan neuroplastik dalam sistem modulatori rasa nyeri pusat dapat menyebabkan hipereksitabilitas lanjut. Pengobatan pada rasa nyeri neuropatik masih dianggap belum memuaskan. Ada konsep hipotetis baru telah diusulkan, di mana rasa nyeri dianalisis berdasarkan mekanisme tertentu. Peningkatan pengetahuan tentang mekanisme yang memproduksi rasa nyeri dan penerjemahan mekanisme tersebut ke dalam gejala-gejala dan tanda-tanda mungkin pada akhirnya memungkinkan sebuah diseksi mekanisme yang dapat bekerja pada setiap pasien. Jika karakterisasi fenotipik klinis yang tepat

Upload: sofiakusumadewi

Post on 06-Dec-2015

30 views

Category:

Documents


3 download

DESCRIPTION

mekanism

TRANSCRIPT

Page 1: Mekanisme Penyakit ,Rasa Nyeri Neuropatik Sebuah Perspektif Klinis

Mekanisme Penyakit: nyeri neuropatik – sebuah perspektif klinis

RANGKUMAN

Sindrom nyeri neuropatik, nyeri setelah luka atau penyakit perifer atau sistem saraf pusat secara

klinis ditandai dengan jenis rasa nyeri yang muncul secara spontan, yang didukung oleh berbagai

mekanisme patofisiologis yang berbeda dalam perifer dan sistem saraf pusat. Pada beberapa

pasien, nyeri saraf memicu perubahan molekul di neuron nosiseptif, yang kemudian menjadi

peka secara tidak normal dan mengembangkan aktivitas spontan secara patologis. Reaksi

inflamasi dari batang saraf yang rusak dapat menimbulkan aktivitas nosiseptor ektopik, yang

menyebabkan rasa nyeri secara spontan. Hiperaktivitas pada nosiseptor menimbulkan perubahan

sekunder dalam pemprosesan neuron-neuron di sumsum tulang belakang dan otak, sehingga

masukan dari mekanoreseptor serat-A dianggap sebagai rasa nyeri. Perubahan neuroplastik

dalam sistem modulatori rasa nyeri pusat dapat menyebabkan hipereksitabilitas lanjut.

Pengobatan pada rasa nyeri neuropatik masih dianggap belum memuaskan. Ada konsep hipotetis

baru telah diusulkan, di mana rasa nyeri dianalisis berdasarkan mekanisme tertentu. Peningkatan

pengetahuan tentang mekanisme yang memproduksi rasa nyeri dan penerjemahan mekanisme

tersebut ke dalam gejala-gejala dan tanda-tanda mungkin pada akhirnya memungkinkan sebuah

diseksi mekanisme yang dapat bekerja pada setiap pasien. Jika karakterisasi fenotipik klinis yang

tepat dari rasa nyeri neuropatik digabungkan dengan pilihan obat yang bekerja pada mekanisme

tersebut, seharusnya pada akhirnya akan memungkinkan untuk merancang pengobatan yang

optimal bagi individu tersebut. Ulasan ini membahas kerangka konseptual dari klasifikasi yang

berdasarkan mekanisme baru, mendorong para pembaca untuk melihat rasa nyeri neuropatik

sebagai sebuah entitas klinis daripada sebuah kumpulan keadaan penyakit tunggal.

Kata Kunci: penilaian yang berbasis mekanisme dan gejala, rasa nyeri neuropatik, perubahan

neuroplastik, mekanisme patofisiologis, pengobatan farmakologis yang rasional.

PENDAHULUAN

Secara tradisional, dokter telah diajarkan untuk memeriksa dan mengklasifikasikan pasien atas

dasar topografi penyakit tubuh dan patologi tertentu, suatu pendekatan yang telah terbukti sangat

berharga untuk memahami patofisiologis dari banyak penyakit, termasuk bakteri meningitis dan

Page 2: Mekanisme Penyakit ,Rasa Nyeri Neuropatik Sebuah Perspektif Klinis

radang sendi. Pada sebagian besar dari penderita gangguan ini, rasa nyeri merupakan gejala yang

cepat menghilang setelah terapi diberikan, namun dalam kondisi lain, seperti diabetes mellitus,

penyakit tersebut tidak dapat disembuhkan, dan rasa nyeri menjadi masalah utama daripada

gejalanya.

Dalam kondisi sakit kronis dan terutama pada kasus nyeri neuropatik, yang timbul dari

kerusakan atau penyakit di dalam sistem saraf, sebuah klasifikasi yang berdasarkan penyakit dan

anatomi seringkali dirasa tidak cukup. Meskipun ada perbedaaan jelas dalam etiologi, banyak

dari kondisi ini yang menunjukkan fenomena klinis umum: misalnya, rasa nyeri yang muncul

ketika disentuh dalam neuralgia postherpetik dan neuropati diabetik yang cukup menyakitkan.

