remaja kering dalam pembacaan durum lonely teenagers in
TRANSCRIPT
17
TOTOBUANG
Volume 6 Nomor 1, Juni 2018 Halaman 17— 31
REMAJA KERING DALAM PEMBACAAN DURUM
(Lonely Teenagers in “Durum” Reading)
Resti Nurfaidah
Balai Bahasa Jawa Barat
Jalan Sumbawa Nomor 11, Bandung 40113
Pos-el: [email protected] (Diterima: 28 Mei 2018; Direvisi: 30 Mei 2018; Disetujui: 5 Juni 2018)
Abstrak
This article entitled "The exhaustic Adolescent on Durum Reading". Durum is one of the compulsary scripts
in Festival Drama Sunda Basa 2017. Durum is a massive script - solid in characters and content of the story-.
The script conveys factors that cause conflict in teenagers life and the impact that occurs due the losing
thefamily’s ideality . The identification problem in this artical was just focused on adolencent’s conflict and
family along its impact against himself/herself and their surroundings. The purpose of this study revealed the
background of their conflict through the symbolof each sceneand their psychological aspects This artical used
semiotics of John Fiske and developmental psychology of Hurlock as its theoretical concepts. Anyway, the
research method used qualitative with descriptive analysis. The results showed that there were intergenerational
gap among adolescents with all their contemporary values with the older generation and social values that wer
considered as an old-fashioned; lossing of closeness and harmonious communication between parent and
adolescent, as well as between parents themselves; the high pressure of hedonistic and materialistic life; also an
individualist lifestyle that no longer understood the meaning of understanding and caring among people. The
exhaustic adolescent represented family and environtmental disharmony.
Keywords: Durum, adolescent, conflict, semiotic, phsychology
Abstrak
Artikel ini berjudul “Remaja Kering dalam Pembacaan Durum”. Durum merupakan salah satu naskah
unggulan dalam Festival Drama Basa Sunda 2017. Durum merupakan naskah yang masif (padat dalam
pemeranan dan muatan cerita). Naskah tersebut menyampaikan faktor-faktor penyebab timbulnya konflik dalam
kehidupan remaja dan dampak yang terjadi akibat kehilangan idealitas di dalam lingkungan keluarga.
Identifikasi masalah dalam artikel ini dibatasi pada konflik remaja dan lingkungan keluarganya serta
dampaknya terhadap diri si remaja maupun lingkungan di sekitarnya. Tujuan penelitian ini adalah untuk
mengungkapkan latar terjadinya konflik remaja melalui telaah pada simbol adegan serta aspek psikologis
remaja. Konsep teoretis yang digunakan dalam artikel ini adalah semiotika John Fiske dan psikologi
perkembangan Hurlock. Metode penelitian yang digunakan ialah kualitatif dengan analisis deskriptif. Hasil
yang diperoleh dalam penelitian tersebut adalah adanya kesenjangan antargenerasi: antara remaja dengan
segala nilai kontemporernya dengan generasi tua dan nilai-nilai sosial yang dianggap kolot; hilangnya
kedekatan dan komunikasi harmonis antara orangtua dan remaja, serta antarorang tua sendiri; tekanan
kehidupan hedonistis dan materialistis yang cukup tinggi; pola hidup individualis yang tidak lagi memahami arti
pengertian dan kepedulian antarsesama manusia. Remaja kering merupakan bukti atas ketidakharmonisan
keluarga dan lingkungan setempat.
Kata-kata kunci:durum, remaja, konflik, semiotika, psikologi
PENDAHULUAN
Zaman bergerak secepat pergerakan
angin, bahkan dapat dikatakan tidak terukur.
Munculnya serangkaian fenomena baru
seakan mewarnai peradaban manusia.
Globalisasi ditenggarai sebagai sumber dari
segala sumber perubahan yang cepat
tersebut. Diibaratkan seperti arus yang deras,
globalisasi menjadi malaikat kematian
terhadap serangkaian batas-batas wilayah,
batas-batas etika dan norma sosial, batas-
batas adat dan tradisi, tetapi meninggalkan
sekaligus menebarkan jejak keragaman,
sebaran etika dan norma yang baru. Banyak
Totobuang, Vol. 6, No. 1, Juni 2018:17—31
18
pula yang mengatakan bahwa wajah dunia
seolah dimiripkan dengan segala aspek
kehidupan manusianya. Yang paling
dikhawatirkan dengan perubahan tersebut
adalah kaum muda, yang dengan segala
keluasan pengetahuannya seolah mampu
menaklukan teknologi dengan gawai
canggihnya. Gawai yang mampu membawa
mereka ke dunia yang jauh, menelan
mentah-mentah pengaruh Barat, bertahap
meninggalkan keribetan pakem tradisi dan
menjauhkan dunia yang dekat di antara
mereka. Pengaruh-pengaruh nilai baru yang
seolah cenderung menjanjikan kebebasan
dan kemudahan, yang tidak didasari dengan
akar-akar pemahaman akan risiko besar yang
ditanggungnya, lalu banyak mendatangkan
cobaan yang luar biasa di dalam kehidupan
para remaja. Tentu saja, dalam satu sisi,
pengaruh-pengaruh baru Barat juga memiliki
sederet nilai positif, di antaranya daya
kreativitas remaja yang luar biasa, ditambah
dengan kemajuan dunia digital memudahkan
mereka untuk berkarya dan berprestasi.
Hanya saja, sungguh disayangkan jika tanpa
didasari pandangan yang luas, dan dasar
pemahaman yang tinggi, remaja seolah
kehilangan kendali. Kehidupan instan seperti
yang kerap kali ditayangkan dalam sinetron
melekat erat dalam-dalam dan lambat laun
menyusutkan daya juang mereka.
Remaja tidak pernah lepas dari
lingkungan keluarganya. Remaja yang
digandangkan sebagai masa usia labil,
pencarian jati diri, penuh ketakutan, tidak
realistis dan cenderung subjektif,
ambivalensi tinggi terhadap perubahan dan
risiko yang dihadapi, dan sebagainya.
