tugas ushul fiqh saf

15
Ushul fiqh(haqiqi dan majazi) | 1 BAB I PENDAHULUAN 1. LATAR BELAKANG Ilmu Ushul fiqh merupakan kumpulan kaidah-kaidah yang menjelaskan kepada faqih (ahli hukum islam) cara-cara mengeluarkan hukum-hukum dari dalil-dalil syara‟,dalam mengelompokan lafaz atau kata dari segi pemakaiannya ilmu ushul fiqh membagi kedalam dua macam: hakikat (denotatif) dan majaz (konotatif). Mengenai kata dengan makna hakikat, tidak dipertentangkan lagi keberadaannya dalam Al-qur‟an. Kata yang seperti ini paling banyak ditemukan dalam Al-qur‟an. Adapun makna majāzi, keberadaannya dalam Al-qur‟an masih debetable di kalangan para ulama. Jumhur Ulama berpendapat kata dengan makna majaz terdapat dalam Al- qur‟an. Namun, segolongan ulama seperti mazhab Ẓahiriyyah, Ibnu Qāis dari Syafi‟iyyah, Ibnu Khuwaiz Mindad dari Malikiyyah, dan sebagainya tidak mengakui keberadaannya dalam Al-qur‟an. secara sederhana, hakikat dan sharih adalah kata yang menunjukkan makna asli/jelas, tidak ada indikator yang mendorong untuk menggunakan makna majaz, kināyah, atau tasybīh (yang tidah jelas). Kata tersebut mempunyai makna tegas tanpa dipengaruhi adanya pendahuluan (taqdīm) dan pengakhiran (ta‟khīr) dalam susunannya. Dari penjelsan singkat di atas, penulis akan memaparkan pengertian hakikat dan majaz, pembagian majas, cara menentukan lafal hakikat/majaz, ketentuan yang berkaitan hakikiat/majas dan penyebab tidak berlakunya hakikat/majaz serta pengertian shari/kinayah. 2. RUMUSAN MASALAH 1. Pengertian haqiqah dan majazi 2. Macam-macam majazi 3. Ketentuan yang berkenaan dengan haqiqah dan majazi 4. Sharih dan kinyah

Upload: safrian-utama-andesce

Post on 27-Jan-2016

89 views

Category:

Documents


9 download

DESCRIPTION

proposal skrifsi

TRANSCRIPT

Page 1: Tugas Ushul Fiqh Saf

Ushul fiqh(haqiqi dan majazi) | 1

BAB I

PENDAHULUAN

1. LATAR BELAKANG

Ilmu Ushul fiqh merupakan kumpulan kaidah-kaidah yang menjelaskan

kepada faqih (ahli hukum islam) cara-cara mengeluarkan hukum-hukum dari

dalil-dalil syara‟,dalam mengelompokan lafaz atau kata dari segi pemakaiannya

ilmu ushul fiqh membagi kedalam dua macam: hakikat (denotatif) dan majaz

(konotatif). Mengenai kata dengan makna hakikat, tidak dipertentangkan lagi

keberadaannya dalam Al-qur‟an. Kata yang seperti ini paling banyak ditemukan

dalam Al-qur‟an. Adapun makna majāzi, keberadaannya dalam Al-qur‟an masih

debetable di kalangan para ulama.

Jumhur Ulama berpendapat kata dengan makna majaz terdapat dalam Al-

qur‟an. Namun, segolongan ulama seperti mazhab Ẓahiriyyah, Ibnu Qāis dari

Syafi‟iyyah, Ibnu Khuwaiz Mindad dari Malikiyyah, dan sebagainya tidak

mengakui keberadaannya dalam Al-qur‟an. secara sederhana, hakikat dan sharih

adalah kata yang menunjukkan makna asli/jelas, tidak ada indikator yang

mendorong untuk menggunakan makna majaz, kināyah, atau tasybīh (yang tidah

jelas).

