laporan sk.2 kel.10 blok.kardiorespi

108
LAPORAN TUTORIAL BLOK KARDIORESPI Skenario 2 KELOMPOK 10 Anggota kelompok : Annisa Mardhiyyah 1318011018 Annisa Rusfiana 1318011019 Dear Apriyani Purba 1318011048 Dian Octaviani 1318011057 Intan Damaya Antika 1318011085 Intan Fajar Ningtiyas 1318011086 Intan Siti Hulaima 1318011087 Rani Pratama Putri 1318011136 Restu Pamanggih 1318011138 Ria Arisandi 1318011139 Victoria Hawarima 1318011174 Wage Nurmaulina 1318011175 1

Upload: victoria-hawarima

Post on 03-Feb-2016

44 views

Category:

Documents


0 download

DESCRIPTION

kardio

TRANSCRIPT

Page 1: Laporan Sk.2 Kel.10 Blok.kardiorespi

LAPORAN TUTORIAL

BLOK KARDIORESPI

Skenario 2

KELOMPOK 10

Anggota kelompok :

Annisa Mardhiyyah 1318011018

Annisa Rusfiana 1318011019

Dear Apriyani Purba 1318011048

Dian Octaviani 1318011057

Intan Damaya Antika 1318011085

Intan Fajar Ningtiyas 1318011086

Intan Siti Hulaima 1318011087

Rani Pratama Putri 1318011136

Restu Pamanggih 1318011138

Ria Arisandi 1318011139

Victoria Hawarima 1318011174

Wage Nurmaulina 1318011175

FAKULTAS KEDOKTERAN

UNIVERSITAS LAMPUNG

2015

1

Page 2: Laporan Sk.2 Kel.10 Blok.kardiorespi

PRAKATA

Assalammu'alaikum wr.wb

Alhamdulillah, puji dan syukur kami panjatkan kehadirat Allah SWT, atas

berkat dan anugerah-Nya sehingga kami dapat menyusun laporan diskusi tutorial

ini.

Laporan ini disusun dalam rangka memenuhi tugas blok kardiorespi.

Kepada para dosen yang terlibat dalam mata kuliah dalam blok ini, kami

mengucapkan terima kasih atas segala pengarahan yang telah diberikan sehingga

dapat menyusun laporan ini dengan baik.

Kami menyadari bahwa terdapat banyak kekurangan dalam penulisan

laporan ini, baik dari segi isi, bahasa, analisis, dan sebagainya. Oleh karena itu,

kami mohon maaf atas segala kekurangan tersebut. Hal ini disebabkan karena

masih terbatasnya pengetahuan, wawasan, dan keterampilan kami. Selain itu,

kritik dan saran dari pembaca sangat kami harapkan, guna kesempurnaan laporan

ini dan perbaikan bagi kita semua.

Semoga laporan ini dapat bermanfaat dan dapat menambah wawasan

untuk kita semua.

Wassalammu'alaikum wr.wb.

Bandar Lampung,12 September 2015

Penyusun

2

Page 3: Laporan Sk.2 Kel.10 Blok.kardiorespi

Daftar Isi

Prakata......................................................................................................................2

Daftar isi...................................................................................................................3

Skenario 2.................................................................................................................4

Step 1............................................................................................ ………………...7

Step 2........................................................................................................................8

Step 3 & 4….............................................................................................................9

Step 5......................................................................................................................42

Step 7......................................................................................................................43

3

Page 4: Laporan Sk.2 Kel.10 Blok.kardiorespi

SKENARIO 2

(Multilevel Skenario)

Sesak Napas

Seorang laki-laki berusia 28 tahun datang ke UGD pada tengah malam, dengan

keluhan sesak napas.

4

Page 5: Laporan Sk.2 Kel.10 Blok.kardiorespi

Informasi pada Skenario 2

Anamnesis

1. Identitas Pasien :

Laki-laki usia 28 tahun

2. Keluhan utama :

Datang ke UGD tengah malam dengan keluhan sesak nafas

3. Riwayat Penyakit Sekarang :

Keluhan lain seperti batuk (awalnya tidak berdahak namun pagi hari

sebelum ke UGD berdahak), dan mengalami mengi saat bernafas

Keluhan seperti dada terasa nyeri disangkal

Keluhan sesak nafas sudah sejak kecil

Dulu pernah menjalani pengobatan, namun sekarang tidak lagi

Faktor pencetus sekarang sebelumnya membersihkan rak buku, namun

dulu akibat dari cuaca dingin

Pola makan biasa, tidak minum alcohol, dan tidak merokok

4. Riwayat penyakit dahulu

Riwayat alergi makanan laut seperti kerang, udang

5. Riwayat penyakit keluarga

Ibu pasien menderita asma

Paman pasien perokok dan saat ini dirawatdi RS, karena infeksi saluran

napas

Pemeriksaan Fisik

1. Keadaan umum : tampak sakit sedang, kesadaran composmentis

2. Tekanan darah : 120/80 mmHG

3. RR : 44 x/menit

4. Nadi : 84 x/menit

5. Suhu : 38 °C

5

Page 6: Laporan Sk.2 Kel.10 Blok.kardiorespi

6. Inspeksi :

-Pasien tampak gelisah

-Adanya pernapasan cuping hidung

-Adanya otot-otot pernapasan tambahan

-Konjungtiva ananemis

-Tidak ada sianosis

-Dinding dada

-Adanya retraksi dinding dada

7. Palpasi : Fremitus taktil simetris

8. Perkusi : Hipersonor

9. Auskultasi : Vesikuler, wheezing ++ saat ekspirasi

Pemeriksaan penunjang

1. Hb : 13 g/dl

2. Trombosit : 380.000 /µl

3. Eritrosit : 6 juta /µl

4. Leukosit : 8.400 /µl

5. LED : 10 mm/jam

6. Hitung Jenis : 0 10 3 55

( eosinofilia )

Diagnosis banding

1. Asma

2. PPOK

3. Emfisema

6

Page 7: Laporan Sk.2 Kel.10 Blok.kardiorespi

STEP 1

Tidak ditemukan kata-kata sulit

7

Page 8: Laporan Sk.2 Kel.10 Blok.kardiorespi

STEP 2

1. Etiologi dan factor resiko Asma dan PPOK

2. Patogenesis Asma dan PPOK

3. Manifestasi klinis Asma dan PPOK

4. Diagnosis Asma dan PPOK

5. Penatalaksanaan dan pencegahan Asma dan PPOK

8

Page 9: Laporan Sk.2 Kel.10 Blok.kardiorespi

STEP 3 dan STEP 4

1. ASMA

Secara umum faktor risiko asma dibagi menjadi 2 kelompok, yaitu :

a. Faktor genetik

Hiperreaktivitas

Atopi/Alergi bronkus

Faktor yang memodifikasi penyakit genetik

Jenis Kelamin

Ras/Etnik

b. Faktor lingkungan

Alergen didalam ruangan (tungau, debu rumah, kucing,

alternaria/jamur)

Alergen di luar ruangan (alternaria, tepung sari)

Makanan (bahan penyedap, pengawet, pewarna makanan, kacang,

makanan laut, susu sapi, telur)

Obat-obatan tertentu (misalnya golongan aspirin, NSAID, beta-blocker

dll)

Bahan yang mengiritasi (misalnya parfum, household spray dll)

Ekspresi emosi berlebih

Asap rokok dari perokok aktif dan pasif

Polusi udara di luar dan di dalam ruangan

Exercise induced asthma, mereka yang kambuh asmanya ketika

melakukan aktivitas tertentu

Perubahan cuaca

Exercised induced asthma merupakan obstruksi jalan napas yang berhubungan

dengan exercised tanpa mempertimbangkan ada tidaknya asma bronkial.

Beberapa literatur menyebutnya sebagai exercised induced bronchospasm

9

Page 10: Laporan Sk.2 Kel.10 Blok.kardiorespi

Hiperaktivitas bronkus obstruksi

Gejala Asma

Pencetus (trigger)Pemacu (enhancer)Pemicu (inducer)

Faktor Genetik

Faktor Lingkungan

Sensitisasi inflamasi

(EIB). Exercised induced asthma harus dibedakan antara penderita asma

dengan atlit. Pada EIB, didapatkan berespons terhadap bronkodilator dan

metakolin, serta berhubungan eosinofil. Sedangkan EIB pada atlit, tidak

ditemukan respon tersebut. Latihan fisik yang dapat menyebabkan terjadinya

EIB adalah latihan fisik yang mengakibatkan tercapainya 90-95% predictable

maximum heart rate.

Pada saat dilakukan latihan fisik, terjadi hiperventilasi karena meningkatnya

kebutuhan oksigen. Hiperventilasi ini menyebabkan saluran napas berusaha

lebih untuk menjaga kelembaban dan suhu udara yang masuk kedalam

alveolus tetap optimal. Hal ini mengakibatkan terjadinya perubahan

osmolaritas dari permukaaan saluran napas dimana terjadinya aktivasi sel mast

dan sel epitel kolumnar. Aktivasi ini menyebabkan keluarnya proinflamatory

mediator berupa histamin, leukotrien, dan kemokien. Mekanisme ini pada

akhirnya menyebabkan terjadinya bronkospasme pada exercised induced

asthma. Pada EIB atlit, tidak terjadi pengeluaran mediator inflamasi maupun

peningkatan eosinofil, neutrofil, atau sel epitel kolumnar sehingga tidak

berespon terhadap steroid inhalasi.

Secara skematis mekanisme terjadinya asma digambarkan sebagai berikut :

P

Gen kandidat yang diduga berhubungan dengan penyakit asma, serta penyakit

yang terkait dengan penyakit asma sangat banyak. Gen MHC manusia yang

10

Page 11: Laporan Sk.2 Kel.10 Blok.kardiorespi

terletak pada kromosom 6p, khususnya HLA telah dipelajari secara luas dan

sampai saat ini masih merupakan kandidat gen yang banyak dipelajari dalam

kaitannya dengan asma. HLA-DR merupakan MHC (major histocompatibility

complex) klas II, suatu reseptor permukaan sel yang disandikan oleh kompleks

antigen leukosit manusia (HLA/ Human Leukocyte Antigen) yang terletak

pada kromosom 6 daerah 6p21.31.

PPOK

Penyebab utama PPOK adalah rokok, asap polusi dari pembakaran, dan

partikel gas berbahaya.

Faktor yang berperan dalam peningkatan penyakit tersebut :

Kebiasaan merokok yang masih tinggi (laki-laki di atas 15 tahun 60-70 %)

Pertambahan penduduk

Meningkatnya usia rata-rata penduduk dari 54 tahun pada tahun 1960-an

menjadi 63 tahun pada tahun 1990-an

Industrialisasi

Polusi udara terutama di kota besar, di lokasi industri, dan di

pertambangan

(PDPI,2010)

Faktor Resiko

1. Kebiasaan merokok merupakan satu - satunya penyebab kausal yang

terpenting, jauh lebih penting dari faktor penyebab lainnya.

Dalam pencatatan riwayat merokok perlu diperhatikan :

a) Riwayat merokok

Perokok aktif

Perokok pasif

Bekas perokok

11

Page 12: Laporan Sk.2 Kel.10 Blok.kardiorespi

b) Derajat berat merokok dengan Indeks Brinkman (IB), yaitu perkalian

jumlah rata-rata batang rokok dihisap sehari dikalikan lama merokok

dalam tahun :

Ringan : 0-200

Sedang : 200-600

Berat : >600

2. Riwayat terpajan polusi udara di lingkungan dan tempat kerja

3. Hipereaktiviti bronkus

4. Riwayat infeksi saluran napas bawah berulang

5. Defisiensi antitripsin alfa - 1, umumnya jarang terdapat di Indonesia

2. ASMA

Asma merupakan penyakit obstruksi jalan nafas yang reversibel dan ditandai

oleh serangan batuk, mengi dan dispnea pada individu dengan jalan nafas

hiperreaktif. Tidak semua asma memiliki dasar alergi, dan tidak semua orang

dengan penyakit atopik mengidap asma. Asma mungkin bermula pada semua

usia tetapi paling sering muncul pertama kali dalam 5 tahun pertama

kehidupan. Mereka yang asmanya muncul dalam 2 dekade pertama kehidupan

lebih besar kemungkinannya mengidap asma yang diperantarai oleh IgE dan

memiliki penyakit atopi terkait lainnya, terutama rinitis alergika dan dermatitis

atopik.

Langkah pertama terbentuknya respon imun adalah aktivasi limfosit T oleh

antigen yang dipresentasikan oleh sel-sel aksesori, yaitu suatu proses yang

melibatkan molekul Major Histocompability Complex atau MHC (MHC kelas

II pada sel T CD4+ dan MHC kelas I pada sel T CD8+). Sel dendritik

merupakan Antigen Precenting Cells (APC) utama pada saluran respiratori.

Sel dendritik terbentuk dari prekursornya di dalam sumsum tulang, lalu

membentuk jaringan yang luas dan sel-selnya saling berhubungan di dalam

epitel saluran respiratori. Kemudian, sel-sel tersebut bermigrasi menuju

kumpulan sel-sel limfoid di bawah pengaruh GM-CSF, yaitu sitokin yang

terbentuk oleh aktivasi sel epitel, fibroblas, sel T, makrofag, dan sel mast.

12

Page 13: Laporan Sk.2 Kel.10 Blok.kardiorespi

Setelah antigen ditangkap, sel dendritik pindah menuju daerah yang banyak

mengandung limfosit. Di tempat ini, dengan pengaruh sitokin-sitokin lainnya,

sel dendritik menjadi matang sebagai APC yang efektif .

Reaksi fase cepat pada asma dihasilkan oleh aktivasi sel-sel yang sensitif

terhadap alergen Ig-E spesifik, terutama sel mast dan makrofag. Pada pasien

dengan komponen alergi yang kuat terhadap timbulnya asma, basofil juga ikut

berperan. Reaksi fase lambat pada asma timbul beberapa jam lebih lambat

dibanding fase awal. Meliputi pengerakan dan aktivasi dari sel-sel eosinofil,

sel T, basofil, netrofil, dan makrofag. Juga terdapat retensi selektif sel T pada

saluran respiratori, ekspresi molekul adhesi, dan pelepasan newly generated

mediator. Sel T pada saluran respiratori yang teraktivasi oleh antigen, akan

mengalami polarisasi ke arah Th2, selanjutnya dalam 2 sampai 4 jam pertama

fase lambat terjadi transkripsi dan transaksi gen, serta produksi mediator pro

inflamasi, seperti IL2, IL5, dan GM-CSF untuk pengerahan dan aktivasi sel-

sel inflamasi. Hal ini terus menerus terjadi, sehingga reaksi fase lambat

semakin lama semakin kuat .