Sebaliknya, tanda-tanda dan gejala-gejala yang berbeda dapat muncul pada penyakit yang sama.

Misalnya, rasa sakit paroksisme dan kelainan yang timbul oleh stimulus dalam neuralgia

postherpetik. Klasifikasi atas dasar lokasi juga memiliki kekurangan, karena perubahan

neuroplastik berikut penyakit sistem saraf sering menimbulkan distribusi sensorik dan rasa sakit

yang mengabaikan area saraf, akar, segmental atau kortikal.

Observasi ini telah mengangkat pertanyaan tentang apakah strategi yang sama sekali berbeda,

dimana rasa sakit dianalisis berdasarkan mekanisme tertentu dapat memberikan pendekatan

alternatif untuk meneliti dan mengklasifikasikan pasien, dengan tujuan akhir untuk mendapatkan

hasil pengobatan yang lebih baik. Peningkatan pemahaman kita mengenai mekanisme yang

mendasari rasa sakit kronis, bersama-sama dengan penemuan tentang target terapi molekular

baru, telah memperkuat permintaan akan konsep alternative ini. Pada artikel ini, saya mengulas

beberapa mekanisme saraf penting dalam nyeri neuropatik, menarik parallel antara gejala

sensorik yang dapat diuji secara klinis dan mekanisme patofisiologis yang mungkin berhubungan

dengan gejala-gejala ini.

APAKAH ITU RASA NYERI NEUROPATIK?

Sindrom nyeri neuropatik adalah gangguan nyeri kronis yang disebabkan karena akibat langsung

dari suatu penyakit tubuh atau oleh penyakit yang berasal dari bagian-bagian sistem saraf yang

biasanya memberi sinyal rasa nyeri. Gangguan tersebut merupakan kondisi heterogen yang tidak

dapat dijelaskan dengan etiologi tunggal atau penyakit tubuh tertentu. Rasa nyeri neuropatik

kronis merupakan penyakit yang umum ditemukan pada praktek klinis, dan penyakit tersebut

sangat mengganggu kualitas hidup pasien. Kebanyakan pasien masuk kedalam empat luas kelas

Page 3: Mekanisme Penyakit ,Rasa Nyeri Neuropatik Sebuah Perspektif Klinis

(Kotak 1): fokal perifer dan penyakit saraf multifokal (traumatis, iskemik atau inflamasi),

polineuropati yang disamakan dengan perifer (toksik, metabolik, keturunan atau inflamasi), lesi

CNS (misalnya, struk, sklerosis ganda, cedera saraf tulang belakang), dan gangguan neuropatik

kompleks (Sindrom Nyeri Regional Kompleks [CRPSs]).

CRPSs (sebelumnya disebut disrofi refleks simpatis, atrofi Sudeck atau causalgia) adalah

gangguan yang menyakitkan yang dapat berkembang sebagai akibat trauma yang tidak

seimbang, dan gangguan tersebut biasanya mempengaruhi anggota badan. CRPS tipe I biasanya

berkembang setelah batas trauma tanpa lesi saraf yang jelas (misalnya, patah tulang, bedah).

CPRS tipe II berkembang setelah trauma yang dikaitkan dengan lesi pada saraf besar. Berbeda

dengan sindrom nyeri neuropatik lainnya, seperti regulasi aliran darah yang tidak normal,

berkeringat, dan gangguan gerakan aktif dan pasif, menunjukkan bahwa CRPS merupakan lesi

CNS yang sistemik. Apalagi adanya perubahan perifer yang terjadi, seperti edema kulit dan

jarigan sub kutan, perubahan trofik, tanda-tanda peradangan, dan komponen rasa nyeri yang

diteruskan oleh eferen saraf simpatis.

TANDA DAN GEJALA PADA NYERI NEUROPATIK

Pasien yang mengalami nyeri neuropatik menunjukkan gejala sensorik yang berbeda yang

biasanya ada secara bersamaan dalam berbagai kombinasi. Pemeriksaan sensorik di sisi ranjang

(Bedside) harus mencakup sentuhan, tusukan jarum, tekanan, dingin, panas, getaran dan

penjumlahan temporal (Tabel 1). Respon dapat dinilai sebagai normal, menurun atau meningkat

untuk menentukan apakah fenomena sensorik negatif atau positif yang terlibat. Jenis nyeri yang

timbul karena stimulus (positif) diklasifikasikan sebagai DYSESTHETIC, hiperalgesik atau

ALLODYNIC, dan sesuai dengan sifat dinamis atau statis rangsangan tersebut.

Sentuhan dapat dinilai dengan memakai kapas lembut pada kulit, sensasi tusukan jarum dapat

dinilai oleh respon terhadap rangsangan tusukan jarum tajam, nyeri yang mendalam dinilai

dengan tekanan lembut pada otot dan sendi, dan sensasi dingin dan panas dengan mengukur

respon terhadap rangsangan termal, misalnya, thermo roller disimpan pada suhu 2°C atau 45°C.

