makalah ushul fiqh

20

Click here to load reader

Upload: fashhan-adilla-rahman

Post on 30-Nov-2015

92 views

Category:

Documents


0 download

TRANSCRIPT

Page 1: makalah ushul fiqh

MAKALAH USHUL FIQH

“Mahkum Fiih dan Mahkum Alaih”

Disusun oleh :

Wiwin Unarsih (1112046100097)

Rizal Ardiansyah (1112046100098)

Henis Hairunisa (1112046100119)

Suci Duwiliyani (1112046100139)

JURUSAN PERBANKAN SYARIAH

FAKULTAS SYARIAH DAN HUKUM

UNIVERSITAS ISLAM NEGERI

JAKARTA

Page 2: makalah ushul fiqh

KATA PENGANTAR

Puji syukur kehadirat Allah SWT yang telah memberikan kita rahmat dan karunia,

sehingga kami dapat menyelesaikan makalah ini dengan judul “Mahkum Fiih dan Mahkum

Alaih”.

Shalawat serta salam semoga tetap tercurahkan kepada nabi besar Muhammd SAW.

Ucapan terima kasih juga tidak lupa kami sampaikan kepada seluruh pihak yang telah

membantu dalam proses pembuatan makalah ini, walaupun kami menyadari bahwa makalah ini

masih banyak kekurangan yang harus diperbaiki, untuk itu kami membutuhkan kritik dan saran

dari pembaca agar makalah ini dapat bermanfaat dikemudin hari.

Ciputat, 27 Maret 2013

Penulis

Page 3: makalah ushul fiqh

BAB I

PENDAHULUAN

1.1 Latar Belakang

Dalam kehidupan sehari hari kita tidak bisa hidup seenaknya sendiri,

semuanya sudah diatur oleh Allah SWT. Dia-lah sang pembuat hukum yang

dititahkan kepada seluruh mukallaf, baik yang berkait dengan hukum taklifi dengan

hukum wad’i untuk menyebut istilah hukum atau objek hukum dalam ushul fiqih

disebut mahkum fih, karena didalam peristiwa itu ada hukum seperti hukum wajib

dan hukum haram. Atau lebih mudahnya adalah perbuatan seorang mukallaf yang

terkait dengan perintah syari’ itu adalah mahkum fih, sedangkan seseorang yang di

kenai khitob itulah yang disebut mahkum alaih (mukallaf) berikut penjelasan

masing-masing.

1.2 Tujuan

Salah satu tujuan kami dari pembuatan makalah ini yaitu sebagai syarat untuk memenuhi

tugas perkuliahan khususnya pada pembelajaran Usul Fiqh pada semester 2 ini. Namun selain itu

tujuan di bentuknya makalah ini yaitu sebagai bahan pembelajaran kami agar dapat mengetahui

penjelasan lebih lanjut mengenai Mahkum Fiih(Obyek Hukum) dan Mahkum Alaih (Subyek

Hukum).

1.3 Batasan Masalah

Pada makalah yang kami buat, penyusun membataskan ruang lingkup masalah hanya

membahas mengenai Pegertian beserta syarat dari Mahkum Fiih dan Mahkum Alaih

1.4 Rumusan Masalah

Page 4: makalah ushul fiqh

1.4.1 apa yang dimaksud dengan Mahkum Fiih ? jelaskan syarat-syaratnya !

1.4.2 apa yang dimaksud dengan Mahkum Alaih ? jelaskan syarat-syaratnya !

1.5 Metode Penulisan

Metodologi yang di terapkan dalam menyusun makalah ini yaitu :

a. Metode Internet (Internet Research)

Merupakan suatu metode untuk mengumpulkan informasi dengan memanfaatkan

teknologi jaringan internet.

b. Metode Pustaka

Merupakan suatu metode untuk mengumpulkan informasi dengan menggunakan studi

pustaka atau dengan modul maupun buku pelajaran.

1.6 Sistematika Penulisan

Makalah ini terbagi dalam 3 (tiga) bab, uraian singkat mengenai masing-masing bab

adalah sebagai berikut :

Bab 1 Pendahuluan

Dalam bab ini dibahas mengenai latar belakang pembuatan Makalah, tujuan yang

diharapkan untuk mengatasi permasalahan, permasalahan yang dihadapi, metode

penulisan dan sistematika penulisan.

