tungas ushul fiqh saya

23
DALIL HUKUM YANG TIDAK DISEPAKATI A. Pendahuluan Segala puji bagi Allah tuhan sekalian alam, tiada tuhan melainkan Allah. Shalawat dan salam keatas jungjungan besar kekasih Allah yang paling angung Saidina Muhammada Saw. Dan didalam pembahasan ini kami akan menerangkan masalah Ushul Fiqh yang berkaitan dangan “Dalil-dalil yang tidak Disepakati” Dalil-dalil hukum yang diperbedakan dikalangan ulama antara lain yang terpenting adalah. 1. Istihsan 2. Maslahah Mursalah 3. ‘Urf (Adat Istiadat) 4. Istishab 5. Syar’u Man Qoblan 6. Mazhab Sahabi 7. Sadd Az-zari’ah Dan didalam makalah ini kami akan menerangkannya satu- satu secara terperinci tentang Dalil-dalil Hukum yang tidak Disepakati. Atau dalil-dalil hukum yang diperbedakan dikalangan para ulama. 1

Upload: ucok-nasution

Post on 29-Nov-2015

44 views

Category:

Documents


2 download

TRANSCRIPT

Page 1: Tungas Ushul Fiqh Saya

DALIL HUKUM YANG TIDAK DISEPAKATI

A. Pendahuluan

Segala puji bagi Allah tuhan sekalian alam, tiada tuhan melainkan Allah.

Shalawat dan salam keatas jungjungan besar kekasih Allah yang paling angung

Saidina Muhammada Saw.

Dan didalam pembahasan ini kami akan menerangkan masalah Ushul Fiqh yang

berkaitan dangan “Dalil-dalil yang tidak Disepakati” Dalil-dalil hukum yang

diperbedakan dikalangan ulama antara lain yang terpenting adalah.

1. Istihsan

2. Maslahah Mursalah

3. ‘Urf (Adat Istiadat)

4. Istishab

5. Syar’u Man Qoblan

6. Mazhab Sahabi

7. Sadd Az-zari’ah

Dan didalam makalah ini kami akan menerangkannya satu-satu secara terperinci

tentang Dalil-dalil Hukum yang tidak Disepakati. Atau dalil-dalil hukum yang

diperbedakan dikalangan para ulama.

1

Page 2: Tungas Ushul Fiqh Saya

1. Pengertian Istihsan.

Dari segi bahasa Istihsan berarti menganggap sesuatu baik, yang terambil dari

kata Al-husnul (baik). Sedangkan istihsan menurut istilah Ushul Fiqh seperti

dikemukakan oleh Wahhab az-Zuhaili, terdiri dari dua defenisi yaitu:

1). Memakai qiyas khafi dan meninggalkannya qiyas jali karena ada pentunjuk

untuk itu.

2). Hukum pengecualian dari kaida-kaida yang berlaku umum karena ada

petunjuk untuk hal tersebut.

Istihsan yang disebut pertama dikenal dengan Istihsan qiyasi, sedangkan yang

kedua disebut Istihsan Istisnaiy.1

Defenisi Istihsan di kalangan ahli Ushul Fiqh Berbeda-beda, Istihsan menurut

bahasa ialah seperti yang dikemukakan syekh Abdul Wahhab Khollaf,

mengembalikan sesuatu kepada yang baik, menurut istilah Ushul Fiqh yaitu

memperbandingkan yang di lakukan oleh mujtahid dari qiyas jali (jelas) kepada qiyas

khafi (yang tersembunyi). Di sini terdapat kecendrungan yang lebih kuat untuk

mencela perbandingan yang di kemukakan orang tentang suatu peristiwa yang tidak

berdasarkan nashnya, nash disini maksudnya penagmbilan sesuatu hukum dari Al-

qur’an dan Sunnah Rasulullah, dalam hal ini terjadi dua pendapat, pertama terang-

terangan memperlakukan hukum, dan yang kedua secara sembunyi-sembunyi, di sini

mujtahid sendiri yang menegakkan dalil hukumnya untuk menguatkan bentuk yang

sembunyi-sembunyi itu dan membetulkan bentuk pandangan zahir, ini namanya

menurut syar’I Istihsan, begitu juga apabila dia itu hukum kulli, mujtahid itu sendiri

yang mengemukakan dalil hukumnya, bahwa istihsan itu adalah perincin dari hukum

kulli dihukumkan kepadanya denagn hukum lain ini juga menurut syari’at di

namakan istihsan.