Kata tersebut mempunyai makna tegas tanpa dipengaruhi adanya

pendahuluan (taqdīm) dan pengakhiran (ta‟khīr) dalam susunannya.

Dari penjelsan singkat di atas, penulis akan memaparkan pengertian hakikat

dan majaz, pembagian majas, cara menentukan lafal hakikat/majaz, ketentuan

yang berkaitan hakikiat/majas dan penyebab tidak berlakunya hakikat/majaz

serta pengertian shari/kinayah.

2. RUMUSAN MASALAH

1. Pengertian haqiqah dan majazi

2. Macam-macam majazi

3. Ketentuan yang berkenaan dengan haqiqah dan majazi

4. Sharih dan kinyah

Page 2: Tugas Ushul Fiqh Saf

Ushul fiqh(haqiqi dan majazi) | 2

BAB II

PEMBAHASAN

A. HAQIQAH DAN MAJAZI

1. PENGERTIAN HAQIQAH DAN MAJAZI

Secara etimologi, hakikat merupakan dari kata )حقه haqqa( yang berarti

tetap. Ia bisa bermakna subjek (fā‟il); sehingga memiliki arti „yang tetap‟ atau

objek (maf‟ūl),yang,berarti„ditetapkan‟1. Secara terminology haqiqah ulama‟

ushul fiqh memberikan definisi sebagai berikut:2

Menurut Ibnu Subhi haqiqat adalah :

و ه ابت د اء او م ي ف ل م ػ ست م ال ظ لف ال ل ه ع ض “lafadz yang digunakan untuk sesuatu yang ditentukan”

Ibnu Kudamah memberikan definisi:

ل ص ال و ع ض ه ف ى اللفظ الوستعول

“lafadz yang digunakan untuk sasarannya semula”.

Menurut Al-Sarkhisi

م عل ه ئ ش ل ل اال ص ف ع ض ه ى ظ ف ل ل م

“setiap lafaz yang ia tentukan menurut asalnya untuk sesuatu yang

tertentu”.

Seluruh pengertian di atas mengandung pengertian tentang haqiqah, yaitu :

suatu lafaz yang digunakan menurut asalnya untuk maksud tertentu .

maksudnya, lafazh digunkan oleh perumus bahsa untuk itu . contohnya seperti

kata “kursi”. Yang menurut asalnya memang digunkan untuk tempat tertentu

yang memiliki sandaran dan kaki. Meskipun kemudian kursi itu sering juga

digunkan untuk pengertian “kekuasaan” tapi pada dasarnya kursi memang untuk

“tempat duduk”.

1 Amir Syarifudin, Ushul Fiqih, )Jakatra: Kencana, 2008, Jilit 2, Cet. V, h. 26-39.

2 Ibid,

Page 3: Tugas Ushul Fiqh Saf

Ushul fiqh(haqiqi dan majazi) | 3

Sedangkan penggunaan kata untuyk sasaran( pengertian) lai dinamai

majaz”.

Dari segi ketetapanya sebagai haqiqah, para ulama membagi “haqiqah” itu

kepada beberapa bentuk.3

1) Haqiqah lughawiyah( ية) الغ و الح ق ي ق ة yang ditetapkan oleh bahasa itu

sendiri, اللفظ الوستعول ف الوعن ى به اللغ

yaitu : lafal yang digunakan pada maknanya menurut pengertian bahasa.

Contohnya, kata “manusia” untuk semua hewan yang berakal.

2) Haqiqah syar’iyyah ع ي ة() ( الش ر الح ق ي ق yang ditetapkan oleh syar‟i

(pembuat hukum sendiri) yaitu :

اللفظالمستػملفىالمػنىالموضوعلهشرعاو ه

“lafadz yang digunakan untuk makna yang ditentukan untuk itu oleh syara’.

Umpamanya lafaz “shalat” untuk perbuatan tertentu yang terdiri dari

perbuatan dan ucapan yang dimulai dengan “takbir” dan disudahi dengan

“salam”.

