mata kering

10
MATA KERING A. KOMPOSISI AIR MATA Air mata merupakan salah satu proteksi mata atau daya pertahanan mata disamping tulang rongga mata, alis dan bulu mata, kelopak mata, refleks mengedip dan adanya sel-sel pada permukaan kornea dan konjungtiva. Sebagai salah satu alat proteksi, air mata berfungsi : (1) mempertahankan integritas kornea dan konjungtiva dengan meniadakan ketidakteraturan pada sel epitel permukaan guna mempertahankan permukaan kornea agar tetap licin dan rata. Fungsi ini memperbaiki penglihatan terutama pada saat setelah mengedip; (2) membasahi dan melindungi permukaan epitel kornea dan konjungtiva yang lembut atau lubrikasi agar gerakan bola mata serta mengedip terasa nyaman dan membersihkan kotoran yang masuk mata; (3) menghambat pertumbuhan mikroorganisme dan mencegah kemungkinan infeksi karena mengandung antibakteri termasuk laktoferin, imunoglobulin, lisozim dan lipokalin; (4) memberi kornea substansi nutrien, dan sebagai media transport produk mikroorganisme ke dan dari sel-sel epitel kornea dan konjungtiva terutama oksigen dan karbondioksida. (1) Lapisan air mata terdiri atas tiga lapisan. Lapisan superfisial adalah lapisan lipid, dengan ketebalan kurang lebih 0,1 μm yang berasal dari kelenjar Meibom. Lapisan ini berfungsi menghambat penguapan air dan merupakan sawar kedap bila palpebra ditutup. Disfungsi kelenjar Meibom dapat menyebabkan lapisan air mata tidak stabil dan berakibat terjadi gangguan permukaan kornea dan konjungtiva. (1) Lapisan tengah adalah lapisan akuos dengan ketebalan kurang lebih 7 μm dihasilkan oleh kelenjar lakrimal utama, yang terletak pada orbita serta kelenjar lakrimal asesorius Kraus dan Wolfring pada konjungtiva. Lapisan akuos mentransportasikan nutrien-nutrien yang larut dalam air; defisiensi lapisan akuos, yang dapat terjadi bersamaan dengan disfungsi kelenjar Meibom merupakan penyebab dry eye paling umum. (1) Lapisan paling dalam adalah lapisan musin dengan ketebalan 20-50 nm yang dihasilkan oleh sel goblet konjungtiva dan sel epitel permukaan. Lapisan ini terdiri atas glikoprotein yang melapisi sel-sel epitel kornea dan konjungtiva. Membran sel epitel terdiri atas lipoprotein sehingga relatif hidrofobik. Permukaan yang demikian tidak dapat dibasahi dengan larutan

Upload: ajengdwinta

Post on 19-Jan-2016

90 views

Category:

Documents


2 download

TRANSCRIPT

Page 1: Mata Kering

MATA KERING

A. KOMPOSISI AIR MATAAir mata merupakan salah satu proteksi mata atau daya pertahanan mata disamping

tulang rongga mata, alis dan bulu mata, kelopak mata, refleks mengedip dan adanya sel-sel pada permukaan kornea dan konjungtiva. Sebagai salah satu alat proteksi, air mata berfungsi : (1) mempertahankan integritas kornea dan konjungtiva dengan meniadakan ketidakteraturan pada sel epitel permukaan guna mempertahankan permukaan kornea agar tetap licin dan rata. Fungsi ini memperbaiki penglihatan terutama pada saat setelah mengedip; (2) membasahi dan melindungi permukaan epitel kornea dan konjungtiva yang lembut atau lubrikasi agar gerakan bola mata serta mengedip terasa nyaman dan membersihkan kotoran yang masuk mata; (3) menghambat pertumbuhan mikroorganisme dan mencegah kemungkinan infeksi karena mengandung antibakteri termasuk laktoferin, imunoglobulin, lisozim dan lipokalin; (4) memberi kornea substansi nutrien, dan sebagai media transport produk mikroorganisme ke dan dari sel-sel epitel kornea dan konjungtiva terutama oksigen dan karbondioksida.(1)

Lapisan air mata terdiri atas tiga lapisan. Lapisan superfisial adalah lapisan lipid, dengan ketebalan kurang lebih 0,1 μm yang berasal dari kelenjar Meibom. Lapisan ini berfungsi menghambat penguapan air dan merupakan sawar kedap bila palpebra ditutup. Disfungsi kelenjar Meibom dapat menyebabkan lapisan air mata tidak stabil dan berakibat terjadi gangguan permukaan kornea dan konjungtiva. (1)