Sensasi dingin juga dapat dinilai dengan respon terhadap semprotan aseton. Getaran dapat dinilai

dengan garpu tala yang ditempatkan pada titik strategis (misalnya, antar sendi phalangeal).

Penjumlahan temporal abnormal setara secara klinis dengan peningkatan aktivitas neuron berikut

Page 4: Mekanisme Penyakit ,Rasa Nyeri Neuropatik Sebuah Perspektif Klinis

stimulasi rangsangan fiber-C pada >0.3 Hz secara berulang. Nyeri seperti tertiup angin ini dapat

dihasilkan oleh rangsangan mekanik dan rangsangan termal.

Saat ini, secara umum telah disepakati bahwa penilaian harus dilakukan di daerah yang terasa

nyeri secara maksimal dengan menggunakan area kolateral sebagai kontrol. Perubahan

segmental kolateral berikut saraf unilateral atau akar penyakit bagamanapun tidak dapat

dikesampingkan, jadi pemeriksaan pada daerah mirror mungkin tidak mewakili kontrol yang

benar.

Sebuah teknik neurofisiologis yang lebih canggih (pengujian sensoris kuantitatif [QST])

menggunakan baterai rangsangan mekanik dan rangsangan termal standar. Ketika digunakan,

allodynia atau hiper algesia dapat diukur dengan mengukur intensitas, ambang batas untuk

elisitasi, durasi dan daerah. Tabel 1 mendefinisikan beberapa tanda-tanda dan gejala sensorik

yang dapat ditemukan di neuropati yang terasa nyeri, dan merangkum uji yang sesuai untuk

menilai gejala-gejala ini secara klinis.

MEKANISME PATOFISIOLOGIS DALAM NYERI NEUROPATIK

Sebagian besar gagasan-gagasan saat ini mengenai patofisiologi nyeri neuropatik berasal dari

hasil eksperimen pada model hewan. Penelitian ini digambarkan sebagai serangkaian mekanisme

patofisiologis yang sebagian dilakukan secara mandiri. Pada bagian berikutnya, mekanisme ini

disajikan, diikuti dengan pembahasan tentang penerjemahan mekanisme neuropatik ke dalam

gejala dan tanda klinis, dan tentang target yang memungkinkan untuk dilaksanakannya intervensi

terapeutik (Gambar 1).

Sensitisasi Perifer

Sensitisasi dan aktivitas ektopik dalam nosiseptor aferen primer

Sensasi nyeri biasanya ditimbulkan oleh aktivitas dalam neuron aferen primer yang tidak

terselubung mielin (C-) dan terselubung myelin tipis (Aδ-). Nosiseptor ini biasanya diam tanpa

adanya rangsangan, dan paling merespon terhadap rangsangan yang berpotensi bahaya. Namun,

setelah lesi saraf perifer, neuron ini menjadi peka secara abnormal dan mengembangkan aktivitas

spontan patofisiologis. Perubahan patologis didukung oleh perubahan molekuler dan seluler yang

dramatis pada tingkat nosiseptor aferen primer yang dipicu oleh penyakit saraf (Gambar 2).

Page 5: Mekanisme Penyakit ,Rasa Nyeri Neuropatik Sebuah Perspektif Klinis

Aktivitas spontan ektopik berikut cedera saraf disesuaikan dengan peningkatan ekspresi dari

pembawa pesan RNA untuk saluran natrium yang diberi tegangan pada neuron aferen primer.

Serangkaian saluran natrium pada situs produksi impuls ektopik mungkin bertanggung jawab

atas penurunan batas tindakan yang berpotensi dan hasil dari hiperaktivitas.

Gen-gen yang mengkodekan saluran natrium yang diberi tegangan Nav1.8 dan Nav1.9

ditunjukkan secara selektif dalam neuron aferen primer nosiseptif. Saluran embrio, Nav1.3,

diregulasi ke atas dalam saraf perifer yang rusak, dan saluran ini berkaitan dengan peningkatan

rangsangan listrik. Serat aferen primer kecil memperoleh profil ekspresi saluran natrium yang

unik setelah lesi saraf, yang membuat serat tersebut menjadi target terapi yang menarik.

Penelitian di masa depan harus ditujukan untuk merancang penghalang saluran natrium yang

khusus isotipe.

Setelah kerusakan saraf perifer, kluster saluran natrium menumpuk tidak hanya pada lokasi saraf

lesi (Gambar 2B), tetapi juga jauh di dalam dorsal utuh akar ganglion. Disini, pergantian antara

mengaktivasi secara fisik, tegangan dependen, TETRODOTOXIN – konduktansi natrium yang

peka dan kebocoran kalium bertegangan independen yang pasif menghasilkan karakteristik

membran osilasi yang potensial, penembakan ektopik dipicu ketika amplitude sinusoid osilasi

mencapai batas. Sifat membran patologis di dalam ganglion akar dorsal (DRG) merupakan

kepentingan terapi tertentu, karena DRG tersebut terhindar dari penghalang darah di otak dan

mungkin mudah diakses untuk terapi sistemik.