Idealnya, remaja yang berada dalam masa
peralihan tersebut tetap berada di dalam
pengawasan kedua orang tuanya, keluarga
besar, dan lingkungan sosialnya. Namun,
tidak semua remaja beruntung mendapatkan
idealitas tersebut. Adakalanya, pada masa
remaja itulah mereka terjerumus ke dalam
kegelapan. Lepasnya pengawasan orang tua,
renggangnya hubungan dengan saudara,
kondisi dan situasi lingkungan sosial yang
cenderung individualistis, ditambah dengan
budaya materialis dan narsistis yang cukup
deras serangannya, semakin memudahkan
remaja untuk menjadi rapuh. Sisi gelap
masa remaja itulah yang dimunculkan dalam
beberapa naskah Festival Drama Basa Sunda
(FDBS) 2017 yang diselenggarakan oleh
Teater Sunda Kiwari. Lima naskah unggulan
dijadikan sebagai naskah pilihan peserta,
yaitu Belis, Pasalia, Durum, Salayar Dami,
dan Pret. Kelima naskah tersebut
menunjukkan polemik dalam kehidupan
manusia masa kini. Terkecuali Belis, empat
naskah lain berbicara tentang kelamnya
kehidupan remaja saat ini. Keempat naskah
tersebut memberikan gambaran kehidupan
remaja yang sudah kehilangan idealitas
keluarga dan lingkungan sosialnya. Mereka
menjadi kesepian. Dengan dasar sebagai
makhluk sosial, remaja melampiaskan
kerinduan akan idealitas tersebut pada
berbagai alternatif yang rupanya menjebak
mereka sendiri sebagai korban yang baru.
Sedianya, artikel ini akan membahas
keempat naskah tersebut, tetapi keterbatasan
waktu menyebabkan bahasan ini hanya
diarahkan pada satu naskah, yaitu Durum.
Durum ditulis oleh E.D. Jenura.
Durum merupakan singkatan dari Dunia
Rumaja ‘Dunia Remaja’. Dapat dikatakan
bahwa Durum merupakan drama yang padat
dengan deretan fragmen masalah dalam
kehidupan remaja yang padat. Semua adegan
berisi, tidak sambung menyambung, plot
naik-turun, dan dialog yang cukup
mengaduk-aduk emosi penonton. Durum
menyajikan remaja yang lepas dari
pengawasan orang tua, orang tua yang lepas
dari pakem perkawinan, konsep percintaan
yang sudah melenceng jauh, hilangnya
konsep keteladanan, dan gaya tontonan
masyarakat masa kini yang cenderung
hedonis, terangkai dalam
ketidaksinambungan antaradegan, serta
banyaknya karakter yang dihadirkan, tetapi
memberikan keutuhan tentang pencitraan
remaja kering saat ini. Durum secara masif
menyampaikan serangkaian faktor dan
Remaja Kering dalam …. (Resti Nurfaidah)
19
dampak kehilangan idealitas tersebut.
Karakter yang ditampilkan dalam drama
tersebut adalah Dalang, Satu, Dua, Tiga,
Empat, Kesih Sukesih, Aji Kataji, Kutu
Buku, Cacing Cau, Suami, Istri, Junkie,
Penyiar, Aktris, dan Aktor. Latar tempat dan
situasi dibuat absurd, tidak disebutkan
dengan jelas. Hanya saja, di panggung
tersedia sebuah properti yang
menggambarkan layar monitor, kotak-kotak
besi yang menggambarkan remote control
dan gawai, serta gulungan tambang besar
yang tersambung pada sebuah. Durum yang
menjadi fokus bahasan dalam artikel ini
adalah yang dipentaskan di Jambore Sastra
2017 di Yogyakarta. Jambore Sastra 2017
merupakan pagelaran tahunan beberapa
anggota tetap di wilayah Indonesia Tengah
yang meliputi balai dan kantor di wilayah
Jawa, Banten, Bali, NTB, NTT, dan
Kalimantan. Sebagai wakil dari Jawa Barat,
Balai Bahasa Jawa Barat menunjuk Teater
Gawe SMKN 3 Tasikmalaya, salah satu
peserta dalam FDBS 2017.
LANDASAN TEORI
Konsep yang digunakan dalam
artikel ini adalah semiotika Fiske dan
psikologi perkembangan Hurlock. Remaja
sebagai bagian dari tahapan perkembangan
manusia dianggap sangat unik, terutama
pada aspek kelabilan (moral dan emosi) serta
kepesatan fisik. Konflik dalam kehidupan
remaja, menurut Hurlock (2013:231—232),
bermula pada kesalahan kedua belah pihak,
remaja-orang tua. Orang tua sulit
melepaskan sifat naluriahnya, yaitu
menganggap remaja mereka sebagai anak
kecil. Orang tua cenderung memperlakukan
mereka sebagai anak kecil, tetapi di sisi lain,
mereka mengharapkan si remaja untuk
bertindak sesuai dengan usianya saat itu.
Kesalahan remaja adalah sulit menerima
perlakuan tersebut. Hal lain yang paling
mendasar adalah kesenjangan generasi
(Hurlock, 2013:232). Hurlock memandang
bahwa kesenjangan tersebut kebanyakan
diakibatkan oleh perubahan radikal dalam
nilai dan standar perilaku yang biasanya
terjadi dalam perubahan budaya yang sangat
cepat. Kesenjangan generasi yang paling
menonjol adalah di bidang norma sosial.
Norma sosial yang muncul dalam kehidupan
remaja saat ini, misalnya, merupakan tabu
dalam kehidupan generasi orang tua pada
masa remaja dulu. Konflik akan semakin
meruncing jika ditambahkan dengan
ketidakmampuan remaja untuk
berkomunikasi dengan orang tua dan
generasi sebelumnya yang lain. Orang tua
banyak yang sulit menerima kenyataan atas
pembangkangan remaja pada larangan-
larangan tertentu, sementara si remaja
memandang orang tuanya tidak bisa
mengerti keinginannya. Teja (2016)
menyampaikan tujuh pilar pengasuhan anak
Elly Risman sebagai solusi untuk
menjembatani kesenjangan antargenerasi
tersebut, antara lain, orang tua harus
sepenuhnya ada untuk anak, membangun
ikatan yang kuat dengan anak, menetapkan
tujuan pengasuhan yang jelas, pengaturan
gaya berbicara (tutur kata halus, sopan, baik,
dan tidak bohong), orang tua harus menjadi
sekolah religi pertama bagi anak, memiliki
persiapan pola pengasuhan anak saat remaja,
serta mengajari anak menahan pandangan.
Sementara itu, Hapsari (2012)
menyampaikan bahwa menghadapi remaja
memerlukan strategi tersendiri. Jika terlalu
keras, remaja akan melampiaskan pencarian
oase di luar rumah, sebaliknya, jika terlalu
longgar, remaja akan mudah terjerus ke
dalam kesesatan, seperti pergaulan bebas.