Lapisan tengah adalah lapisan akuos dengan ketebalan kurang lebih 7 μm dihasilkan oleh kelenjar lakrimal utama, yang terletak pada orbita serta kelenjar lakrimal asesorius Kraus dan Wolfring pada konjungtiva. Lapisan akuos mentransportasikan nutrien-nutrien yang larut dalam air; defisiensi lapisan akuos, yang dapat terjadi bersamaan dengan disfungsi kelenjar Meibom merupakan penyebab dry eye paling umum. (1)

Lapisan paling dalam adalah lapisan musin dengan ketebalan 20-50 nm yang dihasilkan oleh sel goblet konjungtiva dan sel epitel permukaan. Lapisan ini terdiri atas glikoprotein yang melapisi sel-sel epitel kornea dan konjungtiva. Membran sel epitel terdiri atas lipoprotein sehingga relatif hidrofobik. Permukaan yang demikian tidak dapat dibasahi dengan larutan berair saja. Musin diabsorbsi sebagian pada membran sel epitel kornea dan tertambat oleh mikrofili sel-sel epitel permukaan. Ini menyebabkan permukaan menjadi hidrofilik agar airmata menyebar ke bagian yang dibasahinya dengan menurunkan tegangan permukaan. Lapisan musin juga berfungsi memerangkap berbagai faktor pertumbuhan, leukosit dan sitokin. (1)

PH air mata normal adalah berkisar 7.2, dengan osmolaritas sebesar 302 mOsm/L, dan indeks refraksi sebesar 1,336. (1)

B. Definisi Sindroma Mata Kering Kerato konjungtivitis sika adalah suatu keadaan keringnya permukaan kornea dan

konjungtiva yang diakibatkan berkurangnya fungsi air mata.(2)

C. Epidemiologi Sindroma Mata Kering Empat penelitian besar di Amerika Serikat menunjukkan prevalensi SMK berkisar

antara 5-30% dengan total 4,91 juta penduduk berusia di atas 50 tahun. Studi besar Women’s Health Study and Physician’s Health Study menunjukkan prevalensi SMK di Amerika Serikat berkisar 7% pada wanita dan 4% pada pria, (Schaumberg et al., 2003; 2009). Salisbury Eye Study menunjukkan angka 14,6% pada populasi berusia 48-91 tahun dengan prevalensi tertinggi pada wanita (Schein et al., 1997). The Beaver Dam population-based study menemukan prevalensi sindrom mata kering 14,4% pada populasi berusia diatas 65 tahun (Moss et al., 2000). Penelitian Hom (2004) pada Hispanik menunjukkan prevalensi

Page 2: Mata Kering

yang cukup besar yaitu 24,6%. Di Kanada, prevalensi berkisar 25% (Doughty et al., 1997), di Australia, prevalensi 7,4% (McCarty et al.,1998) dan 16,6% pada tahun 2003 (Chia et al., 2003). Di Shanghai, prevalensi sindrom mata kering 33,78% pada wanita dan 24,11% pada pria dengan faktor risiko yang memperberat, diantaranya adalah jenis kelamin wanita, umur di atas 50 tahun, penggunaan lensa kontak, penggunaan anti histamin (Tian et al., 2009). Jie et al. (2009) di Beijing menunjukkan prevalensi 21% dengan dengan faktor risiko utama perempuan berusia tua dan gangguan refraksi yang tidak dikoreksi. Di Jepang, prevalensi berkisar 12,3% pada mahasiswa (Uchino et al., 2008). Di Taiwan, Shihpai menunjukkan prevalensi 33,7% dengan faktor risiko utama umur dan jenis kelamin wanita (Lin et al., 2003). Di Malaysia, prevalensi sindrom mata kering 14,4% (Jamaliah et al., 2002). Di Indonesia, Kepulauan Riau, menunjukkan prevalensi 27,5% pada penduduk berusia di atas 21 tahun dengan faktor risiko utama umur, rokok, dan pterigium (Lee et al.., 2002). Di Rumah Sakit Haji Adam Malik Medan, Chaironika (2011) menemukan 76,8% prevalensi SMK pada wanita yang telah menopause.(5)