Bab 2 Pembahasan Masalah

Berisikan uraian tentang analisa masalah yang berdasarkan pada teori–teori yang ada

pada pembahasan Makalah ini.

Bab 3 Kesimpulan dan Saran

Berisikan kesimpulan mengenai apa saja yang telah di hasilkan dan saran-saran mengenai

sesuatu yang belum terdapat pada makalah ini.

Page 5: makalah ushul fiqh

BAB II

PEMBAHASAN

2.1 Pengertian Mahkum Fiih (obyek hukum)

Yang dimaksud dengan Mahkum Fih ialah perbuatan mukallaf yang menjadi obyek

hukum syara’ (Syukur, 1990: 132). Mahkum fih ialah pekerjaan yang harus dilaksanakan

mukallaf yang dinilai hukumnya (Sutrisno, 1999: 120). Sedangkan menurut ulama ushul fiqh

yang dimaksud mahkum fih adalah objek hukum, yaitu perbuatan seorang mukallaf yang terkait

dengan perintah syar’i baik yang bersifat tuntutan mengerjakan, tuntutan meninggalkan, memilih

suatu pekerjaan, dan yang bersifat syarat, sebab, halangan, azimah, rukhsah, sah serta batal

(Bardisi dalam Syafe’I, 2007: 317). Jadi, secara singkatnya dapat disimpulkan bahwa yang

dimaksud dengan mahkum fih adalah perbuatan mukallaf yang berkaitan atau dibebani dengan

hukum syar’i. 1

Ulama’ usul fiqh menyebutkan, bahwa yang dimaksud dengan Mahkum fih ialah objek

hukum syara’ atau perbuatan mukallaf yang berhubungan dengannya.2

Misalnya firman Allah yang berhubungan dengan perbuatan mukallaf, yaitu:

: ئدة ( الما لُع/ُق/ْو-ِد+ +ا ِب 5ْو-ُف/ْو-ا ا /ْو-ا 5َم5ُن ا -َن5 ;لِذ+ْي ا =َه5ا 5ْي 5ا )1ْي

“Hai orang-orang yang beriman, penuhilah akad-akad itu.”

Firman di atas berkaitan dengan perbuatan mukallaf, yaitu memenuhi janji. Kemudian

memenuhi janji ini dijadikan wajib oleh Allah SWT.

1 http://imronfauzi.wordpress.com/2008/12/29/mahkum-fih-dan-mahkum-alaih/

2 http://nurminan.blogspot.com/2012/11/makalah-mahkum-fih-mahkum-alaih.html

Page 6: makalah ushul fiqh

  ( االنُعام ( ;ْف-َس5 -ن ا /ْوا /ُل 5ُق-ُت َت 5 ْو5ال

Artinya: “Dan janganlah kamu membunuh jiwa,,,”

Pengharaman yang diambil dari firman tersebut berhubungan dengan salah satu perbuatan

mukallaf, yaitu membunuh jiwa, maka ia dijadikan sebagai yang diharamkan.

( البُقراة ( -ْف+ُق/ْو-َن5 /ُن َت -ُه/ َم+ُن -َث5 +ْي ب -لَخ5 ا 5م;م/ْوا 5ْي َت ْو5ال5

Artinya : “...Dan janganlah kamu memilih yang buruk-buruk lalu kamu nafkahkan dari

padanya...”

Firman diatas berhubungan dengan salah satu perbuatan manusia, yaitu menafkahkan

harta yang buruk-buruk, kemudian ia dijadikan makruh. Dari uraian-uraian diatas, jelaslah behwa

semua perbuatan manusia itu ada hubungannya dengan hukum syara’. Jadi perbuatan itulah yang

dinamakan mahkum fih dalam hukum syara’.

2.2 Syarat-syarat Mahkum Fiih

Supaya sesuatu perbuatan sah ditaklifkan, ia harus memenuhi tiga

syarat :

1.      Perbuatan itu diketahui oleh mukallaf dengan jelas, sehingga dia

sanggup melakukannya seperti yang diminta dari padanya.