Hapsari menyampaikan pendapat Risman
tentang kiat orang tua dalam menghadapi
remaja, antara lain, memupuk sikap
menerima dan bersahabat dengan remaja,
mengenali hal-hal yang muncul dalam
kehidupan remaja, serta membangun
kepercayaan kepada remaja. Kedekatan
orang tua dan remaja sedemikian penting.
Jika tidak, remaja akan melarikan diri dan
mencari “orang tua” baru di luar rumah
dalam berbagai wujud. Paling ekstrem,
kerenggangan tersebut akan memunculkan
Totobuang, Vol. 6, No. 1, Juni 2018:17—31
20
kenakalan remaja. Ir (2011) memberikan
gambaran penyebab kenakalan remaja
berikut, yaitu (1) kurangnya sosialisasi dari
orang tua ke anak mengenai nilai-nilai moral
dan sosial; (2) contoh perilaku yang
ditampilkan orang tua (modeling) di rumah
terhadap perilaku dan nilai-nilai anti-sosial;
(3) kurangnya pengawasan terhadap anak
(baik aktivitas, pertemanan di sekolah
ataupun di luar sekolah, dan lainnya); (4)
kurangnya disiplin yang diterapkan orang
tua pada anak; (5) rendahnya kualitas
hubungan orang tua-anak; (6) tingginya
konflik dan perilaku agresif yang terjadi
dalam lingkungan keluarga; (7) kemiskinan
dan kekerasan dalam lingkungan keluarga;
(8) anak tinggal jauh dari orang tua dan tidak
ada pengawasan dari figur otoritas lain; (9)
perbedaan budaya tempat tinggal anak,
misalnya pindah ke kota lain atau
lingkungan baru; dan (10) adanya saudara
kandung atau tiri yang menggunakan obat-
obat terlarang atau melakukan kenakalan
remaja. Ir juga menambahkan bahwa
lingkungan pergaulan rema serta aturan
sekolah yang kurang tegas juga dapat turut
memicu kenakalan remaja tersebut.
Penelitian tentang konflik remaja telah
banyak dilakukan. Rohisoh (2011:ix) dalam
skripsi berjudul “Pengaruh Perhatian Orang
tua Terhadap Kenakalan Remaja di MTs.
Walisongo Sidowangi Kajoran, Kabupaten
Magelang” menyampaikan hasil penelitian
kualitatif dalam analisis deskriptif bahwa
perhatian orang tua di sekolah tersebut
berada pada kategori tinggi (54 anak atau
90%), kategori sedang (3 anak atau 5%), dan
kategori rendah (3 anak atau 3%). Sementara
itu, tingkat kenakalan remaja di sekolah
tersebut terdiri atas kategori tinggi (2 anak
atau 3.33%), kategori sedang (12 anak atau
20%), dan ketegori rendah (46 anak atau
76%). Berdasarkan penelitian kualitatif
dalam hasil analisis korelasi produk
momentsignifikan didapati adanya korelasi
yang besar dari “Y” tabel. Pada taraf rxy
0,728 lebih 0,250 pada taraf 1% adalah
0,325. Kemudian dihubungkan dengan
pedoman interprestasi koefisien korelasi
diketahui pengaruh perhatian orang tua
terhadap kenakalan remaja dalam kategori
kuat. Saripuddin (2009:vi) dalam skripsi
berjudul “Hubungan Kenakalan Remaja
dengan Fungsi Sosial Keluarga”
menyampaikan bahwa terdapat hubungan
negatif antara fungsi sosial keluarga dan
kenakalan remaja. Semakin tinggi fungsi
sosial keluarga semakin rendah kenakalan
remaja, sebaliknya semakin rendah fungsi
sosial keluarga semakin tinggi kenakalan
remaja. Safitri (2011:ix) dalam tesis berjudul
“Penanganan Kenakalan Remaja (Studi
Kasus Di SMA Negeri 2 Boyolali)”
mendapati dua cara penanganan yang
dilakukan guru Bimbingan dan Konseling di
sekolah tersebut, yaitu (1) cara kuratif atau
penyembuhan bagi siswa yang terlibat
kenakalan remaja ringan berupa
pemanggilan serta pemberian penringatan
pertama, dan (2) cara represif atau
pembinaan bagi siswa yang terlibat dalam
kenakalan remaja berat. Jika kenakalan
tersebut berulang, pihak sekolah melakukan
cara yang ketiga, yaitu pengembalian siswa
kepada pihak orang tua. Artikel ini juga
berkaitan dengan penelitian terhadap
kenakalan remaja berupa konflik remaja
dengan lingkungan keluarga inti dan
lingkungan di sekitarnya, berbeda dengan
kebanyakan penelitian serupa berupa studi
kasus pada satu institusi, yang disajikan
dalam bentuk drama. Berdasarkan pada hasil
pembacaan pada kajian pustaka, kesemuanya
mengaitkan kenakalan remaja dengan
kondisi dan situasi keluarga yang tidak
harmonis. Landasan Teori dapat dituliskan
dalam subbab dengan tetap mempertimbangkan
kuota 15% dari keseluruhan badan naskah.
Semua sumber yang dirujuk atau dikutip harus
dituliskan di dalam daftar pustaka.
METODE PENELITIAN
Artikel ini merupakan penelitian
kualitatif dengan metode analisis deskriptif.
Pembahasan dibatasi faktor dan dampak
pengaruh zaman terhadap kehidupan remaja
Remaja Kering dalam …. (Resti Nurfaidah)
21
yang rapuh. Sementara itu, tahapan
penelitian yang dilakukan dalam penyusunan
artikel ini adalah pembacaan dan
pengamatan cermat pada sumber data
maupun pada pementasan; pembacaan
literatur pendukung; pengolahan data
berdasarkan konsep teoretis yang relevan
dengan topik penelitian; dan penyampaian
hasil analisis dalam bentuk artikel ilmiah.
Konsep teoretis yang digunakan dalam
artikel ini adalah semiotika John Fiske dan
psikologi perkembangan Hurlock. Menurut
John Fiske, semiotika adalah studi tentang
pertanda danmakna dari sistem tanda; ilmu
tentang tanda, tentang bagaimana tanda dan
maknadibangun dalam “teks” media; atau
studi tentang bagaimana tanda dari jenis
karyaapapun dalam masyarakat yang
mengkomunikasikan makna. Dalam
semiotika (ilmu tentang tanda) terdapat dua
perhatian utama, yakni hubungan antara
tanda denganmaknanya dan bagaimana suatu
tanda dikombinasikan menjadi suatu kode.