Pada remodeling saluran respiratori, terjadi serangkaian proses yang

menyebabkan deposisi jaringan penyambung dan mengubah struktur saluran

respiratori melalui proses dediferensiasi, migrasi, diferensiasi, dan maturasi

struktur sel. Kombinsai antara kerusakan sel epitel, perbaikan epitel yang

berlanjut, ketidakseimbangan Matriks Metalloproteinase (MMP) dan Tissue

Inhibitor of Metalloproteinase (TIMP), produksi berlebih faktor pertumbuhan

profibrotik atau Transforming Growth Factors (TGF-β), dan proliferasi serta

diferensiasi fibroblas menjadi miofibroblas diyakini merupakan proses yang

penting dalam remodelling. Miofibroblas yang teraktivasi akan memproduksi

faktor-faktor pertumbuhan, kemokin, dan sitokin yang menyebabkan

proliferasi sel-sel otot polos saluran respiratori dan meningkatkan

permeabilitas mikrovaskular, menambah vaskularisasi, neovaskularisasi, dan

jaringan saraf. Peningkatan deposisi matriks molekul termasuk kompleks

proteoglikan pada dinding saluran respiratori dapat diamati pada pasien yang

13

Page 14: Laporan Sk.2 Kel.10 Blok.kardiorespi

meninggal akibat asma. Hal tersebut secara langsung berhubungan dengan

lamanya penyakit .

Gambar 1. Patogenesis Asma

Hipertrofi dan hiperplasia otot polos saluran respiratori serta sel goblet dan

kelenjar submukosa terjadi pada bronkus pasien asma, terutama yang kronik

dan berat. Secara keseluruhan, saluran respiratori pasien asma,

memperlihatkan perubahan struktur saluran respiratori yang bervariasi dan

dapat menyebabkan penebalan dinding saluran respiratori. Remodeling juga

merupakan hal penting pada patogenesis hiperaktivitas saluran respiratori

yang non spesifik, terutama pada pasien yang sembuh dalam waktu lama

(lebih dari 1-2 tahun) atau yang tidak sembuh sempurna setelah terapi inhalasi

kortikosteroid .

Gejala asma, yaitu batuk sesak dengan mengi merupakan akibat dari obstruksi

bronkus yang didasari oleh inflamsai kronik dan hiperaktivitas bronkus .

14

Page 15: Laporan Sk.2 Kel.10 Blok.kardiorespi

GejalaFaktor Risiko

Hiperaktivitas Bronkus Obstruksi Bronkus

Faktor Risiko Faktor Risiko

Inflamasi

Inhalasi alergen akan mengaktifkan sel mast intralumen, makrofag alveolar,

nervus vagus dan mungkin juga epitel saluran nafas. Peregangan vagal

menyebabkan refleks bronkus, sedangkan mediator inflamasi yang dilepaskan

oleh sel mast dan makrofag akan membuat epitel jalan nafas lebih permeabel

dan memudahkan alergen masuk ke dalam submukosa sehingga memperbesar

reaksi yang terjadi .

Gambar 2. Proses imunologis spesifik dan non-spesifik

15

Page 16: Laporan Sk.2 Kel.10 Blok.kardiorespi

Mediator inflamasi secara langsung maupun tidak langsung menyebabkan

serangan asma, melalui sel efektor sekunder seperti eusinofil, netrofil,

trombosit dan limfosit. Sel-sel inflamasi ni juga mengeluarkan mediator yang

kuat seperti leukotrien, tromboksan, Platelet Activating Factors (PAF) dan

protein sititoksis memperkuat reaksi asma. Keadaan ini menyebabkan

inflamasi yang akhirnya menimbulkan hiperaktivitas bronkus .

PPOK

Seperti telah dijelaskan sebelumnya, bahwa faktor resiko utama dari PPOK ini

adalah merokok. Komponen-komponen asap rokok ini merangsang

perubahan-perubahan pada sel-sel penghasil mukus bronkus dan silia. Selain

itu, silia yang melapisi bronkus mengalami kelumpuhan atau disfungsional

serta metaplasia.

Perubahan-perubahan pada sel-sel penghasil mukus dan sel-sel silia ini

mengganggu sistem eskalator mukosiliaris dan menyebabkan penumpukan

mukus kental dalam jumlah besar dan sulit dikeluarkan dari saluran nafas.

Mukus berfungsi sebagai tempat persemaian mikroorganisme penyebab

infeksi dan menjadi sangat purulen. Timbul peradangan yang menyebabkan

edema dan pembengkakan jaringan. Ventilasi, terutama ekspirasi terhambat.

Timbul hiperkapnia akibat dari ekspirasi yang memanjang dan sulit dilakukan

akibat mukus yang kental dan adanya peradangan .

Obstruksi saluran napas pada PPOK bersifat ireversibel dan terjadi karena

perubahan struktural pada saluran napas kecil yaitu : inflamasi, fibrosis,

metaplasi sel goblet dan hipertropi otot polos penyebab utama obstruksi jalan

napas seperti pada gambar 1.

Gambar 1. PPOK Terkait Partikel Inhalasi

16

Page 17: Laporan Sk.2 Kel.10 Blok.kardiorespi

(Sumber :Antonio et all, 2007)

Ada beberapa karakteristik inflamasi yang terjadi pada pasien PPOK, yakni :

peningkatan jumlah neutrofil (didalam lumen saluran nafas), makrofag (lumen

saluran nafas, dinding saluran nafas, dan parenkim), limfosit CD 8+ (dinding

saluran nafas dan parenkim). Yang mana hal ini dapat dibedakan dengan

inflamasi yang terjadi pada penderita asma.(Corwin EJ, 2001)

Tabel 1. Patogenesis PPOK

17

Page 18: Laporan Sk.2 Kel.10 Blok.kardiorespi

3. ASMA

Manifestasi klinis :

Secara umum gejala asma adalah sesak napas, batuk berdahak dan suara napas

yang berbunyi ngik-ngik dimana seringnya gejala ini timbul pada pagi hari

menjelang waktu subuh, hal ini karena pengaruh keseimbangan hormon

kortisol yang kadarnya rendah ketika pagi dan berbagai faktor lainnya.

Penderita asma akan mengeluhkan sesak nafas karena udara pada waktu

bernafas tidak dapat mengalir dengan lancar pada saluran nafas yang sempit

dan hal ini juga yang menyebabkan timbulnya bunyi ngik-ngik pada saat

bernafas. Pada penderita asma, penyempitan saluran pernafasan yang terjadi

dapat berupa pengerutan dan tertutupnya saluran oleh dahak yang diproduksi

secara berlebihan dan menimbulkan batuk sebagai respon untuk mengeluarkan

dahak tersebut. Gambar dibawah ini adalah gambar penampang paru dalam

keadaan normal dan saat serangan asma.

Gambar 3. Sebelum dan sesudah serangan asma

Salah satu ciri asma adalah hilangnya keluhan di luar serangan. Artinya, pada

saat serangan, penderita asma bisa kelihatan amat menderita (banyak batuk,

sesak napas hebat dan bahkan sampai seperti tercekik), tetapi di luar serangan

dia sehat-sehat saja (bisa main tenis 2 set, bisa jalan-jalan keliling taman, dan

lain-lain). Inilah salah satu hal yang membedakannya dengan penyakit lain

(keluhan sesak pada asma adalah revesibel, bisa baik kembali di luar

serangan).

PPOK

18

Page 19: Laporan Sk.2 Kel.10 Blok.kardiorespi

Manifestasi klinis :

1. Riwayat merokok atau bekas perokok dengan atau tanpa gejala pernapasan

2. Riwayat terpajan zat iritan yang bermakna di tempat kerja

3. Terdapat faktor predisposisi pada masa bayi/anak, mis berat badan lahir

rendah (BBLR), infeksi saluran napas berulang, lingkungan asap rokok

dan polusi udara

4. Batuk berulang dengan atau tanpa dahak

5. Sesak dengan atau tanpa bunyi mengi

4. ASMA

Diagnosis :

Kelompok anak yang patut diduga asma adalah anak yang menunjukkan batuk

dan/atau mengi yang timbul secara episodik, cenderung pada malam atau dini

hari (nokturnal), musiman, setelah aktivitas fisik, serta adanya riwayat asma

dan/atau atopi pada pasien atau keluarga.

Sehubungan dengan kesulitan mendiagnosis asma pada anak kecil, dan

bertambahnya umur khususnya diatas umur tiga tahun, diagnosis asma

menjadi lebih definitive. Untuk anak yang sudah sudah besar (>6 tahun)

pemeriksaan faal paru sebaiknya dilakukan. Uji fungsi paru yang sederharna

dengan peak flow meter, atau yang lebih lengkap dengan spirometer. Uji

provokasi bronkus dengan histamine, metakolin, gerak badan (exercise), udara

kering dan dingin,atau dengan salin hipertonis sangat menunjang

diagnosis.pemeriksaan ini berguna untuk mendukung diagnosis asma anak

melalui 3 cara yaitu didapatkannya.

1. Variabilitas pada PFR atau FEV 1 lebih dari 20%

2. Kenaikan ≥ 20% pada PFR atau FEV1 setelah pemberian inhalasi

bronkodilator.

3. Penurunan ≥ 20% pada PFR atau FEV1 setelah provokasi bronkus.

Anamnesis

19

Page 20: Laporan Sk.2 Kel.10 Blok.kardiorespi

Seorang anak dikatakan menderita serangan asma apabila didapatkan gejala

batuk dan/atau mengi yang memburuk dengan progresif. Selain keluhan batuk

dijumpai sesak nafas dari ringan sampai berat. Pada serangan asma gejala

yang timbul bergantung pada derajat serangannya. Pada serangan ringan,

gejala yang timbul tidak terlalu berat. Pasien masih lancar berbicara dan

aktifitasnya tidak terganggu. Pada serangan sedang, gejala bertambah berat

anak sulit mengungkapkan kalimat. Pada serangan asma berat, gejala sesak

dan sianosis dapat dijumpai, pasien berbicara terputus-putus saat

mengucapkan kata-kata .

Pemeriksaan fisi k

Gejala dan serangan asma pada anak tergantung pada derajat serangannya.

Pada serangan ringan anak masih aktif, dapat berbicara lancar, tidak dijumpai

adanya retraksi baik di sela iga maupun epigastrium. Frekuensi nafas masih

dalam batas normal. Pada serangan sedang dan berat dapat dijumpai adanya

wheezing terutama pada saat ekspirasi, retraksi, dan peningkatan frekuensi

nafas dan denyut nadi bahkan dapat dijumpai sianosis. Berbagai tanda atau

manifestasi alergi, seperti dermatitis atopi dapat ditemukan .

Dasar penyakit ini adalah hiperaktivitas bronkus akibat adanya inflamasi

kronik saluran respiratorik. Akibatnya timbul hipersekresi lender, udem

dinding bronkus dan konstriksi otot polos bronkus. Ketiga mekanisme

patologi diatas mengakibatkan timbulnya gejala batuk, pada auskultasi dapat

terdengar ronkhi basah kasar dan mengi. Pada saat serangan dapat dijumpai

anak yang sesak dengan komponen ekspiratori yang lebih menonjol .

Pemeriksaan Penunjang

Pada serangan asma berat, pemeriksaan penunjang yang diperlukan adalah

analisis gas darah (AGD) dan foto rontgen thoraks proyeksi antero-posterior.

Pada AGD dapat dijumpai adanya peningkatan PCO2 dan rendahnya PO2

(hipoksemia). Pemeriksaan penunjang lain yang diperlukan adalah uji fungsi

20

Page 21: Laporan Sk.2 Kel.10 Blok.kardiorespi

paru bila kondisi memungkinkan. Pada pemeriksaan ini dapat ditemukan

adanya penurunan FEV1 yang mencapai <70% nilai normal .

Selain pemeriksaan di atas, pemeriksaan IgE dan eusinofil total dapat

membantu penegakan diagnosis asma. Peningkatan kadar IgE dan eusinofil

total umum dijumpai pada pasien asma. Untuk memastikan diagnosis,

dilakukan pemeriksaan uji provokasi dengan histamin atau metakolin. Bila uji

provokasi positif, maka diagnosis asma secara definitive dapat ditegakkan .