3) Haqiqah ‘urfiyah khashshah الػ رف ي ةالخ اص ة() الح ق ي ق ة yang ditetapkan oleh

kebiasaan suatu lingkungan tertentu, yaitu :

اوطائفةمنهجماعةهواللفظالمستػملفىمػنىعرفيخاصيصطلحعليه“lafadz yang digunakan untuk arti menurut kebiasaan tertentu yang biasa

digunakan oleh suatu kelompok atau sebagian diantaranya”.

Umpamanya istilah ijma‟ yang berlaku di kalangan ahli fiqih.4

3 Ibid,

4 Ibid,

Page 4: Tugas Ushul Fiqh Saf

Ushul fiqh(haqiqi dan majazi) | 4

4) Haqiqah ‘urfiyah ‘ammah ي ةالػام ة(الح ق ي ق ةالػ رف ) yang yang ditetapkan oleh

kebiasaan yang berlaku secara umum, yaitu :

هواللفظالمستػملفىمػنىعرفيعام

“lafadz yang digunakan dalam makna menurut yang berlaku dalam

kebiasaan umum”.

Umpamanya penggunaan kata dabbah) (الد ابة dalam bahasa arab untuk hewan

ternak yang berkaki empat.

Lafaz majaz adalah bahagian dari pengunanaan lafaz itu sendiri sehingga

oleh para ulama berbeda pula dalam menafsirkan tentang pengertian lafaz itu

sendiri. Walaupun berbeda dalam penafsiran namun tujuan adalah sama,

mungkin letak perbedaan dalam menafsirkan arti majaz tersebut adalah cara

pandang mereka yang berbeda. Diantara nya adalah

1. Menurut al-Sarkhisyi beliau menyebutkan yang dimaksud dengan majaz

adalah

اسملكللفظهومستػارلشيءغيرماوضعلهNama untuk setiap lafaz yang dipinjam untuk digunakan bagi maksud diluar

apa yang ditentukan.

2. Ibnu Qudamah memberikan pengertian lafaz majaz adalah

هواللفظالمستػملفىغيرموضوعهعلىوجهيصح

Lafaz yang digunakan bukan untuk apa yang ditentukan dalam bentuk yang

digunakan.

3. Sedangkan majaz menurut Ibnu Subki adalah

Page 5: Tugas Ushul Fiqh Saf

Ushul fiqh(haqiqi dan majazi) | 5

هواللفظالمستػملوبوضعثانلػلاقة

Lafaz yang digunakan untuk pembentukan kedua karena adanya

keterkaitan.

Dari beberapa contoh definisi di atas dapat dirumuskan pengertian lafadz

majaz tersebut, yaitu :5

a. Lafadz itu tidak menunjukkan kepada arti sebenarnya sebagaimana yang

dikehendaki oleh suatu bahasa.

b. Lafadz dengan bukan menurut arti sebenarnya itu dipinjam untuk

digunakan dalam memberi arti kepada arti yang dimaksud.

c. Antara sasaran dari arti lafadz yang digunakan dengan sasaran yang

dipinjam dari arti lafadz itu memang ada kaitannya.

Umpanya kata “kursi” dipinjam untuk arti kekuasaan Lafaz kursi pada

dasrnya diartikan untuk tempat duduk. Lafaz itu dipinjam untuk arti kekuasaan

antara tempat duduk dan kekuasaan memang ada kaitanya, bahwah memang

kekuasaan memang dilaksakan dari kursi, sering disimbolkan dengn singgasana.