Dari defenisi di atas itu dapat ditarik kesimpulannya bahwa istihsan itu dibagi

menjadi dua yaitu: qiyas khafi dan qiyas jali 2

1 Satria Efendi, Ushul Fiqh. (Jakarta, Kencana Prenada Media Group, 2012) hlm: 142-1432 Syekh Abdul Wahhab Khallaf, Ilmu Ushul Fiqh, (Jakarta, Pt Renika Cipta, 1995) hlm, 93-94

2

Page 3: Tungas Ushul Fiqh Saya

Para ulama ynag menerima istihsan sebagai dalil mengembalikan dasar istihsan

kepada al-qur’an dan Sunnah Rasulullah , dan didalam al-Qur’an Allah jelaskan

didalam suroh Al-zumar ayat 17-18,

Ahli Ushul fiqh dari Mazhab Hanafiy dan Hambaly sekalipun perbedaan didalam

mempormulasikan kata-katanya namu mereka sepakat bahwa istihsan ialah

perpindahan dari suatu hukum kepada hukum lainnya dalam sebahagian kasusu atau

meninggalkna suatu hukum karna adanya hukum yang lebih kuat.

Perpindahan ini kadang-kadang dari hukum yang dihasilkan dengan

menggunakan umumnya nash, nash disini Al-qur’an dan Sunnah Rasulullah dan

kadang-kadang dari hukum yang dihasilkan dengan menggunakan qiyas, oleh karena

itu bahwa istihsan dapat kita simpulkan istihsan itu adalah “perpindahan dari suatu

hukum yang ditetapkan oleh suatu dalil syara’ dalam suatu kasus tertentu kepada

hukum lain” karena adanya dalil syara’ yang mengharuskan perpindahan sesuai

dengan syari’at Islam.3

Macam-Macam Istihsan

Ditinjau dari segi berpindahnya suatu hukum ada berbagai macam istihsan

menurut ulama Hanafiyyah antara lain:

1). Berpindahnya suatu hukum dari qiyas yang dzohir kepada suatu qiyas khafiy,

2). Berpindahnya suatu hukum yang ditetapkan oleh nash yang umum kepada

yang khusus.

3). Berpindahnya suatu hukum yang kully kepada hukum yang merupakan

kekecualian, misalnya orang yang dititip barang harus bertanggung jawab atas

yang dititipkan kepadanya apabila yang menitipkan itu meninggal, maka yang

dititip harus mengganti barang tadi apabila dia melalaikan pemeliharaannya.

Apabila istihsan diartikan sebagai perpindahan dari suatu dalil kepada dalil lain

yang lebih kuat maka pengertian semacam ini tidak ada yang akan menolaknya lagi.

Kehujjahan Istihsan

3 H.A. Dzali Ushul Fiqhi Metode Hukum Islam, (Jakarta, Raja Grafindo Persada, 2000) hlm160-170

3

Page 4: Tungas Ushul Fiqh Saya

berdasarkan defenisi dan macam-macam istihsan dapat diketahui bahwa istihsan

pada dasarnya bukan sebagai sumber pembentukan hukum yang berdiri sendiri sebab

hukum-hukum tersebut pada macam pertama, berdasarkan dalil qiyas khafi lebih

diutamakan dibandingkan qiyas jali, lantara itu dapat menentramkan mujtahid dengan

jalan istihsan,

2. Maslahah Mursalah

Maslahah Mursalah di sebut juga Maslahah Muthalaqoh, karena tidak dibatasi

oleh dalil pengakuan atau pembatalan adapun didalam istilah ahli Ushul Fiqhi ialah:

“Memberikan Hukum sayar’ kepada suatu kasus yang tidak terdapat didalam nash

dan ijma’ atas dasar memelihara kemaslahatan yang terlepas yaitu kemaslahatan yang

tidak ditegakkan oleh syara’ dan tdak pula ditolak”

Hasbi Ash Shiddieqy memeberikan defenisi maslahah mursalah sebagai berikut:

memelihara maksud syara’ dengan jalan menolak segala jalan yang merusak makhluk

sedangkan Hanafy M. A. mendefenisikan maslahah mursalah sebagai berikut maslaha

mursalah adalah kebaikan yang tidak di singgung-singgung syara’ untuk mengerjakan

atau meninggalakannya sedangkan kalau dikerjakan akan membawa mamfaat atau

menghindari mudharat.