Page 3: Mata Kering

D. Faktor Risiko Sindroma Mata Kering Faktor risiko SMK dibagi dua yaitu, milleu interieur dan milleu esterieur. Milleu

interieur adalah kondisi fisiologis individu itu sendiri. Misal, pada individu tersebut memang frekuensi kedipan matanya sedikit atau individu tertentu yang memiliki sudut bukaan kelopak palpebra yang lebih lebar (Sullivan et al., 2004b). Milleu exterieur adalah kondisi lingkungan sekitar. Kelembaban lingkungan yang rendah dan kecepatan angin yang tinggi menyebabkan cepatnya evaporasi. Termasuk juga faktor pekerjaan seperti analis yang menggunakan mikroskop, dokter radiologi, atau pengguna komputer. Berikut ini adalah penjelasan beberapa faktor risiko penyebab SMK: (6)

1. Usia Berkurangnya androgen seiring pertambahan usia menyebabkan atropi

kelenjar lakrimal dan kelenjar Meibom dengan gambaran histopatologi infiltrasi limfosit, fibrosis, dan atropi asinar (Rocha et al., 2000; Sullivan et al., 2002, 2004c). Hal ini sesuai dengan penelitian Barabino et al. (2007) yang menemukan adanya penurunan volume air mata dan kurangnya protein pada air mata orang tua. Zhu et al. (2009) menemukan bahwa kurangnya hormon androgen dapat menurunkan transforming growth factor sehingga limfosit yang dihasilkan sel asinar merembes keluar dan menghancurkan kelenjar lakrimal dan kelenjar Meibom. Akan tetapi, penelitian Schaefer et al. (2009) tidak menunjukkan adanya perbedaan tes Schrimer antara kelompok pengguna komputer berumur 20-39 tahun dan 40-53 tahun (p<0,05).

2. Jenis kelamin Hampir semua penelitian epidemiologi sindrom mata kering menunjukkan

prevalensi SMK yang lebih tinggi pada wanita, terutama wanita yang menopause (Versura et al., 2005). Hormon seks mempengaruhi sekresi air mata, disfungsi meibom, dan sel goblet konjungtiva (Schaumberg et al., 2001).

Page 4: Mata Kering

3. Pengguna lensa kontak Sekitar 43-50% pengguna lensa kontak mengalami mata kering (Begley et al.,

2000). Pemakaian lensa kontak memisahkan PTF menjadi dua bagian sehingga tidak ada musin di pre lens dan tidak ada lapisan lipid di post lens sehingga SMK sering dialami (Nichols et al., 2003). Selain itu, Tutt (2000) menunjukkan adanya penurunan kualitas bayangan retina pada pengguna lensa kontak dengan alat aberometer.

4. Merokok Pekerja yang merokok lebih banyak mengalami gangguan oftalmikus

dibandingkan yang tidak merokok (Jaakkola et al., 2000; Reijula et al., 2004). Asap rokok menyebabkan kerusakan oksidatif pada protein-protein permukaan okular (Grus et al., 2002) sehingga BUT akan menurun (Rohit et al., 2002). Moss et al. (2000) menunjukkan bahwa mata kering 1,22 kali lebih sering terjadi pada perokok.

5. Ruangan ber-AC SMK lebih banyak dialami oleh penduduk yang tinggal di tempat yang tinggi

karena suhu yang rendah, kelembaban yang rendah, dan angin yang kencang (Wolkoff et al., 2005). Oleh karena itu, SMK dapat dipicu pada ruangan yang ber-AC (Schaumberg et al., 2003).

E. Pemeriksaan Khusus(1)(3)

• Tear film break-up time Tear film break up time (BUT) adalah indeks dari stabilitas lapisan airmata pre

korneal. Diukur sebagai berikut :a. Fluorescein diteteskan pada forniks inferiorb. Pasien diinstruksikan untuk berkedip beberapa kali kemudian berhentic. Lapisan airmata diperiksa dengan cahaya yang luas dan cobalt blue filter.

Setelah interval beberapa waktu, titik-titik atau garis-garis hitam yang mengindikasikan daerah dry eye akan timbul. BUT merupakan interval antara kedipan terakhir dengan munculnya dry spot pertama yang terdistribusi secara acak. BUT yang kurang dari 10 detik adalah abnormal.

• Rose bengal Pewarnaan ini memiliki afinitas terhadap sel epitel yang telah mati dan mukus.

Rose bengal mewarnai konjungtiva bulbi yang terpapar, menghasilkan pola pewarnaan yang khas dari dua buah segitiga dengan dasarnya di limbus. Filamen-filamen dan plak pada kornea juga tampak lebih jelas dengan pewarnaan ini. Satu kekurangan dari pewarnaan dengan rose bengal ini adalah dapat menyebabkan iritasi okular yang dapat bertahan selama satu hari, khususnya pada dry eye yang berat. Untuk meminimalisasi iritasi yang dapat terjadi diberikan hanya satu tetes kecil saja, namun penggunaan anastesi topikal tidak diberikan oleh karena dapat memberikan hasil positif palsu.