Pada dasarnya setiap pemakai kata ingin menggunakan Lafaz untuk arti

menurut hakikatnya. Namun ada hal-hal tertentu yang mendorongnya untuk

tidak menggunakan haqiqah itu dengan menggunakan majaz. Di antara hal yang

mendorong kearah itu adalah sebagai berikut :6

a) Karena berat mengucapkan suatu lafadz menurut haqiqahnya. Oleh

karenanya ia beralih kepada majaz. Umpamanaya lafazh حنفقيق(bahaya

besar menimpah seseorang ) karna berat lebih suka mengucapkan

(maut)

b) Karena buruknya kata haqiqah itu bila digunakan. Sama halnya dalam

menggunakan kata majaz tersebut karena tidak etisnya sutu kata

5 Ibid,

6 Ibid,

Page 6: Tugas Ushul Fiqh Saf

Ushul fiqh(haqiqi dan majazi) | 6

haqiqah kalau digunkan depan orang banyak.(bersetubuh dengan

bergaul)

c) Karena kata majaz lebih dipahami orang dan lebih populer ketimbang

kata haqiqah. Yaitu jima‟ dengan bersetubuh

d) Karena untuk mendapatkan rasa keindahan bahasa (balaghahnya). Yaitu

kata singa

2. Macam-Macam Majaz

Adapun bentuk-bentuk majaz adalah sebagai berikut :

a) Adanya tambahan dari susunan kata menurut bentuk yang sebenarnya.

Seandainya dihilangkan tambahan kata itu, sebenarnya tidak mengurangi

arti hakikatnya. Umpamanya tambahan kata ك yang berarti “seperti” yang

terdapat dalam firman Allah, surat al-syura‟ (42) : 11 :

لس موثلو شء

“tidak ada seperti semisal sesuatu pun”.

Seandainya ada ك(seperti) itu tidak ada, sebenarnya tidak akan mengurangi

artinya. Adanya tambahan ini menempatkannya sebagai majaz, karena

berlebihan dari hakikatnya.

b) Adanya kekurangan dalam suatu susunan suatu kata dari yang sebenarnya.

Kebenaran maksud dari lafadz itu terletak pada yang kurang itu.

Umpamanya firman Allah dalam surat Yusuf (12) : 82 :

سئل القز ت

“Tanyalah kampung itu”

Pengertian dalam bentuk hakikatnya adalah “tanyalah penduduk kampung

itu”. Adanya kekurangan kata “penduduk” dalam kata “kampung” di atas,

menjadikannya sebagai majaz.

c) Mendahulukan dan membelakangkan atau dalam pengertian “menukat

kedudukan suatu kata”. Umpamanya firman Allah dalam surat al-Nisa‟

(4) : 11 :

منبػدوصيةيوصىبهااودين

Page 7: Tugas Ushul Fiqh Saf

Ushul fiqh(haqiqi dan majazi) | 7

“Sesudah mengeluarkan wasiatnya dan membayarkan hutangnya”

Maksud sebenarnya adalah “sesuatu membayarkan hutang dan

mengeluarkan wasiatnya”

d) Meminjam kata lain atau isti’arah(استعارة (yaitu menamakan sesuatu

dengan menggunakan (meminjam kata lain). Seperti memberi nama si A

yang “pemberi” dengan “singa”.

Isti‟arah (peminjaman kata lain) itu merupakan bentuk yang terbanyak dari

penggunaan lafadz majaz.7

3. Cara Mengetahui Haqiqah Dan Majaz

Untuk mengetahui lafadz haqiqah adalah secara sima‟i سوب ع yaitu dari

pendengaran terhadap apa yang biasa dilakukan orang-orang dalam berbahasa.

Tidak ada cara lain untuk mengetahuinya selain dari itu. Juga tidak dapat

diketahui melalui anlogi. Sebagaimana keadaan hukum syara‟ yang tidak dapat

diketahui kecuali melalui nash syara‟ itu sendiri.

Cara untuk mengetahui lafadz majaz adalah melalui usaha mengikuti

kebiasaan orang Arab dalam penggunaan isti‟arah (peminjaman kata). Adapun

cara orang Arab menggunakan kata lain untuk dipinjam bagi maksud lain adalah

adanya kaiatan antara maksud kedua kata itu baik dalam bentuk maupun dalam

arti.

