remaja kering dalam pembacaan durum lonely teenagers in

15
17 TOTOBUANG Volume 6 Nomor 1, Juni 2018 Halaman 1731 REMAJA KERING DALAM PEMBACAAN DURUM (Lonely Teenagers in “Durum” Reading) Resti Nurfaidah Balai Bahasa Jawa Barat Jalan Sumbawa Nomor 11, Bandung 40113 Pos-el: [email protected] (Diterima: 28 Mei 2018; Direvisi: 30 Mei 2018; Disetujui: 5 Juni 2018) Abstrak This article entitled "The exhaustic Adolescent on Durum Reading". Durum is one of the compulsary scripts in Festival Drama Sunda Basa 2017. Durum is a massive script - solid in characters and content of the story-. The script conveys factors that cause conflict in teenagers life and the impact that occurs due the losing thefamily’s ideality . The identification problem in this artical was just focused on adolencent’s conflict and family along its impact against himself/herself and their surroundings. The purpose of this study revealed the background of their conflict through the symbolof each sceneand their psychological aspects This artical used semiotics of John Fiske and developmental psychology of Hurlock as its theoretical concepts. Anyway, the research method used qualitative with descriptive analysis. The results showed that there were intergenerational gap among adolescents with all their contemporary values with the older generation and social values that wer considered as an old-fashioned; lossing of closeness and harmonious communication between parent and adolescent, as well as between parents themselves; the high pressure of hedonistic and materialistic life; also an individualist lifestyle that no longer understood the meaning of understanding and caring among people. The exhaustic adolescent represented family and environtmental disharmony. Keywords: Durum, adolescent, conflict, semiotic, phsychology Abstrak Artikel ini berjudul “Remaja Kering dalam Pembacaan Durum”. Durum merupakan salah satu naskah unggulan dalam Festival Drama Basa Sunda 2017. Durum merupakan naskah yang masif (padat dalam pemeranan dan muatan cerita). Naskah tersebut menyampaikan faktor-faktor penyebab timbulnya konflik dalam kehidupan remaja dan dampak yang terjadi akibat kehilangan idealitas di dalam lingkungan keluarga. Identifikasi masalah dalam artikel ini dibatasi pada konflik remaja dan lingkungan keluarganya serta dampaknya terhadap diri si remaja maupun lingkungan di sekitarnya. Tujuan penelitian ini adalah untuk mengungkapkan latar terjadinya konflik remaja melalui telaah pada simbol adegan serta aspek psikologis remaja. Konsep teoretis yang digunakan dalam artikel ini adalah semiotika John Fiske dan psikologi perkembangan Hurlock. Metode penelitian yang digunakan ialah kualitatif dengan analisis deskriptif. Hasil yang diperoleh dalam penelitian tersebut adalah adanya kesenjangan antargenerasi: antara remaja dengan segala nilai kontemporernya dengan generasi tua dan nilai-nilai sosial yang dianggap kolot; hilangnya kedekatan dan komunikasi harmonis antara orangtua dan remaja, serta antarorang tua sendiri; tekanan kehidupan hedonistis dan materialistis yang cukup tinggi; pola hidup individualis yang tidak lagi memahami arti pengertian dan kepedulian antarsesama manusia. Remaja kering merupakan bukti atas ketidakharmonisan keluarga dan lingkungan setempat. Kata-kata kunci:durum, remaja, konflik, semiotika, psikologi PENDAHULUAN Zaman bergerak secepat pergerakan angin, bahkan dapat dikatakan tidak terukur. Munculnya serangkaian fenomena baru seakan mewarnai peradaban manusia. Globalisasi ditenggarai sebagai sumber dari segala sumber perubahan yang cepat tersebut. Diibaratkan seperti arus yang deras, globalisasi menjadi malaikat kematian terhadap serangkaian batas-batas wilayah, batas-batas etika dan norma sosial, batas- batas adat dan tradisi, tetapi meninggalkan sekaligus menebarkan jejak keragaman, sebaran etika dan norma yang baru. Banyak

Upload: others

Post on 04-Oct-2021

2 views

Category:

Documents


0 download

TRANSCRIPT

17

TOTOBUANG

Volume 6 Nomor 1, Juni 2018 Halaman 17— 31

REMAJA KERING DALAM PEMBACAAN DURUM

(Lonely Teenagers in “Durum” Reading)

Resti Nurfaidah

Balai Bahasa Jawa Barat

Jalan Sumbawa Nomor 11, Bandung 40113

Pos-el: [email protected] (Diterima: 28 Mei 2018; Direvisi: 30 Mei 2018; Disetujui: 5 Juni 2018)

Abstrak

This article entitled "The exhaustic Adolescent on Durum Reading". Durum is one of the compulsary scripts

in Festival Drama Sunda Basa 2017. Durum is a massive script - solid in characters and content of the story-.

The script conveys factors that cause conflict in teenagers life and the impact that occurs due the losing

thefamily’s ideality . The identification problem in this artical was just focused on adolencent’s conflict and

family along its impact against himself/herself and their surroundings. The purpose of this study revealed the

background of their conflict through the symbolof each sceneand their psychological aspects This artical used

semiotics of John Fiske and developmental psychology of Hurlock as its theoretical concepts. Anyway, the

research method used qualitative with descriptive analysis. The results showed that there were intergenerational

gap among adolescents with all their contemporary values with the older generation and social values that wer

considered as an old-fashioned; lossing of closeness and harmonious communication between parent and

adolescent, as well as between parents themselves; the high pressure of hedonistic and materialistic life; also an

individualist lifestyle that no longer understood the meaning of understanding and caring among people. The

exhaustic adolescent represented family and environtmental disharmony.

Keywords: Durum, adolescent, conflict, semiotic, phsychology

Abstrak

Artikel ini berjudul “Remaja Kering dalam Pembacaan Durum”. Durum merupakan salah satu naskah

unggulan dalam Festival Drama Basa Sunda 2017. Durum merupakan naskah yang masif (padat dalam

pemeranan dan muatan cerita). Naskah tersebut menyampaikan faktor-faktor penyebab timbulnya konflik dalam

kehidupan remaja dan dampak yang terjadi akibat kehilangan idealitas di dalam lingkungan keluarga.

Identifikasi masalah dalam artikel ini dibatasi pada konflik remaja dan lingkungan keluarganya serta

dampaknya terhadap diri si remaja maupun lingkungan di sekitarnya. Tujuan penelitian ini adalah untuk

mengungkapkan latar terjadinya konflik remaja melalui telaah pada simbol adegan serta aspek psikologis

remaja. Konsep teoretis yang digunakan dalam artikel ini adalah semiotika John Fiske dan psikologi

perkembangan Hurlock. Metode penelitian yang digunakan ialah kualitatif dengan analisis deskriptif. Hasil

yang diperoleh dalam penelitian tersebut adalah adanya kesenjangan antargenerasi: antara remaja dengan

segala nilai kontemporernya dengan generasi tua dan nilai-nilai sosial yang dianggap kolot; hilangnya

kedekatan dan komunikasi harmonis antara orangtua dan remaja, serta antarorang tua sendiri; tekanan

kehidupan hedonistis dan materialistis yang cukup tinggi; pola hidup individualis yang tidak lagi memahami arti

pengertian dan kepedulian antarsesama manusia. Remaja kering merupakan bukti atas ketidakharmonisan

keluarga dan lingkungan setempat.