2. Harus diketahui bahwa pentaklifan itu berasal dari orang yang

mempunyai wewenang untuk mentaklifkan dan termasuk orang yang

wajib atas mukallaf mematuhi hukum-hukumnya.

3.      Bahwa perbuatan yang ditaklifkan itu mungkin terjadi, artinya

melakukannya atau meninggalkannya berada dalam batas

kemampuan mukallaf.3[2]

3[2] Zainal Abidin Ahmad, Ushul Fiqih, cet. I, Jakarta: Bulan Bintang, 1975, h. 40-41.

Page 7: makalah ushul fiqh

Syarat lain dari mahkum fiih adalah :

• Mukallaf mengetahui perbuatan yang akan dilakukan, sehingga tujuannya jelas dan dapat

dilaksanakan.

Mukallaf harus mengetahui sumber taklif, supaya mengetahui bahwa tuntutan itu dari

Allah SWT, sehingga melaksanakannya berdasarkan ketaatan dengan tujuan

melaksanakannya karena Allah semata.

Perbuatan harus mungkin untuk dilaksanakan atau ditinggalkan.dengan catatan:

a) Tidak sah suatu tuntutan yang dinyatakan musthil untuk dikerjakan atau ditinggalkan

baik berdasarkan zatnya ataupun tidak.

b) Tidak sah hukumnya seseorang melakukan perbuatan yang ditaklifkan untuk dan atas

nama orang lain.

c) Tidak sah tuntutanyang berhubungan dengan perkara yang berhubungan dengan fitrah

manusia.

d) Tercapainya syarat taklif tersebut (Syafe’I, 2007: 320)

2.3 PengertianMahkum Alaih

Mahkum ‘alaihi ( َع�َل�ْي�ِه� ُك�ْو�ٌم� (َم�ْح� = yang dikenai hukum ialah: orang-orang mukallaf,

artinya orang-orang muslim yang sudah dewasa dan berakal, dengan syarat ia mengerti apa yang

dijadikan beban baginya.[13][13]

Orang gila, orang yang sedang tidur nyenyak, dan anak-anak yang belum dewasa dan

orang yang terlupa tidak dikenai taklif (tuntutan), sebagaimana sabda Nabi Muhammad SAW:

) . رْوه -ُق/ /ْف+ْي ْي ;ى َح5ُت /ْوَن+ ُن -م5ْج- ال ْو5َع5َن+ +َم5 5ُل ُت 5ْح- ْي ;ى َح5ُت hى+ الَّص;ب ْو5َع5َن+ -ُق+َظ5 5ْي ُت 5ْس- ْي ;ى ُت َح5 + +َم ;ائ الُن َع5َن+ l5ٍث 5َال َث َع5َن- 5َم/ -ُق5ُل ال ُف+َع5 ر/

( ْوالُنْسائ اِبْوِداْوِد

Page 8: makalah ushul fiqh

“Pena itu telah diangkat (tidak dipergunakan mencatat) amal perbuatan tiga orang: (1) orang

yang tidur hingga ia bangun, (2) anak-anak hingga ia dewasa, dan (3) orang gila hingga

sembuh kembali”.

Demikianlah orang yang terlupa disamakan dengan orang yang tidur dan yang tidak

mungkin mematuhi apa yang ditaklifkan.

Jadi, secara singkat dapat disimpulkan bahwa Mahkum Alaih adalah orang mukallaf yang

perbuatannya menjadinya tempat berlakunya hukum Allah.

2.4 Syarat-syarat Mahkum Alaih

Syarat-syarat Mahkum Alaih

Orang tersebut mampu memahami dalil-dalil taklif itu dengan sendirinya, atau dengan

perantara orang lain.

Orang tersebut ahli bagi apa yang ditaklifkan kepadanya. (Koto, 2006: 157-158)

2.5 Hal-hal yang menghalangi taklif (beban hukum)

Keahlian (kecakapan) para mukallaf yang dibebani tugas hukum menjadi hilang, bila

timbul yang menghilangkan kecakapannya (menunaikan). Keahlian dibagi menjadi dua :

a)   Keahlian wajib, yakni : layak dan pantas menjalankan apa yang diwajibkan, baik atas

yang menjalankan, maupun baginya.

b)   Keahlian menunaikan, yakni kelayakan dan kepantasan orang yang ditugaskan untuk

menyelesaikan pekerjaan menurut cara yang dipandang oleh syara’.