Tabel 1. Klasifikasi derajat asma anak secara arbitreri PNAA membagi asma

anak menjadi 3 derajat penyakit

Parameter

klinis

Kebutuhan

obat,

dan faal paru

Asma episodic

jarang

(asma ringan)

Asma episodic

sering

(asma sedang)

Asma persisten

(asma berat)

1.Frekuensi

serangan

3-4x /1tahun 1x/bulan ≥1/bulan

2.Lama

serangan

<1 minggu ≥1 minggu Hampirsepanjang

tahun, tidak ada

remisi

3.Intensitas

serangan

Ringan Sedang Berat

4.diantara

serangan

Tanpa gejala Sering ada gejala Gejala siang dan

malam

5.Tidur dan

aktivitas

Tidak terganggu

<3x/minggu

Sering terganggu

>3x/minggu

Sangat terganggu

6.Pemeriksaa

n fisis

diluar

serangan

Normal, tidak

ditemukan kelainan

Mungkin terganggu

(ditemukan

kelainan)

Tidak pernah normal

7.Obat Tidak perlu Perlu, non steroid/ Perlu, steroid inhalasi

21

Page 22: Laporan Sk.2 Kel.10 Blok.kardiorespi

pengendali steroid inhalasi

dosis

100-200 ụg

Dosis ≥400 ụg/hari

8.Uji faal paru

(di luar

serangan0

PEF/FEV1 >80% PEF/FEV1 60-80% PEF/FEV1 < 60%

Variabilitas 20-30%

9.Variabilitas

faal paru

(bila ada

serangan)

≥20% ≥30% ≥50%

Tabel 2. Penetuan Derajat Serangan Asma

Parameter klinis,

Fungsi paru,

Laboraturium

Ringan Sedang Berat Ancaman

henti napas

Sesak (breathless) Berjalan

Bayi :

Menangis

keras

Berbicara

Bayi :

Tangis

pendek

& lemah

Kesulitan

menetek dan

makan

Istirahat

Bayi :

Tidak mau

minum /

makan

Posisi Bisa

berbaring

Lebih suka

Duduk

Duduk

bertopang

lengan

Bicara Kalimat Penggal

kalimat

Kata-kata

Kesadaran Mungkin

irritable

Biasanya

irritable

Biasanya

Irritable

kebingungan

Sianosis Tidak ada Tidak ada Ada Nyata

22

Page 23: Laporan Sk.2 Kel.10 Blok.kardiorespi

Wheezing Sedang,

sering

hanya pada

akhir

ekspirasi

Nyaring,

Sepanjang

ekspirasi

± inspirasi

Sangat

nyaring,

Terdengar

tanpa

stateskop

Sulit /

Tidak

terdengar

Penggunaan otot

Bantu respiratorik

Biasanya

tidak

Biasanya ya Ya Gerakan

paradox

Torako-

Abdominal

Retraksi Dangkal,

Retraksi

Interkosta

Sedang,

ditambah

Retraksi

suprasternal

Dalam,

ditambah

Napas

cuping

hidung

Dangkal/

Hilang

Frekuensi napas Takipnu Takipnu Takipnu Bradipnu

Pedoman nilai baku frekuensi napas pada anak sadar:

Usia frekuensi napas normal

<2 bulan < 60 / menit

2-12 bulan < 50 /menit

1-5 tahun < 40 / menit

6-8 tahun < 30 / menit

Frekuensi nadi Normal Takikardi Takikardi Bradikardi

Pedoman nilai baku frekuesi nadi pada anak :

Usia Frekuensi nadi normal

2-12 bulan < 160 / menit

1-2 tahun < 120 / menit

3-8 tahun < 110 / menit

Pulsus paradoksus Tidak ada

<10 mmHg

Ada

10-20 mmHg

Ada

>20 mmHg

Tidak ada,

Tanda

kelelahan

Otot

23

Page 24: Laporan Sk.2 Kel.10 Blok.kardiorespi

respiratorik

PEFR atau FEV1

Prabronkodilator

Pascabronkodilator

(% Nilai

dugaan/

>60%

>80%

Nilai terbaik)

40-60%

60-80%

<40%

<60%

Respon < 2

jam

SaO2 % >95% 91-95% ≤90%

PaO2 Normal >60 mmHg < 60

mmHg

PaCO2 <45 mmHg <45 mmHg >45 mmHg

PPOK

Diagnosis :

Anamnesis

1. Riwayat merokok atau bekas perokok dengan atau tanpa gejala pernapasan

2. Riwayat terpajan zat iritan yang bermakna di tempat kerja

3. Terdapat faktor predisposisi pada masa bayi/anak, mis berat badan lahir

rendah (BBLR), infeksi saluran napas berulang, lingkungan asap rokok

dan polusi udara

4. Batuk berulang dengan atau tanpa dahak

5. Sesak dengan atau tanpa bunyi mengi

Pemeriksaan Fisik

PPOK dini umumnya tidak ada kelainan

1. Inspeksi

a. Pursed - lips breathing (mulut setengah terkatup mencucu)

b. Barrel chest (diameter antero - posterior dan transversal sebanding)

c. Penggunaan otot bantu napas

d. Hipertropi otot bantu napas

e. Pelebaran sela iga

24

Page 25: Laporan Sk.2 Kel.10 Blok.kardiorespi

f. Bila telah terjadi gagal jantung kanan terlihat denyut vena jugularis

leher dan edema tungkai

g. Penampilan pink puffer atau blue bloater

2. Palpasi

a. Pada emfisema fremitus melemah, sela iga melebar

3. Perkusi

a. Pada emfisema hipersonor dan batas jantung mengecil, letak diafragma

rendah, hepar terdorong ke bawah

4. Auskultasi

a. Suara napas vesikuler normal, atau melemah

b. Terdapat ronki dan atau mengi pada waktu bernapas biasa atau pada

ekspirasi paksa ekspirasi memanjang bunyi jantung terdengar jauh

Ciri khas yang mungkin ditemui pada penderita PPOK :

Pink puffer

Gambaran yang khas pada emfisema, penderita kurus, kulit kemerahan dan

pernapasan pursed – lips breathing

Blue bloater

Gambaran khas pada bronkitis kronik, penderita gemuk sianosis, terdapat

edema tungkai dan ronki basah di basal paru, sianosis sentral dan perifer

Pursed - lips breathing

Adalah sikap seseorang yang bernapas dengan mulut mencucu dan ekspirasi

yang memanjang. Sikap ini terjadi sebagai mekanisme tubuh untuk

mengeluarkan retensi CO2 yang terjadi pada gagal napas kronik.

Pemeriksaan penunjang

a. Pemeriksaan rutin

Faal paru

Spirometri (VEP1, VEP1prediksi, KVP, VEP1/KVP)

25

Page 26: Laporan Sk.2 Kel.10 Blok.kardiorespi

1. Obstruksi ditentukan oleh nilai VEP1 prediksi ( % ) dan atau

VEP1/KVP ( %).

2. Obstruksi : % VEP1(VEP1/VEP1 pred) < 80% VEP1%

(VEP1/KVP) < 75 %

3. VEP1 merupakan parameter yang paling umum dipakai untuk

menilai beratnya PPOK dan memantau perjalanan penyakit.

4. Apabila spirometri tidak tersedia atau tidak mungkin dilakukan,

APE meter walaupun kurang tepat, dapat dipakai sebagai alternatif

dengan memantau variabiliti harian pagi dan sore, tidak lebih dari

20%

Uji bronkodilator

1. Dilakukan dengan menggunakan spirometri, bila tidak ada gunakan

APE meter.

2. Setelah pemberian bronkodilator inhalasi sebanyak 8 hisapan, 15 -

20 menit kemudian dilihat perubahan nilai VEP1 atau APE,

perubahan VEP1 atau APE < 20% nilai awal dan < 200 ml

Uji bronkodilator dilakukan pada PPOK stabil

Darah rutin : Hb, Ht, leukosit

Radiologi :

1. Foto toraks PA dan lateral berguna untuk menyingkirkan penyakit

paru lain

2. Pada emfisema terlihat gambaran :

3. Hiperinflasi

4. Hiperlusen

5. Ruang retrosternal melebar

6. Diafragma mendatar

7. Jantung menggantung (jantung pendulum / tear drop / eye drop

appearance)

Pada bronkitis kronik :

26

Page 27: Laporan Sk.2 Kel.10 Blok.kardiorespi

1. Normal

2. Corakan bronkovaskuler bertambah pada 21 % kasus

b. Pemeriksaan khusus

Faal paru

1. Volume Residu (VR), Kapasiti Residu Fungsional (KRF), Kapasiti

Paru Total (KPT), VR/KRF, VR/KPT meningkat

2. DLCO menurun pada emfisema

3. Raw meningkat pada bronkitis kronik

4. Sgaw meningkat

5. Variabiliti Harian APE kurang dari 20 %

Uji latih kardiopulmoner

1. Sepeda statis (ergocycle)

2. Jentera (treadmill)

3. Jalan 6 menit, lebih rendah dari normal

Uji provokasi bronkus

Untuk menilai derajat hipereaktiviti bronkus, pada sebagian kecil

PPOK terdapat hipereaktiviti bronkus derajat ringan

Uji coba kortikosteroid

Menilai perbaikan faal paru setelah pemberian kortikosteroid oral

(prednison atau metilprednisolon) sebanyak 30 - 50 mg per hari selama

2minggu yaitu peningkatan VEP1 pascabronkodilator > 20 % dan

minimal 250 ml. Pada PPOK umumnya tidak terdapat kenaikan faal

paru setelah pemberian kortikosteroid

Analisis gas darah

Terutama untuk menilai :

1. Gagal napas kronik stabil

2. Gagal napas akut pada gagal napas kronik

27

Page 28: Laporan Sk.2 Kel.10 Blok.kardiorespi

Radiologi

1. CT - Scan resolusi tinggi

2. Mendeteksi emfisema dini dan menilai jenis serta derajat emfisema

atau bula yang tidak terdeteksi oleh foto toraks polos

3. Scan ventilasi perfusi

4. Mengetahui fungsi respirasi paru

Elektrokardiografi

1. Mengetahui komplikasi pada jantung yang ditandai oleh Pulmonal

dan hipertrofi ventrikel kanan.

2. Ekokardiografi

3. Menilai funfsi jantung kanan

Bakteriologi

Pemerikasaan bakteriologi sputum pewarnaan Gram dan kultur

resistensi diperlukan untuk mengetahui pola kuman dan untuk memilih

antibiotik yang tepat. Infeksi saluran napas berulang merupakan

penyebab utama eksaserbasi akut pada penderita PPOK di Indonesia.

Klasifikasi PPOK

Berdasarkan Global Initiative for Chronic Obstructive Lung Disease (GOLD)

2007, dibagi atas 4 derajat :

Derajat I: PPOK ringan

Dengan atau tanpa gejala klinis (batuk produksi sputum). Keterbatasan aliran

udara ringan (VEP1 / KVP < 70%; VEP1 > 80% Prediksi). Pada derajat ini,

orang tersebut mungkin tidak menyadari bahwa fungsi parunya abnormal.

Derajat II: PPOK sedang

Semakin memburuknya hambatan aliran udara (VEP1 / KVP < 70%; 50% <

VEP1 < 80%), disertai dengan adanya pemendekan dalam bernafas. Dalam

28

Page 29: Laporan Sk.2 Kel.10 Blok.kardiorespi

tingkat ini pasien biasanya mulai mencari pengobatan oleh karena sesak nafas

yang dialaminya.

Derajat III: PPOK berat

Ditandai dengan keterbatasan / hambatan aliran udara yang semakin

memburuk (VEP1 / KVP < 70%; 30% VEP1 < 50% prediksi). Terjadi sesak

nafas yang semakin memberat, penurunan kapasitas latihan dan eksaserbasi

yang berulang yang berdampak pada kualitas hidup pasien.

Derajat IV: PPOK sangat berat

Keterbatasan / hambatan aliran udara yang berat (VEP1 / KVP < 70%; VEP1 <

30% prediksi) atau VEP1 < 50% prediksi ditambah dengan adanya gagal nafas

kronik dan gagal jantung kanan. Terdapat ketidak sesuaian antara nilai VEP1

dan gejala penderita, oleh sebab itu perlu diperhatikan kondisi lain. Gejala

sesak napas mungkin tidak bisa diprediksi dengan VEP1

5. ASMA

Penatalaksanaan :

Tatalaksana asma dibagi menjadi dua, yaitu tatalaksana saat serangan dan

jangka panjang. Tujuan tatalaksana asma anak secara umum adalah untuk

menjamin tercapainya tumbuh kembang anak secara optimal sesuai dengan

potensi genetiknya. Secara lebih khusus tujuan yang ingin dicapai adalah :

1. Pasien dapat menjalani aktivitas normal sebagai seorang anak, termasuk

bermain dan berolah raga.

2. Sedikit mungkin angka absensi sekolah.

3. Gejala tidak timbul siang ataupun malam hari (tidur tidak terganggu)

4. Uji fungsi paru senormal mungkin, tidak ada variasi diurnal yang

mencolok pada PEF.

5. Kebutuhan obat seminimal mungkin, kurang dari sekali dalam dua tiga

hari, dan tidak ada serangan.

29

Page 30: Laporan Sk.2 Kel.10 Blok.kardiorespi

6. Efek samping obat dapat dicegah agar tidak atau sedikit mungkin timbul,

terutama yang mempengaruhi tumbuh kembang anak.

Tujuan tatalaksana saat serangan:

1. Meredakan penyempitan saluran respiratorik secepat mungkin

2. Mengurangi hipoksemia

3. Mengembalikan fungsi paru ke keadaan normal secepatnya

4. Rencana re-evaluasi tatalaksana jangka panjang untuk mencegah

kekambuhan.

Apabila tujuan ini tercapai maka perlu reevaluasi tatalaksananya apakah perlu

tingkat pengobatan dinaikkan (step up) atau bahkan perubahan pengobatan

atau bila tujuan telah tercapai dan stabil 1 – 3 bulan apakah sudah perlu

dilakukan penurunan pelan – pelan (step down).

Syarat step up :

1. Pengendalian lingkungan dan hal-hal yang memberatkan asma sudah

dilakukan.

2. Pemberian obat sudah tepat susunan dan caranya.

3. Tindakan 1 dan 2 sudah dicoba selama 4 -6 minggu.

4. Efek samping ICS (inhaled cortikosteroid) tidak ada.

ICS baru boleh dinaikkan.

Syarat step down :

1. Pengendalian lingkungan harus tetap baik.

2. Asma sudah terkendali selama 3 bulan berturut-turut.

3. ICS hanya boleh diturunkan 25% setiap 3 bulannya sampai dengan dosis

terkecil yang masih dapat mengendalikan asmanya.

4. Bila step down gagal, perlu dicari sebabnya dan kalau sudah dikoreksi,

ICS dapat diturunkan bersama dengan penambahan LABA dan atau LTRA

Tatalaksana Medikamentosa

30

Page 31: Laporan Sk.2 Kel.10 Blok.kardiorespi

Obat asma dapat dibagi dalam 2 kelompok besar, yaitu obat pereda (reliever)

dan obat pengendali (controller). Obat pereda digunakan untuk meredakan

serangan atau gejala asma jika sedang timbul. Bila serangan sudah teratasi dan

sudah tidak ada lagi gejala maka obat ini tidak lagi digunakan atau diberikan

bila perlu. Kelompok kedua adalah obat pengendali yang disebut juga obat

pencegah, atau obat profilaksis. Obat ini digunakan untuk mengatasi masalah

dasar asma, yaitu inflamasi kronik saluran nafas. Dengan demikian pemakaian

obat ini terus menerus diberikan walaupun sudah tidak ada lagi gejalanya

kemudian pemberiannya diturunkan pelan – pelan yaitu 25 % setip penurunan

setelah tujuan pengobatan asma tercapai 6 – 8 minggu.

Obat – obat Pereda (Reliever)

1. Bronkodilator

a. Short-acting β2 agonist

Merupakan bronkodilator terbaik dan terpilih untuk terapi asma akut

pada anak. Reseptor β2 agonist berada di epitel jalan napas, otot

pernapasan, alveolus, sel-sel inflamasi, jantung, pembuluh darah, otot

lurik, hepar, dan pankreas. Obat ini menstimulasi reseptor β2

adrenergik menyebabkan perubahan ATP menjadi cyclic-AMP

sehingga timbul relaksasi otot polos jalan napas yang menyebabkan

terjadinya bronkodilatasi. Efek lain seperti peningkatan klirens

mukosilier, penurunan permeabilitas vaskuler, dan berkurangnya

pelepasan mediator sel mast.