Semiotik yang dikaji oleh John Fiske antara
lain: level reality (realitas), yakni peristiwa
yang ditandakan (encoded) sebagai realitas,
berupa tampilan, pakaian, lingkungan,
perilaku, gestur, suara. Selanjutnya, level
representation(representasi), realitas yang
terkode dalam encoded electronically harus
ditampakkan pada technical codes, seperti
kamera, pencahayaan, penyuntingan, musik,
dan suara. Dalam bahasa tulisada kata,
kalimat, proposisi, foto, grafik, dan
sebagainya, sedangkan dalam bahasa gambar
atau televisi ada kamera, tata cahaya, atau
musik. Elemen-elemen ini ditransmisikan
kedalam kode representasional yang dapat
mengaktualisasikan, antara lain, karakter,
narasi, latar, dan sebagainya. Terakhir, level
ideology (ideologi), semua elemen
diorganisasikan dan dikategorikan dalam
kode-kode ideologis, seperti patriakhi,
individualisme, atau ras. Ketika kita
melakukan representasi atassuatu realitas,
menurut Fiske, tidak dapat dihindari adanya
kemungkinan memasukkan ideologi dalam
konstruksi realitas.
PEMBAHASAN
Analisis terhadap naskah Durum dibagi ke
dalam tiga level Fiske, yaitu level reality,
level representation, dan level ideology.
Durum dalam Semiotika Fiske
Pembahasan Semiotika Fiske dalam
pementasan Durum tersebut dibagi ke dalam
tahapan berikut: Level Reality, level
representation, dan level ideology.
Level Reality
Naskah Durum menampilkan sosok
remaja yang tampil apa adanya. Dalam
pementasan drama Durum, Teater Gawe
menampilkan remaja yang dari segi tampilan
hamper sama, konsep kostum sama. Hal itu
dilakukan untuk menonjolkan persamaan
nasib pada sosok remaja kering. Pada sisi
lain, tata rias panggung dibuat senatural
mungkin untuk menampilkan kesan remaja
yang polos dan belum bisa berpikir dengan
jernih dan mendalam. Tata panggung dibuat
sangat sederhana. Sebuah bilah kayu
dibentuk sebagai cerminan sebuah layar
monitor, sebagai wakil dari mata manusia,
mata masyarakat, tempat hadirnya tayangan
show case yang mampu mencuci otak
penontonnya. Kemudian, setiap pemain
memegang sebuah kota besi yang
multifungsi dalam pemaknaan. Kotak besi
itu berfungsi sebagai gawai atau remote
control, benda yang kini seolah menjadi
kebutuhan primer dalam kehidupan manusia.
Tata lampu disesuaikan dengan konflik pada
setiap adegan. Tipe pemeranan setiap
karakter nyaris seragam, yaitu semua
karakter tampak emosional dengan
penyampaian dialog yang lantang.
Gambar 1
Pementasan Drama Durum
Sumber: koleksi pribadi
Totobuang, Vol. 6, No. 1, Juni 2018:17—31
22
Tokoh Dalang ditampilkan dengan
sosok yang cenderung bergaya feodal,
bingung, dan mudah kecewa dalam
menghadapi perubahan, tetapi ia tidak
pernah berhenti untuk membimbing anak-
anak remaja yang mengikutinya. Tokoh
Kesih Sukesih digambarkan sebagai remaja
matre yang manja dan genit. Tokoh Aji
Kataji digambarkan sebagai sosok laki-laki
yang metroseksual, lelaki yang memiliki ciri
tubuh laki-laki tradisional, tetapi memiliki
kepedulian yang tinggi terhadap kesehatan
dan keindahan tubuhnya. Tokoh Kutu Buku
digambarkan tidak mengenali keadaan
sekeliling. Perhatiannya hanya tertuju pada
bahan bacaan yang dibawanya dan
waktunya selalu tercurah untuk belajar.
Tokoh Cacing Cau ditampilkan sangat
ketakutan dalam menghadapi tekanan dari
teman-temannya. Tokoh Suami dan Istri
digambarkan sangat emosional. Masing-
masing berkutat dengan masalah yang tidak
terselesaikan. Junkie ditampilkan sekilas
sebagai sosok yang meluapkan frustrasi
dengan merokok sambil mendengarkan
musik fungki. Tokoh penyiar digambarkan
sangat polos. Tokoh Aktris dan Aktor
digambarkan bersikap sangat berlebihan.
Tokoh Satu-Dua-Tiga-Empat digambarkan
sebagai tokoh yang rata dengan gaya bicara
yang saling bersahutan.
Gambar 2
Sebagian Karakter dalam Durum
Aktris Empat Dua
Aktor-Aktris Dalang Kesih Sukesih
Aji Kataji Suami-Istri Satu
Sumber: koleksi Teater Gawe
Remaja Kering dalam …. (Resti Nurfaidah)
23
Level Representation Durum menyampaikan nuansa hidup
keluarga modern kebanyakan berlatar
budaya urban. Pola hidup serba instan,
hilangnya toleransi, lemahnya koneksi
antarsesama manusia, sempitnya waktu,
menyebabkan kehidupan manusia modern
cenderung tergesa-gesa. Meninggalkan
tradisi, nilai-nilai, dan norma sosial, manusia
modern cenderung menanggalkan etika.
Hubungan antara generasi muda-tua ibarat
oposisi. Jurang di antara terbentang lebar.
Generasi muda tampak asyik sendiri dengan
gawai-gawai canggih. Kesemrawutan
kehidupan urban, kota metropolitan, menjadi
pembuka drama tersebut. Para tokoh
berperanan ganda sebagai penduduk wilayah
urban yang sibuk dengan gawai sambil
berjalan bolak-balik dengan tergesa-gesa.
Tenggelamnya mereka dalam keasyikan
kecanggihan gawai tampak dari cara mereka
memegang kotak besi itu. Seolah mereka
tidak mau lepas dari alat itu. Kemudian,
terdengar suara Durum… durum… durum…
Para tokoh semua hadir dan berperanan
sebagai anak muda yang tenggelam dalam
dunia maya. Dunia maya yang mereka
anggap sebagai surga yang semu.
Gambar 3
Generasi Gawai
Sumber: koleksi pribadi
Langkah mereka dihentikan Dalang.
Dalang menyampaikan akhir kehidupan,
kematian. Ia menyampaikan bahwa ada yang
mati malam itu. Dalang bertindak sebagai
Aku Sang Mahatahu. Kesan “kolot” pada
tokoh Dalang terlihat pada dialog yang ia
ucapkan. Ia menyampaikan berita kematian
berikut. Dalang: Tidak tahu. Tapi harus
ada yang mati malam
ini. Begitulah, sejatinya
perjalanan hidup. Coba
saja perhatikan, film,
serial, atau pun buku
bagus, pasti harus ada
karakter yang mati.