Dalam hal ini barangkali kita bisa menyimpulka bahwa maslahah mursalah

adalah memeberikan hukum terhadap sesuatu kasus atas dasar kemaslahatan yang

secara khusus yang tidak tegas dinyatakan didalam nash, sedangkan apabila

dikerjakan jelas akan membawa kemaslahatan yang bersifat umum dan apa bila

ditinggalkan jelas akan mengakibatkan kemafsadatan yang bersifat umum.4

Tingkatan Maslahah

Ditinjau dari segi kepentingan dan kualitas maslahah bagi kehidupan manusia

ahli ushul fiqh membagi maslahah kepada tiga bahagian sebagai berikut:

1). Al- maslahah Al- dharuriyat adalah suatu kemaslahatan yang berkaitan

dengan kebutuhan dasar manusia di dunia dan akhirat, demikian penting

4 Ibid, hlm, 171-172

4

Page 5: Tungas Ushul Fiqh Saya

kemaslahatan ini apabila luput dalam kehidupan manusia akan terjadi

kehancuran, bencana dan kerusakan terhadap tata kehidupan manusia

kemaslahatan ini meliputi agama, diri, akal, keturunan dan harta.

2). Al-maslahah Al-hajiat adalah suatu kemaslahatan yang dibutuhkan manusia

untuk menyempurnakan kemaslahatan pokok mereka dan menghilangkan

kesulutan yang dihadapi , termaksud kemaslahatan ini semua ketentuan hukum

yang mendatangkan keringanan bagi manusia dalam kehidupannya bentuk

keringana dalam ibadah.

3). Al-maslahah Al-tahsiniyat maslahah ini sering disebut dengan maslahah

takmiliyat yaitu sesuatu kemaslahatan yang sikapnya pelengkap dan keluasan

terhadap kemaslahatan dharuriyat dan hajiyat kemaslahatan ini dimaksudkan

untuk kebagusan dan kebaikan budi pekerti.

Dan ditinjau dari segi eksistensi maslahah dan ada tidaknya dalil yang langsung

mengaturnya terbagi menjadi tiga macam sebagai berikut:

1). Maslaham Al-mu’tabarah adalah suatu kemaslahatn yang dijelaskan dan

diakui kebenarannya secara langsung oleh nash, untuk memeliharan dan

mewujudkan kemaslahatan kehidupan manusia Islam menetapkan hukum qishash

bagi seorang pembunuh yang segaja seperti firman Allah dalam surah (Al-

baqarah, 178)

2). Maslahah Al-mulghah maksudnya suatu kemaslahatan yang bertentangan

dengan ketentuan nash karena segala bentuk kemaslahatan seperti ini ditolak

syara’.

3). Maslahah Al-mursalah ada beberapa defenisi maslahah al-mursalah yang

dikemukakan para ulama Said Ramadhan Al-buth mendefenisikan maslaha

mursalah sebagai berikut “setiap mamfaat yang termaksud dalam maqsid al-

syari’, baik ada nash yang mengakui atau menolaknya.

Dari defenisi ini tanpak bahwa maslaha mursalah merupakan kemaslahatan yang

sejalan dengan apa yang terdapat didalam nash, tetapi tidak ada nash secara

5

Page 6: Tungas Ushul Fiqh Saya

khusus yang memerintahkan dan melarang untuk mewujudkannya, bukti bahwa

kemaslahatan ini sejalan dengan nash dapat dilihat dari kesimpulan nash dan

makna yang dikandungnya.5

Dasar Hukum Maslahah Mursalah

Berdasarkan penelitian para ulama jelas bahwa syari’ah Islamiyah mengandung

kemaslahatan bagi manusia didalam mengatur hidup dan kehidupannya du dunia

ini hal ini di tegaskan dalam Al-qur’an sebagai berikut:

Artinya:

107. dan Tiadalah Kami mengutus kamu, melainkan untuk (menjadi) rahmat bagi

semesta alam. (QS. al-anbiya, 107).