Kata-kata kunci:durum, remaja, konflik, semiotika, psikologi

PENDAHULUAN

Zaman bergerak secepat pergerakan

angin, bahkan dapat dikatakan tidak terukur.

Munculnya serangkaian fenomena baru

seakan mewarnai peradaban manusia.

Globalisasi ditenggarai sebagai sumber dari

segala sumber perubahan yang cepat

tersebut. Diibaratkan seperti arus yang deras,

globalisasi menjadi malaikat kematian

terhadap serangkaian batas-batas wilayah,

batas-batas etika dan norma sosial, batas-

batas adat dan tradisi, tetapi meninggalkan

sekaligus menebarkan jejak keragaman,

sebaran etika dan norma yang baru. Banyak

Totobuang, Vol. 6, No. 1, Juni 2018:17—31

18

pula yang mengatakan bahwa wajah dunia

seolah dimiripkan dengan segala aspek

kehidupan manusianya. Yang paling

dikhawatirkan dengan perubahan tersebut

adalah kaum muda, yang dengan segala

keluasan pengetahuannya seolah mampu

menaklukan teknologi dengan gawai

canggihnya. Gawai yang mampu membawa

mereka ke dunia yang jauh, menelan

mentah-mentah pengaruh Barat, bertahap

meninggalkan keribetan pakem tradisi dan

menjauhkan dunia yang dekat di antara

mereka. Pengaruh-pengaruh nilai baru yang

seolah cenderung menjanjikan kebebasan

dan kemudahan, yang tidak didasari dengan

akar-akar pemahaman akan risiko besar yang

ditanggungnya, lalu banyak mendatangkan

cobaan yang luar biasa di dalam kehidupan

para remaja. Tentu saja, dalam satu sisi,

pengaruh-pengaruh baru Barat juga memiliki

sederet nilai positif, di antaranya daya

kreativitas remaja yang luar biasa, ditambah

dengan kemajuan dunia digital memudahkan

mereka untuk berkarya dan berprestasi.

Hanya saja, sungguh disayangkan jika tanpa

didasari pandangan yang luas, dan dasar

pemahaman yang tinggi, remaja seolah

kehilangan kendali. Kehidupan instan seperti

yang kerap kali ditayangkan dalam sinetron

melekat erat dalam-dalam dan lambat laun

menyusutkan daya juang mereka.

Remaja tidak pernah lepas dari

lingkungan keluarganya. Remaja yang

digandangkan sebagai masa usia labil,

pencarian jati diri, penuh ketakutan, tidak

realistis dan cenderung subjektif,

ambivalensi tinggi terhadap perubahan dan

risiko yang dihadapi, dan sebagainya.

Idealnya, remaja yang berada dalam masa

peralihan tersebut tetap berada di dalam

pengawasan kedua orang tuanya, keluarga

besar, dan lingkungan sosialnya. Namun,

tidak semua remaja beruntung mendapatkan

idealitas tersebut. Adakalanya, pada masa

remaja itulah mereka terjerumus ke dalam

kegelapan. Lepasnya pengawasan orang tua,

renggangnya hubungan dengan saudara,

kondisi dan situasi lingkungan sosial yang

cenderung individualistis, ditambah dengan

budaya materialis dan narsistis yang cukup

deras serangannya, semakin memudahkan

remaja untuk menjadi rapuh. Sisi gelap

masa remaja itulah yang dimunculkan dalam

beberapa naskah Festival Drama Basa Sunda

(FDBS) 2017 yang diselenggarakan oleh

Teater Sunda Kiwari. Lima naskah unggulan

dijadikan sebagai naskah pilihan peserta,

yaitu Belis, Pasalia, Durum, Salayar Dami,

dan Pret. Kelima naskah tersebut

menunjukkan polemik dalam kehidupan

manusia masa kini. Terkecuali Belis, empat

naskah lain berbicara tentang kelamnya

kehidupan remaja saat ini. Keempat naskah

tersebut memberikan gambaran kehidupan

remaja yang sudah kehilangan idealitas

keluarga dan lingkungan sosialnya. Mereka

menjadi kesepian. Dengan dasar sebagai

makhluk sosial, remaja melampiaskan

kerinduan akan idealitas tersebut pada

berbagai alternatif yang rupanya menjebak

mereka sendiri sebagai korban yang baru.

Sedianya, artikel ini akan membahas

keempat naskah tersebut, tetapi keterbatasan

waktu menyebabkan bahasan ini hanya

diarahkan pada satu naskah, yaitu Durum.

Durum ditulis oleh E.D. Jenura.

Durum merupakan singkatan dari Dunia

Rumaja ‘Dunia Remaja’. Dapat dikatakan

bahwa Durum merupakan drama yang padat

dengan deretan fragmen masalah dalam

kehidupan remaja yang padat. Semua adegan

berisi, tidak sambung menyambung, plot

naik-turun, dan dialog yang cukup

mengaduk-aduk emosi penonton. Durum

menyajikan remaja yang lepas dari

pengawasan orang tua, orang tua yang lepas

dari pakem perkawinan, konsep percintaan

yang sudah melenceng jauh, hilangnya

konsep keteladanan, dan gaya tontonan

masyarakat masa kini yang cenderung

hedonis, terangkai dalam

ketidaksinambungan antaradegan, serta

banyaknya karakter yang dihadirkan, tetapi

memberikan keutuhan tentang pencitraan

remaja kering saat ini. Durum secara masif

menyampaikan serangkaian faktor dan

Remaja Kering dalam …. (Resti Nurfaidah)

19

dampak kehilangan idealitas tersebut.

Karakter yang ditampilkan dalam drama

tersebut adalah Dalang, Satu, Dua, Tiga,

Empat, Kesih Sukesih, Aji Kataji, Kutu

Buku, Cacing Cau, Suami, Istri, Junkie,

Penyiar, Aktris, dan Aktor. Latar tempat dan

situasi dibuat absurd, tidak disebutkan

dengan jelas. Hanya saja, di panggung

tersedia sebuah properti yang

menggambarkan layar monitor, kotak-kotak

besi yang menggambarkan remote control

dan gawai, serta gulungan tambang besar

yang tersambung pada sebuah. Durum yang

menjadi fokus bahasan dalam artikel ini

adalah yang dipentaskan di Jambore Sastra

2017 di Yogyakarta. Jambore Sastra 2017

merupakan pagelaran tahunan beberapa

anggota tetap di wilayah Indonesia Tengah

yang meliputi balai dan kantor di wilayah

Jawa, Banten, Bali, NTB, NTT, dan

Kalimantan. Sebagai wakil dari Jawa Barat,

Balai Bahasa Jawa Barat menunjuk Teater

Gawe SMKN 3 Tasikmalaya, salah satu

peserta dalam FDBS 2017.