Tidak mati, tidak seru!
Sejatinya keindahan
hidup bersembunyi di
balik kematian. (Janura,
2017)
Dalang lalu menunjuk perumpamaan calon
si mati kepada para remaja. mereka yang
ditunjuk tampak ketakutan dan
mengemukakan berbagai alasan untuk
dihindari dari kematian. Kemudian,
ketidakpedulian muncul, para remaja itu
kembali menari dan menyanyi lagu yang
sama durum…duruuummmm… durummm….
Para remaja itu sibuk dengan masalah sinyal
yang melemah. Lalu, menaruh kecewa pada
gawai dan memasukkan gawai itu ke dalam
saku, lalu menari lagi sambil bernyanyi
durummm… durum…duruummm. Salah satu
kotak besi beralih fungsi sebagai remote
control. Di layar yang besar, muncul tokoh
dunia maya bernama Kesih Sukaesih. Ia
menyampaikan gaya hidup hedonis dengan
segala kesenangan semunya. Dalang tidak
menyukai tayangan itu, tetapi para remaja
sebaliknya justru menikmati gaya hidup
bintang dunia maya itu. Dalang tetap
menyampaikan ketidaksetujuannya terhadap
pola pikir Kesih. Para remaja melancarkan
protes dan mengalihkan jalur. Tayangan
berpindah pada sesosok laki-laki bertubuh
kekar, Aji Kataji. Ia memamerkan ototnya
yang membuat para remaja wanita terhanyut.
Aji Kataji sangat memperhatikan bentuk
serta kesehatan tubuhnya. Ia menyampaikan
tips-tips yang memikat kepada para
penonton agar mereka mengikuti jejaknya.
Dalang kembali menegur para remaja agar
tidak terlalu yakin dengan hal-hal yang
Totobuang, Vol. 6, No. 1, Juni 2018:17—31
24
disampaikan oleh Aji Kataji. Di layar
munncul Aktor-Aktris dalam sebuah
sinetron. Tema sinetron itu adalah daun
muda. Seorang pemuda gencar mengejar
perempuan berusia dewasa. Perempuan itu
bersikukuh untuk tidak menerima pinangan
si pemuda karena ia sudah menikah. Si
pemuda ngotot untuk mendapatkan cinta
perempuan itu. Cerita itu terus berlanjut
tiada akhir. Dalang kembali menyatakan
ketidaksetujuannya dan kesenjangannya
dengan para remaja tersebut. Namun, ia
tidak dapat meninggalkan mereka dan tetap
berteman.
Para tokoh lalu kembali menyanyi
dan menari keliling panggung: durum…
durum… durum…. Kemudian, muncullah
tokoh Kutu Buku yang menjadi korban
bullying para remaja lainnya. Adegan
bullying lain ditujukan pada tokoh Cacing
Cau yang juga tampak tidak berkutik ketika
para remaja memerasnya. Setelah itu,
seorang informan dihadirkan untuk
menyampaikan latar terjadinya kasus
kekerasan pada kaum remaja. Menghindari
situasi serius, para remaja memindahkan
jalur tayangan. Muncullah tayangan
pertengkaran hebat antara tokoh Suami-Istri.
Pertengakran tersebut berbasis konflik
gender. Kemudian, muncullah tokoh Satu
yang menyampaikan dampak dari keluarga
yang tidak harmonis terhadap kehidupan
kaum remaja dan anak-anak. Selain itu,
tumbuh pula sikap rasa tidak hormat si anak
yang berbalik menertawakan kesulitan yang
dihadapi oleh orang tuanya yang diperankan
oleh tokoh Dua. Berganti adegan, tampil
penyiar TV lainnya yang menyampaikan
kebobrokan moral seorang pejabat publik.
Para remaja menunjukkan sikap tidak
simpati pada tayangan tersebut, sebaliknya,
Dalang menyenangi hal itu. Para remaja
protes, lalu, kembali melontarkan kisruh
masalah sosial di negeri ini, di antranya,
konflik nasionalisme, rendahnya tingkat
keterbacaan di kalangan penduduk negeri,
sempitnya ruang untuk pengembangan
imajinasi para remaja.
Dalang: Kenapa dimatikan?
Semua: GAk seru…!
Dalang: Nasionalisme itu
penting banget buat
remaja seperti kita!
Empat: Ini Dalang! Dari tadi
terus aja harus ini,
harus itu, ini itu. Sok
bener sendiri.
Dalang: Nasionalisme itu
penting!
Dua: Buat apa
nasionalisme? Mobil
bikinan Jepang!
Ponsel bikinan Cina!
Demokrasi dari
Yunani! Angka-angka
dari Arab! Nonton
film /amerika! Makan
pizza dan spageti dari
Italia! Baju dijahit di
Thailand! Musik dari
Inggris! Kenapa kita
harus nasionalisme?
Satu: Sudahlah jangan
banyak bicara, Lang!
Empat: (Mengepalkan tangan
kea rah Dalang) Aku
gak mau lagi
mendengarkan
omongan si Dalang.
Huruf-huruf bikin
pusing, aku mau lihat
gambar!
Dalang: Pemalas! Manja!
Dengerin, Lur! Orang
yang suka membaca
dan orang yang suka
nonton, jauh banget
intelektualnya!
Membaca itu baik
untuk memperluas
imajinasi. Kalau kita
suka baca buku, kita
bakal dibawa
berkeliling kea lam
yang belum tentu
terjangkau oleh
Remaja Kering dalam …. (Resti Nurfaidah)
25
langkah kita. Kita bisa
berhenti sejenak, kita
bisa merasakan
keindahan isi buku,
kemudian
mengembara lagi,
balik lagi, berangkat
lagi…
Empat: Kalau nonton film
juga, kita bisa pause
dulu, ke WC buat
kencing, lalu nonton
lagi, Lang? Kamu
sehat?
Dalang: Bedalah, kalau kepala
kita sudah dipenuhi
gambar visual,
imajinasi kita
terbatasi oleh…
Dua: Imajinasi! Imajinasi!
Buat apa imajinasi?
Imajinasi kita sudah
dibunuh oleh guru,
oleh orang tua, oleh
kenyataan yang
membuat sakit hati
dan mata! Harus
realistis, katanya!