Pada manusia yang menderita karena amputasi dengan nyeri pada anggota badan,

mikroneurografis serat tunggal dari serat aferen yang diproyeksikan ke dalam NEUROMA telah

menunjukkan aktivitas ektopik spontan. Pasien ini menunjukkan rasa nyeri seperti terbakar

secara spontan dan sensasi seperti terkena kejutan listrik, sehingga ada kemungkinan bahwa

gejala-gejala ini berhubungan dengan penembakan aferen primer ektopik. Pada pasien yang

menderita ERYTHROMELALIA yang merasa nyeri seperti terbakar, sebuah mutasi ditemukan

pada gen SCN9A, yang mengkode saluran natrium Nav1.7. Hal ini menyebabkan pola tembak

berubah pada neuron aferen. Bukti secara tidak langsung untuk aktivitas aferen ektopik telah

diperoleh dari sebagian kecil pasien yang menderita nyeri neuropatik yang memiliki lidocaine

(penghalang saluran natrium) menghasilkan penghilang rasa sakit.

Kerusakan pada saraf perifer juga menimbulkan regulasi berbagai reseptor protein, beberapa

diantaranya ditunjukkan di bawah kondisi fisiologis, pada membran aferen primer. Reseptor

Page 6: Mekanisme Penyakit ,Rasa Nyeri Neuropatik Sebuah Perspektif Klinis

Vanilloid (TRPV1) terletak terutama pada serat aferen nosiseptif, dan dapat diaktifkan dengan

CAPCAISIN. Secara fisiologis, reseptor ini merasakan panas yang berbahaya (>45°C). Setelah

cedera saraf secara parsial, dan pada tikus dengan diabetes karena diinduksi streptozotocin,

situasi berubah secara dramatis: penyakit tersebut memicu downregulation TRPV1 pada banyak

aferen yang telah rusak, tetapi ekspresi baru TRPV1 pada serat-C dan serat-A yang tak cedera.

(Gambar 2B, dan lihat bawah). Penelitian terbaru juga memberikan bukti untuk peningkatan

regulasi TRPV1 pada sel DRG yang mengalami cedera sedang dan berat. Pengamatan bahwa

tikus yang kekurangan TRPV1 tidak mengembangkan panas hiperalgesia setelah inflamasi

jaringan, hal ini mendukung gagasan bahwa perubahan-perubahan ini mungkin berkontribusi

pada pengembangan sensitisasi nosiseptor C dan berkaitan dengan gejala panas hiper algesia.

TRPV1 tampaknya bukan merupakan mekanisme transduksi satu-satunya untuk sensitisisasi

termal setelah cedera saraf, namun: setelah parsial ligase saraf skiatik, jenis tikus ganas dan tikus

tanpa TRPV1 menunjukkan peningkatan terus-menerus yang sebanding dengan respon nosiseptif

mekanik dan respon nosiseptif termal.

Pada serat kecil yang diinduksi taxol pada neuropati terasa sakit, TRPV4, yang biasanya

diaktifkan dengan suhu >30°C, tampaknya mempunyai peran yang penting dalam memproduksi

hiper algesia mekanik yang diinduksi taxol. Administrasi tulang belakang dari ANTISENSE

OLIGODEOXYNUCLEOTIDA pada TRPV4, yang mengurangi ekspresi reseptor pada saraf

sensorik, telah menghapuskan hiperalgesia mekanik pada tikus.

Pada pasien yang mengalami neuralgia postherpetik dengan panas hiperalgesia, penerapan

topikal akut histamin atau capcaisin terbukti meningkatkan rasa nyeri, hal ini menunjukkan

kepekaan abnormal nosiseptor pada capcaisin dan histamin pada area kulit yang terpengaruh,

mungkin karena memiliki ekspresi pola reseptor baru. Pada beberapa pasien yang menderita

erythromelalgia dan tanda karakteristik sensitisisasi nosiseptor (sakit terbakar dan panas

hiperalgesia), catatan mokroneurografis telah mengkonfirmasi bahwa nosiseptor-C telah

disensitisasi.

Penyelidikan ke dalam saluran ion rangsangan yang peka terhadap suhu juga telah

mengidentifikasikan saluran TRP yang peka terhadap dingin dan mentol (TRPM8) yang

diaktifkan dalam jangkauan 8-28°C. Reseptor ini diungkapkan dalam neuron DRG berdiameter

kecil. Upregulasi atau gating saluran ini setelah cedera dapat menyebabkan sensitisisasi perifer

Page 7: Mekanisme Penyakit ,Rasa Nyeri Neuropatik Sebuah Perspektif Klinis

nosiseptor-C yang peka terhadap dingin, yang menghasilkan fenomena sensorik hiperalgesia

dingin.