Kedudukan maslahah Mursalah

Apabila kemaslahatan manusia menjadi syara’ maka maslahat terkandung di

dalam syari’ah Islamiyyah. sehubung dengan kemaslahatan duniawi ini dalam

kaitannya dengan nash-nash syari’at ada tiga

1). Ulama yang menetapkan bahwa nash-nash syari’ah tidak bisa diketahui

kecuali semata-mata dari segi dzohirnya, jadi mereka hanya megakui maslahah

yang secara eksplisit yang di tegaskan didalam nash.

2). Ulama yang mau mengambil maslahat dari apa yang tersirat yaitu dengan

mengetahui illat, maksud dan tujuannya.

3). Ulama-ulama yang menetapkan bahwa kemaslahatan adalah termaksud

kemaslahatan yang dititipkan oleh syari’ah Islamyyah baik kemaslahatan itu

diketahu secara explisit dan implisit dari nas-nash syara’.6

Maslahah Mursalah sebagai Hujjah

5 Firdaus, Ushul Fiqh Metode Mengkaji dan Memahami Islam, (Jakarta, Zikrul Hakim, 2004) hlm, 82-86

6 H. A. Djazuli, Ushul Fiqh Metode Hukum Islam, (Jakarta, Raja Grafindo Persada, 2000) hlm, 172-174

6

Page 7: Tungas Ushul Fiqh Saya

Dalam menggunakan maslahah mursalah sebagi hujjah ulama bersifat hati-hati

sehinnga tidak mengakibatkan pembentukan syara’at, berdasarkan nafsu dan

kepentingannya.7

3. AL-URF/AL-ADAT

Urf adalah segala sesuatu yang sudah dikenal oleh manusia karena menjadi

kebiasaan atau tradisi baik bersifat perkataan, perbuatan atau adakaitannya dengan

meninggalkan perbuatan tertentu, sekaligus urf disebut juga adat. Menurut ahli syara’

urf adalah bermakna adat dengan kata lain urf dan adat itu tidak ada perbedaan, Urf

tentang perbuatan manusia misalnya jual beli dan urf perkataan misalnya saling

penegrtian.

Macam-Macam Urf

Urf ini dibagi menjadi dua macam yang pertama Urf Shahih dan yang kedua Urf

Fasid.Urf shahih yaitu segala sesuatu yang sudah dikenal oleh manusia dan tidak

berlawanan dengan dalil syara’, serta tidak menghalalkan yang haram dan tidak pula

menggugurkan kewajiban, misalnya manusia saling pengertian tentang jumlah mas

kawin (mahar) apakah mas kawin itu di bayar berhutang apa kontan.

Urf Fasid ialah segala sesuatu yang sudah dikenal oleh manusia, tetapi

berlawanan dengan syara’ atau menghalalkan yang haram dan menggugurkan

kewajiban, misalnya manusia saling mengerti untuk melakukan perbuatan negatif

dalam hal pacaran.

Hukum Urf

Untuk Urf shahih haruslah dilestarikan dalam rangka pembentukan hukum dan

peroses peradilan , sedangkan untuk Urf Fasid tidak harus dipelihara atau dilestarikan

sebab pemelihara urf fasid berrartin menentang hukum syara’.8

Syarat Urf untuk dapat Dijadikan Sebagai Dalil Hukum

7 Abdul Wahab Khalap, Ilmu Ushul Fiqh, (Bandung, Gema Risalah, Press, 1997) hlm, 143 8 Ibid, hlm, 149-151

7

Page 8: Tungas Ushul Fiqh Saya

Syat untuk dapat dijadikan sebagai dali hukum ada empat sabagi berikut:

1). Urf itu harus termaksus urf shahih dalam arti tidak bertentangan dangan

ajaran al-Qur’an dan Sunnah Rasululah.