Cita-cita jadi dokter
harus realistis! Cita-
cita jadi astronot
harus realistis! Cita-
cita jadi presiden
harus realistis! Mau
jadi Bandar narkoba
juga harus realistis,
katanya! RE-A-LIS-
TIS! Jadi apa gunanya
imajinasi kalau belum
apa-apa sudah
disuruh realistis?
Bunuh Imajinasi
sekarang juga! Gak
ada gunanya!
Semua: Bunuh…!
Dua: Bunuh komen sombong!
Semua: Bunuh!
Dalang: Tapi…
Satu: Tapi! Tapi! Mana
tombol jempol
jungkir? Nanti setiap
Si Dalang komen, mau
di jempol jungkir!
Rujit! Perusak
kesenangan orang
lain!
Empat: (Menarik satu
menjauhi yang lain)
Ssssttt… tapi
kayaknya, kita juga
perlu Si Dalang! Di
saat hati panas, kita
butuh omongan Si
Dalang yang membuat
kita dingin.
Satu: Berisik! Diam kamu!
Empat: Siap laksanakan! (Janura, 2017)
Konflik antargenerasi mencapai puncaknya.
Mereka ingin menyingkirkan Dalang. Junkie
lalu muncul lalu menyanyikan lagu dugem
yang diikuti oleh para remaja. Pencahayaan
diarahkan pada gaya diskotik dengan
pergantian warna lampu merah-hijau-biru
dengan cepat, seiring irama lagu. Lagu
terhenti. Remaja marah. Mereka menuding
Dalang sebagai biang keladinya. Dalang lalu
dikepung dan dieksekusi.
Gambar 4
Akhir Durum
Sumber: koleksi pribadi
Level Ideology
Totobuang, Vol. 6, No. 1, Juni 2018:17—31
26
Remaja yang kehilangan kasih
sayang dan berlomba-loba untuk mencari
oase alternatif. Mereka sama-sama merasa
kehilangan, kesepian, dan kekeringan.
Mereka merambah dunia yang terkadang
tidak pernah terpikirkan sebelumnya.
Kehilangan demi kehilangan menyebabkan
mereka membangun tembok resistensi
sendiri, menaruh rasa benci atau
merendahkan kedudukan orang tua, norma
sosial, atau pakem-pakem budaya timur
yang diwakili oleh tokoh dalang. Gaya hidup
urban yang serba cepat dan serba tergesa
tampak dari adegan hilang sinyal dalam
dialog berikut.
Dalang: Remaja zaman sekarang,
baru kehilangan sinyal sudah
seperti mau mati saja
(tertawa), Lur. Ayo, lanjutkan
perjalanannya.
YANG LAIN KEMBALI
MEMASUKKAN HPNYA
SAMBIL CEMBERUT,
MENGGOTONG KABEL
BESAR, BERKELILING
SAMBIL TERIAK DURUM…
DURUM…, KEMUDIAN
BERHENTI DI DEPAN
LAYAR. SEMUA DUDUK DI
DEPAN LAYAR TERLIHAT
SENANG.(Janura, 2017)
Gaya hidup urban yang tampak dalam
Durum lainnya adalah narsis, hedonis, dan
meterialistis. Sosok narsis ditampilkan oleh
tokoh Aji Kataji sebagai laki-laki
metroseksual. Konsep maskulinitas yang
ditampilkan Aji adalah laki-laki yang peduli
kesehatan dan keindahan tubuhnya, seiring
hadirnya produk-produk kosmetik untuk
laki-laki, termasuk peralatan pendukung
seperti alat gimnastik. Laki-laki yang
diidamkan oleh kaum hawa pada era modern
merupakan konsep baru dalam telaah
gender, khususnya maskulinitas. Konsep
tersebut dapat dikatakan sebagai hibrid dari
konsep maskulinitas yang ada, yaitu konsep
maskuinitas tradisional yang menuntut laki-
laki berpostur padat dengan otot yang
terbentuk, tetapi memiliki kulit dan
penampilan yang terawat. Konsep tersebut
mendekati maskulinitas para pemeran drama
TV Korea, seperti yang tersebut dalam
penelitian Fribadi pada bagian pendahuluan
tadi. Aji menjadikan hibriditas tersebut
sebagai showcase laki-laki ideal yang dapat
dijadikan sebagai pahlawan bagi kaum
perempuan. Perempuan ditaklukan dengan
keunggulan fisik dan idealitas konsep laki-
laki hibrid.
Gambar 5
Aji Kataji
Sumber: koleksi pribadi
AJI KATAJI MUNCUL DI LAYAR
PERAWAKAN
Aji : (Membuka baju) Nah, ini
badanku setelah body
building empat bulan. Bagus,
ya? (Nyamping ke kiri,
nyamping ke kanan
memperlihatkan perut yang
rata terlihat ototnya,
mempertunjukkan bisep dan
trisep gaya binaraga) Banyak
banget yang bertanya
bagaimana biar bisa seperti
ini. Pertama, harus niat,
fokus latihan. Kedua, jangan
ragu-ragu mengeluarkan
uang buat beli steroid, beli
makanan yang bagus gizinya.
Juga mengeluarkan biaya
buat daftar jadi member gym.
Remaja Kering dalam …. (Resti Nurfaidah)
27
Yang
lain : Waaaaahh (terpesona,
mengeluarkan ponsel masing-
masing), jempol! Jempol!
Jempol!
Dua : Ganteng, seksi, duuuuhhh….
Aji : Ada juga yang bertanya
kenapa aku ikutan body
building (tersenyum sinis).
Begini. Berdasarkan hasil
survey, orang fit dan ganteng,
ehmmm (sok ganteng) lebih
gampang hidupnya, masa
depan dijamin cerah, cari
kerja lebih mudah, cari
pacar? Gampang, pokoknya
semua gampang. (Janura,
2017)
Gambar 6
Kesih Sukesih
Sumber: koleksi pribadi
Gaya hidup hedonis dan materialistis
ditampilkan dalam peran tokoh Kesih
Sukesih. Ia menjadi simpanan seorang Om
yang mampu memenuhi kebutuhannya.
Kesih: Hello, hello, hello… Bertemu
kembali dengan Kesih
Sukesih, si mencrang
ngoncrang, di chanel
kesayangan kita. Hari ini,
Kesih baru saja belanja
sepatu, asik (mengeluarkan
sepatu dari kardus) lihat ini,
ini sepatu bukan sembarang
sepatu tapi Cinderella, eh?
Salah, ya? Terkadang Kesih
ini berasa jadi putri di negeri
dongeng, dimanja Si Om
kesayangan Kesih. Silahkan
katanya, Kesih mau apa,
nanti dibelikan Om. Aduh …
baik banget sih Om.