Pergantungan keahlian wajib pada manusia, ialah : kemanusiaanya, atau yang diberikan

pernilaian sebagai seorang manusia, seperti badan-badan wakaf. Adapun keahlian menunaikan

Page 9: makalah ushul fiqh

itu ialah tamyiz dan akal. Akal yang kurang seperti akal anak kecil yang mumayyiz, menetapkan

keahlian yang kurang dan akal yang sempurna, memberi keahlian yang sempurna.

1)    Gila

Gila itu berlawanan dengan satu syarat yang penting dari ibadat, yakni niat. Orang yang

gila tidak dapat melakukan niat, atau niat tidak dipandang sah. Dan gila itu ada yang

berkepanjangan dan ada yang tidak berkepanjangan. Ada yang datang, ada yang memang telah

bersemi dalam diri orang gila itu.

2)    Setengah gila

Orang setengah gila dihukum sama dengan anak sudah mumayyiz. Yang dikatakan

setengah gila ialah orang yang kadang-kadang terang fikirannya serupa dengan orang yang

berakal dan terkadang-kadang terganggu akalnya.

3)    Lupa

Lupa tidak menghilangkan kewajiban dan mengerjakan tugas, karena orang lupa

dipandan sempurna akalnya. Tidaklah terlepas dari hak-hak hamba, karena ia lupa. Adapun dari

hak-hak Allah, maka apakah kita pandang berdosa karena keluan itu, dan apakah pekerjaan yang

dilakukan dengan karena kelupaan itu menghasilkan hukum.

4)    Tidur

Tidur suatu keadaan yang menghalangi kita memahkan khitab. Maka tidur itu

mewajibkan pentakhiran khitab menunaikan hukum sehingga terbangun. Hal ini memberi

pengertian bahwa wajib tidak gugur, hanya menunaikannya yang ditakhirkan sehingga terjaga

atau teringat.

5)    Pingsan

Page 10: makalah ushul fiqh

Pingsan menghalangi kita memahamkan khitab bahkan lebih kuat dari pada tidur. Karen

itu orang yang pingsan disamakan dengan orang tidur, bahkan lebih. Lantaran itulah dihukum

batal sembahyang orang yang pingsan disegenap keadaan, walau dalam  sembahyang sekalipun.

6)    Sakit

Sakita tidak berlawanan dengan kesanggupannya mengerjakan ibadat, karena sakit itu

tidak merusakan akal, dan tutur. Hanya melemahkan saja. Karena itu di suruhlah kepada orang

yang sedang sakit mengerjakan kewajiban sebatas kemampuannya.

7) Haid dan Nifas

Tidak menggugurkan kesanggupan menanggung kewajiban dan menunaikannya. Hanya

saja lantaran syara’ telah mensyaratkan  suci untuk sah bersembahyang, tidaklah sah

sembahyang yang dikerjakan selam dalam haid dan bernifas itu.

8) Mati

Mati menggugurkan kewajiban yang dibebankan kepada manusia. Dan terletaklah atas

pundaknya dosa akibat kecerobohan dan kesalahan selama hayatnya. Hukum-huku yang

dibebankan atasnya untuk orang lain tetap berlaku tidak digugurkan. Umpamanya jika ia

menyimpan amanah orang (yang masih dalam tangannya), atau rampasan, maka semuanya wajib

dikembalikan kepada yang empunya, sesudah ia mati. Tentang hal hutang, maka tidak lagi dalam

pertanggungannya; karena sesudah mati tak ada pertanggungan lagi. Namun jika ia tidak

meningglkan harta, atau ada yang menanggung untuk membayarnya sebelum ia mati, wajiblah

hutang itu ditunaikan dari hartanya atau oleh yang menanggung.