Epinefrin/adrenalin

Tidak direkomendasikan lagi untuk serangan asma kecuali tidak

ada β2 agonis selektif. Epinefrin menimbulkan stimulasi pada

reseptor β1, β2, dan α sehingga menimbulkan efek samping

berupa sakit kepala, gelisah, palpitasi, takiaritmia, tremor, dan

hipertensi. Pemberian epinefrin aerosol kurang menguntungkan

karena durasi efek bronkodilatasinya hanya 1-1,5 jam dan

menimbulkan efek samping, terutama pada jantung dan CNS.

31

Page 32: Laporan Sk.2 Kel.10 Blok.kardiorespi

β2 agonis selektif

Obat yang sering dipakai : salbutamol, terbutalin, fenoterol.

Dosis salbutamol oral : 0,1 - 0,15 mg/kgBB/kali , setiap 6 jam.

Dosis tebutalin oral : 0,05 – 0,1 mg/kgBB/kali , setiap 6 jam.

Dosis fenoterol : 0,1 mg/kgBB/kali , setiap 6 jam.

Dosis salbutamol nebulisasi : 0,1 - 0,15 mg/kgBB (dosis

maksimum 5mg/kgBB), interval 20 menit, atau nebulisasi kontinu

dengan dosis 0,3 – 0,5 mg/kgBB/jam (dosis maksimum 15

mg/jam).

Dosis terbutalin nebulisasi : 2,5 mg atau 1 respul/nebulisasi.

Pemberian oral menimbulkan efek bronkodilatasi setelah 30 menit,

efek puncak dicapai dalam 2 – 4 jam, lama kerjanya sampai 5 jam.

Pemberian inhalasi (inhaler/nebulisasi) memiliki onset kerja 1

menit, efek puncak dicapai dalam 10 menit, lama kerjanya 4 – 6

jam.

Serangan ringan : MDI 2 – 4 semprotan tiap 3 – 4 jam.

Serangan sedang : MDI 6 – 10 semprotan tiap 1 – 2 jam.

Serangan berat: MDI 10 semprotan.

Pemberian intravena dilakukan saat serangan asma berat ksrena

pada keadaan ini obat inhalasi sulit mencapai bagian distal

obstruksi jalan napas. Efek samping takikardi lebih sering terjadi.

Dosis salbutamol IV : mulai 0,2 mcg/kgBB/menit, dinaikkan 0,1

15 menit, dosis maksimal 4 mcg/kgBB/menit.

Dosis terbutalin IV : 10 mcg/kgBB melalui infuse selama 10 menit,

dilanjutkan dengan 0,1 – 0,4 ug/kgBB/jam dengan infuse kontinu.

Efek samping β2 agonist antara lain tremor otot skeletal, sakit

kepala, agitasi, palpitasi, dan takikardi.

2. Methyl xanthine

32

Page 33: Laporan Sk.2 Kel.10 Blok.kardiorespi

Efek bronkodilatasi methyl xantine setara dengan β2 agonist inhalasi, tapi

karena efek sampingnya lebih banyak dan batas keamanannya sempit, obat

ini diberikan pada serangan asma berat dengan kombinasi β2 agonist dan

anticholinergick.

Efek bronkodilatasi teofilin disebabkan oleh antagonisme terhadap

reseptor adenosine dan inhibisi PDE 4 dan PDE 5. Methilxanthine cepat

diabsorbsi setelah pemberian oral, rectal, atau parenteral. Pemberian

teofilin IM harus dihindarkan karena menimbulkan nyeri setempat yang

lama. Umumnya adanya makanan dalam lambung akan memperlambat

kecepatan absorbsi teofilin tapi tidak mempengaruhi derajat besarnya

absorpsi. Metilxanthine didistribusikan keseluruh tubuh, melewati plasenta

dan masuk ke air susu ibu. Eliminasinya terutama melalui metabolism hati,

sebagian besar dieksresi bersama urin.

Dosis aminofilin IV inisial bergantung kepada usia :

1 – 6 bulan : 0,5mg/kgBB/Jam

6 – 11 bulan : 1 mg/kgBB/Jam

1 – 9 tahun : 1,2 – 1,5 mg/kgBB/Jam

> 10 tahun : 0,9 mg/kgBB/Jam

Efek samping obat ini adalah mual, muntah, sakit kepala. Pada konsentrasi

yang lebih tinggi dapat timbul kejang, takikardi dan aritmia .

3. Anticholinergics

Obat yang digunakan adalah Ipratropium Bromida. Kombinasi dengan

nebulisasi β2 agonist menghasilkan efek bronkodilatasi yang lebih baik.

Dosis anjuran 0, 1 cc/kgBB, nebulisasi tiap 4 jam . Obat ini dapat juga

diberikan dalam larutan 0,025 % dengan dosis : untuk usia diatas 6 tahun 8

– 20 tetes; usia kecil 6 tahun 4 – 10 tetes. Efek sampingnya adalah

kekeringan atau rasa tidak enak dimulut. Antikolinergik inhalasi tidak

direkomendasikan pada terapi asma jangka panjang pada anak.

33

Page 34: Laporan Sk.2 Kel.10 Blok.kardiorespi

4. Kortikosteroid

Kortikosteroid sistemik terutama diberikan pada keadaan:

Terapi inisial inhalasi β2 agonist kerja cepat gagal mencapai perbaikan

yang cukup lama.

Serangan asma tetap terjadi meski pasien telah menggunakan

kortikosteroid hirupan sebagai kontroler.

Serangan ringan yang mempunyai riwayat serangan berat sebelumnya.

Kortikosteroid sistemik memerlukan waktu paling sedikit 4 jam untuk

mencapai perbaikan klinis, efek maksimum dicapai dalan waktu 12 – 24

jam. Preparat oral yang di pakai adalah prednisone, prednisolon, atau

triamsinolon dengan dosis 1 – 2 mg/kgBB/hari diberikan 2 – 3 kali sehari

selama 3 – 5 kali sehari . Kortikosteroid tidak secara langsung berefek

sebagai bronkodilator. Obat ini bekerja sekaligus menghambat produksi

sitokin dan kemokin, menghambat sintesis eikosainoid, menghambat

peningkatan basofil, eosinofil dan leukosit lain di jaringan paru dan

menurunkan permeabilitas vascular.

Metilprednisolon merupakan pilihan utama karena kemampuan penetrasi

kejaringan paru lebih baik, efek anti inflamasi lebih besar, dan efek

mineralokortikoid minimal. Dosis metilprednisolon IV yang dianjurkan

adalah 1 mg/kgBB setiap 4 sampai 6 jam. Dosis Hidrokortison IV 4

mg/kgBB tiap 4 – 6 jam. Dosis dexamethasone bolus IV 0,5 – 1 mg/kgBB

dilanjtkan 1 mg/kgBB/hari setiap 6 – 8 jam .

Obat – obat Pengontrol

Obat – obat asma pengontrol pada anak – anak termasuk inhalasi dan sistemik

glukokortikoid, leukotrien modifiers, long acting inhaled β2-agonist, theofilin,

cromones, dan long acting oral β2-agonist.

1. Inhalasi glukokortikosteroid

34

Page 35: Laporan Sk.2 Kel.10 Blok.kardiorespi

Glukokortikosteroid inhalasi merupakan obat pengontrol yang paling

efektif dan direkomendasikan untuk penderita asma semua umur.

Intervensi awal dengan penggunaan inhalasi budesonide berhubungan

dengan perbaikan dalam pengontrolan asma dan mengurangi penggunaan

obat-obat tambahan. Terapi pemeliharaan dengan inhalasi

glukokortikosteroid ini mampu mengontrol gejala-gejala asma,

mengurangi frekuensi dari eksaserbasi akut dan jumlah rawatan di rumah

sakit, meningkatkan kualitas hidup, fungsi paru dan hiperresponsif

bronkial, dan mengurangi bronkokonstriksi yang diinduksi latihan.

Glukokortikosteroid dapat mencegah penebalan lamina retikularis,

mencegah terjadinya neoangiogenesis, dan mencegah atau mengurangi

terjadinya down regulation receptor β2 agonist. Dosis yang dapat

digunakan sampai 400ug/hari (respire anak). Efek samping berupa

gangguan pertumbuhan, katarak, gangguan sistem saraf pusat, dan

gangguan pada gigi dan mulut.

2. Leukotriene Receptor Antagonist (LTRA)

Secara hipotesis obat ini dikombinasikan dengan steroid hirupan dan

mungkin hasilnya lebih baik. Sayangnya, belum ada percobaan jangka

panjang yang membandingkannya dengan steroid hirupan + LABA.

Keuntungan memakai LTRA adalah sebagai berikut :

LTRA dapat melengkapi kerja steroid hirupan dalam menekan cystenil

leukotriane;

Mempunyai efek bronkodilator dan perlindungan terhadap

bronkokonstriktor;

Mencegah early asma reaction dan late asthma reaction

Dapat diberikan per oral, bahkan montelukast hanya diberikan sekali

per hari., penggunaannya aman, dan tidak mengganggu fungsi hati;

sayangnya preparat montelukast ini belum ada di Indonesia;

Mungkin juga mempunyai efek menjaga integritas epitel, yaitu dengan

meningkatkan kerja epithel growth factor (EGF) dan menekan

35

Page 36: Laporan Sk.2 Kel.10 Blok.kardiorespi

transforming growth factor (TGF) sehingga dapat mengendalikan

terjadinya fibrosis, hyperplasia, dan hipertrofi otot polos, serta

diharapkan mencegah perubahan fungsi otot polos menjadi organ pro-

inflamator.

Ada 2 preparat LTRA :

a. Montelukast

Preparat ini belum ada di Indonesia dan harganya mahal. Dosis per

oral 1 kali sehari.(respiro anak) Dosis pada anak usia 2-5 tahun

adalah 4 mg qhs. (gina)

b. Zafirlukast

Preparat ini terdapat di Indonesia, digunakan untuk anak usia > 7

tahun dengan dosis 10 mg 2 kali sehari.

Leukotrin memberikan manfaat klinis yang baik pada berbagai tingkat

keparahan asma dengan menekan produksi cystenil leukotrine. Efek

samping obat dapat mengganggu fungsi hati (meningkatkan transaminase)

sehingga perlu pemantauan fungsi hati.

3. Long acting β2 Agonist (LABA)

Preparat inhalasi yang digunakan adalah salmeterol dan formoterol.

Pemberian ICS 400ug dengan tambahan LABA lebih baik dilihat dari

frekuensi serangan, FEV1 pagi dan sore, penggunaan steroid oral,,

menurunnya hiperreaktivitas dan airway remodeling. Kombinasi ICS dan

LABA sudah ada dalam 1 paket, yaitu kombinasi fluticasone propionate

dan salmeterol (Seretide), budesonide dan formoterol (Symbicort).

Seretide dalam MDI sedangkan Symbicort dalam DPI. Kombinasi ini

mempermudah penggunaan obat dan meningkatkan kepatuhan memakai

obat.

4. Teofilin lepas lambat

36

Page 37: Laporan Sk.2 Kel.10 Blok.kardiorespi

Teofilin efektif sebagai monoterapi atau diberikan bersama kortikosteroid

yang bertujuan untuk mengontrol asma dan mengurangi dosis

pemeliharaan glukokortikosteroid. Tapi efikasi teofilin lebih rendah

daripada glukokortikosteroid inhalasi dosis rendah. Efek samping berupa

anoreksia, mual, muntah, dan sakit kepala, stimulasi ringan SSP, palpitasi,

takikardi, aritmia, sakit perut, diare, dan jarang, perdarahan lambung. Efek

samping muncul pada dosis lebih dari 10mg/kgBB/hari, oleh karena itu

terapi dimulai pada dosis inisial 5mg/kgBB/hari dan secara bertahap

diingkatkan sampai 10mg/kgBB/hari.

Terapi Suportif

a. Terapi oksigen

Oksigen diberikan pada serangan sedang dan berat melalui kanula hidung,

masker atau headbox. Perlu dilakukan pemantauan saturasi oksigen,

sebaiknya diukur dengan pulse oxymetry (nilai normal > 95%).

b. Campuran Helium dan oksigen

Inhalasi Helioks (80% helium dan 20% oksigen) selama 15 menit sebagai

tambahan pemberian oksigen (dengan kanula hidung), bersama dengan

nebulisasi salbutamol dan metilprednisolon IV, secara bermakna

menurunkan pulsus paradoksus, meningkatkan peakflow dan mengurangi

sesak. Campuran helium dan oksigen dapat memperbaiki oksigenasi

karena helium bersifat ringan sehingga dapat mengubah aliran turbulen

menjadi laminar dan menyebabkan oksigen lebih mudah mencapai alveoli.

c. Terapi cairan

Dehidrasi dapat terjadi pada serangan asma berat karena kurang

adekuatnya asupan cairan, peningkatan insensible water loss, takipnea

serta efek diuretic teofilin. Pemberian cairan harus hati-hati kareana pada

asma berat terjadi peningkatan sekresi Antidiuretik Hormone (ADH) yan

memudahkan terjadinya retensi cairan dan tekanan pleura negatif tinggi

pada puncak inspirasi yang memudahkan terjadinya edema paru. Jumlah

cairan yang diberikan adalah 1-1,5 kali kebutuhan rumatan.

37

Page 38: Laporan Sk.2 Kel.10 Blok.kardiorespi

Cara Pemberian Obat

UMUR ALAT INHALASI

< 2 tahun Nebuliser, Aerochamber, babyhaler

2-4 tahun Nebuliser, Aerochamber, babyhaler

Alat Hirupan (MDI/ Metered Dose Inhaler) dengan alat

perenggang (spacer)

5-8 tahun Nebuliser

MDI dengan spacer

Alat hirupan bubuk (Spinhaler, Diskhaler, Rotahaler,

Turbuhaler)

>8 tahun Nebuliser

MDI (metered dose inhaler)

Alat Hirupan Bubuk

Autohaler

Pemakaian alat perenggang (spacer) mengurangu deposisi obat dalam mulut

(orofaring), jadi mengurangi jumlah obat yang akan tertelan sehingga

mengurangi efek sistemik. Sebaliknya, deposisi dalamm paru lebih baik

sehingga didapat efek terapeutik yang lebih baik. Obat hirupan dalam bentuk

bubuk kering (Spinhaler, Diskhaler, Rotahaler, Turbuhaler) memerlukan

inspirasi yang kuat. Umumnya bentuk ini dianjurkan untuk anak usia sekolah.