Celengak, celengok,
baragadal. Hihihihi.
[…]
Kesih: Pokoknya, Kesih sayang
banget sama Si Om, Si om
juga sayang banget sama
Kesih. Panggilannya Cassie
seperti nama bule. Naaaah,
sepatu ini juga pemberian Si
Om, makasih ya Om,
mmmuaach! Sepatu ini mau
Kesih pakai buat Promt
minggu depan. Apa?? Tidak
tau promt? Aduh keterlaluan.
Kasihan banget sih. Prompt
itu pesta dansa sekolah
sayang …. (Janura, 2017)
Durum dalam Psikologi Perkembangan
Hurlock
Remaja yang digambarkan di dalam
drama Durum merupakan remaja kering.
Mereka mengalami kehilangan kedekatan
dengan kedua orang tua, orang tua yang
tidak harmonis, tekanan kebutuhan materi
yang berat, korban bullying, dan
kesenjangan nilai antargenerasi. Perseteruan
karakter dengan Dalang mencerminkan
kesenjangan yang sudah sangat lebar
sehingga berakhir pada ekseskusi Dalang.
Eksekusi tersebut menunjukkan bahwa
remaja lebih memilih nilai dan norma Barat
yang baru yang menurut mereka lebih benar
dan menjanjikan kebebasan. Tekanan
kebutuhan materi terlihat pada karakter
Kesih dan karakter Salaki. Kesih menjadi
simpanan seorang pria matang yang mampu
memanjakannya dengan materi yang
berlimpah. Sementara itu, karakter Salaki
merupakan ayah patriarkis yang menjalanan
peranan gender yang kaku, yaitu sebagai
pencari nafkah. Beban sebagai pencari
Totobuang, Vol. 6, No. 1, Juni 2018:17—31
28
nafkah cukup besar sehingga ayah tidak mau
menyentuh ranah domestik sedikit pun.
Gambar 7
Konflik suami-istri
Sumber: koleksi pribadi
SEPASANG SUAMI ISTRI BERKELAHI
DI DALAM LAYAR
Istri : Bukan kemauan Mamah!
Bapaklah yang seperti itu!
Kalau saja Bapak lebih sering
di rumah, mungkin gak
seperti ini! Si Honey tidak
bakal hamil di luar nikah, Si
Boris disayat samurai!
Suami : Harus seperti apa? Kurang
apalagi? Dari pagi buta
sampai sore bekerja buat
menyenangkan keluarga!
Merangkak dari bawah, suka-
siku dengan teman, sugak-
sogok, sampai sekarang
punya jabatan! Semua ini
untuk siapa? Untuk anak-
anak, untuk mamah!
Istri : (Panas) Tidak cukup dengan
itu! Anak-anak butuh
perhatian! Mamah juga butuh
perhatian.
Suami: Aing cape (Aku capek)!
Maunya tuh kalau di rumah
sudah tidak ada masalah apa
pun! Di kantor sudah banyak
urusan.
Iatri : (Menimpali) Aing ge cape!
Capee!
Dua : Klik! (Janura, 2017)
Keringnya pendidikan moralitas di
lingkungan keluarga memunculkan remaja
yang agresif. Munculnya adegan bullying
pada karakter Kutu Buku dan Cacing Cau
menunjukkan alternatif pelampiasan emosi
yang terpasung. Remaja pelaku tidak pernah
mendapat penghargaan di dalam rumahnya
sendiri. Ia berharap bahwa kedua korban
tersebut dapat menghormati si pelaku yang
merasa sebagai superior. Hal itu tercantum
dalam adegan penyiar televisi berikut.
Suara
Berita: penyebab perilaku agresivitas
pada diri remaja bisa berasal
dari dua faktor, yaitu faktor
internal dan faktor eksternal.
Faktor internal, misalnya
perasaan frustrasi, perasaan
negative, pikiran atau
kognisi, dan pengalaman
masa kecil. Sedangkan faktor
eksternal bisa berupa
serangan, pengaruh teman,
pengaruh kelompok,
pengaruh model. Pengaruh
model yang dimaksudkan
adalah anak akan meniru
perilaku orang yang
dianggapnya dekat selama ini
dengan anak. Meniru perilaku
orang lain sebagai modelnya
sesuai dengan teori belajar
sosial yang dikemukakan oleh
psikolog Albert Bandura.
Sementara data daro
kepolisian menyebutkan 75
kasus kekerasan remaja dan
90,3% pelakunya berusia
13—18 tahun. Remaja
sebagai pelaku kekerasan
terus mengalami peningkatan
sebesar 5% tiap tahunnya.
(Janura, 2017)
Pengarang menyertakan data-data
ilmiah dalam drama. Selain sebagai
pengetahuan yang ingin disampaikan pada
penonton, adegan tersebut menunjukkan
Remaja Kering dalam …. (Resti Nurfaidah)
29
bahwa ketertarikan kaum remaja terhadap
konsep belajar sangat kurang. Terbukti
dengan sikap mereka pada bagian akhir
adegan itu, mereka sibuk mematikan layar
sambil berteriak “klik!”
Selain keluarga, remaja juga telah
kehilangan keteladanan dari lingkungan
sekitar. Sosok public figure yang hadir
dalam layar seolah tidak memiliki kualitas
keteladanan. Artis-artis broken home,
perilaku sex bebas, tercabutnya batas-batas
rumah tangga, permainan akidah. Hal itu
tercermin dalam adegan berikut.
Gambar 8
Penyiar Abal-Abal TV
Sumber: koleksi pribadi
Penyiar: Selamat malam, pemirsa live
streaming dari Abal-Abal TV,
mala mini akan
menyampaikan berita tidak
begitu penting untuk orang-
orang yang mudah
dimanipulasi! Ingat harus
reaktif, ya? Berita gembira,
baru saja anggota dewan
yang tertangkap kamera
CCTV sedang pesta sabu di
hotel anu. (Janura, 2017)
Keluarga disharmonis menyebabkan
timbulnya obsesi para remaja untuk
mendapati figur atau hal-hal yang dapat
menjadi pemeranan pengganti pemberi kasih
sayang. Namun, terkadang remaja menjadi
bingung dan cenderung salah dalam memilih
pilihan, seperti terlihat dalam dialog berikut.
Dalam adegan tersebut, disharmonisasi
keluarga juga menyebabkan hilangnya rasa
hormat pada norma-norma ketimuran, adat
tradisi yang berlangsung selama bertahun-
tahun (atau lebih), atau orang yang lebih tua.