Beberapa hal yang dapat dijadikan penunjuk dalam membedakan antara

haqiqah dengan majaz, diantara adalah sebagai berikut :8

1) Salah satu diantara kedua lafadz itu lebih dahulu menyentuh pemahaman

dibanding dengan yang lain. Itulah yang haqiqah sedangkan yang agak

lambat menyentuh pemahaman adalah majaz.

2) Salah satu diantara kedua lafadz itu dapat dikembangkan atau ditasyrifkan

ke dalam beberapa lafadz.

4. Ketentuan Yang Berkenaan Dengan Haqiqah Dan Majaz

Adapun beberapa ketentuan atau hukum yang berhubungan dengan haqiqah

dan majaz adalah sebagai berikut :9

7 Ibid,

8 Ibid,

Page 8: Tugas Ushul Fiqh Saf

Ushul fiqh(haqiqi dan majazi) | 8

1) Bila suatu lafadz digunakan antara haqiqah atau majaz, maka lafadz itu

ditetapkan sebagai haqiqah, karena menurut asalnya penggunaan suatu lafadz

atau kata adalah untuk haqiqahnya. Lafadz itu pun bukan mujmal هجول kecuali

bila ada dalil yang menunjukkan bahwa yang dimaksudkan adalah majaz.

Dengan menjadikan setiap lafadz yang memungkinkan untuk dijadikan majaz.

Sebagai mujmal, maka akan tercapai yang dimaksud yaitu pemahaman.

2) Pada haqiqah harus ada sasaran atau maudhu dari lafadz yang digunakan, baik

dalam bentuk perintah atau larangan, dalam bentuk umum atau khusus. Begitu

pula pada majaz, juga harus ada sasaran yang digunakan untuk lafadz yang

lainnya, baik dalam bentuk umum maupun khusus. Dan antara 2 bentuk

lafadz itu tidak terdapat pertentangan, karena majaz itu pengganti haqiqah.

3) Haqiqah dan majaz itu tidak mungkin berkumpul pada satu lafadz dalam

keadaan yang sama. Artinya, masing-masing harus mengikuti tujuan sendiri-

sendiri, karena haqiqah adalah asalnya sedangkan majaz hanya kata yang

dipinjam. Keduanya tidak dapat berkumpul dalam satu lafadz.

Di kalangan ulama Hanafiah ada yang berpendapat antara haqiqah dan

majaz, keduanya bertemu dalam dua tempat yang berbeda, dengan syarat, majaz

itu tidak akan sampai mendesak haqiqah. 10

Dalam al-qur‟an, surat al-Nisa‟ (4) : 23, Allah berfirman :

حرمؼعليكمامهاتكموبناتكم

“Diharamkan atasmu ibu-ibu mu dan anak-anak mu”.

Kata “ibu-ibu” اهيب تنن dalam bentuk jamak pada ayat tersebut dapat

digunakan “nenek”, namun penggunaan untuk “nenek” adalah dalam bentuk

majaz. Begitu pula kata “anak-anak” ( ابنب ء) dapat digunakan untuk “cucu”,

namun penggunaan untuk “cucu” adalah dalam bentuk majaz, sedangkan

haqiqahnya adalah untuk anak kandung.11

Penyebab tidak berlakunya haqiqah

9 Ibid,

10 Ibid,

11 Ibid,

Page 9: Tugas Ushul Fiqh Saf

Ushul fiqh(haqiqi dan majazi) | 9

Pada dasarnya adalam setiap menggunakan lafadz harus dalam bentuk

haqiqahnya dan tidak boleh beralih kepada yang lain kecuali bila ada qarinah.

Namun dalam beberapa hal tidak digunakan haqiqahnya, yaitu dalam keadaan

sebagai berikut :12

i. Adanya petunjuk penggunaan secara „urfi (kebiasaan) dalam penggunaan

lafadz.