LANDASAN TEORI

Konsep yang digunakan dalam

artikel ini adalah semiotika Fiske dan

psikologi perkembangan Hurlock. Remaja

sebagai bagian dari tahapan perkembangan

manusia dianggap sangat unik, terutama

pada aspek kelabilan (moral dan emosi) serta

kepesatan fisik. Konflik dalam kehidupan

remaja, menurut Hurlock (2013:231—232),

bermula pada kesalahan kedua belah pihak,

remaja-orang tua. Orang tua sulit

melepaskan sifat naluriahnya, yaitu

menganggap remaja mereka sebagai anak

kecil. Orang tua cenderung memperlakukan

mereka sebagai anak kecil, tetapi di sisi lain,

mereka mengharapkan si remaja untuk

bertindak sesuai dengan usianya saat itu.

Kesalahan remaja adalah sulit menerima

perlakuan tersebut. Hal lain yang paling

mendasar adalah kesenjangan generasi

(Hurlock, 2013:232). Hurlock memandang

bahwa kesenjangan tersebut kebanyakan

diakibatkan oleh perubahan radikal dalam

nilai dan standar perilaku yang biasanya

terjadi dalam perubahan budaya yang sangat

cepat. Kesenjangan generasi yang paling

menonjol adalah di bidang norma sosial.

Norma sosial yang muncul dalam kehidupan

remaja saat ini, misalnya, merupakan tabu

dalam kehidupan generasi orang tua pada

masa remaja dulu. Konflik akan semakin

meruncing jika ditambahkan dengan

ketidakmampuan remaja untuk

berkomunikasi dengan orang tua dan

generasi sebelumnya yang lain. Orang tua

banyak yang sulit menerima kenyataan atas

pembangkangan remaja pada larangan-

larangan tertentu, sementara si remaja

memandang orang tuanya tidak bisa

mengerti keinginannya. Teja (2016)

menyampaikan tujuh pilar pengasuhan anak

Elly Risman sebagai solusi untuk

menjembatani kesenjangan antargenerasi

tersebut, antara lain, orang tua harus

sepenuhnya ada untuk anak, membangun

ikatan yang kuat dengan anak, menetapkan

tujuan pengasuhan yang jelas, pengaturan

gaya berbicara (tutur kata halus, sopan, baik,

dan tidak bohong), orang tua harus menjadi

sekolah religi pertama bagi anak, memiliki

persiapan pola pengasuhan anak saat remaja,

serta mengajari anak menahan pandangan.

Sementara itu, Hapsari (2012)

menyampaikan bahwa menghadapi remaja

memerlukan strategi tersendiri. Jika terlalu

keras, remaja akan melampiaskan pencarian

oase di luar rumah, sebaliknya, jika terlalu

longgar, remaja akan mudah terjerus ke

dalam kesesatan, seperti pergaulan bebas.

Hapsari menyampaikan pendapat Risman

tentang kiat orang tua dalam menghadapi

remaja, antara lain, memupuk sikap

menerima dan bersahabat dengan remaja,

mengenali hal-hal yang muncul dalam

kehidupan remaja, serta membangun

kepercayaan kepada remaja. Kedekatan

orang tua dan remaja sedemikian penting.

Jika tidak, remaja akan melarikan diri dan

mencari “orang tua” baru di luar rumah

dalam berbagai wujud. Paling ekstrem,

kerenggangan tersebut akan memunculkan

Totobuang, Vol. 6, No. 1, Juni 2018:17—31

20

kenakalan remaja. Ir (2011) memberikan

gambaran penyebab kenakalan remaja

berikut, yaitu (1) kurangnya sosialisasi dari

orang tua ke anak mengenai nilai-nilai moral

dan sosial; (2) contoh perilaku yang

ditampilkan orang tua (modeling) di rumah

terhadap perilaku dan nilai-nilai anti-sosial;

(3) kurangnya pengawasan terhadap anak

(baik aktivitas, pertemanan di sekolah

ataupun di luar sekolah, dan lainnya); (4)

kurangnya disiplin yang diterapkan orang

tua pada anak; (5) rendahnya kualitas

hubungan orang tua-anak; (6) tingginya

konflik dan perilaku agresif yang terjadi

dalam lingkungan keluarga; (7) kemiskinan

dan kekerasan dalam lingkungan keluarga;

(8) anak tinggal jauh dari orang tua dan tidak

ada pengawasan dari figur otoritas lain; (9)

perbedaan budaya tempat tinggal anak,

misalnya pindah ke kota lain atau

lingkungan baru; dan (10) adanya saudara

kandung atau tiri yang menggunakan obat-

obat terlarang atau melakukan kenakalan

remaja. Ir juga menambahkan bahwa

lingkungan pergaulan rema serta aturan

sekolah yang kurang tegas juga dapat turut

memicu kenakalan remaja tersebut.

Penelitian tentang konflik remaja telah

banyak dilakukan. Rohisoh (2011:ix) dalam

skripsi berjudul “Pengaruh Perhatian Orang

tua Terhadap Kenakalan Remaja di MTs.

Walisongo Sidowangi Kajoran, Kabupaten

Magelang” menyampaikan hasil penelitian

kualitatif dalam analisis deskriptif bahwa

perhatian orang tua di sekolah tersebut

berada pada kategori tinggi (54 anak atau

90%), kategori sedang (3 anak atau 5%), dan

kategori rendah (3 anak atau 3%). Sementara

itu, tingkat kenakalan remaja di sekolah

tersebut terdiri atas kategori tinggi (2 anak

atau 3.33%), kategori sedang (12 anak atau

20%), dan ketegori rendah (46 anak atau

76%). Berdasarkan penelitian kualitatif

dalam hasil analisis korelasi produk

momentsignifikan didapati adanya korelasi

yang besar dari “Y” tabel. Pada taraf rxy

0,728 lebih 0,250 pada taraf 1% adalah

0,325. Kemudian dihubungkan dengan

pedoman interprestasi koefisien korelasi

diketahui pengaruh perhatian orang tua

terhadap kenakalan remaja dalam kategori

kuat. Saripuddin (2009:vi) dalam skripsi

berjudul “Hubungan Kenakalan Remaja

dengan Fungsi Sosial Keluarga”

menyampaikan bahwa terdapat hubungan

negatif antara fungsi sosial keluarga dan

kenakalan remaja. Semakin tinggi fungsi

sosial keluarga semakin rendah kenakalan

remaja, sebaliknya semakin rendah fungsi

sosial keluarga semakin tinggi kenakalan

remaja. Safitri (2011:ix) dalam tesis berjudul

“Penanganan Kenakalan Remaja (Studi

Kasus Di SMA Negeri 2 Boyolali)”

mendapati dua cara penanganan yang

dilakukan guru Bimbingan dan Konseling di

sekolah tersebut, yaitu (1) cara kuratif atau

penyembuhan bagi siswa yang terlibat

kenakalan remaja ringan berupa

pemanggilan serta pemberian penringatan

pertama, dan (2) cara represif atau

pembinaan bagi siswa yang terlibat dalam

kenakalan remaja berat. Jika kenakalan

tersebut berulang, pihak sekolah melakukan

cara yang ketiga, yaitu pengembalian siswa

kepada pihak orang tua. Artikel ini juga

berkaitan dengan penelitian terhadap

kenakalan remaja berupa konflik remaja

dengan lingkungan keluarga inti dan

lingkungan di sekitarnya, berbeda dengan

kebanyakan penelitian serupa berupa studi

kasus pada satu institusi, yang disajikan

dalam bentuk drama. Berdasarkan pada hasil

pembacaan pada kajian pustaka, kesemuanya

mengaitkan kenakalan remaja dengan

kondisi dan situasi keluarga yang tidak

harmonis. Landasan Teori dapat dituliskan

dalam subbab dengan tetap mempertimbangkan

kuota 15% dari keseluruhan badan naskah.