Proses transduksi untuk rangsangan mekanik masih belum terselesaikan, meskipun saluran ion

yang merasakan asam (ASICs) telah diajukan sebagai kandidat untuk keterlibatan dalam

hiperalgesia mekanik statis.

Cedera saraf eksperimental juga memicu ekspresi α1-adrenoseptor fungsional dan α2-adrenoseptor

pada serat aferen kulit (Gambar 2B). Akibatnya, neuron neuron ini mengembangkan kepekaan

adrenergik. Konsep kopling adrenergik patologis antara serat postganglionik simpatis dan neuron

aferen membentuk kerangka konseptual untuk penggunaan Blok simpatis pada sindrom rasa

nyeri seperti CRPS.

Beberapa observasi mendukung gagasan bahwa kepekaan noradrenergic pada nosiseptor

manusia muncul setelah sebagian atau keseluruhan lesi saraf. Pada orang yang telah diamputasi,

administrasi perineuromal norepinefrin telah menimbulkan rasa nyeri yang sangat kuat. Pada

pasien yang menderita neuralgia postherpetik, CRPS II dan neuralgia pasca-trauma, pemberian

norepinefrin sesuai dosis fisiologis ke daerah kulit yang terkena gejala dapat menimbulkan atau

meningkatkan nyeri secara spontan dan hiperalgesia mekanis yang dinamis. Pada pasien yang

menderita CRPS I, rasa nyeri spontan dan hiperalgesia mekanis akan bertambah ketika neuron

vasokonstriktor kulit simpatis diaktivasi secara fisiologis oleh tekanan dingin. Sebaliknya, tidak

ada kepekaan adrenergik pada neuron aferen primer yang dapat ditemukan pada polineuropatis.

Obat baru yang secara khusus memblokir reseptor yang peka terhadap suhu atau adrenoreseptor

pada neuron nosiseptif akan sesuai untuk mengatasi gejala-gejala tertentu, seperti jenis rasa nyeri

yang disebabkan oleh suhu dan secara simpatetis.

Ada semakin banyak bukti bahwa serat yang tidak cedera yang bercampur dengan serat yang

memburuk pada sebagian saraf berpenyakit juga mungkin berpartisipasi dalam memberi tanda

rasa nyeri. Produk seperti faktor pertumbuhan saraf yang berkaitan dengan DEGENERASI

WALLERIAN dan dilepaskan disekitar serat yang selamat dapat memicu pelepasan factor-α

tumor-nekrosis (TNF-α), serta saluran dan ekspresi reseptor (saluran natrium, reseptor TRPV1,

adrenoreseptor; Gambar 2B) sehingga mengubah sifat aferen yang tak cedera. Penelitian di masa

depan harus fokus pada berbagai perubahan yang mungkin terjadi pada akson yang tak cedera,

karena neuron ini masih terhubung dengan organ perifer-nya dan dapat mempunyai peran

penting dalam produksi nyeri neuropatik.

Page 8: Mekanisme Penyakit ,Rasa Nyeri Neuropatik Sebuah Perspektif Klinis

Inflamasi pada nyeri neuropatik

Setelah penyakit saraf, makrofag yang diaktifkan merembes dari pembuluh darah endoneural

menuju saraf dan DRG, melepaskan SITOKIN proinflamasi, khususnya TNF-α. Mediator ini

menyebabkan aktivitas ektopik baik pada nosiseptor aferen primer yang cedera dan yang tidak

cedera pada lokasi lesi.

Pada pasien yang menderita peradangan neuropati, seperti neuropaati vaskulitis atau neuropati

HIV, ciri-ciri fenomenana adalah rasa sakit paroksimal yang dalam dan rasa nyeri paroksismal.

COX2 dan sitokin proinflamasi ditemukan pada upregulasi dalam specimen biopsi saraf pada

pasien ini, pada pasien CRPS yang terkena penyakit ini, cairan yang diproduksi kulit yang lecet

mengandung kadar IL-6 and TNF-α yang lebih tinggi daripada extremitas yang tidak terlibat.

Sensitisasi Sentral

Sensitisasi di sum-sum tulang belakang

Akibat dari hiperaktivitas nosiseptor perifer, perubahan sekunder secara dramatis terjadi pada

dorsal horn sum-sum tulang belakang. Cedera saraf perifer menyebabkan peningkatan

rangsangan umum neuron sum-sum tulang belakang secara multi-reseptif (neuron dengan

cakupan luas dan dinamis dengan beberapa input sinaptik dari nosiseptif serta sistem non-

nosiseptif [neuron berwarna oranye pada Gambar 2C]). Hipereksitabilitas ini dimanifestasikan

dengan peningkatan aktivitas neuron dalam menanggapi rangsangan berbahaya, perluasan bidang

reseptif neuron dan penyebaran hipereksitabilitas tulang belakang pada segmen lain. Sensitisasi

sentral ini diinisiasi dan dikelola oleh aktivitas dalam serat-C yang disentisasi secara patologis.