Dalam hal haqiqah lafadz lafadz ditinggalkan, maka yang diamalkan

(dipegang) adalah apa yang mudah dipahami dari lafadz tersebut. Alasannya

adalah karena suatu kalimat (ucapan) ditentukan untuk dipahami dan bila telah

terbiasa orang menggunakan suatu lafadz untuk maksud tertentu maka

pengggunaan lafadz itu sudah menempati kedudukan “haqiqah”. Umpamanya

lafaz “shalat” ; menurut haqiqah penggunaannya adalah untuk “do‟a”. Tetapi

karena sudah diketahui bersama bahwa yang dimaksud shalat itu adalah suatu

bentuk tertentu dari perbuatan ibadat, maka pengertian shalat yang arti

hakikatnya adalah do‟a itu tidak lagi digunakan. Firman Allah yang menyuruh

shalat dalam surat Thaha (20) : 14 :

ا قن الصال ة لذمز

“Dirikanlah shalat untuk mengingat Aku”

ii. Adanya petunjuk lafadz.

Dalam hal ini suatu lafadz memberi petunjuk kepada sesuatu secara

haqiqah, namun yang dimaksud bukan untuk itu.

Contohnya, bila seseorang berkata, “Demi Allah saya tidak makan daging.”

Ternyata kemudian ia makan daging ikan. Tetapi ia dinyatakan tidak

melanggar sumpah; karena pengertian “daging” berlaku untuk segala macam

daging secara hakikatnya. Namun pengertian menurut haqiqah ini tidak lagi

digunakan karena petunjuk lafaz menghendaki “daging” itu selain dari ikan dan

belalang yang keduanya tidak disebut daging. Kalau pengertian hakikatnya

yang digunakan, maka orang yang bersumpah itu melanggar sumpahnya.

iii. Adanya petunjuk berupa aturan dalam pengungkapan suatu ucapan.

12 Ibid,

Page 10: Tugas Ushul Fiqh Saf

Ushul fiqh(haqiqi dan majazi) | 10

Dalam mengucapkan suatu ucapan ada aturannya, sehingga meskipun

diucapkan dengan cara lain walaupun dalam bentuk haqiqah, harus

dikembalikan kepada aturan yang ada walaupun berada di luar haqiqah.

Umpamanya firman Allah dalam surat al-Kahfi (18) : 29 :

شب ء فلؤ هن هن شب ء فلنفز انب ا عتد نب للظب لون نب رافون

“Barang siapa yang mau, berimanlah, dan barang siapa yang mau,

kafirlah, sesungguhnya kami menyediakan neraka bagi orang yang zhalim.”

iv. Adanya petunjuk dari sifat pembicara

Meskipun si pembicara menyuruh sesuatu yang menurut haqiqahnya berarti

menuntut apa yang diucapkan, namun dari sifat si pembicara itu dapat diketahui

bahwa ia tidak menginginkan sesutau menurut yang diucapkan. Dalam hal ini,

maka haqiqah yang diucapkan itu tidak perlu diperhatikan.

Umpamanya firman Allah dalam surat al-Isra‟ (17) : 64 :

استفشس هن استطعت هنين بص تل

“Dan hasunglah siapa yang kamu sanggupi diantara mereka dengan

ajakanmu.”

v. Adanya petunjuk tentang tempat atau sasaran pembicaraan.

Berdasarkan haqiqah penggunaan lafadz, lafadz itu harus dipahami menurut

apa adanya, namun ada petunjuk tempat yang menghalangi kita untuk

memahami lafadz itu menurut haqiqahnya.

Umpamanya firman Allah dalam surat al-Fathir (35) : 19 :

هب ست اال عو البصز

“Tidak sama orang buta dengan orang yang melihat”

Keberadaan majaz dalam ucapan

Pembicaran tentang haqiqah dan majaz, berlaku dalam lafadz (ucapan).