Sebagian alat bantu yaitu Spacer (Volumatic, Nebuhaler, Aerochamber,

Babyhaler, Autohaler) dapat dimodifikasi dengan menggunakan bekas gelas

atau botol minuman atau menggunakan botol susu dengan dot susu yang telah

dipotong untuk anak kecil dan bayi.

Pencegahan

1. Pengendalian lingkungan : menghindarkan anak dari asap rokok, tidak

memelihara hewan berbulu, memperbaiki ventilasi ruangan, mengurangi

kelembaban kamar untuk anak yang sensitif terhadap debu rumah dan

tungau.

2. Pemberian ASI ekslusif minimal 4 bulan

38

Page 39: Laporan Sk.2 Kel.10 Blok.kardiorespi

3. Menghindari makanan berpotensi alergen

PPOK

Penatalaksanaan umum PPOK

Tujuan penatalaksanaan :

1. Mengurangi gejala

2. Mencegah eksaserbasi berulang

3. Memperbaiki dan mencegah penurunan faal paru

4. Meningkatkan kualiti hidup penderita

Penatalaksanaan secara umum PPOK meliputi :

1. Edukasi

2. Obat – obatan

3. Terapi oksigen

4. Ventilasi mekanik

5. Nutrisi

6. Rehabilitasi

PPOK merupakan penyakit paru kronik progresif dan nonreversibel, sehingga

penatalaksanaan PPOK terbagi atas (1) penatalaksanaan pada keadaan stabil

dan (2) penatalaksanaan pada eksaserbasi akut.

Tabel 3. Penatalaksanaan PPOK

39

Page 40: Laporan Sk.2 Kel.10 Blok.kardiorespi

(Sumber : PDPI,2010)

40

Page 41: Laporan Sk.2 Kel.10 Blok.kardiorespi

Tabel 4. Algoritma PPOK

(Sumber : PDPI,2010)

Pencegahan

1. Mencegah terjadinya PPOK

- Hindari asap rokok

- Hindari polusi udara

- Hindari infeksi saluran napas berulang

2. Mencegah perburukan PPOK

- Berhenti merokok

- Gunakan obat-obatan adekuat

- Mencegah eksaserbasi berulang

41

Page 42: Laporan Sk.2 Kel.10 Blok.kardiorespi

STEP 5

1. Diagnosis PPOK

2. Diagnosis Asma

3. Penatalaksanaan PPOK dan asma pada anak

4. Pencegahan Asma dan PPOK

5. Rehabilitasi medic

6. Pola diet pada penyakit saluran respirasi

42

Page 43: Laporan Sk.2 Kel.10 Blok.kardiorespi

STEP 7

1. Diagnosis PPOK

Gejala dan tanda PPOK sangat bervariasi, mulai dari tanpa gejala, gejala ringan

hingga berat. Pada pemeriksaan fisis tidak ditemukan kelainan jelas dan tanda

inflasi paru.

Diagnosis PPOK di tegakkan berdasarkan :

A. Gambaran klinis

a. Anamnesis

- Keluhan

- Riwayat penyakit

- Faktor predisposisi

b. Pemeriksaan fisis

B. Pemeriksaan penunjang

a. Pemeriksaan rutin

b. Pemeriksaan khusus

A. Gambaran Klinis

a. Anamnesis

- Riwayat merokok atau bekas perokok dengan atau tanpa gejala pernapasan

- Riwayat terpajan zat iritan yang bermakna di tempat kerja

- Riwayat penyakit emfisema pada keluarga

- Terdapat faktor predisposisi pada masa bayi/anak, mis berat badan lahir

rendah (BBLR), infeksi saluran napas berulang, lingkungan asap rokok dan

polusi udara

- Batuk berulang dengan atau tanpa dahak

- Sesak dengan atau tanpa bunyi mengi

b. Pemeriksaan fisis

PPOK dini umumnya tidak ada kelainan

43

Page 44: Laporan Sk.2 Kel.10 Blok.kardiorespi

• Inspeksi

- Pursed - lips breathing (mulut setengah terkatup mencucu)

- Barrel chest (diameter antero - posterior dan transversal sebanding)

- Penggunaan otot bantu napas

- Hipertropi otot bantu napas

- Pelebaran sela iga

- Bila telah terjadi gagal jantung kanan terlihat denyut vena jugularis i leher

dan edema tungkai

- Penampilan pink puffer atau blue bloater

• Palpasi

Pada emfisema fremitus melemah, sela iga melebar

• Perkusi

Pada emfisema hipersonor dan batas jantung mengecil, letak diafragma

rendah, hepar terdorong ke bawah

• Auskultasi

- suara napas vesikuler normal, atau melemah

- terdapat ronki dan atau mengi pada waktu bernapas biasa atau pada ekspirasi

paksa

- ekspirasi memanjang

- bunyi jantung terdengar jauh

Pink puffer

Gambaran yang khas pada emfisema, penderita kurus, kulit kemerahan dan

pernapasan pursed – lips breathing

Blue bloater

Gambaran khas pada bronkitis kronik, penderita gemuk sianosis, terdapat

edema tungkai dan ronki basah di basal paru, sianosis sentral dan perifer

Pursed - lips breathing

44

Page 45: Laporan Sk.2 Kel.10 Blok.kardiorespi

Adalah sikap seseorang yang bernapas dengan mulut mencucu dan ekspirasi

yang memanjang. Sikap ini terjadi sebagai mekanisme tubuh untuk

mengeluarkan retensi CO2 yang terjadi sebagai mekanisme tubuh untuk

mengeluarkan retensi CO2 yang terjadi pada gagal napas kronik.

B. Pemeriksaan Penunjang

a. Pemeriksaan rutin

1. Faal paru

• Spirometri (VEP1, VEP1prediksi, KVP, VEP1/KVP

- Obstruksi ditentukan oleh nilai VEP1 prediksi ( % ) dan atau

VEP1/KVP ( % ). Obstruksi : % VEP1(VEP1/VEP1 pred) < 80% VEP1%

(VEP1/KVP) < 75 %

- VEP1 merupakan parameter yang paling umum dipakai untuk menilai

beratnya PPOK dan memantau perjalanan penyakit.

Apabila spirometri tidak tersedia atau tidak mungkin dilakukan, APE

meter walaupun kurang tepat, dapat dipakai sebagai alternatif dengan

memantau variabiliti harian pagi dan sore, tidak lebih dari 20%

• Uji bronkodilator

- Dilakukan dengan menggunakan spirometri, bila tidak ada gunakan

APE meter.

Setelah pemberian bronkodilator inhalasi sebanyak 8 hisapan, 15 - 20

menit kemudian dilihat perubahan nilai VEP1 atau APE, perubahan

VEP1 atau APE < 20% nilai awal dan < 200 ml

- Uji bronkodilator dilakukan pada PPOK stabil

2. Darah rutin

Hb, Ht, leukosit

3. Radiologi

Foto toraks PA dan lateral berguna untuk menyingkirkan penyakit paru

lain

45

Page 46: Laporan Sk.2 Kel.10 Blok.kardiorespi

Pada emfisema terlihat gambaran :

- Hiperinflasi

- Hiperlusen

- Ruang retrosternal melebar

- Diafragma mendatar

- Jantung menggantung (jantung pendulum / tear drop / eye drop

appearance)

Pada bronkitis kronik :

• Normal

• Corakan bronkovaskuler bertambah pada 21 % kasus

b. Pemeriksaan khusus (tidak rutin)

1. Faal paru

- Volume Residu (VR), Kapasiti Residu Fungsional (KRF), Kapasiti

Paru Total (KPT), VR/KRF, VR/KPT meningkat

- DLCO menurun pada emfisema

- Raw meningkat pada bronkitis kronik

- Sgaw meningkat

- Variabiliti Harian APE kurang dari 20 %

2. Uji latih kardiopulmoner

- Sepeda statis (ergocycle)

- Jentera (treadmill)

- Jalan 6 menit, lebih rendah dari normal

3. Uji provokasi bronkus

Untuk menilai derajat hipereaktiviti bronkus, pada sebagian kecil

PPOK terdapat hipereaktiviti bronkus derajat ringan

4. Uji coba kortikosteroid

46

Page 47: Laporan Sk.2 Kel.10 Blok.kardiorespi

Menilai perbaikan faal paru setelah pemberian kortikosteroid oral

(prednison atau metilprednisolon) sebanyak 30 - 50 mg per hari selama

2minggu yaitu peningkatan VEP1 pascabronkodilator > 20 % dan

minimal 250 ml. Pada PPOK umumnya tidak terdapat kenaikan faal

paru setelah pemberian kortikosteroid

5. Analisis gas darah

Terutama untuk menilai :

- Gagal napas kronik stabil

- Gagal napas akut pada gagal napas kronik

6. Radiologi

- CT - Scan resolusi tinggi

- Mendeteksi emfisema dini dan menilai jenis serta derajat emfisema

atau bula yang tidak

terdeteksi oleh foto toraks polos

- Scan ventilasi perfusi

Mengetahui fungsi respirasi paru

7. Elektrokardiografi

Mengetahui komplikasi pada jantung yang ditandai oleh Pulmonal dan

hipertrofi ventrikel kanan.

8. Ekokardiografi

Menilai funfsi jantung kanan

9. bakteriologi

Pemerikasaan bakteriologi sputum pewarnaan Gram dan kultur

resistensi diperlukan untuk mengetahui pola kuman dan untuk memilih

antibiotik yang tepat. Infeksi saluran napas berulng merupakan

penyebab utama eksaserbasi akut pada penderita PPOK di Indonesia.

47

Page 48: Laporan Sk.2 Kel.10 Blok.kardiorespi

10. Kadar alfa-1 antitripsin

Kadar antitripsin alfa-1 rendah pada emfisema herediter (emfisema

pada usia muda), defisiensi antitripsin alfa-1 jarang ditemukan di

Indonesia.

Diagnosis Asma

Studi epidemiologi menunjukkan asma underdiagnosed di seluruh dunia,

disebabkan berbagai hal antara lain gambaran klinis yang tidak khas dan beratnya

penyakit yang sangat bervariasi, serta gejala yang bersifat episodik sehingga

penderita tidak merasa perlu ke dokter. Diagnosis asma didasari oleh gejala yang

bersifat episodik, gejala berupa batuk, sesak napas, mengi, rasa berat di dada dan

variabiliti yang berkaitan dengan cuaca. Anamnesis yang baik cukup untuk

menegakkan diagnosis, ditambah dengan pemeriksaan jasmani dan pengukuran

faal paru terutama reversibiliti kelainan faal paru, akan lebih meningkatkan nilai

diagnostik.

Gejala :

· Bersifat episodik, seringkali reversibel dengan atau tanpa pengobatan

· Gejala berupa batuk , sesak napas, rasa berat di dada dan berdahak

· Gejala timbul/ memburuk terutama malam/ dini hari

· Diawali oleh faktor pencetus yang bersifat individu

· Respons terhadap pemberian bronkodilator

 

Hal lain yang perlu dipertimbangkan dalam riwayat penyakit :

· Riwayat keluarga (atopi)

· Riwayat alergi / atopi

· Penyakit lain yang memberatkan

· Perkembangan penyakit dan pengobatan

 

Pemeriksaan Jasmani :

48

Page 49: Laporan Sk.2 Kel.10 Blok.kardiorespi

Gejala asma bervariasi sepanjang hari sehingga pemeriksaan jasmani dapat

normal. Kelainan pemeriksaan jasmani yang paling sering ditemukan adalah

mengi pada auskultasi. Pada sebagian penderita, auskultasi dapat terdengar normal

walaupun pada pengukuran objektif (faal paru) telah terdapat penyempitan jalan

napas. Pada keadaan serangan, kontraksi otot polos saluran napas, edema dan

hipersekresi dapat menyumbat saluran napas; maka sebagai kompensasi penderita

bernapas pada volume paru yang lebih besar untuk mengatasi menutupnya saluran

napas. Hal itu meningkatkan kerja pernapasan dan menimbulkan tanda klinis

berupa sesak napas, mengi dan hiperinflasi. Pada serangan ringan, mengi hanya

terdengar pada waktu ekspirasi paksa. Walaupun demikian mengi dapat tidak

terdengar (silent chest) pada serangan yang sangat berat, tetapi biasanya disertai

gejala lain misalnya sianosis, gelisah, sukar bicara, takikardi, hiperinflasi dan

penggunaan otot bantu napas

 

Faal Paru :

Umumnya penderita asma sulit menilai beratnya gejala dan persepsi mengenai

asmanya , demikian pula dokter tidak selalu akurat dalam menilai dispnea dan

mengi; sehingga dibutuhkan pemeriksaan objektif yaitu faal paru antara lain untuk

menyamakan persepsi dokter dan penderita, dan parameter objektif menilai berat

asma. Pengukuran faal paru digunakan untuk menilai:

· obstruksi jalan napas

· reversibiliti kelainan faal paru

· variabiliti faal paru, sebagai penilaian tidak langsung hiperes-ponsif jalan napas

 

Banyak parameter dan metode untuk menilai faal paru, tetapi yang telah diterima

secara luas (standar) dan mungkin dilakukan adalah pemeriksaan spirometri dan

arus puncak ekspirasi (APE).

 

Spirometri

Pengukuran volume ekspirasi paksa detik pertama (VEP1) dan kapasiti vital paksa

(KVP) dilakukan dengan manuver ekspirasi paksa melalui prosedur yang standar.

Pemeriksaan itu sangat bergantung kepada kemampuan penderita sehingga

49

Page 50: Laporan Sk.2 Kel.10 Blok.kardiorespi

dibutuhkan instruksi operator yang jelas dan kooperasi penderita. Untuk

mendapatkan nilai yang akurat, diambil nilai tertinggi dari 2-3 nilai yang

reproducible dan acceptable. Obstruksi jalan napas diketahui dari nilai rasio

VEP1/ KVP < 75% atau VEP1< 80% nilai prediksi.

 

Manfaat pemeriksaan spirometri dalam diagnosis asma :

· Obstruksi jalan napas diketahui dari nilai rasio VEP1/ KVP < 75% atau VEP1<

80% nilai prediksi.

· Reversibiliti, yaitu perbaikan VEP1 15% secara spontan, atau setelah inhalasi

bronkodilator (uji bronkodilator), atau setelah pemberian bronkodilator oral 10-

14 hari, atau setelah pemberian kortikosteroid (inhalasi/ oral) 2 minggu.