Semua sumber yang dirujuk atau dikutip harus

dituliskan di dalam daftar pustaka.

METODE PENELITIAN

Artikel ini merupakan penelitian

kualitatif dengan metode analisis deskriptif.

Pembahasan dibatasi faktor dan dampak

pengaruh zaman terhadap kehidupan remaja

Remaja Kering dalam …. (Resti Nurfaidah)

21

yang rapuh. Sementara itu, tahapan

penelitian yang dilakukan dalam penyusunan

artikel ini adalah pembacaan dan

pengamatan cermat pada sumber data

maupun pada pementasan; pembacaan

literatur pendukung; pengolahan data

berdasarkan konsep teoretis yang relevan

dengan topik penelitian; dan penyampaian

hasil analisis dalam bentuk artikel ilmiah.

Konsep teoretis yang digunakan dalam

artikel ini adalah semiotika John Fiske dan

psikologi perkembangan Hurlock. Menurut

John Fiske, semiotika adalah studi tentang

pertanda danmakna dari sistem tanda; ilmu

tentang tanda, tentang bagaimana tanda dan

maknadibangun dalam “teks” media; atau

studi tentang bagaimana tanda dari jenis

karyaapapun dalam masyarakat yang

mengkomunikasikan makna. Dalam

semiotika (ilmu tentang tanda) terdapat dua

perhatian utama, yakni hubungan antara

tanda denganmaknanya dan bagaimana suatu

tanda dikombinasikan menjadi suatu kode.

Semiotik yang dikaji oleh John Fiske antara

lain: level reality (realitas), yakni peristiwa

yang ditandakan (encoded) sebagai realitas,

berupa tampilan, pakaian, lingkungan,

perilaku, gestur, suara. Selanjutnya, level

representation(representasi), realitas yang

terkode dalam encoded electronically harus

ditampakkan pada technical codes, seperti

kamera, pencahayaan, penyuntingan, musik,

dan suara. Dalam bahasa tulisada kata,

kalimat, proposisi, foto, grafik, dan

sebagainya, sedangkan dalam bahasa gambar

atau televisi ada kamera, tata cahaya, atau

musik. Elemen-elemen ini ditransmisikan

kedalam kode representasional yang dapat

mengaktualisasikan, antara lain, karakter,

narasi, latar, dan sebagainya. Terakhir, level

ideology (ideologi), semua elemen

diorganisasikan dan dikategorikan dalam

kode-kode ideologis, seperti patriakhi,

individualisme, atau ras. Ketika kita

melakukan representasi atassuatu realitas,

menurut Fiske, tidak dapat dihindari adanya

kemungkinan memasukkan ideologi dalam

konstruksi realitas.

PEMBAHASAN

Analisis terhadap naskah Durum dibagi ke

dalam tiga level Fiske, yaitu level reality,

level representation, dan level ideology.

Durum dalam Semiotika Fiske

Pembahasan Semiotika Fiske dalam

pementasan Durum tersebut dibagi ke dalam

tahapan berikut: Level Reality, level

representation, dan level ideology.

Level Reality

Naskah Durum menampilkan sosok

remaja yang tampil apa adanya. Dalam

pementasan drama Durum, Teater Gawe

menampilkan remaja yang dari segi tampilan

hamper sama, konsep kostum sama. Hal itu

dilakukan untuk menonjolkan persamaan

nasib pada sosok remaja kering. Pada sisi

lain, tata rias panggung dibuat senatural

mungkin untuk menampilkan kesan remaja

yang polos dan belum bisa berpikir dengan

jernih dan mendalam. Tata panggung dibuat

sangat sederhana. Sebuah bilah kayu

dibentuk sebagai cerminan sebuah layar

monitor, sebagai wakil dari mata manusia,

mata masyarakat, tempat hadirnya tayangan

show case yang mampu mencuci otak

penontonnya. Kemudian, setiap pemain

memegang sebuah kota besi yang

multifungsi dalam pemaknaan. Kotak besi

itu berfungsi sebagai gawai atau remote

control, benda yang kini seolah menjadi

kebutuhan primer dalam kehidupan manusia.

Tata lampu disesuaikan dengan konflik pada

setiap adegan. Tipe pemeranan setiap

karakter nyaris seragam, yaitu semua

karakter tampak emosional dengan

penyampaian dialog yang lantang.

Gambar 1

Pementasan Drama Durum

Sumber: koleksi pribadi

Totobuang, Vol. 6, No. 1, Juni 2018:17—31

22

Tokoh Dalang ditampilkan dengan

sosok yang cenderung bergaya feodal,

bingung, dan mudah kecewa dalam

menghadapi perubahan, tetapi ia tidak

pernah berhenti untuk membimbing anak-

anak remaja yang mengikutinya. Tokoh

Kesih Sukesih digambarkan sebagai remaja

matre yang manja dan genit. Tokoh Aji

Kataji digambarkan sebagai sosok laki-laki

yang metroseksual, lelaki yang memiliki ciri

tubuh laki-laki tradisional, tetapi memiliki

kepedulian yang tinggi terhadap kesehatan

dan keindahan tubuhnya. Tokoh Kutu Buku

digambarkan tidak mengenali keadaan

sekeliling. Perhatiannya hanya tertuju pada

bahan bacaan yang dibawanya dan

waktunya selalu tercurah untuk belajar.

Tokoh Cacing Cau ditampilkan sangat

ketakutan dalam menghadapi tekanan dari

teman-temannya. Tokoh Suami dan Istri

digambarkan sangat emosional. Masing-

masing berkutat dengan masalah yang tidak

terselesaikan. Junkie ditampilkan sekilas

sebagai sosok yang meluapkan frustrasi

dengan merokok sambil mendengarkan

musik fungki. Tokoh penyiar digambarkan

sangat polos. Tokoh Aktris dan Aktor

digambarkan bersikap sangat berlebihan.

Tokoh Satu-Dua-Tiga-Empat digambarkan

sebagai tokoh yang rata dengan gaya bicara

yang saling bersahutan.