• Tes Schirmer Produksi lapisan akuos airmata dapat dilakukan dengan berbagai macam cara.

Tes Schirmer dilakukan dengan meletakkan kertas strip tipis pada kuldesak inferior. Jumlah pembasahan dapat diukur untuk mengetahui jumlah produksi akuos. Terdapat berbagai macam cara melakukan tes Schirmer. Tes sekresi basal (Basal secretion test) dilakukan setelah diteteskan anastetik topikal.

Kertas strip tipis (lebar 5 mm, panjang 35 mm) diletakkan pada pertemuan antara pertengahan dan 1/3 lateral palpebra inferior untuk meminimalisasi iritasi pada kornea selama tes berlangsung. Tes ini dapat dilakukan dengan mata tertutup ataupun terbuka, meskipun beberapa ahli merekomendasikan dengan mata yang

Page 5: Mata Kering

tertutup untuk membatasi efek dari berkedip. Meskipun pengukuran normal cukup bervariasi, pemeriksaan yang telah diulang dengan hasil pembasahan ‹ 5 mm dengan anastesi, dapat merupakan sugesti yang besar terhadap defisiensi lapisan akuos, sedangkan 5-10 mm masih meragukan.

Tes Schirmer I, dimana cara pemeriksaannya serupa dengan tes sekresi basal namun dilakukan tanpa anastetik topikal, mengukur keduanya baik basal sekresi dan refleks sekresi dikombinasikan. Pembasahan ‹ 10 mm setelah 5 menit merupakan diagnostik untuk defisiensi lapisan akuos.

Tes Schirmer II yang mengukur refleks sekresi, dilakukan dengan cara yang serupa tanpa anastetik topikal. Namun setelah kertas filter diletakkan pada forniks inferior, aplikator dengan ujung kapas digunakan untuk mengiritasi mukosa nasal. Pembasahan ‹ 15 mm setelah 5 menit konsisten dengan adanya defek pada refleks sekresi.

• Tear meniscus 12Dilakukan dengan inspeksi tinggi tear meniscus antara bola mata dengan

kelopak mata bawah (normal tingginya adalah 1,0 mm dan konveks). Tear meniscus 0,3 mm atau kurang dianggap abnormal.

F. Gejala KlinisSpektrum dari defisiensi lapisan akueus berkisar dari iritasi ringan dengan kelainan

permukaan okular yang minimal hingga iritasi berat, kadang-kadang berhubungan dengan komplikasi kornea yang mengancam penglihatan. Stadium lanjut dapat terjadi kalsifikasi kornea, terutama berhubungan dengan obat-obat tetes mata tertentu (khususnya obat-obatan antiglaukoma); band keratopathy; serta keratinisasi kornea dan konjungtiva.(1)

Gejala-gejalanya cenderung memburuk menjelang penghujung siang, dengan penggunaan mata yang berlangsung sangat lama, atau dengan paparan terhadap lingkungan yang ekstrem. Sensasi benda asing merupakan gejala yang sering berhubungan dengan keratopati epitelial pungtata. Keluhan-keluhan yang berhubungan termasuk rasa panas, sensasi kering, fotofobia, dan penglihatan kabur. Gejala-gejala lain yang juga sering dilaporkan adalah mata yang berat atau lelah, rasa sakit, berkedip lebih sering, sekret mukus berlebihan dan intoleransi terhadap aliran udara atau lingkungan yang kering. Pasien dengan defisiensi lapisan akueus cenderung mengalami gejala iritasi yang memburuk di malam hari, sementara pasien yang menderita meibomian gland disease dan pembersihan lapisan airmata yang terlambat cenderung mengalami gejalagejala yang memberat ketika bangun tidur pagi hari. (4)