Reversibiliti ini dapat membantu diagnosis asma

· Menilai derajat berat asma

 

Arus Puncak Ekspirasi (APE)

Nilai APE dapat diperoleh melalui pemeriksaan spirometri atau pemeriksaan yang

lebih sederhana yaitu dengan alat peak expiratory flow meter (PEF meter) yang

relatif sangat murah, mudah dibawa, terbuat dari plastik dan mungkin tersedia di

berbagai tingkat layanan kesehatan termasuk puskesmas ataupun instalasi gawat

darurat. Alat PEF meter relatif mudah digunakan/ dipahami baik oleh dokter

maupun penderita, sebaiknya digunakan penderita di rumah sehari-hari untuk

memantau kondisi asmanya. Manuver pemeriksaan APE dengan ekspirasi paksa

membutuhkan koperasi penderita dan instruksi yang jelas.

Manfaat APE dalam diagnosis asma

· Reversibiliti, yaitu perbaikan nilai APE 15% setelah inhalasi bronkodilator

(uji bronkodilator), atau bronkodilator oral 10-14 hari, atau respons terapi

kortikosteroid (inhalasi/ oral , 2 minggu)

· Variabiliti, menilai variasi diurnal APE yang dikenal dengan variabiliti APE

harian selama 1-2 minggu. Variabiliti juga dapat digunakan menilai derajat

berat penyakit (lihat klasifikasi)

 

50

Page 51: Laporan Sk.2 Kel.10 Blok.kardiorespi

Nilai APE tidak selalu berkorelasi dengan parameter pengukuran faal paru lain, di

samping itu APE juga tidak selalu berkorelasi dengan derajat berat obstruksi. Oleh

karenanya pengukuran nilai APE sebaiknya dibandingkan dengan nilai terbaik

sebelumnya, bukan nilai prediksi normal; kecuali tidak diketahui nilai terbaik

penderita yang bersangkutan..

 

Cara pemeriksaan variabiliti APE harian

Diukur pagi hari untuk mendapatkan nilai terendah, dan malam hari untuk

mendapatkan nilai tertinggi. Rata-rata APE harian dapat diperoleh melalui 2 cara:

· Bila sedang menggunakan bronkodilator, diambil variasi/ perbedaan nilai APE

pagi hari sebelum bronkodilator dan nilai APE malam hari sebelumnya sesudah

bronkodilator. Perbedaan nilai pagi sebelum bronkodilator dan malam

sebelumnya sesudah bronkodilator menunjukkan persentase rata-rata nilai APE

harian. Nilai > 20% dipertimbangkan sebagai asma.

APE malam - APE pagi

Variabiliti harian = -------------------------------------------- x 100 %

(APE malam + APE pagi)

 

· Metode lain untuk menetapkan variabiliti APE adalah nilai terendah APE pagi

sebelum bronkodilator selama pengamatan 2 minggu, dinyatakan dengan

persentase dari nilai terbaik (nilai tertinggi APE malam hari).

Contoh :

Selama 1 minggu setiap hari diukur APE pagi dan malam , misalkan didapatkan

APE pagi terendah 300, dan APE malam tertinggi 400; maka persentase dari nilai

terbaik (% of the recent best) adalah 300/ 400 = 75%. Metode tersebut paling

mudah dan mungkin dilakukan untuk menilai variabiliti.

PERAN PEMERIKSAAN LAIN UNTUK DIAGNOSIS

- Uji Provokasi Bronkus

51

Page 52: Laporan Sk.2 Kel.10 Blok.kardiorespi

Uji provokasi bronkus membantu menegakkan diagnosis asma. Pada penderita

dengan gejala asma dan faal paru normal sebaiknya dilakukan uji provokasi

bronkus . Pemeriksaan uji provokasi bronkus mempunyai sensitiviti yang

tinggi tetapi spesifisiti rendah, artinya hasil negatif dapat menyingkirkan

diagnosis asma persisten, tetapi hasil positif tidak selalu berarti bahwa

penderita tersebut asma. Hasil positif dapat terjadi pada penyakit lain seperti

rinitis alergik, berbagai gangguan dengan penyempitan jalan napas seperti

PPOK, bronkiektasis dan fibrosis kistik.

- Pengukuran Status Alergi

Komponen alergi pada asma dapat diindentifikasi melalui pemeriksaan uji

kulit atau pengukuran IgE spesifik serum. Uji tersebut mempunyai nilai kecil

untuk mendiagnosis asma, tetapi membantu mengidentifikasi faktor risiko/

pencetus sehingga dapat dilaksanakan kontrol lingkungan dalam

penatalaksanaan.

- Uji kulit adalah cara utama untuk mendiagnosis status alergi/atopi, umumnya

dilakukan dengan prick test. Walaupun uji kulit merupakan cara yang tepat

untuk diagnosis atopi, tetapi juga dapat menghasilkan positif maupun negatif

palsu. Sehingga konfirmasi terhadap pajanan alergen yang relevan dan

hubungannya dengan gejala harus selalu dilakukan. Pengukuran IgE spesifik

dilakukan pada keadaan uji kulit tidak dapat dilakukan (antara lain

dermatophagoism, dermatitis/ kelainan kulit pada lengan tempat uji kulit, dan

lain-lain). Pemeriksaan kadar IgE total tidak mempunyai nilai dalam diagnosis

alergi/ atopi.

2. Penatalaksanaan ppok dan asma

Penatalaksanaan PPOK

Penatalaksanaan umum PPOK

Tujuan penatalaksanaan :

52

Page 53: Laporan Sk.2 Kel.10 Blok.kardiorespi

- Mengurangi gejala

- Mencegah eksaserbasi berulang

- Memperbaiki dan mencegah penurunan faal paru

- Meningkatkan kualiti hidup penderita

Penatalaksanaan secara umum PPOK meliputi :

1. Edukasi

2. Obat - obatan

3. Terapi oksigen

4. Ventilasi mekanik

5. Nutrisi

6. Rehabilitasi

PPOK merupakan penyakit paru kronik progresif dan nonreversibel, sehingga

penatalaksanaan. PPOK terbagi atas (1) penatalaksanaan pada keadaan stabil

dan (2) penatalaksanaan pada eksaserbasi akut.

Edukasi

Edukasi merupakan hal penting dalam pengelolaan jangka panjang pada

PPOK stabil. Edukasi pada PPOK berbeda dengan edukasi pada asma. Karena

PPOK adalah penyakit kronik yang ireversibel dan progresif, inti dari edukasi

adalah menyesuaikan keterbatasan aktiviti dan mencegah kecepatan

perburukan fungsi paru. Berbeda dengan asma yang masih bersifat reversibel,

menghindari pencetus dan memperbaiki derajat adalah inti dari edukasi atau

tujuan pengobatan dari asma.

Tujuan edukasi pada pasien PPOK :

1. Mengenal perjalanan penyakit dan pengobatan

2. Melaksanakan pengobatan yang maksimal

3. Mencapai aktiviti optimal

4. Meningkatkan kualiti hidup

53

Page 54: Laporan Sk.2 Kel.10 Blok.kardiorespi

Edukasi PPOK diberikan sejak ditentukan diagnosis dan berlanjut secara

berulang pada setiap kunjungan, baik bagi penderita sendiri maupun bagi

keluarganya. Edukasi dapat diberikan di poliklinik, ruang rawat, bahkan di

unit gawat darurat ataupun di ICU dan di rumah. Secara intensif edukasi

diberikan di klinik rehabilitasi atau klinik konseling, karena memerlukan

waktu yang khusus dan memerlukan alat peraga. Edukasi yang tepat

diharapkan dapat mengurangi kecemasan pasien PPOK, memberikan

semangat hidup walaupun dengan keterbatasan aktivitas. Penyesuaian aktiviti

dan pola hidup merupakan salah satu cara untuk meningkatkan kualitas hidup

pasien PPOK. Bahan dan cara pemberian edukasi harus disesuaikan dengan

derajat berat penyakit, tingkat pendidikan, lingkungan sosial, kultural dan

kondisi ekonomi penderita.

Secara umum bahan edukasi yang harus diberikan adalah

1. Pengetahuan dasar tentang PPOK

2. Obat - obatan, manfaat dan efek sampingnya

3. Cara pencegahan perburukan penyakit

4. Menghindari pencetus (berhenti merokok)

5. Penyesuaian aktiviti

Agar edukasi dapat diterima dengan mudah dan dapat dilaksanakan ditentukan

skala prioriti bahan edukasi sebagai berikut :

1. Berhenti merokok

Disampaikan pertama kali kepada penderita pada waktu diagnosis PPOK

ditegakkan

2. Pengunaan obat – obatan

Macam obat dan jenisnya

Cara penggunaannya yang benar ( oral, MDI atau nebuliser )

Waktu penggunaan yang tepat ( rutin dengan selangwaku tertentu atau

kalau perlu saja )

Dosis obat yang tepat dan efek sampingnya

3. Penggunaan oksigen

54

Page 55: Laporan Sk.2 Kel.10 Blok.kardiorespi

Kapan oksigen harus digunakan

Berapa dosisnya

4. Mengetahui efek samping kelebihan dosis oksigen

Mengenal dan mengatasi efek samping obat atau terapi oksigen

Penilaian dini eksaserbasi akut dan pengelolaannya

5. Tanda eksaserbasi :

Batuk atau sesak bertambah

Sputum bertambah

Sputum berubah warna

6. Mendeteksi dan menghindari pencetus eksaserbasi

7. Menyesuaikan kebiasaan hidup dengan keterbatasan aktiviti

Edukasi diberikan dengan bahasa yang sederhana dan mudah diterima,

langsung ke pokok permasalahan yang ditemukan pada waktu itu. Pemberian

edukasi sebaiknya diberikan berulang dengan bahan edukasi yang tidak terlalu

banyak pada setiap kali pertemuan. Edukasi merupakan hal penting dalam

pengelolaan jangka panjang pada PPOK stabil, karena PPOK merupakan

penyakit kronik progresif yang ireversibel

Pemberian edukasi berdasar derajat penyakit :

Ringan

Penyebab dan pola penyakit PPOK yang ireversibel

Mencegah penyakit menjadi berat dengan menghindari pencetus, antara

lain berhenti merokok

Segera berobat bila timbul gejala

Sedang

Menggunakan obat dengan tepat

Mengenal dan mengatasi eksaserbasi dini

Program latihan fisik dan pernapasan

Berat

Informasi tentang komplikasi yang dapat terjadi

Penyesuaian aktiviti dengan keterbatasan

55

Page 56: Laporan Sk.2 Kel.10 Blok.kardiorespi

Penggunaan oksigen di rumah

56

Page 57: Laporan Sk.2 Kel.10 Blok.kardiorespi

Obat – obatan

a. Bronkodilator

Diberikan secara tunggal atau kombinasi dari ketiga jenis bronkodilator

dan disesuaikan dengan klasifikasi derajat berat penyakit ( lihat tabel 2 ).

Pemilihan bentuk obat diutamakan inhalasi, nebuliser tidak dianjurkan

pada penggunaan jangka panjang. Pada derajat berat diutamakan

pemberian obat lepas lambat ( slow release ) atau obat berefek panjang (

long acting ).

Macam - macam bronkodilator :

- Golongan antikolinergik

Digunakan pada derajat ringan sampai berat, disamping sebagai

bronkodilator juga mengurangi sekresi lendir ( maksimal 4 kali

perhari ).

- Golongan agonis beta – 2

Bentuk inhaler digunakan untuk mengatasi sesak, peningkatan

jumlah penggunaan dapat sebagai monitor timbulnya eksaserbasi.

Sebagai obat pemeliharaan sebaiknya digunakan bentuk tablet

yang berefek panjang. Bentuk nebuliser dapat digunakan untuk

mengatasi eksaserbasi akut, tidak dianjurkan untuk penggunaan

jangka panjang.

Bentuk injeksi subkutan atau drip untuk mengatasi eksaserbasi berat.

- Kombinasi antikolinergik dan agonis beta – 2

Kombinasi kedua golongan obat ini akan memperkuat efek

bronkodilatasi, karena keduanya mempunyai tempat kerja yang

berbeda.

Disamping itu penggunaan obat kombinasi lebih sederhana dan

mempermudah penderita.

- Golongan xantin

57

Page 58: Laporan Sk.2 Kel.10 Blok.kardiorespi

Dalam bentuk lepas lambat sebagai pengobatan pemeliharaan

jangka panjang, terutama pada derajat sedang dan berat. Bentuk

tablet biasa atau puyer untuk mengatasi sesak ( pelega napas ),

bentuk suntikan bolus atau drip untuk mengatasi eksaserbasi akut.

Penggunaan jangka panjang diperlukan pemeriksaan kadar

aminofilin darah.

b. Antiinflamasi

Digunakan bila terjadi eksaserbasi akut dalam bentuk oral atau injeksi

intravena, berfungsi menekan inflamasi yang terjadi, dipilih golongan

metilprednisolon atau prednison. Bentuk inhalasi sebagai terapi jangka

panjang diberikan bila terbukti uji kortikosteroid positif yaitu terdapat

perbaikan VEP1 pascabronkodilator meningkat > 20% dan minimal 250

mg.

c. Antibiotika

Hanya diberikan bila terdapat infeksi. Antibiotik yang digunakan :

- Lini I : Amoksisilin makrolid

- Lini II : Amoksisilin dan asam klavulanat

Sefalosporin

Kuinolon

Makrolid baru

d. Antioksidan

Dapat mengurangi eksaserbasi dan memperbaiki kualiti hidup, digunakan

N - asetilsistein. Dapat diberikan pada PPOK dengan eksaserbasi yang

sering, tidak dianjurkan sebagai pemberian yang rutin

e. Mukolitik

Hanya diberikan terutama pada eksaserbasi akut karena akan mempercepat

perbaikan eksaserbasi, terutama pada bronkitis kronik dengan sputum

58

Page 59: Laporan Sk.2 Kel.10 Blok.kardiorespi

yang viscous. Mengurangi eksaserbasi pada PPOK bronkitis kronik, tetapi

tidak dianjurkan sebagai pemberian rutin.

f. Antitusif

Diberikan dengan hati – hati

Terapi Oksigen

Pada PPOK terjadi hipoksemia progresif dan berkepanjangan yang

menyebabkan kerusakan sel dan jaringan. Pemberian terapi oksigen

merupakan hal yang sangat penting untuk mempertahankan oksigenasi seluler

dan mencegah kerusakan sel baik di otot maupun organ - organ lainnya.

a. Manfaat oksigen :

- Mengurangi sesak

- Memperbaiki aktiviti

- Mengurangi hipertensi pulmonal

- Mengurangi vasokonstriksi

- Mengurangi hematokrit

- Memperbaiki fungsi neuropsikiatri

- Meningkatkan kualiti hidup

b. Indikasi

1. Pao2 < 60mmHg atau Sat O2 < 90%

2. Pao2 diantara 55 - 59 mmHg atau Sat O2 > 89% disertai Kor

Pulmonal, perubahan P pullmonal, Ht >55% dan tanda - tanda gagal

jantung kanan, sleep apnea, penyakit paru lain

Macam terapi oksigen :

1. Pemberian oksigen jangka panjang

2. Pemberian oksigen pada waktu aktiviti

3. Pemberian oksigen pada waktu timbul sesak mendadak

4. Pemberian oksigen secara intensif pada waktu gagal napas

59

Page 60: Laporan Sk.2 Kel.10 Blok.kardiorespi

Terapi oksigen dapat dilaksanakan di rumah maupun di rumah sakit. Terapi

oksigen di rumah diberikan kepada penderita PPOK stabil derajat berat

dengan gagal napas kronik. Sedangkan di rumah sakit oksigen diberikan pada

PPOK eksaserbasi akut di unit gawat daruraat, ruang rawat ataupun ICU.