Gambar 2

Sebagian Karakter dalam Durum

Aktris Empat Dua

Aktor-Aktris Dalang Kesih Sukesih

Aji Kataji Suami-Istri Satu

Sumber: koleksi Teater Gawe

Remaja Kering dalam …. (Resti Nurfaidah)

23

Level Representation Durum menyampaikan nuansa hidup

keluarga modern kebanyakan berlatar

budaya urban. Pola hidup serba instan,

hilangnya toleransi, lemahnya koneksi

antarsesama manusia, sempitnya waktu,

menyebabkan kehidupan manusia modern

cenderung tergesa-gesa. Meninggalkan

tradisi, nilai-nilai, dan norma sosial, manusia

modern cenderung menanggalkan etika.

Hubungan antara generasi muda-tua ibarat

oposisi. Jurang di antara terbentang lebar.

Generasi muda tampak asyik sendiri dengan

gawai-gawai canggih. Kesemrawutan

kehidupan urban, kota metropolitan, menjadi

pembuka drama tersebut. Para tokoh

berperanan ganda sebagai penduduk wilayah

urban yang sibuk dengan gawai sambil

berjalan bolak-balik dengan tergesa-gesa.

Tenggelamnya mereka dalam keasyikan

kecanggihan gawai tampak dari cara mereka

memegang kotak besi itu. Seolah mereka

tidak mau lepas dari alat itu. Kemudian,

terdengar suara Durum… durum… durum…

Para tokoh semua hadir dan berperanan

sebagai anak muda yang tenggelam dalam

dunia maya. Dunia maya yang mereka

anggap sebagai surga yang semu.

Gambar 3

Generasi Gawai

Sumber: koleksi pribadi

Langkah mereka dihentikan Dalang.

Dalang menyampaikan akhir kehidupan,

kematian. Ia menyampaikan bahwa ada yang

mati malam itu. Dalang bertindak sebagai

Aku Sang Mahatahu. Kesan “kolot” pada

tokoh Dalang terlihat pada dialog yang ia

ucapkan. Ia menyampaikan berita kematian

berikut. Dalang: Tidak tahu. Tapi harus

ada yang mati malam

ini. Begitulah, sejatinya

perjalanan hidup. Coba

saja perhatikan, film,

serial, atau pun buku

bagus, pasti harus ada

karakter yang mati.

Tidak mati, tidak seru!

Sejatinya keindahan

hidup bersembunyi di

balik kematian. (Janura,

2017)

Dalang lalu menunjuk perumpamaan calon

si mati kepada para remaja. mereka yang

ditunjuk tampak ketakutan dan

mengemukakan berbagai alasan untuk

dihindari dari kematian. Kemudian,

ketidakpedulian muncul, para remaja itu

kembali menari dan menyanyi lagu yang

sama durum…duruuummmm… durummm….

Para remaja itu sibuk dengan masalah sinyal

yang melemah. Lalu, menaruh kecewa pada

gawai dan memasukkan gawai itu ke dalam

saku, lalu menari lagi sambil bernyanyi

durummm… durum…duruummm. Salah satu

kotak besi beralih fungsi sebagai remote

control. Di layar yang besar, muncul tokoh

dunia maya bernama Kesih Sukaesih. Ia

menyampaikan gaya hidup hedonis dengan

segala kesenangan semunya. Dalang tidak

menyukai tayangan itu, tetapi para remaja

sebaliknya justru menikmati gaya hidup

bintang dunia maya itu. Dalang tetap

menyampaikan ketidaksetujuannya terhadap

pola pikir Kesih. Para remaja melancarkan

protes dan mengalihkan jalur. Tayangan

berpindah pada sesosok laki-laki bertubuh

kekar, Aji Kataji. Ia memamerkan ototnya

yang membuat para remaja wanita terhanyut.

Aji Kataji sangat memperhatikan bentuk

serta kesehatan tubuhnya. Ia menyampaikan

tips-tips yang memikat kepada para

penonton agar mereka mengikuti jejaknya.

Dalang kembali menegur para remaja agar

tidak terlalu yakin dengan hal-hal yang

Totobuang, Vol. 6, No. 1, Juni 2018:17—31

24

disampaikan oleh Aji Kataji. Di layar

munncul Aktor-Aktris dalam sebuah

sinetron. Tema sinetron itu adalah daun

muda. Seorang pemuda gencar mengejar

perempuan berusia dewasa. Perempuan itu

bersikukuh untuk tidak menerima pinangan

si pemuda karena ia sudah menikah. Si

pemuda ngotot untuk mendapatkan cinta

perempuan itu. Cerita itu terus berlanjut

tiada akhir. Dalang kembali menyatakan

ketidaksetujuannya dan kesenjangannya

dengan para remaja tersebut. Namun, ia

tidak dapat meninggalkan mereka dan tetap

berteman.

Para tokoh lalu kembali menyanyi

dan menari keliling panggung: durum…

durum… durum…. Kemudian, muncullah

tokoh Kutu Buku yang menjadi korban

bullying para remaja lainnya. Adegan

bullying lain ditujukan pada tokoh Cacing

Cau yang juga tampak tidak berkutik ketika

para remaja memerasnya. Setelah itu,

seorang informan dihadirkan untuk

menyampaikan latar terjadinya kasus

kekerasan pada kaum remaja. Menghindari

situasi serius, para remaja memindahkan

jalur tayangan. Muncullah tayangan

pertengkaran hebat antara tokoh Suami-Istri.

Pertengakran tersebut berbasis konflik

gender. Kemudian, muncullah tokoh Satu

yang menyampaikan dampak dari keluarga

yang tidak harmonis terhadap kehidupan

kaum remaja dan anak-anak. Selain itu,

tumbuh pula sikap rasa tidak hormat si anak

yang berbalik menertawakan kesulitan yang

dihadapi oleh orang tuanya yang diperankan

oleh tokoh Dua. Berganti adegan, tampil

penyiar TV lainnya yang menyampaikan

kebobrokan moral seorang pejabat publik.

Para remaja menunjukkan sikap tidak

simpati pada tayangan tersebut, sebaliknya,

Dalang menyenangi hal itu. Para remaja

protes, lalu, kembali melontarkan kisruh

masalah sosial di negeri ini, di antranya,

konflik nasionalisme, rendahnya tingkat

keterbacaan di kalangan penduduk negeri,

sempitnya ruang untuk pengembangan

imajinasi para remaja.

Dalang: Kenapa dimatikan?

Semua: GAk seru…!

Dalang: Nasionalisme itu

penting banget buat

remaja seperti kita!

Empat: Ini Dalang! Dari tadi

terus aja harus ini,

harus itu, ini itu. Sok

bener sendiri.

Dalang: Nasionalisme itu

penting!

Dua: Buat apa

nasionalisme? Mobil

bikinan Jepang!

Ponsel bikinan Cina!

Demokrasi dari

Yunani! Angka-angka

dari Arab! Nonton

film /amerika! Makan

pizza dan spageti dari

Italia! Baju dijahit di

Thailand! Musik dari

Inggris! Kenapa kita

harus nasionalisme?

Satu: Sudahlah jangan

banyak bicara, Lang!