Tanda-tanda dari dry eye termasuk dilatasi pembuluh darah konjungtiva bulbi, lipatan-lipatan konjungtiva, penurunan tear meniscus, permukaan kornea yang ireguler, dan peningkatan debris didalam lapisan airmata. Keratopati epitelial, bisa tipis dan granular, kasar, atau menyatu dapat dilihat dengan lebih jelas setelah diteteskan lissamine green, rose bengal atau fluorescein. Fluorescein mewarnai erosi epitel dan membrana basalis yang terpapar dan bisa menghasilkan pewarnaan granular yang halus ataupun kasar pada kornea bagian sentral atau inferior. Dalam mengevaluasi pasien-pasien dry eye terutama yang lebih bermanfaat adalah pewarnaan dengan rose bengal 1% atau lissamine green. Dahulu, rose bengal dianggap hanya mewarnai sel-sel yang mati dan mukus. Belum lama ini telah ditunjukkan bahwa rose bengal juga dapat mewarnai sel-sel epitel yang tidak dilindungi secara adekuat oleh lapisan musin. Pewarnaan rose bengal dan lissamine green dapat lebih sensitif dibandingkan fluorescein dalam menunjukkan kasuskasus dini atau ringan dari keratokonjungtivitis sika; pewarnaannya dapat terlihat pada limbus nasal dan temporal dan/atau kornea parasentral inferior (exposure staining). Dapat juga lebih menonjol sepanjang kornea inferior dan konjungtiva inferior (linear staining), seperti yang terlihat pada

Page 6: Mata Kering

meibomian gland disease (MGD). Lissamine green mempunyai beberapa keuntungan jika dibandingkan dengan rose bengal yaitu tidak mewarnai epitel konjungtiva yang sehat, jauh lebih kurang mengiritasi, dan tidak menghambat pertumbuhan viral seperti rose bengal.(1)

Pada stadium dry eye yang lebih berat dapat dijumpai adanya filamen dan mukus plak. Penipisan kornea marginal atau parasentral dan bahkan perforasi dapat terjadi pada kasus-kasus yang lebih berat.(1)

G. Terapi1. Suplementasi dengan subsitusi air mata. Air mata artifisial tetap menjadi pengobatan

mata kering. Tersedia dalam bentuk tetes dan salep. Mengandung derivat selulosa (0,25-0,7% metil selulosa dan 0,3% hipromelosa) atau polyvinyl alkohol (1,4%)

2. Siklosporin topikal (0,05%, 0,1%) dilaporlan sebagai obat yang sangat efektif untuk mata kering di banyak studi terbau. Ini membantu mengurangi inflamasi cell-mediated pada jaringan lakrimal.

3. Mukolitik, seperti 5 persen accetylcystine dipakai 4 kali sehari membantu menyebarkan mukus dan menurunkan viskositas air mata.

4. Retinoid topikal baru-baru ini dilaporkan bermanfaat menunda perubahan selular (metaplasia skuamosa) yang terjadi di konjungtiva pada pasien mata kering.

5. Menurunkan evaporasi dan drainase. Evaporasi dapat dikurangi dengan menurunkan suhu ruangan, menggunakan ruang lembab dan kacamata proyeksi.

6. Tetrasiklin sistemik dapat diberikan untuk mengatasi blepharitis dan mengurangi mediator inflamasi di air mata.

7. Oklusi punktal. Mengurangi drainase dan dapat menyelamatkan air mata alami dan memperpanjang efek artificial tears. Ini sangat bermanfaat pada pasien dengan keratokonjungtivitas sedang hingga berat yang tidak berespon pada pengobatan topikal. Sementara, oklusi dapat dilakukan dengan menginsersi kolagen ke dalam kanalikuli.

DAFTAR PUSTAKA1. American Academy of Ophthalmology: External Disease and Cornea in Basic and Clinical

Science Course, Section 8, 2009-2010, page 71-1092. Ilyas, Sidarta., dan Sri Rahayu. 2012. Ilmu Penyakit Mata. Jakarta : Badan Penerbit

Fakultas Kedokteran Universitas Indonesia3. Kanski JJ, The Dry Eye in Clinical Ophthalmology A Systematic Approach, Sixth Edition,

Butterworth-Heinemann Elsevier, 2005, page 57-614. Holland EJ, Mannis MJ, Dry Eye in Ocular Surface Disease Medical and Surgical

Management, Springer-Verlag New York, Inc, 2002, page 49-555. Bunjamin, Mentari. 2012. Gambaran Tingkat Lama Penggunaan Komputer Dengan

Terjadinta Gejala-gejala Computer Vision Syndrome (CVS) pada Pekerja Pengoperasian Komputer di Wilmar Grup, Medan Tahun 2012. Skripsi Fakultas Kedokteran Universitas Sumatera Utara.

6. Sullivan, D.A.; J.A. Stern; D.A. Dartt; R.M. Sullivan and B.B. Bromberg, 2002. Lacrimal Gland Tear Film, and Dry Eye Syndrome 3. New York, Plenum Publ.