Serat ini mensensitisasi neuron dorsal horn sum-sum tulang belakang dengan melepaskan

glutamat, yang bekerja pada reseptor pasca sinaptik N-metil-D-aspartat (NMDA) (Gambar 2C),

dan zat neuropeptide P. secara postsinapsis, neuron dorsal horn urutan kedua secara abnormal

mengungkapkan Nav1.3 setelah cedera saraf perifer. Beberapa kaskade interseluler berkontribusi

pada sensitisasi sentral, khususnya mitogen yang diaktifkan oleh sistem kinase protein (MAPK).

Jika sensitisasi sentral dibentuk, rangsangan sentuhan yang biasanya tidak berbahaya menjadi

mampu untuk mengaktifkan neuron pemberi isyarat rasa nyeri pada sum-sum tulang belakang

melalui Aδ dan Aβ mekanoreseptor batas rendah (neuron berwarna biru pada Gambar 2C).

Saluran kalsium-N yang berisikan tegangan neuronal sentral terletak pada lokasi presinapsis

Page 9: Mekanisme Penyakit ,Rasa Nyeri Neuropatik Sebuah Perspektif Klinis

pada pemberhentian nosiseptor aferen primer mempunyai peran penting pada sensitisasi sentral,

melalui penyediaan glutamat dan pelepasan zat P. saluran-saluran ini diungkapkan terlalu banyak

setelah lesi saraf perifer.

Allodynia mekanis yang dinamis pada pasien juga disampaikan oleh Aβ mekanoreseptor batas

rendah, yang menunjuk pada sensitisasi sentral sebagai mekanismenya. Pengukuran waktu-reaksi

menunjukkan bahwa allodynia yang dinamis pada pasien ditandai dengan aferen dengan

kecepatan konduksi yang sesuai untuk akson yang terselubung myelin besar. Juga, transkutan

atau rangsangan saraf intraneural yang menginervasi kulit allodynic dapat menimbulkan rasa

nyeri pada intensitas rangsangan yang hanya menghasilkan sensasi sentuhan pada kulit yang

sehat. Selanjutnya, blok saraf diferensial dapat menghapuskan allodynia yang dinamis pada titik

waktu ketika sensasi sentuhan hilang, namun modalitas lainnya tetap tidak terpengaruh.

Secara fisiologis, neuron dorsal horn menerima kontrol penghambatan yang kuat dengan asam

aminobutyric-ϒ (GABA) yang melepaskan antar neuron (Gambar 2A, C). Pada hewan pengerat,

cedera saraf perifer secara parsial meningkatkan kerugian apoptosis selektif GABA, yang

melepaskan neuron penghambat pada dorsal horn dangkal pada sum-sum tulang belakang,

sebuah mekanisme yang jauh meningkatkan sensitisasi sentral. Sebuah mekanisme alternatif

untuk melancarkan antar tulang belakang berikut cedera saraf perifer baru-baru ini diajukan.

Namun, mekanisme ini melibatkan penurunan trans-sinaptik pada ekspresi kalium-klorida

eksportir KCC2 pada neuron lamina I, yang mengganggu anion homeostasis pada neuron-neuron

ini. Pergeseran yang dihasilkan pada trans membran anion gradien biasanya menyebabkan

hambatan arus sinaptik anionik menjadi rangsangan. Efeknya adalah bahwa pelepasan GABA

dari hambatan antar neuron yang normal sekarang mengusahakan secara paradox tindakan

rangsangan pada neuron lamina I, lagi-lagi meningkatkan sensitisasi sentral.

Neuron dorsal horn menerima kontrol modulasi menurun yang kuat dari pusat batang otak

supraspinal (penghambatan serta memfasilitasi) (Gambar 2A, C). Dihipotesiskan bahwa

hilangnya fungsi pada jalur serotonergik dan noradrenergik penghambat menurun berkontribusi

pada sensitisasi sentral dan kronifikasi nyeri. Gagasan ini menjelaskan dengan baik khasiat

serotonin dan noradrenalin yang menghalangi antidepresan pada nyeri neuropatik. Namun pada

hewan, allodynia mekanis setelah cedera saraf perifer bergantung pada aktivasi tonik jalur

menurun yang menyediakan transmisi nyeri, yang mengindikasikan bahwa struktur dalam

formasi retikular mesensepalik (mungkin nukleus cuneiformis dan periaqueductal abu-abu

Page 10: Mekanisme Penyakit ,Rasa Nyeri Neuropatik Sebuah Perspektif Klinis

terlibat pada sensitisasi sentral pada nyeri neuropatik. Menariknya, teknik MRI fungsional

(fMRI) yang canggih menunjukkan bahwa struktur otak yang sama, aktif pada manusia dengan

allodynia. Karena fasilitas menurun dan penghambatan dipicu secara simultan dalam kebanyakan

model rasa nyeri pada hewan, maka dari itu penting sekali untuk menjelaskan mengapa

penghambatan mendominasi pada beberapa gabungan neuron, sedangkan fasilitasi mendominasi

pada neuron yang lain. Terapi yang meningkatkan penurunan inhibisi dan/atau menipiskan

penurunan fasilitasi merupakan sebuah target yang penting pada penelitian di masa depan.