2). Urf itu harus bersifat umum dalam arti minimal telah menjadi kebiasaan

mayoritas penduduk negri itu.

3). Urf itu harus sudah ada ketika terjadinya peristiwa yang akan dilandaskan

kepada urf itu misalnya seseorang yang mewakafkan tanahnya kepada seorang

ulama yang dimasa itu ulama adalah orang yang mengetahui agama.

4). Tidak ada ketegasan dari pihak-pihak terkait yang berlainan denagn kehendak

urf tersebut, sebab jika kedua belah pihak yang berakad telah sepakat untuk tidak

terikat dengan kebiasaanya yang berlaku umum, maka ynag dipengang adalah

ketegasan buakn urf, misalnya adat yag berlaku disatu masyarakat , istri belum

boleh dibawa pidah oleh suaminya dari rumah orang tuanya sebelum melunasi

maharnya, namun ketika berakad kedua belah pihak telah sepakat bahwa sang

istri sudah boleh dibawa oleh suaminya pindah tanpa ada persyaratan lebih dulu

melunasi maharnya, dalam masalah ini yang dianggap berlaku adalah

kesepakatan itu bukan adat yang berlaku.9

4. ISTISHHAB

Secara etimologis istishab adalah “membawa serta sesama-sama atau terus

bersama-sama” Al-Syawkaniy dalam kitabnya mengatakan:

“Istishab ialah mengekalkan apa yang telah ada (kekekalan sesuatu) selama tidak

ada yang mengubahnya”.

9 Satria Effendi, Ushul Fiqh, (Jakarta, Kencana Prenada mwdia Group, 2005) hlm, 156-157

8

Page 9: Tungas Ushul Fiqh Saya

Dalam arti apa yang telah ditetapkan pada masa yang telah lalu maka tetap

demikian keadaannya pada masa kini dan nanti, selama tidak ada dalil yang

mengubahnya. Sedangkan Ibnu Qoyyim memberikan defenisi istishab dengan terus

berlakunya apa yang telah ditetapkan dan tidak belakunya apa yang tidak ditetapkan,

yaitu terus berlakunya hukum baik yang ditetapkan maupun yang tidak ditetapkan

sehinnga ada dalil yang mengubah keadaannya.

Denagn demikian istishab didasarkan kepada pemikiran yang kuat yaitu apabila

sesuatu keadan terus berlangsung maka hukumnya tetap, oleh karena itu tidak

dianggap dalil yang kuat dalam arti apabila ada dalil lain seperti al-Qur’an dan

Sunnah, Ijma’ dan Qiyas maka seluruhnya ini didahulukn daripada istishhab.

Penggunaan Istishhab

Penggunaan istishab didasarkan kepada:

1). Penelitian bahwa huku-hukum syara’ menunjukkan tetap berlaku terus sesuai

dengan ketetapan dalil, hingga ada dalil lain yang mengubahnya. Seperti

keharaman minum yang memabukkan

2). Dari segi akal bahwa manusia terus dianggap hidup karena ada tanda-tanda

kehidupannya (bernafas) sampai ada bukti lain bahwa ia telah meniggal,

seseorang terus dianggap didalam hubungan suami istri karena sebelumnya telah

melakukan akad nikah, sampai ada bukti lain bahwa mereka telah bercerai

misalnya dengan talaq.

Pembahagian Istishab

1). Istishhab al-Bara’at al-Ashilyyah yang menurut ibnu Qoyyim disebut dengan

terlepasnya tanggung jawab dari segala taklif sampai ada bukti yang menetapkan

taklifnya, seperti anak kecil sampai dengan ia baliq.

9

Page 10: Tungas Ushul Fiqh Saya

2). Istishhab yang di tunjukkan oleh syara’ atau akal seperti seseorang yang harus

bertanggung jawab terhadap utangnya.

3). Istishhab hukum seperti sesuatu telah ditetapkan dengan hukum seperti

haram, mubah, dll.