Empat: (Mengepalkan tangan

kea rah Dalang) Aku

gak mau lagi

mendengarkan

omongan si Dalang.

Huruf-huruf bikin

pusing, aku mau lihat

gambar!

Dalang: Pemalas! Manja!

Dengerin, Lur! Orang

yang suka membaca

dan orang yang suka

nonton, jauh banget

intelektualnya!

Membaca itu baik

untuk memperluas

imajinasi. Kalau kita

suka baca buku, kita

bakal dibawa

berkeliling kea lam

yang belum tentu

terjangkau oleh

Remaja Kering dalam …. (Resti Nurfaidah)

25

langkah kita. Kita bisa

berhenti sejenak, kita

bisa merasakan

keindahan isi buku,

kemudian

mengembara lagi,

balik lagi, berangkat

lagi…

Empat: Kalau nonton film

juga, kita bisa pause

dulu, ke WC buat

kencing, lalu nonton

lagi, Lang? Kamu

sehat?

Dalang: Bedalah, kalau kepala

kita sudah dipenuhi

gambar visual,

imajinasi kita

terbatasi oleh…

Dua: Imajinasi! Imajinasi!

Buat apa imajinasi?

Imajinasi kita sudah

dibunuh oleh guru,

oleh orang tua, oleh

kenyataan yang

membuat sakit hati

dan mata! Harus

realistis, katanya!

Cita-cita jadi dokter

harus realistis! Cita-

cita jadi astronot

harus realistis! Cita-

cita jadi presiden

harus realistis! Mau

jadi Bandar narkoba

juga harus realistis,

katanya! RE-A-LIS-

TIS! Jadi apa gunanya

imajinasi kalau belum

apa-apa sudah

disuruh realistis?

Bunuh Imajinasi

sekarang juga! Gak

ada gunanya!

Semua: Bunuh…!

Dua: Bunuh komen sombong!

Semua: Bunuh!

Dalang: Tapi…

Satu: Tapi! Tapi! Mana

tombol jempol

jungkir? Nanti setiap

Si Dalang komen, mau

di jempol jungkir!

Rujit! Perusak

kesenangan orang

lain!

Empat: (Menarik satu

menjauhi yang lain)

Ssssttt… tapi

kayaknya, kita juga

perlu Si Dalang! Di

saat hati panas, kita

butuh omongan Si

Dalang yang membuat

kita dingin.

Satu: Berisik! Diam kamu!

Empat: Siap laksanakan! (Janura, 2017)

Konflik antargenerasi mencapai puncaknya.

Mereka ingin menyingkirkan Dalang. Junkie

lalu muncul lalu menyanyikan lagu dugem

yang diikuti oleh para remaja. Pencahayaan

diarahkan pada gaya diskotik dengan

pergantian warna lampu merah-hijau-biru

dengan cepat, seiring irama lagu. Lagu

terhenti. Remaja marah. Mereka menuding

Dalang sebagai biang keladinya. Dalang lalu

dikepung dan dieksekusi.

Gambar 4

Akhir Durum

Sumber: koleksi pribadi

Level Ideology

Totobuang, Vol. 6, No. 1, Juni 2018:17—31

26

Remaja yang kehilangan kasih

sayang dan berlomba-loba untuk mencari

oase alternatif. Mereka sama-sama merasa

kehilangan, kesepian, dan kekeringan.

Mereka merambah dunia yang terkadang

tidak pernah terpikirkan sebelumnya.

Kehilangan demi kehilangan menyebabkan

mereka membangun tembok resistensi

sendiri, menaruh rasa benci atau

merendahkan kedudukan orang tua, norma

sosial, atau pakem-pakem budaya timur

yang diwakili oleh tokoh dalang. Gaya hidup

urban yang serba cepat dan serba tergesa

tampak dari adegan hilang sinyal dalam

dialog berikut.

Dalang: Remaja zaman sekarang,

baru kehilangan sinyal sudah

seperti mau mati saja

(tertawa), Lur. Ayo, lanjutkan

perjalanannya.

YANG LAIN KEMBALI

MEMASUKKAN HPNYA

SAMBIL CEMBERUT,

MENGGOTONG KABEL

BESAR, BERKELILING

SAMBIL TERIAK DURUM…

DURUM…, KEMUDIAN

BERHENTI DI DEPAN

LAYAR. SEMUA DUDUK DI

DEPAN LAYAR TERLIHAT

SENANG.(Janura, 2017)

Gaya hidup urban yang tampak dalam

Durum lainnya adalah narsis, hedonis, dan

meterialistis. Sosok narsis ditampilkan oleh

tokoh Aji Kataji sebagai laki-laki

metroseksual. Konsep maskulinitas yang

ditampilkan Aji adalah laki-laki yang peduli

kesehatan dan keindahan tubuhnya, seiring

hadirnya produk-produk kosmetik untuk

laki-laki, termasuk peralatan pendukung

seperti alat gimnastik. Laki-laki yang

diidamkan oleh kaum hawa pada era modern

merupakan konsep baru dalam telaah

gender, khususnya maskulinitas. Konsep

tersebut dapat dikatakan sebagai hibrid dari

konsep maskulinitas yang ada, yaitu konsep

maskuinitas tradisional yang menuntut laki-

laki berpostur padat dengan otot yang

terbentuk, tetapi memiliki kulit dan

penampilan yang terawat. Konsep tersebut

mendekati maskulinitas para pemeran drama

TV Korea, seperti yang tersebut dalam

penelitian Fribadi pada bagian pendahuluan

tadi. Aji menjadikan hibriditas tersebut

sebagai showcase laki-laki ideal yang dapat

dijadikan sebagai pahlawan bagi kaum

perempuan. Perempuan ditaklukan dengan

keunggulan fisik dan idealitas konsep laki-

laki hibrid.

Gambar 5

Aji Kataji

Sumber: koleksi pribadi

AJI KATAJI MUNCUL DI LAYAR

PERAWAKAN

Aji : (Membuka baju) Nah, ini

badanku setelah body

building empat bulan. Bagus,

ya? (Nyamping ke kiri,

nyamping ke kanan

memperlihatkan perut yang

rata terlihat ototnya,

mempertunjukkan bisep dan

trisep gaya binaraga) Banyak

banget yang bertanya

bagaimana biar bisa seperti

ini. Pertama, harus niat,

fokus latihan. Kedua, jangan

ragu-ragu mengeluarkan

uang buat beli steroid, beli

makanan yang bagus gizinya.

Juga mengeluarkan biaya

buat daftar jadi member gym.

Remaja Kering dalam …. (Resti Nurfaidah)

27

Yang

lain : Waaaaahh (terpesona,

mengeluarkan ponsel masing-

masing), jempol! Jempol!

Jempol!

Dua : Ganteng, seksi, duuuuhhh….

Aji : Ada juga yang bertanya

kenapa aku ikutan body

building (tersenyum sinis).