Pemberian oksigen untuk penderita PPOK yang dirawat di rumah dibedakan :

- Pemberian oksigen jangka panjang ( Long Term Oxygen Therapy = LTOT)

- Pemberian oksigen pada waktu aktiviti

- Pemberian oksigen pada waktu timbul sesak mendadak

Terapi oksigen jangka panjang yang diberikan di rumah pada keadaan stabil

terutama bila tidur atau sedang aktiviti, lama pemberian 15 jam setiap hari,

pemberian oksigen dengan nasal kanul 1 - 2 L/mnt. Terapi oksigen pada

waktu tidur bertujuan mencegah hipoksemia yang sering terjadi bila penderita

tidur. Terapi oksigen pada waktu aktiviti bertujuan menghilangkan sesak

napas dan meningkatkan kemampuan aktiviti. Sebagai parameter digunakan

analisis gas darah atau pulse oksimetri. Pemberian oksigen harus mencapai

saturasi oksigen di atas 90%.

c. Alat bantu pemberian oksigen :

1. Nasal kanul

2. Sungkup venturi

3. Sungkup rebreathing

4. Sungkup nonrebreathing

Pemilihan alat bantu ini disesuaikan dengan tujuan terapi oksigen dan kondisi

analisis gas darah pada waktu tersebut.

Ventilasi Mekanik

Ventilasi mekanik pada PPOK digunakan pada eksaserbasi dengan gagal

napas akut, gagal napas akut pada gagal napas kronik atau pada pasien PPOK

derajat berat dengan napas kronik. Ventilasi mekanik dapat digunakan di

rumah sakit di ruang ICU atau di rumah.

60

Page 61: Laporan Sk.2 Kel.10 Blok.kardiorespi

a. Ventilasi mekanik dapat dilakukan dengan cara :

- Ventilasi mekanik dengan intubasi

- Ventilasi mekanik tanpa intubasi

- Ventilasi mekanik tanpa intubasi

- Ventilasi mekanik tanpa intubasi digunakan pada PPOK dengan gagal

napas kronik dan dapat digunakan selama di rumah.

Bentuk ventilasi mekanik tanpa intubasi adalah Nonivasive Intermitten Positif

Pressure (NIPPV) atau Negative Pessure Ventilation (NPV).

NIPPV dapat diberikan dengan tipe ventilasi :

- Volume control

- Pressure control

- Bilevel positive airway pressure (BiPAP)

- Continous positive airway pressure (CPAP)

NIPPV bila digunakan bersamaan dengan terapi oksigen terus menerus

(LTOT / Long Tern Oxygen Theraphy) akan memberikan perbaikan yang

signifikan pada :

- Analisis gas darah

- Kualiti dan kuantiti tidur

- Kualiti hidup

- Analisis gas darah

b. Indikasi penggunaan NIPPV

- Sesak napas sedang sampai berat dengan penggunaan muskulus

respirasi dan abdominal paradoksal

- Asidosis sedang sampai berat pH < 7,30 - 7, 35

- Frekuensi napas > 25 kali per menit

NPV tidak dianjurkan karena dapat menyebabkan obstruksi saluran napas atas,

disamping harus menggunakan perlengkapan yang tidak sederhana.

61

Page 62: Laporan Sk.2 Kel.10 Blok.kardiorespi

Nutrisi

Malnutrisi sering terjadi pada PPOK, kemungkinan karena bertambahnya

kebutuhan energi akibat kerja muskulus respirasi yang meningkat karena

hipoksemia kronik dan hiperkapni menyebabkan terjadi hipermetabolisme.

Kondisi malnutrisi akan menambah mortaliti PPOK karena berkolerasi dengan

derajat penurunan fungsi paru dan perubahan analisis gas darah

Malnutrisi dapat dievaluasi dengan :

- Penurunan berat badan

- Kadar albumin darah

- Antropometri

- Pengukuran kekuatan otot (MVV, tekanan diafragma, kekuatan otot pipi)

- Hasil metabolisme (hiperkapni dan hipoksia)

Mengatasi malnutrisi dengan pemberian makanan yang agresis tidak akan

mengatasi masalah, karena gangguan ventilasi pada PPOK tidak dapat

mengeluarkan CO2 yang terjadi akibat metabolisme karbohidrat. Diperlukan

keseimbangan antara kalori yang masuk denagn kalori yang dibutuhkan, bila

perlu nutrisi dapat diberikan secara terus menerus (nocturnal feedings) dengan

pipa nasogaster.

Komposisi nutrisi yang seimbang dapat berupa tinggi lemak rendah

karbohidrat. Kebutuhan protein seperti pada umumnya, protein dapat

meningkatkan ventilasi semenit oxigen comsumption dan respons ventilasi

terhadap hipoksia dan hiperkapni. Tetapi pada PPOK dengan gagal napas

kelebihan pemasukan protein dapat menyebabkan kelelahan.

Gangguan keseimbangan elektrolit sering terjadi pada PPOK karena

berkurangnya fungsi muskulus respirasi sebagai akibat sekunder dari

gangguan ventilasi. Gangguan elektrolit yang terjadi adalah :

- Hipofosfatemi

- Hiperkalemi

- Hipokalsemi

62

Page 63: Laporan Sk.2 Kel.10 Blok.kardiorespi

- Hipomagnesemi

Gangguan ini dapat mengurangi fungsi diafragma. Dianjurkan pemberian

nutrisi dengan komposisi seimbang, yakni porsi kecil dengan waktu

pemberian yang lebih sering.

Terapi Pembedahan

Bertujuan untuk :

- Memperbaiki fungsi paru

- Memperbaiki mekanik paru

- Meningkatkan toleransi terhadap eksaserbasi

- Memperbaiki kualiti hidup

Operasi paru yang dapat dilakukan yaitu :

1. Bulektomi

2. Bedah reduksi volume paru (BRVP) / lung volume reduction surgey

(LVRS)

3. Transplantasi paru

Penatalaksanaan Asma

Tujuan utama penatalaksanaan asma adalah meningkatkan dan mempertahankan

kualiti hidup agar penderita asma dapat hidup normal tanpa hambatan dalam

melakukan aktiviti sehari-hari.

 

Tujuan penatalaksanaan asma:

1.Menghilangkan dan mengendalikan gejala asma

2.Mencegah eksaserbasi akut

3.Meningkatkan dan mempertahankan faal paru seoptimal mungkin

4.Mengupayakan aktiviti normal termasuk exercise

5.Menghindari efek samping obat

6.Mencegah terjadi keterbatasan aliran udara (airflow limitation) ireversibel

7.Mencegah kematian karena asma

63

Page 64: Laporan Sk.2 Kel.10 Blok.kardiorespi

 

Penatalaksanaan asma berguna untuk mengontrol penyakit. Asma dikatakan

terkontrol bila :

1.Gejala minimal (sebaiknya tidak ada), termasuk gejala malam

2.Tidak ada keterbatasan aktiviti termasuk exercise

3.Kebutuhan bronkodilator (agonis 2 kerja singkat) minimal (idealnya tidak

diperlukan)

4.Variasi harian APE kurang dari 20%

5.Nilai APE normal atau mendekati normal

6.Efek samping obat minimal (tidak ada)

7.Tidak ada kunjungan ke unit darurat gawat

 

Tujuan penatalaksanaan tersebut merefleksikan pemahaman bahwa asma adalah

gangguan kronik progresif dalam hal inflamasi kronik jalan napas yang

menimbulkan hiperesponsif dan obstruksi jalan napas yang bersifat episodik.

Sehingga penatalaksanaan asma dilakukan melalui berbagai pendekatan yang

dapat dilaksanakan (applicable), mempunyai manfaat, aman dan dari segi harga

terjangkau. Integrasi dari pendekatan tersebut dikenal dengan :

 

Program penatalaksanaan asma, yang meliputi 7 komponen :

1.Edukasi

2.Menilai dan monitor berat asma secara berkala

3.Identifikasi dan mengendalikan faktor pencetus

4.Merencanakan dan memberikan pengobatan jangka panjang

5.Menetapkan pengobatan pada serangan akut

6.Kontrol secara teratur

7.Pola hidup sehat

 

Ketujuh hal tersebut di atas, juga disampaikan kepada penderita dengan bahasa

yang mudah dan dikenal (dalam edukasi) dengan “7 langkah mengatasi asma”,

yaitu :

1. Mengenal seluk beluk asma

64

Page 65: Laporan Sk.2 Kel.10 Blok.kardiorespi

2. Menentukan klasifikasi

3. Mengenali dan menghindari pencetus

4. Merencanakan pengobatan jangka panjang

5. Mengatasi serangan asma dengan tepat

6. Memeriksakan diri dengan teratur

7. Menjaga kebugaran dan olahraga

3. Pencegahan ppok dan asma

Pencegahan PPOK

A. Mencegah terjadinya ppok

Hindari asap rokok

Hindari polusi udara

Hindari infeksi saluran napas berulang

B. Mencegah oerburukan ppok

Berhentikan merokok

Gunakan obat-obatan yang adekuat

Mencegah eksaserbasi berulang

Pencegahan Asma

Pada penderita asma:

-Hindari kontak dengan alergen

-Hindari olahraga yang berat karena dapat menyebabkan obstruksi singkat

saluran pernapasan

-Latihan pernapasan, relaksasi dan lakukan senam asma

Selain itu pencegahan asma meliputi:

Pencegahan meliputi pencegahan primer yaitu mencegah tersensitisasi dengan

bahan yang menyebabkan asma, pencegahan sekunder adalah mencegah yang

sudah tersensitisasi untuk tidak berkembang menjadi asma; dan pencegahan

tersier adalah mencegah agar tidak terjadi serangan / bermanifestasi klinis

asma pada penderita yang sudah menderita asma.

65

Page 66: Laporan Sk.2 Kel.10 Blok.kardiorespi

 

Pencegahan Primer

Perkembangan respons imun jelas menunjukkan bahwa periode prenatal dan

perinatal merupakan periode untuk diintervensi dalam melakukan pencegahan

primer penyakit asma. Banyak faktor terlibat dalam meningkatkan atau

menurunkan sensitisasi alergen pada fetus, tetapi pengaruh faktor-faktor

tersebut sangat kompleks dan bervariasi dengan usia gestasi, sehingga

pencegahan primer waktu ini adalah belum mungkin. Walau penelitian ke arah

itu terus berlangsung dan menjanjikan.

 

Periode prenatal

Kehamilan trimester ke dua yang sudah terbentuk cukup sel penyaji antigen

(antigen presenting cells) dan sel T yang matang, merupakan saat fetus

tersensisitasi alergen dengan rute yang paling mungkin adalah melalui usus,

walau konsentrasi alergen yang dapat penetrasi ke amnion adalah penting.

Konsentrasi alergen yang rendah lebih mungkin menimbulkan sensitisasi

daripada konsentrasi tinggi. Faktor konsentrasi alergen dan waktu pajanan

sangat mungkin berhubungan dengan terjadinya sensitisasi atau toleransi

imunologis.

Penelitian menunjukkan menghindari makanan yang bersifat alergen pada ibu

hamil dengan risiko tinggi, tidak mengurangi risiko melahirkan bayi atopi,

bahkan makanan tersebut menimbulkan efek yang tidak diharapkan pada

nutrisi ibu dan fetus. Saat ini, belum ada pencegahan primer yang dapat

direkomendasikan untuk dilakukan.

 

 

Periode postnatal

Berbagai upaya menghindari alergen sedini mungkin dilakukan terutama

difokuskan pada makanan bayi seperti menghindari protein susu sapi, telur,

ikan, kacang-kacangan. Sebagian besar studi menunjukkan mengenai hal

tersebut, menunjukkan hasil yang inkonklusif (tidak dapat ditarik kesimpulan).

66

Page 67: Laporan Sk.2 Kel.10 Blok.kardiorespi

Dua studi dengan tindak lanjut yang paling lama menunjukkan efek transien

dari menghindari makanan berpotensi alergen dengan dermatitis atopik. Dan

tindak lanjut lanjutan menunjukkan berkurangnya bahkan hampir tidak ada

efek pada manifestasi alergik saluran napas, sehingga disimpulkan bahwa

upaya menghindari alergen makanan sedini mungkin pada bayi tidak

didukung oleh hasil. Bahkan perlu dipikirkan memanipulasi dini makanan

berisiko menimbulkan gangguan tumbuh kembang. Diet menghindari antigen

pada ibu menyusui risiko tinggi, menurunkan risiko dermatitis atopik pada

anak, tetapi dibutuhkan studi lanjutan (bukti C).

Menghindari aeroelergen pada bayi dianjurkan dalam upaya menghindari

sensitisasi. Akan tetapi beberapa studi terakhir menunjukkan bahwa

menghindari pajanan dengan kucing sedini mungkin, tidak mencegah alergi;

dan sebaliknya kontak sedini mungkin dengan kucing dan anjing

kenyataannya mencegah alergi lebih baik daripada menghindari binatang

tersebut. Penjelasannya sama dengan hipotesis hygiene, yang menyatakan

hubungan dengan mikrobial sedini mungkin menurunkan penyakit alergik di

kemudian hari. Kontroversi tersebut mendatangkan pikiran bahwa strategi

pencegahan primer sebaiknya didesain dapat menilai keseimbangan sel

Th1dan Th2, sitokin dan protein-protein yang berfusi dengan alergen.