Namun dalam hal apakah majaz itu ada (terjadi) dalam ucapan (lafadz) yang

bersifat syar‟i, terdapat beda pendapat di kalangan ulama.13

a. Kebanyakan ulama berpendapat bahwa majaz itu memang terjadi dalam

ucapan, baik dalam ucapan syar‟i (pembuat hukum) dalam al-qur‟an dan

13 Ibid,

Page 11: Tugas Ushul Fiqh Saf

Ushul fiqh(haqiqi dan majazi) | 11

sunnah, sebagaimana terjadi dalam ucapan manusia, bahasa apapun yang

digunakan.

Keberadaan majaz itu terlihat dalam beberapa ayat al-qur‟an dan hadist Nabi

seperti penggunaan lafaz “mulamasah” yang berarti saling bersentuhan dalam al-

qur‟an, surat al-Nisa‟ (4) : 34, sebagai ganti dari ucapan “jima” tau bersetubuh

yang berkaitan dengan hukum batalnya wudhu”.

b. Abu Ishak Al-Asfaraini dan Abu Ali al-Farisi menolak adanya pemakaian

majaz. Apa yang selama ini dianggap majaz itu sebenarnya adalah

haqiqah, karena ada petunjuk yang menjelaskannya.

c. Golongan ulama Zhahiri menolak adanya majaz dalam al-qur‟an dan

hadist Nabi. Seandaianya menemukan firman Allah Swt. yang

mengggunakan bahasa untuk digunakan dalam artian syar‟i , maka hal itu

bukan berarti majaz, tetapi konteks penggunaannya sudah secara haqiqah

syar‟i. Alasan golongan Zhahiri ini menolak majaz dalam al-qur‟an dan

hadist adalah bahwa penggunaan majaz (bukan arti sebenarnya) berarti

dusta, sedangkan Allah dan Rasul terjauh dari dusta.

B. Sharih dan Kinayah

Secara arti kata, sharih dari kata sharaha berarti terang ; ia menjelaskan apa

yang ada dalam hatinya terhadap orang lain dengan ungkapan yang seterang

mungkin.14

Dalam pengertian istilah hukum, sharih berarti :

كل لفظ مكشو ف المعنى والمراد حقيقت او مجا ز ا

“Setiap lafadz yang terbuka makna dan maksudnya, baik dalam bentuk

haqiqah atau majaz”.

Maksud yang dikehendaki oleh pembicara dapat diketahui dari lafadz yang

digunakan tanpa memerlukan penjelasan lain. Umpamanya pada waktu

seseorang ingin menceraikan isterinya, ia berkata kepada isterinya, “engkau saya

ceraikan”.

14 Ibid,

Page 12: Tugas Ushul Fiqh Saf

Ushul fiqh(haqiqi dan majazi) | 12

Kebalikan dari sharih ialah kinayah yang secara arti kata berarti mengatakan

sesuatu untuk menunjukan arti lain.15

Dalam pengertian istilah hukum, kinayah adalah :

ما يكو ن المرا د باللفظ مستو را ا لى ان يتبيه با لد ليل

“Apa yang dimaksud dengan suatu lafadz bersifat tertutup sampai dijelaskan

oleh dalil”.

Setiap lafadz yang pemahaman artinya melalui lafadz lain dan tidak dari

lafadz itu sendiri, pada dasarnya termasuk dalam arti kinayah, karena masih

memerlukan penjelasan.

Penggunaan nama seseorang dengan memakai kata ganti-nama termasuk

kinayah. Kalau dikatakan “Si Ahmad sedang sholat dengan tekun,” akan mudah

orang memahaminya. Tetapi kalau dikatakan, “ia sedang shalat dengan tekun,”

orang akan bertanya, “siapa yang sedang shalat itu?”.

Demikian pula ucapan yang mengandung keragaman maksud, termasuk

kinayah. Umpamanya seseorang mengatakan kepada isterinya, “pulanglah kau

ke rumah ibu mu,”. Ungkapan ini mengandung beberapa maksud : dapat berarti

cerai dan dapat pula berarti pulang sementara. Bila seseorang menggunakan

ucapan tersebut kepada isterinya dan yang dimaksud dengan ucapannya itu

untuk cerai, bearti ia menggunakan lafaz kinayah untuk “cerai”.