Begini. Berdasarkan hasil

survey, orang fit dan ganteng,

ehmmm (sok ganteng) lebih

gampang hidupnya, masa

depan dijamin cerah, cari

kerja lebih mudah, cari

pacar? Gampang, pokoknya

semua gampang. (Janura,

2017)

Gambar 6

Kesih Sukesih

Sumber: koleksi pribadi

Gaya hidup hedonis dan materialistis

ditampilkan dalam peran tokoh Kesih

Sukesih. Ia menjadi simpanan seorang Om

yang mampu memenuhi kebutuhannya.

Kesih: Hello, hello, hello… Bertemu

kembali dengan Kesih

Sukesih, si mencrang

ngoncrang, di chanel

kesayangan kita. Hari ini,

Kesih baru saja belanja

sepatu, asik (mengeluarkan

sepatu dari kardus) lihat ini,

ini sepatu bukan sembarang

sepatu tapi Cinderella, eh?

Salah, ya? Terkadang Kesih

ini berasa jadi putri di negeri

dongeng, dimanja Si Om

kesayangan Kesih. Silahkan

katanya, Kesih mau apa,

nanti dibelikan Om. Aduh …

baik banget sih Om.

Celengak, celengok,

baragadal. Hihihihi.

[…]

Kesih: Pokoknya, Kesih sayang

banget sama Si Om, Si om

juga sayang banget sama

Kesih. Panggilannya Cassie

seperti nama bule. Naaaah,

sepatu ini juga pemberian Si

Om, makasih ya Om,

mmmuaach! Sepatu ini mau

Kesih pakai buat Promt

minggu depan. Apa?? Tidak

tau promt? Aduh keterlaluan.

Kasihan banget sih. Prompt

itu pesta dansa sekolah

sayang …. (Janura, 2017)

Durum dalam Psikologi Perkembangan

Hurlock

Remaja yang digambarkan di dalam

drama Durum merupakan remaja kering.

Mereka mengalami kehilangan kedekatan

dengan kedua orang tua, orang tua yang

tidak harmonis, tekanan kebutuhan materi

yang berat, korban bullying, dan

kesenjangan nilai antargenerasi. Perseteruan

karakter dengan Dalang mencerminkan

kesenjangan yang sudah sangat lebar

sehingga berakhir pada ekseskusi Dalang.

Eksekusi tersebut menunjukkan bahwa

remaja lebih memilih nilai dan norma Barat

yang baru yang menurut mereka lebih benar

dan menjanjikan kebebasan. Tekanan

kebutuhan materi terlihat pada karakter

Kesih dan karakter Salaki. Kesih menjadi

simpanan seorang pria matang yang mampu

memanjakannya dengan materi yang

berlimpah. Sementara itu, karakter Salaki

merupakan ayah patriarkis yang menjalanan

peranan gender yang kaku, yaitu sebagai

pencari nafkah. Beban sebagai pencari

Totobuang, Vol. 6, No. 1, Juni 2018:17—31

28

nafkah cukup besar sehingga ayah tidak mau

menyentuh ranah domestik sedikit pun.

Gambar 7

Konflik suami-istri

Sumber: koleksi pribadi

SEPASANG SUAMI ISTRI BERKELAHI

DI DALAM LAYAR

Istri : Bukan kemauan Mamah!

Bapaklah yang seperti itu!

Kalau saja Bapak lebih sering

di rumah, mungkin gak

seperti ini! Si Honey tidak

bakal hamil di luar nikah, Si

Boris disayat samurai!

Suami : Harus seperti apa? Kurang

apalagi? Dari pagi buta

sampai sore bekerja buat

menyenangkan keluarga!

Merangkak dari bawah, suka-

siku dengan teman, sugak-

sogok, sampai sekarang

punya jabatan! Semua ini

untuk siapa? Untuk anak-

anak, untuk mamah!

Istri : (Panas) Tidak cukup dengan

itu! Anak-anak butuh

perhatian! Mamah juga butuh

perhatian.

Suami: Aing cape (Aku capek)!

Maunya tuh kalau di rumah

sudah tidak ada masalah apa

pun! Di kantor sudah banyak

urusan.

Iatri : (Menimpali) Aing ge cape!

Capee!

Dua : Klik! (Janura, 2017)

Keringnya pendidikan moralitas di

lingkungan keluarga memunculkan remaja

yang agresif. Munculnya adegan bullying

pada karakter Kutu Buku dan Cacing Cau

menunjukkan alternatif pelampiasan emosi

yang terpasung. Remaja pelaku tidak pernah

mendapat penghargaan di dalam rumahnya

sendiri. Ia berharap bahwa kedua korban

tersebut dapat menghormati si pelaku yang

merasa sebagai superior. Hal itu tercantum

dalam adegan penyiar televisi berikut.

Suara

Berita: penyebab perilaku agresivitas

pada diri remaja bisa berasal

dari dua faktor, yaitu faktor

internal dan faktor eksternal.

Faktor internal, misalnya

perasaan frustrasi, perasaan

negative, pikiran atau

kognisi, dan pengalaman

masa kecil. Sedangkan faktor

eksternal bisa berupa

serangan, pengaruh teman,

pengaruh kelompok,

pengaruh model. Pengaruh

model yang dimaksudkan

adalah anak akan meniru

perilaku orang yang

dianggapnya dekat selama ini

dengan anak. Meniru perilaku

orang lain sebagai modelnya

sesuai dengan teori belajar

sosial yang dikemukakan oleh

psikolog Albert Bandura.

Sementara data daro

kepolisian menyebutkan 75

kasus kekerasan remaja dan

90,3% pelakunya berusia

13—18 tahun. Remaja

sebagai pelaku kekerasan

terus mengalami peningkatan

sebesar 5% tiap tahunnya.

(Janura, 2017)

Pengarang menyertakan data-data

ilmiah dalam drama. Selain sebagai

pengetahuan yang ingin disampaikan pada

penonton, adegan tersebut menunjukkan

Remaja Kering dalam …. (Resti Nurfaidah)

29

bahwa ketertarikan kaum remaja terhadap

konsep belajar sangat kurang. Terbukti

dengan sikap mereka pada bagian akhir

adegan itu, mereka sibuk mematikan layar

sambil berteriak “klik!”

Selain keluarga, remaja juga telah

kehilangan keteladanan dari lingkungan

sekitar. Sosok public figure yang hadir

dalam layar seolah tidak memiliki kualitas

keteladanan. Artis-artis broken home,

perilaku sex bebas, tercabutnya batas-batas

rumah tangga, permainan akidah. Hal itu

tercermin dalam adegan berikut.

Gambar 8

Penyiar Abal-Abal TV

Sumber: koleksi pribadi

Penyiar: Selamat malam, pemirsa live

streaming dari Abal-Abal TV,

mala mini akan

menyampaikan berita tidak

begitu penting untuk orang-

orang yang mudah

dimanipulasi! Ingat harus

reaktif, ya? Berita gembira,

baru saja anggota dewan

yang tertangkap kamera

CCTV sedang pesta sabu di

hotel anu. (Janura, 2017)

Keluarga disharmonis menyebabkan

timbulnya obsesi para remaja untuk

mendapati figur atau hal-hal yang dapat

menjadi pemeranan pengganti pemberi kasih

sayang. Namun, terkadang remaja menjadi

bingung dan cenderung salah dalam memilih

pilihan, seperti terlihat dalam dialog berikut.