Sensitisasi sentral dapat pula ditambah dengan sel glial non-saraf di sum sum tulang belakang.

Cedera saraf perifer mengaktifkan glia sum sum tulang belakang dan menyebabkan sel-sel

tersebut untuk meningkatkan rasa nyeri dengan melepaskan sitokin proinflamasi glial rangsangan

saraf dan glutamat (Gambar 2D).

Perubahan di otak

Sebagian besar percobaan pada hewan telah berkonsentrasi pada dorsal horn sebagai lokasi

sensitisasi sentral. Namun pada hewan pengerat, neuron yang peka juga telah ditemukan di

thalamus dan korteks sensorik primer setelah cedera saraf perifer secara parsial. Terlebih lagi,

magneto-encephalography (MEG), positron emission tomography (PET) dan penelitian oleh

fMRI telah menunjukkan perubahan mendasar dalam representasi kortikal somatosensory dan

rangsagan pada pasien yang menderita nyeri phantom limb, CRPS dan sindrom nyeri sentral,

serta model nyeri secara eksperimen. Menariknya, perubahan-perubahan ini berhubungan dengan

intensitas rasa nyeri yang dirasakan dan hilangnya rasa nyeri setelah pengobatan terhadap rasa

nyeri tersebut berhasil.

Deaferensiasi: hiperaktivitas neuron transmisi rasa nyeri sentral

Meskipun data di atas secara meyakinkan mendukung peran perifer dan sensitisasi sentral dalam

menghasilkan nyeri neuropatik. Ada deaferensiasi kulit dalam pada daerah yang sakit tanpa

allodynia yang signifikan pada beberapa pasien. Dengan asumsi bahwa sel-sel DRG dan

hubungan aferen sentral hilang pada pasien tersebut, rasa nyeri yang mereka rasakan bisa jadi

merupakan hasil dari perubahan CNS instrinsik. Pada penelitian terhadap hewan tentang

hilangnya aferen primer lengkap pada segmen tulang belakang, banyak sel dorsal horn yang

menembak secara spontan pada frekuensi tinggi, dan ada beberapa bukti bahwa proses yang

Page 11: Mekanisme Penyakit ,Rasa Nyeri Neuropatik Sebuah Perspektif Klinis

sama mungkin mendasari rasa nyeri berikut cedera secara luas pada manusia. Rekaman aktivitas

neuron tulang belakang pada pasien yang memiliki cedera pada akar dorsal karena trauma pada

CAUDA EQUINA mengungkapkan regular frekuensi tinggi dan pelepasan ledakan paroksismal.

Pasien tersebut mengeluhkan rasa nyeri terbakar secara spontan pada daerah kulit yang telah

diberikan obat bius oleh lesi (sebuah fenomena yang disebut anestesi dolorosa).

PENGUJIAN KEPEKAAN KUANTITATIF SEBAGAI ALAT DIAGNOSTIK PADA

NYERI NEUROPATIK

Konsep teoritis modern tentang terapi berbasis mekanisme mengasumsikan bahwa gejala tertentu

memprediksi mekanisme tertentu. Pendekatan ini membawa peringatan penting. Namun,

penelitian eksperimental klinis menunjukkan bahwa gejala tertentu mungkin dihasilkan oleh

beberapa mekanisme fisiologis tertentu yang sama sekali berbeda, sehingga profil gejala khusus

ketimbang gejala tunggal mungkin diperlukan untuk memprediksi mekanisme tersebut. Untuk

menerjemahkan gagasan-gagasan ini ke dalam kerangka kerja klinis, sangat penting untuk

mengkarakterisasi fenotip somatosensori pasien setepat mungkin.

Pada tahun 2002, Jaringan Penelitian Jerman tentang Nyeri Neuropatik telah didirikan dengan

tujuan membangun sebuah database pasien yang menderita berbagai kondisi nyeri neuropatik

dikarakterisasikan secara fenotip, dan untuk melaksanakan kajian penelitian dan percobaan klinis

pada rekan pasien ini. QST protokol terstandardisasi telah diperkenalkan, termasuk 13 parameter

yang mencakup prosedur pengujian termal serta prosedur pengujian mekanis untuk analisis

fenotip sematosensori. Untuk menilai gejala positif atau negatif pada pasien, dibentuklah

database yang sesuai dengan usia dan gender untuk data rujukan QST yang absolut dan relatif

untuk beberapa area tubuh pada subjek manusia yang sehat.