4). Istishhab Washaf yaitu istishhab yang didasarkan atas anggapan masih

tetapnya sifat yang diketahui ada sebelumnya sampai ada bukti yang

mengubahnya, misalnya sifat hidup yang dimiliki seseorang yang hilang tetapi

dianggap masih ada sampai ada bukti bahwa ia telah wafat.10

Kehujjahan Istishhab

Istishhab merupakan dalil syara’ terakhir yang dipakai mujtahid sebagai hujjah

untuk mengetahui hukum suatu kejadian yang dihadapkan kepadanya, pada dasarnya

istishhab merupakan tempat berputarnya fatwa yang terakhir untuk mengetahui

sesuatu berdasarkan hukum yang telah ditetapkan selama tidak terdapat dalil yang

merubahnya.

5. SYAR’U MAN QOBLANA

Yang dimaksud denagn sar’u man qoblana ialah syari’at atau ajaran-ajaran nabi-

nabi sebelum Islam yang berhubungan dengan hukum, seperti syari’at Nabi Ibrahim,

Nabi Musa, Nabi Isa, apakah syari’at syari’at yang diturunkan kepada mereka itu

berlaku pula bagi ummat Muhammad Saw, para ulama Ushul fiqh sepakat bahwa

syari’at para nabi yang terdahulu yang tidak tercantum didalam al-Qur’an dan

Sunnah, tidak berlaku lagi bagi umat Islam karena kedatangan syariat Islam telak

mengakhiri berlakunya syariat-sariat yang terdahulu.

Dan ada juga syari’at yang tedahulu yang berlaku bagi umat islam seperti puasa

bulan ramadhan, jadi perlu kita garis bawahi tidak semua syariat yang terdahulu yang

tidak berlaku pada umat Islam seperti puasa ramadhan yang dimanaAllah berfirman

didalam suroh al-Baqqrah, 183

10 H. A. Djazuli, Ushul Fikh Metode Hukum Islam, (Jakarta, Pt Raja Grafindo Persada, 2000) hlm,193-197

10

Page 11: Tungas Ushul Fiqh Saya

Artinya:

183. Hai orang-orang yang beriman, diwajibkan atas kamu berpuasa

sebagaimana diwajibkan atas orang-orang sebelum kamu agar kamu bertakwa,11

6. MAZHAB SAHABI

Yang di maksud denagn mazhab sahabi ialah pendapat sahabat Rasulullah

tentang suatu kasus yang dimana hukumnya tidak tegas dijelaskan didalam al-Qur’an

dan Sunnah Rasulullah.

Sedang kan yang dimaksud sahabat Rasulullah adalah setiap orang muslim yang

hidup bergaul bersama Rasulullah dalam waktu yang sangat lama serta menimba ilmu

dari Rasulullah.

Dalam hal ini pendapat sahabat dibagi menjadi empat bahagian.

1). Fatwa sahabat yang bukan merupakan hasil ijtihad.

2). Fatwa sahabat yang disepakati secara tegas dikalangan merekan yang dikenal

dengan Ijma’ sahabat.

3). Fatwa sahabi secara perorangan yang tidak diikuti sahabat yang lain. Karena

dikalangan sahabat sering berbeda pendapat.

4). Fatwa sahabat secara perorangan yang didasarkan oleh ra’yu dan ijtihad

Dan beberapa pendapat itu dapat disimpulkan menjadi dua bahagian:

Pertama, menurut kalangan hanafiyyah, bahwa fatwa sahabat dapat dijadikan

pegangan oleh generasi sesudahnya, alasan mereka antara lain firman Allah

dalam Al-qur’an sebagai berikut:

11 Satria Efendi, Ushul Fiqh, (Jakarta, Kencana Prenada Media Group, 2005) hlm, 162-163

11

Page 12: Tungas Ushul Fiqh Saya

110. kamu adalah umat yang terbaik yang dilahirkan untuk manusia, menyuruh

kepada yang ma'ruf, dan mencegah dari yang munkar, dan beriman kepada Allah.

Sekiranya ahli kitab beriman, tentulah itu lebih baik bagi mereka, di antara

mereka ada yang beriman, dan kebanyakan mereka adalah orang-orang yang

fasik. (QS, Ali –imran, 110)

Ayat tersebut menurut mereka ditinjau kepada para sahabat dan menunjukkan

bahwa apa yang mereka sampaikan adalah kebaikan dan oleh karena itu harus

diikuti.