Pencegahan primer di masa datang akan berhubungan imunomodulasi

menggunakan sel Th1 ajuvan, vaksin DNA, antigen yang berkaitan dengan IL-

12 atau IFN-, pemberian mikroorganisme usus yang relevan melalui oral

(berhubungan dengan kolonisasi flora mikrobial usus). Semua strategi tersebut

masih sebagai hipotesis dan membutuhkan penelitian yang tepat.

 

Asap rokok lingkungan (Enviromental tobacco smoke/ ETS)

Berbagai studi dan data menunjukkan bahwa ibu perokok berdampak pada

kesakitan saluran napas bawah pada anaknya sampai dengan usia 3 tahun,

walau sulit untuk membedakan kontribusi tersebut pada periode prenatal atau

postnatal. Berbagai studi menunjukkan bahwa ibu merokok selama kehamilan

67

Page 68: Laporan Sk.2 Kel.10 Blok.kardiorespi

akan mempengaruhi perkembangan paru anak, dan bayi dari ibu perokok, 4

kali lebih sering mendapatkan gangguan mengi dalam tahun pertama

kehidupannya.Sedangkan hanya sedikit bukti yang mendapatkan bahwa ibu

yang merokok selama kehamilan berefek pada sensitisasi alergen. Sehingga

disimpulkan merokok dalam kehamilan berdampak pada perkembangan paru,

meningkatkan frekuensi gangguan mengi nonalergi pada bayi, tetapi

mempunyai peran kecil pada terjadinya asma alergi di kemudian hari.

Sehingga jelas bahwa pajanan asap rokok lingkungan baik periode prenatal

maupun postnatal (perokok pasif) mempengaruhi timbulnya gangguan/

penyakit dengan mengi (bukti A).

 

Pencegahan sekunder

Sebagaimana di jelaskan di atas bahwa pencegahan sekunder mencegah yang

sudah tersensitisasi untuk tidak berkembang menjadi asma. Studi terbaru

mengenai pemberian antihitamin H-1 dalam menurunkan onset mengi pada

penderita anak dermatitis atopik. Studi lain yang sedang berlangsung,

mengenai peran imunoterapi dengan alergen spesifik untuk menurunkan onset

asma.

Pengamatan pada asma kerja menunjukkan bahwa menghentikan pajanan

alergen sedini mungkin pada penderita yang sudah terlanjur tersensitisasi dan

sudah dengan gejala asma, adalah lebih menghasilkan pengurangan /resolusi

total dari gejala daripada jika pajanan terus berlangsung.

 

Pencegahan Tersier

Sudah asma tetapi mencegah terjadinya serangan yang dapat ditimbulkan oleh

berbagai jenis pencetus. Sehingga menghindari pajanan pencetus akan

memperbaiki kondisi asma dan menurunkan kebutuhan medikasi/ obat.

4. Rehabilitasi medik

Rehabilitasi PPOK

68

Page 69: Laporan Sk.2 Kel.10 Blok.kardiorespi

Tujuan program rehabilitasi untuk meningkatkan toleransi latihan dan

memperbaiki kualiti hidup penderita PPOK

Penderita yang dimasukkan ke dalam program rehabilitasi adalah mereka yang

telah mendapatkan pengobatan optimal yang disertai :

- Simptom pernapasan berat

- Beberapa kali masuk ruang gawat darurat

- Kualiti hidup yang menurun

Program dilaksanakan di dalam maupun diluar rumah sakit oleh suatu tim

multidisiplin yang terdiri dari dokter, ahli gizi, respiratori terapis dan psikolog.

Program rehabilitiasi terdiri dari 3 komponen yaitu : latihan fisis, psikososial

dan latihan pernapasan.

1. Ditujukan untuk memperbaiki efisiensi dan kapasiti sistem transportasi

oksigen. Latihan fisis yang baik akan menghasilkan :

- Peningkatan VO2 max

- Perbaikan kapasiti kerja aerobik maupun anaerobik

- Peningkatan cardiac output dan stroke volume

- Peningkatan efisiensi distribusi darah

- Pemendekkan waktu yang diperlukan untuk recovery

Latihan untuk meningkatkan kemapuan otot pernapasan

a. Latihan untuk meningkatkan otot pernapasan

b. Endurance exercise

Latihan untuk meningkatkan kemampuan otot pernapasan

Latihan ini diprogramkan bagi penderita PPOK yang mengalami kelelahan

pada otot pernapasannya sehingga tidak dapat menghasilkan tekanan insipirasi

yang cukup untuk melakukan ventilasi maksimum yang dibutuhkan. Latihan

khusus pada otot pernapasam akan mengakibatkan bertambahnya kemampuan

ventilasi maksimum, memperbaiki kualiti hidup dan mengurangi sesak napas.

69

Page 70: Laporan Sk.2 Kel.10 Blok.kardiorespi

Pada penderita yang tidak mampu melakukan latihan endurance, latihan otot

pernapasan ini akan besar manfaatnya. Apabila ke dua bentuk latihan tersebut

bisa dilaksanakan oleh penderita, hasilnya akan lebih baik. Oleh karena itu

bentuk latihan pada penderita PPOK bersifat individual. Apabila ditemukan

kelelahan pada otot pernapasan, maka porsi latihan otot pernapasan

diperbesar, sebaliknya apabila didapatkan CO2 darah tinggi dan peningkatan

ventilasi pada waktu latihan maka latihan endurance yang diutamakan.

Endurance exercise

Respons kardiovaskuler tidak seluruhnya dapat terjadi pada penderita PPOK.

Bertambahnya cardiac output maksimal dan transportasi oksigen tidak sebesar

pada orang sehat. Latihan jasmani pada penderita PPOK akan berakibat

meningkatnya toleransi latihan karena meningkatnya toleransi karena

meningkatnya kapasiti kerja maksimal dengan rendahnya konsumsi oksigen.

Perbaikan toleransi latihan merupakan resultante dari efisiensinya pemakaian

oksigen di jaringan dari toleransi terhadap asam laktat. Sesak napas bukan

satu-satunya keluhan yang menyebabkan penderita PPOMJ menghenikan

latihannya, faktor lain yang mempengaruhi ialah kelelahan otot kaki. Pada

penderita PPOK berat, kelelahan kaki mungkin merupakan faktor yang

dominan untuk menghentikan latihannya. Berkurangnya aktiviti kegiatan

sehari-hari akan menyebabkan penurunan fungsi otot skeletal. Imobilitasasi

selama 4 - 6 minggu akan menyebabkan penurunan kekuatan otot, diameter

serat otot, penyimpangan energi dan activiti enzim metabolik. Berbaring

ditempat tidur dalam jangka waktu yang lama menyebabkan menurunnya

oxygen uptake dan kontrol kardiovaskuler.

Latihan fisis bagi penderita PPOK dapat dilakukan di dua tempat :

• Di rumah

- Latihan dinamik

- Menggunakan otot secara ritmis, misal : jalan, joging, sepeda

• Rumah sakit

- Program latihan setiap harinya 15-30 menit selama 4-7 hari per minggu. Tipe

70

Page 71: Laporan Sk.2 Kel.10 Blok.kardiorespi

latihan diubah setiap hari. Pemeriksaan denyut nadi, lama latihan dan keluhan

subyektif dicatat. Pernyataan keberhasilan latihan oleh penderita lebih penting

daripada hasil pemeriksaan subyektif atau obyektif. Pemeriksaan ulang setelah

6-8 minggu di laboratorium dapat memberikan informasi yang obyektif

tentang beban latihan yang sudah dilaksanakan.

- Dua bentuk latihan dinamik yang tampaknya cocok untuk penderita di rumah

adalah ergometri dan walking-jogging. Ergometri lebih baik daripada

walkingjogging. Begitu jenis latihan sudah ditentukan, latihan dimulai selama

2-3 menit, yang cukup untuk menaikkan denyut nadi sebesar 40% maksimal.

Setelah itu dapat ditingkatkan sampai mencapai denyut jantung 60%-70%

maksimal selama 10 menit. Selanjutnya diikuti dengan 2-4 menit istirahat.

Setelah beberapa minggu latihan ditambah sampai 20-30 menit/hari selama 5

hari perminggu. Denyut nadimaksimal adalah 220 - umur dalam tahun.

- Apabila petunjuk umum sudah dilaksanakan, risiko untuk penderita dapat

diperkecil. walaupun demikan latihan jasmani secara potensial akan dapat

berakibat kelainan fatal, dalam bentuk aritmia atau iskemi jantung.

Hal-hal yang perlu diperhatikan sebelum latihan :

- Tidak boleh makan 2-3 jam sebelum latihan

- Berhenti merokok 2-3 jam sebelum latihan

- Apabila selama latihan dijumpai angina, gangguan mental, gangguan

koordinasi

atau pusing latihan segera dihentikan

- Pakaian longgar dan ringan

2. Psikososial

Status psikososial penderita perlu diamati dengan cermat dan apabila

diperlukan dapat diberikan obat

3. Latihan Pernapasan

Tujuan latihan ini adalah untuk mengurangi dan mengontrol sesak napas.

Teknik latihan meliputi pernapasan diafragma dan pursed lips guna

71

Page 72: Laporan Sk.2 Kel.10 Blok.kardiorespi

memperbaiki ventilasi dan menyinkronkan kerja otot abdomen dan toraks.

Serta berguna juga untuk melatih ekspektorasi dan memperkuat otot

ekstrimiti.

Rehabilitasi asma

- Superficial heating (infrared) 10-15 menit pada daerah dinding dada

- Nebulized

- Terapi fisik dada

5. Pola diet

PPOK

Tujuan Diet :

o   Memberikan asupan makanan cukup energi, zat gizi makro dan zat gizi lain

sesuai dengan kebutuhan.

o   Mengurangi asupan Karbohidrat karena dapat meningkatkan produksi CO2

hasil metabolism KH dan meningkatkan asupan lemak.

o   Meningkatkan asupan zat gizi mikro terutama melalui buah dan sayur.

o   Memberi makanan yang lunak per oral.

o   Meningkatkan asupan cairan.

o   Memberikan makanan PKTS

v  Preskripsi Diet : Diet TETP, makanan lunak, PKTS

v  Syarat Diet :

o   Asupan energi cukup disesuaikan dengan kebutuhan 2.103,09 kkal.

o   Protein 15 %,yaitu 78,9 gr.

o   Asupan Karbohidrat dikurangi menjadi 45 %  dari total kebutuhan, yaitu

236.6 gr untuk mengurangi sesak napas.

o   Lemak tinggi 40% dari total kebutuhan, yaitu 93,5 gr lemak jenuh < 10 %

→ Resporatory Quontient (RQ) rendah.

72

Page 73: Laporan Sk.2 Kel.10 Blok.kardiorespi

o   Cairan diberikan cukup 4cc/kg BB/hari yaitu ± 2000 cc atau 2 liter / hari

o   Pola makan dengan memperhatikan prinsip PKTS ( porsi kecil tapi sering) 3

kali utama, 2 kali selingan.

o   Pemberian makanan diberikan secara oral dan lunak karena tingkat

kesadaran pasien composmentis (baik).

o   Bentuk makanan lunak untuk mengurangi kerja usus, untuk mengurangi

inflamasi yang berlebih.

o   Jangan berikan makanan yang terlalu manis, goreng-gorengan, dan terlalu

asin (merangsang lambung).

o   Hindari makanan yang bersantan kental.

o   Hindari makanan yang berbumbu tajam/ merangsang lambung.

o   Hindari teknik memasak dengan menggoreng, dianjurkan dengan teknik

menumis, memanggang, dan merebus.

v  Monitoring :

o   Memantau kenaikan IMT menjadi normal

o   Peningkatan BB secara bertahap.

o   Memantau asupan energi dan zat gizi makro dari makanan yang habis

dikonsumsi.

o   Menurunkan kadar LED dan Segmen hingga mencapai kadar normal.

o   Meningkatkan pengetahuan gizi seimbang.

o   Memantau pengurangan frekuensi mual.

v  Evaluasi :

o   Mengukur kenaikan BB setiap hari sesaat setelah bangun tidur sampai

mencapi IMT normal, yaitu 18,5 – 25,0

o   Perubahan asupan energi total dari kebutuhan energi yang harus dipenuhi

2.103,09 kkal di lihat dengan cara recall makanan (habis/tidak habis

makanan yang diberikan). Dan pemberian protein yang mempunyai nilai

bilogis tinggi.

o   Pasien dapat mengidentifikasi hambatan yang ada dalam merubah pola

makan.

73

Page 74: Laporan Sk.2 Kel.10 Blok.kardiorespi

o   Pasien dapat menjelaskan pola makan seimbang serta penerapannya pada

pengaturan makanan sehari.

o   Melihat perubahan pasien dalam mengkonsumsi ikan dan daging.

ASMA

1. Cukup Energi dan Protein, jaga agar berat badan dalam kisaran normal

diupayakan ideal.

2. Cukupi Kebutuhan air, biasakan minum air minimal ½ gelas per jam agar

sekresi tetap encer.

3. Hindari makanan yang telah diketahui sebagai biang penyebab terjadinya

serangan asma.

4. Hindari bahan makanan yang mengandung Sulfit hasil penelitian makanan

yang mengandung sulfit dapat memicu serangan asma pada 20 persen

orang penderita asma. Sulfit terdapat dalam makanan sebagai hasil dari

fermentasi dan ditemukan dalam makanan olahan. Jika kita tidak hati-hati

dalam memilih makanan, tentu banyak sekali makanan yang mengandung

sulfit karena sulfit banyak sekali digunakan sebagai bahan pengawet.

Sebelum anda memakan suatu makanan, bacalah dulu komposisi makanan

tersebut karena sulfit menggunakan nama seperti sulfur dioksida, kalium

bisulfit atau kalium metabisulfit, natrium bisulfit, natrium metabisulfit atau

natrium sulfit.

5. Perbanyak makanan sumber anti oksidan sebagai pencegah stress

oksidatif, konsumsi minimal 3 porsi sayur dan 2 porsi buah setiap hari

agar anti oksidan dapat terpenuhi. 

6. Konsumsi makanan yang omega 3: makanan yang mengandung asam

lemak omega 3 ternyata  mampu mengurangi gejala asma. Contoh

makanan yang banyak mengandung omega3 yaitu : ikan, biji jintan, dan

kacang. Atau bisa mengkonsumsi asam lemak yang mudah sekali

didapatkan.

74