Saat ini, percobaan multisenter secara nasional terdiri atas profil kepekaan dari 180 subjek

manusia yang sehat dan lebih dari 1.000 pasien yang menderita berbagai jenis nyeri neuropatik.

Untuk analisis genetik, sampel darah dari semua pasien dikumpulkan dan disimpan. Biopsi kulit

untuk mengukur kepadatan serat saraf epidermal telah diambil dari sub-kelompok pasien.

Pemetaan fenotipik yang tepat dengan QST merupakan langkah penting dalam menentukan

strategi pengobatan berbasis mekanisme untuk nyeri neuropatik di masa depan. Jika gejala

berhubungan erat dengan mekanisme, penilaian klinis dari gejala tersebut dapat memberikan

gambaran tentang interaksi antara mekanisme berbeda yang beroperasi di setiap individu pasien.

Page 12: Mekanisme Penyakit ,Rasa Nyeri Neuropatik Sebuah Perspektif Klinis

Pengetahuan ini dapat mengarah pada sebuah pendekatan terapi poligramatik yang optimal,

dengan obat-obatan yang mengatasi kombinasi mekanisme tertentu yang terjadi pada setiap

pasien.

Beberapa pendekatan tersebut sangatlah menarik, dan harus diteliti pada percobaan di masa

depan. Pertama, profil QST terstandardisasi harus digunakan untuk mendeteksi fenotip sub-

kelompok pada pasien yang menderita nyeri neuropatik untuk mempelajari lebih lanjut tentang

mekanisme patofisiologis. Kedua, fenotip sub-kelompok yang diklasifikasikan secara akurat

harus dimasukkan ke dalam bukti dari konsep percobaan. Terakhir, protocol QST yang

disederhanakan harus diuraikan untuk memungkinkan masuknya kemudahan untuk

menggunakan QST pada percobaan multisenter yang besar.

GENETIKA PERSEPSI RASA NYERI DAN RESPON TERHADAP PENGOBATAN

Diketahui bahwa kepekaan terhadap rangsangan yang menyakitkan, risiko mengembangkan

nyeri kronis dan respon terhadap analgesic sangat berbeda pada setiap individu. Teknik genetik

klasik telah digunakan untuk menjelaskan perbedaan-perbedaan dalam persepsi rasa nyeri jenis

tikus yang berbeda secara genetik, dan telah menunjukkan bahwa rasa nyeri memang

dipengaruhi oleh faktor-faktor genetik. Lagi pula, polimorfisme dari sistem opioid endogen

cenderung mempertimbangkan perbedaan-perbedaan individu pada nosisepsi manusia, dan

perbedaan-perbedaan respon individu pada analgesik tertentu mungkin berhubungan dengan

polimorfisme pada enzim-enzim obat metabolisme.

Penelitian di masa depan harus fokus pada beberapa permasalahan, penelitian genetik harus

dilakukan untuk menjelaskan pengaruh genotip individu pada kecenderungan pada kronisitas

nyeri dan respon terhadap pengobatan. Penelitian tersebut juga perlu untuk menjelaskan dan

mengkarakterisasikan target molekular tertentu (saluran ion, enzim, dan regulator transkripsi

gen) dan mengevaluasi penggunaan pendekatan-pendekatan bioteknologi (terapi gen, stemcell)

untuk terapi nyeri.

KESIMPULAN

Nyeri neuropatik akibat dari lesi atau penyakit sistem saraf merupakan tantangan neurologis

yang sangat penting. Pengobatan pada pasien yang menderita nyeri neuropatik sebagian besar

telah diabaikan oleh para ahli saraf di masa lalu. Percobaan yang ada hanya memberikan nilai-

Page 13: Mekanisme Penyakit ,Rasa Nyeri Neuropatik Sebuah Perspektif Klinis

nilai pada pertolongan rasa nyeri secara umum untuk etiologi tertentu, yang akan menjelaskan

secara parsial tentang kegagalan untuk memperoleh pertolongan pada nyeri secara menyeluruh

pada kondisi nyeri neuropatik. Peningkatan pengetahuan tentang mekanisme untuk menghasilkan

rasa nyeri dan penerjemahannya ke dalam gejala-gejala dan tanda-tanda pada pasien yang

menderita nyeri neuropatik dapat memungkinkan diseksi mekanisme yang sedang berperan pada

setiap pasien. Jika pemeriksaan klinis yang sistematis pada pasien yang menderita nyeri

neuropatik dan karakterisasi fenotip yang tepat digabungkan dengan pemilihan obat yang bekerja

pada mekanisme khusus tersebut, maka akan mungkin untuk merancang pengobatan yang

optimal untuk setiap individu pasien.