Kedua, menurut satu riwayat dari Imam Ahmad bin Hambal bahawa fatwa

sahabat tidak diikuti generasi sesudahnya alasannya dalam firman Allah sebagai

berikut:

Artinya:

Maka ambillah (Kejadian itu) untuk menjadi pelajaran, Hai orang-orang yang

mempunyai wawasan. (QS, al-hasyr,2)

[1463] Yang dimaksud dengan ahli kitab ialah orang-orang Yahudi Bani Nadhir,

merekalah yang mula-mula dikumpulkan untuk diusir keluar dari Madinah.

Yang dimaksud mengambil pelajaran dalam ayat tersebut menurut mereka adalah

melakukan ijtihad, dengan demikian ayat tersebut memerintahkan orang-orang

yang memiliki kemampuan untuk melakukan ijtihad.12

7.SADD AZ-ZARI’AH

Kata sadd menurut bahasa menutup , dan kata az-zari’ah jalan kesuatu tujuan,

dengan demikiansadd az-zari’ah secara bahasa berarti menutup jalan kepada suatu

tujuan, menurut istilah ushul fiqh seperti dikemukakan Abdul Kari Zaidan sadd az-

zari’ah berarti “menutup jalan yang membawa kita kepada kebinasaan dan kejahatan”

12 Ibid, hlm, 169-171

12

Page 13: Tungas Ushul Fiqh Saya

Perbuatan-perbuatan yang menjadi wasilah kepada kebinasaan, terbagi kepada

dua sebagai berikut:

1). Perbuatan yang keharamannya bukan saja karena ia sebagai wasilah bagi

sesuatu yang diharamkan, tetapi perbuatan sendiri itu adalah haram.

2). Perbuatan yang secara esensial dibolehkan namun perbuatan itu

memungkinkan untuk digunakan sebagai wasilah kepada sesuatu yang

diharamkan, perbuatan seperti ini terbagai kepada empat macam yang

dikemukakan Wahbah Az-zuhailai sebagai berikut:

1). Perbuatan itu dapat dipastikan akan membawa kebinasaan.

2). Perbuatan itu akan mengandung kemungkinan meskipun kecil akan

membawa kepada sesuatu yang dilanggar.

3). Perbuatan yang pada dasarnya mubah namun kemungkinannya akan

membawa kebinasaan lebih besar daripada kemaslahatan.

4). Perbuatan yang pada dasarnya mubah karena mengandung kemaslahatan,

tetapi disamping itu dilihat kepada pelaksanaanya ada kemungkinan membawa

kepada sesuatu yang dilarang.13

KESIMPULAN

Didalam makalh ini kami telah bembahas tentang dalil-dalil hukum yang atelah

disepakati maksudnya disini tidak disepakati disebut juga dalil-dalil hukum yang di

perdebatkan dikalangan ulama.

Dan dislam makalah ini kami telah membicarakan masalah yang berkaitan

dengan dalil-dalil yang tidak disepakati di atas dan antara lain, Istihsan, Maslahah

Mursalah, Urf atau adat istiadat, Istishab, Syar’u man qoblana, Mazhab Sahabi dan

Sadd az-Zari’ah.

13 Ibid, hlm, 172-174

13

Page 14: Tungas Ushul Fiqh Saya

Semoga kita dapat mengambil kesimpulan yang berguna bagi kita yang ada

dalam makalah kami ini.

Daftar Fustaka

Satria Efendi, Ushul Fiqh. (Jakarta, Kencana Prenada Media Group, 2012)

Syekh Abdul Wahhab Khallaf, Ilmu Ushul Fiqh, (Jakarta, Pt Renika Cipta, 1995)

H.A. Dzali Ushul Fiqhi Metode Hukum Islam, (Jakarta, Raja Grafindo Persada, 2000)

14

Page 15: Tungas Ushul Fiqh Saya

Firdaus, Ushul Fiqh Metode Mengkaji dan Memahami Islam, (Jakarta, Zikrul Hakim,

2004)

15