Dari segi apa yang diucapkan seseorang, kalau suatu lafaz bukan

menunjukan pada arti yang sebenarnya, maka kinayah itu sama dengan majaz.

Tetapi di antara keduanya terdapat perbedaan, yaitu :16

Pada majaz harus ada keterkaitan antara apa yang dimaksud oleh lafaz

sebenarnya dengan lafaz lain yang dipinjam untuk itu. Umpamanya orang

“pemberani” disebut “singa”. Tetapi pada kinayah dapat terjadi tanpa

keterkaitan, bahkan mungkin berlawanan dengannya. Umpamanya menamai

seseorang dengan menggunakan nama anaknya meskipun kebetulan sifat orang

15 Ibid,

16 Ibid,

Page 13: Tugas Ushul Fiqh Saf

Ushul fiqh(haqiqi dan majazi) | 13

itu berbeda dengan anaknya. Ini termasuk kepada bentuk kinayah, kalau anaknya

pemberani dinamai dengan suja’ secara kinayah si ayah akan dinamai Abu Suja’.

Padahal si ayah sendiri seorang penakut. Jadi dalam kinayah tersebut, tidak ada

keterkaitan antar lafadz yang digunakan dengan keadaan yang sebenarnya.17

Ketentuan yang berlaku terhadap lafaz sharih dalam ucapan adalah

berlakunya apa yang disebut dalam lafaz itu dengan sendirinya, tanpa

memerlukan pertimbangan tertentu atau niat, dan tidak perlu pula menggunakan

ungkapan yang resmi untuk itu. Umpamanya lafaz “cerai” untuk memutuskan

hubungan antara suami isteri. Dalam bentuk apapun, jika lafaz itu diucapkan,

maka berlangsunglah perceraian, seperti : “saya ceraikan engkau”, “hai, cerai”,

“kita bercerai”, atau kata lain yang sejenis lafaz (kata) tersebut. Ketentuan yang

berlaku terhadap lafaz kinayah adalah bahwa untuk terjadi dan shahnya apa yang

diinginkan dengan ucapan itu diperlukan adanya niat atau kesengajaan dalam

hati ; atau cara lain yang sama artinya dengan itu. 18

17 Ibid,

18 Ibid,

Page 14: Tugas Ushul Fiqh Saf

Ushul fiqh(haqiqi dan majazi) | 14

BAB III

PENUTUP

1. Simpulan

Haqiqah dan majaz adalah 2 kata dalam bentuk mutadhayyifan atau relative

term, dalam arti sebagai 2 kata yang selalu berdampingan dan setiap kata akan

masuk ke dalam salah satu diantaranya.Adapun pengertian hakikat yaitu lafadz

yang digunakan untuk sesuatu yang ditentukan. Sedangkan majaz mempunyai

pengertian lafadz dengan bukan menurut arti sebenarnya itu dipinjam untuk

digunakan dalam memberi arti kepada arti yang dimaksud.

Untuk Sharih sendiri mempunyai pengertian yaitu Setiap lafadz yang

terbuka makna dan maksudnya, baik dalam bentuk haqiqah atau

majaz.Sedangkan kinayah mempunyai pengertian yang berkebalikan dari

sharihApa yang dimaksud dengan suatu lafadz bersifat tertutup sampai

dijelaskan oleh dalil.

Page 15: Tugas Ushul Fiqh Saf

Ushul fiqh(haqiqi dan majazi) | 15

2. Referensi

Karim, A.Syafii. 1995. Ushul Fiqih. Jakarta : Pustaka Setia.

Rohayana, Ade Dedi. 2006. Ilmu Ushul Fiqih. Pekalongan : STAIN

Pekalongan Press.

Syarifudinn, Amir. 2001. Ushul Fiqih. Jakarta : Logos Wacana Ilmu.