9) Mabuk

Mabuk jika tidak dipandang maksiat, seperti mabuk karena terpaksa meminum

minuaman  yang memabukkan atau diminumnya untuk obat, maka diserupakan hukum orang

mabuk itu dengan orang pingsan. Tapi jika mabuk karena maksiat, tidaklah digugurkan sesuatu

kewajibannya. Hal ini dimaksudkan untuk menghukum dan menakutkannya.

Page 11: makalah ushul fiqh

10) Dalam Perjalanan

Yang dimaksud dengan perjalanan dalam pembahasan ini adalah keadaan tertentu dalam

perjalanan yang menyulitkan seseorang untuk melakukan kewajiban agama. Kesulitan dalam

perjalanan ini pada dasarnya tidak menghilangkan kecakapan dalam berbuat hukum. meskipun

demikian karena hukum syara’ menginginkan keringanan pada umatnya maka hukum syara’

memberikan kemudahan kepada seseorang dalam perjalanan itu.

11) Jahil (ketidak tahuan tentang adanya hukum)

Hukum Islam telah dijelaskan dalam sumber-sumbernya, baik dalam alquran, sunnah

maupun ijma’ ulama. Sehingga tidak ada alasan bagi seseorang untuk tidak melaksanakannya

dengan alasan tidak tahu. Tidak tahu seperti ini tidak dapat ditempatkan sebagai uzdur selama ia

masih berada dalam lingkungan wilayah Islam.

12) Terpaksa

Yang dimaksud dengan paksaan atau keadaan terpaksa ialah menghendaki seseorang

melakukan pekerjaan yang yang bertentangan dengan keinginannya. Bila seseorang melakukan

sesuatu diluar keinginannya untuk atau atas kehendak seseorang, berarti ia tidak rela berbuat

demikian. Keadaan rela dan terpaksa itu merupakan dua hal yang berlawanan.

Page 12: makalah ushul fiqh

BAB III

PENUTUP

3.1 Kesimpulan

Dari pembahasan diatas dapat kita kita simpulkan bahwa mahkum fih adalah perbuatan

mukallaf yang berkaitan atau dibebani dengan hukum syar’I, diantaranya perintah syar’i baik

yang bersifat tuntutan mengerjakan, tuntutan meninggalkan, memilih suatu pekerjaan, dan yang

bersifat syarat, sebab, halangan, azimah, rukhsah, sah serta batal.

Sedangkan yang dimaksud dengan Mahkum Alaih adalah orang mukallaf yang

perbuatannya menjadinya tempat berlakunya hukum Allah.

Pada dasarnya orang yang mukallaf adalah orang yang dituntut oleh Allah untuk berbuat

dan segala tingkah lakunya telah diperhitungkan berdasarkan tuntutan Allah itu. Namun ada

kalanya seorang  yang dibebani hukum tersebut menjadi hilang ataupun diberi keringanan oleh

syara’. Yaitu seperti yang dijelaskan diatas, beberapa hal yang bisa merubah hukum yang telah

diwajibkan kepada seoran mukallaf.

3.2 Saran

Page 13: makalah ushul fiqh

Dalam pembuatan makalah ini kami menyadari bahwa masih banyak kekurangan. Oleh

karena itu, diharapkan kritik dan saran untuk lebih baik lagi kedepannya.

DAFTAR PUSTAKA

Dzazuli dan Nurul Aen. 2000. Ushul Fiqh Metodologi Hukum Islam . Jakarta : Raja Grafindo Persada.

Shidiq, Sapiudin. 2011. Ushul Fiqh. Jakarta : Kencana Prenada Media Group.

Djalil, Basic. 2010. Ilmu Ushul Fiqh. Jakarta : Kencana Prenada Media Group.

Bakry, Sidi Nazar. 2003. Fiqh dan Ushul Fiqh. Jakarta : Raja Grafindo Persada.

Syarifudin, Amir. 2012. Garis-garis Besar Ushul Fiqh. Jakarta : Kencana Prenada Media Group.

Karim, Syafi’i. 2006. Fiqh Ushul Fiqh. Bandung : Pustaka Setia.

Page 14: makalah ushul fiqh
Page 15: makalah ushul fiqh

[13]Daftar Pustaka

Dzazuli dan Nurul Aen. 2000. Ushul Fiqh Metodologi Hukum Islam . Jakarta : Raja Grafindo Persada.