Sebaliknya, terlebih ketika orang yang lebih
tua dianggap lebih kolot serta memiliki
kesalahan, sikap mereka akan mengolok atau
merendahkan, seperti yang muncul dalam
dialog berikut.
Satu: (Berdiri pelan-pelan)
Semuanya menjadi hancur.
Tak ada yang abadi. Ya,
seperti itu. Awalnya indah.
Mamah, Bapak, kakak, dan
Adik. Semuanya bahagia,
penuh dengan senyuman.
Rumah yang awalnya penuh
ketenangan. Secepat kilat
hancur berantakan. Ratih,
namanya, sekretaris cantik
yang merebut hati Bapak.
Lalu, Mamah tidak mau
keluar kamar, matanya yang
teduh berubah jadi beringas.
Hilang, kasih sayang. Hilang
nikmatnya disayangi, dikasihi
oleh ibu. Ke mana harus
mencari gantinya, sama
siapa? (Terpuruk dielus yang
lain)
Dua: Apa yang kurang? Rumah,
mobil, motor, uang, semua
ada. Cukup untuk bahagia,
setiap pagi bangun sambil
mengucap alhamdulillaah.
Tiap minggu berlibur,
berkunjung ke bibi,
mengunjungi nenek. Pelan-
pelan serakah. ‘Piih, Mamih
pengen liburan ke luar
negeri. Piihh, masa anak-
anak tidak tau Singapura?
Piih, Mamih pengen punya
bisnis, biar aja anak-anak di
rumah saja ada Bi Murni.
Terus … Kakak mau apa?
Totobuang, Vol. 6, No. 1, Juni 2018:17—31
30
Ade mau apa? Mobil baru,
villa, perusahaan, berlian,
brangkas besar, mainan
setan! Mamih ngablu, Papih
ngaberung. Nah 6 bulan yang
lalu merupakan puncak
kegembiraan., foto Papih
terpampang di Koran. Pelaku
korupsi. Katanya,
hahahahhah! Puas!
Semua: Puass…! (Tertawa)
Dua: Rasa hormat itu harus
diusahakan, Papih! Kalau
Papih koplok, nyanggakeun
tah imbit nyungcung!
(Memberi pantat)
Semua: Taaaaahhhh…. (Janura, 2017)
Gambar 9
Tokoh Satu mempertanyakan fungsi keluarga dan tokoh Dua mengolok keburukan orang
tuanya
Satu Dua
Sumber: koleksi pribadi
PENUTUP
Durum menyampaikan konflik
remaja dengan lingkungan terdekat
(keluarga) dan lingkungan sekitarnya.
Konflik tersebut menyebabkan para remaja
kekeringan dari kasih sayang dan
keteladanan. Penelusuran remaja kering
tersebut dilakukan dengan konsep semiotika
Fiske dan psikologi perkembangan Hurlock.
Dalam Fiske, eksplorasi terdiri atas tiga
bagian, yaitu level reality, level
representation, dan level ideology. Pada
tahapan realitas, konsep pementasan Durum
ditampilkan apa adanya tanpa mengenakan
kostum dan tata rias yang berlebihan.
Properti dan latar panggung juga tidak rumit.
Pada tahapan representasi, konsep
pemeranan tergolong padat dengan sederet
konflik remaja yang silih berganti dan
bertubi-tubi. Konsep tersebut menunjukkan
bahwa konflik remaja sudah sampai pada
tahapan yang cukup parah. Pada tahapan
ideologi, kehidupan urban yang tidak
terkendali dapat memutuskan koneksi para
remaja pada nilai-nilai ketimuran, sebaliknya
hal itu menimbulkan gaya hidup narsistis,
hedonistis, dan materialistis. Sementara itu,
berdasarkan psikologi perkembangan
Hurlock, kehidupan keluarga telah terlepas
dari tupoksi kewajiban dan hak antaranggota
keluarga. Hal itu menyebabkan kehidupan
perkawinan dan kekeluargaan menjadi retak.
Terlebih sulitnya mencari konsep
keteladanan, terutama pada public figure,
Remaja Kering dalam …. (Resti Nurfaidah)
31
menyebabkan remaja kering mencari oasis
lain, yang jika salah memilih, akan
mengakibatkan penderitaan bagi remaja
sendiri.
DAFTAR PUSTAKA
Fiske, John. 2009. Cultural and
Communication Studies: Sebuah
Pengantar Paling Komprehensif.
Yogyakarta : Jalasutra.
Hapsari, Endah. 2012. “Anak Anda Beranjak
Remaja? Ini Cara Berkomunikasi
yang Pas”
http://www.republika.co.id/berita/gay
a-hidup/parenting/12/01/26/lye6hs-
anak-anda-beranjak-remaja-ini-cara-
berkomunikasi-yang-pas. Diunduh
10 November 2017.
Hurlock, Elizabeth B. 2013. Psikologi
Perkembangan; Suatu Pendekatan
Sepanjang Rentang Kehidupan Edisi
Keenam. Jakarta: Erlangga.
Ir. 2011. “10 Penyebab Kenakalan Remaja”
dalam
https://health.detik.com/read/2011/01
/23/100537/1552483/1075/10-
penyebab-kenakalan-remajadiunduh
10 November 2017, pukul 04:12
WIB.
Janura, E.D. 2017. Durum. Bandung: tidak
diterbitkan.
Janura, E.D. 2017. Durum. Edisi Bahasa
Indonesia diterjemahkan oleh
Syamsurijal. Bandung: tidak
diterbitkan.
Rohisoh, Siti. 2011. “Pengaruh Perhatian
Orang tua Terhadap Kenakalan
Remaja di MTs Walisongo
Sidowangi Kajoran, Kabupaten
Magelang”. Skripsi. Salatiga: Jurusan
Tarbiyah, Prodi PAI, STAIN
Salatiga.
Safitri, Yuni. 2011. “Penanganan Kenakalan
Remaja (Stusi Kasus di SMA Negeri
2 Boyolali)”. Surakarta: Prodi MMP,
Program Pascasarjana UMY.
Saripuddin, M. 2009. “Hubungan Kenakalan
Remaja dengan Fungsi Sosial
Keluarga”. Skripsi. Yogyakarta:
Prodi Sosiologi Agama, Fakultas
Ushuluddin, UIN Sunan Kalijaga.
Teja, Dini. 2016. “7 Pilar Mendidik Anak
Menurut Psikolog Elly Risman”
dalam
https://gaya.tempo.co/read/774751/7-
pilar-mendidik-anak-menurut-
psikolog-elly-risman diunduh 10
November 2017, pukul 03:15 WIB.