Dalam adegan tersebut, disharmonisasi

keluarga juga menyebabkan hilangnya rasa

hormat pada norma-norma ketimuran, adat

tradisi yang berlangsung selama bertahun-

tahun (atau lebih), atau orang yang lebih tua.

Sebaliknya, terlebih ketika orang yang lebih

tua dianggap lebih kolot serta memiliki

kesalahan, sikap mereka akan mengolok atau

merendahkan, seperti yang muncul dalam

dialog berikut.

Satu: (Berdiri pelan-pelan)

Semuanya menjadi hancur.

Tak ada yang abadi. Ya,

seperti itu. Awalnya indah.

Mamah, Bapak, kakak, dan

Adik. Semuanya bahagia,

penuh dengan senyuman.

Rumah yang awalnya penuh

ketenangan. Secepat kilat

hancur berantakan. Ratih,

namanya, sekretaris cantik

yang merebut hati Bapak.

Lalu, Mamah tidak mau

keluar kamar, matanya yang

teduh berubah jadi beringas.

Hilang, kasih sayang. Hilang

nikmatnya disayangi, dikasihi

oleh ibu. Ke mana harus

mencari gantinya, sama

siapa? (Terpuruk dielus yang

lain)

Dua: Apa yang kurang? Rumah,

mobil, motor, uang, semua

ada. Cukup untuk bahagia,

setiap pagi bangun sambil

mengucap alhamdulillaah.

Tiap minggu berlibur,

berkunjung ke bibi,

mengunjungi nenek. Pelan-

pelan serakah. ‘Piih, Mamih

pengen liburan ke luar

negeri. Piihh, masa anak-

anak tidak tau Singapura?

Piih, Mamih pengen punya

bisnis, biar aja anak-anak di

rumah saja ada Bi Murni.

Terus … Kakak mau apa?

Totobuang, Vol. 6, No. 1, Juni 2018:17—31

30

Ade mau apa? Mobil baru,

villa, perusahaan, berlian,

brangkas besar, mainan

setan! Mamih ngablu, Papih

ngaberung. Nah 6 bulan yang

lalu merupakan puncak

kegembiraan., foto Papih

terpampang di Koran. Pelaku

korupsi. Katanya,

hahahahhah! Puas!

Semua: Puass…! (Tertawa)

Dua: Rasa hormat itu harus

diusahakan, Papih! Kalau

Papih koplok, nyanggakeun

tah imbit nyungcung!

(Memberi pantat)

Semua: Taaaaahhhh…. (Janura, 2017)

Gambar 9

Tokoh Satu mempertanyakan fungsi keluarga dan tokoh Dua mengolok keburukan orang

tuanya

Satu Dua

Sumber: koleksi pribadi

PENUTUP

Durum menyampaikan konflik

remaja dengan lingkungan terdekat

(keluarga) dan lingkungan sekitarnya.

Konflik tersebut menyebabkan para remaja

kekeringan dari kasih sayang dan

keteladanan. Penelusuran remaja kering

tersebut dilakukan dengan konsep semiotika

Fiske dan psikologi perkembangan Hurlock.

Dalam Fiske, eksplorasi terdiri atas tiga

bagian, yaitu level reality, level

representation, dan level ideology. Pada

tahapan realitas, konsep pementasan Durum

ditampilkan apa adanya tanpa mengenakan

kostum dan tata rias yang berlebihan.

Properti dan latar panggung juga tidak rumit.

Pada tahapan representasi, konsep

pemeranan tergolong padat dengan sederet

konflik remaja yang silih berganti dan

bertubi-tubi. Konsep tersebut menunjukkan

bahwa konflik remaja sudah sampai pada

tahapan yang cukup parah. Pada tahapan

ideologi, kehidupan urban yang tidak

terkendali dapat memutuskan koneksi para

remaja pada nilai-nilai ketimuran, sebaliknya

hal itu menimbulkan gaya hidup narsistis,

hedonistis, dan materialistis. Sementara itu,

berdasarkan psikologi perkembangan

Hurlock, kehidupan keluarga telah terlepas

dari tupoksi kewajiban dan hak antaranggota

keluarga. Hal itu menyebabkan kehidupan

perkawinan dan kekeluargaan menjadi retak.

Terlebih sulitnya mencari konsep

keteladanan, terutama pada public figure,

Remaja Kering dalam …. (Resti Nurfaidah)

31

menyebabkan remaja kering mencari oasis

lain, yang jika salah memilih, akan

mengakibatkan penderitaan bagi remaja

sendiri.

DAFTAR PUSTAKA

Fiske, John. 2009. Cultural and

Communication Studies: Sebuah

Pengantar Paling Komprehensif.

Yogyakarta : Jalasutra.

Hapsari, Endah. 2012. “Anak Anda Beranjak

Remaja? Ini Cara Berkomunikasi

yang Pas”

http://www.republika.co.id/berita/gay

a-hidup/parenting/12/01/26/lye6hs-

anak-anda-beranjak-remaja-ini-cara-

berkomunikasi-yang-pas. Diunduh

10 November 2017.

Hurlock, Elizabeth B. 2013. Psikologi

Perkembangan; Suatu Pendekatan

Sepanjang Rentang Kehidupan Edisi

Keenam. Jakarta: Erlangga.

Ir. 2011. “10 Penyebab Kenakalan Remaja”

dalam

https://health.detik.com/read/2011/01

/23/100537/1552483/1075/10-

penyebab-kenakalan-remajadiunduh

10 November 2017, pukul 04:12

WIB.

Janura, E.D. 2017. Durum. Bandung: tidak

diterbitkan.

Janura, E.D. 2017. Durum. Edisi Bahasa

Indonesia diterjemahkan oleh

Syamsurijal. Bandung: tidak

diterbitkan.

Rohisoh, Siti. 2011. “Pengaruh Perhatian

Orang tua Terhadap Kenakalan

Remaja di MTs Walisongo

Sidowangi Kajoran, Kabupaten

Magelang”. Skripsi. Salatiga: Jurusan

Tarbiyah, Prodi PAI, STAIN

Salatiga.

Safitri, Yuni. 2011. “Penanganan Kenakalan

Remaja (Stusi Kasus di SMA Negeri

2 Boyolali)”. Surakarta: Prodi MMP,

Program Pascasarjana UMY.

Saripuddin, M. 2009. “Hubungan Kenakalan

Remaja dengan Fungsi Sosial

Keluarga”. Skripsi. Yogyakarta:

Prodi Sosiologi Agama, Fakultas

Ushuluddin, UIN Sunan Kalijaga.

Teja, Dini. 2016. “7 Pilar Mendidik Anak

Menurut Psikolog Elly Risman”

dalam

https://gaya.tempo.co/read/774751/7-

pilar-mendidik-anak-menurut-

psikolog-elly-risman diunduh 10

November 2017, pukul 03:15 WIB.